Analisis Kasus Ekstradisi Roman Polanski: Menyangkut Hak Asasi Manusia ,Hukum
Nasional dan Hukum Internasional
Disusun Oleh
Kelas C
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2022
1
DAFTAR ISI
MAKALAH.....................................................................................................................................1
DAFTAR ISI....................................................................................................................................2
BAB I.............................................................................................................................................3
PENDAHULUAN........................................................................................................................3
BAB II............................................................................................................................................5
PERMASALAHAN......................................................................................................................5
BAB III...........................................................................................................................................6
ANALISIS KASUS DAN PEMBAHASAN........................................................................................6
A. Ekstradisi dan Kasus Roman Polanski...........................................................................6
B. Perlindungan Hak Asasi Manusia Bagi Korban dan Pelaku.........................................11
C. Perlindungan Hukum Yang Dapat Ditegakkan Dalam Hukum Internasional Dan
Nasional..............................................................................................................................16
BAB III.........................................................................................................................................19
PENUTUP................................................................................................................................19
A. KESIMPULAN..............................................................................................................19
B. Saran...........................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................................21
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
Di Indonesia, ekstradisi dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2011 tentang Ekstradisi, yang merupakan implementasi dari Konvensi
Ekstradisi Interpol yang ditandatangani oleh Indonesia.Ekstradisi di Indonesia dapat
dilakukan jika seseorang yang dituduh melakukan tindak pidana di suatu negara lain,
tidak tersedia di negara tersebut untuk diadili atau dihukum, dan kemudian berada di
Indonesia. Negara yang meminta ekstradisi harus memberikan bukti yang cukup
bahwa seseorang tersebut telah melakukan tindak pidana di negara tersebut, serta
harus memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2011 tentang Ekstradisi.
Namun disini penulis akan membahas tentang kasus nyata ekstradisi yaitu
kasus Kasus Roman Polanski adalah kasus ekstradisi yang terjadi pada tahun 1978, di
mana sineas Prancis Roman Polanski dituduh melakukan seks dengan remaja di
Amerika Serikat. Polanski diadili di pengadilan di Amerika Serikat dan dijatuhi hukuman
penjara, tetapi kemudian melarikan diri ke Prancis sebelum hukuman tersebut dapat
dilaksanakan.Setelah itu, Amerika Serikat meminta ekstradisi Polanski ke Amerika
Serikat untuk menjalani hukuman penjara. Namun, Prancis menolak permintaan
ekstradisi tersebut, karena Prancis tidak mengakui hukuman penjara di Amerika
Serikat sebagai hukuman yang layak untuk tindak pidana yang dilakukan Polanski.
Kasus ini menjadi perhatian publik karena menyangkut hak asasi manusia dan
hukum internasional, serta pertentangan antara Prancis dan Amerika Serikat tentang
kewenangan untuk menghukum Polanski. Kasus ini juga menyebabkan Polanski harus
hidup sebagai buronan selama bertahun-tahun, karena takut diekstradisi ke Amerika
Serikat jika kembali ke Prancis.
4
BAB II
PERMASALAHAN
1. Apa yang dimaksud dengan Ekstradisi dan bagaimana kasus Roman Polanski?
2. Bagaimana perlindungan Hak Asasi Manusia bagi korban dan pelaku?
3. Bagaimana perlindungan Hukum yang dapat ditegakkan dalam Hukum
Internasional dan Nasional?
5
6
BAB II
Ada beberapa pengertian ekstradisi, baik yang diatur dalam peraturan internasional
maupun nasional, serta yang dikeluarkan oleh para ahli, yaitu :
1. Pasal 1 (a) Harvard Research Draft Convention on Extradition ““Extradition is the
formal surrender of a person by a State to another state for prosecution of
punishment.”
2. Pasal 1 undang-undang nomor 1 tahun 1979 : “Ekstradisi adalah penyerahan
oleh suatu Negara kepada Negara yang meminta penyerahan seseorang yang
disangka atau dipidana
3. J. G. Starke : “The term extradition denotes to the process whereby under treaty
or upon a basis of reciprocity one state surrenders to another state at its request
a person accused or convicted of a criminal offence committed against the laws
of the requesting state competent to try the alleged offender.”1
4. I Wayan Parthiana : “Ekstradisi adalah penyerahan yang dilakukan secara
formal, baik berdasarkan perjanjian ekstradisi yang diadakan sebelumnya atau
berdasarkan prinsip timbal balik, atas seseorang yang dituduh melakukan tindak
pidana kejahatan (tersangka, tertuduh, terdakwa) atau atas seseorang yang telah
dijatuhi hukuman atas kejahatan yang dilakukannya (terhukum, terpidana), oleh
negara tempatnya melarikan diri atau berada atau bersembunyi, kepada Negara
yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukumnya, atas permintaan
dari Negara tersebut dengan tujuan untuk mengadili atau melaksanakan
hukumannya.”2
1
J.G. Starke, An Introduction to International Law, 7th edition, Butterworths, London ,halaman 348.
2
I Wayan Parthiana, Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia, Penerbit CV
Mandar Maju, Bandung, 1990, halaman 12-13.
7
Konvensi Wina 1969 yang diatur pada pasal 2 ayat (1a) yang berbunyi :”Treaty means
an international agreement concluded between states in written form and governed by
international law, whatever its particular designation”.3 Dan dengan kata lain ekstradisi
tidak dapat dilakukan sebelum adanya perjanjian antara negara peminta dengan
negara diminta, karena dalam konvensi disebutkan bahwa harus adanya kesepakatan
antara kedua negara yang terlibat.
Untuk dapat disebut sebagai ekstradisi harus memenuhi beberapa unsur. Unsur-unsur
tersebut adalah :
3
Konvensi Wina 1969
4
Ivan Anthony Shearer, Extradition in International Law, Manchester University Press, Oceana
Publication Inc, 1971, halaman 23-24.
8
2. Unsur objek, yaitu orang yang menjadi objek ekstradisi, yaitu si pelaku
kejahatan. Walaupun pelaku dikatagorikan sebagai “objek,” bukan
berarti pelaku diperlakukan seperti benda yang merupakan objek
hukum, namun objek disini bahwa si pelaku dijadikan sebagai objek
perjanjian namun dengan memperhatikan berbagai hak dan kewajiban
pelaku sebagai seorang manusia.
3. Unsur proses ekstradisi, yaitu meliputi berbagai prosedur yang harus
dilalui untuk mengembalikan pelaku ke Negara Peminta. Proses
ekstradisi terdiri dari :
a. Adanya permintaan dari Negara Peminta kepada Negara
Diminta;
b. Permintaan tersebut haruslah didahului oleh perjanjian
internasional mengenai ekstradisi antara kedua Negara;
c. Jika kedua Negara belum membuat perjanjian ekstradisi, maka
asas resiprositas (timbal balik) dapat diberlakukan;
d. Negara Diminta memproses permintaan Negara Peminta sesuai
dengan aturan perundang-undangan yang berlaku di Negara
Diminta;
e. Jika Negara diminta bersedia menyerahkan pelaku kejahatan
tersebut, maka terjadilah ekstradisi.
4. Unsur tujuan, yaitu tujuan permintaan ekstradisi dari Negara Peminta
kepada Negara Diminta. Tujuan ekstradisi adalah untuk mengadili atau
menghukum pelaku kejahatan yang melarikan diri. Jika pelaku
kejahatan tidak diekstradisi berarti bahwa pelaku kejahatan tidak
mempertanggungjawabkan perbuatannya, sehingga tujuan
pemberantasan kejahatan tidak tercapai.
9
Menurut Geimer dalam wawancara tahun 2003, "Semuanya berjalan lancar; kemudian
ia meminta saya berganti pakaian, di depannya." Ia menambahkan, "Rasanya hal itu
tidak beres, dan saya tidak ingin kembali untuk pengambilan foto yang kedua."
10
dia muncul di Warsawa tahun 2014. Kantor Kejaksaan Distrik Los Angeles County
sejak lama berkeras bahwa Polanski masih buron dan subjek penangkapan di Amerika
Serikat karena terbang dari negara itu sebelum menjalani hukuman. Kejaksaan
menyatakan kasusnya tidak bisa diselesaikan sampai dia kembali ke California untuk
menghadapi peradilan.
Serta belajar dari kasus Roman Polanski ini sebaiknya setiap negara segera
menyelesaikan kasus yang ada terlebih dahulu sebelum pelaku melakukan rencana
kabur sehingga menjadi buron diberbagai negara jika pelaku tersebut terlihat mendarat
di berbagai negara. Atau juga dapat dilakukan dengan penyelesaian kasus tanpa
memasuki pengadilan dengan cara jalan tengah yang diadakan antara pelaku dan
korban. Di Indonesia sendiri diatur dalam Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU AAPS).
11
B. Perlindungan Hak Asasi Manusia Bagi Korban dan Pelaku
Hak asasi manusia anak terhadap seks bebas tercantum dalam Pasal
34 Konvensi tentang Hak-Hak Anak. Pasal ini menyatakan bahwa anak berhak atas
perlindungan terhadap eksploitasi seksual dan segala bentuk penyiksaan yang
merugikan kesejahteraan anak. Selain itu, Pasal 19 Konvensi tentang Hak-Hak Anak
juga menyatakan bahwa anak berhak atas perlindungan dari kekerasan, penyiksaan,
dan diskriminasi.Hak asasi manusia anak terhadap seks bebas juga tercantum dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Peraturan ini
merupakan undang-undang yang mengatur hak asasi manusia anak di Indonesia.
Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini menyatakan bahwa anak berhak atas perlindungan
terhadap kekerasan, kejahatan seksual, eksploitasi seksual, dan segala bentuk
penyiksaan yang merugikan kesejahteraan anak.
hak asasi manusia anak terhadap seks bebas juga tercantum dalam UU
No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 9 UU ini menyatakan bahwa
anak berhak atas perlindungan terhadap kekerasan, kejahatan seksual, eksploitasi
seksual, dan segala bentuk penyiksaan yang merugikan kesejahteraan anak.
Anak juga manusia dan karenanya menghormati Hak Asasi Anak sama
halnya dengan menghormati Hak Asasi Manusia (HAM) Smith bahkan menguatkan
bahwa secara sempurna, keseluruhan instrumen Hak Asasi Manusia Internasional
12
justru berada pada “jantung “ hak-hak anak. Sayangnya, fakta masih menunjukkan,
anak termasuk sebagian dari kelompok yang rentan terjadi kekerasan Sejalan dengan
itu Shanti Dellyana mengatakan bahwa perlindungan anak merupakan satu usaha
yang mengadakan kondisi di mana setiap anak dapat melaksanakan Hak dan
kewajibannya5
Ada empat butir pengakuan masyarakat Internasional atas hakhak yang di miliki oleh
kaum anak, yakni:
Hak anak tersebut merupakan bagian dari hak asasi manusia yaitu seperangkat
hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan
Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang, demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Hak-hak ini diakui
secara universal, karena hak-hak ini melekat pada manusia dan dinyatakan sebagai
bagian dari kemanusiaan, tanpa memperdulikan warna kulitnya, jenis kelaminnya,
usianya, latar belakang kultural dan agama atau kepercayaan spiritualitasnya.
Dikatakan melekat karena hak-hak itu dimiliki sesiapapun yang manusia berkat kodrat
kelahirannya sebagai manusia dan bukan karena pemberian oleh suatu organisasi
kekuasaan manapun, dan karena dikatakan “melekat” itu pulalah maka pada dasarnya
hak-hak ini tidak sesaatpun boleh dirampas atau dicabut.7
13
anak di banyak bagian dunia adalah gawat sebagai akibat dari keadaan sosial yang
tidak memadai, bencana alam, sengketa senjata, eksploitasi, buta huruf, kelaparan dan
ketelantaran. Pasal 3 ayat konvensi Hak Anah “3. Negara-negara Pihak harus menjamin
bahwa berbagai lembaga, pelayanan, dan fasilitas yang bertanggung jawab atas
perawatan dan perlindungan tentang anak, harus menyesuaikan diri dengan standar-
standar yang ditentukan oleh para penguasa yang berwenang, terutama di bidang
keselamatan, kesehatan, dalam jumlah dan kesesuaian staf, mereka dan juga
pengawasan yang berwenang.”
Pasal 64 ayat (3) UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, bahwa salah
satu bentuk perlindungan khusus bagi anak menjadi korban adalah upaya rehabilitasi,
baik dalam lembaga maupun di luar lembaga. (c) Pelayanan / bantuan medis,
diberikan kepada korban yang menderita secara medis akibat suatu tindak pidana,
yang mengakibatkan penderitaan fisik. Sebagaimana di atur dalam Pasal 90 ayat (1)
UU No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, menjelaskan bahwa
Anak korban dan Anak saksi berhak atas“upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi
sosial, baik di dalam lembaga maupun di luar lembaga”. Yang dimaksud dengan
rehabilitasi medis tersebut adalah proses kegiatan pengobatan secara terpadu dengan
memulihkan kondisi fisik anak, anak korban dan atau anak saksi. Kemudian yang
dimaksud dengan rehabilitasi sosial adalah proses kegiatan pemulihan secara terpadu,
baik fisik, mental maupun sosial, agar anak korban, dan atau anak saksi dapat kembali
melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan di masyarakat. Oleh karena itu, perlu
dibentuknya lembaga sosial untuk menampung kaum perempuan maupun anak yang
menjadi korban tindak pidana. Lembaga penyantun korban semacam ini sudah sangat
mendesak, mengingat viktimisasi yang terjadi di Indonesia pada beberapa tahun
terakhir ini sangat memprihatinkan.
Hak asasi manusia merupakan hak yang diberikan kepada setiap orang secara
universal, tanpa terkecuali, termasuk bagi pelaku kejahatan. Walaupun pelaku
kejahatan melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan hukum dan merugikan orang
lain, hak asasi manusia tetap harus diakui dan dilindungi. Hak asasi manusia yang
terdapat dalam konvensi-konvensi internasional antara lain adalah hak untuk hidup,
hak untuk bebas dari penyiksaan atau kekejaman, hak untuk bebas dari segala bentuk
diskriminasi, hak untuk bebas dari penyiksaan atau penyiksaan seksual, hak untuk
kebebasan pribadi, hak untuk kebebasan dari perbudakan, hak untuk mendapatkan
keadilan, dan hak untuk memperoleh perlindungan terhadap diskriminasi.
14
Namun, hak asasi manusia tidak berlaku tanpa batas. Dalam proses hukum, pelaku
kejahatan harus diadili di pengadilan yang independen dan tidak memihak, sesuai
dengan prinsip-prinsip keadilan yang telah ditentukan dalam hukum. Selain itu, hak
asasi manusia tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk melakukan kejahatan atau
tindakan yang merugikan orang lain.
Di dalam proses peradilan jika dilihat dari aspek hukum pidana sebagaimana yang
diatur dalam KUHAP tujuan peradilan untuk menegakkan hukum secara adil (due
process of law), guna melindungi hak asasi tersangka atau terdakwa merupakan
bagian hakhak warga negara, oleh karena itu perlindungan HAM dalam penegakkan
hukum di pengadilan harus benar-benar adil dan jujur.
Hak Asasi Manusia dapatdiuraikan dan diberi definisikan secara luas dan mencangkup
banyak aspek-aspek kehidupan masyarakat dan manusia. Hal itu di ungkapkan
sebagai berikut:
15
Pasal 1 angka 12 UU No. 8 Tahun 1981, menjelaskan bahwa:“Upaya hukum adalah
hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan
yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk
mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini.”Dari ketentuan di atas, dapat dipahami bahwa upaya
hukum tersebut memiliki unsur-unsur, antara lain yaitu:
a. Hak Terdakwa untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa:
1. Perlawanan
2. Banding
3. Kasasi
Dengan hal itu hak asasi manusia ialah ditujukan bagi semua umat manusia yang
berada di dunia ini tanpa terkecuali walaupun itu yang telah berbuat kejahatan atau
bukan. Dan telah ada pada prinsip dasar HAM yaitu pertama Prinsip Keadilan (Equity),
dimana di dalamnya menyangkut kesetaraan (equality), non diskriminasi, kesetaraan
dalam mengakses layanan public, terbukanya kesempatan setiap orang untuk
berpartisipasi, kedua Prinsip Martabat (Dignity), dan ketiga Prinsip Humanity.
16
Indonesia telah mengatur peraturan perundang-undangan mengenai ekstradisi yang
diatur dalam Undangundang Nomor 1 Tahun 1979 tentang ekstradisi. Undang-undang
ini dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum bagi pembuatan perjanjian dengan
negara-negara asing maupun untuk menyerahkan seseorang tanpa adanya perjanjian.
Indonesia sendiri sudah lama melakukan perjanjian ekstradisi oleh beberapa negara
dari tahun 1974 sampai sekarang antara lain : Perjanjian ekstradisi dengan Malaysia,
Republik Korea, Republik India, Perjanjian ekstradisi dengan Republik sosialis
Vietnam, Papua Nugini, Republik Rakyat China, Persatuan emirat arab, Kerajaan
Thailand, Republik Philippina, Australia, Republik Singapura, Republik Islam Iran, dan
Hongkong.
1. Asas perjanjian (pasal 2 ayat 1). Asas ini mengatur bahwa ekstradisi baru dapat
dilaksanakan oleh Negara Peminta dan Negara Peminta setelah terlebih dulu
ada perjanjian internasional mengenai ekstradisi antara keduanya;
2. Asas timbal balik (pasal 2 ayat 2). Asas ini mengatur bahwa jika belum ada
perjanjian internasional mengenai ekstradisi antara kedua Negara, maka
ekstradisi tetap dapat dilaksanakan atas dasar hubungan baik dan demi
kepentingan negara;
3. Asas penyerahan pelaku kejahatan (pasal 3 ayat 1). Asas ini mengatur bahwa
yang dapat diekstradisikan adalah orang yang merupakan pelaku kejahatan
dengan status sebagai tersangka atau terpidana;
4. Asas penyerahan pelaku pembantu kejahatan (pasal 3 ayat 2). Asas ini
mengatur bahwa orang yang disangka atau dipidana karena melakukan
pembantuan, percobaan, dan permufakatan untuk melakukan kejahatan juga
dapat diekstradisi, sepanjang perbuatan tersebut merupakan kejahatan di
Negara Peminta;
5. Asas persamaan kejahatan/kejahatan terdaftar (pasal 4 ayat 1). Asas ini
mengatur bahwa ekstradisi dapat dilakukan terhadap pelaku kejahatan yang
tindakannya tersebut diatur dalam daftar kejahatan yang dilampirkan dan
merupakan bagian tak terpisahkan dari Undang-undang ini. Kejahatan-
kejahatan tersebut merupakan kejahatan biasa.
6. Asas kejahatan tidak terdaftar (pasal 4 ayat 2). Asas ini mengatur bahwa
ekstradisi juga dapat dilakukan terhadap kejahatan-kejahatan yang tidak
termasuk dalam daftar lampiran Undang-undang ini, namun kejahatan tersebut
dinilai sebagai kejahatan oleh Negara yang Diminta;
7. Asas tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik (pasal 5 ayat 1), pelaku
kejahatan militer (pasal 6), pelaku kejahatan yang bertalian dengan agama,
keyakinan politik, kewarganegaraan, suku bangsa atau golongan tertentu
(pasal 14). Orang-orang yang disangka atau dituduh melakukan
kejahatankejahatan seperti di atas tidak digolongkan sebagai penjahat karena
17
perbuatan yang dilakukan bukan merupakan tindak pidana biasa. Namun pasal
5 ayat (3) dan dan pasal 6 mengatur bahwa pelaku kejahatan politik dan militer
ini dapat dikestradisi jika telah diperjanjikan oleh kedua Negara sebelumnya;
8. Asas tidak menyerahkan warga Negara sendiri (pasal 7). Asas ini menyatakan
bahwa jika negara Peminta meminta ekstradisi terhadap warga Negara
Indonesia, maka Indonesia tidak akan menyerahkan warganya tersebut, kecuali
jika pemerintah Indonesia merasa jika pelaku lebih baik diadili di Negara
peminta
9. Asas teritorial (pasal 8). Asas ini mengatur bahwa Negara tempat terjadinya
kejahatan (baik sebagian atau seluruh kejahatan) berwenang penuh untuk
mengadili pelaku, sesuai dengan asas terpenting di dalam hukum pidana, yaitu
Lex Locus Delicti (hukum yang berlaku adalah hukum tempat kejahatan
dilakukan), sehingga Indonesia dapat menolak permintaan ekstradisi tersebut.
10. Asas ne bis in idem (pasal 9, 10 dan 11). Asas ini mengatur bahwa Indonesia
dapat menolak mengekstradisi jika pelaku sedang dalam proses pengadilan
untuk kejahatan yang sama (pasal 9), pelaku telah dijatuhi vonnis hakim yang
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk kejahatan yang
sama(pasal 10), atau pelaku telah selesai menjalani hukumannya untuk kasus
yang sama (pasal 11);
11. Asas kadaluarsa (pasal 12). Asas ini mengatur bahwa Indonesia dapat menolak
permintaan ekstradisi atas pelaku kejahatan jika menurut pemerintah Indonesia
hak untuk menuntut dan mengadili pelaku telah kedaluwarsa;
12. Asas tidak menyerahkan pelaku yang diancam pidana mati di Negara Peminta
(pasal 13). Asas ini mengatur bahwa jika kejahatan pelaku diancam hukman
mati di Negara Peminta, sedangkan di Indonesia kejahatan tersebut tidak
dioancam pidana mati, maka ekstradisi akan ditolak, kecuali Negara Peminta
meyakinkan bahwa pelaku tidak akan diancam hukuman mati;
13. Asas kejahatan lain (pasal 15)/ Asas ini mengatur bahwa permintaan ekstradisi
akan ditolak oleh pemerintah Indonesia jika ekstradisi dimintakan untuk
penuntutan dan pemidanaan kejahatan lain yang tidak tercantum dalam
permintaan ekstradisi.
14. Asas tidak menyerahkan pelaku jika akan diserahkan kepada Negara ketiga
(pasal 16). Asas ini mengatur bahwa Indonesia akan menolak mengekstradisi
seseorang yang tidak akan diadili oleh Negara Peminta, melainkan akan
diserahkan kepada Negara ketiga untuk kejahatan lain yang dilakukan diluat
permintaan ekstradisi;
15. Asas penundaan ekstradisi (pasal 17). Asas ini mengatur bahwa pelaksanaan
ekstradisi akan ditunda jika orang yang diminta untuk diekstradisi sedang
menjalani hukuman untuk kejahatan lain yang dilakukan di Indonesia.
8
Anis Widyawati, Pengantar Hukum Pidana (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), 132
18
melaksanakan tugasnya untuk menanggulangi dan memberantas kejahatan yang
melewati batas wilayah negara, ICPO-Interpol mengkoordinasikan kerjasama
internasional kepada National Central Bireau (NCB-Interpol) dari setiap negara
anggota untuk pertukaran data dan informasi serta memberikan pelayanan bantuan
penyidikan.
BAB III
PENUTUP
9
Sapto Handoyo, “Ekstradisi Dalam Hukum Pidana Internasional,” Jurnal Academia 6 (2010): 1–16.
10
Parthiana, Hukum Pidana Internasional Dan Ekstradisi. Op. Cit. h. 128.
19
A. KESIMPULAN
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa ekstradisi memiliki arti
penyerahan orang yang dianggap melakukan kriminalitasoleh suatu negara kepada
negara lain yang diatur dalam perjanjian antara negara yang bersangkutan , yang
mana arti dalam KBBI sama dengan ektradisi pada umumnya yang telah diketahui.
Serta ekstradisi ini adalah perjanjian Internasional yang tunduk pada Konvensi Wina
1969 yang diatur pada pasal 2 ayat (1a) yang berbunyi :”Treaty means an international
agreement concluded between states in written form and governed by international
law, whatever its particular designation”. Dan dengan kata lain ekstradisi tidak dapat
dilakukan sebelum adanya perjanjian antara negara peminta dengan negara diminta,
karena dalam konvensi disebutkan bahwa harus adanya kesepakatan antara kedua
negara yang terlibat.
Hak asasi manusia ialah ditujukan bagi semua umat manusia yang berada di
dunia ini tanpa terkecuali walaupun itu yang telah berbuat kejahatan atau bukan. Dan
telah ada pada prinsip dasar HAM yaitu pertama Prinsip Keadilan (Equity), dimana di
dalamnya menyangkut kesetaraan (equality), non diskriminasi, kesetaraan dalam
mengakses layanan public, terbukanya kesempatan setiap orang untuk berpartisipasi,
kedua Prinsip Martabat (Dignity), dan ketiga Prinsip Humanity.
Hak asasi manusia merupakan hak yang diberikan kepada setiap orang secara
universal, tanpa terkecuali, termasuk bagi pelaku kejahatan. Walaupun pelaku
kejahatan melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan hukum dan merugikan orang
lain, hak asasi manusia tetap harus diakui dan dilindungi. Hak asasi manusia yang
terdapat dalam konvensi-konvensi internasional antara lain adalah hak untuk hidup,
hak untuk bebas dari penyiksaan atau kekejaman, hak untuk bebas dari segala bentuk
diskriminasi, hak untuk bebas dari penyiksaan atau penyiksaan seksual, hak untuk
kebebasan pribadi, hak untuk kebebasan dari perbudakan, hak untuk mendapatkan
20
keadilan, dan hak untuk memperoleh perlindungan terhadap diskriminasi.Namun, hak
asasi manusia tidak berlaku tanpa batas. Dalam proses hukum, pelaku kejahatan
harus diadili di pengadilan yang independen dan tidak memihak, sesuai dengan
prinsip-prinsip keadilan yang telah ditentukan dalam hukum. Selain itu, hak asasi
manusia tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk melakukan kejahatan atau
tindakan yang merugikan orang lain.
B. Saran
Dari Kesimpulan diatas maka ada beberapa saran mengenai Analisis Kasus Ekstradisi
Roman Polanski: Menyangkut Hak Asasi Manusia ,Hukum Nasional dan Hukum
Internasional, sebagai berikut :
DAFTAR PUSTAKA
21
Convention on the Child.Konvensi yang terdiri dari tiga bagian dan 54 pasal ini diadopsi oleh
Resolusi Majelis Umum Nomor 44/25 tanggal 20 november 1989 dan secara efektif
berlaku sejak 2 september 1990..
Handoyo, S. (2010). Ekstradisi Dalam Hukum Pidana Internasional. Jurnal Academia 6, 1-16.
Irmansyah, R. A. (2013). In Hukum Hak Asasi Manusia dan Demokrasi (pp. 62-63). Yogyakarta.
Parthia, I. W. (1990). In Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia
(pp. 12-13). Bandung: Penerbit CV Mandar Maju.
Widyawati, A. (2014). In Pengantar Hukum Pidana (p. 132). Jakarta: Sinar Grafika.
22