PERMASALAHAN :
Buat sebuah narasi bagaimana penalaran hukum / metode penelitian dari :
a. Hukum Alam
b. Hukum Positivisme
c. Hukum Utilirianisme
d. Hukum Historical
b) Irrasionalisme : Berpendapat bahwa hukum yang berlaku universal dan abadi itu adalah
bersumber dari tuhan secara langsung, pendukung aliran Hukum Alam
yang irrasional adalah Thomas Aquinas, John Salisbury, Dante Alighieri,
Piere Dubois, Marsilius Padua, John Wyclliffe dan Johaness Huss
Berikut penjabaran serta pembagian dari tiga macam kajian ontology Hukum Alam :
a) Rasionalisme
Dengan demikian hukum akan ditaati karena hukum akan memberikan suatu keadilan
sesuai dengan porsinya.
mendapatkan isinya dari pengalaman yang dijalani oleh manusia itu. Rasio manusia
hanya berfungsi untuk mengolah pengalaman-pengalaman manusia menjadi pengetahuan
sehingga sumber utama pengetahuan menurut Locke adalah pengalaman.
Lebih lanjut, Locke menyatakan ada dua macam pengalaman manusia, yakni
pengalaman lahiriah (sense atau eksternal sensation) dan pengalaman batiniah (internal
sense atau reflection). Pengalaman lahiriah adalah pengalaman yang menangkap aktivitas
indrawi yaitu segala aktivitas material yang berhubungan dengan panca indra manusia.
Kemudian pengalaman batiniah terjadi ketika manusia memiliki kesadaran terhadap
aktivitasnya sendiri
dengan cara 'mengingat', 'menghendaki', 'meyakini', dan sebagainya. Kedua bentuk
pengalaman manusia inilah yang akan membentuk pengetahuan melalui proses selanjutnya
hukum) dan aspek eksekutif dan yudikatif (pelaksanaan undang-undang dan hukum) dalam
sebuah sistem politik . Kedua aspek ini tidak boleh dipegang oleh satu tangan agar
penyalahgunaan kekuasaan dapat dihindarkan. Locke mempunyai empat pembatasan khusus
dari kekuasaan legislatif:Pertama, Ia wajib mengikuti hukum alam yang menjadi hukum
abadi bagi semua orang, baik pembuat hukum atau orang lain. Kedua, Ia harus bertindak
sesuai dengan hukum dan tidak boleh sewenag-wenang. Ketiga, Ia tidak bisa menetapkan
pajak terhadap harta milik rakyat tanpa persetujuan mereka. Keempat, Ia tidak
mendelegasikan kekuasaan membuat hukum kepada pihak lain.
Hobbes berpendapat negara dan hukum tidak termasuk realitas alam sebab
diwujudkan oleh manusia. sendiri. Tetapi disini pengertiannya juga berpangkal pada
pengalaman. Apa yang dialami dalam hidup Bersama membawa kita kepada pengertian
negara dan hukum. Karena negara dan hukum diwujudkan oleh manusia maka kebenarannya
tergantung dari manusia juga. Apa yang dikehendaki manusia disebut benar, tidak ada norma
kebenaran selain manusia iti sendiri. Oleh karena itu negara dan hukum ditentukan
kebenarannya secara apriori dengan jalan deduksi
Ajaran-ajaran pokok empirisme yaitu:
1. Pandangan bahwa semua ide atau gagasan merupakan abstraksi yang dibentuk dengan
menggabungkan apa yang dialami.
2. Pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal atau rasio.
3. Semua yang kita ketahui pada akhirnya bergantung pada data inderawi.
4. Semua pengetahuan turun secara langsung, atau di simpulkan secara tidak langsung dari
data
inderawi (kecuali beberapa kebenaran definisional logika dan matematika).
5. Akal budi sendiri tidak dapat memberikan kita pengetahuan tentang realitas tanpa acuan
pada
pengalaman inderawi dan penggunaan panca indera kita. Akal budi mendapat tugas untuk
mengolah bahan bahan yang di peroleh dari pengalaman.
6. Empirisme sebagai filsafat pengalaman, mengakui bahwa pengalaman sebagai satu-satunya
sumber pengetahuan.
Sama halnya dengan banyak bidang studi lainnya, hukum dari alam (the law of nature)
dimulai pada zaman Yunani. Filsafat Yunani melahirkan standar yang absolut mengenai hak dan
keadilan. Hal ini didasarkan pada kepercayaan pada berlakunya kekuasaan supernatural atas
hukum, dimana manusia seharusnya mematuhinya. Pernyataan riil pertama dari Teori Hukum
Alam dari sudut terminologi filsafat berasal dari abad 6 SM. Hukum manusia dikatakan
mendapat tempatnya dalam tatanan benda-benda berdasarkan atas kekuatan yang mengontrol
segala hal. Reaksi dari ajaran ini datang pada abad-abad berikutnya dimana ada perbedaan dan
kemungkinan timbulnya konflik anatara Hukum Alam dan Hukum yang dibuat manusia. Pada
zaman Yunani, Aristoteles dan Plato membangun kembali Hukum Alam. Sampai hari ini hanya
Aristoteles yang mempunyai pengaruh terbesar dalam doktrin Hukum Alam, ia menganggap
manusia adalah bagian dari alam. Menurut Friedmann Aliran Hukum Alam timbul karena
kegagalan umat manusia dalam
mencari keadilan yang absolut, sehingga hukum alam dipandang sebagai hukum yang berlaku
universal dan abadi. Hukum alam dianggap lebih tinggi dari hukum yang sengaja dibentuk oleh
manusia. Hukum Alam itu sebenarnya bukan merupakan satu jenis hukum, tetapi penamaan
seragam untuk banyak ide yang dikelompokkan menjadi satu nama yaitu Hukum Alam. Salah
satu pemikiran Hukum Alam yang khas adalah tidak dipisahkannya secara tegas antara hukum
dan nilai moral. Pada umumnya penganut aliran Hukum Alam mamandang hukum dan moral
sebagai pencerminan dan pengaturan secara internal dan eksternal dari kehidupan manusia dan
hubungan sesama manusia. Didalam aliran Hukum Alam ini terdapat suatu pembedaan-
pembedaan, yaitu:
Hukum Alam sebagai metode adalah yang tertua yang dapat dikenali sejak zaman yang
kuno sekali sampai pada permulaan abad pertengahan. Hukum ini memusatkan perhatiannya
pada usaha untuk menemukan metode yang bisa digunakan untuk menciptakan peraturan-
peraturan yang mampu untuk mengatasi keadaan yang berlain- lainan.
Hukum Alam sebagai substansi atau isi berisikan norma-norma. Peraturan-peraturan
dapat diciptakan dari asas yang mutlak yang lazim dikenali dengan peraturan hak azasi manusia.
Ciri Hukum Alam seperti ini merupakan ciri dari abad ke 17 dan ke 18 untuk kemudian pada
abad berikutnya digantikan oleh positivisme hukum. Positivisme hukum sendiri ternyata
kemudian tidak mampu untuk mengikuti rasa keadilan yang tumbuh didalam masyarakat karena
hukum yang sifatnya tertulis tidak dapat berubah-ubah setiap saat. Rasa keadilan yang tercermin
dalam suatu kitab undang-undang misalnya, mungkn hanya selaras dengan keadilan dalam
masyarakat
pada waktu di berlakukannya kitab undang-undang itu. Mayarakat yang terus berubah membawa
serta perubahan pada keadilan yang hidup pada masyarakat itu. Karena dirasakan ketentuan yang
ada tidak atau kurang mencerminkan rasa keadilan yang dikehendaki, maka orang berusaha
mencari keadilan yang dikehendaki, maka orang berusaha mencari keadilan lain, dan ini berarti
orang berpegang kembali pada ajaran Hukum Alam. Inilah yang disebut masa kebangkitan
kembali hukum alam. Dalam memahami ajaran Hukum Alam maka terlebih dahulu harus
dibedakan antara pemikiran Hukum Alam yang tumbuh di Yunani dan pemikiran Hukum Alam
yang tumbuh di Romawi. Dan yang perlu diketahui adalah bahwa tidak ada teori yang tunggal
tentang Hukum Alam, masing-masing filsuf yang menganut ajaran ini cenderung mempunyai
pandangan khas masing-masing. Perbedaan pokok antara pemikiran Yunani dan pemikiran
Romawi tentang Hukum lebih bersifat teroitis dan filosofis, sedangkan pemikiran Romawi lebih
menitikberatkan pada hal-hal yang praktis dan dikaitkan pada hukum positif.
Perkembangan ajaran Hukum Alam tidak terlepas dari pendapat para tokoh dan pakar
Hukum Alam, yang menjadi pelopor sekaligus melakukan pengembangan ajaran Hukum Alam
itu sendiri. Adapun tokoh dan pakar itu menurut zamannya dapat dikelompokkan sebagai
berikut:
1. Tokoh-tokoh Hukum Alam Yunani antara lain: socrates, plato, Aristotle
2. Tokoh-tokoh Hukum Alam Romawi antara lain:Cicero, Gaius
3. Tokoh-tokoh Hukum Alam di abad pertengahan antara lain: Auguste, Isidor, Thomas Aguinas
Menurut Thomas Aquino : segala kejadian dalam ini di perintah dan dikendalikan oleh suatu UU
abadi (lex eterna) yang menjadi dasar kekuasaan dari semua peraturan lainnya . lex aterna =
kehendak pikiran tuhan yang menciptakan dunia ini.
Menurut Thomas Aquino pula hukum alam memuat dua azas yaitu :
1. azas umum (principia prima) : azas yang dengan sendirinya dimiliki manusia sejak lahir dan
mutlak diterima (contoh :berbuat baik) .
2. azas diturunkan dari azas umum ( principia secundaria) : azas yang merupakan tapsiran dari
principia prima yang dilakukan manusia
Menurut Justinian, lembaga-lembaga hukum alam dapat dibedakan dalam:
- hukum sipil (civil law) dan
- hukum universal (universal law)
Hukum sipil merupakan hukum yang sifatnya khusus yang tiap-tiap manusia atau bangsa
membuatnya sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat. Sedangkan hukum
universal merupakan hukum dimana ketentuan tersebut digunakan /berlaku bagi seluruh ciptaan
Tuhan.
Hukum alam (universal law) melihat semua manusia mempunyai kedudukan yang sama,
kesamaan sebagai ciptaan Tuhan. Manusia yang berkulit hitam tidak berarti lebih rendah dari
manusia yang lebih putih, karena itu bukan kehendak manusia tapi hukum alam yang berlaku.
Maka perbudakan dalam bentuk dan jenis yang mengatas namakan warna kulit tidak dapat
dibenarkan menurut teori hukum alam. Sedangkan hukum sipil (civil law) yang merupakan
kehendak dan kesepakatan masyarakat setiap waktu dapat diubah oleh masyarakatnya secara
diam- diam atau diganti dengan peraturan yang baru sesuai dengan kebutuhan.
Kontribusi terbesar ajaran atau mazhab hukum alam bagi hukum internasional adalah
bahwa ia memberikan dasar-dasar bagi pembentukan hukum yang ideal. Dalam hal ini, dengan
menjelaskan bahwa konsep hidup bermasyarakat internasional merupakan keharusan yang
diperintahkan oleh akal budi (rasio) manusia, mazhab hukum alam sesungguhnya telah
meletakkan
dasar rasionalitas bagi pentingnya hidup berdampingan secara tertib dan damai antarbangsa-
bangsa di dunia ini walaupun mereka memiliki asal-usul keturunan, pandangan hidup, dan nilai-
nilai yang berbeda-beda. Kelebihan aliran hukum alam : mengembangkan dan membangkitkan
kembali orang untuk berfilsafat hukum dalam mencari keadilan, mengembangkan perlindungan
terhadap HAM, mengembangkan hukum internasional.
Meskipun demikian, ia juga mengandung kelemahan yang cukup mendasar yaitu tidak
jelasnya apa yang dimaksud dengan “hukum alam” itu. Akibatnya, pengertian tentang hukum
alam itu menjadi sangat subjektif, bergantung pada penafsiran masing-masing orang atau ahli
yang menganjurkannya.
3) Kesimpulan
Mazhab Hukum Alam :
- Ciri utamanya adalah universal dan abadi;
- Bersifat otonom yang validitasnya bersumber pada nilainya sendiri;
- Hukum alam menjadi kekuasaan tertinggi atau rasional tertinggi dan sekaligus pembatasan
tertinggi bagi kekuasaan hukum, sosial, dan politik;
- Diperoleh dari berpikir deduktif inferential, dari prinsip‐prinsip self evidens atau presuposisi
yang dianggap benar secara universal;
- Hukum alam telah banyak mempengaruhi perkembangan pemikiran dan praktik berhukum.
Sebaliknya belumada kesatuan pendapat mengenai definisinya
- Landasan – landasan pembatasan terhadap hukum yang dibuat manusia harus dibatasi dengan
tiang hukum alam sebagai mana dikemukan oleh Grotius yakni: semua prinsip kupunya dan
kau punya. Milik orang lain harus dijaga; prinsip kesetiaan pada janji; prinsip ganti rugi dan
prinsip perlunya hukuman karena pelanggaran atas hukum alam. Dengan demikian hukum
akan ditaati karena hukum akan memberikan suatu keadilan sesuai dengan porsinya.
Kelebihan aliran hukum alam : mengembangkan dan membangkitkan kembali orang untuk
berfilsafat hukum dalam mencari keadilan, mengembangkan perlindungan terhadap HAM,
mengembangkan hukum internasional.
Kekurangan aliran hukum alam : karena tidak jelasnya apa yang dimaksud dengan “hukum
alam” itu. Akibatnya, pengertian tentang hukum alam itu menjadi sangat subjektif, bergantung
pada penafsiran masing-masingorang atau ahli yang menganjurkannya.
dapat diselidiki melalui suatu ilmu pengetahuan yang baru muncul pada waktu itu, yaitu sosiologi.
2) Positivisme yuridis, yang memandang bahwa arti hukum itu sebagai gejala tersendiri, yaitu
menurut
metode hukum positif.
3) Ajaran hukum umum, ajaran ini merupakan ajaran yang dekat dengan positivisme yuridis,
pendapatnya bahwa kegiatan teoretis seorang ilmuwan terbatas pada uraian tentang arti dan
prinsip-prinsip hukum secara induktif-empiris saja.
Aliran Positivisme merupakan perintah dari penguasa, dengan merinci unsur-unsur perintah sebagai
berikut :
1) Adanya kehendak dari satu pihak untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kehendaknya itu.
2) Pihak yang diperintah itu akan mengalami siksaan jika kehendak itu tidak dijalankan atau ditaati
dengan baik
3) Perintah itu merupakan pembedaan kewajiban antara yang diperintah dengan yang memerintah.
4) Ketiga unsur di atas tidak akan terlaksana jika yang memerintah itu bukan orang yang berdaulat.
Positivisme hukum adalah bagian yang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh
perkembangan positivisme (ilmu). Dalam defenisinya yang paling tradisional tentang hakikat hukum,
dimaknai sebagai norma-norma positif falam sistem perundang-undangan. Dari segi ontologinya,
pemaknaan tersebut mencerminkan penggabungan antara idealisme dan materialisme. Pandangan
diatas menurut John Austin, dapat dipastikan bahwa yang berkuasa adalah satu-satunya sumber
hukum, sehingga tidak ditemukan lagi sumber hukum di atasnya. Maka John Austin berpendapat,
bahwa tiap undang undang positif ditentukan secara langsung atau secara tidak langsung oleh seorang
pribadi atau sekelompok orang yang berwibawa bagi seorang anggota atau anggota dari suatu
masyarakat politik yang berdaulat, di mana pembentuk hukum adalah yang tertinggi. Dengan
ketentuan ini juga tidak disangkal bahwa adanya norma-norma hukum ilahi, norma moral dan juga
tentang hukum internasional. John Austin terkenal dengan pandangannya tentang positivisme
analitis. maka pada positivisme hukum, aktivitasnya justru diturunkan kepada permasalahan konkret .
masalah validitas (legitimasi) aturan tetap diberi perhatian, tetapi standar regulasi yang dijadikan
acuannya adalah norma-norma hukum.
Positivisme hukum melihat bahwa yang terutama dalam melihat hukum adalah fakta
bahwa hukum diciptakan dan diberlakukan oleh orang-orang tertentu di dalam masyarakat yang
mempunyai kewenangan untuk membuat hukum. Sumber dan validitas norma hukum bersumber
pada kewenangan tersebut. Bagi aliran ini hukum adalah fenomena sosial yang khusus dibanding
fenomena-fenomena sosial lainnya yang hanya dapat dibentuk, diadakan dan diterapkan dalam ruang
lingkup tertentu, walaupun hukum tidak dapat dilepaskan dari faktor-faktor lain seperti moralitas,
agama, etika, dan lain sebagainya. Menurut paham positivisme, setiap norma hukum harus eksis
dalam alamnya yang obyektif sebagai norma-norma yang positif, serta ditegaskan dalam wujud
kesepakatan kontraktual yang konkret antara warga masyarakat atau wakil-wakilnya. Disini hukum
bukan lagi dikonsepsikan sebagai asas-asas moral metayuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan,
melainkan ius yang telah mengalami positivisasi sebagai lege atau lex, guna menjamin kepastian
mengenai apa yang terbilang hukum, dan apa pula yang sekalipun normative harus dinyatakan
sebagai hal-hal yang bukan terbilang hukum. Dalam mazhab Positivisme Hukum, hukum itu sendiri
melaju dalam sistem hukum ke arah pemenuhan ketertiban masyarakat terlepas dari perwujudan
keadilan. Di sisi lain moral sudah terbatasi oleh legalitas yang ada, karena perundang-undangan yang
ada sudah dianggap sangat tepat dalam penyelesaian masalah hukum dan hal tersebut diakui oleh
para ahli hukum beserta pemegang kekuasaan dan wewenang. Kemudian asumsi dasar positivisme
hukum juga menganggap dunia peradilan sudah terjamin netralistas dan imparsialitasnya seperti yang
telah dijamin dalam undang-undang. Jadi masyarakat tidak perlu cemas akan lembaga peradilan yang
dapat memberikan keadilan bagi masyarakatnya. Positivisme Hukum berkeyakinan hukum harus
dibangun dengan pendekatan rasional dan seobjektif mungkin.
Hukum pada saat berhadapan dengan alam dan kehidupan sosial yang berkembang, harus
dapat berlaku secara tidak stagnan dan juga harus fleksibel mengikuti situasi dan kondisi yang
dibutuhkan agar selalu dapat mengatur dan menciptakan hasil yang berkeadilan. Dengan begitu
pekerjaan penafsiran bukan semata-mata membaca peraturan dengan menggunakan logika peraturan,
melainkan juga membaca kenyataan atau apa yang terjadi di masyarakat. Salah satu penyebab
kemandegan yang terjadi didalam dunia hukum adalah karena masih terjerembab kepada paradigma
tunggal positivisme yang sudah tidak fungsional lagi sebagai analisis dan kontrol yang bersejalan
dengan tabel hidup karakteristik manusia yang senyatanya pada konteks dinamis dan multi
kepentingan baik pada proses maupun pada peristiwa hukumnya. Sehingga hukum hanya dipahami
dalam artian yang sangat sempit, yakni hanya dimaknai sebatas undang-undang, sedangkan nilai-nilai
diluar undang-undang tidak dimaknai sebagai sebuah hukum.
Aliran Positivisme hukum ini sangat ditentang oleh aliran Sosiological Yurisprudence,
Sosiological Yurisprudence adalah suatu aliran dalam filsafat hukum yang antara lain dipelopori oleh
Eugen Ehrlich. Menurutnya, bahwa titik pusat dari perkembangan hukum, tidak terletak pada
pembuat undang-undang/ilmu hukum, dan tidak pula terletak pada keputusan-keputusan hakim,
melainkan pada masyarakat itu sendiri. Pada dasarnya norma hukum selalu bersumber dari kenyataan
sosial, yang berdasarkan keyakinan akan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Sanksi yang
berasal dari penguasa untuk mempertahankan hukum tidaklah esensial, tetapi hanya merupakan
pelengkap. Dengan adanya Unifikasi dan Positivisme hukum menutup ruang gerak bagi hukum adat
dan hukum kebiasaan-kebiasaan lainnya yang hidup ditengah masyarakat untuk dapat berlaku
ditengah-tengah masyarakat, sehingga kearifan lokal berupa living law terhimpit oleh undang-undang
yang dibuat oleh penguasa. Sehingga perlawanan-perlawanan terhadap hukum dan putusan
pengadilan di Indonesia sampai hari ini masih terjadi karena hukum yang terkristal dalam undang-
undang dan putusan pengadilan sangat jauh dari nilai-nilai keadilan yang berlaku ditengah
masyarakat.
Kesimpulan
Adanya kebenaran dalam hukum sebenarnya bukan total subyektif namun total secara
obyektif, melainkan intersubyektif. Menempatkan hukum pada kebenaran intersubyektif membawa
pada pemahaman yang berbeda-beda karena intersubyektivitas menekankan pada perbincangan
diskursus dan persetujuan yang cukup sebagai sesuatu yang sangat penting dalam memutuskan
sesuatu. Dimana setiap pakar hukum yang berupaya untuk menemukan suatu jawaban terhadap
sebuah masalah yuridis akan mencarui jawaban lewat penafsiran yang berbeda berdasarkan argumen-
argumen yang tepat, relevan, dan paling dapat diterima. Berkaitan dengan positivisme hukum,
dimana yang menjadi titik terkuat adalah adanya hukum yang pasti (kepastian hukum), dimana
positivisme hukum melihat dam memperlakukan hukum seperti dalam ilmu-ilmu alam. Paham ini
memandang hukum sepenuhnya dapat diprediksi, dijelaskan dan dikontrol berdasarkan hukum-
hukum deterministik yang pasti sehingga setara dengan kepastian matematis. Kepastian hukum telah
menjadi ideologi dalam kehidupan berhukum. Karena kepastian hukum diibaratkan sebagai tujuan
akhir, maka tugas dari hukum sendiri akan selesai apabila telah menemukan sebuah kepastian.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1) Positivisme yang lahir di bawah naungan empirisme merupakan salah satu aliran filsafat yang
menjadikan panca indera sebagai sarana utama dalam metode pencapaian pengetahuan.
2) Filsafat positivisme ini dalam bidang hukum melahirkan aliran filsafat positivisme hukum, yang
kemudian mengambil bentuk dalam wujud analytical legal positivism, analytical jurisprudence,
pragmatic, positivism, dan Kelsen’s pure theory of law.
3) Positivisme hukum memisahkan secara tegas hukum yang ada dan hukum yang seharusnya ada,
memisahkan hukum dari unsur-unsur non hukum maupun moral, dan mengedepankan hukum
tertulis atau undang-undang sebagai perintah dari otoritas yang sah. Karena positivisme hukum ini
memisahkan secara tegas dari aspek non-hukum, maka telah kehilangan hakikatnya yaitu nilai-
nilai
moralitas, keadilan, dan kebenaran. Oleh karena itu, positivisme dan legalisme tidak dapat
dipertahankan lagi dalam pergaulan hidup manusia.
4) Aliran positivisme banyak menuai kritik dari para ahli hukum. Tujuan dari positivisme hukum
adalah kepastian hukum. Hukum terpisah dari norma-norma yang hidup didalam masyarakat
karena yang dikatakan hukum adalah peraturan yang sah yang dikeluarkan oleh penguasa.
Sehingga terjadinya deviasi nilai-nilai keadilan, antara keadilan menurut hukum dan keadilan
menurut masyarakat. Sejatinya hukum dan masyarakat adalah dua hal yang tidak dapat
dipisahkan.
Hukum harus bersumber dari norma-norma yang hidup dimasyarakat, karena tujuan hukum
adalah
untuk menciptakan ketertiban dan keadilan ditengah masyarakat.
c. Aliran Utilirianisme
Utilitarianisme adalah paham dalam filsafat moral yang menekankan manfaat atau
kegunaan dalam menilai suatu tindakan sebagai prinsip moral yang paling dasar, untuk menentukan
bahwa suatu perilaku baik jika bisa memberikan manfaat kepada sebagian besar rakyat atau
masyarakat. Nilai positif Utilitarianisme terletak pada sisi rasionalnya dan universalnya. Rasionalnya
adalah kepentingan orang banyak lebih berharga daripada kepentingan individual.
Utilitarianisme atau utilisme lahir sebagai reaksi terhadap ciri-ciri metafisis dan abstrak
dari filsafat hukum dan politik pada abad ke-18 (Aburaera and Muhadar 2013, 111). Utilitarianisme
atau Utilisme adalah aliran yang meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan
disini diartikan sebagai kebahagiaan (happiness). Jadi, baik buruknya atau adil tidaknya suatu hukum,
bergantung kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak
(Darmodiharjo 1995, 117)
Apa-apa “yang baik” merupakan kesenangan buruk” adalah rasa sakit. Tindakan “yang baik”
secara etika mengacu pada kebijakan dan kebahagiaan, sedangkan “yang menghasilkan kebahagiaan
terbesar.
Pandangan Bentham sebenarnya beranjak dari perhatiannya yang besar terhadap individu.
Ia menginginkan agar hukum pertama-tama dapat memberikan jaminan kebahagiaan kepada
individu- individu, bukan langsung ke masyarakat secara keseluruhan. Walaupun demikian, Bentham
tidak menyangkal bahwa di samping kepentingan individu, kepentingan masyarakat pun perlu
diperhatikan. Agar tidak terjadi bentrokan, kepentingan individu dalam mengejar kebahagiaan
sebesar-besarnya itu perlu dibatasi. Jika tidak, akan terjadi apa yang disebut homo homini lupus
(manusia menjadi serigala bagi manusia yang lain) (Salman 2010, 118).
Bentham berkeinginan untuk mencari kesamaan mendasar guna mampu memberikan
landasan objektif atas semua norma yang berlaku secara umum serta yang daopat dietrima oleh
masyarakat luas. Caranya ialah dengan menimbang segi-segi manfaat dibandingkan dengan kerugian
setiap Tindakan. Bentham mengatakan bahwa yang baik adalah kesenangan atau kebahagiaan, yang
buruk adalah penderitaan atau kesengsaraan. Oleh karena itu, suatu keadaan, jika mencakup
kesenangan lebih besar daripada kesenangan, adalah lebih baik dari penderitaan, penderitaan yang
lebih kecil daripada kesenangan, adalah lebih baik dari keadaan lainnya. Kebaikan adalah
kebahagiaan, kejahatan adalah kesusahan. Ada keterkaitan yang erat antara kebaikan dan kejahatan
dengan kebahagiaan dan kesusahan. Diantara semua keadaaan yang mungkin itu, yang terbaik adalah
yang mencakup kesenangan yang lebih besar dari penderitaan.
Kritik atas penalaran Utilitarianisme Bentham
Banyak kelemahan bawaan doktrin utilitarianisme yang diajarkan Bentham. Sekalipun ini
merupakan ajarannya yang menginspirasi banyak orang tentang tujuan hukum dan keadilan, namun
beberapa point ajaran Bentham mestilah tetap dikritisi. Pertama, berkenaan dengan bagaimana ia
menjelaskan dan mendudukkan hubungan antara individu dengan masyarakat. Ia menekankan bahwa
hukum mestilah ditujukan untuk mendatangkan manfaat kepada individu, sehingga individu tersebut
akan memperoleh kesenangan dan kebahagian. Lalu, kesenangan dan kebahagian individu tersebut
akan menciptakan kebahagiaan dan kesenangan umum secara bersamaan atau menciptakan
kebahagiaan dengan sendirinya. Ini jelas sebuah doktrin yang tidak begitu bijak dan tidak mungkin
diterapkan. Sebab tidak jelas batasan sampai dimana kepentingan individu dan sampai dimana pula
batas kepentingan masyarakat. Kapan individu mesti membatasi kepentingannya dan kapan pula ia
mesti melebur dalam kepentingan bersama. Jika hukum merupakan alat untuk mendatangkan manfaat
atau kebahagian yang setinggi-tingginya bagi individu, maka yang akan terjadi adalah “persaingan
bebas” yang tidak menguntungkan bagi semua orang. Tetapi hanya akan menguntungkan individu-
individu tertentu yang hanya beberapa orang saja. Persaingan bebas ala Darwinian, dimana mereka-
mereka yang belum beruntung jangan berharap akan dapat memperbaiki nasib mereka. Dengan
demikian, masih mungkinkah kebahagian umum akan tercipta, sementara individu mustahil
diharapkan akan “bersimpati” dalam sebuah persaingan bebas?
Selain itu, kalaulah setiap orang pada kenyataannya dan secara tak terelakkan memburu
kesenangan sendiri, tidak ada gunanya mengatakan ia seharusnya melakukan seharusnya, seperti
bersimpati. Begitu juga dengan proses pembentukan hukum yang akan dijadikan alat untuk mencapai
tujuan hukum itu sendiri. Yang membuat hukum adalah orang-orang yang secara individu merupakan
warga negara yang sama dengan warga negara lain dan sama-sama punya keinginan untuk
menggapai kebahagiaan individunya. Disisi lain ia adalah orang yang diberikan kuasa untuk
membuat hukum. Dalam pembuatan hukum jelas akan terjadi konflik kepentingan. Terjadi dilema
antara membuat hukum yang menguntungkan bagi individu-indivdu mereka yang ada di lembaga
legislatif atau individu-individu masyarakat umum? Sebab, tidak ada jaminan bahwa para legislator
akan berfikir untuk kepentingan individu masyarakat. Jika pilihannya adalah merumuskan hukum
untuk kepentingan individu mereka, lalu bagaimanakah filsafat Bentham akan menjelaskan tujuan
hukum yang dirumuskannya tersebut? Toh, akhirnya hukum bukannya akan mendatangkan manfaat,
malahan akan menjadi alat untuk melegitimasi kejahatan dan kesengsaraan individu yang tidak
memiliki kekuasaan serta masyarakat luas.
Tokoh lain dari aliran utulitarianesme adalah John Stuart Mill (1806-1973), seorang
pengikut sekaligus pewaris yang meneruskan pemikiran Bentham. Tema sentral dari pemikiran Mill
ialah, bahwa tugas utama seseorang adalah untuk tidak menimbulkan derita bagi sesama manusia.
Jhon Stuart Mill menyatakan bahwa action are right in proportion as they tend to promote
man’s happiness, and wrong as they tend to promote the reverse of happiness (tindakan itu
hendaknya ditujukan terhadap pencapaian kebahagiaan, dan adalah keliru jika ia menghasilkan
sesuatu yang merupakan kebalikan dari kebahagiaan) (Ali 2009, 1:78).
Penalaran Mill banyak dipengaruhi oleh pertimbangan psikologis, ia menyatakan bahwa
tujuan manusia adalah kebahagiaan. Manusia berusaha memperoleh kebahagiaan itu melalui hal-hal
yang membangkitkan nafsunya. Jadi, yang ingin dicapai oleh manusia itu bukanlah benda atau
sesuatu hal tertentu, melainkan kebahagian yang dapat ditimbulkannya. Mills memberikan logika
penalaran bahwa psikologi merupakan ilmu yang paling fundamental. peran Mill dalam ilmu hukum
terletak dalam penyelidikannya mengenai hubungan keadilan, kegunaan, kepentingan individu, dan
kepentingan umum. Mill menolak pandangan Bentham yang berasumsi bahwa antar-kepentingan
individu dan kepentingan umum tidak ada pertentangan. Mill juga menolak cara pandang Immanuel
Kant yang mengajarkan agar individu harus bersimpati kepada kepentingan umum. Karena menurut
Mill, tidaklah dapat dimengerti, mengapa individu harus mengekang usaha-usahanya untuk
kebahagiaan, demi kepentingan anggota-anggota lain dari masyarakat.
Dalam menjawab semua itu, Mill lalu menganalisis hubungan antara kegunaan dan
keadilan. Pada hakikatnya, perasaan individu akan keadilan akan membuat individu itu menyesal dan
ingin membalas dendam kepada tiap yang tidak menyenangkannya. Rasa sesal dan keinginan
demikian dapat diperbaiki dengan perasaan sosialnya (di sini tampak bahwa Mill menelaah masalah
ini dengan kacamata psikologi). Seperti dikutip oleh Friedman, Mill menyatakan bahwa orang-orang
yang baik menyesalkan tindakannya yang tidak baik terhadap masyarakat,walaupun tidak mengenai
dirinya sendiri.
Sebaliknya, orang-orang yang baik tidak menyesalkan perbuatan tidak baik terhadap diri
sendiri, walaupun menimbulkan rasa sakit, kecuali kalau masyarakat bermaksud menindasnya. Apa
yang digambarkan tersebut merupakan ungkapan dari rasa adil. Ia berpendapat bahwa perilaku kita
akan sedemikian rupa, sehingga semua makhluk berakal dapat menyesuaikan keuntungan dengan
kepentingan bersama. Nafsu binatang untuk menolak atau membalas perbuatan jahat yang melukai
atau yang merugikan diri sendiri bertambah, dan dengan demikian memperbaiki akhlak. Penonjolan
diri dan kesadaran atas kebaikan bersama bergabung dengan rasa adil (Ali 2009, 1:114–15).
Ajaran Bentham dikenal sebagai utilitarianisme individual, sedangkan rekannya Rudolf
von Jhering (dalam beberapa buku ditulis Lehering) mengembangkan ajaran yang bersifat sosial.
Teori von Jhering merupakan gabungan antara teori Bentham, Stuart Mill, dan positivisme Hukum
dari Jhon Austin. Mula-mula von Jhering menganut mazhab sejarah yang dipelopori von Savigny dan
Punchta, tetapi lama-kelamaan ia melepaskan diri, bahkan menentang pandangan von Savigny
tentang hukum Romawi. Perlu diketahui bahwa pemikiran yang gemilang dari Jhering memang
timbul setelah dia melakukan studi yang mendalam tentang hukum Romawi. Huijbers memasukkan
Jhering sebagai salah satu tokoh penting Positivisme Hukum
Nilai Positif Etika Utilitarianisme
Maksud Bentham, setiap orang untuk melakukan apa yang menghasilkan kebahagiaan atau
kenikmatan terbesar yang diinginkan oleh semua orang untuk sebanyak mungkin orang atau untuk
masyarakat seluruhnya. Oleh karena itu, menurut pandangan utilitarian, tujuan akhir manusia,
mestilah juga merupakan ukuran moralitas. Dari sini, muncul ungkapan ‘tujuan menghalalkan
cara’. Nilai Positif Etika Utilitarianisme antara lain :
• Pertama, Rasionalitas.
Prinsip moral yang diajukan etika utilitarianisme tidak didasarkan pada aturan-aturan kaku yang
tidak dipahami atau tidak diketahui keabsahannya. Etika utilitarianisme memberikan kriteria
yang objektif dan rasional.
• Kedua, Utilitarianisme sangat menghargai kebebasan setiap pelaku moral.
Tidak ada paksaan bahwa orang harus bertindak dengan cara tertentu yang tidak diketahui
alasannya.
• Ketiga, Universalitas.
Mengutamakan manfaat atau akibat dari suatu tindakan bagi banyak orang. Suatu tindakan
dinilai
bermoral apabila tindakan tersebut memberi manfaat terbesar bagi banyak orang.
Analisa keuntungan dan kerugian
Utilitarianisme mengatakan bahwa tindakan yang benar adalah yang memaksimalkan
utiliti, yaitu memuaskan preferensi yang berpengetahuan sebanyak mungkin.
Dalam pandangan kaum utilitarian-aturan, perilaku tak adil dalam mendeskriminasi kelompok-
kelompok minoritas menyebabkan meningkatnya ketakutan pihak lain dengan mengalami aturan
yang mengijinkan diskriminasi.
Keuntungan dan kerugian, cost and benefits, yang dianalisis tidak dipusatkan pada keuntungan
dan kerugian perusahaan. Analisis keuntungan dan kerugian tidak ditempatkan dalam kerangka
uang dan untuk jangka panjang.
Kesimpulan
memberikan ruang yang seimbang bagi semua individu masyarakat untuk mendapatkan
kebahagiaannya. “Simpati” yang diajarkan Bentham tidaklah mencukupi untuk menyelesaikan
persoalan hukum yang muncul sebagai dampak dari ajarannya sendiri.
Aliran Sejarah Hukum lahir pada awal abad XIX, yakni pada tahun 1814 yang dipelopori
oleh Friedrich Carl von Savigny (1779-1861) melalui tulisannya yang berjudul Von Beruf Unserer
Zeit Fur Gesetzgebung und Rechtwissenschaft (tentang pekerjaan pada zaman kita di Bidang
Undang-undang dan Ilmu Hukum). Menuurut Lili Rasjidi, lahirnya Aliran Sejarah Hukum
merupakan reaksi tidak langsung dari aliran hukum alam dan hukum positif. Karena pengaruh dari
Montesquieu dalam bukunya yang berjudul L’esprit des Lois yang mengatakan tentang adanya
keterkaitan antara jiwa suatu bangsa dengan hukum-hukumnya.
Aliran Sejarah Hukum ini mencerminkan suatu reaksi yang sangat besar terhadap tiga kekuatan yang
sangat dominan kala itu:
1. Aliran Rasionalisme abad ke-18 dengan kepercayaannya kepada hukum alam, daya kemampuaan
akal dan prinsip-prinsip utama yang semuanya dikombinasi untuk meletakan sebuah teori hukum
(Legal Theory) dengan metode deduksi tanpa memperhatikan fakta sejarah, ciri khas nasional,
dan kondisi sosial. Pemikiran rasionalisme mengajarkan universalisme dalam cara berpikir. Cara
pandang inilah yang menjadi salah satu penyebab munculnya Aliran Sejarah Hukum, yang
menentang universalisme.
2. Kepercayaan dan semangat Revolusi Perancis yang menentang wewenang tradisi dengan misi
yaitu, keyakinan kepada rasio dan daya kekuatan tekad manusia untuk mengatasi lingkunannya.
3. Pendapat yang berkembang saat itu melarang hakim menafsirkan hukum karena undang-undang
dianggap dapat memecahkan semua masalah hukum. Code Civil dinyatakan sebagai kehendak
legislatif dan menjadi sistem hukum yang harus disimpan dengan baik.
Subtansi dari ajaran Aliran Sejarah Hukum dapat diuraikan sebagi berikut :
1. Hukum tidak dibuat, tetapi ditemukan
Hukum sejatinya bukan sesuatu yang dengan sengaja dibuat oleh legislator, tetapi berdasar pada
perkembangan masyarakat. Karenanya hukum bersifat organis. Hukum akan senantiasa
berkembang dan menyesuaikan dengan perubahan sosial.
2. Undang-Undang tidak berlaku secara universal
Undang-undang, sebagai dianggap representasi hukum suatu bangsa bersifat temporal dan
spasial. Undang-undang dianggap hanya berlaku di suatu bangsa atau lebih tepatnya hanya bagi
kelompok bangsa tertentu (semisal persekutuan) dan hanya berlaku pada kurun waktu tertentu.
Setiap bangsa dipandang mengembangkan kebiasaannya sendiri karena mempunyai bahasa, adat
istiadat, dan konstitusi yang khas. Curzon mengemukakan:
“Hukum merupakan produk khusus dari sekelompok masyarakat. Seperti bahasa, hukum
berkembang secara bertahap dan merupakan representasi dari masyarakat. Hukum itu lenyap
ketika hilangnya identitas dari suatu bangsa (punahnya masyarakat) hukum tidak berlaku
universal, penerapannya terbatas pada dimana hukum itu di buat.”
3. Hukum merupakan perwujudanan dari jiwa rakyat
Savigny menolak supremasi akal dalam pembuatan undang-undang. Secara tegas dia menolak
pradigma bahwa hukum itu dibuat dan secara diamental dia menyatakan bahwa hukum itu
ditentukan di masyarakat.
4. Hukum tidak dapat dipisahkan dari masyarakat atau sejarah bangsa.
Hukum, secara apriori tidak dapat dipisahkan dengan sejarah sebuah bangsa. Karenanya jika
hukum tidak bersumber dari sejarah atau jiwa bangsa dianggap bukan hukum, karena hanya
dianggap akan menciptakan ketidak pastian dan bukan tidak mungkin justru menggiring
konsep jiwa masyarakat dalam aliran ini tidak dapat menunjukkan secara jelas bagaimana isi dan
ruang lingkupnya.
Ada dua pengaruh terhadap lahirnya mazhab sejarah ini, yakni pengaruh Montesquieu
dalam bukunya L’Espirit de Lois, terlebih dahulu mengemukakan tentang adanya hubungan antara
jiwa suatu bangsa dengan hukumnya dan pengaruh paham nasionalisme yang mulai timbul pada awal
abad ke 19. Lahirnya mazhab sejarah ini juga merupakan suatu reaksi yang langsung terhadap suatu
pendapat yang diketengahkan oleh Thibaut dalam pamfletnya yang berbunyi : “Uber Die
Notwendigkeit Eines Allgemeinen Burgerlichen Rechts Fur Deutshland”. Keperluan akan adanya
kodifikasi hukum perdata bagi Jerman. Ahli hukum perdata Jerman ini menghendaki agar di Jerman
diperlukan kodifikasi perdata dengan dasar hukum Perancis (Code Napoleon). Seperti diketahui,
setelah Perancis meninggalkan Jerman timbul masalah, hukum apa yang hendak diberlakukan di
negara ini. Juga merupakan suatu reaksi tidak langsung terhadap aliran hukum alam dan aliran
hukum positif.
Sebagaimana secara sepintas telah disinggung di muka buah pikiran Von Savigny yang kemudian
dikembangkan lebih lanjut oleh muridnya G. Puchta, banyak diikuti para ahli hukum jauh di luar
batas-batas negara Jerman. Pengaruh pemikirannya sangat terasa di Indonesia melalui para ahli
hukum Belanda. Demikian besar pengaruhnya sehingga melahirkan suatu cabang ilmu hukum baru
yang dikenal dengan hukum adat dengan dipelopori oleh Van Vollenhoven, Ter Haar, serta tokoh-
tokoh hukum adat lainnya. Bagi para ahli sosiologipun tidak dapat dikesampingkan saran Von
Savigny, betapa pentingnya penelitian tentang hubungan antara hukum dengan struktur masyarakat
beserta system nilainya. Pendapat ini nampaknya menjadi pegangan banyak para ahli sosiologi yang
melihat
bahwa sistem hukum sesungguhnya tidak terlepas dari sistem sosial yang lebih luas, dan antara
sistem hukum tadi dengan aspek-aspek sistem sosial lainnya terdapat hubungan timbal balik dan
saling mempengaruhi
Perlu dicatat bahwa pemikiran Von Savigny merupakan kenyataan sejarah bahwa perkembangan
masyarakat makin maju dan kompleks, sehingga menimbulkan pembagian kerja, di bidang hukum,
sehingga muncul golongan yuris yang mewakili bangsanya dalam memformulasikan kebutuhan
hukum masyarakat sesuai dengan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Bahkan
pada zaman modern, hukum suatu bangsa bertumpu pada kesadaran para yuris. Sejak perkembangan
ke zaman modern, hukum bereksistensi ganda : berkenaan dengan prinsip-prinsiup utama, hukum itu
masih hidup dalam kesadasaran bersama dari suatu bangsa, sedangkan penjabaran dan penerapan
prinsip- prinsip utama merupakan tugas para yuris melalui pengadilan atau hakim. 18 Berdasarkan
pandangan di atas, memberikan pemahaman bahwasanya hukum tidak terlepas dari perkembangan
masyarakat, dari masyarakat yang primitif sampai kepada masyarakat modern. Hal tersebut dapat
dipahami karena tidak ada hukum yang statis, hukum berkembang sesuai dengan perkembangan dan
perubahan yang terjadi di masyarakat.
Kelebihan pemikiran hukum dari madzab sejarah adalah sikap tegas yang mengatakan bahwa hukum
itu merupakan derivasi nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat. Dalam kaitan itu dapat
diasumsikan bahwa hukum yang demikian akan mempunyai daya berlaku sosiologis. Oleh karena
hukum pasti sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat. Tegasnya, satu-satunya sumber hukum
menurut madzab ini adalah kesadaran hukum suatu bangsa (Sudikno Mertokusumo, 1986: 100).
Selanjutnya, kebaikan madzab ini adalah ditempatkannya kedudukan hukum kebiasaan sejajar
dengan undang-undang tertulis (Lili Rasjidi, 1996: 71). Sikap semacam ini dapat mencegah
kepicikan orang akan wujud hukum yang utuh.
Akan tetapi pemikiran hukum madzab ini juga mengandung beberapa kelemahan yakni:
1. tidak diberikannya tempat bagi ketentuan yang sifatnya tertulis (peraturan perundang-undangan)
2. konsepsinya tentang kesadaran hukum sifatnya sangat abstrak serta konsepsinya tentang jiwa
rakyat tidak memuaskan banyak pihak;
3. inkonsistensi sikap mengenai hukum yang terbaik bagi suatu bangsa.
Kelemahan-kelemahan di atas akan diuraikan satu persatu untuk lebih mendalami kritik terhadap
madzab ini
1. Penolakan hukum tertulis (perundang-undangan)
Yang dimaksud sebagai hukum bagi madzab sejarah ini adalah hukum kebiasaan tidak tertulis
yang berkembang pada masyarakat sebagai pengejawantahan dari sistem nilai. Dengan demikian,
satu-satunya sumber hukum menurut madzab ini adalah kesadaran hukum masyarakat (Sudikno
Mertokusumo, 1986: 100). Konkretisasi dari kesadaran hukum tersebut sebagai norma yang
mengikat masyarakatnya tampak pada aturan-aturan tidak tertulis.
2. Ketidakjelasan konsep kesadaran hukum dan jiwa rakyat
Kesadaran hukum yang merupakan pandangan yang hidup dalam masyarakat tentang apa hukum
itu. menurut pandangan madzab sejarah ini bukanlah merupakan pertimbangan rasional. tetapi
berkembang dan dipengaruhi oleh pelbagai faktor, yaitu agama, ekonomi, politik, dan
sebagainya. Pandangan ini selalu berubah. oleh karena itu hukum pun selalu tidak sama (namun,
bukan karena mengalamiperubahan). Konsekuensinya. tidak ada ukuran tentang isi hukum yang
berlaku obyektif yang dapat diterima setiap orang secara ilmiah (Sudikno Mertokusumo.1986:
100)
3. Inkonsistensi jiwa rakyat sebagai sumber hukum
Savigny menyebutkan bahwa hukum yang baik adalah yang bersumber dari jiwa rakyat tetapi
dalam sebuah tulisannya yang lain, yang membahas tentang Hukum Romawi, dia mengatakan
bahwa Hukum Romawi merupakan hukum terbaik (Lili Rasjidi, 1991: 49). Studi Savigny yang
mendalam atas Hukum Romawi menjelaskan pada dirinya bahwa perkembangan Hukum Romawi
merupakan contoh penuntun hukum yang bijaksana yang membentuk hukum melalui adaptasi
bertahap bagi zaman-zaman sebelum "corpus yuris" membentuk kodefikasi yang final
(W.Friedman, 1994: 62). Ada dua hal yang tersirat dari uraian di atas, yakni:
A. ketidakjelasan makna dan fungsi jiwa rakyat;
B. kodefikasi merupakan "tindakan final" dari suatu upaya memformulasikan hukum, yang
berarti akhirnya, sikap anti anti Savigny terhadap kodefikasi tampaknya sudah diperluwes.
Nilai-Nilai Yang Terkandung Dalam Mazhab Sejarah
Nilai-nilai yang terkandung dalam mazhab sejarah merupakan nilai yang sangat mendalam
dan mendasar. Hai ini bisa terlihat dari pandangan Hegel yang melihat hukum sebagai ungkapan ruh.
Filsafat hukum Hegel bertolak belakang dengan fulsafat hukum Kant, sebuah fakta yang seringkali
dikaburkan dengan istilah “idealisme” yang berterap pada keduanya. Lebih jelasnya, Hegel
memandang hukum dalam kerangka moral, etika Hegel dan filsafat hukum Kant merupakan sebuah
satu kesatuan. Hukum, negara, dan etika merupakan jabaran perkembangan sejarah yang merupakan
manifestasi dari ruh bangsa, dan ruh bangsa ini secara keseluruhan merupakan pengejewantahan dari
ruh dunia. Konsepsi hukum Hegel berkaitan erta dengan pandangan metafisiknya mengenai peran
agama danruh, yakni ruh Tuhan. Menurut Hegel, pengadilan memiliki arti yang sangat penting
kendati
dia tidak berharap memberinya fungsi legislasi. Meski demikian, pengadilan memiliki tugas
mengakui hukum sebagai hak yang diungkapkan dalam undang-undang dan mempraktekkannya
secara actual.
Menurut Savigny, terdapat terdapat hubungan organik antara hukum dan ewatak serta
karakter rakyat. Karena yang apa yang menyatukan mereka menjadi satu kesatuan adalah keyakinan
umum rakyat, perasaan yang sama mengenai kebutuhan internal, yang melepaskan semua pemikiran
yang muncul secara kebetulan dan berubah-ubah. Menurut gagasan itu hukum adat merupakan
hukum kehidupan yang sejati. Bila dibandingkandengannya legislasi tidaklah penting, ia hanya baik
selama ini memiliki sifat deklaratif. Savigny memiliki sudut pandang yang terkait dengan kontradiksi
dalam sikap Hegel terhadap ruh bangsa. Savigny sama sekali tidak siap memperlakukan semua
bentuk hukum
bangsa secara setara. Sebaliknya sebagai sebuah teladan dan norma undang-undang Romawi baginya
berada di atas semua sistem hukum. Perlu dikatakan bahwa kendati mazhab sejarah sepertinya Hegel
berpijak pada konsepsi ruh bangsa, penggunaan konsep ini sangat berbeda. Dalam Mazhab Historis
ruh bangsa berfungsi sebagai prinsip pemersatu yang samar-samar, dan menjadi semacam lingkup
umum untukm kajian institusi hukum dan evolusinya secara rinci.
Dalam kaitannya dengan sejarah ini, seorang tokoh lainnya perlu dikemukakan mengingat
sumbangannya yang besar terhadap perkembangan ilmu hukum. Tokoh ini ialah Sir Henry Maine
(1822-1888), dengan bukunya yang sangat terkenal “Ancient Society”. Hasil penelitiannya yang
bersifat antropologis mengetengahkan teorinya bahwa hukumberkembang dari status ke kontrak,
sejalan dengan perkembangan masyarakatnya dari masyarakat yang sederhana ke masyarakat yang
kompleks dan modern. Pada masyarakat modern, demikian menurut Maine hubungan hukum antara
para anggota masyarakat dilakukan atas dasar sistem hak dan kewajiban yang tertuang dalam bentuk
suatu kontrak yang dibuat secara sadar dan sukarela oleh pihak-pihak yang berkenaan. Sedangkan
hukum itu sendiri pada masyarakat ini berkembang melalui tiga cara yaitu : fiksi, equity, dan
perundangan. Pendapat terakhir inilah yang membedakan Maine dengan Savigny. Agaknya Maine
tidak mengesampingkan peranan perundangan dan kodifikasi dalam pengembangan hukum pada
masyarakat yang telah maju.
Teori hukum dari Savigny dan pengikutnya cukup luas pengaruhnya, namun tetap terdapat
kelemahannya. Yang terpenting adalah tidak diberinya tempat bagi ketentuan yang bersifat tertulis
(perundang-undangan). Bagaimanapun dalam masyarakat modern, ketentuan yang bentuknya tertulis
diperlukan demi adanya kepastian hukum dan terutama sekali untuk menghindarkan tindakan
sewenang-wenang dari kekuasaan yang bersifat absolut. Kelemahan lainnya terletak pada
konsepsinya tentang kesadasaran hukum yang sifatnya abstrak. Juga mengenai jiwa rakyat,
konsepsinya tidak memuaskan banyak pihak. Von Savigny menyebutkan bahwa hukum yang baik
adalah yang bersumber dari jiwa rakyat ini, tetapi dalam sebuah tulisannya yang lain yang membahas
tentang hukum Romawi, diamengatakan bahwa hukum Romawi merupakan hukum yang terbaik
Diletakkan dalam konteks zamannya, teori Savigny dapat dilihat sebagai seranganterhadap
dua kekuatan yang berkuasa pada zaman itu, yakni : 1). Rasionalisme dari abad ke 18 dengan
kepercayaannya pada kekuasaan akal dan prinsip-prinsip absolut yang universal, yang membuahkan
teori-teori hukum rasionalistik tanpa memandang fakta historis lokal,ciri khas nasional serta kondisi-
kondisi sosial setempat, 2). Kepercayaan dan semangat Revolusi Perancis yang cenderung anti
tradisi, serta terlampau mengandalkan kekuatan akal dan kehendak manusia dalam mengkonstruksi
gejala-gejala hidup di bawah pesan-pesan kosmopolitannya. Melalui penentangan terhadap dua
kekuatan itu, Savigny serentakmencela pemujaan atas kodifikasi-kodifikasi hukum modern di Prusia,
Austria, dan Perancis saat itu yang mendasarkan diri pada prinsip-prinsip abstrak dan deduksi
rasional logis belaka. Kata Savigny, tidak ada hukum lintas ruang dan waktu. Hukum selalu bersifat
konstektual historis. Oleh karena itu langkah penting yang perlu dilakukan sebelum membuat
kodifikasi adalah melakukan studi mengenai sistem hukum dalam perkembangannya yang terus
menerus, dengan mana tiap generasi mengadaptasikan hukum itu dengan keperluannya. Tesis ini
muncul dari pengalaman ilmiah Savigny sendiri berkat studinya yang mendalam atas hukum
Romawi.
Menurut Savigny, perkembangan hukum Romawi merupakan contoh penuntun hukum yang
bijaksana, karena pembentukannya dilakukan melalui adaptasi bertahap seturut zaman sebelum
corpus bertahap itu, peran ahli hukum begitu menentukan, utamanya dalam membaca semangat
zaman dan konteks sosial kontemporer sebagai landasan adaptasi dari hukum itu sendiri. Maka tidak
mengherankan jika Savigny memandang ilmu hukum sebagai panduan reformasi hukum, kesadaran
umum merupakan
sumber hukum yang utama.24 Nampaknya Savigny berpikir moderat, dalam beberapa hal sangat
memuja jiwa bangsa sebagai sumber utama dari hukum, namun dilain pihak savigny memandang
hukum Romawi sebagai hukum yang baik dan utama dalam mengatur masyarakatnya
Kesimpulan
Mazhab sejarah merupakan mazhab dalam filsafat hukum yang sangat penting dan
strategis kedudukannya dalam perkembangan filsafat hukum. Essensi dan nilai strategisnya terletak
pada konsepsinya yang mengedepankan jiwa bangsa (volkgeist) sebagai sumberdari hukum, yang
hidup dan berkembang dalam masyarakat. Meskipun konsepsi ini tidaklah sempurna, karena mazhab
sejarah juga memiliki banyak kelemahan-kelemahannya, tetapi setidaknya memberikan suatu
pencerahan dan penguatan akan adanya hukum nasional yang bertumpu kepada jiwa bangsa
(volkgeist), yang menurut persepsi Hegel merupakan bagian dari ruh dunia. Meskipun konsepsi
mazhab sejarah nampak begitu kuat nilai metafisika dan idealisme historisnya, namun tetap mazhab
ini memilki peran yang sangat besar bagi perkembangan dan konsepsi hukum, karena sejatinya selalu
ada korelasi antara masa lalu dengan masa kini dan masa depan, yang menurut konsepsi Gadamer
bisa dileburkan melalui konsep peleburan cakrawala (fusion of horison), di mana nilai-nilai lama
dapat bersenyawa/ melebur dengan nilai-nilai yang berlaku saat ini untuk mendapatkan suatu
produksi makna yang mendalam dan mendasar