Anda di halaman 1dari 4

Nama Nabila Adellia

Nim 11000120140686
Mata Kuliah Hukum dan Hak Asasi Manusia N

JAWABAN TUGAS

1. Resume tentang Perkembangan Pemikiran HAM

Jika diruntut jauh ke belakang, sesungguhnya wacana HAM telah hidup bahkan sejak
jaman Yunani Kuno dan Romawi ketika terjadi perdebatan kontroversial yang menggeser
hak objektif dan hak subjektif. Ketika itu sudah dikenal konsep hak, namun hak ini tidak
melekat pada semua orang, melainkan hanya dimiliki sebagian orang sesuai status,
kolektivitas, dan kelas. Magna Carta pada 1215 kemudian menekankan hak atas kepemilikan
melampaui kelas baron (Freeman 2002).
Pada perkembangannya kemudian, konsepsi hukum alamiah mempengaruhi
perkembangan sosial di Amerika Serikat pada abad 18. Mereka menghubungkan kebebasan
beragama dengan perjuangan kebebasan politik. Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat
1776 mengekspresikan gagasan Locke, yaitu bahwa setiap laki-laki diciptakan setara dan
mereka memiliki hak yang tidak bisa dicabut, terkait dengan hidup, kebebasan, dan
kebahagiaan. Untuk mengamankan hak-hak ini, pemerintah dibentuk oleh laki-laki. Jika
pemerintah merusak hak-hak ini, maka rakyat berhak untuk mengubah atau menghapus
pemerintahan. Di Amerika juga lahir The Virginia Declaration of Rights. Deklarasi ini
mencantumkan bahwa kebebasan pers, kebebasan beragama, dan hak-hak yang diturunkan
dari proses hukum sebagai kebebasan khusus yang dilindungi dari intervensi pemerintah.
Ada pula Bill of Rights 1791 yang memasukkan serangkaian hak, mulai dari hak atas
kebebasan beragama, kebebasan pers, kebebasan ekspresi dan berkumpul, perlindungan
dari penangkapan tidak sah, hingga hak-hak hukum. Hak-hak ini berbasis pada preseden
historis, tetapi dijustifikasi oleh teori hak alamiah (Freeman 2002).
Sementara itu, di Eropa, benih-benih perlindungan manusia oleh negara
menemukan momentum awalnya pada Perdamaian Westphalia (1648), yang mengakhiri
Perang Tiga Puluh Tahun, menetapkan asas persamaan hak bagi agama Katolik Roma dan
Protestan di Jerman (Asplund 2008). Pada abad 19—ketika garis perbatasan negara di Eropa
tidak jelas dan memungkinkan setiap orang hidup di wilayah yang bukan negaranya—
lahirlah doktrin yang dikembangkan Grotius tentang Intervensi Kemanusiaan dan
perlindungan negara atas orang asing. Intervensi kemanusiaan ini fokus pada kelompok
minoritas yang hidup di wilayah negara lain. Doktrin ini memberikan hak yang sah untuk
suatu intervensi militer dalam rangka melindungi penduduk yang berada di negara lain dari
perlakuan yang tidak manusiawi (Asplund 2008, Mun’im 2006: 3—5).
Pada jaman pencerahan, teori hukum alamiah dan kontrak sosial dihujani kritik,
sebagian datang dari Burke, Bentham, dan Marx. Bagi Burke dan Bentham, teori alamiah dan
kontrak sosial tidak bisa dikonfirmasi dan diverifikasi kebenarannya serta bersifat ahistoris
dan imajiner. Marx mengritik bahwa teori hak alamiah mengekspresikan kepentingan kelas
borjuasi dan merefleksikan ketidaksetaraan struktur masyarakat berbasis kelas. Bagi Marx,
konsepsi hak menurut teori ini mengabaikan pentingnya buruh, produksi, dan kesejahteraan
manusia (Freeman 2002: 29).
Namun berbagai kritik itu tidak melunturkan pengaruh teori hukum alamiah. Teori
ini kembali naik panggung setelah dunia diguncang kebiadaban dan kebengisan selama
Perang Dunia II. Kembalinya teori ini tercermin dari pengesahan Deklarasi Universal Hak-hak
Asasi Manusia (DUHAM) atau dikenal sebagai International Bill of Human Rights yang
menandai momentum baru: internasionalisasi gagasan HAM (Asplund 2008). Sampai titik ini
tampak bahwa HAM sering dikaitkan dengan perdebatan teori hak alamiah, teori kontrak
sosial, konteks sosial era kegelapan (kolaborasi negatif negara dan gereja) pada abad
pertengahan, serta konteks sosial Perang Dunia I, Perang Dunia II, dan Perang Dingin.
Dokumen-dokumen penting HAM kontemporer, utamanya DUHAM, dilahirkan dalam
konteks sosial yang mengijinkan perlakukan keji, bengis, dan tidak manusiawi yang dilakukan
oleh, utamanya, aparat negara terhadap individu atau kelompok individu (Baderin 2007).

2. Resume tentang Teori HAM


a. Teori Hukum Kodrati Pemikiran yang kemudian melahirkan teori hukum kodrati
tidak lepas dari pengaruh tulisan-tulian santo Thomas Aquinas. Menurut Aquinas,
hukum kodrati merupakan bagian dari hukum Tuhan yang dapat diketahui melalui
penalaran manusia. Gagasan Aquinas meletakan dasar-dasar mengenai hak individu
yang bersifat otonom. Setiap manusia dianugrahi identitas individual yang unik oleh
Tuhan, dan hal ini terpisah oleh Negara. Namun gagasan Aquinas menuai banyak
kritik karena tidak empiris, bagaimana kita tahu Tuhan telah memberikan hak
tertentu pada semua orang. Hugo de Groot, atau dekenal dengan Grotius,
mengembangkan lebih lanjut teori hukum kodrat Aquinas dengan memutus asal-
usulnya yang theistic dan membuatnya menjadi produk pemikiran sekuler yang
rasional. Menurut Grotius eksistensi hukum kodtrat dapat diketahui dengan
menggunakan penalaran yang benar, dan derajat kesahihannya tidak bergantung
pada Tuhan. Hukum kodrati yang merupakan landasan hukum positif atau hukum
tertulis, dapat dirasionalkan dengan menggunakan aksional logika dan ilmu ukur.
Sepanjang Abad 17, pandangan Grotius terus disempurnakan. Melalui teori ini hak-
hak individu yang subyekstif diterima dan diakui.
b. Teori Positivisme atau Utilitarian Gagasan hak asasi manusia yang mendasarkan
pada pandangan hukum kodrati mendapat tantangan serius pada Abad ke-19. Ialah
Edmund Burke, seorang kebangsaan Irlandia yang resah akan Revolusi Perancis,
yang mempropagandakan ―rekaan yang menakutkan mengenai persamaan
manusia‖. Burke menuduh bahwa penyusun “Declaration of the Rihght of Man and
of the Citizen” merupakan ide-ide yang tidak benar dan harapan yang sia-sia pada
manusia yang sudah ditakdirkan menjalani hidup yang tidak jelas dengan susah
payah. Hume, seorang filsuf asal Skotlandia, berpandangan bahwa teori hukum
kodrati mencampuradukan antara apa yang ada (is) dan apa yang seharusnya
(ought). Apa yang ada adalah fakta yang dapat dibuktikan keberadaannya secara
empiris dan dapat diperiksa kebenarannya. Di sini orang tidak dapat berdebat benar
atau salah, karena keberadaannya dapat dibuktikan dan diuji secara empiris.
Sementara apa yang seharusnya (ought) adalah prinsip moralitas, yakni realitas yang
secara obyektif tidak dapat dibuktikan keberadaannya. Dalam moralitas orang dapat
berdebat benar atau salah. Menurut Hume, hukum harus harus memisahkan secara
tegas apa yang ada dengan moralitas. Teori hukum kodrati hanya berada pada
wilayah moralitas dan tidak bertolak pada system hukum yang formal. Dalam
pandangan teori positivisme hak barulah ada jika ada hukum yang telah
mengaturnya. Moralitas juga harus dipisah secara tegas dalam dimensi hukum.
Adapun kepemilikan hak dari tiap individui bisa dinikmati apabila diberikan secara
resmi oleh penguasa atau Negara. Dan yang paling menonjol dalam pandangan ini
ialah mempriorotaskan kesejahteraan mayoritas. Sedangkan kelompok minoritas
yang preferensinya tidak diwakili oleh mayoritas bisa diabaikan dan kehilangan hak-
haknya.
c. Teori keadilan lahir dari kritik terhadap teori positivism. Tokoh yang
mengembangkan teori ini ialah Ronald Drowkin dan John Rawls. Teori Drowkin
sangat mendasarkan pada kewajiban untuk memperlakukan warganya secara sama
yang di emban Negara. Tentunya, nilai-nilai moral, kekuasaan, atau menggunakan
pendasaran lainnya sebagai alasan untuk mengesampingkan hak asasi manusia
kecuali prinsip perlakuan sama itu sendiri. Oleh karenanya hak asasi manusia
dimaksudkan sebagai benteng atau trump dalam istilah yang digunakannya sendiri
individu atas kehendak public yang merugikan atau yang menjadikannya tidak
mendapat perlakuan yang sama. Tapi tidak semua hak memiliki natur sebagai trump
dapat dijadikan sebagai benteng terhadap kehendak public. Kelompok hak yang
tergolong dalam kelompok ini adalah non-hak asasi manusia hak yang tidak
fundamental. Missal, hak untuk mendirikan sebuah tempat tinggal di suatu tempat.
Hak seperti ini dapat dilanggar oleh pemerintah tetapi apabila didasarkan pada
alasan terdapatnya kepentingan umum yang lebih besar.

3. Resume tentah Sejarah Perkembangan HAM

a. MAGNA CHARTA (1215)
Piagam perjanjian anatara Raja John dari Inggris dengan para bangsawan disebut Magna
Charta. Isinya adalah pemberian jaminan beberapa hak oleh raja kepada para bangsawan
beserta keturunannya,seperti hak untuk tidak dipenjarakan tanpa adanya pemeriksaan
pengadilan. Jaminan itu diberikan sebagai balasan atas bantuan biaya pemerintahan yang
telah diberikan oleh para bangsawan. Sejak saat itu,jaminan hak tersebut berkembang dan
menjadi bagian dari sistem konstitusional Inggris.
 
b. Revolusi Amerika (1776)
Perang kemerdekaan rakyat Amerika Serikat saat melawan penjajahan Inggris disebut
Revolusi Amerika. Declarational of Independence (Deklarasi Kemerdekaan) dan Amerika
Serikat menjadi negara merdeka pada tanggal 4 Juli 1776 merupakan hasil dari revolusi itu.
 
c. Revolusi Prancis (1789)
Revolusi Prancis adalah bentuk perlawanan rakyat Prancis kepada rajanya sendiri (Louis XVI)
yang telah bertindak sewenang-wenang dan absolut. Declaration droits de fhomme et du
citoyen (Pernyataan Hak-Hak Manusia dan Warga Negara) dihasilkan Revolusi Prancis.
Pernyataan ini memuat tiga hal: hak atas kebebasan (liberty), kesamaan (egality), dan
persaudaraan (fraternite). Dalam perkembangannya, pemahaman mengenai HAM makin
luas. Sejak permulaan abad ke-20, konsep hak asasi berkembang menjadi empat macam
kebebasan (The Four Freedom). Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Presiden
Amerika Serikat, Franklin D. Rooselvelt.
Keempat macam kebebasan itu meliputi :
a.Kebebasan untuk beragama (freedom of religion);
b.Kebebasan untuk berbicara dan berpendapat (freedom of speech);
c.Kebebasan dari kemelaratan (freedom from want);
d.kebebasan dari ketakutan (freedom from fear).
 
 
Perkembangan HAM di Indonesia
a) Periode sebelum Kemerdekaan (1908-1945)
Pemikiran HAM pada masa sebelum kemerdekaan dapat dilihat dalam sejarah kemunculan
organisasi. Pergerakan Nasonal Budi Oetomo (1908), Sarekat Islam (1911), Indesche Partij
(1912), Perhimpunan Indonesia (1925), Partai Nasional Indonesia (1927). Lahirnya
pergerakan–pergerakan yang menjunjung berdirinya HAM seperti ini tak lepas dari
pelangaran HAM yang dilakukan oleh penguasa (penjajah). Dalam sejarah pemikiran HAM di
Indonesia Boedi Oetomo merupakan organisasi pertama yang menyuarakan kesadaran
berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi-petisi yang di tunjukan ke pada
pemerintah kolonial maupun lewat tulisan di surat kabar.
Periode setelah kemerdekaan (1945-sekarang)
Perdebatan tentang HAM berlanjut sampai periode paska kemrdekaan:
 
b) Periode 1945-1950
Pemikiran HAM pada periode ini menekankan wacana untuk merdeka (Self Determination),
hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik mulai didirikan, serta hak
kebebasan untuk menyampaikan pendapat terutama di Parlemen.
 
c) Periode 1950-1959
Periode ini dikenal dengan periode parlementer, menurut catatan Bagir Manan, masa
gemilang sejarah HAM di Indonesia tercrmin dalam empat indikator HAM:
munculnya partai politik dengan berbagai idiologi, adanya kebebasan pers, pelaksanan
pemilihan umum secara aman, bebas dan demokratris, kontrol parlemen atas eksekutif.
 
d) Periode 1959-1966
Periode ini merupakan masa berakhirnya demokrasi liberal dan digantikan dengan
demokrasi terpimpin yang terpusat pada kekuasan persiden Seokarno, demokrasi terpimpin
(Guided Democracy) tidak lain sebagai bentuk penolakan presiden Seokarno terhadap
demokrasi parlementer yang dinilai merupakan produk barat.

Anda mungkin juga menyukai