Anda di halaman 1dari 23

Pertemuan V

TRANSMISI BUDAYA DAN PERKEMBANGAN INSTITUSI


PENDIDIKAN

A. Kebudayaan dan Sub Budaya

Kebudayaan merupakan sistem gagasan yang telah berkembang secara

historis dan memiliki organisasi dan struktur yang berkembang terus menerus

yang dipelajari oleh anggota-anggota suatu masyarakat. Sistem gagasan yang

bersumber dari akal manusia melahirkan bentuk-bentuk tingkah laku berpola dan

berbagai jenis kebudayaan materil.

Koentjaraningrat mengemukakan adanya tiga wujud kebudayaan yaitu

wujud kompleks ide-ide, wujud kompleks aktivitas kelakuan berpola, dan wujud

benda hasil karya manusia.

1. Wujud kompleks ide-ide

Wujud ini ada dalam pikiran anggota-anggota masyarakat atau bila telah

dituangkan dalam berbagai media, maka akan ditemui dalam berbagai media cetak

atau media elektronik. Dalam masyarakat seringkali wujud ideal kebudayaan ini

dinamakan adat tata kelakuan atau adat. Kebudayaan ideal ini berfungsi sebagai

tata kelakuan yang mengatur, mengendalikan dan memberi arah kepada kelakuan

dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Wujud ideal ini berbentuk nilai,

hukum, peraturan-peraturan. Nilai adalah bentuknya yang paling abstrak dan luas

cakupannya sedangkan aturan sopan santun adalah yang paling konkrit dan sempit

ruang lingkupnya.

57
Wujud kebudayaan ideal menurut Koentjaraningrat ini merupakan

sistem gagasan dan norma-norma atau ideologi yang dapat bermakna sebagai

sebuah sistem gagasan yang saling berhubungan yang dianut oleh sebuah

kelompok sosial atau masyarakat yang mencerminkan, merasionalisasikan, dan

mempertahankan kepentingan dan komitmen institusional kemasyarakatan, moral,

keagamaan, politik, dan ekonominya yang khusus. Ideologi tersebut berfungsi

sebagai pembenaran logis dan filosofis dari pola tingkah laku kelompok atau

anggota-anggota suatu masyarakat, dan juga kepercayaan dan tujuan

kemasyarakatan. Unsur-unsur dari ideologi tersebut cenderung dianggap sebagai

kebenaran atau dogma, bukan hanya sebagai formulasi-formulasi filsafah dan

teori yang bersifat tentatif. Oleh karena itu, ideologi atau adat seringkali sangat

mengikat.

2. Wujud kompleks aktivitas kelakuan berpola

Wujud ini adalah tingkah laku nyata yang berpola yang dapat diamati

dalm aktivitas-aktivitas anggota-anggota masyarakat yang berintekrasi,

berhubungan, dan bergaul berdasarkan tuntutan nilai, norma, peraturan, atau adat

istiadat tertentu. Kelakuan berpola ini dinamakan sistem sosial yang secara

konkrit dapat diamati, didokumentasi, dan difilmkan.

3. Wujud benda-benda hasil karya manusia.

Wujud ini berupa hasil karya anggota-anggota suatu masyarakat dan

semua benda-benda yang mempunyai makna dalam kehidupan suatu kelompok

atau suatu masyarakat.

58
Ketiga wujud kebudayaan tersebut disampaikan dari satu generasi ke

generasi berikutnya. Proses penyampaian kebudayaan tersebut secara umum

dinamakan transmisi budaya. (Manan, 1989)

Berdasarkan penggolongan wujud budaya di atas kita dapat

mengelompokkan budaya menjadi dua, yaitu:

1. Budaya yang Bersifat Abstrak

Budaya yang bersifat abstrak ini letaknya ada di dalam alam pikiran

manusia, misalnya terwujud dalam ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma,

peraturan-peraturan, dan cita-cita. Jadi budaya yang bersifat abstrak adalah wujud

ideal dari kebudayaan. Ideal artinya sesuatu yang menjadi cita-cita atau harapan

bagi manusia sesuai dengan ukuran yang telah menjadi kesepakatan.

2. Budaya bersifat konkrit

Wujud budaya yang bersifat konkret berpola dari tindakan atau peraturan dan

aktivitas manusia di dalam masyarakat yang dapat diraba, dilihat, diamati,

disimpan atau diphoto (Dounald, 2012).

Koendjaraningrat dalam Dounald (2012) menyebutkan sifat budaya

dengan sistem sosial dan fisik, terdiri atas:

1. Perilaku, cara bertindak atau bertingkah laku dalam kondisi tertentu.

2. Bahasa, sebuah sistem simbol-simbol yang dibunyikan dengan suara (vokal)

dan ditangkap dengan telinga (auditory).

59
3. Materi, hasil dari aktivitas atau perbuatan manusia. Bentuk materi misalnya

pakaian, perumahan, kesenian, alat-alat rumah tangga, senjata, alat produksi,

dan alat transportasi.

Secara teoritis ada kemungkinan bahwa dalam suatu masyarakat

sederhana yang terdiri dari beberapa puluh orang, Seorang anggota yang telah

dewasa dapat mengetahui hampir semua unsur budaya kelompoknya. Namun,

adanya pembagian kerja yang paling elementer antara wanita dan pria telah

menyebabkan adanya perbedaan dalam penguasaan unsur-unsur dan wujud

kebudayaan yang dapat dikuasai oleh seseorang. Makin tinggi tingkat pembagian

kerja dan makin banyak jumlah anggota suatu masyarakat, makin komplek

teknologi yang digunakan, maka makin terbatas unsur dan wujud budaya yang

dikuasai oleh seorang anggota masyarakat.

Dalam membahas dan menganalisis kebudayaan perlu dipahami konsep

“sub culture” yaitu suatu unit dalam sebuah kebudayaan yang lebih besar, sebuah

unit yang memiliki beberapa hakikat dari ideologi sebuah kebudayaan yang lebih

besar tetapi dapat dikenal secara khusus karena ia memiliki pola-pola berpikir

tersendiri.

Dalam sebuah masyarakat majemuk berbagai sub-budaya akan bisa

ditemui. Umpanya dalam masyarakat Amerika Serikat akan ditemui sub-budaya

yang berasal dari adanya perbedaan asal usul etnis dan ras. Juga terdapat sub-

budaya berdasarkan sex, umur, dan kelas sosial. Pada sub-budaya yang didasarkan

atas umur akan ditemui adanya sub-budaya murid-murid Sekolah Dasar, Sekolah

Menengah, dan Pendidikan Tinggi. Antara berbagai sub-budaya dalam satu

60
masyarakat terdapat saling hubungan, baik dalam bentuk kerjasama, persaingan,

penyeragaman dan pemeliharaan ketakseragaman.

Pemahaman konsep sub-budaya ini mempunyai arti penting, karena bisa

terjadi ada jurang yang terdapat dalam transmisi budaya pada suatu sistem

persekolahan, karena pada guru mungkin berasal dari suatu budaya yang dominan

sedang siswa-siswa berasal dari kelompok-kelompok sub-budaya yang lain. Hal

ini dapat menimbulkan kesukaran-kesukaran dalam pencapaian tujuan pendidikan

yang telah direncanakan.

B. Transmisi Budaya dan Pendidikan

Transmisi budaya adalah penyampaian kebudayaan dari generasi ke

generasi berikutnya. Penyampaian kebudayaan dari generasi ke generasi sering

ditemui istilah-istilah yang sering dipakai secara bergantian, tumpang tindih, dan

secara khusus. Istilah-istilah tersebut adalah enculturation, socialization,

education, dan schooling. Secara sederhana dapat diterjemahkan dengan

pembudayaan, permasyarakatan, pendidikan dan persekolahan.

1. Enculturation (Pembudayaan)

Herskovits pertama sekali menggunakan konsep enculturation, dia

menyamakan enculturation dengan socialization. Dia menjelaskan dengan

mengatakan aspek-aspek dari pengalaman belajar yang memberikan ciri khusus

atau yang membedakan manusia dari makhluk lain, dan dengan menggunakan

pengalaman-pengalaman ini sejak awal kehidupan dan dalam kehidupan

selanjutnya, dia memperoleh kompetensi dalam kebudayaannya, dinamakan

61
enculturation. Pada hakekatnya enkulturasi adalah proses pelaziman secara sadar

atau tidak sadar yang dilakukan dalam batas-batas yang diizinkan oleh suatu

kebudayaan.

Enkulturasi atau pembudayaan adalah proses mempelajari dan

menyesuaikan alam pikiran dan sikap individu dengan sistem norma, adat, dan

peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya (Bachtiar, 2011). Proses

ini berlangsung sejak kecil, mulai dari lingkungan kecil (keluarga) ke lingkungan

yang lebih besar (masyarakat). Misalnya anak kecil menyesuaikan diri dengan

waktu makan dan waktu minum secara teratur, mengenal ibu, ayah, dan anggota-

anggota keluarganya, adat, dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam

keluarganya, dan seterusnya sampai ke hal-hal di luar lingkup keluarga seperti

norma, adat istiadat, serta hasil-hasil budaya masyarakat.

Menurut Herskovits proses enkulturatif bersifat kompleks dan

berlangsung seumur hidup, tetapi proses tersebut berbeda pada berbagai tahap

dalam lingkaran kehidupan seseorang. Enkulturasi tercermin pada tiap anak yang

baru lahir memiliki serangkaian mekanisme biologis yang diwarisi, yang harus

dirubah atau diawasi supaya sesuai dengan budaya masyarakatnya. Fungsi dari

enkulturasi adalah mengubah respon-respon biologis anak-anak menjadi bentuk-

bentuk tingkah laku budaya yang secara sosial disetujui. Hasilnya adalah

“biocultural behavior” atau tingkah laku kehidupan yang berbudaya.

2. Socialization (Permasyarakatan)

Sosialisasi merupakan proses yang berlangsung sepanjang hidup,

bermula sejak lahir hingga mati. Proses sosialisasi itu terjadi dalam kelompok atau

62
institusi sosial di dalam masyarakat. Di antara kelompok atau institusi sosial yang

berperan penting dalam sosialisai anak adalah keluarga, kelompok sebaya, sekolah

dan  media masa (Widyanto, 2012). Sosialisasi adalah sebuah proses penanaman

atau transfer kebiasaan atau nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi lainnya

dalam sebuah kelompok atau masyarakat. Sejumlah sosiolog menyebut sosialisasi

sebagai teori mengenai peranan (role theory). Karena dalam proses sosialisasi

diajarkan peran-peran yang harus dijalankan oleh individu (Anonim, 2012).

Dalam masyarakat tradisional sebagian besar sosialisasi terjadi dalam

keluarga tetapi dalam masyarakat yang sudah berkembang, anak-anak juga

disosialisasi oleh sistem pendidikan. Menurut Djumransjah (2006), sekolah adalah

lembaga pendidikan yang penting setelah keluarga, yang berfungsi membantu

keluarga untuk mendidik anak-anak, dimana pendidikan tersebut tidak didapatkan

di lingkungan keluarga. Sekolah tidak hanya mengajarkan membaca, menulis,

berpikir ilmiah dan keterampilan dasar lainnya, tetapi mengajarkan juga

bagaimana cara murid itu mengembangkan dirinya, mengevaluasi prestasi murid

melalui kompetisi, mendisiplinkan murid dan hal lainnya yang dianggap perlu

bagi anak-anak untuk memperoleh sukses dalam masyarakat yang semakin

didominasi oleh persaingan antar individu.

a. Proses sosialisasi pada anak balita

Desa: Proses sosialisasi anak balita pada masyarakat desa dilakukan secara

penuh oleh agen sosialisai utama yaitu keluarga. Pada umumnya,

perempuan di desa yang sudah menikah tidak bekerja dan hanya

mengurus keperluan rumah tangga sehingga ketika dalam sebuah

63
keluarga memiliki anak maka urusan pengasuhan anak dilakukan

sepenuhnya oleh ibu.

Kota: Pada masyarakat kota urusan pengasuhan anak tidak sepenuhnya

dilakukan oleh ibu. Kehidupan kota yang menuntut biaya hidup yang

lebih mahal daripada di desa serta kedudukan wanita yang sama oleh

lelaki karena telah memiliki pendidikan membuat banyak wanita kota

yang bekerja untuk menopang perekonomian keluarganya. Sehingga

banyak ibu-ibu rumah tangga yang memiliki anak balita menyerahkan

pengasuhan anaknya kepada baby sister, tetangga, maupun keluarga

terdekatnya dikarenakan tuntutan kerja yang tidak memungkinkan ibu

bisa selalu berada dirumah dan mengasuh anaknya.

b. Proses sosialisasi pada remaja

Desa : Proses sosialisasi anak pada usia remaja di desa, pergaulan dan interaksi

sosial dengan teman sebaya bertambah luas dan pengaruhnya cukup

kuat. Sehingga anak banyak mendapatkan pengalaman baru maupun

pengaruh di lingkungan sosialnya bersama dengan teman-teman

sebayanya, lingkungan pendidikan, maupun media massa. Namun,

teman sebaya sangat berperan besar terhadap proses sosialisasi remaja

di desa. Anak mendapat nilai-nilai baru dari teman-teman sebayanya

sehingga anak belajar juga untuk menyesuaikan atau memfilter hal-hal

yang baik baginya. Karena pada usia ini anak memiliki rasa ingin tahu

yang tinggi maka orang tua perlu mengontrol perkembangan dan

lingkungan pergaulan anak agar anak tetap berada pada koridor yang

64
benar sesuai dengan ajaran/nilai/norma yang telah diajarkan oleh orang

tua.

Kota : Proses sosialisasi anak pada usia remaja di kota, pengaruh teman sebaya,

lembaga pendidikan maupun media massa sama kuatnya terhadap

proses sosialisasi pada anak remaja di kota. Remaja di kota juga banyak

menghabiskan waktunya bersama dengan teman sebayanya dengan

jalan-jalan di mal maupun nongkrong-nongkrong bersama. Lembaga

pendidikan juga berpengaruh terhadap perilaku, menambah

pengetahuan dan ketrampilan anak. Anak remaja kota yang pada

umumnya sudah mengenal teknologi dan media massa sangat

berpengaruh terhadap proses sosialisasinya. Efek negatif yang

ditimbulkan dengan adanya televisi, internet, handphone, majalah, dll

membuat anak banyak menghabiskan waktu di rumah dan tidak

bersosialisasi dengan tetangganya sehingga anak memiliki kepribadian

cenderung tertutup bahkan kurang peduli terhadap lingkungan sekitar

tempat tinggalnya.

c. Proses sosialisasi pada orang dewasa

Desa: Dalam tahapan proses sosialisasi manusia dewasa telah berada pada

tahap penerimaan norma kolektiv. Pada tahap ini seseorang sudah dapat

menempatkan dirinya pada posisi masyarakat secara luas. Dengan kata

lain, ia dapat bertenggang rasa tidak hanya dengan orang-orang yang

berinteraksi dengannya tapi juga dengan masyarakat luas. Manusia

dewasa menyadari pentingnya peraturan, kemampuan bekerja sama,

65
bahkan dengan orang lain yang tidak dikenalnya secara bagus. Manusia

dengan perkembangan diri pada tahap ini telah menjadi warga

masyarakat dalam arti sepenuhnya.

Kota : Pada masyarakat kota, manusia dewasa harus siap berada pada situasi-

situasi yang baru karena mobilitas yang cukup tinggi. Ia harus mampu

bekerjasama dalam lingkungan kerjanya dan lingkungan sosial. Karena

manusia dewasa sudah berada pada tahap penerimaan norma kolektiv

makan ia mampu menyesuaikan diri dalam situasi apapun, ia juga harus

mampu memfilter hal-hal yang baik bagi dirinya, karena masyarakat

kota adalah masyarakat yang majemuk.

d. Proses sosialisasi pada orang tua

Desa : Proses sosialisasi pada orang tua di desa adalah bahwa orang tua mampu

menjadi panutan bagi orang-orang yang lebih muda darinya. Dalam hal

ini orang tua harus mampu mengajarkan, membimbing, dan “ngemong”

orang-orang yang lebih muda, terutama dalam hal perilakunya. Orang

tua yang telah mengalami proses sosialisasi yang cukup panjang

diharapkan dapat memegang teguh nilai dan norma yang berlaku di

masyarakat sehingga orang-orang yang lebih muda dapat mencontoh

perilakunya.

Kota: Proses sosialisasi pada orang tua di kota, cenderung untuk lebih santai

dan menikmati kerja. Karena sebelumnya, orang kota sibuk dengan

pekerjaannya. Di usia tua orang tua bisa santai bekerja atau

memberikan usaha yang dijalankannya kepada anaknya sehingga ia

66
lebih menikmati hari-hari tuanya bersama keluarganya, mengasuh

cucunya dan menularkan kebiasaan/norma yang berlaku dalam

keluarganya (Anonimus, 2012).

Persamaan konsep enkulturasi dengan konsep sosialisasi, adalah sebagai

berikut:

1. Menurut Herskovits:

a. Sosialisasi menunjukkan proses pengintegrasi individu kedalam sebuah

kelompok sosial, sedangkan enkulturasi adalah proses yang menyebabkan

individu memperoleh kompetensi dalam kebudayaan kelompok.

b. Sosialisasi merujuk kepada proses pengintegrasian kedalam kelompok,

sedangkan enkulturasi merujuk kepada proses perolehan kompetensi

budaya untuk hidup sebagai anggota kelompok.

Jadi, untuk dapat mengintegrasikan diri sebagai anggota kelompok masyarakat

diperlukan berbagai kompetensi budaya. Sosialisasi merupakan sinonim

dari enkulturasi.

c. Sosialisasi sering dipakai oleh sosiolog dan psikolog, sedangkan

enkulturasi sering dipakai antropolog. Namun keduanya mengacu pada

fenomena yang sama yaitu proses penyampaian kompetensi budaya

supaya dapat hidup sebagai anggota suatu masyarakat.

2. Hansen dan Gillin

67
a. Hansen, Enkulturasi mencakup proses perolehan keterampilan bertingkah

laku, pengetahuan tentang standar-standar budaya, dan kode-kode

perlambangan seperti bahasa dan seni, motivasi yang didukung oleh

kebudayaan, kebiasaan-kebiasaan menanggapi, ideologi dan sikap-sikap.

b. Gillin, Sosialisasi merupakan proses yang membawa individu dapat

menjadi anggota yang fungsional dari suatu kelompok, yang bertingkah

laku menurut standar-standar kelompok, mengikuti kebiasaan-kebiasaan

kelompok, mengamalkan tradisi kelompok, dan menyesuaikan dirinya

dengan situasi-situasi sosial yang ditemuinya untuk mendapatkan

penerimaan yang baik dari teman-teman sekelompoknya.

Pada kedua definisi ini, terkandung unsur-unsur nilai, pola bertingkah

laku, dan keterampilan-keterampilan, pengetahuan dan sikap-sikap yang

diperlukan oleh seorang individu untuk dapat berfungsi sebagai anggota suatu

masyarakat yang mendukung suatu kebudayaan.

3. Education dan Schooling (Pendidikan dan persekolahan)

Bagi Herskovits, pendidikan (education) adalah “directed learning”

dan persekolahan (schooling) adalah “formalized learning”. Menurut Hansen

pendidikan adalah sub bagian dari enkulturasi: usaha yang disengaja dan bersifat

sistematis untuk menyampaikan keterampilan-keterampilan dan pengetahuan,

kebiasaan berpikir dan bertingkah laku yang dituntut harus dimiliki oleh para

pelajar sebagai anggota baru. Sedangkan persekolahan merupakan pendidikan

68
yang dilembagakan. Di sini, siswa belajar seolah-olah mereka mengalami sendiri

peran-peran dari lingkungan-lingkungan yang terpisah dari peran dan lingkungan

yang sebenarnya. Jadi, berdasarkan skala keluasannya, maka yang paling luas

cakupannya adalah enkulturasi, berikutnya pendidikan sebagai bagian dari

enkulturasi, dan terakhir persekolahan terkandung proses belajar atau learning.

Wallace dalam Manan (1989: 31) Mendefenisikan persekolahan sebagai

learning yang dilakukan disekolah, dan sebuah sekolah adalah sebuah institusi

yang secara sengaja dan sistematis berusaha mengubah sekelompok orang yang

punya perhatian yang sama dikumpulkan ditempat dan selama waktu tertentu dari

kondisi ketidaktahuan ke kondisi pencerahan, berkepandaian, bermoral,

berpengetahuan teknis dan berketerampilan. Pendidikan adalah semua “learning”

atau pengetahuan yang diperoleh dari membaca atau mendengar presentasi

simbolis yang disiapkan secara formal. Enkulturasi adalah semua “learning” atau

pengetahuan yang diharuskan dikuasai seseorang dengan status tertentu sebagai

seorang anggota masyarakat yang mendukung kebudayaan tertentu, dan dengan

demikian mencakup semua yang diperoleh di persekolahan dan pendidikan serta

keterampilan dasar, satu atau dua bahasa yang diperoleh dirumah tangga,

mengenal disiplin waktu, tempat, dan teknik pelaksanaan proses fisik yang

menyangkut pemakaian toilet, bernafas, berjalan, makan, tidur, dan sebagainya,

perolehan dan penggunaan pakaian secara efektif, perumahan, pengangkutan,

persenjataan dan pertolongan, bahkan juga cara menyampaikan perasaan dan

informasi yang lain dengan menggunakan ekspresi muka, gerakan tubuh dan jenis

gerak-gerak lainnya. Menurut Wallace, materi yang terdapat pada proses ini

69
adalah teknik (keterampilan yang diperoleh melalui latihan), moralitas, dan

intelek.

Pendidikan terbagi atas pendidikan formal, informal, dan non-formal.

Pendidikan formal adalah sistem pendidikan yang disusun secara hirarkis dan

berjenjang secara kronologi mulai dari sekolah dasar sampai ke universitas, dan di

samping pendidikan akademis umum termasuk pula bermacam-macam program-

program dan lembaga-lembaga untuk pendidikan kejuruan teknik dan profesional.

Pendidikan formal sama dengan “schooling”. Pendidikan informal adalah

pendidikan seumur hidup yang memungkinkan individu memperoleh sikap-sikap,

nilai-nilai, keterampilan-keterampilan, dan pengaruh-pengaruh serta sumber-

sumber yang ada dilingkungannya dari keluarga, tetangga, dari bekerja dan

bermain dari pasar, dari perpustakaan dan media massa.

Pendidikan informal merupakan pendidikan yang tidak terorganisasi dan

tersistematisasi, namun pendidikan ini bertanggung jawab terhadap banyak

pengetahuan praktis yang diperoleh individu selama hidupnya. Belajar dengan

jalan ini seringkali dilakukan dengan cara “learning by doing”, karena diajar atau

diilhami oleh orang lain dalam mengerjakan suatu tugas tertentu, melalui

pergaulan dengan teman sebaya dan rekan kerja, atau semata-mata melalui

keikutsertaan dalam suatu lingkungan kerja atau kegiatan kemasyarakatan.

Pendidikan demikian dilaksanakan dalam masyarakat sederhana dimana belum

ada sekolah.

Pendidikan non-formal merupakan apa saja kegiatan yang terorganisasi

di luar kerangka sekolah formal atau sistem universitas yang ada yang bertujuan

70
untuk mengkomunikasi gagasan-gagasan tertentu, pengetahuan, keterampilan-

keterampilan, sikap-sikap dan praktek-praktek sebagai jawaban terhadap

kebutuhan yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Pendidikan non-formal

memusatkan perhatian kepada perbaikan kehidupan sosial dan individual dan

kemampuan-kemampuan dalam pekerjaan.

Pendidikan non-formal ini penting karena kegunaan yang langsung dan

praktis dari pengajaran yang ditawarkannya. Pendidikan non-formal terlebih

berorientasi terhadap menolong individu-individu memecahkan masalah mereka,

bukan pada penyerapan isi kurikulum tertentu. Pendidikan tersebut langsung

berhubungan dengan kebutuhan lokal tertentu, kebudayaan dan kebiasaan

setempat. Pengajaran dilaksanakan melalui bekerja sama dengan berbagai guru,

umpamanya pekerja-pekerja ahli, pekerja sosial, penyuluh pertanian, petugas

kesehatan, dan sebagainya. Berbagai keterbatasan (ekonomi, waktu) dapat diatasi

dengan menggunakan pendidikan non-formal sebagai pengganti pendidikan

formal. Selain itu, kemajuan teknologi di negara kaya memerlukan berbagai

bentuk pendidikan non-formal, karena pengetahuan dan teknologi baru

memerlukan perkenalan dan latihan. Pendidikan non-formal bisa jadi alat untuk

memerangi kemiskinan.

C. Perkembangan Institusi Pendidikan

Dalam masyarakat, pendidikan merupakan gejala yang universal, tetapi

tidak semua masyarakat mempunyai sistem persekolahan atau pendidikan formal.

Setiap masyarakat melatih perkembangan gerakan-gerakan fisik sejak dari

71
kelahiran seorang bayi. Teknik-teknik yang dipakai akan berpengaruh terhadap

perkembangan struktur kepribadian anak kelak kalau mereka telah dewasa. Semua

masyarakat melatih anak-anak menggunakan media komunikasi, yaitu bahasa.

Semua masyarakat melatih anak-anak menggunakan media komunikasi, yaitu

bahasa. Semua masyarakat melatih anak-anak dan generasi muda

menginterpretasikan tingkah laku sesama anggota masyarakatnya dan mengajar

mereka bertindak dalam situasi-siatuasi tertentu dan terhadap orang-orang yang

punya hubungan-hubungan tertentu satu sama lainnya.

Setiap keluarga pasti mengajarkan pada anggotanya nilai-nilai ekonomi,

tentang mata pencaharian hidup, aturan moral, basa-basi, etika, makna upacara

adat, dan sebagainya. Semua masyarakat membudayakan unsur-unsur budaya

universal tersebut, tetapi bagaimana caranya dan media apa yang dipakaiterdapat

perbedaan-perbedaan. Hal ini tergantung pada perkembangan kebudayaa suatu

masyarakat. Makin berkembang suatu masyarakat maka makin diperlukan

formalisasi pendidikan bagi generasi mudanya.

Menurut Magaret Mead dalam Manan (1989: 34) Pendidikan formal

diluar keluarga kelihatannya baru akan mulai berkembang bila struktur sosial

suatu masyarakat sudah cukup terdiferensiasi sehingga anak-anak dapat

memperoleh kedudukan dan peran yang berbeda dari orang tua mereka. Hal ini

dapat dikarenakan apabila ada keterampilan-keterampilan yang penting dan

diinginkan dapat dipelajari lebih mudah atau bila orangtua sendiri tidak bisa

mengajarkannya sehingga perlu diberikan khusus oleh pelatih atau spesialis. Hal

ini akan menjurus pada pembentukan sistem persekolahan. Perkembangan

72
persekolahan juga tergantung pada faktor-faktor seperti kemampuan suatu

masyarakat untuk membiayai sistem persekolahan, kemungkinan orang tua

membebaskan anak-anak dari pekerjaan produktif menolong orang tua, dan

perhatian dari kelompok-kelompok tertentu dalam mengawasi penguasaan

pengetahuan dari keterampilan tertentu dan dalam memberi kesempatan kepada

generasi muda menguasainya untuk menjamin kesinambungan masyarakat dan

kelestarian pengetahuan.

Perkembangan persekolahan tergantung kepada faktor-faktor, antara lain

kemampuan suatu masyarakat untuk membiayai sistem persekolahan,

kemungkinan orang tua membebaskan anak-anaknya dari pekerjaan produktif

menolong orang tua, perhatikan dari kelompok-kelompok tertentu dalam

mengawasi penguasaan pengetahuan dari ketarampilan tertentu dan dalam

memberi kesempatan kepada generasi muda menguasainya untuk menjamin

kesinambungan masyarakat dan kelestarian  pengetahuan. Kebudayaan di dalam

suatu masyarakat atau bangsa memiliki arti dan fungsi tersendiri bagi anggotanya,

antara lain:

1. Untuk memenuhi kebutuhan pokok tertentu manusia.

2. Memproduksi dan mendistribusikan barang-barang dan jasa.

3. Menjamin kelestarian biologis .

4. Dapat menciptakan suasana tertib dan memberikan motivasi kepada para

anggotanya untuk bertahan hidup.

73
Dengan adanya faktor-faktor pendorong tersebut maka dalam berbagai

masyarakat telah berkembang bentuk sistem persekolahan, termasuk dalam

masyarakat sederhana dengan ekonomi yang masih bersifat sunsistensi dan belum

mempunyai aksara. Pemilikan aksara dapat dipakai sebagai salah satu faktor kunci

dalam menentukan tingkat perkambangan kebudayaan. Ada atau tidak adanya

aksara dalam masyarakat membawa perbedaan besar yang bersifat kualitatif

dalam kehidupan kemasyarakatan. Hanse dalam Manan (1989) mengemukakan

perbedaan kualitatif kehidupan masyarakat yang memiliki aksara dengan

masyarakat tanpa aksara adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Perbedaan kualitatif kehidupan masyarakat yang memiliki aksara

dengan masyarakat tanpa aksara

No Masyarakat tanpa aksara Masyarakat beraksara


1 Jumlah pengetahuan relatif Jumlah pengetahuan besar dan

terbatas dan tidak berkembang berkembang


2 Belajar bersifat informal dan Belajar bersifat formal dan sistematik

tidak sistematik
3 Pendidikan ditekankan terutama Pendidikan terutama mengenai

pada moralitas, etika, agama pengetahuan objektif seperti

matematika, sains, sejarah,

kesusastraan
4 Pengetahuan yang disampaikan Pengetahuan yang disampaikan

terutama yang bersifat konkrit, terutama bersifat abstrak, dan tidak

progmatis, dan berhubungan langsung berhubungan dengan

langsung dengan kehidupan anak kehidupan anak


5 Mengajar hanya merupakan satu Mengar merupakan sebuah pekerjaan

aspek dari seorang dewasa atau

74
seorang spesialis
6 Tidak ada sekolah formal Ada sekolah formal

Dalam bentuk lain, Don Adams dan G. M Reagen menggambarkan

perkembangan pendidikan dan persekolahan serta hubunganya dengan

perkembangan diferensiasi masyarakat secara menarik sekali. Menurut mereka

ada 4 tahap perkembangan pendidikan dan hubungannya dengan perkembangan

masyarakat yaitu sebagai berikut:

1. Pendidikan dalam masyarakat tanpa aksara. Pendidikan dalam masyarakat ini

ditandai oleh proses belajar yang bersifat informal dalam keluarga dan

hubungan-hubungan yang tersusun antara satu generasi dengan generasi

berikutnya untuk memberikan keterampilan-keterampilan ekonomi dan

perkenalan perilaku sosial yang benar. Pada tahap ini peran siswa dan guru

ditentukan semata-mata atas dasar kriteria yang bersifat askriptif. Siswa dan

guru dibedakan karena umur dan apa yang mereka pelajari ditentukan oleh

jenis kelaminnya. Anak-anak adalah siswa karena umur mereka sedangkan

orang tua adalah guru karena mereka telah dewasa dan spesialisasi yang

dimilikinya juga ditentukan oleh jenis kelaminnya, yaitu perempuan belajar

memasak dan laki-laki mengajarkan berburu.

2. Sebagian dari proses sosialisasi mulai terdiferensiasi dari keluarga.

Disini para remaja mulia dididik oleh sekelompok orang dewasa yang sudah

terspesialisasi pengetahuan atau keterampilannya. Pada tahap ini umur dan

jenis kelamin merupakan penentu siapa yang menjadi siswa. Perhatian terhadap

pembawaan merupakan hal yang menentukan siapa yang bisa menjadi

75
pengajar, untuk itu diberikan pelatihan-pelatihan untuk memiliki kemampuan

lebih dari pada orang biasa. Dengan demikian spesialisasi sebagai pengajar

dengan tanggung jawab mengajar yang lebih besar sebagai pendidik lebih

berkembang.

3. Ketika masyarakat sudah makin terdiferensiasi dan masalah seleksi sosial

semakin besar, keluarga atau kelompok tertentu dalam masyarakat memperoleh

kekuasaan yang lebih besar atau keuntungan ekonomi yang besar, dan

pendidikan formal mulai tidak menjadi hak semua anggota masyarakat.

Pendidikan mulai terlihat sebagai institusi yang dikaitkan kepada sekelompok

yang relatif kecil yang memegang kekuasaan politik, ekonomi, atau agama.

Kondisi ini sesuai dengan konsep diferensiasi karen kelompok-kelompok yang

ada dipusat proses diferensiasi masyarakat dalam bidang ekonomi, politik , dan

budaya adalah kelomok yang paling merasa perlu membangun institusi

pendidikan untuk menanamkan sikap dan nilai, serta memberikan keterampilan

yang diperlukan guna memelihara, menyesuaikan, dan mengembangkan

institusi mereka.

Kriteria untuk menentukan siapa yang akan menjadi siswa didasarkan

kepada askripsi terutama dalam bentuk pertalian kelas. Sedangkan kriteria untuk

menentukan guru berhubungan erat dengan tingkat intelegensi atau bakat dan guru

diharapkan memiliki pengetahuan yang lebih tinggi. Guru mempunyai peran

sebagai sumber ilmu tentang hidup, bukan sebagai spesialis dalam sebuah cabang

ilmu pengetahuan, terutama disekolah dasar dan menengah.

76
4. Merupakan tahap yang paling maju terlihat hubungan antara pendidikan dan

masyarakat yang rumit. Industrialisasi dan peningkatan diferensiasi masyarakat

diukur dengan pembagian kerja, dan spesialisasi peran menjadi ciri yang utama

dari masyarakat. Para pendidik sering menyatakan bahwa tingkatan dan

masalah pendidik yang banyak disupervisi yang diajar oleh berbagai spesialis

yang memegang peranan penting dalam memajukan industrialisasi dan dalam

menanamkan nilai-nilai modren. Tahap ini memberikan beban yang besar

kepada sekolah dalam membentuk pendidikan masal, persiapan bagi bermacam

pekerjaan dan seleksi sosial.

Berdasarkan diferensiasi dan spesialisasi terdapat dua perubahan

pendidikan sebagai berikut:

1. Penyebaran dan ekspansi persekolahan.

2. Asumsi peningkatan peran pendidikan formal dalam meningkatkan perubahan

sosial, ekonomi lebih lanjut.

Pendidikan masal telah menjadi tujuan setiap bangsa. Meskipun

diberbagai masyarakat bangsa, persekolahan yang bersifat universal masih

merupakan tujuan yang belum terpenuhi, namun dalam masyarakat yang paling

kurang maju pun pendidikan dasar telah diberikan kepada sejumlah besar anak-

anak. Peningkatan pemusatan sistem pendidikan dan perubahan sosial ekonomi

yang direncanakan terlihat dalam beberapa hal. Sementara kemajuan yang telah

dibuat kearah kehidupan modern, pencapaian atau keberhasilan pendidikan makin

terus dikaitkan dengan prestise sosial dan status pekerjaan. Dalam masyarakat

77
masa kini pendidikan formal kelihatannya menjadi faktor utama bagi mobilitas

sosial dalam satu dan antar generasi.

Fungsi sosial dari persekolahan dalam masyarakat modern adalah

sebagai berikut:

1. Pengawasan (Custodial Care)

2. Pensileksi peran sosila (Social Role Selection)

3. Indoktrinasi (Indoctrination)

4. Pendidikan (Education)

Persekolahan yang dianggap sebagi sebuah industri menghasilkan:

1. Ilmu pengetahuan (Knowlegde)

2. Keterampilan (Skills)

3. Jasa pengawasan (Culstodial Care)

4. Sertifikasi (Sertification)

5. Kegiatan komunitas (Community Activity) (Manan, 1989)

DAFTAR PUSTAKA

78
Dounald,Jerry. 2012. Budaya sebagai Sistem Gagasan. Online.
http://jerry.blog.stisitelkom.ac.id/2012/06/19/budaya-sebagai-sistem-
gagasan/, diakses 01 Oktober 2015.

Bachtiar,Juliardi. 2011. Enkulturasi dan Sosialisasi. Online.


http://juliardibachtiar.wordpress.com/2011/03/30/enkulturasi-dan-
sosialisasi/, diakses 01 Oktober 2015.

Manan, Imran. 1989. Dasar-dasar sosial budaya pendidikan. Jakarta: Depdikbud.

Widyaningsih, Sriwahyu. 2013. Transmisi Budaya dan Perkembangan Institusi


Pendidikan.Online.http://sriwahyuningsih.blogspot.co.id/2013/08/transmi
si-budaya-dan-perkembangan.html, diakses 01 Oktober 2015)

Widyanto,Putu.2012.ProsesSosialisasi.Online.
http://putuwidyanto.wordpress.com/2012/06/08/proses-sosialisasi/,
diakses 01 Oktober 2015.

79

Anda mungkin juga menyukai