Anda di halaman 1dari 8

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TRISAKTI

Kampus A Universitas Trisakti Jl. Kyai Tapa, Grogol, Jakarta 11440

Tugas Individu Pengantar Hukum Indonesia


Nama: Hafizh
NIM: 0100170012345
Dosen: Dr. Sugeng SH.

TUJUAN HUKUM
1. Mazhab Hukum Alam
Aliran atau Mazhab Hukum Alam merupakan aliran yang tertua dalam
sejarah pemikiran manusia tentang hukum. Aliran ini berpandangan
bahwa selain hukum positif (hukum yang berlaku di masyarakat) yang
merupakan buatan manusia, masih ada hukum yang lain yaitu hukum
yang berasal dari Tuhan.
Aliran Hukum Alam timbul karena kegagalan umat manusia dalam
mencari keadilan yang absolut. Menurut para penganut aliran ini, Hukum
Alam bersifat universal dan abadi, berlaku sepanjang masa dan berlaku
bagi semua bangsa. Hukum Alam dianggap lebih tinggi dari hukum yang
sengaja dibentuk oleh manusia, sehingga hukum yang berlaku di
masyarakat tidak boleh bertentangan dengan Hukum Alam.
Pendapat Thomas Aquinas berkaitan erat dengan teologia. Aquinas
berpendapat bahwa ada dua pengetahuan yang berjalan bersama-sama,
yaitu pengetahuan alamiah yang berpangkal pada akal dan pengetahuan
iman yang berpangkal pada wahyu Ilahi. Menurut Aquinas ada empat
macam hukum, yaitu:

1. Lex eterna yaitu hukum rasio Tuhan yang tidak dapat ditangkap oleh
pancaindera manusia.
2. Lex divina, adalah hukum rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh
pancaindera manusia.
3. Lex naturalis atau hukum alam, merupakan penjelmaan lex eterna ke
dalam rasio manusia.
4. Lex positivis, adalah penerapan lex naturalis dalam kehidupan manusia
di dunia.

2. Mazhab Sejarah (Historische Rechtsschule)


Mazhab Sejarah (Historische Rechtsschule) atau ada juga yang
menyebutnya Mazhab Sejarah dan Kebudayaan (Ciltuur Historich School)
merupakan salah satu aliran hukum yang timbul sebagai reaksi terhadap
tiga hal:
1. Rasionalisme abad ke-18 yang hanya mengandalkan jalan pikiran
deduktif. Jalan pemikiran pada masa itu didasarkan pada hukum
alam, kekuatan akal dan prinsip-prinsip dasar serta tidak
memperhatikan fakta sejarah, kekhususan dan kondisi nasional.
2. Semangat Revolusi Prancis yang menentang wewenang tradisi dengan
misi kosmopolitannya.
3. Pendapat yang berkembang pada masa itu dimana hakim dilarang
untuk menafsirkan hukum karena undang-undang dianggap dapat
memecahkan semua masalah hukum.

Pelopor Mazhab Sejarah adalah Friedrich Karl von Savigny yang kemudian
dikembangkan oleh Puchta dan Henry Summer Maine.

Friedrich Karl von Savigny

Mazhab Sejarah dipelopori oleh seorang ahli hukum bangsa Jerman Friedrich
Karl von Savigny. Menurut Savigny di dunia ini terdapat beragam bangsa
dimana tiap bangsa memiliki volksgeist atau jiwa bangsanya masing-masing.
Aneka ragam jiwa bangsa tersebut dapat dilihat melalui berbagai ragam
bahasa, adat istiadat dan organisasi sosial masyarakat yang dimiliki oleh tiap
bangsa. Perbedaan jiwa bangsa tersebut juga menimbulkan perbedaan
pandangan tentang keadilan.

Savigny memiliki pandangan yang bertolak belakang dengan Aliran Hukum


Alam yang memandang bahwa hukum bersifat universal dan abadi. Ia
berpendapat bahwa hukum mengalami perubahan sesuai dengan keadaan
masyarakat dari masa ke masa, sehingga tidak mungkin ada hukum yang
bisa berlaku untuk semua bangsa. Pendapat Savigny juga bertolak belakang
dengan Positivisme Hukum. Menurutnya hukum timbul bukan karena
perintah penguasa atau karena kebiasaan, tetapi karena perasaan keadilan
yang terletak di dalam jiwa bangsa. Hukum tidak dibuat, tetapi tumbuh dan
berkembang bersama masyarakat.

Ada beberapa catatan yang perlu kita ketahui mengenai pemikiran Savigny:

1. Jangan sampai kepentingan golongan masyarakat tertentu dianggap


sebagai jiwa bangsa dari seluruh masyarakat.
2. Tidak selamanya peraturan perundang-undangan timbul begitu saja.
Misalnya ketentuan mengenai serikat kerja di Inggris yang terwujud
melalui perjuangan keras.
3. Jangan sampai peran hakim dan ahli hukum lainnya tidak mendapat
perhatian. Meskipun jiwa bangsa dapat menjadi bahan kasarnya,
harus ada yang menyusunnya untuk diproses menjadi bentuk hukum.
4. Pada banyak kasus peniruan memainkan peranan yang lebih besar.
Misalnya banyak bangsa yang secara sadar mengambil alih hukum
Romawi dan mendapat pengaruh dari hukum Prancis.
Puchta

Pemikiran Savigny kemudian dikembangkan oleh muridnya Puchta. Menurut


Puchta hukum dapat terbentuk:

1. Secara langsung berupa adat istiadat.


2. Melalui undang-undang.
3. Melalui ilmu hukum dalam bentuk karya para ahli hukum.
Puchta membagi pengertian bangsa menjadi dua jenis, yaitu bangsa dalam
pengertian etnis yang disebut bangsa alam dan bangsa dalam arti nasional
yang merupakan kesatuan organis yang membentuk sebuah negara. Hukum
yang sah dimiliki oleh bangsa dalam pengertian nasional (negara), sedangkan
bangsa alam hanya memiliki hukum sebagai keyakinan. Keyakinan hukum
yang hidup dalam jiwa bangsa harus disahkan melalui kehendak umum
masyarakat. Pengesahan hukum tersebut dilakukan dengan cara
membentuk undang-undang.

Pemikiran Puchta memiliki kesamaan dengan Teori Absolutisme Negara dan


Positivisme Yuridis. Puchta berpandangan bahwa pembentukan hukum
dalam suatu negara tidak membuka peluang bagi sumber hukum selain
kekuasaan negara, seperti hukum adat dan pemikiran ahli hukum. Praktik
hukum dalam adat istiadat bangsa hanya berlaku sebagai hukum sesudah
disahkan oleh negara, demikian pula dengan buah pemikiran para ahli
hukum memerlukan pengesahan oleh negara agar dapat berlaku sebagai
hukum. Di sisi yang lain, pihak yang berkuasa dalam negara tidak
membutuhkan dukungan apapun. Ia berhak untuk membentuk undang-
undang tanpa memerlukan bantuan para ahli hukum dan tidak perlu
menghiraukan apa yang dipraktikkan sebagai adat istiadat.

3. Mazhab Sociological Jurisprudence


Sociological Jurisprudence merupakan salah satu aliran dalam filsafat
hukum. Aliran ini memandang bahwa hukum yang baik haruslah hukum
yang sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat. Aliran Sociological
Jurisprudence dengan tegas memisahkan antara hukum positif (the
positive law) dengan hukum yang hidup (the living law).
Roscoe Pound

Roscoe Pound terkenal sebagai pencetus teori hukum sebagai alat untuk
merekayasa masyarakat (law as a tool of social engineering). Pemikiran Pound
berangkat dari pemikiran tentang pengaruh timbal balik antara hukum dan
masyarakat. Menurut Pound, kepentingan-kepentingan yang harus
dilindungi oleh hukum secara sistematis dapat dibagi menjadi beberapa
golongan, yaitu:

1. Kepentingan umum (public interest), meliputi:


 Kepentingan negara sebagai badan hukum dalam memertahankan
kepribadian dan substansinya.
 Kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat.
2. Kepentingan masyarakat (social interest), yaitu:
 Kepentingan masyarakat akan keselamatan umum, seperti
keamanan, kesehatan dan kesejahteraan, serta jaminan bagi
transaksi-transaksi dan pendapatan.
 Perlindungan bagi lembaga-lembaga sosial yang meliputi
perlindungan dalam perkawinan, politik dan ekonomi.
 Pencegahan kemerosotan akhlak, seperti korupsi, perjudian,
pengumpatan terhadap Tuhan, transaksi-transaksi yang
bertentangan dengan moral atau peraturan yang membatasi
tindakan-tindakan anggota trust.
 Pencegahan pelanggaran hak (abuse of right)
 Kepentingan masyarakat dalam kemajuan umum, seperti
perlindungan hak milik, perdagangan bebas dan monopoli,
kemerdekaan industri, serta penemuan baru.
 Kepentingan masyarakat dalam kehidupan manusia secara
individual, seperti perlindungan terhadap kehidupan yang layak,
kemeredekaan berbicara dan memilih jabatan.
3. Kepentingan pribadi (private interest), terdiri dari:
 Kepentingan kepribadian (interest of personality), meliputi
perlindungan terhadap integritas (keutuhan) fisik, kemerdekaan
kehendak, reputasi (nama baik), terjaminnya rahasia-rahasia
pribadi, kemerdekaan untuk menjalankan agama yang dianutnya
dan kemerdekaan mengemukakan pendapat.
 Kepentingan dalam hubungan rumah tangga (interest of domestic),
meliputi perlindungan bagi perkawinan, tuntutan bagi
pemeliharaan keluarga dan hubungan hukum antara orang tua dan
anak-anak.
 Kepentingan substansi (interest of substance), meliputi
perlindungan terhadap harta, kemerdekaan dalam penyusunan
testamen, kemerdekaan industri dan kontrak, serta pengharapa
legal akan keuntungan-keuntungan yang diperoleh.
Penggolongan kepentingan yang dibuat oleh Roscoe Pound tersebut
menghubungkan antara prinsip hukum dengan praktik hukum, karena
penggolongan kepentingan yang dibuat oleh Pound akan membantu
menjelaskan premis-premis hukum yang dapat digunakan oleh para praktisi
hukum seperti pembentuk undang-undang, hakim, pengacara dan pengajar
hukum untuk menyadari prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang terkait dalam
tiap persoalan khusus.

4. Mazhab Positivisme Hukum (Legal Positivism)

Mazhab hukum positif menurut Hans Kelsen yang diikuti Lili Rasyidi
merupakan suatu teori tentang hukum yang senyatanya dan tidak
mempersoalkan senyatanya itu, yakni apakah senyatanya itu adil atau tidak
adil. Selain itu, dapat dikatakan bahwa hukum positif merupakan kebalikan
dari hukum alam. Sebab, mazhab ini mengidentikkan hukum dengan
undang-undang. Satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang

Ada dua corak dalam Positivisme Hukum, yaitu Aliran Hukum Positif Analitis
(Analytical Jurisprudence) yang dipelopori oleh John Austin dan Aliran
Hukum Murni (Reine Rechtslehre) yang dipelopori oleh Hans Kelsen.

Aliran Hukum Positif atau Positivisme Hukum merupakan salah satu aliran
dalam filsafat hukum. Aliran ini memandang perlu memisahkan secara tegas
antara hukum dan moral (antara hukum yang berlaku dan hukum yang
seharusnya, antara das sein dan das sollen). Positivisme Hukum sangat
mengagungkan hukum yang tertulis dan menganggap bahwa tidak ada
norma hukum di luar hukum positif. Bagi aliran ini, semua persoalan dalam
masyarakat harus diatur dalam hukum tertulis. Sikap penganut aliran ini
dilatarbelakangi oleh penghargaan yang berlebihan terhadap kekuasaan
yang menciptakan hukum tertulis, mereka menganggap kekuasaan itu
adalah sumber hukum dan kekuasaan adalah hokum.
Aliran Hukum Positif Analitis: John Austin

John Austin adalah pelopor dari Aliran Hukum Positif Analitis yang
menyatakan bahwa hukum adalah perintah dari penguasa negara. Hakikat
hukum terletak pada unsur perintah itu. Austin memandang hukum sebagai
suatu sistem yang tetap, logis dan tertutup. Hukum adalah perintah yang
mewajibkan seseorang atau beberapa orang. Ia menyatakan bahwa hukum
dan perintah lainnya berjalan dari atasan (superior) dan mengikat atau
mewajibkan bawahan (inferior). Pihak superior yang menentukan apa yang
diperbolehkan dan kekuasaan superior memaksa orang lain untuk
mentaatinya. Superior mampu memberlakukan hukum dengan cara
menakut-nakuti dan mengarahkan tingkah laku orang lain ke arah yang
diiinginkannya. Austin berpandangan bahwa hukum adalah perintah yang
memaksa, yang dapat saja bijaksana dan adil atau sebaliknya.

Austin membedakan hukum menjadi dua jenis, yaitu hukum dari Tuhan
untuk manusia dan hukum yang dibuat oleh manusia. Hukum yang dibuat
oleh manusia kemudian dibedakan lagi menjadi:

1. Hukum yang sebenarnya (hukum positif), yaitu hukum yang dibuat


oleh penguasa dan hukum yang disusun oleh manusia secara individu
untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya. Hukum
yang sebenarnya memiliki empat unsur, yaitu perintah (command),
sanksi (sanction), kewajiban (duty) dan kedaulatan (sovereignty).
2. Hukum yang tidak sebenarnya, adalah hukum yang tidak dibuat oleh
penguasa, sehingga tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum,
contohnya peraturan dari suatu organisasi olahraga.
Aliran Hukum Murni: Hans Kelsen

Penggagas Aliran Hukum Murni adalah Hans Kelsen yang berpendapat


bahwa hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir yang nonyuridis seperti
sosiologis, politis, historis dan etis. Hukum adalah suatu sollenkategorie atau
kategori keharusan/ideal, bukan seinskategorie atau kategori faktual. Lebih
lanjut Kelsen menguraikan bahwa hukum adalah suatu keharusan yang
mengatur tingkah laku manusia sebagai makhluk rasional, dalam hal ini
yang dipermasalahkan bukanlah bagaimana hukum itu seharusnya,
melainkan apa hukumnya. Meskipun hukum itu sollenkategori, namun yang
digunakan adalah hukum positif (ius constitutum), bukan hukum yang dicita-
citakan (ius constituentum).

Kelsen berpendapat bahwa hukum berurusan dengan bentuk (forma), bukan


isi (materia), sehingga keadilan sebagai isi hukum berada di luar hukum.
Hukum bisa saja tidak adil, namun hukum tetaplah hukum karena
dikeluarkan oleh penguasa. Ia juga berpendapat bahwa hukum positif pada
kenyataannya dapat saja menjadi tidak efektif lagi. Hal ini bisa disebabkan
karena kepentingan masyarakat yang diatur sudah tidak ada, sehingga
penguasa tidak akan memaksakan penerapannya.

Selain mencetuskan Teori Hukum Murni, Kelsen juga berperan dalam


mengembangkan Teori Jenjang (Stufentheorie) yang dipelopori oleh Adolf
Merkl. Teori Jenjang memandang hukum sebagai suatu sistem yang terdiri
dari susunan norma berbentuk piramida. Norma yang lebih rendah
memperoleh kekuatannya dari suatu norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi
suatu norma, akan semakin abstrak sifatnya, demikian pula sebaliknya,
semakin rendah kedudukan suatu norma, akan semakin konkret norma
tersebut. Norma yang paling tinggi dan berada di puncak piramida disebut
norma dasar (grundnorm atau ursprungnorm).

Teori Jenjang tersebut kemudian dikembangkan lagi oleh Hans Nawiasky


yang mengkhususkan pembahasannya pada norma hukum saja. Nawiasky
mengartikan hukum identik dengan peraturan yang dikeluarkan oleh
penguasa (perundang-undangan). Teori ini disebut die Lehre von dem
Stufenaufbau der Rechtsordnung. Sistem hukum di Indonesia pada dasarnya
menganut teori yang dikembangkan oleh Hans Kelsen dan Hans Nawiasky
tersebut.

Anda mungkin juga menyukai