Anda di halaman 1dari 19

AGAMA KEBUDAYAAN DAN ILMU PENGETAHUAN

MATA KULIAH

FILSAFAT ILMU

DOSEN PENGAMPU : DR. SULTHON, M.Pd

OLEH : NIKEN SEPTANTININGTYAS


(190121957606)

PRODI S3 TEKNOLOGI PEMBELAJARAN


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
TAHUN 2019
KEBUDAYAAN DAN ILMU PENGETAHUAN

Kebudayaan dalam pengertiannya seperti yang pernah dibuat oleh berbagai ahli dari
berbagai disiplin ilmu dari rentan waktu tiga perempat abad, pernah dikumpulkan oleh
Kroeber dan Kluckhohn. Menurut mereka terdapat 150 definisi tentang kebudayaan yang
diklasifikasikan menjadi tujuh kelompok definisi, yakni : 1) Deskriptif, 2) historis, 3)
normatif, 4) psikologis, 5) struktural, 6) genetik, dan 7) definisi yang tidak lengkap ( Kroeber,
1952: 81-142). Secara umum tidak terdapat perbedaan prinsip antara berbagai definisi, dan
semua cenderung mengikuti definisi yang pertama kali dibuat oleh Taylor (1871) yang
memberi batasan pengertian “Kebudayaan” (culture atau civilization) sebagai keseluruhan
kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral adat kebiasaan,
kemampuan-kemampuan dan kebiasaan lain yang dibutuhkan manusia sebagai anggota
masyarakat (Kroeber, 1952: 81). Dengan kata lain, “kebudayaan” meliputi seluruh aktifitas
manusia, baik yang bersifat material maupun spritual (nonmaterial).

PENDAHULUAN
Ilmu pengetahuan, agama dan filfasat merupakan tiga aspek yang dapat menuntun
manusia mencari kebenaran, meskipun ketiga aspek tersebut tidak dapat dikategorikan
sesuatu hal yang sama. Secara umum, filsafat merupakan salah satu kegiatan atau hasil
kegiatanyang menyangkut aktivitas dan olah budi manusia.Agama merupakan hal yang
berkaitan dengan dengan masalah hubungan manusia dan dunianya dengan Allah. Segala
sesuatu yang berasal dari Tuhan, dalam perspektif agama adalah sebuah kebenaran yang tidak
dapat ditolak. Sedangkan ilmu adalah deskripsi total dan konsisten dari fakta – fakta empiris
yang merumuskan secara bertanggung jawab dalam istilah – istilah yang sesederhana
mungkin. Ketiga aspek memberikan kontribusi kepada manusia dalam proses penyelesaian
masalah. Ilmu pengetahuan pada saat ini berkembang dengan pesat seiring dengan
perkembangan pemikiran manusia. Dengan ilmu pengetahuan manusia dapat memecahkan
masalah dan memudahkan manusia mencapai tujuan. Hakikat seorang manusia adalah untuk
mencari kebenaran karena dibekali oleh Allah SWT dengan akal pikiran yang dibimbing oleh
nilai – nilai agama. Ketiga aspek yang digunakan untuk mencari kebenaran di atas memiliki
titik persamaan, titik perbedaan, dan hubungan antara satu dengan lainnya.Adapun
penjelasannya adalah sebagai berikut :
1. Pengertian secara Etimologis Salah satu teori menjelaskan bahwa agama berasal dari akar
kata gam, mendapat awalan “A” dan akhiran “A” sehingga menjadi A-gam-a. Akar kata
agama ada pula yang mendapat awalan “I” dengan akhiran yang sama (menjadi I-gam-a)
dan ada pula yang mendapat awalan “U” dengan akhiran yang sama (menjadi U-gama).
Bahasa Sansekerta masuk rumpun bahasa Indo-Jerman. Dalam bahasa Belanda dan
Inggris, anggota-anggota rumpun itu, ditemukan kata-kata ga, gaan (Belanda) dan go
(Inggris) yang pengertiannya sama dengan gam yaitu pergi. Setelah mendapat awalan dan
akhiran A pengertiannya berubah menjadi jalan. Orang Barat sendiri menyebut agama
dengan religie atau religion. Kemudian bangsa Arab dan bangsa-bangsa selain Arab yang
berbahasa dengan bahasa Arab menyebutnya dengan aldien. Selain para pemeluk agama
Islam yang berbahasa dengan bahasa Arab menyebut agama dengan millah dan mazhab.9
Kata Ad-dien berasal dari kata kerja dayanya yang berarti hakama, yaitu hukum atau
undang-undang sebagai pemegang tampuk kekuasaan dan kewibawaan.
2. Pengertian Agama secara Terminologis Pengertian atau batasan tentang agama
merupakan dasar untuk mempelajari agama sehingga diperlukan kajian terlebih dahulu
sebelum melakukan pengkajian aspekaspek lainnya. Agama adalah tata aturan Tuhan
yang berfungsi dan berperan, mendorong, memberi arah, bimbingan dan isi serta warna
perilaku orang yang berakal dan mengembangkan potensi-potensi dasar yang dimiliki dan
melaksanakan tugas-tugas hidupnya yang seimbang antara lahiriah dan batiniah dalam
usahanya untuk memperoleh kesejahteraan hidup di dunia dan bekal kebahagiaan hidup
di akherat kelak.
3. Ilmu Menurut  kamus besar Bahasa Indonesia ilmu itu memiliki arti pengetahuan tentang
suatu bidang  yang disusun secara sistematis  berdasarkan metode atau aturan tertentu,
yang dapat digunakan untuk menjelaskan tentang gejala tertentu dalam bidang ilmu
pengetahuan . Sedangkan Menurut Suria sumantri (2001:3). Ilmu itu merupakan salah
satu hasil  pemikirian manusia dalam menjawab sebuah pertanyaan. Sementara itu, Paul
Freedman dalam The Principles of Scientific Research mendefinisikan ilmu sebagai suatu
bentuk aktivitas manusia yang apabila  melakukannya kita memperoleh suatu
pengetahuan yang  lebih lengkap dan cermat tentang alam semesta di masa yang lampau,
masa sekarang dan masa yang akan datang, serta suatu kemampuan untuk beradaptasi dan
mengubah lingkungan serta mengubah sifat-sifatnya sendiri. Dari beberapa pengertian
ilmu diatas maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa ilmu adalah seperangakat
pengetahuan yang merupakan hasil pemikiran manusia yang memiliki metode atau cara
tertentu yang berguna untuk umat manusia agar manusia dapat bermanfaat bagi
kehidupannya sendiri dan bagi kehidupan orang lain di masa sekarang dan dimasa yang
akan datang.

A. MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK BERBUDAYA


Dalam rangka memahami dinamika perubahan kebudayaan, hubungan individu dan
masyarakat tidak dapat dipahami dalam kerangka kausalitas linear, sebagaimana
kecenderungan kuat yang muncul pada pemahaman “ilmu-ilmu positif” terhadap masyarakat.
Bisa dikatakan demikian karena pola hubungan antara individu dan masyarakat secara hakiki
dibentuk oleh tiga momentum proses yakni: eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi
(Berger, 1991: 4). Eksternalisasi merupakan proses yang berpasangan dengan internalisasi,
sedangkan objektivasi merupakan proses yang berpasangan dengan subjektivasi. Karena
kedua proses tersebut bukan merupakan hubungan kausal linear, maka tidak tepat bila
dinyatakan bahwa proses yang satu merupakan sebab, dan proses yang lain merupakan
akibat. Dalam kerangka pemikiran dialektis-fenomenologis, setiap momentum proses
merupakan sebab sekaligus akibat, atau akibat sekaligus sebab. Dengan demikian dinamika
kebudayaan manusia dan eksistensi manusia adalah suatu ”tindak penyeimbangan” terus-
menerus antara manusia dan dirinya, manusia dan dunianya (Berger, 1991: 7).
Kebudayaan didefinisikan untuk pertama kali oleh E.B Taylor pada tahun 1871,
dimana kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan yang mencakup pengetahuan,
kepercayaan, seni, moral, hukum, adat serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang
diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan dikenal karena adanya hasil-
hasil atau unsur-unsurnya. Unsur-unsur kebudayaan terus menerus bertambah seiring dengan
perkembangan hidup dan kehidupan. Manusia mengembangkan kebudayaan; kebudayaan
berkembang karena manusia. Manusia disebut makhluk yang berbudaya, jika ia mampu
hidup dalam atau sesuai budayanya. Sebagian makhluk berbudaya, bukan saja bermakna
mempertahankan nilainilai budaya masa lalu atau warisan nenek moyangnya; melainkan
termasuk mengembangkan (hasil-hasil) kebudayaan. Kebudayaan diwujudkan dalam bentuk
tata hidup yang merupakan kegiatan manusia yang mencerminkan nilai budaya yang
dikandungnya. Di samping kerangka besar kebudayaan, manusia pada komunitasnya, dalam
interaksinya mempunyai norma, nilai, serta kebiasaan turun temurun yang disebut tradisi.
Tradisi biasanya dipertahankan apa adanya; namun kadangkala mengalami sedikit modifikasi
akibat pengaruh luar ke dalam komunitas yang menjalankan tradisi tersebut. Perbedaan antara
agama dan budaya tersebut menghasilkan hubungan antara iman-agama dan kebudayaan
sehingga memunculkan hubungan (bukan hubungan yang saling mengisi dan membangun)
antara agama dan budaya.
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang
merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) yang dapat diartikan sebagai hal-hal
yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Di dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut
culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yang memiliki arti  mengolah atau mengerjakan.
Bisa juga diartikan  sebagai usaha mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang
diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
            Dibawah ini kami cantumkan beberapa pengertian budaya  menurut para ilmuan
antara lain :
1. Edward B. Taylor
    Kebudayaan merupakan satu keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung ilmu
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat  istiadat, dan kemampuan-
kemampuan lain yang didapat oleh seseorang sebagai anggota masyarakat.
2. M. Jacobs dan B.J. Stern
    Kebudayaan itu mencakup kesatuan yang meliputi bentuk teknologi social, ideologi,
religi, dan kesenian serta benda, yang kesemuanya merupakan warisan social.
3. Koentjaraningrat
     Kebudayaan adalah keseluruhan sistem ide /gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia
dalam rangka memenuhi kehidupan masyarakat yang dijadikan milik   diri manusia dengan
belajar.
4. Dr. K. Kupper
     Kebudayaan merupakan sistem gagasan yang menjadi pedoman dan pengarah bagi manusia
dalam bersikap dan berperilaku, baik secara individu maupun kelompok.
5. William H. Haviland
    Kebudayaan adalah seperangkat peraturan dan norma yang dimiliki bersama oleh para
anggota masyarakat, yang jika dilaksanakan oleh para anggotanya akan melahirkan perilaku
yang dipandang layak dan dapat di tarima ole semua masyarakat.

6. Ki Hajar Dewantara
    Kebudayaan berarti buah budi manusia adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua
pengaruh kuat, yakni zaman dan alam yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk
mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran didalam hidup dan penghidupannya guna
mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.
7. Francis Merill
a. Pola-pola perilaku yang di hasilkan oleh interaksi social
b. Semua perilaku dan semua produk yang dihasilkan oleh sesorang sebagai anggota suatu
masyarakat yang di temukan melalui interaksi simbolis.
8. Bounded et.al
    Kebudayaan adalah sesuatu yang terbentuk oleh pengembangan dan transmisi dari
kepercayaan manusia melalui simbol-simbol tertentu, misalnya simbol bahasa sebagai
rangkaian simbol yang digunakan untuk mengalihkan keyakinan budaya di antara para
anggota suatu masyarakat.
            Dari berbagai definisi di atas, maka dapat kita tarik  kesimpulan bahwa kebudayaan
yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat di dalam
pikiran manusia, yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari, yang bersifat abstrak atau nyata.
Sedangkan perwujudan dari kebudayaanya adalah benda-benda yang merupakan hasil karya
yang dibuat oleh  manusia sebagai makhluk yang berbudaya  yang berupa perilaku dan
benda-benda yang sifatnya nyata, misalnya pola-pola perilaku atau tingkah laku, bahasa
sehari-hari, peralatan yang digunakan dalam kehidupannya, organisasi social, religi, seni,
adat istiadat dan lain-lain, yang kesemuanya itu memiliki tujuan untuk membantu manusia
dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Eksternalisasi adalah suatu pencurahan kedirian manusia terus-menerus ke dalam
dunia, baik dalam aktifitas fisis maupun mentalnya. Objektifitas adalah proses transformasi
produk-produk aktifitas fisik maupun mental manusia menjadi suatu realitas yang berhadapan
dengan produsernya dalam bentuk kefaktaan (faktisitas) yang eksternal dan berbeda dari
produsernya sendiri. Internalisasi adalah peresapan kembali realitas tersebut oleh manusia,
dan mentransformasikannya sekali lagi dari struktur dunia objektif ke struktur kesadaran
subjektif (berger 1991: 4-5). Dalam kerangka pikir yang demikian , melalui eksternalisasi,
masyarakat merupakan produk manusia. Namun melalui objektivasi, masyarakat menjadi
suatu “realitas” objektif. Sedangkan melalui internalisasi, dapatlah dinyatakn bahwa manusia
merupakan produk dari masyarakat.
Eksternalisasi merupakan keharusan antropologis. Keberhasilan manusia tak mungkin
berlangsung dalam lingkungan interioritas yang tertutup tanpa gerak. Keberadaan manusia
harus terus menerus mengeksternalisasikan diri dalam aktivitas (berger 1990: 75). Dalam
momentuk eksternalisasi ini, aktivitas mental manusia menciptakan simbol, bahasa, sistem
nilai, norma, maupun unsur-unsur ideasional yang lain. Adapun aktifitas fisik manusia adalah
menciptakan barang-barang ataupun alat teknologis untuk memenuhi hasrat dan
kebutuhannya. Keseluruhan hasil eksternalisasi tersebut, baik yang mental maupun yang
fisik, disebut sebagai “Kebudayaan” atau “ dunia manusia”.
Kebudayaan sebagai alam kedua (alam buatan, selain alam natural), tidak pernah
memiliki stabilitas sebagaimana yang terdapat dalam alam binatang. Dengan demikian watak
inheren dari kebudayaan tersebut adalah perubahan (Berger 1991: 8). Hal tersebut dapat
terjadi karena esensi kedirian manusia bersifat terbuka, dan oleh karenanya eksternalisasi
manusia tidak sama dengan binatang. Dalam rangka eksternalisasi, manusia mampu
membentuk dunia-nya secara tidak terbatas, sedangkan binatang tidak dapat melakukannya.
Manusia dalam membangun kebudayaannya selalu dan pasti merupakan aktifitas kolektif,
misalnya bahasa, lembaga, teknologi, dan lain-lain (Berger 1991: 9).
Pada perkembangannya lebih lanjut, produk-produk manusia (kebudayaan)
mengalami trasnformasi menjadi suatu faktisitas diluar diri manusia. Pada titik trasnformatif
inilah momentum proses objektivasi terjadi. Kebudayaan sebagai produk manusia berada
diluar subjektivitas individual, dan memiliki watak seperti dunia alamiah, dan oleh karenanya
merupakan bagian dari realitas objektif (Berger 1991: 11-12). Kebudayaan sebagi produk
manusia yang sudah menjadi realitas objetif pada akhirnya mengkondisikan manusia, baik
secara individu maupun sosial, untuk menyesuaikan diri dengan produknya, baik bahasa,
teknologi atau lembaga sosialnya. Ini dapat terjadi karena bentang historis manusia individual
lebih pendek dibanding dengan bentang historis masyarakat dengan berbagai tingkat keluasan
unit yang berbeda (suku, bangsa, ras) (Berger 1991: 10).

B. UNSUR-UNSUR KEBUDAYAN
Dalam pengertian kontemporer, tidak beranjak jauh dari batasan pengertian
kebudayaan “klasik”, kebudayaan terdiri dari totalitas produk-produk manusia, dari materian
dan non material (Berger, 1991: 8). Produk material mencakup semua unsur kebudayaan
yang bersifat material, seperti: alat teknologis, arsitektur, biokultural, dan sebagainya.
Sedangkan produk non material meliputi semua unsur kebudayaan yang bersifat nonmaterial,
misalnya: bahasa, sistem pengetahuan, sistem nilai, kosmologi, kosmogoni, ekologi dan lain
sebagainya. Sebagai gambaran singkat, menghadapi tantangan alam, manusia menciptakan
alat-alat yang membantunya merubah lingkungan menjadi sesuatu seperti yang dibutuhkan
atau dikehendakinya. Dengan alat-alat yang dibuatnya manusia merubah lingkungan alamiah
menjadi lingkungan buatan. Selain menghasilkan hal-hal material, melalui bahasanya
manusia menciptakan simbol dan membangun sistem pengetahuannya. Sistem simbol
tersebut meresapi hampir semua aspek kehidupan, baik yang bersifat material maupun
nonmaterial. Dari sini bisa ditemukan hal material tertentu yang sama, bisa memiliki makna
berbeda bagi dua kebudayaan yang berlainan, karena masing-masing kebudayaan memiliki
sistem permaknaan yang tidak sama. Pembentukan kebudayaan yang nonmaterial selalu
berjalan seiring dengan aktivitas manusia yang secara fisis mengubah lingkungannya.
Terdapat tujuh kategorisasi yang berbeda-beda berkaitan dengan komponen—
komponen kebudayaan, namun menurut Kroeber dan Klickhohn semuanya mencirikan
klasifikasi tiga bagian wilayah kebudayaan, yakni: (1) Hubungan antara manusia dengan
alam, yang berkaitan dengan upaya-upaya manusia mempertahankan kelangsungan hidupnya,
teknik dan kebudayaan material. (2) Hubungan antar manusia yang terkait dengan hasrat dan
upaya untuk meraih status dan hasil dalam kebudayaan masyarakat. (3) aspek-aspek
subjektif, gagasan, prilaku, nilai dan tindakan, ilham, kebudayaan spritual (Kroeber 1952:
182-190). Terlepas dari berbagai silang pendapat, dewasa ini sulit kiranya untuk menerima
pengertian kebudayaan yang statis, karena kebudayaan merupakan kisah tentang perubahan-
perubahan atau riwayat manusia yang selalu memberi wujud baru kepada pola-pola
kebudayaan yang sudah ada (Paursen, 1984: 11). Setidak-tidaknya pembagian wilayah
budaya oleh Kroeber-Kluckhohn telah menyiratkan adanya potensi ketenggangan antara
berbagai komponen kebudayaan.
Pada unsur-unsur material kebudayaan, pada akhirnya manusia harus menyesuainkan
diri dengan perangkat teknologis yang telah dihasilkannya sendiri. Misalnya pada dunia
agraris seorang petani dituntut untuk memiliki pengetahuan ataupun keahlian tertentu agar
dia menggunakan “cangkul” (alat teknologis). Pada dunia industri, manusialah (pekerja
pabrik) yang harus menyesuaikan diri dengan mekanisme “ban berjalan”. Proses yang serupa
juga terjadi dengan unsur-unsur nonmaterial dari kebudayaan. Manusia menemukan dan
membuat bahasa, namun pada akhirnya “dunia”-nya sangat ditentukan oleh logika bahasa
yang telah diciptakannya sendiri. Demikian pula manusia menciptakan lembaga-lembaga
sosial , yang pada akhirnya menentukan jenjang sosial dan pola hubungan antar manusia itu
sendiri. Objektivitas kebudayaan ini sendiri bukanlah objektivitas yang stabil, justru oleh
watak inheren manusia yang terbuka, dalam arti manusia bisa menerima dan menyesuaikan
diri dengan realitas objektif-nya atau manusia menolak realitas objektif tersebut, dan melalui
momentum proses eksternalisasi manusia membentuk realitas objektif baru.
C. HUBUNGAN AGAMA DAN KEBUDAYAAN
Dalam awal perkembangannya, agama – agama di Indonesia telah menerima
akomodasi budaya, seperti halnya dalam agama Islam dalam perkembangan dulu dapat
dijelaskan dengan konsep Pertama, Islam sebagai konsepsi sosial budaya dan Islam sebagai
realitas budaya. Kedua, Islam sebagai konsepsi budaya ini oleh para ahli sering disebut
dengan great tradition (tradisibesar), sedangkan Islam sebagai realitas budaya disebut dengan
little tradition (tradisi kecil) atau local tradition (tradisi local) atau juga Islamicate, bidang-
bidang yang “Islamik” yang dipengaruhi Islam. Seperti halnya kebudayaan, agama sangat
menekankan makna dan signifikasi sebuah tindakan karena terdapat hubungan yang sangat
erat antara kebudayaan dan agama bahkan sulit dipahami kalau perkembangan sebuah
kebudayaan dilepaskan dari pengaruh agama. Sesungguhnya tidak ada satupun kebudayaan
yang seluruhnya didasarkan pada agama. Untuk sebagian kebudayaan juga terus ditantang
oleh ilmu pengetahuan, moralitas secular, serta pemikiran kritis. Meskipun tidak dapat
disamakan, agama dan kebudayaan dapat saling mempengarui. Agama mempengaruhi sistem
kepercayaan serta praktik-praktik kehidupan. Sebaliknya kebudayaan pun dapat
mempengaruhi agama, khususnya dalam hal bagaimana agama di interprestasikan /
bagaimana ritual-ritualnya harus dipraktikkan. Budaya yang digerakkan agama timbul dari
proses interaksi manusia dengan kitab yang diyakini sebagai hasil daya kreatif pemeluk suatu
agama tapi dikondisikan oleh konteks hidup pelakunya, yaitu faktor geografis, budaya dan
beberapa kondisi yang objektif. Budaya agama tersebut akan terus tumbuh dan berkembang
sejalan dengan perkembangan kesejarahan dalam kondisi objektif dari kehidupan
penganutnya. Hubungan kebudayaan dan agama tidak saling merusak, kuduanya justru saling
mendukung dan mempengruhi. Ada paradigma yang mengatakan bahwa ” Manusia yang
beragama pasti berbudaya tetapi manusia yang berbudaya belum tentu beragama”. Jadi
agama dan kebudayaan sebenarnya tidak pernah bertentangan karena kebudayaan bukanlah
sesuatu yang mati, tapi berkembang terus mengikuti perkembangan jaman. Demikian pula
agama, selalu bisa berkembang di berbagai kebudayaan dan peradaban dunia. Kebudayaan
menjadi perantara secara terus menerus yang dipelihara oleh pembentuknya dan generasi
selanjutnya yang diwarisi kebudayaan tersebut. Sedangkan agama yang terdapat di
masyarakat.
D. PERANAN AGAMA DALAM PENGEMBANGAN ILMU
Ilmu sebagai hasil aktivitas manusia yang mengkaji berbagai hal, baik diri manusia itu
sendiri maupun realitas di luar dirinya, sepanjang sejarah perkembangannya, sampai saat ini
selalu mengalami ketegangan dengan berbagai aspek lain dari kehidupan manusia. Pada
dataran praktis operasional selalu diperbincangkan kembali hubungan timbal balik antara
ilmu dan teknologi. Sering muncul polemik, terutama di Negara berkembang, manakah yang
lebih penting antara mengembangkan ilmu murni dan ilmu dasar dengan mengembangkan
teknologi melalui alih teknologi maupun industrialisasi ?. Apabila keduanya penting,
bagaimana strategi yang seharusnya dibangun untuk mengembangkan keduanya mengingat
keterbatasan sumber daya yang dimiliki rata-rata Negara berkembang ? . Adapun ciri atau
syarat suatu ilmu11 adalah sebagai berikut: 1. Ada obyek yang diselidiki. Objek itu diselidiki
sebagaimana adanya (Objektif). 2. Objek itu diselidiki dengan pendekatan (approach), cara
atau metode tertentu, baik melalui pengamatan, analisa perbandingan, percobaan, metode
induktif dan deduktif, yang keseluruhan mencakup riset (penelitian). 3. Objek yang telah
dimengerti, diklarifikasi dengan kriteria tertentu. 4. Penyelidikan ini bertujuan bukan hanya
memenuhi hasrat atau dorongan ingin tahu manusia, melainkan untuk memenuhi potensi dan
kodrat kepribadian manusia bahwa hidupnya senantiasa bertujuan. Ilmu seringkali dapat
digunakan sebagai rujukan tambahan untuk memecahkan permasalahan pada kajian agama,
bukan untuk memberikan masukan terhadap Agama. Dalam agama Islam, posisi ilmu
pengetahuan dalam agama menjadi tema yang sentral. ini dapat ditemukan dalam beberapa
teks, baik Al-Qur‟an maupun hadist. Dalam AlQur’an, Allah menjanjikan derajat tinggi bagi
mereka yang berilmu.12 Peran Agama dalam pengembangan ilmu Agama merupakan salah
satu entitas yang melekat dalam diri individu dan masyarakat. Secara defenitif, agama berasal
dari bahasa Sanskerta “A Gama” yang berarti tidak kacau (gamang). Defenisi ini
menunjukkan bahwa agama memiliki peran di dalam masyarakat agar hubungan antar
individu di dalam masyarakat menjadi teratur dan menjaga agar setiap manusia senantiasa
menjaga perilaku dan sifatnya dari hal – hal yang tidak terpuji. Ajaran – ajaran agama inilah
yang menjadi dasar berperilaku manusia pada umumnya dan menjadi sesuatu yang sangat
tinggi nilainya di dalam masyarakat. Mohammad Noor Syam, Filsafat Ilmu,
(Malang:Univesitas Negeri Malang, 2006), hal. 110. 6 Disinilah Agama dapat berfungsi
sebagai penyeimbang terhadap segala permasalahan di masyarakat dan perkembangan ilmu.
Perkembangan ilmu di satu sisi berdampak positif karena dapat mempebaiki kualitas hidup
manusia jika ditunjang teknologi, seperti pada bidang komunikasi, transportasi, medis dan
sarana industri. Di sisi lain terkadang ilmu yang ditunjang teknologi dapat berdampak negatif
karena merugikan dan membahayakan martabat manusia. Untuk menjelaskan peran agama
terhadap perkembangan ilmu, maka dapat dilihat terlebih dahulu kemungkinan hubungan
antara agama dan ilmu pengetahuan6 sebagai berikut : • Pola hubungan yang negatif Apa
yang dianggap benar oleh agama dianggap tidak benar oleh ilmu pengetahuan dan teknologi.
Demikian pula sebaliknya. Dalam pola hubungan seperti ini, pengembangan iptek akan
menjauhkan orang dari keyakinan akan kebenaran agama dan pendalaman agama dapat
menjauhkan orang dari keyakinan akan kebenaran ilmu pengetahuan. • Pola perkembangan
dari pola hubungan pertama Ketika kebenaran iptek yang bertentangan dengan kebenaran
agama makin tidak dapat disangkal sementara keyakinan akan kebenaran agama masih kuat
di hati, jalan satu-satunya adalah menerima kebenaran keduanya dengan anggapan bahwa
masing-masing mempunyai wilayah kebenaran yang berbeda. • Pola hubungan netral
Kebenaran ajaran agama tidak bertentangan dengan kebenaran ilmu pengetahuan tetapi juga
tidak saling mempengaruhi. Kendati ajaran agama tidak bertentangan dengan iptek, ajaran
agama tidak dikaitkan dengan iptek sama sekali. • Pola hubungan positif Terjadinya pola
hubungan seperti ini mensyaratkan tidak adanya pertentangan antara ajaran agama dan ilmu
pengetahuan serta kehidupan masyarakat yang tidak sekuler. Secara teori, pola hubungan ini
dapat terjadi dalam tiga wujud: ajaran agama mendukung pengembangan iptek tapi
pengembangan iptek tidak mendukung ajaran agama, pengembangan iptek. Ilmu pengetahuan
tidak dapat menjawab permasalahan-pemasalahan tertentu dan filsafat memberikan solusinya.
Untuk permasalahan- permasalahan tertentu filsafat tidak dapat memberikan jawaban yang
memuaskan, maka manusia mencari jawaban yang pasti dengan berpaling kepada agama.
Agama merupakan segenap kepercayaan, ajaran kebaktian dan kewajiban yang bertalian
dengan kepercayaan tersebut. Lihat QS al-Mujadalah: 11 7
E.  HUBUNGAN ILMU DENGAN KEBUDAYAAN
Ilmu merupakan alat bagi manusia untuk dapat menyesuaikan diri dan merubah
lingkungan, memiliki hubungan ang sangat erat dengan kebudayaan, ilmu dan
kebuadayaan adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Menurut Talcot Parsons
(Suriasumantri, 1990:272)  dia menyatakan bahwa “Ilmu dan kebudayaan  itu saling
mendukung satu sama lain: dalam beberapa tipe masyarakat ilmu dan kebudayaannya
dapat berkembang dengan pesat,  kehidupan masyarakatnya tidak dapat berfungsi dengan
wajar tanpa di dukung perkembangan yang sehat dari ilmu dan penerapan”. Ilmu dan
kebudayaan berada dalam posisi yang saling tergantung dan saling mempengaruhi antara
satu dengan yang lainnya. Pada satu pihak perkembangan ilmu dalam suatu masyarakat
tergantung dari kondisi kebudayaan. Sedangkan di pihak lain, pengembangan ilmu akan
mempengrauhi jalannya kebudayaan. Dengan kata lain perkembangan ilmu dan
kebudayaan itu memiliki dampak yang positif dan dampak yang negatif.
Keterkaitan atau ketergantungan ilmu dan kebudayaan dapat dilihat dari berbagai
sisi, diantaranya sebagai berikut:
1.        Perubahan Sosial
   Perubahan sosial budaya dalam satu lingkungan masyarakat dapat terjadi bila
sebuah kebudayaan itu  melakukan kontak dengan kebudayaan asing atau kebudayaan
lain. Dimana Perubahan sosial budaya merupakansebuah gejala berubahnya struktur
sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat yang terjadi sepanjang masa. Perubahan
yang  terjadi itu sesuai dengan hakikat dan sifat dasar yang ada pada diri manusia yang
selalu ingin mengadakan perubahan dalam kehidupannya. Dan pemahaman tentang
kebudayaan ituakan mengalami perubahan erdasarkan ilmu yang diperole atau imu yang
mereka pahami
Menurut D. O’Neil, dalam “Processes of Change mengatakan : “Ada tiga faktor
yang dapat mempengaruhi perubahan sosial”:
-  Tekanan kerja dalam masyarakat
- Keepektifan komunikasi
- Perubahan lingkungan alam
- Perubahan Lingkungan Masyarakat
Perubahan Kebudayaan juga dapat dipegaruhi oleh timbulnya perubahan
lingkungan yang ada dalam masyarakat, adanya penemuan-penemuan baru, dan adanya
kontak dengan kebudayaan baru yang ada di sekitarnya. Sebagai contoh berakhirnya
kehidupan pada zaman es berujung pada ditemukannya sistem pertanian, sehingga
memancing orang- orang yang ahi untuk berinovasi dalam bidang kebudayaan.
2.        Penetrasi kebudayaan
    Penetrasi kebudayaan adalah masuknya pengaruh suatu kebudayaan ke kedalam
kebudayaan lainnya atau bercampurnya dua buah kebudayaan atau lebih. Penetrasi
kebudayaan dapat terjadi dengan dua cara:
a.       Penetrasi damai (penetration pasifique)
          Penetrasi kebudayaan dengan jalan damai (penetration pasifique). Misalnya
masuknya pengaruh kebudayaan Hindu dan Islam ke Indonesia. Penerimaan masyarakat
pada zaman itu terhadap dua kebudayaan tersebut tidak mengakibatkan konflik tetapi dua
kebudayaan yang berbeda itu  memperkaya khasanah kebudayaan masyarakat pada
masanya. Pengaruh kebudayaan hindu dan islam pada masa itu tidak menghilangkan
unsur-unsur asli kebudayaan  yang sudah ada dalam masyarakat.
Nilai-nilai agama yang terkandung didalamnya berfungsi sebagai salah satu sumber
moral bagi segenap kegiatan yang ada,  hakikat semua upaya manusia dalam lingkup
kebudayaan haruslah memiliki tujuan untuk meningkatkan martabat manusia. Sebab
kalau tidak maka hal ini bukanlah proses kebudayaan melainkan dekadensi/ keruntuhan
peradaban dalam hal ini maka agama memberikan arah  dan tujuan sebuah makna atau
semacamnya yang memiliki arti yang dapat  membedakan seorang manusia dengan
mahluk yang lainnya. Meskipun bidang ilmu dan teknologi berkembang sangat pesat
tetapi ternyata itu  tidak memberikan kebahagiaan yang hakiki dan ini dapat
menyebabkan manusia berpaling kembali kepada nilai-nilai agama seperti juga seni
dengan ilmu maka agama dengan ilmu itu akan saling melengkapi : kalau ilmu bersifat
nisbi dan pragmatis maka agama adalah mutlak dan abadi. Albert Einstein mengatakan
hakikat ini dengan kata-kata “Ilmu tanpa agama adalah buta, Agama tanpa Ilmu adalah
lumpuh”.

b.   Penetrasi kekerasan (penetration violante)


Masuknya sebuah kebudayaan  dengan cara memaksa dan merusak (penetration
violante). Dapat kita contohkan masuknya kebudayaan Asing ke Indonesia pada zaman
penjajahan yang disertai dengan kekerasan sehingga menimbulkan goncangan-goncangan
yang merusak keseimbangan dalam masyarakat yang hidup pada masa itu.

F. PERANAN ILMU TERHADAP PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN


 Ilmu merupakan bagian dari pengetahuan, dan pengetahuan merupakan unsur dari
sebuah kebudayaan. Kebudayaan di sini merupakan satu system nilai, tata hidup dan
sarana yang ada dalam kehidupan manusia.
            Ilmu dan kebudayaan merupakan  dua hal yang menempati posisi yang sangat
penting, dimana satu sama lainnya saling tergantung dan saling mempengaruhi. Pada satu
sisi perkembangan  ilmu dalam suatu lingkungan masyarakat itu sangat tergantung pada
kondidi kebudayaan yang ada di lingkungan masyarakat tersebut. Sedangkan di ssi  lain,
perkembangan  ilmu itu juga akan berpengaruh terhadap jalannya kebudayaan. Menurut
Talcot parsons  ilmu dan kebudayaan saling mendukung satu sama lain. Dalam beberapa
tipe  lapisan masyarakat ilmu itu dapat berkembang sangat pesat, demikian pula
sebaliknya, lingkungan masyarakat tidak akan dapat berpungsi dengan baik jika tidak
didukung oleh perkembangan yang sehat dari ilmu dan penerapannya.                           
Untuk mengembangkan kebudayaan nasional ilmu memiliki peranan ganda, yakni :
1. Ilmu merupakan sumber nilai yang mendukung terselenggaranya pengembangan
kebudayaan nasional.
2. Ilmu merupakan sumber nilai yang mengisi pembentukkan watak suatu bangsa.
     Maka menurut fungsinya, ilmu bisa dibagi menjadi dua bagian, yakni :  Pertama: ilmu
sebagai satu pola berpikir, dan kedua : ilmu sebagai asas moral. Dalam hal ini kami akan
sedikit menguraikan bagaimana ilmu bisa dikatakan sebagai suatu pola berpikir dan ilmu
sebagai asas moral tersebut.
1. Ilmu sebagai satu pola pikir
            Dikatakan Ilmu merupakan satu pola pikir dimana dalam menghasilkan suatu
kesimpulan yang berupa pengetahuan maka ilmu dapat diandalkan.  Berpikir bukanlah
satu-satunya cara untuk menghasilkan pengetahuan, demikian pula dengan ilmu, Ilmu
bukan satu-satunya hasil dari kegiatan berpikir. Ilmu itu merupakan  hasil dari proses
berpikir berdasarkan pada langkah-langkah tertentu atau sering juga kita sebut sebagai
cara berpikir ilmiah.
           Beberapa karakteristik   ilmu dikatakan  sebagai salah satu proses atau syarat
berpikir ilmiah adalah :
1. Ilmu mempunyai  peranan sebagai alat untuk mendapatkan pengetahuan yang
benar dan bisa dipahami oleh akal manusia  .
2. Alur pola pikir  yang logis  dan konsisten dengan pengetahuan yang sudah
ada.
3. Pengujian dapat dilakukan secara empiris sebagai salah satu kriteria
kebenaran yang objektif.  Apabila sebuah pernyataan bisa dijabarkan secara
logis, dan telah teruji secara empiris,  maka barulah ilmu dapat dianggap
benar secara ilmiah yang nantinya akan memperkaya khazanah pengetahuan
ilmiah.
4. Mekanisme ilmu itu bersifat terbuka terhadap koreksi atau perubahan.
2. Ilmu sebagai asas moral
            Ilmu merupakan  hasil dari kegiatan berpikir untuk mendapatkan pengetahuan
yang benar.  Dalam menetapkan suatu pernyataan apakah itu benar atau salah maka
seorang ilmuwan akan menarik kesimpulannya berdasarkan kepada argumentasi yang
terdapat dalam pernyataan itu dan bukan  berdasarkan  pengaruh yang berbentuk dari
kekuasaan kelembagaan yang mengeluarkan pernyataan itu.
            Kebenaran bagi seorang ilmuwan mempunyai fungsi atau kedudukan  yang
universal bagi umat manusia dalam upaya meningkatkan martabat kemanusiaannya.
            Dalam perkembangannya  filsafat ilmu yang mencakup 3 asfek kajian yaitu,
ontologi, epistemologi, dan aksiologi dan meletakkan kelima unsur manusia yakni cipta,
rasa, karsa, nafsu, dan nurani, yang unifersal tersebut dalam lingkungan kajian
epistemiologi maka dapatlah dibangun ilmu pengetahuan sosial dan kemanusiaan serta
cabang-cabangnya sepeti sosiologi, psikologi, ilmu polotik, ilmu ekonomi, dan
manajemen, antropologi, serta cabang-cabang keilmuan lainnya.
            Kita harus mengakui bahwa perkembangan ilmu dan kebudayaan itu sangatlah
luas, oleh sebab itu, penulis akan mengulas sedikit tentang perkembangan ilmu di bumi
bagian timur, yaitu :

1. Zaman Islam
            Sejak awal kehadirannya, Islam sudah memberikan penghargaan yang begitu
besar terhadap ilmu. Sebagaimana kita ketahui, bahwa Allah SWT. Memberikan derajat
yang tinggi terhadap orang yang berilmu, dan Nabi Muhammad SAW. ketika diutus oleh
Allah sebagai rasul, Beliau hidup dalam masyarakat yang terbelakang. Kemudian Islam
datang menawarkan cahaya penerang yang mengubah masyarakat Arab jahiliyyah 
menjadi masyarakat yang berilmu dan beradab.
2.Taoisme
            Taoisme berasal dari kata tao yang berarti jalan. Pendiri aliran  taoisme adalah
Lao Tzu. Tao diidentikkan dengan alam semesta. Segala sesuatu yang ada di alam
semesta ini dipandang sebagai yang satu. Dan yang satu ini adalah tao. Segala sesuatu
diturunkan dari tao. Penganut liran Taoisme mayoritas adalah penduduk cina.  Pengaruh
Taoisme  terhadap kebudayaan Cina memang tidak sebesar seperti konfusianisme, akan
tetapi Taoisme mempunyai pandangan metafisik dan spekulatif terhadap kodrat realitas,
alam semesta, dan manusia.
Selain itu salah satu pemahaman yang paling penting dari para Taois adalah kesadaran
bahwa transformasi dan perubahan merupakan gambaran-gambaran esensial dari alam.
Para taois melihat seluruh perubahan dalam alam sebagai manifestasi-manifestasi dari
situasi tarik menarik yang dinamis dari kutb yin dan yang yang berlawanan, dan
kemudian mereka menjadi yakin bahwa setiap pasangan dari kutub tersebut secara
dinamis berhubungan satu sama lainnya.
            Tao sebagai satu prinsip mempunyai dua unsur yang berlawanan yakni yin dan
yang. Yin dan Yang ini bisa diartikan sebagai dua sisi yang saling berlawanan antara
terang dan gelap, negatif dan positif, aktif dan pasif, ada dan tidak ada. Dalam taoisme
dualisme ini sangat  relatif.  Dualisme ini berada dalam kontradiksi yang mutlak tapi
saling melengkapi dalam fungsinya untuk berbuat apa saja di dunia ini.
3.Konfusianisme
            Konfusianisme adalah aliran  filsafat yang menjelaskan  tentang satu organisasi
sosial, tentang akal sehat, dan pemikiran yang bersifat praktis. Konfusianisme
memberikan sebuah sistem pendidikan dan konvensi-konvensi yang tegas dari etika sosial
kepada masyarakat  yang ada di Cina. Konfusianisme mempunyai tujuan utama untuk
membentuk suatu dasar etika untuk sistem dikalangan keluarga tradisional Cina dengan
struktur yang kompleks dan ritual-ritualnya terhadap pemujaan leluhur. Konfusianisme
diterapkan dalam pendidikan anak-anak dimana mereka harus mempelajari aturan-aturan 
yang dibutuhkan bagi kehidupan mereka untuk bisa menyatu dengan masyarakat.
            Pemikiran aliran konfusianisme ini  dimulai dengan memeriksa dua fungsi utama
manusia yaitu akal budi  atau fungsi menilai dan memerintah. Akal budi dapat dimengerti
secara fungsional menitik beratkan pada aktivitas tertentu yang dilakukan manusia,
contohnya menilai sesuatu dan mengarahkan tindakan.
4.Budhisme
           Aliran Budhisme mengajarkan tentang apa yang perlu dilakukan untuk mengatasi
penderitaan sesorang. Inti dari  ajaran ini adalah bahwa di dunia ini kita akan selalu
menghadapi masalah, kesedihan, penderitaaan, dan kegelisahan. Maka, ajaran Budhalah
yang akan menghapus semua penderitaan manusia didunia ini.
            Selain  contoh perkembangan dari ilmu dan kebudayaan seperti yang penulis
uraikan di atas, kita tidak boleh melupakan nilai-nilai yang  terkandung dalam ilmu itu
sendiri.  Sedikitnya terdapat tujuh nilai  yang dapat kita ambil dari hakikat keilmuan
yaitu: kritis, rasional, logis, obyektif, terbuka, menjunjung kebenaran, dan pengabdian
universal. Lalu, dimanakah peranan ketujuh nilai tersebut diatas dapat  dilaksanakan
dalam pengembangan kebudayaan nasional?
            Pengembangan kebudayaan nasional itu pada hakikatnya adalah perubahan dari
kebudayaan –kebudayaan yang  bersifat konvensional ke arah situasi kebudayaan yang
lebih mencerminkan aspirasi dan tujuan nasional yang sesuai dengan tuntutan zaman
yang pada akhirnya pengembangan kebudayaan itu akan bersifat fungsional.

SIMPULAN

Hakikat seorang manusia adalah untuk mencari kebenaran karena dibekali oleh Allah
SWT dengan akal pikiran yang dibimbing oleh nilai – nilai agama. Ketiga aspek yang
digunakan untuk mencari kebenaran di atas memiliki titik persamaan, titik perbedaan, dan
hubungan antara satu dengan lainnya. Agama dan budaya berjalan beriringan sehingga
memiliki hubungan yang erat dalam dialektikanya. Agama sebagai pedoman hidup manusia
yang diciptakan oleh Tuhan, dalam menjalani kehidupannya. Sedangkan kebudayaan adalah
sebagai kebiasaan tata cara hidup manusia yang diciptakan oleh manusia itu sendiri dari hasil
daya cipta, rasa dan karsanya yang diberikan oleh Tuhan. Perkembangan ilmu di satu sisi
berdampak positif karena dapat memperbaiki kualitas hidup manusia jika ditunjang
teknologi, seperti pada bidang komunikasi, transportasi, medis dan sarana industri. Di sisi
lain terkadang ilmu yang ditunjang teknologi dapat berdampak negatif karena merugikan dan
membahayakan martabat manusia, sehingga diperlukan tatanan ajaran Agama untuk
memberikan petunjuk.

Dari penjelasan diatas maka dapat kita  tarik kesimpulan  Ilmu adalah bagian
terpenting dalam membangun dan mengembangkan  kebudayaan  nasioanal di suatu negara.
Ilmu dan kebudayaan memiliki hubungan ketergantuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan
bagaikan mata koin yang terdiri dari dua sisi yang saling melengkapi. Kebudayaan yang ada
dan berlaku di masyarakat harus dilandasi oleh ilmu, agar kebudayaan yang ada tersebut 
dapat berkembang seperti yang seharusnya. Sebaliknya, ilmu itu tidak akan dapat
berkembang tanpa diiringi oleh kebudayaan.
            Di Negara Indonesia ada beberapa kalangan tertentu yang memisahkan ilmu menjadi
dua bagian, yakni : Ilmu alam dan Ilmu sosial. Tapi dalam kenyataannnya ilmu itu tidak
boleh dipisahkan karena itu bisa menjadi hambatan psikologi dan intelektua demi
perkembangan keilmuan di negara Indonesia. Perbedaan paham ini tidak boleh kita biarkan
dan harus  dihindari, kita harus segera mencari solusi yang terbaik agar perbedaan itu tidak
menjadi penghambat perkembangan budaya Nasional negara kita.

REFERENSI
Berger, Peter, L., Luckmann, Thomas, 1990, Tafsir Sosial atas Kenyataan, Risalah tentang
sosiologi pengetahuan, ( Asli: The Social Contruction of Reality, A Treatise in The sociology
of knowledge, Alih bahasa; Hasan Basri), LP3ES, Jakarta.
Berger, Peter, L, 1991. Langit Suci. (Asli: The Sacret Canopy, alih bahasa: Hartono), LP3ES,
Jakarta.
Kroeber, AL, & Kluckhohn, Clyde, 1952 Culture, A Critical review of concepts and
definitions, Vintage Book, New York.
Paursen, C A, van, 1984, Strategi Kebudayaan (Asli: Cultuur in Stomversneling, een geheel
bewerkte witgave van Strategie van de Cultuur, Alih bahasa: Dick Hartoko), Kanisius,
Jakarta.
Bagus, Lorens. 1996. Kamus Filsafat. Gramedia : Jakarta. Bauto, Laode Monto . 2014.
Perspektif Agama Dan Kebudayaan Dalam Kehidupan Masyarakat Indonesia. Jurnal
Pendidikan Ilmu Sosial, Volume 23, No. 2, Edisi Desember.
Gazalba, Sidi. 1978. Ilmu Filsafat dan Islam Tentang Manusia dan Agama. Bulan Bintang :
Jakarta.
Nur, Muhammad. 2015. Hakikat Agama dalam Perspektif Filsafat Perenial. Falsafatuna
Jurnal Filsafat ISSN 2442-8981, E ISSN 2442-899X : Gorontalo.
Soegiono, Tamsil Muis. 2012. Filsafat Pendidikan. PT. Remaja Rosdakarya : Bandung.
Sukardji. 2007. Agama-agama yang Berkembang di Dunia dan Pemeluknya. Angkasa:
Bandung.
Suriasumantri, Jujun. 2005. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sinar Harapan :
Jakarta.
Syam, Mohammad Noor. 2006. Filsafat Ilmu. Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri
Malang : Malang.
Utama, I Gusti . 2013. Filsafat Ilmu dan Logika. Diktat Filsafat Ilmu : Bali
Wahid, Abdul. 2014. Korelasi Agama, Filsafat Dan Ilmu. Jurnal Substantia, Vol. 14, No. 2,
Oktober 2012.

Anda mungkin juga menyukai