Anda di halaman 1dari 8

Konsep & Teori HAM (Human Rights-Related Theory)

By Dr.Efendi Lod Simanjuntak,SH.MH


Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia.
Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan
hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia.1 Setiap orang
dengan jenis kelamin, bahasa, budaya dan kewarganegaraan yang berbeda-beda, namun ia tetap
mempunyai hak-hak tersebut. Hak ini bersifat universal dan tidak dapat dicabut (inalienable).
Artinya seburuk apapun perlakuan yang telah dialami oleh seseorang atau betapapun bengisnya
perlakuan seseorang, ia tidak akan berhenti menjadi manusia dan karena itu tetap memiliki hak-
hak tersebut. Dengan kata lain, hak-hak itu melekat pada dirinya sebagai makhluk insani.
Asal usul gagasan mengenai hak asasi manusia (HAM) bersumber dari teori hak kodrati
(natural rights theory) yang bermula dari teori hukum kodrati (natural law theory). Dalam
perkembangannya hak ini berkembang pada saat timbulnya keinginan melawan kekuasaan Raja
yang absolut dan menadapat momentum pada masa Renaissance yang mengharapkan kembalinya
kebudayaan Yunani dan Romawi yang sangat menghormati pribadi orang perorang. Gerakan
pembaharuan diteruskan oleh aliran hukum kodrat yang dipelopori oleh Thomas Aquinas dan
Grotius yang menegaskan bahwa setiap orang dalam kehidupan ditentukan oleh Tuhan, tetapi
semua orang apapun statusnya tunduk pada otoritas Tuhan. Artinya, bukan hanya kekuasaan Raja
saja yang dibatasi oleh aturan-aturan Ilahiah, tetapi semua manusia juga dianugerahi identitas
individual yang unik dan terpisah dari negara di mana ia memiliki hak kodrati yang menyatakan
bahwa setiap individu adalah makhluk otonom.2
Pada bagian lain, John Locke sebagai pendukung hukum kodrati berpandangan bahwa
semua individu dikarunia alam hak yang inheren atas kehidupan, kebebasan, dan harta benda yang
tidak dapat dicabut oleh negara. Melalui suatu kontrak sosial (social contract) hak tersebut tidak
dapat dicabut atau diserahkan kepada penguasa dan apabila penguasa memutuskan kontrak sosial
itu, maka negara melanggar hak kodrati individu, sehinga rakyat dapat menggantikan penguasa
tersebut dengan penguasa yang mampu menghormati hak-hak tersebut.
Dalam perkembangannya hak-hak individu itu memperoleh tempatnya pada beberapa
peristiwa sebagai berikut :3
1. Magna Carta (1215) yang berisi kompromi pembagian kekuasaan Raja John dengan
bangsawannya dan memuat gagasan HAM yang menjamin adanya perlindungan rakyat
dari penangkapan, penahanan dan pembuangan kecuali ada keputusan pengadilan yang
sah. Magna Carta menjadi basis bagi penerapan azas praduga tidak bersalah, bebas dari
penangkapan sewenang-wenang dan hak untuk mendapatkan peradilan yan fair dan cepat4;
2. Habeas Corpus (1679) di Inggris yang mengharuskan seseorang yang ditangkap diperiksa
dalam waktu singkat. Habes Corpus ini menjadi landasan konstitusi Amerika Serikat dan
sistem hukum Anglo Saxo;
3. Glorius Revolution di Inggris pada tahun 1688 disusul Bill of Rights (1689) yang memuat
hak-hak rakyat dan menegaskan kekuasaan Raja tunduk di bawah Parlemen;

1
Jack Donnely, Universal Human Rights in Theory and Practice, (Ithaca and London : Cornell University
Press, 2003), hlm. 7-21. Juga Maurice Cranston, What are Human Rights? (New York : Taplinger, 1973), hlm. 70.
2
Rhona K Smith, Hukum HAM, (Yogyakarta : Pusham UII, 2009), hlm. 12.
3
Ibid .,
4
Lihat Noam Chomsky, Power System, (London : Hamish Hamilto, 2013), hlm.72.
4. Declaration of Independence 1788 yang disusun Thomas Jefferson mencantumkan bahwa
manusia karena kodratnya bebas merdeka serta memiliki hak-hak yang tidak dapat
dipisahkan atau dirampas dengan sifat kemanusiaannya berupa; hak hidup, hak memiliki,
hak mengejar kebahagiaan dan keamanan;
5. Pandangan inilah yang dibawa Marquis de lafayette ke Perancis dan dimuat di Des Droit
De L’Homme et Du Citoyen (Deklarasi Hak Manusia dan Warga Negara 1789) Pasal 1 :
“Tujuan setiap organisasi politik adalah pelestarian HAM yang kodrati dan tidak dapat
dicabut. Hak-hak itu adalah kebebasan (Liberty), Harta (Property), keamanan (Safety),
perlawanan terhadap penindasan (Resistence of Oppression).

Gagasan HAM yang berbasis pada pandangan hukum kodrati itu mendapat tantangan
serius pada abad ke 19 dari Jeramy Bentham seorang filsuf Utilitarian dari Inggris. Kritik Bentham
yang mendasar terhadap teori hak-hak kodrati adalah bahwa hak-hak kodrati itu tidak bisa
dikonfimasi dan diverifikasi kebenarannya. Bagi Bentham hak adalah anak kandung hukum dan
dari fungsi hukum lahirlah hak. Kritik Bentham mendapat dukungan dari kaum positivis seperti
yang dikembangkan oleh John Austin bahwa eksistensi dan isi hak hanya dapat diturunkan dari
hukum negara. Satu-satunya hukum yang sahih adalah perintah dari yang berdaulat dan tidak
datang dari alam atau moral, melainkan dari negara.5 Ajaran John Austin ini melahirkan filsafat
positivis yang melihat hukum sebagai perintah penguasa yang berdaulat yang bersifat memaksa
bukan sesuatu yang bisa ditawar-tawar (optional) yang pada giliranya melahirkan doktrin fiksi
hukum.6
Namun demikian, penolakan dari kalangan utilitarian dan positivis tersebut tidak membuat
teori hak-hak kodrati dilupakan orang. Jauh dari anggapan Bentham, hak-hak kodrati tidak
kehilangan pamornya, ia malah tampil kembali pada masa akhir Perang Dunia II. Gerakan untuk
menghidupkan kembali teori hak-hak kodrati inilah yang mengilhami kemunculan gagasan HAM
di panggung internasional.7
Pengalaman buruk dunia internasional dengan peristiwa Holocaust Nazi, membuat dunia
berpaling kembali kepada gagasan John Locke tentang hak-hak kodrati. Setelah kebiadaban luar
biasa terjadi selama Perang Dunia II, gerakan untuk menghidupkan kembali hak kodrati
menghasilkan dirancangnya instrumen internasional yang utama mengenai HAM.8Hal itu
dimungkinkan dengan terbentuknya Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) pada tahun 1945, segera
setelah berakhirnya perang yang mengorbankan banyak jiwa umat manusia. Dengan mendirikan
PBB, masyarakat internasional tidak ingin mengulang terjadinya peristiwa Holocaust di masa
depan, dan karena itu menegaskan kembali kepercayaan terhadap HAM, terhadap martabat dan
kemuliaan manusia, terhadap kesetaraan hak laki-laki dan perempuan, kesetaraan negara kecil
besar dan kecil.


5
John Austin, The Province of Jurisprudence Determined, Wilfrid E Rumble Jr.(ed), (Cambrige : University
Press, 1995), hlm 116-118.
6
Adji Samekto, Pergeseran Pemikiran Hukum dari Era Junani menuju Postmodernisme, (Jakarta : Konstitusi
Press, 2015), hlm.75.
7
David Weissbrodt, “Hak-Hak Asasi: Tinjauan dari Perspektif Sejarah,” dalam Peter Davies, Hak Asasi
Manusia: Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1994), hlm. 30.
8
Scott Davidson, Hak Asasi Manusia: Sejarah, Teori dan Praktek dalam Pengadilan Internasional, (Jakarta
: Grafiti Press,1994), hlm. 40.
Dari babak inilah terjadi internasionalisasi gagasan HAM. Sejak saat itu masyarakat
internasional bersepakat menjadikan HAM sebagai tolok ukur pencapaian bersama bagi semua
rakyat dan semua bangsa (a common standard of achievement for all peoples and all nations).
Hal ini ditandai dengan diterimanya oleh masyarakat internasional suatu rezim hukum HAM yang
kemudian dikenal dengan International Bill of Human Rights yang terdiri dari tiga dokumen inti
yaitu Deklarasi Universal HAM sedunia (DUHAM), Kovenan Hak Sipil dan Politik (Kovenan
Hak Sipol) dan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Kovenan Hak Ekosob).\
Inti HAM adalah, Pertama bahwa HAM secara kodrati inheren atau melekat, universal
mengacu bahwa HAM itu tanpa pembedaan warna kulit, ras, agama, suku, etnis, bangsa, atau
status sosial lainnya yang tidak dapat dicabut. Hak dasar itu dimiliki oleh individu semata-mata
karena mereka adalah manusia ciptaanNya bukan karena mereka adalah warga negara suatu
negara. Kedua, perlindungan efektif terhadap HAM terdapat dalam kerangka batas-batas
legitimasi yang demokratis. Ketiga, batas-batas pelaksanaan HAM hanya dapat ditetapkan atau
dicabut oleh undang-undang sebagai bagian dari konsep negara hukum yang bermakna bahwa hak
harus dilindungi oleh undang-undang dengan pengertian bahwa ketika mencabut atau mengurangi
hak-hak individu itu, maka Negara wajib mematuhi persyaratan hukum sesuai konstitusi. Konsepsi
ini juga mengharuskan pemerintah bertindak sesuai dengan undang-undang dan tidak bersifat
menindas, sewenang-wenang atau diskriminatif.
Dengan demikian pelaksanaan hak-hak kodrati setiap manusia tidak dibatasi kecuali oleh
batas-batas yang menjamin pelaksanaan hak-hak yang sama bagi anggota masyarakat yang lain.
Batas-batas ini hanya dapat ditetapkan oleh undang-undang. Oleh karena itu, penegakan terhadap
HAM ini didasarkan pada keinginan untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan dan
kesewewenang-wenangan penguasa. Dengan titik tolak ini, maka HAM seharusnya dipergunakan
juga sebagai sarana untuk mengembangkan diri demi kesejahteraan umat manusia.
Sehubungan dengan itu, dapat dipahami bahwa timbulnya keinginan untuk merumuskan
hak dalam suatu hukum internasional dan nasional adalah untuk menjamin dan melindungi hak-
hak asasi manusia. Setiap negara memiliki kewajiban untuk menjamin dan menghormati,
melindungi dan menegakkan hak asasi manusia di negara masing-masing sekaligus melahirkan
kewajiban untuk mengimplementasikannya secara universal. Oleh karena itu, sebagaimana
ditegaskan dalam Mukadimah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia/DUHAM, HAM perlu
dilindungi dengan merumuskannya dalam instrumen hukum agar orang tidak akan terpaksa
memilih pemberontakan sebagai usaha terakhir guna menentang kezaliman dan penindasan
sebagaimana terjadi dalam sejarah perkembangan HAM.
Berdasarkan paparan tersebut di atas, jelaslah bawah teori hak-hak kodrati telah berjasa
dalam mempersiapkan landasan bagi suatu sistem hukum HAM. Namun demikian,
kemunculannya sebagai norma hukum intrnasional dan nasional dan berlaku di setiap negara,
membuatnya tidak sepenuhnya lagi sama dengan konsep awalnya sebagai hak-hak kodrati.
Substansi hak-hak asasi yang terkandung dalam hak kodrati sebagaimana dimaksud John Locke
sudah berkembang sedemikian rupa sekarang ini yang bukan hanya terbatas pada hak-hak sipil
dan politik, tetapi juga mencakup hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Bahkan dewasa ini
berkembang dengan munculnya hak-hak baru yang disebut dengan hak solidaritas, hak minoritas
dan hak kelompok.
1. HAM dan relevansinya dengan Rechtstaat
Konsepsi HAM tidak terlepas dari reaksi atas kekuasaan absolut yang pada akhirnya
memunculkan sistem konstitusional dan konsep negara hukum baik itu rechtstaat maupun rule of
law. Kekuasan absolut itu tercermin dari ucapan Louis XIV yang menyatakan L etat’est Moi atau
Negara adalah Saya.9Saat itu kekuasaan terkonsentrasi pada satu tangan sehingga menimbulkan
kesewenang-wenangan. Tidak heran apabila ungkapan yang dikemukakan Lord Acton bahwa
power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely menunjukkan kebenaran saat itu.
Menurut Philipus M. Hadjon sebagaimana dikutip Masda El-Muhtaj10bahwa konsep rechtstaat
lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme sehingga sifatnya revolusioner. Sebaliknya
konsep rule of law berkembang secara evolusioner. Hal ini tampak baik dari isi maupun kriteria
rechtstaat dan rule of law itu sendiri. Konsep rechtstaat bertumpu pada sistem hukum Eropa
Kontinental yang biasa disebut civil law. Sedang konsep rule of law bertumpu pada sistem hukum
common law atau Anglo-saxson.
Munculnya keinginan untuk melakukan pembatasan yuridis terhadap kekuasaan tidak terlepas
dari politik kekuasaan yang cenderung korup, sehingga dikhawatirkan akan menjauhkan fungsi
dan peran negara bagi kehidupan individu dan masyarakat. Atas dasar itu, terdapat keinginan yang
besar agar dilakukan pembatasan kekuasaan secara yuridis-normatif untuk menghindari penguasa
yang otoriter. Di sinilah konstitusi menjadi penting bagi kehidupan masyarakat. Konstitusi
dijadikan sebagai perwujudan hukum tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara dan pejabat-pejabat
pemerintahsesuai dengan dalil government by laws, not by men (pemerintahan berdasarkan hukum
bukan berdasarkan manusia).
Di zaman modern, konsep Negara Hukum di Eropa Kontinental dikembangkan antara lain
oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl dan Fichte dengan menggunakan istilah Jerman
yaitu rechtsstaat. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara hukum dikembangkan
atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan The Rule of Law.
Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah rechtsstaat itu
mencakup empat elemen penting, yaitu:11

1. Perlindungan hak asasi manusia.;


2. Pembagian kekuasaan;
3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang;
4. Peradilan tata usaha Negara.
Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum
yang disebutnya dengan istilah The Rule of Law, yaitu:12
1. Supremacy of Law;
2. Equality before the law;
3. Due Process of Law.

9
Mengapa Raja Louis XIV mengucapkan “Negara adalah Saya” (I am the State) salah satunya adalah bahwa
Louis XIV merupakan raja pertama yang memisahkan gereja dan negara, sehingga kekuasaan para Kardinal gereja
saat itu diambil alih di Prancis (https://www.telegraph.co.uk/tv/2016/06/01/who-was-louis-xiv-of-france-everything-
you-need-to know-about-th/, diakses 20 Agustus 2018.
10
Majda El Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, (Jakarta : Prenada Media, 2005), hlm.
23
11
Jimly Assiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, (Jakarta : Bhuana Ilmu Populer, 2009), hlm.
396
12
Ibid, hlm 396.
Keempat prinsip rechtsstaat yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di atas pada
pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip Rule of Law yang dikembangkan oleh A.V.
Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum modern di zaman sekarang. Bahkan, oleh The
International Commission of Jurist, prinsip-prinsic p Negara Hukum itu ditambah lagi dengan
prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary) yang di
zaman sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi.
Prinsip-prinsip Negara Hukum menurut The International Commission of Jurists itu adalah:
1. Negara harus tunduk pada hukum;
2. Pemerintah menghormati hak-hak individu;
3. Peradilan yang bebas dan tidak memihak.

Dengan melihat konsepsi rechtstaat yang berkembang tersebut, maka pada dasarnya konteks
rechtstaat tidaklah memisahkan unsur-unsurnya satu sama lain. Dalam hal ini, penekanan pada
konsep rechtstaat ada pada konteks HAM yang diikuti oleh supremasi hukum melalui kepastian
hukumnya, pembagian kekuasaan dan otonomi dari pengadilan, sehingga pemenuhan HAM
dilakukan oleh negara melalui organ pemerintahannya. Negara merupakan subjek utama hukum
internasional dan dengan demikian juga merupakan subjek hukum hak asasi manusia. Negara
menjadi subjek hukum utama, karena negara merupakan entitas utama yang bertanggung jawab
melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia.13
2. Pengadilan Sebagai Lembaga Interpreter HAM
Pengadilan adalah institusi terakhir bagi warga masyarakat untuk mendapatkan keadilan,
khususnya ketika badan pemerintahan lain yang melanggar hak-hak mereka. Ketika institusi
pengadilan itu sendiri mengabaikan HAM dan berparsisipasi dalam penyalahgunaan kekuasaan
sebagaimana lazim terjadi di banyak negara menjadi sebuah hambatan serius bagi masyarakat dan
sebuah rintangan bagi implementasi HAM yang efektif di kawasan Asia.
Dalam konteks ASEAN tampak dalam pembentukan The ASEAN Intergovernmental
Commission on Human Rights pada tahun 2009 dan Deklarasi Hak Asasi ASEAN yang kemudian
diadopsi secara bulat dalam pertemuan tahun 2012 di Phom Phen, Kamboja menyatakan bahwa
negara-negara anggota ASEAN berkomitmen untuk menghormati dan melindungi hak asasi
manusia bagi 600 juta penduduk ASEAN.14
Di lain sisi independensi pengadilan HAM berasal dari gagasan pemisahan kekuasaan yaitu
eksekutif, legislatif dan yudikatif yang dapat membentuk sistem keseimbangan (check and
balances) satu sama lain yang bertujuan untuk mencegah penyalaggunaan kekuasaan. Pemisahan
dan konsekwensi independensi adalah kunci kepada fungsi pengadian yang efektif dan menegakan
aturan main hukum dan HAM. Peran pengadilan dalam melindungi HAM dengan cara yang sesuai
dengan proses hukum dengan mekanisme pengadilan yang independen, imparsial dan tidak
memihak. 15 Dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 disebutkan bahwa Indonesia dalah negara hukum
dan dijalankan berdasarkan hukum (rule of law). Amandemen II UUD 45 tahun 2000 sudah


13
Lihat Azas-azas Dasar HAM dalam UU No.30 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
14
Lihat ASEAN Declaration of Human Rights dan The ASEAN Inter-governmental Commission on Human
Rights pada tahun 2009.
15 Lihat Pasal 14 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik mengenai prinsip pengadilan yang independen

dan tidak memihak.


dijabarkan beberapa pengertian dari “human rights”. Keluarnya UU No.30 tahun 1999 tentang
HAM yang dikuti dengan pembentukan Komnas HAM melalui Kepres No.50 tahun 1999
merupakan bukti betapa HAM sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di
Indonesia.
Pentingnya masalah HAM ini diketengahkan dalam kerangka penegakan hukum lintas
jurisdiksi di ASEAN adalah karena selama hampir ratusan tahun praktek kerjasama internasional
di bidang penegakan hukum antar negara persoalan hak asasi manusia sering diabaikan khususnya
hak asasi orang yang menjadi objek ekstradisi. Persoalan HAM baru menjadi perhatian dunia
setelah tahun 1945. Sebelumnya individu hanya diangap sebagai “aliens and national” bukan
“individual”. 16 Penghormatan HAM sebagai individu semakin diakui menyusul dengan
dikumandangkannya Universal Declaration of Human Rights tahun 1948 yang diikuti serangkaian
traktat di bawah naungan PBB. Pada tingkat regional di Eropa kemudian dibentuk European
Convention of Human Rights tahun 1950, European Social Charter tahun 1961, the American
Convention om Human Rights tahun 1969 dan African Charter on Human Rights and Peoples’s
Rights 1981. Sedangkan negara-negara Asia kemudian mengadopsi konsep HAM melalui
Bangkok Declaration 1993.
Kurang diperhatikannya HAM individu selama ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa hak
seseorang yang hendak diekstradisi umumnya sudah tidak mempunyai hak (have no personal
right) untuk menolak atau menerima pengekstradisiannya yang sepenuhnya tergantung pada
keputusan negara bersangkutan.17 Oleh karena itu, tidak heran apabila selama ini penegakan
hukum lintas jurisdiksi kurang memberikan perhatian pada aspek hak asasi dan individu lebih
dilihat sebagai objek dalam kerjasama internasional dalam masalah pidana.18 Padahal,
sebagaimana ditegaskan dalam Deklarasi PPB tentang HAM dengan tegas menyatakan tidak boleh
dilakukan penangkapan, penahanan dan pengusiran secara sewenang-wenang.19 Atas dasar inilah
mengapa Pengadilan HAM Eropa (European Court of Human Rights) menegaskan bahwa tidak
boleh terjadi pemerkosaan terhadap HAM dalam kerjasama internasional.20 Hal itu dibuktikan pula
dengan beberapa putusan pengadilan HAM Eropa yang menolak mengekstradisi orang yang akan
terancam dengan hukuman mati di negara peminta.21 Pembatasan terhadap HAM (restriction to
human rights) hanya dapat dibenarkan sepanjang ada keputusan pengadilan dan peraturan
perundang-undang yang memperbolehkannya. Hal ini dimungkinkan karena negara yang
menandatangani traktat internasional (international treaty) terkait HAM berhak melakukan apa
yang disebut dengan “reservations and declaration of interpretation” yang disesuiakan dengan
sistem hukum nasional negara penandatangan, akan tetapi hal-hal berkaitan dengan pengenaan
hukuman mati (capital punishment) tetap dikecualikan dari “reservasi” tersebut sebagaimana
diadopsi dalam Pasal 4 Protokol Tambahan ke 6 Pengadilan HAM Eropa.22
Pembatasan terhadap HAM ini hanya dapat dibenarkan sepanjang ada keputusan
pengadilan dan Undang-undang yang membenarkanya. Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam
Universal Declaration of Human Right Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi : “ in the exercise of his

16
D.J.Harris, Cases and Material on International Law, (London: Sweet&Maxel, 1998), hlm.624.
17
Hans Kelsen, Op Cit, hlm 237.
18
Guy Stessen, Op Cit, hlm, 256.
19
Lihat Pasal 9 Universal Declaration of Human Rights 1948 Article 9 yang menyatakan: “No one shall be
subjected to arbitrary arrest, detention or exile”.
20
Ibid, hlm. 256
21 European Court of Human Raights on Death Penalty Abolition, Op Cit.

22
Manfred Novak, Introduction to the International Human Rights Regimes, (Leiden/Boston : Martinus
Nijhoff Publishers, 2003), hlm.57.
rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law
solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedom of others
and of meeting the just requirements of morality, public order and the general welfare in a
democratic society”. Namun demikian, hak-hak dasar yang dimiliki manusia seperti hak hidup
(right to life) adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam bentuk apapun (inaniable rights)
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 281 ayat (1) UUD 1945. Sejalan dengan ini, maka Putusan
Pengadilan Eropa terkait HAM yang berkaitan dengan hak azasi manusia tampak dari putusan
yang menolak ekstradisi bagi mereka yang diancam hukuman mati. 23
Dalam konteks ini, pengadilan menjadi institusi kelembagaan yang memiliki wewenang dalam
memberikan interpretasi HAM melalui putusannya.24 Namun, apabila dikaitkan dengan masalah
pelaksanaan putusan lintas juridiksi (ekstradisi) di Indonesia, kewenangan yang dimiliki oleh
pengadilan seakan tumpul. Hal ini terjadi dengan adanya mekanisme hak prerogratif yang dimiliki
oleh Presiden sebagai pemutus akhir nasib seseorang. Keputusan Presiden ini pada hakekatnya
bersifat beschikking yang berarti pada dasarnya adalah bahwa otoritas politiklah yang bekerja pada
keputusan ini dan bukan atas dasar putusan yang bersifat yuridis. Kendati pada aturannya
pengadilan tetap dapat memberikan putusan, namun putusan tersebut hanyalah sebagai
pertimbangan bagi Presiden yang tidak mengikat. Keputusan mutlak ada di tangan Presiden.
Padahal, sejatinya masalah ekstradisi sarat dengan persoalan hukum dan bukan persoalan politik
semata. Misalnya, persoalan double criminaty atau ne bis in idem sesuai dengan asas ekstradisi
sangat kental dengan aspek juridis yang berkaitan dengan masalah objek dan subjek pelaku
kejahatan yang hendak diekstradisi. Begitu juga persoalan masa penahanan yang sangat erat
kaitannya dengan persoalan hak asasi manusia karena berkaitan dengan perampasan kemerdekaan
seseorang. Menyangkut penangkapan dan penahanan juga merupakan tindakan yang membatasi
dan mengambil kebebasan bergerak seseorang. Kebebasan atau kemerdekaan disini dapat diartikan
sebagai dapat berdiri di tempat mana dan pergi kemana saja yang orang kehendaki. Kebebasan dan
kemerdekaan begerak merupakan salah satu hak asasi manusia. Oleh karena itu, dalam melakukan
penangkapan dan penahanan, penyidik, penuntut umum atau hakim haruslah bersikap hati-hati dan
penuh rasa tanggungjawab baik dari segi hukum maupun moral.25
Terkait dengan masalah penahanan yang menurut Bemmelen bahwa penahanan adalah
sebagai suatu pedang yang memenggal kedua belah pihak, karena tindakan yang begis ini dapat
dikenakan pada orang-orang yang belum mendapat keputusan dari hakim, sehingga mungkin pula
terkena pada pihak-pihak yang mungkin tidak bersalah,26 maka persoalan penahanan menjadi
persoalan yang sangat mendasar menyangkut HAM. Di Amerika misalnya ada suatu prinsip yang
luas dipraktekkan yakni penerapan prinsip “Miranda Warning” (Miranda Rules) yaitu hak yang
diberikan kepada seorang yang ditangkap untuk tetap diam dan tidak perlu bicara (remain silent)
sebelum menunjuk pengacara. Praktek ini diberlakukan atas suatu peristiwa penangkapan secara


23
Terkait pembatasan HAM lihat Manfred Novak, Introduction to the Internatonal Human Rights Regime,
https://www.jstor.org/stable/24675312?seq=1#page_scan_tab_contents, diakses tanggal 29 January 2019.
24
Para scholars memberi tiga kategorial HAM yakni “generasi pertama” terdiri dari hak-hak sipil dan
politik (civil and political rights) yang berasal dari konsep HAM yang dipelopori John Locke, Rousseau dan pemikir
lain yang subur di Eropa; “generasi kedua” terdiri dari hak-hak selain terkait hak sipil dan politik, juga mencakup hak
ekonomi, budaya dan social. Sedangkan “generasi ke tiga” meluputi hak terkait “self-determination and the right to
the development” yang dipelopori negara berkembang. Lihat D.J.Harris, Op Cit, hlm.625.
25
Hukum Acara Pidana jilid 1 58.
26
Melalui Peraturan Pemerintah Nomor : 92 tahun 2015 tentang Pelaksanan KUHAP sebagai revisi atas PP
No.27 tahun 1982, korban salah tangkap dapat menuntut ganti rugi hingga 600 juta rupiah dari sebelumnya hanya 3
juta rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 hurf b dan Pasal 95 KUHP mengenai ganti rugi.
sewenang-wenang untuk memeras pengakuan secara illegal atas diri seorang tersangka bernama
Ernesto Miranda pada tahun 1966. Penerapan prinsip ini juga dapat dipandang sebagai wujud
penghargaan hak-hak asasi tersangka.27


27
Lihat Vibeke Norgaard Marti with Matthew Frederick, 101 Things I Learned in Law School, (New York-
Boston : Grand Central Publihsing, 2013), hlm.83.

Anda mungkin juga menyukai