Anda di halaman 1dari 20

Artikel Ujian Tengah Semester (UTS) Mata Kuliah Sosiologi Hukum

Dosen Pengampu :
Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos

Disusun Oleh :

Nama : Veny Hasiatul Fazira


NIM : L1C018106
Prodi/Kelas : Sosiologi

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI


FAKUTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MATARAM

2021

1
DAFTAR ISI
Cover………………………………………………………………………………….....1
Daftar Isi………………………………………………………………………………...2
PEMBAHASAN………………………………………………………………………..3
PENGERTIAN SOSIOLOGI HUKUM, OBJEK, KARAKTERISTIK DAN
RUANG LINGKUP SOSIOLOGI HUKUM
A. Pengertian Sosiologi Hukum……………………………………………………3
B. Konsep Sosiologi Hukum……………….……………………………………..4
C. Ruang Lingkup Sosiologi Hukum……………………………………………...6

HUKUM DALAM PERSPEKTIF TEORI FUNGSIONAL STRUKTURAL,


INTERAKSIONALISME SIMBOLIK, SERTA TEORI STRUKTURASI
A. Teori Fungsional Struktural…………………………………………………….8
B. Teori Interaksionisme Simbolik………………………………………………..10
C. Teori Strukturasi………………………………………………………………..12

URGENSI DAN JUSTIFIKASI KEHADIRAN HUKUM DI DALAM INTERAKSI


SOSIAL MASYARAKAT
A. Fungsi hukum dalam Masyarakat………………………………………………13
B. Justifikasi Hukum Dalam Interaksi Sosial Masyarakat……………...................16
Daftar Pustaka…………………………………………………………………………..20

2
PEMBAHASAN
PENGERTIAN, KONSEP, SERTA RUANG LINGKUP SOSIOLOGI HUKUM

A. Pengertian Sosiologi Hukum


Hukum itu tidak dibuat, melainkan ditemukan. Pertumbuhan hukum itu pada
hakikatnya merupakan proses yang tidak disadari dan organik. Hukum tidak dapat
dilihat sebagai suatu institusi yang berdiri sendiri, melainkan semata-mata suatu proses
dan perilaku masyarakat sendiri. Hanya kitalah yang melihat hukum itu sebagai suatu
institusi yang terpisah dengan semua atribut dan konsep otonominya. Apa yang
sekarang disebut sebagai hukum adalah putusan arbiter yang dibuat oleh badan
legislatif. Hukum itu tumbuh dari hubungan-hubungan hukum yang sederhana pada
masyarakat primitif sampai menjadi hukum yang besar dan kompleks dalam peradaban
modern. Kendati demikian, perundang-undangan dan para ahli hukum hanya
merumuskan hukum secara tekhnis dan tetap merupakan alat dari kesadaran masyarakat
(poular consciousness). Hukum tidak mempunyai keberlakuan dan penerapan yang
universal. Setiap bangsa memiliki habitat hukumnya, seperti mereka memiliki bahasa
adatnya. Volksgeist (jiwa dari rakyat) itu akan tampil sendiri dalam hukum suatu
bangsa.
Aliran sejarah memiliki kelemahan yang terletak pada konsepnya mengenai
kesadaran hukum yang sangat abstrak. Pengkajian yang menolak untuk melihat hukum
berdasarkan peraturan, tetapi lebih melihatnya berdasarkan masyarakat sebagaimana
dianut oleh aliran sajarah. Dari sudut sejarah, sosiologi hukum untuk pertama kalinya
diperkenalkan oleh seorang Itali yang bernama Anzilotti, pada tahun 1882. Sosiologi
hukum pada hakekatnya lahir dari hasil-hasil pemikiran para ahli, baik di bidang filsafat
hukum, ilmu maupun sosiologi (Yesmil Anwar dan Adang,2008,109). Sosiologi hukum
saat ini sedang berkembang pesat. Ilmu ini diarahkan untuk menjelaskan hukum positif
yang berlaku artinya isi dan bentuknya berubah-ubah menurut waktu dan tempat,
dengan bantuan faktor kemasyarakatan. Menurut C.J.M Schuyt, salah satu tugas
Sosiologi Hukum adalah mengungkapkan sebab atau latar belakang timbulnya
ketimpangan antara Tata tertib masyarakat yang dicita-citakan dengan keadaan
masyarakat yang ada di dalam kenyataan.

3
Menurut Ronni Hanitijo Soemitro ilmu hukum dapat dibedakan ke dalam 2
(dua) cabang spesialisasi, yaitu Studi tentang Law in Books dan Studi tentang Law in
Actions. Law in books disebutkan bagi studi/kajian tentang hukum sebagaimana
tercantum di dalam kitab Undang-Undang atau sebagaimana di dalam peraturan
Perundang-undangan, dengan kata lain studi tentang hukum sebagai norma atau kaidah.
Hukum sebagai norma atau kaidah bersifat otonom, artinya bahwa hukum tersebut
berdiri sendiri dan bebas dari segala pengaruh. Sedangkan Law in Actions disebutkan
bagi studi/kajian tentang hukum sebagai gejala/proses sosial. Hukum sebagai
gejala/proses sosial sifatnya heteronom, artinya hukum tersebut memiliki pengaruh dan
hubungan timbal balik dengan gejala sosial lainnya seperti ekonomi, politik, sosial,
budaya, agama dan lain lain. Hukum sebagai gejala sosial yang bersifat empiris, dapat
dipelajari sebagai independent variable maupun sebagai dependent variable. Hukum
yang dipelajari sebagai dependent variable merupakan resultante (hasil) dari berbagai
kekuatan dalam proses sosial dan studi tersebut dikenal sebagai Sosiologi Hukum. Di
lain pihak, hukum dipelajari sebagai independent variable menimbulkan pengaruh
dampak kepada berbagai aspek kehidupan sosial dan studi yang demikian dikenal
sebagai Studi Hukum Masyarakat. Studi tentang Law in Books dan Law in Actions yang
dikemukakan oleh Ronni Hanitijo Soemitro tersebut tidak berbeda jauh dengan
pemikiran.
B. Konsep Sosiologi Hukum
Sosiologi hukum mempunyai objek kajian fenomena hukum, sebagaimana telah
dituliskan oleh Curzon, bahwa Roscou Pound menunjukkan studi sosiologi hukum
sebagai studi yang didasarkan pada konsep hukum sebagai alat pengendalian sosial.
Sementara Llyod, memandang sosiologi hukum sebagai suatu ilmu deskriptif, yang
memanfaatkan teknis-teknis empiris. Hal ini berkaitan dengan perangkat hukum dengan
tugas-tugasnya. Ia memandang hukum sebagai suatu produk sistem sosial dan alat untuk
mengendalikan serat mengubah sistem itu. Kita dapat membedakan sosiologi hukum
dengan ilmu normatif, yaitu terletak pada kegiatannya. Ilmu hukum normatif lebih
mengarahkan kepada kajian law in books, sementara sosiologi hukum lebih mengkaji
kepada law in action (Yesmil Anwar dan Adang, 2008,128). Sosiologi hukum lebih
menggunakan pendekatan empiris yang bersifat deskriptif, sementara ilmu hukum
normatif lebih bersifat preskriptif. Dalam jurisprudentie model, kajian hukum lebih

4
memfokuskan kepada produk kebijakan atau produk aturan, sedangkan dalam
sociological model lebih mengarah kepada struktur sosial. Sosiologi hukum merupakan
cabang khusus sosiologi yang menggunakan metode kajian yang lazim dikembangkan
dalam ilmu-ilmu sosiologi. Sementara yang menjadi objek sosiologi hukum adalah :
1. Sosiologi hukum mengkaji hukum dalam wujudnya atau Government Social
Control. Dalam hal ini, sosiologi mengkaji seperangkat kaidah khusus yang
berlaku serta dibutuhkan, guna menegakkan ketertiban dalam kehidupan
bermasyarakat.
2. Sosiologi hukum mengkaji suatu proses yang berusaha membentuk warga
masyarakat sebagai mahluk sosial. Sosiologi hukum menyadari eksistensinya
sebagai kaidah sosial yang ada dalam masyarakat. Dalam kajian ilmu hukum
paling tidak ada tiga factor yang menjadi parameter sebuah produk hukum dapat
berfungsi dengan baik, yakni :
a. Berfungsi secara Filosofis
Setiap masyarakat selalu mempunyai Rechtsidee, yakni apa yang masyarakat
haeapkan dari hukum, misalnya hukum diharapkan untuk menjamin adanya keadilan,
kemanfaatan dan ketertiban maupun kesejahteraan. Cita hukum atau rechtsidee tumbuh
dalam system nilai masyarakat tentang baik dan buruk, pandangan mereka tentang
individual dan kemasyarakatan dan lain sebagainya termasuk pandangan tentang dunia
ghaib. Semua ini bersifat filosofis, artinya menyangkut pandangan mengenai inti atau
hakikat sesuatu. Hukum diharapkan dapat mencerminkan sistem nilai baik sebagai pada
konsep hukum sebagai alat pengendalian sosial. Sementara Llyod, memandang
sosiologi hukum sebagai suatu ilmu deskriptif, yang memanfaatkan teknis-teknis
empiris. Hal ini berkaitan dengan perangkat hukum dengan tugas-tugasnya.Ia
memandang hukum sebagai suatu produk sistem sosial dan alat untuk mengendalikan
serat mengubah sistem itu.
b. Berfungsi secara Sosiologis/Empiris
Dasar keberfungsian secara sosiologis/empirisa maksudnya adalah jika para warga
masyarakat mematuhi hukum dimana hukum itu diberlakukan. Keberlakuan empiris
dapat dilihat melalui sarana penelitian empiris tentang perilaku warga masyarakat. Jika
dalam penelitian tersebut tampak bahwa masyarakat berperilaku dengan mengacu
kepada keseluruhan kaidah hukum, maka terdapat keberlakuan empiris kaidah hukum.

5
Dengan demikian norma hukum mencerminkan kenyatan yang hidup dalam masyarakat.
(Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka,1993,88-89)
Dengan dasar sosiologis sebuah produk hukum yang dibuat dan diterima oleh
masyarakat secara wajar bahkan spontan. Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka
menambahkan ada dua landasan teoritis sebagai dasar sosiologis berfungsinya suatu
kaidah hukum, yakni :
1. Teori Kekuasaan, secara sosiologis kaidah hukum berlaku karena paksaan
penguasa, terlepas diterima atau tidak oleh masyarakat.
2. Teori Pengakuan, kaidah hukum berlaku berdasarkan penerimaan dari
masyarakat tempat hukum itu berlaku. (Soerjono Soekanto dan Purnadi
Purbacaraka, 1993,91-92).
Beberapa prinsip yang mencerminkan keterkaitan antara hukum dan basis sosialnya
adalah sebagai berikut :
Hukum itu tidak dibuat, melainkan ditemukan. Pertumbuhan hukum itu pada
hakikatnya merupakan proses yang tidak disadari dan organik. Hukum tidak dapat
dilihat sebagai suatu institusi yang berdiri sendiri, melainkan semata-mata suatu proses
dan perilaku masyarakat sendiri. Hanya kitalah yang melihat hukum itu sebagai suatu
institusi yang terpisah dengan semua atribut dan konsep otonominya. Apa yang
sekarang disebut sebagai hukum adalah putusan arbiter yang dibuat oleh badan
legislatif.
C. Ruang Lingkup
Soerjono Soekanto yang mengetengahkan ruang lingkup ilmu hukum yang
mencakup :
1. Normwissenschaften atau Sollenwinssenschaften, yakni ilmu yang mempelajari
hukum sebagai norma/kaedah, yang terdiri dari :
a. Ilmu tentang pengertian hukum.
b. Ilmu tentang kaidah hukum.
2. Tatsachenwissenschaften atau Seinwissenschaften, yakni ilmu hukum yang
mempelajari hukum sebagai gejala sosial, yang terdiri dari :
a. Sosiologi Hukum.
b. Antropologi Hukum.
c. Psikologi Hukum.

6
d. Sejarah Hukum dan
e. Perbandingan Hukum.
1. Soerjono Soekanto
Sosiologi Hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan
empiris menganalisa atau mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan
gejala-gejala lainnya.
2. Satjipto Raharjo
Sosiologi Hukum (sosiologi of law) adalah pengetahuan hukum terhadap pola
perilaku masyarakat dalam konteks sosial.
3. R. Otje Salman
Sosiologi Hukum adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara
hukum dan gejala-gejala sosial lainnya secara empiris analitis
4. H.L.A. Hart
H.L.A. Hart tidak mengemukakan definisi tentang sosiologi hukum. Namun,
definisi yang dikemukakannya mempunyai aspek sosiologi hukum. Hart
mengungkapkan bahwa suatu konsep tentang hokum memngandung unsur-unsur
kekuasaan yang terpusatkan kepada kewajiban tertentu di dalam gejala hukum yang
tampak dari kehidupan bermasyarakat. Menurut Hart, inti dari suatu sistem hukum
terletak pada kesatuan antara aturan utama/primary rules dan aturan
tambahan /secondary rules (Zanudin Ali,2006,1). Aturan utama merupakan ketentuan
informal tentang kewajiban-kewajiban warga masyarakat yang bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan pergaulan hidup sedangkan aturan tambahan terdiri atas :
a. Rules of recognition, yaitu aturan yang menjelaskan aturan utama yang
diperlukan berdasarkan hierarki urutannya,
b. Rules of change, yaitu aturan yang mensahkan adanya aturan utama yang
baru.
c. Rules of adjudication, yaitu aturan yang memberikan hak-hak kepada
orang perorangan untuk menentukan sanksi hukum dari suatu peristiwa
tertentu apabila suatu aturan utama dilanggar oleh warga masyarakat.

7
HUKUM DALAM PERSPEKTIF TEORI FUNGSIONAL STRUKTURAL,
INTERAKSIONISME SIMBOLIK, SERTA TEORI STRUKTURASI.

Hukum merupakan sarana untu mengatur kehidupan sosial, namun satu hal yang
menarik adalah justru hukum tertinggal dibelakang objek yang diaturnya, dengan
demikian selalu terdapat gejala bahwa antara hukum dan perilaku sosial terdapat suatu
jarak perbedaan yang sangat mencolok. Apabila hal ini terjadi, maka akan timbul
ketegangan yang semestinya segera disesuaikan supaya tidak menimbulkan ketegangan
yang berkelanjutan, tetapi usaha kearah ini selalu terlambat dilakukan.
Ketegangan analisis antara tataran pelaku (agency) dan tataran struktur
(structure)9 telah lama menjadi perbincangan hangat dikalangan para ilmuwan sosial.
Anthony Giddens berusaha menjembatani dualism tersebut dengan memilih titik temu
diantara keduanya dengan mengemukakan Teori Strukturasi. Giddens menyatakan
bahwa “tidak ada struktur tanpa pelaku, sebagaimana tidak ada tindakan tanpa
struktur”.10 Struktur, masih menurut Giddens, adalah aturan (rules) dan sumberdaya
(resources) yang terbentuk dari dan membentuk perulangan praktik sosial. Dualisme
struktur dan pelaku terletak dalam proses dimana struktur social merupakan hasil
(outcome) dan sekaligus sarana (medium) praktik social.
Pandangan yang sedikit berbeda diberikan oleh Lawrence M. Friedman yang
mengartikulasikan struktur sebagai Jika berbicara mengenai struktur system hukum di
Indonesia, maka didalamnya termasuk struktur institusi-institusi penegakan hukum,
seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Termasuk juga dalam hal ini hierarki
peradilan umum di Indonesia, mulai dari yang terendah adalah pengadilan negeri hingga
yang tertinggi adalah Mahkamah Agung RI, jumlah dan jenis pengadilan serta
yurisdiksinya. Kedudukan peraturan perundangundangan dalam sistem hukum, masih
menurut Friedman, bukan bagian dari struktur hukum, melainkan termasuk bagian dari
substansi (substance) yang diartikan sebagai “substantive rules and rules about how
institutions should be have”15 Substansi dalam konsep Friedman tersebut dapat juga
berarti pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Substansi disatu sisi
diapahami sebagai produk yang dihasilkan dalam sistem tersebut (law in the books), dan

8
di sisi lain juga dapat dipahami sebagai living law (hukum yang secara nyata hidup
ditengah-tengah masyarakat).
Pemikir penting post-strukturalis, Jasques Derrida misalnya, melihat perbedaan
bukan hanya menunjuk sesuatu, melainkan sebagai pembentuk identitas yang bahkan
merupakan hakikat sesuatu tersebut; atau dualisme yang ada pada fungsionalisme
Talcott Parsons. Fungsionalisme merupakan cara berpikir yang mengklaim bahwa
sistem sosial punya kebutuhan yang harus dipenuhi. Bagi Giddens, sistem sosial tidak
punya kebutuhan apapun, yang punya kebutuhan adalah para pelaku.
Fungsionalisme memberangus fakta bahwa manusia sebagai pelaku, bukan orang-
orang dungu, dan bukan robot yang bertindak berdasar naskah (peran yang sudah
ditentukan). Fungsionalisme menafikan dimensi ruang dan waktu dalam menjelas-kan
gejala sosial, akibatnya terjadi pertentangan antara yang 'statis' dan 'dinamis', atau
antara 'stabilitas' dan 'perubahan'. Pada intinya teori strukturasi menekankan kembali
pada prioritas logis dari struktur (Priyono, 2002: 10).
Anggapan struktur sebagai batasan bagi perilaku tidak lebih merupakan strategi
alternatif yang dipergunakan para praktisi dalam usahanya memberikan rasionalitas
teoritis. Para sosiologi interpretatif dan fenomenologis melihat permasalahan batasan
ini terfokus pada prosedur yang dipergunakan oleh aktor-aktor sosial dalam usaha
menghasilkan dunia yang terstruktur. Struktur sosial tidak memiliki eksistensi yang riil
kecuali dalam benak para pelaku yang memberinya arti. Sudut pandang ini
menunjukkan penjelasan struktural hanya akan memiliki validitas sejauh hal itu
dialami secara subjektif.

A. Teori Fungsional Struktural


Fungsionalisme adalah suatu teori social murni yang besar (grand theory) dalam
ilmu sosiologi, yang mengajarkan bawah secara tehnis masyarakat dapat dipahami
dengan melihat sifatnya sebagai suatu analisis system social dan subsistem social
dengan pandangan bahwa masyarakat pada hakikatnya tersusun kepada bagian-bagaian
secara structural, di mana dalam masyarakat tersebut terdapat berbagai system-sistem
dan factor-faktor, yang satu dengan yang lain mempunyai peran dan fungsinya masing-
masing, saling berfungsi dan saling mendukung dengan tujuan agar masyarakat tersebut
dapat terus bereksistensi, di mana tidak ada satu bagianpun dalam masyarakat yang
dapat dimengerti tanpa mengikutsertakan bagian yang lain, dan jika salah satu bagian

9
dari masyarakat yang berubah, akan terjadi gesekan-gesekan dan goyangan-goyangan
ke bagian yang lain dari masyarakat ini.
Jadi, paham fungsionalisme ini lebih menitikberatkan perhatiannya kepada
factor masyarakat secara makro dengan mengabaikan factor dan peranan dari masing-
masing individu (secara makro) yang terdapat dalam masyarakat tersebut. Sehingga,
paham fungsionalisme lebih banyak berbicara tentang struktur-struktur makro dari
masyarakat, lembaga-lembaga ekonomi, social dan budaya, stratifikasi dan integrasi
dalam masyarakat, norma-norma, nilai-nilai dan fenomena-fenomena makro lainnya
dalam masyarakat.
Dalam hal ini, paham fungsionalisme, membangun buah teori yang abstrak dan
tergeneralisasi untuk menjelaskan suatu system social, melalui konsep “koherensi
rasional” yang terjadi dalam masyarakat tersebut. Para penganut paham fungsionalisme
melihat ada pergerakan dalam berbagai konsep sosiologi klasik, yakni perkembangan
menuju teori voluntir tentang aksi, yang memandang manusia sebagai makhluk yang
selalu melakukan pilihan-pilihan dalam hubungannya dengan “cara yang dipakai” dan
“tujuan yang hendak dicapai” dalam suatu lingkungan social dengan unsure utamanya
adalah “norma” dan “nilai” yang terinstitusionalisasi dalam bentuk “status” dan
“peranan” (role).
Sector hukum dalam hal ini berperan baik dalam menentukan norma maupun
dalam membentuk, mempertahankan, bahkan mengubah nilai yang ada. Di samping itu,
bersama-sama dengan sector lainnya, sector hukum juga menentukan dan mengatur
status dan peranan anggota masyarakat yang diikuti oleh hak, kewajiban dan tanggung
jawab dari masing-masing anggota sesuai dengan status dan peranan mereka masing-
masing. Kemudian, factor hukum (bersama-sama dengan factor politik) juga berfungsi
untuk menjaga dan mengawal agar masyarakat selalu memilih tujuan yang benar dan
untuk memakai cara yang benar agar dapat tercapai tujuan yang dimaksud.
B. Teori Interaksional Simbolik
Sebagaimana diketahui bahwa teori interaksionalisme simbolik lahir karena
adanya kebutuhan yang terus menerus akan suatu jawaban tentang bagaimana pengaruh
masyarakat terhadap individu dan sebaliknya, bagaimana juga pengaruh individu-
individu dalam membentuk, mempertahankan bahkan mengubah masyarakat. Jadi, teori
ini berusaha menjelaskan secara lebih mikro dan konkrit tentang interrelasi fungsional

10
antara individu dengan masyarakat dalam sebuah komunitas. Karena teori
interaksionalisme simbolik masuk ke ranah mikro dari individu dan masyarakat, maka
apa yang ditelaah oleh teori interaksionalisme simbolik ini berada di luar jangkauan
teori-teori makro dalam ilmu sosiologi, semisal teori konflik, teori fungsionalisme dan
lain-lain.
Ketika kita menggunakan pisau analisis dari teori ini ke dalam bidang hukum,
maka yang dipertanyakan adalah ketika seorang melanggar hukum, apakah berat Karena
pengaruh dari factor individu si pelanggar hukum, ataukah karena pengaruh factor
toleransi bahkan pengabaian dari masyarakat di mana individu tersebut berada. Tentu
saja, yang benar adalah kedua factor tersebut, yaitu factor individu dan juga factor
masyarakat, ikut memengaruhi sehingga tercipta suau pelanggaran hukum. Yang enjadi
persoalan mana di anatara kedua fakor tersebut yang menjadi lebih dominan. Tetapi,
menurut paham interaksionisme simbolik, andaikatapun factor masyarakat merupakan
pengkontribusi terbesar terhadap terjadinya suatu kejahatan, maka rusaknya masyarakat
tersebut juga disebabkan kontribusi dalam bentuk interaksi secara terus menerus dari
masing-masing individu anggota masyarakat tersebut.
Eksistensi dan peranan sector hukum sebagai suatu subsistem dalam masyarakat
bersifat dependen dengan sub-sub system yang lain, seperti sub system ekonomi,
politik, social dan budaya. Menurut ajaran dari paham fungsionalisme ini, maka hukum
tidak bisa berjalan sendiri dalam masyarakat, tetapi tergantung dari subsistem-subsistem
yang lain. Sebagus apapun hukum tidak akan dapat diterapkan dengan baik jika sector
lain tidak bagus. Jadi, membangun atau merubah hukum, haruslah dilakukan bersama-
sama dengan membangun atau merubah sector ekonomi, politik, social dan budaya.
Apalagi, ajaran fungsionalisme tidak menempatkan sector hukum sebagai sector yang
kuat daya tarik dan energinya. Justru, sector hukum yang ditarik-tarik oleh sector
lainnya. Itu sebabnya, kenapa di Negara-negara yang rakyatnya masih miskin
(bermasalah di sector ekonomi), suka ditegakkan hukum dan dekomrasi secara baik.
Karena semua factor tersebut saling terkait dan memengaruhi secara fungsional satu
sama lain.
C. Teori Strukturasi
Paham strukturalisme dimulai dari sebuah proposisi yang menyatakan bahwa
bahasa adalah suatu system yang terstruktur, demikian juga dengan kebudayaan, yang

11
juga merupakan suatu system terstruktur. Jadi, menurut paham strukturalisme, manusia
sudah terperangkap dalam system dan struktur bahasa, sehingga mau tidak mau ketika
manusia mencoba memahami segala sesuatu, maka manusia tersebut harus juga
memahaminya dalam konteks struktur dan system bahasa. Jelas pula bahwa budaya bagi
manusia juga ditentukan oleh system dan struktur bahasa. Dalam hal ini, bermula dari
struktur bahasa, terus memengaruhi struktur kebudayaan hingga struktur masyarakat.
Teori strukturasi bermaksud untuk mempermudah melihat dunia yang terstruktur
dengan mengedepankan konsep agensi manusia. Caranya adalah dengan mengenali
perbedaan antara konsep struktur dengan sistem. Sistem sosial tidak memiliki struktur
namun memperlihatkan sifat-sifat struktural. Sifat-sifat struktural ini hanya muncul di
dalam berbagai tindakan instant serta menjadi jejak-jejak memori yang memberi
petunjuk akan agen-agen manusia yang telah banyak memiliki pengetahuan (Giddens,
1984: 25). Sifat-sifat struktural yang muncul dalam sebuah totalitas reproduksi sosial,
oleh Giddens disebut sebagai prinsip-prinsip struktural (structural principles). Praktik-
praktik sosial yang memiliki perluasan ruang dan waktu terbesar dalam totalitas disebut
sebagai institusi (institution) (Giddens, 1984: 16-17). Strukturasi adalah kondisi untuk
menjelaskan bagaimana sebuah tatanan relasi-relasi sosial terstruktur dalam hubungan
dualitas (timbal balik) antara sang pelaku dengan struktur (Ross dalam Beilharz, 2002:
22-23). Hubungan dualitas struktur dalam reproduksi sosial dapat dipahami dengan
adanya tiga tingkatan kesadaran atau tiga dimensi internal dalam diri manusia, yaitu;
kesadaran diskursif, kesadaran praktis, dan kognisi/motivasi tak sadar. Giddens
menawarkan konsep-konsep ini sebagai pengganti triad psikoanalitis Sigmund
Freud yakni ego, super-ego, dan id (Giddens, 1984: 7). Motivasi tak sadar' mengacu
pada keinginan atau kebutuhan manusia yang berpotensi mengarahkan tindakan, tetapi
bukan tindakan itu sendiri.
Kesadaran diskursif' mengacu pada pengetahuan tindakan manusia yang bisa
direfleksikan dan dijelaskan secara rinci serta eksplisit. Adapun kesadaran praktis ialah
pengetahuan tindakan manusia yang tidak selalu bisa diurai atau dipertanyakan kembali.
Fenomenologi melihat wilayah ini masuk pada gugus pengetahuan yang sudah
diandaikan (taken for granted knowledge) dan merupakan sumber rasa aman ontologis'
(Ontological security)

12
URGENSI DAN JUSTIFIKASI KEHADIRAN HUKUM DI DALAM INTERAKSI
SOSIAL MASYARAKAT
A. FUNGSI HUKUM

Dalam sejarah pemikiran ilmu hukum, terdapat dua paham mengenai fungsi dan
peran hukum dalam masyarakat: Pertama, paham yangmengatakan bahwa fungsi
hukum adalah mengikuti dan mengabsahkan(justifikasi) perubahan-perubahan yang
terjadi dalam masyarakat, arti-nya hokum sebagai sarana pengendali sosial. Maka yang
tampak adalah hukum bertugasmempertahankan ketertiban atau pola kehidupan yang
ada.Paham ini dipeloporiahli hukum mazhab sejarah dan kebudayaan dari Jerman yang
diintroduksi olehFriedrich Carl von Savigny (1799-1861).
Kedua, paham yang menyatakan bahwa hukum berfungsi sebagai saranauntuk
melakukan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Pa-ham ini dipeloporioleh ahli
hukum dari Inggris, Jeremy Bentham (1748-1852), untuk kemudian dipopulerkan oleh
Juris Amerika dengan kon-sepsi “hukum (harus juga) berfungsi sebagai sarana untuk
mengadakan perubahan masyarakat” (law as atool of social engineering)
Tujuan Hukum

Dalam menjalankan fungsinya sebagai sarana pengendali dan per-ubahansosial,


hukum memiliki tujuan untuk menciptakan tatanan ma-syarakat yang tertib, damai, adil
yang ditunjang dengan kepastian hu-kum sehingga kepentinganindividu dan masyarakat
dapat terlindungi.
B. FUNGSI HUKUM DALAM MASYARAKAT

Hukum merupakan aturan yang berlaku dalam masyarakat dengan tujuan untuk
menyelesaikan segala konflik yang terjadi dalam masyarakat. Masalah atau konflik,
sama sekali tidak dapat dihilangkan di permukaan bumi ini, walaupun demikian, kita
tetap akan membutuhkan aturan untuk mengatur masyarakat dan sedapat mungkin
meminimalisirkan masalah atau konflik yang terjadi dalam masyarakat. Karena apa
jadinya bumi ini jika aturan itu tidak ada. Hukum yang berlaku mempunyai tujuan.
Tujuan hukum itu dapat tercapai, jika hukum itu

13
dapat berfungsi dalam masyarakat. Adapun fungsi dari hukum menurut Achmad Ali,
adalah:
1. Fungsi hukum sebagai “a Tool of Social Control”
Fungsi hukum sebagai social control bertujuan untuk memberikan suatu
batasan tingkah laku masyarakat yang menyimpang dan akibat yang harus
diterima dari penyimpangan itu. Misalnya membuat larangan-larangan,
tuntutan ganti rugi dan sebagainya. Penggunaan hukum sebagai sarana social
control dapat berarti hukum mengontrol tingkah laku masyarakat,
maksudnya bahwa hukum berfungsi memberikan batasan tingkah laku warga
masyarakat yang dianggap menyimpang dari aturan hukum. Menurut
Achmad Ali bahwa fungsi hukum sebagai
alat pengendalian sosial, tidaklah sendirian dalam masyarakat, melainkan
menjalankan fungsi itu bersama-sama dengan pranata social lainnya yang
juga melakukan fungsi pengendalian social, disamping itu juga merupakan
fungsi pasif yaitu hukum yang menyesuaikan diri dengan kenyataan dalam
masyarakat.
2. Fungsi Hukum sebagai “a Tool of Engineering”
Fungsi ini sebagai sarana perekayasa social yaitu mengubah masyarakat
dengan menciptakan perubahan-perubahan dalam masyarakat menuju
kemajuan yang terencana, artinya untuk menata kembali kehidupan
masyarakat secara secara terencana sesuai dengan
tujuan pembangunan bangsa kehidupan masyarakat namun sampai kini
ternyata selalu mengalami perubahan atau dinamika yang sangat pesat. Hal
ini menunjukkan bahwa hampir tidak ada kelompok masyarakat dunia yang
kehidupan sosialnya tetap statis. Masyarakat mana pun akan dipastikan akan
mengalami perubahan baik karena pengaruh dari luar maupun terjadi
dengan sendirinya dalam masyarakat bersangkutan., oleh karena itu para
pembuat hukum dituntut untuk senantiasa mengikuti perkembangan huum
dalam masyarakat. Kaidah hukum sebagai alat untuk merubah masyarakat
mempunyai peranan penting terutama dalam perubahan-perubahan yang
dikehendaki atau perubahan yang direncanakan (intended change atau
planned change).4

14
3. Fungsi Hukum sebagai Simbol
Fungsi ini dimaksudkan untuk menyederhanakan rangkaian tindakan atau
peristiwa tertentu, sehingga mudah diperoleh pengertian yang bersifat
umum. Penyimbolan yang dilakukan oleh hukum, jelas akan memudahkan
baik oleh para pelaksananya maupun masyarakat untuk saling mamahami
tentang makna suatu peristiwa yang terjadi dalam interaksi
warga masyarakat. Keberadaan fungsi hukum sebagai symbol sangat
membantu komunikasi antara pelaksana hukum dengan warga masyarakat,
serta proses sosialisi hukum itu sendiri. Simbolis untuk menyederhanakan
suatu aturan hukum agar mudah dimengerti oleh warga masyarakat,
merupakan langkah mendasar seolah olah semua orang mengetahui sudah
final.
4. Fungsi Hukum sebagai “a political instrument”,
Fungsi hukum sebagai sarana politik adalah untuk memperkokoh kekuasaan
politik atau mengefektifkan pelaksanaan kekuasaan negara. Melihat fungsi
tersebut, menunjukkan keberadaan hukum tertulis yang dibuat secara
procedural. Keberadaan hukum dan politik dalam kenyataannya
memang tidak mungkin dapat dipisahkan, karena keberadaan hukum sebagai
kaidah tertulis merupakan pesan pesan politik politik, tetapi setelah
ditetapkan pemberlakuannya, tidak boleh lagi ditafsirkan secara politik yang
bermuatan kepentingan, api harus ditafsirkan secara yuridis.
5. Fungsi Hukum Sebagai Integrator
Fungsi hukum ini untuk mengurangi konflik yang terjadi dan memperlancar
proses interaksi pergaulan social. Artinya hukum menjadi sarana untuk
menciptaan keserasian kepentingan masyarakat, sehingga proses pergaulan
hidup berlangsung dengan tertib dan
lancar.
a. Fungsi langsung Fungsi langsung terdiri atas dua yaitu fungsi langsung yang
bersifat primer dan bersifat sekunder. Fungsi langsung yang bersifat primer
mencakup :
 Pencegahan perbuatan tertentu dan mendorong perbuatan tertentu

15
 Penyediaan fasilitas bagi rencana-rencana privat
Penyediaan servis dan pembagian kembali barang-barang.
 Penyelesaian perselisihan di luar jalur regular.
 Sedangkan fungsi langsung yang bersifat sekunder terdiri atas :
 Prosedur bagi perubahan hukum
 Prosedur bagi pelaksanaan hukum
b. Fungsi tidak langsung
Fungsi hukum tidak langsung adalah memperkuat atau memperlemah
kecenderungan untuk menghargai nilai-nilai moral tertentu.6 Satjipto Rahardjo
menambahkan bahwa Fungsi hukum adalah sebagai sarana penyelesaian
sengketa dan fungsi hukum sebagai sarana pengendalian
social. Fungsi hukum adalah sebagai sarana penyelesaian sengketa maksudnya
bahwa Hukum bertujuan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam
masyarakat, sehingga tercipta ketentraman hidup warga masyarakat. Sedangkan
fungsi hukum sebagai sarana pengendalian social bahwa hukum dimaksudkan
bahwa fungsi hukum sebagai pengendalian social merupakan
suatu proses yang direncanakan sebelumnya dengan tujuan menganjurkan.

C. JUSTIFIKASI HUKUM DALAM INTERAKSI SOSIAL MASYARAKAT

Salah satu bentuk justifikasi hukum dalam interaksi sosial masyarakat yaitu
hukum pidana terhadap kebijakan kriminalisasi pelanggaran hak cipta.Dengan adanya
beberapa teori dan Universal Declaration of Human Right 1948 yang menjadi dasar
perlindungan hukum terhadap hak cipta, maka dasar hukum pemberian perlindungan
atas kekayaan intelektual yang dimanifestasikan ke dalam satu bentuk ciptaan menjadi
semakin kuat karena perlindungan tersebut juga merupakan hak asasi yang
kedudukannya sama dengan hak untuk hidup dan hak untuk mendapatkan pekerjaan
yang layak. Namun kemudian yang menjadi persoalan, apakah perlindungan terhadap
suatu karya cipta dengan sarana penal (hukum pidana) memiliki justifikasi yang kuat,
sehingga dibenarkan adanya kriminalisasi terhadap pelanggaran hak cipta.
Untuk menjawab persoalan di atas perlu dicermati Penjelasan Undang-Undang
No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (UUHC 2002) yang menyebutkan bahwa maksud
dari pembuatan undang-undang memberikan perlindungan terhadap hak cipta, yaitu: 1.

16
Indonesia sebagai Negara kepulauan memiliki keanekaragaman seni dan budaya yang
kaya. Hal itu sejalan dengan etnik, suku bangsa, dan agama yang secara keseluruhan
merupakan potensi nasional yang perlu dilindungi.Kekayaan seni dan budaya itu
merupakan salah satu sumber dari kekayaan intelektual yang dapat dan perlu dilindungi
oleh undang-undang; 2. Indonesia telah ikut dalam pergaulan masyarakat dunia dengan
menjadi anggota dalam Agreement Eshtablishing The World Trade Organization yang
mencakup pula Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Right
(TRIPs) melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1994. Selain itu, Indonesia juga telah
meratifikasi beberapa konvensi internasional lain yang terkait dengan hak cipta
(property right).
Kesadaran hukum adalah kesadaran diri sendiri tanpa tekanan,
paksaan, atau perintah dari luar untuk tunduk pada hukum yang
berlaku. Dengan berjalannya kesadaran hukum di masyarakat maka
hukum tidak perlu menjatuhkan sanksi. Sanksi hanya dijatuhkan pada
warga yang benar-benar terbukti melanggar hukum. Hukum berisi
perintah dan larangan. Hukum memberitahukan kepada kita mana
perbuatan yang bertentangan dengan hukum yang bila dilakukan akan
mendapat ancaman berupa sanksi hukum. Terhadap perbuatan yang
bertentangan dengan hukum tentu saja dianggap melanggar hukum
sehingga mendapat ancaman hukuman. Pengertian kesadaran hukum menurut Soerjono
Soekanto adalah Kesadaran hukum sebenarnya merupakan kesadaran atau
nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang
hukum yang diharapkan keberadaannya ada. Sebenarnya yang
ditekankan adalah nilai-nilai tentang fungsi hukum dan bukan suatu
penilaian hukum terhadap kejadian-kejadian yang konkrit dalam
masyarakat yang bersangkutan.
Sudikno Mertokusumo juga mempunyai pendapat tentang
pengertian Kesadaran Hukum. Sudikno Mertokusumo menyatakan
bahwa Kesadaran hukum berarti kesadaran tentang apa yang seyogyanya kita lakukan
atau perbuat atau yang seyogyanya tidak kita lakukan atau perbuat terutama terhadap
orang lain. Ini berarti kesadaran akan kewajiban hukum kita masing-masing terhadap
orang lain. Paul Scholten juga mempunyai pendapat tentang arti kesadaran hukum. Paul

17
Scholten menyatakan bahwa : Kesadaran hukum adalah kesadaran yang ada pada setiap
manusia tentang apa hukum itu atau apa seharusnya hukum itu, suatu kategori tertentu
dari hidup kejiwaan kita dengan mana kita membedakan antara hukum dan
tidak hukum (onrecht), antara yang seyogyanya dilakukan dan tidak
dilakukan. Kesadaran hukum merupakan konsepsi abstrak didalam diri
manusia, tentang keserasian antara ketertiban dan ketentraman yang
dikehendaki atau sepantasnya. Kesadaran hukum sering dikaitkan dengan pentaatan
hukum, pembentukan hukum, dan efektivitas hukum.

Kesadaran hukum pada masyarakat bukanlah merupakan proses yang sekali jadi,
melainkan merupakan suatu rangkaian proses yang terjadi tahap demi tahap sebagai
berikut :
1. Tahap pengetahuan hukum Dalam hal ini, merupakan pengetahuan
seseorang berkenaan dengan perilaku tertentu yang diatur oleh hukum
tertuluis, yakni tentang apa yang dilarang atau apa yang dibolehkan.
2. Tahap pemahaman hukum Yang dimaksud adalah bahwa sejumlah
informasi yangdimiliki seseorang mengenai isi dari aturan hukum (tertulis),
yakni mengenai isi, tujuan, dan manfaat dari peraturan tersebut.
3. Tahap sikap hukum (legal attitude) Merupakan suatu kecenderungan untuk
menerima atau menolak hukum karena adanya penghargaan atau keinsyafan
bahwa hukum tersebut bermanfaat atau tidak bermanfaat bagi
kehidupan manusia. Dalam hal ini sudah ada elemen apresiasi
terhadap aturan hukum.
4. Tahap Pola Perilaku Hukum Yang dimaksud adalah tentang berlaku atau
tidaknya suatu aturan hukum dalam masyarakat. Jika berlaku suatu aturan
hukum, sejauh mana berlakunya dan sejauh mana masyarakat
mematuhinya. Faktor kesadaran hukum masyarakat; apakah masyarakat
tidak main hakim sendiri terhadap para penjahat. Penegak hukum berasal
dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam
masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok sedikit
banyaknya mempunyai kesadaran hukum, persoalan yang timbul
adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang tinggi,

18
sedang, atau kurang. Adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat
terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum
yang bersangkutan. Sikap masyarakat yang kurang menyadari tugas
polisi, tidak mendukung, dan malahan kebanyakan bersikap apatis
serta menganggap tugas penegakan hukum semata-mata urusan polisi,
serta keengganan terlibat sebagai saksi dan sebagainya. Hal ini
menjadi salah satu faktor penghambat dalam penegakan hukum.
Faktor budaya hukum; adanya budaya “malu” atau budaya
perasaan bersalah dari warga masyarakat. Dalam kebudayaan sehari-
hari, orang begitu sering membicarakan soal kebudayaan. Kebudayaan
menurut Soerjono Soekanto, mempunyai fungsi yang sangat besar
bagi manusia dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat
mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan
sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain. Dengan
demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang perikelakuan
yang menetapkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan, dan
apa yang dilarang.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat mematuhi hukum yaitu :
1. Compliance kepatuhan yang didasarkan pada harapan akan suatu imbalan dan
usaha untuk menghidarkan diri dari hukuman yang mungkin dikenakan apabila
seseorangmelanggar ketentuan hukum. Adanya pengawasan yang ketat
terhadap kaidah hukum tersebut.
2. Identification terjadi bila kepatuhan terhadap kaidah hukum
ada bukan karena nilai intrinsiknya, akan tetapi agar ke anggotaan kelompok
tetap terjaga serta ada hubungan baik dengan mereka yang diberi wewenang
untuk menerapkan kaidah kaidah hukum tersebut
3. Internalization seseroang mematuhi kaidah kaidah hukum dikarenakan secara
intrinsic kepatuhan tadi mempunyai imbalan. Isinya sesuai dengan nilai nilainya
dari pribadi yang bersangkutan.
4. Kepentingan-kepentingan para warga yang terjamin oleh wadah hukum yang
ada.

19
DAFTAR PUSTAKA
Fuady, Munir. 2011. Teori-teori dalam Sosiologi Hukum. Jakarta: Kencana

Harnadi, D. (2021). Menakar Potensi Sosiologi Hukum sebagai Pendekatan


Perdamaian: Pembacaan dari Perspektif Strukturasi Giddens. Jurnal Kajian Ilmu
Hukum, 1(1), 70–83.

Nurrohman, B. (2017). PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA DALAM


PANDANGAN TEORI STRUKTURASI ANTHONY GIDDENS DAN
PEMIKIRAN. Jurnal KAPemda - Kajian Administrasi Dan Pemerintahan Daerah,
10(6), 98–107.

Rosana, E. (2019). KEPATUHAN HUKUM SEBAGAI WUJUD KESADARAN


HUKUM MASYARAKAT Ellya. Cultural Evolution, 10, 1–24.
https://doi.org/10.7551/mitpress/9894.003.0005

Derung, T. N. (2017). Interaksionisme Simbolik Dalam Kehidupan Bermasyarakat.


Jurnal Karakteristik Dan Pastoral, 2(1), 118–131. https://e-journal.stp-
ipi.ac.id/index.php/sapa/article/view/33

Haryanti, T. (2014). Hukum Dan Masyarakat. Tahkim, 10(2), 160–168.

Umanailo, M. C. B. (2017). Sosiologi Hukum. https://doi.org/10.31219/osf.io/5ymwh

20

Anda mungkin juga menyukai