NIM : 220101070
Mata Kuliah : Hukum dan HAM
Pertemuan : Ke 7
Dosen Pengampu : Muliana, S.H., M.H
PENDAHULUAN
Dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
dijelaskan bahwa Hak Asasi Manusia adalah serangkaian hak yang melekat pada hakikat dan
eksistensi manusia sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, dan merupakan anugerah-Nya yang
harus dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, serta setiap
individu demi menjaga kehormatan dan perlindungan martabat manusia. HAM inheren pada
setiap individu karena kualitas kemanusiaannya, dan akan tetap dimiliki meskipun individu
tersebut melanggar hukum (hak legal), melanggar kesepakatan (hak kontrak), atau tidak
memenuhi tuntutan moral (hak moral).1
Berbicara tentang hak asasi manusia (HAM) berarti membahas segala aspek kehidupan
manusia secara menyeluruh. HAM tidak ada karena diberikan oleh masyarakat atau kebaikan
negara, tetapi didasarkan pada martabat manusia itu sendiri. Pengakuan terhadap eksistensi
manusia menunjukkan bahwa manusia, sebagai makhluk hidup, adalah hasil ciptaan Tuhan Yang
Maha Kuasa yang pantas dihargai secara positif. Namun, peraturan diperlukan untuk memastikan
bahwa kepentingan dan keinginan yang kadang-kadang muncul secara tiba-tiba sebagai akibat
dari kehidupan manusia dapat diutamakan.2
Namun, masalah hak asasi manusia (HAM) tidak hanya berkaitan dengan bidang hukum
semata. HAM merupakan bagian integral dari keseluruhan kehidupan manusia. Menganalisis
kondisi HAM sebenarnya berarti mengkaji keseluruhan kehidupan, sejauh mana kita
memberikan ruang yang layak bagi kemanusiaan.3
Banyak pertanyaan yang muncul mengenai eksistensi dan esensi hak asasi manusia
(HAM). Misalnya, apa yang dimaksud dengan HAM? Dari mana HAM berasal? Apakah HAM
1
Manfred Nowak, Pengantar Pada Rezim HAM Internasional, Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, 2003 hlm
2.
2
Majda El-Muhtaj, ‘HAM, DUHAM & RANHAM Indonesia’, h. 274, dalam Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM,
(Malang: Setara Press, 2015), h. 35.
3
Todung Mulya Lubis, Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural, (Jakarta: LP3ES, 1986), h. 14.
dapat dihapuskan? Apakah semua HAM memiliki nilai yang sama? Untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut, diperlukan pemahaman tentang HAM berdasarkan suatu
kerangka teori. Sebuah teori dapat berperan sebagai alat analisis yang memfasilitasi penyelidikan
terhadap pertanyaan yang sering diajukan mengenai hak asasi manusia (HAM), dan memberikan
jawaban awal yang mungkin. Teori memiliki potensi untuk membentuk suatu paradigma yang
memberikan kejelasan dan konsistensi dalam segala perdebatan tentang hak. Selain itu, teori juga
memberikan suatu model yang dapat digunakan untuk mengevaluasi hak-hak yang dianggap
relevan.
Teori memberikan mekanisme yang dapat digunakan untuk secara tepat menetapkan
batas-batas hak-hak yang telah disepakati untuk ada. 4 Menurut Jerome J. Shestack, istilah
"HAM" tidak ada dalam agama-agama tradisional. Namun, ilmu tentang ketuhanan (teologi)
memberikan dasar bagi teori HAM yang berasal dari hukum yang lebih tinggi dari negara dan
berasal dari Tuhan (Mahakuasa). Dengan demikian, teori ini berasumsi bahwa ada penerimaan
terhadap doktrin yang dianggap sebagai sumber HAM.
PEMBAHASAN
1. Teori Hak-Hak Alami ((Natural Rights Theory)/ Hak Kodrati
HAM adalah hak yang dimiliki oleh seluruh manusia pada segala waktu dan tempat
berdasarkan takdirnya sebagai manusia (human right are rights that belong to all human beings at
all times and all places by virtue of being born as human beings). Hak-hak tersebut termasuk hak
untuk hidup, kebebasan dan harta kekayaan seperti yang diajukan oleh John Locke. Pengakuan
tidak diperlukan bagi HAM, baik dari pemerintah atau dari suatu sistem hukum, karena HAM
bersifat universal. Berdasarkan alasan ini, sumber HAM sesungguhnya semata-mata berasal dari
manusia.5
Teori hak-hak kodrati kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai “Bill of Rights”,
seperti yang diberlakukan oleh Parlemen Inggris (1689), Deklarasi Kemerdekaan Amerika
Serikat (1776), Deklarasi Hak-hak Manusia dan Warga Negara Prancis (1789). Lebih dari satu
setengah abad kemudian, di penghujung Perang Dunia II, Deklarasi Universal HAM (1948) telah
disebarluaskan kepada masyarakat internasional di bawah bendera teori hakhak kodrati. Warisan
4
Scott Davidson, Hak Asasi Manusia, Sejarah, Teori dan Praktek dalam Pergaulan Internasional, (Jakarta: Grafiti,
1994), h. 2
5
Andrey Sujatmoko, op. cit., hlm. 7. Lihat dalam Scott Davidson, op. cit., hlm. 8. Lihat juga dalam Todung Mulya
Lubis, op. cit., hlm. 15-16.
dari teori hak-hak kodrati juga dapat ditemukan dalam berbagai instrumen HAM di benua
Amerika dan Eropa.
Teori hak kodrati mengenai hak (natural rights theory) yang menjadi asal-usul gagasan
mengenai hak asasi manusia bermula dari teori hukum kodrati (natural rights theory). Teori ini
dapat dirunut kembali jauh ke zaman kuno dengan filsafat Stoika hingga ke zaman modern
melalui tulisan-tulisan hukum kodrati Santo Thomas Aquinas.27 Selanjutnya, ada Hugo de Groot
(nama latinnya: Grotius), seorang ahli hukum Belanda yang dinobatkan sebagai “bapak hukum
internasional”, yang mengembangkan lebih lanjut teori hukum kodrati Aquinas dengan memutus
asal-usulnya yang theistik dan membuatnya menjadi produk pemikiran sekuler yang rasional.
Dengan landasan inilah, pada perkembangan selanjutnya, salah seorang kaum terpelajar pasca-
Renaissans, John Locke, mengajukan pemikiran mengenai teori hak-hak kodrati. Gagasan Locke
mengenai hak-hak kodrati inilah yang melandasi munculnya revolusi hak dalam revolusi yang
meletup di Inggris, Amerika Serikat dan Perancis pada abad ke-17 dan ke-18.
Teori hak-hak kodrati telah berjasa dalam menyiapkan landasan bagi suatu sistem hukum
yang dianggap superior ketimbang hukum nasional suatu negara, yaitu norma HAM
internasional. Namun demikian, kemunculan sebagai norma internasional yang berlaku di setiap
negara membuatnya tidak sepenuhnya lagi sama dengan konsep awalnya sebagai hak-hak
kodrati. Substansi hak-hak yang terkandung di dalamnya juga telah jauh melampaui substansi
hak-hak yang terkandung dalam hak kodrati (sebagaimana yang diajukan oleh John Locke).
Kandungan hak dalam gagasan HAM sekarang bukan hanya terbatas pada hak-hak sipil dan
politik, tetapi juga mencakup hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Bahkan belakangan ini
substansinya bertambah dengan munculnya hak-hak “baru” yang disebut “hak-hak solidaritas”.
Dalam konteks keseluruhan inilah seharusnya makna HAM dipahami dewasa ini.6
Namun, tidak semua orang setuju dengan pandangan teori hak-hak kodrati. Teori
positivisme termasuk salah satunya. Penganut teori ini berpendapat, bahwa mereka secara luas
dikenal percaya bahwa hak harus berasal dari suatu tempat. Kemudian, hak seharusnya
diciptakan dan diberikan oleh konstitusi, hukum atau kontrak. Hal tersebut dikatakan oleh
Jeremy Bentham sebagai berikut: “Bagi saya, hak merupakan anak hukum; dari hukum riil lahir
hak riil, tetapi dari hukum imajiner, dari hukum ‘kodrati’, lahir hak imajiner. Hak kodrati adalah
6
Andrey Sujatmoko, op. cit., hlm. 7. Lihat dalam Scott Davidson, op. cit., hlm. 8. Lihat juga dalam Todung Mulya
Lubis, op. cit., hlm. 16-17.
omong kosong belaka: hak yang kodrati dan tidak bisa dicabut adalah omong kosong retrorik,
omong kosong yang dijunjung tinggi.”
Jadi dapat dikatakan bahwa, teori positivisme secara tegas menolak pandangan teori hak-
hak kodrati. Keberatan utama teori ini adalah karena hak-hak kodrati sumbernya dianggap tidak
jelas. Menurut positivisme suatu hak mestilah berasal dari sumber yang jelas, seperti dari
peraturan perundang-undangan atau konstitusi yang dibuat oleh negara. Dengan perkataan lain,
jika pendukung hak-hak kodrati menurunkan gagasan mereka tentang hak itu dari Tuhan, nalar
atau pengandaian moral yang a priori, kaum positivis berpendapat bahwa eksistensi hak hanya
dapat diturunkan dari hukum negara.
Berkenaan dengan perdebatan antara kedua teori tersebut, menurut pengamatan
Mieczyslaw Maneli –seorang pakar politik dan sarjana hukum–, perdebatan secara tradisional
yang membagi hukum kodrat dan teori positivisme saat ini sudah kehilangan validitas dan
ketajaman yang sebelumnya berlaku. Benarkah demikian, setelah kita menyaksikan tidak hanya
terjadinya suatu proses penyatuan (rapprochment), tetapi juga suatu proses positivisasi
(positivization) ide-ide HAM? Menurut Todung Mulya Lubis, Maneli mungkin benar, khususnya
jika kita membaca instrumen-instrumen hukum HAM internasional dan konstitusi-konstitusi dari
berbagai negara. Sebagai contoh, konstitusi Indonesia, Malaysia dan Filipina telah memuat
ketentuan-ketentuan yang merupakan hakhak kodrati. Keberatan lainnya terhadap teori hak-hak
kodrati berasal dari teori relativisme budaya (cultural relativist theory) yang memandang teori
hak-hak kodrati dan penekanannya pada universalitas sebagai suatu pemaksaan atas suatu
budaya terhadap budaya yang lain yang diberi nama imperalisme budaya (cultural imperalism).
Menurut para penganut teori relativisme budaya, tidak ada suatu hak yang bersifat
universal. Mereka merasa bahwa teori hak-hak kodrati mengabaikan dasar sosial dari identitas
yang dimiliki oleh individu sebagai manusia. Manusia selalu merupakan produk dari beberapa
lingkungan sosial dan budaya dan tradisi-tradisi budaya dan peradaban yang berbeda yang
memuat cara-cara yang berbeda menjadi manusia. Oleh karena itu, hak-hak yang dimiliki oleh
seluruh manusia setiap saat dan di semua tempat merupakan hak-hak yang menjadikan manusia
terlepas secara sosial (desocialized) dan budaya (deculturized).
4. Teori Universalisme
Pandangan universal tentang hak asasi manusia (HAM) mengimplikasikan penempatan
HAM sebagai nilai-nilai yang universal, sebagaimana diuraikan dalam berbagai dokumen seperti
International Bills of Human Rights, tanpa mempertimbangkan faktor-faktor sosial budaya dan
konteks ruang dan waktu yang unik bagi masing-masing negara atau bangsa. HAM dianggap
sebagai norma-nilai yang melintasi batas yurisdiksi negara-negara. Pasal 55, poin (c) Piagam
PBB menegaskan penghormatan universal terhadap HAM dan kebebasan fundamental bagi
semua individu tanpa memandang ras, jenis kelamin, bahasa, atau agama. Lebih lanjut, Pasal 56
Piagam PBB menegaskan bahwa semua negara anggota berjanji untuk bekerja sama dengan PBB
dalam upaya mencapai tujuan yang tercantum dalam Pasal 55. Pasal tersebut menegaskan bahwa
HAM adalah hak yang universal, dan negara-negara diharapkan untuk mengakui dan mengambil
tindakan konkret untuk memenuhi hak-hak tersebut.8
Dalam perspektif Barat secara umum, sebagaimana yang umumnya didefinisikan,
termasuk dalam instrumen hak asasi manusia PBB, hak asasi manusia dianggap sebagai hak-hak
yang secara alami melekat pada diri manusia sejak keberadaannya, dan tanpa hak-hak tersebut
manusia tidak dapat hidup secara layak sebagai manusia. Menurut pandangan ini, "Hak asasi
8
Halili, 2015, Hak Asasi Manusia: Dari Teori ke Pedagogi, Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri,
hlm.8.
manusia dapat secara umum didefinisikan sebagai hak-hak yang melekat dalam kodrat kita dan
tanpa hak-hak tersebut kita tidak dapat hidup sebagai manusia." 9 Bagi para penganut paham
universal, setiap individu memiliki hak asasi dan kebebasan fundamental secara mutlak,
sehingga hak asasi manusia berlaku universal bagi semua orang dan sama di mana pun individu
tersebut berada. Ini menegaskan bahwa meskipun individu memiliki perbedaan warna kulit, jenis
kelamin, bahasa, budaya, dan kewarganegaraan, mereka tetap memiliki atau berhak atas hak-hak
tersebut.10
Menurut Universalisme, hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki oleh manusia
bukan karena diberikan oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, tetapi semata-mata
karena martabatnya sebagai manusia. Rhoda E. Howard, seorang sosiolog yang mendukung
paham universalisme, menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki manusia
karena mereka adalah manusia. Hak-hak ini dimiliki oleh manusia karena mereka adalah
manusia, bukan karena mereka adalah warga negara dalam suatu negara tertentu. Ini
menunjukkan sifat universal dari hak-hak tersebut, di mana hak asasi manusia dianggap sebagai
hak kodrati (natural rights theory).11
Dalam konteks teori hak kodrati ini, John Locke, dalam karyanya "The Second Treatise
of Civil Government and a Letter Concerning Toleration," mengemukakan bahwa setiap individu
dianugerahi oleh alam hak yang melekat pada hidup, kebebasan, dan kepemilikan, yang
merupakan hak mereka sendiri yang tidak dapat dicabut atau diambil oleh negara. Melalui
kontrak sosial, perlindungan terhadap hak-hak yang tidak dapat dicabut ini diserahkan kepada
negara. Hak-hak ini tidak dapat dicabut oleh siapapun, dan juga tidak dapat dipindahkan dari satu
manusia ke manusia lainnya. John Locke menyatakan bahwa negara hadir untuk melindungi dan
memenuhi kepentingan serta hak-hak tersebut.12
DAFTAR PUSTAKA
Andrey Sujatmoko, op. cit., hlm. 7. Lihat dalam Scott Davidson, op. cit., hlm. 8. Lihat juga
dalam Todung Mulya Lubis, op. cit., hlm. 15-16.
9
Rhona K.M Smith, 2010, Texts and Materials on International Human Right, Second edition, Routledge, London
and Newyork, hlm. 36
10
Henry J. Steiner dan Phillip Aston, 2000, International Human Rights in Context, Law, Politics, Moral, Oxford
University Press, New York, hlm. 366.
11
Wolhoff, 1995, Pengantar Imu Hukum Tata Negara Repubik Indonesia, Jakarta: Timun Mas, hlm. 120.
12
John Locke, 1964, The Second Treatise of Civil Government and a Letter Concerning Toleration, disunting oleh
J.W. Gough, Oxford, Blackwell,
Andrey Sujatmoko, op. cit., hlm. 7. Lihat dalam Scott Davidson, op. cit., hlm. 8. Lihat juga
dalam Todung Mulya Lubis, op. cit., hlm. 16-17.
Halili, 2015, Hak Asasi Manusia: Dari Teori ke Pedagogi, Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri, hlm.8.
Henry J. Steiner dan Phillip Aston, 2000, International Human Rights in Context, Law, Politics,
Moral, Oxford University Press, New York, hlm. 366.
John Locke, 1964, The Second Treatise of Civil Government and a Letter Concerning Toleration,
disunting oleh J.W. Gough, Oxford, Blackwell,
Majda El-Muhtaj, ‘HAM, DUHAM & RANHAM Indonesia’, h. 274, dalam Mujaid Kumkelo,
dkk., Fiqh HAM, (Malang: Setara Press, 2015), h. 35.
Manfred Nowak, Pengantar Pada Rezim HAM Internasional, Departemen Hukum dan HAM RI,
Jakarta, 2003 hlm 2.
Pranoto Iskandar, Hukum HAM Internasional Sebuah Pengantar Konseptual, (Cianjur: IMR
Press, 2010), hlm. 367.
Rhona K.M Smith, 2010, Texts and Materials on International Human Right, Second edition,
Routledge, London and Newyork, hlm. 36
Scott Davidson, Hak Asasi Manusia, Sejarah, Teori dan Praktek dalam Pergaulan Internasional,
(Jakarta: Grafiti, 1994), h. 2
Todung Mulya Lubis, Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural, (Jakarta: LP3ES, 1986), h.
14.
Wolhoff, 1995, Pengantar Imu Hukum Tata Negara Repubik Indonesia, Jakarta: Timun Mas, hlm.
120.