Oleh:
NI PUTU KOMPIANG RATNA DEWI
135010107111091
1
Mazhab Sejarah Hukum, https://sites.google.com/a/unida.ac.id/gelardwi/pengantar-ilmu-
hukum/mazhab-sejarah-hu, diakses pada 11 November 2016
2
Otje Salman, Ikhtisar Filsafat Hukum, Armico, Bandung, 1987, hlm 15
3
Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm 59
tempat yang terhormat bagi hukum rakyat Jerman yang asli di negara Jerman
sendiri.
Reaksi Von Savigny terhadap pernyataan Thibaut dilatar belakangi oleh
keinginan Savigny agar hukum Jerman-lah yang berkembang menjadi hukum
nasional Jerman. Tantangan von Savigny terhadap kodifikasi Perancis itu telah
menyebabkan hampir satu abad lamanya Jerman tidak memiliki kodifikasi
hukum perdata. Pengaruh pandangan von Savigny juga terasa sampai jauh ke
luar batas negeri Jerman.
Hal-hal yang juga melatarbelakngi lahirnya mazhab hukum sejarah
adalah:
1. Adanya rasionalisme abad 18 yang didasarkan atas hukum alam,
kekuatan akal, dan prinsip-prinsip yang semuanya berperan pada
filsafat hukum, karena mengandalakan jalan pikiran deduktif tanpa
memerhatikan fakta sejarah, kekhususan dan kondisi nasional.
2. Semangat Revolusi Perancis yang menentang wewenang tradisi
dengan misi cosmopolitan (kepercayaan kepada rasio dan kekuatan
tekad manusia untuk mengatasi lingkungannya).
3. Adanya pendapat yang melarang hakim untuk melakukan penafsiran
hukum, karena UU sejatinya dianggap mampu mengatasi semua
permasalahan hukum.
4. Kodifikasi hukum di Jerman yang diusulkan oleh Thibaut, seorang
guru besar Heidelberg: Hukum tidak tumbuh dari sejarah.
4
I Dewa Gede Atmaja, Filsafat Hukum (Dimensi Tematis dan Historis), Setara Press, Malang,
2013, hlm 146
5
Muhammad Naufal Arfiyanto, dkk, Anotasi Pemikiran Hukum (Dalam Perspektif Filsafat
Hukum), UB Press, Malang, 2014, hlm 162
pada taraf yang rendah, hukum timbul secara spontan tanpa menyadari
keberadaanya sebagai jiwa bangsa. Kemudian setelah kebudayaan
semaikn berkembang, semua fungsi masyarakat dipercayakan kepada
suatu golongan tertentu. Demikianlah pengolahan hukum dipercayakan
kepada kepada kaum yuris sebagai ahli-ahli bidangnya.6 Von Savigny
pernah berkata dalam Bahasa jerman Das Recht wird nicht gemacht,
est idt und wird mitdem Volke (Hukum tidak dibuat, tetapi tumbuh dan
berkembang bersama masyarakat) kemudian lebih lanjut Savigny juga
mengatakan:
“Di dunia ini terdapat berbagai bangsa yang pada tiap-tiap bangsa
tersebut mempunyai suatu volgeist (jiwa bangsa). Jiwa ini
berbeda-beda, baik menurut waktu maupun menurut tempat.
Pencerminan dari adanya jiwa yang berbeda ini tampak pada
kebudayaan dari bangsa tadi yang berneda-beda. Ekspresi itu
tampak pula pada hukum yang sudah tentu berbeda pula pada
setiap waktu dan tempat. Oleh karena itu, tidak masuk akal jika
terdapat hukum yang berlaku universal pada semua waktu.
Hukum sangat bergantung atau bersumber pada jiwa rakyat dan
yang menjadi isi dari hukum itu ditentukan oleh pergaulan hidup
manusia dari masa ke masa (sejarah).”7
6
Ibid, hlm 163
7
Zainuddin Ali, Op.cit, hlm 60
apa yang ia temukan sebagai bahan mentah (kesadaran umum
tampaknya oleh Scholten disebut sebagai kesadaran hukum).
Perundang-undangan menyusul pada tinkat akhir; oleh karena ahli
hukum sebagai pembuat undang-undang relative lebih penting
daripada pembuat undang-undang.
c. Undang-undang tidak dapat berlaku atau diterapkan secara
universal. Setiap masyarakat mengembangkan kebiasaannya
sendiri karena mempunyai Bahasa adat-istiadat dan konstitusi
yang khas. Savigny menekankan bahwa Bahasa dan hukum adalah
sejajar juga tidak dapat diterapkan pada masyarakat lain dan
daerah-daerah lain. Volkgeist dapat dilihat dalam hukumnya oleh
karena itu sangat penting untuk mengikuti evolusi volkgeist
melalui penelitian panjang sejarah
2. Gustaf Hugo
Inti pemikiran dari Gustaf Hugo merupakan sebuah kritik atau
serangan terhadap pandangan yang perkembang di abad ke-19. Ketika
itu berkembang pandangan yang menyatakan bahwa hukum hanyalah
produk yang berasal dari legislator berupa legislasi yaitu undang-
undang. Hugo berpendapat bahwa hukum terbentuk di luar legislasi, di
semua negara khususnya di Inggris dan Romawi, kita menemukan
hukum berkembang bebas dari otoritas badan legislatif.
Hugo dalam artikelnya yang berjudul “Is Legislation the Sole
Source of Legal Rules” yang di publikasikan dalam majalah
“cicilistiches Magazin” berpendapat sebagai berikut:
“The positive law of a people is part of its language. We may say
the same of all science, that it is only a well made language.
Mathematics, eve is no exception”. In this way positive law can
shape itself independently of the legislator’s intervention.8
Dari kalimat diatas dapat disimpulkan bahwa hukum positif fari
masyarakat merupakan bagian dari Bahasa mereka. Melalui cara ini
8
I Dewa Gede Atmaja, Op.cit, hlm 145
hukum positif terbentuk dengan sendirinya bebas dan tanpa intervensi
dari para legislator atau pembentuk undang-undang.
3. George Friederich Puchta
Puchta lahir di Kadolzburg Bavaria, seorang putra dari Wolfgang
Heinrich Puchta yang merupakan penulis dan hakim distrik.. Puchta
berasal dari keluarga Bohemian Protestan yang berimigrasi ke Jerman
untuk menghindari penganiayaan agama. Pada Tahun 1811-1816 ia
menghadiri gimnasium di Nuremberg yang mengenalkan dengan
konsep Hegelianisme. Tahun 18-16 ia melanjutkan studi ke Universitas
Erlangen karena pengaruh dari sang ayah yang merupakan seorang ahli
hukum dan pengaruh dari tulisan-tulisan savigny dan Niebhur. Riwayat
karir Puchta dapat dikatakan cemerlang. Setelah dirinya mendapat
gelar doktor, ia kemudian menjadi privatdozent di Universitas
Erlangen. Kemudian pada tahun 1828 ia diangkat menjadi professor
biasa untuk bidang hukum Roawi di Munich. Tahun 1835 mengajar
hukum Romawi dan hukum gereja di Marburg. Tahun 1837 Puctha
pindah ke Lepzig dan tahun 1842 ia bergabung dengan Savigny di
berlin. Selain menjadi seorang akademisi Puchta juga pernah diangkat
menjadi anggota dewan negara dan komisi legislative pada tahun
1845.9
Mazhab sejarah ini timbul dari tahun 1798-1846. Puchta
merupakan murid dari Carl Von Savigny yang berpendapat bahwa
hukum terikat pada Jiwa bangsa yang bersangkutan dan dapat
berbentuk adat istiadat, undang-undang dan karya ilmiah para ahli
hukum. Buku Puchta yang terkenal berjudul Gewohnheitsrecht. Puchta
menyebut jiwa bangsa yang dikemukakan oleh Von Savigny sebagai
volksgeist, menurutnya hukum tumbuh dan kuat bersama-sama dengan
pertumbuhan rakyat dan dari kekuatan rakyat dan pada akhirnya ia mati
jika bangsa itu hilang kebangsaannya.10 Puchta berpendapat bahwa
hukum dapat berbentuk:
9
Ibid, hlm 164
10
Zainuddin Ali, Op.cit, hlm 60
a. Langsung, berupa adat-istiadat.
b. Melalui undang-undang.
c. Melalui ilmu hukum dalam bentuk karya para ahli hukum.
Namun ketika pembentukan hukum tersebut masih
berhubungan erat dengan jiwa bangsa (volksgeist) yang
bersangkutan.
Puchta kemudian membedakan pengertian “bangsa” menjadi dua
jenis pengertian berbeda. Pertama adalah bangsa dalam pengertian
etnis yang disebut “bangsa alam” kemudian yang kedua adalah bangsa
dalam arti nasional sebagai kesatuan organis yang membentuk suatu
negara. Bangsa yang memiliki hukum yan sah hanyalah bangsa dalam
bengertian nasional atau disebut juga negara, sementara “bangsa alam”
memilki hukum hanya sebagai sebuah keyakinan belaka.
Pucta berpendapat bahwa keyakinan hukum yang hidup dalam
jiwa bangsa harus disahkan melalui kehendak umum masyarakat yang
terorganisrir dalam sebuah negara. Negara mengesahkan hukum dalam
bentuk undang-undang. Puchta menutup mengutamakan pembentukan
hukum oleh negara sedemikian rupa, sehingga tidak ada tempat labi
bagi sumber-sember hukum lainnya. Sumber hukum lainnya yang
dimaksud dalam hal ini diantaranya praktik hukum dalam adat-istiadat
bangsa dan pengolahan ilmiah hukum oleh ahli-ahli hukum. Maka dari
itu adat-istiadat dari suatu bangsa hanya bisa berlaku sebagai hukum
setelah disahkan oleh negara dalam bentuk.
4. Henry Summer Manie
Mazhab sejarah dari Henry Summer Maine ini lahir pada tahun
1822-1888. Sumbangan Henry Summer Maien bagi studi hukum dalam
masyarakat, terutama tampak dalam penerapan metode empiris,
sistematis dan sejarah untuk menarik kesimpulan umum. Maine
mengatakan masyarakat ada yang statis dan ada yang progresip.
Masyarakat progresip adalah yang mampu mengembangkan hukum
misalnya melalui Perundang-undangan. Inti pemikiran Heneri Summer
Mine adalah:11
1. The stages in the development of the law;
2. The evolution of legal condition of individuals within society.
Kedua inti dari pemikiran Manie itu mencakup tahap perkembangan
hukum dan evolusi kedudukan hukum individu-individu di dalam
masyarakat. Perkembangan hukum menurut Manie yang dicatat oleh
M.L Marasinghe secara lebih detal kemudian dikaitkannya dengan sifat
masyarakat yang dibedakan antara negara-negara yang masyarakatnya
statis dan negara-negara yang masyarakatnya progresif. Perkembangan
hukum di negara yang memiliki masyarakat statis terdiri dari empat
fase, yakni:12
1. Fase hukum merupakan perintah personal yang berkuasa (laws by
the personal command of the sovereigh).
2. Fase hukum perintah yang terkristalisasi dalam kebiasaan (those
commands crystalllise into custom);
3. Hukum ditentukan oleh kelompok pemerintahan kecil atau elit (the
superceding of the ruler by a small clique or group);
4. Hukum lahir dari revolusi mayoritas rakyat terhadap penguasa
minoritas oligarki diikuti runtuhnya monarkhi (the revolt of
majority against the oligarchic minority followed by the overthrow
of the monarch).
Sementara pada negara-negara Dunia Ketiga yang masyarakatnya
progressive, berkembang fiksi, equitas dan legislasi, sebagian besar
instrument reformasi di bidang hukum property dan legislasi
reorganisasi peraturan di bidang ekonomi “hukum bisnis”
Ajaran Henry Maine mengenai kondisi atau kedudukan hukum
individu di dalam masyarakat dirumuskan dalam sebuah adagium,
Maine “Hukum berlku dari status ke kontrak.”
11
I Dewa Gede Atmaja, Op.cit, hlm149
12
Ibid, hlm 150
C. Inti Pemikiran Mazhab Hukum Sejarah
Berdasarkan uraian pemikiran para tokoh Mazhab Hukum sejarah
diatas, maka dapat dirumuskan inti atau pokok pemikiran dari mazhab hukum
ini sebagai berikut:
1. Mazhab hukum ini lahir sebagai bentuk penolakan atas pemikiran
aliran hukum alam atau hukum kodrat.
2. Sebagai bentuk penolakan atas pemikiran aliran positivism hukum
yang legalis.
3. Tidak mengakui hukum yang berlaku universal dan abadi.
4. Tidak menerima transplantasi atau adopsi hukum asing kedalam
hukum suatu bangsa.
5. Mengganggap hukum tidak dibentuk oleh intervensi kekuasaan
pembuat undang-undang (legislatif).
6. Memandang bahwa hukum tubuh secara bersama-sama dengan
pertumbuhan Bahasa dan kebiasaan.
7. Meletakkan jiwa bangsa (Volkgeist) sebagai sebuah sumber hukum.