Anda di halaman 1dari 10

Bab 1 Dinamika HAM dalam teori Hukum Alam

A. Selayang Pandang Mengenal Hukum Alam


Dari catatan sejarah kuno, terbukti bahwa masalah HAM merupakan salah satu pemikiran
yang sudah ada dan terbangun sejak zaman Yunani kuno. "Setiap kekuatan akan berhadapan
dengan hukum keabadian (hukum alam) yang berintikan menghormati HAM”, demikian
kesan penulis.

Hukum alam, menurut Marcus G. Singer, merupakan suatu konsep dari prinsipprinsip umum
moral tentang sistem keadilan yang berlaku untuk seluruh umat manusia, di mana umumnya
diakui dan diyakini oleh umat manusia itu sendiri. Oleh karena itu, hukum alam memunyai
ukuran yang berbeda dengan hukum positif yang berlaku pada suatu masyarakat. Diangkat
dari konsep teori hukum alam, individu memunyai hak alam yang tidak dapar dicabut atau
dipindahkan. Hal ini secara formal dimuat ulang dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika
Serikat.

Konsep hukum alam memunyai beberapa bentuk atau ide yang pada awalnya bermula dari
konsep Yunani kuno. Pada intinya, dalam setiap gerak alam semesta diatur oleh hukum
abadi yang tidak pernah berubah-ubah. Kalau toh ada perbedaan (perubahan), terutama
tentang ukuran adil, selalu terkait dengan sudut pandang pendekatannya, adil menurut
hukum alam atau adil menurut hukum kebiasaan.

Aliran ini disebut stoicin/stoa, karena pelajaran diberikan di lorong bertonggak dan
bertembok (stoa) yang disampaikan oleh Zeno (336-264 SM). Zeno memberi gambaran
cukup luas tentang hukum alam yang bersifat universal. Akal merupakan pusat kendali untuk
mengungkapkan dan mengetahui segala hal, termasuk hukum alam.

Menurut aliran filsafat stoa, alam semesta diatur oleh logika/ilmu tentang berpikir (logos/
prinsip rasional), di mana umat manusia memilikinya. Karenanya, manusia akan menaati
hukum alam. Di sini, manusia memunyai kebebasan memilih. Mereka (manusia) tidak
mungkin melanggar hukum, selama ia melakukan tindakan-tindakan di bawah kontrol akal
atau nalarnya yang berarti mengikuti kehendak alami.

Dengan demikian, aliran filsafat stoa dengan ajarannya yang bersifat universal/umum
menjabarkan lebih lanjut ajaran hukum alam yang dipelopori Aristoteles. Ajaran tersebut
menempatkan manusia yang semula mengedepankan emosional, menjadi makhluk yang
rasional abstrak.

Para ahli pikir/filsuf kristiani menerima ajaran teori hukum alam stoa, di mana hukum alam
diidenufikasikan dengan hukum Tuhan. Menurut Thomas Aguino, hukum alam merupakan
bagian dari hukum keabadian Tuhan (the reason of devine wisdom) yang dapat diketahui
dan dirasakan oleh manusia lewat kekuatan otaknya.

Thomas Hobbes (1588-1679) melakukan modifikasi kebiasaan hukum alam yang semula di
alam terdapat harmonisasi dan keadilan, kemudian berubah dan berkembang terjadi
ketidakadilan. Hal ini disebabkan dalam diri manusia terdapat watak rakus, agresif, dan
mementingkan diri sendiri yang mendominasi pribadi manusia. Ketika masing-masing pribadi
mengedepankan sifat-sifat tersebut, demi kepentingan dan pengamanan diri sendiri, akal
sehatnya mendorong antar sesamanya mengikatkan diri atau diformalkan dalam satu
ikatan/perjanjian sosial (social contract).

Dalam perjanjian sosial, manusia menyerahkan bulat-bulat kemerdekaannya kepada


penguasa yang absolut. Walau demikian, ide pembelaan diri yang dimiliki manusia
merupakan kunci yang cukup rasional. Karena itulah, para filsuf pada periode selanjutnya
memunyai pandangan yang lebih optimis tentang keadaan manusia yang memunyai ide.

Misalnya, John Locke (1632-1704) berpendapat bahwa manusia dalam keadaan bebas (sate
of nature dalam hukum alam adalah bebas dan sederajat), tetap memunyai hakhak alamiah
yang tidak dapat diserahkan kepada kelompok masyarakat lainnya, kecuali lewat perjanjian
masyarakat. Ketika masuk menjadi anggota masyarakat, manusia hanya menyerahkan hak-
hak tertentunya demi keamanan dan kepentingan bersama. Masingmasing individu tetap
memiliki hak prerogatif fundamental yang didapat dari alam. Hak tersebut merupakan
bagian utuh tak terpisahkan dari kepribadiannya sebagai manusia.

Keyakinan dan pandangan adanya hak abadi yang melekat pada setiap manusia tersebut,
menemparkan John Locke sebagai Bapak Hak Asasi Manusia. Teori hukum alam John Locke
memberi inspirasi basis filosofis atas Revolusi Amerika dan Prancis.

Pelopor teori hukum alam lain yang perlu dicatat adalah Jean Jacgues Rousseau (1712-1778)
yang dianggap sebagai Bapak Ajaran Kedaulatan Rakyat. Pemikirannya diawali dengan
melihat kekacauan di alam bebas yang menurut pemikir ini hanya dapat diatasi lewat
perjanjian masyarakat. Perjanjian masyarakat membangun kebersamaan dan kesatuan, di
mana setiap orang secara pribadi terlindungi sehingga tercipta keseimbangan antara
kekuasaan dengan kebebasan. Dengan adanya perlindungan tersebut, setiap anggota
masyarakat memiliki dan dijamin kebebasannya. Di sini, lewat instrumen perjanjian
masyarakat berarti mengukuhkan kembali kebebasan manusia.

B. Hubungan Hukum Alam dan HAM


Aristoteles menganggap hukum alam merupakan produk rasio manusia semata-mata demi
terciptanya keadilan abadi, sehingga keadilan menurut Aristoteles memunyai dua makna
berikut.

a. Adil dalam undang-undang dan bersifat temporer/berubah-ubah sesuai dengan waktu dan
tempat, sehingga sifatnya tidak tetap dan keadilannya pun tidak tetap (kcadilan distributif).

b. Adil menurut alam berlaku umum, sah, dan abadi sehingga terlepas dari kehendak
manusia dan kadang bertentangan dengan kehendak manusia itu sendiri (keadilan
komutatif).

Kedua keadilan tersebut menurut hemat penulis merupakan landasan mengembangkan


keadilan hukum (legal justice) dan keadilan masyarakat (social justice) sehingga terwujud
socio legal justice. Dari socio legal justice, berkembang banyak teori yang berbicara tentang
keadilan.
Keadilan alam merupakan himpunan norma-norma hukum alam dan memuat prinsip-prinsip
umum yang bersumber pada akal budi manusia. Warga negara Yunani kuno memiliki hak
yang disebut isogaria (hak bicara) dan isonomia (persamaan di muka hukum).

Hukum alam (natural law), salah satu muatannya adalah adanya hak-hak pemberian dari
alam (natural rights) karena dalam hukum alam ada sistem keadilan yang berlaku universal.
Adanya penekanan hak pada hukum alam memberi indikasi dan bukti bahwa hukum alam
memihak kepada kemanusiaan dalam bentuk hak asasi sejak kelahirannya, hak hidup
merupakan HAM pertama.

C. HAM dalam pandangan Liberalisme


Liberalisme adalah ideologi yang bertumpu kepada falsafah individualisme, satu pandangan
yang mengedepankan kebebasan orang per orang. Dengan demikian, individu dengan segala
kebebasannya diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengaktualisasikan dirinya dengan
maksimal. “Liberals regards man as a rational creature who can use his intelligence to
overcome human and natural obstacles to a good li e, without resorting to violence against
the established order. Liberalism is more concerned with process, with the method of
solving problems, than with a specific program.” J. Plano, 1962: 9)

Konsepsi HAM menurut paham liberal secara formal dapat dibaca di dalam Deklarasi
Kemerdekaan 13 Negara-negara Amerika 1776: ”...we hold these truths to be self-evident,
that all men created egual: that they are endowed by their Creator with certain inalienable
rights, liberty and the pursuit of happiness.” (Maurice Cranston, 1983: 3)

Nampak benar bahwa pikiran John Locke mewarnai proklamasi tersebut. Selanjutnya,
Lafayette, orang Prancis yang aktif dalam perang kemerdekaan Amerika mengembangkan
lebih lanjut Deklarasi Amerika ke dalam Declaration de I' Homme et du Citoyen pada tahun
1789 di Paris.

"...men are born and remain free and egual in rights: indeed, that the purpose o all political
associations 1s the concervation of the natural and inalienable rights of man, these rights
are liberry, property, security and resistance to oppression: liberty is defined as being
unrestrained in doing anything that does not inter ere with another rights, and is held to
include the rights to free speech, a free prees, religion freedom, and freedom from arbitrary
arrest.”

Dari pernyataan tersebut, nampak bahwa mengedepankan hak asasi manusia merupakan
reaksi keras terhadap sistem pemerintahan, politik, dan sosial sebelumnya yang absolut.
Pernyataan tersebut sekaligus merupakan perlawanan formal terhadap rezim totaliter,
ancient regime (orde lama) yang berpendapat hanya negara yang berhak mengatur
segalanya, termasuk hak asasi manusia.

Dengan demikian, lewat paham liberal-antara lain diwakili Deklarasi Prancis-posisi hak asasi
manusia diakui dan dijunjung tinggi oleh negara serta dilaksanakan oleh pemerintah.

Penghormatan atas hak-hak individu yang terkesan tanpa batas menuai kritik, bahwa hal ini
merupakan kelemahan paham individualisme.
D. HAM dalam pandangan Sosialis/Komunis
Konsep sosialis yang diawali dari ajaran Karl Marx, menurut L. Henkin, makna hak asasi tidak
menekankan kepada hak masyarakat, tetapi justru menekankan kewajiban terhadap
masyarakar. Dari ajaran tersebut, konsep sosialisme Marx bermaksud mendahulukan
kesejahteraan daripada kebebasan. (P. Hadjon, 1985: 63)

Karena itu, hak asasi bukan bersumber kepada hukum alam, tetapi bersumber dari penguasa
(pemerintah dan negara) sehingga kadar dan bobotnya tergantung kepada kemauan negara.
Ide hak asasi bagian dari ideologi komunis tidak cukup tua kalau dibanding dengan hukum
alam, kelahiranya bersamaan dengan munculnya gerakan dan paham komunis.

E. HAM dalam pandangan Negara Dunia Ketiga


Negara dunia ketiga adalah negara-negara yang merdeka, kebanyakan sesudah Perang Dunia
II dan sebagian besar negara tersebut tidak terjebak secara langsung masuk ke dalam peta
politik internasional, yaitu bipolarisasi. Waktu itu, peta politik bertumpu pada dua kekuatan
politik besar, yaitu satu pihak memihak kepada sistem politik demokrasi Amerika Serikat,
sementara dipihak lainnya ke kubu Uni Soviet yang komunis.

Negara-negara dunia ketiga mampu menentukan sikap politik Juar negeri yang tidak
memihak secara langsung kepada dua kekuatan besar tersebut, di mana sampai sekarang
masih dapat mempertahankan dan mengembangkan jati dirinya. Negara berkembang yang
mampu mempertahankan diri, tidak memihak ke salah satu kubu yang sedang
”berhadaphadapan,” tidak masuk ke dalam salah satu pusaran kekuatan ideologi waktu itu.
di mana disebut negara-negara Nonblok (nonalignment countries).

Sebagaimana diketahui, dewasa ini dunia tidak lagi dalam konstalasi bipolarisasi, tidak lagi
ada “konfrontasi” langsung antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Malah, dengan hancurnya
Uni Soviet, Amerika berubah/terkesan menjadi satu-satunya ncgara adidaya sehingga
kekuasaan dunia ada pada AS dan dianggap sebagai polisi dunia. Terutama, setelah banyak
langkah politik luar negeri Amerika yang secara sepihak/unilateral/eenzijdig tanpa
kesepakatan badan dunia/PBB melangkah sendiri.

Bab 3 HAM dalam kehidupan Bernegara

A. Hubungan sistem hukum dan sistem politik dari sudut pandang HAM
Sebagaimana disinggung di depan, hubungan hukum dan politik pun tak dapat dipisahkan,
lebih-lebih dalam hukum tata negara. Dalam kajian hukum tata negara dikenal istilah negara
(state), jabatan (Institution), pendapat umum (public opinion), dan pendidikan
kewarganegaraan (citizenship training), jika dilihat dari pendekatan politik berubah menjadi
sistem politik (political system), peran politik (political role), struktur politik (political
structure), sosialisasi politik (political soctalization), dan budaya politik (political culture).
Oleh karena itu, batas arti sistem politik menjadi banyak (tidak tetap) dan juga dalam
beberapa hal bertambah luas (Rusadi Kantaprawira, 1983: 3).

Menyadari bahwa hukum selain mengikuti irama dan budaya bangsa, juga mengandung
kepribadian/disiplin sendiri sehingga dalam diri hukum terkandung potensi untuk menggelar
keadilan dalam masyarakat. Keadilan merupakan ide/ambisi hukum untuk direalisasikan.
Karena itu, hukum tidak akan keluar dari sistem sosial besar yang ada dan telah berlaku,
kecuali anggota masyarakat itu sendiri yang berkehendak mengubahnya, baik lewat evolusi
maupun revolusi sehingga sistem sosialnya sendiri berubah-ubah.

Sistem itu sendiri menurut Oran R. Young dapat didefinisikan sebagai:

1. seperangkat unsur-unsur yang berada dalam interaksi,


2. seperangkat objek bersama hubungan sesama objek dan hubungan antara
lambanglambangnya: dan
3. satu keseluruhan dari campuran banyak bagian satu ansambel lambang-lambang.

B. HAM dalam transisi politik sentralistik ke sistem politik demokratis


Dalam sistem politik diktator, hukum yang dihasilkan berwatak represif, mempertahankan
status guo, dan mempertahankan kepentingan penguasa. Dalam sistem hukum yang
berwatak represif/reaktif, dapat dipastikan hak-hak rakyat terabaikan, terutama HAM tidak
pernah mendapat prioritas. Pemerintahan diktator memiliki kekuasaan mutlak dan
sentralistis, di mana aparat dan pejabat negara di bawah kontrol penguasa. Dalam sistem
tersebut, oposisi tidak diberi ruang gerak, walaupun ada hanya sebagai aksesoris politik saja.

Dalam situasi demikian, sistem komando menjadi pegangan para pejabat di semua lini
pemerintahan. Dengan demikian, di semua strata komando ditempati kroni dan orangorang
kepercayaannya saja. Segala bentuk aktivitas warga yang terkesan berbeda dengan garis
penguasa dibarasi dan dilarang, antara rakyat dengan pemerintah terdapat jarak.

"Modern dictatorship resembles older forms of absolutism in its hostility to any forms of
separations of power, and in the concentration of as many functions of government in as
few hands as possible....” (W. Friedmann, 1959: 7)

Sebaliknya dalam sistem politik demokratis, watak hukum yang dihasilkan bersifat responsif
dan akomodatif. Substansi hukum yang tertuang di dalam beragam peraturan perundangan
yang ada menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. HAM menjadi salah satu
ukuran penegakan hukum. Dalam sistem tersebut terjalin komunikasi serasi antara opini
publik lewat wakil-wakilnya, juga media massa, agamawan, cendekiawan, dan LSM dengan
pemerintah. Dengan demikian, sistem hukumnya ditandai dengan konsep impartiality
consistency, openness, predictabiliry dan stabiliry Semua warga negara memunyai
kedudukan sama di depan hukum (egual before the law). Ciri inilah yang disebut rule of law.
Untuk tujuan tersebut, demokrasi dikatakan gagal kalau hanya menekankan pada prosedur
melupakan substansi demokrasi. Substansi demokrasi ialah mewujudkan kehendak rakyat
yang dibuktikan dari perjuangan wakil-wakilnya di DPR. Antara pemerintah (dalam arti luas)
dengan rakyat tidak ada jarak.

Bab 5 dimensi absolut dan relatif HAM

1. Pandangan Universal Absolut

Pandangan ini melihat HAM sebagai nilai-nilai universal sebagaimana dirumuskan dalam
dokumen-dokumen HAM internasional, seperti the International Bill of Human Rights. Dalam
hal ini, profil sosial budaya yang melekat pada masing-masing bangsa tidak diperhitungkan.
Penganut pandangan ini adalah negara-negara maju, di mana bagi negara-negara
berkembang mereka dinilai eksploitatif karena menerapkan HAM sebagai alat penekan dan
sebagai instrumen penilai (tool o judgemenr). Sebagai contoh, country report dari Kedubes
Amerika Serikat di atas.

2. Pandangan Universal

Relatif Pandangan ini melihat persoalan HAM sebagai masalah universal. Namun demikian,
perkecualian dan pembatasan yang didasarkan atas asas-asas hukum nasional tetap diakui
keberadaannya. Sebagai contoh, ketentuan yang diatur dalam Pasal 29 ayat 2 Universal
Declaration of Human Rights (UDHR) yang menegaskan bahwa, dalam penerapan hak-hak
dan kebebasannya, setiap orang dihadapkan pada suatu batasan-batasan tertentu yang
ditentukan oleh hukum yang bertujuan untuk melindungi penghargaan dan penghormaran
terhadap hak-hak dan kebebasan orang lain dan memenuhi syaratsyarat yang adil dari segi
moral, norma masyarakat, dan kesejahteraan umum dalam masyarakat demokratis.

3. Pandangan Partikularistis Absolut

Pandangan ini melihat HAM sebagai persoalan masing-masing bangsa, tanpa memberikan
alasan yang kuat, khususnya dalam melakukan penolakan terhadap berlakunya dokumen-
dokumen internasional. Pandangan ini sering kali menimbulkan kesan chauvinis, egois,
defensif, dan pasif tentang HAM.

4. Pandangan Partikularistis Relatif

Dalam pandangan ini, HAM dilihat di samping sebagai masalah universal juga merupakan
masalah nasional masing-masing bangsa. Berlakunya dokumen-dokumen HAM internasional
harus diselaraskan, diserasikan, dan diseimbangkan, serta memeroleh dukungan budaya
bangsa. Pandangan ini tidak hanya menjadikan kekhususan yang ada pada masing-masing
bangsa sebagai sasaran untuk bersikap defensif, tetapi di lain pihak juga aktif mencari
perumusan dan pembenaran (vindicarion) terhadap karakteristik HAM yang dianutnya.

Bab 7 Dinamika perjuangan HAM di berbagai belahan dunia

A. Perkembangan HAM di Benua Eropa


Materi dasar dan pengeruan dasar HAM di negara-negara Eropa tidak berbeda dengan
ketentuan yang telah ada di dalam Deklarasi HAM PBB. Karena itu, motif pencetusan HAM
negara-negara Eropa, antara lain bertujuan memperkuat HAM PBB. Majelis Eropa telah
memunyai seperangkat instrumen Hukum (aturan hukum), yaitu sebagai berikut.
1. Convention for the Protection o Human Rights and Fundamental Freedom (1950), berisi
Garis-Garis Besar Perlindungan Hukum bagi seluruh warga negara dari negara anggota.
Beberapa hak yang tercantum di dalam konvensi, antara lain hak hidup, kemerdekaan dan
keamanan, peradilan bebas, penghormatan pribadi/keluarga, ketenteraman rumah tangga,
rahasia surat-menyurat, kebebasan berpikir, beragama, menyatakan pendapat/ opini,
berserikat/berkumpul, pendidikan, dan lainnya. Di samping hak-hak dan kebebasan
tersebut, setiap subjek hukum mendapat batasan tertentu atas dasar ”... public order, public
safety and protection of the rights and freedom of others are preseribed by law and
necessary in a democratic society” (Council of Europe, 1968: 10).

2. First Protocol to the Convention, berisi penjelasan dan penegasan dari setiap hak yang
telah dimiliki oleh semua subjek hukum, sehingga setiap warga negara tidak sekadar tahu
pokok-pokoknya, juga mengetahui sampai perinciannya.
3. Second Protocol, berisi hak-hak Mahkamah HAM Eropa (The European Court of Human
Rights) untuk memberi nasihat-nasihat/pendapat hukum terhadap suatu kasus yang
diajukan.

4. Third Protocol, berkaitan dengan tata cara dan mekanisme komisi HAM Eropa (The
European Commission of Human Rights).

5. Fourth Protocol, antara lain berisi hak dan kebebasan manusia tertentu, selain yang tclah
dimuat dalam konvensi dan dalam the First Protocol.

6. Fifth Protocol, berisi penjelasan lebih lanjut dengan kantor komisi HAM Eropa dan
Mahkamah Eropa tentang HAM.

B. Perkembangan HAM di Kawasan Amerika


Pada tahun 1959, pertemuan konsultatif Menlu Amerika ke-5 menghasilkan satu resolusi
pembentukan Inter-American Commission do Human Rights. Selanjutnya, pada pertemuan
di San Jose, Kosta Rika pada tahun 1969, khusus pertemuan tentang hak asasi, disepakati
pula American Convention (American Convention on Human Rights).
The Inter-American Commission on Human Rights sebagai badan/komisi yang menangani
masalah-masalah hak asasi manusia negara-negara anggora telah memiliki landasan hukum/
kerja sebagai berikut.

1. American Declaration of the Rights and Duties of Man (pertemuan Bogota,


Kolombia,1948).
2. Resolusi Hak Asasi Manusia No. XXII (pertemuan Rio de Janeiro, Brasil tahun 1945).
3. American Convention on Human Rights (pertemuan San Jose, Kosta Rika, 1969).

C. Perkembangan HAM di Kawasa Afrika


Pada tahun 1981 pertemuan Majelis Antarkepala Negara Afrika mengeluarkan Piagam
tentang Kemanusiaan dan Hak-Hak Warga Negara, dikenal dengan "The Bajul Charterand
Human People's Rights. Piagam tersebut diterima dan diratifikasi oleh 31 negara anggota.
Seperti hak asasi manusia Amerika dan Eropa, Piagam Hak Asasi Manusia Negara-Negara
Afrika dibagi menjadi dua hak besar, yaitu hak-hak sipil dan hak-hak politik.

D. Perkembangan HAM di Kawasan Asia


Negara-negara Asia belum memunyai piagam hak asasi manusia, sebagaimana dimiliki
negara-negara Eropa, Amerika, maupun Afrika. Hal ini disebabkan kuat dan dalamnya tradisi
dan agama-agama besar di kebanyakan negara-negara Asia. Pengaruh tradisi dan agama
pada sebagian besar negara-negara Asia mewarnai pola pikir/pola tindak dan sikap sebagian
besar negara-negara Asia.
Sejauh mana pengaruh tradisi dan agama tersebut terhadap negara-negara di Asia, kiranya
perlu diketahui beberapa ide yang hidup di antara negara Asia, antara lain
pandangan/filsafat Konfusius tentang hubungan antarmanusia dapat digambarkan sebagai
berikur.

Bab 9 Aplikasi hukum Ham dalam Negara RI

A. Penegakan HAM bagian dari cita-cita perjuangan Bangsa


Berdasarkan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pengertian hak
asasi manusia ialah seperangkat hak yang melekat pada keberadaan manusia sebagai
makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang wajib dihormati, dijunjung tinggi serta
dilindungi oleh negara.
HAM sebagai nilai universal telah dimuat dalam Konstitusi RI, baik dalam pembukaan UUD
1945 alinea ke-4 maupun dalam batang tubuh UUD 1945 dan dipertegas dalam amandemen
UUD 1945.

Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM sebagai bentuk
tanggung jawab moral dan hukum Indonesia sebagai anggota PBB dalam penghormatan dan
pelaksanaan Deklarasi Universal HAM/Universal Declaration on Human Rights (UDHR) tahun
1948 serta berbagai instrumen HAM lainnya mengenai HAM yang telah diterima Indonesia.

Terdapat 8 (delapan) diantara 9 (sembilan) instrumen pokok HAM internasional yang telah
diratifikasi Indonesia, yaitu:

1. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (UU


no. 7/1984);
2. Convention on the Rights of the Child (Keppres no. 36/1990), termasuk Optional
Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Involvement of Children
in Armed Conflict (UU no. 9/2012) dan Optional Protocol to the Convention on the
Rights of the Child on the Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography
(UU no. 10 tahun 2012);
3. Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman, or Degrading Treatment or
Punishment (UU no. 5/1998);
4. International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination,
1965 (UU no. 29/1999);
5. International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (UU no. 11/2005);
6. International Covenant on Civil and Political Rights (UU no. 12/2005);
7. Convention on the Rights of Persons With Disabilities (UU no.19/2011);
8. International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and
Members of Their Families (UU no. 6/2012)

Indonesia juga telah memiliki National Human Rights Institution (NHRI) yang independen
dan sejalan dengan Paris Principles yaitu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI (Komnas
HAM RI) yang dibentuk pada tahun 1999 berdasarkan UU no.39 Tahun 1999 tentang HAM.
Komnas HAM RI secara berkala menjalani review The Global Alliance Of National Human
Rights Institutions (GANHRI) dan telah mendapat akreditasi A dari sejak tahun 2000 sampai
saat ini.

Sebagaimana dimandatkan dalam Deklarasi dan Program Aksi HAM Wina 1993/Vienna
Declaration and Program of Action on Human Rights (VDPA), Pemerintah Indonesia telah
mengesahkan dan mengimplementasikan empat Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM),
yaitu:

1. untuk periode 1998-2003;


2. untuk periode 2004-2009;
3. untuk periode 2011-2014; dan
4. untuk periode 2015-2019 (sedang berjalan).
Dalam perkembangannnya, penyusunan dan implementasi RANHAM RI tidak hanya
melibatkan Pemerintah Pusat namun melibatkan juga Pemerintah Daerah. Pemri juga
memiliki Sekretariat Bersama RANHAM untuk memonitor dan mengevaluasi implementasi
Aksi HAM RI.

B. HAM dalam hukum Positif


1. HAM ada yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
ada pula yang tercantum dalam Undang-Undang tapi memiliki kualitas yang sama
pentingnya secara konstitusional sehingga memiliki “ Constitutional Importance” yang sama,
maka negara wajib untuk memenuhi hakhak warga negara.
2. Negara mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk menjamin HAM setiap warga
negara dihormati dan dipenuhi sebaikbaiknya, sebaliknya warga negara juga wajib
memenuhi tanggung jawabnya untuk menghormati dan mematuhi hal yang berkaitan
dengan kewenangan organ negara yang menjalankan fungsi-fungsi kekuasaan kenegaraan.
3. Pemerintah wajib dan bertanggung jawab dalam menegakkan, melindungi dan
menghormati hak asasi manusia sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945 serta Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999. Kewajiban dan
tanggung jawab pemerintah meliputi implementasi HAM dalam berbagai sektor kehidupan
berbangsa dan bernegara.

C. Dari Komisi (sekarang Dewan) HAM PBB

Bab 13 Terorisme dan HAM

Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang
menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban
yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek
vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan
motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.
Walter Laqueur (Laqueur, 1977): terorisme adalah penggunaan kekuatan secara tidak sah
untuk mencapai tujuan-tujuan politik. Target terorisme adalah masyarakat sipil yang tidak
bersalah/berdosa. Unsur utama terorisme adalah penggunaan kekerasan

Menurut ketentuan hukum Indonesia, aksi terorisme dikenal dengan istilah Tindak Pidana
Terorisme (Asshiddiqie, 2003). Indonesia memasukkan terorisme sebagai tindak pidana,
sehingga cara penanggulangannya pun menggunakan hukum pidana sebagaimana tertuang
dalam peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang (PERPU) Republik Indonesia Nomor
1 tahun 2002 yang kemudian diperkuat menjadi Undang-Undang (UU) Nomor 15 tahun 15
tahun 2003. Judul Perpu atau Undang-Undang tersebut adalah Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme.

Pasal 1 ayat 1 Perpu No. 1 Tahun 2002 menyatakan bahwa tindak pidana terorisme adalah
segala perbuatan yang memenuhi unsur pidana sesuai dengan ketentuan Perpu. Perbuatan
tersebut termasuk yang sudah dilakukan ataupun yang akan dilakukan. Dua hal ini
termaktub dalam pasal 6 dan pasal 7 (Perpu, 2002)

Terkait dengan unsur-unsur tindak pidana terorisme, ada perbedaan antara pasal 6 dan 7.
Pasal 6 menyatakan;
Pelaku tindak pidana terorisme adalah setiap orang yang dengan sengaja menggunakan
kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut
terhadap orang secara meluas, atau menimbulkan korban yang bersifat massal. dengan cara
merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain. mengakibatkan
kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan
hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional.

Dari pasal 6 di atas, dapat disarikan bahwa suatau aksi atau tindakan dapat digolongkan
sebagai tindak pidana terorisme bila mengandung unsur berikut;

Dilakukan dengan sengaja


Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan
Menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara luas
Menimbulkan korban massal, baik dengan cara marampas kemerdekaan atau dengan
menghilangkan nyawa atau harta benda orang lain
Mengakibatkan kerusakan pada obyek-obyek vital
Sementara pasal 7 menyebutkan:

Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau tindakan ancaman
kekerasan yang dimaksudkan untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhaddap
orang secara luas atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek
vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional
dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup.

Pasal 7 di atas menyebutkan bajwa suatu aksi atau tindakan dpaat digolongkan sebagai
tindak pidana terorisme bila mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

Dilakukan dengan sengaja


Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan
Dimaksudkan untuk menimbulkan korban massal
mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau
lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional.

Anda mungkin juga menyukai