Anda di halaman 1dari 21

TATACARA BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA

NAMA : Hamzah

Ariana

Asifa

Fakultas Syariah

Institut Agama Islam Bakti Negara

Tegal

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya makalah yang
berjudul “TATACARA BERPERKARA PADA BADAN PERADILAN AGAMA” ini dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini disusun sebagai tugas untuk mata kuliah
HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA DI INDONESIA.

Penulisan makalah ini tentunya tidak lepas dari bantuan berbagai pihak.Untuk itu penulis
menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu
terselesaikannya makalah ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan
masih banyak kekurangan yang masih perlu diperbaiki, untuk itu penulis mengharapkan saran
dan kritik yang membangun demi kesempurnaan makalah ini, sehingga dapat bermanfaat bagi
siapapun yang membacanya.
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
MASALAH

Peradilan di Indonesia merupakan suatu bentuk usaha negara untuk mewujudkan


kesejahteraan di tengah-tengah masyarakatnya, namun untuk menciptakan dan mengerti dengan
bentuk usaha negara tersebut, tentu kita dituntut untuk tau seperti peradilan di Indonesia
tersebut dan terdapat di dalam peradilan diindonesia tersebut terdapat peradilan yg bersifat
khusus dalam jobdes kerjanya adalah mengadili perkara-perkara yg bersifat khusus dan hanya
khusus untuk orang-orang muslim. Lembaga peradilan adalah salah satu upaya hukum Negara
untuk lebih menertibkan dasar-dasar hukum baik yg terdapat dalam pancasila ataupun UUD yg
kesemuanya tersebut mempunyai tujuan yang sama yakni keadilan social bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Kita harus mengetahui mulai dari pengertian peradilan sampai pada bentuk-bentuk lembaga
peradilan di Indonesia ataupun tata cara berperkara yg baik dalam pengadilan maka dari itu
pemakalah mencoba mengurai dari segi kesejahteraan masyarakat.Di dalam makalah ini kami
akan mencoba untuk menyajikan beberapa pengertian peradilan, mulai dari para pakar hukum
sampai menurut undang-undang, kami juga akan membahas tentang dasar hukum peradilan di
Indonesia, cakupan studi peradilan di Indonesia dan juga hubungan studi peradilan di Indonesia
dengan studi lain.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Gambaran singkat hukum acara peradilan agama?
2. Penerimaan, pemeriksaan, dan penyelesaian perkara?
3. Upaya hukum, banding, kasasi, dan peninjauan kembali?
BAB II
PEMBAHASAN

A. GAMBARAN SINGKAT HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA


Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan dalam Bab IX pasal 24 ayat (2) bahwa
peradilan agama merupakan salah satu pemegang kekuasaan kehakiman. Peradilan agama adalah
salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia sesuai dengan ketentuan pasal 10 ayat
(1) UU No. 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan UU No.35 Tahun 1999 dan terakhir diganti
dengan UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.Sedangkan dalam Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun 1989 dalam pasal 2
disebutkan:“Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari
keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang ini”
Pengertian Hukum AcaraHukum acara (hukum formil) bertujuan untuk menjamin ditaatinya
hukum perdata materil, oleh karena itu hukum acara memuat tentang cara
bagaimanammelaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan kaidah-kaidah yang termuat
dalam hukum perdata materil.Adapaun hukum acara yang berlaku di Peradilan Agama adalah
hukum acara perdata yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum kecuali yang telah diatur
secara khusus (Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989).1

1. Sumber Hukum Acara Peradilan Agama.


Adapun sumber utama hukum acara peradilan agama adalah:

a. HIR/RBg (Hukum acara perdata yang berlaku bagi Peradilan Umum).


b. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 yang telah diganti dengan UU No. 4/2004.
c. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
d. Undang-undang No. 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan UU No.5 Tahun 2004.

1
Roihan A. Rasyid, ‘’Hukum Acara Peradilan Agama’’ , PT. Rajawali Pres, Jakarta, 1991.
e. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor Tahun 2006.
f. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947.
g. PP Nomor 9 Tahun 1975.
h. RV (Reglement op de Burgerlijke Rechsvordering).
i. Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang KHI.
j. Surat Edaran Mahkamah Agung.
k. Doktrin/Ilmu Pengetahuan Hukum/Kitab-kitab Fiqih.
l. Dan lain-lain.
Sumber utama Hukum Materil Peradilan Agama ialah:

a. Hukum Islam yang bersumber dari Al-Qur‟an dan Hadits.


b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
c. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989.
d. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
e. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977.
f. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang KHI.
g. Peraturan Menteri Agama Nomor 2 TAhun 1987.
h. Yuriprudensi.
i. Doktrin/Ilmu Pengetahuan Hukum dalam Kitab-kitab Fiqih.
j. Hukum positif yang berkaitan dengan tugas dan kewenangan Peradilan Agama.

2. Asas-asas Hukum Acara Peradilan Agama


a. Asas Bebas Merdeka
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya
Negara hukumRepublik Indonesia. Pada dasarnya azas kebebasan hakim dan peradilan yang
digariskan dalam UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama adalah merujuk pada pasal 24 UUD 1945 dan jo. Pasal 1 Undang-
undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Dalam penjelasan Pasal 1 UU Nomor 4 tahun 2004 ini menyebutkan “Kekuasaan kehakiman
yang medeka ini mengandung pengertian di dalamnya kekuasaan kehakiman yang bebas dari
campur tangan pihak kekuasaan Negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau
rekomendasi yang datang dari pihak ekstra yudisial kecuali dalam hal yang diizinkan undang-
undang.”

b. Asas Sebagai Pelaksana Kekuasaan Kehakiman


Penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.Semua peradilan di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia adalah
peradilan Negara dan ditetapkan dengan undang-undang. Dan peradilan Negara menerapkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.

c. Asas Ketuhanan
Peradilan agama dalam menerapkan hukumnya selalu berpedoman pada sumber hokum
Agama Islam, sehingga pembuatan putusan ataupun penetapan harus dimulai dengan kalimat
Basmalah yang diikuti dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa.”

d. Asas Fleksibelitas
Pemeriksaan perkara di lingkungan peradilan agama harus dilakukan dengan sederhana,
cepat, dan biaya ringan. Adapun asas ini diatur dalam pasal 57 (3) UU Nomor 7 Tahun 1989
yang tidak diubah dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama jo
pasal 4 (2) dan pasal 5 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Untuk itu,
pengadilan agama wajib membantu kedua pihak berperkara dan berusaha menjelaskan dan
mengatasi segala hambatan yang dihadapi para pihak tersebut.

Yang dimaksud sederhana adalah acara yang jelas, mudah difahami dan tidak berbelit-belit
serta tidak terjebak pada formalitas-formalitas yang tidak penting dalam persidangan.Sebab
apabila terjebak pada formalitas-formalitas yang berbelit-belit memungkinkan timbulnya
berbagai penafsiran.

Cepat yang dimaksud adalah dalam melakukan pemeriksaan hakim harus cerdas dalam
menginventaris persoalan yang diajukan dan mengidentifikasikan persolan tersebut
untuk kemudian mengambil intisari pokok persoalan yang selanjutnya digali lebih dalam
melalui alat-alat bukti yang ada. Apabila segala sesuatunya sudah diketahui majelis hakim, maka
tidak ada cara lain kecuali majelis hakim harus secepatnya mangambil putusan untuk dibacakan
dimuka persidangan yang terbuka untuk umum. Biaya ringan yang dimaksud adalah harus
diperhitungkan secara logis, rinci dan transparan, serta menghilangkan biaya-biaya lain di luar
kepentingan para pihak dalam berperkara.Sebab tingginya biaya perkara menyebabkan para
pencari keadilan bersikap apriori terhadap keberadaan pengadilan.

e. Asas Non Ekstra Yudisial


Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman
dilarang kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam UUD RI Tahun 1945. Sehingga setiap
orang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud akan dipidana.

f. Asas Legalitas
Peradilan agama mengadili menurut hokum dengan tidak membeda-bedakan orang. Asas ini
diatur dalam pasal 3 (2), pasal 5 (2), pasl 6 (1) UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman jo. Pasal 2 UU No.3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.Pada asasnya Pengadilan
Agama mengadili menurut hukum agama Islam dengan tidak membeda-bedakan orang, sehingga
hak asasi yang berkenaan dengan persamaan hak dan derajat setiap orang di muka persidangan
Pengadilan Agama tidak terabaikan.Asas legalitas dapat dimaknai sebagai hak perlindungan
hukum dan sekaligus sebagai hak persamaan hokum.Untuk itu semua tindakan yang dilakukan
dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan harus berdasar atas hokum, mulai
dari tindakan pemanggilan, penyitan, pemeriksaan di persidangan, putusan yang dijatuhkan dan
eksekusi putusan, semuanya harus berdasar atas hukum.Tidak boleh menurut atau atas dasar
selera hakim, tapi harus menurut kehendak dan kemauan hukum.

g. Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama


h. Asas Personalitas Ke-islaman
Yang tunduk dan yang dapat ditundukkan kepada kekuasaan peradilan agama, hanya mereka
yang mengaku dirinya beragama Islam. Asas personalitas ke-islaman diatur dalam UU nomor 3
Tahun 2006 Tentang perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1989 Tentang peradilan agama Pasal 2
Penjelasan Umum alenia ketiga dan Pasal 49 terbatas pada perkara-perkara yang menjadi
kewenangan peradilan agama.

Ketentuan yang melekat pada UU No. 3 Tahun 2006 Tentang asas personalitas ke-islaman
adalah :
1. Para pihak yang bersengketa harus sama-sama beragama Islam.
2. Perkara perdata yang disengketakan mengenai perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf,
zakat, infaq, shodaqoh, dan ekonomi syari‟ah.
3. Hubungan hukum yang melandasi berdsarkan hukum islam, oleh karena itu acara
penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam.

Khusus mengenai perkara perceraian, yang digunakan sebagai ukuran menentukan


berwenang tidaknya Pengadilan Agama adalah hukum yang berlaku pada waktu pernikahan
dilangsungkan. Sehingga apabila seseorang melangsungkan perkawinan secara Islam, apabila
terjadi sengketa perkawinan, perkaranya tetap menjadi kewenangan absolute peradilan agama,
walaupun salah satu pihak tidak beragam Islam lagi (murtad), baik dari pihak suami atau isteri,
tidak dapat menggugurkan asas personalitas ke-Islaman yang melekat pada saat perkawinan
tersebut dilangsungkan, artinya, setiap penyelesaian sengketa perceraian ditentukan berdasar
hubungan hukum pada saat perkawinan berlangsung, bukan berdasar agama yang dianut pada
saat terjadinya sengketa.

i. Asas Ishlah (Upaya perdamaian)


Upaya perdamaian diatur dalam Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan jo.
Pasal 31 PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tentang perkawinan jo. Pasal 65
dan Pasal 82 (1 dan 2) UU No. 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 Tahun 2006
Tentang Peradilan Agama jo. Pasal 115 KHI, jo. Pasal 16 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang
Kekuasaan Kehakiman.

j. Asas Terbuka Untuk Umum


Asas terbuka untuk umum diatur dalam pasal 59 (1) UU No.7 Tahun 1989 yang tidak diubah
dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradila Agama jo. Pasal 19 (3 dan 4) UU No. 4 Tahun
2004. Sidang pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama adalah terbuka untuk umum, kecuali
Undang-Undang menentukan lain atau jika hakim dengan alasan penting yang dicatat dalam
berita acara siding memerintahkan bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagianakan
dilakukan dengan siding tertutup. Adapun pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama yang harus
dilakukan dengan siding tertutup adalah berkenaan dengan pemeriksaan permohonan cerai talak
dan atau cerai gugat (pasal 68 (2) UU No. 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3
tahun 2006 Tentang Peradilan Agama).
k. Asas Equality
Setiap orang yang berperkara dimuka sidang pengadilan adalah sama hak dan
kedudukannya, sehingga tidak ada perbedaan yang bersifat “diskriminatif” baik dalam
diskriminasi normative maupun diskriminasi kategoris. Adapun patokan yang fundamental
dalam upaya menerapkan asas “equality” pada setiap penyelesaian perkara dipersidangan adalah

1. Persamaan hak dan derajat dalam proses pemeriksaan persidangan pengadilan atau “equal
before the law”.
2. Hak perlindungan yang sama oleh hukum atau “equal protection on the law”
3. Mendapat hak perlakuan yang sama di bawah hukum atau “equal justice under the law”.

l. Asas “Aktif” memberi bantuan


Terlepas dari perkembangan praktik yang cenderung mengarah pada proses pemeriksaan
dengan surat atau tertulis, hukum acara perdata yang diatur dalam HIR dan RBg sebagai hukum
acara yang berlaku untuk lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama sebagaimana yang
tertuang pada Pasal 54 UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.

m. Asas Upaya Hukum Banding


Terhadap putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada Pengadilan
Tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali Undang-undang menentukan lain.

n. Asas Upaya Hukum Kasasi


Terhadap putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada
Mahkamah Agung oleh para pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.

o. Asas Upaya Hukum Peninjauan Kembali


Terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang
bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat
hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.Dan terhadap putusan
peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.

p. Asas Pertimbangan Hukum (Racio Decidendi)


Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat
pula paal tertentu dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak
tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

q. Kewenangan Mengadili Peradilan Agama


Adapun kewenangan mengadili badan Peradilan Agama dapat dibagi menjadi 2 (dua)
kewenangan yaitu:

1) Kewenangan Mutlak (Absolute Competensi) yaitu kewenangan yang menyangkut kekuasaan


mutlak untuk mengadili suatu perkara, artinya perkara tersebut hanya bisa diperiksa dan diadili
oleh Pengadilan Agama. Dalam istilah lain disebut “Atribut Van Rechsmacht”. Contoh perkara
perceraian bagi orang-orang yang beragama Islam dan perkawinannya dilakukan secara Islam
menjadi kewenangan absolute Pengadilan Agama..
2) Kewenangan Relatif (Relative Competensi) yaitu kewenangan mengadili suatu perkara yang
menyangkut wilayah/daerah hukum (yurisdiksi), hal ini dikaitkan dengan tempat tinggal pihak-
pihak berperkara. Ketentuan umum menentukan gugatan diajukan kepada pengadilan yang
mewilayahi tempat tinggal tergugat (Pasal 120 ayat (1) HIR/Pasal 142 ayat (1) RBg. Dalam
Perkara perceraian gugatan diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
tinggal isteri (Pasal 66 ayat (2) dan Pasal 73 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 tahun 1989).
Dalam istilah lain kewenangan relatif ini disebut “Distribute van Rechtsmacht”. Pengadilan yang
berhak mengadili suatu perkara dalam bahasa latin disebut dengan istilah “Actor Sequitur Forum
Rei”.
r. Tugas Pokok Badan Peradilan Agama
Menerima, memeriksa, mengadili dan memutus serta menyelesaikan perkara antara orang-
orang yang beragama Islam dalam bidang:

1) Perkawinan.
2) Waris.
3) Wasiat.
4) Hibah.
5) Wakaf.
6) Zakat.
7) Infaq.
8) Shadaqoh.
9) Ekonomi Syari‟ah.
(Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang-
ndang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama).

3. Tugas lain dari badan Peradilan Agama


Selain dari tugas pokok sebagaimana diuraikan di atas, Peradilan Agama mempunyai tugas
tambahan baik yang diatur dalam Undang-undang maupun dalam peraturan-peraturan lainnya
yaitu :

1. Memberikan pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah apabila
diminta. (Pasal 52 ayat (1) Undang-undang No. 7/1989.
2. Menyelesaikan permohonan pertolongan pembagian harta peninggalan di luar sengketa antara
orang-orang Islam. (Pasal 107 ayat (2) Undang-undang No. 7/1989). Hal ini sudah jarang
dilakukan karena Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 telah mengatur dibolehkannya
penetapan ahli waris dalam perkara volunteer.
3. Memberikan isbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan tahun hijriyah (Pasal 52 A
UU No.3 Tahun 2006).
4. Melaksanakan tugas lainnya seperti pelayanan riset/penelitian dan tugas-tugas lainnya2

B. PENERIMAAN, PEMERIKSAAN, DAN PENYELESAIAN PERKARA


1. PENERIMAAN PERKARA
Pendaftaran perkara diajukan kepada Pengadilan Agama melalui petugas kepaniteraan di
meja I. Aktivitas yang dilakukan meja I dalam proses penyelesaian perkara Pengadilan adalah
sebagai berikut:

a. Menerima gugatan permohonan, perlawanan, pernyataan banding, kasasi, permohonan


peninjauan kembali (PK), eksekusi, penjelasan dan penaksiran biaya perkara dan biaya eksekusi.
b. Membuat Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dalam rangkap tiga dan menyerahkan SKUM
tesebut kepada calon penggugat atau pemohon.
c. Menyerahkan kembali surat gugatan atau permohonan kepada calon penggugat atau pemohon.

2
R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta1980 h.13
d. Menaksir biaya perkara sebagaimana ditetapkan dalam pasal 121 HIR atau pasal 145 RBG yang
kemudian dinyatakan dalam SKUM.
e. Memberikan penjelasan-penjelasan yang diangap perlu berkenaan dengan perkara yang diajukan
sesuai dengan Surat Ketua Muda Mahkamah Agung RI Urusan lingkungan Peradilan Agama
tanggal 11 Januari 1994, Nomor: MA/Kumdil/012/I/K/1994.

2. PEMERIKSAAN DAN PENYELESAIAN PERKARA


Pemeriksaan perkara dilakukan di depan sidang Pengadilan melalui tahap-tahap sebagai
berikut:

a. Tahap sidang pertama. Tahap ini terdiri dari: (1) hakim membuka sidang,(2) hakim menanyakan
identitas para pihak , (3) pembacaan surat gugatan atau permohonan oleh penggugat /
pemohonan, dan (4) anjuran untuk berdamai.
b. Tahap jawab-berjawab (replik-duplik). Setelah pembacaan gugatan/permohonan, kemudian
upaya damai tidak berhasil, ketua majelis akan bertanya kepada tergugat atau termohon, apakah
ia akan menjawab lisan atau tertulis. Jika akan menjawab tertulis, maka ditanyakan kembali,
apakah sudah siap. Jika belim siap, kapan tergugat / termohon memiliki kesiapan. Sejak saat itu,
masuklah pada proses jawab-menjawab, baik antara pihak, maupun antara hakim dengan para
pihak.
c. Tahap pembuktian. Tahap pembuktian dimulai setelah tidak ada lagi yang akan dipertanyakan
oleh hakim. Setelah itu, hakim memeriksa bukti-bukti yang diajukan pihak berperkara.
d. Tahap penyusunan konklusi, setelah tahap pembuktian berakhir, sebelum majelis
bermusyawarah, pihak-pihak diperbolehkan mengajukan konklusi (kesimpulan-kesimpulan dari
sidang-sidang menurut pihak yang bersangkutan). Karena konklusi ini sifatnya untuk membantu
majelis, pada umumnya hal ini tidak diperlukan bagi perkara-perkara yang ringan, sehingga
hakim boleh meniadakannya.
e. Musyawarah Majelis Hakim. Musyawarah hakim dilakukan secara rahasia, tertutup untuk
umum. Semua pihak maupun hadirin disuruh meninggalkan ruangan sidang. Panitera sidang
sendiri, kehadirannya dalam musyawarah majelis adalah atas izin majelis. keputusan sidang
musyawarah majelis ditandatangani oleh semua hakim tanpa panitera. Ini merupakan lampiran
Berita Acara Sidang yang nanti akan dituangkan kedalam dictum keputusan.3
f. Pengucapan Keputusan, pengucapan keputusan selalu dilakukan dalam sidang terbuka untuk
umum. Selesai keputusan diucapkan, ketua majelis akan bertanya kepada pihak penggugat atau
tergugat, apakah menerima keputusan tersebut atau tidak. Bagi pihak yang menyatakan
menerima, maka baginya tertutup upaya untuk melakukan banding. Sedangkan bagi pihak yang
menyatakan tidak menerima atau pikir-pikir dulu, melakukan upaya untuk banding.

C. UPAYA HUKUM, BANDING, KASASI, DAN PENINJAUAN KEMBALI


1. BANDING
a. Pengertian Banding
Terhadap penetapan atau putusan hakim Pengadilan Agama dapat dimintakan banding oleh
pihak yang berperkara.Banding atau dalam bahasa belanda disesebut Appel adalah upaya hokum
biasa yang pertama terhadap penetapan atau putusan pengadilan tingkat pertama untuk di ajukan
atau dimohonkan pemeriksaan ulang di pengadilan tingkat banding.Pemeriksaan perkara tingkat
banding di ajukan dengan keseluruhan.4

b. Dasar Hukum Pengajuan banding


Dalam pasal 21 ayat (1) Uandang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan
kehakiman dinyatakan bahawa “terhadap putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan
banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang
menentukan lain. Sebagai aturan organic dari pasal 21 ayat (1) di ats, khusus untuk peradilan
Agama, ketentuan mengenai putusan Pengadilan Agama yang dapat diajukan banding kepada
pengadilan Agama Tinggi Agama disebuitkan dalam pasal 61 undang-undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang peradilan Agma sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang peradialn Agama, yait”Atas penetapan dan putusan pengadilan Agama dapat
dimintakan banding oleh yang berperkara, kecuali apabila undang-undang menentukan lain”.

Pengecualian yang disebutkan di atas dapat dilihat dari dua kategori. Kategori pertama
perkara yang bersifat financial sebagaimana diatur dalam pasal 49 huruf I Undang-Undang
Nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan Atas undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang

3
Asasriwarmi, Peradilan Agama di Indonesia, (Padang: Hayfa Press,2008), hal. 91
4
Abdullah Tri Wahyudi,Hukum Acara Peradilan Agama,Mandar Maju,Bandung,hlm 196
Peradilan Agama mengenai Ekonomi Syariah, maka perkara yang diajukan banding mengacu
kepada nilai standar obyek terperkara sebagaimana diatur dalam Pasal 6 undang-Undang Nomor
20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulang di jawa dan Madura, yaitu tidak boleh kurang dari
seratus rupiah. Kategori kedua adalah bahwa perkara yang dapat diajukan banding adalah
perkara Contensiosa, buka voluntair.Jadi, keputusan Pengadilan Agama atas perkara voluntair
yang diformulasikan dalam bentuk penetapan tidak dapat diajukan banding.

c. Syarat-syarat banding
Syarat-syarat banding adalah:

1) Diajukan oleh pihak-pihak dalam perkara


2) Diajukan masih dalam masih masa tenggang waktu banding
3) Putusan tersebut, menurut hukum, boleh dimintakan banding
4) Membayar panjar biaya banding, kecuali dalam hal prodeo
5) Menghadapi di kepaniteraan Pengadilan Agama yang putusannya dimohonkan banding.
d. Tata cara pengajuan banding
Mengenai tata cara banding, melihat ketentuan yang terdapat dalam Pasal 199 sampai
dengan 205 R.Bg dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947.

e. Mencabut Permohonan Banding


Sebelum permohonan banding diputus oleh Pengadilan Tinggi Agama,maka permohonan
tersebut dapat dicabut kembali oleh pemohon.

Apabila berkas perkara belum dikirimkan kepada Pengadilan Tinggi Agama, maka:

1) Pencabutan disampaiakan kepada Pengadilan Agama yang bersangkutan;


2) Kemudian oleh panitera dibuatkan akta pencabutan kembali permohonan banding;
3) Putusan baru memperoleh kekuatan tetap setelah waktu banding berakhir
4) Berkas perkara banding tidak perlu diteruskan kepada Pengadilan Tinggi Agama
Apabila berkas perkara banding telah dikirimkan kepada pengadilan Tinggi Agama, maka:

1) Bagi pencabutan banding disampaikan melalui Pengadilan Agama yang bersangkutan atau
langsung ke Pengadilan Tinggi Agama.
2) Apabila pencabutan itu disampaikan melalui pengadilan Agama, maka pencabutan itu segera
dikirim ke Pengadilan Tingi Agama.
3) Apabila permohonan banding belum diputus maka Pengadilan Tinggi Agama akan
mengeluarkan “penetapan” yang isinya, bahwa mengabulkan pencabutan kembali permohonan
banding dan memerintahkan untuk mencoret dari daftar perkara banding.
4) Apabila perkara telah diputus maka pencabutan tidak mungkin dikabulkan.
5) Apabila permohonan banding dicabut, maka putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap
sejak pencabutan dikabulkan dengan “penetapan” tersebut.
6) Pencabutan banding tidak diperlukan persetujuan pihak lawan.

f. Waktu Pengajuan Banding:


1) Bagi pihak yang bertempat kediaman di daerah hukum Pengadilan Agama yang putusannya
dimohonkan banding tersebut maka bandingnya ialah 14 hari terhitung mulai hari berikutnya dari
hari pengumuman putusan kepada yang bersangkutan.
2) Bagi pihak yang bertempat kediaman dilauar daerah hukum Pengadilan Agama yang putusannya
dimohonkan banding tersebut, maka masa bandingnya ialah 30 Hari terhitung mulai hari kerja
berikutnya dari pengumuman putusan kepada yang bersangkutan (Pasal 7 Undang-Undang
Nomor 20 tahun 1947).
3) Dalam hal permohonan banding dengan prodeo, maka masa banding dhitung m,ulai hari
berikutnya dari hari pemberitahuan putusan Pengadilan Tinggi Agama tenatang ijin berperkara
secara prodeo tersebut diberitahukan kepada yang bersangkutan oleh Pengadilan Agama (Pasal 7
ayat (1), (2), (3), Undang-Undang No.20 Tahun 1947)

2. KASASI
a. Pengertian Upaya hukum Kasasi
Menurut Andi Hamzah Kasasi berasal dari casser (Prancis) yang artinya
memecah,kemudian menjadi lembaga yang berarti pembatalan ; Pernyataan tidak berlakunya
keputusan hakim oleh mahkamah agung demi kesatuan peradilan.
Kasasi adalah suaru permohonan pemeriksaan tentang sudah/tidak penerapan hokum yang
dilakukan pengadilan bawahan dalam dijatuhkan putusan.5

5
Abdullah Tri Wahyudi,Hukum Acara Peradilan Agama,Mandar Maju,Bandung,hlm 198
b. Dasar Hukum Kasasi
Dasar hukum kasasi adalah pasal 22 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
kekuasaan Kehakiman dinyatakan, bahwa terhadap putusan Pengadilan dalam tingkat banding
dapat dimntkan kasasi ke Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali
undang-udang menentukan lain. Dalam pasal 43 Undamg-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang
mahkamah Agung dinyatakan, bahwa permohonan kasasi dapat diajukan hanya jika pemohon
terhadap perkaranya telah upya hukum banding, Karena lain oleh undang-undang.

c. Syarat-syarat Kasasi
Syarat-syarat untuk mengajukan kasasi ialah:

1) Diajukan oleh pihak yang berhak mengajukan kasasi


2) Diajukan masih dalah tenggang waktu kasasi
3) Putusan atau penetapan judex factie, menurut hukum dapat dimintakan kasasi.
4) Membuat memori kasasi
5) Membayar uang panjar biaya kasasi
6) Menghadap di Kepaniteraan Pengadilan Agama yang bersangkuta

d. Tata cara kasasi


1) Permohonan dajukan pada Pengadilan Agama, dengan melenngkapi semua kelengkapan
administrasinya.
2) Setelah Proses administrasi di Pengadilan Agama selesai, maka akan dilanjutkan pada tingkat
mahkamah Agung dengan melalui tahapan-tahapan tertentu seperti pencatatan permohonan
kasasi oleh panitera mahkamah Agung dan tahapan lainnya.
3) Setelah Mahkamah Agung memberi putusan maka, putusan mahkamah Agung dikirim pada
Pengadilan Agama pada meja III, selanjutnya memberitahukan kepada kedua belah pihak melaui
jurusita pengganti.
e. Tenggang waktu untuk kasasi
Permohonan kasasi hanya dapat diajukan dalam masa tenggang waktu kasasi yaitu 14 hari
setelah putusan atau penetapan pengadilan diberitahukan kepada yang bersangkutan (pasal 46
ayat (1)). UU NO.14 Tahun 1985

f. Pencabutan Permohonan kasasi (pasal 49 UU No.14 Tahun 1985)


1) Sebelum permohonan kasasi di putus oleh mahkamah Agung maka permohonan tersebut dapat
dicabut kembali oleh permohonan, tanpa persetujuan pihak lawan.
Apabila berkas perkara belum dikirimkann ke mahkamah Agung, maka:

Pencabutan disampaikan kepada Pengadilan Agama yang bersangkutan, baik secara tertulis
maupun lisan.Kemudian oleh panitera dibuatkan Akta Pencabutan kemudian permohonan
kasasi.Pemohon tidak dapat lagi mengajukan permohonan kasasi dalam perkara itu meski pun
tenggang waktu kasasi belum lampau.Dan berkas itu tidak perlu diteruskan ke Mahkamah
Agung.

2) Apabila berkas perkara telah dikirimkan kepqada Mahkamah Agung, maka:


Pencabutan disampiakan melalui Pengadilan Agama yang bersangkutan atau langsung ke
Mahkamah Agung. Apabila permohonan kasasi belum diputus, maka mahkamah Agung akan
mengeluarkan “penetapan” yang isinya, bahwa mengabulkan permohonan pencabutan kembali
perkara kasasi dan memerintahkan untuk mencoret perkara kasasi. Apabila permohonan kasasi
telah diputus, maka pencabutan tidak mungkin dikabulkan.

3) Apabila permohonan kasasi permohonan kasasi dicabut maka tidak bolehdiajukan lagi
permohonan kasasi baru.
4) Apabila permohonan kasasi telah dicabut maka putusan yang dimintkan kasasi yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap terghitung sejak tanggal dibuatkan akta pencabutan kasasi
atau dikeluarkanya “penetapan” pencabutan kasasi.
3. PENINJAUAN KEMBALI
a. Pengertian Peninjauan kembali
Peninjauan kembali atau request civiel yaitu memeriksa dan mengadili atau memutus
kembali putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan tetap karena diketahui terdapat hal-
hal baru yang dulu tidak dapat diketahui, yang apabila terungkap maka keputusan hakim akan
menjadi lain. 6

6
Mertokusumo,Sudikno,Hukum Acara Perdata di Indonesia, Yogyakarta : Cahaya Atma Pustaka,2010
b. Dasar Hukum peninjauan kembali
Peninjauan kembali hanya dapat dilakukan oleh Mahkamah agung.Peninjauan kembali diatur
dalam Undang-undang No14 Tahun 1985 tentahg mahkamah Agung.Apablia terdapat hal-hal
atau keadaaan-keadaan yang ditentukan undang-undang, terhadap putusan pengadilan yang telah
memperolah kekuatan hukum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada mahkamah
Agung, dalam perkara perdata dan pidana, oleh pihak-pihak yang berkepentingan (Pasal 21 UU
No.14/11970).

c. Syarat-syarat permohonan peninjauan kembali


Syarat-syarat permohonan peninjauan kembali ialah;

1) Diajukan oleh pihak yang berperkara, ahli warisnya, ataui wakilnya yang secara khusus diberi
kuasa untuk itu
2) Putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap
3) Membuat permohonan peninjauan kembali yang memuatalasan-alasannya.
4) Diajukan oleh pemohon kepada Mahkamah Agung melalui ketua pengadilan Agama yang
memutus perkara dalam tenggang waktu 180 hari (atau sesuai alasan yang disebutkan).
5) Membayar uang panjar (uang muka) biaya peninjauan kembali

d. Tata cara permohonan peninjauan kembali


Tata cara permohonan peninjauan kembali adalah sebagai berikut:

1) Permohonan diajukan oleh pemohon (ahli warisnya atau wakilnya) kepada Mahkamah Agung
yang memutus perkara dalam tingkat pertama (pasal 70 ayat (1) UU No.14 Tahun 1985 ).
2) Permohonan diajukan oleh pemohon secara tertulis dengan menyebutkan dengan menyebutkan
sejelas-jelasnya alasan yang dijadikan dasar permohonan.
3) Apabila pemohon tidak dapat menulis maka ia menguraikan permohonannya secara lisan
dihadapan Ketua pengadilan Agama yang memutus perkara dalam tingkat pertama atau hakin
yang ditunjuk oleh ketua pangadilan yang akan membuat catatan tentang permohonan tersebut
(pasal 71 UU No.14 Tahun 1985).
4) Mahkamah Agung memeriksa dan memutus dengan sekurang-sekurangnya dengan tiga orang
hakim (pasal 40 ayat (1) UU No.14 tahun 1985).
5) Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya satu kali (pasal 66 ayat (1) UU No.14
Tahun 1985).
6) Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menantikan pelaksaan putusan
(pasal 66 ayat (2) UU No.14 Tahun 1985).
7) Mahkamah Agung berwenang memerintahkan Pengadilan Agama yang memeriksa perkara
dalam tingkat pertama atau tingkat pertama atau Pengadilan Tinggi (tingkat banding)
mengadakan pemeriksaan tambahan, atau meminta segala hal keterangan serta pertimbangan dari
pengadilan yang dimaksud (pasal 73 ayat (1) UU No.14 Tahun 1985).
8) Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut selama belum diputus.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kita sebagai mahasiswa/i jurusan HUkum Ekonomi Syariah, hendaknya mengetahui apa saja
dan bagaimana cara berperkara di Pengadilan. Diharapkan tulisan ini menambah wawasan kita.

Peradilan agama adalah sebutan (literatur) resmi bagi salah satu diantara empat lingkungan
peradilan negara atau kekuasaan kehakiman yg sah di indonesia untuk di jadikan sebuah
kelembagaan hukum dalam proses keadilan bagi seluruh rakyat dindonesia yg tertuang dalam
pancasila dasar, Peradilan agama adalah salah satu diantara peradilan khusus di indonesia, dua
peradilan khsusus lainnya adalah peradilan militer dan peradilan tata usaha negara. Dikatakan
peradilan khusus karena peradilan agama mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai
golongan rakyat tertentu dan pemakalah dapat menyimpulokan mengenai tata cara berperkara yg
baik di pengadilan baik peradilan khusus ataupun peradilan umum.
B. Saran
Makalah yang jauh dari kesempurnaan ini diharapkan dapat membantu proses menuntut ilmu
kita di sini. Mohon kritik dan sarannya agar makalah ini dapat diluruskan jika mengandung kata-
kata yang tidak pas dalam penulisannya.
DAFTAR PUSTAKA

Roihan A. Rasyid, „‟Hukum Acara Peradilan Agama‟‟ , PT. Rajawali Pres, Jakarta, 1991,
R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta1980.
Mertokusumo,Sudikno,Hukum Acara Perdata di Indonesia, Yogyakarta : Cahaya Atma Pustaka,2010
Abdullah Tri Wahyudi,Hukum Acara Peradilan Agama,Mandar Maju,Bandung
Asasriwarmi, Peradilan Agama di Indonesia, Padang,Hayfa Press,2008.

Anda mungkin juga menyukai