Anda di halaman 1dari 4

TUGAS

TEORI DAN FILSAFAT HUKUM

RESUME TENTANG HISTORICAL LEGAL THEORY

DOSEN PENGAMPU: PROF. DR. MUSAKKIR, SH. MH

OLEH:

ANDI AHMAD NUR AGSA

B012211042

PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2021
Resume Mengenai Historical Legal Theory

Pelopor aliran historis adalah Friedrich Karl von Savigny. Pemikirannya


tentang hukum dikenal dengan Mazhab Sejarah (Historis) dan dikembangkan
dalam tulisan yang terkenal, yaitu “Von Beruf Unserer Zeit fur Gesetgebung und
Rechtswissenschaft “(tentang Tugas pada Zaman Kita Bagi Pembentuk
UndangUndang dan Ilmu Hukum). Menurut Savigny, hukum itu memilik
kemiripan dengan adanya Bahasa, keduanya berkembang secara bertahap dari
karakteristik suatu masyarakat. Hukum dan Bahasa berkembang ketika sutau
masyarakat berkembang, dan keduanya musnah ketika suatu masyarakat
kehilangan individualitasnya. Jadi menurut penganut mazhab historisme, hukum
tidak diciptakan oleh negara melainkan ditemukan dalam masyarakat dan
penganut mazhab ini jelas sangat mengagungkan masa lampau.

Penganut mazhab historis hukum ini tidak percaya pada pembuat undang-
undang, tidak percaya pada kodifikasi dan menganggap pernanan pakar hukum
lebih penting daripada pembuat undang-undang. Tulisan ini merupakan reaksi
terhadap Thibaut mengenai perlunya hukum kodifikasi di Jerman dengan dasar
hukum Perancis (Kode Napoleon). Inti ajarannya adalah “Das rechts wird nich
gemacht, est ist und wird mit dem volke”, Savigny menegaskan bahaya kodifikasi
(Curzon 1979: 154):

“…There was an organic connection between law and a people’s nature


and character as developed through history. The true “living law” is
costumary law it does not emerge from arbitrary will od a law-giver, but
from internal, silently operating forces within the community. Law is
rooted in a people’s history; the roots are fed by the coneciounsness
risness, the faith and custom of “the people”.

Hukum tidak dibuat tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat.


Dengan titik tolak bahwa di dunia ini terdapat banyak bangsa, yang masing-
masing memiliki Volkgeist (jiwa rakyat), dan berbeda baik menurut waktu
maupun tempat. Menurut Savigny, perkembangan hukum tidak semata-mata
merupakan bagian dari jiwa rakyat, melainkan juga menjadi bidang ilmu hukum.
Kekuatan untuk membentuk hukum terletak pada rakyat, yang terdiri dari
kompleksitas individu dan perkumpulanperkumpulan. Mereka mempunyai ikatan
rohani dan menjadi kesatuan bangsa dan jiwa. Hukum adalah bagian dari rohani
mereka, yang juga mempengaruhi perilaku mereka. Pembentuk undang-undang
harus mendapatkan bahannya dari rakyat dan ahli hukum dengan pertimbangan
perasaan hukum dan keadilan masyarakat.
Mazhab sejarah (Historiche Rechtschule) merupakan reaksi atas tiga hal :

1. Rasionalisme abad ke 18 (delapan belas) yang berdasarkan atas hukum


alam, kekuatan akal, dan prinsip-prinsip dasar yang semuanya berperan
pada filsafat hukum, dengan terutama mengandalkan jalan pikiran deduktif
tanpa memperhatikan fakta sejarah, kekhususan dan konsidi nasional;
2. Semangat Revolusi Perancis yang menentang wewenang tradisi dengan
misi kosmopolitannya (kepercayaan kepada rasio dan daya kekuatan tekad
manusia untuk mengatasi lingkungannya), yaitu seruannya ke segala
penjuru dunia;
3. Pendapat yang berkembang saat itu yang melarang hakim menafsirkan
hukum karena undang-undang dianggap dapat memecah semua masalah
hukum. Code Civil dinyatakan sebagai kehendak legislative dan hukum
dianggap sebagai suatu sistem hukum yang harus disimpan dengan baik
sebagai sesuatu yang suci karena berasal dari alasan-alasan yang murni.

Mazhab sejarah yang dikembangkan oleh Savigny di satu sisi memiliki


persamaan sekaligus perbedaan dengan aliran hukum alam, dan di sisi lain juga
memiliki kemiripan dengan positivisme empiris. Persamaan dengan aliran hukum
alam adalah terletak pada penyatuan antara hukum dan moral. Baik aliran hukum
alam maupun mazhab sejarah sama-sama tidak memisahkan antara hukum dan
moral. Sedangkan perbedaannya, lingkup moral menurut mazhab sejarah tidak
bersifat universal sebagaimana dalam tesis aliran hukum alam, melainkan bersifat
partikular. Keberadaan setiap hukum termasuk nilai-nilai moral adalah berbeda,
bergantung kepada tempat dan waktu berlakunya hukum. Hukum dipandang
sebagai penjelmaan dari jiwa atau rohani suatu bangsa (volksgeist). Apa yang
dianggap bermoral atau tidak bermoral berbeda antara satu bangsa dengan bangsa
lain bergantung kepada jiwa bangsa itu.

Edgar Bodenheimer dengan mengutip pemikiran Savigny mengatakan


bahwa:

“The law was not something that should be made arbitrarily and
deliberately by a lawmaker. Law was a product of “internal, silently-
operating forces”. It was deeply routed in the past of a nation, and its true
sources were popular faith, custom, and “the common consciousness of the
people”. Like the language, the constitution, and the character of a nation,
by “its national spirit” (volksgeist).
Dengan demikian, hukum harus bersumber dari kebiasan dan kesadaran
umum masyarakat. Aturan hukum yang dibuat dan diterapkan hendaknya
merupaan endapan dari jiwa hukum rakyat. Karena hanya dengan inilah, aturan itu
bisa diterapkan dan berfungsi dengan baik di masyarakat. Hukum tumbuh dan
berkembang sejalan dengan perkembangan rakyat, dan akhirnya punah dengan
berakhirnya suatu bangsa. Mazhab sejarah meyakini hukum tidak perlu dibuat
karena ia tumbuh dan berkembang mengikuti masyarakat. Organisme hukum yang
hidup ini mengejawantah dalam perilaku-perilaku sosial dalam skala makro.

Selain pemikiran mazhab historis dari Savigny banyak pemikiran mazhab historis
menurut ahli lainnya,

Aliran Mazhab Sejarah dari G. Puchta (1798-1846), dalam buku


karangannya “Gewohnheitsrecht”, Puchta adalah murid dari von Savigny yang
melanjutkan pemikiran gurunya. bahwa, hukum suatu bangsa terikat pada jiwa
bangsa (Volksgeit) yang bersangkutan, bahwa, hukum dapat berbentuk adat
istiadat, melalui undang-undang dapat juga melalui ilmu hukum dalam bentuk
karya para ahli hukum, bahwa, pengertian bangsa adalah; bangsa dalam etnis
(bangsa alam) dan bangsa dalam arti nasional sebagai kesatuan organis yang
membentuk suatu negara, bahwa, keyakinan hukum yang hidup dalam jiwa
bangsa harus disahkan melalui kehendak umum masyarakat yang terorganisasi
dalam negara, melalui undangundang,bahwa, mengutamakan pembentukan
hukum dalam negara sedemikian rupa, sehingga akhirnya tidak tepat lagi bagi
sumber-sumber hukum lainnya, bahwa, hukuk adat istiadat bangsa dan pemikiran
para juris hanya berlaku sebagai hukum sesudah disahkan oleh negara.

Aliran Mazhab Sejarah dari Sr. Henry S. Maine Sir Henry S. Maine (1822-
1888), dalam buku karangannya “Ancient Law dan Early and Custom”, Maine,
banyak dipengaruhi oleh pemikiran Savigny sehingga dianggap pelopor mazhab
sejarah, Maine, melakukan penelitian tentang studi perbandingan perkembangan
lembaga-lembaga hukum yang ada pada masyatakat sederhana dan masyarakat
yang telah maju, yang dilakukannya adalah berdasarkan pendekatan sejarah.
Kesimpulan, bahwa penelitiannya telah membuktikan adanya pola evolusi pada
berbagai masyarakat dalam situasi sejarah yang sama, sumbangan bagi studi
hukum dalam masyarakat terutama tampak pada penerapan metode empiris,
sistematis dan sejarah untuk menarik kesimpulan-kesimpulan umum.

Anda mungkin juga menyukai