Anda di halaman 1dari 14

MAZHAB-MAZHAB HUKUM: BERBAGAI ALIRAN HUKUM

Tugas Materi ini disusun dan diajukan untuk memenuhi tugas kelompok

Pada mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum

Dosen Mata Kuliah : Dr.H.Z.Wadjo,SH.,MH

Disusun oleh Kelompok 6:

1. Arius Agustinus Watruty (202291019)


2. Lavenia Ivoni Lekon (202291031)
3. Desi Waitau
4. Befi Balsala
5.Kinan

PROGRAM STUDI DILUAR KAMPUS UTAMA ( PSDKU )


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PATTIMURA
KABUPATEN KEPULAUAN ARU
2022
Mazhab-Mazhab Hukum: Berbagai Aliran Hukum

Mazhab-mazhab hukum sering juga disebut aliran-aliran hukum. Dengan mempelajari


mazhab-mazhab hukum kita dapat mengetahui pendapat para ahli hukum dari berbagai aliran
hukum yang berusaha untuk menjawab pertanyaan “dari manakah asal hukum itu, mengapa
hukum ditaati orang dan mengapa kita harus tunduk pada hukum?”

Harus diakui bahwa hukum adalah sesuatu yang sangat kompleks karena ada begitu
banyak mazhab atau aliran yang berbeda-beda. Setiap aliran menjabarkan pemikiran-pemikiran
para ahli hukum sesuai dengan zamannya masing-masing. Suatu pemikiran bisa jadi sudah tidak
sesuai dengan perkembangan zaman, namun pemikiran yang lama tersebut tetap menjadi buah
karya yang berharga untuk dikaji ulang terus menerus dan boleh jadi suatu saat nanti pemikiran
tersebut akan kembali hadir dalam suatu bentuk yang baru.

Mazhab-mazhab atau aliran-aliran hukum meliputi:

a. Aliran Hukum Alam,


b. Positivisme Hukum,
c. Utilitarianisme,
d. Mazhab Sejarah,
e. Sociological Jurisprudence,
f. Realisme Hukum,
g. Freirechtslehre.

A. Aliran Hukum Alam


Hukum Alam Menurut KBBI adalah : Ketentuan menurut kodrat alam.
Aliran Hukum Alam berpendapat bahwa selain hukum positif yang merupakan buatan
manusia, masih ada hukum yang lain, yaitu hukum yang berasal dari Tuhan. Hukum yang
berasal dari Tuhan itulah yang dikenal sebagai Hukum Alam. Hukum positif yang
berlaku di masyarakat tidak boleh bertentangan dengan Hukum Alam, karena hukum
yang berasal dari Tuhan dianggap lebih tinggi dari hukum yang dibentuk oleh manusia.

Hukum Alam bersifat universal dan abadi, sehingga Hukum Alam tersebut
berlaku sepanjang masa serta berlaku bagi semua bangsa. Berdasarkan sumbernya Aliran
Hukum Alam dibedakan menjadi dua macam, yaitu Aliran Hukum Alam Irasional dan
Aliran Hukum Alam Rasional. Aliran Hukum Alam Irasional memiliki pendapat bahwa
hukum yang berlaku universal dan abadi itu bersumber langsung dari Tuhan, sedangkan
para penganut Airan Hukum Alam Rasional berpendapat bahwa hukum yang universal
dan abadi itu bersumber dari rasio manusia.

Aliran Hukum Alam merupakan salah satu aliran dalam filsafat hukum. Aliran ini
telah berkembang sejak 2.500 tahun yang lalu. Aliran atau Mazhab Hukum Alam
merupakan aliran yang tertua dalam sejarah pemikiran manusia tentang hukum. Aliran ini
berpandangan bahwa selain hukum positif (hukum yang berlaku di masyarakat) yang

2
merupakan buatan manusia, masih ada hukum yang lain yaitu hukum yang berasal dari
Tuhan. Hukum adalah hukum yang berasal dari Tuhan.
Aliran Hukum Alam timbul karena kegagalan umat manusia dalam mencari keadilan
yang absolut. Menurut para penganut aliran ini, Hukum Alam bersifat universal dan
abadi, berlaku sepanjang masa dan berlaku bagi semua bangsa. Hukum Alam dianggap
lebih tinggi dari hukum yang sengaja dibentuk oleh manusia, sehingga hukum yang
berlaku di masyarakat tidak boleh bertentangan dengan Hukum Alam.

Mazhab Hukum Alam menurut W Friedmann memiliki beberapa peran penting, yaitu:

1. Sebagai instrumen utama dalam mengubah hukum sipil kuno pada zaman Romawi
ke suatu sistem yang luas dan kosmopolitan.
2. Digunakan sebagai sasaran untuk menyelesaikan pertikaian antara pihak gereja dan
para kaisar di Jerman pada Abad Pertengahan.
3. Sebagai latar belakang pemikiran untuk mendukung berlakunya hukum
internasional dan menuntut kebebasan individu terhadap absolutisme.
4. Prinsip-prinsip hukum alam juga digunakan oleh para hakim Amerika Serikat untuk
menahan usaha-usaha legislatif untuk mengubah dan memperketat kebebasan
individu dengan cara menafsirkan konstitusi.

a. Aliran Hukum Alam Irasional

Pakar hukum yang menganut Aliran Hukum Alam Irasional berpandangan bahwa
hukum yang berlaku universal dan abadi secara langsung bersumber dari Tuhan.
Beberapa pendukung Aliran Hukum Alam Irasional antara lain Thomas Aquinas,
John Salisbury, Dante Alighieri, Piere Dubois, Marsilius Padua, William Occam,
John Wycliffe dan Johannes Huss.

Thomas Aquinas

Pendapat Thomas Aquinas berkaitan erat dengan teologia. Aquinas berpendapat


bahwa ada dua pengetahuan yang berjalan bersama-sama, yaitu pengetahuan
alamiah yang berpangkal pada akal dan pengetahuan iman yang berpangkal pada
wahyu Ilahi. Menurut Aquinas ada empat macam hukum, yaitu:

1. Lex eterna yaitu hukum rasio Tuhan yang tidak dapat ditangkap oleh
pancaindera manusia.
2. Lex divina, adalah hukum rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh
pancaindera manusia.
3. Lex naturalis atau hukum alam, merupakan penjelmaan lex eterna ke dalam
rasio manusia.
4. Lex positivis, adalah penerapan lex naturalis dalam kehidupan manusia di
dunia.

3
John Salisbury

John Salisbury merupakan seorang rohaniawan pada Abad Pertengahan. Pendapat


Salisbury dilatarbelakangi kesewenang-wenangan penguasa pada waktu itu.
Menurutnya gereja dan negara perlu bekerja sama layaknya hubungan organis
antara jiwa dan raga.

Penguasa dalam menjalankan pemerintahannya wajib memperhatikan hukum


tertulis dan tidak tertulis (hukum alam) yang mencerminkan hukum-hukum Allah.
Tugas rohaniawan adalah untuk membimbing penguasa agar tidak merugikan
rakyat, bahkan penguasa juga seharusnya menjadi abdi gereja.

b. Aliran Hukum Alam Rasional

Aliran Hukum Alam Rasional muncul setelah zaman Renaisans, yaitu era ketika
rasio manusia dipandang terlepas dari tertib ketuhanan. Aliran ini berpandangan
bahwa hukum alam muncul dari pikiran manusia sendiri tentang apa yang baik
dan buruk, yang penilaiannya diserahkan kepada kesusilaan (moral) alam.
Beberapa tokoh Aliran Hukum Alam Rasional antara lain Hugo de Groot
(Grotius), Christian Thomasius, Immanuel Kant dan Samuel von Pufendorf.

Hugo de Groot alias Grotius

Hugo de Groot atau Grotius dikenal sebagai Bapak Hukum Internasional yang
mempopulerkan konsep-konsep hukum dalam hubungan antarnegara, seperti
hukum perang dan damai, serta hukum laut. Grotius berpandangan bahwa sumber
hukum adalah rasio manusia. Karena karakteristik yang membedakan manusia
dengan makhluk lain adalah kemampuan akalnya, sehingga seluruh kehidupan
manusia harus berdasarkan pada kemampuan akal atau rasio.

Menurut Grotius Hukum Alam adalah hukum yang muncul sesuai kodrat manusia.
Hukum alam tidak mungkin dapat diubah (secara ekstrem), bahkan oleh Tuhan
sekalipun! Hukum Alam diperoleh manusia dari akalnya, tetapi Tuhanlah yang
memberikan kekuatan mengikatnya.

Samuel von Pufendorf dan Christian Thomasius

Samuel von Pufendorf merupakan penganjur pertama Hukum Alam di Jerman.


Menurut Pufendor Hukum Alam adalah aturan yang berasal dari akal pikiran yang
murni, dimana unsur naluriah manusia lebih berperan. Ketika manusia hidup
dalam masyarakat dan terjadi pertentangan antara kepentingan orang yang satu
dengan yang lainnya, maka dibuatlah perjanjian secara sukarela di antara rakyat
untuk menghentikan pertentangan tersebut. Kemudian diadakan perjanjian
berikutnya yang berupa perjanjian penaklukan oleh raja. Adanya perjanjian

4
tersebut menunjukkan bahwa tidak ada kekuasaan yang absolut. Semua kekuasaan
dibatasi oleh Tuhan, hukum alam, kebiasaan dan tujuan dari negara yang
didirikan.

Hasil pemikiran Pufendorf kemudian dilanjutkan oleh Christian Thomasius.


Thomasius berpendapat bahwa manusia hidup dengan berbagai macam naluri
yang saling bertentangan antara naluri yang satu dengan naluri yang lainnya,
sehingga diperlukan aturan-aturan yang mengikat agar ia mendapat kepastian
dalam tindakan-tindakannya, baik ke dalam maupun ke luar dirinya. Berkaitan
dengan ajaran Hukum Alam, Thomasius sampai kepada pengertian tentang
ukuran. Dalam hal ukuran tersebut berkaitan dengan batin manusia, maka itu
adalah aturan kesusilaan, sedangkan apabila berkaitan dengan tindakan-tindakan
lahiriah, maka itu merupakan aturan hukum. Apabila ingin diberlakukan, aturan
hukum tersebut harus disertai dengan paksaan dari pihak penguasa.

B. Positivisme Hukum (Aliran Hukum Positif)

Aliran Hukum Positif atau Positivisme Hukum merupakan salah satu aliran dalam
filsafat hukum. Aliran ini memandang perlu memisahkan secara tegas antara hukum dan
moral (antara hukum yang berlaku dan hukum yang seharusnya, antara das sein dan das
sollen). Positivisme Hukum sangat mengagungkan hukum yang tertulis dan menganggap
bahwa tidak ada norma hukum di luar hukum positif. Bagi aliran ini, semua persoalan dalam
masyarakat harus diatur dalam hukum tertulis. Sikap penganut aliran ini dilatarbelakangi
oleh penghargaan yang berlebihan terhadap kekuasaan yang menciptakan hukum tertulis,
mereka menganggap kekuasaan itu adalah sumber hukum dan kekuasaan adalah hukum.
Ada dua corak dalam Positivisme Hukum, yaitu Aliran Hukum Positif Analitis
(Analytical Jurisprudence) yang dipelopori oleh John Austin dan Aliran Hukum Murni
(Reine Rechtslehre) yang dipelopori oleh Hans Kelsen.
a. Aliran Hukum Positif Analitis: John Austin

John Austin adalah pelopor dari Aliran Hukum Positif Analitis yang menyatakan
bahwa hukum adalah perintah dari penguasa negara. Hakikat hukum terletak pada unsur
perintah itu. Austin memandang hukum sebagai suatu sistem yang tetap, logis dan
tertutup. Hukum adalah perintah yang mewajibkan seseorang atau beberapa orang. Ia
menyatakan bahwa hukum dan perintah lainnya berjalan dari atasan (superior) dan
mengikat atau mewajibkan bawahan (inferior). Pihak superior yang menentukan apa yang
diperbolehkan dan kekuasaan superior memaksa orang lain untuk mentaatinya. Superior
mampu memberlakukan hukum dengan cara menakut-nakuti dan mengarahkan tingkah
laku orang lain ke arah yang diiinginkannya. Austin berpandangan bahwa hukum adalah
perintah yang memaksa, yang dapat saja bijaksana dan adil atau sebaliknya.

Austin membedakan hukum menjadi dua jenis, yaitu hukum dari Tuhan untuk manusia
dan hukum yang dibuat oleh manusia. Hukum yang dibuat oleh manusia kemudian
dibedakan lagi menjadi:

5
1. Hukum yang sebenarnya (hukum positif), yaitu hukum yang dibuat oleh penguasa
dan hukum yang disusun oleh manusia secara individu untuk melaksanakan hak-
hak yang diberikan kepadanya. Hukum yang sebenarnya memiliki empat unsur,
yaitu perintah (command), sanksi (sanction), kewajiban (duty) dan kedaulatan
(sovereignty).
2. Hukum yang tidak sebenarnya, adalah hukum yang tidak dibuat oleh penguasa,
sehingga tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum, contohnya peraturan dari
suatu organisasi olahraga.

b. Aliran Hukum Murni: Hans Kelsen

Penggagas Aliran Hukum Murni adalah Hans Kelsen yang berpendapat bahwa
hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir yang nonyuridis seperti sosiologis, politis,
historis dan etis. Hukum adalah suatu sollenkategorie atau kategori keharusan/ideal,
bukan seinskategorie atau kategori faktual. Lebih lanjut Kelsen menguraikan bahwa
hukum adalah suatu keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai makhluk
rasional, dalam hal ini yang dipermasalahkan bukanlah bagaimana hukum itu seharusnya,
melainkan apa hukumnya. Meskipun hukum itu sollenkategori, namun yang digunakan
adalah hukum positif (ius constitutum), bukan hukum yang dicita-citakan (ius
constituentum).

Kelsen berpendapat bahwa hukum berurusan dengan bentuk (forma), bukan isi
(materia), sehingga keadilan sebagai isi hukum berada di luar hukum. Hukum bisa saja
tidak adil, namun hukum tetaplah hukum karena dikeluarkan oleh penguasa. Ia juga
berpendapat bahwa hukum positif pada kenyataannya dapat saja menjadi tidak efektif
lagi. Hal ini bisa disebabkan karena kepentingan masyarakat yang diatur sudah tidak ada,
sehingga penguasa tidak akan memaksakan penerapannya.

Selain mencetuskan Teori Hukum Murni, Kelsen juga berperan dalam


mengembangkan Teori Jenjang (Stufentheorie) yang dipelopori oleh Adolf Merkl. Teori
Jenjang memandang hukum sebagai suatu sistem yang terdiri dari susunan norma
berbentuk piramida. Norma yang lebih rendah memperoleh kekuatannya dari suatu norma
yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma, akan semakin abstrak sifatnya, demikian
pula sebaliknya, semakin rendah kedudukan suatu norma, akan semakin konkret norma
tersebut. Norma yang paling tinggi dan berada di puncak piramida disebut norma dasar
(grundnorm atau ursprungnorm).

Teori Jenjang tersebut kemudian dikembangkan lagi oleh Hans Nawiasky yang
mengkhususkan pembahasannya pada norma hukum saja. Nawiasky mengartikan hukum
identik dengan peraturan yang dikeluarkan oleh penguasa (perundang-undangan). Teori
ini disebut die Lehre von dem Stufenaufbau der Rechtsordnung. Sistem hukum di
Indonesia pada dasarnya menganut teori yang dikembangkan oleh Hans Kelsen dan Hans
Nawiasky tersebut.

6
C. Utilitarianisme

Utilitarianisme juga sering disebut Utilisme. Utilitarianisme adalah aliran


hukum yang menempatkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan yang
dimaksud dalam aliran ini adalah kebahagiaan (happiness). Utilitarianisme memandang
baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum bergantung pada apakah hukum itu
memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak. Kebahagiaan tersebut diupayakan
agar dapat dinikmati oleh sebanyak mungkin individu dalam masyarakat (the greatest
happiness for the greatest number of people).

Aliran Utilitarianisme sebenarnya dapat dikategorikan sebagai Positivisme Hukum karena


paham ini akan berujung pada kesimpulan bahwa tujuan hukum adalah untuk
menciptakan ketertiban di dalam masyarakat. Hukum adalah cerminan dari perintah
penguasa, bukan dari rasio semata. Beberapa tokoh pendukung aliran ini adalah Jeremy
Bentham, John Stuart Mill dan Rudolf von Jhering.

a. Jeremy Bentham

Ajaran Jeremy Bentham didasarkan pada aliran hedonistic utilitarianism.


Bentham berpendapat bahwa hukum bertugas untuk memelihara kebaikan
dan mencegah kejahatan. Pemidanaan harus bersifat spesifik untuk setiap
kejahatan. Seberapa kerasnya suatu pidana tidak boleh melebihi jumlah yang
dibutuhkan untuk mencegah dilakukannya penyerangan-penyerangan
tertentu. Pemidanaan menurut Bentham hanya bisa diterima apabila
pemidanaan tersebut mampu mencegah terjadinya kejahatan yang lebih besar.

Bentham menginginkan agar hukum dapat memberikan jaminan


kebahagiaan kepada individu, bukan langsung kepada masyarakat secara
keseluruhan. Meskipun demikian Bentham tetap mengakui bahwa
kepentingan masyarakat juga harus diperhatikan sehingga tidak terjadi
bentrokan antara kepentingan individu yang satu dengan kepentingan
individu yang lain. Oleh karena itu kepentingan individu dalam mengejar
kebahagiaan yang sebesar-besarnya perlu dibatasi agar tidak terjadi apa yang
disebut homo homini lupus atau manusia menjadi serigala bagi manusia yang
lain.

Untuk menciptakan keseimbangan antara kepentingan individu dengan


kepentingan masyarakat, Bentham berpendapat bahwa diperlukan simpati
dari tiap-tiap individu. Walaupun demikian titik berat perhatian tersebut harus
tetap pada kepentingan individu karena ketika setiap individu telah
memperoleh kebahagiaannya, maka dengan sendirinya kesejahteraan atau
kebahagiaan masyakarat akan tercipta secara simultan.

7
Friedmann berpendapat bahwa pemikiran Bentham memiliki dua
kekurangan. Kekurangan yang pertama adalah Bentham tidak melihat
individu sebagai suatu keseluruhan yang kompleks. Ia hanya memandang
secara abstrak dan doktriner sehingga Bentham terlalu melebih-lebihkan
kekuasaan pembuat undang-undang dan meremehkan perlunya individualisasi
kebijakan serta keluwesan dalam penerapan hukum. Kelemahan pemikiran
Bentham yang kedua adalah ia tidak mampu menjelaskan konsepsinya sendiri
mengenai keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan
masyarakat.

b. John Stuart Mill

Pemikiran John Stuart Mill sangat dipengaruhi oleh pemikiran Positivisme


dari Auguste Comte, namun Mill tidak setuju dengan Comte yang
berpendapat bahwa psikologi bukanlah ilmu. Pemikiran Mill banyak
dipengaruhi oleh pertimbangan psikologis. Ia menyatakan bahwa tujuan
manusia adalah kebahagiaan, dimana kebahagiaan tersebut diperoleh melalui
hal-hal yang membangkitkan nafsu manusia. Sehingga apa yang ingin dicapai
oleh manusia bukanlah benda atau sesuatu hal tertentu, tetapi kebahagiaan
yang dapat ditimbulkannya.

Mill memandang psikologi sebagai ilmu yang paling fundamental. Melalui


psikologi kita dapat mempelajari penginderaan-pengindraan (sensations) dan
cara susunannya. Susunan penginderaan tersebut terjadi menurut asosiasi,
dalam hal inilah psikologi berperan untuk memperlihatkan bagaimana
asosiasi antara penginderaan yang satu dengan penginderaan yang lain
diadakan menurut hukum-hukum yang tetap. Itulah sebabnya Mill
berpendapat bahwa psikologi adalah dasar bagi semua ilmu lain, termasuk
logika.

Mill berperan penting dalam menyelidiki hubungan antara keadilan,


kegunaan, kepentingan individu dan kepentingan umum. Ia menganalisis
hubungan antara kegunaan dan keadilan. Pada intinya perasaan individu
mengenai keadilan akan membuat individu tersebut menyesal dan ingin
membalas dendam kepada hal-hal yang tidak menyenangkannya. Rasa sesal
dan keinginannya tersebut dapat diperbaiki dengan perasaan sosial. Sehingga
orang-orang yang baik akan menyesalkan tindakannya yang tidak baik
terhadap masyarakat, meskipun hal itu tidak berkaitan dengan dirinya sendiri.
Orang-orang yang baik juga tidak akan menyesalkan perbuatan tidak baik
terhadap dirinya, sekalipun hal tersebut menimbulkan rasa sakit, kecuali
apabila masyarakat bermaksud menindasnya. Hal inilah yang digambarkan
sebagai ungkapan dari rasa adil.

8
D. Mazhab Sejarah

Mazhab Sejarah (Historische Rechtsschule) atau ada juga yang menyebutnya


Mazhab Sejarah dan Kebudayaan (Ciltuur Historich School) merupakan salah satu aliran
hukum yang timbul sebagai reaksi terhadap tiga hal:

1. Rasionalisme abad ke-18 yang hanya mengandalkan jalan pikiran deduktif. Jalan
pemikiran pada masa itu didasarkan pada hukum alam, kekuatan akal dan prinsip-
prinsip dasar serta tidak memperhatikan fakta sejarah, kekhususan dan kondisi
nasional.
2. Semangat Revolusi Prancis yang menentang wewenang tradisi dengan misi
kosmopolitannya.
3. Pendapat yang berkembang pada masa itu dimana hakim dilarang untuk
menafsirkan hukum karena undang-undang dianggap dapat memecahkan semua
masalah hukum.
Pelopor Mazhab Sejarah adalah Friedrich Karl von Savigny yang kemudian
dikembangkan oleh Puchta dan Henry Summer Maine.

a. Friedrich Karl von Savigny

Mazhab Sejarah dipelopori oleh seorang ahli hukum bangsa Jerman


Friedrich Karl von Savigny. Menurut Savigny di dunia ini terdapat beragam
bangsa dimana tiap bangsa memiliki volksgeist atau jiwa bangsanya masing-
masing. Aneka ragam jiwa bangsa tersebut dapat dilihat melalui berbagai
ragam bahasa, adat istiadat dan organisasi sosial masyarakat yang dimiliki
oleh tiap bangsa. Perbedaan jiwa bangsa tersebut juga menimbulkan
perbedaan pandangan tentang keadilan.

Savigny memiliki pandangan yang bertolak belakang dengan Aliran Hukum


Alam yang memandang bahwa hukum bersifat universal dan abadi. Ia
berpendapat bahwa hukum mengalami perubahan sesuai dengan keadaan
masyarakat dari masa ke masa, sehingga tidak mungkin ada hukum yang bisa
berlaku untuk semua bangsa. Pendapat Savigny juga bertolak belakang
dengan Positivisme Hukum. Menurutnya hukum timbul bukan karena
perintah penguasa atau karena kebiasaan, tetapi karena perasaan keadilan
yang terletak di dalam jiwa bangsa. Hukum tidak dibuat, tetapi tumbuh dan
berkembang bersama masyarakat.

Ada beberapa catatan yang perlu kita ketahui mengenai pemikiran Savigny:

1. Jangan sampai kepentingan golongan masyarakat tertentu dianggap


sebagai jiwa bangsa dari seluruh masyarakat.
2. Tidak selamanya peraturan perundang-undangan timbul begitu saja. Misalnya
ketentuan mengenai serikat kerja di Inggris yang terwujud melalui perjuangan
keras.

9
3. Jangan sampai peran hakim dan ahli hukum lainnya tidak mendapat
perhatian. Meskipun jiwa bangsa dapat menjadi bahan kasarnya, harus ada
yang menyusunnya untuk diproses menjadi bentuk hukum.
4. Pada banyak kasus peniruan memainkan peranan yang lebih besar. Misalnya
banyak bangsa yang secara sadar mengambil alih hukum Romawi dan
mendapat pengaruh dari hukum Prancis.

b. Puchta

Pemikiran Savigny kemudian dikembangkan oleh muridnya Puchta. Menurut


Puchta hukum dapat terbentuk:

1. Secara langsung berupa adat istiadat.


2. Melalui undang-undang.
3. Melalui ilmu hukum dalam bentuk karya para ahli hukum.

Puchta membagi pengertian bangsa menjadi dua jenis, yaitu bangsa dalam
pengertian etnis yang disebut bangsa alam dan bangsa dalam arti nasional
yang merupakan kesatuan organis yang membentuk sebuah negara. Hukum
yang sah dimiliki oleh bangsa dalam pengertian nasional (negara), sedangkan
bangsa alam hanya memiliki hukum sebagai keyakinan. Keyakinan hukum
yang hidup dalam jiwa bangsa harus disahkan melalui kehendak umum
masyarakat. Pengesahan hukum tersebut dilakukan dengan cara membentuk
undang-undang.

Pemikiran Puchta memiliki kesamaan dengan Teori Absolutisme Negara


dan Positivisme Yuridis. Puchta berpandangan bahwa pembentukan hukum
dalam suatu negara tidak membuka peluang bagi sumber hukum selain
kekuasaan negara, seperti hukum adat dan pemikiran ahli hukum. Praktik
hukum dalam adat istiadat bangsa hanya berlaku sebagai hukum sesudah
disahkan oleh negara, demikian pula dengan buah pemikiran para ahli hukum
memerlukan pengesahan oleh negara agar dapat berlaku sebagai hukum. Di
sisi yang lain, pihak yang berkuasa dalam negara tidak membutuhkan
dukungan apapun. Ia berhak untuk membentuk undang-undang tanpa
memerlukan bantuan para ahli hukum dan tidak perlu menghiraukan apa yang
dipraktikkan sebagai adat istiadat.

c. Henry Summer Maine

Henry Summer Maine merupakan pelopor Mazhab Sejarah di Inggris.


Maine mengembangkan pemikiran Savigny melalui studi perbandingan
perkembangan lembaga-lembaga hukum yang ada pada masyarakat sederhana
dan masyarakat yang telah maju. Penelitiannya membuktikan adanya pola
evolusi pada berbagai masyarakat dalam situasi sejarah yang sama.

10
E. Sociological Jurisprudence

Sociological Jurisprudence merupakan salah satu aliran dalam filsafat hukum.


Aliran ini memandang bahwa hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan
hukum yang hidup di masyarakat. Aliran Sociological Jurisprudence dengan tegas
memisahkan antara hukum positif (the positive law) dengan hukum yang hidup (the living
law).

Sociological Jurisprudence timbul sebagai proses dialektika antara


aliran Positivisme Hukum (sebagai tesis) dengan Mazhab Sejarah (sebagai antitesis),
dimana Positivisme Hukum memandang tidak ada hukum selain perintah penguasa (law
is a command of lawgivers), sedangkan Mazhab Sejarah memandang bahwa hukum
timbul dan berkembang bersama dengan masyarakat. Aliran Positivisme Hukum
mengutamakan akal, sementara Mazhab Sejarah lebih mementingkan pengalaman. Dalam
hal ini Aliran Sociological Jurisprudence menganggap akal dan pengalaman sama-sama
penting.

Perbedaan Sociological Jurisprudence dan Sosiologi Hukum

Menurut Paton penggunaan istilah sociological dalam nama aliran ini kurang tepat dan
dapat menimbulkan kekacauan karena dapat menimbulkan kerancuan antara Sociological
Jurisprudence dan Sosiologi Hukum (the Sociology of Law). Paton lebih senang
menggunakan istilah Metode Fungsional, sehingga beberapa penulis juga menyebut
aliran ini dengan istilah Functional Anthropological.

Sociological Jurisprudence dan Sosiologi Hukum sebagaimana dikemukakan oleh Lily


Rasjidi memiliki beberapa perbedaan, antara lain:

1. Sociological Jurisprudence merupakan nama aliran dalam filsafat hukum, sedangkan


Sosiologi Hukum adalah cabang dari sosiologi.
2. Meskipun keduanya mempelajari objek yang berkaitan dengan pengaruh timbal balik
antara hukum dan masyarakat, namun pendekatan yang digunakan
berbeda. Sociological Jurisprudence menggunakan pendekatan hukum ke
masyarakat, sebaliknya Sosiologi Hukum menggunakan pendekatan dari masyarakat
ke hukum.
Sosiologi Hukum berupaya untuk menciptakan suatu ilmu mengenai kehidupan sosial
sebagai suatu keseluruhan. Pembahasan Sosiologi Hukum meliputi bagian terbesar dari
sosiologi dan ilmu poitik. Penyelidikan Sosiologi Hukum juga menitikberatkan pada
masyarakat dan hukum sebagai suatu manifestasi semata, sedangkan Sociological
Jurisprudence menitikberatkan pada hukum dan memandang masyarakat dalam
hubungannya dengan hukum.

Ada dua tokoh yang berperan penting dalam aliran Sociological Jurisprudence, yaitu
Eugen Ehrlich dan Roscoe Pound.

11
a. Eugen Ehrlich

Eugen Ehrlich adalah seorang ahli hukum Austria. Ia merupakan tokoh pertama
yang meninjau hukum dari sudut pandang sosiologi. Hal ini menjadikannya sebagai
pelopor aliran Sociological Jurisprudence. Menurut Ehrlich terlihat jelas adanya
perbedaan antara hukum positif dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat,
dimana hukum positif akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila selaras
dengan hukum yang hidup di masyarakat.

Pandangan Eugen Ehrlich bertolak belakang dengan pandangan para penganut


Positivisme Hukum. Ehrlich berusaha untuk membuktikan bahwa titik pusat
perkembangan hukum tidak terletak pada undang-undang, putusan hakim atau ilmu
hukum, melainkan pada masyarakat itu sendiri. Ehrlich menempatkan kebiasaan
sebagai sumber hukum yang utama.

Lebih lanjut Ehrlich berpendapat bahwa hukum tunduk pada kekuatan-kekuatan


sosial tertentu. Ketertiban dalam masyarakat didasarkan pada pengakuan sosial
terhadap hukum, bukan karena penerapannya secara resmi oleh negara. Tertib sosial
terjadi karena diterimanya hukum yang dilandasi oleh aturan dan norma sosial yang
tercermin dalam sistem hukum, sehingga pihak-pihak yang berperan untuk
mengembangkan sistem hukum harus mempunyai hubungan yang erat dengan nilai-
nilai yang dianut dalam masyarakat tersebut.

Pendapat Ehrlich memiliki kemiripan dengan pandangan von Savigny, namun


istilah yang digunakan berbeda. Ehrlich menggunakan istilah kenyataan sosial,
sedangkan Savigny menggunakan istilah volksgeist. Kenyataan-kenyataan sosial
yang anormatif menurut Ehrlich dapat menjadi normatif melalui empat cara, yaitu
kebiasaan, kekuasaan efektif, milik efektif dan pernyataan kehendak pribadi.

b. Roscoe Pound

Roscoe Pound terkenal sebagai pencetus teori hukum sebagai alat untuk
merekayasa masyarakat (law as a tool of social engineering). Pemikiran Pound
berangkat dari pemikiran tentang pengaruh timbal balik antara hukum dan
masyarakat. Menurut Pound, kepentingan-kepentingan yang harus dilindungi oleh
hukum secara sistematis dapat dibagi menjadi beberapa golongan, yaitu:

1. Kepentingan umum (public interest), meliputi:


 Kepentingan negara sebagai badan hukum dalam memertahankan
kepribadian dan substansinya.
 Kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat.
2. Kepentingan masyarakat (social interest), yaitu:
 Kepentingan masyarakat akan keselamatan umum, seperti keamanan,
kesehatan dan kesejahteraan, serta jaminan bagi transaksi-transaksi
dan pendapatan.

12
 Perlindungan bagi lembaga-lembaga sosial yang meliputi
perlindungan dalam perkawinan, politik dan ekonomi.
 Pencegahan kemerosotan akhlak, seperti korupsi, perjudian,
pengumpatan terhadap Tuhan, transaksi-transaksi yang bertentangan
dengan moral atau peraturan yang membatasi tindakan-tindakan
anggota trust.
 Pencegahan pelanggaran hak (abuse of right)
 Kepentingan masyarakat dalam kemajuan umum, seperti perlindungan
hak milik, perdagangan bebas dan monopoli, kemerdekaan industri,
serta penemuan baru.
 Kepentingan masyarakat dalam kehidupan manusia secara individual,
seperti perlindungan terhadap kehidupan yang layak, kemeredekaan
berbicara dan memilih jabatan.

3. Kepentingan pribadi (private interest), terdiri dari:


 Kepentingan kepribadian (interest of personality), meliputi
perlindungan terhadap integritas (keutuhan) fisik, kemerdekaan
kehendak, reputasi (nama baik), terjaminnya rahasia-rahasia pribadi,
kemerdekaan untuk menjalankan agama yang dianutnya dan
kemerdekaan mengemukakan pendapat.
 Kepentingan dalam hubungan rumah tangga (interest of domestic),
meliputi perlindungan bagi perkawinan, tuntutan bagi pemeliharaan
keluarga dan hubungan hukum antara orang tua dan anak-anak.
 Kepentingan substansi (interest of substance), meliputi perlindungan
terhadap harta, kemerdekaan dalam penyusunan testamen,
kemerdekaan industri dan kontrak, serta pengharapa legal akan
keuntungan-keuntungan yang diperoleh.

Penggolongan kepentingan yang dibuat oleh Roscoe Pound tersebut


menghubungkan antara prinsip hukum dengan praktik hukum, karena
penggolongan kepentingan yang dibuat oleh Pound akan membantu menjelaskan
premis-premis hukum yang dapat digunakan oleh para praktisi hukum seperti
pembentuk undang-undang, hakim, pengacara dan pengajar hukum untuk
menyadari prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang terkait dalam tiap persoalan khusus.

Roscoe Pound sebenarnya dapat digolongkan sebagai penganut


paham Utilitarianisme yang melanjutkan pemikiran Jhering dan Bentham. Hal ini
dapat disimpulkan dari pemikiran Pound yang menggunakan pendekatan terhadap
hukum sebagai jalan ke arah tujuan sosial dan sebagai alat dalam perkembangan
sosial. Di Indonesia konsep Pound dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja.

13
F. Realisme Hukum

Aliran ini sering diidentikkan dengan Pragmatic Legal Realism yang berkembang
di Amerika Serikat. Realisme Hukum memandang bahwa hukum adalah hasil dari
kekuatan-kekuatan sosial dan alat kontrol sosial. Hukum dibentuk dari kepribadian
manusia, lingkungan sosial, keadaan ekonomi, kepentingan bisnis, gagasan yang sedang
berlaku dan emosi-emosi yang umum.

Ada beberapa ciri dari Aliran Realisme Hukum, antara lain:

1. Tidak ada mazhab realis. Realisme adalah gerakan dari pemikiran dan kerja
tentang hukum.
2. Realisme mengandung konsepsi tentang masyarakat yang berubah lebih cepat
daripada hukum.
3. Realisme menganggap adanya pemisahan sementara antara hukum yang ada dan
yang seharusnya ada.
4. Realisme tidak percaya pada ketentuan-ketentuan dan konsepsi-konsepsi hukum,
sepanjang ketentuan-ketentuan dan konsepsi hukum menggambarkan apa yang
sebenarnya dilakukan oleh pengadilan dan orang-orang.
5. Realisme menekankan evolusi tiap bagian dari hukum dengan mengingatkan
akibatnya.

G. Freirechtslehre

Freirechtslehre atau Ajaran Hukum Bebas berpendapat bahwa hakim mempunyai


tugas menciptakan hukum. Penemu hukum yang bebas tugasnya bukanlah menerapkan
undang-undang, tetapi menciptakan penyelesaian yang tepat untuk peristiwa konkret,
sehingga peristiwa-peristiwa berikutnya dapat dipecahkan menurut norma yang telah
diciptakan oleh hakim.

14

Anda mungkin juga menyukai