Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

Analisis Kasus Ekstradisi Roman Polanski: Menyangkut Hak Asasi Manusia ,Hukum
Nasional dan Hukum Internasional

Disusun Oleh

Nabila Adellia 11000120140686

Kelas C

PROGRAM STUDI S1 HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2022

1
DAFTAR ISI

MAKALAH.....................................................................................................................................1
DAFTAR ISI....................................................................................................................................2
BAB I.............................................................................................................................................3
PENDAHULUAN........................................................................................................................3
BAB II............................................................................................................................................5
PERMASALAHAN......................................................................................................................5
BAB III...........................................................................................................................................6
ANALISIS KASUS DAN PEMBAHASAN........................................................................................6
A. Ekstradisi dan Kasus Roman Polanski...........................................................................6
B. Perlindungan Hak Asasi Manusia Bagi Korban dan Pelaku.........................................11
C. Perlindungan Hukum Yang Dapat Ditegakkan Dalam Hukum Internasional Dan
Nasional..............................................................................................................................16
BAB III.........................................................................................................................................19
PENUTUP................................................................................................................................19
A. KESIMPULAN..............................................................................................................19
B. Saran...........................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................................21

2
BAB I

PENDAHULUAN

Ekstradisi adalah proses penyerahan seseorang dari satu negara ke negara


lain untuk diadili atau dihukum karena tindak pidana yang dilakukan di negara tersebut.
Kasus nyata ekstradisi adalah kasus yang benar-benar terjadi di dunia nyata, di mana
seseorang yang dituduh melakukan tindak pidana di negara lain, diadili dan dihukum di
negara yang menyerahkannya. Ekstradisi biasanya dilakukan atas dasar perjanjian
antarnegara atau konvensi internasional yang mengatur tentang penyerahan tersangka
atau terdakwa tindak pidana ke negara lain. Negara yang menyerahkan harus
memastikan bahwa tindak pidana yang diduga dilakukan seseorang tersebut juga
merupakan tindak pidana di negara yang menerima, dan bahwa seseorang tersebut
akan diadili dengan adil di negara yang menerima.

Ekstradisi sering menjadi perhatian publik karena menyangkut hak asasi


manusia, hukum internasional, dan hubungan antarnegara. Contoh kasus nyata
ekstradisi yang terkenal adalah kasus Roman Polanski, seorang sineas Prancis yang
dituduh melakukan seks dengan remaja di Amerika Serikat, dan kemudian diekstradisi
dari Prancis ke Amerika Serikat untuk diadili. Kasus lain yang terkenal selanjutnya
adalah kasus extradisi Edward Snowden, seorang mantan karyawan CIA yang
membocorkan dokumen rahasia tentang program pengintaian pemerintah Amerika
Serikat ke publik, dan kemudian diekstradisi dari Hong Kong ke Rusia untuk
menghindari hukuman di Amerika Serikat.

Ekstradisi juga sering menjadi perhatian karena adanya pertentangan antara


negara yang menyerahkan dan negara yang menerima, atau karena adanya
kekhawatiran akan keadilan yang tidak adil di negara yang menerima. Negara yang
menyerahkan harus memastikan bahwa tindak pidana yang diduga dilakukan
seseorang tersebut juga merupakan tindak pidana di negara yang menerima, dan
bahwa seseorang tersebut akan diadili dengan adil di negara yang menerima. Jika
tidak, maka ekstradisi dapat ditolak.

3
Di Indonesia, ekstradisi dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2011 tentang Ekstradisi, yang merupakan implementasi dari Konvensi
Ekstradisi Interpol yang ditandatangani oleh Indonesia.Ekstradisi di Indonesia dapat
dilakukan jika seseorang yang dituduh melakukan tindak pidana di suatu negara lain,
tidak tersedia di negara tersebut untuk diadili atau dihukum, dan kemudian berada di
Indonesia. Negara yang meminta ekstradisi harus memberikan bukti yang cukup
bahwa seseorang tersebut telah melakukan tindak pidana di negara tersebut, serta
harus memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2011 tentang Ekstradisi.

Setelah permintaan ekstradisi diterima, maka seseorang yang bersangkutan


akan ditahan oleh pihak kepolisian sementara menunggu proses ekstradisi
berlangsung. Selanjutnya, seseorang tersebut akan diadili di pengadilan untuk
memutuskan apakah ekstradisi tersebut dapat dilakukan atau tidak. Jika ekstradisi
dapat dilakukan, maka seseorang tersebut akan diekstradisi ke negara yang meminta
ekstradisi untuk diadili atau dihukum di sana. Namun, jika ekstradisi tidak dapat
dilakukan, maka seseorang tersebut akan dibebaskan.

Namun disini penulis akan membahas tentang kasus nyata ekstradisi yaitu
kasus Kasus Roman Polanski adalah kasus ekstradisi yang terjadi pada tahun 1978, di
mana sineas Prancis Roman Polanski dituduh melakukan seks dengan remaja di
Amerika Serikat. Polanski diadili di pengadilan di Amerika Serikat dan dijatuhi hukuman
penjara, tetapi kemudian melarikan diri ke Prancis sebelum hukuman tersebut dapat
dilaksanakan.Setelah itu, Amerika Serikat meminta ekstradisi Polanski ke Amerika
Serikat untuk menjalani hukuman penjara. Namun, Prancis menolak permintaan
ekstradisi tersebut, karena Prancis tidak mengakui hukuman penjara di Amerika
Serikat sebagai hukuman yang layak untuk tindak pidana yang dilakukan Polanski.

Kasus ini menjadi perhatian publik karena menyangkut hak asasi manusia dan
hukum internasional, serta pertentangan antara Prancis dan Amerika Serikat tentang
kewenangan untuk menghukum Polanski. Kasus ini juga menyebabkan Polanski harus
hidup sebagai buronan selama bertahun-tahun, karena takut diekstradisi ke Amerika
Serikat jika kembali ke Prancis.

4
BAB II

PERMASALAHAN

Berdasarkan pendahuluan di atas, maka dapat di ambil pembahasan sebagai berikut :

1. Apa yang dimaksud dengan Ekstradisi dan bagaimana kasus Roman Polanski?
2. Bagaimana perlindungan Hak Asasi Manusia bagi korban dan pelaku?
3. Bagaimana perlindungan Hukum yang dapat ditegakkan dalam Hukum
Internasional dan Nasional?

5
6
BAB II

ANALISIS KASUS DAN PEMBAHASAN

A. Ekstradisi dan Kasus Roman Polanski

Ada beberapa pengertian ekstradisi, baik yang diatur dalam peraturan internasional
maupun nasional, serta yang dikeluarkan oleh para ahli, yaitu :
1. Pasal 1 (a) Harvard Research Draft Convention on Extradition ““Extradition is the
formal surrender of a person by a State to another state for prosecution of
punishment.”
2. Pasal 1 undang-undang nomor 1 tahun 1979 : “Ekstradisi adalah penyerahan
oleh suatu Negara kepada Negara yang meminta penyerahan seseorang yang
disangka atau dipidana
3. J. G. Starke : “The term extradition denotes to the process whereby under treaty
or upon a basis of reciprocity one state surrenders to another state at its request
a person accused or convicted of a criminal offence committed against the laws
of the requesting state competent to try the alleged offender.”1
4. I Wayan Parthiana : “Ekstradisi adalah penyerahan yang dilakukan secara
formal, baik berdasarkan perjanjian ekstradisi yang diadakan sebelumnya atau
berdasarkan prinsip timbal balik, atas seseorang yang dituduh melakukan tindak
pidana kejahatan (tersangka, tertuduh, terdakwa) atau atas seseorang yang telah
dijatuhi hukuman atas kejahatan yang dilakukannya (terhukum, terpidana), oleh
negara tempatnya melarikan diri atau berada atau bersembunyi, kepada Negara
yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukumnya, atas permintaan
dari Negara tersebut dengan tujuan untuk mengadili atau melaksanakan
hukumannya.”2

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa ekstradisi memiliki


arti penyerahan orang yang dianggap melakukan kriminalitasoleh suatu negara kepada
negara lain yang diatur dalam perjanjian antara negara yang bersangkutan , yang
mana arti dalam KBBI sama dengan ektradisi pada umumnya yang telah diketahui.
Serta ekstradisi ini adalah perjanjian Internasional yang tunduk pada ketentuan

1
J.G. Starke, An Introduction to International Law, 7th edition, Butterworths, London ,halaman 348.
2
I Wayan Parthiana, Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia, Penerbit CV
Mandar Maju, Bandung, 1990, halaman 12-13.

7
Konvensi Wina 1969 yang diatur pada pasal 2 ayat (1a) yang berbunyi :”Treaty means
an international agreement concluded between states in written form and governed by
international law, whatever its particular designation”.3 Dan dengan kata lain ekstradisi
tidak dapat dilakukan sebelum adanya perjanjian antara negara peminta dengan
negara diminta, karena dalam konvensi disebutkan bahwa harus adanya kesepakatan
antara kedua negara yang terlibat.

Menurut Grotius berdasarkan teorinya aut ounere aut dedere, maka


setiap negara diminta harus menyerahkan pelaku yang diminta oleh negara peminta,
walaupun belum ada perjanjian ekstradisi antara kefua negara, karena Grotius
mendasarkan pada pemikiran bahwa setiap pelaku kejahatan harus dihukum4. Namun
sebaliknya dengan Grotius beberapa ahli mengatakan bahwa jika tidak ada perjanjian
ekstradisi maka negara diminta tidak dapat memiliki kewajiban untuk menyerahkan
pelaku kejahatan kepada negara peminta. Perjanjian ekstradisi merupakan landasan
hukum bagi kedua negara untuk melakukan ekstradisi terhadap palaku kejahatan.

Ekstadisi merupakan sebuah upaya dari suatu negara kepada negara


lain agar negara tersebut menyerahkan orang yang dimaksud untuk diadili di negara
yang memintanya. Syarat ekstradisi pada umumnya adalah kejahatan yang dilakukan
merupakan kejahatan yang diakui oleh kedua negara. Ini artinya ada kesepahaman
antar negara mengenai kejahatan apa yang dapat dilakukan ekstradisi, tentu hal ini
melalui Perjanjian ekstradisi itu sendiri.

Untuk dapat disebut sebagai ekstradisi harus memenuhi beberapa unsur. Unsur-unsur
tersebut adalah :

1. Unsur subjek, yaitu :


a. Negara Diminta (Requested State), yaitu Negara tempat pelaku berada
atau bersembunyi.
b. Negara Peminta (Requesting State), yaitu Negara yang memiiki
yurisdiksi untuk mengadili pelaku karena :
1) merupakan Locus delicti (tempat perbuatan dilakukan);
2) Si pelaku adalah warga Negara dari Negara Peminta.

3
Konvensi Wina 1969
4
Ivan Anthony Shearer, Extradition in International Law, Manchester University Press, Oceana
Publication Inc, 1971, halaman 23-24.

8
2. Unsur objek, yaitu orang yang menjadi objek ekstradisi, yaitu si pelaku
kejahatan. Walaupun pelaku dikatagorikan sebagai “objek,” bukan
berarti pelaku diperlakukan seperti benda yang merupakan objek
hukum, namun objek disini bahwa si pelaku dijadikan sebagai objek
perjanjian namun dengan memperhatikan berbagai hak dan kewajiban
pelaku sebagai seorang manusia.
3. Unsur proses ekstradisi, yaitu meliputi berbagai prosedur yang harus
dilalui untuk mengembalikan pelaku ke Negara Peminta. Proses
ekstradisi terdiri dari :
a. Adanya permintaan dari Negara Peminta kepada Negara
Diminta;
b. Permintaan tersebut haruslah didahului oleh perjanjian
internasional mengenai ekstradisi antara kedua Negara;
c. Jika kedua Negara belum membuat perjanjian ekstradisi, maka
asas resiprositas (timbal balik) dapat diberlakukan;
d. Negara Diminta memproses permintaan Negara Peminta sesuai
dengan aturan perundang-undangan yang berlaku di Negara
Diminta;
e. Jika Negara diminta bersedia menyerahkan pelaku kejahatan
tersebut, maka terjadilah ekstradisi.
4. Unsur tujuan, yaitu tujuan permintaan ekstradisi dari Negara Peminta
kepada Negara Diminta. Tujuan ekstradisi adalah untuk mengadili atau
menghukum pelaku kejahatan yang melarikan diri. Jika pelaku
kejahatan tidak diekstradisi berarti bahwa pelaku kejahatan tidak
mempertanggungjawabkan perbuatannya, sehingga tujuan
pemberantasan kejahatan tidak tercapai.

Dimana kasus Roman Polanski berlangsung sangat lama karena Roman


Polanski selalu kabur dan menjadi buron pada tahun 1977, kasus ini bermula ketika
Polański meminta ibunda Geimer apakah ia dapat memotret gadis 13 tahun itu untuk
majalah Vogue versi Prancis. Ibunya mengizinkan pengambilan foto secara privat.
Menurut salinan kesaksian, Polański memotret Geimer pada 20 Februari 1977, di
Hollywood Hills. Pengambilan foto ini terjadi tanpa insiden, kecuali bahwa Polański
meminta Geimer berpose telanjang dada untuk beberapa fotonya..

9
Menurut Geimer dalam wawancara tahun 2003, "Semuanya berjalan lancar; kemudian
ia meminta saya berganti pakaian, di depannya." Ia menambahkan, "Rasanya hal itu
tidak beres, dan saya tidak ingin kembali untuk pengambilan foto yang kedua."

Namun, setelah pengambilan foto yang pertama, ia setuju untuk yang


kedua, yang terjadi pada 10 Maret 1977, di daerah Mulholland di Los Angeles, dekat
estat Jack Nicholson. "Kami melakukan pengambilan foto dengan saya meminum
sampanye," kata Geimer. "Menjelang akhir acara pengambilan foto keadaan menjadi
sedikit menakutkan, dan saya menyadari bahwa ia mempunyai maksud lain sementara
saya tahu bahwa saya tidak berada di tempat yang semestinya. Saya tidak tahu persis
bagaimana saya bisa keluar dari tempat itu." Geimer menuduh bahwa Polański
memperkosanya setelah memberikan kepadanya campuran sampanye dan quaaludes.
Dalam wawancara 2003, Geimer mengatakan bahwa ia melawan. "Saya berulang-
ulang berkata tidak, namun akhirnya saya menyerah," katanya. Polanski kabur dari
Amerika pada tahun 1978 setelah divonis bersalah melakukan hubungan seks dengan
gadis di bawah umur. Selama ini dia tinggal di Paris, Prancis, untuk menghindari
ekstradisi.

Seorang hakim di satu pengadilan di Kota Krakow memutuskan


menolak ekstradisi, menyatakan bahwa kehakiman Amerika Serikat telah melanggar
hak Polanski pada masa lalu dan bahwa dia akan menjadi subjek pelanggaran jika
diserahkan sekarang. Ekstradisi tidak dapat diterima," kata hakim Dariusz Mazur.
Kasus ini selesai, setidaknya di Polandia, saya harap. Saya bisa bernafas lega. Sulit
digambarkan seberapa besar beban waktu, energi dan usahanya, seberapa besar
penderitaan yang dibawa ke keluarga saya," kata Polanski dalam konferensi pers di
Krakow. Ini sederhana. Saya mengaku salah, saya ke penjara. Saya menjalani
hukuman. Ini selesai," katanya seperti dikutip kantor berita Reuters.

Polanski mengaku bersalah telah berhubungan seks dengan anak


perempuan berusia 13 tahun selama sesi pemotretan di Los Angeles tahun 1977. Dia
menjalani hukuman penjara 42 hari setelah tawar menawar tapi kemudian
meninggalkan Amerika Serikat karena khawatir mendapat hukuman penjara lebih lama
jika kesepakatan ditolak. Tahun 2009 dia ditangkap di Zurich dengan surat perintah
penangkapan dari Amerika Serikat dan menjadi tahanan rumah.

Dia dibebaskan tahun 2010 setelah otoritas Swiss memutuskan tidak


mengekstradisi dia. Amerika Serikat meminta ekstradisi Polanski dari Polandia setelah

10
dia muncul di Warsawa tahun 2014. Kantor Kejaksaan Distrik Los Angeles County
sejak lama berkeras bahwa Polanski masih buron dan subjek penangkapan di Amerika
Serikat karena terbang dari negara itu sebelum menjalani hukuman. Kejaksaan
menyatakan kasusnya tidak bisa diselesaikan sampai dia kembali ke California untuk
menghadapi peradilan.

Dimana menurut penulis Roman Polanski diawal sudah mengakui


kesalahannya dan bersedia untuk dijatuhi hukuman penjara namun dia berpikir bahwa
nanti hukuman itu akan berlangsung lama sehingga Roman Polanski kabur agar tidak
dijatuhi hukuman penjara yang berlangsung lama. Serta jika Polandia tidak melakukan
perjanjian antara amerika maka tidak akan bisa terjadi perjanjian Ekstradisi ini, karena
tidak adanya keterkaitan saru sama lain, dimana ekstradisi ada jika terdapat perjanjian
antara dua negara yang bersangkutan.

Serta belajar dari kasus Roman Polanski ini sebaiknya setiap negara segera
menyelesaikan kasus yang ada terlebih dahulu sebelum pelaku melakukan rencana
kabur sehingga menjadi buron diberbagai negara jika pelaku tersebut terlihat mendarat
di berbagai negara. Atau juga dapat dilakukan dengan penyelesaian kasus tanpa
memasuki pengadilan dengan cara jalan tengah yang diadakan antara pelaku dan
korban. Di Indonesia sendiri diatur dalam Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU AAPS).

11
B. Perlindungan Hak Asasi Manusia Bagi Korban dan Pelaku

Anak-anak merupakan kelompok yang sangat rentan dan membutuhkan


perlindungan khusus dari negara dan masyarakat. Seks bebas dapat membahayakan
kesehatan dan keberlangsungan hidup anak-anak, sehingga hak asasi manusia anak
harus dijaga dan dilindungi.

Hak asasi manusia anak tercantum dalam Konvensi tentang Hak-Hak


Anak yang disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1989.
Konvensi ini merupakan instrumen hukum internasional yang mengatur hak asasi
manusia anak dan memberikan standar minimum yang harus dipenuhi oleh negara-
negara anggotanya. Konvensi ini menetapkan bahwa anak berhak atas perlindungan,
pemeliharaan, dan bantuan yang diperlukan untuk tumbuh dan berkembang secara
optimal.

Hak asasi manusia anak terhadap seks bebas tercantum dalam Pasal
34 Konvensi tentang Hak-Hak Anak. Pasal ini menyatakan bahwa anak berhak atas
perlindungan terhadap eksploitasi seksual dan segala bentuk penyiksaan yang
merugikan kesejahteraan anak. Selain itu, Pasal 19 Konvensi tentang Hak-Hak Anak
juga menyatakan bahwa anak berhak atas perlindungan dari kekerasan, penyiksaan,
dan diskriminasi.Hak asasi manusia anak terhadap seks bebas juga tercantum dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Peraturan ini
merupakan undang-undang yang mengatur hak asasi manusia anak di Indonesia.
Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini menyatakan bahwa anak berhak atas perlindungan
terhadap kekerasan, kejahatan seksual, eksploitasi seksual, dan segala bentuk
penyiksaan yang merugikan kesejahteraan anak.

hak asasi manusia anak terhadap seks bebas juga tercantum dalam UU
No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 9 UU ini menyatakan bahwa
anak berhak atas perlindungan terhadap kekerasan, kejahatan seksual, eksploitasi
seksual, dan segala bentuk penyiksaan yang merugikan kesejahteraan anak.

Anak juga manusia dan karenanya menghormati Hak Asasi Anak sama
halnya dengan menghormati Hak Asasi Manusia (HAM) Smith bahkan menguatkan
bahwa secara sempurna, keseluruhan instrumen Hak Asasi Manusia Internasional

12
justru berada pada “jantung “ hak-hak anak. Sayangnya, fakta masih menunjukkan,
anak termasuk sebagian dari kelompok yang rentan terjadi kekerasan Sejalan dengan
itu Shanti Dellyana mengatakan bahwa perlindungan anak merupakan satu usaha
yang mengadakan kondisi di mana setiap anak dapat melaksanakan Hak dan
kewajibannya5

Ada empat butir pengakuan masyarakat Internasional atas hakhak yang di miliki oleh
kaum anak, yakni:

1) Hak terhadap kelangsungan hidup anak (survival rights).


2) Hak terhadap Perlindungan (protection rights).
3) Hak untuk tumbuh kembang (development rights).
4) Hak untuk berpartisipasi (participation rights)6

Hak anak tersebut merupakan bagian dari hak asasi manusia yaitu seperangkat
hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan
Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang, demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Hak-hak ini diakui
secara universal, karena hak-hak ini melekat pada manusia dan dinyatakan sebagai
bagian dari kemanusiaan, tanpa memperdulikan warna kulitnya, jenis kelaminnya,
usianya, latar belakang kultural dan agama atau kepercayaan spiritualitasnya.
Dikatakan melekat karena hak-hak itu dimiliki sesiapapun yang manusia berkat kodrat
kelahirannya sebagai manusia dan bukan karena pemberian oleh suatu organisasi
kekuasaan manapun, dan karena dikatakan “melekat” itu pulalah maka pada dasarnya
hak-hak ini tidak sesaatpun boleh dirampas atau dicabut.7

Hak asasi manusia meliputi semua yang dibutuhkan untuk pembangunan


manusia seutuhnya melalui suatu proses evolusi yang berkesinambungan yang
disebabkan oleh kesadaran diri manusia, yang lebih penting dari proses itu sendiri
seperti yang terdapat individu dan komunitasnya. Anak dalam pertumbuhan dan
perkembangannya memerlukan perhatian dan perlindungan khusus baik dari orang
tua, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Untuk itu tidak tidaklah cukup hanya
diberikan hak-hak dan kebebasan hak asasi yang sama dengan orang dewasa, karena
5
Shanti Dellyana, Wanita dan Anak di Mata Hukum(Yogyakarta:liberty 1988), hlm.18-19.
6
Convention on the Child.Konvensi yang terdiri dari tiga bagian dan 54 pasal ini diadopsi oleh Resolusi
Majelis Umum Nomor 44/25 tanggal 20 november 1989 dan secara efektif berlaku sejak 2 september
1990.
7
Rizky Ariestandi Irmansyah, Hukum, Hak Asasi Manusia dan Demokrasi, Yogyakarta, 2013, hal. 62-63

13
anak di banyak bagian dunia adalah gawat sebagai akibat dari keadaan sosial yang
tidak memadai, bencana alam, sengketa senjata, eksploitasi, buta huruf, kelaparan dan
ketelantaran. Pasal 3 ayat konvensi Hak Anah “3. Negara-negara Pihak harus menjamin
bahwa berbagai lembaga, pelayanan, dan fasilitas yang bertanggung jawab atas
perawatan dan perlindungan tentang anak, harus menyesuaikan diri dengan standar-
standar yang ditentukan oleh para penguasa yang berwenang, terutama di bidang
keselamatan, kesehatan, dalam jumlah dan kesesuaian staf, mereka dan juga
pengawasan yang berwenang.”

Pasal 64 ayat (3) UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, bahwa salah
satu bentuk perlindungan khusus bagi anak menjadi korban adalah upaya rehabilitasi,
baik dalam lembaga maupun di luar lembaga. (c) Pelayanan / bantuan medis,
diberikan kepada korban yang menderita secara medis akibat suatu tindak pidana,
yang mengakibatkan penderitaan fisik. Sebagaimana di atur dalam Pasal 90 ayat (1)
UU No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, menjelaskan bahwa
Anak korban dan Anak saksi berhak atas“upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi
sosial, baik di dalam lembaga maupun di luar lembaga”. Yang dimaksud dengan
rehabilitasi medis tersebut adalah proses kegiatan pengobatan secara terpadu dengan
memulihkan kondisi fisik anak, anak korban dan atau anak saksi. Kemudian yang
dimaksud dengan rehabilitasi sosial adalah proses kegiatan pemulihan secara terpadu,
baik fisik, mental maupun sosial, agar anak korban, dan atau anak saksi dapat kembali
melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan di masyarakat. Oleh karena itu, perlu
dibentuknya lembaga sosial untuk menampung kaum perempuan maupun anak yang
menjadi korban tindak pidana. Lembaga penyantun korban semacam ini sudah sangat
mendesak, mengingat viktimisasi yang terjadi di Indonesia pada beberapa tahun
terakhir ini sangat memprihatinkan.

Hak asasi manusia merupakan hak yang diberikan kepada setiap orang secara
universal, tanpa terkecuali, termasuk bagi pelaku kejahatan. Walaupun pelaku
kejahatan melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan hukum dan merugikan orang

lain, hak asasi manusia tetap harus diakui dan dilindungi. Hak asasi manusia yang
terdapat dalam konvensi-konvensi internasional antara lain adalah hak untuk hidup,
hak untuk bebas dari penyiksaan atau kekejaman, hak untuk bebas dari segala bentuk
diskriminasi, hak untuk bebas dari penyiksaan atau penyiksaan seksual, hak untuk
kebebasan pribadi, hak untuk kebebasan dari perbudakan, hak untuk mendapatkan
keadilan, dan hak untuk memperoleh perlindungan terhadap diskriminasi.

14
Namun, hak asasi manusia tidak berlaku tanpa batas. Dalam proses hukum, pelaku
kejahatan harus diadili di pengadilan yang independen dan tidak memihak, sesuai
dengan prinsip-prinsip keadilan yang telah ditentukan dalam hukum. Selain itu, hak
asasi manusia tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk melakukan kejahatan atau
tindakan yang merugikan orang lain.

Di dalam proses peradilan jika dilihat dari aspek hukum pidana sebagaimana yang
diatur dalam KUHAP tujuan peradilan untuk menegakkan hukum secara adil (due
process of law), guna melindungi hak asasi tersangka atau terdakwa merupakan
bagian hakhak warga negara, oleh karena itu perlindungan HAM dalam penegakkan
hukum di pengadilan harus benar-benar adil dan jujur.

Hak Asasi Manusia dapatdiuraikan dan diberi definisikan secara luas dan mencangkup
banyak aspek-aspek kehidupan masyarakat dan manusia. Hal itu di ungkapkan
sebagai berikut:

a. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,


martabat dan hak miliknya
b. Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi
dimana saja ia berada.
c. Setiap orang berhak atas rasa aman dan tentram serta perlindungan terhadap
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
d. Setiap orang tidak boleh diganngu yang merupakan hak yang berkaitan dengan
kehidupan pribadi didalam tempat kediamannya.
e. Setiap oarng berhak atas kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan
komunikasi melalui sarana elektronik tidak boleh di ganggu, kecuali atas
komunikasi melalui sarana elektronik tidak boleh diganggu, kecuali atas
perintah hakim atau kekuasaan lain yang sah sesuai dengan Undang-Undang.
f. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau
perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, penghilangan paksa dan penghilangan
nyawa.
g. Setiap orang tidak boleh ditangkap, ditekan, disiksa, dikucilkan, diasingkan,
atau dibuang secara sewenang-wenang.
h. Setiap orang berhak hidup dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan yang
damai, aman dan tentram, yang menghormati, melindungi dan melaksanankan
sepenuhnya hak asasi manusia dan kewajiban dasar mausia sebagaimana
diatur dalam UndangUndang.

15
Pasal 1 angka 12 UU No. 8 Tahun 1981, menjelaskan bahwa:“Upaya hukum adalah
hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan
yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk
mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini.”Dari ketentuan di atas, dapat dipahami bahwa upaya
hukum tersebut memiliki unsur-unsur, antara lain yaitu:
a. Hak Terdakwa untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa:
1. Perlawanan
2. Banding
3. Kasasi

upaya hukum luar biasa meliputi :


a. pemeriksaan kasasi demi kepentingan hukum
b. dan peninjauan kembali.

Dengan hal itu hak asasi manusia ialah ditujukan bagi semua umat manusia yang
berada di dunia ini tanpa terkecuali walaupun itu yang telah berbuat kejahatan atau
bukan. Dan telah ada pada prinsip dasar HAM yaitu pertama Prinsip Keadilan (Equity),
dimana di dalamnya menyangkut kesetaraan (equality), non diskriminasi, kesetaraan
dalam mengakses layanan public, terbukanya kesempatan setiap orang untuk
berpartisipasi, kedua Prinsip Martabat (Dignity), dan ketiga Prinsip Humanity.

C. Perlindungan Hukum Yang Dapat Ditegakkan Dalam Hukum Internasional


Dan Nasional

16
Indonesia telah mengatur peraturan perundang-undangan mengenai ekstradisi yang
diatur dalam Undangundang Nomor 1 Tahun 1979 tentang ekstradisi. Undang-undang
ini dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum bagi pembuatan perjanjian dengan
negara-negara asing maupun untuk menyerahkan seseorang tanpa adanya perjanjian.
Indonesia sendiri sudah lama melakukan perjanjian ekstradisi oleh beberapa negara
dari tahun 1974 sampai sekarang antara lain : Perjanjian ekstradisi dengan Malaysia,
Republik Korea, Republik India, Perjanjian ekstradisi dengan Republik sosialis
Vietnam, Papua Nugini, Republik Rakyat China, Persatuan emirat arab, Kerajaan
Thailand, Republik Philippina, Australia, Republik Singapura, Republik Islam Iran, dan
Hongkong.

Ekstradisi harus dilakukan dengan memperhatikan beberapa asas yang merupakan


ketentuan dalam peraturan ekstradisi. Asas-asas tersebut harus dicantumkan di dalam
perjanjian internasional mengenai ekstradisi yang dibuat oleh Negaranegara yang
berkepentingan. Di Indonesia, asas-asas ekstradisi dapat ditemukan Bab II pasal 2
sampai pasal 17 Undang-undang nomor 1 tahun 1979 tentang Ekstradisi. Adapun
asas-asas tersebut adalah :

1. Asas perjanjian (pasal 2 ayat 1). Asas ini mengatur bahwa ekstradisi baru dapat
dilaksanakan oleh Negara Peminta dan Negara Peminta setelah terlebih dulu
ada perjanjian internasional mengenai ekstradisi antara keduanya;
2. Asas timbal balik (pasal 2 ayat 2). Asas ini mengatur bahwa jika belum ada
perjanjian internasional mengenai ekstradisi antara kedua Negara, maka
ekstradisi tetap dapat dilaksanakan atas dasar hubungan baik dan demi
kepentingan negara;
3. Asas penyerahan pelaku kejahatan (pasal 3 ayat 1). Asas ini mengatur bahwa
yang dapat diekstradisikan adalah orang yang merupakan pelaku kejahatan
dengan status sebagai tersangka atau terpidana;
4. Asas penyerahan pelaku pembantu kejahatan (pasal 3 ayat 2). Asas ini
mengatur bahwa orang yang disangka atau dipidana karena melakukan
pembantuan, percobaan, dan permufakatan untuk melakukan kejahatan juga
dapat diekstradisi, sepanjang perbuatan tersebut merupakan kejahatan di
Negara Peminta;
5. Asas persamaan kejahatan/kejahatan terdaftar (pasal 4 ayat 1). Asas ini
mengatur bahwa ekstradisi dapat dilakukan terhadap pelaku kejahatan yang
tindakannya tersebut diatur dalam daftar kejahatan yang dilampirkan dan
merupakan bagian tak terpisahkan dari Undang-undang ini. Kejahatan-
kejahatan tersebut merupakan kejahatan biasa.
6. Asas kejahatan tidak terdaftar (pasal 4 ayat 2). Asas ini mengatur bahwa
ekstradisi juga dapat dilakukan terhadap kejahatan-kejahatan yang tidak
termasuk dalam daftar lampiran Undang-undang ini, namun kejahatan tersebut
dinilai sebagai kejahatan oleh Negara yang Diminta;
7. Asas tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik (pasal 5 ayat 1), pelaku
kejahatan militer (pasal 6), pelaku kejahatan yang bertalian dengan agama,
keyakinan politik, kewarganegaraan, suku bangsa atau golongan tertentu
(pasal 14). Orang-orang yang disangka atau dituduh melakukan
kejahatankejahatan seperti di atas tidak digolongkan sebagai penjahat karena

17
perbuatan yang dilakukan bukan merupakan tindak pidana biasa. Namun pasal
5 ayat (3) dan dan pasal 6 mengatur bahwa pelaku kejahatan politik dan militer
ini dapat dikestradisi jika telah diperjanjikan oleh kedua Negara sebelumnya;
8. Asas tidak menyerahkan warga Negara sendiri (pasal 7). Asas ini menyatakan
bahwa jika negara Peminta meminta ekstradisi terhadap warga Negara
Indonesia, maka Indonesia tidak akan menyerahkan warganya tersebut, kecuali
jika pemerintah Indonesia merasa jika pelaku lebih baik diadili di Negara
peminta
9. Asas teritorial (pasal 8). Asas ini mengatur bahwa Negara tempat terjadinya
kejahatan (baik sebagian atau seluruh kejahatan) berwenang penuh untuk
mengadili pelaku, sesuai dengan asas terpenting di dalam hukum pidana, yaitu
Lex Locus Delicti (hukum yang berlaku adalah hukum tempat kejahatan
dilakukan), sehingga Indonesia dapat menolak permintaan ekstradisi tersebut.
10. Asas ne bis in idem (pasal 9, 10 dan 11). Asas ini mengatur bahwa Indonesia
dapat menolak mengekstradisi jika pelaku sedang dalam proses pengadilan
untuk kejahatan yang sama (pasal 9), pelaku telah dijatuhi vonnis hakim yang
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk kejahatan yang
sama(pasal 10), atau pelaku telah selesai menjalani hukumannya untuk kasus
yang sama (pasal 11);
11. Asas kadaluarsa (pasal 12). Asas ini mengatur bahwa Indonesia dapat menolak
permintaan ekstradisi atas pelaku kejahatan jika menurut pemerintah Indonesia
hak untuk menuntut dan mengadili pelaku telah kedaluwarsa;
12. Asas tidak menyerahkan pelaku yang diancam pidana mati di Negara Peminta
(pasal 13). Asas ini mengatur bahwa jika kejahatan pelaku diancam hukman
mati di Negara Peminta, sedangkan di Indonesia kejahatan tersebut tidak
dioancam pidana mati, maka ekstradisi akan ditolak, kecuali Negara Peminta
meyakinkan bahwa pelaku tidak akan diancam hukuman mati;
13. Asas kejahatan lain (pasal 15)/ Asas ini mengatur bahwa permintaan ekstradisi
akan ditolak oleh pemerintah Indonesia jika ekstradisi dimintakan untuk
penuntutan dan pemidanaan kejahatan lain yang tidak tercantum dalam
permintaan ekstradisi.
14. Asas tidak menyerahkan pelaku jika akan diserahkan kepada Negara ketiga
(pasal 16). Asas ini mengatur bahwa Indonesia akan menolak mengekstradisi
seseorang yang tidak akan diadili oleh Negara Peminta, melainkan akan
diserahkan kepada Negara ketiga untuk kejahatan lain yang dilakukan diluat
permintaan ekstradisi;
15. Asas penundaan ekstradisi (pasal 17). Asas ini mengatur bahwa pelaksanaan
ekstradisi akan ditunda jika orang yang diminta untuk diekstradisi sedang
menjalani hukuman untuk kejahatan lain yang dilakukan di Indonesia.

International Criminal Police Organization (ICPO-Interpol) merupakan organisasi


kepolisian internasional dan lembaga penegak hukum internasional, yang berperan
dalam mengatasi masalah kejahatan dan pelanggaran hukum internasional,8 dalam

8
Anis Widyawati, Pengantar Hukum Pidana (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), 132

18
melaksanakan tugasnya untuk menanggulangi dan memberantas kejahatan yang
melewati batas wilayah negara, ICPO-Interpol mengkoordinasikan kerjasama
internasional kepada National Central Bireau (NCB-Interpol) dari setiap negara
anggota untuk pertukaran data dan informasi serta memberikan pelayanan bantuan
penyidikan.

Hukum Internasional terdapat dua konvensi yang dapat dikatakan memberikan


landasan bagi pengembangan ekstradisi sebagai instrument kerjasama penegakan
hukum, pencegahan dan pemberantasan kejahatan adalah Konvensi PBB tentang
Kejahatan Transnasional (United Nations Convention against Transnational Organized
Crime , disingkat UNTOC) yang ditandatangani di Palermo, Italia pada tahun 2000. Di
dalam UNTOC masalah ekstradisi diatur dalam Pasal 16 dan Konvensi PBB tentang
Anti Korupsi (United Nations Convention against Corruption, disingkat UNCAC) yang
ditandatangani di Merida, Meksiko pada tahun 2003. dalam UNCAC masalah ekstradisi
diatur dalam Pasal 44.9 Kedua Konvensi Internasional tersebut merupakan tonggak
perkembangan ekstradisi sebagai Instrumen dalam Upaya Penegakan Hukum
mengingat jumlah negara yang menandatangani dan meratifikasi kedua Konvensi
terbilang cukup besar, Kedua Konvensi Internasional menyatakan bahwa dalam hal
sebuah negara mengatur ekstadisi hanya dapat dilaksanakan berdasarkan perjanjian,
maka negara tersebut pada saat ratifikasi konvensi tersebut, dapat menganggap
konvensi tersebut sebagai perjanjian ekstradisi dengan negaranegara pihak lainnya. 11
Selain dari kedua konvensi internasional mengenai di atas, pengaturan mengenai
ekstradisi juga terdapat pada United Nations Model Treaty on Extradition (1990).
Pengaturan ini telah banyak dikuti oleh negara-negara lain dalam membuat perjanjian-
perjanjian ekstradisi maupun dalam perundang-undangan ekstradisi. Pengaturan ini
dibentuk pada tanggal 14 Desember 1990, dimana Majelis Umum PBB menyetujui
resolusi Nomor 45/116 tentang Model Treaty on Extradition. 10

BAB III

PENUTUP

9
Sapto Handoyo, “Ekstradisi Dalam Hukum Pidana Internasional,” Jurnal Academia 6 (2010): 1–16.
10
Parthiana, Hukum Pidana Internasional Dan Ekstradisi. Op. Cit. h. 128.

19
A. KESIMPULAN

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa ekstradisi memiliki arti
penyerahan orang yang dianggap melakukan kriminalitasoleh suatu negara kepada
negara lain yang diatur dalam perjanjian antara negara yang bersangkutan , yang
mana arti dalam KBBI sama dengan ektradisi pada umumnya yang telah diketahui.
Serta ekstradisi ini adalah perjanjian Internasional yang tunduk pada Konvensi Wina
1969 yang diatur pada pasal 2 ayat (1a) yang berbunyi :”Treaty means an international
agreement concluded between states in written form and governed by international
law, whatever its particular designation”. Dan dengan kata lain ekstradisi tidak dapat
dilakukan sebelum adanya perjanjian antara negara peminta dengan negara diminta,
karena dalam konvensi disebutkan bahwa harus adanya kesepakatan antara kedua
negara yang terlibat.

Menurut Grotius berdasarkan teorinya aut ounere aut dedere, maka


setiap negara diminta harus menyerahkan pelaku yang diminta oleh negara peminta,
walaupun belum ada perjanjian ekstradisi antara kefua negara, karena Grotius
mendasarkan pada pemikiran bahwa setiap pelaku kejahatan harus dihukum Namun
sebaliknya dengan Grotius beberapa ahli mengatakan bahwa jika tidak ada perjanjian
ekstradisi maka negara diminta tidak dapat memiliki kewajiban untuk menyerahkan
pelaku kejahatan kepada negara peminta. Perjanjian ekstradisi merupakan landasan
hukum bagi kedua negara untuk melakukan ekstradisi terhadap palaku kejahatan.

Hak asasi manusia ialah ditujukan bagi semua umat manusia yang berada di
dunia ini tanpa terkecuali walaupun itu yang telah berbuat kejahatan atau bukan. Dan
telah ada pada prinsip dasar HAM yaitu pertama Prinsip Keadilan (Equity), dimana di
dalamnya menyangkut kesetaraan (equality), non diskriminasi, kesetaraan dalam
mengakses layanan public, terbukanya kesempatan setiap orang untuk berpartisipasi,
kedua Prinsip Martabat (Dignity), dan ketiga Prinsip Humanity.

Hak asasi manusia merupakan hak yang diberikan kepada setiap orang secara
universal, tanpa terkecuali, termasuk bagi pelaku kejahatan. Walaupun pelaku
kejahatan melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan hukum dan merugikan orang
lain, hak asasi manusia tetap harus diakui dan dilindungi. Hak asasi manusia yang
terdapat dalam konvensi-konvensi internasional antara lain adalah hak untuk hidup,
hak untuk bebas dari penyiksaan atau kekejaman, hak untuk bebas dari segala bentuk
diskriminasi, hak untuk bebas dari penyiksaan atau penyiksaan seksual, hak untuk
kebebasan pribadi, hak untuk kebebasan dari perbudakan, hak untuk mendapatkan

20
keadilan, dan hak untuk memperoleh perlindungan terhadap diskriminasi.Namun, hak
asasi manusia tidak berlaku tanpa batas. Dalam proses hukum, pelaku kejahatan
harus diadili di pengadilan yang independen dan tidak memihak, sesuai dengan
prinsip-prinsip keadilan yang telah ditentukan dalam hukum. Selain itu, hak asasi
manusia tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk melakukan kejahatan atau
tindakan yang merugikan orang lain.

Indonesia telah mengatur peraturan perundang-undangan mengenai ekstradisi yang


diatur dalam Undangundang Nomor 1 Tahun 1979 tentang ekstradisi. Undang-undang
ini dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum bagi pembuatan perjanjian dengan
negara-negara asing maupun untuk menyerahkan seseorang tanpa adanya perjanjian.
International Criminal Police Organization (ICPO-Interpol) merupakan organisasi
kepolisian internasional dan lembaga penegak hukum internasional, yang berperan
dalam mengatasi masalah kejahatan dan pelanggaran hukum internasional, dalam
melaksanakan tugasnya untuk menanggulangi dan memberantas kejahatan yang
melewati batas wilayah negara, ICPO-Interpol mengkoordinasikan kerjasama
internasional kepada National Central Bireau (NCB-Interpol) dari setiap negara
anggota untuk pertukaran data dan informasi serta memberikan pelayanan bantuan
penyidikan.

B. Saran
Dari Kesimpulan diatas maka ada beberapa saran mengenai Analisis Kasus Ekstradisi
Roman Polanski: Menyangkut Hak Asasi Manusia ,Hukum Nasional dan Hukum
Internasional, sebagai berikut :

1. Pemerintah sebaiknya lebih memperhatikan perlindungan masyarakat terkait


ekstradisi yang mungkin kedepannya akan terjadi hal yang tidak terduga.
2. Pemerintah sebaiknya membentuk lembaga yang dapat menyelesaikan kasus-
kasus ekstradisi yang akan datang sehingga lembaga tersebut lebih fokus
kepada ekstradisi.

DAFTAR PUSTAKA

21
Convention on the Child.Konvensi yang terdiri dari tiga bagian dan 54 pasal ini diadopsi oleh
Resolusi Majelis Umum Nomor 44/25 tanggal 20 november 1989 dan secara efektif
berlaku sejak 2 september 1990..

Dellyana, S. (1998). Wanita dan Anak di Mata Hukum. Yogyakarta: liberty.

Handoyo, S. (2010). Ekstradisi Dalam Hukum Pidana Internasional. Jurnal Academia 6, 1-16.

Irmansyah, R. A. (2013). In Hukum Hak Asasi Manusia dan Demokrasi (pp. 62-63). Yogyakarta.

Konvensi Wina 1969.

Parthia, I. W. (1990). In Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia
(pp. 12-13). Bandung: Penerbit CV Mandar Maju.

Parthiana. (n.d.). In Hukum Pidana Internasional Dan Ekstradisi. 128.

Shearer, I. A. (23-24). Extradition in International Law. Manchester : Oceana Publication Inc.

Strake, J. (n.d.). An Introduction to International Law. London: Butterworths.

Widyawati, A. (2014). In Pengantar Hukum Pidana (p. 132). Jakarta: Sinar Grafika.

22

Anda mungkin juga menyukai