Anda di halaman 1dari 13

PERKEMBANGAN HUKUM LINGKUNGAN INTERNASIONAL

DIPENGARUHI OLEH PERUBAHAN SOSIAL


DALAM MASYARAKAT INTERNASIONAL

SOSIOLOGI HUKUM

Nama Anggota Kelompok:


A.D. Agung Sulistyo / 1906408900
Anggoro Aji Nugroho / 1906409084
Azhar Irfan Usman / 1906409166
Wulan Suci Putri Yanti / 1906326693

PROGRAM PASCA SARJANA


HUKUM TRANSNASIONAL & HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA
2019
PERKEMBANGAN HUKUM LINGKUNGAN INTERNASIONAL
DIPENGARUHI OLEH PERUBAHAN SOSIAL
DALAM MASYARAKAT INTERNASIONAL

A. Pendahuluan

Hukum sebagai serangkaian kaidah yang hidup di dalam masyarakat, penjelmaan dari
pergaulan hidup manusia, tidak hanya berupa rangkaian pasal yang diam dalam aturan
perundangan. Jika hanya demikian, hukum tak ubahnya hanya menjadi alat paksa sebuah
kekuasaan dan tidak akan membawa manfaat dalam kehidupan masyarakat. Demikian pula
hukum internasional, untuk memahami hakikat dirinya sebagai hukum yang hidup dan
berkembang tanpa harus dipaksakan oleh badan supranatural, hukum internasional harus
diasosiasikan dalam kehidupan masyarakat internasional; berupa serangkaian kaidah yang
hidup dalam pergaulan antarnegara, lembaga-lembaga dan individu-individu, yang
terhadapnya negara-negara merasa terikat untuk menaati.

Keraguan akan eksistensi hukum internasional sebagai sebuah hukum tiada lain
disebabkan oleh pandangan yang menganggap bahwa keberadaan lembaga dan aparat penegak
hukum beserta sanksi yang tegas merupakan syarat esensial bagi adanya suatu kaidah hukum.
Hal ini berkembang bersama pandangan ekstrem tradisional seperti yang dikemukakan pula
oleh John Austin (1790-1859), bahwa hukum internasional tidak lebih daripada norma moral,
norma kesopanan, dan etika internasional belaka. Hukum dipandang sebagai perintah dari
penguasa kepada pihak yang dikuasai, di mana pihak yang menguasai berada pada kedudukan
yang lebih tinggi. Oleh pandangan ini, hukum hanya dianggap sebagai mekanisme norma yang
terwujud dalam bentuk aparat pembuat, pelaksana, dan penegak hukum yang mendayagunakan
hukum dengan serangkaian sanksi.

Eksistensi sebuah kebiasaan yang tumbuh dan berkembang di tengah kehidupan


masyarakat--tanpa adanya lembaga yang membuat, melaksanakan maupun memaksa--, itu pun
disangkal keberadaannya sebagai sebuah hukum kebiasaan (customary law). Sedangkan
kaidah-kaidah yang hidup tersebut pada kenyataannya telah diterima dan ditaati, karena sesuai
dengan kesadaran hukum dan rasa keadilan masyarakat yang memandangnya sebagai hukum.
Kaidah-kaidah itu terbukti memiliki daya pengikat dan pengatur, serta dipergunakan dalam
penyelesaian perselisihan di dalam hubungan bermasyarakat.

Sebagai sebuah sistem, tentu saja aturan-aturan yang terdapat di dalam hukum
internasional semestinya pula diikat oleh penilaian etis tertentu dalam pemahaman yang lebih

1
umum sifatnya, seperti: hakikat hukum itu sendiri, dan syarat apa yang harus terpenuhi oleh
dirinya sehingga dapat dinyatakan sebagai hukum. Oleh karena itu, perlu dibahas dalam tulisan
ini teori-teori sosial dan bukti-bukti dalam kehidupan masyarakat internasional, untuk
memperkuat pandangan bahwa hukum internasional pada kenyataannya telah diterima dan
ditaati sebagai hukum dalam pengertian yang sebenarnya.

Sebagai sebuah hipotesis, masyarakat internasional yang terdiri dari sejumlah negara-
negara merdeka dan sederajat dalam kepentingannya untuk melakukan hubungan secara tetap
dan terus menerus itu menjadi landasan sosiologis dalam pembentukan hukum internasional.
Hukum diletakkan sebagai dasar dalam hubungan para pihak agar tercipta kepastian,
ketertiban, dan keteraturan. Kaidah-kaidah di dalam masyarakat yang tiada lain merupakan
kaidah hukum tersebut hingga kini terus berkembang seiring perubahan sosial. Penanda telah
terjadinya perubahan sosial dapat dicermati dalam beberapa kondisi, di antaranya: adanya
perubahan struktur masyarakat, adanya perubahan sistem sosial, serta munculnya perubahan
nilai, sikap, dan pola tingkah laku pada masyarakat bersangkutan. Maka, menjadi rumusan
masalah selanjutnya yang perlu dikaji adalah bagaimana perubahan sosial dapat memengaruhi
perkembangan hukum internasional? Dengan pendekatan sosio-legal, tulisan ini akan
memaparkan dengan singkat mengenai eksistensi dan perkembangan hukum internasional
dalam masyarakat internasional yang mengalami perubahan.

B. Perubahaan Sosial

Perkembangan hukum internasional sejalan dengan perubahan sosial dalam pergaulan


masyarakat internasional. Untuk memahami hal tersebut, kita perlu memahami pula pengertian
dari perubahan itu sendiri. Sebuah perubahan dapat terjadi berkat adanya sifat masyarakat
yang terbilang dinamis, dalam pengertian masyarakat yang mengalami perubahan secara cepat.
Perubahan tidak hanya berbicara tentang perihal kemajuan, melainkan juga tentang adanya
suatu kemunduran di dalam masyarakat yang bersangkutan. Perubahan yang dimaksud
berkaitan dengan berbagai hal, seperti: nilai sosial, pola-pola perilaku, organisasi, lembaga
kemasyarakatan, lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang.1

Teori perubahan sosial yang paling terkenal adalah teori yang berkaitan dengan
ekonomi, sebagaimana dipopulerkan oleh Karl Marx. Marx berpendapat bahwa perubahan-
perubahan sosial pada dasarnya dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi. Teori Marx ini

1
Prof. DR. Soerjono Soekamto dan DRA. Budi Sulistyowati, M.A., Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Penerbit
PT Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 259

2
sering dikategorikan sebagai teori pendekatan konflik yang memberikan penekanan pada aspek
struktur dalam perubahan ekonomi yang dimaksud, terutama ekonomi masyarakat.2 Marx
membagi masyarakat dalam dua golongan, yakni: kaum pekerja dan kaum borjuis; di mana
menurutnya pertentangan antar golongan sosial tersebut akan terjadi terus menerus tanpa henti.
Pertentangan hanya akan berakhir jika masyarakat yang semakin revolusioner itu telah tersusun
ulang, atau salah satu kelas musnah. Pertentangan antar golongan, yang disebut konflik sosial,
mampu mendorong masyarakat untuk berupaya melakukan penyelesaian pertentangan tersebut
agar berubah ke tingkat yang lebih maju. Hal ini memberi kesimpulan, bahwa terkadang sebuah
konflik diperlukan untuk memperbaiki ketidakadilan dan ketimpangan sosial.

Pengertian lain dari perubahan sosial adalah seperti yang diungkapkan oleh Gillin dan
Gillin. Menurutnya, perubahan sosial merupakan variasi dari cara hidup yang sudah diterima,
baik dari segi perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk,
ideologi, hingga perubahan yang disebabkan adanya difusi ataupun penemuan baru dalam
masyarakat. Perubahan sosial disebut sebagai bentuk ketidakpuasaan masyarakat akan sebuah
unsur, atau adanya unsur lain yang muncul dan dirasa mampu untuk memenuhi keinginan
masyarakat. Dalam teori ini, perubahan sosial dianggap mampu mendorong terjadinya
perubahan hukum, yang muncul jika dua unsurnya terpenuhi. Unsur yang dimaksud adalah:
pertama, munculnya suatu keadaan yang baru; dan kedua, kesadaran terhadap perlunya
perubahan pada masyarakat itu sendiri. Sinzheimer menambahkan dengan syarat-syarat bagi
munculnya perubahan hukum, bahwa dengan terjadinya perubahan-perubahan itu timbul pula
emosi-emosi pada pihak-pihak yang terkena, yang dengan demikian akan mengadakan
langkah-langkah menghadapi keadaan itu serta menuju kepada bentuk-bentuk kehidupan yang
baru.3

Arnold M. Rose memberikan sebuah teori yang lebih memperjelas, bahwa perubahan
hukum lebih merupakan akibat daripada faktor penyebab terjadinya perubahan sosial.
Menurutnya, perubahan hukum akan dipengaruhi oleh tiga faktor: pertama, adanya komulasi
progresif dari penemuan-penemuan di bidang teknologi; kedua, adanya konflik di dalam
kehidupan masyarakat; dan ketiga, adanya gerakan sosial (social movement).4

2
David Renton, Membongkar Akar Krisis Global, (Yogyakarta: Resist Book, 2009), hlm.33
3
Satjipto Rahardjo, Pembangunan Hukum dan Konflik Undang-Undang Bidang Sektoral dalam Hukum dan
masyarakat, (Bandung: Penerbit Angkasa, 1986), hlm. 101
4
Ridwan, “Hukum dan Perubahan Sosial: Perdebatan Dua Kutub Antara Hukum sebagai Social Control dan
Hukum sebagai Social Engineering.” Jurisprudence Vol. 6 (1 Maret 2016), hlm. 31.

3
C. Eksistensi Hukum Internasional dalam Pergaulan Hidup Masyarakat Internasional

Perdebatan tentang apakah hukum internasional merupakan sebuah hukum, dapat dijawab
dengan pendekatan sosiologi hukum guna mendapatkan pengertian tentang hukum sebagai
kaidah sosial, serta menemukan syarat-syarat yang harus terpenuhi oleh hukum internasional
sebagai hukum dalam kenyataannya. Manusia dalam hidup bermasyarakat kerap terikat oleh
kaidah-kaidah sosial yang tumbuh di dalam masyarakat. Kaidah yang dipakai sebagai pedoman
untuk menjaga hubungan agar tetap aman, damai, tertib, dan teratur. Kaidah sosial yang
dimaksud adalah kebiasaan, kesusilaan, dan hukum. Oleh Paton, hukum disebut sebagai res
dari genus kaidah sosial yang memiliki ciri khusus, sebagai pembeda dari kaidah-kaidah sosial
lainnya5. Ciri pembeda yang dimaksud, antara lain:

Pertama, kaidah hukum internasional sengaja dibuat oleh anggota masyarakat


internasional untuk mengatur ketertiban dalam masyarakat tersebut; Kedua, kemandirian
kaidah hukum internasional tampak pada perumusan kaidah-kaidah kebiasaan menjadi aturan-
aturan baru, seperti pada pembuatan perjanjian internasional; Ketiga, disamping didasarkan
pada apa yang biasa atau atas kebiasaan yang dilakukan oleh negara dalam masyarakat
internasional, kaidah hukum ini juga mendasarkan pada adanya keharusan tentang apa yang
semestinya dilakukan.

Sebelum kemudian menjabarkan syarat yang harus dipenuhi sebagai sebuah hukum,
penting untuk dipahami bahwa hukum internasional memiliki karakter yang berbeda dengan
hukum nasional. Perbedaan nyata terletak pada struktur masyarakatnya. Struktur masyarakat
internasional didasarkan pada asas-asas kedaulatan, kemerdekaan, dan persamaan derajat di
antara negara-negara; tidak ada badan yang bersifat supranasional. Hukum internasional
sebagai tata tertib hukum koordinasi memiliki peran mengkoordinir usaha-usaha subyek
hukumnya untuk mencapai tujuan bersama yang lebih baik.6

Dengan menggunakan sudut pandang sosiologis, struktur hukum internasional pada


tingkat masyarakat yang tak terorganisir bersifat: Universal, yang ruang lingkup geografis
berlakunya menyebar ke seluruh dunia; Eksklusif, di mana dalam tingkat integrasinya hukum
internasional tetap merupakan hukum, yang subyeknya berupa negara yang diberi status
international personality, dan individu atau organisasi sepanjang telah diperjanjikan; serta
Individualistis, yaitu negara hanya terikat pada asas-asas fundamental hukum internasional dan
prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab7.

5
Paton, A Textbook of Jurisprudence, (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Gadjah Mada, 1955), hlm. 74.
6
G. Schwarzenberger, A Manual of International Law, 6th ed (s.l.: Professional, Book Limited, 1967), hlm. 10.
7
Ibid., hlm. 7-8.

4
Sebagai kaidah sosial yang hidup di masyarakat, hukum internasional harus memenuhi
syarat-syarat untuk disebut hukum. Oppenheim memberikan syarat esensial, seperti yang
dikatakan olehnya: “a rule is a rule of law, if by common consent of the community it shall
eventually be enforced by external power.”8 Oppenheim mensyaratkan keberadaan
persekutuan hidup atau masyarakat, sekumpulan aturan tingkah laku manusia dalam
masyarakat, dan kesepakatan bahwa aturan tersebut dijamin pelaksanaanya oleh kekuatan
eksternal (external power).

Syarat-syarat tersebut dapat dijabarkan, sebagai berikut: Pertama, bahwa di samping


adanya masyarakat suatu negara, ada pula masyarakat internasional yang anggotanya tidak
hanya negara-negara sebagai yang utama, namun juga individu dan organisasi internasional.
Kenyataan ini tak terbantahkan; Kedua, bahwa hukum internasional mengandung aturan
tingkah laku yang mengatur hubungan antar negara atau subyek hukum internasional satu sama
lain. Aturan tersebut tertuang dalam prinsip-prinsip hukum internasional secara umum, atau
dalam bentuknya sebagai perjanjian internasional maupun aturan kebiasaan internasional;
Ketiga, terdapat kesepakatan di dalam masyarakat internasional, atas tindakan-tindakan dalam
lingkungan internasional, akan ditegakkan atau dijamin pelaksanaan hingga sanksinya oleh
kekuatan eksternal, seperti contohnya adalah badan pengadilan internasional.

Dalam teori hukum murni, hukum internasional dapat dianggap sebagai sebuah hukum
yang mewujudkan nilai, jika dan selama hukum itu sah. Hukum-hukum dikatakan sah jika
diasumsikan memiliki norma dasar yang membentuk tradisi antar negara--sebagai fakta
pencipta hukum--, terlepas dari isi norma yang dibuat. Teori ini juga menekankan adanya daya
paksa dari kekuasaan yang lebih tinggi dari dirinya, yang selanjutnya disebut sebagai
pemerintah negara.

Meskipun awalnya hukum internasional dianggap sebagai pengandaian yang


mengumpamakan hukum internasional sebagai sekumpulan norma yang berlaku obyektif yang
mengatur perilaku sesama negara, namun sebagai norma dasar yang diciptakan oleh tradisi,
norma tersebut telah diakui dan ditaati keberadaannya. Norma hukum internasional umum
memberi wewenang pada individu atau sekelompok individu sebagai pemerintahan yang sah
berdasarkan konstitusi yang berlaku, untuk menyusun dan menerapkan tatanan norma yang
bersifat memaksa. Tatanan memaksa inilah yang dimaknai oleh hukum internasional sebagai
tatanan hukum yang sah, dan komunitas yang dibentuk oleh tatanan pemaksa ini sebagai
“negara”. Negara-negara (yakni pemerintah negara) harus berperilaku dengan cara tertentu

8
L. Oppenheim, M.A., L.L.D., International Law: A Treatise, Vol 1-Peace, Ebook, 3rd Edition, Edited by
Ronald F. Roxburgh (London: Longmans, 1920), hlm. 5, https://archive.org/details/cu31924007494754

5
dalam hubungan timbal balik di antara mereka, atau dengan kata lain, pemaksaan negara
terhadap negara lain harus dilakukan dengan syarat dan cara yang sesuai dengan tradisi yang
dibentuk oleh perilaku aktual negara-negara tersebut. Hal itulah yang disebut oleh Hans Kelsen
sebagai konstitusi hukum internasional dalam pengertian transenden-logis.9

Dalam perkembangan hidup masyarakat internasional modern, Hukum Internasional


didefinisikan sebagai keseluruhan hukum yang untuk sebagian besar terdiri dari prinsip-prinsip
dan kaidah-kaidah perilaku yang terhadapnya negara-negara merasa dirinya terikat untuk
menaati, dan karenanya benar-benar ditaati secara umum dalam hubungan-hubungan mereka
satu sama lain.10 Hukum internasional bukan semata sebuah sistem yang terdiri dari kaidah-
kaidah pengatur hubungan antarnegara saja, tidak sebatas perilaku negara-negara terkait hak
dan kewajiban di antara mereka. Perkembangan yang terjadi pada masyarakat internasional
telah memunculkan kaidah-kaidah baru yang telah diakui sebagai bagian dari kaidah hukum
internasional secara umum.

Berkembangnya interdependensi negara-negara dan peningkatan hubungan


antarnegara, seperti dalam bidang perdagangan, transportasi, dan komunikasi, telah banyak
mengubah wajah hukum internasional saat ini. Kaidah dan konsep tradisional di era Grotius,
Gentilis maupun Zouche mulai tergeser dengan konsep-konsep baru yang berkembang
bersama kebutuhan masyarakat internasional di bidang teknologi dan ekonomi modern.
Hukum internasional tidak lagi sebatas pada kaidah-kaidah yang mengatur perilaku negara-
negara, melainkan sudah meluas oleh karna keberadaan entitas non-negara, seperti lembaga-
lembaga dan organisasi-organisasi internasional, untuk mengatur hubungan satu sama lain,
termasuk hubungan mereka dengan negara-negara dan individu-individu.

Sebelumnya, dari segi praktis, hukum internasional didefinisikan sebagai sebuah sistem
yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara-negara inter se, yang dalam aturan
kerja praktis terdiri dari rangkaian prinsip-prinsip yang di dalamnya memuat hak-hak tertentu,
atau kewajiban-kewajiban tertentu yang dibebankan kepada negara-negara. Dengan batasan
demikian, tujuan utama hukum internasional lebih mengarah pada upaya untuk menciptakan
ketertiban daripada sekedar menciptakan sistem hubungan internasional yang adil.11

Perkembangan terjadi dalam sejarah modern, negara-negara di dunia mengalami


perubahan mendasar dalam dimensi hubungan internasional. Perjanjian Versailles sesudah

9
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif [Pure Theory of Law], diterjemahkan
oleh Raisul Muttaqien (Bandung: Penerbit Nusa Media, 2008), hlm. 238.
10
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional I, edisi X [Introduction to International Law], diterjemahkan oleh
Bambang Iriana Djajaatmadja (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hlm. 3.
11
Ibid, hlm. 4-6.

6
Perang Dunia Pertama yang mendirikan Liga Bangsa-Bangsa, dilanjutkan dengan berdirinya
Perserikatan Bangsa-Bangsa di tahun 1945, menjadi fenomena dalam konsep hukum dunia,
yakni sebuah entitas yang memiliki personalitas hukum internasional. Sejumlah besar lembaga
atau organisasi internasional permanen lahir dalam karakter khasnya yang mampu melintasi
batas-batas negara dan memiliki wewenang yang sering kali berada di atas kekuasaan negara-
negara nasional. Entitas baru yang mengubah wajah hukum internasional itu tiada lain lahir
dari adanya perubahan sosial di dalam masyarakat internasional.

Selain munculnya lembaga-lembaga tersebut, muncul pula gerakan kebebasan dan


perlindungan terhadap hak asasi manusia. Gerakan ini mampu melahirkan kaidah-kaidah baru
yang meletakkan kewajiban untuk bertanggung jawab atas tindakan-tindakan tertentu yang
dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang atau genocide. Demikian pula turut berkembang
gerakan dunia terkait lingkungan hidup global hingga isu perubahan iklim (climate change)
yang mampu mengubah wajah hukum internasional secara umum dalam perkembangan
hubungan masyarakat internasional hingga kini.

D. Hukum Lingkungan Internasional: Studi Kasus Pengaruh Perubahan Sosial

Salah satu bukti perubahan sosial yang memengaruhi perubahan hukum dapat dilihat dari
perkembangan hukum lingkungan internasional yang telah muncul sejak pertengahan abad ke-
19. Hukum ini terus berkembang dengan lahirnya Deklarasi Stockholm 1972 yang meletakkan
dasar kuat bagi perlindungan lingkungan hidup manusia, yang bersifat global dan diakui oleh
masyarakat internasional. Selanjutnya, pengaturan terhadap lingkungan secara lebih jelas kian
berkembang pada abad ke-20, tampak dengan semakin banyaknya perjanjian-perjanjian
bilateral dan multilateral, yang didorong oleh kebutuhan akan lingkungan hidup manusia yang
lebih baik.

Kaidah-kaidah terkait lingkungan hidup tersebut muncul karena adanya keresahaan


masyarakat yang memaksa mereka untuk melakukan perubahan-perubahan yang dapat
mengatasi keresahan atau konflik di dalam kehidupan mereka sendiri. Kegiatan ekonomi dan
industri yang dulu digadang-gadang sebagai kegiatan modern yang mampu memberikan
keuntungan, pada akhirnya semakin mengganggu karena mengakibatkan terjadinya kerusakan
lingkungan. Hal itu dipandang sebagai sesuatu yang tak dapat ditolerir. Gangguan tersebut
terus muncul tidak hanya di wilayah suatu negara, namun juga mampu melintasi batas negara,
seperti yang terjadi antara Amerika Serikat dan Kanada yang mengalami konflik kepentingan

7
terkait penggunaan sumber daya air. Konflik ini berakhir dengan dibuatnya perjanjian bilateral
antar kedua negara yang kemudian berlaku pada tahun 1910.12

Di samping perjanjian bilateral, perkembangan hukum lingkungan internasional juga


telah mengarah pada pembentukan perjanjian internasional, seperti yang terjadi pada tahun
1930 dengan munculnya gerakan-gerakan mengenai perlindungan lingkungan yang mulai
berkembang pesat, ditandai dengan berlakunya London Convention Relative to the
Preservation of Fauna dan Flora in their Natural State (khusus berlaku di wilayah Afrika).
Mulai bermunculannya perjanjian-perjanjian antar negara guna mengatasi pencemaran
lingkungan menjadi titik balik dimulainya sebuah era baru yang mendukung hadirnya hukum
lingkungan internasional.13

Dewan ekonomi sosial menilai bahwa pembangunan ekonomi di dunia telah salah arah
karena pembangunan dilakukan hanya semata-mata untuk memenuhi kebutuhan manusia saja
dan telah mengesampingkan sumber daya alam dan lingkungan (SDA dan lingkungan hanya
dipandang sebagai objek). Dalam menyikapi pola pembangunan dunia yang tidak sehat,
dimulailah suatu gerakan potensial guna melindungi lingkungan. Gerakan ini terjadi pada tahun
1960, ditandai oleh dua hal: Pertama, adanya respon serta dukungan dari negara-negara;
Kedua, adanya gerakan dalam skala internasional.14 Jika kita melihat kembali pembahasan
sebelumnya, bahwa perubahan sosial yang memengaruhi perubahan hukum umumnya
disebabkan oleh adanya gerakan sosial, dalam perkembangan hukum lingkungan internasional
syarat itu tergambar dengan jelas. Masyarakat internasional merasa gelisah dan cemas terhadap
keadaan yang tidak dikehendaki, sehingga hal ini menjadi alasan untuk melakukan perubahan
hingga mencapai titik yang mereka kehendaki.

Pembangunan Hukum Lingkungan Internasional yang dipengaruhi oleh gerakan sosial


masyarakat internasional dapat dilihat dalam sejarah perkembangan soft law instruments yang
dihasilkan oleh beberapa konferensi besar yang menyumbang beberapa prinsip utama dan
diadopsi dalam international hard law instruments dan hukum nasional negara-negara, hingga
sampai hari ini. Konferensi dan deklarasi tersebut adalah:

1) Deklarasi Stockholm 1972

12
Dr. Sukanda Husin, S.H., LL.M., Hukum Lingkungan Internasional, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2016),
hlm. 1
13
Melda Kamil A. Ariadno, “Prinsip-prinsip dalam Hukum Lingkungan Internasional,” Hukum dan
Pembangunan 2 (Maret-April 1999), hlm. 108
14
Ibid., hlm. 110

8
Deklarasi Stockholm 1972 dianggap sebagai “kitab suci pertama” bagi perlindungan
lingkungan hidup manusia yang dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang dianggap
komprehensif karena memuat banyak hal baru dalam upaya perlindungan lingkungan hidup.15
Perhatian dunia telah banyak bergeser, dari ekonomi yang melulu bersifat eksploitasi mengarah
pada pentingnya keseimbangan pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Stockholm
Declaration merumuskan sejumlah asas yang hingga kini masih relevan untuk dipertahankan
dan dilaksanakan dalam upaya perlindungan lingkungan hidup di dunia, baik pada skala global
maupun domestik.

Dalam preamble-nya, Stockholm Declaration memproklamirkan beberapa isu utama


yang berhubungan dengan manusia dan lingkungannya, di antaranya: pengakuan
antarhubungan yang tidak dapat memisahkan manusia dan alam; perlindungan lingkungan
adalah isu utama (major issue) bagi manusia dan pemerintah; kerusakan lingkungan di negara-
negara berkembang banyak disebabkan oleh kemiskinan; bertambahnya jumlah penduduk
menjadi masalah besar dalam perlindungan lingkungan; sudah saatnya umat menusia
bersungguh- sungguh untuk memperbaiki lingkungan; dan umat manusia-pemerintah-dunia
harus berani mengambil tanggung jawab untuk kemaslahatan Bersama. Isu-isu utama tersebut
diturunkan kembali menjadi beberapa prinsip yang diadopsi menjadi asas hukum dalam
pengelolaan lingkungan global dan domestik; action plan yang berisikan 109 rekomendasi dan
diterima secara consensus; serta sekian agenda utama terkait manajemen lingkungan dan
sumber daya alam, penanggulangan pencemaran dan gangguan yang berdampak luas,
pendidikan dan informasi beserta aspek sosial dan budaya dalam isu-isu lingkungan, dan
organisasi sosial.

2) World Charter for Nature 1982

Pertemuan yang digagas oleh Majelis Umum PBB kembali dilakukan seputuh tahun setelah
Stockholm Declaration. Pertemuan ini diselenggarakan untuk memperkuat kembali komitmen
para pemimpin negara atas isu perlindungan terhadap pelestarian lingkungan. World Charter
for Nature 1982 dengan jelas menyebut dalam preamble-nya, bahwa “Manusia adalah bagian
dari alam, dan kehidupan sangat tergantung pada fungsi alam yang tidak terganggu yang
merupakan pemasok energi dan nutrient.”

15
Laode M. Syarif, Maskun, & Birkah Latif, “Evolusi Kebijakan dan Prinsip-Prinsip Lingkungan Global” dalam
Hukum Lingkungan: Teori, Legislasi dan Studi Kasus, ed. Laode M. Syarif & Andri G. Wibisana (Jakarta: s.n.,
2014), hlm. 42.

9
Meskipun pengaruhnya tidak terlalu besar dalam perkembangan hukum lingkungan
internasional, namun terdapat salah satu pesan penting dari Charter ini yang juga turut
memengaruhi hukum nasional negara-negara di dunia adalah “meminta negara untuk
merefleksikan prinsip-prinsipnya dalam hukum nasional negara”.

3) Deklarasi Rio 1992

Perlindungan terhadap lingkungan hidup dan sumber daya alam telah menjadi isu global.
Kehadiran sejumlah NGO (Non Governmental Organization) dalam konferensi besar di Rio
de Janeiro, Brasil, untuk mengawasi agenda diskusi yang dihadiri oleh 172 negara tersebut
menjadi bukti adanya perubahan sosial yang tumbuh dalam masyarakat internasional yang
turut memengaruhi pembangunan hukum dalam isu-isu global. Penting untuk diketahui, hal
seperti ini tidak terjadi dalam konferensi-konferensi dunia sebelumnya. Hal tersebut
menunjukkan realitas konstruksi sosial masyarakat internasional yang kian gencar mengangkat
arti penting lingkungan hidup dan perlindungan terhadap sumber daya alam.

Dengan menghilangkan kata ‘human’ dan hanya menulis ‘environment and


development’ dalam judul dan sejumlah prinsip, Deklarasi Rio 1992 terbukti telah dipengaruhi
oleh gerakan global yang berkembang saat itu. Loncatan dari anthropocentrism ke ecocentrism
menunjukkan prinsip-prinsip yang tidak lagi menempatkan manusia sebagai pusat perhatian
dalam pelestarian lingkungan.

4) Deklarasi Johannesburg 2002

World Summit on Sustainable Development (WSSD) di Johannesburg, Afrika Selatan, ini


berfokus pada Plan of Implementation agar semua prinsip yang dicanangkan sejak Stockholm
dapat dilaksanakan dengan baik. Pencanangan plan of implementasion tersebut didorong oleh
kesadaran bahwa pada kenyataannya sustainable development di semua negara telah gagal
dilaksanakan.

Masyarakat dunia akhirnya menyadari bahwa pembangunan berkelanjutan yang


berhubungan langsung dengan kehidupan sosial masyarakat menjadi syarat mutlak dalam
perlindungan lingkungan hidup. WSSD merasa penting untuk melahirkan beberapa instrumen
rencana global yang memuat hal-hal berikut: (i) Pemberantasan kemiskinan; (ii) Perubahan
pola konsumsi dan produksi; dan (iii) Perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam. Ketiga
hal tersebut menjadi dasar dari 10 pokok action plan yang harus dikerjakan oleh setiap negara.

10
E. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perubahan sosial dapat
memengaruhi perkembangan hukum internasional. Hukum internasional yang kita kenal
sekarang ini merupakan hasil dari proses perkembangan yang dimulai pada sekitar abad ke-15
melalui proses kebiasaan, sesuai dengan perkembangan yang terjadi pada masyarakat
internasional. Hukum internasional yang pada awalnya hanya merupakan aturan yang berlaku
antar kerajaan atau antar polis, namun kini berlaku pula antar individu, lembaga atau organisasi
internasional, termasuk perusahaan multinasional atau transnasional.

Demikian pula pada persoalan lingkungan yang dulu hanya diselesaikan berdasarkan
hukum kebiasaan internasional, memiliki kekuatan mengikat hanya didasarkan pada moral
masing-masing negara. Namun, sejak hadirnya Deklarasi Stockholm 1972 serta deklarasi-
deklarasi yang muncul setelahnya, terjadilah konstruksi hukum yang menaruh harapan pada
kepatuhan dalam hukum lingkungan internasional. Isi perjanjian-perjanjian (deklarasi dan
konvensi) telah disepakati atas kehendak negara itu sendiri, sehingga mengikat untuk
dilaksanakan.

Perkembangan yang terjadi pada hukum internasional sejalan dengan perubahan sosial
dalam pergaulan masyarakat internasional. Keresahan akan pencemaran dan kerusakan
lingkungan yang dilakukan oleh banyak negara dalam memenuhi kebutuhan ekonomi telah
mendorong masyarakat internasional untuk melahirkan kaidah-kaidah dan dasar hukum
internasional guna memberi perhatian lebih pada pentingnya perlindungan lingkungan.
Deklarasi Stockholm 1972, serta deklarasi-deklarasi yang muncul sesudahnya menjadi salah
satu bukti dari perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat internasional serta
memengaruhi perubahan hukum lingkungan internasional selanjutnya.

11
Daftar Pustaka
Buku
Husin, Sukanda. Hukum Lingkungan Internasional. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2016.
Kelsen, Hans. Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif [Pure Theory of
Law], diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien. Bandung: Penerbit Nusa Media, 2008.
Soerjono dan Budi Sulistyowati. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Penerbit PT Raja
Grafindo Persada, 2013.
Paton. A Textbook of Jurisprudence. Yogyakarta: Yayasan Penerbit Gadjah Mada, 1955.
Rahardjo, Satjipto. Pembangunan Hukum dan Konflik Undang-Undang Bidang Sektoral
dalam Hukum dan masyarakat. Bandung: Penerbit Angkasa, 1986.
Renton, David. Membongkar Akar Krisis Global. Yogyakarta: Resist Book, 2009.
Schwarzenberger, G. A Manual of International Law, 6th edition. s.l.: Professional, Book
Limited, 1967.
Starke, J.G.. Pengantar Hukum Internasional I, edisi X [Introduction to International Law],
diterjemahkan oleh Bambang Iriana Djajaatmadja. Jakarta: Sinar Grafika, 2001.
Syarif, Laode M., Maskun, Birkah Latif, “Evolusi Kebijakan dan Prinsip-Prinsip Lingkungan
Global” dalam Hukum Lingkungan: Teori, Legislasi dan Studi Kasus, diedit oleh Laode
M. Syarif & Andri G. Wibisana. Jakarta: s.n., 2014.

Ebook
Oppenheim. International Law: A Treatise, Vol 1-Peace, 3rd Edition, Edited by Ronald F.
Roxburgh. London: Longmans, 1920. https://archive.org/details/cu31924007494754

Jurnal
Kamil, Melda. “Prinsip-prinsip dalam Hukum Lingkungan Internasional.” Hukum dan
Pembangunan (Maret-April 1999). Hlm. 107-122.
Ridwan. “Hukum dan Perubahan Sosial: Perdebatan Dua Kutub Antara Hukum sebagai
Social Control dan Hukum sebagai Social Engineering.” Jurisprudence Vol. 6 (1 Maret
2016), hlm. 28-39.

12

Anda mungkin juga menyukai