NAMA : Hamzah
Ariana
Asifa
Fakultas Syariah
Tegal
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya makalah yang
berjudul “TATACARA BERPERKARA PADA BADAN PERADILAN AGAMA” ini dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini disusun sebagai tugas untuk mata kuliah
HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA DI INDONESIA.
Penulisan makalah ini tentunya tidak lepas dari bantuan berbagai pihak.Untuk itu penulis
menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu
terselesaikannya makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan
masih banyak kekurangan yang masih perlu diperbaiki, untuk itu penulis mengharapkan saran
dan kritik yang membangun demi kesempurnaan makalah ini, sehingga dapat bermanfaat bagi
siapapun yang membacanya.
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
MASALAH
B. RUMUSAN MASALAH
1. Gambaran singkat hukum acara peradilan agama?
2. Penerimaan, pemeriksaan, dan penyelesaian perkara?
3. Upaya hukum, banding, kasasi, dan peninjauan kembali?
BAB II
PEMBAHASAN
1
Roihan A. Rasyid, ‘’Hukum Acara Peradilan Agama’’ , PT. Rajawali Pres, Jakarta, 1991.
e. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor Tahun 2006.
f. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947.
g. PP Nomor 9 Tahun 1975.
h. RV (Reglement op de Burgerlijke Rechsvordering).
i. Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang KHI.
j. Surat Edaran Mahkamah Agung.
k. Doktrin/Ilmu Pengetahuan Hukum/Kitab-kitab Fiqih.
l. Dan lain-lain.
Sumber utama Hukum Materil Peradilan Agama ialah:
Dalam penjelasan Pasal 1 UU Nomor 4 tahun 2004 ini menyebutkan “Kekuasaan kehakiman
yang medeka ini mengandung pengertian di dalamnya kekuasaan kehakiman yang bebas dari
campur tangan pihak kekuasaan Negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau
rekomendasi yang datang dari pihak ekstra yudisial kecuali dalam hal yang diizinkan undang-
undang.”
c. Asas Ketuhanan
Peradilan agama dalam menerapkan hukumnya selalu berpedoman pada sumber hokum
Agama Islam, sehingga pembuatan putusan ataupun penetapan harus dimulai dengan kalimat
Basmalah yang diikuti dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa.”
d. Asas Fleksibelitas
Pemeriksaan perkara di lingkungan peradilan agama harus dilakukan dengan sederhana,
cepat, dan biaya ringan. Adapun asas ini diatur dalam pasal 57 (3) UU Nomor 7 Tahun 1989
yang tidak diubah dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama jo
pasal 4 (2) dan pasal 5 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Untuk itu,
pengadilan agama wajib membantu kedua pihak berperkara dan berusaha menjelaskan dan
mengatasi segala hambatan yang dihadapi para pihak tersebut.
Yang dimaksud sederhana adalah acara yang jelas, mudah difahami dan tidak berbelit-belit
serta tidak terjebak pada formalitas-formalitas yang tidak penting dalam persidangan.Sebab
apabila terjebak pada formalitas-formalitas yang berbelit-belit memungkinkan timbulnya
berbagai penafsiran.
Cepat yang dimaksud adalah dalam melakukan pemeriksaan hakim harus cerdas dalam
menginventaris persoalan yang diajukan dan mengidentifikasikan persolan tersebut
untuk kemudian mengambil intisari pokok persoalan yang selanjutnya digali lebih dalam
melalui alat-alat bukti yang ada. Apabila segala sesuatunya sudah diketahui majelis hakim, maka
tidak ada cara lain kecuali majelis hakim harus secepatnya mangambil putusan untuk dibacakan
dimuka persidangan yang terbuka untuk umum. Biaya ringan yang dimaksud adalah harus
diperhitungkan secara logis, rinci dan transparan, serta menghilangkan biaya-biaya lain di luar
kepentingan para pihak dalam berperkara.Sebab tingginya biaya perkara menyebabkan para
pencari keadilan bersikap apriori terhadap keberadaan pengadilan.
f. Asas Legalitas
Peradilan agama mengadili menurut hokum dengan tidak membeda-bedakan orang. Asas ini
diatur dalam pasal 3 (2), pasal 5 (2), pasl 6 (1) UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman jo. Pasal 2 UU No.3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.Pada asasnya Pengadilan
Agama mengadili menurut hukum agama Islam dengan tidak membeda-bedakan orang, sehingga
hak asasi yang berkenaan dengan persamaan hak dan derajat setiap orang di muka persidangan
Pengadilan Agama tidak terabaikan.Asas legalitas dapat dimaknai sebagai hak perlindungan
hukum dan sekaligus sebagai hak persamaan hokum.Untuk itu semua tindakan yang dilakukan
dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan harus berdasar atas hokum, mulai
dari tindakan pemanggilan, penyitan, pemeriksaan di persidangan, putusan yang dijatuhkan dan
eksekusi putusan, semuanya harus berdasar atas hukum.Tidak boleh menurut atau atas dasar
selera hakim, tapi harus menurut kehendak dan kemauan hukum.
Ketentuan yang melekat pada UU No. 3 Tahun 2006 Tentang asas personalitas ke-islaman
adalah :
1. Para pihak yang bersengketa harus sama-sama beragama Islam.
2. Perkara perdata yang disengketakan mengenai perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf,
zakat, infaq, shodaqoh, dan ekonomi syari‟ah.
3. Hubungan hukum yang melandasi berdsarkan hukum islam, oleh karena itu acara
penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam.
1. Persamaan hak dan derajat dalam proses pemeriksaan persidangan pengadilan atau “equal
before the law”.
2. Hak perlindungan yang sama oleh hukum atau “equal protection on the law”
3. Mendapat hak perlakuan yang sama di bawah hukum atau “equal justice under the law”.
1) Perkawinan.
2) Waris.
3) Wasiat.
4) Hibah.
5) Wakaf.
6) Zakat.
7) Infaq.
8) Shadaqoh.
9) Ekonomi Syari‟ah.
(Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang-
ndang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama).
1. Memberikan pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah apabila
diminta. (Pasal 52 ayat (1) Undang-undang No. 7/1989.
2. Menyelesaikan permohonan pertolongan pembagian harta peninggalan di luar sengketa antara
orang-orang Islam. (Pasal 107 ayat (2) Undang-undang No. 7/1989). Hal ini sudah jarang
dilakukan karena Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 telah mengatur dibolehkannya
penetapan ahli waris dalam perkara volunteer.
3. Memberikan isbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan tahun hijriyah (Pasal 52 A
UU No.3 Tahun 2006).
4. Melaksanakan tugas lainnya seperti pelayanan riset/penelitian dan tugas-tugas lainnya2
2
R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta1980 h.13
d. Menaksir biaya perkara sebagaimana ditetapkan dalam pasal 121 HIR atau pasal 145 RBG yang
kemudian dinyatakan dalam SKUM.
e. Memberikan penjelasan-penjelasan yang diangap perlu berkenaan dengan perkara yang diajukan
sesuai dengan Surat Ketua Muda Mahkamah Agung RI Urusan lingkungan Peradilan Agama
tanggal 11 Januari 1994, Nomor: MA/Kumdil/012/I/K/1994.
a. Tahap sidang pertama. Tahap ini terdiri dari: (1) hakim membuka sidang,(2) hakim menanyakan
identitas para pihak , (3) pembacaan surat gugatan atau permohonan oleh penggugat /
pemohonan, dan (4) anjuran untuk berdamai.
b. Tahap jawab-berjawab (replik-duplik). Setelah pembacaan gugatan/permohonan, kemudian
upaya damai tidak berhasil, ketua majelis akan bertanya kepada tergugat atau termohon, apakah
ia akan menjawab lisan atau tertulis. Jika akan menjawab tertulis, maka ditanyakan kembali,
apakah sudah siap. Jika belim siap, kapan tergugat / termohon memiliki kesiapan. Sejak saat itu,
masuklah pada proses jawab-menjawab, baik antara pihak, maupun antara hakim dengan para
pihak.
c. Tahap pembuktian. Tahap pembuktian dimulai setelah tidak ada lagi yang akan dipertanyakan
oleh hakim. Setelah itu, hakim memeriksa bukti-bukti yang diajukan pihak berperkara.
d. Tahap penyusunan konklusi, setelah tahap pembuktian berakhir, sebelum majelis
bermusyawarah, pihak-pihak diperbolehkan mengajukan konklusi (kesimpulan-kesimpulan dari
sidang-sidang menurut pihak yang bersangkutan). Karena konklusi ini sifatnya untuk membantu
majelis, pada umumnya hal ini tidak diperlukan bagi perkara-perkara yang ringan, sehingga
hakim boleh meniadakannya.
e. Musyawarah Majelis Hakim. Musyawarah hakim dilakukan secara rahasia, tertutup untuk
umum. Semua pihak maupun hadirin disuruh meninggalkan ruangan sidang. Panitera sidang
sendiri, kehadirannya dalam musyawarah majelis adalah atas izin majelis. keputusan sidang
musyawarah majelis ditandatangani oleh semua hakim tanpa panitera. Ini merupakan lampiran
Berita Acara Sidang yang nanti akan dituangkan kedalam dictum keputusan.3
f. Pengucapan Keputusan, pengucapan keputusan selalu dilakukan dalam sidang terbuka untuk
umum. Selesai keputusan diucapkan, ketua majelis akan bertanya kepada pihak penggugat atau
tergugat, apakah menerima keputusan tersebut atau tidak. Bagi pihak yang menyatakan
menerima, maka baginya tertutup upaya untuk melakukan banding. Sedangkan bagi pihak yang
menyatakan tidak menerima atau pikir-pikir dulu, melakukan upaya untuk banding.
Pengecualian yang disebutkan di atas dapat dilihat dari dua kategori. Kategori pertama
perkara yang bersifat financial sebagaimana diatur dalam pasal 49 huruf I Undang-Undang
Nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan Atas undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
3
Asasriwarmi, Peradilan Agama di Indonesia, (Padang: Hayfa Press,2008), hal. 91
4
Abdullah Tri Wahyudi,Hukum Acara Peradilan Agama,Mandar Maju,Bandung,hlm 196
Peradilan Agama mengenai Ekonomi Syariah, maka perkara yang diajukan banding mengacu
kepada nilai standar obyek terperkara sebagaimana diatur dalam Pasal 6 undang-Undang Nomor
20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulang di jawa dan Madura, yaitu tidak boleh kurang dari
seratus rupiah. Kategori kedua adalah bahwa perkara yang dapat diajukan banding adalah
perkara Contensiosa, buka voluntair.Jadi, keputusan Pengadilan Agama atas perkara voluntair
yang diformulasikan dalam bentuk penetapan tidak dapat diajukan banding.
c. Syarat-syarat banding
Syarat-syarat banding adalah:
Apabila berkas perkara belum dikirimkan kepada Pengadilan Tinggi Agama, maka:
1) Bagi pencabutan banding disampaikan melalui Pengadilan Agama yang bersangkutan atau
langsung ke Pengadilan Tinggi Agama.
2) Apabila pencabutan itu disampaikan melalui pengadilan Agama, maka pencabutan itu segera
dikirim ke Pengadilan Tingi Agama.
3) Apabila permohonan banding belum diputus maka Pengadilan Tinggi Agama akan
mengeluarkan “penetapan” yang isinya, bahwa mengabulkan pencabutan kembali permohonan
banding dan memerintahkan untuk mencoret dari daftar perkara banding.
4) Apabila perkara telah diputus maka pencabutan tidak mungkin dikabulkan.
5) Apabila permohonan banding dicabut, maka putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap
sejak pencabutan dikabulkan dengan “penetapan” tersebut.
6) Pencabutan banding tidak diperlukan persetujuan pihak lawan.
2. KASASI
a. Pengertian Upaya hukum Kasasi
Menurut Andi Hamzah Kasasi berasal dari casser (Prancis) yang artinya
memecah,kemudian menjadi lembaga yang berarti pembatalan ; Pernyataan tidak berlakunya
keputusan hakim oleh mahkamah agung demi kesatuan peradilan.
Kasasi adalah suaru permohonan pemeriksaan tentang sudah/tidak penerapan hokum yang
dilakukan pengadilan bawahan dalam dijatuhkan putusan.5
5
Abdullah Tri Wahyudi,Hukum Acara Peradilan Agama,Mandar Maju,Bandung,hlm 198
b. Dasar Hukum Kasasi
Dasar hukum kasasi adalah pasal 22 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
kekuasaan Kehakiman dinyatakan, bahwa terhadap putusan Pengadilan dalam tingkat banding
dapat dimntkan kasasi ke Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali
undang-udang menentukan lain. Dalam pasal 43 Undamg-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang
mahkamah Agung dinyatakan, bahwa permohonan kasasi dapat diajukan hanya jika pemohon
terhadap perkaranya telah upya hukum banding, Karena lain oleh undang-undang.
c. Syarat-syarat Kasasi
Syarat-syarat untuk mengajukan kasasi ialah:
Pencabutan disampaikan kepada Pengadilan Agama yang bersangkutan, baik secara tertulis
maupun lisan.Kemudian oleh panitera dibuatkan Akta Pencabutan kemudian permohonan
kasasi.Pemohon tidak dapat lagi mengajukan permohonan kasasi dalam perkara itu meski pun
tenggang waktu kasasi belum lampau.Dan berkas itu tidak perlu diteruskan ke Mahkamah
Agung.
3) Apabila permohonan kasasi permohonan kasasi dicabut maka tidak bolehdiajukan lagi
permohonan kasasi baru.
4) Apabila permohonan kasasi telah dicabut maka putusan yang dimintkan kasasi yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap terghitung sejak tanggal dibuatkan akta pencabutan kasasi
atau dikeluarkanya “penetapan” pencabutan kasasi.
3. PENINJAUAN KEMBALI
a. Pengertian Peninjauan kembali
Peninjauan kembali atau request civiel yaitu memeriksa dan mengadili atau memutus
kembali putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan tetap karena diketahui terdapat hal-
hal baru yang dulu tidak dapat diketahui, yang apabila terungkap maka keputusan hakim akan
menjadi lain. 6
6
Mertokusumo,Sudikno,Hukum Acara Perdata di Indonesia, Yogyakarta : Cahaya Atma Pustaka,2010
b. Dasar Hukum peninjauan kembali
Peninjauan kembali hanya dapat dilakukan oleh Mahkamah agung.Peninjauan kembali diatur
dalam Undang-undang No14 Tahun 1985 tentahg mahkamah Agung.Apablia terdapat hal-hal
atau keadaaan-keadaan yang ditentukan undang-undang, terhadap putusan pengadilan yang telah
memperolah kekuatan hukum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada mahkamah
Agung, dalam perkara perdata dan pidana, oleh pihak-pihak yang berkepentingan (Pasal 21 UU
No.14/11970).
1) Diajukan oleh pihak yang berperkara, ahli warisnya, ataui wakilnya yang secara khusus diberi
kuasa untuk itu
2) Putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap
3) Membuat permohonan peninjauan kembali yang memuatalasan-alasannya.
4) Diajukan oleh pemohon kepada Mahkamah Agung melalui ketua pengadilan Agama yang
memutus perkara dalam tenggang waktu 180 hari (atau sesuai alasan yang disebutkan).
5) Membayar uang panjar (uang muka) biaya peninjauan kembali
1) Permohonan diajukan oleh pemohon (ahli warisnya atau wakilnya) kepada Mahkamah Agung
yang memutus perkara dalam tingkat pertama (pasal 70 ayat (1) UU No.14 Tahun 1985 ).
2) Permohonan diajukan oleh pemohon secara tertulis dengan menyebutkan dengan menyebutkan
sejelas-jelasnya alasan yang dijadikan dasar permohonan.
3) Apabila pemohon tidak dapat menulis maka ia menguraikan permohonannya secara lisan
dihadapan Ketua pengadilan Agama yang memutus perkara dalam tingkat pertama atau hakin
yang ditunjuk oleh ketua pangadilan yang akan membuat catatan tentang permohonan tersebut
(pasal 71 UU No.14 Tahun 1985).
4) Mahkamah Agung memeriksa dan memutus dengan sekurang-sekurangnya dengan tiga orang
hakim (pasal 40 ayat (1) UU No.14 tahun 1985).
5) Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya satu kali (pasal 66 ayat (1) UU No.14
Tahun 1985).
6) Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menantikan pelaksaan putusan
(pasal 66 ayat (2) UU No.14 Tahun 1985).
7) Mahkamah Agung berwenang memerintahkan Pengadilan Agama yang memeriksa perkara
dalam tingkat pertama atau tingkat pertama atau Pengadilan Tinggi (tingkat banding)
mengadakan pemeriksaan tambahan, atau meminta segala hal keterangan serta pertimbangan dari
pengadilan yang dimaksud (pasal 73 ayat (1) UU No.14 Tahun 1985).
8) Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut selama belum diputus.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kita sebagai mahasiswa/i jurusan HUkum Ekonomi Syariah, hendaknya mengetahui apa saja
dan bagaimana cara berperkara di Pengadilan. Diharapkan tulisan ini menambah wawasan kita.
Peradilan agama adalah sebutan (literatur) resmi bagi salah satu diantara empat lingkungan
peradilan negara atau kekuasaan kehakiman yg sah di indonesia untuk di jadikan sebuah
kelembagaan hukum dalam proses keadilan bagi seluruh rakyat dindonesia yg tertuang dalam
pancasila dasar, Peradilan agama adalah salah satu diantara peradilan khusus di indonesia, dua
peradilan khsusus lainnya adalah peradilan militer dan peradilan tata usaha negara. Dikatakan
peradilan khusus karena peradilan agama mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai
golongan rakyat tertentu dan pemakalah dapat menyimpulokan mengenai tata cara berperkara yg
baik di pengadilan baik peradilan khusus ataupun peradilan umum.
B. Saran
Makalah yang jauh dari kesempurnaan ini diharapkan dapat membantu proses menuntut ilmu
kita di sini. Mohon kritik dan sarannya agar makalah ini dapat diluruskan jika mengandung kata-
kata yang tidak pas dalam penulisannya.
DAFTAR PUSTAKA
Roihan A. Rasyid, „‟Hukum Acara Peradilan Agama‟‟ , PT. Rajawali Pres, Jakarta, 1991,
R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta1980.
Mertokusumo,Sudikno,Hukum Acara Perdata di Indonesia, Yogyakarta : Cahaya Atma Pustaka,2010
Abdullah Tri Wahyudi,Hukum Acara Peradilan Agama,Mandar Maju,Bandung
Asasriwarmi, Peradilan Agama di Indonesia, Padang,Hayfa Press,2008.