Gagasan HAM yang berbasis pada pandangan hukum kodrati itu mendapat tantangan
serius pada abad ke 19 dari Jeramy Bentham seorang filsuf Utilitarian dari Inggris. Kritik Bentham
yang mendasar terhadap teori hak-hak kodrati adalah bahwa hak-hak kodrati itu tidak bisa
dikonfimasi dan diverifikasi kebenarannya. Bagi Bentham hak adalah anak kandung hukum dan
dari fungsi hukum lahirlah hak. Kritik Bentham mendapat dukungan dari kaum positivis seperti
yang dikembangkan oleh John Austin bahwa eksistensi dan isi hak hanya dapat diturunkan dari
hukum negara. Satu-satunya hukum yang sahih adalah perintah dari yang berdaulat dan tidak
datang dari alam atau moral, melainkan dari negara.5 Ajaran John Austin ini melahirkan filsafat
positivis yang melihat hukum sebagai perintah penguasa yang berdaulat yang bersifat memaksa
bukan sesuatu yang bisa ditawar-tawar (optional) yang pada giliranya melahirkan doktrin fiksi
hukum.6
Namun demikian, penolakan dari kalangan utilitarian dan positivis tersebut tidak membuat
teori hak-hak kodrati dilupakan orang. Jauh dari anggapan Bentham, hak-hak kodrati tidak
kehilangan pamornya, ia malah tampil kembali pada masa akhir Perang Dunia II. Gerakan untuk
menghidupkan kembali teori hak-hak kodrati inilah yang mengilhami kemunculan gagasan HAM
di panggung internasional.7
Pengalaman buruk dunia internasional dengan peristiwa Holocaust Nazi, membuat dunia
berpaling kembali kepada gagasan John Locke tentang hak-hak kodrati. Setelah kebiadaban luar
biasa terjadi selama Perang Dunia II, gerakan untuk menghidupkan kembali hak kodrati
menghasilkan dirancangnya instrumen internasional yang utama mengenai HAM.8Hal itu
dimungkinkan dengan terbentuknya Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) pada tahun 1945, segera
setelah berakhirnya perang yang mengorbankan banyak jiwa umat manusia. Dengan mendirikan
PBB, masyarakat internasional tidak ingin mengulang terjadinya peristiwa Holocaust di masa
depan, dan karena itu menegaskan kembali kepercayaan terhadap HAM, terhadap martabat dan
kemuliaan manusia, terhadap kesetaraan hak laki-laki dan perempuan, kesetaraan negara kecil
besar dan kecil.
5
John Austin, The Province of Jurisprudence Determined, Wilfrid E Rumble Jr.(ed), (Cambrige : University
Press, 1995), hlm 116-118.
6
Adji Samekto, Pergeseran Pemikiran Hukum dari Era Junani menuju Postmodernisme, (Jakarta : Konstitusi
Press, 2015), hlm.75.
7
David Weissbrodt, “Hak-Hak Asasi: Tinjauan dari Perspektif Sejarah,” dalam Peter Davies, Hak Asasi
Manusia: Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1994), hlm. 30.
8
Scott Davidson, Hak Asasi Manusia: Sejarah, Teori dan Praktek dalam Pengadilan Internasional, (Jakarta
: Grafiti Press,1994), hlm. 40.
Dari babak inilah terjadi internasionalisasi gagasan HAM. Sejak saat itu masyarakat
internasional bersepakat menjadikan HAM sebagai tolok ukur pencapaian bersama bagi semua
rakyat dan semua bangsa (a common standard of achievement for all peoples and all nations).
Hal ini ditandai dengan diterimanya oleh masyarakat internasional suatu rezim hukum HAM yang
kemudian dikenal dengan International Bill of Human Rights yang terdiri dari tiga dokumen inti
yaitu Deklarasi Universal HAM sedunia (DUHAM), Kovenan Hak Sipil dan Politik (Kovenan
Hak Sipol) dan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Kovenan Hak Ekosob).\
Inti HAM adalah, Pertama bahwa HAM secara kodrati inheren atau melekat, universal
mengacu bahwa HAM itu tanpa pembedaan warna kulit, ras, agama, suku, etnis, bangsa, atau
status sosial lainnya yang tidak dapat dicabut. Hak dasar itu dimiliki oleh individu semata-mata
karena mereka adalah manusia ciptaanNya bukan karena mereka adalah warga negara suatu
negara. Kedua, perlindungan efektif terhadap HAM terdapat dalam kerangka batas-batas
legitimasi yang demokratis. Ketiga, batas-batas pelaksanaan HAM hanya dapat ditetapkan atau
dicabut oleh undang-undang sebagai bagian dari konsep negara hukum yang bermakna bahwa hak
harus dilindungi oleh undang-undang dengan pengertian bahwa ketika mencabut atau mengurangi
hak-hak individu itu, maka Negara wajib mematuhi persyaratan hukum sesuai konstitusi. Konsepsi
ini juga mengharuskan pemerintah bertindak sesuai dengan undang-undang dan tidak bersifat
menindas, sewenang-wenang atau diskriminatif.
Dengan demikian pelaksanaan hak-hak kodrati setiap manusia tidak dibatasi kecuali oleh
batas-batas yang menjamin pelaksanaan hak-hak yang sama bagi anggota masyarakat yang lain.
Batas-batas ini hanya dapat ditetapkan oleh undang-undang. Oleh karena itu, penegakan terhadap
HAM ini didasarkan pada keinginan untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan dan
kesewewenang-wenangan penguasa. Dengan titik tolak ini, maka HAM seharusnya dipergunakan
juga sebagai sarana untuk mengembangkan diri demi kesejahteraan umat manusia.
Sehubungan dengan itu, dapat dipahami bahwa timbulnya keinginan untuk merumuskan
hak dalam suatu hukum internasional dan nasional adalah untuk menjamin dan melindungi hak-
hak asasi manusia. Setiap negara memiliki kewajiban untuk menjamin dan menghormati,
melindungi dan menegakkan hak asasi manusia di negara masing-masing sekaligus melahirkan
kewajiban untuk mengimplementasikannya secara universal. Oleh karena itu, sebagaimana
ditegaskan dalam Mukadimah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia/DUHAM, HAM perlu
dilindungi dengan merumuskannya dalam instrumen hukum agar orang tidak akan terpaksa
memilih pemberontakan sebagai usaha terakhir guna menentang kezaliman dan penindasan
sebagaimana terjadi dalam sejarah perkembangan HAM.
Berdasarkan paparan tersebut di atas, jelaslah bawah teori hak-hak kodrati telah berjasa
dalam mempersiapkan landasan bagi suatu sistem hukum HAM. Namun demikian,
kemunculannya sebagai norma hukum intrnasional dan nasional dan berlaku di setiap negara,
membuatnya tidak sepenuhnya lagi sama dengan konsep awalnya sebagai hak-hak kodrati.
Substansi hak-hak asasi yang terkandung dalam hak kodrati sebagaimana dimaksud John Locke
sudah berkembang sedemikian rupa sekarang ini yang bukan hanya terbatas pada hak-hak sipil
dan politik, tetapi juga mencakup hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Bahkan dewasa ini
berkembang dengan munculnya hak-hak baru yang disebut dengan hak solidaritas, hak minoritas
dan hak kelompok.
1. HAM dan relevansinya dengan Rechtstaat
Konsepsi HAM tidak terlepas dari reaksi atas kekuasaan absolut yang pada akhirnya
memunculkan sistem konstitusional dan konsep negara hukum baik itu rechtstaat maupun rule of
law. Kekuasan absolut itu tercermin dari ucapan Louis XIV yang menyatakan L etat’est Moi atau
Negara adalah Saya.9Saat itu kekuasaan terkonsentrasi pada satu tangan sehingga menimbulkan
kesewenang-wenangan. Tidak heran apabila ungkapan yang dikemukakan Lord Acton bahwa
power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely menunjukkan kebenaran saat itu.
Menurut Philipus M. Hadjon sebagaimana dikutip Masda El-Muhtaj10bahwa konsep rechtstaat
lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme sehingga sifatnya revolusioner. Sebaliknya
konsep rule of law berkembang secara evolusioner. Hal ini tampak baik dari isi maupun kriteria
rechtstaat dan rule of law itu sendiri. Konsep rechtstaat bertumpu pada sistem hukum Eropa
Kontinental yang biasa disebut civil law. Sedang konsep rule of law bertumpu pada sistem hukum
common law atau Anglo-saxson.
Munculnya keinginan untuk melakukan pembatasan yuridis terhadap kekuasaan tidak terlepas
dari politik kekuasaan yang cenderung korup, sehingga dikhawatirkan akan menjauhkan fungsi
dan peran negara bagi kehidupan individu dan masyarakat. Atas dasar itu, terdapat keinginan yang
besar agar dilakukan pembatasan kekuasaan secara yuridis-normatif untuk menghindari penguasa
yang otoriter. Di sinilah konstitusi menjadi penting bagi kehidupan masyarakat. Konstitusi
dijadikan sebagai perwujudan hukum tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara dan pejabat-pejabat
pemerintahsesuai dengan dalil government by laws, not by men (pemerintahan berdasarkan hukum
bukan berdasarkan manusia).
Di zaman modern, konsep Negara Hukum di Eropa Kontinental dikembangkan antara lain
oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl dan Fichte dengan menggunakan istilah Jerman
yaitu rechtsstaat. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara hukum dikembangkan
atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan The Rule of Law.
Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah rechtsstaat itu
mencakup empat elemen penting, yaitu:11
Dengan melihat konsepsi rechtstaat yang berkembang tersebut, maka pada dasarnya konteks
rechtstaat tidaklah memisahkan unsur-unsurnya satu sama lain. Dalam hal ini, penekanan pada
konsep rechtstaat ada pada konteks HAM yang diikuti oleh supremasi hukum melalui kepastian
hukumnya, pembagian kekuasaan dan otonomi dari pengadilan, sehingga pemenuhan HAM
dilakukan oleh negara melalui organ pemerintahannya. Negara merupakan subjek utama hukum
internasional dan dengan demikian juga merupakan subjek hukum hak asasi manusia. Negara
menjadi subjek hukum utama, karena negara merupakan entitas utama yang bertanggung jawab
melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia.13
2. Pengadilan Sebagai Lembaga Interpreter HAM
Pengadilan adalah institusi terakhir bagi warga masyarakat untuk mendapatkan keadilan,
khususnya ketika badan pemerintahan lain yang melanggar hak-hak mereka. Ketika institusi
pengadilan itu sendiri mengabaikan HAM dan berparsisipasi dalam penyalahgunaan kekuasaan
sebagaimana lazim terjadi di banyak negara menjadi sebuah hambatan serius bagi masyarakat dan
sebuah rintangan bagi implementasi HAM yang efektif di kawasan Asia.
Dalam konteks ASEAN tampak dalam pembentukan The ASEAN Intergovernmental
Commission on Human Rights pada tahun 2009 dan Deklarasi Hak Asasi ASEAN yang kemudian
diadopsi secara bulat dalam pertemuan tahun 2012 di Phom Phen, Kamboja menyatakan bahwa
negara-negara anggota ASEAN berkomitmen untuk menghormati dan melindungi hak asasi
manusia bagi 600 juta penduduk ASEAN.14
Di lain sisi independensi pengadilan HAM berasal dari gagasan pemisahan kekuasaan yaitu
eksekutif, legislatif dan yudikatif yang dapat membentuk sistem keseimbangan (check and
balances) satu sama lain yang bertujuan untuk mencegah penyalaggunaan kekuasaan. Pemisahan
dan konsekwensi independensi adalah kunci kepada fungsi pengadian yang efektif dan menegakan
aturan main hukum dan HAM. Peran pengadilan dalam melindungi HAM dengan cara yang sesuai
dengan proses hukum dengan mekanisme pengadilan yang independen, imparsial dan tidak
memihak. 15 Dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 disebutkan bahwa Indonesia dalah negara hukum
dan dijalankan berdasarkan hukum (rule of law). Amandemen II UUD 45 tahun 2000 sudah
13
Lihat Azas-azas Dasar HAM dalam UU No.30 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
14
Lihat ASEAN Declaration of Human Rights dan The ASEAN Inter-governmental Commission on Human
Rights pada tahun 2009.
15 Lihat Pasal 14 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik mengenai prinsip pengadilan yang independen
22
Manfred Novak, Introduction to the International Human Rights Regimes, (Leiden/Boston : Martinus
Nijhoff Publishers, 2003), hlm.57.
rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law
solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedom of others
and of meeting the just requirements of morality, public order and the general welfare in a
democratic society”. Namun demikian, hak-hak dasar yang dimiliki manusia seperti hak hidup
(right to life) adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam bentuk apapun (inaniable rights)
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 281 ayat (1) UUD 1945. Sejalan dengan ini, maka Putusan
Pengadilan Eropa terkait HAM yang berkaitan dengan hak azasi manusia tampak dari putusan
yang menolak ekstradisi bagi mereka yang diancam hukuman mati. 23
Dalam konteks ini, pengadilan menjadi institusi kelembagaan yang memiliki wewenang dalam
memberikan interpretasi HAM melalui putusannya.24 Namun, apabila dikaitkan dengan masalah
pelaksanaan putusan lintas juridiksi (ekstradisi) di Indonesia, kewenangan yang dimiliki oleh
pengadilan seakan tumpul. Hal ini terjadi dengan adanya mekanisme hak prerogratif yang dimiliki
oleh Presiden sebagai pemutus akhir nasib seseorang. Keputusan Presiden ini pada hakekatnya
bersifat beschikking yang berarti pada dasarnya adalah bahwa otoritas politiklah yang bekerja pada
keputusan ini dan bukan atas dasar putusan yang bersifat yuridis. Kendati pada aturannya
pengadilan tetap dapat memberikan putusan, namun putusan tersebut hanyalah sebagai
pertimbangan bagi Presiden yang tidak mengikat. Keputusan mutlak ada di tangan Presiden.
Padahal, sejatinya masalah ekstradisi sarat dengan persoalan hukum dan bukan persoalan politik
semata. Misalnya, persoalan double criminaty atau ne bis in idem sesuai dengan asas ekstradisi
sangat kental dengan aspek juridis yang berkaitan dengan masalah objek dan subjek pelaku
kejahatan yang hendak diekstradisi. Begitu juga persoalan masa penahanan yang sangat erat
kaitannya dengan persoalan hak asasi manusia karena berkaitan dengan perampasan kemerdekaan
seseorang. Menyangkut penangkapan dan penahanan juga merupakan tindakan yang membatasi
dan mengambil kebebasan bergerak seseorang. Kebebasan atau kemerdekaan disini dapat diartikan
sebagai dapat berdiri di tempat mana dan pergi kemana saja yang orang kehendaki. Kebebasan dan
kemerdekaan begerak merupakan salah satu hak asasi manusia. Oleh karena itu, dalam melakukan
penangkapan dan penahanan, penyidik, penuntut umum atau hakim haruslah bersikap hati-hati dan
penuh rasa tanggungjawab baik dari segi hukum maupun moral.25
Terkait dengan masalah penahanan yang menurut Bemmelen bahwa penahanan adalah
sebagai suatu pedang yang memenggal kedua belah pihak, karena tindakan yang begis ini dapat
dikenakan pada orang-orang yang belum mendapat keputusan dari hakim, sehingga mungkin pula
terkena pada pihak-pihak yang mungkin tidak bersalah,26 maka persoalan penahanan menjadi
persoalan yang sangat mendasar menyangkut HAM. Di Amerika misalnya ada suatu prinsip yang
luas dipraktekkan yakni penerapan prinsip “Miranda Warning” (Miranda Rules) yaitu hak yang
diberikan kepada seorang yang ditangkap untuk tetap diam dan tidak perlu bicara (remain silent)
sebelum menunjuk pengacara. Praktek ini diberlakukan atas suatu peristiwa penangkapan secara
23
Terkait pembatasan HAM lihat Manfred Novak, Introduction to the Internatonal Human Rights Regime,
https://www.jstor.org/stable/24675312?seq=1#page_scan_tab_contents, diakses tanggal 29 January 2019.
24
Para scholars memberi tiga kategorial HAM yakni “generasi pertama” terdiri dari hak-hak sipil dan
politik (civil and political rights) yang berasal dari konsep HAM yang dipelopori John Locke, Rousseau dan pemikir
lain yang subur di Eropa; “generasi kedua” terdiri dari hak-hak selain terkait hak sipil dan politik, juga mencakup hak
ekonomi, budaya dan social. Sedangkan “generasi ke tiga” meluputi hak terkait “self-determination and the right to
the development” yang dipelopori negara berkembang. Lihat D.J.Harris, Op Cit, hlm.625.
25
Hukum Acara Pidana jilid 1 58.
26
Melalui Peraturan Pemerintah Nomor : 92 tahun 2015 tentang Pelaksanan KUHAP sebagai revisi atas PP
No.27 tahun 1982, korban salah tangkap dapat menuntut ganti rugi hingga 600 juta rupiah dari sebelumnya hanya 3
juta rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 hurf b dan Pasal 95 KUHP mengenai ganti rugi.
sewenang-wenang untuk memeras pengakuan secara illegal atas diri seorang tersangka bernama
Ernesto Miranda pada tahun 1966. Penerapan prinsip ini juga dapat dipandang sebagai wujud
penghargaan hak-hak asasi tersangka.27
27
Lihat Vibeke Norgaard Marti with Matthew Frederick, 101 Things I Learned in Law School, (New York-
Boston : Grand Central Publihsing, 2013), hlm.83.