Anda di halaman 1dari 5

A.D.

Agung Sulistyo
1906408900

Bagaimana individu mendapatkan Ujian Tengah Semester


tempat dalam hubungan internasional Teori Hukum
atau antarnegara? Dosen: Arie Afriansyah, S.H., M.I.L., Ph.D.

(1.257 kata)

Cakupan hubungan antarnegara yang meluas akibat globalisasi telah memasukkan individu
sebagai entitas selain dari negara-negara, lembaga internasional, dan subyek hukum
internasional lainnya yang telah kita kenal. Pertanyaan bagaimana individu mendapatkan
tempat dalam hubungan internasional atau antarnegara, dapat dijawab dengan menganalisa
hal-hal berikut: pertama, kriteria sebuah entitas untuk dapat menjadi, atau memenuhi syarat
sebagai subyek hukum internasional; kedua, sejarah perkembangan hukum dan kebiasaan
masyarakat internasional yang menempatkan dan memberi hak serta kewajiban pada individu
sebagai aktor dalam hubungan internasional. Kedua hal tersebut dapat dikaji melalui dasar
hukum yang mendukung kelahirannya, serta melalui advisory opinion atau keputusan
maupun pendapat international court of justice.

Individu: Aktor dalam Hubungan Internasional


Dalam sejarah perkembangan hukum internasional, negara dipandang sebagai subyek hukum
internasional terpenting (par excellence) dibandingkan dengan subyek-subyek hukum
lainnya. Berangkat dari deskripsi tersebut, kualifikasi yang harus dimiliki oleh suatu negara
dapat pula memposisikan individu dalam eksistensinya sebagai aktor dalam hubungan
internasional. Selain syarat memiliki penduduk yang tetap, wilayah tertentu, serta adanya
pemerintah; pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 yang mengatur tentang hak dan kewajiban
negara juga menetapkan kualifikasi keempat, yakni: kapasitas untuk melakukan hubungan
dengan negara-negara lain -sebagai syarat terpenting dari segi hukum internasional.1
Kapasitas sebagai karakter yang berkaitan erat dengan kedaulatan negara itu
memberikan kepribadian pada entitas yang disebut ‘negara’ yang memiliki kapasitas untuk
bertindak dalam namanya di dalam arena internasional. Dalam realitas hubungan
internasional, karakteristik tersebut ternyata terbukti telah dimiliki pula oleh sebuah entitas
merdeka yang disebut ‘individu’ (orang perorangan), dalam suatu tindakan atau peristiwa,
dengan hak dan kewajiban yang melekat pada dirinya untuk berhadapan dengan negara-
negara.
Kapasitas yang dimiliki oleh individu untuk mengadakan hubungan dengan negara-
negara didukung oleh teori dalam pembahasan mengenai legal capacity, yang dalam
kerangka sistem hukum dapat dimaksudkan sebagai kapasitas hukum yang dimiliki oleh aktor
hukum internasional. Aktor yang dalam keadaan tertentu memiliki kemampuan untuk
menjadi pendukung hak dan kewajiban berdasarkan hukum internasional. Kemampuan yang

1
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional I, edisi X [Introduction to International Law], diterjemahkan oleh
Bambang Iriana Djajaatmadja (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hlm. 127-128.

1
dimaksud adalah terkait dengan kemampuan dirinya untuk mengajukan klaim, mengadakan
atau membuat perjanjian, dan untuk mempertahankan hak milik.
Hukum internasional juga memberikan kapasitas kepada negara berupa hak dan
tanggung jawab terhadap hukum. Meski demikian, dalam terminologi sehari-hari, yang
dipertautkan kepada negara sejatinya sama sekali bukan kewajiban resmi organ tersebut.
Bukankah tidak ada sanksi pidana yang dapat dijatuhkan pada negara sebagai organ yang
melakukan pelanggaran? Kewajiban tersebut merupakan tugas dari individu yang perilakunya
merupakan wujud dari tugasnya.2 Pada analisis terakhir, individu-individu itu sendiri yang
merupakan subyek-subyek hukum internasional.3
Oleh sebab itu tidak mengherankan, dalam banyak argumen Georges Scelle
mengajukan teori radikal antroposentris hukum internasional yang disebut ‘methodological
individualism’ yang berfokus pada tindakan dan tanggung jawab individu. Individu
perseorangan yang dimaksud memiliki kecakapan, bertanggung-jawab sendiri atas diri dan
tindakannya. Dalam teorinya, the Scellian legal system memandang individu sebagai satu-
satunya subyek hukum internasional.4

Contoh Kasus: Individu di Arena Internasional


Kasus Danzig Railway Official’s Case5 di tahun 1928 dapat menjadi contoh lahirnya hak-hak
individu dalam pengadilan di arena internasional. Muncul penolakan atas pendapat bahwa
perjanjian hanya menciptakan hak antar-negara semata. Dalam kasus ini, opini pengadilan
diadopsi dengan suara bulat oleh semua hakim yang hadir. Salah satu opininya menerangkan
bahwa meskipun perjanjian internasional tidak dapat menciptakan hak dan kewajiban
langsung bagi individu pribadi, namun tidak dapat diperdebatkan bahwa obyek perjanjian
internasional sesuai dengan maksud para pihak yang berkontrak dapat berupa adopsi oleh
para pihak dari beberapa aturan yang pasti, yang menciptakan hak-hak individu dan dapat
ditegakkan oleh pengadilan. Dengan kata lain, bila suatu perjanjian internasional memberikan
hak tertentu pada individu perorangan, maka hak yang berkekuatan hukum dalam hukum
internasional tersebut harus diakui pula oleh badan peradilan internasional.
Contoh kasus lain dalam kaitannya dengan hak-hak individu di arena internasional
dapat diamati pada peristiwa penangkapan nelayan Kuba6. Mahkamah Agung Amerika
Serikat melihat individu sebagai subjek hukum internasional. Dalam proses pengadilan,
dilontarkan argumen oleh para pemilik dan kru kapal di hadapan Mahkamah Agung, dan
telah menghasilkan keputusan penting bagi perkembangan hukum internasional. Pengadilan
berpendapat bahwa tradisi lama di antara negara-negara beradab yang telah ada sejak sekian
abad yang lalu, dan secara bertahap, telah berkembang menjadi aturan hukum internasional;
bahwa kapal-kapal nelayan yang menangkap dan membawa ikan segar, dengan muatan dan
kru kapal tersebut, telah diakui bebas dari penangkapan dalam sebuah peperangan, atau tidak
dapat ditangkap sebagai tawanan atau ‘hadiah perang’. Hal ini menunjukkan bahwa
2
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif [Pure Theory of Law], diterjemahkan
oleh Raisul Muttaqien (Bandung: Penerbit Nusa Media, 2008), hlm. 334.
3
Starke, Op.Cit., hlm. 78.
4
Hubert Thierry, “The Thought of Georges Scelle”, European Journal of International Law No.1 (Issue Vol.1
1990), hlm. 196-198.
5
Permanent Court of International Justice, 13 th (extraordinary) session, Jurisdiction of the Courts of Danzig
(Precuniary Claims of Danzig Railway Officials who have Passed into the Polish Service, against the Polish
Railways Administration), Advisory Opinion No. 15, 3 March 1928, ps. 37.
6
M.W. Janis, “Individuals as Subjects of International Law”, Cornell International Law Journal Vol.17, (Issue 1
Winter 1984), hlm. 64-65.

2
keberadaan individu telah diakui posisinya di muka pengadilan dalam kasus lintas negara.
Dengan adanya perintah pengadilan yang memerintahkan pemerintah Amerika untuk
membayar hasil penjualan kapal dan muatannya kepada masing-masing pengadu, maka
individu yang berkewarganegaraan Kuba tersebut telah dinyatakan memiliki hak untuk
melawan negara Amerika.
Keputusan lain yang juga telah menerapkan individu sebagai subjek hukum
internasional, adalah dalam kasus penuntutan penjahat-penjahat perang di mahkamah
internasional yang khusus diadakan oleh negara-negara sekutu yang menang dalam
peperangan.7 Hal ini diputuskan oleh Mahkamah Penjahat Perang yang dilakukan di
Numberg, yang selanjutnya diikuti dalam Mahkamah Eropa tentang Hak Asasi Manusia
dalam menjamin hak individu yang diberikan oleh European Convention on Human Rights
tersebut.8 Setiap individu yang dilanggar haknya berhak untuk mengajukan pengaduan
terhadap negaranya sendiri secara langsung melalui Sekretaris Jenderal Dewan Eropa di
Strasbourg.

Individu di Dalam Sumber-Sumber Hukum Internasional


Sumber-sumber hukum internasional lainnya yang turut mendudukkan individu sebagai
subyek hukum internasional, antara lain:
 Perjanjian Perdamaian Versailles 1919; dengan adanya pasal-pasal yang
memungkinkan individu perorangan mengajukan perkara ke hadapan Mahkamah
Arbitrase Internasional, yang mematahkan anggapan bahwa hanya negara yang bisa
menjadi pihak di peradilan internasional.9
 Konvensi Jerman-Polandia yang berkaitan dengan Silesia Atas 192210; yang
menetapkan kebebasan individu yang tidak terkekang untuk memberikan pernyataan
menurut hati nurani dan atas tanggung jawab pribadinya sendiri.
 Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human
Rights) 1948; yang diikuti dengan lahirnya beberapa konvensi hak asasi manusia di
berbagai kawasan, yang menyatakan individu sebagai subyek hukum internasional
yang mandiri.
 Konvensi tentang Pembunuhan Massal (Genocide Convention) 1948; di mana
individu perorangan yang terbukti melakukan tindakan genosida harus dihukum,
terlepas apakah mereka bertindak sebagai perseorangan, pejabat pemerintah, atau
pimpinan pemerintah atau negara.

Kesimpulan
Hukum internasional dalam cakupannya ternyata tidak hanya berkaitan dengan kedaulatan
negara, namun juga hak-hak individu di dalam wilayah dan dominasi sebuah negara dalam
tindakan yang dilakukannya di dalam dominasi negara lain. Hak-hak individu adalah bagian
dari hukum kebiasaan yang bersifat universal dan diakui sebagai bagian dari jus cogens yang
7
Holocaust Encyclopedia, “International Military Tribunal at Nuremberg”
https://encyclopedia.ushmm.org/content/en/article/international-military-tribunal-at-nuremberg, diakses 7
November 2019.
8
European Court of Human Rights, Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms,
Rome, 1950. Ps. 25.
9
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Bina Cipta (1982), hlm. 74.
10
Permanent Court of International Justice, 6th (extraordinary) session, Rights of Minorities in Upper Silesia
(Minority Schools), German v. Poland, 26 April 1928, ps. 2.

3
tidak boleh dilanggar dalam keadaan apapun. Hak dan tanggung jawab individu diyakini
dapat berada di luar yurisdiksi domestik Negara, dan bahwa kapasitas tersebut berhubungan
dengan seluruh komunitas internasional. Sejarah pergaulan hidup masyarakat dunia diiringi
sumber-sumber hukum internasional yang turut lahir bersamanya telah membuktikan
individu perorangan sejak semula merupakan aktor aktif dalam hubungan antarnegara.

4
Daftar Pustaka
Buku:
Kelsen, Hans. Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif [Pure Theory of
Law], diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien. Bandung: Penerbit Nusa Media, 2008.
Kusumaatmadja, Mochtar. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Bina Cipta, 1982.
Starke, J.G.. Pengantar Hukum Internasional I, edisi X [Introduction to International Law],
diterjemahkan oleh Bambang Iriana Djajaatmadja. Jakarta: Sinar Grafika, 2001.

Jurnal:
Janis, M.W. “Individuals as Subjects of International Law.” Cornell International Law
Journal Vol.17 (Issue 1 Winter 1984). Hlm. 61-78.
Orakhelashvili, Alexander. “The Position of the Individual in International Law.” CWSL
Scholarly Commons Vol. 31 (2000). Hlm. 241-276.
Thierry, Hubert. “The Thought of Georges Scelle.” European Journal of International Law
No.1 (Issue Vol.1 1990). Hlm. 193-209.

Dokumen:
European Court of Human Rights. Convention for the Protection of Human Rights and
Fundamental Freedoms. 4 November 1950.
Permanent Court of International Justice. 6th (extraordinary) session, Rights of Minorities in
Upper Silesia (Minority Schools), German v. Poland. 26 April 1928.
Permanent Court of International Justice. 13th (extraordinary) session, Jurisdiction of the
Courts of Danzig (Precuniary Claims of Danzig Railway Officials who have Passed into
the Polish Service, against the Polish Railways Administration), Advisory Opinion No.
15. 3 March 1928.

Internet:
Holocaust Encyclopedia. “International Military Tribunal at Nuremberg”
https://encyclopedia.ushmm.org/content/en/article/international-military-tribunal-at-
nuremberg. Diakses 7 November 2019.

Anda mungkin juga menyukai