Anda di halaman 1dari 30

makalah

ceramah
mei 2011

PARADIGMA,
EPISTEMOLOGI dan
ETNOGRAFI dalam
ANTROPOLOGI

Heddy Shri Ahimsa-Putra


Antropologi Budaya
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada

Makalah disampaikan dalam ceramah Perkembangan Teori dan Metode Antropologi,


diselenggarakan oleh Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Airlangga, di Surabaya, 6-7 Mei 2011

Makalah ceramah Perkembangan Teori dan Metode Antropologi, Departemen


Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011

PARADIGMA, EPISTEMOLOGI dan


ETNOGRAFI dalam ANTROPOLOGI
Heddy Shri Ahimsa-Putra
Antropologi Budaya
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada

mengutip isi makalah ini harus dilakukan dengan menyebutkan sumber (makalah ini)
I. PENGANTAR
Sebelum paradigma menjadi sebuah konsep yang populer, para ilmuwan sosial-budaya
telah menggunakan beberapa konsep lain dengan makna yang kurang lebih sama, yakni:
kerangka teoritis (theoretical framework), kerangka konseptual (conceptual framework),
kerangka pemikiran (frame of thinking), orientasi teoritis (theoretical orientation), sudut
pandang (perspective), atau pendekatan (approach). Kini istilah paradigma sudah mulai
banyak digunakan oleh ilmuwan sosial-budaya. Meskipun demikian, dalam makalah ini istilahistilah lama tersebut juga tetap akan digunakan, dengan makna yang kurang-lebih sama
dengan paradigma (paradigm).
Penggunaan konsep paradigma yang semakin lazim kini tidak berarti bahwa makna
konsep tersebut sudah jelas atau telah disepakati bersama. Thomas Kuhn (1977) telah
berbicara panjang lebar tentang pergantian paradigma, namun dia tidak menjelaskan secara
khusus dan rinci tentang apa yang dimaksudnya sebagai paradigma, dan tidak menggunakan
konsep tersebut secara konsisten dalam tulisan-tulisannya. Hal ini tam-paknya merupakan
akibat tidak langsung dari topik pembahasannya, yakni pergantian paradigma dalam ilmu-ilmu
alam (Ahimsa-Putra, 2007). Kuhn tidak menyinggung ten-tang ilmu-ilmu sosial-budaya. Ada
kemungkinan karena dia merasa tidak perlu membedakan dua jenis ilmu pengetahuan
tersebut, mengingat dua-duanya adalah ilmu pengetahuan. Ada kemungkinan pula karena dia
menganggap ilmu sosial-budaya belum merupakan ilmu pengetahuan (science), karena dari
perspektif tertentu status sains (ilmu) memang belum berhasil dicapai oleh cabang ilmu
tersebut (Kuhn, 1977).
Kelalaian Kuhn ternyata telah membuat bukunya terkenal, karena para ilmuwan kemudian
memperdebatkan berbagai kekurangan dalam pandangan Kuhn, yang antara lain bersumber
pada tidak adanya rumusan yang jelas, tegas dan konsisten tentang apa yang dimaksud
dengan paradigma. Kelalaian Kuhn ini juga telah menyulitkan kita untuk menerapkannya
dalam analisis. Meskipun demikian, gagasan Kuhn tentang revolusi pengetahuan telah
membuat para ilmuwan berfikir ulang tentang ilmu pengetahuan itu sendiri.
Berbagai pembahasan tentang paradigma di kalangan ilmuwan Barat berada di seputar
masalah: (a) konsepsi tentang paradigma; (b) ada tidaknya paradigma dalam suatu disiplin
tertentu, dan (c) unsur-unsur paradigma (Ahimsa-Putra, 2008). Sayangnya, dari berbagai
pembahasan itu tidak berhasil dicapai sebuah kesepakatan tentang definisi yang cukup
praktis dan strategis mengenai paradigma. Apalagi kesepakatan mengenai unsur-unsur
paradigma. Akibatnya, kita mengalami kesulitan untuk memanfaatkan rintisan pemikiran yang
dilontarkan oleh Kuhn. Untuk itu kita perlu membangun sebuah konsepsi (pandangan)
tentang paradigma, yang berisi bukan hanya definisi, tetapi juga elemen-elemen pokok yang
terdapat dalam paradigma.
Jika kita sepakat dengan Thomas Kuhn bahwa revolusi ilmu pengetahuan tidak lain adalah
perubahan paradigma, perubahan pada mode of thought, pada mode of inquiry, maka kita
akan sampai pada pendapat bahwa inti ilmu pengetahuan tidak lain adalah paradigma
(Ahimsa-Putra, 2007). Jika antropologi adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang
Makalah ceramah Perkembangan Teori dan Metode Antropologi, Departemen
Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011

tentunya telah mengalami banyak perkembangan, tentunya telah terjadi banyak revolusi ilmu
pengetahuan dalam antropologi. Pertanyaannya kemudian adalah: seperti apa
perkembangan ilmu yang telah terjadi dalam antropologi (sosial-budaya)? Paradigmaparadigma apa saja yang telah muncul di dalamnya? Apa ciri dari paradigma dalam
antropologi dan bagaimana corak perkembangannya?
Pertanyaan-pertanyaan ini hanya dapat dijawab jika kita memiliki pemahaman tentang apa
yang dimaksud dengan paradigma. Oleh karena Kuhn tidak pernah menawarkan sebuah
konsepsi tentang paradigma yang jelas, maka dalam makalah ini saya mengemukakan
pandangan saya atau teori saya mengenai paradigma, dan dengan konsepsi tersebut saya
memaparkan keterkaitan dan kedudukan penting dari epistemologi dan etnografi dalam
paradigma antropologi. Konsepsi tentang paradigma ini saya bangun setelah saya menelaah
secara kritis berbagai buku dan artikel para ilmuwan Barat -karena dari Indonesia saya tidak
menemukan pembahasan-pembahasan ini-, mengenai paradigma, baik yang teoritis, filosofis
maupun yang aplikatif. Mengingat terbatasnya tempat, paradigma-paradigma dalam
antropologi hanya dapat saya sajikan jenis-jenisnya, sedang mengenai proses
perkembangannya tidak dapat seluruhnya saya sajikan secara rinci di sini.
II. PARADIGMA : APA ITU ?
Sebagai sebuah konsep, paradigma merupakan sebuah konsep strategis, yang memiliki
kedudukan penting, yang berarti pula dia perlu diberi makna. Dia perlu diberi batasan-batasan
tertentu, dan batasan ini kemudian perlu diberi penjelasan lebih lanjut.
1. Paradigma : Sebuah Definisi

Ketika kita menggunakan sebuah konsep -yaitu istilah atau kata dengan makna tertentumaka pertama-tama yang harus kita ketahui adalah maknanya. Makna ini harus dapat
dipaparkan sedemikian rupa sehingga orang lain akan tahu apa yang kita maksud dengan
konsep tersebut. Pemaparan makna secara ringkas dan jelas inilah yang biasa disebut
definisi atau batasan. Jadi, untuk konsep-konsep penting yang kita gunakan dalam
kehidupan sehari-hari ataupun dalam aktivitas ilmiah kita harus dapat memberikan definisinya
dan penjelasannya.
Kedua, jika konsep ini mengenai suatu gejala tertentu, mungkin juga diperlukan
pengetahuan mengenai unsur-unsur dari gejala tersebut. Bahwa gejala yang didefinisikan
terdiri dari sejumlah unsur-unsur, dan unsur-unsur ini juga harus diketahui, dan kemudian juga
didefinisikan.
Konsep paradigma adalah konsep yang menuntut dua pengetahuan tersebut, yakni
pengetahuan tentang definisinya dan pengetahuan mengenai unsur-unsurnya. Tanpa dua
pengetahuan ini paradigma akan tetap merupakan sebuah konsep dengan makna yang tidak
begitu jelas. Sehubungan dengan itu maka di sini saya paparkan dua aspek paradigma itu,
yakni: (a) definisi paradigma dan (b) unsur-unsur paradigma.
Paradigma -menurut hemat saya- dapat didefinisikan sebagai seperangkat konsep yang
berhubungan satu sama lain secara logis membentuk sebuah kerangka pemikiran yang
berfungsi untuk memahami, menafsirkan dan menjelaskan kenyataan dan/atau masalah yang
dihadapi. Berikut adalah penjelasan frasa-frasa dalam definisi ini.
Seperangkat konsep yang berhubungan satu sama lain secara logis membentuk suatu
kerangka pemikiran.....
Kata seperangkat menunjukkan bahwa paradigma memiliki sejumlah unsur-unsur, tidak
hanya satu unsur. Unsur-unsur ini adalah konsep-konsep. Konsep adalah istilah atau kata
yang diberi makna tertentu. Oleh karena itu, sebuah paradigma juga merupakan kumpulan
makna-makna, kumpulan pengertian-pengertian. Kumpulan konsep-konsep ini merupakan
sebuah kesatuan, karena konsep-konsep ini berhubungan secara logis, yakni secara
paradigmatik, sintagmatik, metonimik dan metaforik, sehingga dapat dikatakan sebagai
) Uraian mengenai paradigma ini saya ambil dari makalah saya di tahun 2009 (AhimsaPutra, 2009).
1

Makalah ceramah Perkembangan Teori dan Metode Antropologi, Departemen


Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011

seperangkat konsep, seperti halnya peralatan pada orkestra gamelan atau unsur-unsur
pada pakaian, yang membentuk seperangkat gamelan dan seperangkat pakaian. Tentu,
relasi-relasi pada gejala-gejala empiris ini tidak sama dengan relasi-relasi antarunsur dalam
paradigma. Relasi antarunsur dalam paradigma berada pada tataran logika, pada tataran
pemikiran, sedang relasi antarunsur pada perangkat pakaian dan gamelan berada pada
tataran fungsi, atau bersifat fungsional. Selanjutnya, karena makna dan hubungan antarmakna ini adanya dalam pikiran, maka kumpulan konsep yang membentuk kerangka itu
disebut juga sebagai kerangka pemikiran.
.....yang berfungsi untuk memahami dan menjelaskan kenyataan dan/atau masalah yang
dihadapi.
Dalam pikiran manusia, kerangka pemikiran ini digunakan untuk tujuan tertentu, sehingga
kerangka pemikiran ini memiliki fungsi, yakni untuk memahami kenyataan, mendefinisikan
kenyataan, menentukan kenyataan yang dihadapi, menggolongkannya ke dalam kategorikategori, dan kemudian menghubungkannya dengan definisi kenyataan lainnya, sehingga
terjalin relasi-relasi pada pemikiran tersebut, yang kemudian membentuk suatu gambaran
tentang kenyataan yang dihadapi.
Kenyataan yang dihadapi menimbulkan berbagai akibat atau reaksi dalam pikiran
manusia. Salah satu di antaranya adalah pertanyaan-pertanyaan atau rasa tidak puas karena
kenyataan yang dihadapi tidak dapat dipahami dengan menggunakan kerangka pemikiran
yang telah ada, atau kurang sesuai dengan yang diharapkan. Pertanyaan dan ketidakpuasan
ini selanjutnya mendorong manusia untuk menjawab pertanyaan tersebut atau mencari jalan
guna mengatasi ketidakpuasan yang ada dalam dirinya. Ini berarti bahwa paradigma tidak
hanya ada di kalangan ilmuwan saja, tetapi juga di kalangan orang awam, di kalangan semua
orang, dari semua golongan, dari semua lapisan, dari semua kelompok, dari semua
sukubangsa. Meskipun demikian, hal itu berarti bahwa setiap orang menyadari kerangka
pemikirannya sendiri. Bahkan, sebagian besar orang sebenarnya tidak menyadari betul atau
tidak mengetahui seperti apa kerangka pemikiran yang dimilikinya, yang digunakannya untuk
memahami situasi dan kondisi kehidupan sehari-hari. Kesadaran ini hanya dapat muncul dari
kalangan mereka yang dapat melakukan refleksi atas apa yang mereka pikirkan sendiri, yang
mengetahui dan dapat menggunakan metode-metode dan prosedur yang harus digunakan
dalam proses refleksi tersebut.
Bagi upaya pengembangan dan pembuatan paradigma baru, pendefinisian konsep
paradigma saja belum cukup. Lebih penting daripada pendefinisian adalah penentuan unsurunsur yang tercakup dalam pengertian paradigma. Definisi di atas belum memberikan
keterangan lebih lanjut tentang isi dari kerangka pemikiran itu sendiri. Seperangkat konsep
barulah sebuah gambaran umum tentang isi dari kerangka pemikiran tersebut, sedang
kenyataannya konsep-konsep ini tidak sama kedudukan dan fungsinya dalam kerangka
pemikiran, dan karena itu juga memiliki nama yang berbeda-beda. Oleh karena itu diperlukan
penjelasan lebih lanjut tentang komponen-komponen konseptual yang membentuk kerangka
pemikiran atau paradigma tersebut.
2. Unsur-unsur (komponen-komponen) Paradigma
Sebuah perspektif dalam ilmu sosial-budaya biasanya dapat dibedakan satu sama lain
atas dasar asumsi-asumsi atau anggapan-anggapan dasarnya tentang obyek yang diteliti,
masalah-masalah yang ingin dijawab atau diselesaikan, konsep-konsep, metode-metode
serta teori-teori yang dihasilkannya. Pendapat yang dilontarkan oleh Cuff dan Payne (1980:3)
ini merupakan pendapat yang dapat membawa kita kepada pemahaman tentang paradigma
dalam ilmu sosial-budaya. Dalam pendapat ini tersirat pandangan bahwa sebuah perspektif
atau pendekatan -Cuff dan Payne tidak menyebutnya sebagai paradigma- memiliki sejumlah
unsur, di antaranya adalah: asumsi dasar (basic assumption -Cuff dan Payne menyebutnya
bedrock assumption-, konsep, metode, pertanyaan dan jawaban-jawaban yang diberikan.
Jika perspektif adalah juga paradigma, maka unsur-unsur tersebut dapat dikatakan
sebagai unsur-unsur paradigma. Meskipun demikian, menurut saya, pandangan Cuff dan
Makalah ceramah Perkembangan Teori dan Metode Antropologi, Departemen
Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011

Payne tentang unsur-unsur perspektif tersebut masih belum lengkap. Masih ada elemen lain
yang juga selalu ada dalam sebuah paradigma ilmu sosial-budaya, namun belum tercakup di
dalamnya, misalnya model. Selain itu, unsur metode juga masih perlu dirinci lagi. Cuff dan
Payne juga masih belum menjelaskan bagaimana kira-kira urut-urutan unsur-unsur tersebut
dalam sebuah paradigma atau kerangka berfikir tertentu, sehingga posisi masing-masing
unsur terhadap yang lain tidak kita ketahui. Lebih dari itu, Cuff dan Payne juga tidak selalu
menjelaskan makna dari konsep-konsep yang digunakannya secara rinci, sehingga kita tidak
selalu dapat mengetahui dengan baik apa yang dimaksudkannya (Ahimsa-Putra, 2008).
Mengikuti jalan pikiran yang telah dibuka oleh Kuhn serta Cuff dan Payne, sebuah
paradigma, kerangka teori atau pendekatan dalam ilmu sosial-budaya menurut hemat saya
terdiri dari sejumlah unsur pokok, yakni: (1) asumsi-asumsi dasar; (2) nilai-nilai; (3) masalahmasalah yang diteliti (4) model; (5) konsep-konsep; (6) metode penelitian; (7) metode analisis;
(8) hasil analisis atau teori dan (9) representasi (etnografi) (Ahimsa-Putra, 2009). Berikut ini
adalah uraian mengenai komponen-komponen paradigma ini, yang menurut saya perlu
diberikan, mengingat jarangnya pembicaraan tentang paradigma yang membahas komponenkomponen tersebut serta menjelaskannya dengan rinci.
a. Asumsi-asumsi/Anggapan-anggapan Dasar (Basic Assumptions) - (1)
Asumsi atau anggapan dasar adalah pandangan-pandangan mengenai suatu hal (bisa
benda, ilmu pengetahuan, tujuan sebuah disiplin, dan sebagainya) yang tidak dipertanyakan
lagi kebenarannya atau sudah diterima kebenarannya. Pandangan ini merupakan titik-tolak
atau dasar bagi upaya memahami dan menjawab suatu persoalan, karena pandanganpandangan tersebut dianggap benar atau diyakini kebenarannya. Anggapan-anggapan ini
bisa lahir dari (a) perenungan-perenungan filosofis dan reflektif, bisa dari (b) penelitianpenelitian empiris yang canggih, bisa pula dari (c) pengamatan yang seksama.
Jika asumsi ini berasal dari pandangan filosofis dan reflektif, pandangan ini biasanya
lantas mirip dengan 'ideologi' si ilmuwan, dan ini tentu saja bersifat subyektif. Oleh karena itu,
muncul kini pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada "obyektivitas" dalam ilmu sosialbudaya, sebab apa yang selama ini dianggap sebagai "obyektivitas" ternyata juga didasarkan
pada asumsi-asumsi filosofis tertentu, yang tidak berbeda dengan 'ideologi'. Asumsi-asumsi
dasar biasanya terlihat dengan jelas dalam rumusan-rumusan tentang hakekat sesuatu atau
definisi mengenai sesuatu, dan ini biasanya merupakan jawaban atas pertanyaan "Apa
itu...?". Misalnya saja, "Apa itu kebudayaan?"; "Apa itu masyarakat?"; "Apa itu karya sastra?",
dan sebagainya. Dalam dunia ilmu pengetahuan definisi mengenai sesuatu inilah yang akan
sangat menentukan langkah-langkah kegiatan ilmiah selanjutnya.
Dari paparan di atas terlihat bahwa asumsi-asumsi dasar merupakan fondasi dari sebuah
disiplin atau bidang keilmuan, atau dasar dari sebuah kerangka pemikiran, dan seperti halnya
fondasi sebuah gedung yang tidak terlihat, demikian pula halnya dengan asumsi dasar. Suatu
kerangka teori dalam ilmu sosial-budaya biasanya mempunyai banyak asumsi dasar. Akan
tetapi, tidak semua asumsi dasar ini selalu dikemukakan secara eksplisit. Bahkan kadangkadang malah tidak dipaparkan sama sekali, karena semua orang dianggap telah
mengetahuinya.
Mengapa digunakan istilah asumsi, bukan dalil atau hukum, jika memang
kebenarannya sudah tidak dipertanyakan lagi? Karena tindakan tidak lagi mempertanyakan
kebenaran ini tidak berlaku untuk semua orang. Orang lain malah bisa sangat tidak setuju
atau sangat mempertanyakan kebenaran yang tidak dipertanyakan itu tadi. Jadi, kebenaran
di situ dianggap bersifat relatif. Oleh karena itulah lebih tepat jika kebenaran yang relatif itu
disebut sebagai asumsi, anggapan saja, bukan dalil atau hukum.
b. Etos / Nilai-nilai (Ethos / Values) - (2)
Setiap kegiatan ilmiah juga selalu didasarkan pada sejumlah kriteria atau patokan yang
digunakan untuk menentukan apakah sesuatu itu baik atau buruk, benar atau salah,
bermanfaat atau tidak. Patokan-patokan inilah yang biasa disebut nilai atau etos. Dinyatakan
Makalah ceramah Perkembangan Teori dan Metode Antropologi, Departemen
Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011

atau tidak nilai-nilai selalu ada di balik setiap kegiatan ilmiah, karena di situ selalu ada
persoalan benar atau salah, bermanfaat atau tidak. Dengan patokan inilah seorang ilmuwan
akan menilai hasil penelitian ilmuwan yang lain, kinerja mereka atau produktivitas mereka.
Dalam sebuah paradigma, nilai-nilai ini paling tidak mengenai: (a) ilmu pengetahuan (b)
ilmu sosial-budaya; (c) penelitian ilmiah; (d) analisis ilmiah; (e) hasil penelitian. Nilai-nilai ini
selalu ada dalam setiap cabang ilmu, tetapi rumusan, penekanan dan keeksplisitannya
berbeda-beda. Ada cabang ilmu pengetahuan yang nilainya lebih menekankan pada manfaat
ilmu, tetapi lebih bersifat implisit, sedang pada disiplin lain nilai ini dibuat sangat eksplisit.
Nilai-nilai mana yang ditekankan oleh suatu komunitas atau organisasi ilmuwan bisa berbedabeda. Hal ini sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya masyarakat tempat para ilmuwan
tersebut menjalankan aktivitas keilmuan mereka.
Meskipun nilai-nilai ini pada umumnya menyatakan tentang hal-hal yang baik, yang
seharusnya, tetapi sebenarnya nilai-nilai juga berkenaan dengan yang tidak baik, yang buruk.
Oleh karena itu, bisa pula nilai yang dibuat eksplisit bukanlah yang baik, tetapi yang buruk.
Hal ini dilakukan mungkin dengan tujuan agar para ilmuwan dapat lebih terjaga dari
melakukan hal-hal yang buruk. Nilai yang baik berkenaan dengan ilmu pengetahuan misalnya
adalah nilai yang mengatakan, ilmu pengetahuan yang baik adalah yang bermanfaat bagi
kehidupan manusia; atau ilmu pengetahuan yang baik adalah yang teori-teorinya bisa
bersifat universal; atau ilmu pengetahuan yang baik adalah yang diperoleh dengan
menggunakan metode dan prosedur tertentu yang dapat mencegah masuknya unsur
subyektivitas peneliti, dan sebagainya. Nilai-nilai yang buruk misalnya adalah, ilmu
pengetahuan yang buruk adalah yang tidak memberikan manfaat kepada umat manusia;
atau ilmu pengetahuan yang buruk adalah yang membuat manusia semakin jauh dari Sang
Pencipta.
c. Model-model (Models) - (3)
Model adalah perumpamaan, analogi, atau kiasan tentang gejala yang dipelajari.
Seringkali model juga terlihat seperti asumsi dasar. Meskipun demikian, model bukanlah
asumsi dasar. Sebagai perumpamaan dari suatu kenyataan, sebuah model bersifat
menyederhanakan (Inkeles, 1964). Artinya, tidak semua aspek, sifat, atau unsur dari realita
dapat tampil dalam sebuah model. Model dapat dibedakan menjadi dua yakni: (1) model
utama (primary model) dan model pembantu (secondary model). Model yang dimaksudkan di
sini adalah primary model (Ahimsa-Putra, 2009).
Model utama merupakan model yang lebih dekat dengan asumsi dasar. Model ini
merupakan/menjadi pembimbing seorang peneliti dalam mempelajari suatu gejala. Model ini
bisa berupa kata-kata (uraian) maupun gambar, namun umumnya berupa uraian. Berbeda
halnya dengan model pembantu yang selain umumnya berupa gambar, model ini juga biasa
digunakan untuk memudahkan seorang ilmuwan menjelaskan hasil analisisnya atau teorinya.
Model ini bisa berupa diagram, skema, bagan atau sebuah gambar, yang akan membuat
orang lebih mudah mengerti apa yang dijelaskan oleh seseorang. Jadi kalau model utama
harus sudah ada sebelum seorang peneliti melakukan penelitiannya, model pembantu
biasanya muncul dalam hasil analisis atau setelah penelitian dan analisis dilakukan (AhimsaPutra, 2009).
Sebagai perumpamaan dari suatu gejala atau realita tertentu, sebuah model bersifat
menyederhanakan gejala itu sendiri. Artinya, tidak semua aspek, sifat atau unsur dari gejala
tersebut ditampilkan dalam model. Seorang peneliti yang mengawali penelitiannya dengan
mengatakan bahwa kebudayaan itu seperti organisme atau mahluk hidup, pada dasarnya
telah menggunakan model organisme dalam penelitiannya. Apakah kebudayaan itu
organisme? Tentu saja bukan. Akan tetapi orang boleh saja mengumpamakannya seperti
organisme, karena memang ada kenyataan-kenyataan yang dapat mendukung pemodelan
seperti itu.

Makalah ceramah Perkembangan Teori dan Metode Antropologi, Departemen


Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011

Jadi, sebuah model muncul karena adanya persamaan-persamaan tertentu antara


fenomena satu dengan fenomena yang lain. Perbedaan pada penekanan atas persamaanpersamaan inilah yang kemudian membuat ilmuwan yang satu menggunakan model yang
berbeda dengan ilmuwan yang lain. Persamaan-persamaan ini pula yang kemudian
membimbing seorang ilmuwan ke arah model tertentu, yang berarti ke arah penjelasan
tertentu tentang gejala yang dipelajari. Pada saat yang sama, sebuah model berarti juga
membelokkan si ilmuwan dari penjelasan yang lain. Oleh karena itu, sebuah model bisa
dikatakan membimbing, tetapi bisa pula menyesatkan. Oleh karena itu pula tidak ada model
yang salah atau paling benar. Semua model benar belaka. Yang membedakannya adalah
produktivitasnya (Inkeles, 1964). Artinya, implikasi-impli-kasi teoritis dan metodologis apa
yang bakal lahir dari penggunaan model tertentu dalam mempelajari suatu gejala. Sebuah
model yang banyak menghasilkan implikasi teoritis dan metodologis merupakan sebuah
model yang produktif. Meskipun demikian, seorang ilmuwan bisa saja memilih sebuah model
yang tidak begitu produktif, karena dianggap dapat memberikan pemahaman baru atas gejala
yang dipelajari. Biasanya produktivitas sebuah model tidak dapat ditentukan dari awal, karena
dalam perkembangan selanjutnya ilmuwan-ilmuwan lain mungkin saja akan dapat
merumuskan pertanyaan-pertanyaan baru yang tak terduga berdasarkan atas model tersebut
(Ahimsa-Putra, 2009).
d. Masalah Yang Diteliti / Yang Ingin Dijawab - (4)
Ini berupa pertanyaan-pertanyaan yang ingin dijawab atau hipotesa yang ingin diuji
kebenarannya. Setiap paradigma memiliki masalah-masalahnya sendiri, yang sangat erat
kaitannya dengan asumsi-asumsi dasar dan nilai-nilai. Oleh karena itu, rumusan masalah dan
hipotesa harus dipikirkan dengan seksama dalam setiap penelitian, karena di baliknya
terdapat sejumlah asumsi dan di dalamnya terdapat konsep-konsep terpenting. Oleh Kuhn
unsur ini disebut exemplar. Suatu penelitian selalu berawal dari suatu kebutuhan, keperluan,
yaitu keperluan untuk: (a) memperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tertentu, atau
keinginan, (b) membuktikan kebenaran empiris duga-an-dugaan atau pernyataan-pernyataan
tertentu (Ahimsa-Putra, 2009).
Penelitian untuk memenuhi kebutuhan pertama selalu berawal dari sejumlah pertanyaan
(questions) mengenai gejala-gejala tertentu yang dianggap menarik, aneh, asing,
menggelisahkan, menakutkan, merugikan, dan seterusnya, sedang penelitian kedua selalu
berawal dari sejumlah pernyataan yang masih perlu dan ingin dibuktikan kebenarannya
(hypothesis) atau hipotesa. Oleh karena itu dalam setiap penelitian harus ada pertanyaanpertanyaan yang ingin dijawab, dan/atau hipotesa-hipotesa yang ingin dibuktikan. Penelitian
yang berawal dari beberapa pertanyaan tidak perlu lagi menggunakan hipotesa, demikian
pula penelitian yang berawal dari sejumlah hipotesa, tidak perlu lagi menggunakan
pertanyaan-pertanyaan. Meskipun demikian, kalau suatu penelitian dimaksudkan untuk
menjawab pertanyaan sekaligus menjawab hipotesa, hal itu juga tidak dilarang (AhimsaPutra, 2009).
e. Konsep-konsep Pokok (Main Concepts, Key Words) - (5)
Dalam ilmu sosial-budaya, konsep dimaknai berbeda-beda. Di sini, secara sederhana
konsep didefinisikan sebagai istilah-istilah atau kata-kata yang diberi makna tertentu sehingga
membuatnya dapat digunakan untuk menganalisis, memahami, menafsirkan dan
menjelaskan peristiwa atau gejala sosial-budaya yang dipelajari (Ahimsa-Putra, 2009)
Apa contoh dari konsep ini? Banyak sekali dalam ilmu sosial-budaya. Misalnya:
masyarakat, kebudayaan, pendidikan, sekolah, konflik, sukubangsa, kepribadian, kerjasama,
dan sebagainya. Kamus antropologi, kamus sosiologi, dan sejenisnya, merupakan kumpulan
penjelasan konsep-konsep yang dipandang penting dalam kajian antropologi dan sosiologi.
Banyak istilah-istilah di situ merupakan istilah yang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Meskipun demikian belum tentu kita mengetahui makna istilah-istilah tersebut dengan baik,
bahkan tidak sedikit yang salah dalam menggunakannya, terutama jika istilah tersebut
berasal dari bahasa asing.
Makalah ceramah Perkembangan Teori dan Metode Antropologi, Departemen
Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011

Ketika sebuah istilah diberi makna tertentu oleh seorang ilmuwan yang kebetulan
membutuhkan istilah tersebut untuk menjelaskan sebuah gejala, pada saat itulah istilah
tersebut -berdasarkan definisi di atas- menjadi konsep. Sebagai contoh adalah kata
kebudayaan. Pada mulanya istilah kebudayaan adalah istilah sehari-hari, yang kemudian
diberi definisi oleh orang-orang tertentu, di antaranya adalah Ki Hadjar Dewantoro. Kemudian
beberapa orang lain memberikan definisi baru, di antaranya adalah Koentjaraningrat.
Semenjak itu, kata kebudayaan menjadi sebuah konsep yang penting dalam dunia ilmu
pengetahuan, terutama ilmu sosial-budaya, khususnya lagi dalam antropologi (Ahimsa-Putra,
2009).
Sebuah konsep dalam ilmu sosial-budaya bisa diberi definisi atau batasan berbagai
macam. Dalam hal ini perlu diingat bahwa tidak ada definisi yang paling benar, karena setiap
konsep dapat diberi definisi dari sudut pandang tertentu, dengan cara tertentu. Yang perlu
diperhatikan adalah apakah definisi sebuah konsep memungkinkan peneliti mempelajari,
memahami dan menjelaskan gejala yang diteliti dengan baik. Oleh karena itu, sebelum
merumuskan sebuah definisi seyogyanya peneliti melakukan kajian pustaka yang cukup
komprehensif agar dapat memperoleh berbagai definisi yang telah dibuat oleh para ilmuwan
lain berkenaan dengan konsep-konsep yang akan digunakan dalam penelitiannya (AhimsaPutra, 2009).
f. Metode-metode Penelitian (Methods of Research) - (6)
Metode adalah cara, sedang penelitian adalah kegiatan mengumpulkan data. Jadi metode
penelitian adalah cara-cara yang digunakan untuk mengumpulkan data, sedang metodologi
penelitian adalah ilmu tentang cara-cara mengumpulkan data, termasuk di dalamnya jenisjenis data. Ada berbagai cara untuk mengumpulkan data dalam suatu penelitian, dan cara
mana yang akan digunakan tergantung pada jenis data yang diperlukan. Cara dan kegiatan
untuk mengumpulkan data kualitatif tidak akan bisa sama dengan kegiatan mengumpulkan
data kuantitatif. Atas dasar jenis data yang diperlukan inilah muncul kemudian berbagai
metode pengumpulan data (Ahimsa-Putra, 2009).
Berkenaan dengan metode penelitian ini umumnya kita mengenal pembedaan antara
metode penelitian kuantitatif dan metode penelitian kualitatif. Meskipun demikian banyak
sekali mahasiswa dan sarjana ilmu sosial-budaya yang mempunyai pengertian kurang
lengkap tentang metode penelitian ini, sehingga ketika mereka ditanya di mana letak
kualitatifnya dan kuantitatifnya sebuah metode?, mereka tidak dapat menjawab. Selain itu,
banyak juga ilmuwan sosial-budaya yang hanya mengetahui satu jenis metode saja, yaitu
yang kuantitatif, sehingga semua masalah selalu diteliti dengan menggunakan metode yang
sama, padahal sebenarnya tidak demikian. Lebih jelek lagi, karena tidak mengetahui jenis
metode penelitian yang lain, metode penelitian itulah (yang kuantitatif) yang kemudian
dianggap sebagai satu-satunya metode penelitian yang ilmiah (Ahimsa-Putra, 2009).
Dalam pembicaraan di sini penelitian harus diartikan sebagai pengumpulan data. Oleh
karena itu, metode penelitian kualitatif dan kuantitatif tidak lain adalah metode atau cara guna
memperoleh dan mengumpulkan data kualitatif dan data kuantitatif. Jadi yang bersifat
kuantitatif atau kualitatif bukanlah metodenya, tetapi datanya. Selanjutnya, sifat data ini juga
sangat menentukan cara kita untuk mendapatkannya. Untuk itu kita perlu tahu ciri-ciri penting
yang ada pada masing-masing data. Dilihat dari sudut pandang ini, maka sebenarnya tidak
ada pemisahan dan tidak perlu ada pemisahan yang sangat tegas dan kaku antara penelitian
kualitatif dan penelitian kuantitatif, sebagaimana sering dikatakan oleh sebagian ilmuwan
sosial-budaya yang kurang memahami tentang metode-metode penelitian. Yang penting
dalam suatu penelitian adalah bagaimana dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
dikemukakan dengan memuaskan, dengan meyakinkan, dan ini sangat tergantung pada data
yang dikemukakan. Data yang dibutuhkan dalam suatu penelitian bisa berupa data kualitatif,
data kuantitatif, atau kedua-duanya, dan sebuah penelitian bisa saja memerlukan dan
memanfaatkan dua jenis data ini untuk menjawab masalah-masalahnya. Data kuantitatif
dikumpulkan dengan cara yang berbeda dengan data kualitatif. Oleh karena ciri dan sifatnya
yang berbeda ini, maka analisis terhadap data ini juga berbeda (Ahimsa-Putra, 2009).
Makalah ceramah Perkembangan Teori dan Metode Antropologi, Departemen
Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011

Data kuantitatif adalah kumpulan simbol -bisa berupa pernyataan, huruf atau angka- yang
menunjukkan suatu jumlah (quantity) atau besaran dari suatu gejala; seperti misalnya jumlah
penduduk, jumlah laki dan perempuan, jumlah anak sekolah, jumlah rumah, jumlah tempat
ibadah, luas sebuah kelurahan, jumlah padi yang dipanen, dalamnya sebuah sumur, dan
sebagainya. Data kuantitatif dapat diperoleh dari kantor statistik atau kantor pemerintah
(kabupaten, kecamatan, kelurahan, dst.) atau dari penghitungan butir-butir tertentu yang ada
dalam kuesioner (daftar pertanyaan) yang diedarkan dalam suatu penelitian, atau dari
pernyataan informan (Ahimsa-Putra, 2009).
Data kualitatif tidak berupa angka tetapi berupa pernyataan-pernyataan mengenai isi,
sifat, ciri, keadaan, dari sesuatu atau gejala, atau pernyataan mengenai hubungan-hubungan
antara sesuatu dengan sesuatu yang lain. Sesuatu ini bisa berupa benda-benda fisik, polapola perilaku, atau gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma, bisa pula peristiwa-peristiwa
yang terjadi dalam suatu masyarakat (Ahimsa-Putra, 2009)
Dari berbagai penelitian sosial-budaya yang telah dilakukan, saya menemukan bahwa
data kualitatif ini biasanya mengenai antara lain: (1) nilai-nilai, norma-norma, aturan-aturan;
(2) kategori-kategori sosial dan budaya; (3) ceritera (4) percakapan; (5) pola-pola perilaku dan
interaksi sosial; (6) organisasi sosial; (7) lingkungan fisik (Ahimsa-Putra, 2009).
Skema 1. Data Kuantitatif dan Kualitatif

|--- Kuantitatif -------|


|
|
Data --|
|
|
|--- Kualitatif
---------

|- luas (wilayah, kampung, sawah, dsb.)


|
|- jumlah (penduduk, bangunan, koperasi, dsb.)
|
|- berat (hasil panen, badan, dsb.)
|
|||||||-

nilai, pandangan hidup, norma, aturan


kategori sosial-budaya
ceritera
percakapan
pola perilaku dan interaksi sosial
organisasi sosial
lingkungan fisik

Sumber: Ahimsa-Putra, 2009

Dalam masing-masing metode penelitian ini terdapat sejumlah metode penelitian lagi,
yang penggunaannya biasanya didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan praktis, yakni
ketersediaan waktu, biaya dan tenaga. Dalam metode pengumpulan data kuantitatif -yang
selanjutnya kita sebut metode penelitian kuantitatif-, terdapat misalnya: (a) metode kajian
pustaka; (b) metode survei dan (c) metode angket. Dalam metode penelitian kualitatif terdapat
(a) metode kajian pustaka; (b) metode pengamatan; (c) metode pengamatan berpartisipasi
(participant observation); (d) metode wawancara sambil lalu; (e) metode wawancara
mendalam, dan (f) metode mendengarkan (Ahimsa-Putra, 2009).
g. Metode-metode Analisis (Methods of Analysis) - ( 7 )
Metode analisis data pada dasarnya adalah cara-cara untuk memilah-milah,
mengelompokkan data -kualitatif maupun kuantitatif- agar kemudian dapat ditetapkan relasirelasi tertentu antara kategori data yang satu dengan data yang lain. Sebagaimana halnya
metode penelitian, metode analisis kualitatif dan metode analisis kuantitatif harus diartikan
sebagai metode menganalisis data kualitatif dan metode menganalisis data kuantitatif.
Mengelompokkan data kuantitatif memerlukan siasat atau cara yang berbeda dengan
mengelompokkan data kualitatif, karena sifat dan ciri data tersebut memang berbeda
(Ahimsa-Putra, 2009).
Makalah ceramah Perkembangan Teori dan Metode Antropologi, Departemen
Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011

Metode analisis data kualitatif pada dasarnya sangat memerlukan kemampuan untuk
menemukan persamaan-persamaan dan perbedaan di antara data kualitatif, dan ini hanya
dapat dilakukan apabila konsep-konsep teoritis yang digunakan didefinisikan dengan baik.
Persamaan dan perbedaan ini tidak begitu mudah ditemukan, namun bilamana pada saat
pengumpulannya data ini sudah dikelompokkan terlebih dahulu, hal itu akan mempermudah
analisis lebih lanjut.
Berkenaan dengan metode analisis ini yang paling perlu diperhatikan adalah tujuan akhir
dari suatu kerja analisis. Dengan memperhatikan secara seksama pertanyaan penelitian yang
kita kemukakan, sebenarnya kita sudah dapat menentukan sejak awal metode analisis seperti
apa yang akan kita lakukan atau kita perlukan. Meskipun ada berbagai macam jenis metode
analisis, namun secara umum kita dapat mengatakan bahwa tujuan akhir analisis adalah
menetapkan hubungan-hubungan antara suatu variabel/gejala/unsur tertentu dengan
variabel/gejala/unsur yang lain, dan menetapkan jenis hubungan yang ada di situ. Setiap
paradigma selalu mempunyai metode analisis tertentu, karena metode analisis inilah yang
kemudian akan menentukan corak hasil analisis atau teorinya, sehingga teori yang muncul
dalam sebuah paradigma tidak akan sama dengan teori yang muncul dalam paradigma yang
lain (Ahimsa-Putra, 2009).
h. Hasil Analisis / Teori (Results of Analysis / Theory) - (8)
Apabila kita dapat melakukan analisis atas data yang tersedia dengan baik dan tepat,
maka tentu akan ada hasil dari analisis tersebut, yang dapat dikatakan sebagai kesimpulan
kita. Hasil analisis ini harus menyatakan relasi-relasi antarvariabel, antarunsur atau
antargejala yang kita teliti. Jika hasil analisis kita tidak berhasil mencapai ini, maka hal itu bisa
berarti tiga hal. Pertama, data yang kita analisis mengandung beberapa kesalahan mendasar.
Kedua, analisis kita salah arah. Ketiga, analisis kita masih kurang mendalam, dan ini mungkin
juga disebabkan oleh kurangnya data yang kita miliki (Ahimsa-Putra, 2009).
Setelah kita menganalisis berbagai data yang telah kita peroleh dengan menggunakan
metode-metode tertentu, kita akan memperoleh suatu kesimpulan tertentu, suatu pendapat
tertentu berkenaan dengan gejala yang dipelajari. Pendapat ini bisa berupa pernyataanpernyataan yang menunjukkan relasi antara suatu variabel dengan variabel yang lain, atau
pernyataan yang menunjukkan hakekat (the nature) atau ciri dan keadaan dari gejala yang
kita teliti. Hasil analisis yang berupa pernyataan-pernyataan tentang hakekat gejala yang
diteliti atau hubungan antarvariabel atau antargejala yang diteliti inilah yang kemudian biasa
disebut sebagai teori. Dengan kata lain, teori adalah pernyataan mengenai hakekat sesuatu
(gejala yang diteliti) atau mengenai hubungan antarvariabel atau antargejala yang diteliti,
yang sudah terbukti kebenarannya (Ahimsa-Putra, 2009)
Kalau cakupan (scope) penelitian kita luas, data yang kita analisis berasal dari banyak
masyarakat dan kebudayaan, dan teori yang kita kemukakan dapat memberikan penjelasan
yang berlaku umum, universal, melampaui batas-batas ruang dan waktu, maka biasanya dia
akan disebut sebagai teori besar (grand theory). Kalau teori tersebut hanya kita tujukan untuk
menjelaskan gejala-gejala tertentu yang agak umum, namun tidak cukup universal, maka dia
lebih tepat disebut sebagai teori menengah (middle-range theory) (Merton,19 ). Bilamana
teori yang kita sodorkan hanya berlaku untuk gejala-gejala yang kita teliti saja, yang terjadi
hanya dalam masyarakat dan kebudayaan yang kita teliti, maka dia lebih tepat disebut teori
kecil (small theory). Di sini pernyataan tentang hubungan antarvariabel tersebut lebih kecil
atau lebih terbatas cakupannya (Ahimsa-Putra, 2009).
i. Representasi (Etnografi) - (9)
Representasi atau penyajian adalah karya ilmiah yang memaparkan kerangka pemikiran,
analisis dan hasil analisis yang telah dilakukan, yang kemudian menghasilkan kesimpulan
atau teori tertentu. Representasi ini bisa berupa skripsi (pada S-1), tesis (pada S-2), disertasi
(pada S-3), laporan penelitian, makalah, artikel ilmiah (dalam jurnal ilmiah), atau sebuah
buku. Dalam antropologi, representasi ini biasa disebut etnografi. Dalam sejarah disebut

Makalah ceramah Perkembangan Teori dan Metode Antropologi, Departemen


Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011

historiografi. Dalam arkeologi ada yang menyebutnya sebagai paleoetnografi (Ahimsa-Putra,


2009).
Representasi atau etnografi merupakan tulisan yang dihasilkan oleh seorang peneliti
setelah dia melakukan penelitian atas satu atau beberapa masalah dengan menggunakan
paradigma tertentu. Oleh karena itu sebuah paradigma belum akan terlihat sebagai sebuah
paradigma sebelum ada etnografinya. Sebuah paradigma yang tidak memiliki etnografi
dengan corak tertentu belum dapat dikatakan sebagai paradigma yang utuh.
Di masa lalu etnografi sebagai suatu representasi kebudayaan atau unsur-unsur
kebudayaan tertentu kurang mendapatkan perhatian dalam cara penulisannya. Namun
semenjak Malinowski mulai dengan sangat sadar menyajikan sebuah etnografi fungsional,
yang menampilkan dengan jelas hubungan fungsional antarunsur kebudayaan, penulisan
etnografi mulai memperoleh perhatian yang lebih besar. Perhatian ini semakin menguat dan
kritis dengan munculnya paradigma post-modernisme dalam antropologi, yang banyak
mendapat inspirasi dari kritik sastra. Kini, para ahli antropologi telah menyadari betul-betul
bahwa representasi suatu kebudayaan dalam bentuk sebuah etnografi adalah persoalan
penting, karena akan berdampak terhadap citra kebudayaan yang disajikan.
3. Skema dan Macam Paradigma Antropologi (Budaya)
Urutan atau jenjang unsur-unsur paradigma di atas dapat digambarkan dengan skema
seperti pada halaman berikut (Skema 2, hal.10). Skema itu disusun dengan anggapan bahwa
dalam sebuah paradigma unsur asumsi dasar merupakan dasar dari unsur-unsur yang lain,
dan sudah ada sebelum adanya unsur-unsur yang lain. Oleh karena itu, asumsi-asumsi dasar
ditempatkan paling bawah. Representasi (etnografi) merupakan unsur yang terakhir muncul
dalam sebuah paradigma, sehingga unsur ini ditempatkan di atas.
Asumsi-asumsi dasar dapat dikatakan sebagai unsur-unsur paradigma yang paling dasar,
paling tersembunyi, paling implisit, dan karena itu biasanya juga paling tidak disadari. Oleh
karena itu berada/ditempatkan di paling bawah. Demikian juga halnya nilai-nilai. Walaupun,
nilai-nilai ini biasanya lebih disadari daripada asumsi dasar. Seorang ilmuwan yang baik akan
selalu tahu dan sadar tentang nilai-nilai keilmuan yang harus diikuti dalam setiap kegiatan
ilmiah. Ilmuwan atau peneliti umumnya cukup mengetahui nilai-nilai universal dalam kegiatan
ilmiah.
Model-model merupakan unsur paradigma yang sudah lebih jelas atau lebih kongkrit
dibandingkan dengan asumsi-asumsi dasar, walaupun tingkat keabstrakan dan
keimplisitannya seringkali sama dengan asumsi dasar. Namun unsur model ini juga lebih
sederhana dibandingkan dengan elemen asumsi dasar. Sebuah model umumnya merupakan
impilkasi lebih lanjut dari asumsi dasar yang dianut. Oleh karena itu, model ditempatkan
setelah asumsi dasar.

Skema 2. Unsur-unsur Paradigma dalam Ilmu Sosial-Budaya


etnografi
hasil analisis (teori)
metode analisis

selalu
eksplisit

metode penelitian
konsep-konsep
masalah yang ingin diteliti

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------Makalah ceramah Perkembangan Teori dan Metode Antropologi, Departemen


model
Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011

tidak selalu
eksplisit

asumsi dasar

nilai-nilai

1
0

Sumber : Ahimsa-Putra, 2008

Masalah-masalah yang ingin diteliti, yang dinyatakan dalam bentuk pertanyaan atau
hipotesa, merupakan unsur yang harus eksplisit, sehingga unsur ini ditempatkan di atas garis
pemisah antara unsur-unsur yang (bisa) implisit dengan unsur-unsur yang harus eksplisit.
Masalah-masalah penelitian juga merupakan implikasi dari asumsi dan model yang dianut,
walaupun hal ini tidak selamanya disadari oleh para penliti.
Konsep-konsep pokok juga merupakan unsur paradigma yang kongkrit, yang eksplisit
karena dalam setiap penelitian, makna konsep-konsep ini sudah harus dipaparkan dengan
jelas. Seperti halnya masalah penelitian, konsep-konsep ini sudah bersifat eksplisit dan
disadari, diketahui, walaupun tidak selalu dimengerti dengan baik segala implikasi
metodologisnya oleh para peneliti.
Metode penelitian dan metode analisis merupakan tahap-tahap pewujudan dari asumsiasumsi dasar, model dan konsep dalam sebuah kegiatan penelitian. Pelaksanaan atau
penerapan metode-metode ini didasarkan pada apa-apa yang ada dalam asumsi dasar,
model dan konsep. Dengan kata lain metode-metode ini merupakan tahap pelaksanaan
penelitian yang dibimbing oleh unsur-unsur paradigma yang sudah ada sebelumnya.
Penelitian dengan menggunakan konsep-konsep tertentu akan memerlukan metode yang
berbeda dengan penelitian yang menggunakan konsep-konsep yang lain.
Hasil analisis merupakan unsur yang muncul setelah dilakukannya analisis atas data yang
telah dikumpulkan dengan menggunakan metode-metode tertentu. Hasil analisis ini juga
harus dinyatakan secara eksplisit, tegas dan jelas. Jika tidak tegas dan jelas maka penelitian
yang telah dilakukan akan dinilai kurang berhasil, dan ini akan membuat telaah atas
paradigma yang telah digunakan semakin dipertajam.
Representasi merupakan elemen terakhir dari sebuah paradigma, dan di sinilah sebuah
paradigma akan dinilai keberhasilannya untuk menjawab persoalan-persoalan tertentu.
Sebagai hasil akhir, representasi ini sedikit banyak akan mencerminkan keseluruhan elemenelemen yang ada dalam sebuah paradigma. Oleh karena itu, dalam skema di atas, semua
ujung panah akhirnya mengarah pada unsur representasi ini.
Skema di atas akan menjadi terbalik, yakni unsur representasi berada di bawah, jika
dikatakan bahwa unsur-unsur paradigma diturunkan dari asumsi-asumsi dasar. Skema yang
terbalik ini disusun atas dasar tingkat keabstrakan dan keimplisitan dari unsur-unsur
paradigma. Semakin abstrak, implisit dan tidak disadari sebuah unsur, akan semakin tinggi
tempatnya dalam skema di atas. Meskipun demikian, semuanya akan berakhir pada
representasi atau etnografi.
Dengan menggunakan kerangka paradigma di atas, saya mencoba memetakan
paradigma-paradigma yang telah berkembang dalam antropologi budaya hingga masa kini
(tahun 2008), dan paradigma-paradigma tersebut adalah sebagai berikut.
1. Paradigma Evolusionisme
2. Paradigma Diffusionisme
3. Paradigma Partikularisme Historis (Historical Anthropology)
4. Paradigma Fungsionalisme
5. Paradigma Analisis Variabel
6. Paradigma Cross-Cultural
7. Paradigma Kepribadian dan Kebudayaan (Culture and Personality)
Makalah ceramah Perkembangan Teori dan Metode Antropologi, Departemen
Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011

1
1

8. Paradigma Strukturalisme (Lvi-Strauss)


9. Paradigma Tafsir Kebudayaan
10. Paradigma Materialisme Budaya
11. Paradigma Materialisme Historis
12. Paradigma Etnosains
13. Paradigma Konstruksionisme (Fenomenologi)
14. Paradigma Actor-Oriented
15. Paradigma Post-Modernisme
Klasifikasi paradigma ini ditentukan atas dasar persamaan dan perbedaan yang terdapat
pada unsur-unsur yang relatif pokok dalam paradigma, yakni: (a) asumsi dasar; (b) model; (c)
masalah penelitian (yang ingin diteliti); dan (d) konsep.
Agar paradigma-paradigma tersebut dapat tampil sebagai paradigma yang saling
berhubungan secara historis, diperlukan sebuah paparan yang historis. Untuk itu saya akan
memulainya dengan paradigma yang pertama muncul dalam antropologi, yakni evolusi
kebudayaan (evolutionism), yang muncul di akhir abad 19 2.
Pandangan tentang evolusi kebudayaan dalam antropologi pertama kali dilontarkan oleh
E.B.Tylor, ahli antropologi dari Inggris. Tylor (1865) membagi evolusi kebudayaan menjadi tiga
tahap, yakni tahap Savagery, Barbarism dan Civilization, dengan ekonomi dan teknologi
sebagai unsur-unsur budaya pembeda di antara tiga tahap tersebut. Pada tahap Savagery
manusia hidup dari berburu dan meramu, dengan menggunakan peralatan yang terbuat dari
kayu, tulang dan batu. Mereka hidup berpindah-pindah tempat. Pada tahap Barbarism
manusia mulai mengenal bercocok-tanam. Mereka mulai hidup menetap, karena harus
menunggui tanaman mereka. Peralatan mereka mulai dibuat dari logam. Pada tahap terakhir,
tahap Peradaban, manusia mulai mengenal tulisan, mengenal kehidupan perkotaan, dan
mampu membuat bangunan-bangunan besar, yang memerlukan pengetahuan dan peralatan
yang canggih, serta organisasi sosial yang kompleks.
Teori evolusi kebudayaan dari Tylor tersebut kemudian dikembangkan lagi oleh
L.H.Morgan (1877), yang membagi tahap Savagery dan Barbarism menjadi tiga, yakni
Savagery Awal (Lower Savagery), Savagery Tengah (Middle Savagery), dan Savagery Akhir
(Upper Savagery); Barbarisme Awal, Barbarisme Tengah, dan Barbarisme Akhir. Tahap akhir
adalah tahap Peradaban (Civilization) 3).
Di tengah pandangan masyarakat Eropa Barat yang ketika itu masih kuat menganut
ajaran-ajaran kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, teori evolusi kebudayaan dari Tylor
dan Morgan merupakan sebuah pandangan baru. Teori-teori tersebut menyadarkan mereka
bahwa sebagaimana halnya gejala alam, gejala-gejala dalam masyarakat dan kebudayaan
juga dapat dipelajari secara rasional, untuk kemudian diungkapkan hukum-hukum yang ada
di baliknya. Secara implisit teori tersebut mengajak masyarakat Eropa Barat untuk
memandang dan berfikir tentang masyarakat dan kebudayaan lewat paradigma evolusi,
bukan lewat paradigma dari kitab suci. Jadi, teori evolusi kebudayaan adalah sebuah kritik
terhadap cara berfikir masyarakat Eropa Barat ketika itu (Marcus dan Fischer, 1986).
Kemunculan teori evolusi kebudayaan tersebut telah mengundang sejumlah reaksi, yakni
(a) yang berupa kritik terhadap teori evolusi dan kemudian menyodorkan paradigma yang
lain, dan (b) yang mengakui kelemahan teori evolusi dari Tylor dan Morgan, namun tidak
menolak ide dasarnya, yakni bahwa kebudayaan atau masyarakat mengalami evolusi.
Kelompok pertama diwakili antara lain oleh ahli-ahli antropologi seperti Frans Boaz, RadcliffeBrown dan Malinowski, sedang kelompok kedua diwakili misalnya oleh Leslie White dan
Julian Steward.
2

)
Selanjutnya, paparan tentang perkembangan paradigma-paradigma antropologi di sini
diambil sepenuhnya dari pidato pengukuhan saya (Ahimsa-Putra, 2008).
)
Morgan mengembangkan skema Tylor yang terdapat dalam buku Researches into the Early
History of Mankind and the Development of Civilization, terbit tahun 1877 (Bidney, 1953: 209).
Makalah ceramah Perkembangan Teori dan Metode Antropologi, Departemen
Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011

1
2

White pada dasarnya mengakui bahwa kriteria yang digunakan oleh Tylor dan Morgan
bersifat subyektif, dan technological biasnya begitu kuat. Oleh karena itu, teori evolusi yang
lebih baik harus dibuat di atas dasar kriteria yang lebih obyektif, yang dapat ditentukan
ukurannya. Sehubungan dengan itu, White (1949) kemudian mengusulkan kriteria baru: enerji
(energy), karena setiap kebudayaan pada dasarnya adalah sebuah sistem thermodinamis,
yakni sistem yang melakukan transformasi enerji. Dengan enerji sebagai tolok ukur, maka
tingkat evolusi kebudayaan dapat ditentukan secara kuantitatif. Ukuran ini juga bersifat
universal, sehingga dapat dikatakan obyektif. Dengan kriteria enerji, Leslie White kemudian
merumuskan sebuah hukum evolusi kebudayaan, yakni C = E x T. C adalah culture, E
adalah energy dan T adalah technology. Artinya, evolusi kebudayaan merupakan perubahan
sistem yang melakukan transformasi enerji dengan bantuan teknologi (White, 1949: 368).
Teori evolusi ini kemudian disebut teori evolusi universal (Carneiro, 1973), karena White
berbicara tentang kebudayaan manusia dalam arti umum dan kriteria yang digunakannya juga
dapat digunakan secara universal.
Berbeda dengan White, Julian Steward melihat bahwa kelemahan teori evolusi dari Tylor
dan Morgan adalah pada data yang digunakan, yakni tidak berasal dari hasil penelitian
lapangan yang serius pada suatu kebudayaan tertentu. Oleh karena itu Steward mencoba
menggunakan paradigma evolusi untuk meneliti salah satu sukubangsa Indian di Amerika
Serikat, yakni Indian Shoshone di kawasan Great Basin (1938). Dari penelitian ini Steward
sampai pada pendapat bahwa evolusi kebudayaan terkait erat dengan kondisi lingkungan.
Kebudayaan orang Indian Shoshone yang ditelitinya ternyata tidak lagi mengalami evolusi,
karena telah sesuai (adaptif) dengan lingkungan alamnya. Sehubungan dengan itu Steward
berpendapat bahwa setiap kebudayaan mempunyai inti (cultural core), yang terdiri dari
teknologi dan organisasi kerja. Cultural core inilah yang menentukan corak adaptasi
kebudayaan terhadap lingkungannya (1955). Dengan kata lain, interaksi antara inti
kebudayaan dengan lingkunganlah yang menentukan arah evolusi suatu kebudayaan. Evolusi
kebudayaan, dengan demikian, tidaklah berjalan mengikuti satu jalur (unilinier), tetapi banyak
jalur (multilinier). Teori Steward ini kemudian dikenal sebagai teori evolusi multilinear
(multilinier).
Apa yang terjadi dalam paradigma evolusionisme menunjukkan bahwa kelemahankelemahan dalam paradigma ini tidak serta-merta membuat para ahli kebudayaan
meninggalkannya dan membangun paradigma baru. Krisis dalam paradigma justru telah
mendorong sebagian ahli untuk memperbaikinya, dan kemudian melahirkan sub-paradigma
atau paradigma turunan. Perbaikan tidak dilakukan dengan mengubah asumsi dasar yang
terpenting, yakni bahwa kebudayaan itu berkembang, dan bahwa manusia pada dasarnya
bersifat inventive (mampu menghasilkan hal-hal baru), tetapi dengan mengajukan model
kebudayaan yang berbeda. Kalau Tylor dan Morgan secara implisit mengumpamakan
kebudayaan seperti mahluk hidup (organisme), maka White memandang kebudayaan seperti
sebuah sistem termodinamis, sistem yang mentransformasi enerji, sedang Steward
memandang kebudayaan seperti mahluk hidup yang berada dalam lingkungan tertentu dan
selalu berada dalam proses adaptasi terhadap lingkungan tersebut melalui bagian intinya.
Penggunaan model yang berbeda dengan sendirinya menghendaki adanya konsepkonsep baru. Pada sub-paradigma evolusi universal yang dikembangkan oleh White, muncul
konsep-konsep penting seperti termodinamika, enerji, dan transformasi. Pada sub-paradigma
evolusi multilinier, konsep-konsep penting tersebut adalah lingkungan, adaptasi, cultural core,
organisasi kerja, dan sebagainya. Perbaikan metodologis juga ada. Munculnya konsep enerji
misalnya, menuntut ahli antropologi untuk memiliki metode mengukur jumlah enerji guna
menentukan evolusi yang telah terjadi. Hadirnya konsep inti budaya yang terdiri dari
organisasi kerja dan teknologi, menuntut ahli antropologi memiliki metode penelitian untuk
mengungkap organisasi kerja tersebut.
Tidak lama setelah teori evolusi dilontarkan, muncul sebuah paradigma lain dalam studi
kebudayaan, yakni diffusionism (difusionisme) atau penyebaran kebudayaan, dari ahli-ahli
kebudayaan di Inggris dan Jerman. Di awal kemunculannya paradigma ini tidak
dipertentangkan dengan paradigma evolusionisme, karena tokoh-tokoh aliran evolusi seperti
Makalah ceramah Perkembangan Teori dan Metode Antropologi, Departemen
Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011

1
3

Tylor dan Morgan juga tidak pernah menolak fakta bahwa unsur-unsur kebudayaan bisa
menyebar, dan perubahan kebudayaan bisa terjadi karena penyebaran ini (White, 1945).
Paradigma difusi baru terlihat berlawanan dengan dan merupakan alternatif terhadap
paradigma evolusi setelah Franz Boas di Amerika Serikat dengan murid-muridnya
melontarkan berbagai kritik terhadap paradigma evolusi (lihat Harris, 1968; Kroeber, 1946;
White, 1945), dan menyatakan bahwa pendekatan difusionistis merupakan pendekatan yang
lebih sesuai untuk merekonstruksi sejarah kebudayaan. Menurut mereka teori evolusi
kebudayaan terlalu menekankan faktor internal, dan kurang memperhatikan faktor eksternal,
ketika menjelaskan perubahan kebudayaan.
Ide tentang difusi kebudayaan pada awalnya muncul di Inggris dari W.J.Perry dan Elliot
Smith yang kebetulan meneliti budaya Mesir Kuno. Kekaguman mereka atas kecanggihan
budaya ini membuat mereka berkesimpulan bahwa peradaban-peradaban kuno yang lain di
muka bumi sebenarnya berasal dari Mesir. Penyebaran peradaban tersebut terjadi ketika
orang-orang Mesir, yang mereka sebut sebagai putra-putra dewa matahari (children of the
sun), menyebar ke berbagai tempat di dunia untuk mencari logam mulia dan batu mulia (Van
Baal, 1987). Teori ini segera ditolak oleh para ahli antropologi karena: (a) tidak didukung oleh
data yang baik dan akurat; dan (b) data tidak dikumpulkan dengan menggunakan metode dan
prosedur penelitian yang jelas, sehingga teori tersebut sebenarnya hanya buah dari pemikiran
yang spekulatif.
Meskipun demikian, para ahli antropologi menyadari bahwa pandangan Perry dan Smith
tentang kebudayaan ada benarnya, yakni bahwa unsur-unsur kebudayaan dapat menyebar
dari satu masyarakat ke masyarakat yang lain, dan beberapa kebudayaan memang terlihat
memiliki pusat tertentu, yang kemudian menjadi semacam pusat penyebarannya. Di pusat ini
pulalah terdapat dinamika kebudayaan yang paling tinggi. Lebih dari itu, mereka juga telah
menyodorkan sebuah cara pandang baru terhadap ke-budayaan. Kebudayaan kemudian
tidak lagi harus dilihat secara evolusionistis, tetapi bisa juga secara difusionistis. Artinya,
dinamika dan perkembangan kebudayaan tidak hanya berlangsung dalam bentang waktu
tertentu, tetapi juga dalam bentang ruang. Ada dimensi waktu dan juga ruang dalam
perubahan kebudayaan.
Tanpa mendapat pengaruh dari ilmuwan Inggris, di Jerman juga muncul studi tentang
penyebaran kebudayaan, dan telah melahirkan konsep-konsep baru seperti kulturkreis
(daerah atau lingkungan kebudayaan) dan kulturschichten (lapisan kebudayaan) (Baal, 1987).
Secara metodologis, kajian penyebaran kebudayaan di Jerman ini memang lebih baik
daripada yang dilakukan di Inggris, karena digunakannya kriteria kuantitas dan kualitas dalam
studi perbandingan guna menentukan tingkat keterhubungan unsur-unsur budaya
(Koentjaraningrat, 1980). Kebudayaan-kebudayaan yang dianggap memiliki hubungan karena
menunjukkan kesamaan-kesamaan tertentu, kemudian dianggap berada dalam suatu wilayah
kebudayaan tertentu, yang disebut kulturkreis. Para ilmuwan Jerman berpendapat bahwa
dengan menyusun kulturkreis dari berbagai kebudayaan di dunia, akhirnya kulturhistorie
global akan dapat diketahui dan direkonstruksi.
Meskipun para ilmuwan Jerman telah memperbaiki metode analisis mereka, namun masih
ada juga beberapa kelemahan dalam prosedur penelitian mereka, yang membuat
kesimpulan-kesimpulan mereka lantas terasa spekulatif. Kelemahan utama adalah bahwa
studi perbandingan tidak dimulai dari kebudayaan-kebudayaan yang berdekatan satu sama
lain, tetapi didasarkan pada ketersediaan data unsur budaya, dan ini terjadi karena
kelemahan yang kedua, yakni tidak dilakukannya penelitian lapangan untuk mendapatkan
data kebudayaan yang diperlukan (Baal, 1987).
Terlepas dari kelemahan-kelemahan tersebut, apa yang dilakukan oleh para ahli
antropologi Jerman telah berada pada jalur yang tepat. Mereka telah menggunakan analisis
komparatif yang disertai dengan asas kualitas dan kuantitas, guna menentukan wilayah
persebaran satu atau beberapa unsur kebudayaan (Baal, 1987; Koentjaraning-rat, 1980).
Metode inilah yang dikembangkan oleh para ahli antropologi Amerika Serikat yang setuju
dengan pandangan-pandangan dasar paradigma difusi kebudayaan. Kebanyakan mereka ini
adalah anak didik Franz Boas. Boas sendiri menolak teori-teori evolusi dan difusi karena
Makalah ceramah Perkembangan Teori dan Metode Antropologi, Departemen
Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011

1
4

menurutnya data kebudayaan yang tersedia belum memungkinkan para ahli antropologi
merumuskan teori-teori atau hukum-hukum seperti itu. Jika hal itu dipaksakan, maka yang
akan lahir bukanlah teori-teori yang kokoh, tetapi pendapat-pendapat spekulatif yang tidak
ilmiah. Bagi Boas, sejarah kebudayaan bersifat khas atau khusus, yang hanya dapat ditulis
atas dasar data yang berasal dari penelitian lapangan yang seksama dan intensif. Oleh
karena itu, tugas utama para ahli antropologi menurut Boas adalah melakukan penelitian
lapangan dan mengumpulkan data kebudayaan serinci mungkin. Aliran pemikiran Boas ini
kemudian dikenal sebagai partikularisme historis (historical particularism) dan telah
mendominasi kajian-kajian antropologi Amerika Serikat di awal abad 20 (Harris, 1968).
Dengan kerangka berfikir partikularisme historis inilah murid-murid Boas melakukan
penelitian lapangan untuk merekonstruksi sejarah-sejarah kebudayaan berbagai suku-bangsa
di dunia, terutama kebudayaan orang-orang Indian di Amerika Utara. Upaya ini kemudian
tidak berbeda dengan studi tentang difusi unsur-unsur kebudayaan, karena masalah sejarah
mencakup juga masalah asal-usul berbagai macam unsur tersebut. Dari sejarah kebudayaan
ini dapat diketahui hubungan dan saling pengaruh antarkebudayaan, atau proses penyebaran
kebudayaan di masa lampau, sehingga dapat disusun kemudian peta wilayah-wilayah
kebudayaan (culture areas), yakni daerah-daerah dengan berbagai kebudayaan yang banyak
kesamaannya satu sama lain.
Meskipun penelitian lapangan dengan metodologi yang lebih baik telah dilakukan oleh
para ahli antropologi Amerika Serikat, namun kritik tetap dilontarkan terhadap aliran mereka,
partikularisme historis. Dalam prakteknya sejarah suku-sukubangsa ini ternyata tidak selalu
dapat diungkap, karena tidak adanya data sejarah. Adalah Bronislaw Malinowski dan
A.R.Radcliffe-Brown yang menolak pendekatan sejarah dalam antropologi. Dua pakar
antropologi dari Inggris ini telah melakukan penelitian lapangan pada suku-sukubangsa yang
sederhana. Malinowski melakukannya di kalangan orang Trobriand, sedang Radcliffe-Brown
melakukannya di kalangan orang Andaman. Penelitian lapangan ini tampaknya telah
menyadarkan mereka akan keterbatasan pendekatan sejarah untuk mempelajari masyarakatmasyarakat sederhana di luar Eropa, yang tidak mengenal tulisan dan juga belum pernah
ditulis oleh orang lain. Masyarakat-masyarakat seperti ini tidak memiliki sumber-sumber
sejarah. Sejarah yang mereka miliki bukanlah sejarah sebagaimana dipahami para ilmuwan
Barat. Sejarah mereka adalah mitos. Penelitian dengan paradigma partikularisme historis
pada masyarakat seperti itu tidak akan menghasilkan sejarah tetapi sejarah-sejarahan
(pseudo history) (Radcliffe-Brown, 1952). Jadi, diperlukan paradigma yang lain. Penelitian
lapangan intensif yang dilakukan oleh Malinowski dan Radcliffe-Brown tampaknya telah
membawa keduanya pada sebuah paradigma yang tidak historis, yakni fungsionalisme.
Apa yang terjadi pada paradigma evolusionisme terulang pada paradigma difusionisme.
Paradigma difusi diterima oleh sebagian ahli, tetapi juga ditolak oleh sebagian yang lain.
Mereka yang menolak kemudian mengembangkan paradigma baru, sedang yang menerima
memperbaiki paradigma yang lama. Muncullah kemudian sub-paradigma dalam aliran difusi.
Perubahan model tidak terjadi di sini, tetapi metode penelitian dan analisis disempurnakan.
Kebudayaan dalam difusionisme tetap diumpamakan seperti kolam yang dilempar batu di
bagian tengahnya, sehingga timbul gelombang-gelombang yang menyebar dari tengah ke
pinggir. Dari model ini muncul dua sub-paradigma difusi kebudayaan: (a) yang ekstrim, dan
(b) yang moderat. Aliran difusi kebudayaan yang ekstrim adalah yang muncul di Inggris, dan
yang moderat adalah yang muncul dan berkembang di Jerman dan Amerika Serikat.
Munculnya fungsionalisme-(struktural) sebagai paradigma yang membukakan pintu
pemahaman baru terhadap gejala sosial-budaya telah membuat peristiwa ini dikatakan
sebagai revolusi dalam antropologi (Jarvie, 1964). Asumsi dasarnya adalah bahwa segala
sesuatu itu memiliki fungsi. Fungsi inilah yang menjelaskan keberadaannya. Termasuk di
dalamnya keberadaan unsur kebudayaan (Montagu, 1974). Model yang digunakan adalah
model organisme (Radcliffe-Brown 1952) atau model mesin. Namun, berbeda dengan kaum
evolusionis -yang juga menggunakan model organisme-, kaum fungsionalis tidak berupaya
merekonstruksi tahap-tahap evolusi kebudayaan atau unsur-unsurnya. Mereka lebih tertarik
untuk mengetahui fungsi berbagai gejala sosial-budaya, seperti halnya fungsi suatu organ
Makalah ceramah Perkembangan Teori dan Metode Antropologi, Departemen
Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011

1
5

dalam organisme. Dengan paradigma ini, perhatian peneliti tidak lagi ditujukan pada upaya
mengetahui asal-usul suatu pranata atau unsur budaya tertentu, tetapi pada fungsinya dalam
konteks kehidupan masyarakat atau kebudayaan tertentu. Suatu unsur kebudayaan yang
berasal dari masa lampau tidak lagi dilihat sebagai sisa-sisa budaya lama, tetapi sebagai
unsur budaya yang tetap aktual dalam masyarakat, karena mempunyai fungsi tertentu.
Revolusi yang terjadi karena lahirnya fungsionalisme-(struktural) berlangsung tidak hanya
pada tataran penjelasan (explanation), tetapi juga pada tataran metode penelitian dan
penulisan etnografi, dan keduanya dilakukan oleh Malinowski. Malinowskilah yang memulai
penelitian lapangan dalam waktu yang lama (lebih dari satu tahun), dan betul-betul hidup di
tengah masyarakat yang diteliti, serta mempelajari bahasa mereka (lihat Malinowski, 1961).
Metode penelitian seperti inilah yang kini dikenal sebagai metode observasi partisipasi
(participant observation) dan menjadi salah satu trademark antropologi. Paradigma
fungsionalisme-(struktural) memang menuntut penelitian seperti itu. Tanpa penelitian
lapangan yang lama dan mendalam, seorang peneliti akan sulit mengetahui dan memahami
saling keterkaitan fungsional unsur-unsur budaya masyarakat yang diteliti.
Selanjutnya pemahaman fungsionalistis tentang masyarakat dan kebudayaan itu harus
dituangkan dalam bentuk etnografi. Di sini diperlukan siasat penulisan tertentu yang dapat
menampilkan kebudayaan sebagai suatu kesatuan dari unsur-unsur yang berhubungan satu
sama lain secara fungsional. Malinowskilah setahu saya yang memulai genre penulisan
etnografi semacam ini melalui bukunya The Argonauts of the Western Pacific (1961), yang
kemudian dikenal sebagai etnografi holistik. Tidak setiap ahli antropologi mampu menulis
etnografi seperti ini. Diperlukan penelitian lapangan yang lama dan intensif, serta kesadaran
yang kuat pada diri penulis mengenai citra kebudayaan yang dapat dihasilkan lewat penulisan
etnografi dengan siasat tertentu. Di sini seorang ahli antropologi memang perlu menjadi
seorang sastrawan.
Berkat kiprah Malinowski dan Radcliffe-Brown serta murid-murid mereka, paradigma
fungsional-(struktural) kemudian menjadi salah satu paradigma yang mendominasi ilmu-ilmu
sosial di Barat di tahun 1940-1960an. Berbagai teori fungsional-struktural mengenai gejala
sosial-budaya bermunculan di era tersebut, seperti misalnya teori tentang fungsi kebudayaan,
fungsi mitos, fungsi rituil, fungsi sistem kekerabatan, fungsi sistem politik, fungsi simbol dan
sebagainya (lihat, Malinowski, 1954; Radcliffe-Brown, 1952; Gluckman, 1973; Leach, 1954).
Paradigma fungsionalisme-(struktural) ini kemudian menyebar ke cabang-cabang ilmu sosial
yang lain, terutama sosiologi dan politik. Dalam sosiologi, fungsionalisme dengan corak yang
lebih teoritis menjadi lebih dominan berkat kehadiran Talcott Parsons, Robert Merton, Lewis
Coser dan sebagainya (Turner dan Maryanski, 1979) yang begitu tekun mengembangkan
paradigma tersebut
Seperti halnya dua paradigma sebelumnya, paradigma fungsionalisme-(struktural), juga
tidak terhindar dari kritik. Dalam pandangan sejumlah ilmuwan sosial, paradigma ini dianggap
tidak dapat digunakan untuk memahami dan menjelaskan fenomena perubahan masyarakat
dan kebudayaan karena selalu menekankan pada hubungan fungsi-nal antarunsur dan
keseimbangan sistem (Buckley, 1967). Dari perspektif politis paradigma tersebut dituduh
sebagai ideologi ilmiah dari kaum yang mapan, yang anti-perubahan (Sztompka, 1974).
Berbagai upaya kemudian dilakukan oleh para penganutnya untuk menangkis kritik tersebut
(lihat Cancian, 1960; Coser, 1956; Fallding, 1963; Stzompka, 1974). Mereka berupaya
membangun paradigma fungsionalisme yang lebih dinamis, yang dapat memasukkan unsur
konflik serta perubahan dalam kajian fungsional-(struktural) (lihat Bailey, 1984; Berrin, 1973;
Cole, 1966; Gluckman, 1973; Leach, 1954). Namun, upaya-upaya ini tidak sepenuhnya
dianggap berhasil. Tidak-dapat-digunakannya paradigma fungsionalisme-(struktural) untuk
menganalisis perubahan sosial-budaya dipandang sebagai kelemahan serius oleh banyak
ilmuwan, dan ini telah membuat popularitas paradigma tersebut memudar, walaupun tidak
mati (lihat Eisenstadt, 1990).
Seiring dengan munculnya kritik terhadap paradigma fungsionalisme-(struktural), arus
kritik terhadap filsafat positivisme dalam ilmu sosial-budaya juga semakin menguat. Pengaruh
filsafat ini dipandang telah membuat paradigma fungsionalisme-(struktural) kurang dapat
Makalah ceramah Perkembangan Teori dan Metode Antropologi, Departemen
Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011

1
6

mengungkap aspek maknawi dari kehidupan manusia. Sejumlah ahli antropologi kemudian
mempertanyakan ketepatan paradigma itu untuk memahami gejala sosial-budaya sebagai
gejala simbolik. Padahal, simbol atau lambang, dan pelambangan (simbolisasi) merupakan
basis dari perilaku manusia (White, 1949), karena manusia adalah animal symbolicum
(Cassirer, 1945).
Kelemahan paradigma fungsionalisme-(struktural) dan keinginan untuk melepaskan diri
dari pengaruh positivisme, telah mendorong sejumlah ahli antropologi membangun
paradigma-paradigma baru. Lahirlah kemudian tiga buah paradigma baru yang mendapat
inspirasi dari ilmu bahasa (linguistik) dan sastra, yakni strukturalisme yang dikembangkan
oleh Lvi-Strauss di Prancis, etnosains di Amerika Serikat dan antropologi interpretif yang
dikembangkan oleh Clifford Geertz, juga di Amerika Serikat. Bagi sebagian ahli antropologi,
strukturalisme, etnosains dan antropologi interpretif dirasa lebih cocok untuk mengkaji
fenomena kebudayaan, karena ketiganya mendapat inspirasi dari cabang ilmu sosial-budaya
yang dianggap paling maju ketika itu, yakni linguistik, serta dari filsafat simbolisme.
Kajian antropologi budaya kemudian dapat mengarah ke aspek maknawi gejala sosialbudaya. Gejala-gejala ini kemudian tidak lagi hanya dipandang sebagai sebuah realitas
empiris yang perlu dijelaskan, tetapi juga sebagai wujud dari suatu kerangka berfikir kolektif
tertentu, yang perlu diketahui isi dan strukturnya (Tyler, 1969). Kebudayaan di sini
didefinisikan sebagai perangkat pengetahuan yang bersifat kolektif. Kebudayaan tidak lagi
dipandang seperti organisme atau sebuah mesin, tetapi seperti bahasa. Dalam pandangan
strukturalisme dan etnosains, gejala-gejala kebudayaan merupakan gejala-gejala yang seperti
bahasa (Lvi-Strauss, 1963; Tyler, 1969).
Pandangan ini menuntut para ahli antropologi untuk meninjau kembali berbagai metode
penelitian dan metode etnografi yang selama ini digunakan. Di sini mereka banyak mendapat
inspirasi dari ilmu bahasa. Seorang peneliti kebudayaan kemudian perlu merekam dengan
seksama berbagai istilah dalam bahasa lokal, dan kemudian menganalisisnya, karena istilahistilah ini merupakan perwujudan dari pola pikir kolektif suatu masyarakat atau komunitas.
Data kebudayaan semacam ini tentu memerlukan cara penyajian yang berbeda. Muncullah
kemudian sebuah cara menulis etnografi yang baru, yang dikenal sebagai The New
Ethnography.
Perspektif antropologi interpretif -yang mendapat inspirasi dari kajian sastra- berbeda lagi.
Di sini manusia didefinisikan sebagai mahluk yang dapat menciptakan dan memanfaatkan
simbol-simbol untuk berkomunikasi dan membangun kehidupan sosial. Kehidupan manusia
merupakan kehidupan yang berbasis pada simbol (White, 1949). Dalam sastra, kumpulan
simbol ini adalah teks. Oleh karena itu, kehidupan manusia dan gejala sosial-budaya di
dalamnya adalah juga teks. Sebagai teks, gejala-gejala ini tidak dijelaskan, tetapi dibaca,
ditafsir, diberi makna. Definisi simbol sebagai segala sesuatu yang dimaknai (White, 1949) di
sini memungkinkan para ahli antropologi mengarahkan perhatian mereka pada dimensi lain
-yang selama ini terabaikan- dari gejala sosial-budaya, yakni dimensi maknawinya (semantic
dimension).
Dalam antropologi masa kini kehadiran paradigma-paradigma baru ini tidak berarti matinya
paradigma-paradigma lama. Paradigma evolusi masih tetap bertahan, sebagaimana terlihat
pada beberapa kajian (Bellah, 1972; Durham, 1999; Graham dan Day-ton, 2002; Klaessen
dan Kloos, 1978; Shapere, 1989; Wolf, 1970). Paradigma difusionisme masih populer berkat
adanya fenomena penyebaran teknologi baru (lihat Brown, 1981), fenomena globalisasi (lihat
Lewellen, 2002; Tsing, 2005; Wolf, 1996) serta munculnya paradigma world-system
(Wallerstein, 1974; 1980). Paradigma fungsionalisme masih digunakan (Ahimsa-Putra, 2007a;
Eisenstadt, 1999) bahkan telah melahirkan sub-paradigma baru dalam antropologi ekologi,
yakni neo-functionalism (Ahimsa-Putra, 1994).
Jika digambarkan dengan menggunakan skema yang lebih historis, serta mengikuti
dikhotomi nomotetis dan idiografis, maka akan terlihat diagram sebagai berikut.

Makalah ceramah Perkembangan Teori dan Metode Antropologi, Departemen


Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011

1
7

Skema 3.

Tentu ada yang berkeberatan dengan pemetaan dan klasifikasi paradigma di atas, karena
saya belum memasukkan berbagai macam teori atau aliran yang sudah sangat sering
disebut-sebut, seperti misalnya feminisme, post-struktural, post-kolonial, atau post-post yang
lain. Dalam pandangan saya, aliran-aliran ini -yang sepintas lalu terlihat seperti paradigmasaya tempatkan sebagai bagian dari paradigma post-modernisme, sehingga paradigmaparadigma ini merupakan sub-paradigma. Feminisme sudah saya masukkan dalam skema di
atas, walaupun masih dalam kurung. Artinya, feminisme dalam antropologi belum terlihat
sebagai sebuah sub-paradigma yang cukup menonjol, walaupun dalam disiplin lain mungkin
sangat kuat, seperti misalnya dalam kajian sastra. Post-kolonial belum saya masukkan
Makalah ceramah Perkembangan Teori dan Metode Antropologi, Departemen
Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011

1
8

karena dalam antropologi saya belum melihatnya sebagai sebuah sub-paradigma yang sudah
cukup berpengaruh dalam antropologi. Sub-paradigma dari post-modernisme ini terlihat kuat
terutama dalam disiplin sejarah dan kajian sastra. Post-structuralisme tidak saya sebut-sebut
juga karena aliran ini da-lam pandangan saya tidak berbeda dengan post-modernisme-,
sementara istilah post-modernisme menurut saya lebih sesuai.
Selain pemetaan berdasarkan paradigma di atas, dalam wacana teoritis antropologi kini
juga banyak disinggung tentang epistemologi. Hal ini tampaknya dipicu oleh pernyataan
Lvi-Strauss di tahun 1960an mengenai paradigma strukturalisme yang dikembangkannya
dalam antropologi. Dia katakan antara lain bahwa strukturalisme yang dikembangkannya
bukan hanya merupakan sebuah teori, tetapi juga sebuah epistemologi, atau sebuah filsafat
ilmu yang baru dalam antropologi. Pernyataan ini menurut saya telah menyadarkan banyak
ahli antropologi bahwa pengembangan ilmu tidak lagi hanya persoalan pengembangan teori,
sebagaimana selama itu dipahami, tetapi -lebih penting lagi- merupakan pengembangan
epistemologi.
III. EPISTEMOLOGI
Apa yang dimaksud dengan epistemologi? Secara sederhana epistemologi dapat
didefinisikan sebagai teori tentang pengetahuan (theory of knowledge). Dalam epistemologi
dibicarakan antara lain asal-usul pengetahuan, sumber pengetahuan, kriteria pengetahuan,
dan sebagainya, serta perbedaan-perbedaannya dengan ilmu pengetahuan (science).
Menurut asal katanya (etimologi) epistemologi (epistemology) berasal dari kata episteme,
pengetahuan dan logos, ilmu pengetahuan, sehingga secara harafiah epistemologi dapat
diartikan sebagai ilmu tentang pengetahuan atau teori tentang pengetahuan. Oleh karena
itu, epistemologi juga diartikan sebagai the philosophical examination of human knowledge
(Encylopedia Americana vol.10, 1973), atau telaah filosofis atas pengetahuan manusia, atau
that branch of philosophy which studies the source, limits, methods, and validity of
knowledge (The World University Encyclopedia, vol.4, 1965), yaitu cabang filsafat yang
mempelajari sumber, batas-batas, metode dan validitas pengetahuan. Dengan demikian
telaah epistemologi pada dasarnya merupakan telaah tentang pengetahuan yang lebih
filosofis. Definisi seperti itu masih belum sangat jelas, kurang rinci.
Lebih khusus lagi H.P.Rickman (1967) mengatakan bahwa epistemologi pada dasarnya
membicarakan tentang: (a) what principles and presuppositions are involved in knowing
something (prinsip-prinsip dan presuposisi-presuposisi seperti apa yang terlibat ketika orang
mengetahui sesuatu); (b) how these may very according to the subject of inquiry (apakah
dan bagaimanakah berbagai prinsip dan presuposisi tersebut berubah ketika subyek
telaahnya juga berubah) serta apa implikasinya terhadap metode-metode yang digunakan; (c)
konsep-konsep umum yang mengacu pada gejala yang dipelajari atau pada gejala-gejala
yang ada dalam kehidupan manusia; (d) bagaimana mengaitkan konsep-konsep umum yang
penting ini satu sama lain dengan cara yang sistematis.
Oleh karena epistemologi bersifat filosofis, maka dalam kerangka paradigma di atas
bagian ini mencakup antara lain unsur-unsur yang biasanya bersifat implisit, yang terdiri dari
asumsi-asumsi dasar, etos (nilai-nilai) dan model. Asumsi-asumsi dasar merupakan unsurunsur yang oleh Rickman disebut prinsip-prinsip dan presupposisi, yang bervariasi
berdasarkan atas masalah yang dipelajari. Dalam antropologi, epistemologi ini -yang
selanjutnya kita samakan dengan filsafat ilmu antropologi- ada beberapa macam karena
filsafat ilmu sosial-budaya telah berkembang pesat semenjak Comte mengemukakan
gagasannya tentang filsafat positivisme sebagai basis ilmu pengetahuan. Oleh karena itu,
peta epistemologi dalam antropologi tidak sama dengan peta paradigma. Epistemologi di sini
merupakan bagian dari sebuah paradigma, tetapi bagian yang relatif lebih penting daripada
unsur-unsur yang lain.
Elemen asumsi dasar dalam paradigma perlu diketahui lebih jauh unsur-unsur
pembentuknya. Dari telaah saya atas berbagai asumsi dasar yang ada dalam berbagai
paradigma antropologi saya menemukan paling tidak enam butir asumsi dasar yang menjadi
landasan filosofis dari paradigma-paradigma tersebut. Asumsi-asumsi tersebut berkenaan
Makalah ceramah Perkembangan Teori dan Metode Antropologi, Departemen
Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011

1
9

dengan: (a) basis pengetahuan; (b) manusia; (c) gejala yang diteliti atau obyek materialnya;
(d) ilmu pengetahuan; (e) ilmu sosial/budaya; dan (f) disiplin atau cabang ilmu yang dipelajari,
yang dapat digambarkan dengan skema seperti berikut.
Skema 4. Basis Epistemologis Paradigma Antropologi
|- Asumsi dasar tentang ------| Basis Pengetahuan
|
|
|
|- Asumsi dasar tentang ------| Manusia
|
|
|- Asumsi dasar tentang -----| Gejala Yang Diteliti
Epistemologi ------ |
|
|- Asumsi dasar tentang ------|
Ilmu Pengetahuan
|
|
|- Asumsi dasar tentang -----|
Ilmu Sosial/Budaya
|
|
|- Asumsi dasar tentang -----Disiplin Antropologi

|- indera
|- kemampuan strukturasi
| dan simbolisasi
|- bahasa
|- asal-mula
|- sebab-sebab
|- hakekat
|- asal - mula
|- sebab-sebab
|- hakekat
|- tujuan
|- hakekat
|- macam
|- tujuan
|- hakekat
|- macam
|- tujuan
|- hakekat
|- macam

Dengan menggunakan enam butir asumsi dasar tersebut saya mencoba untuk
menemukan jenis-jenis epistemologi yang telah muncul dalam antropologi. Secara garis
besar epistemologi dalam ilmu antropologi terdapat tujuh macam epistemologi yakni: (1)
Positivisme; (2) Historisisme; (3) Fenomenologi; (4) Hermeneutik; (5) Strukturalisme
(Semiotika); (6) Materialisme Historis; (7) Post-Modernisme. Epistemologi ini kemudian
menjadi basis filosofis paradigma-paradigma antropologi yang telah berhasil kita identifikasi
sebelumnya.
Jenis paradigma dan epistemologi yang mendasarinya dapat kita susun menjadi tabel
seperti berikut (lihat Tabel 1). Tentu saja pemetaan ini juga masih dapat diperdebatkan karena
-sebagaimana kita ketahui- tidak setiap paradigma selalu cukup jelas dan eksplisit
epistemologinya. Misalnya saja paradigma etnosains. Secara eksplisit, paradigma ini jarang
sekali dihubungkan dengan filsafat fenomenologi karena secara historis memang etnosains
tidak muncul dari fenomenologi. Akan tetapi, jika kita perhatikan berbagai asumsi dasar dalam
etnosains, maka akan terlihat bahwa asumsi-asumsi tersebut tidak berbeda dengan
pandangan-pandangan filsafat fenomenologi yang masuk dalam ilmu sosial. Oleh karena itu,
saya mengatakan di sini bahwa fenomenologi merupakan basis filosofis dari paradigma
etnosains.

Makalah ceramah Perkembangan Teori dan Metode Antropologi, Departemen


Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011

2
0

Tabel 1. Epistemologi dan Paradigma dalam Antropologi (Sosial-Budaya)


Epistemologi

Paradigma

1. Positivisme

1. Paradigma Evolusi Kebudayaan


2. Paradigma Fungsionalisme
3. Paradigma Cross-Cultural Comparison
4. Paradigma Analisis Variabel
5. Paradigma Actor-Oriented

2. Historisisme

1. Paradigma Difusi Kebudayaan


2. Paradigma Partikularisme Historis

3. Fenomenologi

1. Paradigma Etnosains
2. Paradigma Konstruksionisme

4. Hermeneutik

1. Paradigma Kepribadian Kebudayaan


(Culture and Persoanlity)
2. Paradigma Tafsir Kebudayaan

5. Strukturalisme

1. Paradigma Strukturalisme (Lvi-Strauss)

6. Materialisme

1. Paradigma Materialisme Historis


2. Paradigma Materialisme Budaya

7. Post-Modernsime

1. Paradigma Post-Modernisme

Selain itu, paradigma tertentu juga masih dapat diperdebatkan basis epistemologinya,
seperti misalnya paradigma diffusi. Secara teoritis, kajian-kajian diffusi kebudayaan jelas
memperlihatkan corak atau ciri sejarahnya, sehingga paradigma diffusionisme dapat
dikatakan berbasis pada epsitemologi historisisme. Akan tetapi, hasil-hasil kajian diffusi juga
sangat banyak yang ditujukan untuk merumuskan hukum-hukum penyebaran unsur-unsur
kebudayaan. Dalam kajian diffusi juga ada upaya untuk sampai pada generalisasi gejala
penyebaran kebudayaan, sehingga basis epsitemologis paradigma ini bisa saja positivisme,
bukan historisisme.
Perdebatan seperti itu memang sulit dihindari, namun hal itu tidak perlu membuat upaya
untuk melakukan pemetaan perkembangan paradigma antropologi lantas harus berhenti.
Perdebatan tersebut juga tidak harus diartikan bahwa pemetaan di atas salah, karena
bagaimanapun juga hasil pemetaan di atas tidak dilakukan tanpa alasan tertentu yang dapat
diterima secara ilmiah. Misalnya saja, bagaimanapun juga paradigma etnosains lebih sulit
dikaitkan dengan epistemologi yang lain, dibanding dengan epistemologi fenomenologi.
Paradigma diffusi lebih mudah dihubungkan dengan epistemologi historisisme daripada
dengan positivisme.
Adanya butir-butir yang masih diperdebatkan pada dasarnya merupakan penanda bahwa
pemetaan aliran pemikiran atau paradigma dan basis filsafatnya tidak selalu bisa betul-betul
rapi dan jelas batasnya, sebagaimana halnya juga sebuah peta sebuah wilayah yang tidak
selalu dapat merepresentasikan atau menampilkan wilayah yang dipetakan secara rinci atau
persis. Meskipun demikian, peta tersebut tetap dapat dimanfaatkan untuk membimbing
pelancong, pejalan, wisatawan atau yang lain untuk mencapai tempat yang diinginkan. Begitu
pula halnya dengan peta paradigma. Dengan peta ini para peneliti sosial-budaya akan lebih
Makalah ceramah Perkembangan Teori dan Metode Antropologi, Departemen
Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011

2
1

menyadari posisi penelitian dan paradigma yang digunakannya dalam jagad pemikiran ilmu
sosial-budaya.
Epistemologi merupakan unsur-unsur yang paling abstrak dari sebuah paradigma, akan
tetapi unsur-unsur ini sangat menentukan bagaimana seseorang akan melakukan penelitian
ilmiah. Di lain pihak sebuah paradigma juga memerlukan unsur yang sangat kongkrit sebagai
perwujudannya, untuk menunjukkan bahwa paradigma tersebut ada (eksis). Paradigma
memerlukan sebuah representasi untuk menunjukkan keberadaannya. Representasi inilah
yang biasa disebut sebagai etnografi.
IV. ETNOGRAFI
Etnografi berasal dari kata ethnos, yang artinya adalah sukubangsa dan graphein, yang
berarti mengukir, menulis, menggambar. Jadi etnografi adalah tulisan, deskripsi atau
penggambaran mengenai suatu sukubangsa tertentu. Suatu sukubangsa tentu terdiri dari
manusia-manusia: laki-laki, perempuan, anak-anak, remaja, dewasa dan tua Suatu
sukubangsa juga tentu memiliki adat-istiadat atau budaya tertentu. Oleh karena itu, suatu
sukubangsa memiliki paling tidak dimensi fisik dan budaya. Oleh karena itu pula, di masa lalu
-ketika orang belum mengenal fotografi-, sebuah etnografi tentu memuat di dalamnya
deskripsi ciri-ciri fisik suatu sukubangsa dan deskripsi adat-istiadat, budaya sukubangsa
tersebut.
Ciri-ciri fisik tersebut meliputi bentuk hidung, bentuk mata, bentuk bibir, bentuk dan warna
rambut, bentuk pipi, bentuk rahang, warna kulit, tinggi badan, lebar badan, dan sebagainya.
Di masa lalu deskripsi semacam ini biasanya paling awal diberikan, karena penulis
(etnografer) ciri-ciri fisik adalah ciri-ciri yang paling awal dilihat ketika orang bertemu orang
lain, dan akan paling cepat menarik perhatian, bilamana ciri-ciri fisik ini berbeda sekali dengan
ciri-ciri fisik si etnografer itu sendiri. Kini setelah orang mengenal fotografi, deskripsi fisik
dalam etnografi sudah berkurang, karena paparan tentang ciri-ciri fisik tersebut lebih mudah
dan dapat lebih nyata ditampilkan melalui foto-foto. Foto wajah wanita, pria, anak-anak, atau
remaja dalam suatu sukubangsa kini lebih banyak terlihat dalam buku-buku etnografi.
Berbeda halnya dengan adat-istiadat atau kebudayaan, yang mempunyai tiga wujud atau
aspek, yakni: aspek material atau fisik (material aspect), aspek perilaku (behavioral aspect),
dan aspek ide atau gagasan (ideational aspect). Untuk menyajikan kebudayaan dalam aspek
materialnya, etnografer dapat menggunakan foto-foto, seperti misalnya foto rumah, peralatan
transportasi, peralatan pertanian, peralatan berburu, pakaian, dan sebagainya. Cara ini lebih
praktis daripada kalau etnografer memapar-kan berbagai benda atau peralatan tersebut
dengan menggunakan kata-kata. Namun, cara ini kurang dapat digunakan untuk menyajikan
kebudayaan pada aspek perilaku-nya, karena fotonya akan menjadi sangat banyak.
Untuk menampilkan aspek perilaku dari kebudayaan para etnografer masih banyak
memanfaatkan bahasa. Berbagai kegiatan sukubangsa yang diteliti, seperti misalnya kegiatan
bertani, mencari ikan, berburu, mencari hasil hutan, menggembala, pernikahan, pengobatan
tradisional, gotong-royong, kesenian dan sebagainya, hanya dapat ditampilkan dengan baik
melalui kata-kata. Menampilkan berbagai kegiatan dalam sebuah upacara keagamaan hanya
dapat dilakukan dengan baik kalau si etnografer meng-gunakan kata-kata, bukan gambar.
Penyajian sebuah upacara keagamaan lewat foto-foto bukan hanya kurang praktis, tetapi juga
kurang dapat menampilkan dinamika atau informasi lain yang tidak tampak, tetapi terkandung
dalam upacara tersebut.
Sebagai tulisan, etnografi kini biasa diartikan sebagai tulisan mengenai suatu suku-bangsa
yang didasarkan pada suatu penelitian atau pengalaman penulis (etnografer) dalam
perjumpaan, berhubungan, berinteraksi dengan suatu komunitas, masyarakat atau
sukubangsa tertentu. Tulisan ini bisa berupa berita di sebuah suratkabar mengenai upacara
keagamaan yang diselenggarakan oleh sebuah sukubangsa di salah satu pula kecil dan
terpencil di bagian selatan kepulauan Maluku; bisa pula sebuah artikel pendek di situ tentang
adat pernikahan orang Betawi di kota Jakarta; bisa pula sebuah artikel tentang cara
penyembuhan orang kesurupan pada sebuah komunitas di desa Jawa, atau sebuah artikel
Makalah ceramah Perkembangan Teori dan Metode Antropologi, Departemen
Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011

2
2

mengenai karapan sapi di Madura, dengan berbagai adat-kebiasaannya, dan masih banyak
lagi.
Etnografi juga bisa berupa sebuah artikel ilmiah di sebuah jurnal ilmu sosial mengenai
sistem ekonomi sebuah komunitas, perubahan-perubahan yang terjadi di situ, serta berbagai
faktor penyebabnya; mengenai cara-cara suatu masyarakat menyelesaikan konflik komunal
dengan memanfaatkan pranata-pranata tradisional yang mereka miliki; mengenai pola
pengasuhan anak-anak dalam suatu masyarakat dan pola-pola kepribadian yang terbentuk
karena pola pengasuhan seperti itu; mengenai pola-pola pengobatan tradisional yang masih
dilakukan oleh suatu masyarakat, dan hubungannya dengan tingkat kesehatan mereka, dan
sebagainya. Berbeda dengan jenis tulisan yang pertama, tulisan-tulisan seperti ini biasanya
merupakan hasil penelitian yang cukup lama, yang dikerjakan dengan teliti dan tekun,
sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Jurnal-jurnal ilmiah ilmu
sosial dan budaya banyak sekali berisi tulisan-tulisan seperti ini.
Kalau etnografi berupa artikel mendeskripsikan salah satu item kebudayaan (aktivitas rituil,
pengobatan, cocok-tanam, dsb.) dengan singkat, dan etnografi berupa artikel ilmiah
mendeskripsikan salah satu unsur kebudayaan (sistem pertanian, sistem kekerabatan, sistem
kepercayaan, dsb.) dengan cukup mendalam, maka etnografi berupa buku (monografi)
biasanya akan mendeskripsikan sejumlah unsur kebudayaan yang hubungannya erat satu
sama lain, misalnya sistem kekerabatan dengan sistem politik, dengan sistem kepercayaan,
dengan mitos, dengan sistem matapencaharian, dan sebagainya. Etnografi yang terakhir
inilah yang biasa disebut sebagai etnografi yang holistik (utuh). Etnografi dari jenis kedua dan
ketiga inilah yang kini merupakan landasan utama dari sebuah disiplin yang bernama
Antropologi, khususnya Antropologi Budaya atau Etnologi.
Dari penelitian selama beberapa bulan pada suatu masyarakat ini peneliti kemudian dapat
menulis beberapa etnografi, tergantung pada kreativitas dan produktivitas masing-masing.
Dari satu kali penelitian lapangan, seorang peneliti yang kreatif dan produktif dapat menulis
mengenai sistem matapencaharian sukubangsa yang diteliti, sistem kepercayaan yang
mereka anut, rituil tertentu yang dipandang penting dalam masyarakat, sistem kekerabatan
mereka, mitos-mitos yang hidup di kalangan mereka, bahkan juga kesenian atau praktekpraktek pengobatan yang mereka lakukan. Pendeknya peneliti dapat menulis etnografi
mengenai unsur-unsur kebudayaan yang me-narik perhatiannya selama di lapangan.
Penelitian lapangan yang tidak begitu lama, membuat peneliti agak sulit untuk mempelajari
bahasa lokal serta mengenal adat-istiadat atau kebudayaan masyarakat yang diteliti dengan
mendalam. Peneliti sulit mengetahui saling keterkaitan antara unsur budaya satu dengan
yang lain. Oleh karena itu, etnografi yang ditulis juga umumnya bersifat sepotong-sepotong.
Misalnya, peneliti menulis tentang sistem kekerabatan terlebih dulu, kemudian diterbitkan.
Kemudian menulis lagi tentang sistem ekonomi atau matapencaharian, kemudian diterbitkan.
Menulis lagi tentang sistem politik, dan diterbitkan lagi. Demikian seterusnya.
Kesan yang kemudian muncul pada mereka yang membaca etnografi semacam itu adalah
bahwa unsur-unsur budaya tersebut tidak berhubungan satu sama lain. Hal semacam ini
memang tidak banyak berpengaruh pada kerja antropologi sebagai sebuah disiplin, karena
antropologi di masa itu dimaksudkan sebagai cabang ilmu yang bertujuan untuk merumuskan
generalisasi-generalisasi atau hukum-hukum tentang gejala kebudayaan, yang dihasilkan
dari studi perbandingan kebudayaan, sebagaimana yang dirintis dan dikerjakan oleh
E.B.Tylor. Etnografi seperti itulah yang ada dalam antropologi di masa itu, yang juga masih
bertahan sampai sekarang. Meskipun demikian, perkembangan baru juga telah terjadi dalam
penelitian dan etnografi di awal abad 20.
Kini, setelah penelitian-penelitian antropologi berkembang dengan pesat, etnografi sebagai
bagian dari paradigma yang digunakan dalam penelitian tersebut juga mengalami
perkembangan yang pesat pula. Jika etnografi merupakan salah satu unsur dalam
paradigma, maka etnografi-etnografi yang ada dalam antropologi tentunya dapat
diklasifikasikan berdasarkan atas dasar paradigmanya. Jika demikian tentunya kita akan
dapat menemukan etnografi evolusionistis -yang merupakan hasil kajian dengan
Makalah ceramah Perkembangan Teori dan Metode Antropologi, Departemen
Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011

2
3

menggunakan paradigma evolusi kebudayaan-; etnografi diffusionistis -yang merupakan hasil


kajian dengan menggunakan paradigma diffusi kebudayaan-, etnografi fungsionalistis -yang
merupakan hasil kajian dengan menggunakan paradigma fungsionalisme-, etnografi struktural
-yang merupakan hasil kajian dengan menggunakan paradigma strukturalisme, dan
sebagainya.
Pertanyaannya kemudian adalah: adakah contoh-contoh etnografi seperti itu? Tentu saja
ada, sebab kalau tidak ada maka kehadiran sebuah paradigma tidak akan pernah diketahui.
Keberadaan paradigma hanya dapat diketahui dari etnografi yang telah dihasilkan oleh
penelitian dengan menggunakan paradigma tersebut. Akan tetapi, sayangnya etnografietnografi tersebut tidak semuanya dapat diperoleh di Indonesia. Sebagian besar etnografi
tersebut ditulis dalam bahasa Inggris. Meskipun demikian, beberapa etnografi yang ditulis
ahli-ahli antropologi Indonesia dapat kita jadikan contoh dari etnografi dengan corak tertentu.
Buku-buku etnografi yang diedit oleh Koentjaraningrat, seperti misalnya Manusia dan
Kebudayaan di Indonesia, Masyarakat Desa di Indonesia Masa Kini, Penduduk Irian Barat,
dan buku etnografi dari Koentjaraningrat sendiri, Kebudayaan Jawa, serta buku Sistem Politik
Tradisional di Irian Jaya dari Johszua Mansoben merupakan buku-buku etnografi dengan
paradigma studi perbandingan kebudayaan (cross-cultural comparison). Pada buku dari
Koentjaraningrat corak ini terlihat dari cara para penulis di situ menyusun etnografinya, yakni
dengan mengelompokkan data etnografis yang diperoleh ke dalam judul-judul unsur
kebudayaan, seperti sistem kekerabatan, agama dan religi, matapencaharian, bahasa,
dan sebagainya. Pada buku Mansoben klasifikasi yang terlihat adalah klasifikasi unsur-unsur
sistem politik. Dengan etnografi yang sama coraknya mereka yang ingin melakukan studi
perbandingan kebudayaan akan sangat terbantu oleh buku-buku tersebut.
Buku Javanese Trah dari Sjafri Sairin, buku Hubungan Patron-Klien di Sulawesi Selatan
(edisi baru dari buku Minawang) dari Ahimsa-Putra, dan buku Konflik dan Integrasi dari
Achmad Fediyani Saifuddin merupakan contoh etnografi dengan corak fungsional. Dalam hal
ini Javanese Trah terlihat lebih bercorak fungsionalisme dari Malinowski, sedang buku
Hubungan Patron-Klien dan Konflik dan Integrasi lebih memperlihatkan corak fungsionalismestruktural dari Radcliffe-Brown dan Durkheim.
Buku Orang Jawa dan Gunung Merapi dari Lucas Triyoga Sasongko, artikel Ahimsa-Putra
Air dan Sungai Ciliwung: Sebuah Kajian Etnoekologi, buku Lahajir Etnoekologi Orang dayak
Tunjung Linggang adalah beberapa contoh dari etnografi dengan paradigma etnosains. Di sini
disajikan sistem kategorisasi peneliti mengenai gejala-gejala yang ada di lingkungan mereka.
Pada buku Sasongko kategorisasi tersebut adalah mengenai mahluk-mahluk halus di
kawasan Merapi, pada tulisan Ahimsa-Putra kategorisasi tersebut adalah mengenai air dan
sungai Ciliwung, pada buku Lahajir kategorisasi tersebut mengenai hutan.
Buku Ahimsa-Putra Strukturalisme Levi-Strauss, Mitos dan Karya Sastra, dan buku
Laksono Tradisi dan Struktur pada Masyarakat Jawa, sangat jelas memperlihatkan paradigma
yang mendasarinya: strukturalisme. Perbedaannya adalah etnografi Jawa dari Laksono lebih
diwarnai oleh strukturalisme Belanda, sedang buku Ahimsa-Putra jelas dipengaruhi oleh
strukturalisme Lvi-Strauss.
Menguatnya pendidikan antropologi strata 2 dan 3 semenjak tahun 1990an telah
memengaruhi kuantitas dan kualitas etnografi di Indonesia. Etnografi dengan paradigma yang
lebih bervariasi telah dihasilkan oleh para master dan doktor antropologi. Sayangnya,
sebagian besar etnografi mereka tetap tinggal sebagai tesis master dan disertasi doktor.
Tidak banyak hasil kajian mereka yang kemudian terbit dalam bentuk sebuah buku atau
artikel di jurnal yang dapat diakses oleh lebih banyak orang.
V. PENUTUP
Dalam makalah ini saya mencoba menunjukkan keterkaitan antara paradigma,
epistemologi dan etnografi. Berdasarkan atas pandangan-pandangan saya mengenai
paradigma, epistemologi dan etnografi, saya katakan di sini bahwa dalam antropologi telah
berkembang sejumlah paradigma. Paradigma-paradigma ini mempunyai epistemologi, yang
Makalah ceramah Perkembangan Teori dan Metode Antropologi, Departemen
Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011

2
4

terdiri dari unsur-unsur yang relatif lebih penting daripada unsur-unsur yang lain dalam
sebuah paradigma, seperti misalnya unsur asumsi dasar, model, dan konsep. Etnografi
sebagai representasi merupakan unsur yang sangat penting juga karena merupakan wujud
dari keberadaan (eksistensi) sebuah paradigma. Tanpa etnografi, keberadaan sebuah
paradigma tidak akan pernah diketahui. Oleh karena itu, sebuah etnografi selalu
memperlihatkan corak paradigmanya. Oleh karena itu pula kita dapat mengidentifikasi dan
membuat klasifikasi etnografi berdasarkan atas paradigmanya.
Di Indonesia kita dapat menemukan sejumlah etnografi karya ahli antropologi Indonesia
dengan corak paradigma yang berbeda. Ada etnografi komparatif, etnografi fungsional,
etnografi etnosaintifik, etnografi struktural, dan sebagainya. Dengan memahami paradigma
dan corak etnografinya ini, akan lebih mudah kini bagi kita untuk mengembangkan antropologi
di Indonesia, karena kita dapat menentukan lebih dulu jenis paradigma yang ingin kita
kembangkan, unsur paradigma yang akan kita kembangkan, dan kemudian cara-cara untuk
mengembangkannya secara effektif dan effisien.
DAFTAR PUSTAKA
Ahimsa-Putra, H.S.
2005 Antropologi Indonesia oleh Ahli Antropologi Indonesia. Laporan Penelitian.
2006a Strukturalisme Lvi-Strauss, Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Kepel Press.
Edisi Baru.
2006b Antropologi Sosial-Budaya di Indonesia: Tingkat Perkembangan dengan
Perspektif Epistemologi dalam Ilmu Sosial dan Tantangan Zaman, Taufik
Abdullah (ed.). Jakarta: Rajagrafindo Persada.
2007 Paradigma, Epistemologi dan Metode Ilmu Sosial Budaya: Sebuah Pemetaan.
Makalah Pelatihan.
2008 Paradigma dan Revolusi Ilmu dalam Antropologi Budaya: Sketsa Beberapa
Episode. Pidato Pengukuhan Guru Besar Antropologi Budaya. Yogyakarta.
Universitas Gadjah Mada.
2009

Baal, J.v.
1987

Paradigma Ilmu Sosial-Budaya: Sebuah Pandangan. Makalah disampaikan dalam


Kuliah Umum Paradigma Penelitian Ilmu-ilmu Humaniora, diselenggarakan oleh
Program Studi Linguistik, Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan
Indonesia, di Bandung, 7 Desember.
Sejarah Teori Antropologi Budaya I. Jakarta: Gramedia.

Bidney, D.
1953 Theoretical Anthropology. New York: Columbia University Press.
Bottomore, T.
1975. Competing Paradigms in Macrosociology. Annual Review of Sociology 1: 191202.
Brukman, J.
1964 On the New Ethnography dalam Concepts and Assumptions in Contemporary
Anthropology, S.A. Tyler (ed.). Southern Anthropological Society, Proceedings
no.3. Athens.
Buckley, W.
1967 Sociology and Modern Systems Theory. Englewood Cliffs, New Jersey: PrenticeHall.
Carneiro, R.L.
1973 Four Faces of Evolution dalam Handbook of Social and Cultural Anthropology,
J.J.onigmann (ed.). New York: MacGraw Hill.

Makalah ceramah Perkembangan Teori dan Metode Antropologi, Departemen


Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011

2
5

Cassirer, E.
1945 An Essay on Man. Yale: Yale University Press.

Cuff, E.C. dan G.C.F.Payne (eds.).


1979 Perspectives in Sociology. London: George Allen & Unwin.
Eisenstadt, S.N.
1990 Functional Analysis in Anthropology and Sociology: An Interpretative Essay.
Annual Review of Anthropology 19: 243-260.
Geertz, C.
1963 The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books.
Goodenough, W.H.
1964 Cultural Anthropology and Linguistics dalam Language in Culture and Society,
D.Hymes (ed.). New York Harper and Row.
Graham, M.H. dan P.K.Dayton.
2002 On the Evolution of Ecological Ideas: Paradigms and Scientific Progress.
Ecology 83 (6): 1481-1489.
Harris, M.
1968 The Rise of Anthropological Theory. New York: Harper and Row.
Inkeles, A.
1964 What is Sociology?. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall.
Jarvie, I.C.
1964 The Revolution in Anthropology. Chicago: Henry Regnery.
Kleden, I.
1984

Kritik Teori Sebagai Masalah Ilmu Sosial dalam Krisis Ilmu-Ilmu Sosial dalam
Pembangunan di Dunia Ketiga. Yogyakarta: PLP2M.

Koentjaraningrat
1980 Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI Press.
1981 Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta: UI Press.
Kroeber, A.L.
1946 History and Evolution. Southwestern Journal of Anthropology 2 (1): 1-15.
Kucklick, H.
1972 A scientific revolution: sociological theory in the United States. Sociological
Inquiry 43: 2-22.
Kuhn, T.
1977
Kvasz, L.
1999

The Structure of Scientific Revolutions. Chicago: The University of Chicago Press.


Second Edition, Enlarged.
On Classification of Scientific Revolutions. Journal for General Philosophy of
Science 30: 201-232.

Lakatos, I. dan A.Musgrave (eds.).


1970 Criticism and the Growth of Knowledge. Cambridge: Cambridge University Press.
Lvi-Strauss, C.
1963 Structural Anthropology. New York: Basic.
Malinowski, B.
1961 The Argonauts of The Western Pacific. New York: E.P.Dutton.
[1922]

Makalah ceramah Perkembangan Teori dan Metode Antropologi, Departemen


Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011

2
6

Malo, M.
1989

Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial di Indonesia Sampai Dekade 80an. Jakarta:


Rajawali Press.

Manning, C.
1984 Peran Ilmu-ilmu Sosial dan Teori Ekonomi Neo-Klasik dalam Krisis Ilmu-Ilmu
Sosial dalam Pembangunan di Dunia Ketiga. Yogyakarta: PLP2M.
Manning, P.K. dan H.Fabrega.
1976 Fieldwork and the New Ethnography. Man (N.S.) 11: 39-52.
Marcus, G.E. dan M.J.Fischer.
1986 Anthropology as Cultural Critique: An Experimental Moment in the Human
Sciences. Chicago: The University of Chicago Press.
Masterman, M.
1970 The Nature of a Paradigm dalam Criticism and the Growth of Knowledge, I.
Lakatos dan A.Musgrave (eds.). Cambridge: Cambridge University Press.
Montagu, A.
1974 Malinowski on Method and Functionalism dalam Frontiers of Anthropology,
A.Montagu (ed.). New York: G.P.Putnams Sons.
Morgan, L.H.
1877 Ancient Society. New York: Holt.
Newton-Smith, W.H.
1981

The Rationality of Science. London: Routledge and Kegan Paul.

Penyunting.
1984 Kata Pengantar dalam Krisis Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pembangunan di Dunia
Ketiga. Yogyakarta: PLP2M.
Percival, W.K.
1976

The Applicability of Kuhns Paradigms to the History of Linguistics. Language 52


(2): 285-294.

Perrin, R.G.
1973 The Functionalist Theory of Change Revisited. The Pacific Sociological Review
16 (1): 47-60.
Radcliffe-Brown, A.R.
1952 Structure and Function in Primitive Society. New York: The Free Press.
Rais, M.A.
1984 Krisis Ilmu-ilmu Sosial: Suatu Pengantar dalam Krisis Ilmu-Ilmu Sosial dalam
Pembangunan di Dunia Ketiga.Yogyakarta: PLP2M.
Redaksi Prisma
1994 Ilmu-Ilmu Sosial di Indonesia Mandheg? Wawancara dengan Selo Soemardjan.
Prisma 1 Thn.XXIII: 37-62.
Restivo, S.
1983 The Myth of Kuhnian Revolution. Sociological Theory 1: 293-305.
Scheffler, I.
1972 Vision and Revolution: A Postcript on Kuhn. Philosophy of Science 39 (3): 366374.

Makalah ceramah Perkembangan Teori dan Metode Antropologi, Departemen


Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011

2
7

Shapere, D.
1964 The Structure of Scientific Revolutions. The Philosophical Review 73 (3): 383394.
1989 Evolution and Continuity in Scientific Change. Philosophy of Science 56 (3):
419-437.

Soedjatmoko
1984 Etik dalam Perumusan Strategi Penelitian Ilmu-ilmu Sosial dalam Krisis IlmuIlmu Sosial dalam Pembangunan di Dunia Ketiga. Yogyakarta: PLP2M
Steward, J.H.
1937 Ecological Aspects of Southwestern Society. Anthropos XXXII: 87-104.
1955 Theory of Culture Change. Urbana, Ill.: University of Illinois Press.
Sztompka, P.
1974 System and Function: Toward a Theory of Society. New York: Academic Press.
Tjokrowinoto, M.
1984 Krisis Kepercayaan Terhadap Peran llmu-ilmu Sosial di Indonesia dalam Krisis
Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pembangunan di Dunia Ketiga. Yogyakarta: PLP2M.
Toulmin, S.E.
1970. Does the Distinction between Normal and Revolutionary Science Hold Water?
dalam Criticism and the Growth of Knowledge, I.Lakatos dan A. Musgrave (eds.).
Cambridge: Cambridge University Press.
Turner, J.H. dan A.Maryanski
1979 Functionalism. Menlo Park, Calif.: The Benjamin/Cummings.
Tyler, S. (ed.).
1969 Cognitive Anthropology. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Tylor, E.B.
1964 Researches into the Early History of Mankind and the Development of Civilization.
[1865] Edited and abridged, with an Introduction by P.Bohannan. Chicago; The University
of Chicago Press.
1965 Anthropology. Abridged and Foreword by L.A.White. Ann Arbor: University of
[1881] Michigan Press.
. White, L.
1945 Diffusion vs Evolution: An Anti-Evolutionist Fallacy. American Anthropologist 47
(3): 339-356.
1949 The Science of Culture: A Study of Man and Civilization. New York: Farrar, Straus
dan Giroux.

oooOooo

Makalah ceramah Perkembangan Teori dan Metode Antropologi, Departemen


Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011

2
8

Makalah ceramah Perkembangan Teori dan Metode Antropologi, Departemen


Antropologi, FISIP Unair, Surabaya, 6-7 Mei 2011

2
9

Anda mungkin juga menyukai