Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

SOSIOLOGI HUKUM

Oleh:

NAMA : EKO SETIAWAN


NIM : 91220034
KELAS/SEMESTER : REGULAR/1 (SATU)

PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia memiliki kompleksitas budaya yang plural (plural societies) dan


heterogen (masyasrakat majemuk), yakni suatu masyarakat yang terdiri atas dua
atau lebih elemen-elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu
sama lain di dalam satu kesatuan politik. Pertanda paling jelas dari masyarakat
indonesia yang bersifat majemuk itu adalah tidak adanya kehendak bersama
(common will). Elemen-elemen masyarakat indonesia secara keseluruhan terpisah
satu sama lain setiap elemen lebih merupakan kumpulan individu-individu daripada
suatu keseluruhan yang bersifat organis. Sebagai individu, kehidupan sosial mereka
tidaklah utuh. Oleh karena itu, konflik yang terjadi di indonesia seringkali
bersumber dari adanya perbedaan dan pertentangan antarlatar belakang sosio
kultural. Indonesia dapat dianggap sebgai negara yang memiliki modal kedamaian
sosial yang rendah.
Kesadaran hukum adalah kesadaran tentang apa yang seharusnya kita
lakukan atau perbuat atau yang seharusnya tidak kita lakukan atau perbuat terutama
terhadap orang lain. Kesadaran hukum mengandung sikap toleransi. Dapat
disimpulkan bahwa kesdaran hukum merupakan cara pandang masyarakat terhadap
hukum itu, apa yang seharusnya dilakukan dan tidak dilakukan terhadap hukum,
serta penghormatan terhadap hak-hak orang lain (tenggang rasa). Ini berarti bahwa
dalam kesadaran hukum mengandung sikap toleransi. Pada hakikatnya Kesadaran
hukum dengan hukum itu mempunyai kaitan yang erat sekali. Kesadaran hukum
merupakan faktor dalam penemuan hukum. Bahkan Krabbe menyatakan bahwa
sumber segala hukum adalah kesadaran hukum. Dengan begitu maka yang disebut
hukum hanyalah yang memenuhi kesadaran hukum kebanyakan orang, maka
undang-undang yang tidak sesuai dengan kesadaran hukum kebanyakan orang akan
kehilangan kekuatan mengikat.
Hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat
manusia, sehingga ada sebuah adagium terkenal dalam studi ilmu hukum, yakni
“ada masayarakat, ada hukum” (ubi societas ibi ius). Kehadiran hukum dalam

1
masyarakat sangat penting karena hukum merupakan salah satu lembaga
kemasyarakatan (social institutions) yang harus dipahami tidak sekedar sebagai
suatu sistem peraturan belaka, melainkan juga bagaimana ia menjalankan fungsi-
fungsi sosial dalam dan untuk masyarakatnya bersama-sama dengan lembaga
kemasyarakatn yang lain secara seimbang.
Kerusuhan atau Konflik Sosial adalah suatu kondisi dimana terjadi huru-
hara/kerusuhan atau perang atau keadaan yang tidak aman di suatu daerah tertentu
yang melibatkan lapisan masyarakat, golongan, suku, ataupun organisasi tertentu.
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki
pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan
pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat
menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial,
seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Perbedaan latar belakang
kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda. Seseorang sedikit
banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya.
Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan
perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
Indonesia sebagai negara kesatuan pada dasarnya dapat mengandung
potensi kerawanan akibat keanekaragaman suku bangsa, bahasa, agama, ras dan
etnis golongan, hal tersebut merupakan faktor yang berpengaruh terhadap potensi
timbulnya konflik. Dengan semakin marak dan meluasnya konflik akhir-akhir ini,
merupakan suatu pertanda menurunnya rasa nasionalisme di dalam masyarakat.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana peranan sosiologi hukum dalam penuntasan konflik sosial?

C. Tujuan
Untuk mengetahui mengenai sosiologi hukum dalam penuntasan konflik
sosial

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sosiologi Hukum
1. Pengertian Sosiologi Hukum
Menurut Achmad Ali lahirlah konsep law as a tool of social engineering
yang berarti bahwa hukum sebagai alat untuk secara sadar mengubah
masyarakat atau hukum sebagai alat rekayasa sosial. Oleh karenanya, dalam
upaya menggunakan hukum sebagai alat rekayasa sosial diupayakan
pengoptimalan efektivitas hukum juga menjadi salah satu topik bahasan
sosiologi hukum. 1

Menurut Gerald Turkel, pendekatan sosiologi hukum menyangkut


hubungan hukum dengan moral dan logika internal hukum. Fokus utama
pendekatan sosiologi hukum yaitu :

a. pengaruh hukum terhadap perilaku sosial;


b. pada kepercayaan-kepercayaan yang dianut oleh masyarakat dalam the
social world mereka;
c. pada organisasi sosial dan perkembangan sosial serta pranata hukum tentang
hukum itu dibuat dan kondisi-kondisi sosial yang menimbulkan hukum. 2

Sosiologi Hukum memperkenalkan banyak faktor nonhukum yang


memengaruhi perilaku hukum tentang cara mereka membentuk dan
melaksanakan hukum. Namun dalam hal ini, sosiologi hukum menekankan
pada penerapan hukum secara wajar dan pantas, yaitu memahami aturan hukum
sebagai penuntun umum bagi hakim, yang menuntun seorang hakim dalam
menghasilkan putusan yang adil, yaitu hakim diberi kebebasan dalam
menjatuhkan putusan terhadap setiap kasus yang diajukan kepadanya, sehingga
hakim dapat menyeimbangkan antara kebutuhan keadilan antara para pihak atau

1
Ali, Zainuddin. Sosiologi Hukum. (Jakarta.:Sinar Grafika, 2008), hal.32
2
Soekanto, Soerjono. Pengantar Sejarah Hukum, (Bandung, Alumni, 2013), hal.53

3
terdakwa dengan alasan umum dari warga masyarakat. Sosiologi Hukum
adalah kajian ilmiah tentang kehidupan sosial. Salah satu misi dari sosiologi
hukum adalah memprediksi dan menjelaskan berbagai fenomena hukum, yaitu
bagaimana suatu kasus memasuki sistem hukum dan bagaimana
penyelesaiannya. Sosiologi hukum juga menggunakan fakta-fakta tentang
lingkungan sosial di tempat hukum itu berlaku. 3

2. Ruang Lingkup Sosiologi Hukum


Ruang lingkup sosiologi hukum ada 2 (dua) hal, yaitu:
a. Dasar-dasar sosial dari hukum atau basis sosial dari hukum. Sebagai contoh
dapat disebut misalnya: hukum nasional di Indonesia, dasar sosialnya
adalah pancasila, dengan iri-cirinya: gotong royong, musyawarah, dan
kekeluargaan;
b. Efek-efek hukum terhadap gejala-gejala sosial lainnya. Sebagao contoh
dapat disebut misalnya: Undang-undang No. 22 Tahun 1997 dan Undang-
undang No. 23 Tahun 1999 tentang Narkotika dan Narkoba erhdap gejala
konsumsi obat-obat terlarang dan semacamnya;4
c. Pada prinsipnya, sosiologi hukum ( sosiologi of Law ) merupakan derifatif
atau cabang dari ilmu sosiologi, bukan cabang dari ilmu hukum. Memang,
ada study tentang hukum yang berkeanan dengan masyarakat yang
merupakan cabang dari ilmu hukum, tetapi tidak disebut sebagai sosiologi
hukum, melainkan disebut sebagai sociological jurispudence.
d. Sosiologi bertugas hanya untuk mendeskrisipkan fakta-fakta.Sedangkan
ilmu hukum berbicara tentang nilai-nilai dimana nilai-nilai ini memang
ingin dihindari oleh ilmu sosiologi sejak semula.Kekhawatiran tersebut
adalah berkenaan dengan kemungkinan dijerumuskannya ilmu sosiologi
oleh sosiologi hukum untuk membahas nilai-nilai. Sebagaimana diketahui,
bahwa pembahasan tentang nilai-nilai sama sekali bukan urusan ilmu
sosiologi. Meskipun begitu, terdapat juga aliran dalam sosiologi hukum,

3
Fuady, Munir. Sosiologi Hukum Kontemporer. Interaksi Hukum, Kekuasan, dan
Masyarakat. (Bandung PT Citra Aditya Bakti 2007) hal.22
4
Zainudin Ali, Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 4

4
seperti aliran Berkeley, yang menyatakan bahwa mau tiak mau, suka tidak
suka, sosiologi hukum meruapakan juga derifatif dari ilmu hukum sehingga
harus juga menelaah masalah-masalah normatif yang sarat dengan nilai-
nilai.
e. Fungsi hukum dalam masyarakat sangat beraneka ragam, bergantung dari
berbagai faktor dan keadaan masyarakat.Disamping itu.fungsi hukum
dalam masyarakat yang belum maju juga akan berbeda dengan yang
terdapat dalam masyarakat maju.

3. Teori Hukum Sosiologis (Empiris)


Konsep-konsep yang mengidentifikasikan hukum sebagai institusi sosial
yang riil dan fungsional dalam sistem kehidupan bermasyarakat, merupakan
5
konsep hukum yang sosiologis, empiris atau antropologis Beberapa Teori
Hukum Sosiologis :
1. Teori Sibernetika : (Talcott Parsons).
Bahwa tingkah laku individu tidak merupakan tingkah laku biologis, tetapi
harus ditinjau sebagai tingkah laku yang berstruktur. Tingkah laku
seseorang harus ditempatkan dalam kerangka sistem sosial yang luas yang
terbagi dalam sub sistem - sub sistem. Dalam garis besarnya, tingkah laku
individu dibatasi oleh dua lingkungan dasar yang masing-masing bersifat
fisik dan ideal, yaitu lingkungan fisik organik dan lingkungan realitas
tertinggi. Diantara dua lingkungan dasar tersebut terdapat hierarkhis, yaitu
sub-sistem budaya dengan fungsi mempertahankan pola, sub-sistem social
dengan fungsi integrasi, sub-sistem politik dengan fungsi mencapai tujuan
dan sub-sistem ekonomi dengan fungsi adaptasi6
2. Teori Solidaritas : ( Emile Durkheim ).
Bahwa penyebab orang-orang terikat dalam satu kesatuan sosial ialah karena
adanya solidaritas. Dari sini dapat dilihat adanya hubungan antara jenis-jenis
hukum tertentu dengan sifat solidaritas dalam masyarakat. Solidaritas mekanis

5
Zainudin Ali, Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 4
6
Aris Tanudirjo, Daud. Sejarah Perkembangan Budaya di Dunia dan
di Indonesia. (Yogyakarta:Widya Utama,2013) h. 56

5
menghasilkan hukum represif yang bersifat menindak (Hukum Pidana),
solidaritas organis menghasilkan hukum restitutif yang bersifat mengganti 7

3. Teori Malinowski.
Bahwa setiap elemen dari hukum primitif, setiap tuntutan, ditentukan oleh
kebutuhan untuk mempertahankan identitas kelompok8
4. Teori Kenneth S.Carlston.
Bahwa kelompok hancur atau cerai berai atau punah bukanlah hanya
disebabkan karena hukum gagal dalam melaksanakan tugasnya. Tugas hukum
haruslah dijalankan sebab tugas ini merupakan kondisi yang tidak dapat digantikan
dalam mencapai tujuan yang sebenarnya dari setiap kelompok. Hukum tidak
merupakan tujuan itu sendiri, melainkan merupakan instrumen yang tidak dapat
digantikan untuk mencapai tujuan biologis tertinggi yang nyata dari aktivitas
manusia 9
5. Teori Huntington Cairns.
Ilmu pengetahuan hukum sebagai suatu sociotecnique mampu membuat dan
menerapkan peraturan-peraturan hukum yang diperlukan guna mencapai tujuan-
tujuan sosial yang diharapkan, penggunaan hukum sebagai “a tool of social
engineering” meliputi penggunaan peraturan-peraturan yang dirumuskan oleh
lembaga-lembaga pembuat peraturan yang menimbulkan suatu akibat tertentu pada
tingkah laku pemegang peran, yaitu untuk mewujudkan tujuan-tujuan tertentu yang
dikehendaki10

4. Hukum Sebagai Sosial Control


Sosial control (social control) biasanya diartikan sebagai suatu proses, baik
yang direncanakan maupun tidak, mengajak atau bahkan memaksa warga
masyarakat agar mematuhi system kaidah dan nilai yang berlaku. Perwujudan
social control tersebut mungkin berupa pemidanaan, kompensasi, terapi, maupun

7
Soekmono, R.tt. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jakarta:Kanisius, hal. 27
8
Ibid. 2008. Hal.28
9
Ibid. 2008. Hal.57
10
Soekmono, R.tt, op.cit. 2008. Hal.73

6
konsiliasi. Standar atau patokan dari pemidanaan adalah suatu larangan, yang apbila
dilanggar akan mengakibatkan penderitaan (sanksi negative) bagipelanggarannya.
Dalam hal ini bila kepentingan-kepentingan dari suatu kelompok dilanggar,
inisiatif dating dari seluruh warga kelompok (yang mungkin dikuasakan kepada
pihak tertentu).11
Pada kompensasi, standar atau patokannya adalah kewajiban, dimana inisiatif
untuk memprosesnya ada pada pihak yang dirugikan. Pihak yang dirugikan akan
meminta ganti rugi, oleh karena pihak lawan melakukan wansprestasi. Disini ada
pihak yang kalah dan ada pihak yang menang, seperti halnya dengan pemidanaan
yang sifatnya akusator.
Berdasarkan dengan kedua hal di atas, terapi maupun konsiliasi sifatnya
“remedial”, artinya mengembalikan situasi (interaksi sosial) pada keadaan yang
semula. Oleh karena itu, yang pokok bukanlah siapa yang kalah dan siapa yang
menang, melainkan yang penting adalah menghilangkan keadaan yang tidak
menyenangkan bagi para pihak. Hal itu tampak bahwa konsiliasi, standarnya adalah
normalitas, keserasian, dan kesepadanan yang biasa disebut keharmonisan.
Setiap kelompok masyarakat selalu memiliki problem sebagai akibat adanya
perbedaan antara yang ideal dan yang actual, antara yang standard an yang praktis,
antara yang seharusnya atau yang diharapkan untuk dilakukan dan apa yang dalam
kenyataan dilakukan. Standar dan nilai-nilai kelompok dalam masyarakat
mempunyai variasi sebagai faktor yang menentukan tingkah laku individu atau
kelompok.12
Fungsi hukum dalam kelompok dimaksud di atas adalah menerapkan
mekanisme control sosial yang akan membersihkan masyarakat dari sampah-
sampah masyarakat yang tidak dikehendaki sehingga hukum mempunyai suatu
fungsi untuk mempertahankan eksistensi kelompok itu. Anggota kelompok akan
berhasil mengatasi tuntutan-tuntutan yang menuju kea rah penyimpangan, guna
menjamin agar kelompok dimaksud tetap utuh, atau kemungkinan lain hukum gagal
dalam melaksanakan tugasnya sehingga kelompok itu hancur, atau cerai-berai, atau
punah. Karena itu, hukum tampak mempunyai fungsi rangkap. Disatu pihak dapat

11
Ibid, h. 22
12
Ibid, h. 23

7
merupakan tindakan yang mungkin menjadi demikian melembaga, yaitu menjadi
mantap antara anggota-anggota kelompok masyarakat sehingga hukum mudah
dipakai untuk mencapai tujuan-tujuan kelompok, dan kelompok itu menganggap
tindakan itu sebagai suatu kewajiban. Di lain pihak mungkin merupakan tindakan
yang berwujud reaksi kelompok itu terhadap tingkah laku yang menyimpang, dan
yang diadakan untuk mengendalikan tingkah laku yang menyimpang itu. Hukum
dalam pengertian yang disebutkan terakhir itu terdiri dari pola-pola tingkah laku
yang dimanfaatkan oleh kelompok untuk mengembalikan tindakan-tindakan yang
jelas mengganggu usaha-usaha untuk mencapai tujuan-tujuan kelompok dan yang
menyimpang dari cara-cara yang sudah melembaga yang ditujukan untuk mencapai
tujuan-tujuan kelompok hukum dalam fungsinya yang demikian itu, merupakan
instrument pengendalian sosial.13
Suatu kelompok masyarakat pada suatu tempat tertentu hancur, bercerai berai
atau punah bukanlah disebabkan hukum gagal difungsikan untuk melaksanakan
tugasnya, melainkan tugas hukum harus dijalankan untuk menjadi sosial control
dan social engineering di dalam kehidupan masyarakat. Sebab, tugas dan fungsi
hukum tidak merupakan tujuan itu sendiri, melainkan merupakan instrument yang
tidak dapat digantikan untuk mencapai keseimbangan dalam aktivitas yang
dilakukan oleh manusia.

5. Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat


Hukum mungkin dipergunakan sebagai suatu alat oleh agent of change. Agent
of change atau pelopor perubahan seseorang atau kelompok orang yang mendapat
kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin satu atau lembaga –lembaga
kemasyarakatan. Pelopor perubahan memimpin masyarakat dalam mengubah
system sosial dan di dalam melaksanakan hal itu langsung tersangkut dalam
tekanan-tekanan untuk mengadakan perubahan, bakan mungkin menyebabkan
perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya. Suatu
perubahan sosial yang dikehendaki atau direncanakan, selalu berada di bawah
pengendalian serta pengawasan pelopor perubahan tersebut. Cara-cara untuk

13
Ibid, h. 23-24

8
mempengaruhi masyarakat dengan system yang teratur dan direncanakan terlebih
dahulu, dinamakan social engineering atau social planning.14
Selain sebagai control sosial, hukum juga berfungsi sebagai alat untuk
mengubah masyarakat atau biasa disebut social engineering. Alat pengubah
masyarakat yang dimaksudkan oleh Roscoe Pound, dianalogikan sebagai suatu
proses mekanik. Hal ini terlihat dengan adanya perkembangan industry dan
transaksi-transaksi bisnis yang memperkenalkan nilai dan norma baru. Peran
“pengubah” tersebut dipegang oleh hakim melalui “interpretasi” dalam mengadili
kasus yang dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal berikut.
1) Studi tentang aspek sosial yang actual dari lembaga hukum
2) Tujuan dari pembuat peraturan hukum yang efektif.
3) Studi tentang sosiologi dalam mempersiapkan hukum.
4) Studi tentang metodologi hukum.
5) Sejarah hukum
6) Arti penting tentang alas an-alasan dan solusi dari kasus-kasus individual yang
pada angkatan terdahulu berisi tentang keadilan yang abstrak dari suatu hukum
yang abstrak.
Keenam langkah tersebut diperhatikan oleh hakim atau praktisi hukum dalam
melakukan “interpretasi” sehingga perlu ditegaskan, bahwa dengan memperhatikan
temuan-temuan tentang keadaan sosial masyarakat melalui bantuan ilmu sosial,
akan terlihat adanya nilai-nilai atau norma-norma tentang “hak” individu yang
harus dilindungi, unsure-unsur tersebut kemudian dipegang oleh masyarakat dalam
mempertahankan apa yang disebut dengan hukum alam (natural law).
Roscoe Pound mengemukakan bahwa agar hukum dapat dijadikan sebagai agen
dalam perubahan sosial atau yang disebutnya dengan agent of social change, maka
endapatnya dikuatkan oleh Williams James yang menyatakan bahwa “ditengah-
tengah dunia yang sangat terbatas dengan kebutuhan (kepentingan) manusia yang
selalu berkembang, maka dunia tidak akan memuaskan kebutuhan (kepentingan)
manusia tesebut. “di sini terlihat bahwa James mengisyaratkan “hak” individu yang
selalu dituntut untuk dipenuhi demi terwujudnya suatu keputusan, tidak akan

14
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi hukum, (Jakarta: Rajagrafido Persada, 2014),
h. 122

9
pernah terwujud sepenuhnya, dan akan selalu ada pergeseran-pergeseran antara hak
individu yang satu dengan hak individu yang lainnya. Untuk itulah dituntut peran
peraturan hukum (legal order) untuk “mengarahkan” manusia menyadari
keterbaasan dunia tersebut, sehingga mereka berusaha untuk membatasi diri dengan
mempertimbangkan sendiri tuntutan terhadap pemuasan dan keamanan
kepentingannya. Tuntutan yang sama juga akan diajukan oleh individu lain
sehingga mereka dapat hidup berdampingan secara damai atau aberada dalam
keadaan keseimbangan (balance).
Hukum sebagai social engineering berkaitan dengan fungsi dan keberadaan
hukum sebagai pengatur penggerak perubahan masyarakat, maka interpretasi
analogi Pound mengemukakan hak yang bagaimanakah seharusnya diatur oleh
hukum, dan hak-hak yang bagaimanakah dapat dituntut oleh individu dalam hidup
bermasyarakat. Pound mengemukakan bahwa yang merupakan hak itu adalah
kepentingan atau tuntutan-tuntutan yang diakui, diharuskan dan dibolehkan secara
hukum, sehingga tercapai suatu keseimbangan dan terwujudnya apa yangdimaksud
dengan ketertiban umum.15

C. Konflik Sosial
Dalam Undang-undang No. 7 Tahun 2012 pasal 1 ayat (1) tentang
Penanganan Konflik Sosial, konflik sosial diartikan sebagai berikut: “Konflik
Sosial, yang selanjutnya disebut Konflik, adalah perseteruan dan/atau benturan fisik
dengan kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau lebih yang berlangsung
dalam waktu tertentu dan berdampak luas yang mengakibatkan ketidakamanan dan
disintegrasi sosial sehingga mengganggu stabilitas nasional dan menghambat
pembangunan nasional”.16
Webster mengatakan dalam bukunya Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin
istilah “conflict” didalam bahasa aslinya berarti suatu “perkelahian, peperangan,
atau perjuangan”, yaitu berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak.17
Kemudian istilah “conflict” ini menjadi meluas dan tidak hanya terbatas pada

15
Op. Cit, h. 25-26
16
Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial
17
Ronny Hanitijo Soemintro, Beberapa Masalah Dalam Studi Hukum dan Masyarakat,
(Remaja Karya: Bandung, 2015, cet. 1), h. 111

10
konfrontasi fisik tetapi menyangkut aspek psikologis, dan konflik hampir
ditemukan dalam segala aspek interaksi kehidupan umat manusia.
Lebih lanjut Webster memberikan batasan yang lebih luas yaitu bahwa
konflik berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of
interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak
dapat dicapai secara simultan.18
Kepentingan disini adalah perasaan orang mengenai apa yang
sesungguhnya ia inginkan, dan ini menjadi sentral pemikiran yang melandasi
tindakan seseorang, yang membentuk inti dari banyak sikap, tujuan, dan niatnya.
Kepentingan dimaksud ada yang bersifat universal dan ada yang bersifat spesifik.
Kepentingan yang bersifat universal dimaksud antara lain kebutuhan, rasa aman,
kebahagiaan, kesejahteraan. Keinginan yang bersifat spesifik seperti bangsa
Palestina ingin untuk memiliki tanah airnya. 19
Sebelum kepentingan satu pihak dapat bertentangan dengan kepentingan
pihak lain, kepentingan-kepentingan tersebut harus diterjemahkan ke dalam suatu
aspirasi, yang didalamnya terkandung berbagai “tujuan” dan “standar”. Tujuan
adalah akhir dari suatu perjuangan, sedangkan standard adalah tingkat pencapaian
minimal yang lebih rendah, sehingga orang menganggapnya sebagai sesuatu yang
tidak memadai.
Uger didalam bukunya Soerjono Soekanto, tidak memberikan pengertian
konflik, tetapi membagi konflik atas tiga bagian, yaitu: (1) Konflik antara
kepentingan pribadi dengan kepentingan sosial, (2) konflik antara kebebasan
dengan paksaan, (3) konflik antara negara dengan masyarakat.20 Lebih lanjut Uger
menempatkan studi hukum di dalam kerangka permasalahan umum dalam teori
sosial seperti pada angka 1 s.d. 3.
Rony Hanityo memberikan pemahaman mengenai konflik, yaitu merupakan
gejala yang melekat pada setiap masyarakat, sedangkan setiap masyarakat selalu
berada dalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir. Perubahan sosial yang

18
Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, Teori Konflik Sosial, (Jakarta, Pustaka Pelajar, 2014,
cet. 1), h. 9-10, (diterjemahkan oleh Helly P. Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto dari judul asli:
Social Conflict).
19
Ibid
20
Ibid, h. 21

11
demikian terutama timbul karena adanya unsur-unsur yang saling bertentangan di
dalam setiap masyarakat.21
Menurut DuBois dan Miley, sumber utama terjadi konflik dalam
masyarakat adalah adanya ketidakadilan sosial, adanya diskriminasi terhadap hak-
hak individu dan kelompok, adanya diskriminasi terhadap hak-hak individu dan
kelompok, serta tidak adanya penghargaan terhadap kebereagaman.22
Konflik sosial yang terjadi umumnya melalui dua tahap yang dimulai dari
tahap disorganisasi atau keretakan dan terus berlanjut ke tahap disintegrasi atau
perpecahan. Timbulnya gejala-gejala disorganisasi dan disintegrasi adalah akibat
dari hal-hal berikut:
a. Ketidak sepahaman para anggota kelompok tentang tujuan masyarakat yang
pada awalnya menjadi pedoman bersama.
b. Norma-norma sosial tidak membantu anggota masyarakat dalam mencapai
tujuan yang telah disepakati.
c. Kaidah-kaidah dalam kelompok yang dihayati oleh anggotanya bertentangan
satu sama lain.
d. Sanksi menjadi lemah bahkan tidak dilaksanakan dengan konsekuen.
e. Tindakan anggota kelompok sudah bertentangan dengan norma-norma
kelompok.
Menurut Sorjono Soekanto Tejadinya konflik disebabkan oleh hal-hal
sebagai berikut:
a. Adanya perbedaan pendirian atau perasaan antara individu dan individu lain
sehingga terjadi konflik di antara mereka.
b. Adanya perbedaan kepribadian diantara anggota kelompok disebabkan oleh
perbedaan latar belakang kebudayaan.
c. Adanya perbedaan kepentingan atau tujuan di antara individu atau kelompok.
d. Adanya perubahan-perubahan sosial yang cepat dalam masyarakat yang diikuti
oleh adanya perubahan nilai-nilai atausistem yang berlaku dalam masyarakat.23

21
Soerjono Soekanto, Perspektif Teoritis Studi Hukum Dalam Masyarakat, (Jakarta:
Rajawali, 2015), h. 44
22
Bagja Waluya, Sosiologi (Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat), (Bandung: Setia
Purna Inves, 2007), h. 38
23
Ibid, h. 32-33

12
Sebenarnya konflik tidak selamanya selalu membawa dampak negatif,
namun juga membawa dampak yang positif dalam interaksi kehidupan sosial, oleh
karena itu Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin memberikan pendapat dalam bahasa
yang lebih konkrit berupa “beberapa kabar baik dan buruk tentang konflik”.24
Berikut ini akan diuraikan akibat-akibat dari konflik.
1. Akbiat negatif dari adanya konflik
a. Retaknya persatuan kelompok. Hal ini terjadi apabila terjadi pertentangan
antaranggota dalam satu kelompok.
b. Perubahan kepribadian individu. Pertentangan di dalam kelompok atau
antar kelompok dapat menyebabkan individu-individu tertentu merasa
tertekan sehingga mentalnya tersiksa
c. Dominasi dan takluknya salah satu pihak. Hal ini terjadi jika kekuatan
pihak-pihak yang bertikai tidak seimbang, akan terjadi dominasi oleh satu
pihak terhadap pihak lainnya. Pihak yang kalah menjadi takhluk secara
terpaksa, bahkan terkadang menimbulkan kekuasaan yang otoriter (dalam
politik) atau monopoli (dalam ekonomi).
d. Banyak kerugian, baik ahrta benda maupun jiwa, akibat kekerasan yang
ditonjolkan dalam penyelesaian suatu konflik.
2. Akibat positif dari adanya konflik
a. Konflik dapat meningkatkan solidaritas diantara anggota kelompok,
misalnya apabila terjadi pertikaian antar kelompok, anggota-anggota dari
setiap kelompok tersebut akan bersatu untuk menghadapi lawan
kelompoknya.
b. Konflik berfungsi sebagai alat perubahan sosial, misalnya anggota-anggota
kelompok atau masyarakat yang berseteru akan menilai dirinya sendiri dan
mungkin akan terjadi perubahan dalam dirinya.
c. Munculnya pribadi-pribadi atau mental-mental masyarakat yang tahan uji
dalam menghadapi segala tantangan dan permasalahan yang dihadapi
sehingga dapat lebih mendewasakan masyarakat.
d. Dalam diskusi ilmiah, biasanya perbedaan pendapat justru diharapkan untuk
melihat kelemahan-kelemahan suatu pendapat sehingga dapat ditemukan

24
Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, Op. Cit., h.12-117

13
pendapat atau pilihan-pilihan yang lebih kuat sebagai jalan keluar atau
pemecahan suatu masalah.25
Dengan demikian dalam konflik yang buruk atau kurang baik dapat
mengakibatkan suatu akibat yang mengerikan karena dapat menimbulkan
kerusakan pada orang-orang yang terperangkap di dalamnya.
Beranjak dari beberapa teori atau pandangan dari beberapa sosiolog,
pendekatan pemahaman terhadap konflik selalu didasarkan pada pertentangan
kepentingan diantara anggota-anggota masyarakat, semakain besar tingkat
perbedaan antara satu kelompok dengan kelompok lain, maka kecenderungan
timbulkan konflik akan semakin besar, demikian sebaliknya, termasuk dalam hal
ini digolongkan konflik yang bersifat horisontal (masyarakat dengan masyarakat)
maupun vertikal (masyarakat dengan pemerintah), demikian juga campuran antara
konflik horisontal dengan vertikal.

D. Teori Hukum Normatif.


Konsep-konsep mengenai hukum sebagai norma kaidah undang-undang dan
peraturan merupakan konsep-konsep hukum yang bersifat positivitis dogmatis,
normative, legistis 26
1. Teori Hukum Murni (Hans Kelsen)
Menghendaki suatu gambaran tentang hukum yang bersih dalam
abstraksinya dan ketat dalam logikanya. Oleh karena itulah ia
menyampingkan hal-hal yang bersifat idoelogis, oleh karena dianggapnya
irasional. Hukum tidak boleh dicemari oleh ilmu-ilmu politik, sosiologi,
sejarah dan pembicaraan tentang etika27
2. Stufent Theorie (Hans Kelsen).
Tata hukum sebagai suatu proses menciptakan sendiri norma-norma, dari mulai
norma-norma yang umum sampai kepada yang lebih konkrit, sampai kepada yang
paling konkrit. Pada ujung terakhir proses ini, sanksi hukum lalu berupa izin yang
diberikan kepada seseorang untuk melakukan suatu tindakan atau memaksakan

25
Bagja Waluya, Sosiologi (Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat), (Bandung: Setia
Purna Inves, 2007), 40-41
26
Soekmono, R.tt, op.cit. 2008. Hal.1
27
Satjipto Rahardjo, “Sosiologi Suatu Pengantar”. (Jakarta: Pustaka pelajar, 2012) Hal,
273

14
suatu tindakan. Dalam hal ini apa yang semula berupa sesuatu yang “seharusnya”,
kini telah menjadi sesuatu yang “boleh” dan “dapat” dilakukan 28
3. Teori John Austin.
Yang sesungguhnya disebut hukum adalah sesuatu jenis perintah. Tetapi, karena
ia disebut perintah, maka setiap hukum yang sesungguhnya, mengalir dari satu
hukum yang pasti. Apabila suatu perintah dinyatakan atau diumumkan, satu pihak
menyatakan suatu kehendak agar pihak lain menjalankannya atau membiarkan itu
dijalankan. 29
4. Teori Zevenbergen.
Norma hukum adalah norma penilai dengan kualitas itu ia menjadi norma ideal
dan norma kultur, ia tidak melukiskan kenyataan melainkan melakukan penilaian
dengan menunjukkan apa yang seharusnya terjadi dan dilakukan. Oleh karena itu,
untuk memahami struktur logis, orang tidak boleh melihatnya dari segi dasein
melainkan dari segi das sollen, yang tersusun dari penilaian-penilaian hipotetis 30

E. Perubahan Sosial
Proses perubahan sosial terdiri dari tiga tahap barurutan : (1) invensi yaitu
proses di mana ide-ide baru diciptakan dan dikembangkan, (2) difusi, ialah proses
di mans ide-ide baru itu dikomunikasikan ke dalam Sistem sosial, dan (3)
konsekwensi yakni perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem social sebagai
akibat pengadopsian atau penolakan inovasi. Perubahan terjadi jika penggunaan
atau penolakan ide baru itu mempunysi akibat. Karena itu perubahan sosial adalah
akibat komunikasi sosial. 31
Beberapa pengamat terutama ahli anthropologi memerinci dua tahap
tambahan dalam urutan proses di atas. Salah satunya ialah pengembangan inovasi
yang terjadi telah invensi sebelum terjadi difusi. Yang dimaksud ialah proses
terbentuknya ide baru dari suatu bentuk hingga menjadi suatu bentuk yang

28
Ibid, 2012) Hal, 265
29
Ibid, 2012) Hal, 152
30
Ibid, 2012) Hal, 71
31
Soekmono, R.tt, op.cit. 2008. Hal.1

15
memenuhi kebutuhan audiens penerima yang menghendaki. Kami tidak
memaaukkan tahap ini karena ia tidak selalu ada. Misalnya, jika inovasi itu dalam
bentuk yang siap pakai. Tahap terakhir yang terjadi setelah konsekwensi, adalah
menyusutnya inovasi, ini menjadi bagian dari konsekwensi. 32
Yang memicu terjadinya perubahan dan sebaliknya perubahan sosial dapat
juga terhambat kejadiannya selagi ada faktor yang menghambat perkembangannya.
Faktor pendorong perubahan sosial meliputi kontak dengan kebudayaan lain, sistem
masyarakat yang terbuka, penduduk yang heterogen serta masyarakat yang
berorientasi ke masa depan. Faktor penghambat antara lain sistem masyarakat yang
tertutup, vested interest, prasangka terhadap hal yang baru serta adat yang berlaku.
33

Perubahan sosial dalam masyarakat dapat dibedakan dalam perubahan cepat


dan lambat, perubahan kecil dan besar serta perubahan direncanakan dan tidak
direncanakan. Tidak ada satu perubahan yang tidak meninggalkan dampak pada
masyarakat yang sedang mengalami perubahan tersebut. Bahkan suatu penemuan
teknologi baru dapat mempengaruhi unsur-unsur budaya lainnya. Dampak dari
perubahan sosial antara lain meliputi disorganisasi dan reorganisasi sosial,
teknologi serta cultural.

F. Penyebab Perubahan Sosial


1. Dari Dalam Masyarakat
ü Mobilitas Penduduk
Mobilitas penduduk ini meliputi bukan hanya perpindahan penduduk dari
desa ke kota atau sebaiiknya, tetapi juga bertambah dan berkurangnya penduduk
ü Penemuan-penemuan baru (inovasi)
Adanya penemuan teknologi baru, misalnya teknologi plastik. Jika dulu
daun jati, daun pisang dan biting (lidi) dapat diperdagangkan secara besar-besaran
maka sekarang tidak lagi. Suatu proses sosial perubahan yang terjadi secara besar-
besaran dan dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama sering disebut dengan

32
Gumgum Gumilar, Teori Perubahan Sosial. (Unikom. Yogyakarta, 2010)
Hal.23
33
Suyanto, Merefleksikan Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia.(2012) Kompas, 17
Maret 2017, hal. 5.

16
inovasi atau innovation. Penemuan-penemuan baru sebagai sebab terjadinya
perubahan-perubahan dapat dibedakan dalam pengertian-pengertian
ü Pertentangan masyarakat
Pertentangan dapat terjadi antara individu dengan kelompok atau antara
kelompok dengan kelompok.
ü Terjadinya Pemberontakan atau Revolusi
Pemberontakan dari para mahasiswa, menurunkan rezim Suharto pada
jaman orde baru. Munculah perubahan yang sangat besar pada Negara dimana
sistem pemerintahan yang militerisme berubah menjadi demokrasi pada jaman
refiormasi. Sistem komunikasi antara birokrat dan rakyat menjadi berubah
(menunggu apa yang dikatakan pemimpin berubah sebagai abdi masyarakat).
2. Dari Luar Masyarakat
ü Peperangan
Negara yang menang dalam peperangan pasti akan menanamkan nilai-nilai
sosial dan kebudayaannya.
ü Lingkungan
Terjadinya banjir, gunung meletus, gempa bumi, dll yang mengakibatkan
penduduk di wilayah tersebut harus pindah ke wilayah lain. Jika wilayah baru
keadaan alamnya tidak sama dengan wilayah asal mereka, maka mereka harus
menyesuaikan diri dengan keadaan di wilayah yang baru guna kelangsungan
kehidupannya.
ü Kebudayaan Lain
Masuknya kebudayaan Barat dalam kehidupan masyarakat
di Indonesia menyebabkan terjadinya perubahan. 34

2.2.2 Faktor-faktor Pendorong dan Penghambat Perubahan Sosial


a. Faktor-faktor Pendorong
1. Intensitas hubungan/kontak dengan kebudayaan lain
2. Tingkat Pendidikan yang maju
3. Sikap terbuka dari masyarakat

34
Cotterrel, Roger, Sosiologi Hukum (The Sosiologi Of Law), (Bandung: Nusa Media,
2012), hal.35

17
4. Sikap ingin berkembang dan maju dari masyarakat
b. Faktor-faktor Penghambat
· Kurangnya hubungan dengan masyarakat luar
· Perkembangan pendidikan yang lambat
· Sikap yang kuat dari masyarakat terhadap tradisi yang dimiliki
· Rasa takut dari masyarakat jika terjadi kegoyahan (pro kemapanan)
· Cenderung menolak terhadap hal-hal baru

2.3 Dampak Akibat Perubahan Sosial


Arah perubahan meliputi beberapa orientasi, antara lain (1) perubahan dengan
orientasi pada upaya meninggalkan faktor-faktor atau unsur-unsur kehidupan
sosial yang mesti ditinggalkan atau diubah, (2) perubahan dengan orientasi pada
suatu bentuk atau unsur yang memang bentuk atau unsur baru, (3) suatu perubahan
yang berorientasi pada bentuk, unsur, atau nilai yang
telah eksis atau ada pada masa lampau. Tidaklah jarang suatu masyarakat atau
bangsa yang selain berupaya mengadakan proses modernisasi pada berbagai bidang
kehidupan, apakah aspek ekonomis, birokrasi, pertahanan keamanan, dan bidang
iptek; namun demikian, tidaklah luput perhatian masyarakat atau bangsa yang
bersangkutan untuk berupaya menyelusuri, mengeksplorasi, dan menggali. 35
Dalam memantapkan orientasi suatu proses perubahan, ada beberapa faktor
yang memberikan kekuatan pada gerak perubahan tersebut, yang antara lain adalah
sebagai berikut, (1) suatu sikap, baik skala individu maupun skala kelompok, yang
mampu menghargai karya pihak lain, tanpa dilihat dari skala besar atau kecilnya
produktivitas kerja itu sendiri, (2) adanya kemampuan untuk mentolerir adanya
sejumlah penyimpangan dari bentuk-bentuk atau unsur-unsur rutinitas, sebab pada
hakekatnya salah satu pendorong perubahan adanya individu-individu yang
menyimpang dari hal-hal yang rutin. Memang salah satu ciri yang hakiki dari
makhluk yang disebut manusia itu adalah sebagai makhluk yang disebut homo
deviant, makhluk yang suka menyimpang dari unsur-unsur rutinitas, (3)
mengokohkan suatu kebiasaan atau sikap mental yang mampu memberikan

35
Utsman, Sabian, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009)
hal.12

18
penghargaan (reward) kepada pihak lain (individual, kelompok) yang berprestasi
dalam berinovasi, baik dalam bidang sosial, ekonomi, dan iptek, (4) adanya atau
tersedianya fasilitas dan pelayanan pendidikan dan pelatihan yang memiliki
spesifikasi dan kualifikasi progresif, demokratis, dan terbuka bagi semua fihak yang
membutuhkannya. 36
Modernisasi, menunjukkan suatu proses dari serangkaian upaya untuk
menuju atau menciptakan nilai-nilai (fisik, material dan sosial) yang bersifat atau
berkualifikasi universal, rasional, dan fungsional. Lazimnya suka dipertentangkan
dengan nilai-nilai tradisi. Modernisasi berasal dari kata modern (maju), modernity
(modernitas), yang diartikan sebagai nilai-nilai yang keberlakuan dalam aspek
ruang, waktu, dan kelompok sosialnya lebih luas atau universal, itulah
spesifikasi nilai atau values. Sedangkan yang lazim dipertentangkan dengan
konsep modern adalah tradisi, yang berarti barang sesuatu yang diperoleh
seseorang atau kelompok melalui proses pewarisan secara turun temurun dari
generasi ke generasi. Umumnya tradisi meliputi sejumlah norma (norms) yang
keberlakuannya tergantung pada (depend on) ruang (tempat), waktu, dan kelompok
(masyarakat) tertentu. Artinya keberlakuannya terbatas, tidak bersifat universal
seperti yang berlaku bagi nilai-nilai atau values. Sebagai contoh atau
kasus, seyogianya manusia mengenakkan pakaian, ini merupakan atau termasuk
kualifikasi nilai (value). Semua fihak cenderung mengakui dan
menganut nilai atau value ini. Namun, pakaian model apa yang harus dikenakan
itu? Perkara model pakaian yang disukai, yang disenangi, yang biasa dikenakan,
itulah yang menjadi urusan norma-norma yang dari tempat ke tempat, dari waktu
ke waktu, dan dari kelompok ke kelompok akan lebih cenderung beraneka ragam.
Spesifikasi norma-norma dan tradisi bila dilihat atas dasar proses modernisasi
adalah sebagai berikut, (1) ada norma-norma yang bersumber dari tradisi itu, boleh
dikatakan sebagai penghambat kemajuan atau proses modernisasi, (2) ada pula
sejumlah norma atau tradisi yang memiliki potensi untuk dikembangkan,
disempurnakan, dilakukan pencerahan, atau dimodifikasi sehingga kondusif dalam
menghadapi proses modernisasi, (3) ada pula yang betul-betul memiliki konsistensi

36
Cotterrel, Roger, Op.cit,(2012), hal.35

19
dan relevansi dengan nilai-nilai baru. Dalam kaitannya dengan modernisasi
masyarakat dengan nilai-nilai tradisi ini, maka ditampilkan spesifikasi atau
kualifikasi masyarakat modern, yaitu bahwa masyarakat atau orang yang tergolong
modern (maju) adalah mereka yang terbebas dari kepercayaan
terhadap tahyul. Konsep modernisasi digunakan untuk menamakan serangkaian
perubahan yang terjadi pada seluruh aspek kehidupan masyarakat tradisional
sebagai suatu upaya mewujudkan masyarakat yang bersangkutan menjadi suatu
masyarakat industrial. Modernisasi menunjukkan suatu perkembangan dari struktur
sistem sosial, suatu bentuk perubahan yang berkelanjutan pada aspek-aspek
kehidupan ekonomi, politik, pendidikan, tradisi dan kepercayaan dari suatu
masyarakat, atau satuan sosial tertentu. 37
Modernisasi suatu kelompok satuan sosial atau masyarakat, menampilkan
suatu pengertian yang berkenaan dengan bentuk upaya untuk menciptakan
kehidupan masyarakat yang sadar dan kondusif terhadap tuntutan dari tatanan
kehidupan yang semakin meng-global pada saat kini dan mendatang. Diharapkan
dari proses menduniakan seseorang atau masyarakat yang bersangkutan, manakala
dihadapkan pada arus globalisasi tatanan kehidupan manusia, suatu masyarakat
tertentu (misalnya masyarakat Indonesia) tidaklah sekedar memperlihatkan suatu
fenomena kebengongansemata, tetapi diharapkan mampu merespons, melibatkan
diri dan memanfaatkannya secara signifikan bagi eksistensi bagi dirinya,
sesamanya, dan lingkungan sekitarnya. Adapun spesifikasi sikap mental seseorang
atau kelompok yang kondusif untuk mengadopsi dan mengadaptasi proses
modernisasi adalah, (1) nilai budaya atau sikap mental yang senantiasa berorientasi
ke masa depan dan dengan cermat mencoba merencanakan masa depannya, (2) nilai
budaya atau sikap mental yang senantiasa berhasrat mengeksplorasi dan
mengeksploitasi potensi-potensi sumber daya alam, dan terbuka bagi
pengembangan inovasi bidang iptek. Dalam hal ini, memang iptek bisa dibeli,
dipinjam dan diambil alih dari iptek produk asing, namun dalam penerapannya
memerlukan proses adaptasi yang sering lebih rumit daripada mengembangkan
iptek baru, (3) nilai budaya atau sikap mental yang siap menilai tinggi

37
Cotterrel, Roger, Op.cit,(2012), hal.35

20
suatu prestasi dan tidak menilai tinggi status sosial, karena status ini seringkali
dijadikan suatu predikat yang bernuansa gengsi pribadi yang sifat normatif,
sedangkan penilai obyektif hanya bisa didasarkan pada konsep seperti apa yang
dikemukakan oleh D.C. Mc Clelland, yaitu achievement-oriented, (4) nilai budaya
atau sikap mental yang bersedia menilai tinggi usaha fihak lain yang mampu meraih
prestasi atas kerja kerasnya sendiri. 38
Tanpa harus suatu masyarakat berubah seperti orang Barat, dan tanpa harus
bergaya hidup seperti orang Barat, namun unsur-unsur iptek Barat tidak ada
salahnya untuk ditiru, diambil alih, diadopsi, diadaptasi, dipinjam, bahkan dibeli.
Manakala persyaratan ini telah dipenuhi dan keempat nilai budaya atau sikap
mental yang telah ditampilkan telah dimiliki oleh suatu masyarakat tersebut.
Khusus untuk masyarakat di Indonesia, sejarah masa lampau mengajarkan bahwa
sistem ekonomi, politik, dan kebudayaan dari kerajaan-kerajaan besar di Asia
seperti India dan Cina, yang diadopsi dan diadaptasi oleh kerajaan-kerajaan di
Nusantara ini, seperti Sriwijaya dan Majapahit, namun fakta sejarah tidak
membuktikan bahwa orang-orang Sri
Mempelajari kaitan antara gejala kemasyarakatan dan hukum. Materi yang
dipelajari 39:
a. Lembaga-lembaga hukum dalam masyarakat
b. Peran hukum dalam masyarakat
c. Perilaku masyarakat dalam hubungannya dengan hukum yang berlaku.
d. Sosiologi Keluargaan
e. Membahas kegiatan atau interaksi gejala kemasyarakatan dengan keluarga.
Materi yang dibahas :
f. Bentuk-bentuk keluarga dalam masyarakat
g. Peran keluarga dalam masyarakat
h. Keluarga dalam perubahan social
i. Sosiologi adalah Ilmu pengetahuan yang membahas dan mempelajari kehidupan
manusia dalam masyarakat.

38
Anwar, yesmil dan Adang, Pengantar Sosiologi Hukum. Jakarta: Gransindo, 2008)
hal.22
39
Anwar, yesmil dan Adang, Op.cit, (2008) hal.22

21
j. Objek kajian sosiologi adalah masyarakat yang dilihat dari sudut hubungan
antarmanusia tersebut didalam masyarakat.
Kemudian dalam suatu masyarakat terdapat aspek positif dan negatif dari suatu
gaya pemerintahan yang superaktif. Negatifnya adalah kecenderungan menjadi
pemerintahan tirani dan totaliter. Sedangkan positifnya adalah bahwa gaya
pemerintahan yang superaktif tersebut biasanya menyebabkan banyak
dilakukannya perubahan hukum dan perundang-undangan yang dapat
mempercepat terjadinya perubahan dan perkembangan dalam masyarakat.
Perkembangan masyarakat seperti ini bisa kearah positif, tetapi bisa juga kearah
yang negatif. 40
Ada beberapa lapisan dari suatu realitas sosial. Lapisan dari realitas sosial
tersebut antara lain:
1) Lapisan dalam bentuk dasar-dasar geografis dan demografis.
Ini merupakan lapisan paling atas dari realitas sosial.
Dalam hal ini kebutuhan masyarakat seperti makanan atau komunikasi menjadi
dasar bagi masyarakat. Manakala faktor-faktor tersebut merupakan hasil
transformasi dari tindakan kolektif masyarakat atas desakan dari simbol, cita-
cita dan nila dalam masyarakat
2) Lapisan Institusi da tabiat kolektif (Kolektif Behaniove) ini merupaka lapisan
kedua dalam suatu realitas sosial.Dalam lapisan yang bersifat morfologis ini,
dijumpai institusi masyarakat dan tingkah laku masyarakat yang mengkristal
dalam bentuk-bentuk kebiasaan praktik dalam organisasi.
3) Lapisan simbol-simbol
Lapisan ini berhubungan langsung dengan institusi yang berfungsi sebagai
tanda atau sarana praktik, seperti lambang, bendera, obyek suci, dogma-dogma,
prosedur, sanksi atau kebiasaan.
4) Lapisan nilai (value) dan tujuan kolektif
Lapisan merupakan produk dari suatu kehidupan sosial yang mengarahkan
suatu pemikiran kolektif yang bebas.

40
Anwar, yesmil dan Adang, Op.cit, (2008) hal.22

22
5) lapisan pikiran kolektif (Collective Mind)
Lapisan pikiran kolektif ini merukan memori kolektif, representasi kolektif,
perasaan kolektif, kecenderungan dan aspirasi kolektif, dalam suatu kesadaran
individu. 41
Dalam kehidupan masyarakat ada tiga faktor yang menyebabkan
perubahan sosial. Ketiga faktor tersebut adalah :
1) Kumulasi penemuan tekhnologi.
2) Kontrak konflik antar kebudayaan.
3) Gerakan sosial (social movement )
Kemudian, teori kebudayaan yang tentunya dianut oleh para ahli
kebudayaan yang mengemukakan bahwa penyebab utama terjadinya perubahan
masyarakat adalah bertemunya dua atau lebih kebudayaan yang berbeda sehingga
masing-masing akan menyesuaikan kebudayaannya dengan kebudayan baru untuk
mendapatkan sistem kebudayaan yang lebih baik menurut penilaian mereka.
Sementara itu teori gerakan sosial menyatakan bahwa perubahan masyarakat terjadi
karena adanya gerakan sosial dimana gerakan tersebut terjadi karena adanya unsur
ketidakpuasan yang menimbulkan protes-protes dikalangan masyarakat, yang pada
akhirnya menghasilkan suatu tatanan masyarakat baru, termasuk didalamnya suatu
tatanan hukum yang baru. Jadi menurut teori-teori tersebut, justru perubahan hukum,
bisa menghasilkan suatu tatanan hukum yang baru.Ini merupakan akibat dari adanya
perubahan masyarakat tersebut. 42
Fungsi hukum dalam masyarakat juga memberikan gambaran kepada kita
bahwa apabila fungsi hukum dalam masyarakat tidak berjalan sebagaimana yang
seharusnya, akan menimbulkan pemerintahan yang sewenang-wenang, yang pada
akhirnya pemerintahan tidak lagi dibatasi oleh hukum. Pemerintahan tersebut akan
menjadikan dirinya hukum itu sendiri. Seperti sistem pemerintahan diktator.Sehingga
rakyat beranggapan bahwa siapa yang memerinta dialah yang berkuasa, dan siapa yang
berkuasa maka dialah undang-undang.Contohnya jarang sekali seorang pejabat aktif
masuk penjara, biasanya setelah selesai dari jabatannya baru ditangkap. Menurut Hatta
sebaiknya walaupun dia seorang pejabat bila terbukti bersalah harus di turunkan dari

41
Anwar, yesmil dan Adang, Op.cit, (2008) hal.22
42
Anwar, yesmil dan Adang, Op.cit, (2008) hal.22

23
jabatannya, kemudian di ganti orang lain. Bila penggantinya terjadi lagi distorsi harus
diganti lagi.Sebab generasi bangsa banyak yang punya potensi tetapi tidak diberikan
kesempatan oleh pemimpin terdahulu.Hal seperti ini yang mengancam kesenjangan-
kesenjangan sosial.Jadi untuk menjaga keseimbangan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara perlu ada tindakan nyata agar tidak terjadi disintegrasi. 43

43
Anwar, yesmil dan Adang, Op.cit, (2008) hal.22

24
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada pembahasan maka kesimpulan yang dapat
dipaparkan dalam makalah ini adalah :
1. Perubahan sosial dapat diartikan sebagai segala perubahan pada lembaga-
lembaga sosial dalam suatu masyarakat. Perubahan-perubahan pada lembaga-
lembaga sosial itu selanjutnya mempunyai pengaruhnya pada sistem-sistem
sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, pola-pola perilaku ataupun sikap-
sikap dalam masyarakat itu yang terdiri dari kelompok-kelompok sosial.
2. Proses perubahan sosial terdiri dari tiga tahap barurutan : (1) invensi yaitu
proses di mana ide-ide baru diciptakan dan dikembangkan, (2) difusi, ialah
proses dimana ide-ide baru itu dikomunikasikan ke dalam Sistem sosial, dan (3)
konsekwensi yakni perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem social
sebagai akibat pengadopsian atau penolakan inovasi.
3. Perubahan sosial selalu menimbulkan perubahan dalam masyarakat, salah
satunya adalah globalisasi yang menimbulkan berbagai dampak baik positif
maupun negative dari sisi positif misalnya perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang dapat dinikmati seluruh kelompok sosial masyarakat.

3.2 Saran
Perubahan sosial dalam masyarakat tidak dapat dibatasi oleh ruang dan
waktu, olehnya itu kita sebagai bagian dari kelompok sosial harus berusaha
mengendalikan perubahan itu ke arah yang positif agar budaya yang terbentuk dari
perubahan sosial dapat memberikan manfaat bagi kelangsungan hidup manusia
yang makmur dan damai.

25
DAFTAR PUSTAKA

Bagja Waluya, Sosiologi (Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat), (Bandung:


Setia Purna Inves, 2007).

Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, Teori Konflik Sosial, (Jakarta, Pustaka Pelajar,
2014, cet. 1), (diterjemahkan oleh Helly P. Soetjipto dan Sri Mulyantini
Soetjipto dari judul asli: Social Conflict).

Ronny Hanitijo Soemintro, Beberapa Masalah Dalam Studi Hukum dan


Masyarakat, (Remaja Karya: Bandung, 2015, cet. 1).

Soerjono Soekanto, Perspektif Teoritis Studi Hukum Dalam Masyarakat, (Jakarta:


Rajawali, 2015).

Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi hukum, (Jakarta: Rajagrafido Persada,


2014).

Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan


Konflik Sosial

Zainudin Ali, Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008).

26

Anda mungkin juga menyukai