Anda di halaman 1dari 30

KEMENTRIAN PENDIDIKAN KEBUDAYAAN RISET DAN TEKNOLOGI

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
JL. Brigjen Hasan Basri, Kota Banjarmasin – 70123 Telp. (0511) 3305225 Laman; http://pmih.ulm.ac.id

DIMAS ARIEF WIDIANTO, S.H


2220215310034

PERMASALAHAN :
Buat sebuah narasi bagaimana penalaran hukum / metode penelitian dari :
a. Hukum Alam
b. Hukum Positivisme
c. Hukum Utilirianisme
d. Hukum Historical

a. Aliran Hukum Alam

1) Pengertian dan Pembagiannya

Mazhab Hukum Alam :


- Ciri utamanya adalah universal dan abadi;
- Bersifat otonom yang validitasnya bersumber pada nilainya sendiri;
Dalam kajian ontology Hukum Alam dapat dibedakan dalam tiga macam yaitu :
a) Rasionalisme : berpendapat bahwa sumber dari hukum yang universal dan abadi itu adalah
rasio manusia. Tokoh aliran Hukum Alam yang rasional adalah Hugo De
Groot (Grotius), Christian Thomasius, Immanuel Kant, dan Sammuel Von
Pufendorf.

b) Irrasionalisme : Berpendapat bahwa hukum yang berlaku universal dan abadi itu adalah
bersumber dari tuhan secara langsung, pendukung aliran Hukum Alam
yang irrasional adalah Thomas Aquinas, John Salisbury, Dante Alighieri,
Piere Dubois, Marsilius Padua, John Wyclliffe dan Johaness Huss

c) Empirisme : Berpendapat bahwa pengetahuan tentang kebenaran yang sempurna tidak


diperoleh melalui akal, melainkan diperoleh atau bersumber dari panca
indera manusia, yaitu mata, lidah, telinga, kulit, hidung. Dengan kata lain,
kebenaran adalah sesuatu yang sesuai dengan pengalaman manusia. Paham
ini diperoleh oleh Francis Bacon yang hidup antara tahun 1561-1626,
(1711-1776)

Berikut penjabaran serta pembagian dari tiga macam kajian ontology Hukum Alam :

a) Rasionalisme

(1) Hugo De Groot alias Grotius (1583-1645)


Hugo De Groot atau Grotius adalah Bapak Hukum Internasional karena yang
mempopulerkan konsep hukum dalam hubungan antar negara seperti hukum perang dan
damai serta hukum laut. Menurutnya sumber hukum adalah rasio manusia karena
karakteristik yang membedakan manusia dan mahluk lain adalah kemampuan
akalnya,seluruh kehidupan manusia harus berdasarkan pada kemampuan akalnya dan
hukum alam adalah hukum yang muncul sesuai kodrat manusia yang tidak mungkin dapat
diubah oleh tuhan sekalipun karena hukum alam diperoleh manusia dari akalnya tetapi
tuhanlah yang memberikan kekuatan mengikatnya. Karyanya yang termasyur adalah De
Jure Belliac Pacis dan Mare Liberium.
Landasan – landasan pembatasan terhadap hukum yang dibuat manusia harus
dibatasi dengan tiang hukum alam sebagai mana dikemukan oleh Grotius yakni: semua
prinsip kupunya dan kau punya. Milik orang lain harus dijaga; prinsip kesetiaan pada janji;
prinsip ganti rugi dan prinsip perlunya hukuman karena pelanggaran atas hukum alam.
Dengan demikian hukum akan ditaati karena hukum akan memberikan suatu keadilan
sesuai dengan porsinya.

(2) Sammuel Von Pufendorf (1632-1694) dan Christian Thomesius 91655-1728)


Pufendorf berpendapat, bahwa hukum alam adalah aturan yang berasal dari akal
pikiran yang murni. Dalam hal ini unsur naluriah manusia lebih berperan. Akibatnya ketika
manusia mulai hidup bermasyarakat, timbul pertentangan kepentingan atau dengan yang
lainnya. Agar tidak terjadi pertentangan terus-menerus dibuatlah perjanjian secara sukarela
diantara rakyat. Baru setelah itu, diadakan perjanjian berikutnya, berupa perjanjian
penaklukan oleh raja. Dengan adanya perjanjian itu, berarti tidak ada kekuasaan absolut.
Semua kekuasaan itu dibatasi oleh Tuhan, Hukum alam, kebiasaan, dan tujuan dari Negara
yang didirikan. Menurut Thomasius, manusia hidup dengan bermacam-macam naluri yang
bertentangan satu dengan yang lain. Karena itu diperlukan baginya aturan-aturan yang
mengikat, agar ia mendapat kepastian dalam tindakan-tindakannya, baik ke dalam maupun
keluar. Dengan demikian, dalam ajarannya tentang hukum alam, Thomasius sampai
kepada pengertian tentang ukuran, sebagaimana Thomas Aguinas juga mengakuinya
dalam hukum alam. Apabila ukuran itu bertalian dengan batin, manusia, ia adalah aturan
kesusilaan, apabila ia memperhatikan tindakan-tindakan lahiriah, ia merupakan aturan
hukum. Jika hendak diperlakukan, aturan hukum ini harus disertai dengan paksaan. Tentu
saja yang dimaksud oleh Thomasius disini adalah paksaan dari pihak penguasa.

(3) Immanuel Kant (1724-1804)


Bertens mengungkapkan, kehidupan Kant sebagai filsuf dapat dibagi atas dua
periode,yakni jaman prakritis dan jaman kritis. Dalam jaman prakritis, Kant menganut
pendirian rasionalistis yang dilancarkan oleh Wolf dan kawan-kawannya. Akibat pengaruh
dari David Hume (1711-1776), berangsur-angsur Kant meninggalkan rasionalismenya.
Hume sendiri dalam filsafat dikenal sebagai tokoh empirisme, suatu aliran yang
bertentangan dengan rasionalisme. Empirisme berpendapat bahwa sumber pengetahuan
manusia bukan rasio, melainkan pengalaman (empiri), tepatnya pengalaman yang berasal
dari pengenalan inderawi.

b) Irrasionalisme
(1) Thomas Aquinas (1225-1274)
Filsafat Thomas Aquinas berkaitan erat dengan teologia yang mengakui bahwa
disamping kebenaran wahyu juga terdapat kebenaran akal. Menurutnya ada dua
pengetahuan yang berjalan bersama-sama yaitu pengetahuan alamiah (berpangkal
padaakal) dan pengetahuan iman (berpangkal pada wahyu ilahi). Sementara untuk
ketentuan hukum Aquinas mendefinisikannya sebagai ketentuan akal untuk kebaikan
umum yang dibuat oleh orang yang mengurus masyarakat. Ada empat macam hukum yang
diberikan Aquinas yaitu :a. lex aeterna (hukum rasio tuhan yang tidak dapat ditangkap oleh
panca indera manusia). b. lex divina (hukum rasio tuhan yang dapat ditangkap oleh panca
indera manusia).c. lex naturalis (hukum alam, yaitu penjelmaan lex aeterna ke dalam rasio
manusia).d. lex positivis (penerapan lex naturalis dalam kehidupan manusia di dunia).

(2) John Salisbury (1115-1180)


Salisbury adalah rohaniawan pada abad pertengahan yang banyak mengkritik
kesewenang-wenangan penguasa pada waktu itu. Menurutnya jikalau masing-masing
penduduknya bekerja untuk kepentingannya sendiri, kepentingan masyarakat akan
terpelihara dengan sebaik-baiknya. Salisbury juga melukiskan kehidupan bernegara itu
seperti kehidupan sarang lebah, yang sangat memerlukan kerja sama dari semua
unsur,suatu pandangan yang bertitik tolak dari pendekatan organis. Kumpulan bukunya
adalah Policraticus sive de nubis curialtum et vestigiis philosophorum libri dan
Metalogicus.

(3) Dante Alighieri (1265-1321)

Dante memberikan legitimasi terhadap kekuasaan monarkhi yang bersifat


mondial.Monarkhi dunia inilah yang menjadi badan tertinggi yang memutuskan
perselisihan antara penguasa yang satu dengan yang lainnya. Dasar hukum yang menjadi
pegangan adalah hukum alam yang mencerminkan hukum-hukum tuhan, menurutnya
Badan tertinggi yang memperoleh legitimasi dari tuhan sebagai monarkhi dunia ini adalah
Kekaisaran Romawi yang kemudian di abad pertengahan Kekaisaran Romawi sudah
digantikan oleh kekuasaan Jerman dan Perancis di Eropa. Karangan Dante yang penting
berjudul De Monarchia.

(4) Piere Dubois (Lahir 1255)

Dubois adalah salah satu filsuf terkemuka Perancis yang juga sebagai pengacara Raja
Perancis sangat meyakini adanya hukum yang dapat berlaku universal, bahwa
penguasa(raja) dapat langsung menerima kekuasaan dari tuhan. Ia juga menyatakan bahwa
raja pun memiliki kekuasaan membentuk undang-undang, tetapi raja tidak terikat untuk
mematuhinya. Bukunya Dubois adalah De Recuperatione Trre Sancte (tentang penaklukan
kembali tanah suci)
(5) Marsilius Padua dan William Occham (1280-1317)

Pemikiran Marsilius Padua dan William Occam seringkali diuraikan bersama-sama


karena banyak persamaannya, keduanya termasuk tokoh penting abad 14 yang sama-sama
dari ordo Fransiscan dan pernah memberi kuliah di universitas di kota Paris. Pendapatnya
tentang kenegaraan banyak dipengaruhi oleh Aristoteles.yaitu bahwa tujuan negara adalah
untuk memajukan kemakmuran dan memberi kesempatan seluas-luasnyakepada warga
negara agar dapat mengembangkan dirinya secara bebas. Bahkan rakyat boleh menghukum
penguasa (raja) yang melanggar undang-undang, termasuk memberhentikannya karena
kekuasaan raja bukanlah kekuasaan absolute melainkan dibatasi oleh undang-undang.
Filsafat Occam sering disebut nominalisme, sebagai lawanThomas Aquinas daalam
pemikiran Aliran Hukum Alam yang irasional bahwa rasio manusia untuk mengungkapkan
kebenaran, sedangkan Occam sebaliknya rasio manusia tidak dapat memastikan suatu
kebenaran karena pengetahuan yang ditangkap manusia hanya nama-nama (nomen,
nominal) yang digunakan manusia dalam hidupnya. Karang Padua adalah Defensor Pacis,
sedangkan Occam adalah De Imperatorum et Pontifictum Potestate

(6) John Wycliffe (1320-1384) dan Johannes Huss (1369-1415)


Keduanya filsuf Inggris abad pertengahan yang menyoroti masalah kekuasaan
gereja. Wycliffe mengibaratkan hubungan antara kekuasaan ketuhanan dan kekuasaan
duniawi seperti hubungan pemilik dan penggarap tanah, masing-masing memiliki
bidangnya sendiri sehingga tidak boleh saling mencampuri. Selain itu juga dia berpendapat
pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yangn dipimpin para bangsawan. Huss
melengkapi pemikiran Wycliffe yang mengatakan paus dan hirarki gereja tidak diadakan
menurut perintah tuhan.

c) Empirisme
(1) John Locke (1632-1704)
Menurut Locke, seluruh pengetahuan bersumber dari pengalaman manusia. Posisi ini
adalah posisi empirisme yang menolak pendapat kaum rasionalis yang mengatakan sumber
pengetahuan manusia yang terutama berasal dari rasio atau pikiran manusia. Meskipun
demikian, rasio atau pikiran berperan juga di dalam proses manusia memperoleh
pengetahuan. Dengan demikian, Locke berpendapat bahwa sebelum seorang manusia
mengalami sesuatu, pikiran atau rasio manusia itu belum berfungsi atau masih kosong.
Situasi tersebut diibaratkan Locke seperti sebuah kertas putih (tabula rasa) yang kemudian
mendapatkan isinya dari pengalaman yang dijalani oleh manusia itu. Rasio manusia hanya
berfungsi untuk mengolah pengalaman-pengalaman manusia menjadi pengetahuan
sehingga sumber utama pengetahuan menurut Locke adalah pengalaman.

Ragam pengalaman Manusia

Lebih lanjut, Locke menyatakan ada dua macam pengalaman manusia, yakni
pengalaman lahiriah (sense atau eksternal sensation) dan pengalaman batiniah (internal sense
atau reflection). Pengalaman lahiriah adalah pengalaman yang menangkap aktivitas indrawi
yaitu segala aktivitas material yang berhubungan dengan panca indra manusia. Kemudian
pengalaman batiniah terjadi ketika manusia memiliki kesadaran terhadap aktivitasnya sendiri
dengan cara 'mengingat', 'menghendaki', 'meyakini', dan sebagainya. Kedua bentuk
pengalaman manusia inilah yang akan membentuk pengetahuan melalui proses selanjutnya

Proses manusia mendapatkan pengetahuan


Dari perpaduan dua bentuk pengalaman manusia, pengalaman lahiriah dan pengalaman
batiniah, diperoleh apa yang Locke sebut 'pandangan-pandangan sederhana' (simple ideas)
yang berfungsi sebagai data-data empiris. Ada empat jenis pandangan sederhana :
1. Pandangan yang hanya diterima oleh satu indra manusia saja. Misalnya, warna diterima oleh
mata, dan bunyi diterima oleh telinga.
2. Pandangan yang diterima oleh beberapa indra, misalnya saja ruang dan gerak.
3. Pandangan yang dihasilkan oleh refleksi kesadaran manusia, misalnya ingatan.
4. Pandangan yang menyertai saat-saat terjadinya proses penerimaan dan refleksi. Misalnya,
rasa tertarik, rasa heran, dan waktu.
Di dalam proses terbentuknya pandangan-pandangan sederhana ini, rasio atau
pikiran manusia bersifat pasif atau belum berfungsi. Setelah pandangan-pandangan sederhana
ini tersedia, baru rasio atau pikiran bekerja membentuk 'pandangan-pandangan kompleks'
(complex ideas). Rasio bekerja membentuk pandangan kompleks dengan cara
membandingkan, mengabstraksi, dan menghubung-hubungkan pandangan-pandangan
sederhana tersebut.

Pembentukan Sebuah Negara :


Deskripsi Locke tentang perjanjian sosial (kontrak sosial) menjadi landasan yang
prinsipil dan filosofis dalam melihat proses pembentukan sebuah negara. Locke bahkan
menegaskan tentang pentingnya memisahkan aspek legislatif (pembuat undang-undang dan
hukum) dan aspek eksekutif dan yudikatif (pelaksanaan undang-undang dan hukum) dalam
sebuah sistem politik . Kedua aspek ini tidak boleh dipegang oleh satu tangan agar
penyalahgunaan kekuasaan dapat dihindarkan. Locke mempunyai empat pembatasan khusus
dari kekuasaan legislatif:Pertama, Ia wajib mengikuti hukum alam yang menjadi hukum abadi
bagi semua orang, baik pembuat hukum atau orang lain. Kedua, Ia harus bertindak sesuai
dengan hukum dan tidak boleh sewenag-wenang. Ketiga, Ia tidak bisa menetapkan pajak
terhadap harta milik rakyat tanpa persetujuan mereka. Keempat, Ia tidak mendelegasikan
kekuasaan membuat hukum kepada pihak lain.

(2) Thomas Hobbes (1588-1679)


Ia adalah salah seorang tokoh dalam aliran Hukum Alam. Buku-bukunya yang
terpenting adalah De Cive (1651) tentang kewarganegaraan, Leviathan or the matter form and
power of commonweath ecclesiastical and civil, tentang leviathan atau pokok bentuk dan
kekuasaan suatu hidup bersama, baik gerejani maupun sipil.
Menurut Hobbes metode yang tepat untuk mendapatkan kebenaran adalah metode
yang digunakan dalam ilmu-ilmu pengetahuan positif yakni dalam ilmu-ilmu pengetahuan
fisika dan matematika. Dalam ilmu pengetahuan fisika penyelidikan empiris memainkan
peranan yang sangat penting. Melalui penyelidikan empiris dapat dipastikan bahwa benda alam
yang merupakan obyek penyelidikan adalah bersifat material dan semua itu berhubungan antara
satu dengan yang lain menurut hukum sebab akibat.
Thomas Hobbes meyakinkan terhadap pentingnya kekuasaan negara yang amat
besar, yang menurut pendapatnya harus diberikan kepada penguasa yang absolut. Hobbes
seperti kebanyakan penulis pada masanya, mengakui kekuasaan Hukum Alam. Tetapi
mengartikan Hukum Alamnya berbeda secara mendasar dari para penulis lainnya yang
menganggap Hukum Alam sebagai suatu tatanan objektif yang pasti dan yang lebih tinggi dari
hukum positif. Ia mengubah tekanan dari Hukum Alam sebagai suatu tatanan objektif menjadi
suatu hak alami sebagai tuntunan subjektif yang didasarkan oleh sifat manusia, sehingga
memberikan jalan untuk revolusi individualisme di kemudian hari dengan nama ”hak-hak yang
tak dapat dicabut kembali”.
Prinsip pokok Hukum Alam adalah hak alami untuk menjaga diri, Hal ini berkaitan
dengan pandangannya mengenai keadaan alam dimana orang hidup tanpa kekuasaan bersama
untuk membuat mereka semua mempunyai rasa hormat, mereka hidup dalam keadaan yang
disebut warre sebagaimana adanya pada setiap manusia bertentangan dengan setiap manusia.
Hobbes berpendapat negara dan hukum tidak termasuk realitas alam sebab
diwujudkan oleh manusia. sendiri. Tetapi disini pengertiannya juga berpangkal pada
pengalaman. Apa yang dialami dalam hidup Bersama membawa kita kepada pengertian negara
dan hukum. Karena negara dan hukum diwujudkan oleh manusia maka kebenarannya
tergantung dari manusia juga. Apa yang dikehendaki manusia disebut benar, tidak ada norma
kebenaran selain manusia iti sendiri. Oleh karena itu negara dan hukum ditentukan
kebenarannya secara apriori dengan jalan deduksi
Ajaran-ajaran pokok empirisme yaitu:

1. Pandangan bahwa semua ide atau gagasan merupakan abstraksi yang dibentuk dengan
menggabungkan apa yang dialami.
2. Pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal atau rasio.
3. Semua yang kita ketahui pada akhirnya bergantung pada data inderawi.
4. Semua pengetahuan turun secara langsung, atau di simpulkan secara tidak langsung dari data
inderawi (kecuali beberapa kebenaran definisional logika dan matematika).
5. Akal budi sendiri tidak dapat memberikan kita pengetahuan tentang realitas tanpa acuan pada
pengalaman inderawi dan penggunaan panca indera kita. Akal budi mendapat tugas untuk
mengolah bahan bahan yang di peroleh dari pengalaman.
6. Empirisme sebagai filsafat pengalaman, mengakui bahwa pengalaman sebagai satu-satunya
sumber pengetahuan.

2) Metode Penalaran Aliran Hukum Alam

Sama halnya dengan banyak bidang studi lainnya, hukum dari alam (the law of nature)
dimulai pada zaman Yunani. Filsafat Yunani melahirkan standar yang absolut mengenai hak dan
keadilan. Hal ini didasarkan pada kepercayaan pada berlakunya kekuasaan supernatural atas
hukum, dimana manusia seharusnya mematuhinya. Pernyataan riil pertama dari Teori Hukum
Alam dari sudut terminologi filsafat berasal dari abad 6 SM. Hukum manusia dikatakan mendapat
tempatnya dalam tatanan benda-benda berdasarkan atas kekuatan yang mengontrol segala hal.
Reaksi dari ajaran ini datang pada abad-abad berikutnya dimana ada perbedaan dan kemungkinan
timbulnya konflik anatara Hukum Alam dan Hukum yang dibuat manusia. Pada zaman Yunani,
Aristoteles dan Plato membangun kembali Hukum Alam. Sampai hari ini hanya Aristoteles yang
mempunyai pengaruh terbesar dalam doktrin Hukum Alam, ia menganggap manusia adalah bagian
dari alam. Menurut Friedmann Aliran Hukum Alam timbul karena kegagalan umat manusia dalam
mencari keadilan yang absolut, sehingga hukum alam dipandang sebagai hukum yang berlaku
universal dan abadi. Hukum alam dianggap lebih tinggi dari hukum yang sengaja dibentuk oleh
manusia. Hukum Alam itu sebenarnya bukan merupakan satu jenis hukum, tetapi penamaan
seragam untuk banyak ide yang dikelompokkan menjadi satu nama yaitu Hukum Alam. Salah satu
pemikiran Hukum Alam yang khas adalah tidak dipisahkannya secara tegas antara hukum dan nilai
moral. Pada umumnya penganut aliran Hukum Alam mamandang hukum dan moral sebagai
pencerminan dan pengaturan secara internal dan eksternal dari kehidupan manusia dan hubungan
sesama manusia. Didalam aliran Hukum Alam ini terdapat suatu pembedaan-pembedaan, yaitu:
Hukum Alam sebagai metode adalah yang tertua yang dapat dikenali sejak zaman yang
kuno sekali sampai pada permulaan abad pertengahan. Hukum ini memusatkan perhatiannya pada
usaha untuk menemukan metode yang bisa digunakan untuk menciptakan peraturan-peraturan
yang mampu untuk mengatasi keadaan yang berlain- lainan.
Hukum Alam sebagai substansi atau isi berisikan norma-norma. Peraturan-peraturan dapat
diciptakan dari asas yang mutlak yang lazim dikenali dengan peraturan hak azasi manusia. Ciri
Hukum Alam seperti ini merupakan ciri dari abad ke 17 dan ke 18 untuk kemudian pada abad
berikutnya digantikan oleh positivisme hukum. Positivisme hukum sendiri ternyata kemudian
tidak mampu untuk mengikuti rasa keadilan yang tumbuh didalam masyarakat karena hukum yang
sifatnya tertulis tidak dapat berubah-ubah setiap saat. Rasa keadilan yang tercermin dalam suatu
kitab undang-undang misalnya, mungkn hanya selaras dengan keadilan dalam masyarakat
pada waktu di berlakukannya kitab undang-undang itu. Mayarakat yang terus berubah membawa
serta perubahan pada keadilan yang hidup pada masyarakat itu. Karena dirasakan ketentuan yang
ada tidak atau kurang mencerminkan rasa keadilan yang dikehendaki, maka orang berusaha
mencari keadilan yang dikehendaki, maka orang berusaha mencari keadilan lain, dan ini berarti
orang berpegang kembali pada ajaran Hukum Alam. Inilah yang disebut masa kebangkitan
kembali hukum alam. Dalam memahami ajaran Hukum Alam maka terlebih dahulu harus
dibedakan antara pemikiran Hukum Alam yang tumbuh di Yunani dan pemikiran Hukum Alam
yang tumbuh di Romawi. Dan yang perlu diketahui adalah bahwa tidak ada teori yang tunggal
tentang Hukum Alam, masing-masing filsuf yang menganut ajaran ini cenderung mempunyai
pandangan khas masing-masing. Perbedaan pokok antara pemikiran Yunani dan pemikiran
Romawi tentang Hukum lebih bersifat teroitis dan filosofis, sedangkan pemikiran Romawi lebih
menitikberatkan pada hal-hal yang praktis dan dikaitkan pada hukum positif.
Perkembangan ajaran Hukum Alam tidak terlepas dari pendapat para tokoh dan pakar
Hukum Alam, yang menjadi pelopor sekaligus melakukan pengembangan ajaran Hukum Alam itu
sendiri. Adapun tokoh dan pakar itu menurut zamannya dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Tokoh-tokoh Hukum Alam Yunani antara lain: socrates, plato, Aristotle
2. Tokoh-tokoh Hukum Alam Romawi antara lain:Cicero, Gaius
3. Tokoh-tokoh Hukum Alam di abad pertengahan antara lain: Auguste, Isidor, Thomas Aguinas
dan Wiliam Occam
4. Tokoh-tokoh Hukum Alam di abad ke enam belas sampai ke delapan belas antara lain :Bodin,
Grotius, Thomas Hobbes, Spinoza, John Lock, Montesquieu dan JJ Rousseau
5. Tokoh-tokoh idealisme transedental antara lain: Imanuel Kant dan Hegel.
6.Tokoh-tokoh kebangkitan kembali Hukum Alam antara lain : Kohler, Stamler,Leon
Duguit,Gustav Radbruch, Del Vecchio
Walaupun pengungkapan mengenai hukum alam terus berlanjut namun sampai saat ini
bukanlah merupakan suatu konsep yang tunggal, tetap dan statis. Hukum Alam telah memiliki
banyak pengertian yang berbeda-beda dan telah digunakan pada berbagai kegunaan yang berbeda
pula tergantung pada kebutuhan dan tujuannya. Banyak dokrtin/ajaran yang berbeda-beda
mengenai Hukum Alam yang diungkapan oleh para tokoh/ahli yang hidup di zaman yang berbeda-
beda, dan cenderung mempunyai pandangan khas masing-masing mengenai hukum alam dari
sudut pandangnya masing-masing, namun pada intinya pemikiran Hukum Alam yang khas adalah
tidak
dipisahkannya secara tegas antara hukum dan moral ( nilai-nilai moral, keadilan). Asumsi
dasar/ideologi aliran Hukum alam adalah:
Hukum positif tergantung/berdasarkan tertib yang lebih tinggi/supranatural, yaitu dipengaruhi
oleh:
1. Pengaruh ajaran Tuhan;
2. Alasan yang suci;
3. Kodrat manusia (misalnya pikiran manusia dimanapun, kapanpun adalah sama).
Jadi hukum dimana saja, kapan saja, bagi siapa saja berlaku sama (universal). Penguasa yang
tidak mensejahterakan warganya dianggap tidak adil dan dianggap tidak mencerminkan hukum
yang baik. Hukum dipengaruhi/tidak terpisah dari moral (sebagai landasan dari keadilan). Hukum
Kodrat dipengaruhi juga oleh ajaran Filsafat, Etika dan Agama.
Mengapa orang tunduk pada hukum ?
Menurut aristoteles :
- hukum berlaku karena penetapan Negara
- hukum alam sebagai hukum yang asli berlaku dimana saja tidak tergantung waktu dan tempat
orang-orang yang berfikiran sehat merasakan hokum alam selaras dengan kodrat manusia.
- hukum tidak tergantung pada pandangan manusia tentang baik buruknya

Menurut Thomas Aquino : segala kejadian dalam ini di perintah dan dikendalikan oleh suatu UU
abadi (lex eterna) yang menjadi dasar kekuasaan dari semua peraturan lainnya . lex aterna =
kehendak pikiran tuhan yang menciptakan dunia ini.
Menurut Thomas Aquino pula hukum alam memuat dua azas yaitu :
1. azas umum (principia prima) : azas yang dengan sendirinya dimiliki manusia sejak lahir dan
mutlak diterima (contoh :berbuat baik) .
2. azas diturunkan dari azas umum ( principia secundaria) : azas yang merupakan tapsiran dari
principia prima yang dilakukan manusia
Menurut Justinian, lembaga-lembaga hukum alam dapat dibedakan dalam:
- hukum sipil (civil law) dan
- hukum universal (universal law)
Hukum sipil merupakan hukum yang sifatnya khusus yang tiap-tiap manusia atau bangsa
membuatnya sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat. Sedangkan hukum
universal merupakan hukum dimana ketentuan tersebut digunakan /berlaku bagi seluruh ciptaan
Tuhan.
Hukum alam (universal law) melihat semua manusia mempunyai kedudukan yang sama,
kesamaan sebagai ciptaan Tuhan. Manusia yang berkulit hitam tidak berarti lebih rendah dari
manusia yang lebih putih, karena itu bukan kehendak manusia tapi hukum alam yang berlaku.
Maka perbudakan dalam bentuk dan jenis yang mengatas namakan warna kulit tidak dapat
dibenarkan menurut teori hukum alam. Sedangkan hukum sipil (civil law) yang merupakan
kehendak dan kesepakatan masyarakat setiap waktu dapat diubah oleh masyarakatnya secara
diam- diam atau diganti dengan peraturan yang baru sesuai dengan kebutuhan.
Kontribusi terbesar ajaran atau mazhab hukum alam bagi hukum internasional adalah bahwa
ia memberikan dasar-dasar bagi pembentukan hukum yang ideal. Dalam hal ini, dengan
menjelaskan bahwa konsep hidup bermasyarakat internasional merupakan keharusan yang
diperintahkan oleh akal budi (rasio) manusia, mazhab hukum alam sesungguhnya telah meletakkan
dasar rasionalitas bagi pentingnya hidup berdampingan secara tertib dan damai antarbangsa-
bangsa di dunia ini walaupun mereka memiliki asal-usul keturunan, pandangan hidup, dan nilai-
nilai yang berbeda-beda. Kelebihan aliran hukum alam : mengembangkan dan membangkitkan
kembali orang untuk berfilsafat hukum dalam mencari keadilan, mengembangkan perlindungan
terhadap HAM, mengembangkan hukum internasional.
Meskipun demikian, ia juga mengandung kelemahan yang cukup mendasar yaitu tidak
jelasnya apa yang dimaksud dengan “hukum alam” itu. Akibatnya, pengertian tentang hukum alam
itu menjadi sangat subjektif, bergantung pada penafsiran masing-masing orang atau ahli yang
menganjurkannya.

3) Kesimpulan
Mazhab Hukum Alam :
- Ciri utamanya adalah universal dan abadi;
- Bersifat otonom yang validitasnya bersumber pada nilainya sendiri;
- Hukum alam menjadi kekuasaan tertinggi atau rasional tertinggi dan sekaligus pembatasan
tertinggi bagi kekuasaan hukum, sosial, dan politik;
- Diperoleh dari berpikir deduktif inferential, dari prinsip‐prinsip self evidens atau presuposisi
yang dianggap benar secara universal;
- Hukum alam telah banyak mempengaruhi perkembangan pemikiran dan praktik berhukum.
Sebaliknya belumada kesatuan pendapat mengenai definisinya
- Landasan – landasan pembatasan terhadap hukum yang dibuat manusia harus dibatasi dengan
tiang hukum alam sebagai mana dikemukan oleh Grotius yakni: semua prinsip kupunya dan
kau punya. Milik orang lain harus dijaga; prinsip kesetiaan pada janji; prinsip ganti rugi dan
prinsip perlunya hukuman karena pelanggaran atas hukum alam. Dengan demikian hukum
akan ditaati karena hukum akan memberikan suatu keadilan sesuai dengan porsinya.

Kelebihan aliran hukum alam : mengembangkan dan membangkitkan kembali orang untuk
berfilsafat hukum dalam mencari keadilan, mengembangkan perlindungan terhadap HAM,
mengembangkan hukum internasional.
Kekurangan aliran hukum alam : karena tidak jelasnya apa yang dimaksud dengan “hukum
alam” itu. Akibatnya, pengertian tentang hukum alam itu menjadi sangat subjektif, bergantung pada
penafsiran masing-masingorang atau ahli yang menganjurkannya.
b. Aliran Hukum Positivisme

Pada dasarnya aliran Positivisme Hukum dan Utilitarianisme hakikatnya mencapai


kesimpulan bahwa tujuan hukum adalah menciptakan ketertiban masyarakat, disamping untuk
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada jumlah orang terbanyak. Aliran Positivisme
(Hukum Positif) menyamakan hukum dengan undang-undang, tidak ada hukum di luar undang-
undang, sehingga harus diakui bahwa satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang (legisme).
Undang-undang dibuat oleh penguasa, oleh karena itu hukum merupakan perintah dari penguasa dalam
arti bahwa perintah dari pemegang kekuasaan yang paling tinggi atau pemegang kedaulatan.
Positivisme berasal dari kata ponѐre yang berarti meletakkan, kemudian menjadi bentuk
pasif positus-a-um yang berarti diletakkan. Dengan demikian, positivisme menunjukkan pada sebuah
sikap atau pemikiran yang meletakkan pandangan dan pendekatannya pada karakteristik dasar, struktur
dasar dan prosedur-prosedur, konsep-konsep, serta prinsip-prinsip yang mendasari keberadaan sebuah
hukum secara faktual dalam masyarakat (manusia). Istilah “Positive” dipakai untuk memberikan
maksud bahwa hukum itu ditetapkan dengan pasti, tegas, dan nyata. Dan penggunaan istilah ini juga
bermaksud untuk membedakannya dengan nilai-nilai yang berasal dari Tuhan dan moral yang bersifat
abstrak dan tidak nyata. Karena telah dibedakannya sesuatu yang nyata dan tidak nyata, maka aliran
hukum positif ini begitu memandang perlu untuk memisahkan secara tegas antara hukum dan moral
atau antara hukum yang berlaku (das sein) dengan hukum yang seharusnya ada (das sollen).
Aliran filsafat hukum positif atau positivisme cukup kuat pada zaman rasionalis,
dikembangkan oleh Immanuel Kant, aliran ini dianut oleh orang-orang yang berpegang teguh pada
ilmu pengetahuan. Menurut Immanuel Kant, bahwa positivisme berpangkal pada pandangannya
bahwa manusia tidak mampu untuk mengetahui realitas selain melalui ilmu pengetahuan. Kebenaran
hanya didapati melalui ilmu pengetahuan, sehingga tugas para filsuf itu mengumpulkan data-data untuk
membuat sintesisnya.
Ada tiga cabang yang muncul tentang positivisme di bidang hukum, yaitu :
1) Positivisme sosiologis, yang memandang hukum sebagai gejala sosial saja. Sehingga hukum hanya
dapat diselidiki melalui suatu ilmu pengetahuan yang baru muncul pada waktu itu, yaitu sosiologi.
2) Positivisme yuridis, yang memandang bahwa arti hukum itu sebagai gejala tersendiri, yaitu menurut
metode hukum positif.
3) Ajaran hukum umum, ajaran ini merupakan ajaran yang dekat dengan positivisme yuridis,
pendapatnya bahwa kegiatan teoretis seorang ilmuwan terbatas pada uraian tentang arti dan
prinsip-prinsip hukum secara induktif-empiris saja.
Aliran Positivisme merupakan perintah dari penguasa, dengan merinci unsur-unsur perintah sebagai
berikut :
1) Adanya kehendak dari satu pihak untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kehendaknya itu.
2) Pihak yang diperintah itu akan mengalami siksaan jika kehendak itu tidak dijalankan atau ditaati
dengan baik
3) Perintah itu merupakan pembedaan kewajiban antara yang diperintah dengan yang memerintah.
4) Ketiga unsur di atas tidak akan terlaksana jika yang memerintah itu bukan orang yang berdaulat.

Positivisme hukum adalah bagian yang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh perkembangan
positivisme (ilmu). Dalam defenisinya yang paling tradisional tentang hakikat hukum, dimaknai
sebagai norma-norma positif falam sistem perundang-undangan. Dari segi ontologinya, pemaknaan
tersebut mencerminkan penggabungan antara idealisme dan materialisme. Pandangan diatas menurut
John Austin, dapat dipastikan bahwa yang berkuasa adalah satu-satunya sumber hukum, sehingga tidak
ditemukan lagi sumber hukum di atasnya. Maka John Austin berpendapat, bahwa tiap undang undang
positif ditentukan secara langsung atau secara tidak langsung oleh seorang pribadi atau sekelompok
orang yang berwibawa bagi seorang anggota atau anggota dari suatu masyarakat politik yang
berdaulat, di mana pembentuk hukum adalah yang tertinggi. Dengan ketentuan ini juga tidak disangkal
bahwa adanya norma-norma hukum ilahi, norma moral dan juga tentang hukum internasional. John
Austin terkenal dengan pandangannya tentang positivisme analitis. maka pada positivisme hukum,
aktivitasnya justru diturunkan kepada permasalahan konkret . masalah validitas (legitimasi) aturan
tetap diberi perhatian, tetapi standar regulasi yang dijadikan acuannya adalah norma-norma hukum.

Penalaran aliran Positivisme Hukum

Positivisme hukum melihat bahwa yang terutama dalam melihat hukum adalah fakta bahwa
hukum diciptakan dan diberlakukan oleh orang-orang tertentu di dalam masyarakat yang mempunyai
kewenangan untuk membuat hukum. Sumber dan validitas norma hukum bersumber pada kewenangan
tersebut. Bagi aliran ini hukum adalah fenomena sosial yang khusus dibanding fenomena-fenomena
sosial lainnya yang hanya dapat dibentuk, diadakan dan diterapkan dalam ruang lingkup tertentu,
walaupun hukum tidak dapat dilepaskan dari faktor-faktor lain seperti moralitas, agama, etika, dan lain
sebagainya. Menurut paham positivisme, setiap norma hukum harus eksis dalam alamnya yang
obyektif sebagai norma-norma yang positif, serta ditegaskan dalam wujud kesepakatan kontraktual
yang konkret antara warga masyarakat atau wakil-wakilnya. Disini hukum bukan lagi dikonsepsikan
sebagai asas-asas moral metayuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan, melainkan ius yang telah
mengalami positivisasi sebagai lege atau lex, guna menjamin kepastian
mengenai apa yang terbilang hukum, dan apa pula yang sekalipun normative harus dinyatakan sebagai
hal-hal yang bukan terbilang hukum. Dalam mazhab Positivisme Hukum, hukum itu sendiri melaju
dalam sistem hukum ke arah pemenuhan ketertiban masyarakat terlepas dari perwujudan keadilan. Di
sisi lain moral sudah terbatasi oleh legalitas yang ada, karena perundang-undangan yang ada sudah
dianggap sangat tepat dalam penyelesaian masalah hukum dan hal tersebut diakui oleh para ahli hukum
beserta pemegang kekuasaan dan wewenang. Kemudian asumsi dasar positivisme hukum juga
menganggap dunia peradilan sudah terjamin netralistas dan imparsialitasnya seperti yang telah dijamin
dalam undang-undang. Jadi masyarakat tidak perlu cemas akan lembaga peradilan yang dapat
memberikan keadilan bagi masyarakatnya. Positivisme Hukum berkeyakinan hukum harus dibangun
dengan pendekatan rasional dan seobjektif mungkin.

Kritik terhadap Aliran Positivisme Hukum

Hukum pada saat berhadapan dengan alam dan kehidupan sosial yang berkembang, harus
dapat berlaku secara tidak stagnan dan juga harus fleksibel mengikuti situasi dan kondisi yang
dibutuhkan agar selalu dapat mengatur dan menciptakan hasil yang berkeadilan. Dengan begitu
pekerjaan penafsiran bukan semata-mata membaca peraturan dengan menggunakan logika peraturan,
melainkan juga membaca kenyataan atau apa yang terjadi di masyarakat. Salah satu penyebab
kemandegan yang terjadi didalam dunia hukum adalah karena masih terjerembab kepada paradigma
tunggal positivisme yang sudah tidak fungsional lagi sebagai analisis dan kontrol yang bersejalan
dengan tabel hidup karakteristik manusia yang senyatanya pada konteks dinamis dan multi kepentingan
baik pada proses maupun pada peristiwa hukumnya. Sehingga hukum hanya dipahami dalam artian
yang sangat sempit, yakni hanya dimaknai sebatas undang-undang, sedangkan nilai-nilai diluar
undang-undang tidak dimaknai sebagai sebuah hukum.

Aliran Positivisme hukum ini sangat ditentang oleh aliran Sosiological Yurisprudence,
Sosiological Yurisprudence adalah suatu aliran dalam filsafat hukum yang antara lain dipelopori oleh
Eugen Ehrlich. Menurutnya, bahwa titik pusat dari perkembangan hukum, tidak terletak pada pembuat
undang-undang/ilmu hukum, dan tidak pula terletak pada keputusan-keputusan hakim, melainkan pada
masyarakat itu sendiri. Pada dasarnya norma hukum selalu bersumber dari kenyataan sosial, yang
berdasarkan keyakinan akan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Sanksi yang berasal dari
penguasa untuk mempertahankan hukum tidaklah esensial, tetapi hanya merupakan pelengkap. Dengan
adanya Unifikasi dan Positivisme hukum menutup ruang gerak bagi hukum adat dan hukum kebiasaan-
kebiasaan lainnya yang hidup ditengah masyarakat untuk dapat berlaku ditengah-tengah masyarakat,
sehingga kearifan lokal berupa living law terhimpit oleh undang-undang yang dibuat oleh penguasa.
Sehingga perlawanan-perlawanan terhadap hukum dan putusan pengadilan di Indonesia sampai hari
ini masih terjadi karena hukum yang terkristal dalam undang-undang dan putusan pengadilan sangat
jauh dari nilai-nilai keadilan yang berlaku ditengah masyarakat.
Kesimpulan

Adanya kebenaran dalam hukum sebenarnya bukan total subyektif namun total secara
obyektif, melainkan intersubyektif. Menempatkan hukum pada kebenaran intersubyektif membawa
pada pemahaman yang berbeda-beda karena intersubyektivitas menekankan pada perbincangan
diskursus dan persetujuan yang cukup sebagai sesuatu yang sangat penting dalam memutuskan sesuatu.
Dimana setiap pakar hukum yang berupaya untuk menemukan suatu jawaban terhadap sebuah masalah
yuridis akan mencarui jawaban lewat penafsiran yang berbeda berdasarkan argumen-argumen yang
tepat, relevan, dan paling dapat diterima. Berkaitan dengan positivisme hukum, dimana yang menjadi
titik terkuat adalah adanya hukum yang pasti (kepastian hukum), dimana positivisme hukum melihat
dam memperlakukan hukum seperti dalam ilmu-ilmu alam. Paham ini memandang hukum sepenuhnya
dapat diprediksi, dijelaskan dan dikontrol berdasarkan hukum-hukum deterministik yang pasti
sehingga setara dengan kepastian matematis. Kepastian hukum telah menjadi ideologi dalam
kehidupan berhukum. Karena kepastian hukum diibaratkan sebagai tujuan akhir, maka tugas dari
hukum sendiri akan selesai apabila telah menemukan sebuah kepastian.

Positivisme hukum yang sebenarnya hendak mengusir anasir-anasir subyektif untuk


mendapat obyektivitas, tidak lain merupakan kepentingan itu sendiri atau subyektivitas lain yang
sifatnya tersembunyi dan “tidak diakui” oleh subyek. Dan pada titik inilah, klaim kebenaran obyektif
menjadi absurd. Seperti yang kita tahu, bahwasanya hukum tidak bisa diobyektifikasi karena manusia
berada didalamnya dan menjadi bagiannya. Sehingga dapat dikatakan bahwa positivisme hukum
dengan ajaran obyektivisme nya adalah suatu yang tidak mungkin diterapkan dalam hukum secara
totalitas.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1) Positivisme yang lahir di bawah naungan empirisme merupakan salah satu aliran filsafat yang
menjadikan panca indera sebagai sarana utama dalam metode pencapaian pengetahuan.
2) Filsafat positivisme ini dalam bidang hukum melahirkan aliran filsafat positivisme hukum, yang
kemudian mengambil bentuk dalam wujud analytical legal positivism, analytical jurisprudence,
pragmatic, positivism, dan Kelsen’s pure theory of law.
3) Positivisme hukum memisahkan secara tegas hukum yang ada dan hukum yang seharusnya ada,
memisahkan hukum dari unsur-unsur non hukum maupun moral, dan mengedepankan hukum
tertulis atau undang-undang sebagai perintah dari otoritas yang sah. Karena positivisme hukum ini
memisahkan secara tegas dari aspek non-hukum, maka telah kehilangan hakikatnya yaitu nilai-nilai
moralitas, keadilan, dan kebenaran. Oleh karena itu, positivisme dan legalisme tidak dapat
dipertahankan lagi dalam pergaulan hidup manusia.
4) Aliran positivisme banyak menuai kritik dari para ahli hukum. Tujuan dari positivisme hukum
adalah kepastian hukum. Hukum terpisah dari norma-norma yang hidup didalam masyarakat
karena yang dikatakan hukum adalah peraturan yang sah yang dikeluarkan oleh penguasa.
Sehingga terjadinya deviasi nilai-nilai keadilan, antara keadilan menurut hukum dan keadilan
menurut masyarakat. Sejatinya hukum dan masyarakat adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Hukum harus bersumber dari norma-norma yang hidup dimasyarakat, karena tujuan hukum adalah
untuk menciptakan ketertiban dan keadilan ditengah masyarakat.

c. Aliran Utilirianisme

Utilitarianisme adalah paham dalam filsafat moral yang menekankan manfaat atau kegunaan
dalam menilai suatu tindakan sebagai prinsip moral yang paling dasar, untuk menentukan bahwa suatu
perilaku baik jika bisa memberikan manfaat kepada sebagian besar rakyat atau masyarakat. Nilai positif
Utilitarianisme terletak pada sisi rasionalnya dan universalnya. Rasionalnya adalah kepentingan orang
banyak lebih berharga daripada kepentingan individual.

Utilitarianisme atau utilisme lahir sebagai reaksi terhadap ciri-ciri metafisis dan abstrak dari
filsafat hukum dan politik pada abad ke-18 (Aburaera and Muhadar 2013, 111). Utilitarianisme atau
Utilisme adalah aliran yang meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan disini
diartikan sebagai kebahagiaan (happiness). Jadi, baik buruknya atau adil tidaknya suatu hukum,
bergantung kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak
(Darmodiharjo 1995, 117)

Penalaran Aliran Utilitarianisme


Aliran utilitarianisme ini berakar pada ajaran tentang kegunaan atau utility, yang
menyatakan, bahwa: baik atau buruk sebuah tindakan diukur dari apakah tindakan itu menghasilkan
tingkat kesenangan atau kebahagian yang terbanyak, dengan pengorbanan yang paling sedikit. Istilah
utilitarianisme sebagai suatu nama aliran yang berasal dari kata latin utilis yang berarti berguna. Aliran
utilitarianisme ini terbagi antara lain aliran act utilitarianism serta rule utilirianism yang sering
diterjemahkan sebagai ‘Utilitarianisme tindakan” dan ‘Utilitarianisme peraturan’
Prinsip- prinsip aliran utilitarianisme, menurut Jeremy Bentham (1748-1832) didasarkan kepada dua
prinsip, yaitu :
- asosiasi (association principle) serta
- kebahagiaan terbesar (greatest happiness principle).
Bagi Bentham, prinsip kebahagiaan terbesar secara singkat terjadi jika :
“An action is right from an ethnical point of view if and only if the sum total of utilities produced by the act
is greater than tha sum of total utilities produced by nay other act the agent could have performed in its
place”.

Apa-apa “yang baik” merupakan kesenangan buruk” adalah rasa sakit. Tindakan “yang baik” secara
etika mengacu pada kebijakan dan kebahagiaan, sedangkan “yang menghasilkan kebahagiaan terbesar.

Pandangan Bentham sebenarnya beranjak dari perhatiannya yang besar terhadap individu.
Ia menginginkan agar hukum pertama-tama dapat memberikan jaminan kebahagiaan kepada individu-
individu, bukan langsung ke masyarakat secara keseluruhan. Walaupun demikian, Bentham tidak
menyangkal bahwa di samping kepentingan individu, kepentingan masyarakat pun perlu diperhatikan.
Agar tidak terjadi bentrokan, kepentingan individu dalam mengejar kebahagiaan sebesar-besarnya itu
perlu dibatasi. Jika tidak, akan terjadi apa yang disebut homo homini lupus (manusia menjadi serigala
bagi manusia yang lain) (Salman 2010, 118).
Bentham berkeinginan untuk mencari kesamaan mendasar guna mampu memberikan
landasan objektif atas semua norma yang berlaku secara umum serta yang daopat dietrima oleh
masyarakat luas. Caranya ialah dengan menimbang segi-segi manfaat dibandingkan dengan kerugian
setiap Tindakan. Bentham mengatakan bahwa yang baik adalah kesenangan atau kebahagiaan, yang
buruk adalah penderitaan atau kesengsaraan. Oleh karena itu, suatu keadaan, jika mencakup
kesenangan lebih besar daripada kesenangan, adalah lebih baik dari penderitaan, penderitaan yang
lebih kecil daripada kesenangan, adalah lebih baik dari keadaan lainnya. Kebaikan adalah kebahagiaan,
kejahatan adalah kesusahan. Ada keterkaitan yang erat antara kebaikan dan kejahatan dengan
kebahagiaan dan kesusahan. Diantara semua keadaaan yang mungkin itu, yang terbaik adalah yang
mencakup kesenangan yang lebih besar dari penderitaan.
Kritik atas penalaran Utilitarianisme Bentham
Banyak kelemahan bawaan doktrin utilitarianisme yang diajarkan Bentham. Sekalipun ini
merupakan ajarannya yang menginspirasi banyak orang tentang tujuan hukum dan keadilan, namun
beberapa point ajaran Bentham mestilah tetap dikritisi. Pertama, berkenaan dengan bagaimana ia
menjelaskan dan mendudukkan hubungan antara individu dengan masyarakat. Ia menekankan bahwa
hukum mestilah ditujukan untuk mendatangkan manfaat kepada individu, sehingga individu tersebut
akan memperoleh kesenangan dan kebahagian. Lalu, kesenangan dan kebahagian individu tersebut
akan menciptakan kebahagiaan dan kesenangan umum secara bersamaan atau menciptakan
kebahagiaan dengan sendirinya. Ini jelas sebuah doktrin yang tidak begitu bijak dan tidak mungkin
diterapkan. Sebab tidak jelas batasan sampai dimana kepentingan individu dan sampai dimana pula
batas kepentingan masyarakat. Kapan individu mesti membatasi kepentingannya dan kapan pula ia
mesti melebur dalam kepentingan bersama. Jika hukum merupakan alat untuk mendatangkan manfaat
atau kebahagian yang setinggi-tingginya bagi individu, maka yang akan terjadi adalah “persaingan
bebas” yang tidak menguntungkan bagi semua orang. Tetapi hanya akan menguntungkan individu-
individu tertentu yang hanya beberapa orang saja. Persaingan bebas ala Darwinian, dimana mereka-
mereka yang belum beruntung jangan berharap akan dapat memperbaiki nasib mereka. Dengan
demikian, masih mungkinkah kebahagian umum akan tercipta, sementara individu mustahil
diharapkan akan “bersimpati” dalam sebuah persaingan bebas?
Selain itu, kalaulah setiap orang pada kenyataannya dan secara tak terelakkan memburu
kesenangan sendiri, tidak ada gunanya mengatakan ia seharusnya melakukan seharusnya, seperti
bersimpati. Begitu juga dengan proses pembentukan hukum yang akan dijadikan alat untuk mencapai
tujuan hukum itu sendiri. Yang membuat hukum adalah orang-orang yang secara individu merupakan
warga negara yang sama dengan warga negara lain dan sama-sama punya keinginan untuk menggapai
kebahagiaan individunya. Disisi lain ia adalah orang yang diberikan kuasa untuk membuat hukum.
Dalam pembuatan hukum jelas akan terjadi konflik kepentingan. Terjadi dilema antara membuat
hukum yang menguntungkan bagi individu-indivdu mereka yang ada di lembaga legislatif atau
individu-individu masyarakat umum? Sebab, tidak ada jaminan bahwa para legislator akan berfikir
untuk kepentingan individu masyarakat. Jika pilihannya adalah merumuskan hukum untuk kepentingan
individu mereka, lalu bagaimanakah filsafat Bentham akan menjelaskan tujuan hukum yang
dirumuskannya tersebut? Toh, akhirnya hukum bukannya akan mendatangkan manfaat, malahan akan
menjadi alat untuk melegitimasi kejahatan dan kesengsaraan individu yang tidak memiliki kekuasaan
serta masyarakat luas.
Tokoh lain dari aliran utulitarianesme adalah John Stuart Mill (1806-1973), seorang
pengikut sekaligus pewaris yang meneruskan pemikiran Bentham. Tema sentral dari pemikiran Mill
ialah, bahwa tugas utama seseorang adalah untuk tidak menimbulkan derita bagi sesama manusia.

Jhon Stuart Mill menyatakan bahwa action are right in proportion as they tend to promote
man’s happiness, and wrong as they tend to promote the reverse of happiness (tindakan itu hendaknya
ditujukan terhadap pencapaian kebahagiaan, dan adalah keliru jika ia menghasilkan sesuatu yang
merupakan kebalikan dari kebahagiaan) (Ali 2009, 1:78).
Penalaran Mill banyak dipengaruhi oleh pertimbangan psikologis, ia menyatakan bahwa
tujuan manusia adalah kebahagiaan. Manusia berusaha memperoleh kebahagiaan itu melalui hal-hal
yang membangkitkan nafsunya. Jadi, yang ingin dicapai oleh manusia itu bukanlah benda atau sesuatu
hal tertentu, melainkan kebahagian yang dapat ditimbulkannya. Mills memberikan logika penalaran
bahwa psikologi merupakan ilmu yang paling fundamental. peran Mill dalam ilmu hukum terletak
dalam penyelidikannya mengenai hubungan keadilan, kegunaan, kepentingan individu, dan
kepentingan umum. Mill menolak pandangan Bentham yang berasumsi bahwa antar-kepentingan
individu dan kepentingan umum tidak ada pertentangan. Mill juga menolak cara pandang Immanuel
Kant yang mengajarkan agar individu harus bersimpati kepada kepentingan umum. Karena menurut
Mill, tidaklah dapat dimengerti, mengapa individu harus mengekang usaha-usahanya untuk
kebahagiaan, demi kepentingan anggota-anggota lain dari masyarakat.
Dalam menjawab semua itu, Mill lalu menganalisis hubungan antara kegunaan dan keadilan.
Pada hakikatnya, perasaan individu akan keadilan akan membuat individu itu menyesal dan ingin
membalas dendam kepada tiap yang tidak menyenangkannya. Rasa sesal dan keinginan demikian dapat
diperbaiki dengan perasaan sosialnya (di sini tampak bahwa Mill menelaah masalah ini dengan
kacamata psikologi). Seperti dikutip oleh Friedman, Mill menyatakan bahwa orang-orang yang baik
menyesalkan tindakannya yang tidak baik terhadap masyarakat,walaupun tidak mengenai dirinya
sendiri.
Sebaliknya, orang-orang yang baik tidak menyesalkan perbuatan tidak baik terhadap diri
sendiri, walaupun menimbulkan rasa sakit, kecuali kalau masyarakat bermaksud menindasnya. Apa
yang digambarkan tersebut merupakan ungkapan dari rasa adil. Ia berpendapat bahwa perilaku kita
akan sedemikian rupa, sehingga semua makhluk berakal dapat menyesuaikan keuntungan dengan
kepentingan bersama. Nafsu binatang untuk menolak atau membalas perbuatan jahat yang melukai
atau yang merugikan diri sendiri bertambah, dan dengan demikian memperbaiki akhlak. Penonjolan
diri dan kesadaran atas kebaikan bersama bergabung dengan rasa adil (Ali 2009, 1:114–15).
Ajaran Bentham dikenal sebagai utilitarianisme individual, sedangkan rekannya Rudolf von
Jhering (dalam beberapa buku ditulis Lehering) mengembangkan ajaran yang bersifat sosial. Teori von
Jhering merupakan gabungan antara teori Bentham, Stuart Mill, dan positivisme Hukum dari Jhon
Austin. Mula-mula von Jhering menganut mazhab sejarah yang dipelopori von Savigny dan Punchta,
tetapi lama-kelamaan ia melepaskan diri, bahkan menentang pandangan von Savigny tentang hukum
Romawi. Perlu diketahui bahwa pemikiran yang gemilang dari Jhering memang timbul setelah dia
melakukan studi yang mendalam tentang hukum Romawi. Huijbers memasukkan Jhering sebagai salah
satu tokoh penting Positivisme Hukum
Nilai Positif Etika Utilitarianisme
Maksud Bentham, setiap orang untuk melakukan apa yang menghasilkan kebahagiaan atau
kenikmatan terbesar yang diinginkan oleh semua orang untuk sebanyak mungkin orang atau untuk
masyarakat seluruhnya. Oleh karena itu, menurut pandangan utilitarian, tujuan akhir manusia,
mestilah juga merupakan ukuran moralitas. Dari sini, muncul ungkapan ‘tujuan menghalalkan cara’.
Nilai Positif Etika Utilitarianisme antara lain :
• Pertama, Rasionalitas.
Prinsip moral yang diajukan etika utilitarianisme tidak didasarkan pada aturan-aturan kaku yang
tidak dipahami atau tidak diketahui keabsahannya. Etika utilitarianisme memberikan kriteria
yang objektif dan rasional.
• Kedua, Utilitarianisme sangat menghargai kebebasan setiap pelaku moral.
Tidak ada paksaan bahwa orang harus bertindak dengan cara tertentu yang tidak diketahui
alasannya.
• Ketiga, Universalitas.
Mengutamakan manfaat atau akibat dari suatu tindakan bagi banyak orang. Suatu tindakan dinilai
bermoral apabila tindakan tersebut memberi manfaat terbesar bagi banyak orang.
Analisa keuntungan dan kerugian
Utilitarianisme mengatakan bahwa tindakan yang benar adalah yang memaksimalkan utiliti,
yaitu memuaskan preferensi yang berpengetahuan sebanyak mungkin.
Dalam pandangan kaum utilitarian-aturan, perilaku tak adil dalam mendeskriminasi kelompok-
kelompok minoritas menyebabkan meningkatnya ketakutan pihak lain dengan mengalami aturan
yang mengijinkan diskriminasi.
Keuntungan dan kerugian, cost and benefits, yang dianalisis tidak dipusatkan pada keuntungan dan
kerugian perusahaan. Analisis keuntungan dan kerugian tidak ditempatkan dalam kerangka uang
dan untuk jangka panjang.

Kesimpulan

Kesimpulan bahwa kebahagian umum akan terwujud dengan sendirinya apabila


kebahagiaan individu sudah tercapai merupakan sebuah kekeliruan Bentham dalam menyusun dan
menyimpulkan premis-premis filsafat utilitariannya. Bentham bahkan tidak memberikan penjelasan
yang rinci dan jelas tentang bagaimana ia menempatkan individu dalam masyarakat dalam
filsafatnya. Inilah persoalan utama dalam ajaran utilitatianisme.
Selain itu, cara pencapaian tujuan hukum yang dirumuskan Bentham juga terdapat kelemahan
fundamental. Sebab, tidak ada jaminan bahwa para legislator akan menyusun hukum yang
memberikan ruang yang seimbang bagi semua individu masyarakat untuk mendapatkan
kebahagiaannya. “Simpati” yang diajarkan Bentham tidaklah mencukupi untuk menyelesaikan
persoalan hukum yang muncul sebagai dampak dari ajarannya sendiri.

d. Aliran Hukum Historical / Sejarah

Aliran Sejarah Hukum lahir pada awal abad XIX, yakni pada tahun 1814 yang dipelopori
oleh Friedrich Carl von Savigny (1779-1861) melalui tulisannya yang berjudul Von Beruf Unserer Zeit
Fur Gesetzgebung und Rechtwissenschaft (tentang pekerjaan pada zaman kita di Bidang Undang-
undang dan Ilmu Hukum). Menuurut Lili Rasjidi, lahirnya Aliran Sejarah Hukum merupakan reaksi
tidak langsung dari aliran hukum alam dan hukum positif. Karena pengaruh dari Montesquieu dalam
bukunya yang berjudul L’esprit des Lois yang mengatakan tentang adanya keterkaitan antara jiwa suatu
bangsa dengan hukum-hukumnya.
Aliran Sejarah Hukum ini mencerminkan suatu reaksi yang sangat besar terhadap tiga kekuatan yang
sangat dominan kala itu:
1. Aliran Rasionalisme abad ke-18 dengan kepercayaannya kepada hukum alam, daya kemampuaan
akal dan prinsip-prinsip utama yang semuanya dikombinasi untuk meletakan sebuah teori hukum
(Legal Theory) dengan metode deduksi tanpa memperhatikan fakta sejarah, ciri khas nasional, dan
kondisi sosial. Pemikiran rasionalisme mengajarkan universalisme dalam cara berpikir. Cara
pandang inilah yang menjadi salah satu penyebab munculnya Aliran Sejarah Hukum, yang
menentang universalisme.
2. Kepercayaan dan semangat Revolusi Perancis yang menentang wewenang tradisi dengan misi
yaitu, keyakinan kepada rasio dan daya kekuatan tekad manusia untuk mengatasi lingkunannya.
3. Pendapat yang berkembang saat itu melarang hakim menafsirkan hukum karena undang-undang
dianggap dapat memecahkan semua masalah hukum. Code Civil dinyatakan sebagai kehendak
legislatif dan menjadi sistem hukum yang harus disimpan dengan baik.

Arah Penalaran aliran Sejarah


Aliran Sejarah Hukum memandang bahwa hukum hanya dapat dipahami dengan menelaah
kerangka atau stuktur kesejarahan di mana hukum itu muncul. Hukum merupakan tatanan dari
pergaulan masyarakat yang mangandung nilai-nilai yang secara alamiah mengalami dinamisasi
bersamaan dengan perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat. Hukum sejatinya berasal dari adat
istiadat, sejumlah keyakinan atau kepercayaan dan bukan berasal dari pembuat undang-undang
(legislator).
Subtansi dari ajaran Aliran Sejarah Hukum dapat diuraikan sebagi berikut :
1. Hukum tidak dibuat, tetapi ditemukan
Hukum sejatinya bukan sesuatu yang dengan sengaja dibuat oleh legislator, tetapi berdasar pada
perkembangan masyarakat. Karenanya hukum bersifat organis. Hukum akan senantiasa
berkembang dan menyesuaikan dengan perubahan sosial.
2. Undang-Undang tidak berlaku secara universal
Undang-undang, sebagai dianggap representasi hukum suatu bangsa bersifat temporal dan spasial.
Undang-undang dianggap hanya berlaku di suatu bangsa atau lebih tepatnya hanya bagi kelompok
bangsa tertentu (semisal persekutuan) dan hanya berlaku pada kurun waktu tertentu. Setiap bangsa
dipandang mengembangkan kebiasaannya sendiri karena mempunyai bahasa, adat istiadat, dan
konstitusi yang khas. Curzon mengemukakan:
“Hukum merupakan produk khusus dari sekelompok masyarakat. Seperti bahasa, hukum
berkembang secara bertahap dan merupakan representasi dari masyarakat. Hukum itu lenyap ketika
hilangnya identitas dari suatu bangsa (punahnya masyarakat) hukum tidak berlaku universal,
penerapannya terbatas pada dimana hukum itu di buat.”
3. Hukum merupakan perwujudanan dari jiwa rakyat
Savigny menolak supremasi akal dalam pembuatan undang-undang. Secara tegas dia menolak
pradigma bahwa hukum itu dibuat dan secara diamental dia menyatakan bahwa hukum itu
ditentukan di masyarakat.
4. Hukum tidak dapat dipisahkan dari masyarakat atau sejarah bangsa.
Hukum, secara apriori tidak dapat dipisahkan dengan sejarah sebuah bangsa. Karenanya jika
hukum tidak bersumber dari sejarah atau jiwa bangsa dianggap bukan hukum, karena hanya
dianggap akan menciptakan ketidak pastian dan bukan tidak mungkin justru menggiring
ketidakadilan dalam masyarakat. Dalam kajian akademik-dialektis memahami hukum harus
berlandaskan kajian historis-sosiologis, karena ada sejarah atau jiwa bangsa (volksgeist) di balik
adanya hukum tersebut.
5. Aturan-aturan hukum (undang-undang) yang bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat
harus dibatalkan.
Penolakan sekelompok masyarakat terhadap aturan perundang-undangan tertentu karena didasari
oleh adanya pertentangan antar aturan hukum tersebut dengan kesadaran hukum masyarakat.
Pertentangan tersebut akan menimbulkan perselisihan secara tajam di masyarakat untuk
menggugurkan aturan perundangan tersebut, karena ditegaskan sekali lagi, jiwa rakyat adalah
supremasi tertinggi dalam hukum.

Penerapan Aliran Historis dalam Konteks Indonesia


Di Indonesia, pengaruh Aliran Sejarah Hukum sangat dirasakan, yakni dengan lahirnya
cabang ilu hukum baru yang dikenal sebagai hukum adat, yang dipelopori oleh Van Vollenhoven, Ter
Haar serta tokoh-tokoh hukum adat lainnya. demikian juga bagi para ahli sosiologi, saran Savigny
memperteguh keyakinan mereka bahwa antara system hukum dan sistem sosial lainnya terdapat
hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi. Keyakinan semacam itu akan menghasilkan suatu
produk hukum yang akan memiliki daya berlaku sosiologis. Mochtar Kusumaatmaja mengatakan
bahwa bagi Indonesia, pemikiran dan sikap mazhab ini terhadap hukum telah memainkan peranan yang
penting dalam mempertahankan hukum adat sebagai cerminan dari nilai-nilai kebudayaan (asli) dan
mencegah terjadinya pembaratan (westernisasi).
Adapun kelemahan Aliran Sejarah Hukum yaitu:
1. Tidak diberikan tempat bagi ketentuan yang sifatnya tertulis (peraturan perundang-undangan).
Hukum dalam konsepsi Aliran Historis adalah kebiasaan tidak tertulis yang hidup ditengah
masyarakat. Dengan demikian, satu-satunya sumber hukum menurut aliran ini yaitu kesadaran
hukum masyarakat. Konkretisasi dari kesadaran hukum tersebut sebagai norma yang mengikat
masyarakatnya tampak pada aturan-aturan tidak tertulis.
2. Konsepsinya tentang kesadaran hukum sifatnya .sangat abstrak serta konsepsinya tentang jiwa
rakyat tidak memuaskan banyak pihak. Menurut aliran ini, Kesadaran hukum masyarakat bukanlah
merupakan pertimbangan rasional, melainkan berkembang dan dipengaruhi oleh berbagai faktor
yaitu agama, ekonomi, dan politik. Pandangan ini selalu berubah, oleh karena itu hukum pun selalu
tidak sama. Konsekuensinya, tidak ada ukuran tentang isu hukum yang berlaku objektif yang dapat
diterima setiap orang secara ilmiah. Selain itu, fungsi dan perkembangan hukum terkait dengan
konsep jiwa masyarakat dalam aliran ini tidak dapat menunjukkan secara jelas bagaimana isi dan
ruang lingkupnya.

Esensi Mazhab Sejarah

Mazhab sejarah memilliki essensi yang sangat penting dan mendasar dalammperkembangan
filsafat hukum, hal ini dikarenakan mazhab sejarah menganggap penting hukum-hukum yang berlaku
dari tahapan sejarah yang dilalui umat manusia. Dalam konteks berpikir seperti ini maka hal terpenting
dalam mazhab sejarah ini yaitu kemampuannya menempatkan hukum-hukum yang sudah berlalu
tersebut sebagai sesuatu yang memliki nilai dan penting bagi masyarakat. Tidak hanya penting dan
bermakna pada masa lalu Ketika hukum itu diterapkan dan dijalankan, tetapi juga berguna sebagai
refleksi untuk hukum yang berlaku saat ini, dan juga sebagai proyeksi bagi hukum yang akan berlaku
di masa depan. Ketiga dimensi masa lalu-masa kini-masa depan merupakan tiga serangkai waktu yang
saling terkait, saling menjelaskan, dan saling melengkapi.

Ada dua pengaruh terhadap lahirnya mazhab sejarah ini, yakni pengaruh Montesquieu dalam
bukunya L’Espirit de Lois, terlebih dahulu mengemukakan tentang adanya hubungan antara jiwa suatu
bangsa dengan hukumnya dan pengaruh paham nasionalisme yang mulai timbul pada awal abad ke 19.
Lahirnya mazhab sejarah ini juga merupakan suatu reaksi yang langsung terhadap suatu pendapat yang
diketengahkan oleh Thibaut dalam pamfletnya yang berbunyi : “Uber Die Notwendigkeit Eines
Allgemeinen Burgerlichen Rechts Fur Deutshland”. Keperluan akan adanya kodifikasi hukum perdata
bagi Jerman. Ahli hukum perdata Jerman ini menghendaki agar di Jerman diperlukan kodifikasi perdata
dengan dasar hukum Perancis (Code Napoleon). Seperti diketahui, setelah Perancis meninggalkan
Jerman timbul masalah, hukum apa yang hendak diberlakukan di negara ini. Juga merupakan suatu
reaksi tidak langsung terhadap aliran hukum alam dan aliran hukum positif.
Sebagaimana secara sepintas telah disinggung di muka buah pikiran Von Savigny yang kemudian
dikembangkan lebih lanjut oleh muridnya G. Puchta, banyak diikuti para ahli hukum jauh di luar batas-
batas negara Jerman. Pengaruh pemikirannya sangat terasa di Indonesia melalui para ahli hukum
Belanda. Demikian besar pengaruhnya sehingga melahirkan suatu cabang ilmu hukum baru yang
dikenal dengan hukum adat dengan dipelopori oleh Van Vollenhoven, Ter Haar, serta tokoh-tokoh
hukum adat lainnya. Bagi para ahli sosiologipun tidak dapat dikesampingkan saran Von Savigny,
betapa pentingnya penelitian tentang hubungan antara hukum dengan struktur masyarakat beserta
system nilainya. Pendapat ini nampaknya menjadi pegangan banyak para ahli sosiologi yang melihat
bahwa sistem hukum sesungguhnya tidak terlepas dari sistem sosial yang lebih luas, dan antara sistem
hukum tadi dengan aspek-aspek sistem sosial lainnya terdapat hubungan timbal balik dan saling
mempengaruhi
Perlu dicatat bahwa pemikiran Von Savigny merupakan kenyataan sejarah bahwa perkembangan
masyarakat makin maju dan kompleks, sehingga menimbulkan pembagian kerja, di bidang hukum,
sehingga muncul golongan yuris yang mewakili bangsanya dalam memformulasikan kebutuhan hukum
masyarakat sesuai dengan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Bahkan pada zaman
modern, hukum suatu bangsa bertumpu pada kesadaran para yuris. Sejak perkembangan ke zaman
modern, hukum bereksistensi ganda : berkenaan dengan prinsip-prinsiup utama, hukum itu masih hidup
dalam kesadasaran bersama dari suatu bangsa, sedangkan penjabaran dan penerapan prinsip- prinsip
utama merupakan tugas para yuris melalui pengadilan atau hakim. 18 Berdasarkan pandangan di atas,
memberikan pemahaman bahwasanya hukum tidak terlepas dari perkembangan masyarakat, dari
masyarakat yang primitif sampai kepada masyarakat modern. Hal tersebut dapat dipahami karena tidak
ada hukum yang statis, hukum berkembang sesuai dengan perkembangan dan perubahan yang terjadi
di masyarakat.
Kelebihan pemikiran hukum dari madzab sejarah adalah sikap tegas yang mengatakan bahwa hukum
itu merupakan derivasi nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat. Dalam kaitan itu dapat
diasumsikan bahwa hukum yang demikian akan mempunyai daya berlaku sosiologis. Oleh karena
hukum pasti sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat. Tegasnya, satu-satunya sumber hukum
menurut madzab ini adalah kesadaran hukum suatu bangsa (Sudikno Mertokusumo, 1986: 100).
Selanjutnya, kebaikan madzab ini adalah ditempatkannya kedudukan hukum kebiasaan sejajar dengan
undang-undang tertulis (Lili Rasjidi, 1996: 71). Sikap semacam ini dapat mencegah kepicikan orang
akan wujud hukum yang utuh.

Akan tetapi pemikiran hukum madzab ini juga mengandung beberapa kelemahan yakni:
1. tidak diberikannya tempat bagi ketentuan yang sifatnya tertulis (peraturan perundang-undangan)
2. konsepsinya tentang kesadaran hukum sifatnya sangat abstrak serta konsepsinya tentang jiwa
rakyat tidak memuaskan banyak pihak;
3. inkonsistensi sikap mengenai hukum yang terbaik bagi suatu bangsa.
Kelemahan-kelemahan di atas akan diuraikan satu persatu untuk lebih mendalami kritik terhadap
madzab ini
1. Penolakan hukum tertulis (perundang-undangan)
Yang dimaksud sebagai hukum bagi madzab sejarah ini adalah hukum kebiasaan tidak tertulis yang
berkembang pada masyarakat sebagai pengejawantahan dari sistem nilai. Dengan demikian, satu-
satunya sumber hukum menurut madzab ini adalah kesadaran hukum masyarakat (Sudikno
Mertokusumo, 1986: 100). Konkretisasi dari kesadaran hukum tersebut sebagai norma yang
mengikat masyarakatnya tampak pada aturan-aturan tidak tertulis.
2. Ketidakjelasan konsep kesadaran hukum dan jiwa rakyat
Kesadaran hukum yang merupakan pandangan yang hidup dalam masyarakat tentang apa hukum
itu. menurut pandangan madzab sejarah ini bukanlah merupakan pertimbangan rasional. tetapi
berkembang dan dipengaruhi oleh pelbagai faktor, yaitu agama, ekonomi, politik, dan sebagainya.
Pandangan ini selalu berubah. oleh karena itu hukum pun selalu tidak sama (namun, bukan karena
mengalamiperubahan). Konsekuensinya. tidak ada ukuran tentang isi hukum yang berlaku obyektif
yang dapat diterima setiap orang secara ilmiah (Sudikno Mertokusumo.1986: 100)
3. Inkonsistensi jiwa rakyat sebagai sumber hukum
Savigny menyebutkan bahwa hukum yang baik adalah yang bersumber dari jiwa rakyat tetapi
dalam sebuah tulisannya yang lain, yang membahas tentang Hukum Romawi, dia mengatakan
bahwa Hukum Romawi merupakan hukum terbaik (Lili Rasjidi, 1991: 49). Studi Savigny yang
mendalam atas Hukum Romawi menjelaskan pada dirinya bahwa perkembangan Hukum Romawi
merupakan contoh penuntun hukum yang bijaksana yang membentuk hukum melalui adaptasi
bertahap bagi zaman-zaman sebelum "corpus yuris" membentuk kodefikasi yang final
(W.Friedman, 1994: 62). Ada dua hal yang tersirat dari uraian di atas, yakni:
A. ketidakjelasan makna dan fungsi jiwa rakyat;
B. kodefikasi merupakan "tindakan final" dari suatu upaya memformulasikan hukum, yang berarti
akhirnya, sikap anti anti Savigny terhadap kodefikasi tampaknya sudah diperluwes.

Nilai-Nilai Yang Terkandung Dalam Mazhab Sejarah

Nilai-nilai yang terkandung dalam mazhab sejarah merupakan nilai yang sangat mendalam
dan mendasar. Hai ini bisa terlihat dari pandangan Hegel yang melihat hukum sebagai ungkapan ruh.
Filsafat hukum Hegel bertolak belakang dengan fulsafat hukum Kant, sebuah fakta yang seringkali
dikaburkan dengan istilah “idealisme” yang berterap pada keduanya. Lebih jelasnya, Hegel
memandang hukum dalam kerangka moral, etika Hegel dan filsafat hukum Kant merupakan sebuah
satu kesatuan. Hukum, negara, dan etika merupakan jabaran perkembangan sejarah yang merupakan
manifestasi dari ruh bangsa, dan ruh bangsa ini secara keseluruhan merupakan pengejewantahan dari
ruh dunia. Konsepsi hukum Hegel berkaitan erta dengan pandangan metafisiknya mengenai peran
agama danruh, yakni ruh Tuhan. Menurut Hegel, pengadilan memiliki arti yang sangat penting kendati
dia tidak berharap memberinya fungsi legislasi. Meski demikian, pengadilan memiliki tugas mengakui
hukum sebagai hak yang diungkapkan dalam undang-undang dan mempraktekkannya secara actual.
Menurut Savigny, terdapat terdapat hubungan organik antara hukum dan ewatak serta
karakter rakyat. Karena yang apa yang menyatukan mereka menjadi satu kesatuan adalah keyakinan
umum rakyat, perasaan yang sama mengenai kebutuhan internal, yang melepaskan semua pemikiran
yang muncul secara kebetulan dan berubah-ubah. Menurut gagasan itu hukum adat merupakan hukum
kehidupan yang sejati. Bila dibandingkandengannya legislasi tidaklah penting, ia hanya baik selama
ini memiliki sifat deklaratif. Savigny memiliki sudut pandang yang terkait dengan kontradiksi dalam
sikap Hegel terhadap ruh bangsa. Savigny sama sekali tidak siap memperlakukan semua bentuk hukum
bangsa secara setara. Sebaliknya sebagai sebuah teladan dan norma undang-undang Romawi baginya
berada di atas semua sistem hukum. Perlu dikatakan bahwa kendati mazhab sejarah sepertinya Hegel
berpijak pada konsepsi ruh bangsa, penggunaan konsep ini sangat berbeda. Dalam Mazhab Historis
ruh bangsa berfungsi sebagai prinsip pemersatu yang samar-samar, dan menjadi semacam lingkup
umum untukm kajian institusi hukum dan evolusinya secara rinci.

Dalam kaitannya dengan sejarah ini, seorang tokoh lainnya perlu dikemukakan mengingat
sumbangannya yang besar terhadap perkembangan ilmu hukum. Tokoh ini ialah Sir Henry Maine
(1822-1888), dengan bukunya yang sangat terkenal “Ancient Society”. Hasil penelitiannya yang
bersifat antropologis mengetengahkan teorinya bahwa hukumberkembang dari status ke kontrak,
sejalan dengan perkembangan masyarakatnya dari masyarakat yang sederhana ke masyarakat yang
kompleks dan modern. Pada masyarakat modern, demikian menurut Maine hubungan hukum antara
para anggota masyarakat dilakukan atas dasar sistem hak dan kewajiban yang tertuang dalam bentuk
suatu kontrak yang dibuat secara sadar dan sukarela oleh pihak-pihak yang berkenaan. Sedangkan
hukum itu sendiri pada masyarakat ini berkembang melalui tiga cara yaitu : fiksi, equity, dan
perundangan. Pendapat terakhir inilah yang membedakan Maine dengan Savigny. Agaknya Maine
tidak mengesampingkan peranan perundangan dan kodifikasi dalam pengembangan hukum pada
masyarakat yang telah maju.
Teori hukum dari Savigny dan pengikutnya cukup luas pengaruhnya, namun tetap terdapat
kelemahannya. Yang terpenting adalah tidak diberinya tempat bagi ketentuan yang bersifat tertulis
(perundang-undangan). Bagaimanapun dalam masyarakat modern, ketentuan yang bentuknya tertulis
diperlukan demi adanya kepastian hukum dan terutama sekali untuk menghindarkan tindakan
sewenang-wenang dari kekuasaan yang bersifat absolut. Kelemahan lainnya terletak pada konsepsinya
tentang kesadasaran hukum yang sifatnya abstrak. Juga mengenai jiwa rakyat, konsepsinya tidak
memuaskan banyak pihak. Von Savigny menyebutkan bahwa hukum yang baik adalah yang bersumber
dari jiwa rakyat ini, tetapi dalam sebuah tulisannya yang lain yang membahas tentang hukum Romawi,
diamengatakan bahwa hukum Romawi merupakan hukum yang terbaik
Diletakkan dalam konteks zamannya, teori Savigny dapat dilihat sebagai seranganterhadap
dua kekuatan yang berkuasa pada zaman itu, yakni : 1). Rasionalisme dari abad ke 18 dengan
kepercayaannya pada kekuasaan akal dan prinsip-prinsip absolut yang universal, yang membuahkan
teori-teori hukum rasionalistik tanpa memandang fakta historis lokal,ciri khas nasional serta kondisi-
kondisi sosial setempat, 2). Kepercayaan dan semangat Revolusi Perancis yang cenderung anti tradisi,
serta terlampau mengandalkan kekuatan akal dan kehendak manusia dalam mengkonstruksi gejala-
gejala hidup di bawah pesan-pesan kosmopolitannya. Melalui penentangan terhadap dua kekuatan itu,
Savigny serentakmencela pemujaan atas kodifikasi-kodifikasi hukum modern di Prusia, Austria, dan
Perancis saat itu yang mendasarkan diri pada prinsip-prinsip abstrak dan deduksi rasional logis belaka.
Kata Savigny, tidak ada hukum lintas ruang dan waktu. Hukum selalu bersifat konstektual historis.
Oleh karena itu langkah penting yang perlu dilakukan sebelum membuat kodifikasi adalah melakukan
studi mengenai sistem hukum dalam perkembangannya yang terus menerus, dengan mana tiap generasi
mengadaptasikan hukum itu dengan keperluannya. Tesis ini muncul dari pengalaman ilmiah Savigny
sendiri berkat studinya yang mendalam atas hukum Romawi.
Menurut Savigny, perkembangan hukum Romawi merupakan contoh penuntun hukum yang bijaksana,
karena pembentukannya dilakukan melalui adaptasi bertahap seturut zaman sebelum corpus bertahap
itu, peran ahli hukum begitu menentukan, utamanya dalam membaca semangat zaman dan konteks
sosial kontemporer sebagai landasan adaptasi dari hukum itu sendiri. Maka tidak mengherankan jika
Savigny memandang ilmu hukum sebagai panduan reformasi hukum, kesadaran umum merupakan
sumber hukum yang utama.24 Nampaknya Savigny berpikir moderat, dalam beberapa hal sangat
memuja jiwa bangsa sebagai sumber utama dari hukum, namun dilain pihak savigny memandang
hukum Romawi sebagai hukum yang baik dan utama dalam mengatur masyarakatnya
Kesimpulan
Mazhab sejarah merupakan mazhab dalam filsafat hukum yang sangat penting dan strategis
kedudukannya dalam perkembangan filsafat hukum. Essensi dan nilai strategisnya terletak pada
konsepsinya yang mengedepankan jiwa bangsa (volkgeist) sebagai sumberdari hukum, yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat. Meskipun konsepsi ini tidaklah sempurna, karena mazhab sejarah juga
memiliki banyak kelemahan-kelemahannya, tetapi setidaknya memberikan suatu pencerahan dan
penguatan akan adanya hukum nasional yang bertumpu kepada jiwa bangsa (volkgeist), yang menurut
persepsi Hegel merupakan bagian dari ruh dunia. Meskipun konsepsi mazhab sejarah nampak begitu
kuat nilai metafisika dan idealisme historisnya, namun tetap mazhab ini memilki peran yang sangat
besar bagi perkembangan dan konsepsi hukum, karena sejatinya selalu ada korelasi antara masa lalu
dengan masa kini dan masa depan, yang menurut konsepsi Gadamer bisa dileburkan melalui konsep
peleburan cakrawala (fusion of horison), di mana nilai-nilai lama dapat bersenyawa/ melebur dengan
nilai-nilai yang berlaku saat ini untuk mendapatkan suatu produksi makna yang mendalam dan
mendasar

Anda mungkin juga menyukai