Anda di halaman 1dari 6

AZHAB-MAZHAB YANG BERPENGARUH DALAM LAHIRNYA

PEMIKIRAN SOSIOLOGI HUKUM


BAB II

MAZHAB-MAZHAB YANG BERPENGARUH

DALAM LAHIRNYA PEMIKIRAN SOSIOLOGI HUKUM

Manusia adalah makhluk yang diciptakan Tuhan dengan keistimewaan akal sebagai ruang cipta
dan hati sebagai ruang rasa. Keduanya menuntun manusia untuk selalu ingin tahu terhadap segala
sesuatu, yang hasil dari keinginan ini disebut pengetahuan. Pengetahuan yang dimiliki manusia bisa
berbentuk pengetahuan indera, pengetahuan ilmiah, pengetahuan filsafat, dan pengetahuan agama.
Pengetahuan filsafat sering sekali menjadi fokus pengkajian dalam sejarah perkembangannya dengan
tidak menyampingkan ketiga pengetahuan lainnya yang saling berkontribusi dalam hal menghasilkan ilmu
selalu berkembang. Ketidakpuasan dan kehausan para pemikir dalam menghasilkan ilmu yang dinamis
menjadikan berkembangnya aliran-aliran yang saling mempertahankan ilmu atau buah pikiran yang telah
mereka hasilkan. Hal demikian juga terjadi dalam disiplin ilmu filsafat pada umumnya, dan filsafat hukum
pada khususnya.

Secara etimologi bahasa aliran adalah haluan, pendapat atau paham. Secara istilah aliran hukum
merupakan suatu paham seseorang atau kelompok mengenai nilai-nilai, dasar beserta hakikat hukum
yang memiliki penganut dengan yakin mengikutinya. Jika kita bandingkan dengan pemahaman teori
hukum maka ada beberapa ahli yang menyamakannya namun ada juga yang membedakannya. Akan
tetapi penulis cenderung membedakannya, karena teori hukum itu adalah pendapat yang dikemukakan
seseorang sebagai pedoman dalam merumuskan suatu produk hukum sehingga hukum itu dapat
dilaksanakan dalam praktek kehidupan masyarakat. Aliran cenderung lebih umum karena satu aliran yang
sama dapat melahirkan berberapa teori hukum.

1.Mazhab Formalistis (Jhon Austin dan Hans Kelsen)

Menurut Austin, hukum merupakan perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi, atau dari
yang memegang kedaulatan. Hukum adalahperintah yang dibebankan untuk mengatur makhluk berfikir,
perintah manadilakukan oleh makhluk berfikir yang memegang dan mempunyai kekuasaan.Austin juga
beranggapan bahwa hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetapdan bersifat tertutup.Hukum dibagi
dalam dua bagian, yaitu hukum yang dibuat oleh Tuhan dan hukum yang dibuat oleh manusia. Hukum
yang dibuat oleh manusia dapatdibedakan dalam:
a.Hukum yang sebenarnya :Yaitu hukum yang dibuat oleh penguasa bagi pengikut-pengikutnya,
danhukum yang disusun oleh individu-individu guna melaksanakan hak-hakyangdiberikan kepadanya.

b.Hukum yang tidak sebenarnya.Hukum yang tidak sebenarnya bukanlah merupakan hukum yang
secaralangsung berasal dari penguasa, akan tetapi merupakan peratura-peraturanyang disusun oleh
perkumpulan-perkumpulan atau badan-badan tertentu.Sementara Hans Kelsen beranggapan bahwa,
suatu sistem hukum sebagaisuatu sistem pertanggapan dari kaidah-kaidah, dimana suatu kaidah
hukumtertentu akan dapat dicari sumbernya pada kaidah hukum yang lebih tinggi derajatnya. Kaidah
yang merupakan puncak dari sistem pertanggapan itudinamakan kaidah dasar atau Grundnorm.Kaidah
dasar tersebut merupakan dasar dari segenap penilaian yang bersifatyuridis yang dimungkinkan didalam
suatu tertib hukum dari suatu negara-negara berbeda dengan negara lainnya.Kelsen juga menyatakan
bahwa hukum berdiri sendiri terlepas dari aspek-aspek kemasyarakatan yang lain. Teorinya bertujuan
untuk menunjukkanapakah hukum positif dan bukan apa yang merupakan hukum yang benar.

2.Mazhab Sejarah (Friedrich Karl Von Savigny dan Sir Henry).

Dalam rentang sejarah, perkembangan aliran pemikiran hukum sangat tergantung dari aliran pemikiran
hukum sebelumnya, sebagai sandaran kritik dalam rangka membangun kerangka teoritik berikutnya.
Disamping itu kelahiran satu aliran sangat terkait dengan kondisi lingkungan tempat suatu aliran itu
pertama kali muncul. Dengan kata lain lahirnya satu aliran atau mazhab hukum dapat dikatakan sebagai
jawaban fundamental terhadap kondisi kekinian pada zamannya. Sebagai contoh dapat dikemukakan
kritik positivisme dan aliran sejarah terhadap aliran hukum alam atau kritik kaum realis terhadap
positivistik. Demikian juga halnya dengan kritik yang ditujukan oleh postmodernisme terhadap
kemapanan modernisme. Kelahiran mazhab sejarah dipelopori oleh Friedrich Carl von Savigny (1779-
1861) melalui tulisannya yang berjudul ”Von Beruf unserer Zeit fur Gesetzgebung und Rechtwissenschaft”
(Tentang Pekerjaan pada Zaman Kita di Bidang Perundang-undangan dan Ilmu Hukum), di pengaruhi oleh
dua faktor yaitu pertama ajaran Montesqueu dalam bukunya “L’ esprit des Lois” dan pengaruh faham
nasionalisme yang mulai timbul pada awal abad ke 19.

Disamping itu, munculnya aliran ini juga merupakan reaksi langsung dari pendapat Thibaut yang
menghendaki adanya kodifikasi hukum perdata Jerman yang didasarkan pada hukum Prancis (Code
Napoleon). Kedua pengaruh tersebut bisa digambarkan sebagai berikut:

Menurut Friedmann Aliran ini juga memberikan aksi tertentu terhadap dua kekuatan besar yang
berkuasa pada zamannya. Kedua hal tersebut menurut Friedmann (1990) adalah :

1. Rasionalisme dari abad 18 dengan kepercayaan terhadap hukum alam, kekuasaan akal dan prinsip-
prinsip pertama yang semuanya dikombinasikan untuk meletakkan suatu teori hukum dengan cara
deduksi dan tanpa memandang fakta historis, cirri khas nasional, dan kondisi sosial;

2. Kepercayaan dan semangat revolusi Prancis dengan pemberontakannya terhadap tradisi,


kepercayaan pada akal dan kekuasaan kehendak manusia atas keadaan-keadaan zamannya.

Sedangkan Lili Rasjidi mengatakan kelahiran aliran/mazhab sejarah merupakan reaksi tidak langsung dari
terhadap aliran hukum alam dan aliran hukum positif. Hal pertama yang mempengaruhi lahirnya mazhab
sejarah adalah pemikiran Montesqueu dalam bukunya “L’ esprit des Lois” yang mengatakan tentang
adanya keterkaitan antara jiwa suatu bangsa dengan hukumnya (Lili Rasyid,1996). Menurut W. Friedman
gagasan yang benar-benar penting dari L’esprit des Lois adalah tesis bahwa hukum walaupun secara
samar didasarkan atas beberapa prinsip hukum alam mesti dipengaruhi oleh lingkungan dan keadaan
seperti: iklim, tanah, agama, adat-kebiasaan, perdagangan dan lain sebagainya.

Berangkat dari ide tersebut Montesqueu kemudian melakukan studi perbandingan mengenai undang-
undang dan pemerintahan. Seperti yang telah diuraikan diatas, selain dipengaruhi oleh pemikiran
Montesque lahirnya mazhab sejarah juga banyak dipengaruhi oleh semangat nasionalisme Jerman yang
mulai muncul pada awal abad 19. Dengan memanfaatkan moment (semangat nasionalisme), Savigny
menyarankan penolakan terhadap gagasan Tibhaut tentang kodifikasi hukum yang tersebar dalam
pamfletnya “Uber Die Notwetdigkeit Eines Allgemeinen Burgerlichen Rechts Fur Deutschland” (Keperluan
akan adanya kodefikasi hukum perdata negara Jerman).

Hakikat dari setiap sistem hukum menurut savigny adalah sebagai pencerminan jiwa rakyat yang
mengembangkan hukum itu. Dikemudian hari hal tersebut oleh G. Puchta, murid Savigny yang paling
setia, dicirikan sebagai Volkgeist, menurut Puchta hukum adalah perwujudan dari kesadaran yang umum
ini. Dikatakannya:

“Hukum itu bersama-sama dengan pertumbuhan, dan menjadi kuat bersama-sama dengan kekuatan dari
rakyat, dan pada akhirnya ia mati manakala bangsa itu kehilangan kebangsaannya.” (dalam Satjipto
Rahardjo, 2006)

3.Mahzab Utilitarianisme (Jeremy Betham dan Rudolph von Ihering)

Aliran ini di pelopori oleh Jeremy Bentham (1748-1832), John Stuart Mill (1806-1873), dan Rudolf von
Jhering (1818-1889). Aliran ini akan penulis awali dengan ajaran Jeremy Bentham, yang berpendapat
bahwa alam memberikan kebahagiaan dan kesusahan. Manusia selalu berusaha memperbanyak
kebahagiaan dan mengurangi kesusahannya. Standar penilaian etis yang dipakai disini adalah apakah
suatu tindakan itu menghasilkan kebahagiaan. Kebaikan adalah kebahagiaan dan kejahatan adalah
kesusahan. Tugas hukum adalah memelihara kebaikan dan mencegah kejahatan. Dengan kata lain, untuk
memelihara kegunaan. Dalam sistem pemidanaan, menurutnya harus bersifat spesifik untuk tiap
kejahatan dana seberapa beratnya pidana itu tidak boleh melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk
mencegah dilakukannya penyerangan-penyerangan tertentu. Pemidanaan hanya bisa diterima apabila ia
memberikan harapan bagi tercegahnya kejahatan yang lebih rendah, Keberadaan hukum diperlukan
untuk menjaga agar tidak terjadi bentrokan kepentingan individu dalam mengejar kebahagiaan yang
sebesar-besarnya, untuk itu perlu ada batasan yang diwujudkan dalam hukum, jika tidak demikian, maka
akan terjadi homo homini lupus (manusia menjadi serigala bagi manusia yang lain). karena itu, ajaran
Bentham dikenal sebagai utilitarianisme yang individual.

Penulis lain yang tidak kalah pentingnya ialah John Stuart Mill yang lebih banyak dipengaruhi oleh
pertimbangan psikologis. Ia menyatakan bahwa tujuan manusia ialah kebahagiaan. Manusia berusaha
memperoleh kebahagiaan melalui hal-hal yang membangkitkan nafsunya. Mill juga menolak pandangan
Kant yang mengajarkan bahwa individu harus bersimpati pada kepentingan umum. Kemudian Mill lalu
menganalisis hubungan antara kegunaan dan keadilan. Ia berpendapat bahwa asal-usul perasaan akan
keadilan itu tidak ditemukan pada kegunaan melainkan pada dua sentimen, yaitu rangsangan untuk
mempertahanka diri dan perasaan simpati. Pada hakekatnya, perasaan individu akan keadilan dapat
membuat individu itu menyesal dan ingin membalas dendam kepada tiap yang tidak menyenangkannya.
Menurut Mill, keadilan bersumber pada naluri manusia untuk menolak dan membalas kerusakan yang
diderita, baik oleh diri sendiri, maupun oleh siapa saja yang mendapatkan simpati dari kita.

Pendapat lain dilontarkan Rudolf von Jhering yang menggabungkan antara utilitarianisme yang individual
maupun yang sosial, karena Jhering dikenal sebagai pandangan utilitarianisme yang bersifat sosial, jadi
merupakan gabungan antara teori yang dikemukakan oleh Bentham, Mill, dan positivisme hukum dari
John Austin. Bagi Jhering, tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan. Dalam
mendefinisikan kepentingan, ia mengikuti Bentham, dengan melukiskannya sebagai pengejaran
kesenangan dan menghindari penderitaan tetapi kepentingan individu dijadikan bagian dari tujuan sosial
dengan menghubungkan tujuan pribadi seseorang dengan kepentingan-kepentingan orang lain. Jhering
sangat tidak menyukai apa yang disebut dengan ilmu hukum yang menekankan pada konsep-konsep,
bahwa kebijaksanan hukum itu tidak terletak pada permainan teknik-teknik pengehalusan dan
penyempurnaan konsep, melainkan kepada penggarapan konsep-konsep itu untuk melayani tujuan-
tujuan yang praktis.

4.Aliran Sociological Jurisprudence (Eugen Ehrlich dan Roscoe Pound).

Aliran Sociological Jurispurdence sebagai salah satu aliran pemikiran filsafat hukum menitik beratkan
pada hukum dalam kaitannya dengan masyarakat. Aliran ini berkembang di Indonesia dan di Amerika,
dipelopori oleh Roescoe Pound, Eugen Ehrlich, Benyamin Cardozo, Kantorowich, Gurvitch, dan lain-lain.
Akan tetapi Romli Atmasasmita (2012) berpendapat bahwa aliran ini berasal dari Oliver Wendell Holmes
(1841-1935) yang juga menurut para teoritis merupakan tokoh terpenting dalam aliran Realisme Hukum.
Menurut aliran ini hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam
masyarakat. Aliran ini secara tegas memisahkan antara hukum positif dengan (the positive law) dengan
hukum yang hidup (the living law).

Aliran Sociological Jurisprudence berbeda dengan Sosiologi Hukum. Dengan rasio demikian, Sosiologi
Hukum merupakan cabang sosiologi yang mempelajari hukum sebagai gejala sosial, sedang Sociological
Jurisprudence merupakan suatu mazhab dalam filsafat hukum yang mempelajari pengaruh timbal balik
antara hukum dan masyarakat dan sebaliknya. Sosiologi hukum sebagai cabang sosiologi yang
mempelajari pengaruh masyarakat kepada hukum dan dan sejauh mana gejala-gejala yang ada dalam
masyarakat dapat mempengaruhi hukum di samping juga diselidiki juga pengaruh sebaliknya, yaitu
pengaruh hukum terhadap masyarakat. Dari 2 (dua) hal tersebut di atas (sociological jurisprudence dan
sosiologi hukum) dapat dibedakan cara pendekatannya. Sociological jurisprudence, cara pendekatannya
bertolak dari hukum kepada masyarakat, sedang sosiologi hukum cara pendekatannya bertolak dari
masyarakat kepada hukum.

Roscoe Pound menganggap bahwa hukum sebagai alat rekayasa sosial (Law as a tool of social
engineering and social controle) yang bertujuan menciptakan harmoni dan keserasian agar secara optimal
dapat memenuhi kebutuhan dan kepentingan manusia dalam masyarakat. Keadilan adalah lambang
usaha penyerasian yang harmonis dan tidak memihak dalam mengupayakan kepentingan anggota
masyarakat yang bersangkutan. Untuk kepentingan yang ideal itu diperlukan kekuatan paksa yang
dilakukan oleh penguasa negara. Pendapat/pandangan dari Roscoe Pound ini banyak persamaannya
dengan aliran Interessen Jurisprudence. Primat logika dalam hukum digantikan dengan primat
“pengkajian dan penilaian terhadap kehidupan manusia (Lebens forschung und Lebens bewertung), atau
secara konkritnya lebih memikirkan keseimbangan kepentingan-kepentingan (balancing of interest,
private as well as public interest).

Roscoe Pound juga berpendapat bahwa living law merupakan synthese dari these positivisme hukum
dan antithese mazhab sejarah. Maksudnya, kedua aliran tersebut ada kebenarannya. Hanya, hukum yang
sanggup menghadapi ujian akal agar dapat hidup terus. Yang menjadi unsur-unsur kekal dalam hukum itu
hanyalah pernyataan-pernyataan akal yang terdiri dari atas pengalaman dan diuji oleh pengalaman.
Pengalaman dikembangkan oleh akal dan akal diuji oleh pengalaman. Tidak ada sesuatu yang dapat
bertahan sendiri di dalam sistem hukum. Hukum adalah pengalaman yang diatur dan dikembangkan oleh
akal, yang diumumkan dengan wibawa oleh badan-badan yang membuat undang-undang atau
mensahkan undang-undang dalam masyarakat yang berorganisasi politik dibantu oleh kekuasaan
masyarakat itu.

Eugen Ehrlich (1862-1922) dalam karyanya “Fundamental Principles of the Sociology of Law (1913) yang
telah melakukan kritik terhadap peranan ahli hukum dengan sebutan “Lawyer’s Law”. Sebutan sinis ini
telah membuka mata para ahli para ahli hukum ketika itu atas kekeliruannya dalam memahami konsep
hukum dan penerepanya dalam masyarakat. Bahkan Ehrlich lebih jauh mengkritisi peranaan para hakim
yang hanya menerapkan hukum atas suatu fakta tanpa mempertimbangkan aspek-aspek sosiologis atas
putusannya. Pernyataan Ehrlich yang sangat terkenal sebagai pelopor aliran ini adalah “pusat gravitasi
perkembangan hukum sepanjang waktu dapat ditemukan, bukan di dalam perundang-perundangan dan
dalam ilmu hukum atau putusan pengadilan melainkan di dalam masyarakat itu sendiri”(dalam Romli
Atmasasmita, 2012). Aliran sangat mempengaruhi para ahli hukumnya untuk betul-betul menarik
perhatiannya kepada problem-problem kehidupan sosial yang nyata. Kritik yang bisa dilontarkan
terhadap pendapat Ehrlich yang demikia itu adalah, bahwa ilmu hukum yang dilahirkanya menjadi tanpa
bentuk (amorphous), bahkan menjadikan arti penting dari hukum itu tenggelam dan menuntun kepada
kematian ilmu tersebut. (dalam Satjipto Rahardjo, 2006)

5. Mahzab Realisme Hukum (Karl Llewellyn, Jerome Frank dan J.O.W Holmes).

Aliran realisme hukum merupakan salah satu subaliran dari positivisme hukum yang dipelopori
oleh John Chipman, Oliver Wendel Holmes, Karl Liwellyn, Jerome Frank, William James, dan lain-lain.
Roescoe Pound pun dapat digolongkan dalam aliran ini melalui pendapatnya yang mengungkapkan
bahwa hukum itu merupakan a tool of social engineering.

Gerakan realisme mulai melihat apa sebenarnya yang dikehendaki hukum dengan
menghubungkan kedua sisinya, seperti fakta-fakta dalam kehidupan sosial. Realisme yang berkembang di
Amerika Serikat menjelaskan bagaimana pengadilan membuat putusan. Penemuan mereka
mengembangkan formula dalam memprediksi tingkah laku hakim (peradilan) sebagai suatu fakta
(kenyataan).
Jadi, hal yang pokok dalam ilmu hukum realis adalah “gerakan dalam pemikiran dan kerja tentang
hukum”. Ciri-ciri dari gerakan ini, Llewellyn menyebut beberapa hal, yang terpenting diantaranya:

 Tidak ada mazhab realis, realisme adalah gerakan dalam pemikiran dan kerja tentang hukum.

 Realisme adalah konsepsi hukum yang terus berubah dan alat untuk tujuan-tujuan sosial, sehingga tiap
bagian harus diuji tujuan dan akibatnya. Realisme mengandung konsepsi tentang masyarakat yang
berubah lebih cepat daripada hukum.

 Realisme menganggap adanya pemisahan sementara antara hukum yang ada dan yang seharusnya ada
untuk tujuan-tujuan studi. Pendapat-pendapat tentang nilai harus selalu diminta agar tiap penyelidikan
ada sasarannya, tetapi selama penyelidikan, gambaran harus tetap sebersih mungkin, karena keinginan-
keinginan pengamatan atau tujuan-tuan etis.

 Realisme tidak percaya pada ketentuan-ketentuan dan konsepsi-konsepsi hukum, sepanjang ketentuan
dan konsepsi itu menggambarkan apa yang sebenarnya dilakukan oleh pengadilan-pengadilan dan orang-
orang. Realisme menerima peraturan-peraturan sebagai “ramalan-ramalan umum tentang apa yang akan
dilakukan oleh pengadilan-pengadilan.”

 Realisme menekankan pada evolusi tiap bagian dari hukum dengan mengingat akibatnya.

Llewellyn sebagai salah satu tokoh pragmatic legal realism, mengalisa perkembangan hukum di
dalam kerangka hubungan antara pengetahuan-pengetahuan hukum dengan perubahan-perubahan
keadaan masyarakat. Hukum merupakan bagian dari kebudayaan yang antara lain mencakup kebiasaan,
sikap-sikap maupun cita-cita yang ditransmisikan dari suatu generasi tertentu ke generasi berikutnya.
Dengan kata lain, hukum merupakan bagian kebudayaan yang telah melembaga. Lembaga-Lembaga
tersebut telah terorganisir dan harapannya terwujud di dalam aturan-aturan eksplisit yang wajib ditaati
serta didukung oleh para ahli. Jadi yang namanya hukum itu bukan hanya yang tertulis dalam Undang-
Undang atau ketentuan dan peraturan tertulis, namun lebih besar ditentukan oleh hakim di pengadilan
yang pada umumnya didasarkan pada kenyataan di lapangan. Hakim punya otoritas untuk menentukan
hukum ketika menjatuhkan putusan di pengadilan, meskipun putusannya itu dalam beberapa hal tidak
selalu sama dengan apa yang tertulis dalam Undang-Undang atau aturan lainnya. Sehubungan dengan itu
moralitas hakim sangat menentukan kualitas hukum yang merupakan hasil putusan pengadilan itu.
Dengan demikian, tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa suatu kasus tidak dapat diadili karena
belum ada hukum tertulis yang mengaturnya. (Soerjono Soekanto, 1985)

Holmes dikenal sebagai “the founder of the realist shoud”. Holmes, selama 30 tahun menjabat jabatan
Hakim Agung Amerika Serikat. Kata-katanya yang paling terkenal adalah: The life of the law has been, not
logic, but experience. Aspek-aspek empiris dan pragmatis dari hukum merupakan hal yang penting. Bagi
Holmes, yang disebutnya sebagai hukum adalah apa yang diramalkan akan diputus dalam kenyataannya
oleh pengadilan: Buku Holmes yang terkenal terbit pada tahun 1920 berjudul: The Path of Law.

Jadi bagi Holmes, hukum adalah kelakuan aktual para hakim ( Patterns of behaviors)
dimana patterns of behavior hakim itu ditentukan oleh tiga faktor, masing-masing:

1. Kaidah-kaidah hukum yang dikonkritkan oleh hakim dengan metode interpretasi dan konstruksi.

2. Moral hidup pribadi hakim.

Anda mungkin juga menyukai