C. Utilitarianisme
Utilitarianisme atau Utilisme adalah aliran yang meletakkan kemanfaatan sebagai
tujuan utama hukum. Kemanfaatan di sini diartikan sebagai kebahagiaan (happiness). Jadi
baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum bergantung kepada apakah hukum itu
memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak. Pendukung Utilitarianisme
diantaranya:
1. Jeremy Bentham (1748-1832)
Bentham berpendapat bahwa alam memberikan kebahagiaan dan kesusahan.
Manusia selalu berusaha memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi kesusahannya.
Kebaikan adalah kebahagiaan, kejahatan adlaah kesusahan. Tugas hukum adalah
memelihara kebaikan dan mencegah kejahatan. Kepentingan individu dan masyarakat perlu
diperhatikan. Untuk menyeimbangkannya diperlukan “simpati“ dari tiap-tiap individu.
2. John Stuart Mill (1806-1873)
Pemikiran Mill banyak dipengaruhi oleh pertimbangan psikologis. Ia menyatakan
bahwa tujuan manusia adalah kebahagiaan. Manusia berusaha memperoleh kebahagiaan
itu melalui hal-hal yang membangkitkan nafsunya. Jadi yang ingin dicapai manusia itu
bukanlah benda atau sesuatu hal tertentu, melainkan kebahagiaan yang dapat
ditimbulkannya. Peran Mill dalam ilmu hukum terletak dalam penyelidikannya mengenai
hubungan antara keadilan, kegunaan, kepentingan individu dan kepentingan umum.
3. Rudolf von Jhering (1818-1892)
Mula-mula von Jhering menganut Mazhab Sejarah yang dipelopori von Savigny dan
Puchta, tetapi lama-kelamaan ia melepaskan diri, bahkan menentang pandangan von
Savigny tentang hukum Romawi. Menurutnya, seperti dalam hidup sebagai perkembangan
biologis, senantiasa terdapat asimilasi dari unsur-unsur yang mempengaruhinya, demikian
pula halnya dalam bidang kebudayaan karena pergaulan intensif antarbangsa terdapat
asimilasi pandangan-pandangan dan kebiasaan-kebiasaan. Lapisan tertua hukum Romawi
adalah bersifat nasional, tetapi pada tingkat-tingkat perkembangannya yang lebih lanjut
hukum itu makin mendapat ciri-ciri universal. Inilah jalan biasa dalam suatu perkembangan
suatu sistem hukum; ciri-ciri hukum lain makin diasimilasikan dalam hukum nasional,
sehingga hukum yang pada mulanya nasional makin menjadi hukum universal.
D. Mazhab Sejarah
Mazhab Sejarah merupakan reaksi terhadap tiga hal:
1.Rasionalisme Abad ke-18 yang didasarkan atas hukum alam, kekuatan akal, dan prinsip-
prinsip dasar yang semuanya berperan pada filsafat hukum.
2.Semangat Revolusi Perancis yang menentang wewenang tradisi dengan misi
kosmopolitannya (kepercayaan pada rasio dan daya kekuatan tekad manusia untuk
mengatasi lingkungannya, yaitu seruannya ke penjuru dunia).
3.Pendapat yang berkembang saat itu yang melarang hakim menafsirkan hukum karena
undang-undang dianggap dapat memecahkan semua masalah hukum.
Di samping itu, terdapat faktor lain, yaitu masalah kodifikasi hukum Jerman setelah
berakhirnya masa Napoleon Bonaparte, yang diusulkan oleh Thibaut (1772-1840). Karena
dipengaruhi oleh keinginannya akan kesatuan negara, ia menyatakan keberatan terhadap
hukum yang tumbuh berdasarkan sejarah. Hukum itu sukar untuk diselidiki, sedangkan
jumlah sumbernya bertambah banyak sepanjang masa, sehingga hilanglah keseluruhan
gambaran darinya. Karena itulah harus diadakan perubahan yang tegas dengan jalan
penyusunan undang-undang dalam kitab. Tokoh-tokoh aliran ini adalah:
1. Friedrich Karl von Savigny (1770-1861)
Menurut Savigny, hukum timbul bukan karena perintah penguasa atau karena
kebiasaan, tetapi karena perasaan keadilan yang terletak di dalam jiwa bangsa itu. Jiwa
bangsa itulah yang menjadi sumber hukum. Pandangan Savigny ini bertentangan pula
dengan Positivisme Hukum. Ia mengingatkan bahwa untuk membangun hukum, studi
terhadap sejarah suatu bangsa mutlak diperlukan.
2. Puchta (1798-1846)
Puchta berpendapat bahwa hukum suatu bangsa terikat pada jiwa bangsa yang
bersangkutan. Hukum tersebut menurut Puchta dapat berbentuk (1) langsung berupa adat
istiadat, (2) melalui undang-undang, (3) melalui ilmu hukum dalam bentuk karya para ahli
hukum.
Menurut Puchta, keyakinan hukum yang hidup dalam jiwa bangsa harus disahkan
melalui kehendak umum masyarakat yang terorganisasi dalam negara. Negara
mengesahkan hukum itu dengan membentuk undang-undang. Puchta mengutamakan
pembentukan hukum dalam negara sedemikian rupa sehingga akhirnya tidak ada tempat
lagi bagi sumber-sumber hukum lainnya yakni praktek hukum dalam adat istiadat bangsa
dan pengolahan ilmiah hukum oleh ahli-ahli hukum.
3. Henry Summer Maine (1822-1888)
Maine dianggap sebagai pelopor Mazhab Sejarah di Inggris. Salah satu
penelitiannya yang terkenal adalah tentang studi perbandingan perkembangan lembaga-
lembaga hukum yang ada pada masyarakat sederhana dan masyarakat yang telah maju,
yang dilakukannya berdasarkan pendekatan sejarah
E.Sociological Jurisprudence
Sociological Jurisprudence berbeda dengan sosiologi hukum. Yang pertama,
Sociological Jurisprudence adalah nama aliran dalam filsafat hukum, sedangkan sosiologi
hukum adalah cabang dari sosiologi. Kedua, Socoilogical Jurisprudence menggunakan
pendekatan hukum ke masyarakat, sedangkan sosiologi hukum memilih pendekatan dari
masyarakat ke hukum.
Menurut aliran Sociological Jurisprudence ini, hukum yang baik haruslah hukum
yang sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat. Aliran ini memisahkan secara tegas
antara hukum positif dan hukum yang hidup di masyarakat (the living law).
Tokoh-tokoh aliran ini diantaranya:
1.ugen Ehrlich (1862-192
Bagi Ehrlich, tertib sosial didasarkan pada fakta diterimanya hukum yang
didasarkan pada aturan dan norma sosial yang tercermin dalam sistem hukum. Ehrlich
beranggapan bahwa mereka yang berperan sebagai pihak yang mengembangkan sistem
hukum harus mempunyai hubungan yang erat dengan nilai-nilai yang dianut dalam
masyarakat bersangkutan. Kesadaran itu harus ada dalam setiap diri profesi hukum yang
bertugas mengembangakn hukum yang hidup dan menentukan ruang lingkup hukum positif
dalam hubungannya dengan hukum yang hidup.
2. Roscoe Pound (1870-1964)
Pound terkenal dengan teorinya bahwa hukum adalah alat untuk memperbaharui
(merekayasa) masyarakat (law is a tool of social engineering). Untuk dapat memenuhi
peranannya sebagai alat tersebut, Pound lalu membuat penggolongan atas kepentingan-
kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum, diantaranya:
a. Kepentingan umum (public interest):
Kepentingan individu
Kepentingan keluarga
Kepentingan hak milik
Dari klasifikasi tersebut dapat ditarik dua hal. Pertama, Pound mengikuti garis
pemikiran yang berasal dari von Jhering dan Bentham, yaitu berupa pendekatan terhadap
hukum sebagai jalan ke arah tujuan sosial dan sebagai alat dalam perkembangan sosial.
Kedua, klasifikasi tersebut membantu menjelaskan premis-premis hukum, sehingga
membuat pembentuk undang-undang, hakim, pengacara, dan pengajar hukum menyadari
akan prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang terkait dalm tiap-tiap persoalan khusus. Dengan
perkataan lain, klasifikasi itu membantu menghubungkan antara prinsip (hukum) dan
prakteknya.
F.Realisme Hukum
Dalam pandangan penganut Realisme, hukum adalah hasil dari kekuatan-kekuatan
sosial dan alat kontrol sosial. Kaena itu, program ilmu hukum realis hampir tidak terbatas.
Kepribadian manusia, lingkungan sosial, keadaan ekonomi, kepentingan bisnis, gagasan
yang sedang berlaku, emosi-emosi yang umum, semua itu adalah pembentuk hukum dan
hasil hukum dalam kehidupan.
Realisme berpendapat bahwa tidak ada hukum yang mengatur suatu perkara
sampai ada putusan hakim terhadap perkara itu. Apa yang dianggap hukum dalam buku-
buku baru merupakan taksiran tentang bagaimana hakim akan memutuskan. Realisme
dibedakan dalam dua kelompok:
1.Realisme Amerika
Sumber hukum utama ini adalah putusan hakim. Tokoh-tokoh utama aliran Realisme
Amerika antara lain:
a.Charles Sanders Peirce (1839-1914)
Menurut Peirce, ide-ide diterangkan dengan jalan analitis. Metode analitis ini harus
digunakan secara fungsional, yakni dengan menyelidiki seluruh konteks suatu pengertian
dalam praktek hidup.
b.John Chipman Gray (1839-1915)
Sebagaimana ciri Realisme Amerika, Gray menempatkan hakim sebagai pusat
perhatiannya. Semboyannya yang terkenal adalah All the law is judge-made-law. Ia
menyatakan bahwa disamping logika sebagai faktor penting dalam pembentukan
perundang-undangan, unsur logis memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan
hukum.
c.Oliver Wendell Holmes Jr. (1841-1935)
Menurut Holmes, seorang sarjana hukum harus menghadapi gejala-gejala hidup
secara realistis. Kalau ia berusaha mengambil sikap demikian, ia akan sampai pada
keyakinan bahwa penjahat pun sama sekali tidak menaruh minat pada prinsip-prinsip
normatif hukum. Bagi mereka yang penting manakah kelakuan aktual seorang hakim, yakni
pertanyaan, apakah seorang hakim akan menerapkan sanksi pada suatu kelakuan yang
tertentu atau tidak. Ucapan Holmes yang terkenal yakni “Perkiraan-perkiraan tentang apa
yang diputuskan oleh pengadilan, itulah yang saya maksudkan dengan hukum“.
d.William James (1842-1910)
James menyatakan bahwa seorang pragmatis menolak abstraksi dan hal-hal yang
tidak memadai, penyelesaian secara verbal, alasan apriori yang tidak baik, prinsip yang
ditentukan, sistem yang tertutup, dan hal-hal yang dianggap mutlak dan asli. Ia berbalik
menentang kelengkapan dan kecukupan, fakta, perbuatan, kekuasaan.
e.John Dewey (1859-1952)
Inti ajaran Dewey adalah bahwa logika bukan berasal dari kepastian-kepastian dari
prinsip-prinsip teoretis seperti silogisme, tetapi suatu studi tentang kemungkinan-
kemungkinan. Logika adalah teori tentang penyelidikan mengenai akibat-akibat yang
mungkin terjadi, suatu proses dalam mana prinsip umum hanya bias dipakai sebagai alat
yang dibenarkan oleh pekerjaan yang dikerjakan. Kalau diterapkan dalam proses hukum, ini
berarti bahwa prinsip-prinsip umumnya telah ditetapkan sebelumnya harus dilepaskan untuk
logika yang lebih eksperimental dan luwes.
f.Benjamin Nathan Cardozo (1870-1938)
Tokoh ini beranggapan bahwa hukum mengikuti perangkat hukum mengikuti
perangkat aturan umum dan yakin bahwa penganutan terhadap preseden seharusnya
merupakan aturannya, dan bukan merupakan pengecualian dalam pelaksanaan peradilan.
Namun ia mengemukakan adanya kelonggaran atau keluwesan pelaksanaan aturan ketat
itu apabila penganutan terhadap preseden tidak konsisten dengan rasa keadilan dan
kesejahteraan sosial. Ia berpendapat bahwa kebutuhan akan kepastian harus diserasikan
dengan kebutuhan akan kemajuan sehingga doktrin preseden tidak dapat dianggap sebagai
kebenaran yang mutlak dan abadi. Tampak dalam pendapatnya bahwa dalam kegiatannya,
hakim wajib mengikuti norma-norma yang berlaku di masyarakat dan menyesuaikan
putusannya dengan kepentingan umum.
g.Jerome Frank (1889-1957)
Menurut Frank, hukum tidak dapat disamakan dengan suatu aturan yang tetap.
Sama dengan Gray, Frank berpendapat bahwa unsur-unsur lain seperti prasangka politik,
ekonomi, moral, bahkan simpati dan antipasti pribadi, semuanya ikut berperan dalam
putusan tersebut. Norma hukum sebaiknya dilukiskan sebagai suatu generalisasi fiktif dari
kelakuan hakim. Oleh karena itu, dengan melihat norma hukum itu dapat juga diramalkan
tentang kelakuan seorang hakim di masa depan, walaupun ramalan tersebut hanya berlaku
dalam batas tertentu.
2.Realisme Skandinavia
a.Axel Hagerstrom (1868-1939)
Hagerstom menyatakan bahwa hukum seharusnya diselidiki dengan bertitik tolak
pada data empiris, yang dapat ditemukan dalam perasaan psikologis. Adapun yang
dimaksud dengan perasaan psikologis ini adalah rasa wajib, rasa kuasa dalam mendapat
untung, rasa takut akan reaksi dari lingkungan, dan sebagainya.
b.Karl Olivecrona (1897-1980)
Olivecrona menyamakan hukum dengan perintah-perintah yang bebas. Menurutnya,
adalah keliru untuk menganggap hukum sebagai perintah dari seorang manusia, sebab tidak
mungkin ada manusia yang dapat memberikan semua perintah yang terkandung dalam
hukum itu. Ia juga menolak untuk mengidentikkan pemberi perintah dari hukum itu dengan
negara atau rakyat.
Ketentuan undang-undang itu sendiri hanyalah kata-kata di atas kertas. Kenyataan yang
berkenaan dengan reaksi-reaksi psikologis dari para individu, yakni ide tentang tindakan apa
dan perasaan apa yang timbul apabila mereka mendengar atau melihat suatu ketentuan.
c.Alf Ross (1899-1979)
Sebagaimana penganut Realisme Hukum, Ross (ahli hukum Denmark) berpendapat
bahwa hukum adalah suatu realitas sosial. Ross berusaha untuk membentuk suatu teori
hukum yang empiris belaka, tetapi yang dapat mempertanggungjawabkan keharusan
normatif sebagai unsur mutlak dari gejala hukum. Hal ini hanya mungkin kalau berlakunya
normatif dari peraturan-peraturan hukum ditafsirkan sebagai rasionalisasi atau ungkapan
simbolis dari kenyataan-kenyataan fisio-psikis. Maka dalam realitas terdapat hanya
kenyataan-kenyataan saja. Keharusan normatif yang berupa rasionalisasi dan symbol itu
bukan realitas, melainkan bayangan manusia tentang realitas.
d.Herbert Lionel Adolphus Hart (lahir 1907)
Hart mengatakan bahwa hukum harus dilihat, baik dari segi aspek ekstern maupun
internnya. Dari segi ekstern, berarti hukum dilihat sebagai perintah penguasa, sebagaimana
diartikan oleh Austin. Di samping itu, ada aspek intern, yaitu keterikatan terhadap perintah
dari penguasa itu secara batiniah.
Hart membedakan secara tegas antara hukum (dalam arti das sein) dan moral (das sollen).
Adapun yang disebut hukum hanyalah menyangkut aspek formal. Artinya, suatu hukum
dapat saja disebut hukum, walaupun secara material tidak layak untuk ditaati karena
bertentangan dengan prinsip-prinsip moral.
e.Julius Stone
Julius Stone memandang hukum sebagai suatu kenyataan sosial. Makna dari
kenyataan sosial ini dapat ditangkap melalui suatu penyelidikan logis-analitis, sebagaimana
telah dipraktekkan dalam mazhab hukum Austin dan kawan-kawan. Akan tetapi niat Stone
ingin menjangkau lebih jauh lagi. Stone bermaksud mengerjakan suatu ajaran tentang
keadilan yang menjadi ukuran bagi tata hukum yang berlaku. Hal ini merupakan kemajuan,
sebab secara tradisional dalam mazhab hukum analitis norma-norma hukum sama sekali
tidak dipelajari.
f.John Rawls (lahir 1921)
Rawls adalah tokoh yang meyakini bahwa prinsip-prinsip etika dapat menjadi dasar
yang kuat dalam membangun masyarakat yang adil. Rawls mengembangkan pemikirannya
tentang masyarakat yang adil dengan teori keadilannya yang dikenal pula dengan teori
Posisi Asli. Dalam mengembangkan teorinya, Rawls banyak terpengaruh dalam aliran
Utilitarianisme.
G. Freirechtslehre
Freirechtslehre (ajaran hukum bebas) merupakan penentang paling keras
Positivisme Hukum. Penemuan hukum bebas bukanlah peradilan yang tidak terikat pada
undang-undang. Hanya saja, undang-undang tidak merupakan peranan utama, tetapi
sebagai alat bantu untuk memperoleh pemecahan yang tepat menurut hukum dan yang
tidak perlu harus sama dengan penyelesaian undang-undang.
Aliran hukum bebas berpendapat bahwa hakim mempunyai tugas untuk menciptakan
hukum. Penemu hukum yang bebas tugasnya bukanlah menerapkan undang-undang, tetapi
menciptakan penyelesaian yang tepat untuk peristiwa konkret sehingga peristiwa-peristiwa
selanjutnya dapat dipecahkan menurut norma yang telah diciptakan oleh hakim. Tidak
mustahil penggunaan metode penemuan hukum bebas ini akan menghasilkan pemecahan
yang sama seperti metode-metode yang lain. Ini adalah masalah titik tolak cara pendekatan
problematik. Seorang yang menggunakan penemuan hukum bebas tidak akan berpendirian
“Saya harus memutuskan demikian karena bunyi undang-undang adalah demikian“. Ia harus
mendasarkan pada berbagai argumen, antara lain undang-undang.