Anda di halaman 1dari 15

I.

ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT HUKUM


Filsafat hukum mengkaji segala hal yang berkaitan dengan hukum secara universal,
radikal dan sistematis.1 A. Ahrens pernah membicarakan, bahwa filsafat hukum adalah ilmu
yang mengambil sumber dan menjabarkan asas tertinggi dan/ atau cipta hukum dari manusia
dan kemanusian, untuk selanjutnya dikembangkan diterapkan pada kehidupan manusia,
sedangkan menurut kodratnya factor manusia dan kemanusian adalah bersifat universal dan
terbuka. Sedangkan nilai luhur kemanusian sudah tertuang dengan jelas dalam sila ke dua
dasar Negara kita yang sekaligus sebagai cita hukum kita, maka sangatlah relevan apabila
kita mempertimbangkan beberapa pokok pikiran berbagai aliran filsafat hukum dalam relasi
dan relevansinya dengan pembangunan/pembinaan hukum Indonesia, apalagi bila hal ini
dikaitkan hubungannya dengan bahwa hakikat hukum adalah suatu organisme yang hidup,
dimana vitalitas dan eksistensinya lebih lanjut bergantung pada gerak usaha pembaharuan
dan penyempurnaan.2
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat hukum adalah cabang filsafat, yaitu
filsafat tingkah laku atau etika, yang mempelajari hakikat hukum. Dengan perkataan lain
filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis. Jadi objek filsafat
hukum adalah hukum, dan objek tersebut dikaji secara mendalam sampai kepada inti atau
dasarnya, yang disebut hakikat. Jadi pengertian dan pokok bahasan filsafat hukum adalah
filsafat tentang hukum. Yaitu kajian yang mendalam, dan sungguh-sungguh secara sitematis
dan metodis tentang hakikat hukum sampai kedasar atau akarnya. Masalah-masalah dasar
yang menjadi perhatian para filosof masa dahulu terbatas pada masalah tujuan hukum
(terutama masalah keadilan), hubungan hukum alam dan hukum positif, hubungan Negara
dan hukum.3
A. Aliran Hukum Alam
Aliran ini disebut juga dengan aliran hukum kodrat atau Natural Law Theory,
menurut aliran ini hukum dipandang sebagai suatu keharusan alamiah (nomos), baik
semesta alam, maupun hidup manusia. Hukum itu berlaku universal dan bersifat abadi.

1
Suparman Usman, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Serang, SUHUDSentrautama, hlm. 47
2
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Baraktullah, Filsafat, Teori dan Ilmu Hukum Pemikiran Menuju Masyarakat yang
Berkeadilan dan Bermartabat, Jakarta, Rajawali Pres, 2014, hlm.9
3
Ibid, hlm.10
Pemikiran hukum alam dikembangakan oleh beberapa pakar yang ada pada zaman
Yunani dan Romawi.4
Para filosof Yunani kuno melihat keteraturan alam dan menyimpulkan bahwa
alam memiliki tujuan, sasaran atau arah tertentu. Manusia adalah bagian dari alam,
karenanya manusia juga memiliki tujuan tertentu yang sesuai dengan tujuan alam.
Dengan kata lain, alam menentukan seperangkat tujuan tertentu bagi manusia dalam
rangka tatanan alam. Pandangan yang melihat alam dan tempat manusia di dalamnya
dalam rangka tujuan, sasaran arah tertentu ini disebut pandangan teleologis (yang berasal
dari kata Yunani kuno, telos, yang berarti: tujuan atau sasaran)
Hukum alam dibedakan dalam dua golongan:
1. Aliran hukum alam irasional
Menurut aliaran hukum alam irasional bahwa hukum itu berlaku universal dan
bersifat abadi dengan mengesampingkan aspek ratio manusia. Tokoh aliran ini
antara lain Thomas Aquinas
2. Aliran hukum alam rasional
Menurut aliran hukum alam rasional bahwa hukum itu berlaku universal dan
bersifat abadi dengan menekankan terhadap ratio manusia. Tokoh aliran ini antara
lain Hugo Degrot.
Aliran hukum alam merupakan aliran filsafat hukum yang paling tua dan nama ini
masih bertahan sampai sekarang. Aliran ini dimulai oleh para filosof Yunani kuno
kemudian mengalami perkembangan dan perubahan. Aliran ini akan diuraikan
berdasarkan tahap perkembangannya, yaitu:
a) Teori hukum alam klasik
b) Teori hukum alam theologis
c) Teori hukum alam yang rasionalistis
d) Runtuhnya teori hukum alam
e) Kebangkitan kembali teori hukum alam
B. Aliran Utilitarianisme
Pelopor dari utilitarianisme adalah Jeremy Bentham (1748 –1832), seorang filosof
dan ahli hukum Inggris. Utilitarianisme adalah filsafat yang menekankan pada manfaat

4
Suparman Usman, op.cit, hlm. 105
berupa meningkatnya kesenangan (pleasure). Oleh karenanya, ada juga yang menyebut
aliran ini dengan suatu istilah yang negatif, yaitu hedonisme atau mementingkan
kesenangan. Utilitarianisme merupakan etika konsekuensi (consequences), yaitu
menekankan pada konsekuensi yang terjadi, yaitu apakah konsekuensinya benar-benar
membawa kesenangan ataukah tidak. Utilitarisme mengabaikan maksud (intentions).
Sekalipun maksudnya untuk meningkatkan kesenangan tetapi konsekuensinya tidak,
maka ini tidak sesuai dengan prinsip kemanfaatan.
Jadi tujuan dalam aliran ini yaitu untuk memberikan kemanfaatan dan kebahagian
yang sebanyak-banyaknya kepada masyarakat. Adapun tokoh-tokoh dalam aliran ini
antara lain Jeremy Bantham (1748-1783), John Stuart Mill (1806-1873) dan Rudolf von
Jhering.
Menurut Bantham keberadaan Negara dan hukum semata-mata sebagai alat untuk
mencapai manfaat yang hakiki, yaitu kebahagiaan mayoritas masyarakat.
Lebih jauh menurut Jeremy Bantham bahwa esensi hukum ini sebagai berikut:
1. Tujuan hukum dan wujud keadilan menurut Jeremy Bantham adalah
mewujudkan the greatest happiness of the greatest number (kebahagian yang
sebesar-besarnya untuk sebanyak-banyaknya nya orang).
2. Tujuan perundang-undangan menurut Jeremy Bantham adalah untuk
menghasilkan kebahagian bagi masyarakat. Untuk itu perundang-undangan
harus berusaha untuk mencapai empat tujuan yaitu:
a. To provide subsistence (untuk memberi nafkah hidup)
b. To provide abundance (untuk memberikan makanan yang berlimpah)
c. To provide security (untuk memberikan perlindungan)
d. To attain equality (untuk mencapai persamaan)5
Sedangkan John Stuart Mill mengemukakan bahwa “Actions are right in
proportion as they thend to promote man’s happiness, and wrong as they tend to promote
the reverse of happiness” (tindakan itu hendaknya ditunjukan terhadap pencapaian
kebahagian dan adalah keliru jika ia menghasilkan sesuatu yang merupakan kabalikan
dan kebahagian). Aliran ini merupakan aliran yang ingin melihat keterkaitan antara
hukum dan masyrakat. Aliran ini muncul sebagai reaksi tidak langsung dari Aliran

5
Ibid, hlm. 106
Hukum Alam dan Aliran Hukum Positif. Menurut aliran ini hukum tidak dibuat
melainkan tumbuh dan berkembang bersama-sama masyarakat. Aliran ini menolak
hukum itu dibuat oleh penguasa atau pemerintah. Aliran ini lahir karena dua pengaruh,
yaitu pengaruh dari pemikiran Monstequieu dalam bukunya: L’esprit de Lois, yang
mengemukakan tentang adanya hubungan antara jiwa suatu bangsa dengan hukumnya
dan pengaruh adanya paham rasionalisme yang timbul di abad ke-19.
Tokoh aliran ini antara lain Frederich von Savigny. Menurut Savigny “Das Rech
wird nicht gemach, est ist und wird mitdem Volke” (Hukum tidak dibuat, tetapi tumbuh
dan berkembang bersama masyarakat). Hukum itu pencerminan dari jiwa rakyat dan pada
akhirnya ia mati jika bangsa itu kehilangan kebangsaannya. Jadi penganut historisme
menolak pandangan bahwa hukum itu dibuat. Bagi mereka, hukum itu tidak dibuat
melainkan ditemukan dalam masyarakat. Mereka menghargai dan mengagungkan masa
lampau. Terdapat hubungan organis antara hukum dengan jiwa rakyat. Hukum yang
benar-benar hidup hanyalah hukum kebiasaan. Ciri khas mereka adalah ketidak
percayaan pada pembuat undang-undang, ketidak percayaan pada kodifikasi. Lebih lanjut
Savigny mengatakan: “Di dunia ini terdapat berbagai bangsa yang pada tiap-tiap bangsa
tersebut mempunyai suatu volgeist (jiwa rakyat). Jiwa ini berbeda-beda, baik menurut
waktu maupun menurut tempat. Pencerminan dari adanya jiwa yang berbeda ini tampak
pada kebudayaan dari bangsa tadi yang berbeda-beda. Ekspresi itu tampak pula pada
hukum yang sudah tentu berbeda pula pada setiap waktu dan tempat. Oleh karena itu,
tidak masuk akal jika terdapat hukum yang belaku universal pada semua waktu. Hukum
sangat bergantung atau bersumber pada jiwa rakyat dan yang menjadi isi dari hukum itu
ditentukan oleh pergaulan hidup manusia dari masa ke masa (sejarah).
C. Aliran Positivisme Hukum
Positivime hukum (aliran hukum positif) memandang perlu memisahkan secara
tegas antara hukum dan moral (antara hukum yang berlaku dan hukum, antara das sein
dan das sollen). Dalam kacamata positivism tiada hukum lain kecuali pemerintah
penguasa (law is command of the lawgivers). Bahkan, bagian dari aliran hukum positif
yang dikenal dengan nama legisme, berpendapat lebih tegas, bahwa hukum itu identik
dengan undang-undang.6

6
Ibid, hlm. 110
Positivisme hukum melihat bahwa yang terutama dalam melihat hukum adalah
fakta bahwa hukum diciptakan dan diberlakukan oleh orang-orang tertentu didalam
masyarakat yang mempunyai kewenangan untuk membuat hukum. Sumber dan validitas
atas norma hukum bersumber pada kewenangan tersebut.
Latar belakang dari aliran Positivisme Hukum (Legal Positivism) adalah filsafat
Positivisme yang dikembangkan oleh Auguste Comte (1798 –1857), sosiolog pertama
yang juga dikenal sebagai Bapak Sosiologi. Positivisme adalah filsafat bahwa
pengetahuan yang benar hanyalah pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman
(experience) dengan menggunakan metode ilmiah (scientific method). Pandangan bahwa
pengetahuan yang benar hanyalah pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman
(experience), atau empirisme, sudah dikenal sebelumnya sejak abad 17. John Locke
(1632 -1704) adalah orang yang pertama kali merumuskan secara sistematis tentang
empirisme. Tetapi, Auguste Comte memberikan tambahan dengan menekankan pada
penggunaan metode ilmiah dalam empirisme.7
D. Aliran Sejarah dan Marxisme
Pelopor aliran sejarah atau ilmu hukum bersifat sejarah (historical jurisprudence)
yaitu Friedrich Carl von Savigny (1779-1861) seorang ahli hukum bangsa Jerman. Ajaran
Savigny merupakan reaksi terhadap maksud pemerintah Jerman waktu itu untuk
memberlakukan Code Civil Perancis di negara Jerman, suatu politik hukum yang
didasarkan pada teori hukum alam bahwa terdapat hukum yang di mana-mana sama.
Savigny menentang pandangan ini dengan mengemukakan pandangan yang sebaliknya,
yaitu bahwa tiap bangsa memiliki hukum yang berbeda dengan hukum bangsa lainnya.
Karl Heinrich Marx (1818–1883) adalah seorang filosof, pakar ekonomi politik
dan teori kemasyarakatan dari Prusia. Marx terkenal atas analisisnya terhadap sejarah,
terutama mengenai pertentangan kelas, yang dapat diringkas sebagai "Sejarah dari
berbagai masyarakat hingga saat ini pada dasarnya adalah sejarah tentang pertentangan
kelas “(kalimat pembuka dari Manifesto Komunis). Marx juga menyebut tentang "the
materialist conception of history”, yang kemudian dikenal sebagai historical materialism,
yang intinya bahwa sejarah manusia ditentukan oleh materi. Pandangan Karl Marx
kemudian melahirkan sistem-sistem hukum yang dikelompokkan sebagai family of
7
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Baraktullah, Filsafat, Teori dan Ilmu Hukum Pemikiran Menuju Masyarakat yang
Berkeadilan dan Bermartabat, Jakarta, Rajawali Pres, 2014, hlm.100
socialist law. Pandangan Karl Marx tentang political emancipation, yaitu status yang
sama dari warga negara sehubungan dengan negara, persamaan di depan hukum, tanpa
menghiraukan agama, hak milik, dan karakteristik privat lainnya (equal status of
individual citizens in relation to the state, equality before the law, regardless of religion,
property, or other “private” characteristics of individual
E. Aliran Sosiologis
Aliran ini termasuk kepada aliran sosiologis yang memandang hukum sebagai
kenyantaan sosial. Kalau aliran positivis melihat “law in books”, maka aliran sosiologis
memandang “law in action”. Awal abad 20 merupakan masa lahirnya pandangan-
pandangan hukum yang memanfaatkan temuan-temuan dalam sosiologi. Roscoe Pound
(1870 –1964) adalah pelopor dari aliran sosiologis. Pandangannya dikenal sebagai ilmu
hukum sosiologis (sociological jurisprudence) yang berpengaruh besar sampai sekarang.8
Roescoe Pound membedakan antara sisologi hukum (sociology of law) dengan
sociological jurisprudence. Sosiologi hukum adalah cabang dari sosiologi yang
mempelajari pengaruh-pengaruh masyarakat apada hukum. Sedangkan sociological
jurisprudence adalah cabang ilmu hukum, yaitu aliran dalam filsafat hukum yang
mempelajari pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat. Sociological
jurisprudence mempunyai cara pedekatan yang bermula dari hukum kemasyrakat,
sedangkan sosiologi hukum sebaliknya, yaitu pendekatan dari masyarakat ke hukum.
Roscoe Pound dalam The Task of Law 1943, menulis bahwa sarjana-sarjana
hukum abad 18 yang memahamkan hukum sebagai perumusan akal dan sarjana-sarjana
hukum dari aliran historis yang memahamkan hukum sebagai perumusan pengalaman,
telah melakukan kekhilafan karena tidak melihat keseluruhannya. Hukum itu akal tetapi
juga pengalaman. Pengalaman yang yang dikembangkan oleh akal dan akal yang diuji
oleh pengalaman.
Dengan demikian, Pound melihat bahwa aliran positivisme hukum abad 18 yang
berakar pada rasionalisme (tesis) dan aliran sejarah dari abad 19 yang berakar pada
empirisme (antitesis), masing-masing berat sebelah, sehingga diperlukan aliran yang
memahami hukum sebagai akal dan juga pengalaman (sintesis). Selanjutnya Pound

8
Suparman Usman, loc.cit, hlm.120
mengemukakan pandangan yang dikenal ilmu hukum sosiologis (sociological
jurisprudence).
Perlu diperhatikan bahwa hendaknya dibedakan antara sociological jurisprudence
dengan apa yang dikenal dengan sosiologi hukum. Perbedaannya adalah sociological
jurisprudence merupakan aliran dalam filsafat hukum yang mempelajari pengaruh timbal
balik antara hukum dan masyarakat, sedangkan sosiologi hukum adalah cabang sosiologi
yang mempelajari pengaruh masyarakat kepada hukum dan sejauh mana gejala-gejala
yang ada dalam masyarakat itu dapat mempengaruhi hukum tersebut disamping juga
diselidiki sebaliknya pengaruh hukum terhadap masyarakat. Yang terpenting adalah
bahwa sociological jurisprudence cara pendekatannya bermula dari hukum ke
masyarakat sedang sosilogi hukum sebaliknya dari masyarakat ke hukum.
F. Aliran Realisme Hukum
Realisme hukum (legal realism) muncul di awal abad 20. Realisme hukum pada
hakikatnya bukan merupakan suatu aliran melainkan suatu gerakan, yaitu gerakan yang
dipelopori terutama oleh sejumlah hakim.
Gerakan ini diawali oleh sejumlah hakim yang menentang positivisme hukum
atau analytical jurisprudence. Gerakan realism hukum ini berpusat di Amerika Serikat,
sehingga disana dinamakan American Legal Realism, walaupun di beberapa negara
Eropa ada pula gerakan-gerakan semacam itu.
Aliran realisme hukum mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Realisme bukanlah suatu aliran/madzhab. Realisme adalah suatu gerakan
dalam cara berpikir dan cara bekerja tentang hukum.
2. Realisme adalah suatu konsepsi mengenai hukum yang berubah-ubah dan
sebagai alat untuk mencapai tujuan maupun hasilnya. Hal ini berarti bahwa
keadaan sosial lebih cepat mengalami perubahan dari pada hukum.
3. Realisme mendasarkan ajarannya atas pemisahan sementara antara sollen dan
sein untuk keperluan suatu penyilidikan agar penyelidikan itu mempunyai
tujuan maka hendaknya diperhatikan adanya nilai-nilai dan observasi terhadap
nilai-nilai itu haruslah seumum mungkin dan tidak boleh dipengaruhi oleh
kehendak observer da tujuan kesusilaan.9

9
Ibid, hlm. 122
4. Realisme tidak mendasarkan pada konsep hukum tradisonal karena realisme
bermaksud melakukan apa yang dilakukan sebenarnya oleh pengadilan dan
orang-orangnya. Untuk itu dirumuskan definisi dalam peraturan yang
merupakan ramalan umum tentang apa yang akan dikerjakan oleh pengadilan.
Berdasarkan keyakinan ini, realisme menciptakan penggolongan perkara dan
keadaan hukum yang lebih kecil jumlahnyan dan jumlah pengglongan yang
ada pada masa lampau.
5. Gerakan realisme menekankan pada perkembangan setiap bagian hukum
haruslah diperhatikan dengan seksama mengenai akibatnya.
Pelopor dari kalangan hakim antara lain seorang hakim United States Supreme
Court, Oliver Wendel Holmes (1841-1935), dengan bukunya The Common Law, Jerome
Frank (1889-1957). Tokoh lainnya, yaitu John Chipman Gray yang terkenal dengan teori
keputusan yang telah mempengaruhi pandangan Ter Haar tentang hukum adat. Selain di
Amerika Serikat, di Skandinavia pun berkembang aliran semacam ini yang dipelopori
oleh Axel Hegerstrom, Olivercona, Lunstedt, dan Ross.
G. Aliran Hukum Kritis
Ajaran mengenai pembebasan manusia dari perbudakan/penindasan (enslave)
terlebih dahulu telah dikemukakan oleh Karl Marx; juga penganut Teori Hukum Kritis,
yang merupakan pengaruh Teori Kritis dalam bidang hukum, sering pula menyebut
kajian mereka sebagai leftist atau leftwing (sayap kiri).
Tokoh-tokoh teori hukum kritis adalah Roberto Unger (lahir 1947, Rio de Janeiro,
seorang teoritisi sosial dan politisi Brazil, professor hukum Harvard Law School; tahun
2007 meninggalkan Harvard untuk menduduki posisi sebagai Minister of Strategic
Affairs di Brazilia) dan David Kairys.
Menurut Peter Fitzpatrick, aliran Critical Legal Studies ini memiliki beberapa
karakteristik umum sebagai berikut:
a) Critical Legal Studies ini mengkritik hukum yang berlaku yang nyatanya
memihak ke politik, dan sama sekali tidak netral. Menurut David Kairys, The
Politics of Law. A Progressive Critique, Panthon Books, New York, 1982, salah
satu unsur pokok dari pertumbuhan teorihukum kritis, yaitu menolak pemberian
karakter terhadap hukum dan negara sebagai netral, pemutus bebas nilai, lepas
dan tidak dipengaruhi oleh hubungan-hubungan sosial dan ekonomi, kekuatan
politik, dan gejala budaya. Ilmu hukum tradisional mengabaikan kenyataan sosial
dan sejarah, serta menutupi terjadinya konflik sosial, dan menindasnya dengan
mitos-mitos ideologis tentang obyektivitas dan netralitas. Sistem nilai yang
dominan juga telah dinyatakan sebagai bebas nilai.
b) Critical Legal Studies ini mengritik hukum yang sarat dan dominan dengan
ideologi tertentu.
c) Critical Legal Studies ini mempunyai komitmen yang besar terhadap kebebasan
individual dengan batasan-batasan tertentu.
d) Critical Legal Studieskurang mempercayai bentuk-bentuk kebenaran yang abstrak
dan pengertahuan yang benar-benar objektif.
e) Critical Legal Studies menolak perbedaan antara teori dan praktek dan menolak
perbedaan antara fakta dan nilai.
Ada juga yang menambahkan beberapa aliran lain tetapi aliran-aliran lain tersebut pada
hakikatnya dapat dikembalikan kepada salah satu dari aliran-aliran pokok tersebut di
atas.
II. TEORI HUKUM PROGRESIF
A. Keterkaitan Hukum Progresif dengan Teori lain
Sebuah artikel (www.antikorupsi.org) yang berjudul “Rekonstruksi Birokrasi
Kejaksaan dengan Pendekatan Hukum Progresif Studi Penyelidikan, Penyidikan dan
Penuntutan Tindak Pidana Korupsi” menunjukkan kebersinggungan hukum progresif
dengan beberapa teori.
Pertama, teori hukum responsif dengan tokohnya Nonet & Selznick yang menginginkan
agar hukum peka terhadap setiap perkembangan masyarakat. Salah satu ciri yang
menonjol dari teori hukum responsif ini ialah menawarkan lebih dari sekadar procedural
justice, namun lebih berorientasi pada keadilan dengan memperhatikan kepentingan
umum. Teori ini lebih menekankan pada substantial justice. Persoalan keadilan lebih
dipahami sebagai quid ius, bukan quid iuris.
Kedua, teori hukum realis atau legal realism yang ditokohi Oliver Wendell Holmes yang
terkenal dengan adagium “The life of the law has not been logic; it has been experience”.
Bahwasanya hukum tidak sebatas logika, melainkan lebih pada pengalaman. Hukum
tidak dilihat dari kacamata hukum itu sendiri, melainkan lebih dilihat dan dinilai dari
tujuan sosial yang ingin dicapai, serta akibat yang ditimbulkan dari cara bekerjanya
hukum. Pemahaman atas hukum tidak hanya bersifat tekstual, melainkan melampaui
dokumen hukum.
Ketiga, sociological jurisprudence yang ditokohi Roscoe Pound mengkaji hukum tidak
hanya sebatas pada studi tentang peraturan, tetapi juga melihat efek dan bekerjanya
hukum (law as a tool for social engineering). Hukum merupakan alat rekayasa sosial.
Keempat, hukum alam (natural law) yang memberi penjelasan tentang hal-hal yang
meta-juridical atau sesuatu di balik hukum. Hukum alam memandang hukum tidak
terlepas dari nilai nilai moral yang bersifat transendental.
Kelima, studi hukum kritis (critical legal studies) yang ditokohi Roberto M. Unger.
Mazhab ini tidak puas dengan hukum modern yang sarat dengan prosedur. Gerakan studi
hukum kritis telah menggerogoti gagasan pokok pemikiran hukum moderen dan
menyodorkan satu konsepsi hukum yang secara tak langsung mengenai masyarakat dan
memberi gambaran tentang satu praktek politik. Dua perhatian yang paling menonjol dari
gerakan ini ialah kritik terhadap formalisme dan objektivisme.
Pengaitan hukum progresif dengan kelima teori hukum pendahulunya ini cukup
beralasan (Rationis sufficientis), karena dinamika masyarakat yang ditangkap oleh
berbagai teori hukum yang telah mengemuka tentu mengalami perubahan yang
signifikan. Di samping itu sebuah teori dalam disiplin ilmu apa pun hanya dipandang
sebagai bentuk kebenaran sementara (meminjam prinsip Falsifiable Karl Popper)
sebelum ditemukan teori lain yang dipandang lebih sophisticated. Kesadaran akan hukum
sebagai sebuah proses untuk terus menjadi, melahirkan kesadaran baru bahwa hukum
harus terus menerus mencari jati diri. Ibarat ular yang terus berganti kulit, maka
diperlukan keterbukaan wawasan dari para pakar hukum untuk terus melangkah ke arah
idealisme hukum dan melawan bentuk kemandegan hukum dan pendewaan atas berhala
teoritis dalam panggung ilmiah (Francis Bacon menyebutnya dengan istilah Idola
Theatri).
B. Perkembangan Hukum Progresif
Hukum progresif tidak muncul sekonyong-konyong, namun mempunyai anteseden.
Adalah kepribadian Satjipto Rahardjo terhadap keadaan hukum di Indonesia. Para
pengamat hukum dengan jelas mengatakan bahwa kondisi penegakan hukum di Indonesia
sangat memperhatikan. Pada tahun 1970an sudah ada istilah “mafia peradilan” dalam
kosa kata hukum Indonesia pada Orde Baru hukum sudah bergeser dari social
engineering ke dark engineering karena digunakan untuk mempertahankan kekuasaan.
Pada Era Reformasi dunia hukum makin mengalami komersialisasi. Menurut Satjipto
Rahardjo, inti dari kemunduran di atas adalah makin langkanya kejujuran, empati, dan
dedikasi dalam menjalankan hukum.
Pikiran progresif sarat dengan keinginan dan harapan. Ada satu hal yang penting,
bahwa lahirnya hukum progresif dalam khazanah pemikiran hukum, berkaitan dengan
upaya mengkritisi realitas pemahaman hukum yang sangat positivistik.
Memahami istilah progresivisme dalam konteks hukum progresif dapat dijabarkan
sebagai berikut:
1) Progresivisme bertolak dari pandangan bahwa pada dasarnya manusia adalah
baik, dengan demikian hukum progresif mempunyai kandungan moral yang kuat.
Progresivisme ingin menjadikan hukum sebagai institusi yang bermoral.
2) Hukum progresif mempunyai tujuan berupa kesejahteraan dan kebahagiaan
manusia, maka sebagai konsekuensinya hukum selalu dalam proses menjadi. Oleh
karena itu hukum progresif selalu peka terhadap perubahan masyarakat disegala
lapisan.
3) Hukum progresif mempunyai watak menolak status quo ketika situasi ini
menimbulkan kondisi sosial yang dekanden dan korup. Hukum progresif
memberontak terhadap status quo, yang berujung pada penafsiran hukum yang
progresif.
4) Hukum progresif mempunyai watak yang kuat sebagai kekuatan pembebasan
dengan menolak status quo. Paradigma “hukum untuk manusia’ membuatnya
merasa bebas untuk mencari dan menemukan format, pikiran, asa, serta aksi yang
tepat untuk mewujudkannya. 10
Bila merujuk ke belakang, maka dapat diketahui bahwa gagasan hukum progresif
(2002) muncul disebabkan oleh kegalauan menghadapi kinerja hukum yang banyak gagal
untuk menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa ini. Prof. Tjip, sebagai pencetus dan
10
Mahmud Kusuma, Menyelami Semangat Hukum Progresif, Terapi Paradigma Bagi Lemahnya Hukum Indonesia,
AntonyLib, Yogyakarta, 2009, hlm 60
yang mengembangkan gagasan ini, melihat lebarnya kesenjangan antara kenyataan dan
realitas. Ada harapan besar untuk hukum sebagai juru penolong ketika kekuasaan
Presiden Soeharto runtuh, sampai-sampai dianggap supremasi hukum sebagai panacea,
obat mujarab bagi semua persoalan. Sedangkan prestasi tidak memuaskan.
Hukum progresif lahir untuk menegaskan bahwa hukum adalah untuk manusia, dan
bukan sebaliknya. “Hukum itu bukan hanya bangunan peraturan, melainkan juga
bangunan ide, kultur, dan cita-cita.” Dalam satu dekade terakhir, berulang-ulang Prof.
Tjip menyebutkan satu hal penting, bahwa “tujuan hukum adalah membahagiakan
manusia”. Berulang kali Prof. Tjip mengingatkan bahwa letak persoalan hukum adalah di
manusianya.11
Hukum progresif adalah gagasan besar yang lahir dari pergulatan. Tahun 2002
sebenarnya lebih tepat disebut sebagai masa penataan, dari serangkaian tulisan (gagasan)
yang sudah lama dilahirkan.
Hukum progresif berangkat dari sebuah maksim bahwa: “hukum adalah suatu
institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera,
dan membuat manusia bahagia”. 12
Pernyataan ini tegas bahwa hukum adalah untuk manusia, dalam artian hukum
hanyalah sebagai “alat” untuk mencapai kehidupan yang adil, sejahtera dan bahagia, bagi
manusia. Oleh karena itu menurut hukum progresif, hukum bukanlah tujuan dari
manusia, melainkan hukum hanyalah alat.
Hukum progresif menolak segala anggapan bahwa institusi hukum sebagai institusi
yang telah final dan mutlak, sebaliknya hukum progresif percaya bahwa institusi hukum
adalah dalam keadaan menjadi.
Oleh karena itu hukum bukanlah untuk hukum, maka hukum proresif meninggalkan
paradigma hukum rechtsdogmatiek. Maka hukum progresif merangkul beberapa aliran
maupun para filsuf hukum yang sepaham. Diantaranya adalah Nonet dan Selsznick yang
berbicara tentang tipe hukum yang responsive, Legal realism dan Freirectslehre,
Sociological Jurisprudence dari Roscoe Pound juga berbagai paham dengan aliran
Interessenjurisprudencz, Teori-teori Hukum Alam dan Critical Legal Studies (CLS).
C. Menuju Paradigma Hukum Progresif
11
Ibid, hlm. 63
12
Ibid, hlm. 64
Paradigma berasal dari bahasa Inggris “paradigm” berasal dari bahasa Yunani
“paradeigma” dari suku kata “para” yang berate disamping atau disebelah, dan kata
“dekynai” yang berarti memperlihatkan; model; contoh, dengan demikian “paradigm”
diartikan sebagai contoh atau pola.
Chalmers menjelaskan beberapa karakteristik paradigma, diantaranya sebagai berikut:
1) Tersusun oleh hukum-hukum dan asumsi-asumsi teoritis yang dinyatakan secara
eksplisit.
2) Mencakup cara-cara standar bagi penerapan hukum-hukum tersebut dalam kondisi
empiris.
3) Mempunyai teknik-teknik yang bisa dipergunakan guna menjadikan hukum-hukum
tersebut dapat dioperasionalkan dalam tataran empiris.
4) Terdiri dari prinsip-prinsip metafisika yang memadu segala karya dan karsa dalam
lingkup paradigma yang dimaksud.
5) Mengandung beberapa ketentuan metodologis.13
Pada umumnya paradigma hukum Indonesia saat ini adalah positivisme-legalistik,
yang terlalu terpaku pada undang-undang, prosedur, birokratisme dan logika hukum yang
kaku. Dalam manifestonya paradigma hukum progresif, sebagaimana Satjipto Rahardjo
mengatakan bahwa: “Apabila hukum itu bertumpu pada “peraturan dan perilaku”, maka
hukum yang progresif lebih menempatkan faktor perilaku di atas peraturan. Dengan
demikian faktor serta kontribusi manusia dianggap lebih menentukan daripada
peraturan yang ada”. Dengan demikian, bahwa komponen hukum yang terdapat dalam
paradigma hukum progresif pada intinya terdiri dari dua komponen, yaitu:
 Peraturan
Komponen peraturan adalah segala hal yang bersifat mengikat yang fungsinya
kurang lebihnya bertujuan untuk mencapai tujuan-tujuan dari masyarakat.
 Perilaku 
Kompenen perilaku dalam paradigma hukum progresif dapat kita lacak
pengaruhnya pada aliran Realisme Hukum Amerika. Aliran ini menekankan
pendapatnya bahwa hukum adalah generalisasi dari orang-orang yang
menjalankan hukum, lebih khusus lagi menunjuk pada profesi hakim.
13
Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum: Mengingat, Mnegumpulkan dan Membuka Kembali, Refika
Aditama, Bandungm hlm.164
Syarat-syarat sebuah paradigma sebagaimana yang dikatakan oleh Kuhn di antaranya
adalah seperangkat kerangka piker yang digunakan dalam ilmu, dalam hal ini ilmu
hukum, yang digunakan untuk menganalisis masalah yang dihadapinya.
Pengakuan Satjipto Rahardjo sendiri mengenai hukum progresif memanglah belum
final, masih dalam masa pembuatan, dan beliau sendiri belum secara tegas mengatakan
bahwa hukum progresif adalah sebuah paradigma hukum. Jika kita posisikan paradigma
hukum progresif dalam konteks paradigma sebagai “normal science”, dalam artian
sebagai seperangkat nilai penuntun bagi timbulnya persoalan-persoalan dalam ilmu
hukum, maka paradigma hukum progresif bisa dikategorikan ke dalamnya.
Kekuatan hukum progresif akan mencari berbagai cara guna mematahkan kekuatan
status quo. Ini adalah paradigma aksi, bukan peraturan. Dengan demikian, peraturan dan
sistem bukan satu-satunya yang menentukan. Manusia masih bisa menolong keadaan
buruk yang ditimbulkan oleh sistem yang ada. Di sini semangat memberikan keadilan
kepada rakyat (bringing justice to the people) dirasakan amat kuat. Inilah yang
menyebabkan munculnya sikap kritis terhadap sistem normatif yang ada.
Progresivisme membutuhkan dukungan pencerahan pemikiran hukum dan itu bisa
dilakukan oleh komunitas akademi yang progresif. Karena itu, bila dunia akademi tak
segera berbenah diri, secara berseloroh ia bisa ditunjuk sebagai bagian “mafia status quo”
juga.
Friedmann membagi sistem hukum ke dalam tiga komponen, yaitu komponen
struktur hukum, substansi hukum dan kultur hukum, terkait dengan komponen sistem
hukum friedmann, maka terdapat berbagai pilihan paradigma hukum dalam menjalankan
sistem hukum, entah itu paradigma hukum legalisme, progresivisme maupun pilihan
paradigma hukum lainnya.
Manusia dalam paradigma hukum progresif merupaka “core” dari hukum. Menurut
Satjipto Rahardjo, “faktor manusia ini adalah simbol daripada unsur-unsur greget
(compassion, empathy, sincerety, edication, commitment, dare dan determination)”.
Peranan manusia dalam hukum sangatlah penting, hukum berpusat pada manusia.
Manusia dengan segala kompleksitasnya adalah pusat dari hukum, beberapa faktor-faktor
yang ada dalam diri manusia seperti empati, ketulusan, keberanian inilah yang menjadi
motor penggerak dalam menjalankan hukum.
Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa “paradigma hukum progresif tidak bergerak
pada aras legalistik-dogmatis, analitis positivistik, tetapi lebih pada aras sosiologis.
Hukum tidak mutlak digerakkan oleh hukum positif atau hukum perundang-undangan
saja, tetapi ia juga bergerak pada aras non formal. Dengan demikian perubahan besar
telah terjadi, yaitu pusat hukumtidak lagi berada pada peraturan, namun berada pada
manusia. Tidak mengherankan jika kemudian paradigma hukum progresif lebih
menekankan pada keadilan hukum yang sifatnya substansial, daripada menekankan
keadilan hukum yang sifatnya prosedural.

Anda mungkin juga menyukai