Anda di halaman 1dari 10

Nama : Nurul Afifah

NIM : 220101070
Mata Kuliah : Hukum dan HAM
Pertemuan : Ke 7
Dosen Pengampu : Muliana, S.H., M.H

PENDAHULUAN
Dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
dijelaskan bahwa Hak Asasi Manusia adalah serangkaian hak yang melekat pada hakikat dan
eksistensi manusia sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, dan merupakan anugerah-Nya yang
harus dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, serta setiap
individu demi menjaga kehormatan dan perlindungan martabat manusia. HAM inheren pada
setiap individu karena kualitas kemanusiaannya, dan akan tetap dimiliki meskipun individu
tersebut melanggar hukum (hak legal), melanggar kesepakatan (hak kontrak), atau tidak
memenuhi tuntutan moral (hak moral).1
Berbicara tentang hak asasi manusia (HAM) berarti membahas segala aspek kehidupan
manusia secara menyeluruh. HAM tidak ada karena diberikan oleh masyarakat atau kebaikan
negara, tetapi didasarkan pada martabat manusia itu sendiri. Pengakuan terhadap eksistensi
manusia menunjukkan bahwa manusia, sebagai makhluk hidup, adalah hasil ciptaan Tuhan Yang
Maha Kuasa yang pantas dihargai secara positif. Namun, peraturan diperlukan untuk memastikan
bahwa kepentingan dan keinginan yang kadang-kadang muncul secara tiba-tiba sebagai akibat
dari kehidupan manusia dapat diutamakan.2
Namun, masalah hak asasi manusia (HAM) tidak hanya berkaitan dengan bidang hukum
semata. HAM merupakan bagian integral dari keseluruhan kehidupan manusia. Menganalisis
kondisi HAM sebenarnya berarti mengkaji keseluruhan kehidupan, sejauh mana kita
memberikan ruang yang layak bagi kemanusiaan.3
Banyak pertanyaan yang muncul mengenai eksistensi dan esensi hak asasi manusia
(HAM). Misalnya, apa yang dimaksud dengan HAM? Dari mana HAM berasal? Apakah HAM
1
Manfred Nowak, Pengantar Pada Rezim HAM Internasional, Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, 2003 hlm
2.
2
Majda El-Muhtaj, ‘HAM, DUHAM & RANHAM Indonesia’, h. 274, dalam Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM,
(Malang: Setara Press, 2015), h. 35.
3
Todung Mulya Lubis, Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural, (Jakarta: LP3ES, 1986), h. 14.
dapat dihapuskan? Apakah semua HAM memiliki nilai yang sama? Untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut, diperlukan pemahaman tentang HAM berdasarkan suatu
kerangka teori. Sebuah teori dapat berperan sebagai alat analisis yang memfasilitasi penyelidikan
terhadap pertanyaan yang sering diajukan mengenai hak asasi manusia (HAM), dan memberikan
jawaban awal yang mungkin. Teori memiliki potensi untuk membentuk suatu paradigma yang
memberikan kejelasan dan konsistensi dalam segala perdebatan tentang hak. Selain itu, teori juga
memberikan suatu model yang dapat digunakan untuk mengevaluasi hak-hak yang dianggap
relevan.
Teori memberikan mekanisme yang dapat digunakan untuk secara tepat menetapkan
batas-batas hak-hak yang telah disepakati untuk ada. 4 Menurut Jerome J. Shestack, istilah
"HAM" tidak ada dalam agama-agama tradisional. Namun, ilmu tentang ketuhanan (teologi)
memberikan dasar bagi teori HAM yang berasal dari hukum yang lebih tinggi dari negara dan
berasal dari Tuhan (Mahakuasa). Dengan demikian, teori ini berasumsi bahwa ada penerimaan
terhadap doktrin yang dianggap sebagai sumber HAM.

PEMBAHASAN
1. Teori Hak-Hak Alami ((Natural Rights Theory)/ Hak Kodrati
HAM adalah hak yang dimiliki oleh seluruh manusia pada segala waktu dan tempat
berdasarkan takdirnya sebagai manusia (human right are rights that belong to all human beings at
all times and all places by virtue of being born as human beings). Hak-hak tersebut termasuk hak
untuk hidup, kebebasan dan harta kekayaan seperti yang diajukan oleh John Locke. Pengakuan
tidak diperlukan bagi HAM, baik dari pemerintah atau dari suatu sistem hukum, karena HAM
bersifat universal. Berdasarkan alasan ini, sumber HAM sesungguhnya semata-mata berasal dari
manusia.5
Teori hak-hak kodrati kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai “Bill of Rights”,
seperti yang diberlakukan oleh Parlemen Inggris (1689), Deklarasi Kemerdekaan Amerika
Serikat (1776), Deklarasi Hak-hak Manusia dan Warga Negara Prancis (1789). Lebih dari satu
setengah abad kemudian, di penghujung Perang Dunia II, Deklarasi Universal HAM (1948) telah
disebarluaskan kepada masyarakat internasional di bawah bendera teori hakhak kodrati. Warisan
4
Scott Davidson, Hak Asasi Manusia, Sejarah, Teori dan Praktek dalam Pergaulan Internasional, (Jakarta: Grafiti,
1994), h. 2
5
Andrey Sujatmoko, op. cit., hlm. 7. Lihat dalam Scott Davidson, op. cit., hlm. 8. Lihat juga dalam Todung Mulya
Lubis, op. cit., hlm. 15-16.
dari teori hak-hak kodrati juga dapat ditemukan dalam berbagai instrumen HAM di benua
Amerika dan Eropa.
Teori hak kodrati mengenai hak (natural rights theory) yang menjadi asal-usul gagasan
mengenai hak asasi manusia bermula dari teori hukum kodrati (natural rights theory). Teori ini
dapat dirunut kembali jauh ke zaman kuno dengan filsafat Stoika hingga ke zaman modern
melalui tulisan-tulisan hukum kodrati Santo Thomas Aquinas.27 Selanjutnya, ada Hugo de Groot
(nama latinnya: Grotius), seorang ahli hukum Belanda yang dinobatkan sebagai “bapak hukum
internasional”, yang mengembangkan lebih lanjut teori hukum kodrati Aquinas dengan memutus
asal-usulnya yang theistik dan membuatnya menjadi produk pemikiran sekuler yang rasional.
Dengan landasan inilah, pada perkembangan selanjutnya, salah seorang kaum terpelajar pasca-
Renaissans, John Locke, mengajukan pemikiran mengenai teori hak-hak kodrati. Gagasan Locke
mengenai hak-hak kodrati inilah yang melandasi munculnya revolusi hak dalam revolusi yang
meletup di Inggris, Amerika Serikat dan Perancis pada abad ke-17 dan ke-18.
Teori hak-hak kodrati telah berjasa dalam menyiapkan landasan bagi suatu sistem hukum
yang dianggap superior ketimbang hukum nasional suatu negara, yaitu norma HAM
internasional. Namun demikian, kemunculan sebagai norma internasional yang berlaku di setiap
negara membuatnya tidak sepenuhnya lagi sama dengan konsep awalnya sebagai hak-hak
kodrati. Substansi hak-hak yang terkandung di dalamnya juga telah jauh melampaui substansi
hak-hak yang terkandung dalam hak kodrati (sebagaimana yang diajukan oleh John Locke).
Kandungan hak dalam gagasan HAM sekarang bukan hanya terbatas pada hak-hak sipil dan
politik, tetapi juga mencakup hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Bahkan belakangan ini
substansinya bertambah dengan munculnya hak-hak “baru” yang disebut “hak-hak solidaritas”.
Dalam konteks keseluruhan inilah seharusnya makna HAM dipahami dewasa ini.6
Namun, tidak semua orang setuju dengan pandangan teori hak-hak kodrati. Teori
positivisme termasuk salah satunya. Penganut teori ini berpendapat, bahwa mereka secara luas
dikenal percaya bahwa hak harus berasal dari suatu tempat. Kemudian, hak seharusnya
diciptakan dan diberikan oleh konstitusi, hukum atau kontrak. Hal tersebut dikatakan oleh
Jeremy Bentham sebagai berikut: “Bagi saya, hak merupakan anak hukum; dari hukum riil lahir
hak riil, tetapi dari hukum imajiner, dari hukum ‘kodrati’, lahir hak imajiner. Hak kodrati adalah

6
Andrey Sujatmoko, op. cit., hlm. 7. Lihat dalam Scott Davidson, op. cit., hlm. 8. Lihat juga dalam Todung Mulya
Lubis, op. cit., hlm. 16-17.
omong kosong belaka: hak yang kodrati dan tidak bisa dicabut adalah omong kosong retrorik,
omong kosong yang dijunjung tinggi.”
Jadi dapat dikatakan bahwa, teori positivisme secara tegas menolak pandangan teori hak-
hak kodrati. Keberatan utama teori ini adalah karena hak-hak kodrati sumbernya dianggap tidak
jelas. Menurut positivisme suatu hak mestilah berasal dari sumber yang jelas, seperti dari
peraturan perundang-undangan atau konstitusi yang dibuat oleh negara. Dengan perkataan lain,
jika pendukung hak-hak kodrati menurunkan gagasan mereka tentang hak itu dari Tuhan, nalar
atau pengandaian moral yang a priori, kaum positivis berpendapat bahwa eksistensi hak hanya
dapat diturunkan dari hukum negara.
Berkenaan dengan perdebatan antara kedua teori tersebut, menurut pengamatan
Mieczyslaw Maneli –seorang pakar politik dan sarjana hukum–, perdebatan secara tradisional
yang membagi hukum kodrat dan teori positivisme saat ini sudah kehilangan validitas dan
ketajaman yang sebelumnya berlaku. Benarkah demikian, setelah kita menyaksikan tidak hanya
terjadinya suatu proses penyatuan (rapprochment), tetapi juga suatu proses positivisasi
(positivization) ide-ide HAM? Menurut Todung Mulya Lubis, Maneli mungkin benar, khususnya
jika kita membaca instrumen-instrumen hukum HAM internasional dan konstitusi-konstitusi dari
berbagai negara. Sebagai contoh, konstitusi Indonesia, Malaysia dan Filipina telah memuat
ketentuan-ketentuan yang merupakan hakhak kodrati. Keberatan lainnya terhadap teori hak-hak
kodrati berasal dari teori relativisme budaya (cultural relativist theory) yang memandang teori
hak-hak kodrati dan penekanannya pada universalitas sebagai suatu pemaksaan atas suatu
budaya terhadap budaya yang lain yang diberi nama imperalisme budaya (cultural imperalism).
Menurut para penganut teori relativisme budaya, tidak ada suatu hak yang bersifat
universal. Mereka merasa bahwa teori hak-hak kodrati mengabaikan dasar sosial dari identitas
yang dimiliki oleh individu sebagai manusia. Manusia selalu merupakan produk dari beberapa
lingkungan sosial dan budaya dan tradisi-tradisi budaya dan peradaban yang berbeda yang
memuat cara-cara yang berbeda menjadi manusia. Oleh karena itu, hak-hak yang dimiliki oleh
seluruh manusia setiap saat dan di semua tempat merupakan hak-hak yang menjadikan manusia
terlepas secara sosial (desocialized) dan budaya (deculturized).

2. Teori Positivisme (Positivist Theory)


Teori ini berpandangan bahwa karena hak harus tertuang dalam hukum yang rill, maka
dipandang sebagai hak melalui adanya jaminan konstitusi (rights, then should be created and
granted by constitution, laws, and contracts). Teori atau mazhab positivisme ini memperkuat
serangan dan penolakan kalangan utilitarian, dikembangkan belakangan dengan lebih sistematis
oleh John Austin. Kaum positivis berpendapat bahwa eksistensi dan isi hak hanya dapat
diturunkan dari hukum negara. Satu-satunya hukum yang sahih adalah perintah dari yang
berdaulat. Ia tidak datang dari “alam” ataupun “moral”.
Dapat dikatakan bahwa, kaum positivis berpendapat bahwa tidak ada sumber hak kecuali
dari negara atau badan yang diberi otoritas. Bagi kaum positivis, filsafat moral sebagai sumber
hak asasi manusia, sangat tidak kuat untuk mengikat manusia untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu. Bagi teori ini, hukum yang dibuat dengan segala sanksinya itu, mutlak dijalankan karena
itulah yang mengikat, terlepas dari motivasi dan substansi hukum yang mengikat tersebut.34
Cara pandang ini dikritik habis karena dinilai telah mengabaikan prinsip-prinsip norma sosial
yang berisi ajaran moral yang tumbuh dan dipraltikkan dalam masyarakat, tanpa pernah
diformalkan sebagai hukum yang mengikat. Kritik ini dipertegas lagi dengan contoh NAZI yang
melegalkan praktik anti-semit. Begitu juga praktik apartheid di Afrika Selatan beberapa dekade
lalu, yang memperoleh legitimasi hukum positif.
Menghadapi kritikan pedas seperti ini, kaum positivis berpendapat bahwa masalah besar
yang kita hadapi jika kita tidak memiliki standar hukum posotif dalam menimbang dan menilai
sesuatu, ialah tiap masyarakat memiliki cara pandang dan ajaran moralnya sendiri-sendiri
sehingga sulit sekali menemukan standar baku. Lagi pula, hukum positif sangat fleksibel karena
dapat dengan mudah diubah sesuai kebutuhan dan tuntutan zaman. Dalam prespektif seperti ini,
tentu saja kaum positivis memandang penegakkan dan perlindungan HAM jauh lebih baik
merujuk kepada konvensi-konvensi internasional yang menjadi standar baku bagi semua bangsa.
Untuk aliran positivisme ini, rujukan selalu mengacu ke Jeremy Bentham dan John Austin.
Dapat disimpulkan bahwa, HAM bagi kaum positivis hanyalah sebatas hak-hak yang
ditentukan oleh negara (diatur dengan hukum). Selain itu, kaum positivis tidak membedakan
mana hak yang dapat dikurangi (derogable right) dan mana hak yang tidak dapat dikurangi dalam
kondisi apapun (non-derogable right). Bagi kaum positivis, semua hak (termasuk hak untuk
hidup) dapat dibatasi dan dikurangi sepanjang ditentukan demikian oleh hukum.
3. Teori Relativisme Budaya (Cultural Relativist Theory)
Isu relativisme budaya (cultural relativism) baru muncul menjelang berakhirnya Perang
Dingin sebagai respon terhadap klaim universal dari gagasan hak asasi manusia internasional.
Gagasan tentang relativisme budaya mendalilkan bahwa kebudayaan merupakan satu-satunya
sumber keabsahan hak atau kaidah moral. Karena itu hak asasi manusia dianggap perlu dipahami
dari konteks kebudayaan masing-masing negara. Semua kebudayaan mempunyai hak hidup serta
martabat yang sama yang harus dihormati. Berdasarkan dalil ini, para pembela gagasan
relativisme budaya menolak universalisasi hak asasi manusia, apalagi bila ia didominasi oleh
satu budaya tertentu.
Teori ini merupakan salah satu bentuk anti-tesis dari teori hak-hak alami (natural rights).
Teori ini berpandangan bahwa hak itu bersifat universal merupakan pelanggaran satu dimensi
kultural terhadap dimensi kultural yang lain, atau disebut dengan imperialisme kultural (cultural
imperialism). Yang ditekankan dalam teori ini adalah bahwa manusia merupakan interaksi sosial
dan kultural serta perbedaan tradisi budaya dan peradaban berisikan perbedaan cara pandang
kemanusiaan (different ways of being human). Oleh karenanya, penganut teori ini mengatakan,
that rights belonging to all human beings at all times in all places would be the rights of
desocialized and deculturized beings.
Lebih lanjut, ide relativisme budaya berangkat dari filsafat kaum sophist yang secara
umum ingin menyatakan bahwa karakter moral adalah relatif dan dipengaruhi oleh budaya di
masing-masing wilayah. Pada konteks hak asasi manusia, pandangan ini berpengaruh cukup
dalam mulai dari perumusan hak hingga tataran implementasi. Relativisme budaya mengusulkan
bahwa hak asasi manusia dan aturan tentang moralitas harus disandikan tergantung pada konteks
budaya. Terminologi budaya ini termasuk tradisi indigenos (indigeneous tradition) dan praktik
kebiasaan termasuk ideologi politik, ideologi agama, dan struktur institusi. Oleh karenanya,
gagasan tentang hak dan aturan moral harus dibuat secara berbeda-beda karena akar dari budaya
juga berbeda-beda. Para pendukung utama relativisme budaya mengatakan bahwa “tidak ada ide
hak asasi manusia lintas budaya yang dapat disepakati dan tidak ada budaya yang dibolehkan
untuk dipaksakan untuk dipahami dan dipraktikkan oleh negara lain”. Pada posisi ini, kaum
relativisme tidak membedakan antara moral dan hukum. Padahal, instrumen hak asasi manusia
adalah kewajiban hukum sebuah negara untuk mengkonversi kewajiban moral menjadi
kewajiban hukum.7
7
Pranoto Iskandar, Hukum HAM Internasional Sebuah Pengantar Konseptual, (Cianjur: IMR Press, 2010), hlm.
367.
Gagasan bahwa hak asasi manusia terikat dengan konteks budaya umumnya diusung oleh
negara-negara berkembang dan negara-negara Islam. Gagasan ini begitu mengemuka pada
dasawarsa 1990-an –terutama menjelang Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia di Wina–,
disuarakan dengan lantang oleh para pemimpin dan cendikiawan (yang biasanya
merepresentasikan kepentingan status quo) di negara-negara tersebut. Para pemimpin negara-
negara di kawasan Lembah Pasifik Barat, misalnya, mengajukan klaim bahwa apa yang mereka
sebut sebagai “nilai-nilai Asia” (Asian Values) lebih relevan untuk kemajuan di kawasan ini,
ketimbang “nilai-nilai Barat” (seperti hak asasi manusia dan demokrasi) yang dinilai tidak begitu
urgent bagi bangsa-bangsa Asia. Yang paling terkenal dalam mengadvokasi “nilai-nilai Asia” itu
adalah Lee Kwan Yew, Menteri Senior Singapura, dan Mahathir Mohammad, mantan Perdana
Menteri Malaysia.
“Di Asia Tenggara yang dicari itu tidak begitu berkaitan dengan demokrasi, melainkan
dengan pemerintahan yang bertanggungjawab, yakni suatu kepemimpinan yang transparan dan
tidak korup”,38 ujar Lee Kwan Yew dalam sebuah ceramahnya di Jepang. Menurut Lee, yang
terlebih dahulu dicari oleh bangsa-bangsa di Asia adalah pembangunan ekonomi yang ditopang
dengan kepemimpinan yang kuat, bukan memberikan kebebasan dan hak asasi manusia. Yang
terakhir itu akan diberikan apabila negara-negara di kawasan ini mampu menstabilkan
pertumbuhan ekonomi dan memberi kesejahteraan kepada rakyat mereka. Dalam nada yang
hampir sama Mahathir Mohammad berpendapat, “Saat kemiskinan dan tidak tersedianya pangan
yang memadai masih merajalela, dan kebutuhankebutuhan dasar rakyat tidak terjamin, maka
prioritas mesti diberikan kepada pembangunan ekonomi”.
Atas dasar ini Mahathir menolak pemaksaan standar-standar hak asasi manusia dari satu
negara ke negara lain. “Asia tampaknya tidak memiliki hak apapun untuk menetapkan nilai-
nilainya sendiri tentang hak asasi manusia,” kecam Mahathir terhadap upaya-upaya
internasionalisasi hak asasi manusia. Singkatnya, baik bagi Lee maupun Mahathir, ide hak asasi
manusia tidak urgent bagi bangsa-bangsa Asia. Perdebatan mengenai isu ini dengan gamblang
menunjukkan bahwa di balik gagasan “nilai-nilai Asia” para pemimpin di kawasan ini ingin
mengemukakan pembenaran bagi penyimpangan-penyimpangan substansial dari tafsiran
internasional yang baku tentang kaidah-kaidah hak asasi manusia. Dengan mengajukan “nilai-
nilai Asia” mereka menolak dijadikannya hak asasi manusia sebagai parameter dalam kerja sama
pembangunan internasional. Lebih jauh sebenarnya di balik gagasan “nilai-nilai Asia” para
pemimpin di kawasan itu gamang dengan diterapkannya “conditionality” dalam kerja sama
pembangunan. “Conditionality” yang dimaksud adalah menjadikan catatan hak asasi manusia
sebagai persyaratan dapat-tidaknya kerja sama pembangunan dilakukan. Singkatnya, ada
kepentingan tersembunyi (vested interest) para penguasa di kawasan itu dalam upaya advokasi
“nilai-nilai Asia” sehebat-hebatnya.
Relativisme budaya (cultural relativism), dengan demikian, merupakan suatu ide yang
sedikit banyak dipaksakan, karena ragam budaya yang ada menyebabkan jarang sekali adanya
kesatuan dalam sudut pandang mereka dalam berbagai hal, selalu ada kondisi di mana “mereka
yang memegang kekuasaan yang tidak setuju”. Ketika suatu kelompok menolak hak kelompok
lain, seringkali itu terjadi demi kepentingan kelompok itu sendiri. Oleh karena itu, hak asasi
manusia tidak dapat secara utuh bersifat universal kecuali apabila hak asasi manusia tidak tunduk
pada ketetapan budaya yang seringkali dibuat tidak dengan suara bulat, dan dengan demikian
tidak dapat mewakili setiap individu.

4. Teori Universalisme
Pandangan universal tentang hak asasi manusia (HAM) mengimplikasikan penempatan
HAM sebagai nilai-nilai yang universal, sebagaimana diuraikan dalam berbagai dokumen seperti
International Bills of Human Rights, tanpa mempertimbangkan faktor-faktor sosial budaya dan
konteks ruang dan waktu yang unik bagi masing-masing negara atau bangsa. HAM dianggap
sebagai norma-nilai yang melintasi batas yurisdiksi negara-negara. Pasal 55, poin (c) Piagam
PBB menegaskan penghormatan universal terhadap HAM dan kebebasan fundamental bagi
semua individu tanpa memandang ras, jenis kelamin, bahasa, atau agama. Lebih lanjut, Pasal 56
Piagam PBB menegaskan bahwa semua negara anggota berjanji untuk bekerja sama dengan PBB
dalam upaya mencapai tujuan yang tercantum dalam Pasal 55. Pasal tersebut menegaskan bahwa
HAM adalah hak yang universal, dan negara-negara diharapkan untuk mengakui dan mengambil
tindakan konkret untuk memenuhi hak-hak tersebut.8
Dalam perspektif Barat secara umum, sebagaimana yang umumnya didefinisikan,
termasuk dalam instrumen hak asasi manusia PBB, hak asasi manusia dianggap sebagai hak-hak
yang secara alami melekat pada diri manusia sejak keberadaannya, dan tanpa hak-hak tersebut
manusia tidak dapat hidup secara layak sebagai manusia. Menurut pandangan ini, "Hak asasi
8
Halili, 2015, Hak Asasi Manusia: Dari Teori ke Pedagogi, Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri,
hlm.8.
manusia dapat secara umum didefinisikan sebagai hak-hak yang melekat dalam kodrat kita dan
tanpa hak-hak tersebut kita tidak dapat hidup sebagai manusia." 9 Bagi para penganut paham
universal, setiap individu memiliki hak asasi dan kebebasan fundamental secara mutlak,
sehingga hak asasi manusia berlaku universal bagi semua orang dan sama di mana pun individu
tersebut berada. Ini menegaskan bahwa meskipun individu memiliki perbedaan warna kulit, jenis
kelamin, bahasa, budaya, dan kewarganegaraan, mereka tetap memiliki atau berhak atas hak-hak
tersebut.10
Menurut Universalisme, hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki oleh manusia
bukan karena diberikan oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, tetapi semata-mata
karena martabatnya sebagai manusia. Rhoda E. Howard, seorang sosiolog yang mendukung
paham universalisme, menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki manusia
karena mereka adalah manusia. Hak-hak ini dimiliki oleh manusia karena mereka adalah
manusia, bukan karena mereka adalah warga negara dalam suatu negara tertentu. Ini
menunjukkan sifat universal dari hak-hak tersebut, di mana hak asasi manusia dianggap sebagai
hak kodrati (natural rights theory).11
Dalam konteks teori hak kodrati ini, John Locke, dalam karyanya "The Second Treatise
of Civil Government and a Letter Concerning Toleration," mengemukakan bahwa setiap individu
dianugerahi oleh alam hak yang melekat pada hidup, kebebasan, dan kepemilikan, yang
merupakan hak mereka sendiri yang tidak dapat dicabut atau diambil oleh negara. Melalui
kontrak sosial, perlindungan terhadap hak-hak yang tidak dapat dicabut ini diserahkan kepada
negara. Hak-hak ini tidak dapat dicabut oleh siapapun, dan juga tidak dapat dipindahkan dari satu
manusia ke manusia lainnya. John Locke menyatakan bahwa negara hadir untuk melindungi dan
memenuhi kepentingan serta hak-hak tersebut.12

DAFTAR PUSTAKA
Andrey Sujatmoko, op. cit., hlm. 7. Lihat dalam Scott Davidson, op. cit., hlm. 8. Lihat juga
dalam Todung Mulya Lubis, op. cit., hlm. 15-16.
9
Rhona K.M Smith, 2010, Texts and Materials on International Human Right, Second edition, Routledge, London
and Newyork, hlm. 36
10
Henry J. Steiner dan Phillip Aston, 2000, International Human Rights in Context, Law, Politics, Moral, Oxford
University Press, New York, hlm. 366.
11
Wolhoff, 1995, Pengantar Imu Hukum Tata Negara Repubik Indonesia, Jakarta: Timun Mas, hlm. 120.
12
John Locke, 1964, The Second Treatise of Civil Government and a Letter Concerning Toleration, disunting oleh
J.W. Gough, Oxford, Blackwell,
Andrey Sujatmoko, op. cit., hlm. 7. Lihat dalam Scott Davidson, op. cit., hlm. 8. Lihat juga
dalam Todung Mulya Lubis, op. cit., hlm. 16-17.

Halili, 2015, Hak Asasi Manusia: Dari Teori ke Pedagogi, Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri, hlm.8.
Henry J. Steiner dan Phillip Aston, 2000, International Human Rights in Context, Law, Politics,
Moral, Oxford University Press, New York, hlm. 366.
John Locke, 1964, The Second Treatise of Civil Government and a Letter Concerning Toleration,
disunting oleh J.W. Gough, Oxford, Blackwell,

Majda El-Muhtaj, ‘HAM, DUHAM & RANHAM Indonesia’, h. 274, dalam Mujaid Kumkelo,
dkk., Fiqh HAM, (Malang: Setara Press, 2015), h. 35.
Manfred Nowak, Pengantar Pada Rezim HAM Internasional, Departemen Hukum dan HAM RI,
Jakarta, 2003 hlm 2.
Pranoto Iskandar, Hukum HAM Internasional Sebuah Pengantar Konseptual, (Cianjur: IMR
Press, 2010), hlm. 367.

Rhona K.M Smith, 2010, Texts and Materials on International Human Right, Second edition,
Routledge, London and Newyork, hlm. 36
Scott Davidson, Hak Asasi Manusia, Sejarah, Teori dan Praktek dalam Pergaulan Internasional,
(Jakarta: Grafiti, 1994), h. 2
Todung Mulya Lubis, Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural, (Jakarta: LP3ES, 1986), h.
14.
Wolhoff, 1995, Pengantar Imu Hukum Tata Negara Repubik Indonesia, Jakarta: Timun Mas, hlm.
120.

Anda mungkin juga menyukai