Anda di halaman 1dari 5

Hukum Alam menurut W Friedmann memiliki beberapa peran penting, yaitu:

1. Sebagai instrumen utama dalam mengubah hukum sipil kuno pada zaman
Romawi ke suatu sistem yang luas dan kosmopolitan.
2. Digunakan sebagai sasaran untuk menyelesaikan pertikaian antara pihak
gereja dan para kaisar di Jerman pada Abad Pertengahan.
3. Sebagai latar belakang pemikiran untuk mendukung berlakunya hukum
internasional dan menuntut kebebasan individu terhadap absolutisme.
4. Prinsip-prinsip hukum alam juga digunakan oleh para hakim Amerika
Serikat untuk menahan usaha-usaha legislatif untuk mengubah dan memperketat
kebebasan individu dengan cara menafsirkan konstitusi.

Menurut sumbernya Aliran Hukum Alam dibedakan menjadi dua macam, yaitu
Irasional dan Rasional. Aliran Hukum Alam Irasional berpendapat bahwa hukum
yang berlaku universal dan abadi itu secara langsung bersumber dari Tuhan,
sedangkan Aliran Hukum Alam Rasional berpendapat bahwa sumber dari hukum
yang universal dan abadi itu adalah rasio manusia.

Aliran Hukum Alam Irasional


Pakar hukum yang menganut Aliran Hukum Alam Irasional berpandangan bahwa
hukum yang berlaku universal dan abadi secara langsung bersumber dari Tuhan.
Beberapa pendukung Aliran Hukum Alam Irasional antara lain Thomas Aquinas,
John Salisbury, Dante Alighieri, Piere Dubois, Marsilius Padua, William Occam,
John Wycliffe dan Johannes Huss.

Thomas Aquinas
Pendapat Thomas Aquinas berkaitan erat dengan teologia. Aquinas berpendapat
bahwa ada dua pengetahuan yang berjalan bersama-sama, yaitu pengetahuan
alamiah yang berpangkal pada akal dan pengetahuan iman yang berpangkal pada
wahyu Ilahi. Menurut Aquinas ada empat macam hukum, yaitu:

1. Lex eterna yaitu hukum rasio Tuhan yang tidak dapat ditangkap oleh
pancaindera manusia.
2. Lex divina, adalah hukum rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh
pancaindera manusia.
3. Lex naturalis atau hukum alam, merupakan penjelmaan lex eterna ke
dalam rasio manusia.
4. Lex positivis, adalah penerapan lex naturalis dalam kehidupan manusia di
dunia.
John Salisbury
John Salisbury merupakan seorang rohaniawan pada Abad Pertengahan. Pendapat
Salisbury dilatarbelakangi kesewenang-wenangan penguasa pada waktu itu.
Menurutnya gereja dan negara perlu bekerja sama layaknya hubungan organis
antara jiwa dan raga.

Penguasa dalam menjalankan pemerintahannya wajib memperhatikan hukum


tertulis dan tidak tertulis (hukum alam) yang mencerminkan hukum-hukum Allah.
Tugas rohaniawan adalah untuk membimbing penguasa agar tidak merugikan
rakyat, bahkan penguasa juga seharusnya menjadi abdi gereja. 

Dante Alighieri
Pendapat Dante Alighieri juga dilatarbelakangi oleh perselisihan antara penguasa
di Jerman dan Prancis dengan kekuasaan Paus di Roma. Berbeda dengan
Salisbury, dalam memberikan pendapatnya Dante lebih memihak kepada
penguasa. Ia amat menentang penyerahan kekuasaan duniawi kepada gereja.
Dante berpendapat bahwa keadilan baru dapat ditegakkan apabila pelaksanaan
hukum diserahkan kepada satu tangan saja, yaitu berupa pemerintahan yang
absolut.

Menurut Dante monarki dunia yang menjadi badan tertinggi yang berwenang
untuk memutuskan perselisihan antara penguasa yang satu dengan yang lainnya.
Badan tertinggi yang memperoleh legitimasi dari Tuhan sebagai monarki dunia ini
adalah Kekaisaran Romawi yang kemudian pada Abad Pertengahan Kekaisaran
Romawi digantikan oleh kekuasaan Jerman dan kemudian oleh Prancis di Eropa.
Adapun dasar hukum yang dijadikan pegangan adalah hukum alam yang
mencerminkan hukum-hukum Tuhan.

Piere Dubois
Piere Dubois merupakan filsuf terkemuka sekaligus pengacara raja Perancis,
sehingga dapat dikatakan bahwa pandangan-pandangannya pro penguasa. Dobuis
mendambakan suatu Kerajaan Perancis yang mahaluas, dimana Kerajaan Perancis
tersebut mampu menjadi pemerintah tunggal dunia. Hal ini kemudian
melatarbelakangi keyakinan Dubois mengenai adanya hukum yang berlaku
universal.

Dubois mengatakan bahwa raja atau penguasa dapat langsung menerima


kekuasaan dari Tuhan tanpa perlu melalui pemimpin gereja. Bahkan Dubois ingin
agar kekuasaan duniawi gereja dicabut dan diserahkan sepenuhnya kepada raja. Ia
juga berpendapat bahwa raja memiliki kekuasaan untuk membentuk undang-
undang, tetapi raja tidak terikat untuk mematuhi undang-undang tersebut.

Marsilius Padua dan William Occam


Marsilius Padua dan William Occam merupakan tokoh penting Abad 14.
Keduanya sering dibahas bersamaan karena memiliki banyak kesamaan dalam
pemikiran mereka. Menurut Padua negara berada di atas kekuasaan Paus dan
kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Pendapatnya tersebut banyak
dipengaruhi oleh pendapat Aristoteles. Padua berpendapat bahwa hukum harus
mengabdi atau memihak kepada rakyat karena tujuan negara adalah untuk
memajukan kemakmuran dan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya
kepada warga negara agar dapat mengembangkan dirinya secara bebas. 

Pemikiran Padua tergolong progresif untuk ukuran Abad Pertengahan, bahkan


Padua berpendapat bahwa rakyat berwenang untuk memilih pemerintahnya.
Rakyat juga boleh menghukum raja atau penguasa yang melanggar undang-
undang serta memberhentikan raja. Ia berpandangan bahwa kekuasaan raja
bukanlah kekuasaan yang absolut, namun dibatasi oleh undang-undang. Pendapat
Padua tersebut memiliki kesamaan dengan pendapat Rousseau.

Occam atau sering juga ditulis Ockham memiliki pemikiran yang disebut
Nominalisme. Pendapat Occam bertentangan dengan pendapat Thomas Aquinas,
dimana Aquinas meyakini kemampuan rasio manusia untuk mengungkapkan
kebenaran, sedangkan Occam berpendapat bahwa rasio manusia tidak dapat
memastikan suatu kebenaran. Menurutnya pengetahuan atau ide yang ditangkap
oleh rasio manusia hanyalah nama-nama (nome atau nominal) yang digunakan
manusia dalam hidupnya.

John Wycliffe dan Johannes Huss


John Wycliffe menyoroti masalah kekuasaan gereja. Ia menolak hak-hak paus
untuk menerima upeti dari raja Inggris. Hubungan antara kekuasaan ketuhanan
dan kekuasaan duniawi oleh Wycliffe diibaratkan sebagai hubungan antara
pemilik dan penggarap tanah. Masing-masing memiliki bagiannya sendiri dan
tidak boleh saling mencampuri. Kekuasaan pemerintahan tidak perlu melalui
perantara, yaitu rohaniawan gereja, serta kedudukan para rohaniawan dan orang
awam adalah sama derajatnya di mata Tuhan.

Wycliffe berbendapat bahwa corak pemerintahan para rohaniawan adalah corak


kepemimpinan yang paling buruk, sehingga urusan negara tidak boleh dicampuri
oleh rohaniawan. Pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang dipimpin
oleh para bangsawan. Johannes Huss melengkapi pendapat Wycliffe dengan
menyatakan bahwa gereja tidak perlu mempunyai hak milik, bahkan penguasa
boleh merampas miik itu apabila gereja salah dalam menggunakan haknya. Huss
juga berpendapat bahwa paus dan hierarki gereja tidak diadakan menurut perintah
Tuhan, melainkan dibentuk oleh semua orang yang beriman.

Aliran Hukum Alam Rasional


Aliran Hukum Alam Rasional muncul setelah zaman Renaisans, yaitu era ketika
rasio manusia dipandang terlepas dari tertib ketuhanan. Aliran ini berpandangan
bahwa hukum alam muncul dari pikiran manusia sendiri tentang apa yang baik dan
buruk, yang penilaiannya diserahkan kepada kesusilaan (moral) alam. Beberapa
tokoh Aliran Hukum Alam Rasional antara lain Hugo de Groot (Grotius),
Christian Thomasius, Immanuel Kant dan Samuel von Pufendorf.

Hugo de Groot alias Grotius


Hugo de Groot atau Grotius dikenal sebagai Bapak Hukum Internasional yang
mempopulerkan konsep-konsep hukum dalam hubungan antarnegara, seperti
hukum perang dan damai, serta hukum laut. Grotius berpandangan bahwa sumber
hukum adalah rasio manusia. Karena karakteristik yang membedakan manusia
dengan makhluk lain adalah kemampuan akalnya, sehingga seluruh kehidupan
manusia harus berdasarkan pada kemampuan akal atau rasio.

Menurut Grotius Hukum Alam adalah hukum yang muncul sesuai kodrat manusia.
Hukum alam tidak mungkin dapat diubah (secara ekstrem), bahkan oleh Tuhan
sekalipun! Hukum Alam diperoleh manusia dari akalnya, tetapi Tuhanlah yang
memberikan kekuatan mengikatnya. 

Samuel von Pufendorf dan Christian


Thomasius
Samuel von Pufendorf merupakan penganjur pertama Hukum Alam di Jerman.
Menurut Pufendor Hukum Alam adalah aturan yang berasal dari akal pikiran yang
murni, dimana unsur naluriah manusia lebih berperan. Ketika manusia hidup
dalam masyarakat dan terjadi pertentangan antara kepentingan orang yang satu
dengan yang lainnya, maka dibuatlah perjanjian secara sukarela di antara rakyat
untuk menghentikan pertentangan tersebut. Kemudian diadakan perjanjian
berikutnya yang berupa perjanjian penaklukan oleh raja. Adanya perjanjian
tersebut menunjukkan bahwa tidak ada kekuasaan yang absolut. Semua kekuasaan
dibatasi oleh Tuhan, hukum alam, kebiasaan dan tujuan dari negara yang
didirikan.

Hasil pemikiran Pufendorf kemudian dilanjutkan oleh Christian Thomasius.


Thomasius berpendapat bahwa manusia hidup dengan berbagai macam naluri
yang saling bertentangan antara naluri yang satu dengan naluri yang lainnya,
sehingga diperlukan aturan-aturan yang mengikat agar ia mendapat kepastian
dalam tindakan-tindakannya, baik ke dalam maupun ke luar dirinya. Berkaitan
dengan ajaran Hukum Alam, Thomasius sampai kepada pengertian tentang
ukuran. Dalam hal ukuran tersebut berkaitan dengan batin manusia, maka itu
adalah aturan kesusilaan, sedangkan apabila berkaitan dengan tindakan-tindakan
lahiriah, maka itu merupakan aturan hukum. Apabila ingin diberlakukan, aturan
hukum tersebut harus disertai dengan paksaan dari pihak penguasa.

Immanuel Kant
Kehidupan Immanuel Kant sebagai seorang filsuf dapat dibagi menjadi dua
periode, yaitu zaman prakritis dan zaman kritis. Pada periode prakritis Kant
menganut pendirian rasionalistis yang dipopulerkan oleh Wolff dan kawan-
kawannya. Pada periode yang kedua pemikiran Kant dipengaruhi oleh Hume dan
mulai mengubah pandangannya menjadi pandangan yang bersifat kritis. Hume
merupakan filsuf yang menganut paham empirisme, yaitu suatu aliran yang
berpendapat bahwa sumber pengetahuan manusia bukanlah rasio, melainkan
empiri atau pengalaman, dalam hal ini adalah pengalaman yang berasal dari
pengenalan indrawi.

Kritisisme adalah filasafat yang memulai perjalanannya dengan terlebih dahulu


menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio. Hal ini dilakukan dengan
menyelidiki unsur-unsur mana dalam pemikiran manusia yang berasal dari rasio
(sudah ada terlebih dulu tanpa dibantu oleh pengalaman) dan mana yang murni
berasal dari pengalaman atau empiri. Titik berat dari kritisisme ada pada rasio
murni yang berkaitan erat dengan ilmu pengetahuan.

Anda mungkin juga menyukai