ceramah
mei 2011
PARADIGMA,
EPISTEMOLOGI dan
ETNOGRAFI dalam
ANTROPOLOGI
mengutip isi makalah ini harus dilakukan dengan menyebutkan sumber (makalah ini)
I. PENGANTAR
Sebelum “paradigma“ menjadi sebuah konsep yang populer, para ilmuwan sosial-budaya
telah menggunakan beberapa konsep lain dengan makna yang kurang lebih sama, yakni:
kerangka teoritis (theoretical framework), kerangka konseptual (conceptual framework),
kerangka pemikiran (frame of thinking), orientasi teoritis (theoretical orientation), sudut
pandang (perspective), atau pendekatan (approach). Kini istilah paradigma sudah mulai
banyak digunakan oleh ilmuwan sosial-budaya. Meskipun demikian, dalam makalah ini istilah-
istilah lama tersebut juga tetap akan digunakan, dengan makna yang kurang-lebih sama
dengan paradigma (paradigm).
Penggunaan konsep paradigma yang semakin lazim kini tidak berarti bahwa makna
konsep tersebut sudah jelas atau telah disepakati bersama. Thomas Kuhn (1977) telah
berbicara panjang lebar tentang pergantian paradigma, namun dia tidak menjelaskan secara
khusus dan rinci tentang apa yang dimaksudnya sebagai paradigma, dan tidak menggunakan
konsep tersebut secara konsisten dalam tulisan-tulisannya. Hal ini tam-paknya merupakan
akibat tidak langsung dari topik pembahasannya, yakni pergantian paradigma dalam ilmu-ilmu
alam (Ahimsa-Putra, 2007). Kuhn tidak menyinggung ten-tang ilmu-ilmu sosial-budaya. Ada
kemungkinan karena dia merasa tidak perlu membedakan dua jenis ilmu pengetahuan
tersebut, mengingat dua-duanya adalah ilmu pengetahuan. Ada kemungkinan pula karena dia
menganggap ilmu sosial-budaya belum merupakan ilmu pengetahuan (science), karena dari
perspektif tertentu status sains (ilmu) memang belum berhasil dicapai oleh cabang ilmu
tersebut (Kuhn, 1977).
Kelalaian Kuhn ternyata telah membuat bukunya terkenal, karena para ilmuwan kemudian
memperdebatkan berbagai kekurangan dalam pandangan Kuhn, yang antara lain bersumber
pada tidak adanya rumusan yang jelas, tegas dan konsisten tentang apa yang dimaksud
dengan paradigma. Kelalaian Kuhn ini juga telah menyulitkan kita untuk menerapkannya
dalam analisis. Meskipun demikian, gagasan Kuhn tentang revolusi pengetahuan telah
membuat para ilmuwan berfikir ulang tentang ilmu pengetahuan itu sendiri.
Berbagai pembahasan tentang paradigma di kalangan ilmuwan Barat berada di seputar
masalah: (a) konsepsi tentang paradigma; (b) ada tidaknya paradigma dalam suatu disiplin
tertentu, dan (c) unsur-unsur paradigma (Ahimsa-Putra, 2008). Sayangnya, dari berbagai
pembahasan itu tidak berhasil dicapai sebuah kesepakatan tentang definisi yang cukup
praktis dan strategis mengenai paradigma. Apalagi kesepakatan mengenai unsur-unsur
paradigma. Akibatnya, kita mengalami kesulitan untuk memanfaatkan rintisan pemikiran yang
dilontarkan oleh Kuhn. Untuk itu kita perlu membangun sebuah konsepsi (pandangan)
tentang paradigma, yang berisi bukan hanya definisi, tetapi juga elemen-elemen pokok yang
terdapat dalam paradigma.
Jika kita sepakat dengan Thomas Kuhn bahwa revolusi ilmu pengetahuan tidak lain adalah
perubahan paradigma, perubahan pada mode of thought, pada mode of inquiry, maka kita
akan sampai pada pendapat bahwa inti ilmu pengetahuan tidak lain adalah paradigma
(Ahimsa-Putra, 2007). Jika antropologi adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang
tentunya telah mengalami banyak perkembangan, tentunya telah terjadi banyak revolusi ilmu
1
Makalah ceramah “Perkembangan Teori dan Metode Antropologi”, Departemen Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011
pengetahuan dalam antropologi. Pertanyaannya kemudian adalah: seperti apa
perkembangan ilmu yang telah terjadi dalam antropologi (sosial-budaya)? Paradigma-
paradigma apa saja yang telah muncul di dalamnya? Apa ciri dari paradigma dalam
antropologi dan bagaimana corak perkembangannya?
Pertanyaan-pertanyaan ini hanya dapat dijawab jika kita memiliki pemahaman tentang apa
yang dimaksud dengan paradigma. Oleh karena Kuhn tidak pernah menawarkan sebuah
konsepsi tentang paradigma yang jelas, maka dalam makalah ini saya mengemukakan
pandangan saya atau teori saya mengenai paradigma, dan dengan konsepsi tersebut saya
memaparkan keterkaitan dan kedudukan penting dari epistemologi dan etnografi dalam
paradigma antropologi. Konsepsi tentang paradigma ini saya bangun setelah saya menelaah
secara kritis berbagai buku dan artikel para ilmuwan Barat -karena dari Indonesia saya tidak
menemukan pembahasan-pembahasan ini-, mengenai paradigma, baik yang teoritis, filosofis
maupun yang aplikatif. Mengingat terbatasnya tempat, paradigma-paradigma dalam
antropologi hanya dapat saya sajikan jenis-jenisnya, sedang mengenai proses
perkembangannya tidak dapat seluruhnya saya sajikan secara rinci di sini.
1
) Uraian mengenai paradigma ini saya ambil dari makalah saya di tahun 2009 (Ahimsa-Putra, 2009).
2
Makalah ceramah “Perkembangan Teori dan Metode Antropologi”, Departemen Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011
relasi-relasi pada gejala-gejala empiris ini tidak sama dengan relasi-relasi antarunsur dalam
paradigma. Relasi antarunsur dalam paradigma berada pada tataran logika, pada tataran
pemikiran, sedang relasi antarunsur pada perangkat pakaian dan gamelan berada pada
tataran fungsi, atau bersifat fungsional. Selanjutnya, karena makna dan hubungan antar-
makna ini adanya dalam pikiran, maka kumpulan konsep yang membentuk kerangka itu
disebut juga sebagai kerangka pemikiran.
“.....yang berfungsi untuk memahami dan menjelaskan kenyataan dan/atau masalah yang
dihadapi“.
Dalam pikiran manusia, kerangka pemikiran ini digunakan untuk tujuan tertentu, sehingga
kerangka pemikiran ini memiliki fungsi, yakni untuk memahami kenyataan, mendefinisikan
kenyataan, menentukan kenyataan yang dihadapi, menggolongkannya ke dalam kategori-
kategori, dan kemudian menghubungkannya dengan definisi kenyataan lainnya, sehingga
terjalin relasi-relasi pada pemikiran tersebut, yang kemudian membentuk suatu gambaran
tentang kenyataan yang dihadapi.
Kenyataan yang dihadapi menimbulkan berbagai akibat atau reaksi dalam pikiran
manusia. Salah satu di antaranya adalah pertanyaan-pertanyaan atau rasa tidak puas karena
kenyataan yang dihadapi tidak dapat dipahami dengan menggunakan kerangka pemikiran
yang telah ada, atau kurang sesuai dengan yang diharapkan. Pertanyaan dan ketidakpuasan
ini selanjutnya mendorong manusia untuk menjawab pertanyaan tersebut atau mencari jalan
guna mengatasi ketidakpuasan yang ada dalam dirinya. Ini berarti bahwa paradigma tidak
hanya ada di kalangan ilmuwan saja, tetapi juga di kalangan orang awam, di kalangan semua
orang, dari semua golongan, dari semua lapisan, dari semua kelompok, dari semua
sukubangsa. Meskipun demikian, hal itu berarti bahwa setiap orang menyadari kerangka
pemikirannya sendiri. Bahkan, sebagian besar orang sebenarnya tidak menyadari betul atau
tidak mengetahui seperti apa kerangka pemikiran yang dimilikinya, yang digunakannya untuk
memahami situasi dan kondisi kehidupan sehari-hari. Kesadaran ini hanya dapat muncul dari
kalangan mereka yang dapat melakukan refleksi atas apa yang mereka pikirkan sendiri, yang
mengetahui dan dapat menggunakan metode-metode dan prosedur yang harus digunakan
dalam proses refleksi tersebut.
Bagi upaya pengembangan dan pembuatan paradigma baru, pendefinisian konsep
paradigma saja belum cukup. Lebih penting daripada pendefinisian adalah penentuan unsur-
unsur yang tercakup dalam pengertian paradigma. Definisi di atas belum memberikan
keterangan lebih lanjut tentang isi dari kerangka pemikiran itu sendiri. “Seperangkat konsep“
barulah sebuah gambaran umum tentang isi dari kerangka pemikiran tersebut, sedang
kenyataannya konsep-konsep ini tidak sama kedudukan dan fungsinya dalam kerangka
pemikiran, dan karena itu juga memiliki nama yang berbeda-beda. Oleh karena itu diperlukan
penjelasan lebih lanjut tentang komponen-komponen konseptual yang membentuk kerangka
pemikiran atau paradigma tersebut.
3
Makalah ceramah “Perkembangan Teori dan Metode Antropologi”, Departemen Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011
Payne juga masih belum menjelaskan bagaimana kira-kira urut-urutan unsur-unsur tersebut
dalam sebuah paradigma atau kerangka berfikir tertentu, sehingga posisi masing-masing
unsur terhadap yang lain tidak kita ketahui. Lebih dari itu, Cuff dan Payne juga tidak selalu
menjelaskan makna dari konsep-konsep yang digunakannya secara rinci, sehingga kita tidak
selalu dapat mengetahui dengan baik apa yang dimaksudkannya (Ahimsa-Putra, 2008).
Mengikuti jalan pikiran yang telah dibuka oleh Kuhn serta Cuff dan Payne, sebuah
paradigma, kerangka teori atau pendekatan dalam ilmu sosial-budaya menurut hemat saya
terdiri dari sejumlah unsur pokok, yakni: (1) asumsi-asumsi dasar; (2) nilai-nilai; (3) masalah-
masalah yang diteliti (4) model; (5) konsep-konsep; (6) metode penelitian; (7) metode analisis;
(8) hasil analisis atau teori dan (9) representasi (etnografi) (Ahimsa-Putra, 2009). Berikut ini
adalah uraian mengenai komponen-komponen paradigma ini, yang menurut saya perlu
diberikan, mengingat jarangnya pembicaraan tentang paradigma yang membahas komponen-
komponen tersebut serta menjelaskannya dengan rinci.
4
Makalah ceramah “Perkembangan Teori dan Metode Antropologi”, Departemen Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011
Dalam sebuah paradigma, nilai-nilai ini paling tidak mengenai: (a) ilmu pengetahuan (b)
ilmu sosial-budaya; (c) penelitian ilmiah; (d) analisis ilmiah; (e) hasil penelitian. Nilai-nilai ini
selalu ada dalam setiap cabang ilmu, tetapi rumusan, penekanan dan keeksplisitannya
berbeda-beda. Ada cabang ilmu pengetahuan yang nilainya lebih menekankan pada manfaat
ilmu, tetapi lebih bersifat implisit, sedang pada disiplin lain nilai ini dibuat sangat eksplisit.
Nilai-nilai mana yang ditekankan oleh suatu komunitas atau organisasi ilmuwan bisa berbeda-
beda. Hal ini sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya masyarakat tempat para ilmuwan
tersebut menjalankan aktivitas keilmuan mereka.
Meskipun nilai-nilai ini pada umumnya menyatakan tentang hal-hal yang baik, yang
seharusnya, tetapi sebenarnya nilai-nilai juga berkenaan dengan yang tidak baik, yang buruk.
Oleh karena itu, bisa pula nilai yang dibuat eksplisit bukanlah yang baik, tetapi yang buruk.
Hal ini dilakukan mungkin dengan tujuan agar para ilmuwan dapat lebih terjaga dari
melakukan hal-hal yang buruk. Nilai yang baik berkenaan dengan ilmu pengetahuan misalnya
adalah nilai yang mengatakan, “ilmu pengetahuan yang baik adalah yang bermanfaat bagi
kehidupan manusia”; atau “ilmu pengetahuan yang baik adalah yang teori-teorinya bisa
bersifat universal”; atau “ilmu pengetahuan yang baik adalah yang diperoleh dengan
menggunakan metode dan prosedur tertentu yang dapat mencegah masuknya unsur
subyektivitas peneliti”, dan sebagainya. Nilai-nilai yang buruk misalnya adalah, “ilmu
pengetahuan yang buruk adalah yang tidak memberikan manfaat kepada umat manusia”;
atau “ilmu pengetahuan yang buruk adalah yang membuat manusia semakin jauh dari Sang
Pencipta”.
6
Makalah ceramah “Perkembangan Teori dan Metode Antropologi”, Departemen Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011
pengetahuan, terutama ilmu sosial-budaya, khususnya lagi dalam antropologi (Ahimsa-Putra,
2009).
Sebuah konsep dalam ilmu sosial-budaya bisa diberi definisi atau batasan berbagai
macam. Dalam hal ini perlu diingat bahwa tidak ada definisi yang paling benar, karena setiap
konsep dapat diberi definisi dari sudut pandang tertentu, dengan cara tertentu. Yang perlu
diperhatikan adalah apakah definisi sebuah konsep memungkinkan peneliti mempelajari,
memahami dan menjelaskan gejala yang diteliti dengan baik. Oleh karena itu, sebelum
merumuskan sebuah definisi seyogyanya peneliti melakukan kajian pustaka yang cukup
komprehensif agar dapat memperoleh berbagai definisi yang telah dibuat oleh para ilmuwan
lain berkenaan dengan konsep-konsep yang akan digunakan dalam penelitiannya (Ahimsa-
Putra, 2009).
Dalam masing-masing metode penelitian ini terdapat sejumlah metode penelitian lagi,
yang penggunaannya biasanya didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan praktis, yakni
ketersediaan waktu, biaya dan tenaga. Dalam metode pengumpulan data kuantitatif -yang
selanjutnya kita sebut metode penelitian kuantitatif-, terdapat misalnya: (a) metode kajian
pustaka; (b) metode survei dan (c) metode angket. Dalam metode penelitian kualitatif terdapat
(a) metode kajian pustaka; (b) metode pengamatan; (c) metode pengamatan berpartisipasi
(participant observation); (d) metode wawancara sambil lalu; (e) metode wawancara
mendalam, dan (f) metode mendengarkan (Ahimsa-Putra, 2009).
8
Makalah ceramah “Perkembangan Teori dan Metode Antropologi”, Departemen Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011
kita kemukakan, sebenarnya kita sudah dapat menentukan sejak awal metode analisis seperti
apa yang akan kita lakukan atau kita perlukan. Meskipun ada berbagai macam jenis metode
analisis, namun secara umum kita dapat mengatakan bahwa tujuan akhir analisis adalah
menetapkan hubungan-hubungan antara suatu variabel/gejala/unsur tertentu dengan
variabel/gejala/unsur yang lain, dan menetapkan jenis hubungan yang ada di situ. Setiap
paradigma selalu mempunyai metode analisis tertentu, karena metode analisis inilah yang
kemudian akan menentukan corak hasil analisis atau teorinya, sehingga teori yang muncul
dalam sebuah paradigma tidak akan sama dengan teori yang muncul dalam paradigma yang
lain (Ahimsa-Putra, 2009).
9
Makalah ceramah “Perkembangan Teori dan Metode Antropologi”, Departemen Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011
semenjak Malinowski mulai dengan sangat sadar menyajikan sebuah etnografi fungsional,
yang menampilkan dengan jelas hubungan fungsional antarunsur kebudayaan, penulisan
etnografi mulai memperoleh perhatian yang lebih besar. Perhatian ini semakin menguat dan
kritis dengan munculnya paradigma post-modernisme dalam antropologi, yang banyak
mendapat inspirasi dari kritik sastra. Kini, para ahli antropologi telah menyadari betul-betul
bahwa representasi suatu kebudayaan dalam bentuk sebuah etnografi adalah persoalan
penting, karena akan berdampak terhadap citra kebudayaan yang disajikan.
etnografi
metode analisis
selalu
eksplisit metode penelitian
konsep-konsep
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
model
tidak selalu
eksplisit asumsi dasar nilai-nilai
10
Makalah ceramah “Perkembangan Teori dan Metode Antropologi”, Departemen Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011
Masalah-masalah yang ingin diteliti, yang dinyatakan dalam bentuk pertanyaan atau
hipotesa, merupakan unsur yang harus eksplisit, sehingga unsur ini ditempatkan di atas garis
pemisah antara unsur-unsur yang (bisa) implisit dengan unsur-unsur yang harus eksplisit.
Masalah-masalah penelitian juga merupakan implikasi dari asumsi dan model yang dianut,
walaupun hal ini tidak selamanya disadari oleh para penliti.
Konsep-konsep pokok juga merupakan unsur paradigma yang kongkrit, yang eksplisit
karena dalam setiap penelitian, makna konsep-konsep ini sudah harus dipaparkan dengan
jelas. Seperti halnya masalah penelitian, konsep-konsep ini sudah bersifat eksplisit dan
disadari, diketahui, walaupun tidak selalu dimengerti dengan baik segala implikasi
metodologisnya oleh para peneliti.
Metode penelitian dan metode analisis merupakan tahap-tahap pewujudan dari asumsi-
asumsi dasar, model dan konsep dalam sebuah kegiatan penelitian. Pelaksanaan atau
penerapan metode-metode ini didasarkan pada apa-apa yang ada dalam asumsi dasar,
model dan konsep. Dengan kata lain metode-metode ini merupakan tahap pelaksanaan
penelitian yang dibimbing oleh unsur-unsur paradigma yang sudah ada sebelumnya.
Penelitian dengan menggunakan konsep-konsep tertentu akan memerlukan metode yang
berbeda dengan penelitian yang menggunakan konsep-konsep yang lain.
Hasil analisis merupakan unsur yang muncul setelah dilakukannya analisis atas data yang
telah dikumpulkan dengan menggunakan metode-metode tertentu. Hasil analisis ini juga
harus dinyatakan secara eksplisit, tegas dan jelas. Jika tidak tegas dan jelas maka penelitian
yang telah dilakukan akan dinilai kurang berhasil, dan ini akan membuat telaah atas
paradigma yang telah digunakan semakin dipertajam.
Representasi merupakan elemen terakhir dari sebuah paradigma, dan di sinilah sebuah
paradigma akan dinilai keberhasilannya untuk menjawab persoalan-persoalan tertentu.
Sebagai hasil akhir, representasi ini sedikit banyak akan mencerminkan keseluruhan elemen-
elemen yang ada dalam sebuah paradigma. Oleh karena itu, dalam skema di atas, semua
ujung panah akhirnya mengarah pada unsur representasi ini.
Skema di atas akan menjadi terbalik, yakni unsur representasi berada di bawah, jika
dikatakan bahwa unsur-unsur paradigma diturunkan dari asumsi-asumsi dasar. Skema yang
terbalik ini disusun atas dasar tingkat keabstrakan dan keimplisitan dari unsur-unsur
paradigma. Semakin abstrak, implisit dan tidak disadari sebuah unsur, akan semakin tinggi
tempatnya dalam skema di atas. Meskipun demikian, semuanya akan berakhir pada
representasi atau etnografi.
Dengan menggunakan kerangka paradigma di atas, saya mencoba memetakan
paradigma-paradigma yang telah berkembang dalam antropologi budaya hingga masa kini
(tahun 2008), dan paradigma-paradigma tersebut adalah sebagai berikut.
1. Paradigma Evolusionisme
2. Paradigma Diffusionisme
3. Paradigma Partikularisme Historis (Historical Anthropology)
4. Paradigma Fungsionalisme
5. Paradigma Analisis Variabel
6. Paradigma Cross-Cultural
7. Paradigma Kepribadian dan Kebudayaan (Culture and Personality)
8. Paradigma Strukturalisme (Lévi-Strauss)
9. Paradigma Tafsir Kebudayaan
10. Paradigma Materialisme Budaya
11. Paradigma Materialisme Historis
12. Paradigma Etnosains
13. Paradigma Konstruksionisme (Fenomenologi)
14. Paradigma Actor-Oriented
15. Paradigma Post-Modernisme
11
Makalah ceramah “Perkembangan Teori dan Metode Antropologi”, Departemen Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011
Klasifikasi paradigma ini ditentukan atas dasar persamaan dan perbedaan yang terdapat
pada unsur-unsur yang relatif pokok dalam paradigma, yakni: (a) asumsi dasar; (b) model; (c)
masalah penelitian (yang ingin diteliti); dan (d) konsep.
Agar paradigma-paradigma tersebut dapat tampil sebagai paradigma yang saling
berhubungan secara historis, diperlukan sebuah paparan yang historis. Untuk itu saya akan
memulainya dengan paradigma yang pertama muncul dalam antropologi, yakni evolusi
kebudayaan (evolutionism), yang muncul di akhir abad 19 2.
Pandangan tentang evolusi kebudayaan dalam antropologi pertama kali dilontarkan oleh
E.B.Tylor, ahli antropologi dari Inggris. Tylor (1865) membagi evolusi kebudayaan menjadi
tiga tahap, yakni tahap Savagery, Barbarism dan Civilization, dengan ekonomi dan teknologi
sebagai unsur-unsur budaya pembeda di antara tiga tahap tersebut. Pada tahap Savagery
manusia hidup dari berburu dan meramu, dengan menggunakan peralatan yang terbuat dari
kayu, tulang dan batu. Mereka hidup berpindah-pindah tempat. Pada tahap Barbarism
manusia mulai mengenal bercocok-tanam. Mereka mulai hidup menetap, karena harus
menunggui tanaman mereka. Peralatan mereka mulai dibuat dari logam. Pada tahap terakhir,
tahap Peradaban, manusia mulai mengenal tulisan, mengenal kehidupan perkotaan, dan
mampu membuat bangunan-bangunan besar, yang memerlukan pengetahuan dan peralatan
yang canggih, serta organisasi sosial yang kompleks.
Teori evolusi kebudayaan dari Tylor tersebut kemudian dikembangkan lagi oleh
L.H.Morgan (1877), yang membagi tahap Savagery dan Barbarism menjadi tiga, yakni
Savagery Awal (Lower Savagery), Savagery Tengah (Middle Savagery), dan Savagery Akhir
(Upper Savagery); Barbarisme Awal, Barbarisme Tengah, dan Barbarisme Akhir. Tahap akhir
adalah tahap Peradaban (Civilization) 3).
Di tengah pandangan masyarakat Eropa Barat yang ketika itu masih kuat menganut
ajaran-ajaran kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, teori evolusi kebudayaan dari Tylor
dan Morgan merupakan sebuah pandangan baru. Teori-teori tersebut menyadarkan mereka
bahwa sebagaimana halnya gejala alam, gejala-gejala dalam masyarakat dan kebudayaan
juga dapat dipelajari secara rasional, untuk kemudian diungkapkan “hukum-hukum“ yang ada
di baliknya. Secara implisit teori tersebut mengajak masyarakat Eropa Barat untuk
memandang dan berfikir tentang masyarakat dan kebudayaan lewat paradigma evolusi,
bukan lewat paradigma dari kitab suci. Jadi, teori evolusi kebudayaan adalah sebuah kritik
terhadap cara berfikir masyarakat Eropa Barat ketika itu (Marcus dan Fischer, 1986).
Kemunculan teori evolusi kebudayaan tersebut telah mengundang sejumlah reaksi, yakni
(a) yang berupa kritik terhadap teori evolusi dan kemudian menyodorkan paradigma yang
lain, dan (b) yang mengakui kelemahan teori evolusi dari Tylor dan Morgan, namun tidak
menolak ide dasarnya, yakni bahwa kebudayaan atau masyarakat mengalami evolusi.
Kelompok pertama diwakili antara lain oleh ahli-ahli antropologi seperti Frans Boaz, Radcliffe-
Brown dan Malinowski, sedang kelompok kedua diwakili misalnya oleh Leslie White dan
Julian Steward.
White pada dasarnya mengakui bahwa kriteria yang digunakan oleh Tylor dan Morgan
bersifat subyektif, dan technological biasnya begitu kuat. Oleh karena itu, teori evolusi yang
lebih baik harus dibuat di atas dasar kriteria yang lebih “obyektif“, yang dapat ditentukan
ukurannya. Sehubungan dengan itu, White (1949) kemudian mengusulkan kriteria baru: enerji
(energy), karena setiap kebudayaan pada dasarnya adalah sebuah sistem thermodinamis,
yakni sistem yang melakukan transformasi enerji. Dengan enerji sebagai tolok ukur, maka
tingkat evolusi kebudayaan dapat ditentukan secara kuantitatif. Ukuran ini juga bersifat
universal, sehingga dapat dikatakan “obyektif“. Dengan kriteria enerji, Leslie White kemudian
merumuskan sebuah “hukum“ evolusi kebudayaan, yakni C = E x T. C adalah culture, E
adalah energy dan T adalah technology. Artinya, evolusi kebudayaan merupakan perubahan
2
) Selanjutnya, paparan tentang perkembangan paradigma-paradigma antropologi di sini diambil sepenuhnya dari pidato
pengukuhan saya (Ahimsa-Putra, 2008).
3) Morgan mengembangkan skema Tylor yang terdapat dalam buku Researches into the Early History of Mankind and the
Development of Civilization, terbit tahun 1877 (Bidney, 1953: 209).
12
Makalah ceramah “Perkembangan Teori dan Metode Antropologi”, Departemen Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011
sistem yang melakukan transformasi enerji dengan bantuan teknologi (White, 1949: 368).
Teori evolusi ini kemudian disebut teori evolusi “universal“ (Carneiro, 1973), karena White
berbicara tentang kebudayaan manusia dalam arti umum dan kriteria yang digunakannya juga
dapat digunakan secara universal.
Berbeda dengan White, Julian Steward melihat bahwa kelemahan teori evolusi dari Tylor
dan Morgan adalah pada data yang digunakan, yakni tidak berasal dari hasil penelitian
lapangan yang serius pada suatu kebudayaan tertentu. Oleh karena itu Steward mencoba
menggunakan paradigma evolusi untuk meneliti salah satu sukubangsa Indian di Amerika
Serikat, yakni Indian Shoshone di kawasan Great Basin (1938). Dari penelitian ini Steward
sampai pada pendapat bahwa evolusi kebudayaan terkait erat dengan kondisi lingkungan.
Kebudayaan orang Indian Shoshone yang ditelitinya ternyata tidak lagi mengalami evolusi,
karena telah sesuai (adaptif) dengan lingkungan alamnya. Sehubungan dengan itu Steward
berpendapat bahwa setiap kebudayaan mempunyai inti (cultural core), yang terdiri dari
teknologi dan organisasi kerja. Cultural core inilah yang menentukan corak adaptasi
kebudayaan terhadap lingkungannya (1955). Dengan kata lain, interaksi antara inti
kebudayaan dengan lingkunganlah yang menentukan arah evolusi suatu kebudayaan. Evolusi
kebudayaan, dengan demikian, tidaklah berjalan mengikuti satu jalur (unilinier), tetapi banyak
jalur (multilinier). Teori Steward ini kemudian dikenal sebagai teori evolusi multilinear
(multilinier).
Apa yang terjadi dalam paradigma evolusionisme menunjukkan bahwa kelemahan-
kelemahan dalam paradigma ini tidak serta-merta membuat para ahli kebudayaan
meninggalkannya dan membangun paradigma baru. “Krisis“ dalam paradigma justru telah
mendorong sebagian ahli untuk memperbaikinya, dan kemudian melahirkan sub-paradigma
atau paradigma turunan. Perbaikan tidak dilakukan dengan mengubah asumsi dasar yang
terpenting, yakni bahwa kebudayaan itu berkembang, dan bahwa manusia pada dasarnya
bersifat inventive (mampu menghasilkan hal-hal baru), tetapi dengan mengajukan model
kebudayaan yang berbeda. Kalau Tylor dan Morgan secara implisit mengumpamakan
kebudayaan seperti mahluk hidup (organisme), maka White memandang kebudayaan seperti
sebuah sistem termodinamis, sistem yang mentransformasi enerji, sedang Steward
memandang kebudayaan seperti mahluk hidup yang berada dalam lingkungan tertentu dan
selalu berada dalam proses adaptasi terhadap lingkungan tersebut melalui bagian intinya.
Penggunaan model yang berbeda dengan sendirinya menghendaki adanya konsep-
konsep baru. Pada sub-paradigma evolusi universal yang dikembangkan oleh White, muncul
konsep-konsep penting seperti termodinamika, enerji, dan transformasi. Pada sub-paradigma
evolusi multilinier, konsep-konsep penting tersebut adalah lingkungan, adaptasi, cultural core,
organisasi kerja, dan sebagainya. Perbaikan metodologis juga ada. Munculnya konsep enerji
misalnya, menuntut ahli antropologi untuk memiliki metode mengukur jumlah enerji guna
menentukan evolusi yang telah terjadi. Hadirnya konsep inti budaya yang terdiri dari
organisasi kerja dan teknologi, menuntut ahli antropologi memiliki metode penelitian untuk
mengungkap organisasi kerja tersebut.
Tidak lama setelah teori evolusi dilontarkan, muncul sebuah paradigma lain dalam studi
kebudayaan, yakni diffusionism (difusionisme) atau penyebaran kebudayaan, dari ahli-ahli
kebudayaan di Inggris dan Jerman. Di awal kemunculannya paradigma ini tidak
dipertentangkan dengan paradigma evolusionisme, karena tokoh-tokoh aliran evolusi seperti
Tylor dan Morgan juga tidak pernah menolak fakta bahwa unsur-unsur kebudayaan bisa
menyebar, dan perubahan kebudayaan bisa terjadi karena penyebaran ini (White, 1945).
Paradigma difusi baru terlihat berlawanan dengan dan merupakan alternatif terhadap
paradigma evolusi setelah Franz Boas di Amerika Serikat dengan murid-muridnya
melontarkan berbagai kritik terhadap paradigma evolusi (lihat Harris, 1968; Kroeber, 1946;
White, 1945), dan menyatakan bahwa pendekatan difusionistis merupakan pendekatan yang
lebih sesuai untuk merekonstruksi sejarah kebudayaan. Menurut mereka teori evolusi
kebudayaan terlalu menekankan faktor internal, dan kurang memperhatikan faktor eksternal,
ketika menjelaskan perubahan kebudayaan.
13
Makalah ceramah “Perkembangan Teori dan Metode Antropologi”, Departemen Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011
Ide tentang difusi kebudayaan pada awalnya muncul di Inggris dari W.J.Perry dan Elliot
Smith yang kebetulan meneliti budaya Mesir Kuno. Kekaguman mereka atas kecanggihan
budaya ini membuat mereka berkesimpulan bahwa peradaban-peradaban kuno yang lain di
muka bumi sebenarnya berasal dari Mesir. Penyebaran peradaban tersebut terjadi ketika
orang-orang Mesir, yang mereka sebut sebagai “putra-putra dewa matahari“ (children of the
sun), menyebar ke berbagai tempat di dunia untuk mencari logam mulia dan batu mulia (Van
Baal, 1987). Teori ini segera ditolak oleh para ahli antropologi karena: (a) tidak didukung oleh
data yang baik dan akurat; dan (b) data tidak dikumpulkan dengan menggunakan metode dan
prosedur penelitian yang jelas, sehingga teori tersebut sebenarnya hanya buah dari pemikiran
yang spekulatif.
Meskipun demikian, para ahli antropologi menyadari bahwa pandangan Perry dan Smith
tentang kebudayaan ada benarnya, yakni bahwa unsur-unsur kebudayaan dapat menyebar
dari satu masyarakat ke masyarakat yang lain, dan beberapa kebudayaan memang terlihat
memiliki pusat tertentu, yang kemudian menjadi semacam pusat penyebarannya. Di pusat ini
pulalah terdapat dinamika kebudayaan yang paling tinggi. Lebih dari itu, mereka juga telah
menyodorkan sebuah cara pandang baru terhadap ke-budayaan. Kebudayaan kemudian
tidak lagi harus dilihat secara evolusionistis, tetapi bisa juga secara difusionistis. Artinya,
dinamika dan perkembangan kebudayaan tidak hanya berlangsung dalam bentang waktu
tertentu, tetapi juga dalam bentang ruang. Ada dimensi waktu dan juga ruang dalam
perubahan kebudayaan.
Tanpa mendapat pengaruh dari ilmuwan Inggris, di Jerman juga muncul studi tentang
penyebaran kebudayaan, dan telah melahirkan konsep-konsep baru seperti kulturkreis
(daerah atau lingkungan kebudayaan) dan kulturschichten (lapisan kebudayaan) (Baal, 1987).
Secara metodologis, kajian penyebaran kebudayaan di Jerman ini memang lebih baik
daripada yang dilakukan di Inggris, karena digunakannya kriteria kuantitas dan kualitas dalam
studi perbandingan guna menentukan tingkat keterhubungan unsur-unsur budaya
(Koentjaraningrat, 1980). Kebudayaan-kebudayaan yang dianggap memiliki hubungan karena
menunjukkan kesamaan-kesamaan tertentu, kemudian dianggap berada dalam suatu wilayah
kebudayaan tertentu, yang disebut kulturkreis. Para ilmuwan Jerman berpendapat bahwa
dengan menyusun kulturkreis dari berbagai kebudayaan di dunia, akhirnya kulturhistorie
global akan dapat diketahui dan direkonstruksi.
Meskipun para ilmuwan Jerman telah memperbaiki metode analisis mereka, namun masih
ada juga beberapa kelemahan dalam prosedur penelitian mereka, yang membuat
kesimpulan-kesimpulan mereka lantas terasa spekulatif. Kelemahan utama adalah bahwa
studi perbandingan tidak dimulai dari kebudayaan-kebudayaan yang berdekatan satu sama
lain, tetapi didasarkan pada ketersediaan data unsur budaya, dan ini terjadi karena
kelemahan yang kedua, yakni tidak dilakukannya penelitian lapangan untuk mendapatkan
data kebudayaan yang diperlukan (Baal, 1987).
Terlepas dari kelemahan-kelemahan tersebut, apa yang dilakukan oleh para ahli
antropologi Jerman telah berada pada jalur yang tepat. Mereka telah menggunakan analisis
komparatif yang disertai dengan asas kualitas dan kuantitas, guna menentukan wilayah
persebaran satu atau beberapa unsur kebudayaan (Baal, 1987; Koentjaraning-rat, 1980).
Metode inilah yang dikembangkan oleh para ahli antropologi Amerika Serikat yang setuju
dengan pandangan-pandangan dasar paradigma difusi kebudayaan. Kebanyakan mereka ini
adalah anak didik Franz Boas. Boas sendiri menolak teori-teori evolusi dan difusi karena
menurutnya data kebudayaan yang tersedia belum memungkinkan para ahli antropologi
merumuskan teori-teori atau hukum-hukum seperti itu. Jika hal itu dipaksakan, maka yang
akan lahir bukanlah teori-teori yang kokoh, tetapi pendapat-pendapat spekulatif yang tidak
ilmiah. Bagi Boas, sejarah kebudayaan bersifat khas atau khusus, yang hanya dapat ditulis
atas dasar data yang berasal dari penelitian lapangan yang seksama dan intensif. Oleh
karena itu, tugas utama para ahli antropologi menurut Boas adalah melakukan penelitian
lapangan dan mengumpulkan data kebudayaan serinci mungkin. Aliran pemikiran Boas ini
kemudian dikenal sebagai “partikularisme historis“ (historical particularism) dan telah
mendominasi kajian-kajian antropologi Amerika Serikat di awal abad 20 (Harris, 1968).
14
Makalah ceramah “Perkembangan Teori dan Metode Antropologi”, Departemen Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011
Dengan kerangka berfikir partikularisme historis inilah murid-murid Boas melakukan
penelitian lapangan untuk merekonstruksi sejarah-sejarah kebudayaan berbagai suku-bangsa
di dunia, terutama kebudayaan orang-orang Indian di Amerika Utara. Upaya ini kemudian
tidak berbeda dengan studi tentang difusi unsur-unsur kebudayaan, karena masalah sejarah
mencakup juga masalah asal-usul berbagai macam unsur tersebut. Dari sejarah kebudayaan
ini dapat diketahui hubungan dan saling pengaruh antarkebudayaan, atau proses penyebaran
kebudayaan di masa lampau, sehingga dapat disusun kemudian peta wilayah-wilayah
kebudayaan (culture areas), yakni daerah-daerah dengan berbagai kebudayaan yang banyak
kesamaannya satu sama lain.
Meskipun penelitian lapangan dengan metodologi yang lebih baik telah dilakukan oleh
para ahli antropologi Amerika Serikat, namun kritik tetap dilontarkan terhadap aliran mereka,
partikularisme historis. Dalam prakteknya sejarah suku-sukubangsa ini ternyata tidak selalu
dapat diungkap, karena tidak adanya data sejarah. Adalah Bronislaw Malinowski dan
A.R.Radcliffe-Brown yang menolak pendekatan sejarah dalam antropologi. Dua pakar
antropologi dari Inggris ini telah melakukan penelitian lapangan pada suku-sukubangsa yang
sederhana. Malinowski melakukannya di kalangan orang Trobriand, sedang Radcliffe-Brown
melakukannya di kalangan orang Andaman. Penelitian lapangan ini tampaknya telah
menyadarkan mereka akan keterbatasan pendekatan sejarah untuk mempelajari masyarakat-
masyarakat sederhana di luar Eropa, yang tidak mengenal tulisan dan juga belum pernah
ditulis oleh orang lain. Masyarakat-masyarakat seperti ini tidak memiliki sumber-sumber
sejarah. Sejarah yang mereka miliki bukanlah sejarah sebagaimana dipahami para ilmuwan
Barat. Sejarah mereka adalah mitos. Penelitian dengan paradigma partikularisme historis
pada masyarakat seperti itu tidak akan menghasilkan sejarah tetapi “sejarah-sejarahan“
(pseudo history) (Radcliffe-Brown, 1952). Jadi, diperlukan paradigma yang lain. Penelitian
lapangan intensif yang dilakukan oleh Malinowski dan Radcliffe-Brown tampaknya telah
membawa keduanya pada sebuah paradigma yang tidak historis, yakni fungsionalisme.
Apa yang terjadi pada paradigma evolusionisme terulang pada paradigma difusionisme.
Paradigma difusi diterima oleh sebagian ahli, tetapi juga ditolak oleh sebagian yang lain.
Mereka yang menolak kemudian mengembangkan paradigma baru, sedang yang menerima
memperbaiki paradigma yang lama. Muncullah kemudian sub-paradigma dalam aliran difusi.
Perubahan model tidak terjadi di sini, tetapi metode penelitian dan analisis disempurnakan.
Kebudayaan dalam difusionisme tetap diumpamakan seperti kolam yang dilempar batu di
bagian tengahnya, sehingga timbul gelombang-gelombang yang menyebar dari tengah ke
pinggir. Dari model ini muncul dua sub-paradigma difusi kebudayaan: (a) yang ekstrim, dan
(b) yang moderat. Aliran difusi kebudayaan yang ekstrim adalah yang muncul di Inggris, dan
yang moderat adalah yang muncul dan berkembang di Jerman dan Amerika Serikat.
Munculnya fungsionalisme-(struktural) sebagai paradigma yang membukakan pintu
pemahaman baru terhadap gejala sosial-budaya telah membuat peristiwa ini dikatakan
sebagai revolusi dalam antropologi (Jarvie, 1964). Asumsi dasarnya adalah bahwa segala
sesuatu itu memiliki fungsi. Fungsi inilah yang menjelaskan keberadaannya. Termasuk di
dalamnya keberadaan unsur kebudayaan (Montagu, 1974). Model yang digunakan adalah
model organisme (Radcliffe-Brown 1952) atau model mesin. Namun, berbeda dengan kaum
evolusionis -yang juga menggunakan model organisme-, kaum fungsionalis tidak berupaya
merekonstruksi tahap-tahap evolusi kebudayaan atau unsur-unsurnya. Mereka lebih tertarik
untuk mengetahui fungsi berbagai gejala sosial-budaya, seperti halnya fungsi suatu organ
dalam organisme. Dengan paradigma ini, perhatian peneliti tidak lagi ditujukan pada upaya
mengetahui asal-usul suatu pranata atau unsur budaya tertentu, tetapi pada fungsinya dalam
konteks kehidupan masyarakat atau kebudayaan tertentu. Suatu unsur kebudayaan yang
berasal dari masa lampau tidak lagi dilihat sebagai sisa-sisa budaya lama, tetapi sebagai
unsur budaya yang tetap aktual dalam masyarakat, karena mempunyai fungsi tertentu.
Revolusi yang terjadi karena lahirnya fungsionalisme-(struktural) berlangsung tidak hanya
pada tataran penjelasan (explanation), tetapi juga pada tataran metode penelitian dan
penulisan etnografi, dan keduanya dilakukan oleh Malinowski. Malinowskilah yang memulai
penelitian lapangan dalam waktu yang lama (lebih dari satu tahun), dan betul-betul hidup di
tengah masyarakat yang diteliti, serta mempelajari bahasa mereka (lihat Malinowski, 1961).
15
Makalah ceramah “Perkembangan Teori dan Metode Antropologi”, Departemen Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011
Metode penelitian seperti inilah yang kini dikenal sebagai metode observasi partisipasi
(participant observation) dan menjadi salah satu “trademark“ antropologi. Paradigma
fungsionalisme-(struktural) memang menuntut penelitian seperti itu. Tanpa penelitian
lapangan yang lama dan mendalam, seorang peneliti akan sulit mengetahui dan memahami
saling keterkaitan fungsional unsur-unsur budaya masyarakat yang diteliti.
Selanjutnya pemahaman fungsionalistis tentang masyarakat dan kebudayaan itu harus
dituangkan dalam bentuk etnografi. Di sini diperlukan siasat penulisan tertentu yang dapat
menampilkan kebudayaan sebagai suatu kesatuan dari unsur-unsur yang berhubungan satu
sama lain secara fungsional. Malinowskilah setahu saya yang memulai genre penulisan
etnografi semacam ini melalui bukunya The Argonauts of the Western Pacific (1961), yang
kemudian dikenal sebagai etnografi holistik. Tidak setiap ahli antropologi mampu menulis
etnografi seperti ini. Diperlukan penelitian lapangan yang lama dan intensif, serta kesadaran
yang kuat pada diri penulis mengenai citra kebudayaan yang dapat dihasilkan lewat penulisan
etnografi dengan siasat tertentu. Di sini seorang ahli antropologi memang perlu menjadi
seorang sastrawan.
Berkat kiprah Malinowski dan Radcliffe-Brown serta murid-murid mereka, paradigma
fungsional-(struktural) kemudian menjadi salah satu paradigma yang mendominasi ilmu-ilmu
sosial di Barat di tahun 1940-1960an. Berbagai teori fungsional-struktural mengenai gejala
sosial-budaya bermunculan di era tersebut, seperti misalnya teori tentang fungsi kebudayaan,
fungsi mitos, fungsi rituil, fungsi sistem kekerabatan, fungsi sistem politik, fungsi simbol dan
sebagainya (lihat, Malinowski, 1954; Radcliffe-Brown, 1952; Gluckman, 1973; Leach, 1954).
Paradigma fungsionalisme-(struktural) ini kemudian menyebar ke cabang-cabang ilmu sosial
yang lain, terutama sosiologi dan politik. Dalam sosiologi, fungsionalisme dengan corak yang
lebih teoritis menjadi lebih dominan berkat kehadiran Talcott Parsons, Robert Merton, Lewis
Coser dan sebagainya (Turner dan Maryanski, 1979) yang begitu tekun mengembangkan
paradigma tersebut
Seperti halnya dua paradigma sebelumnya, paradigma fungsionalisme-(struktural), juga
tidak terhindar dari kritik. Dalam pandangan sejumlah ilmuwan sosial, paradigma ini dianggap
tidak dapat digunakan untuk memahami dan menjelaskan fenomena perubahan masyarakat
dan kebudayaan karena selalu menekankan pada hubungan fungsi-nal antarunsur dan
keseimbangan sistem (Buckley, 1967). Dari perspektif politis paradigma tersebut dituduh
sebagai “ideologi ilmiah“ dari kaum yang mapan, yang anti-perubahan (Sztompka, 1974).
Berbagai upaya kemudian dilakukan oleh para penganutnya untuk menangkis kritik tersebut
(lihat Cancian, 1960; Coser, 1956; Fallding, 1963; Stzompka, 1974). Mereka berupaya
membangun paradigma fungsionalisme yang lebih dinamis, yang dapat memasukkan unsur
konflik serta perubahan dalam kajian fungsional-(struktural) (lihat Bailey, 1984; Berrin, 1973;
Cole, 1966; Gluckman, 1973; Leach, 1954). Namun, upaya-upaya ini tidak sepenuhnya
dianggap berhasil. Tidak-dapat-digunakannya paradigma fungsionalisme-(struktural) untuk
menganalisis perubahan sosial-budaya dipandang sebagai kelemahan serius oleh banyak
ilmuwan, dan ini telah membuat popularitas paradigma tersebut memudar, walaupun tidak
mati (lihat Eisenstadt, 1990).
Seiring dengan munculnya kritik terhadap paradigma fungsionalisme-(struktural), arus
kritik terhadap filsafat positivisme dalam ilmu sosial-budaya juga semakin menguat. Pengaruh
filsafat ini dipandang telah membuat paradigma fungsionalisme-(struktural) kurang dapat
mengungkap aspek maknawi dari kehidupan manusia. Sejumlah ahli antropologi kemudian
mempertanyakan ketepatan paradigma itu untuk memahami gejala sosial-budaya sebagai
gejala simbolik. Padahal, simbol atau lambang, dan pelambangan (simbolisasi) merupakan
basis dari perilaku manusia (White, 1949), karena manusia adalah animal symbolicum
(Cassirer, 1945).
Kelemahan paradigma fungsionalisme-(struktural) dan keinginan untuk melepaskan diri
dari pengaruh positivisme, telah mendorong sejumlah ahli antropologi membangun
paradigma-paradigma baru. Lahirlah kemudian tiga buah paradigma baru yang mendapat
inspirasi dari ilmu bahasa (linguistik) dan sastra, yakni strukturalisme yang dikembangkan
oleh Lévi-Strauss di Prancis, etnosains di Amerika Serikat dan antropologi interpretif yang
16
Makalah ceramah “Perkembangan Teori dan Metode Antropologi”, Departemen Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011
dikembangkan oleh Clifford Geertz, juga di Amerika Serikat. Bagi sebagian ahli antropologi,
strukturalisme, etnosains dan antropologi interpretif dirasa lebih cocok untuk mengkaji
fenomena kebudayaan, karena ketiganya mendapat inspirasi dari cabang ilmu sosial-budaya
yang dianggap paling maju ketika itu, yakni linguistik, serta dari filsafat simbolisme.
Kajian antropologi budaya kemudian dapat mengarah ke aspek maknawi gejala sosial-
budaya. Gejala-gejala ini kemudian tidak lagi hanya dipandang sebagai sebuah realitas
empiris yang perlu dijelaskan, tetapi juga sebagai wujud dari suatu kerangka berfikir kolektif
tertentu, yang perlu diketahui isi dan strukturnya (Tyler, 1969). Kebudayaan di sini
didefinisikan sebagai perangkat pengetahuan yang bersifat kolektif. Kebudayaan tidak lagi
dipandang seperti organisme atau sebuah mesin, tetapi seperti bahasa. Dalam pandangan
strukturalisme dan etnosains, gejala-gejala kebudayaan merupakan gejala-gejala yang seperti
bahasa (Lévi-Strauss, 1963; Tyler, 1969).
Pandangan ini menuntut para ahli antropologi untuk meninjau kembali berbagai metode
penelitian dan metode etnografi yang selama ini digunakan. Di sini mereka banyak mendapat
inspirasi dari ilmu bahasa. Seorang peneliti kebudayaan kemudian perlu merekam dengan
seksama berbagai istilah dalam bahasa lokal, dan kemudian menganalisisnya, karena istilah-
istilah ini merupakan perwujudan dari pola pikir kolektif suatu masyarakat atau komunitas.
Data kebudayaan semacam ini tentu memerlukan cara penyajian yang berbeda. Muncullah
kemudian sebuah cara menulis etnografi yang baru, yang dikenal sebagai “The New
Ethnography“.
Perspektif antropologi interpretif -yang mendapat inspirasi dari kajian sastra- berbeda lagi.
Di sini manusia didefinisikan sebagai mahluk yang dapat menciptakan dan memanfaatkan
simbol-simbol untuk berkomunikasi dan membangun kehidupan sosial. Kehidupan manusia
merupakan kehidupan yang berbasis pada simbol (White, 1949). Dalam sastra, kumpulan
simbol ini adalah teks. Oleh karena itu, kehidupan manusia dan gejala sosial-budaya di
dalamnya adalah juga “teks“. Sebagai teks, gejala-gejala ini tidak dijelaskan, tetapi “dibaca“,
ditafsir, diberi makna. Definisi simbol sebagai segala sesuatu yang dimaknai (White, 1949) di
sini memungkinkan para ahli antropologi mengarahkan perhatian mereka pada dimensi lain -
yang selama ini terabaikan- dari gejala sosial-budaya, yakni dimensi maknawinya (semantic
dimension).
Dalam antropologi masa kini kehadiran paradigma-paradigma baru ini tidak berarti matinya
paradigma-paradigma lama. Paradigma evolusi masih tetap bertahan, sebagaimana terlihat
pada beberapa kajian (Bellah, 1972; Durham, 1999; Graham dan Day-ton, 2002; Klaessen
dan Kloos, 1978; Shapere, 1989; Wolf, 1970). Paradigma difusionisme masih populer berkat
adanya fenomena penyebaran teknologi baru (lihat Brown, 1981), fenomena globalisasi (lihat
Lewellen, 2002; Tsing, 2005; Wolf, 1996) serta munculnya paradigma world-system
(Wallerstein, 1974; 1980). Paradigma fungsionalisme masih digunakan (Ahimsa-Putra, 2007a;
Eisenstadt, 1999) bahkan telah melahirkan sub-paradigma baru dalam antropologi ekologi,
yakni neo-functionalism (Ahimsa-Putra, 1994).
Jika digambarkan dengan menggunakan skema yang lebih historis, serta mengikuti
dikhotomi nomotetis dan idiografis, maka akan terlihat diagram sebagai berikut.
17
Makalah ceramah “Perkembangan Teori dan Metode Antropologi”, Departemen Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011
Skema 3.
Tentu ada yang berkeberatan dengan pemetaan dan klasifikasi paradigma di atas, karena
saya belum memasukkan berbagai macam teori atau aliran yang sudah sangat sering
disebut-sebut, seperti misalnya feminisme, post-struktural, post-kolonial, atau post-post yang
lain. Dalam pandangan saya, aliran-aliran ini -yang sepintas lalu terlihat seperti paradigma-
saya tempatkan sebagai bagian dari paradigma post-modernisme, sehingga paradigma-
paradigma ini merupakan sub-paradigma. Feminisme sudah saya masukkan dalam skema di
atas, walaupun masih dalam kurung. Artinya, feminisme dalam antropologi belum terlihat
sebagai sebuah sub-paradigma yang cukup menonjol, walaupun dalam disiplin lain mungkin
sangat kuat, seperti misalnya dalam kajian sastra. Post-kolonial belum saya masukkan
karena dalam antropologi saya belum melihatnya sebagai sebuah sub-paradigma yang sudah
18
Makalah ceramah “Perkembangan Teori dan Metode Antropologi”, Departemen Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011
cukup berpengaruh dalam antropologi. Sub-paradigma dari post-modernisme ini terlihat kuat
terutama dalam disiplin sejarah dan kajian sastra. Post-structuralisme tidak saya sebut-sebut
juga karena aliran ini –da-lam pandangan saya tidak berbeda dengan post-modernisme-,
sementara istilah post-modernisme menurut saya lebih sesuai.
Selain pemetaan berdasarkan paradigma di atas, dalam wacana teoritis antropologi kini
juga banyak disinggung tentang epistemologi. Hal ini tampaknya dipicu oleh pernyataan
Lévi-Strauss di tahun 1960an mengenai paradigma strukturalisme yang dikembangkannya
dalam antropologi. Dia katakan antara lain bahwa strukturalisme yang dikembangkannya
bukan hanya merupakan sebuah teori, tetapi juga sebuah epistemologi, atau sebuah filsafat
ilmu yang baru dalam antropologi. Pernyataan ini menurut saya telah menyadarkan banyak
ahli antropologi bahwa pengembangan ilmu tidak lagi hanya persoalan pengembangan teori,
sebagaimana selama itu dipahami, tetapi -lebih penting lagi- merupakan pengembangan
epistemologi.
III. EPISTEMOLOGI
Apa yang dimaksud dengan epistemologi? Secara sederhana epistemologi dapat
didefinisikan sebagai teori tentang pengetahuan (theory of knowledge). Dalam epistemologi
dibicarakan antara lain asal-usul pengetahuan, sumber pengetahuan, kriteria pengetahuan,
dan sebagainya, serta perbedaan-perbedaannya dengan ilmu pengetahuan (science).
Menurut asal katanya (etimologi) epistemologi (epistemology) berasal dari kata episteme,
“pengetahuan” dan logos, ilmu pengetahuan, sehingga secara harafiah ‘epistemologi’ dapat
diartikan sebagai ‘ilmu tentang pengetahuan’ atau ‘teori tentang pengetahuan’. Oleh karena
itu, epistemologi juga diartikan sebagai “the philosophical examination of human knowledge”
(Encylopedia Americana vol.10, 1973), atau “telaah filosofis atas pengetahuan manusia”, atau
“that branch of philosophy which studies the source, limits, methods, and validity of
knowledge” (The World University Encyclopedia, vol.4, 1965), yaitu “cabang filsafat yang
mempelajari sumber, batas-batas, metode dan validitas pengetahuan”. Dengan demikian
telaah epistemologi pada dasarnya merupakan telaah tentang pengetahuan yang lebih
filosofis. Definisi seperti itu masih belum sangat jelas, kurang rinci.
Lebih khusus lagi H.P.Rickman (1967) mengatakan bahwa epistemologi pada dasarnya
membicarakan tentang: (a) “what principles and presuppositions are involved in knowing
something” (prinsip-prinsip dan presuposisi-presuposisi seperti apa yang terlibat ketika orang
mengetahui sesuatu); (b) “how these may very according to the subject of inquiry” (apakah
dan bagaimanakah berbagai prinsip dan presuposisi tersebut berubah ketika subyek
telaahnya juga berubah) serta apa implikasinya terhadap metode-metode yang digunakan; (c)
konsep-konsep umum yang mengacu pada gejala yang dipelajari atau pada gejala-gejala
yang ada dalam kehidupan manusia; (d) bagaimana mengaitkan konsep-konsep umum yang
penting ini satu sama lain dengan cara yang sistematis.
Oleh karena epistemologi bersifat filosofis, maka dalam kerangka paradigma di atas
bagian ini mencakup antara lain unsur-unsur yang biasanya bersifat implisit, yang terdiri dari
asumsi-asumsi dasar, etos (nilai-nilai) dan model. Asumsi-asumsi dasar merupakan unsur-
unsur yang oleh Rickman disebut prinsip-prinsip dan presupposisi, yang bervariasi
berdasarkan atas masalah yang dipelajari. Dalam antropologi, epistemologi ini -yang
selanjutnya kita samakan dengan “filsafat ilmu antropologi”- ada beberapa macam karena
filsafat ilmu sosial-budaya telah berkembang pesat semenjak Comte mengemukakan
gagasannya tentang filsafat positivisme sebagai basis ilmu pengetahuan. Oleh karena itu,
peta epistemologi dalam antropologi tidak sama dengan peta paradigma. Epistemologi di sini
merupakan bagian dari sebuah paradigma, tetapi bagian yang relatif lebih penting daripada
unsur-unsur yang lain.
Elemen asumsi dasar dalam paradigma perlu diketahui lebih jauh unsur-unsur
pembentuknya. Dari telaah saya atas berbagai asumsi dasar yang ada dalam berbagai
paradigma antropologi saya menemukan paling tidak enam butir asumsi dasar yang menjadi
landasan filosofis dari paradigma-paradigma tersebut. Asumsi-asumsi tersebut berkenaan
dengan: (a) basis pengetahuan; (b) manusia; (c) gejala yang diteliti atau obyek materialnya;
19
Makalah ceramah “Perkembangan Teori dan Metode Antropologi”, Departemen Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011
(d) ilmu pengetahuan; (e) ilmu sosial/budaya; dan (f) disiplin atau cabang ilmu yang dipelajari,
yang dapat digambarkan dengan skema seperti berikut.
|- indera
|- Asumsi dasar tentang ------- |- kemampuan strukturasi
| Basis Pengetahuan | dan simbolisasi
| |- bahasa
|
| |- asal-mula
|- Asumsi dasar tentang ------- |- sebab-sebab
| Manusia |- hakekat
|
| |- asal - mula
|- Asumsi dasar tentang ------ |- sebab-sebab
| Gejala Yang Diteliti |- hakekat
Epistemologi ------ |
| |- tujuan
|- Asumsi dasar tentang ------- |- hakekat
| Ilmu Pengetahuan |- macam
|
| |- tujuan
|- Asumsi dasar tentang ------ |- hakekat
| Ilmu Sosial/Budaya |- macam
|
| |- tujuan
|- Asumsi dasar tentang ------ |- hakekat
Disiplin Antropologi |- macam
Dengan menggunakan enam butir asumsi dasar tersebut saya mencoba untuk
menemukan jenis-jenis epistemologi yang telah muncul dalam antropologi. Secara garis
besar epistemologi dalam ilmu antropologi terdapat tujuh macam epistemologi yakni: (1)
Positivisme; (2) Historisisme; (3) Fenomenologi; (4) Hermeneutik; (5) Strukturalisme
(Semiotika); (6) Materialisme Historis; (7) Post-Modernisme. Epistemologi ini kemudian
menjadi basis filosofis paradigma-paradigma antropologi yang telah berhasil kita identifikasi
sebelumnya.
Jenis paradigma dan epistemologi yang mendasarinya dapat kita susun menjadi tabel
seperti berikut (lihat Tabel 1). Tentu saja pemetaan ini juga masih dapat diperdebatkan
karena -sebagaimana kita ketahui- tidak setiap paradigma selalu cukup jelas dan eksplisit
epistemologinya. Misalnya saja paradigma etnosains. Secara eksplisit, paradigma ini jarang
sekali dihubungkan dengan filsafat fenomenologi karena secara historis memang etnosains
tidak muncul dari fenomenologi. Akan tetapi, jika kita perhatikan berbagai asumsi dasar dalam
etnosains, maka akan terlihat bahwa asumsi-asumsi tersebut tidak berbeda dengan
pandangan-pandangan filsafat fenomenologi yang masuk dalam ilmu sosial. Oleh karena itu,
saya mengatakan di sini bahwa fenomenologi merupakan basis filosofis dari paradigma
etnosains.
20
Makalah ceramah “Perkembangan Teori dan Metode Antropologi”, Departemen Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011
Tabel 1. Epistemologi dan Paradigma dalam Antropologi (Sosial-Budaya)
Epistemologi Paradigma
Selain itu, paradigma tertentu juga masih dapat diperdebatkan basis epistemologinya,
seperti misalnya paradigma diffusi. Secara teoritis, kajian-kajian diffusi kebudayaan jelas
memperlihatkan corak atau ciri sejarahnya, sehingga paradigma diffusionisme dapat
dikatakan berbasis pada epsitemologi historisisme. Akan tetapi, hasil-hasil kajian diffusi juga
sangat banyak yang ditujukan untuk merumuskan hukum-hukum penyebaran unsur-unsur
kebudayaan. Dalam kajian diffusi juga ada upaya untuk sampai pada generalisasi gejala
penyebaran kebudayaan, sehingga basis epsitemologis paradigma ini bisa saja positivisme,
bukan historisisme.
Perdebatan seperti itu memang sulit dihindari, namun hal itu tidak perlu membuat upaya
untuk melakukan pemetaan perkembangan paradigma antropologi lantas harus berhenti.
Perdebatan tersebut juga tidak harus diartikan bahwa pemetaan di atas salah, karena
bagaimanapun juga hasil pemetaan di atas tidak dilakukan tanpa alasan tertentu yang dapat
diterima secara ilmiah. Misalnya saja, bagaimanapun juga paradigma etnosains lebih sulit
dikaitkan dengan epistemologi yang lain, dibanding dengan epistemologi fenomenologi.
Paradigma diffusi lebih mudah dihubungkan dengan epistemologi historisisme daripada
dengan positivisme.
Adanya butir-butir yang masih diperdebatkan pada dasarnya merupakan penanda bahwa
pemetaan aliran pemikiran atau paradigma dan basis filsafatnya tidak selalu bisa betul-betul
rapi dan jelas batasnya, sebagaimana halnya juga sebuah peta sebuah wilayah yang tidak
selalu dapat merepresentasikan atau menampilkan wilayah yang dipetakan secara rinci atau
persis. Meskipun demikian, peta tersebut tetap dapat dimanfaatkan untuk membimbing
pelancong, pejalan, wisatawan atau yang lain untuk mencapai tempat yang diinginkan. Begitu
pula halnya dengan peta paradigma. Dengan peta ini para peneliti sosial-budaya akan lebih
menyadari posisi penelitian dan paradigma yang digunakannya dalam jagad pemikiran ilmu
sosial-budaya.
21
Makalah ceramah “Perkembangan Teori dan Metode Antropologi”, Departemen Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011
Epistemologi merupakan unsur-unsur yang paling abstrak dari sebuah paradigma, akan
tetapi unsur-unsur ini sangat menentukan bagaimana seseorang akan melakukan penelitian
ilmiah. Di lain pihak sebuah paradigma juga memerlukan unsur yang sangat kongkrit sebagai
perwujudannya, untuk menunjukkan bahwa paradigma tersebut ada (eksis). Paradigma
memerlukan sebuah representasi untuk menunjukkan keberadaannya. Representasi inilah
yang biasa disebut sebagai “etnografi”.
IV. ETNOGRAFI
Etnografi berasal dari kata ethnos, yang artinya adalah “sukubangsa” dan graphein, yang
berarti “mengukir, menulis, menggambar”. Jadi etnografi adalah tulisan, deskripsi atau
penggambaran mengenai suatu sukubangsa tertentu. Suatu sukubangsa tentu terdiri dari
manusia-manusia: laki-laki, perempuan, anak-anak, remaja, dewasa dan tua Suatu
sukubangsa juga tentu memiliki adat-istiadat atau budaya tertentu. Oleh karena itu, suatu
sukubangsa memiliki paling tidak dimensi fisik dan budaya. Oleh karena itu pula, di masa lalu
-ketika orang belum mengenal fotografi-, sebuah etnografi tentu memuat di dalamnya
deskripsi ciri-ciri fisik suatu sukubangsa dan deskripsi adat-istiadat, budaya sukubangsa
tersebut.
Ciri-ciri fisik tersebut meliputi bentuk hidung, bentuk mata, bentuk bibir, bentuk dan warna
rambut, bentuk pipi, bentuk rahang, warna kulit, tinggi badan, lebar badan, dan sebagainya.
Di masa lalu deskripsi semacam ini biasanya paling awal diberikan, karena penulis
(etnografer) ciri-ciri fisik adalah ciri-ciri yang paling awal dilihat ketika orang bertemu orang
lain, dan akan paling cepat menarik perhatian, bilamana ciri-ciri fisik ini berbeda sekali dengan
ciri-ciri fisik si etnografer itu sendiri. Kini setelah orang mengenal fotografi, deskripsi fisik
dalam etnografi sudah berkurang, karena paparan tentang ciri-ciri fisik tersebut lebih mudah
dan dapat lebih nyata ditampilkan melalui foto-foto. Foto wajah wanita, pria, anak-anak, atau
remaja dalam suatu sukubangsa kini lebih banyak terlihat dalam buku-buku etnografi.
Berbeda halnya dengan adat-istiadat atau kebudayaan, yang mempunyai tiga wujud atau
aspek, yakni: aspek material atau fisik (material aspect), aspek perilaku (behavioral aspect),
dan aspek ide atau gagasan (ideational aspect). Untuk menyajikan kebudayaan dalam aspek
materialnya, etnografer dapat menggunakan foto-foto, seperti misalnya foto rumah, peralatan
transportasi, peralatan pertanian, peralatan berburu, pakaian, dan sebagainya. Cara ini lebih
praktis daripada kalau etnografer memapar-kan berbagai benda atau peralatan tersebut
dengan menggunakan kata-kata. Namun, cara ini kurang dapat digunakan untuk menyajikan
kebudayaan pada aspek perilaku-nya, karena fotonya akan menjadi sangat banyak.
Untuk menampilkan aspek perilaku dari kebudayaan para etnografer masih banyak
memanfaatkan bahasa. Berbagai kegiatan sukubangsa yang diteliti, seperti misalnya kegiatan
bertani, mencari ikan, berburu, mencari hasil hutan, menggembala, pernikahan, pengobatan
tradisional, gotong-royong, kesenian dan sebagainya, hanya dapat ditampilkan dengan baik
melalui kata-kata. Menampilkan berbagai kegiatan dalam sebuah upacara keagamaan hanya
dapat dilakukan dengan baik kalau si etnografer meng-gunakan kata-kata, bukan gambar.
Penyajian sebuah upacara keagamaan lewat foto-foto bukan hanya kurang praktis, tetapi juga
kurang dapat menampilkan dinamika atau informasi lain yang tidak tampak, tetapi terkandung
dalam upacara tersebut.
Sebagai tulisan, etnografi kini biasa diartikan sebagai tulisan mengenai suatu suku-bangsa
yang didasarkan pada suatu penelitian atau pengalaman penulis (etnografer) dalam
perjumpaan, berhubungan, berinteraksi dengan suatu komunitas, masyarakat atau
sukubangsa tertentu. Tulisan ini bisa berupa berita di sebuah suratkabar mengenai upacara
keagamaan yang diselenggarakan oleh sebuah sukubangsa di salah satu pula kecil dan
terpencil di bagian selatan kepulauan Maluku; bisa pula sebuah artikel pendek di situ tentang
adat pernikahan orang Betawi di kota Jakarta; bisa pula sebuah artikel tentang cara
penyembuhan orang kesurupan pada sebuah komunitas di desa Jawa, atau sebuah artikel
mengenai karapan sapi di Madura, dengan berbagai adat-kebiasaannya, dan masih banyak
lagi.
22
Makalah ceramah “Perkembangan Teori dan Metode Antropologi”, Departemen Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011
Etnografi juga bisa berupa sebuah artikel ilmiah di sebuah jurnal ilmu sosial mengenai
sistem ekonomi sebuah komunitas, perubahan-perubahan yang terjadi di situ, serta berbagai
faktor penyebabnya; mengenai cara-cara suatu masyarakat menyelesaikan konflik komunal
dengan memanfaatkan pranata-pranata tradisional yang mereka miliki; mengenai pola
pengasuhan anak-anak dalam suatu masyarakat dan pola-pola kepribadian yang terbentuk
karena pola pengasuhan seperti itu; mengenai pola-pola pengobatan tradisional yang masih
dilakukan oleh suatu masyarakat, dan hubungannya dengan tingkat kesehatan mereka, dan
sebagainya. Berbeda dengan jenis tulisan yang pertama, tulisan-tulisan seperti ini biasanya
merupakan hasil penelitian yang cukup lama, yang dikerjakan dengan teliti dan tekun,
sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara “ilmiah”. Jurnal-jurnal ilmiah ilmu
sosial dan budaya banyak sekali berisi tulisan-tulisan seperti ini.
Kalau etnografi berupa artikel mendeskripsikan salah satu item kebudayaan (aktivitas rituil,
pengobatan, cocok-tanam, dsb.) dengan singkat, dan etnografi berupa artikel ilmiah
mendeskripsikan salah satu unsur kebudayaan (sistem pertanian, sistem kekerabatan, sistem
kepercayaan, dsb.) dengan cukup mendalam, maka etnografi berupa buku (monografi)
biasanya akan mendeskripsikan sejumlah unsur kebudayaan yang hubungannya erat satu
sama lain, misalnya sistem kekerabatan dengan sistem politik, dengan sistem kepercayaan,
dengan mitos, dengan sistem matapencaharian, dan sebagainya. Etnografi yang terakhir
inilah yang biasa disebut sebagai etnografi yang holistik (utuh). Etnografi dari jenis kedua dan
ketiga inilah yang kini merupakan landasan utama dari sebuah disiplin yang bernama
Antropologi, khususnya Antropologi Budaya atau Etnologi.
Dari penelitian selama beberapa bulan pada suatu masyarakat ini peneliti kemudian dapat
menulis beberapa etnografi, tergantung pada kreativitas dan produktivitas masing-masing.
Dari satu kali penelitian lapangan, seorang peneliti yang kreatif dan produktif dapat menulis
mengenai sistem matapencaharian sukubangsa yang diteliti, sistem kepercayaan yang
mereka anut, rituil tertentu yang dipandang penting dalam masyarakat, sistem kekerabatan
mereka, mitos-mitos yang hidup di kalangan mereka, bahkan juga kesenian atau praktek-
praktek pengobatan yang mereka lakukan. Pendeknya peneliti dapat menulis etnografi
mengenai unsur-unsur kebudayaan yang me-narik perhatiannya selama di lapangan.
Penelitian lapangan yang tidak begitu lama, membuat peneliti agak sulit untuk mempelajari
bahasa lokal serta mengenal adat-istiadat atau kebudayaan masyarakat yang diteliti dengan
mendalam. Peneliti sulit mengetahui saling keterkaitan antara unsur budaya satu dengan
yang lain. Oleh karena itu, etnografi yang ditulis juga umumnya bersifat sepotong-sepotong.
Misalnya, peneliti menulis tentang sistem kekerabatan terlebih dulu, kemudian diterbitkan.
Kemudian menulis lagi tentang sistem ekonomi atau matapencaharian, kemudian diterbitkan.
Menulis lagi tentang sistem politik, dan diterbitkan lagi. Demikian seterusnya.
Kesan yang kemudian muncul pada mereka yang membaca etnografi semacam itu adalah
bahwa unsur-unsur budaya tersebut tidak berhubungan satu sama lain. Hal semacam ini
memang tidak banyak berpengaruh pada kerja antropologi sebagai sebuah disiplin, karena
antropologi di masa itu dimaksudkan sebagai cabang ilmu yang bertujuan untuk merumuskan
generalisasi-generalisasi atau “hukum-hukum” tentang gejala kebudayaan, yang dihasilkan
dari studi perbandingan kebudayaan, sebagaimana yang dirintis dan dikerjakan oleh
E.B.Tylor. Etnografi seperti itulah yang ada dalam antropologi di masa itu, yang juga masih
bertahan sampai sekarang. Meskipun demikian, perkembangan baru juga telah terjadi dalam
penelitian dan etnografi di awal abad 20.
Kini, setelah penelitian-penelitian antropologi berkembang dengan pesat, etnografi sebagai
bagian dari paradigma yang digunakan dalam penelitian tersebut juga mengalami
perkembangan yang pesat pula. Jika etnografi merupakan salah satu unsur dalam
paradigma, maka etnografi-etnografi yang ada dalam antropologi tentunya dapat
diklasifikasikan berdasarkan atas dasar paradigmanya. Jika demikian tentunya kita akan
dapat menemukan etnografi evolusionistis -yang merupakan hasil kajian dengan
menggunakan paradigma evolusi kebudayaan-; etnografi diffusionistis -yang merupakan hasil
kajian dengan menggunakan paradigma diffusi kebudayaan-, etnografi fungsionalistis -yang
merupakan hasil kajian dengan menggunakan paradigma fungsionalisme-, etnografi struktural
23
Makalah ceramah “Perkembangan Teori dan Metode Antropologi”, Departemen Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011
-yang merupakan hasil kajian dengan menggunakan paradigma strukturalisme, dan
sebagainya.
Pertanyaannya kemudian adalah: adakah contoh-contoh etnografi seperti itu? Tentu saja
ada, sebab kalau tidak ada maka kehadiran sebuah paradigma tidak akan pernah diketahui.
Keberadaan paradigma hanya dapat diketahui dari etnografi yang telah dihasilkan oleh
penelitian dengan menggunakan paradigma tersebut. Akan tetapi, sayangnya etnografi-
etnografi tersebut tidak semuanya dapat diperoleh di Indonesia. Sebagian besar etnografi
tersebut ditulis dalam bahasa Inggris. Meskipun demikian, beberapa etnografi yang ditulis
ahli-ahli antropologi Indonesia dapat kita jadikan contoh dari etnografi dengan corak tertentu.
Buku-buku etnografi yang diedit oleh Koentjaraningrat, seperti misalnya Manusia dan
Kebudayaan di Indonesia, Masyarakat Desa di Indonesia Masa Kini, Penduduk Irian Barat,
dan buku etnografi dari Koentjaraningrat sendiri, Kebudayaan Jawa, serta buku Sistem Politik
Tradisional di Irian Jaya dari Johszua Mansoben merupakan buku-buku etnografi dengan
paradigma studi perbandingan kebudayaan (cross-cultural comparison). Pada buku dari
Koentjaraningrat corak ini terlihat dari cara para penulis di situ menyusun etnografinya, yakni
dengan mengelompokkan data etnografis yang diperoleh ke dalam judul-judul unsur
kebudayaan, seperti “sistem kekerabatan”, “agama dan religi”, “matapencaharian”, “bahasa”,
dan sebagainya. Pada buku Mansoben klasifikasi yang terlihat adalah klasifikasi unsur-unsur
sistem politik. Dengan etnografi yang sama coraknya mereka yang ingin melakukan studi
perbandingan kebudayaan akan sangat terbantu oleh buku-buku tersebut.
Buku Javanese Trah dari Sjafri Sairin, buku Hubungan Patron-Klien di Sulawesi Selatan
(edisi baru dari buku Minawang) dari Ahimsa-Putra, dan buku Konflik dan Integrasi dari
Achmad Fediyani Saifuddin merupakan contoh etnografi dengan corak fungsional. Dalam hal
ini Javanese Trah terlihat lebih bercorak fungsionalisme dari Malinowski, sedang buku
Hubungan Patron-Klien dan Konflik dan Integrasi lebih memperlihatkan corak fungsionalisme-
struktural dari Radcliffe-Brown dan Durkheim.
Buku Orang Jawa dan Gunung Merapi dari Lucas Triyoga Sasongko, artikel Ahimsa-Putra
“Air dan Sungai Ciliwung: Sebuah Kajian Etnoekologi”, buku Lahajir Etnoekologi Orang dayak
Tunjung Linggang adalah beberapa contoh dari etnografi dengan paradigma etnosains. Di sini
disajikan sistem kategorisasi peneliti mengenai gejala-gejala yang ada di lingkungan mereka.
Pada buku Sasongko kategorisasi tersebut adalah mengenai mahluk-mahluk halus di
kawasan Merapi, pada tulisan Ahimsa-Putra kategorisasi tersebut adalah mengenai air dan
sungai Ciliwung, pada buku Lahajir kategorisasi tersebut mengenai hutan.
Buku Ahimsa-Putra Strukturalisme Levi-Strauss, Mitos dan Karya Sastra, dan buku
Laksono Tradisi dan Struktur pada Masyarakat Jawa, sangat jelas memperlihatkan paradigma
yang mendasarinya: strukturalisme. Perbedaannya adalah etnografi Jawa dari Laksono lebih
diwarnai oleh strukturalisme Belanda, sedang buku Ahimsa-Putra jelas dipengaruhi oleh
strukturalisme Lévi-Strauss.
Menguatnya pendidikan antropologi strata 2 dan 3 semenjak tahun 1990an telah
memengaruhi kuantitas dan kualitas etnografi di Indonesia. Etnografi dengan paradigma yang
lebih bervariasi telah dihasilkan oleh para master dan doktor antropologi. Sayangnya,
sebagian besar etnografi mereka tetap tinggal sebagai tesis master dan disertasi doktor.
Tidak banyak hasil kajian mereka yang kemudian terbit dalam bentuk sebuah buku atau
artikel di jurnal yang dapat diakses oleh lebih banyak orang.
V. PENUTUP
Dalam makalah ini saya mencoba menunjukkan keterkaitan antara paradigma,
epistemologi dan etnografi. Berdasarkan atas pandangan-pandangan saya mengenai
paradigma, epistemologi dan etnografi, saya katakan di sini bahwa dalam antropologi telah
berkembang sejumlah paradigma. Paradigma-paradigma ini mempunyai epistemologi, yang
terdiri dari unsur-unsur yang relatif lebih penting daripada unsur-unsur yang lain dalam
sebuah paradigma, seperti misalnya unsur asumsi dasar, model, dan konsep. Etnografi
sebagai representasi merupakan unsur yang sangat penting juga karena merupakan wujud
24
Makalah ceramah “Perkembangan Teori dan Metode Antropologi”, Departemen Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011
dari keberadaan (eksistensi) sebuah paradigma. Tanpa etnografi, keberadaan sebuah
paradigma tidak akan pernah diketahui. Oleh karena itu, sebuah etnografi selalu
memperlihatkan corak paradigmanya. Oleh karena itu pula kita dapat mengidentifikasi dan
membuat klasifikasi etnografi berdasarkan atas paradigmanya.
Di Indonesia kita dapat menemukan sejumlah etnografi karya ahli antropologi Indonesia
dengan corak paradigma yang berbeda. Ada etnografi komparatif, etnografi fungsional,
etnografi etnosaintifik, etnografi struktural, dan sebagainya. Dengan memahami paradigma
dan corak etnografinya ini, akan lebih mudah kini bagi kita untuk mengembangkan antropologi
di Indonesia, karena kita dapat menentukan lebih dulu jenis paradigma yang ingin kita
kembangkan, unsur paradigma yang akan kita kembangkan, dan kemudian cara-cara untuk
mengembangkannya secara effektif dan effisien.
DAFTAR PUSTAKA
Ahimsa-Putra, H.S.
2005 Antropologi Indonesia oleh Ahli Antropologi Indonesia. Laporan Penelitian.
2006a Strukturalisme Lévi-Strauss, Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Kepel Press.
Edisi Baru.
2006b “Antropologi Sosial-Budaya di Indonesia: Tingkat Perkembangan dengan
Perspektif Epistemologi” dalam Ilmu Sosial dan Tantangan Zaman, Taufik
Abdullah (ed.). Jakarta: Rajagrafindo Persada.
2007 Paradigma, Epistemologi dan Metode Ilmu Sosial Budaya: Sebuah Pemetaan.
Makalah Pelatihan.
2008 Paradigma dan Revolusi Ilmu dalam Antropologi Budaya: Sketsa Beberapa
Episode. Pidato Pengukuhan Guru Besar Antropologi Budaya. Yogyakarta.
Universitas Gadjah Mada.
2009 Paradigma Ilmu Sosial-Budaya: Sebuah Pandangan. Makalah disampaikan dalam
Kuliah Umum ”Paradigma Penelitian Ilmu-ilmu Humaniora, diselenggarakan oleh
Program Studi Linguistik, Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan
Indonesia, di Bandung, 7 Desember.
Baal, J.v.
1987 Sejarah Teori Antropologi Budaya I. Jakarta: Gramedia.
Bidney, D.
1953 Theoretical Anthropology. New York: Columbia University Press.
Bottomore, T.
1975. “Competing Paradigms in Macrosociology”. Annual Review of Sociology 1: 191-
202.
Brukman, J.
1964 “On the New Ethnography” dalam Concepts and Assumptions in Contemporary
Anthropology, S.A. Tyler (ed.). Southern Anthropological Society, Proceedings
no.3. Athens.
Buckley, W.
1967 Sociology and Modern Systems Theory. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-
Hall.
Carneiro, R.L.
1973 “Four Faces of Evolution” dalam Handbook of Social and Cultural Anthropology,
J.J.onigmann (ed.). New York: MacGraw Hill.
Cassirer, E.
1945 An Essay on Man. Yale: Yale University Press.
25
Makalah ceramah “Perkembangan Teori dan Metode Antropologi”, Departemen Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011
Cuff, E.C. dan G.C.F.Payne (eds.).
1979 Perspectives in Sociology. London: George Allen & Unwin.
Eisenstadt, S.N.
1990 “Functional Analysis in Anthropology and Sociology: An Interpretative Essay”.
Annual Review of Anthropology 19: 243-260.
Geertz, C.
1963 The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books.
Goodenough, W.H.
1964 “Cultural Anthropology and Linguistics” dalam Language in Culture and Society,
D.Hymes (ed.). New York Harper and Row.
Graham, M.H. dan P.K.Dayton.
2002 “On the Evolution of Ecological Ideas: Paradigms and Scientific Progress”.
Ecology 83 (6): 1481-1489.
Harris, M.
1968 The Rise of Anthropological Theory. New York: Harper and Row.
Inkeles, A.
1964 What is Sociology?. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall.
Jarvie, I.C.
1964 The Revolution in Anthropology. Chicago: Henry Regnery.
Kleden, I.
1984 “Kritik Teori Sebagai Masalah Ilmu Sosial“ dalam Krisis Ilmu-Ilmu Sosial dalam
Pembangunan di Dunia Ketiga. Yogyakarta: PLP2M.
Koentjaraningrat
1980 Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI Press.
1981 Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta: UI Press.
Kroeber, A.L.
1946 “History and Evolution”. Southwestern Journal of Anthropology 2 (1): 1-15.
Kucklick, H.
1972 “A ‘scientific revolution’: sociological theory in the United States”. Sociological
Inquiry 43: 2-22.
Kuhn, T.
1977 The Structure of Scientific Revolutions. Chicago: The University of Chicago Press.
Second Edition, Enlarged.
Kvasz, L.
1999 “On Classification of Scientific Revolutions”. Journal for General Philosophy of
Science 30: 201-232.
Lakatos, I. dan A.Musgrave (eds.).
1970 Criticism and the Growth of Knowledge. Cambridge: Cambridge University Press.
Lévi-Strauss, C.
1963 Structural Anthropology. New York: Basic.
Malinowski, B.
1961 The Argonauts of The Western Pacific. New York: E.P.Dutton.
[1922]
Malo, M.
1989 Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial di Indonesia Sampai Dekade ‘80an. Jakarta:
Rajawali Press.
26
Makalah ceramah “Perkembangan Teori dan Metode Antropologi”, Departemen Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011
Manning, C.
1984 “Peran Ilmu-ilmu Sosial dan Teori Ekonomi Neo-Klasik” dalam Krisis Ilmu-Ilmu
Sosial dalam Pembangunan di Dunia Ketiga. Yogyakarta: PLP2M.
Manning, P.K. dan H.Fabrega.
1976 “Fieldwork and the New Ethnography”. Man (N.S.) 11: 39-52.
Marcus, G.E. dan M.J.Fischer.
1986 Anthropology as Cultural Critique: An Experimental Moment in the Human
Sciences. Chicago: The University of Chicago Press.
Masterman, M.
1970 “The Nature of a Paradigm” dalam Criticism and the Growth of Knowledge, I.
Lakatos dan A.Musgrave (eds.). Cambridge: Cambridge University Press.
Montagu, A.
1974 “Malinowski on Method and Functionalism” dalam Frontiers of Anthropology,
A.Montagu (ed.). New York: G.P.Putnam’s Sons.
Morgan, L.H.
1877 Ancient Society. New York: Holt.
Newton-Smith, W.H.
1981 The Rationality of Science. London: Routledge and Kegan Paul.
Penyunting.
1984 “Kata Pengantar” dalam Krisis Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pembangunan di Dunia
Ketiga. Yogyakarta: PLP2M.
Percival, W.K.
1976 “The Applicability of Kuhn’s Paradigms to the History of Linguistics”. Language 52
(2): 285-294.
Perrin, R.G.
1973 “The Functionalist Theory of Change Revisited”. The Pacific Sociological Review
16 (1): 47-60.
Radcliffe-Brown, A.R.
1952 Structure and Function in Primitive Society. New York: The Free Press.
Rais, M.A.
1984 “Krisis Ilmu-ilmu Sosial: Suatu Pengantar” dalam Krisis Ilmu-Ilmu Sosial dalam
Pembangunan di Dunia Ketiga.Yogyakarta: PLP2M.
Redaksi Prisma
1994 “Ilmu-Ilmu Sosial di Indonesia Mandheg? Wawancara dengan Selo Soemardjan”.
Prisma 1 Thn.XXIII: 37-62.
Restivo, S.
1983 “The Myth of Kuhnian Revolution”. Sociological Theory 1: 293-305.
Scheffler, I.
1972 “Vision and Revolution: A Postcript on Kuhn”. Philosophy of Science 39 (3): 366-
374.
Shapere, D.
1964 “The Structure of Scientific Revolutions”. The Philosophical Review 73 (3): 383-
394.
1989 “Evolution and Continuity in Scientific Change”. Philosophy of Science 56 (3):
419-437.
27
Makalah ceramah “Perkembangan Teori dan Metode Antropologi”, Departemen Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011
Soedjatmoko
1984 “Etik dalam Perumusan Strategi Penelitian Ilmu-ilmu Sosial“ dalam Krisis Ilmu-
Ilmu Sosial dalam Pembangunan di Dunia Ketiga. Yogyakarta: PLP2M
Steward, J.H.
1937 “Ecological Aspects of Southwestern Society”. Anthropos XXXII: 87-104.
1955 Theory of Culture Change. Urbana, Ill.: University of Illinois Press.
Sztompka, P.
1974 System and Function: Toward a Theory of Society. New York: Academic Press.
Tjokrowinoto, M.
1984 “Krisis Kepercayaan Terhadap Peran llmu-ilmu Sosial di Indonesia” dalam Krisis
Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pembangunan di Dunia Ketiga. Yogyakarta: PLP2M.
Toulmin, S.E.
1970. “Does the Distinction between Normal and Revolutionary Science Hold Water?”
dalam Criticism and the Growth of Knowledge, I.Lakatos dan A. Musgrave (eds.).
Cambridge: Cambridge University Press.
Turner, J.H. dan A.Maryanski
1979 Functionalism. Menlo Park, Calif.: The Benjamin/Cummings.
Tyler, S. (ed.).
1969 Cognitive Anthropology. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Tylor, E.B.
1964 Researches into the Early History of Mankind and the Development of Civilization.
[1865] Edited and abridged, with an Introduction by P.Bohannan. Chicago; The
University of Chicago Press.
1965 Anthropology. Abridged and Foreword by L.A.White. Ann Arbor: University of
[1881] Michigan Press.
. White, L.
1945 “Diffusion vs Evolution”: An Anti-Evolutionist Fallacy”. American Anthropologist 47
(3): 339-356.
1949 The Science of Culture: A Study of Man and Civilization. New York: Farrar, Straus
dan Giroux.
oooOooo
28
Makalah ceramah “Perkembangan Teori dan Metode Antropologi”, Departemen Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011
29
Makalah ceramah “Perkembangan Teori dan Metode Antropologi”, Departemen Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011