Anda di halaman 1dari 7

GUNAWAN SRI GUNTORO


Januari 3, 2012Januari 4, 2012

Teori – Teori Hukum


PENDAHULUAN

Teori hukum bertujuan untuk menjelaskan kejadian-kejadian dalam bidang hukum dan mencoba
untuk memberikan penilaian. Teori hukum dipelajari sudah sejak zaman dahulu oleh para ahli
hukum Yunani maupun Romawi dengan membuat berbagai pemikiran tentang hukum sampai
kepada akar-akar filsafatnya.

Sebelum abad ke-19, teori hukum merupakan produk sampingan yang terpenting dari filsafat
agama, etika, dan politik. Para ahli fikir hukum terbesar pada awalnya adalah ahli-ahli filsafat, ahli-
ahli agama, ahli-ahli politik. Perubahan terpenting filsafat hukum dari para pakar filsafat atau ahli
politik kepada filsafat hukum dari para ahli hukum barulah terjadi pada akhir-akhir ini yaitu setelah
adanya perkembangan yang hebat dalam penelitian, studi teknik dan penelitian hukum. Teori-teori
hukum pada zaman dahulu dilandasi oleh teori filsafat dan politik umum, sedangkan teori-teori
hukum modern dibahas dalam bahasa dan sistem pemikiran para ahli hukum sendiri. Perbedaannya
terletak dalam metode dan penekanannya. Teori hukum dari ahli hukum modern didasarkan atas
keyakinan tertinggi yang ilhamnya datang dari luar bidang hukum itu sendiri.

MACAM – MACAM TEORI HUKUM

1. Teori Theokrasi.

Teori Theokrasi dikemukakan oleh Friederich Stahl (Jerman). Teori ini menganggap bahwa hukum
itu adalah kemauan Tuhan, jadi yang menjadi dasar dari kekuatan hukum adalah kepercayaan
kepada Tuhan. Tinjauan tentang hukum dikaitkan dengan kepercayaan dan agama, dimana
perintah-perintah Tuhan tersebut ditulis di dalam kitab-kitab suci. Teori Theokrasi ini di Barat
diterima sampai zaman Renaissance (abad ke-17).

1. Teori Perjanjian Masyarakat (Contract Social) / Teori Kedaulatan Rakyat.

Pada abad ke-18, Jean Jacques Rousseau memperkenalkan teorinya yang disebut Perjanjian
Masyarakat (Contract Social) atau Kedaulatan Rakyat. Teori ini menganggap bahwa dasar terjadinya
suatu negara adalah perjanjian yang diadakan oleh dan antara anggota masyarakat untuk
mendirikan suatu negara. Dalam bukunya yang berjudul “Le contract social” (1972), Rosseau
mengemukakan bahwa negara bersandar atas kemauan rakyat, demikian pula halnya semua
peraturan perundang-undangan adalah penjelmaan kemauan rakyat. Orang menaati hukum karena
orang sudah berjanji menaati hukum. Penganut dari teori ini diantaranya Thomas Hobbes,
Montesquieu, dan John Locke. Hobbes menambahkan bahwa keadaan alamiah sama sekali bukanlah
keadaan yang aman, adil dan makmur. Namun sebaliknya, keadaan alamiah merupakan suatu
keadaan sosial yang kacau, tanpa hukum yang dibuat manusia secara sukarela, tanpa pemerintah,
dan tanpa ikatan-ikatan sosial antar individu. Dalam keadaan yang demikian, yang berlaku adalah
hukum rimba dimana yang terkuat adalah yang menang. Manusia seakan-akan merupakan binatang
yang senantiasa berada dalam keadaan bermusuhan, terancam oleh sesamanya dan menjadi mangsa
bagi manusia yang mempunyai fisik yang lebih kuat dari padanya. Keadaan tersebut dilukiskan
dalam peribahasa latin “homo homini lupus” (= manusia yang satu merupakan binatang buas bagi
manusia yang lain).

Dalam kepustakaan ilmu politik, dikenal ada 2 (dua) macam perjanjian masyarakat, yaitu:

– Perjanjian masyarakat yang sebenarnya (pactum uniois / pacte d’ association / social contract proper),
adalah perjanjian masyarakat dengan membentuk badan kolektif bersama yang akan menampung
individu-individu yang selanjutnya bersama-sama mengadakan perjanjian. Dengan perjanjian inilah
maka terbentuklah societas atau masyarakat manusia.

– Perjanjian pemerintahan (pactum subjectionis / pacte de gouverment / contract of government).


Bersamaan atau setelah pembentukan societas tersebut, diadakan pula perjanjian antara manusia
dengan seorang atau sekelompok orang yang dengan syarat-syarat tertentu, yang harus dihormati
dan ditaati oleh kedua belah pihak. Selanjutnya berdasarkan perjanjian ini, seseorang atau kelompok
orang tersebut diberi mandat untuk menjalankan kekuasaan atas masyarakat/rakyat. Perjanjian ini
melahirkan Pemerintahan atau Negara.

Menurut Thomas Hobbes (1588-1679), dalam pactum subjectionis rakyat telah menyerahkan seluruh
haknya pada raja dan hak yang telah diserahkan tersebut tidak dapat ditarik kembali. Jadi menurut
Hobbes, negara itu seharusnya berbentuk Kerajaan Mutlak.

Sedangkan menurut John Locke (1632-1704), dalam pactum subjectionis tidak seluruh hak manusia
yang diserahkan kepada penguasa, melainkan ada hak-hak yang diberikan oleh hukum alam yang
tetap melekat pada diri setiap manusia. Hak tersebut adalah hak asasi manusia yang terdiri dari hak
hidup, hak kemerdekaan, dan hak milik, dimana hak-hak tersebut harus dilindungi oleh raja dan
dijamin dalam Undang-Undang Dasar. Dengan demikian, menurut John Locke, negara itu
seharusnya berbentuk Kerajaan yang berundang-undang dasar.

3. Teori Kedaulatan Negara.

Tokoh-tokoh teori Kedaulatan Negara adalah Jellineck (Jerman), Paul Laband (Jerman), dan Hans
Kelsen (Austria). Teori ini muncul pada abad ke-19 dan menentang teori Perjanjian Rakyat.

Teori Kedaulatan Negara menganggap bahwa:

– Hukum adalah kehendak negara. Hukum bukan kemauan bersama anggota masyarakat, dan
negara mempunyai kekuatan tak terbatas;

– Hukum ditaati orang karena negara menghendakinya.

4. Teori Kedaulatan Hukum.


Teori Kedaulatan Hukum muncul pada abad ke-20 dan menentang teori Kedaulatan Negara. Tokoh-
tokohnya adalah Cruot (Perancis), Duguit (Perancis), dan Krabbe (Belanda). Teori ini berpendapat
bahwa:

– Hukum berasal dari perasaan hukum yang ada pada sebagian besar anggota masyarakat;

– Hukum mewujudkan perasaan hukum sebagian besar anggota masyarakat;

– Oleh karenanya hukum ditaati oleh anggota masyarakat.

Dalam bukunya yang berjudul “Die Lehre der Rechtssouvereinteit”, Krabbe menyebutkan bahwa:

– Rasa keadilanlah yang merupakan sumber hukum;

– Hukum hanya apa yang memenuhi rasa keadilan dari orang terbanyak;

– Peraturan yang tidak sesuai dengan rasa keadilan orang terbanyak tidak dapat mengikat.
Peraturan seperti itu bukan merupakan hukum, meskipun masih ditaati orang atau dipaksakan;

– Masyarakat mempunyai perasaan bagaimana hukum itu seharusnya, dan karena itulah hukum itu
ada. Dan hanya kaidah yang timbul dari perasaan hukum yang mempunyai kewibawaan.

5. Teori Positivisme dan Utilitarianisme.

Abad ke-19, H.L.A Hart (1907), mengemukakan arti dari positivisme adalah sebagai berikut:

1. Hukum adalah perintah;


2. Analisis terhadap konsep-konsep hukum adalah usaha yang berharga untuk dilakukan. Analisis
yang demikian ini berbeda dari studi sosiologis dan historis serta berlainan pula dari suatu
penilaian kritis;
3. Keputusan-keputusan dapat dideduksikan secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada
terlebih dahulu, tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijakan serta moralitas.
4. Penghukuman (judgement) secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh
penalaran rasional, pembuktian atau pengujian;
5. Hukum sebagaimana diundangkan dan ditetapkan harus senantiasa dipisahkan dari hukum
yang seharusnya diciptakan atau yang diinginkan.

Namun berbeda dengan John Austin, yang menyatakan bahwa :

1. Hukum adalah sejumlah perintah yang keluar dari seorang yang berkuasa di dalam negara
secara memaksakan, dan biasanya ditaati;
2. Satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan tertinggi di dalam suatu negara. Sumber-sumber
yang lain disebut sebagai sumber yang lebih rendah (subordinate sources).
Menurut John Austin, ilmu hukum diartikan sebagai teori hukum positif yang otonom dan dapat
mencukupi dirinya sendiri, dan tugas dari ilmu hukum hanyalah untuk menganalisa unsur-unsur
yang secara nyata ada dari sistem hukum modern. Sekalipun diakui ada unsur-unsur yang bersifat
historis didalamnya, namun unsur-unsur tersebut telah diabaikan dari perhatian. Hukum adalah
perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat di dalamsuatu negara.

Jeremy Bentham (1748-1832), seorang penganut utilitarian yang menggunakan pendekatan tersebut
ke dalam kawasan hukum, yaitu sebagai berikut:

1. Bahwa manusia itu akan berbuat dengan cara sedemikian rupa sehingga ia mendapatkan
kenikmatan yang sebesar-besarnya dan menekan serendah-rendahnya penderitaan;
2. Tujuan akhir dari perundang-undangan adalah untuk melayani kebahagiaan paling besar dari
sejumlah terbesar rakyat.

John Stuart Mill berpendapat hampir sama dengan Jeremy Bentham, yaitu sebagai berikut:

1. Bahwa tindakan itu hendaklah ditujukan kepada tercapainya kebahagiaan;


2. Standar keadilan hendaknya didasarkan kepada kegunaannya, namum asal usul kesadaran akan
keadilan itu tidak ditemukan pada kegunaan, melainkan pada dua sentimen, yaitu rangsangan
untuk mempertahankan diri dan perasaan simpati;
3. Keadilan bersumber pada naluri manusia untuk menolak dan membalas kerusakan yang
diderita, baik oleh diri sendiri, maupun oleh siapa saja yang mendapatkan simpati dari kita.
Perasaan keadilan akan memberontak terhadap kerusakan, penderitaan, tidak hanya atas dasar
kepentingan individual melainkan juga kepada kepentingan orang lain yang kita samakan
dengan diri kita sendiri. Hakikat keadilan dengan demikian mencakup semua persyaratan moral
yang sangat hakiki bagi kesejahteraan umat manusia.

Sedangkan Rudolph von Jhering, seorang tokoh yang sering disebut sebagai “social utilitarianism”,
mengembangkan segi-segi positivisme dari John Austin dan menggabungkannya dengan prinsip-
prinsip utilitarianisme dari Jeremy Bentham dan John Stuart Mill.

Jhering memusatkan perhatian filsafat hukumnya kepada konsep tentang “tujuan”, yaitu sebagai
berikut:

1. Tujuan adalah pencipta dari seluruh hukum, tidak ada suatu peraturan hukum yang tidak
memiliki asal-usulnya pada tujuan ini, yaitu pada motif yang praktis. Menurutnya hukum dibuat
dengan sengaja oleh manusia untuk mencapai hasil-hasil tertentu yang diinginkan;
2. Diakui bahwa hukum itu mengalami suatu perkembangan sejarah, namun menolak pendapat
para teoritisi aliran sejarah yang menyatakan bahwa hukum itu tidak lain merupakan hasil dari
kekuatan-kekuatan historis murni yang tidak direncanakan dan tidak disadari;
3. Hukum dibuat dengan penuh kesadaran oleh negara dan ditujukan kepada tujuan tertentu.

6. Teori Hukum Murni.


Tokoh teori Hukum Murni adalah Hans Kelsen (Austria). Bukunya yang terkenal berjudul “Reine
Rechslehre” (ajaran hukum murni). Teori hukum murni ini lazim dikaitkan dengan Mazhab Wina.
Mazhab Wina mengetengahkan teori hukum pencarian pengetahuan yang murni, dalam arti yang
paling tidak mengenal kompromi, yaitu pengetahuan yang bebas dari naluri, kekerasan, keinginan-
keinginan dan sebagainya.
Teori hukum murni juga tidak boleh dicemari oleh ilmu-ilmu politik, sosiologi, sejarah dan
pembicaraan tentang etika.

Dasar-dasar pokok teori Hukum Murni adalah sebagai berikut:

1. Sebagaimana tujuan dari setiap ilmu, tujuan teori Hukum murni adalah untuk mengurangi
kekalutan dan meningkatkan kesatuan (unity);
2. Teori hukum adalah ilmu, bukan kehendak atau keinginan, merupakan pengetahuan tentang
hukum yang ada dan bukan tentang hukum yang seharusnya ada;
3. Ilmu hukum adalah normatif, bukan ilmu alam;
4. Sebagai suatu teori tentang norma-norma, teori hukum tidak berurusan dengan persoalan
efektifitas norma-norma hukum;
5. Suatu teori tentang hukum adalah formal, yaitu suatu teori tentang cara pengaturan dari isi yang
berubah-ubah menurut jalan atau pola yang spesifik;
6. Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positif tertentu adalah seperti antara
hukum yang mungkin dan hukum yang ada.

Salah satu ciri yang menonjol pada teori Hukum Murni adalah adanya suatu paksaan. Setiap hukum
harus mempunyai alat atau perlengkapan untuk memaksa. Negara dan hukum dinyatakan identik,
sebab negara hanya suatu sistem perilaku manusia dan pengaturan terhadap tatanan sosial.
Kekuasaan memaksa ini tidak berbeda dengan tata hukum, dengan alasan bahwa di dalam suatu
masyarakat hanya satu kekuasaan yang memaksa pada saat yang sama. Bagian lain dari teori Hans
Kelsen yang bersifat dasar adalah konsepsinya mengenai Grundnorm, yaitu suatu dalil yang akbar
yang tidak dapat ditiadakan yang menjadi tujuan dari semua jalan hukum bagaimanapun berputar-
putarnya jalan itu. Grundnorm merupakan induk untuk melahirkan peraturan-peraturan hukum
dalam suatu tatanan sistem tertentu.

KESIMPULAN

Dalam perkembangannya, teori hukum didefinisikan secara beragam antara satu tokoh dengan
tokoh yang lain. Setiap tokoh memberikan definisi hukum dari sudut pandang yang berbeda dengan
menggunakan pendekatan disiplin ilmu masing-masing. Namun dari semua teori tersebut dapat
ditarik kesimpulan bahwa terdapat persamaan bahwa hukum adalah sebagai suatu cara atau sistem
pengaturan tatanan sosial yang bertujuan untuk menciptakan keteraturan dalam masyarakat.
Iklan

Report this ad

Report this ad

Published by:

Gunawan Sri Guntoro

I believed I Could, so I did Lihat semua pos milik Gunawan Sri Guntoro

 Hukum Meninggalkan komentar

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com. Tema: Cyanotype oleh WordPress.com.

Anda mungkin juga menyukai