Anda di halaman 1dari 21

ANTROPOLOGI PENDIDIKAN

1. Arti Dari Antropologi


Antropologi adalah kajian tentang manusia dan cara-cara hidup
mereka. Antropologi memiliki dua cabang atau kajian utama. Pertama,
antropologi yang mengkaji evolusi fisik manusia dan adaptasinya terhadap
lingkungan yang berbeda-beda. Kedua, antropologi budaya yang mengkaji
baik kebudayaan-kebudayaan yang masih ada maupun kebudayaan yang
sudah punah. Secara umum antropologi budaya mencakup antropologi bahasa
yang mengkaji bentuk-bentuk bahasa; arkeologi yang mengkaji kebudayaan-
kebudayaan yang telah punah; kemudian etnologi yang mengkaji kebudayaan
yang masih ada dan dapat diamati secara langsung. Meskipun antropologi
merupakan cabang ilmu yang termuda di antara ilmu-ilmu sosial, antropologi
telah melampaui ilmu-ilmu sosial lainnya dalam retangan subjek matter dan
metodologi. Antropologi menghubungkan semua aspek terhadap kebudayaan
sebagai satu keseluruhan yang mengkaji semua kebudayaan baik lampau
maupun sekarang, sederhana ataupun maju. Antropologi menyadarkan kita
akan keragaman kebudayaan umat manusia dan pengaruh yang dalam dari
pendidikan (cultural conditional) terhadap perilaku dan kepribadian manusia.
Jadi antropologi adalah kajian yang mendalam tentang kebudayaan-
kebudayaan tertentu.

Awalnya antropologi dikenal sebagai konsep kebudayaan yang


merupakan satu totalitas (Ruth). Sementara itu, Boas mempertimbangkan
aspek-aspek tertentu dari kebudayaan yang berbeda, yaitu kebudayaan
berfungsi sebagai satu keseluruhan dalam pola-pola tertentu. Ada banyak
pertentangan lain tentang antropologi, namun semenjak itu inovasi utama
yang terjadi adalah kajian tentang kebudayaan dan kepribadian yaitu tentang
proses bagaimana sebuah kebudayaan diinternalisasikan dan dirubah oleh
individu. Jadi antropologi mengkaji aspek-aspek tertentu dari kebudayaan.
Jika sarana sosial lain membicarakan rentangan tertentu, maka sarjana
antropologi mengkaji keseluruhan sejarah umat manusia sebagai bidang
kajiannya. Dengan mempelajari antropologi, kita bisa menyadari keragaman
budaya umat manusia dan pengaruh dalam pendidikan.

2. Makna Kebudayaan

Kebudayaan berarti semua cara hidup yang telah diperkembangkan


oleh anggota-anggota suatu masyarakat. Dengan kebudayaan tertentu
dimaksudkan totalitas cara hidup yang dihayati oleh suatu masyarakat tertentu
yang terdiri dari cara berpikir, cara bertindak, dan cara merasa yang
dimanifestasikan seperti agama, hukum, bahasa, seni dan kebiasaan-
kebiasaan. Kebudayaan yang paling sederhana mencakup cara tidur, cara
makan atau pun cara berpakaian. Untuk membedakan antara kebudayaan dan
masyarakat adalah bahwa masyarakat adalah suatu penduduk local yang
bekerja sama dalam jangka waktu yang lama untuk mencapai tujuan tertentu.
Sedangkan kebudayaan adalah cara hidup dari masyarakat tersebut, atau hal-
hal yang mereka pikirkan, rasakan, dan kerjakan.

Makna kebudayaan, secara sederhana berarti semua cara hidup (ways


of life) yang telah dikembangkan oleh anggota masyarakat. Dari prespektif
lain kita bisa memandang suatu kebudayaan sebagai perilaku yang dipelajari
dan dialami bersama (pikiran, tindakan, perasaan) dari suatu masyarakat
tertentu termasuk artefak-artefaknya, dipelajari dalam arti bahwa perilaku
tersebut disampaikan (transmitted) secara sosial, bukan diwariskan secara
genetis dan dialami bersama dalam arti dipraktekkan baik oleh seluruh
anggota masyarakat atau beberapa kelompok dalam suatu masyarakat.
Masyarakat merupakan suatu penduduk lokal yang bekerja sama
dalam jangka waktu yang lama untuk mencapai tujuan tertentu, sedangkan
kebudayaan merupakan cara hidup dari masyarakat tersebut atau hal-hal yang
mereka pikirkan, rasakan dan kerjakan. Masyarakat mungkin saja memiliki
satu kebudayaan jika masyarakat tersebut kecil, terpisah dan stabil.

3. Isi Kebudayaan

Pada dasarnya gejala kebudayaan dapat diklasifikasikan sebagai


kegiatan/aktivitas, gagasan/ide dan artefak yang diperoleh, dipelajari dan
dialami. Kebudayaan dapat diklasifikasikan atas terknologi sebagai alat-alat
yang digunakan, organisasi sosial sebagai kegiatan institusi kebudayaan dan
ideologi yang menjadi pengetahuan atas kebudayaan tersebut. Menurut R.
Linton, kebudayaan dapat diklasifikasikan atas:

a. Universals: pemikiran-pemikiran, perbuatan, perasaan dan artefak yang


dikenal bagi semua orang dewasa dalam suatu masyarakat. Ex, bahasa,
hubungan kekerabatan, pakaian dan kepercayaan.
b. Specialisties: gejala yang dihayati hanya oleh anggota kelompok sosial
tertentu. Ex, kelompok golongan profesi.
c. Alternatives: gejala yang dihayati oleh sejumlah individu tertentu seperti
pendeta, ulama, pelukis dan filosof.

Kebudayaan merupakan gabungan dari keseluruhan kesatuan yang ada


dan tersusun secara unik sehingga dapat dipahami dan mengingat masyarakat
pembentuknya. Setiap kebudayaan memiliki konfigurasi yang cocok dengan
sikap-sikap dan kepercayaan dasar dari masyarakat, sehingga pada akhirnya
membentuk sistem yang interdependen, dimana koherensinya lebih dapat
dirasakan daripada dipikirkan pembentuknya. Kebudayaan dapat bersifat
sistematis sehingga dapat menjadi selektif, menciptakan dan menyesuaikan
menurut dasar-dasar dari konfigurasi tertentu. Kebudayaan akan lancar dan
berkembang apabila terciptanya suatu integrasi yang saling berhubungan.

Dalam kebudayaan terdapat subsistem yang paling penting yaitu foci


yang menjadi kumpulan pola perilaku yang menyerap banyak waktu dan
tenaga. Apabila suatu kebudayaan makin terintegrasi maka fokus tersebut
akan makin berkuasa terhadap pola perilaku dan makin berhubungan fokus
tersebut satu dengan yang lainnya dan begitu pula sebaliknya. Kebudayaan
akan rusak dan bahkan bisa hancur apabila perubahan yang terjadi terlalu
dipaksakan, sehingga tidak sesuai dengan keadaan masyarakat tempat
kebudayaan tersebut berkembang. Perubahan tersebut didorong oleh adanya
tingkat integrasi yang tinggi dalam kebudayaan. Apabila tidak terintegrasi
maka kebudayaan tersebut akan mudah menyerap serangkaian inovasi
sehingga dapat menghancurkan kebudayaan itu sendiri.

4. Beberapa Sifat Kebudayaan

Kebudayaan yang berkembang pada masyarakat memiliki sifat seperti:

a. Bersifat organik dan superorganik karena berakar pada organ manusia dan
juga karena kebudayaan terus hidup melampaui generasi tertentu.
b. Bersifat terlihat (overt) dan tersembunyi (covert) terlihat dalam tindakan
dan benda, serta bersifat tersembunyi dalam aspek yang mesti
diintegrasikan oleh tiap anggotanya.
c. Bersifat eksplisit dan implisit berupa tindakan yang tergambar langsung
oleh orang yang melaksanakannya dan hal-hal yang dianggap telah
diketahui dan hal-hal tersebut tidak dapat diterangkan.
d. Bersifat ideal dan manifest berupa tindakan yang harus dilakukannya serta
tindakan-tindakan yang aktual.
e. Bersifat stabil dan berubah yang diukur melalui elemen-elemen yang
relatif stabil dan stabilitas terhadap elemen budaya.

5. Pendidikan dan Antropologi

Pendidikan dapat diartikan sebagai suatu proses pembelajaran,


pemberian pengetahuan, keterampilan dan sikap melalui pikiran, karakter
serta kapasitas fisik dengan menggunakan pranata-pranata agar tujuan yang
ingin dicapai dapat dipenuhi. Pendidikan dapat diperoleh melalui lembaga
formal dan informal. Penyampaian kebudayaan melalui lembaga informal
tersebut dilakukan melalui enkulturasi semenjak kecil di dalam lingkungan
keluarganya. Dalam masyarakat yang sangat kompleks, terspesialisasi dan
berubah cepat, pendidikan memiliki fungsi yang sangat besar dalam
memahami kebudayaan sebagai satu keseluruhan.

Dengan makin cepatnya perubahan kebudayaan, maka makin banyak


diperlukan waktu untuk memahami kebudayaannya sendiri. Hal ini membuat
kebudayaan di masa depan tidak dapat diramalkan secara pasti, sehingga
dalam mempelajari kebudayaan baru diperlukan metode baru untuk
mempelajarinya. Dalam hal ini pendidik dan antropolog harus saling bekerja
sama, dimana keduanya sama-sama memiliki peran yang penting dan saling
berhubungan. Pendidikan bersifat konservatif yang bertujuan mengekalkan
hasil-hasil prestasi kebudayaan, yang dilakukan oleh pemuda-pemudi sehinga
dapat menyesuaikan diri pada kejadian-kejadian yang dapat diantisipasikan di
dalam dan di luar kebudayaan serta merintis jalan untuk melakukan perubahan
terhadap kebudayaan.

G.D. Spindler berpendirian bahwa kontribusi utama yang bisa


diberikan antropologi terhadap pendidikan adalah menghimpun sejumlah
pengetahuan empiris yang sudah diverifikasikan dengan menganalisa aspek-
aspek proses pendidikan yang berbeda-beda dalam lingkungan sosial
budayanya. Teori khusus dan percobaan yang terpisah tidak akan
menghasilkan disiplin antropologi pendidikan. Pada dasarnya, antropologi
pendidikan mestilah merupakan sebuah kajian sistematik, tidak hanya
mengenai praktek pendidikan dalam prespektif budaya, tetapi juga tentang
asumsi yang dipakai antropolog terhadap pendidikan dan asumsi yang
dicerminkan oleh praktek-praktek pendidikan.

Dengan mempelajari metode pendidikan kebudayaan maka


antropologi bermanfaat bagi pendidikan. Dimana para pendidik harus
melakkan secara hati-hati. Hal ini disebabkan karena kebudayaan yang ada
dan berkembang dalam masyarakat bersifat unik, sukar untuk dibandingkan
sehingga harus ada perbandingan baru yang bersifat tentatif. Setiap
penyeldikan yang dilakukan oleh para ilmuwan akan memberikan sumbangan
yang berharga dan mempengaruhi pendidikan.

Antropologi pendidikan dihasilkan melalui teori khusus dan percobaan


yang terpisah dengan kajian yang sistematis mengenai praktek pendidikan
dalam prespektif budaya, sehingga antropolog menyimpulkan bahwa sekolah
merupakan sebuah benda budaya yang menjadi skema nilai-nilai dalam
membimbing masyarakat. Namun ada kalanya sejumlah metode mengajar
kurang efektif dari media pendidikan sehingga sangat berlawanan dengan data
yang didapat di lapangan oleh para antropolog. Tugas para pendidik bukan
hanya mengeksploitasi nilai kebudayaan namun menatanya dan
menghubungkannya dengan pemikiran dan praktek pendidikan sebagai satu
keseluruhan.

Antropologi pendidikan mulai menampakkan dirinya sebagai disiplin


ilmu pada pertengahan abab ke-20. Sejak saat itu, antropologi pendidikan
berupaya menemukan pola budaya belajar masyarakat (pedesaan dan
perkotaan) yang dapat merubah perubahan social. Demikian juga mengenai
perwujudan kebudayaan para ahli mengambil kebijakan pendidikan yang
berorientasi pada perubahan sosial budaya mendapat perhatian. Konferensi
pendidikan antropologi yang berorientasi pada perubahan sosial di Negara-
negara baru khususnya melalui pendidikan persekolahan mulai digelar. Hasil-
hasil  kajian pendidikan di persekolahan melalui antropologi diterbitkan pada
tahun 1954 dibawah redaksi G.D. Spindler (1963).

Konferensi memberi rekomendasi untuk melakukan serangkaian


penelitian antropologi pendidikan di persekolahan, mengingat jalur perubahan
social budaya salah satunya dapat dilakukan dengan melalui pendidikan
formal. Banyak penelitian menunjukan bahwa system pendidikan di negara-
negara baru diorientasikan untuk mengokohkan kelompok sosial yang tengah
berkuasa.

Antropologi Pendidikan sebagai disiplin kini banyak di kembangkan


oleh para ahli yang menyadari pentingnya kajian budaya pada suatu
masyarakat. Antropologi di negara-negara maju memandang salah satu
persoalan pembangunan di negara berkembang adalah karena masalah budaya
belajar. Kajian budaya belajar kini menjadi perhatian yang semakin menarik,
khususnya bagi para pemikir pendidikan diperguruan tinggi. Perhatian ini
dilakukan dengan melihat kenyataan lemahnya mutu sumber daya manusia
yang berakibat terhadap rentannya ketahanan social budaya masyarakat dalam
menghadapi krisis kehidupan.

Orientasi pengembangan budaya belajar harus dilakukan secara


menyeluruh yang menghubungkan pola budaya belajar yang ada di dalam
lingkungan masyarakat dan lembaga pendidikan formal. Van Kemenade
(1969) dalam Imran Manan telah mengingatkan: “persoalan pendidikan
jangan hanya dianggap melulu persoalan pedagogis didaktis metodis dan tidak
menjadi masalah kebikakan social, sehingga pendidikan tidak ada lagi
menjadi kebutuhan bersama. Untuk itu perlu analisa empiris tentang tugas
pendidikan  dalam konteks kehidupan masyarakat”.

Pendekatan dan teori antropologi pendidikan dapat dilihat dari dua


kategori. Pertama, pendekatan teori antopologi pendidikan yang bersumber
dari antropologi budaya yang ditujukan bagi perubahan social budaya. Kedua,
pendekatan teori pendidikan yang bersumber dari filsafat.

Teori antropologi pendidikan yang diorientasikan pada perubahan


social budaya dikategorikan menjadi empat orientasi:

a. Orientasi teoritik yang fokus perhatiannya kepada keseimbangan secara


statis. Teori ini merupakan bagian dari teori-teori evolusi dan sejarah.
b. Orientasi teori yang memandang adanya keseimbangan budaya secara
dinamis. Teori ini yang menjadi penyempurna teori sebelumnya, yakni
orientasi adaptasi dan tekno-ekonomi yang menjadi andalanya
c. Orientasi teori yang melihat adanya pertentangan budaya yang statis,
dimana sumber teori dating dari rumpun teori structural.
d. Orientasi teori yang bermuatan pertentangan budaya yang bersifat global
atas gejala interdependensi antar Negara, dimana teori multicultural
termasuk didalamnya.
KEBUDAYAAN DAN PENDIDIKAN

1.    Konsep Kebudayaan


Konsep kebudayaan dapat pula dipakai untuk mengkaji pendidikan karena
dalam arti luas pendidikan adalah proses pembudayaan melalui masing-masing anak,
yang dilahirkan dengan potensi belajar yang lebih besar dari makhluk menyusui
lainnya. Manan (1989:7) mengemukakan hakekat pendidikan tersebut adalah proses
penyampaian kebudayaan (proses of transmitting cultur), di dalamnya termasuk
keterampilan, pengetahuan, sikap-sikap, dan nilai-nilai serta pola-pola prilaku atau
pendidikan dapat dikatakan sebagai “the transmision of culture”. Para ahli
mengelompokkan kebudayaan ke dalam tiga aspek yakni (1) Aspek kebudayaan yang
bisa diamati (aktifitas) dan gejala-gejala alam, (2) Aspek gagbasan (kebudayaan
dilihat sebagai sistem pengetahuan dan kepercayaan) (Manan, 1989:7).
Menurut Taylor, E.B (dalam Manan, Manan, 1989:8) kebudayaan secara
deskriptif adalah totalitas yang kompleks yang mencakup pengetahuan, moral, adat,
dan apa saja kemampuan-kemampuan dan kebiasaan yang diperoleh orang sebagai
aggota masyarakat. Mead (dalam Manan,1989:9) mendefinisikan kebudayaan secara
historis yakni merupakan seluruh prilaku tradisonal yang telah dikembangkan oleh
ras manusia yang secara berturutan “dipelajari” oleh masing-masing generasi.
Sejalan dengan pendapat di atas Kluckhon dan Kelly mendefiniskan budaya
berdasarkan sifat normatif yakni semua model bagi kehidupan baik secara eksplisit,
implisit, rasional, irasional, non rasional yang ada pada masa tertentu bagi prilaku
anggota-anggota masyarakat sedangkan definisi yang bersifat psikologis diutarakan
oleh La Piere bahwa kebudayaan adalah perwujudan di dalam adat, tradisi, dan
institusi dari apa yang dipelajari dalam satu kelompok sosial dan dari satu generasi ke
generasi lainnya. Terakhir adalah definisi yang bersifat struktural dari Turney dan
High mengemukakan bahwa kebudayaan adalah bekerjanya dan terintegrasinya
sejumlah aktivitas yang “tidak bersifat instingtif” dari masyarakat manusia.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan
adalah satu keseluruhan yang kompleks yang mencakup semua cara kita
berpikir dan berbuat, serta semua apa yang kita miliki sebagai anggota
masyarakat.
Menurut Tylor (dalam Manan, 1989:10) ada tujuh komponen-komponen pokok
yang terkandung dalam kebudayaan, yakni (1) keseluruhan yang kompleks, (2)
kebudayaan tidak terlihat secara nyata, melainkan pernyataan-pernyataan emosional
dan mental, (3) kebudayaan mencakup karya keseniaan dan moralitas kekeluargaan,
(4) kebudayaan memperlihatkan kesinambungan perilaku, (5) kebudayaan dipandang
secara objektif dan tidak memihak, (6) karakteristik kebudayaan ditemukan diperoleh
disuatu anggota masyarakat, dan (7) kebudayaan hidup dalam sebuah masyarakat
bersama orang lain. Dalam konsep kebudayaan yang dikemukakan oleh Tylor secara
eksplisit disebutkan: pengetahuan (knowledge) dan kepercayaan (belief) dan secara
implisit termasuk ke dalamnya adalah filsafat, ilmu, cerita rakyat, dan tahayul.
Berdasarkan definisi yang dikemukakan di atas, ada lima isi pokok/ komponen
dari kebudayaan itu, yakni sebagai berikut.
1)    Gagasan-gagasan
Hal yang termasuk ke dalam kategori gagasan, yakni ilmu pengetahuan, agama,
tahayul, perumusan kebenaran, kesusastraan, cerita rakyat, ungkapan-ungkapan,
dan perumusan kebenaran.
2)    Ideologi
3)    Aktivitas-aktivitas/ norma
Hal yang termasuk ke dalam kategori undang-undang, peraturan-peraturan, adat,
kesusilaan, larangan, ritual, upacara, konvensi, dan basa-basi.
4)    Teknologi
5)    Benda-benda
Hal yang termasuk ke dalam kategori mesin-mesin, peralatan-peralatan, perabot,
gedung-gedung, peninggalan-peninggalan kuno, benda-benda seni, kendaraan,
bahan makanan, dan obat-obatan.
2.        Karakteristik Kebudayaan
Manan (1989:11) mengutarakan tiga karakteristik kebudayaan yang bersifat
pradoksal (kebudayaan memiliki sifat stabil dan dinamis) dapat dimaklumi, yakni
sebagai berikut.
1)   Kebudayaan merupakan kekayaan universal umat manusia, tetapi manifestasi
lokal dan regionalnya bersifat unik.
2)   Kebudayaan bersifat stabil, tetapi juga bersifat dinamis dan memperlihatkan
perubahan yang terus menerus dan tetap.
3)   Kebudayaan mengisi dan menentukan jalan hidup kita, tetapi kebudayaan itu
jarang mengusik alam sadar kita.
Kesamaan anatomis yang sama menyebabkan kebutuhan dasar umat manusia
juga bersamaan. Kebutuhan dasar ini akan dipenuhi dalam bentuk respon. Respon ini
bersamaan dalam polanya dalam suatu masyarakat. Pola respon ini dinamakan
institusi budaya atau institusi sosial. Institusi budaya adalah suatu perilaku yang
terpola digunakan oleh suatu masyarakat untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar.
Antropologi mengenal paling kurang delapan institusi, yakni kekerabatan, ekonomi,
pendidikan, ilmu pengetahuan, estetika, dan rekreasi, politik, kesehatan, jasmani, dan
agama.
Murdok (dalam Manan,1989:15) mengemukakan enam karakteristik
kebudayaan yang bersifat unversal, yakni sebagai berikut.
1)   Kebudayaan dipelajari dan bukan bersifat instingtif, karena itu tidak dapat dicari
asal-usulnya.
2)   Kebudayaan ditanamkan. Manusia yang bisa menyampaikan warisan sosialnya
dan anak cucu yang dapat menyerap dan bukan mengubahnya.
3)   Kebudayaan bersifat sosial dan dimiliki bersama oleh manusia dan berbagai
masyarakat yang terorganisir.
4)   Kebudayaan bersifat gagasan yang diungkapkan sebagai norma-norma ideal atau
pola-pola perilaku.
5)   Kebudayaan sampai pada tingkat memuaskan kebutuhan-kebutuhan induvidu,
kebutuhan-kebutuhan biologis secara budaya.
6)   Kebudayaan bersifat integratif.

3. Fungsi Kebudayaan dan Institusi Sosial


a)    Fungsi kebudayaan
Menurut Kerber dan Smith.
1)        Pelanjut keturunan dan pengasuhan anak (penjamin kelangsungan
hidup biologis dari kelompok sosial).
2)        Pengembangan kehidupan ekonomi (menghasilkan dan memakai benda-
benda ekonomi).
3)        Transmisi budaya (cara-cara mendidik dan membentuk generasi baru
menjadi orang-orang dewasa yang berbudaya).
4)        Keagamaan (menanggulangi hal-hal yang berhubungan dengan
kekuatan yang bersifat gaib/supernatural).
5)        Pendekatan sosial (cara-cara yang dikembangkan untuk melindungi
kesejahteraan individu dan kelompok).
6)        Rekreasi (aktivitas-aktivitas yang memberi kesempatan kepada orang
untuk memuaskan kebutuhannya akan permainan-permainan).
b)   Institusi Sosial
Definisi institusi sosial.
1)   Menurut Malinowki
“Institusi sebagai sekelompok orang yang bersatu untuk melaksanakan
suatu aktivitas yang sederhana/ kompleks”.
2)   Menurut Koentjaraningrat
“Unsur-unsur institusi sosial terdiri dari sistem norma, personal, dan
peralatan fisik”.
3)   Menurut Bierstedt
“Institusi sosial sebagai ‘an organized ways of doing things’ ”.
c)    Fungsi Institusi Sosial
Menurut Gillin dan Gillin fungsi intitusi sosial, yakni sebagai berikut.
1)        Menyederhanakan tindakan individu.
2)        Menyediakan cara pengendalian sosial.
3)        Menyediakan peran dan kedudukan bagi individu-individu.
4)        Kadang-kadang merintangi perkembangan kepribadian, karena orang
harus selalu menyesuaikan diri dengan norma-norma yang telah ada.
5)        Mendorong orang-orang tertentu untuk bereaksi menentang institusi
tertentu (karena telah usang dan berusaha merumuskan pola perilaku
baru).
6)        Mengharmoniskan berbagai badan dalam konfigurasi budaya secara
keseluruhan. Misal, institusi-institusi dalam suatu kebudayaan atau
masyarakat akan menyesuaikan diri satu sama lainnya.

4.        Nilai Budaya dan Orientasi Nilai


1) Konsep Nilai Budaya
Theodorson dalam Pelly (1994) mengemukakan bahwa nilai
merupakan sesuatu yang abstrak, yang dijadikan pedoman serta prinsip –
prinsip umum dalam bertindak dan bertingkah laku. Keterikatan orang atau
kelompok terhadap nilai menurut Theodorson relatif sangat kuat dan bahkan
bersifat emosional. Oleh sebab itu, nilai dapat dilihat sebagai tujuan
kehidupan manusia itu sendiri.
Sedangkan yang dimaksud dengan nilai budaya itu sendiri sduah
dirmuskan oleh beberapa ahli seperti :
 Koentjaraningrat

Menurut Koentjaraningrat (1987:85) lain adalah nilai budaya


terdiri dari konsepsi – konsepsi  yang  hidup  dalam  alam  fikiran 
sebahagian  besar  warga  masyarakat mengenai hal – hal yang mereka
anggap amat mulia. Sistem nilai yang ada dalam suatu masyarakat
dijadikan orientasi dan rujukan dalam bertindak. Oleh karena itu, nilai
budaya yang dimiliki seseorang mempengaruhinya dalam menentukan
alternatif, cara – cara, alat – alat, dan tujuan – tujuan pembuatan yang
tersedia.

 Clyde Kluckhohn dlam Pelly

Clyde Kluckhohn dalam Pelly (1994) mendefinisikan nilai budaya


sebagai konsepsi umum yang terorganisasi, yang mempengaruhi perilaku
yang berhubungan dengan alam, kedudukan manusia dalam alam,
hubungan orang dengan orang dan tentang hal – hal yang diingini dan
tidak diingini yang mungkin bertalian dengan hubungan orang dengan
lingkungan dan sesama manusia.

 Sumaatmadja dalam Marpaung

Sementara itu Sumaatmadja dalam Marpaung (2000) mengatakan


bahwa pada perkembangan,  pengembangan,  penerapan  budaya  dalam 
kehidupan,  berkembang pula nilai – nilai yang melekat di masyarakat
yang mengatur keserasian, keselarasan, serta keseimbangan. Nilai
tersebut dikonsepsikan sebagai nilai budaya. Selanjutnya, bertitik tolak
dari pendapat diatas, maka dapat dikatakan bahwa setiap individu dalam
melaksanakan aktifitas vsosialnya selalu berdasarkan serta berpedoman
kepada nilai – nilai atau system nilai yang ada dan hidup dalam
masyarakat itu sendiri. Artinya nilai – nilai itu sangat banyak
mempengaruhi tindakan dan perilaku manusia, baik secara individual,
kelompok atau masyarakat secara keseluruhan tentang baik buruk, benar
salah, patut atau tidak patut

Suatu nilai apabila sudah membudaya didalam diri seseorang,


maka nilai itu akan dijadikan sebagai pedoman atau petunjuk di dalam
bertingkahlaku. Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan sehari – hari,
misalnya budaya gotong royong, budaya malas, dan lain – lain. Jadi,
secara universal, nilai itu merupakan pendorong bagi seseorang dalam
mencapai tujuan tertentu.

Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai budaya adalah suatu bentuk


konsepsi umum yang dijadikan pedoman dan petunjuk di dalam
bertingkah laku baik secara individual, kelompok atau masyarakat secara
keseluruhan tentang baik buruk, benar salah, patut atau tidak patut.

2) Sistem Nilai

Tylor dalam Imran Manan (1989;19) mengemukakan moral termasuk


bagian dari kebudayaan, yaitu standar tentang baik dan buruk, benar dan
salah, yang kesemuanya dalam konsep yang lebih besar termasuk ke dalam
‘nilai’. Hal ini di lihat dari aspek penyampaian pendidikan yang dikatakan
bahwa pendidikan mencakup penyampaian pengetahuan, keterampilan, dan
nilai-nilai.

Kedudukan nilai dalam setiap kebudayaan sangatlah penting, maka


pemahaman tentang sistem nilai budaya dan orientasi nilai budaya sangat
penting dalam konteks pemahaman perilaku suatu masyarakat dan sistem
pendidikan yang digunakan untuk menyampaikan sisitem perilaku dan produk
budaya yang dijiwai oleh sistem nilai masyarakat yang bersangkutan.

Clyde Kluckhohn mendefinisikan nilai sebagai sebuah konsepsi,


eksplisit atau implisit, menjadi ciri khusus seseorang atau sekelompok orang,
mengenai hal-hal yang diinginkan yang mempengaruhi pemilihan dari
berbagai cara-cara, alat-alat, tujuan-tujuan perbuatan yang tersedia. Orientasi
nilai budaya adalah konsepsi umum yang terorganisasi, yang mempengaruhi
perilaku yang berhubungan dengan alam, kedudukan manusia dalam alam,
hubungan orang dengan orang dan tentang hal-hal yang diingini dan tak
diingini yang mungkin bertalian dengan hubungan antar orang dengan
lingkungan dan sesama manusia.

Sistem nilai budaya ini merupakan rangkaian dari konsep-konsep


abstrak yang hidup dalam masyarakat, mengenai apa yang dianggap penting
dan berharga, tetapi juga mengenai apa yang dianggap remeh dan tidak
berharga dalam hidup. Sistem nilai budaya ini menjado pedoman dan
pendorong perilaku manusia dalam hidup yang memanifestasi kongkritnya
terlihat dalam tata kelakuan. Dari sistem nilai budaya termasuk norma dan
sikap yang dalam bentuk abstrak tercermin dalam cara berfikir dan dalam
bentuk konkrit terlihat dalam bentuk pola perilaku anggota-anggota suatu
masyarakat.

Kluckhohn mengemukakan kerangka teori nilai nilai yang mencakup


pilihan nilai yang dominan yang mungkin dipakai oleh anggota-anggota suatu
masyarakat dalam memecahkan 6 masalah pokok kehidupan.
3) Orientasi Nilai Budaya

Kluckhohn   dalam   Pelly   (1994)   mengemukakan   bahwa   nilai  


budaya merupakan  sebuah  konsep  beruanglingkup  luas  yang  hidup 
dalam  alam  fikiran sebahagian besar warga suatu masyarakat, mengenai apa
yang paling berharga dalam hidup. Rangkaian konsep itu satu sama lain saling
berkaitan dan merupakan sebuah sistem nilai – nilai budaya.
Secara  fungsional  sistem  nilai  ini  mendorong  individu  untuk 
berperilaku seperti  apa  yang  ditentukan.  Mereka  percaya,  bahwa  hanya 
dengan  berperilaku seperti itu mereka akan berhasil (Kahl, dalam
Pelly:1994). Sistem nilai itu menjadi pedoman yang melekat erat secara
emosional pada diri seseorang atau sekumpulan orang, malah merupakan
tujuan hidup yang diperjuangkan. Oleh karena itu, merubah sistem nilai
manusia tidaklah mudah, dibutuhkan waktu. Sebab, nilai – nilai tersebut
merupakan  wujud  ideal  dari  lingkungan  sosialnya.  Dapat  pula  dikatakan 
bahwa sistem   nilai   budaya   suatu   masyarakat   merupakan   wujud  
konsepsional   dari kebudayaan mereka, yang seolah – olah berada diluar dan
di atas para individu warga masyarakat itu.
Ada lima masalah pokok kehidupan manusia dalam setiap kebudayaan
yang dapat ditemukan secara universal. Menurut Kluckhohn dalam Pelly
(1994) kelima masalah pokok tersebut adalah: (1) masalah hakekat hidup, (2)
hakekat kerja atau karya manusia, (3) hakekat kedudukan manusia dalam
ruang dan waktu, (4) hakekat hubungan manusia dengan alam sekitar, dan (5)
hakekat dari hubungan manusia dengan manusia sesamanya.
Berbagai   kebudayaan   mengkonsepsikan   masalah   universal   ini  
dengan berbagai  variasi  yang  berbeda  –  beda.  Seperti  masalah  pertama, 
yaitu  mengenai hakekat hidup manusia. Dalam banyak kebudayaan yang
dipengaruhi oleh agama Budha misalnya, menganggap hidup itu buruk dan
menyedihkan. Oleh karena itu pola kehidupan masyarakatnya berusaha untuk
memadamkan hidup itu guna mendapatkan   nirwana,   dan  
mengenyampingkan   segala   tindakan   yang   dapat menambah rangkaian
hidup kembali (samsara) (Koentjaraningrat, 1986:10). Pandangan  seperti  ini 
sangat  mempengaruhi  wawasan  dan  makna  kehidupan  itu secara
keseluruhan. Sebaliknya banyak kebudayaan yang berpendapat bahwa hidup
itu baik. Tentu konsep – konsep kebudayaan yang berbeda ini berpengaruh
pula pada sikap dan wawasan mereka.
Masalah kedua mengenai hakekat kerja atau karya dalam kehidupan.
Ada kebudayaan yang memandang bahwa kerja itu sebagai usaha untuk
kelangsungan hidup (survive) semata. Kelompok ini kurang tertarik kepada
kerja keras. Akan tetapi ada juga yang menganggap kerja untuk mendapatkan
status, jabatan dan kehormatan. Namun, ada yang berpendapat bahwa kerja
untuk mempertinggi prestasi. Mereka ini berorientasi kepada prestasi bukan
kepada status.
Masalah ketiga mengenai orientasi manusia terhadap waktu. Ada
budaya yang memandang penting masa lampau, tetapi ada yang melihat masa
kini sebagai focus usaha dalam perjuangannya. Sebaliknya ada yang jauh
melihat kedepan. Pandangan yang berbeda dalam dimensi waktu ini sangat
mempengaruhi perencanaan hidup masyarakatnya.
Masalah keempat berkaitan dengan kedudukan fungsional manusia
terhadap alam. Ada yang percaya bahwa alam itu dahsyat dan mengenai
kehidupan manusia. Sebaliknya ada yang menganggap alam sebagai anugerah
Tuhan Yang Maha Esa untuk dikuasai manusia. Akan tetapi, ada juga
kebudayaan ingin mencari harmoni dan keselarasan dengan alam. Cara
pandang ini akan berpengaruh terhadap pola aktivitas masyarakatnya.
Masalah kelima menyangkut hubungan antar manusia. Dalam banyak
kebudayaan hubungan ini tampak dalam bentuk orientasi berfikir, cara
bermusyawarah, mengambil keputusan dan bertindak. Kebudayaan yang
menekankan hubungan horizontal (koleteral) antar individu, cenderung untuk
mementingkan hak azasi, kemerdekaan dan kemandirian seperti terlihat dalam
masyarakat – masyarakat eligaterian. Sebaliknya kebudayaan yang
menekankan hubungan vertical cenderung untuk mengembangkan orientasi
keatas (kepada senioritas, penguasa atau pemimpin). Orientasi ini banyak
terdapat dalam masyarakat paternalistic (kebapaan). Tentu saja pandangan ini
sangat mempengaruhi proses dinamika dan mobilitas social masyarakatnya.
Inti permasalahan disini seperti yang dikemukakan oleh Manan dalam
Pelly (1994) adalah siapa yang harus mengambil keputusan. Sebaiknya dalam
system hubungan vertical keputusan dibuat oleh atasan (senior) untuk semua
orang. Tetapi dalam  masyarakat  yang  mementingkan  kemandirian 
individual,  maka  keputusan dibuat dan diarahkan kepada masing – masing
individu.
Pola orientasi nilai budaya yang hitam putih tersebut di atas
merupakan pola yang ideal untuk masing – masing pihak. Dalam
kenyataannya terdapat nuansa atau variasi  antara  kedua  pola  yang  ekstrim 
itu  yang  dapat  disebut  sebagai  pola transisional. Kerangka Kluckhohn
mengenai lima masalah dasar dalam hidup yang menentukan orientasi nilai
budaya manusia dapat dilihat pada Tabel 1.
Skema Kluckhohn: Lima Masalah Dasar Yang Menentukan Orientasi

Nilai Budaya Manusia

Orientasi Nilai Budaya


Masalah Dasar Dalam Hidup
Konservatif Transisi Progresif
Hidup itu sukar
Hidup itu
Hakekat Hidup Hidup itu baik tetapi harus
buruk
diperjuangkan
Kedudukan dan
Kelangsungan Mempertinggi
Hakekat Kerja/karya kehormatan /
hidup prestise
prestise
Hubungan Manusia Dengan Orientasi ke Orientasi ke masa Orientasi ke masa
Waktu masa lalu kini depan
Hubungan Manusia Dengan Tunduk Selaras dengan
Menguasai alam
Alam kepada alam alam
Hubungan Manusia Dengan Horizontal/
Vertikal Individual/mandiri
Sesamanya kolekial
* Dimodifikasi dari Pelly (1994:104)

Meskipun cara mengkonsepsikan lima masalah pokok dalam


kehidupan manusia yang universal itu sebagaimana yang tersebut diatas
berbeda – beda untuk tiap masyarakat dan kebudayaan, namun dalam tiap
lingkungan masyarakat dan kebudayaan tersebut lima hal tersebut di atas
selalu ada. Sementara itu Koentjaraningrat telah menerapkan kerangka
Kluckhohn di atas untuk menganalisis masalah nilai budaya bangsa Indonesia,
dan menunjukkan titik – titik   kelemahan   dari   kebudayaan   Indonesia  
yang   menghambat   pembangunan nasional. Kelemahan utama antara lain
mentalitas meremehkan mutu, mentalitas suka menerabas, sifat tidak percaya
kepada diri sendiri, sifat tidak berdisiplin murni, mentalitas suka mengabaikan
tanggungjawab.

Kerangka Kluckhohn itu juga telah dipergunakan dalam penelitian


dengan kuesioner untuk mengetahui secara objektif cara berfikir dan bertindak
suku – suku di Indonesia umumnya yang menguntungkan dan merugikan
pembangunan. Selain itu juga, penelitian variasi orientasi nilai budaya
tersebut dimaksudkan disamping untuk mendapatkan gambaran sistem nilai
budaya kelompok – kelompok etnik di Indonesia, tetapi juga untuk
menelusuri sejauhmana kelompok masyarakat itu memiliki system orientasi
nilai budaya yang sesuai dan menopang pelaksanaan pembangunan nasional.

Anda mungkin juga menyukai