Anda di halaman 1dari 24

Dosen Pengampu:

Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos

Disusun Oleh:

Nama : Siti Mujibah

NIM : L1C018098

Prodi/Kelas : Antropologi C

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

UNIVERSITAS MATARAM

2021
DAFTAR ISI

Metode dan Pendekatan dalam Kajian Antropologi...............................1


Metode dalam Antropologi......................................................................................................1
Pendekatan dalam Kajian Antropologi.....................................................................................2
Metode-Metode Penyebaran Budaya........................................................3

Cabang-Cabang Antropologi dan Fokus Kajiannya.............................16


1. Antropologi biologi.........................................................................................................16
2. Antropologi budaya........................................................................................................17
Latar Belakang Kemunculan Antropologi Serta Manfaat Kajian
Antropologi................................................................................................19
Metode dan Pendekatan dalam Kajian Antropologi

Metode dalam Antropologi

1. Biografi
Biografi merupakan studi tentang individu dan pengalamannya yang
dituliskan kembali dengan mengumpulkan dokumen dan arsip-arsip.
Tentang pengalaman yang menarik dan sangat mempengaruhi atau
mengubah hidup seseorang. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap
turning point moment.

2. Etnografi
Etnografi adalah uraian dan penafsiran suatu budaya atau sistem kelompok
sosial. Penelitian dilakukan dengan cara menguji kelompok tersebut dan
mempelajari pola perilaku, kebiasaan, dan cara hidup. Sebagai proses,
etnografi melibatkan pengamatan yang cukup panjang terhadap suatu
kelompok, dalam pengamatan tersebut peneliti terlibat dalam keseharian
hidup responden atau melalui wawancara satu per satu dengan anggota
kelompok tersebut. Peneliti mempelajari makna dari setiap perilaku, bahasa,
dan interaksi dalam kelompok.

3. Fenomenologi
Penelitian fenomenologi mencoba menjelaskan atau mengungkap makna
konsep atau fenomena pengalaman yang didasari oleh kesadaran yang terjadi
beberapa individu. Penelitian ini dilakukan pada situasi yang alami, sehingga
tidak ada batasan dalam memaknai fenomena yang dikaji.

4. Grounded Theory
Pengembangan suatu teori yang berhubungan erat kepada konteks peristiwa
dipelajari. Bertujuan untuk menghasilkan atau menemukan suatu teori yang
berhubungan dengan situasi tertentu. Situasi saat individu saling

1
berhubungan, bertindak, atau terlibat dalam suatu proses sebagai respons
terhadap suatu peristiwa.

5. Studi Kasus
Studi yang mengeksplorasi suatu masalah dengan batasan terperinci,
memiliki pengambilan data yang mendalam, dan menyertakan berbagai
sumber informasi. Studi kasus dibatasi oleh waktu, tempat, dan kasus yang
dipelajari berupa program, peristiwa, aktivitas, atau individu.

Pendekatan dalam Kajian Antropologi

Antropologi perlu memperoleh banyak informasi dari berbagai pendekatan baik secara
umum maupun khusus. Pendekatan-pendekatan ini berfungsi untuk mengetahui
peristiwa yang dialami manusia  dan mengkaji suatu hal dengan lebih intensif.
Pendekatan antropologi bukan hanya digunakan dalam penelitian sosial namun juga
dapat digunakan dalam memberi kesimpulan umum.

 Pendekatan Holistis

Pendekatan Holistis memandang kebudayaan secara utuh atau holistis. Kebudayaan di


pandang sebagai suatu yang holistis, setiap unsur di dalamnya dapat dipahami dalam
keadaan terpisah. Para ahli antropologi mengumpulkan semua aspek (sejarah, ekonomi,
geografi, teknologi serta bahasa) untuk mendapatkan generalisasi mengenai suatu
kebudayaan yang kompleks.

 Pendekatan Komparatif

Pendekatan komparatif menjadi sebuah pendekatan yang unik dalam antropologi.


Pendekatan ini digunakan untuk memahami kebudayaan masyarakat yang belum
mengenal baca tulis (pra aksara). Para ahli antropologi yakin bahwa setiap teori harus
diuji pada sebanyak mungkin populasi di kebudayaan sebelum dapat diverifikasi. Ahli
antropologi merasa lebih mudah untuk mempelajari kebudayaan dari masyarakat kecil
yang relatif sama atau homogen dari pada masyarakat-masyarakat modern yang lebih
kompleks.

2
 Pendekatan Historis

Pendekatan ini berfokus pada asal-usul unsur kebudayaan. Awalnya para ahli
antropologi tertarik pada asal unsur kebudayaan kemudian tertarik mengenai unsur
kebudayaan yang khusus dan unik.

Metode-Metode Penyebaran Budaya

Proses penyebaran budaya dapat melalui metode penyebaran sebagai berikut:

1. Internalisasi
Proses panjang seorang individu dilahirkan sampai ia hampir meninggal. Pada
proses ini ia belajar menanamkan dalam kepribadiannya segala perasaan, hasrat
nafsu yang diperlukan sepanjang hidupnya.
2. Sosialisasi
Proses seorang individu dari masa anak-anak hingga masa tuanya belajar pola-
pola tindakan dalam interaksi dengan segala macam individu di sekelilingnya
yang menduduki beraneka macam peranan sosial yang mungkin ada dalam
kehidupan sehari-hari.
3. Enkulturasi
Seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya
dengan adat istiadat, sistem norma, dan peraturan yang hidup di kehidupannya.
4. Difusi
Proses penyebaran unsur kebudayaan dari satu individu ke individu lain, dan
dari masyarakat ke masyarakat lain.
5. Akulturasi
Dr. Koentjaraningrat mengartikan Akulturasi adalah proses yang timbul bila
suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan
unsur dari kebudayaan asing sehingga kebudayaan asing itu lambat laun
diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan
hilangnya kebudayaan sendiri
6. Asimilasi

3
Suatu proses sosial yang telah dan ditandai oleh makin berkurangnya
perbedaan antara individu-individu dan antar kelompok-kelompok, dan makin
eratnya persatuan aksi, sikap dan proses mental yang berhubungan dengan
kepentingan dan tujuan yang sama.

Berdasarkan teori, terdapat dua metode penyebaran kebudayaan yaitu Evolusi


Kebudayaan dan Difusi Kebudayaan. Berikut adalah penjelasannya menurut Pahrudin
HM, M.A.:

1. Teori Evolusi Kebudayaan

Pada abad ke sembilan belas, dalam masyarakat Eropa mengemuka sebuah paradigma
(cara pandang) yang memandang bahwa gejala-gejala yang timbul dari alam,
masyarakat dan kebudayaan yang ada dalam komunitas manusia dapat dilihat dan
dipikirkan secara rasional. Cara pandang yang secara tidak langsung mengkritik
perilaku masyarakat Eropa Barat yang mengembalikan segala sesuatunya ke kitab suci
ini kemudian dikenal dengan teori evolusi kebudayaan. Paradigma ini dipahami sebagai
pandangan yang menyatakan bahwa ada kepastian dalam tata tertib perkembangan yang
melintasi sejarah kebudayaan dengan kecepatan yang pelan tetapi pasti. Selanjutnya,
dimulailah pergumulan dogma-dogma agama yang telah sekian lama mengakar di
tengah-tengah masyarakat dengan cara pandang baru yang sepenuhnya berbeda dan
asing bagi masyarakat Eropa Barat saat itu.

Paradigma evolusi kebudayaan yang ingin mengganti model dogmatis agama yang telah
mendarah daging di Eropa Barat dalam memandang kebudayaan manusia ini
dikemukakan pertama kali oleh Edward Burnett Tylor (1832-1917), seorang ahli
antropologi yang berasal dari Inggris. Persinggungan Tylor dengan hal-hal yang
berkaitan dengan kebudayaan dimulai ketika ia menempuh pendidikan kesusastraan dan
peradaban Yunani dan Romawi klasik. Ketertarikan seputar kebudayaan ini
membuatnya sangat menyukai ilmu arkeologi yang memang mengambil objek kajian
terhadap benda-benda peninggalan masa lampau. Ketertarikan ini terus tumbuh subur
seiring didapatnya kesempatan untuk melakukan suatu perjalanan menyusuri Afrika dan
Asia hingga membuatnya tertarik untuk membaca naskah-naskah etnografi yang

4
mengisahkan tentang masyarakat yang ada di kedua benua tersebut. Setelah mendapat
pengakuan sebagai seorang pakar arkeologi, Tylor diajak serta mengikuti ekspedisi
Inggris untuk mengungkap benda-benda arkeologis peninggalan beragam suku yang ada
di Meksiko.

Kepiawaian Tylor dalam kajian kebudayaan membuatnya diangkat sebagai guru besar
di Harvard University. Menurut Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang
kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral,
hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai
anggota masyarakat. Ada banyak tulisan yang berhasil ia sumbangkan bagi kajian
kebudayaan, utamanya untuk semakin menguatkan dan menyebarkan pandangannya
mengenai teori evolusi kebudayaan. Salah satu bukunya berjudul Researches into the
Early History of Mankind, semakin menguatkan keteguhannya mengenai teori evolusi
kebudayaan yang memang telah sekian lama ia perjuangkan. Dalam buku yang ditulis
pada tahun 1871 ini, Tylor mengungkapkan tujuan sesungguhnya dari kajian
kebudayaan yang dilakukan oleh seorang ahli antropologi. Menurutnya, kajian
antropologi adalah untuk mempelajari aneka ragam kebudayaan sebanyak-banyaknya,
kemudian dicarikan unsur-unsur persamaannya, selanjutnya dilakukan proses
klasifikasi. Dengan cara dan tahapan seperti ini, menurut Tylor, maka akan tampak
kemudian adanya evolusi kebudayaan manusia yang terdiri dari beragam tingkatan
perkembangan yang masing-masing memiliki karakteristik tersendiri.

Apa yang dipaparkan oleh Tylor dalam buku di atas, sepertinya diimplementasikannnya
dalam bukunya yang lain berjudul Primitive Culture: Researches into the Development
og Mythology, Phylosophy, Religion, Language Art and Custom.  Dalam buku yang
ditulis tahun 1874 ini, Tylor memaparkan bahwa kebudayaan manusia dalam sejarah
evolusinya berjalan melalui tiga tahap perkembangan yang masing-masing tahapan
dibedakan berdasarkan unsur ekonomi dan teknologi yang mereka gunakan. Ketiga
tahapan perkembangan kebudayaan manusia tersebut
adalah savagery, barbarian dan civilization.

Pada tahap pertama (savagery), manusia hanya bertahan hidup dengan cara berburu dan
meramu dengan menggunakan peralatan yang mereka ciptakan dari benda-benda yang
ada di sekitar mereka, seperti kayu, tulang dan batu. Berkembang kemudian menuju

5
tahap kedua (barbarian) yang ditandai dengan mulainya manusia mengenal cocok
tanam. Karena mulai memahami cara menanam, maka mereka berpikir untuk menjaga
agar tanaman tersebut dapat dipelihara dan dimanfaatkan hasil sehingga mereka mulai
hidup menetap di sekitar tanaman tersebut. Tahapan kedua ini juga ditandai dengan
perkembangan peralatan mereka dari yang sebelumnya hanya terbuat dari kayu, batu
dan tulang menjadi terbuat dari logam. Berkembang kemudian menjadi tahap
ketiga (civilization) atau peradaban yang ditandai dengan pengenalan manusia dengan
tulisan, kehidupan perkotaan dan kemampuan mereka membangun bangunan-bangunan
besar yang sebelumnya belum pernah ada. Untuk dapat mencapai semua itu, tentunya
manusia memerlukan ilmu pengetahuan dan peralatan-peralatan yang canggih serta
yang tidak boleh terlupakan adalah memiliki kompleksitas sistem organisasi sosial.

Setelah cukup lama berinteraksi dengan paparan evolusi kebudayaan Tylor, maka dunia
kajian kebudayaan kemudian berjumpa dengan paradigma yang sama tetapi
dikemukakan oleh orang yang berbeda. Paparan-paparan teori evolusi kebudayaan
sebagaimana yang dikemukakan oleh Tylor sebelumnya kemudian dilanjutkan oleh
Lewis Henry Morgan, seorang antropolog Amerika. Pada awalnya Morgan dikenal
sebagai seorang ahli hukum, akan tetapi karena cukup lama berinteraksi dan tinggal
dengan suku-suku Indian Iroquois di New York, ia kemudian banyak mengenal
kebudayaan suku asli benua Amerika ini. Hasil kajian etnografinya mengenai suku
Indian tempat ia lama tinggal kemudian diterbitkan dalam bentuk buku berjudul League
of the Ho-de-no-Sau-nie or Iroquois. Dalam buku ini, Morgan memaparkan susunan
kemasyarakatan dan kekerabatan yang ada dalam masyarakat suku Indian ini yang
dilakukan berdasarkan pada gejala kesejajaran yang sering kali ada dalam sistem istilah
kekerabatan dan sistem kekerabatan.

Sebagai seorang yang melakukan kajian kebudayaan sekaligus juga hidup dalam era
perkembangan pesat teori evolusi kebudayaan, Morgan mengambil peranannya dalam
sustainibilitas pandangan-pandangan yang dikemukakan oleh Tylor. Bahkan, lebih dari
itu ia juga sangat dikenal sebagai  orang mengembangkan apa yang sudah dirintis oleh
Tylor sebelumnya seiring dengan banyaknya kajiannya terhadap kebudayaan Indian.
Sebagai aplikasi dari dukungan dan upaya pengembangannya terhadap teori evolusi
kebudayaan, Morgan kemudian menghasilkan sebuah buku berjudul Ancient
Society yang menggambarkan proses evolusi masyarakat dan kebudayaan manusia.

6
Menurut Morgan, sebagaimana yang dikemukakannya dalam buku yang ditulis tahun
1877 tersebut di atas, semua bangsa di dunia telah atau sedang menyelesaikan proses
evolusinya yang melalui delapan tingkatan, yaitu:

Era liar tua atau zaman paling awal sampai manusia menemukan api,

Era liar madya atau sejak menemukan api sampai manusia menemukan senjata,

Era liar muda atau sejak menemukan senjata sampai pandai membuat tembikar dan
masih berprofesi sebagai pemburu,

Era barbar tua atau zaman sampai manusia mulai beternak dan bercocok tanam,

Era barbar madya atau zaman sampai manusia pandai membuat peralatan dari
logam, era barbar muda atau zaman sampai manusia mengenal tulisan, era peradaban
purba, dan era masa kini.

Seiring dengan perjalanan waktu, persinggungan teori evolusi dengan beragam realitas
dalam perkembangannya terus mendapatkan tanggapan dari beragam pihak. Setidaknya
tanggapan-tanggapan yang mengemuka terhadap pandangan-pandangan kebudayaan
teori evolusi dapat dibedakan menjadi dua macam. Pandangan pertama menganggap
bahwa pandangan-pandangan yang diajukan teori evolusi melalui dua tokoh utamanya,
Tylor dan Morgan, memiliki beragam kelemahan yang harus diperbaiki. Pandangan ini
tidak menolak sepenuhnya apa yang dikemukakan dua tokoh utama generasi awal teori
evolusi tersebut, tetapi tetap menerima beberapa bagian yang mereka anggap dapat
diterima dan mengganti beberapa hal yang mereka anggap keliru serta menggantinya
dengan model lain. Sedangkan kelompok kedua adalah menolak sepenuhnya segala
pandangan yang diajukan oleh teori evolusi dalam melihat kebudayaan manusia.
Kelompok kedua ini di kemudian hari dikenal dengan ‘difusi kebudayaan’ sebagai
jawaban atas beragam ketidaksetujuan mereka terhadap pandangan-pandangan
kebudayaan evolusi.

Setelah melakukan beragam penelaahan terhadap pandangan-pandangan kebudayaan


Tylor dan Morgan dalam memandang kebudayaan manusia, generasi selanjutnya teori
evolusi memunculkan dua teori evolusi baru. Pertama, teori evolusi kebudayaan
universal yang dikemukakan oleh Leslie White dan teori evolusi kebudayaan multilinier
yang diajukan oleh Julian Steward.

7
Teori pertama disebut demikian karena paparan teori yang dikemukakan White tersebut
mencakup seluruh budaya yang ada di dunia dan tidak diperuntukkan untuk budaya
tertentu saja. Untuk menjawab beragam kritikannya terhadap paparan-paparan evolusi
kebudayaan yang diajukan oleh Tylor dan Morgan sebelumnya, White mengemukakan
teori evolusinya sendiri berdasarkan sebuah kriteria yang sama sekali baru dan belum
pernah dikemukakan oleh dua pendahulunya tersebut. Kriteria ini baginya merupakan
satu hal yang memungkinkan sebuah teori evolusi menjadi bersifat objektif dan tidak
seperti model yang dikemukakan oleh Tylor dan Morgan yang menurutnya sangat
subjektif. Kriteria yang diajukan oleh White tersebut adalah berupa energi, karena
menurutnya pada dasarnya setiap kebudayaan adalah sistem yang melakukan
transformasi energi. Dengan menggunakan energi sebagai standar atau tolok ukur dalam
melakukan kajian terhadap fase perkembangan suatu kebudayaan manusia, hal ini tidak
ada dalam teori Morgan, maka akan dapat diukur sampai sejauh mana tingkat evolusi
yang ada dalam sebuah masyarakat dapat ditentukan secara kuantitatif.

Lebih lanjut, untuk lebih mensistematiskan model evolusi kebudayaannya yang baru ini,
White mengemukakan sebuah rumusan yang dapat memudahkan dalam melakukan
kajian. White menyebutnya sebagai sebuah ‘hukum’ evolusi kebudayaan, yaitu C = E x
T. Penjelasannya adalah C  merupakan kebudayaan (culture), E adalah energi (energy)
sedangkan T adalah teknologi (technology). Sebuah kebudayaan yang ada dalam sebuah
komunitas masyarakat manusia adalah dampak atau hasil hasil dari pemakaian atau
penggunaan energi dan teknologi yang mereka gunakan dalam kehidupan mereka pada
fase-fase perkembangannya. Dengan rumusan yang disebutnya sebagai ‘hukum’ evolusi
kebudayaan ini, White sampai pada sebuah kesimpulan bahwa terjadinya sebuah evolusi
kebudayaan dalam sebuah komunitas merupakan hasil dari mengemukanya perubahan
dalam sistem yang melakukan transformasi energi dengan bantuan teknologi yang ada
saat itu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam teori mengenai evolusi
kebudayaan ini terdapat beberapa konsep baru yang diketengahkan White,
yaitu thermodinamika (sistem yang melakukan transformasi energi), energi dan
transformasi.

Teori kedua diartikan Steward sebagai suatu metodologi yang digunakan untuk
mengkaji perbedaan dan kesamaan suatu budaya dengan cara memperbandingkan antara
tuntunan-tuntunan perkembangan kebudayaan yang sejalan yang biasanya terdapat di

8
tempat-tempat yang terpisah. Seperti White yang menganggap bahwa pandangan-
pandangan yang dikemukakan oleh dua pendahulunya mengenai kebudayaan yang
memiliki kelemahan pada ketiadaan standar dalam menentukan setiap fase
perkembangan kebudayaan manusia, Steward pun melakukan hal yang sama. Meskipun
demikian, titik fokus kritikan Steward terhadap model teori evolusi terdahulu bukan
pada standar yang digunakan, tetapi pada data yang digunakan oleh Tylor dan Morgan
sehingga keduanya sampai pada kesimpulan yang memunculkan pandangan-
pandangannya mengenai evolusi kebudayaan yang telah sekian lama bercokol dalam
khazanah ilmu antropologi.

Setelah melalui kajian yang memakan waktu cukup lama, Steward sampai pada suatu
kesimpulan bahwa data yang digunakan oleh kedua tokoh yang merupakan generasi
awal teori evolusi tersebut tidak berasal dari hasil penelitian lapangan yang dilakukan
secara benar. Untuk membuktikan fokus kritikannya ini, Steward melakukan suatu
penelitian terhadap salah satu suku Indian yang mendiami suatu kawasan di Amerika
Serikat. Dari penelitiannya ini, Steward mendapatkan sebuah kesimpulan yang berbeda
dari paparan dua pendahulunya tersebut sekaligus juga semakin menguatkan kritikannya
sebagaimana di atas, dimana ternyata suku Indian tersebut tidak lagi mengalami evolusi
sebagaimana yang diungkapkan oleh Morgan di atas.

Terdapat satu faktor, menurut Steward berdasarkan penelitian kebudayaannya, yang


membuat suatu suku Indian tidak lagi mengalami evolusi dan dapat pula terjadi pada
suku-suku lainnya. Dari kajian yang dilakukannya, Steward menyimpulkan bahwa tidak
lagi berjalannya perkembangan kebudayaan dalam sebuah komunitas, dalam konteks
penelitiannya adalah suku Indian, disebabkan karena suku tersebut telah mengalami
penyesuaian atau beradaptasi dengan lingkungan tempat mereka tinggal dan menetap
dalam keseharian mereka.  Berdasarkan kesimpulan ini, maka Steward mengajukan
sebuah teori baru dalam khazanah kajian budaya, khususnya dalam rangkaian teori
evolusi budaya, yaitu teori evolusi multilinier.

Menurut teori multilinier, terjadinya evolusi kebudayaan berhubungan erat dengan


kondisi lingkungan, pada setiap kebudayaan memiliki culture core, berupa teknologi
dan organisasi kerja. Dengan demikian, terjadinya evolusi dalam sebuah kebudayaan
ditentukan oleh adanya interaksi yang terjalin antara kebudayaan tersebut dengan

9
lingkungan yang ada di dalamnya. Seperti halnya teori yang dikemukakan oleh White di
atas, teori multilinier juga memunculkan konsep-konsep baru yang belum pernah ada
sebelumnya, yaitu lingkungan, culture core, adaptasi dan organisasi kerja.

Tokoh lainnya yang tidak kalah juga perlu mendapat perhatian dalam perbincangan
mengenai teori evolusi, khususnya setelah dua tokoh utama pada generasi awal, adalah
V. Gordon Childe yang merupakan arkeologis Inggris. Berbeda dengan White dan
Steward yang begitu kokoh dengan pendirian evolusi mereka, para pengamat menilai
Childe seringkali goyah dengan pendirian evolusinya. Untuk memaparkan
pandangannya mengenai evolusi budaya, Childe menggunakan rekaman arkeologis
untuk menunjukkan bahwa apa yang dikemukakan dalam teori evolusi menunjukkan
kenyataan yang sebenarnya dalam komunitas manusia. Dari benda-benda yang
dihasilkan dari penggalian arkeologis yang dilakukannya selama beberapa waktu
menunjukkan sesuatu yang semakin menguatkan pandangan evolusi, bahwa kemajuan
teknis yang dramatis dalam sejarah manusia berupa budidaya tumbuh-tumbuhan dan
hewan, irigasi, penemuan logam dan lain sebagainya terbukti telah membawa perubahan
revolusioner dalam keseluruhan jalinan kehidupan kultural yang dilakoni oleh manusia.

Benda-benda arkeologis yang ditemukan Childe makin menguatkan teori evolusi bahwa
keseluruhan pola perubahan yang terjadi dalam setiap fase perkembangan kebudayaan
manusia menunjukkan perubahan yang bersifat evolutif dan progresif. Hal ini
ditunjukkan dengan adanya perubahan atau perkembangan dari satu fase ke fase
selanjutnya, seperti dari pemburu-peramu yang berpindah-pindah (nomadik) yang
berada pada masa Paleolitik menjadi seorang manusia yang bercocok tanam
(holtikulturalis) yang tidak lagi nomadik atau sudah menetap di satu tempat sebagai
komunitas kempal dalam masa Neolitik.

Dari paparan di atas dapat dikatakan bahwa pada akhir abad ke sembilan belas
masehi, para ahli antropologi yang berkecimpung dalam kajian kebudayaan manusia
telah memakai kata kebudayaan dengan definisi yang lebih luas. Bertolak dari
teori evolusi, mereka mengasumsikan bahwa setiap manusia tumbuh dan berevolusi
bersama, dan dari evolusi itulah tercipta kebudayaan.

2. Teori Difusi Kebudayaan

10
Teori difusi kebudayaan dimaknai sebagai persebaran kebudayaan yang disebabkan
adanya migrasi manusia. Perpindahan dari satu tempat ke tempat lain, akan menularkan
budaya tertentu. Hal ini akan semakian tampak dan jelas kalau perpindahan manusia itu
secara kelompok dan atau besar-besaran, di kemudian hari akan menimbulkan difusi
budaya yang luar biasa. Setiap ada persebaran kebudayaan, di situlah terjadi
penggabungan dua kebudayaan atau lebih. Akibat pengaruh kemajuan teknologi-
komunikasi, juga akan mempengaruhi terjadinya difusi budaya. Keadaan ini
memungkinkan kebudayaan semakin kompleks dan bersifat multikultural. Dengan
adanya penelitian difusi, maka akan terungkap segala bentuk kontak dan persebaran
budaya sampai ke wilayah yang kecil-kecil. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
kontribusi pengkajian difusi terhadap kebudayaan manusia bukan pada aspek historis
budaya tersebut, melainkan pada letak geografi budaya dalam kewilayahan dunia.

Seperti telah disebutkan pada paparan mengenai lanjutan teori evolusi sepeninggal
Tylor dan Morgan bahwa teori evolusi mendapat dua jenis kritikan yang salah satunya
menentang keras pandangan teori tersebut. Ide awal adanya teori difusi kebudayaan ini
dilontarkan pertama kali oleh G. Elliot Smith (1871-1937) dan WJ. Perry (1887-1949),
dua orang ahli antropologi asal Inggris. Setelah membaca dan mempelajari banyak
catatan sejarah serta benda-benda arkeologis mengenai kebudayaan-kebudayaan besar
yang pernah ada di muka bumi, kedua tokoh ini sampai pada suatu tekad untuk
mengajukan sebuah teori yang mereka namakan Heliolithic Theory. Menurut keduanya,
berdasarkan teori yang mereka ajukan ini, peradaban-peradaban besar yang pernah ada
di masa lampau merupakan hasil persebaran yang berasal dari Mesir. Hal ini karena
berdasarkan kajian keduanya, pernah terjadi suatu peristiwa difusi yang sangat besar di
masa lampau yang berpusat di Mesir. Persebaran dari titik utama di Mesir ini kemudian
bergerak ke arah timur yang meliputi daerah-daerah terjauh seperti India, Indonesia dan
Polinesia hingga mencapai Amerika. Orang-orang Mesir yang disebut dengan ‘putra-
putra dewa matahari’ ini melakukan perpindahan dengan cara menyebar ke berbagai
tempat tersebut dalam usaha mereka untuk mencari logam mulia dan batu mulia seperti
emas, perak dan permata.

Sebagai pendekatan yang datang setelah teori evolusi dikemukakan oleh para
penganjurnya, pada awalnya teori difusi tidak dipertentangkan dengan teori yang
munculnya sebelumnya tersebut. Hal ini karena tokoh-tokoh teori evolusi, Tylor dan

11
Morgan, pada dasarnya tidak menafikan adanya kenyataan bahwa kebudayaan manusia
tersebut dapat menyebar dan dapat menyebabkan beragam perubahan akibat penyebaran
tersebut. Akan tetapi, keberadaan teori difusi kebudayaan sebagai penentangan terhadap
teori evolusi yang muncul sebelumnya baru mengemuka dan mencuat ke permukaan
setelah kedatangan Franz Boas bersama para muridnya. Setelah masuknya tokoh
antropolog asal Amerika ini barulah terjadi perselisihan dan mencuatnya beragam
kritikan yang dialamatkan oleh para pengusung teori difusi terhadap teori evolusi.

Franz Boas pada dasarnya adalah seorang ahli geografi yang  hidup antara tahun 1858-
1942 dan berasal dari Jerman. Tokoh yang dianggap pendekar ilmu antropologi
Amerika ini banyak melakukan ekspedisi ke wilayah-wilayah pedalaman Amerika dan
mengumpulkan bahan-bahan etnografi yang digunakannya untuk menyusun beragam
karangannya mengenai kebudayaan. Untuk menguatkan pandangan-pandangannya
mengenai kebudayaan, Boas menyatakan bahwa penelitian difusi kebudayaan harus
diarahkan hanya pada daerah-daerah tertentu saja dan apa yang mengemuka dalam
komunitas kebudayaan tertentu tersebut harus diperhatikan secara seksama dan seteliti
mungkin. Model Boas ini kemudian dikenal dengan nama ‘partikularisme historis’
dimana di dalamnya telah melahirkan konsep-konsep baru mengenai kajian kebudayaan,
seperti kulturkreis atau daerah atau lingkungan dan kulturschichten atau lapisan
kebudayaan. Dalam kajian kebudayaan ala difusi Boas ini, unsur-unsur persamaan yang
dimiliki oleh sebuah kebudayaan sangat diperhatikan secara cermat untuk kemudian
dimasukkan ke dalam sebuah kategori yang disebutkan dengan dua istilah yang
dikemukakan di atas. Dengan cara seperti ini maka akan diketahui unsur-unsur
kebudayaan yang ada dalam beragam kebudayaan dunia.

Para penerus gagasan difusi kebudayaan yang dikemukakan oleh Boas kemudian
dilanjutkan oleh para muridnya yang banyak berada di Amerika. Salah satu muridnya
yang terkenal dan terus menyebarkan gagasan Boas adalah Clark Wissler (1870-1947)
yang berpendidikan formal sebagai seorang ahli psikologi dan bekerja di Museum of
Natural History. Sepeninggal Boas, Wissler mengajukan suatu konsep baru sebagai
lanjutan atau pengembangan dari pemikiran gurunya mengenai difusi kebudayaan.
Konsep tersebut adalah culture area yang merupakan pembagian dari kebudayaan-
kebudayaan Indian di Amerika ke dalam daerah-daerah yang merupakan kesatuan
mengenai corak kebudayaan-kebudayaan di dalamnya. Hal ini dilakukannya karena

12
Wissler ingin mengklasifikasikan beragam peninggalan budaya dari aneka ragam suku
yang ada di pedalaman Amerika hasil dari perjalanan antropologis yang dilakukannya.
Dengan menerapkan konsepnya yang baru tersebut, maka beragam peninggalan
antropologis dari suku-suku Indian tersebut dapat dikelompokkan dalam tempat-
tempatnya yang sesuai. Dari implementasi konsep ini terhadap beragam peninggalan
budaya tersebut, Wissler berhasil menggolongkan puluhan kebudayaan yang berbeda-
beda ke dalam satu golongan berdasarkan pada persamaan sejumlah ciri yang sangat
mencolok dalam kebudayaan-kebudayaan tersebut.

Penerus selanjutnya dari gagasan difusi kebudayaan Boas adalah AL Kroeber (1876-
1960) yang merupakan doktor hasil bimbingan tokoh penentang utama teori evolusi ini.
Seperti halnya Boas, Kroeber juga sangat mementingkan penelitian lapangan secara
komprehensif yang berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Apa yang ia dapatkan
selama dalam bimbingan Boas, Kroeber menerapkannya pula kepada para muridnya
dengan mewajibkan mereka untuk melakukan penelitian lapangan paling tidak selama
setahun. Dalam melakukan penelitiannya, para muridnya diharuskan mengetahui dan
memahami apa yang ada dalam masyarakat tempat mereka melakukan penelitian,
seperti mampu menggunakan bahasa yang masyarakat tersebut gunakan dan
mengumpulkan beragam bahan yang berhubungan dengan masyarakat tersebut.

Kelebihan dan Kekurangan Teori di Atas

Setelah dilakukan paparan mengenai kedua paradigma yang muncul dalam kajian
kebudayaan sebagaimana di atas, maka didapatkan beberapa hal penting yang berkaitan
dengan kedua pandangan tersebut. Bagaimana pun juga, sebagai paradigma berbeda
dengan yang ada sebelumnya, teori evolusi telah membuka jalan bagi mengemukanya
upaya manusia untuk melihat kebudayaan manusia dari sisinya yang lain secara
rasional. Inilah kelebihan awal yang dimiliki oleh teori evolusi, karena sebagaimana
diketahui bahwa pandangan masyarakat Barat mengenai kebudayaan manusia selalu
terkungkung oleh ajaran-ajaran kitab suci yang tidak memberi ruang bagi penelaahan
menggunakan sarana yang dimiliki oleh manusia. Untuk itulah teori evolusi datang
dengan menghadirkan cara pandang kebudayaan yang berbeda dengan model yang
selama ini menyelimuti pandangan masyarakat Eropa dan dapat dilakukan oleh siapa
pun juga tidak seperti model kitab suci yang menjadi hak monopoli para pendeta saja.

13
Kelebihan lain yang dimiliki oleh teori evolusi adalah pandangan revolusionernya
mengenai adanya tahapan-tahapan perkembangan yang dilalui oleh setiap komunitas
manusia. Pandangan ini merupakan hal yang baru, ketika itu, dalam kajian kebudayaan
yang sekian lama terkungkung oleh dogma agama yang mengikat cara pandang
masyarakat. Kelebihan lainnya yang ada dalam teori ini adalah dipakainya untuk
pertama kalinya hasil penelitian lapangan yang berasal dari berbagai tempat sebagai
acuan untuk mengungkapkan adanya fase perkembangan kebudayaan manusia,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Tylor dan Morgan. Kelebihan lainnya adalah
digunakannya standar atau tolok ukur untuk melihat adanya perbedaan dalam setiap fase
perkembangan kebudayaan, sebagaimana yang dikemukakan oleh White dengan standar
energinya dan Steward dengan adaptasi lingkungannya.

Namun demikian, di samping kepemilikannya terhadap beragam kelebihan sebagaimana


yang tampak di atas, teori evolusi juga memiliki beragam kelemahan. Menurut analisis
Thomas G. Harding, kelemahan paparan Morgan dalam pengajuan teori evolusinya
adalah terletak pada ketidakpeduliannya terhadap bagaimana mekanisme yang
dilakukan oleh manusia untuk maju dari satu tahap ke tahap perkembangan
lainnya. Sementara itu menurut catatan Leslie White, kelemahan Morgan adalah karena
kajian yang dilakukannya sehingga menghasilkan rumusan dan kesimpulan
sebagaimana di atas sangat subjektif dan tidak memiliki standar atau acuan yang
jelas. Sedangkan berdasarkan kajian Julian Steward, kelemahan Morgan adalah terletak
pada data yang digunakannya dalam penelitian hingga memunculkan kesimpulannya
sebagaimana di atas. Data yang dipakai oleh Morgan, menurut Steward, tidak
didapatkan dari hasil kajian lapangan terhadap suatu kebudayaan tertentu dengan cara
yang serius layaknya yang disyaratkan oleh sebuah penelitian ilmiah. Hal ini dibuktikan
dengan penelitian Steward terhadap salah satu suku Indian di Amerika Serikat yang
ternyata tidak lagi mengalami evolusi sebagaimana yang diungkapkan oleh Morgan di
atas.

Sebagaimana yang juga ada dalam teori evolusi yang menjadi paradigma pendahulu,
teori difudi kebudayaan juga memiliki kelebihan yang patut menjadi catatan dalam
kajian antropologi. Teori difusi memiliki kelebihan karena merupakan pandangan awal
yang menyatakan bahwa kebudayaan yang ada merupakan sebaran dari kebudayaan
lainnya. Di samping itu, dari sini terdapat cara pandang baru yang meletakkan dinamika

14
dan perkembangan kebudayaan tidak hanya dalam bentang waktu saja, tetapi juga
dalam bentang ruang, sebagaimana yang diperlihatkan oleh Perry dan Smith dalam
pemikirannnya. Kelebihan lainnya adalah para pengusung teori ini telah menggunakan
analisis komparatif yang berlandaskan pada standar kualitas dan kuantitas dalam
menentukan wilayah persebaran kebudayaan sebagaimana yang yang mereka yakini.
Kelebihan lainnya adalah para penyokong teori ini sangat memperhatikan setiap detail
catatan mengenai kebudayaan sehingga mereka mendapatkan beragam hubungan atau
keterkaitan antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya. Dan kelebihan yang
terpenting dari teori ini adalah penekanan mereka pada penelitian lapangan untuk
mendapatkan data yang lebih dan akurat, sebagaimana yang diperlihatkan oleh Boas
yang kemudian diikuti oleh para murid yang menjadi pengikutnya selanjutnya.

Meskipun demikian, seperti halnya juga yang ada dalam teori evolusi, teori difusi tidak
lepas pula dari beragam kelemahan atau kekurangan. Secara umum, teori difusi
kebudayaan memiliki kelemahan dari sisi data karena tidak memilki dukungan data
yang cukup dan akurat dan  pengumpulan data tidak dilakukan melalui prosedur dan
metode penelitian yang jelas. Hal ini misalnya tampak pada kesimpulan teori ini yang
mengatakan bahwa peradaban-peradaban kuno di bumi sebenarnya berasal dari orang-
orang Mesir. Hal ini memperlihatkan pandangan para pengusungnya yang sangat Mesir-
Sentris hanya karena kekaguman mereka dan keterpesonaan mereka dengan kebudayaan
negeri Firaun ini setelah lama melakukan penelitian di tempat ini.

Kelemahan lain yang ada dalam teori ini adalah terletak pada metode yang mereka
gunakan dalam melakukan penelitian yang tidak memperbandingkan kebudayaan-
kebudayaan yang saling berdekatan. Dalam penelitiannya, para pengusung teori ini
hanya melakukannya berdasarkan pada ketersediaan data yang ada saja karena pada
kenyataannya untuk sampai pada sebuah kesimpulan sebagaimana di atas mereka tidak
pernah melakukan penelitian lapangan yang menjadi tuntutan untuk mengemukakan
sebuah pernyataan yang berujung pada pembentukan teori.

Kelemahan lainnya yang terdapat dalam teori ini adalah karena keterikatan mereka
dengan catatan sejarah sebagai bagian dari model teori yang mereka gunakan.
Akibatnya, tidak semua sejarah yang berkaitan dengan suku-suku tertentu dapat
diungkapkan karena beragam sebab yang diantaranya karena belum adanya peneliti

15
yang melakukan kajian terhadap suku tersebut. Hal ini sebagaimana yang dikritik oleh
Malinowski dan Brown yang melakukan penelitian sejarah terhadap suku yang masih
sederhana di kalangan orang Andaman. Tetapi karena keterbatasan data yang
menerangkan mengenai keberadaan mereka, maka penelitian dengan menggunakan
teori difusi sebagaimana yang dikemukakan oleh Boas dan kawan-kawannya sulit untuk
dilakukan.

Cabang-Cabang Antropologi dan Fokus Kajiannya.

Dilansir dari tirto.id, setidaknya ada lima fokus kajian antropologi. Pertama,
perihal sejarah dan perkembangan manusia dilihat dari ciri-ciri tubuhnya secara evolusi,
dan dipandang dari segi biologi. Kedua, perihal sejarah terjadinya berbagai ragam
manusia dari aspek fisiknya. Ketiga, perihal perkembangan, penyebaran, dan terjadinya
beragam fenomena kebudayaan di dunia. Keempat, perihal sejarah asal, perkembangan,
serta penyebaran berbagai macam bahasa di seluruh dunia. Kelima, perihal asas-asas
kebudayaan manusia dalam kehidupan masyarakat suku bangsa di dunia.

Antropologi memiliki dua cabang utama, yaitu Antropologi Biologi dan


Antropologi Budaya. Kedua cabang ini memiliki beberapa cabang lagi sebagai
fokusnya. Berikut penjelasan:

1. Antropologi biologi

Antropologi biologi menelaah hal-hal yang berhubungan dengan sisi


biologis manusia. Terkadang, beberapa subdisiplin menyebut antropologi
budaya dengan istilah lama yaitu antropologi fisik. Antropologi fisik
cenderung menekankan pada pengetahuan terkait anatomi komparatif.
Komparatif atau perbandingan tersebut itu, meliputi hubungan antara
spesies manusia, dan primata yang lebih tinggi. Hal itu seperti, simpanse
dengan gorila. Kemudian, hubungannya dengan manusia dan nenek
moyangnya. Hal tersebut seperti, Homo erectus dengan australopithecus
africanus. Komparasi anatomi ras-ras tersebut, saat ini semakin

16
berkurang karena bidang genetika manusia semakin Modern. Genetika
manusia berkembang secara cepat bersamaan dengan aspek demografi,
dan ilmu forensik. Ilmu forensik, umumya difokuskan untuk proses
hukum.
i. Paleontropologi
Paleontropologi merupakan ilmu bagian yang menelisik perihal
asal usul atau proses terjadinya evolusi manusia. Proses tersebut
dilakukan dengan cara meneliti sisa-sisa tubuh manusia yang
telah membantu.
ii. Antropologi fisik
Antropologi fisik dipahami sebagai bagian dari ilmu antropologi
yang mengupayakan penjelasan dari suatu pengertian terkait
sejarah kehadiran manusia di bumi.

2. Antropologi budaya

Menurut kajian antropologi budaya, manusia adalah satu-satunya


makhluk yang berbudaya. Sehingga, tidak ada manusia yang tidak
mempunyai budaya. Akal budi yang dimiliki manusia, membuatnya
mampu menguasai alam. Hal ini karena, manusia tidak mengandalkan
nalurinya. Keberhasilan manusia untuk mengendalikan alam, menjadi
penyebab terbentuknya sebuah budaya. Budaya yang dibentuk oleh
manusia dipelajari, bukan diwariskan secara biologis. Antropologi
budaya bertugas menelaah kebudayaan manusia yang tersebar di seluruh
permukaan bumi ini.
i. Prasejarah
Dalam konteks ilmu antropologi, prasejarah adalah masa ketika
belum ada peninggalan-peninggalan sejarah dalam bentuk bahasa
tulis. Sehingga, batas antara sejarah dan pra sejarah adalah
adanya peninggalan sejarah berupa tulisan. Sementara kondisi
masyarakat yang hidup pada masa lampau, dan belum mengenal
tulisan, disebut sebagai zaman pra aksara. Berdasarkan catatan
dalam Handout Antropologi milik Daniel Fernandez (2018),
manusia diperkirakan hidup sejak 800.000 tahun silam.

17
Kemudian, kehidupan manusia dibagi ke dalam dua fase. Dua
fase tersebut meliputi, fase sebelum mengenal bahasa tulis atau
pra aksara, dan fase sesudah mengenal bahasa tulis. Batas antara
kedua fase tersebut berbeda-beda di setiap negara. Di Mesir,
manusia telah mengenal bahasa tulis sejak 6000 tahun silam.
Sementara di Minoa tepatnya di pulau Kreta, manusia sudah
mengenal bahasa tulis sejak 5000 tahun silam. Sama halnya
dengan Yemdet Nasr di Irak. Yemdet Nasr di Irak adalah
kebudayaan Harappa-Mohenjodaro di India. Sedangkan batas
prasejarah di Indonesia kira-kira sejak abad ke-5 M. Beberapa
daerah di Indonesia, salah satunya di pedalaman Papua terisolasi
sehingga tidak mengenal bahasa tulis secepat daerah-daerah
lainnya. Aspek pra sejarah, erat kaitannya dengan aspek
arkeologi. Dengan bantuan arkeologi, maka peneliti mampu
menganalisa budaya di suatu kelompok masyarakat.
ii. Arkeologi
Ilmu arkeologi mampu menganalisa budaya masyarakat
prasejarah. Namun, para arkeolog tidak hanya menalaah benda-
benda peninggalan prasejarah saja. Para arkeolog juga menelaah
banyak peninggalan masyarakat setelah mengenal bahasa tulis.
Beberapa sumber arkeologi yang penting adalah, sumber tertulis,
seperti prasasti. Kemudian, artefak atau perkakas, seperti senjata,
dan alat-alat dapur. Lalu, bangunan seperti megalith, candi,
istana, dan sebagainya.
iii. Etnolinguistik
Menurut ilmu antropologi, salah satu ciri dari manusia yang
berbudaya adalah mereka yang memiliki kemampuan untuk
berbicara atau berbahasa. Akan tetapi, seorang arkeolog bernama
Prof. Teuku Yacob meragukan bahwa pithecanthropus erectus
sudah mempunyai kebudayaan. Hal tersebut, dibuktikan dengan
adanya penemuan bahwa fosil pithecanthropus erectus tidak
memiliki daerah artikulasi. Daerah artikulasi di mulut merupakan

18
daerah pembentukan bahasa. Sehingga pithecanthropus erectus
belum bisa disebut sebagai manusia yang memiliki kebudayaan.
Antropologi linguistik atau etnolinguistik dipahami sebagai studi
tentang bahasa-bahasa manusia. Linguistik tersebut merupakan
deskripsi suatu bahasa, dan sejarah bahasa-bahasa. Studi
linguistik mampu mengetahui lebih baik terkait pendapat orang
tentang diri manusia sendiri, dan tentang dunia sekitarnya.
iv. Etnologi
Etnologi merupakan bagian dari antropologi budaya yang
berupaya untuk memahami pengertian terkait dasar-dasar
kebudayaan manusia. Upaya tersebut dilakukan dengan cara
mempelajari kebudayan dalam kehidupan manusia dari sebanyak
mungkin suku bangsa. Suku bangsa tersebut tersebar di seluruh
muka bumi, baik pada masa lalu ataupun masa sekarang.
Pembahasan terkait etnologi dibagi menjadi dua aliran. Dua
aliran tersebut meliputi, diakronik atau etnologi, dan antropologi
sinkronik atau antropologi sosial. Pertama, diakronik merupakan
aliran yang menekankan pada bidang diakroning. Bidang
diakronis adalah aliran yang sifatnya berkelanjutan sesuai dengan
berjalannya waktu. Tujuan diakronis ialah, mencari pengertian
terkait sejarah perkembangan suatu negara. Kedua, sinkronik
merupakan aliran yang menekankan pada bidang sinkronik.
Sinkronik aliran yang sifatnya bersamaan dalam satu waktu.
Tujuan sinkronik adalah mencari asas persamaan dalam
masyarakat yang beragam.

Latar Belakang Kemunculan Antropologi Serta Manfaat Kajian


Antropologi

Antropologi mencoba untuk mencari jawaban siapakah dan apakah makna dan
pengertian dari manusia itu meski tidak dapat didefinisikan secara detail. Kita juga
sering menyebut dan mengira bahwa antropologi ada keterkaitan dengan berbagai

19
macam etnis di Indonesia, sehingga antropologi sangat bermanfaat untuk memahami
perbedaan yang terdapat pada masyarakat Indonesia, dan sehingga menimbulkan rasa
persatuan dan kesatuan pada tanah air tercinta ini. Semua hal-hal yang mengenai
manusia serta perbedaan manusia dengan manusia lain akan dibahas di dalam
antropologi ini, Mulai perbedaan budaya, tradisi, agama, dll. Tapi walaupun begitu dan
memiliki banyak perbedaan, mereka semua tetap dalam suatu wilayah tanah air
Indonesia. Secara detail, ruang lingkup antropologi sendiri lebih memperhatikan
terhadap sejarah asal serta perkembangan manusia dilihat dari ciri-ciri tubuhnya secara
evolusi yang dipandang dari segi biologis, dan juga sejarah terjadinya berbagai ragam
manusia dari segi ciri-ciri fisiknya, dan juga mengenai sejarah mengenai perbedaan
berbagai macam bahasa dan budaya di seluruh dunia dan mengenai asas-asas kehidupan
masyarakat di dunia. Antropologi juga termasuk ke dalam kehumanioraan karena di
dalamnya pembahasannya lebih difokuskan pada manusia dan kebudayaannya, yang
dimaksud di sini yakni ilmu yang khusus dan langsung mempelajari segala manusia dari
berbagai zaman. Jadi para ahli antropologi berusaha mempelajari secara luas tentang
manusia melalui pendekatan perbandingan maupun pendekatan historis terhadap
kebudayaan di seluruh dunia sehingga menarik perhatian bagi para ahli untuk
menelitinya lebih panjang. Latar belakang munculnya antropologi disebabkan karena
kenyataan akan adanya keanekaragaman fisik, adat-istiadat dan cara hidup manusia di
berbagai belahan dunia menimbulkan pertanyaan besar mengapa perbedaan tersebut
terjadi. Pertanyaan tersebut muncul sebagai pertanyaan kritis setelah dominasi gereja
terhadap pengetahuan runtuh. Para ahli filsafat sosial mulai mencoba menjelaskan
tentang fenomena perbedaan tingkah laku manusia, perkembangan masyarakat dari
berbagai belahan dunia dengan menggunakan sumber tulisan-tulisan yang ada. Para
filsuf menyusun argumentasi dengan dengan menggunakan cara berpikir ilmu eksak
yang sudah berkembang. Para ahli filsafat sosial mencoba menjelaskan munculnya
fenomena sosial terutama pada persoalan aneka warna masyarakat menggunakan
kaidah-kaidah ilmu alam dengan mencari unsur-unsur persamaan yang dapat dipakai
sebagai asas-asas generalisasi dalam analisa induktif yang selanjutnya dapat dirumuskan
sebagai kaidah-kaidah sosial.

Berdasarkan buku ajar UNP, Secara umum Ilmu Pengetahuan berasal dari filsafat. Ilmu-
ilmu sosial seperti sosiologi dan antropologi lahir setelah perkembangan ilmu-ilmu

20
alam. Ilmu sosiologi muncul setelah industrialisasi berlangsung di Eropa. Pesatnya
pertumbuhan industri menyebabkan berkembangnya kota-kota industri di Eropa.
Industrialisasi sebabkan perubahan sosial masyarakat Eropa, menyebabkan perubahan
nilai-nilai di dalam masyarakat. Ini mendorong ilmuan mempelajari keadaan masyarakat
Eropa yang sedang berubah tersebut, lahirlah ilmu Sosiologi. Antropologi lahir setelah
orang Eropa mendatangi negeri-negeri di benua Asia, Afrika dan Oceania yang dimulai
sebelum tahun 1800, yang didorong oleh keinginan untuk memperoleh bahan-bahan
dasar pengembangan industri serta untuk mencari daerah pemasaran hasil industri yang
mulai maju di Eropa. Dalam perjalanan tersebut orang Eropa menemukan bangsa-
bangsa (suku bangsa - suku bangsa) yang belum berkembang, dianggap primitif atau
terbelakang. Penemuan suku bangsa - suku bangsa ini kemudian mendorong keinginan
ilmuan mempelajari kebudayaan yang berbeda–beda yang tersebar di permukaan bumi.
Maka timbullah kajian etnologi (ilmu tentang bangsa-bangsa). Kajian yang lebih serius
terhadap suku-suku atau bangsa-bangsa di dunia mulai dilakukan ilmuan pada
pertengahan abad ke-19, yang turut dipengaruhi oleh cara berpikir evolusionis dari
Charles Darwin. Oleh karena itu teori–teori awal yang dihasilkan antropologi juga
mengklasifikasikan dan membanding-bandingkan bangsa dan suku bangsa - suku
bangsa di dunia dan menempatkan bangsa atau suku bangsa itu ke dalam tingkatan
tertentu sesuai dengan perkembangan kebudayaan dan ciri-ciri kebudayaan material
yang mereka miliki. Awal abad ke dua puluh oleh Bronislaw Malinowski penelitian
antropologi semakin maju dengan pendekatan wholistic dan paradigma atau teori
fungsionalisme yang dikembangkannya dari penelitiannya di Trobriand, dengan hasil
karya etnografi berjudul The Arganouts From Western Pacific. Sejak itu antropologi
mengalami kemajuan yang pesat. Paradigma atau teori baru dihasilkan dalam rangka
mengeksplanasikan atau mendeskripsikan kebudayaan masyarakat di dunia. Kajian
etnologi yang hanya mengandalkan data-data sekunder mulai ditinggalkan dan
menggantinya dengan penelitian lapangan (fieldwork) etnografi.

21
Daftar Referensi

http://sosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/PENGANTAR
%20ANTROPOLOGI.pdf
https://roedijambi.wordpress.com/2010/02/11/teori-evolusi-dan-difusi-kebudayaan-
analisis-komparatif-terhadap-dua-paradigma-dalam-antropologi/amp/
https://www.kompasiana.com/faqihulmuqodam/54f83ee3a33311ae608b4f2e/antropolog
i-beserta-latar-belakang-dan-ruang-lingkupnya
https://tirto.id/mengenal-cabang-ilmu-antropologi-budaya-hingga-arkeologi-garh
https://ubl.ac.id/monograph-ubl/index.php/Monograf/catalog/download/35/60/295-1?
inline=1
https://www.slideshare.net/damth/metode-pendekatan-dalam-ilmu-antropologi
http://blog.unnes.ac.id/rossyjuliana/?p=223
https://www.kompasiana.com/acars/56f61cdbb99373f50491acc5/mengetahui-4-cabang-
antropologi?page=all#sectionall

22

Anda mungkin juga menyukai