Anda di halaman 1dari 200

SOSIOLOGI POLITIK

DARI INTRODUKSI TEORETIS KE


PRAKSIS NORMATIF

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif i


ii Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.
Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif iii
Copyright ©2021, Pandora
All rights reserved

SOSIOLOGI POLITIK
Dari Introduksi Teoretis Ke Praksis Normatif

Tebal: x + 188 halaman


Dimensi buku: 15 x 23 cm
ISBN: 978-623-6379-52-3

Penulis: Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


Editor: Dr. Akrim
Rancang Sampul: Ata Huruh
Penata Isi Naskah: Mas Albi

Cetakan I: Nopember 2021

Diterbitkan oleh:
PANDORA
(Divisi Penerbitan CV. Bildung Nusantara)
Graha Banguntapan B-23
Banguntapan Bantul Yogyakarta 55791
Email: penerbitpandora@gmail.com
Website: www.pandora.com

Anggota IKAPI

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau


memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa seizin tertulis dari
Penerbit dan Penulis

iv Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


PENGANTAR PENULIS

Puji dan syukur, terhaturkan pada Tuhan yang maha Esa. Tanpa
daya dan rahmatNYA, kami tak akan mampu memiliki sempat dan
juga tenaga dalam merampunkan buku ini. Sholawat serta salam
tetap teralirderaskan pada praktisi sosiologis revolusioner kita, Nabi
Muhammad SAW. Tanpanya, kita masih dalam kegelapan jahiliyah.
Buku yang ada di tangan pembaca ini merupakan kumpulan
ide-ide pokok pengatahuansosiologis.Tentunya,ide-ideyangdimaksud
adalahhasilpenggabungan pengetahuan yang diserap selama study dan
refleksi penting dalam pengembangannya. Proses penyusunan buku
ini, disadari memiliki kesamaan dengan karya-karya lain sebelumnya,
yang demikian sangat disadari betul oleh kami. Sebab beberapa
kontruksi teoretik yang dibahas merupakan teori yang telah umum
dipahami. Namun, ada hal yang berusaha dikembangkan dan tentu
menjadi pembeda dari buku sosiologis lain. Buku ini mengupayakan
pemehaman yang lebih komprahensif dan tentu dapat secara mudah
dipahami oleh pembaca.
Diskursus teoretik sosiologi politik sangat komplek dan tidak
mudah dipahami. Keilmuan politik (tanpa dihubungkan dengan
pemahaman sosiologi) secara praksis telah secara terpadu merupakan
bagian dari kehidupan sosial masyarakat. Jadi pengistilahan “sosiologi
politik”, jika dipandang secara sederahana tidak diperlukan. Sebab,

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif v


tanpa dipahami demikian, kegiatan politik tidak dapat dipisahkan
dari sosial masyarakat. Untuk menghadapi ambigiutas ini, pada awal
bab, kami mengurai secara rasional terlebih dahulu terkait dengan
pertemuan sosiologi dengan keilmuan politik.
Pada bab pertama penjelasan menfokus pada empat hal yakni
penggambaran konsep sosiologi, politik, perkembangan dan upaya
pemaduan keduanya dalam bentuk normatifnya. Secara berututan
pada awal pembahasan buku ini, mencoba memberikan gambaran
epistimologis sosiologi politik. Pembahasan demikian tentu sangat
penting, sebab merupakan cara metodis untuk memahami pemaduan
dua konsep keilmuan ini. Bab ini ditutup dengan upaya pemaduan
keduanya agar dapat menjadi keilmuan yang melahirkan dasar normatif
dalam pengembangan praksisnya.
Pasca memahami dasar konsep epistemologi sosiologi politik,
kami merasa perlu menggambarkan elemen-elemen yang mesti ada
dalam kajian-kajian politik. Alasan ini yang membuat kami, pada
bab II, berusaha menguarai konsepsi struktur politik. Tentu kajian
yang disajikan, juga didekati dari kajian sosiologi. Dengan kata lain,
diskursus konsep struktur bukan hanya dipandang sebagai strata politik,
namun juga menyoal proses terbentunya secara sosiologis. Pada bagian
ini, gambaran model stuktural politik dibagi menjadi dua bagian yakni,
struktural fisik dan sosial.
Elemen selanjutnya, yang penting dipahami adalah konsepsi
sosialisasi politik. Penjabaran terkait demikian, dirinci dalam
Bab III. Analisis kajian terus dikembangkan dengan pendekatan
sosiologi. Jadi tidak membahas tehnis sosialisasi politik, namun
menghubungkannya dengan varian perbedaan perkembangan

vi Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


sosiologi masyarakat. Intinya, kami menawarkan pola sosialisasi
berbeda-beda, tergantung pada tipikal masyarakat yang menjadi sasaran.
Pada bab IV, penjelasan dilanjutkan dengan apa yang sebenarnya
menjadi tujuan dari sosialisasi politik. Persoalan yang diangkat
dalam kajiannya tentu bukan taktik peningkatan partisipasi saja.
Namun, konstruksi teoretik yang menjadi basis tindakan partisipasi
masyarakat. Dalam upaya konsepsi utuh terkait yang demikian,
kami membacanya tindakan masyarakat untuk ikut berpartisipasi
tidak dapat dilepaskan dari rasionalitas mereka. Itu yang kemudian
menjadi dasar konsep yang diperkenal dalam ini didasarkan teori
rasional tindakan.
Partisipasi politik selain berkaitan dengan proses sosialisasi
politik, juga dipengaruhi oleh proses rekrutmen politik. Itu kenapa
di Bab VI membahas tentang konsepsi rekrutmen politik. Kami
menjabarkan konsepsi teoretik rekrutmen ini juga didasarkan
teori rasional tindakan. Perbedaannya, teori tindakan rasional
dalam proses rekrutmen menjadi basis praksis untuk mengendalikan
partisipasi. Sedangkan dalam proses partisipasi teori ini sebagai basis
praksis bagi masyarakat dalam mengambil keputusan.
Beberapa proses di atas, tergantung pada komunikasi politik
yang dilakukan. Komunikasi politik merupakan jembatan memahami
dan melakukan sosilisasi, serta rekrutmen guna meningkatkan
partisipasi politik. Itu sebabnya komunikasi politik secara khusus
juga dibahas dalam buku ini. Konstruksi yang dibangun tentu dari
teori komanikasi dalam posisinya sebagai bagian dari kehidupan
sosial manusia secara umum.

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif vii


Selain beberapa eleman yang umum dikenal dalam konsepsi
politik, kami tentu juga membahas sudut pandangan keniscayaan
sosiologis. Hal demikian dibahas dalam bab VII dan VIII. Kedua
penjelasan dalam bab ini sebenarnya sangat berhubungan. Antoginisme
sebagai sebuah keniscayaan yang merupakan jalan untuk membentuk
integrasi sosial yang harmonis. Walaupun kami membaginya
terpisah, namun kajian yang dijabarkan secara terhubung. Tujuannya
memberikan pemahamahan normatif bahwa ketegangan atau konflik
politik menjadi sebuah keniscayaan yang penting juga dihadapi dengan
cara politik yang baik guna integrasi sosial yang pula.
Salah satu instrumen yang dapat diambil dalam proses
pengembangan antagonisme menjadi integrasi sosial adalah
pendidikan politik. Bahasan instrumen ini juga kami bahas dalam
satu bab terpisah yakni bab IX. Pendidikan politik sebagai penguatan
elemen-elemen konsepsi politik merupakan acara yang dapat dipakai
untuk menjauhi antagonistik sosial dalam politik. Pada titik ini,
peran pendidikan politik kami perankan sebagai strategi pengelaloan
kesadaran tindakan politik.
Kami berharap buku yang merupakan hasil pengembangan
pengetahuan dapat menjadi bahan dasar normatif tindakan politik.
Tentunya buku ini memiliki banyak kekurangan, baik secara teoretis
maupun praksis. Untuk itu, pengembangan gagasan yang kami
gambarkan sangat dibutuhkan, baik kami sendiri atau para pakar lain.
Sebab itu jugalah, kritik dan masukan sangat penulis harapkan dari
berbagai pihak. Semoga buku sederhana ini dapat semakin memotivasi
kami juga untuk menjalankan terus mengembangkan gagasan sosiologi
politik yang lebih bermanfaat ke depannya. Amin. Wallahu a'lam.

viii Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


DAFTAR ISI

PENGANTAR PENULIS v
DAFTAR ISI ix

BAB I PENDAHULUAN 1
A. Sociology Concept 2
B. Politic Concept 9
C. Historitas Sosiologi Politik 13
D. Konseptualisasi Sosiologi Politik: Upaya
Pengembangan Praksis Normatif 24

BAB II STRUKTUR POLITIK 38


A. Struktural Fisik 41
B. Struktural Sosial 48

BAB III KONSEPSI SOSIALISASI POLITIK 57


A. Konsepsi dalam Totalitariansm Society 59
B. Konsepsi dalam Primitive Society 61
C. Konsepsi dalam Prismatic Society 66

BAB IV POLITICAL PARTICIPATION 74


A. Participation Rational Basis 75
B. Participation Scope 81

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif ix


C. Participation Typology 86

BAB V POLITICAL RECRUITMENT 95


A. Diskursus Rasional Dasar Rekrutmen Politik 97
B. Political Recruitment System 100

BAB VI POLITICAL COMMUNICATION 106


A. Diskursus Problematika Komunikasi Politik 108
B. Teoretis Praksis Komunikasi Politik 119

BAB VII POLITICAL ANTAGONISM 124


A. Historitas dan Dasar Konseptual Antagonisme
Politik 127
B. Konsepsi Antogonisme Individual dan Kolektif 133

BAB VIII UPAYA PENGEMBANGAN INTEGRASI


POLITIK 146
A. Integrasi dan Kuasa Politik 147
B. Pengembangan Konsepsi Praksis Normatif 157

BAB IX PENUTUP 167


A. Kesimpulan 167
B. Saran dan Rekomendasi 171

DAFTAR PUSTAKA 175


BIOGRAFI PENULIS 187

x Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


BAB I
PENDAHULUAN

Membahas sosiologi politik, tentu ada dua hal yang secara


terminologis maupun konsep yakni sosiologi dan politik.
Walupun lumrah dipahami politik juga merupakan rumpun
ilmu sosiologis, namun sebagai sebuah konsep keduannya
secara mendasar berbeda. Politik berhubungan dengan
kekuasaan. Sedangkan sosiologi secara umum berbicara
interaksi dan komunikasi masyarakat. Perbedaan yang begitu
nyata adalah pada paradigma yang dibangun. Sosiologi lebih
banyak menekankan pada proses pemahaman intensitas
gejala-gejala sosial. Sehingga jika keduanya, dipadukan tentu
merupakan keilmuan interdisplin yang memiliki berbedaan,
namun memiliki kesenadaan.1

Bahkan ada yang menekankan cara pandang sosiologis


dapat dilakukan dengan mengibaratkan fakta sosial sebagai
benda-benda pada umumnya. Tentu yang demikian berbeda
dengan ilmu politik yang memandang manusia sebagai agen
fakta sosial yang memiliki hasrat dan keinginan. Sifat ini yang
menyebabkan mereka saling beradu. Jadi keduanya sangat
1
Susi Fitria Dewi, Sosiologi Politik (Magelang: Gre Publishing, 2017). 22

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 1


berbeda secara mendasar. Untuk lebih rigid, penulis akan
terlebih dahulu membahas satu persama sebelum mengintegrasi
keduanya sebaagai sebuah rumpun keilmuan interdisipliner.

A. Sociology Concept
Keilmuan sosiologis sebenarnya berasal dari akar
pemahaman tentang kehidupan masyarakat dengan segala
realitas dan tindakannya Jadi objek kajian yang rumpun
ilmu sosilogi adalah masyarakat. Beberapa pakar seperti,
Brinkherhof, White, Horton, Hunt, hingga Peter L
Berger, dalam membangun konsepnya masing-masing ada
perbedaan dalam hal terminologi masyarakat sebagai objek
kajian utama ilmu sosiologi.
Penulis akan mengawali dari konsepsi Brinkherhof
dan Lyann K. White.2 Keduanya memahami masyarakat
sebagai objek utama ilmu sosiologi mengarah pada aktifitas
manusia saja. Baginya disebut masyarakat apabila ada
sekumpulan manusia yang saling melakukan interaksi.
Sehingga bagi keduanya ilmu sosiologis merupakan bidang
ilmu yang memepelajari tentang pola-pola, perkembangan,
dan perubahan interaksi manusia itu sendiri.3
Untuk lebih rincinya, perlu lebih dahulu memahami
apa sebenarnya yang dimaksud interaksi sosial. Interaksi
2
Brinkherhof merupakan tokoh sosiologi kontemporer yang menulis bersama beberapa
teman-teman. Salah teman yang dikenal adalah Lynn K. White. Pada tahun 2013,
keduannya menulis buku bersama teman-teman dengan judul Essentials of Sociology.
Buku tersebut merupakan buku keduanya yang sebenarnya telah ditulis sejak tahun
1989.
3
David B. Brinkerhoff and Lynn K. White, Essentials of Sociology (San Fransisco:
Publishing Company, 1989). 4

2 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


dalam arti fokus sosiologi sebagaimana dijelaskan kedua
pakar di atas merupakan hal yang berkaitan dengan pola
hubungan timbal balik dalam kontak komunikasi manusia.
Terminologi sosial ini menjadi batasan konsep ilmu
sosiologi yang dimaksud oleh Brinkherhod dan White.
Artinya, ilmu sosiologis tidak mengamati ragam tindakan
manusia saja, namun lebih pada komunikasi dan kontak
antar manusia itu sendiri.
Untuk lebih jelasnya, penulis akan memberikan
contoh sederhana mengenai masalah ini. Misalnya, ada
orang yang sebut saja namanya si Fulan berteriak di ruang
yang sepi seperti di kamar mandi atau kamar pribadinya.
Proses berteriaknya, tidak bisa dianggap sebagai interaksi
sosial, sebab tidak melibatkan atau melakukan kontak
dengan orang lain. Proses bersin si Fulan akan dapat disebut
sebagai interaksi sosial, apabila dilakukan diruang publik
dan menimbulkan pemaknaan atau tindakan timbal balik
dari orang lain. Misalnya, teriakan si Fulan terdengar oleh
Si bunga, teman yang ada dalam satu kamar yang sama.
Mendengar teriakan si Fulan, si Bunga menutup telinga
dan mengeluarkan nasehat agar tidak usah terlalu keras
dalam bersuara. Nasehat dan tindakan menutup telinga
dapat dianggap sebagai respon dari teriakan si Fulan.
Tindakan demikian, baru dapat dinyatakan sebagai proses
interaksi sosial manusia. Yang tentunya, dapat diamati dan
masuk dalam kajian keilmuan sosiologi.

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 3


Jadi syarat teriakan masuk dalam kategori interaksi
sosial apabila menjadi kontak pada orang lain disekitarnya.
Kontak secara bahasa memiliki arti melakukan sentuhan
secara berasama-sama. Maksudnya, melakukan tindakan
dengan saling berhubungan. Kalau ditelusuri dari asal
bahasan kontek ini diadopsi dari bahasan latin, con artinya
bersama-sama dan tango dapat diartikan menyentuh. Jadi
kontak pada hakikatnya ada keterhubungan satu individu
ke individu lainya. Dalam kasus si Fulan dan Bunga di
atas, teriakan dapat manjadi interaksi sosial apabila
dapat menghubungkan tindakan si Fulan sebagai pelaku
dan si Bunga sebagai yang merasakan dan mendengar
teriakannyanya.
Selain daripada itu, ketut si Fulan juga dapat dipahami
sebagai bentuk kegiatan komunikasi. Dalam hal ini, penulis
ingin menekankan bahwa disebut interaksi sosial apabila
ada kontak dan komunikasi dua orang atau lebih. Teriakan
Si Fulan sebagai alat komunikasi merupakan bagian
tindakan yang memiliki makna bagi orang lain. Indikasi
pemaknaannya, tentu bisa berasal dari orang lain, yang
dalam hal ini, adalah nasehat dari si Bunga. Dalam hal ini,
teriakan memiliki makna dalam benak si Bunga, sebagai
pengganggu ketenangan orang lain, sehingga selaku teman
ia menasehati untuk secepatnya tidak usah lantang dalam
bersuara. Serta merta, teriakan dalam kasus ini menjadi
bagian komunikator dalam interaksi sosial.

4 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


Komunikasi sendiri jika ditelusi secara linguistik
memiliki makna penyamapaian, pemberiatahuan dan
sebagainya. Dalam kasus kentut di atas, jelas si Fulan
memberi tanda lewat teriakannya, sedangkan si Bunga
memberitahukan sebuah nasehat orang sakit perut.
Walaupun kentut bukan merupakan sebuah bahasa
atau kata, namun tindakan kentut serta merta memiliki
makna tertentu bagi orang lain. Pemaknaan ini yang
mendorong adanya respon timbal balik dari orang lain
yang bersangkutan.
Kasus senada sebagaimana disampaikan penulis di
atas, juga dicontohkan dengan pemisalan yang berbeda
oleh Damsar dalam bukunya yang berjudul “Pengantar
Sosiologi Pendidikan”. Dalam bukunya, guru besar sosiologi
pendidikan itu, mencontohkan pada kasus interaksi Karta
dan Guritno. Ceritanya, Karta melempar batu ke sungai,
lalu Guritno melambaikan tangan dari seberang sungai.
Proses pelemparan batu oleh Karta dan lambaian tangan
Guritno ini, disebut sebagai interaksi sosial. Artinya
mengandung tindakan timbal balik dari dua orang sebagai
wujud kontak dan komunikasi keduanya.4
Konsep sosiologi sebagai pemisalan yang dikembangkan
dari konsepsi Brinkherhof dan White di atas, sebenarnya
memposisikan manusia sebagai pihak yang memiliki
kecendrungan malakukan interkasi dangan pemaknaan
subjektiftasnya. Artinya, interaksi sosial berlangsung atas
4
Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2015). 2-4

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 5


dasar kelebihan manusia dengan tindakan yang aktif dan
kreatif. Sehingga interkasi yang demikian dapat digolongkan
sebagai komunikan interpersonal manusia. Dari perspektif
tersebut, konsepsi yang dikembangkan dari kedua tokoh
ini dapat disebut sebagai “mikro sosiologi”.
Selain konsep sosiologi yang dibangun di atas, ada
juga konsep melahirkan makro sosiologi. Yang demikian
tentunya seperti yang dijelaskan oleh Horton dan Hunt.5
Menurut kedunnya sosiologi itu, ilmu yang mempelajari
masyarakat secara kompleks.6 Jadi untuk memahami
ilmu ini, perlu secara runtu terminologi masyarakat
secara holistik. Masyarakat bukan interaksi interpersonal,
namun berkenan dengan berkenaan dengan budaya.
Tidak mengherankan, jika dalam membangun konsepsi
sosilogi, Horton dan Hunt membasiskan pada teminologi
kebudayaan.
Terminologi sebagai basis konsep sosiologi yang
diutarakan berawal dari asumsi bahwa masyarakat
merupakan sekumpulan manusia yang hidup secara
bersama-sama di sebuah wilayah tertentu dengan tradisi, dan
kegiatan tertentu hingga menciptakan satu kebudayaan.7
Jadi dalam membangun asumsi makro sosiologi, mari baca
kembali terminilogi kebudayaan itu sendiri. Dalam hal ini
Keduanya merupakan sosiologi terkenal kontemporer. Harton merupakan sosiologi
5

asal Australia. Sedangkan Hunt berasal dari Filipina. Karya keduanya terkait dengan
sosiologi sangat fonomenal dan terdiri dua jilid. Bahkan J Stor, org, menobatkan Hunt
sebagai bapak Sosiologi Filipina (Father of. Philippine Sociology).
6
Paul B. Horton and Chester L. Hunt;, Sosiologi Jilid 1, Ed.ke-6 (Jakarta: Erlangga,
1999).3
7
Horton and Hunt; 59

6 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


tentu, sebaik menelisik beberapa konsepsi dari pakar juga.
Salah pakar tersohor kontemporer yang berbicara
masalah budaya adalah Sir Edward Tylor. Ia merupakan
peneliti sosiologi baik persoalan sosilogi bahasa, seni hingga
agama. Dalam pandangannya kebudayaan berhubungan
dengan elemen-elemen seperti hukum, nilai, keyakinan,
kesenian, moral, adat istiadat dan seluruh habituasi anggota
masyarakat.8 Difinisi ini tentu erat hunganya dengan
hasilnya risetnya tentang budaya masyarakat. Nilai dan
norma tidak dapat dianggap sebagai perkembangan dari
interaksi manusia saja, namun juga merupakan proses
turun menurun yang begitu lama dan menjadi kebiasaan
sekumpulan manusia di suatu daerah tertentu.
Serumpun dengan difinisi dari Tylor ini jugalah ide
Horton dan Hunt, namun dengan argumentasi yang lebih
sederhana. Menurut keduanya, kebudayaan merupakan
kebudayaan merupakan habituasi atas dasar pengalaman
bersama manusia. Artinya ada pertemuan pengalaman
yang menjadi dasar dari adanya kebudayaan itu. Lebih
jelasnya, ia berasumsi manusia tidak dapat lepas dari
warisan nilai, kayakinan sebelumnya dan pengalaman
yang sedang berlangsung dan dihadapinya. Dari pertemuan
ini, budaya terus berkembang atau berubah.9 Penjelasan
terminilogi budaya yang demikian, yang menjadi dasar
konsep masyarakat.
8
Edward Burnett Tylor, Primitive Culture: Researches Into the Development of Mythology,
Philosophy, Religion, Art, and Custom (USA: J. Murray, 1871). 6
9
Horton and Hunt; 58

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 7


Horton dan Hunt menjelaskan masyarakat dalam
kajian sosiologis disebut sebagai perpaduan antaranya
pertemuan pangalaman internal dan eksternal manusia
itu sendiri. Eksternal yang dimaksud tentu adalah seluruh
hal yang bersumber dari luar diri manusia, baik berupa
nilai, adat istiadat dan semacamnya. Dari asumsi, penulis
tampak tidak heran jika asumsi Berger menegaskan bahwa
syarakat masyarakat adalah memiliki sistem sosial. Artinya
mesyarakat disebut sebagai kajian ilmu sosiologis apabila
tiga indikator yakni terdiri dari banyak bagian, berhubunga
satu sama lain, dan kompleksitas harus dipahami secara
holistik.10
Konsep yang terakhir ini sebagaimana penjelasan di
atas, tentu berbeda dengan konsep pertama sebelumnya.
Pada konsep pertama objek ilmu sosiologis dipahami
sekadar relasi interpersonal manusia, sehingga penulis
menyebutnya sebagai mikro sosiologis. Sedangkan
konsepsi yang kedua dapat dikatakan sebagai makro
sosiologis. Disebut demikian, sebab masyarakat sebagai
objek kajian dipahami sebagi sekumpulan manusia yang
memiliki budaya tertentu berdasarkan pertemuan aspek
internal dan ekternal manusia. Dengan kata lain, konsep
lebih menjelaskan realitas sosial sebagia pertemuan antar
makro kelompok masyarakat yang diakumlasikan dengan
kesadaran manusia sendiri.

10
Damsar.8

8 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


B. Politics Concept
Berbeda dengan ilmu sosiologi yang menfokuskan
pada interaksi sosial masyarakat secara luas, ilmu politik
lebih pada interaksi manusia dalam hal pengambilan
keputusan dan pengaruh guna menjalankan sebuah sistem
masyarakat. Sederhananya begini, sosiologi merupakan
ilmu yang mempelajari tentang sistem sosial masyarakat,
sedangkan ilmu politik lebih spesifik ada pengelolaan sistem
masyarakat itu sendiri. Masyarakat terbentuk dari proses
penyatuan habituasi, nilai, norma dan hasrat manusia
sendiri. Pada proses itulah politik sangat berperan. Ilmu
merinci dari keilmuan sosiologis, ilmu politik lebih spesifik
pemahaman akan jalannya proses ini.
Duverger yang fokus pada kajian politik dalam
bukunya menjelaskan bahwa masyarakat sebagai sebuah
sistem (seperti yang disampaikan Berger, tentu memiliki
dua strata. Ada masyarakat yang berperan sebagai
goverments (pemerintah) dan ada pula yang berperan
sebagai giuvemes (yang diperintah).11 Realitas ini tidak bisa
dihindari. Masyarakat yang memerintah, perlu dipatuhi,
dan masyarakat yang diperintah perlu patuh. Artinya,
interaksi sosial yang dipelajari oleh ilmu sosiologi tidak lagi
berada pada sebatas kontek dan komunkasi saja. Namun
merupakan peradauan atau pertemuan antar kepentingan
manusia.

11
Maurice Duverger, Sociologia Politica (Barcelona: Ariel., 1968). 19

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 9


Dasar teori politik sebenarnya adalah pada argumentasi
terkait dengan konsepsi kepentingan manusia sebagai sebuah
keniscayaan dari interaksinya dalam kehiduapan sosial.
Seluruh manusia memiliki kepentingan dalam melakukan
tindakanya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Max Weber,
kepentingan secara rasional menjadi dasar aktifitas setiap
manusia. Sehingga, perkumpulan masyarakat memiliki
banyak pertemuan kepentingan. Pada sisi ini, interkasi
sosial disebut sebagai interaksi kepentingan. Menurut
Weber kepentingan terkait dengan pemenuhan kebutuhan
dan semacamnya, akan selalu berbeda-beda. Sehingga akan
ada kepentingan yang dialienasikan dalam interkasi sosial.12
Perkembangan selanjutnya, antar kepentingan subjektif
manusia yang berbeda saling berebut untuk menjadi
kepentingan yang paling dominan. Akibatnya interaksi
sosial mengelami kebuntuhan. Atau dalam hal ini terjadi
disintegrasi sosial disebabkan berbedanya dasar kepentingan
tindakan masing-masing manusia yang berbeda. Kondisi ini
tentu perlu di atasi dengan cara memaksanakan kehadiran
kepentingan objektif. Menurut Levine dan Caporaso,
kepentingan objektif akan dapat mengikat atau bahkan
mengubur kepentingan subjektif manusia. Kepentingan
subjektif hilang, tindakan sosial masyarakat akan dapat
menyatu secara baik. Di titik ini, ilmu politik mengambil
fokus kajiannya, tidak mengherankan keduanya menilai
politik sebagai pemerintahan, publik, dan alokasi nilai-nilai
12
Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (USA: Routledge, 2013).
55

10 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


pihak yang berwenang.13
Masih terkait dengan kepentingan manusia,
sebagai dasar diperlukannya keilmuan politik, Connolly
menjelaskan proses objektifikasi kepentingan kadang
juga lahir dari adaptasi kepentingan subjektifitas pada
kepentingan yang lebih holistik. Gagasan ini sebenarnya
merupakan dasar dari ideologi politik bahavorisme dan
utilitarianisme sebagaimana yang dianutnya. Sehingga
pemahaman yang dikembangkan dalam konsepsi politik
dalam argumentasinya ini menjelaskan objektifitas
kepentingan sebagai tujuan ilmu politik dalam menguatkan
proses integrasi ssistem sosial masyarakat.14
Pakar modern yang telah menyusun konsep ilmu
politik dengan dasar terminologis berbeda dari beberapa
pakar adalah Susi Fitria Dwi. Dalam bukunya menyusun
berdasarkan beberapa difinisi terminologis yang berasal dari
beberapa pakar seperti, Levine, Caporaso, Easton, Soltau,
Barents, Deliar Noer, Kaplan, Schmitt, Duberger dan lain
sebagainya.
Jadi selain Levine dan Coporaso sebagaimana dijelaskan
sebelumnya, ada beberapa argumentasi dari beberapa pakar
yang dapat berguna beagai dasar menyusun konsep politik.
Easton misalnya, menganggap politik berhubungan dengan
pola kekuasaan, otiritas dan aturan. Soltau lebih melihat
politik sebagai pemehaman akan tujuan dan hubungan
13
James A. Caporaso and David P. Levine, Teori-Teori Ekonomi Politik (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2015). 21
14
Williem E. Connolly, The Bias of Pluralism (New York: Atherton Press, 1969). 68

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 11


negara-negara. Barent menjelaskan sebagai ilmu untuk
memahami kehidupan dan tugas negara. Kaplan lebih
sempit, politik menurutnya hanya merupakan pertanyaan
seperti pada siapa yang mendapatkan apa, bagaimana dan
kapan. Bahkan ada terminilogi yang real dilahirkan dari
konsep pertentangan kepentingan, yakni sebagiamanan
yang disebutkan oleh Duverger. Ia menjelaskan politik
sebagai konflik untuk meraih kekuasaan dalam sistem
sosial. Seluruh yang berbeda ini disederhanakan sebagai
konsep sebagimana berikut ini;

Gambar 1.1 Konsepsi Politik

12 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


Konsepsi di atas menunjukkan banyak varian konsepsi
politik sebagai sebuah ilmu. Jadi politik sebenarnya tidak
melulu berhubungan dengan urusan konflik perebutan
kekuasan. Namun juga terkait dengan pengelolaan publik,
pemerintahan bahkan anggaran. Secara konsepisional
sederhana kadang dihubungkan dengan taktik dan strategi
perpindahan kekuasan saja. Sebenarnya hal demikian
parcial. Hakekatnya, secara ideal politik adalah penguatan
sistam sosial masyarakat. Yang tentu dalam hal ini dapat
dikaitkan sebagai perkembangan ilmu sosiologi yang
menganggkat persoalan tindakan sistem sosial. Lebih
dari itu, politik lebih menjelaskan kekuatan dan strategis
sistem sosial itu sendiri. Alasan ini, yang sebenarnya
melatarbelakangi upaya penyatuan kembali keilmuan
sosiologi dan politik.

C. Historitas Sosiologi Politik


Secara historis, lahirnya keilmuan sosiologi,
sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, tentu lahir dari
pakar sosiologi. Beberapa pakar yang dimaksud adalah
mulai dari Durkheim, Tochquivelli, Max Weber hingga
Karl Marx. Buku ini akan merinci beberapa historis gagasan
tokoh-tokoh ini. Jadi sebenarnya penjelasan ini hampir
senada dengan apa yang tulis oleh Yves Deloye dalam
handbook yang berjudul “Political Sociology”.15 Dalam buku
tersebut dijelaskan, lahirnya sosiologi politik sebagai sebuah
15
The SAGE Handbook of Political Sociology, 2v, ed. by William Outhwaite and Stephen
P. Turner, First edition (Thousand Oaks, CA: SAGE Publications Ltd, 2018). 23

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 13


disiplin keilmuan disebabkan adanya perubahan-perubahan
yang terus menerus terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Perubahan demikian menimbulkan pertanyataan
penting sosiologis yang terus berubah-berubah. Sehingga
beberapa pakar sosiologis, seperti kalangan Durkhemian
membanguan asumsi sosiologis dengan menghubungkan
pada realitas politik sosial yang terjadi. Dalam hal ini
Mauss mejelaskan, sosiologi semestinya tumbuh melewati
batas waktu dan ruang angkasa.16
Sosiologi politik bahkan dalam perkembangan
awal, sebenarnya ditandai dengan dipahaminya fakta
sosial yang tidak mudah didekati dengan pendekatan
positifistik. Deloye mengutip pemaparan Emirbayer
terkait dengan paradigma sosiologis awal tersebut, dengan
mengatakan bahwa dalam Durkheim merupakan tokoh
yang menghadirkan fakta sosial dengan pendekatan
nonpositifistik. Perubahan fakta sosial selalu berhubungan
dengan tradisi baik agama maupun kesukuan tertentu.
Jadi fakta sosial dapat dipahami dengan sudut pandang
logika tradisi. Hampir senada dengan Weberian yang juga
senada. Dalam hal ini, Deloye tampak menghadirkan sudut
pandang Horton dan Kalberg yang menjelaskan bahwa
dalam Weberian, fakta sosial dipahami dengan pendekatan
sensitif dan interpretatif pada sejarah dan budaya.17
Perbedaan paradigma yang demikian di atas, terjadi
karena adanya gerakan disiplinisasi pengetahuan. Keilmuan
16
Marcel Mauss, The Nature of Sociology (USA: Berghahn Books, Incorporated, 2005). 25
17
Outhwaite and Turner. 24

14 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


sosiologis yang sejak awal berbeda pun mengalami hal
yang demikian. Wallerstein menjelaskan perkembangan
pendekatan dan fokus kajian sosiologis yang telah sejak
awal berkembang dengan varian kajian dan pendekatan
tentu menjadi keilmuan yang banyak melahirkan disiplin
keilmuan. Beberapa kajian sosiologi diklasifikasikan dengan
cara mencari persamaan dan perbedaan masing-masing
varian dan pendekatanya.18
Pada studi perkembangannya, kajian sosiologi untuk
berkembang menjadi keilmuan yang logis bertabrakan
dengan keilmuan sejarah. Dalam hal ini, paling banyak
disengkatan oleh Weberian. Sejarah dan sosiologi
diperbandingkan dalam penyusunan generalitas dan
nomo logical status. Keduanya sama penting untuk
dijadikan premis-premis dalam menyusun sebuah
normalisasi keilmuan sosial. Pada kondisi ini, legitimisi
ilmu pengetahuan pun menjadi dilematis. Satu sisi yang
perlu mempelajari sejarah atau peristiwa yang sudah-sudah,
sebagai premis-premis dasar pengetahuan praksis dan
metodisnya. Sisi lain, ada anggapan bahwa peristiwa akan
selalu berubah, apalagi yang hubungannya dengan dunia
politik. Dalam anggapan yang kedua, sejarah menjadi
mubaddir untuk dipelajari.
Deloye mencatat, proses berkembangan (pada sekitar
tahun 1960an) beberapa pakar lebih bersepakat pada dasar
yang kedua. Ilmu politik akhirnya menomerduakan kajian
18
Immanuel Wallerstein, ‘Social Science and Contemporary Society: The Vanishing
Guarantees of Rationality’, International Sociology, 11.1 (1996), 7–25.

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 15


sejarah sebagai pendekatan fungsionalnya. Jadi ada proses
eliminasi dimensi sejarah dan penguatan peran kajian
fonomena sosial, yang dalam hal ini tentu adalah kajian
ilmu sosiologi. Dengan kata lain, ia menghadirkan grand
theory Wrigth Mills dalam disiplin keilmuan sosial jenis
ini.19 Tentu penghadiran paradigma yang memiliki alasan-
alasan tertentu
Beberapa pakar yang mencoba membangun pertemuan
dari dua pertentangan di atas, sebagai dasar ditemukan
social scintefic di antaranya, Jean-Claude Passeron,20
William H. Sewel Jr,21 Theda Skocpol22 dan Charles Tilly.23
Beberapa tokoh ini berusaha mengambil jalan tengah.
Mereka merekonsiliasi perbedaan sosiologi dan sejarah.
Bagi mereka keduanya sama penting untuk dijadikan
dasar pemahaman sosial masyarakat. Berdasarkan upaya-
upaya sejumlah pakar, Deloye menegaskan kedua ilmu
bersebarangan dapat secara rukun menjadi pertimbangan
19
Yves Déloye, Sociologie Historique Du Politique, La Decouverte edition (Paris: La
Decouverte, 2007). 19-21
20
Ia memperkenalkan proyeksi sosiologi. Gagasan yang dijelaskan menyangkut tentang
sistem yang berhubungan dengan struktur kelas, produkis, kekuasaan, dan legitimasi.
Lengkapnya baca, Jean-Claude Passeron Pierre Bourdieu, La Reproduccion (Spanyol:
Fontamara, 2013).
21
Tokoh ini menjelaskan sejarah dan social tidak dapat berdiri sendiri. Para sejarawan akan
dapat memaknai catatatan sejarahanya dengan hasil kajian sosiologis. Baca, William H.
Sewell Jr, Logics of History: Social Theory and Social Transformation, Illustrated edition
(Chicago: University of Chicago Press, 2005).
22
Tokoh ini menyajikan pandangan beberapa pakar terkait dengan keilmuan yang berdiri
dipersimpangan sejarah dan sosiologi. Lihat, Daniel Chirot and others, Vision and
Method in Historical Sociology, ed. by Theda Skocpol, Illustrated edition (Cambridge
Cambridgeshire ; New York: Cambridge University Press, 1984).
23
Demikian juga tokoh terakhir ini. Ia berusaha menawarkan argumen sosiologis yang
dapat mempertemukan gagasan ahli sejarah. Baca, Tilly Charles, As Sociology Meets
History (USA: Academic Press, 1981).

16 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


kajian ilmu sosiologi politik.24
Berdasar pada konstruski dasar penyesunan
pendekatan ilmu sosial di atas demikian, banyak tokoh yang
membangun anggapan bahwa sosiologi politik merupakan
metatheoretical dari dua dasar disiplin keimuan klasik.
Keduanya tentu adalah sosiologi dan sejarah. Dengan
kata lain, satu sisi dapat disebut sebagai perkembangan
kajian sejarah, pada sisi lain juga dapat disebut sebagai
perkembangan kajian fakta sosial masyarakat. Penyatuan
dari keduanya ini, menurut Kalberg sebenarnya telah
dipakai dalam analisis Weber.25
Pasca ditemukan rekoginisi integrasi paradigma
sosiologi dengan sejarah, beberapa pakar membangun
arguntasi sosiologi politik. Banyak yang menjelaskan dalam
melakukan tindakan sosial, manusia tidak bisa hidup tanpa
pengaruh sejarah. Namun, juga tidak bisa hidup dengan
terlena pada fakta sejarah sosial. Dalam hal ini Marx
mengatakan, “People make their own history, but they do
not make it just as they please; they do not make it under
circumstances chosen by themselves, but under circumstances
encountered, given and transmitted from the past”.26
Jadi, pada pertemuan tindakan sosial manusia
merupakan tranmisi dari kehidupan masa lalunya yang
24
Outhwaite and Turner. 24
25
Stephen Kalberg, Max Weber’s Comparative-Historical Sociology Today: Major Themes,
Mode of Causal Analysis, and Applications, 1st edition (Farnham ; Burlington, VT:
Routledge, 2012).
26
Karl Marx, A History of Economic Theories, 1st edition (Los Angles: Langland Press,
1952). 15

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 17


dipertemuakan realitas yang sedang terjadi. Dalam
aspek pengembangan sebuah disiplin ilmu pengetahuan
pun demikian. Pengetuhuan mesti mereduksi asumpsi
pengalaman terdahulu pada pemahaman realitas yang
sedang dihadapi. Artinya, untuk memperoleh ide holistik
science, perlu mengkomparasikan hasil amatan lampau
dengan apa yang diobservasi. Dalam situasi ini, susunan
paradigma sosiologi politik mulai lahir.
Kronologis diskursus logos sebagaimana dijelaskan di
atas juga lahir pertumbuhan-pertumbuhan sosiologi politik
sebagai sebuah disiplin ilmu pengetahuan. Namun, Deloye
menjelaskan kehadiran ilmu politik sebenarnya lebih
condong atau lebih awal dari analisis histori. Dalam hal
ini yang menyebutkanya sebagai “a socio-historical analysis
of political domination”. Dalam hal ini, ia mencontohkan
beberapa kajian para tokoh seperti Mann, Wallerstein,
Lachmann, dan lain sebagainya, yang berbicara masalah
sosiologi politik. Seluruh pakar dalam pandanganya,
memakai fakta sejarah sebagai postulat mendasar dalam
berbicara tindakan politik manusia. Seluruh pakar nyaris
sama berbicara tentang kekuasaan sosial, ekonomi dan
sebagainya, tentu disajikan dengan fakta sejarah yang
ada. Dari analisa yang disampaikan, secara keseluruhan
membicara titik-titik adanya dominasi sosial dalam
masyarakat.27

27
Outhwaite and Turner. 26

18 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


Argumentasi beberapa pakar sosiologi politik berusaha
membangun konsepsi power dan legitimasi struktural
sosial masyarakat. Marx dan Weber misalnya, keduanya
berbicara terkait dengan pihak yang mendominasi. Marx
menunjukkan hubungan domonisi dengan kekuasaan
capital. Weber demikian, namun lebih berbicara pada
gambaran makro kapasitas yang dapat berkuasa pada
masyarakat.28
Beberapa pakar setelahnya seperti Charles Tilly,
Lachmann, Aron dan Morgenthau banyak mengadopsi
penjelasan Weber. Bagi mereka kajian pertama sosiologi
politik adalah tentang dominasi atau kekuasaan. Kekuasaan
menjadi pembicaraan penting dalam karya Weber. Ia
membagi kekausaan menjadi dua jenis yakni state power
(‘machtstaat politics ’) dan power politics (‘machtpolitik’).
Menanggapi hal ini beberapa pakar mulai menyusun
argumentasi-argumentasi sosial politik. State power
berhubungan dengan bagaimana negara dikembangkan,
sedangkan power politics berhubungan dengan bagaimana
kekuasaan berjalan secara baik.
Deloye selanjutnya memberikan analisis pada beberapa
pakar yang sebutkan di atas. Menurutnya, seluruh pakar
membangun konsepsi dengan mendasarkan postulat
sejarah terlebih. Ada dua hal yang menjadi inti pembahasan
beberapa pakar terkait dengan pengembangan argumentasi
Weber tentang kekuasaan. Keduanya dapat berupa
28
Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. 54

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 19


pertanyaan epistemologis seperti, pertama, bagaimana
sejarah dapat memberikan pengetahuan terkait dengan
bagaimana pengalokasian atau pengelolaan sumber daya?.
Dalam hal ini berhubungan dengan state power. Aritinya
sejarah perlu menggambarkan pengelolan negara yang baik
demi terciptanya kekuatan negara yang baik.
Kedua, bagaimana memahami politik yang dapat
mensuskseskan monopoli kekuasaan?. Sejarah pada tahap
yang kedua ini, dipakai untuk memberikan gambaran
tindakan politik penguasa untuk menekan kepatuhan
rakyat. Bentuk-bentuknya yang paling nyata, bisa berupa
“legitimate physical violence” atau semacamnya, yang pada
akhirnya dapat mengikat kepatuhan sosial masyarakat.29
Pertanyaan epistimologis demikian menjadi dasar
pengembangan ide-ide holistik sosiologi hingga modern
ini. Misalnya dalam era modern, ada pakar yang secara
khusus membahas tentang sosiologi politik di era modern.
Salah satunya, Linz dan Stepan. Keduanya merupakan
pakar yang banyak meneliti tentang sosiologi politik
di era modern. Mereka menjelaskan era modern perlu
pengembangan ekonomi baik. Salah satunya adalah
pasar-pasar bebas modern. Dalam pandangannya, sebabas
apapun pasar tetap membutuhkan pengamanan dan perlu
mempertimbangkan aspek-aspek politik pemerintahan.
Baik yang bertujuan untuk memperkuat power politcs
ataupun state power. Namun cara yang diambil tidak
29
Outhwaite and Turner. 26

20 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


mesti memakai cara-cara komunal. Salah satu tawaran
argumentatifnya adalah dengan melegitimasi keamanan
atau ancaman hukuman publik. Yang demikian bertujuan
untuk melindung kekayaan dan seluruh kondisi negatif.30
Melengkapi pendapat ini, Deloye menjelaskan pada
era modern dalam kacamata sosiologi politik, aturan
yang memaksa harus dilegalkan. Ia menjelaskan bahwa
sistem sosial, walaupun di era modern pun harus memiliki
konstitusi (Rechtsstaat). Yang demikian dapat dimanfaatkan
untuk mobilisasi perlindunagn pada hak sipil (khususnya
hak-hak sipil dan politik) dari sebuah negara dan juga untuk
membatasi kesewenang-wenangan individu masyarakat.31
Elias, seorang pakar sosiologis politik asal Jerman,
menjelaskan hal yang memperkuat adanya legitimasi
publik dalam struktur sosial masyarakat. Namun ia tidak
begitu sepaham dengan pendapat Weber sebelumnya.
Dalam pemahamannya, legitimate physical force tidak perlu
dipaksaksakan oleh dominasi indivudi manusia secara
natural. Yang demikian dalam padangannya secara natural
lahir dari interplay tindakan manusia. Jadi kehadiranya
lebih pada hasil peniadaan peran individu manusia sendiri
secara terencana. Dengan kata lain, sentralisasi kekuasaan
tidak didasarkan kepentinga dominasi pribadi, namun
direncanakan berbeda dengan kepentingan personal

30
Juan J. Linz and Alfred Stepan, Problems of Democratic Transition and Consolidation:
Southern Europe, South America, and Post-Communist Europe (Baltimore: Johns Hopkins
University Press, 1996). 359
31
Outhwaite and Turner. 27

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 21


manusia itu sendiri.32
Pendapat-pendapat senada dengan apa yang dijelaskan
Elias di atas menjadi indikator masuknya perkembangan
sosiologi politik di era modern. Di era klassik, sosiologi
politik menghadirkan banyak diskursus pemahaman
tentang kekuasan dan faktor penyebab adanya dominasi
yang dilegalkan. Di era modern, pemahaman tersebut mulai
ditela’ah kembali. Kekuasaan di era modern dianggap perlu
dilahirkan secara alami dari interaksi masyarakat.
Walaupun selalu muncul perkembangan pemahaman
yang berbeda, namun pada intinnya sosiologi politik tetap
memakai sudut padang kajian sejaran sosiologi sebagai
dasar argumentasi holistiknya. Itu artinya, dalam sosiologi
politik selalu memadukan sejarah bagi kehidupan sosial
dan sosial sebagai konfirmasi dari holistikasi sejarah yang
terjadi. Jadi sosiologi politik selalu mempertemukan
struktural historical sosial seperti ideologi, norms, nilai
dan semacamya dengan present social relation dan analisis
konsekuensinya.33
Pertemuan ini yang membuat sociologi politik sebagai
sebuah science berkembang sesuai dengan era modern
sebuah negara atau wilayah. Ada salah satu hasil penelitian
yang membuktikan hal demikian itu. Salah satunya
tentu punya Deloye, ia menganalisa beberapa penelitian
pakar dan membuat gambaran senderhana. Perubahan
32
Norbert Elias, The Society of Individuals, Reissue edition (US: Continuum, 2001). 62
33
Charles Tilly, Durable Inequality, First edition (Berkeley: University of California Press,
1999). 710

22 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


diskursu pemahaman sosialogi politik walaupun di era
modern tetap berkaitan dengan terbentuknya komunal
politik, depolitisasi dan komunal budaya dan ekonomi.
Pada era komunal politik, tindakan masyarakat sebuah
negara akan dituntun oleh pemenang politik. Sedangkan
pada era komunal ekonomi dan budaya, hak asasi akan
berkembang sedemikian rupa. Yang demikian sebagaimana
di gambarkan secara sederhana berikut ini;

Gambar 1.2 Konfigurasi Perkembangan Diskursus


Sosiologi Politik34

Gambar di atas tentu didasarkan pada hasil penelitian


Deloye. Konsepsi sederhana tersebut menjelaskan
perkembangan pemahaman sosiologi politik berdasarkan
histori negara-negara di eropa. Artinya, seluruh hal yang
dibicarakan dalam studi sosiologi politik selama ini berkutat
pada bentuk negara dan narasi besar kekuasan politik dalam
struktur kehidupan sosial masyarakat.
Selain itu, yang juga tidak dapat dilepaskan dari
diskursus kajian sosiologi adalah hal-hal yang berkaitan
34
Diadopis dari civic configuration Deloye. Lihat dalam, Outhwaite and Turner. 32

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 23


dengan ekonomi dan budaya. Kondisi ekonomi masyarakat
atau model pasar juga berkaitan dengan model legitimasi
tindakan individu masyarakat. Sebagaimana yang
didiskribsikan di gambar, jika komunal ekonomi menguat
seperti pada era abad 21 ini, asersi tindakan sosial lebih
terpusat pada sipil atau individu masyarakat. Sebaliknya,
pada era abad 19 di eropa, dimana komunal politik
menguat, akan ada aturan yang berisi kewajiban dari pihak
yang menang. Kondisi demikian, mengalami depolitisasi.
Indikasinya, ada gerak perkembangan komunal budaya dan
ekonomi.

D. Konseptualisasi Sosiologi Politik: Upaya


Pengembangan Praksis Normatif
Penjelasan ini merupakan penjelasan akhir pendahuluan
yang akan menjadi padangan awal dalam memahami
konsepsi keilmuan sosiologi politik secara komprahensif.
Telah dijelaskan di awal bahwa sosiologi politik merupakan
pengembangan social sciencetic. Sosiologi politik bertujuan
mempertemukan kajian sejarah dan fonomena sosial guna
menggerakan atau mengarahkan kehidupan sosial agar lebih
baik. Baik sejarah maupun sosiologi berkembang menjadi
kajian makro dan mikro perkembangan masyarakat dengan
seluruh kondisinya.
Selain daripada itu, sosiologi politik yang merupakan
perkembangan dari interdisipliner sosiologi, menggeser
diskursus kajian sosiologi yang fokus pada perubahan

24 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


masyarakat saja, mejadi lebih jauh memandang pada apa
yang ada dibalik perubahan tesebut. Secara konseptual,
sosiologi politik yang berkembang pesat sejak era Durkheim
dan Weber terus tumbuh menjadi sebuah disiplin keilmuan.
Perkembangannya mulai dari mempelajari tentang
terbentuknya suatu struktur sosial masyarakat, hingga studi
terhadap pola-pola relasi dan kekuasan sosial berhubungan.
Secara rinci, telah banyak penjelasan beberapa kunci
konsepsi (core concept) sosiologi politik. Penulis akan
mencoba memperinci literature review penjelasan beberapa
pakar terkait dengan elemen-elemen penting yang menjadi
sub-sub konsepnya. Beberapa penjelasan tentu dari karya-
karya para sosiolog kontemporer dewasa ini. Beberapa di
antaranya, Dobratz, Waldner, Buzzell, Janoski, Dkk, serta
Outhwaite dan Turner. Beberapa pakar yang diseburkan
ini merupakan tokoh-tokoh modern yang berusaha
menjelaskan inti konsep dari sosiologi. Tentu penjelasan
yang disampaikan ada persamaan dan juga ada perbedaan.
Persamaan yang paling mencolok, secara keseluruhan
mereka membahas kekuasaan sebagai hal yang paling utama
untuk dijelaskan. Hal ini lumrah, sebab secara teroretis
politik memang dekat dan erat pada konsepsi kekuasaan
dan dominasi.
Untuk melihat lebih rincinya, penulis menyusunya
dalam sebuah table di bawah ini;

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 25


Tabel 1.1 Core Concepts Teoretik Sosiologi Politik
Outhwaite dan
Janoski, Dkk.* Dobratz, Dkk.**
Turner***
Power Power Power
Conflict Theories
in Political Role of The State Governmentality
Sociology
Political Political, Culture
Institutions
Institutions dan Social process
Political
Politics Culture Political Ekonomy Geography of
Borders
Social Institutuon
Gender, State,
dan Social Globalization
and Citizenships
Relation
Race, Ethnicity,
Political
and the Racial The State
Participation
State
Convergence
Election and
of Culture and Weak States
Voting
Political Economy
Social Movement Civil Society
Violence and
Citizenship
Terorism
Core Concepts

Globalization Political Culture


the Concept of
Empire
Empires as a
Political Form

* The New Handbook of Political Sociology, ed. by Thomas Janoski and others (Cambridge,
United Kingdom ; New York, NY: Cambridge University Press, 2020). 35-236
** Betty A. Dobratz, Lisa K. Waldner, and Timothy Buzzell, Power, Politics, and Society:
An Introduction to Political Sociology, 2nd edition (New York: Routledge, 2019). 1-375
*** Outhwaite and Turner. 280-474

26 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


Tabel di atas ini memperlihatkan ragam pembahasan
yang diambil dalam membangun penjelasan basis
konseptual teoretis sosiologi politik. Walaupun ada banyak
ragam penjelasan, namun ada hal yang sebenarnya menjadi
pokok esensialnya. Braungart menjelaskan bahwa konsepsi
sosiologi politik tidak pernah lepas dari inti diskursus politik
itu sendiri, yakni “a power”. Ia mengatakan, “the generalized
process by which the struggle over power in society is resolved”.
Karena itulah, hal yang secara mendasar menjadi konsep
ilmu sosiologi politik tentu juga ada “power in society”.35
Wacana kekuasaan yang menjadi inti konsep ini
selanjutnya dihubungkan dengan beberapa persolan terkait
dengan hal-hal yang sejak menjadi fokus kajian sosiologi.
Fokus yang dimaksud, di antaranya, interasi sosial, struktur
sosial dan proses atau perubahan sosial. Pertemuan wacana
kedua ini menjadi inti konsepsi kajian sosiologi politik
berkembang hingga sekarang.
Diskursus konsep power dihubungan dengan
probelema sosiologi tercatat sejak telah banyak dilakukan.
Konsepsinya tentu bukan hanya persolaan kekuatan maliter
atau persentaan, apalagi dikaitkan secara fisik seperti otot
atau sebagainya. Power dalam kajian sosiologi politik
mengarah pada persolan dominasi atau kuasa struktural,
interaksi dan perubahan sosial sendiri secara holistik.
Marx menjelaskan kuasa ketiganya diikat oleh kekuatan
capital materi, seperti kuasa korporasi, lembaga kekayaan
35
Richard Braungart, Das Moderne Deutsche Gebrauchs Exlibris (Wiesbaden: t_tp, 1981).2

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 27


dan semacamnya. Dalam sudut pandangnya materilah
yang medikte sistem sosial berlangsung. Weber tampak
tidak demikian. Menurutnya, bukan hanya materi yang
dapat mempengaruhi perubahan sosial dan pembentukan
strukturalnya. Ada hal immateri yang juga mengendalikan
tindakan sosial masyarakat. Ia sangat berbeda dengan Marx
yang hanya menyisahkan faktor ekonomi sebagai bagian dari
agen proses sosial. Baginya ada banyak yang mempengaruhi
proses terciptanya struktural sosial yakni social patterns,
culture, dan social organization. Interaksi, struktur dan
proses sosial terbentuk dengan sangat kompleks.36
Mendapatkan sentuhan dari kajian power ini, secara
sosiologis dikembangkan dengan memasukkan kajian
institusi sosial hingga terbentuknya sebuah negara.
Sebagaimana dijelaskan di awal, perkumpulan manusia
yang lebih teorganisir akan melahirkan sistem sosial. Bentuk
sistem sosial ini, yang salah satunya bisa berupa paguyuban
atau bahkan negara. Sehingga konsepsi sosiologi politik
pun merampa kepersoalan-persoalan interksi makro sosial.
Diskursusnya pun tidak hanya mempersoalkan bentuk
tindakan mikro sosioal manusia, namun berkembang
menjadi lebih luas, yakni masalah-masalah hubungan-
hubungan institusi sosial dan yang cakupan sempit hingga
meluas seperti negara dan benua.
Pada persoalan makro sosiologis, konsep yang
dikembangkan tentu juga bukan hanya pengeruh satu
36
Dobratz, Waldner, and Buzzell. 2

28 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


manusia ke satu manusia lainnya. Namun, lebih universal,
yakni membas tentang interaksi, sistem dan perubahan
dari sebuah institusi sosial masyarakat. Pada titik ini, kajian
konsep power sebagai key concept juga berkembang meliputi
kajian ruang lingkup ketiga dasar fokus kajian sosiologi.
Artinya, kajian sosiologi politik menfokuskan pada yang
dapat mengendalikan hal-hal yang berhubungan dengan
interaksi, sistem dan proses sosial itu sendiri. Jadi, konsepsi
sosiologi politik berkembang sesuai dengan perkembang
kajian interaksi, sistem dan perubahan makro sosiologis.
Perkembangan kajiannya bisa dimisalkan pada
argumentasi-argumentasi Marx. Dalam argumentasinya,
sistem sosial yang dipengaruhi oleh dominasi kapital
menyebabkan terjadinya disparitas dan disintegrasi sosial
masyarakat. Sistem masyarakat terpecah menjadi dua
golongan yakni kalangan borjuis dan proletar. Dua kalangan
ini memiliki karekter sosiologis masing-masing. Dalam
hal ini, kajian sosiologi versi Marx persoalan interkasi
isntitusi kelembagaan bisnis, negara dan rakyat biasa yang
menjadi buruh. Baginya, interaksi sosial berlangsung secara
diskriminatif, sebab perubahan sosial hanya dikendalikan
oleh power kalangan yang disebutnya sebagai borjuis.
Berbeda dengan Weber yang tampak berusaha
memperluas sudut pandang mengenai institusi sosial
masyarakat. Baginya, power interakasi, sistem dan
perubahan sosial dipengaruhi oleh sesuatu kompleks. Hal
yang paling banyak menjadi pengendali kehidupan sosial

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 29


adalaah legitimasi institusi dan budaya masyarakat sendiri.
Dari sini, lahir kajian tradisi, nilai, norma dan hukum
sebagai sub power interaksi, sistem dan perubahan sosial.
Hasil kajian Weber ini, pada perkembangannya banyak
menjadi titik perkembangan sosiologi politik.
Pada wilayah kajian struktural sistem sosial misalnya,
diskusi nilai dan norms yang dihubungkan dengan
legitimasi interaksi, sistem dan proses perubahan sosial itu
sendiri. Salah satu pakar yang membahas hal ini misalnny
adalah David Hume. David menjelaskan bahwa sistem
sosial memerlukan idea objektif dalam mengatur interkasi,
sistem dan perubahan sosial masyarakat. Untuk itu, hal
yang paling dapat ditempuh mencari nilai dan norms yang
terlepas dari rasional personal manusia. Jika tidak terlepas,
sistem sosial akan tetap rapuh, sebab logika manusia secara
personal cenderung lemah dalam konsitensi. Sehingga
untuk tata nilai yang terlepas kepentingan manusia, akan
dapat menjadi tata hukum, atau dalam hal ini dapat
disebut sebagai konstitusi luhur institusi sosial masyarakat.
Penjelasan tersebut yang mendasari para hakim menentukan
kebijaksanaanya di abad 19.37
Argumentasi sejenis banyak berkembangan para era
abad 19. Objektifikasi nilai, norma dan budaya mengalienasi
subjektifitas personal manusia. Bentuknya tentu berupa
hukum sebagai aturan yang mengikat di masyarakat. Pada
situasi demikian, power didorong untuk seobjektif mungkin
37
David Hume, A Treatise of Human Nature (USA: CreateSpace Independent Publishing
Platform, 2011). 469

30 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


terpisah dari asumsi dan kepentingan individu. Atau, jika
pun dianggap dalam proses pengembangan legitimasi
hukum perlu ada pemaksanaan dan sebagainya, namun
tetap harus berada pada titik holistik yang dapat diterima
oleh semua kalangan.
Ada gambaran penting mengenai proses normatisasi
praksis yang terjadi pada diskursus pegembangan sosiologi
politik. Banyak contoh dibeberapa penjelasan pakar,
meengenai upaya formulasi konstruksi teoretis sosiologi
politik menjadi jalan cara praksis pengembangan sosiologi
politik. Tentunya baik dalam pengaplikasian metodisnya
maupun bentuk konkrit strategis politik yang dapat
dilakukan.
Sebagai contoh, penjelasan yang disajikan oleh
Job Stone terkait dengan nilai paradigmatis sosial yang
digagas oleh Weber. Seluruh penjelasan ini terkait hal ini,
dijabarkan dalam tulisanya yang berjudul “political sociology
and political theory”.38 Terkait masalah nilai paradigmatis
dalam mengupayakan objektifikasi nilai holistik, dapat
diupayakan dari gagasan Weber terkait klasifikasi nilai
sebagia cara pandangan manusia dalam menganalisa
fenomena sosialnya.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Weber, ada
dua klasifikasi nilai yang berbeda dan peniting dalam
mengembangkan nilai normatif sistem sosial di masyarakat.
Keduanya adalah value-freedom (Wertfreiheit) dan value-
38
Outhwaite and Turner. 257-272

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 31


relevance (Wertbeziehung). 39 Value relavance adalah
penilaian pertama yang dimiliki oleh setiap manusia.
Nilai ini umum dan menjadi sebuah keniscayaan dimiliki
oleh setiap individu. Melalui nilai ini obsersvasi atau
penyeleidikan yang dilakukan notebeni didasarkan pada
pandangan subjektif. Artinya, dalam menela’a sistem
sosial, setiap manusia memakai sudut pandang sendiri.
Baik dalam menentukan objek kajian ataupun melihat
objek tidak dapat secara terpisah dari persepsinya sendiri.
Istilah “relevance” dipakai sebab investigasi dengan nilai ini
dilakukan dengan pertimbangan relavansi objek dengan
sudut pandang subjek sendiri.
Berbeda dengan value-freedom, memakai istilah
“freedom” sebab secara praksis hal yang ingin diteliti
harus secara tidak diintervensi oleh subjek. Tujuan praksis
demikian guna membangun nilai normatif yang objektif.
Sebagai contoh, investigasi masalah gender tidak perlu
menungggu menjadi korban bias gender. Seorang yang
menjadi korban gender akan cenderug tidak secara tepat
memandang gender dalam perspektif sosiologis. Maka
dari itu, melemahkan nilai relevan lebih diupayakan guna
membangun norma yang terbebas dari parsial pandangan
manusia.
Memang, ada anggapan bahwa cara pendangan
yang sebenar-benarnya freedom dari nilai relatif tidak
memungkin. Ide Weber terkait hal demikian sebenarnya
39
Max Weber, Sociology of Religion, English Translation from Fourth Edition (USA:
Beacon Press, 1963).

32 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


bukan menafikan peniadaan value ralevance, namun
lebih pada upaya serius dan langkah terbaik membangan
nilai-nilai normatif. Sebab hanya dengan cara ini, praksis
pengembangan sosiologi politik dapat secara sehat
diterapkan.
Untuk mengupayakan praksis yang demikian
sebenarnya ada beberapa metode yang disusun oleh
beberapa pakar. Salah satunya misalnya, falsifikasi dari
gagasan Popper. Proses falsifikasi dapat dianggap sebagai
cara lain guna mengembangkan value freedom. Dengan
cara ini, nilai-nilai relevan akan ditekan dengan pertanyaan
dialektis yang dapat memungkinkan tumbuhnya sudut
pandang objektif.40
Selain penjelasan dari Weber dan Popper ini, ada
cara lain untuk mengupaya nilai normatif objektif. Yang
demikian ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Runciman.
Ia mamandang nilai freedom dapat dicapai dengan
menghadirkan political-philosophical beliefs. Yang demikian
terdiri dari lima features yakni kerentanan manusia,
kesetaraan, altruisme terbatas, sumber daya terbatas, dan
pemahaman/kekuatan kemauan yang terbatas.41 Kelimanya
yang menjadi kunci isu-isu atau masalah strategis yang
dikaji bahkan menjadi dasar praksis sosiologi politik.

40
Falsifikasi merupakan paradigma penelitian yang menguju tesa dengan pertanyaan
apakah bisa disalah atau tidak. Lengkapnya baca, Karl R. Popper, The Logic of Scientific
Discovery (USA: Martino Fine Books, 2014).
41
W. G. Runciman, Social Science and Political Theory, 2 edition (Cambridge: Cambridge
University Press, 1969). 169

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 33


Di samping praksis metodik sebagaiman dijelaskan di
atas, ada contoh lain yang dapat menjadi bukti adanya upaya
beberapa pakar membangun praksis normatif sosiologi
politik. Salah satunya, penjelasan-penjelasan Smith terkait
dengan figures founder yang mempertimbangkan yang
dapat mengembangkan normatif objektif sistem sosial. Ide-
ide ini dianggap sebagai perkembangan sosiologi politik,
walaupun tokohnya seorang pakar psikologis-sosiologis,
sebab ada hubungan dengan pengembangan praksis
diskursus sosiologi politik.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, pada hakekatnya
sosiologi mempersoalkan kekuasan sosial baik dalam
mencapai dan mempertahankan nilai-nilai normatif yang
telah ada. Untuk mempertahakan nilai normatif, seorang
pemimpin mesti mampu melakukan sharing norms
pada para pengikutnya. Untuk itulah, Smith mencoba
merumuskan beberapa spesifikasi pemimpin yang bernilai
demikian. Ia menyusun penjelasannya dengan mengacu
pada penjelasan beberapa pakar seperti, Harry Murray,
Murphy dan Klineberg. Untuk lebih rincinya, penulis
menggambarkan sebagaimana di bawah ini;

34 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


Gambar 1.2 Four Valuable Features Shared (Smith)42

Berdasarkan gambar di atas, dapat dijelaskan bahwa


ada empat hal yang penting dijadikan sebagai langkah
praksis soorang pemimpin dalam mengembangan sosiologi
politik. Pertama, Modernist. Pada feature ini, pemimpin
diharapkan dapat berparadigma pengetahuan dan motode
modern. Di antara paradigma yang mesti dimiliki adalah
rasional empiris, menghormati bukti, dan melakukan
penyelidikan kritis. Kedua, humanis. Hal yang terpenting
juga, seorang pemimpin perlu memahami sudut pandang,
baik berupa nilai atau persepsi yang dipimpinnya. Hal
42
M. Brewster Smith, ‘“Personality and Social Psychology”: Retrospections and
Aspirations’, Personality and Social Psychology Review, 9.4 (2005), 334–340.

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 35


demikian agar tindakan yang diambil dapat sepakati
dengan mudah. Ketiga, Breadth of perspective. Dalam
hal ini pemimpin mesti memiliki multi sudut pandang.
Terutama, penting untuk mempertemukan atau melakukan
kajian interdispliner psikologi, baik dengan antropogi
maupun sosiologi. Keempat, relavan dengan isu-isu.
Pada fitur yang terkahir ini, pemimpin diharapkan dapat
memahami persoalan yang ada, utamanya yang dirasakan
oleh pengikutnya.43
Seluruh penjelasan di atas, telah dapat disimpulkan
bahwa dewasa ini telah banyak penjelasan-penjelasan
penting terkait dengan upaya pengembangan konsepsi
praksis sosiologi politik. Substansi penting yang dapat
menjadi acuan pengembangan tentu adalah seluruh isu
yang berkaitan dengan power kehidupan sosial masyarakat.
Artinya, secara mendasar ada upaya mempertemukan
diskursus kekuasaan dengan aspek sosiologis yang selama
ini dikaji oleh beberapa pakar.
Kajian sosiologi terdiri dari element kajian tentang
perubahan, interkasi dan sistem sosial. Begitupun dalam
kajian yang menjadi fokus utama sosiologi politik, tentu
juga berhubuangan dnegan perubahan, interkasi, dan
sistem politik. Dalam hal ini, beberapa hal yang dimaksud
di antaranya, sosialisasi politik, rekrutmen politik,
komunikasi politik, partisipasi politik, konflik politik,
demokrasi budaya, politik gerakan sosial, perubahan politik
43
Smith. 335

36 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


dan lain sebagainya. Semuanya tentu juga sering dikaji
dalam keilmuan sosiologi pada umumnya.44 Berdasar hal
demikian, bahasan-bahasan penting yang akan disajikan
dalam buku ini adalah hal-hal yang berkaitan dengan
sistem, interaksi dan perubahan yang ada dalam dunia
politk. Tentunya hal demikian, demi terciptanya konsepsi
praksis normatif sosiologi politik.

44
Fitria Dewi. 9

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 37


BAB II
STRUKTUR POLITIK

Strukur politik merupakan hal penting dalam


pengembangan sosiologi secara praksis normatif. Struktur
politik merupakan instrumen pencapai tujuan politik.
Sebagaimana disebutkan di awal bahwa tujuan normatif
praksis sosiologi adalah guna pencapaaian dan pengelolaan
power sistem sosial masyarakat. Pada tujuan itulah juga,
struktur politik dapat menjadi space pencapaian yang demikian
itu. Hal tersebut dikerenakan strutural politik merupakan
sebuah keniscayaan keberadaanya. Kehidupan sosial tentu
sangat kolektif. Manusia tidak dapat dipisahkan dari ruang dan
waktu. Keterikatan mereka pada ruang dan waktu membentuk
solidaritas dan kelompok tertentu berdasarkan fonomena.
Setiap kelompok perlu dipahami sebab bukan hanya memiliki
potensi power, namun juga dapat menyebabkan disintegrasi
sosial.

Struktur politik dapat disebut sebagai klasifikasi komunitas


masyarakat. Komunitas masyarakat tentu banyak variannya,
namun penulis akan menjabarkannya berdasarkan pada garis
besar klasifikasinya. Utnuk itu, klasivikasi yang dibuat oleh

38 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


penulis sebenarya senada dengan apa yang sampaikan oleh
Duverger yakni ada dua kategori besar yang membedakan
beberapa kelompok sosial. Ada yang disebut pola hubungan
vertikal dan ada yang disebut horizontal. Hubungan vertikal
meruapakan kategori yang didasarkan dari fenomena alam
yang teradi, jadi hubunganya dengan faktor demografis dan
geografis. Sedangkan yang horizontal, merupakan kategori
yang didasarkan pada hasil interaksi sosial manusia. Beberapa
contohnya misalnya nilai, norma dan hukum.1

Komunitas masyarakat terkategori berdasarkan aspek


geografis dan demografis, disebut juga sebagai struktur fisik.
Artinya, struktut masyarakat selelau beradaptasi pada kondisi
tanah, iklim dan semacamnya yang merupakan kategori
material. Sedangkan komunitas sosial yang dibentuk secara
horizontal, dapat diistilahkan sebagai struktur sosial. Konsen
pengembangan pada struktur politik kategori ini di antaranya
adanya nilai, norma dan lain-lain yang lahir dari interakasi
antar manusia.2

Relasi kategori yang dibuat Duverger ini sebenarnya tidak


dapat dianggap sebagai ketegori yang berlawanan. Tidak ada
garis besar yang membedakan keduanya. Hubungan keduanya
sebenarnya saling berkaitan. Segala sesuatu yang sifatnya
abstrak, tampak lahir dari sesuatu yang materi. Misalnya nilai
dalam keluarga, tidak dapat lahir jika laki dan perempuan
tidak bertemu secara materi. Yang paling nyata contohnya
1
Duverger, Sociologia Politica. 21
2
Duverger, Sociologia Politica. 22

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 39


juga agama. Walaupun memiliki abstraksi yang tinggi akan
kepercayaan dan nilai, namun bentuk asali dari agama, secara
historis adalah animisme. Jadi pada apapun yang dianggap
abstrak sebenarnya tetap membutuhkan materi sebagai
elements asalinya.

Tidak mengherankan, jika pada perkembangannya


kedua ketegori besar ini diletakkan secara berhubungan antar
satu dengan yang lainnya. Beberapa dianatranya yang secara
menghubungkan keduanya misalnya dalam reseach yang
dilakukan oleh Lindsey Richardson, Evan Wood, dan Thomas
Ker. Mereka membahas tentang relasi strutur lingkungan dan
sosial pada pecandu narkoba.3 Ada juga pakar sebelumnya,
bernama Feldman dan Tilly. Keduanya menjelaskan hubungan
struktural fisik dan sosial dengan meneliti peran taman kota
sebagai perkumpulan masyarakatnya.4 Tema senada juga
dibahas oleh Javadi dan Muhammad Zad. Keduanya juga
membandingkan identitas struktur fisik pada struktural sosial
kota.5 Berdasarkan pada penjelasan pakar ini, hubungan
struktural fisik selalu berkaitan dengan struktural sosial.

Untuk lebih rincinya penulis akan membahas satu persatu


secara rinci. Tujuanya, tentu agar dapat memperjelaskan

3
Lindsey Richardson, Evan Wood, and Thomas Kerr, ‘The Impact of Social,
Structural and Physical Environmental Factors on Transitions into Employment
among People Who Inject Drugs’, Social Science & Medicine, 76 (2013), 126–
133.
4
Arnold S. Feldman and Charles Tilly, ‘The Interaction of Social and Physical
Space’, American Sociological Review, 25.6 (1960), 877–884.
5
Farnaz Javadi and Hossein Noormohamadzad, ‘The Comparison between the
Identity Structure of the Society and the Physical Structure of the City’, Journal
of Architecture and Urbanism, 41.1 (2017), 34–45.

40 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


konsepsi masing-masing struktural politik. Yang pada
akhirnya, diharapkan dapat memberikan sumbangsi pada
pengembangan praksis normatif diskursus sosiologis politik.

A. Struktural Fisik
Sebagai sebuah keniscayaan, manusia selalu
tergantung pada geografis dan demografis. Suku nomaden
pun, tetap tergantung pada aspek itu. Walaupun tidak
berdiam dala satu wilayah khusus, namun keberadaanya
didasarkan pada sisi tersebut. Setiap tanah pasti didiami
oleh sekumpulan manusias dengan jumlah dan kepadatan
tertentu. Perkumpulan itulah yang dikenal sebagai sebuah
“negara”. Begitulah difinisi sederhanya. Sehingga jika
negara dikatakan demikian, maka negara artinya satu jenis
komunitas suatu karakteristik yang berlaku untuk hampir
semua komunitas.
Fenomena kekuasaan terkait erat dan sangat
dipengaruhi oleh struktur fisik atau segi geografisnya.
Baik segi geografis tanah sebagai tampa antonisme antar
satu dengan yang lain dari dalam memperoleh kekuasan
atau sebagai medan integrasi kepentingan sosial. Seluruh
hal yang kaitanya dengan tanah selalu menjadi istimewa
bahkan menjadi akar tindakan sosial masyarakat. Misalnya,
adanya konflik, yang mendasari selalu terkait, atas batas
wilayah, pengausaan bahan mentah, jalur transportasi
dan semacamanya, yang pada perkembangannya disebut
sebagai benturan kepengtingan pengusaan kuasa geografis.

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 41


Dari hal ini, seluruh teori yang mejelaskan tentang koflik
atau sejarah revolusi, selalu berkenaan dan didasarkan pada
sisi geografinya.
Melalui perkembangan yang ada, keterikatan
kehidupan sosial sekilas tampak tak lagi tergantung pada
spasial geografis. Pada era modern misalnya, tekhnologi
berkembang pesat. Seluruh aspek dilakukan dengan
berbasis pada tekhnologi, termasuk di dalam interaksi
dan komunikasi masyarakat. Beberapa orang di wilayah
berbeda dapat disambungkan dengan varian tekhnologi
komunikasi, tanpa dibatasi terotorial.
Namun, jika lebih luas lagi dipahami. Era modern
dengan segala kompleksitasnya, hadir sebagai pelengkap
arus proses industri. Industri berkembang dalam rangka
menjawab kebutuhan materil manusia. Industri juga
diperankan sebagai proses pengembangan bahan mentah,
yang dalam hal ini bersumber dari alam. Jadi tidak
mengherankan, jika analisis Duverger terkait struktural
pisik politik di era modern, tetap tidak dapat dilepaskan
dari faktor geografis dan demografis. Alasannya, dikatakan,
diera apapun, manusia tetap tidak rela dikuasi oleh
alam, sehigga mereka terus berlomba-lomba berupaya
menguasainya.6
Berdasarkan asumsi di atas, sebuah gambar sederhana
yang menjelaskan terakait setruktural fisik disusun,
sebagaimana di bawah ini;
6
Duverger, Sociologia Politica. 23-24

42 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


Gambar 2.1 Duverger’s Physical Stucture of Politics

Ada ragam perspesktif struktural pisik dalam kaitanya


dengan struktural politik. dapat dikatakan bahwa struktur
fisik yang dimaksud dalam penjelasan Duverger terbagi
menjadi dua bagian besar yakni pada aspek hubungan
politik secara geografis dan demografis. Pada geografis terdiri
dari iklim yang ada dan kekayaan sumber daya alamnya.
Pertama, tentang space politik dalam struktur iklim.
Sebenarnya pendapat ini berkenaan dengan hubungan
climate dengan tindakan sosial manusia. Misalnya, ada
beberapa gagasan pakar yang menjelaskan bahwa perubahan
iklim berhubungan tipikal karakter tindakan sosial. Tercatat
bahwa semakin panas suhu, semakin meningkatkan energi
keberanian manusia. Sedangkan jika bersuhu dingin, akan
melatih manusia untuk memilki energi yang tahan dalam

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 43


waktu yang lama.7
Hubungan politik pada aspek yang pertama ini adalah
terbentuknya kebijakan politik dalam terus menjaga
keselamatan dan ketentraman manusian. Baik sebagai objek
kajian dalam pembuataan kebijakan akan kesalamatan hidup
dari iklim yang mengancam atau sebagai dasar tradisi sosial
sendiri. Dalam hubunganya pada climate yang mengancam
bisa dicontohkan pada kebijakan penanggulangan banjir,
badai dan lain sebagainya. Sedangkan dalam hubunganya
sebagai dasar tradisi, bisa dicontohkan adanya tradisi yang
disesuaikan dengan iklimi geografis seperti petik laut, tradisi
makanan dan berpakain yang berbeda di setiap wilayah.
Kedua, terkait dengan hubungan pada sumber daya
alam. Aspek geografis yang kedua ini berhubungan dengan
sumber daya alam dan hubunganya dengan eksistensi fisik
manusia. Basis teori dalam sumber daya alam sebenarnya
lebih berdimensi psikologis. Jadi banyak sumber daya
alam yang melimpah pada satu sisi akan mempengaruhi
psikologi tindakan seseorang dalam kehidupan sosialnya.
Satu sisi dapat meningkatkan semangat manusia dalam
memenuhi kebutuhannya, di sisi lain, sumber daya alam
yang melimpah akan dapat menyebabkan manusia serakah
dan mengalami stagnasi serta dekandensi sosial.

7
Penjelasan ini salah satunya disampaikan oleh Montesquieu. Ia menjelaskan
setiap karekter manusia selalu dipengaruhi oleh tingkat suhu wilayah dimana
ia tinggal. Lengkapnya baca, Charles Lois Montesquieu, The Spirit of Laws,
Revised edition (Amherst, N.Y: Prometheus, 2002), XVIII.

44 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


Jadi ada dua asumsi besar dalam diskursusnya. Satu
sisi, pengetahuan tentang sumber daya yang melimpah,
secara psikologis akan mendorong manusia untuk
bebas menguasainya. Sehingga, mereka akan memiliki
ketakutakan, jika negara menjarahnya. Sebaliknya jika
sumber daya alam lemah, mereka bekerja keras terus
menerus. Negatifnya, mereka akan menjarah wilayah lain
yang subur. Penjelasan ini yang mendasari natural soruces
selalu berhubungan dengan aspek psikologis tindakan
politik.
Pada perkembangannya, diskursus struktural geografis
natural sources menjadi tema paling hangat di setiap negara.
Nyaris seluruh negara memiliki konflik politik yang panjang
terkait dengan kekayaan sumber daya alamnya. Di timur
tengah misalnya, konflik politik terjadi karena perebutan
kekayaan alam berupa gas dan minyak. Di asia tenggara,
isu konflik laut selatan, tambang emas, nikel dan pasir tetap
menjadi obrolah politik menegangkan. Dengan kata lain,
sumber daya alam memiliki posisi urgen dalam konstalasi
politik nasional atau antar negara.
Duverger menjelaskan aspek geografis sumber
daya alam menjadi isu politik yang paling sensitif sebab
menyangkut tentang pengelolaan kekayaan sebuah
negara. Bahan mentah industri yang terdiri dari varian
sumber daya alam menjadi rebutan di era modern bahkan
globalisasi. Tingkat industri yang terus meningkat karena
perekembangan penguatan sumber kekayaan masyarakat,

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 45


membutuhkan bahan mentah yang cukup. Karena itulah,
hingga dewasa ini pertentangan dan disintegrasi konflik
agraria dan maritim mejadi isu hangat di setiap negara.
Selain aspek geografis, ada juga yang diistilahkan sebagai
aspek demografis. Kalau aspek geografis berbicara masalah
persoalan kondisi alam dan iklim, berbeda dengan aspek
demografis, lebih fokus pada kondisi gerak manusianya.
Walaupun demikian, demografis berbeda dengan aspek
sosial. Aspek demografis, lebih berbicara manusia sebagai
makhluk biologis dengan perkembangan alaminya. Jadi
tidak berbicara interaksi antar manusia. Namun berbicara
gerak perkembangan manusia.
Telah dimafhum bersama, demografi memiliki
pengaruh pada dunia politik. Perang dan revolusi banyak
dikatakan juga terjadi karena faktor yang demikian ini.
Bahkan di masa lalu, perluasan kekuasan yang paling
fantastis di eropa dan banyak memakan korban juga
didasarkan aspek demografis. Hitler misalnya terkenal
dengan visi politiknya dengan slogan, “vital living space”.8
Secara teoretis, hampir teori politik beberapa pakar
apatis pada kajian aspek ini. Misalnya pihak liberalis dan
Marxis, dalam gagasanya hampir tidak ditemukan tema yang
berkaitan dengan pemabahsan demografis politik. Namun,
sisi demografis kehidupan masnusia tidak dapat dihindari
sehingga aliaran keagaman dan kenegaraan menjadikan
kasus demografis sangat urgen. Beberap dianatranya
Duverger, Sociologia Politica. 36
8

46 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


misalnya, Malthus yang menentang pengendalian kelahiran
sebab salah satu yang dapat membuat krisis alam, adalah
kelaharian manusia yang ta terkontol. Argumentasi ini yang
pada perkembanganya ditentang oleh beberapa agamawan
dan menjadi perdebatan di banyak pemerintahan.
Untuk lebih jelasnnya, pada aspek struktural
demografis politik, persoalan uatamanya adalah populasi
manusia. Meskipun persoalan populasi ini tidak penting,
namun stratifikasi populasi manusia, terlah terbukti
menjadi integrasi sosial politik dan sekaligus menjadi akar
disintegrasinya. Salah satu contohnya, pada kusus populasi
dengan klasifikasi sex (laki dan perempuan), satu sisi dapat
menjadi dasar integrasi sosial perempauan dan sisi lain
dapat menjadi pertarungan kelas gender.
Contoh lain di sejarah Indonesia sendiri, yang berkaitan
dengan klasifikasi etinik dan usia. Pada klasifikasi etnik,
salah satunya sebagaimana yang terjadi pada etnik madura
dan dayak. Satu sisi dapat menjadi solidaritas peretnis, sisi
lain dapat menimbulkan sensitifitas konflik etno sentrisme
tinggi. Sedangkan contoh klasifikasi berdasar usia yang
paling populer adalah pertentang kalangan muda dan tua
dalam mengupayakan kemerdekaan Indonesia.
Jadi baik demografis dan geografis, dalam pembahasan
struktur politik, dapat disimpulkan memiliki peran sama.
Keduanya merupakan dasar pengelompokan lapisan politik.
Hanya saja perbedaanya, segi geografis lebih berbicara
alam sebagai aset dan pembentuk dasar tindakan manusia.

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 47


Sedagakn demografis lebih berbicara perkembangan
manusia secara fisik.

B. Struktural Sosial
Berbeda dengan struktur fisik, struktur sosial lebih
berbicara stratifikasi politik berdasar interaksi sosial
manusia. Secara teoretis tidak akan berbicara materi alam
maupun mesin dan bahan bakunya. Namun lebih pada
proses penemuan materi (alat, mesin), interaski kolektif
(perusahaan bisnis, sistem perkawinan), dan juga yang
kan membicarakan doktrin dan budaya, baik dari barat
maupun timur. Namun perlu dipahami lebih dahulu,
perbedaan struktur "fisik" dan "sosial" belum secara
jelas. Sebagaimana yang penulis sebutkan di awal bahwa
keduanya saling berkaitan dan kadangan terintegrasi.
Misal klasifikasi umur, ikut serta menentukan klasifikasi
sosialnya. Seorang anak tidak mungkin dapat secara mudah
berkumpul dengan populasi orang tua.
Stuktural Sosial dapat diibaratkan sebagai hal yang
abstrak. Bukan materi, namun hal yang lahir dari materi
itu sendiri atau dari kehidupan sosial masyarakat. Struktur
yang terbentuk dalam sub ini didasarkan pada seluruh hal
yang berkaitan dengan nilai, norma bahkan pengetahuan
secara sesuatu yang dengan sengaja dikembangkan.
Dengan kata lain, pada sisi ini, struktur dianggap dibangun
oleh subjektifitas manusia baik sebagai yang memiliki
kepentingan masing-masing atau yang membutuhkan

48 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


kehidupan sosial.
Pada penjelasan ini, penulis kembali akan
menggambarkan konsepsi Duverger. Seluruh penjelasanya
jika disederhanakan adalah sebagaimana di bawah ini;

Gambar 2.2 Duverger’s Social Stucture of Politics

Berdasarkan data di atas, ada beberapa bagian besar


yang dapat dianggap sebagai struktur sosial politik.
Pertama, kemampuan tekhnoligi. Kemampuan yang
dimaksud ini mengacu pada sebuah proses sepesifik dari
seni dan manufacture. Atau dalam istilah sederhananya
adalah penemuan material manusia-perkakas, mesin, dan
sebagainya-yang memberikan sisi kuasa pada alam atau
lain sebagainya. Istilah kemampuan dalam hal demikian,
dapat disenadakan dalam term “tehnik”, yakni kemampuan
spesial pada pengembangan manufacture. Ellul secara

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 49


luas mejelaskan termanya sebagai kemampuan mengatur
sistem organisasi sosial. Penjelasan ini yang menegaskan
adanya anggapan skill tekhnologi berhubungan dengan
manufaktur sistem sosial masyarakat.9
Pada perkembangan awal, sebenarnya tekhnologi
dianggap sebagai peniadaan realitas sosial. Namun,
anggapan tersebut mulai punah. Tekhnoligi menjadi suatu
niscaya dari proses perkembangan sosial itu sendiri. Pada
akhirnya, perkembangan tekhnologi diterima secara legowo
dan bahkan menjadi standar perkembangan era kehidupan
sosial masyarakat. Contohnya saja, pada era renainsance,
dimana industri ditandai dengan perkembangan mesin
tekhnologi produksi.
Argumentasi penulis tentang technologc skill sebagai
social culture didasarkan pada argumentas penelitian-
penelitian yang membuktikan bahwa peran tekhnologi
pada kehidupan sosial dan budaya. Misalnya seperti seperti
yang fokus dikaji oleh Pual Thiele, yang menjelaskan
tekhnolohi sebagai alat tranformasi kehidual yang lebih
luas.10 Ada lagi, Hakam Hekin yang fokus mengkaji
perkembangan tekhnologi sebagai unsur terhebat dalam
komunikasi politik.11 Senada dengan fokus Jacob Groshek
9
Ia banyak menjelasan konsep tehnik dari masa klasik dan hubungankan dengan
perkembangan masyarakat. Jacques Ellul, La Technique, Ou, L’enjeu Du Siècle
(Paris: Economica, 1990).
10
Leslie Paul Thiele, ‘Politics of Technology—Specialty Grand Challenge’,
Frontiers in Political Science, 2 (2020), 2.
11
Hakan Hekim, ‘Ideological Homophily or Political Interest: Factors Affecting
Twitter Friendship Network between Politicians’, Journal of Information
Technology & Politics, 18.4 (2021), 371–86.

50 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


yang berbicara tentang internet sebagai setting politik
demokrasi.12 Seluruh fokus kajian para pakar ini tentu
memberikan penguat bahwa struktural politik sangat
berhubungan dengan skill pengembangan dan pemakaian
tekhnologinya. Dengan kata lain, sosial tekhnologi
menentukan struktur politik yang dibangun.
Kemampuan tekhnologi sebagai sebuat struktur
politik, dalam pendapat Duverger, didasarkan pada
beberapa alasan. Adapun alasan yang disebutkan adalah
sebagai berikut;
1. Hubungan pengembangan tekhnologi dengan
pengembangan ekonomi
Perkembangan teknologi tentu memberikan
manusia untuk mengambil kuasa pada alam. Dari
ia memperoleh kebutuhannya. Melalui teknologi
yang pesat, manusia dapat memenuhi kebutuhanya.
Dampak potisifnya, manusia dapat cepat memproduksi
kebutuhan. Sedangkan dampak negatifnya adalah
kesenjangan masyarakat antara yang tidak memiliki
kemampuan kuasa atas mesin dan yang tidak.
2. Hubungan perkembangan tekhnologi dengan
perkembangan pemahaman pendidikan
Masalah ini lebih menjadi topik yang marak
dewasa ini. Dasarnya konsepsi hubungan tehknologi
ini adalah tingkat budaya manusia yang lebih responsif
12
Jacob Groshek, ‘The Internet and Political Protest in Autocracies’, Journal of
Information Technology & Politics, 18.4 (2021), 466–67.

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 51


atas pengetahuan salah satunya dipengaruhi oleh
tekhnologi. Selain itu ada asumsi bahwa masyarakat
awam memiliki ciri lemah dalam pendidikan, buta
huruf, bodoh, dan lain sebagainya. Sehingga mereka
dianggap tidak maju dan tidak memungkinkan untuk
memahami realitas kehidupanya secara holistik. Melalui
tehknoligi, ilmu pengetahuan gampang diakses. Mereka
akan cepat memiliki pemahaman. Dari sini, budaya
demokrasi akan lahir.
3. Hubungan perkembangan tekhnologi dengan
peningkatan kuasa
Pada satu sisi, sebegaimana disebutkan di
awal, tekhnologi memberikan ruang demokrasi.
Namun disisi lain, beberapa pihak yang telah
menguasai perkembangan tekhnologi serta merta
dapat memberikana peluang kepemilikan kuasa di
masyarakat. Pemerintah misalnya sebagai pemilik kuasa
terbesar perkembangan tekhnologi, memilik akses atau
kesempatan mensosialisasikan kebijakan, atau dalam
bahasa dapat memaksakan kebijakan untuk ditaati. Sisi
ini yang menjadi salah satu indicator perkembangan
tekhnoligi berkonsekuen pada tercipatnya kekuasaan
di masyarakat.13
Ketiga konseskuensi perkembangan tekhnologi di atas,
yang menjadi dasar technology skill sebagai bagian dari social
structure politik. Ketiga fungsi yang merupakan sebuah
13
Maurice Duverger, The Study of Politics. Terj. Robert Wagoner. (London:
Sunbury-on-Thames, Thomas Nelson and Sons Ltd. 1978.). 60-67

52 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


keniscayaan dari kehiduapan sosial politik, telah menjadi
diskusi serius para pakar sosiolog politik dewasa. Bahkan
beberapa organisasi politik hingga dewasa ini ditulis hampir
di semua negara memiliki kecendrungan fokus peguatan
strategi di bidang tersebut.
Kedua, institusi. Tentu yang dimaksud dalam item
ini bukan sekadar banguan kelembagaan masyarakat yang
terdiri dari tumpukan batu dan tanah itu. Namun lebih luas,
institusi yang dipahami disini adalah aspek organisasional
manusia yang memiliki interaksi sosial tertentu. Setiap
organisasi tentu memiliki sistem kewenangan. Tentu
merupakan sebuah keniscayaan, sistem kewenangan juga
dapat dianggap sebagai sistem kuasa. Pada sisi ini, institusi
sosial merupakan satu bentuk struktur sosial di masyarakat.
Sistem kuasa dari sebuah institusi masyarakat
erat kaintanya dengan asumsi publik mayarakat. Baik
bentuknnya kepercayaan atau pandangan umum (popular
images). Keduanya dihasilkan dari stabilitas, durabilitas dan
kohesifitas interaksi antar sesama manusia. Objektifitas
yang bersumber dari interaksi sosial tersebut menjadi
kesepakatan akan tindakan sosial yang sama. Objektifitas
tersebut yang menjadi dasar adanya status and role of
institution. Pada saat itulah, institusi masyarakat lahir.
Proses objektifikasi disebut sebagai proses struktural
sosial disebabkan adanya proses elemenasi subjektifitas
individu. Elemanasi subjektifitas ini, dalam pandangan
Linton sangat kontras. Penguburan pada subjektifitas,

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 53


satu sisi merupakan diskriminasi manusia. Namun di sisi
merupakan satu yang niscaya. Setiap manusia memiliki
identitas sendiri-sendiri. Ia bekerja atas kebutuhannya
sendiri, sehingga tindakan yang dihasilkan tentu atas dasar
dirinya sendiri. Namun dalam perkembangan institusi
masyarakat, identitas manusia dapat saja terelaminasi. Kerja
manusia digerakkat atas dasar relasinya.14 Misal, seorang
suami yang bekerja. Kerjanya tidak lagi untuk dirinya
sendiri, seluruhnya ia upayakan untuk menjamin kebutuhan
keluarganya. Sosok yang demikian, memperlihatkan
dasar tindakan pribadi terelimanasi karena relasi dalam
keluarganya.
Duverger cukup rinci menggambarkan proses
terbentuk konsepsi institusi. Menurutnya ada dua
klasifikasi institusi dari alur terbentuknya yanki institusi
yang direkaya (institution by design) dan institusi yang
dibentuk realitas (institution by fact). Institusi yang rekayasa
merupakan perkumpulan atau organisasi masyarakat yang
hadir karena tujuan yang telah dirumuskan secara senagaja.
Misalnya militer dan semacamanya yang dibentuk atas
dasar tujuan yang terukurt. Sedangkan institution by fact
itu tidak demikian. Hadir karena kesamaan nilai dan
keyakian. Contohnya institusi kesukuan, keagamaan dan
semacamanya.

14
Sebenarnya, dalam karyanya ia menjelaskan tentang personal manusia. Namun,
paradigam yang dibangun dalam mengkajinya lebih fokus pada posisi manusia
dalam kehidupan sosial. Lenglapnya baca, Ralph Linton, The Study of Man: An
Introduction (USA: D. Appleton-Century Company, incorporated, 1936).

54 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


Ketiga, culture/budaya. Item yang terakhir ini tidak
sama dengan kedua elemen sebelumnya. Walaupun juga
terdiri dari beliefs sebagai institusi. Namun, tidak hanya
hal tersebut. Budaya memiliki banyak elemen termasuk
didalamnya meliputi hal-hal irrasional dan transenden.
Walaupun tidak rasional bukan berarti tidak merupakan
konsensus publik. Bentuk tetap lahir daripadangan
personal manusia. Asumsi bukan hanya yang rasional saja.
Namun juga berhubungan hal-hal yang transenden seperti
Tuhan, roh dan penghakiman di akhirat. Hal-hal senada
tentang yang demikian dapat saja menjadi konsensus. Bisa
melahirkan tradisi dan bahkan seni.
Bedasarkan panjang penjelasan di atas, dapat
disimpulkan bahwa struktur sosial merupakan segala
sesuatu yang lahir dari interaksi manusia. Berbeda dengan
struktur fisik yang terbentuk secara fonomenalogis dari
kondisi iklim dan alam. Struktur sosial lahir dari kegiatan
sosial manusia, tidak dari alam.
Namun walaupun berbeda, dua struktur ini memiliki
keterikatan. Sistem sosial sering juga terbentuk dari
identitas geografis. Pendirian negara misalnya, tidak
semua didasarkan pada kesadaran interaksi sosial secara
murni. Namun juga lahir dari kesadaran akan kesamaan
aspek demografis dan bahkan geografis. Yang demikian
merupakan satu keniscaraan, sebab konsepsi negara tidak
dikatakan hanya terdiri dari kumpulan masyarakat saja.

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 55


Syarat disebut negara mesti memiliki hukum,
masyarakat, pemerintahan dan tentu juga tanah. Tanah
tentu merupakan syarat fisik yang harus ada dalam sebuah
negara. Tidak akan disebut negara, jika tidak memiliki
wilayah dalam menjalankan pemerintahan.
Selain dari itu, tanah dalam suatu sering juga
dipahami hanya sebagai menjalankan tempat menjalankan
pemerintahan. Lebih dari itu bahkan diyakini sebagian
dari ideologi. Indikasi adanya pemahaman ini dapat
dicontohkan pada adanya era imprelisme, kolonialisme
dan semacamnya. Pada kondisi era gerakan ini, beberapa
negara mati-matian menjaga dan menjadikan identitas
wilayah mereka. Di Indonesia, gerakan perlawanan
dilakukan dengan menjadikan tanah sebagai indentitasi
politik. Mereka bangga terhadap tanahnya yang subur.
Kebanggaan ini yang dikemudian hari, dikembangkan
sebagai instrumen pengikat masyarakatnya yang heterogen.

56 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


BAB III
KONSEPSI SOSIALISASI POLITIK

Sosialisasi merupakan satu kegiatan yang perlu dikaji


dalam sosiologi politik. Sebagaimana dijelaskan di awal bahwa
dalam sosiologi politik, secara mendasar perbicara pencapaian
dan pengelaloaan power. Sedangkan power dapat dibentuk
dibentuk dari konsensus struktur sistem masyarakat. Prosesnya
tentu ada alienasi subjektif yang dilakukan. Untuk melakukan
proses tersebut, yang perlu dilakukan adalah menjamin merata
pemahaman objektif. Pada aspek ini, diperlukan sosialisasi politik.

Secara terminologis, sosialisasi merupakan transformasi


pemahaman pada orang lain. Dalam diskursu pemahaman ilmu
politik sosialisasi selalu disematkan pada persoalan pengelolaan
asumsi masyarakat dalam pengembangan sistem sosial. Ada juga
yang memaknai proses individu manusia dalam institusi dan
sistem sosialnya. Yang demikian sebagaimana yang dijelaskan
oleh Sutaryo yang mengutip pendapat Wright. Ia menjelaskan
sosialisasi internalisasi norma-norma dan menghubungkannya
dengan rasional subjektif orang lain.1 Intinya, seperti pendapat
Berger, sosialisasi itu mendorong manusia hidup menjadi
1
Sutaryo, Dasar-Dasar Sosialisasi (Jakarta: Rajawali Pers, 20014). 156

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 57


anggota masyarakat.2

Fungsi sosialisasi politik secara mendasar pada aspek


sosilogi sebenarnya ada dua hal yakni fungsi integrasi dan
partisipasi. Integrasi yang dimaksud, membuat masyarakat
memiliki sudut pandang yang sama pada satu proyeksi kerja
tertentu. Jika masyarakat memiliki yang senada, mereka akan
membangun kebersamaan dalam mencapai tujuan tertentu.
Sisi ini yang disebut sebagai partisipasi. Kedua fungsi ini
terhubung atas dasar kesenadaan persepsi baik berupa
kesenadaan nilai, norma dan semacamanya. Jadi proses
sosialisasi dalam hubungannya dengan politik adalah sebagai
rencana strategis kekuasaan untuk meningkatkan partisipasi
dan integrasi masyarakat.

Untuk mencapai tujuanya ini, strategi sosialisasi mesti


dipertimbangkan secara matang dan terukur. Salah satu upaya
yang dapat dilakukan adalah dengan cara memahami terlebih
dahulu karakter struktural sistem masyarakat. Sebagaimana
yang dikemukan dalam karya David B. German, bahwa
setting dan kontek dan sosialiasi politik merupakan hal paling
signifikan.3 Artinya, sosialisasi dilakukan dengan terlebih
dahulu mendasarkan pada kondisi sosial sistem politik struktur
masyarakatnya, apakah bentuknya primitif, totaliter atau
prismatik.
2
Peter L. Berger, The Sacred Canopy: Elements of a Sociological Theory of Religion
(New York: PKB, 1996).
3
Dalam penjelasan ia menyebut spesifikasi dan golongan masyarakat menjadi
dasar perkembangan kondisi politik. Lengkpanya, Daniel B. German, ‘Political
Socialization Defined: Setting the Context’, in Political Socialization Defined:
Setting the Context (Jerman: Franfurt Am Main, 2014). 17-68

58 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


A. Konsepsi dalam Totalitariansm Society
Totalitarianism adalah aliran yang menegaskan negara
sebagai satu-satunya kekuasaan tertinggi. Rasionalitas dari
masyarakat dengan system sosial totaliter mendasarkan
anggapan bahwa identitas puncak dari komunitas atau
interaksi sosial, adalah negara. Sehingga tindakan yang
dilakukan perlu didasarkan pada prinsip dari dan untuk
negara. Cara pandang yang demikian, meninggalkan negara
sebagai pihak dan dalil kekuasaan yang memaksa dan tak
boleh dilawan. Conguest menjelaskan hal mendasar dari
totalitariansm society adalah kekutan dominasi nagara ada
seluruh aspek kehidupan masyarakat.4
Secara historis, konsepsi masyarakat tipe totaliter ini
sudah diperbincangan pada abad 19an. Perkembangan awal
pola ini dijalan oleh kaum fasisma, Itali. Pada era itu, kajian
diskursus pemerintah nagara menjadi topik paling hangat
di eropa. Bahkan juga ada yang menyebutkan disusun
sebagai pola ideal politik kenagaraan. Penjelasan pola
model masyarakat ini dapat dibaca dalam beberapa catata
Reisch dalam penelitianya yang menfoksukan pada model
pemerintaha totaliter seperti Rusia dan Itali.5 Sebenarnya
banyak lagi contoh masyarakat di Eropa yang pernah
menjadikan pola ini sebagai struktur politik. Misalnya
Spanyol. Dalam catatan Paul Preston, pada perang civil di

4
Robert Conquest, Reflections on a Ravaged Century, Reprint edition (New York:
W. W. Norton & Company, 2001). 74
5
George A. Reisch, How the Cold War Transformed Philosophy of Science: To the
Icy Slopes of Logic (USA: Cambridge University Press, 2005). 153-154

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 59


negara tersebut, sebenarnya bukan ingin membangun pola
demokratis. Pola demokratis di negara tersebut menjadi
demokrasi sebagai jalan terciptanya totolitas di masyarakat.6
Sebenarnya alam karaketeristiknya, susah dibedakan
pola otoriter dengan totaliter. Terkait hal demikian,
Sondrol menjelaskan perbedaan yang paling mencolok
dari keduanya. Untuk lebih jelasnya, penulis meysusun
tabel dengan mengadopsi penjelasannya sebagaimana tabel
berikut ini;7

Tabel 3.1 Perbedaan Totaliter dan Otoriter


Political Elements Totalitarianism Authoritarianism
Charisma Tinggi Rendah
Kepemimpinan Kepemipinan
Role Conseption
fungsional Individual
Ends of power Publik Pribad
Corruption Rendah Tinggi
Official ideology Ada Tak ada
Legitimacy Ada Tak ada
Limited pluralism No Yes
Penjelasan ini lebih dapat memberikan gambaran
secara holistik, bahwa masyarakat totaliter merupakan
perkembangan dari otoriter, hanya saja lebih memperkuat
objektifitas rasional negara sebagai konsensus pihal
pengambil dominasi tertinggi. Subjektifitas dalam
masyarakat dalam model ini tidak sama sekali diperlukan,
6
Paul Preston, The Spanish Civil War: Reaction, Revolution, and Revenge (Revised
and Expanded Edition) (US: W. W. Norton & Company, 2007). 64
7
Paul C. Sondrol, ‘Totalitarian and Authoritarian Dictators: A Comparison of
Fidel Castro and Alfredo Stroessner’, Journal of Latin American Studies, 3.21
(1991), 599.

60 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


apapun bentuknya. Hanya satu yang penting dalam
kesadaran masyarakat tipe totaliter yakni apapun proses
dan kegiatanya harus didasarkan pada tujuan negara.
Dalam kata lain, negara adalah konsensus yang mengikat
dan menekan individu untuk taat.
Kondisi pola politik seperti yang dijelaskan ini, tentu
memerlukan cara-cara sosialisasi terntu. Setidaknya ada
beberapa hal yang perlu dipertimbangkan, pertama, sisi
objektitas rasional masyarakat tentang negara. Artinya,
sosialisasi yang dilakuakan harus berdasarkan rasional
fungsional patriotistik. Ini sangat penting menjadi konten
utama dalam melakukan sosialisasi politik bahkan dapat
meningkatan partisapasi politik. Dengan item ini, nalar
kekuasaan akan lahir dari kesadaran masyarakat akan
fungsional peran pemerintah dan diri mereka. Dengan
penguatan kesadaran bernegara, dominasi pemerintah
kuat di masyarakat. Masyarakat pun akan taat sebab demi
kemulayaan negarasanya sendiri.
Kedua, pemaksaan kepatuhan. Sistem sosial yang
totaliter memiliki konsensus yang dipertahankan secara
kuat dan sering bersifat memaksa. Di beberapa negara
komunis yang biasanya berpolitikan berjalan secara
totaliter, sering dijalanakan dengan mengandalkan institusi
keamananan (military). Sosialisasi politik pun demikian,
dapat dilakukan dengan mengandalkan kelompok tersebut.
Segala kebijakan yang dilahirkan oleh pemerintah tidak
perlu meminta persetujuan pada asumsi pribadi masing

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 61


anggota masyarakat. Institusi keamanan dapat memaksa
dan membatasi untuk terus mematuhi kebijakan yang
dilahirkan. Kershaw memberikan pendapat terkait hal
demikian, dengan menuturkan bahwa sisi lain dari totaliter
adalah kombinasi kontrol dan ideologi kebangsaan yang
dipaksakan pada semua aspek kehidupan sosial masyarakat.8
Ketiga, menformulasi nilai yang secara rasional
berhubuangan dengan keberlangsungan dan perkembangan
negara. Hal ini ada kaitannya dengan yang kedua. Sistem
masyarakat yang totaliter diindikasikan memiliki nilai yang
diformulasikan sebagai ideologi negara. Nilai tersebut yang
menjadi ruh kendali domunasi pemerintah pada rakyatnya.
Terkiat hal ini, Rush dan Althoff menyebut ada beberapa
nilai yang diyakini oleh masyarakat totaliter dan selalu
ditekankan untuk disadari. Beberapa nilai di antaranya,
tradisi, prestasi, keluhuran pribadi (jujur, tulus dan
semacamnya), adapatasi sosial yang baik, intelektual, dan
political value.9

B. Konsepsi dalam Primitive Society


Masyarakat primitif yang dimaksdu adalah hal ini
adalah masyarakat yang budaya politiknya, komunal.
Kebijakan dalam kelompok masyarakata primitif
dilahirkan dari kepercayaan kesukuaan. Mereka tidak
8
Ian Kershaw, The Nazi Dictatorship: Problems and Perspectives of Interpretation
(New York: Bloomsbury Publishing, 2015). 25
9
Dua tokoh ini sebenarnya tidak menyampaikan masalah sosialisasi, namun
temuanya daat menjadi awal dalam memahami realitas sosial masarakat
totaliter. Baca, Michael Rush and Phillip Althoff, Pengantar Sosiologi Politik
(Jakarta: Rajawali Pers, 1990).

62 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


memiliki kepercayaan pada istitusi sosial yang direkayasa
secara fungsional. Tingkat rasionalitas yang dimiliki sangat
rendah. Sehingga dominasi yang dipegang ketua komunal
yang dipercaya secara transenden.
Posisi pemerintah secara politik dalam masyarakat tipe
tidak memiliki dominasi kuat. Sehingga, sosialisasi politik
jika dilakukan melalui nilai kebangsaan akan menemui
banyak rintangan. Mereka akan lebih taat pada aturan
kesuakaannya. Kerena ini juga, pada masyarakat primitif,
disintegrasi sosial selalu berusmber dari kepercayaan dan
konflik kepentingan antar suku.
Contoh realitas masyarakat tipe ini, sudah banyak
yang digambarkan oleh sejumlah pakar sosiologi politik.
Beberapa di antaranya sebagaimana yang ditulis oleh Ibnu
Khaldun. Dalam karyanya, ia banyak menggambarkan
masyarakat primitif yang contohkan pada kehidupan sosial
di timur tengah. Ia menjelaskan bahwa indikasi masyarakat
tradisonal adalah memiliki sejumlah aturan disematkan
pada kepala suku mereka. Satu-satunya yang akan ditaati,
mesti harus bersumber dari figur kharismatik kepala suku
mereka. Biasanya orang yang menjadi kepala merupakan
orang dipercaya memiliki spritualitas tinggi dan kekuatan
supranatural. Karena kepercayaan sistem sosial politik
yang lahir selalu berhubungan komunal suku atau bahkan
kedaerahan.10
Ibn Khaldûn and Bruce B. Lawrence, The Muqaddimah: An Introduction to
10

History - Abridged Edition, ed. by N. J. Dawood, trans. by Franz Rosenthal,


Abridged edition (Princeton, NJ: Princeton University Press, 2015). 102

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 63


Selain yang dicontohkan Ibnu Khaldun, ada juga
penjelasan kehidupan sosial di Afrika. Ia memfokuskan
kajian pada politik bahasa di masyarakat. Dalam
pandangannya, seluruh masyarakat di daerah ini
dikendalikan oleh kepala suku atau golongan. Pemerintah
yang syah kalah mendominasi pada mereka. Hal
demikian terbukti dari adanya konflik yang tidak dapat
didamaikan tanpa pimpinan kelompok-kelompok yang
menginisiasinya. Sosialisasi kebijakan politik pun sering
mendapatkan perlawanan dari beberapa suku, sebab dogma
yang telah ditanam di masing-masing kelompok.11
Konsepsi sosialiasi yang tepat dalam hal pengembangan
sosiologi politik secara praksis normatif dapat dilakukan
dengan disesuai kondisi problematikan yang ada. Dalam
hal ini, penulis bersepakat dengan argumentasi Rush dan
Althoff. Keduanya menjelaskan ada tiga hal penting yang
dapat menjadi dasar pengembangan strategi sosialisasi
dalam masyararakat primtif. Ketiganya digambarkan secara
sederhana sebagaimana di bawah ini;

11
Victor T. Le Vine, Politics in Francophone Africa (Colarado: Lynne Rienner
Publishers, 2004).

64 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


Gambar 3.1 Elemen Penting Sosialisasi Politik Masyarakat
Primitif

Penjelasan terkait ketiga hal di atas, didasarkan pada


pemahaman keduanya akan penjelasan-penjelasan sosial
masyarakat primitif oleh para peneliti. Ketiga hal di atas,
menjadi syarat sosialisasi bagi yang bertujuan sebagai
penguatan partisapasi masyarakat atau pun sebagai
peningkatan ketaataanya. Sehingga ketiga ini, dalam
penjelasan Rush dan Althoff disebut sebagai ciri-ciri sistem
sosial masyarakat tradisional.12 Tiga elemen ini yang dalam
hemat, sebenarnya merupakan dasar atau basis normatif
praksis sosiologi politik di tengah masyarakat tradisional.

12
Rush and Althoff.

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 65


C. Konsepsi dalam Prismatic Society
Konstruksi masyarakat model yang terakhir ini
biasnya ada dalam negara-negara berkembang. Model
sistem sosialnya barada pada tengah-tengah antara dengan
sentralitas penuh dan negara dengan domkrasi terbuka.
Rigss, seorang tokoh sosiolog politik, menegaskan
masyarakat dengan tipe ini sebagai masyarakat yang ada
ditengah sistem politik modern dan tradisional.13 Hampir
senada dengan apa yang dijelaskan oleh Soelaiman, pakar
sosiolog, asal Universitas Padjajaran. Ia menjelaskan
bahwa masyarakat prismatik sebagai masyarakat peralihan.
Posisinya adalah ditengah-tengah tradisional dan modern.14
Agak berbeda dengan penjelasan di atas, Ishomoddin
menjelaskaan Prismatik sebagai sistem masyarakat
campuran. Artinya tidak terpisah dari tradisionalitas
sosial maupun modernitasnya. Namun, pada masyrakat
prismatik keduanya berkolaborasi. Bahkan ia menyebutnya
tradisional dan madern saling “overlapping”.15 Asumsi ini
yang menjadi dasar penyematan sifat heterogenitas dan
pluralistik dalam masyarakat prismatik. Jadi di sistem sosial
masyarakat parismatik ada multikultur, agama, ras, politik,
dan sebagainya.

13
Fred W. Riggs, Administration in Developing Countries: The Theory of Prismatic
Society (Place of publication not identified: Houghton Mifflin Co, 1964). 31
14
M. Munandar Soelaiman, Dinamika Masyarakat Transisi : Mencari Alternatif
Teori Sosiologi Dan Arah Perubahan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998). 31
15
Ishomuddin, Perubahan Orientasi Budaya Dan Integrasi Masyarakat Prismatik :
(Kajian Pada Warga Muhammadiyah Dan Nahdlatul Ulama Di Kabupaten
Lamongan) (Surabaya: Universitas Negeri Surabaya, 2007). 152

66 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


Adapun penjelasan lain yang menyoti tentang
kolaborasi tradisional moder yang dimaksud adalah
penjelasan dari Sukanto. Dalam pandanganya, masyarakat
prismatik memiliki memiliki tindakan semi adapatif. Satu
sisi mereka kuat menjaga kepercayaan tradisional, di sisi
lain mereka terpengaruh oleh sentuhan budaya modern.16
Yang demikian, tentunya juga disebabkan karena adanya
heterogenitas kehidupan sosial. Interaksi dalam tipe ini,
memiliki tingkat multi kepentingan dan nilai yang tinggi.
Sehingga perubahan-perubahan lebih dinamis terjadi.
Tingkat heterogintas yang tinggi, selain memiliki
dampak pada dinamikasi perubahan sistem sosial. Juga
memiliki konsekuensi akan adanya potensi kesenjangan
sosial masyarakat. Hal demikian ini, juga secar rigid,
dijelasakan oleh Rigss. Probelama yang selalu terjadi
dalam masyarakat prismastik adalah adanya kesenjangan
antara masyarakat desa dan kota. Masyarakat desa jauh dari
perkembangan budaya modern. Sebaliknya masyarakat
kota, cepat menerima perubahan. Dalam aspek sosio-
geografis, tindakan kedua masyarakat ini akan berbeda-
beda. Masyarakat desa akan lebih condong memiliki
tindakan sosial tradisional. Sebaliknya, kehidupan sosial
masyarakat perkotaan memiliki tandensi gaya modern
sosial.17

16
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar/Soerjono Soekanto (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 1982). 188
17
Riggs. 37

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 67


Interaksinya pun, tentu berbeda. Masyarakat pedesaan
yang cenderung memiliki sifat tradisional akan tampak lebih
banyak terpusat atau tingkat interaksi sosialnya dengan
sesama lebih tinggi. Hal demikian tentu merupakan sifat
yang lumrah dari kehidupan sosial tradisional. Berbeda
dengan perkotaan, karena lebih mudah mengadosi budaya
sosial modern, akan tampak lebih lemah interkasi sosialnya.
Dengan kata lain, sifat sosial masyarak kota memencar.
Untuk lebih jelasnya, lihatlah gambar yang diadosi dari
Riggs berikut ini;

Gambar 3.2 Konsepsi Sosial Masyarakat Prismatik Rigss

Bedasarkan gambar di atas ini, jelas bahwa prismatik


merupakan pola peralihan yang berada ditengah budaya
tradisonal dan modern. Interaksi sosial dan politiknya juga
terdiri dari percampuran antara kedua kubu yang berlawanan
secara ekstrim. Masyrakat desa yang disimbolkan sebagai
masyarakat dengan tandensi tradisional tinggi, akan terlihat
lebih sentralistis. Sehingga mereka lebih memiliki tingkat
konsialiasi, kompromi, keserasian dan lain semacamnya

68 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


akan lebih mudah muncul. Sebaliknya kota lebih memiliki
rasionalitas tindak empirik, namun sudah dikompromikan
atau disentralisasikan.18
Kondisi masyarakat prismatik yang digambarkan
oleh beberapa pakar, menjadi alasan sosilisasi politik tidak
dilakukan sebagaimana yang dijelaskan pada dua tipe
sebelumnya. Jika dikatakan sebelumnya, ada elemen dan
nilai yang pasti ada dan objektif dalam kehidupan sosial
primitif dan totaliter, tentu tidak demikian dalam konsep
sosialisasi di tipe prismatik. Tidak ada nilai dan elemen
yang pasti. Efeknya kebijakan yang dikeluarkan tidak
mudah diterima oleh anggota masyarakat.
Namun, bukan berarti tidak ada hal yang penting
dan mendasar untuk menyusun langkah praksis normatif
sosilogi politik dalam hal ini. Kondisi heterogenitas memeng
begitu susah untuk diselaraskan. Namun bagaimana varian
sosialnya, ada hal-hal yang mendasarinya. Dengan kata
lain, faktor-faktor penting peralihan dan elaborasi budaya
perlu dirinci untuk dijadikan dasar memahami kondisi
sosial masyarakat prismatik.
Adapun terkait dengan faktor ini, sebenarnya
telah dijelaskan oleh Le Vine. Ia menyebut ada tiga
faktor penting yang jika ditela’ah dapat menjadi dasar
dilakukannya sosialisasi politik.19 Ketiga faktor tersebut,
penulis kembangkan sebegaimana di bawah ini;

18
Riggs. 26
19
Vine.

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 69


1. Pertikaian antara budaya modern dan tradisional
melalui pendidikan akan terus berkembang. Dalam
hal perlu, melihat sejauhmana perkemabngan itu
terjadi
2. Ada perbedaan nilai dan paradigma sosial. Hal ini
perlu dibaca secara komprahensif sebab perbedaan
tersebut akan selalu menjadi rintangan bahkan
disintegrasi penerimaan nilai holistik yang akan
dikembangkan
3. Gerak urbanisasi yang terjadi. Pada sisi ini, yang
paling pokok adalah pertemuan atau perpindahan
masyarakat desa di kota. Pertemuan ini melahirkan
kolaborasi padangan atau kadangan juga mempercepat
peralihan budaya tradisional ke modern.
Ketiga hal demikian di atas merupakan hasil dari
analisis yang dilakukan oleh Le vine. Jika dilihat dari
beberapa yang faktor yang disebutkan, tampaknnya Le
Vine membasiskannya pada perubahan sosial yang terjadi.
Yang paling terlihat demikian, salah satunya adalah
dimasukkannya urbanisasi sebagai salah satu faktor yang
penting dalam melakukan sosial. Padahal urbanisasi, bukan
bagian dari perubahan politik. Yang demikian merupakan
bagian dari perubahan sosial saja.
Pada kacamata lain, urbanisasi sebagai fakta sosial
yang berkaitan yang minim berdampak pada perubuhan
persepsi. Dalam arus urbanisasi, masyarakat yang berpindah

70 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


tidak dimungkinkan memindah persepsi atau nilai. Sebab,
perpindahan tempat tidak mempengruhi kayakinan
seseorang. Sehingga, perubahan budaya dapat dikatakan
tidak terpengaruh dengan perubahan termpatnya.
Sepintas gagasan Le Vine ini dapat dipatahkan. Namun
jika dilihat dari historis dikembangkannya gagasannya ini,
baru dapat dirinci dasar rasionalnya. Ia menjelaskan faktor-
faktor yang mempengaruhi sosialisasi selelalu berkaitan
dengan kondisi perubahan tindakan manusia. Budaya
manusia memang sulit diubah hanya karena perubahan
tempat. Namun perbuhan tempat selalu dapat mengubah
tindakan manusia dalam memenuhi kebutuhanya.
Pada perkembangan teori tindakan manusia yang
dianggap selalu didasarkan pada motif kebutuhan,
memungkinkan tindakan berubah berdasar pada
tempatnya. Masyarakat yang tinggal di gunung, perkotaan
dan pesisir memiliki tindakan berbeda dalam memenuhi
kebutuhan. Masyarakat gunung dengan petani memiliki
watak yang lebih halus daripada nelayan. Perkotaan pun
berbeda, lebih modern dan individual dalam kehidupan
sosialnya. Karena perbedaan ini, sosialisasi politik yang
dilakukan pada ketiganya juga mesti berbeda.
Asumsi demikian yang tampak menjadi dasar Le
Vine dalam menganggap urbanisasi sebagai hal yang
penting dalam mempengaruhi pola sosialisasi politik yang
dilakukan. Jadi urbanisasi menjadi faktor politik bukan

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 71


karena bentuk sebagai kebijakan politik saja. Urbanisasi
juga merupakan proses pertemuan antar masyarakat dengan
pola tindakan sosial yang berbeda.
Berdasarkan asumsi pada pemikiran Le Vine di atas,
dapat dikatakan bahwa sosialisasi politik tidak dapat
dipisahkan dari perubahan sosial masyarakat. Perubahan
yang dimaksud tentuk bukan hanya persolan peralihan
sistem politik saja namun juga bekenaan dengan peralihan
tindakan ekonominya. Atau, lebih tepatnya perubahan
strategi pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Perubahan strategi pemenuhan kebutuhan manusia,
tentu juga berbeda dengan apa yang disebut sebagai
persepsi, nilai dan pengetahuan masyarakat. Ketiganya
diposisikan berbeda. nilai dan persepsi tidak hanya
dilahirkan dari motif dan hasrat saja. Keduanya kadanya
berbentuk sesuatu yang tidak rasional atau transendental.
Bisa lahir dari agama, atau tradisi jika dihubungkan dengan
perkembangan pengetahuan semestinya sudah ditolak.
Perbedaan ini yang juga menjadi alasan faktor-faktor
seperti urbanisasi dibedakan dengan faktor perbedaan
persepsi, nilai dan tradisi seperti Le Vine jelaskan sebelumnya.
Nilai dan persepsi bahkan pengetahuan kadanya terlepas
dari realitas yang berkembang. Mengetahui perkembangan
dari ketiganya ini, atau perubahanya, diperlukan dalam
penyusunan normatif praksis sosialisasi politik.

72 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


Ketidakpahaman pada ketiganya, akan melahirkan
potensi penolokan sosialisasi. Beberapa fakta sering
terjadi. Salah satunya dapat dicontohkan pada adannya
penolakan kalangan ekstrimis agama pada pemerintah
sebab pemerintah dianggap tidak menghormati nilai dan
ajaran keagamaannya.

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 73


BAB IV
POLITICAL PARTICIPATION

Pada bab ini, penulis akan memahami secara mendalam


realitas anggota masyarakat yang ikut berpartisipasi dalam
kerja pemerintah sebagai penguasa. Ada banyak ragam bentuk
partisipasinya. Tentu kesemuanya telah banyak digambarkan
oleh beberapa pakar. Penjelasan untuk mempericni bahasan
konsepsi partisipasi politik, akan diawali dengan penjelasan
rinci konsep kewarganegaraan sebagai identitas sosial
masyarakat yang tentu memiliki konsekuensi yang mengikat.

Konsepsi kesadaran kewargaannegaraan menjadi dasar


lahirnya semangat partisipasi pada pemerintah. Sepanjang
penulis temui, adanya banyak kajian partisipasi politik.
Kebanyakan berkenan dengan pada strategi praksis normatif
strategi penguatan keuasa pengaruh politik. Tentu yang
demikian lumrah sebah memang menganggap konsepsi political
participation adalah rangkaian kegiatan berkaitan dengan
kehidupan politik, yang bertujuan untuk mempengaruhi
keputusan publik dengan cara yang lebih cara yang tidak
langsung—legal, konvensional, pasifik, atau kontroversial.1
1
Silvia Bolgherini and Selena Grimaldi, ‘The May Regional Elections:
Consolidation of the Tripolar System’, Italian Politics, 31.1 (2016), 80–98.

74 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


Jadi yang disebut dengan partisipasi politik seluruh
kegiatan yang bekaitan dengan ikut sertanya kebijakan politik
pada semua pihak masyarakat. Baik dari kalangan akademis,
intelektual, pengusahan, dan semacamanya, termasuk antar
politisi sendiri, diperluakan dalam secara bersama-sama
untuk saling dukung dalam membangun kegiatan sosial yang
sejahtera dan makmur. Idealnya demikian. Pada intinya,
dalam hubungan dengan strategi politik praksis, partisipasi
adalah bentuk pengaruh kesenadaan dari usaha sosialisasi yang
dilakukan oleh agen politik.

Urgenis ini yang mendorong penulis untuk membahas


lebih rinci terkait konsepsi partisipasi politik. Untuk itu, ada
beberapa hal yang akan dibahas dalam bab ini. Beberapa di
antaranya seperti dasar-dasar rasionalnya, ruang lingkup, dan
bentuk-bentuknya.

A. Participation Rational Basis


Diskusus partisipasi politik pada awalnya dikenal dalam
ruang keanggotan parpol. Namun pada perkembangannya,
partisipasi bukan hanya berkenaan dengan ruang kegiatan
politik saja, namun juga menjadi suatu keniscayaan dari
lahirnya institusi sosial. Pemerintah sebuah komunitas
masyarakat mesti memiliki memiliki kebijakan yang
menjadi norma, nilai dan hukum guna mengatur dan
mengarahkan kehidupan sosial masyarakat. Salah satu
contoh realitas ini, adalah pada secara institusi masyarakat
post industrial. Kelompok masyarakat yang ada kala itu,

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 75


kecewa kepada para politisi. Sehingga ia melakukan kegiatan
secara mandiri dan mencoba mengkritik kebijakan politik
kenegaraan kala itu.2
Secara mendasar, partisipasi politik ini didasarkan
pada konsepsi rasional action. Artinya, strategi peningkatan
partisipasi politik dapat dipandang sebagai proses mencari
motif rasional tindakan manusia. Dengan demikian
partisipasi politik merupakan kegiatan manusia yang
secara rasional terdorong dari subjektifitasnya. Melalui
teori rasional tindakan, memberikan arah pengembangan
penyatuan motivasi manusia, baik berupa material dan
non material saling berhubungan dengan kontek sosial
politik. Walaupun secara teoretis, rasional tindakan tidak
selalu berhubungan degan publik, Namun setidaknya, teori
rasional dapat menjadi basis memahami arah tindakan
sosial dilakukan. Sebagaimana konsepsi umum partisipasi
yang pasti melekat konsepsi tindakan sosial masyarakat.3
Semua sudah mafhum, teori aktor rasional mendorong
lahirnya pendekatan yang melihat individu manusian
memiliki selalu memiliki kecondongan untuk melakukan
tindakan instrumental guna mancapai atau memenuhi
kebutuhanya. Tindakan isntrumental ini menjadi standar
terendah dari konsepsi tindakan manusia. Dalam bertindak,
manusian selalu berpikiran pragamtis dan kausal. Mereka
mesti menelaah dampak tindakannnya sendiri. Jadi teori
2
Jacobus Ranjabar, Pengantar Ilmu Politik: Dari Ilmu Politik Sampai Politik Di
Era Globalisasi (Bandung: Alfabeta, 2016). 229
3
Carole Jean Uhlaner, ‘Political Participation, Rational Actors, and Rationality:
A New Approach’, Political Psychology, 7.3 (1986), 551–573.

76 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


rasional action bukan hanya berbicara masalah motifasi
saja, namun juga berhubunga pertimbangan lain seperti
ketegangguan, keamanan diri dan semacamnya.4
Banyak yang telah menjelaskan bahwa tindakan
sosial manusia selalu bersifat transitif. Beberpa pakar yang
dimaksdu misalnya, Frohlich dan Oppenheimer,5 dan
Abrams.6 Riker dan Ordeshook mendasarkan rasionalitas
tindakan sebagai dasar partisipasi mendorong adanya asumsi
bahwa semua menusia dalam kehidupan sosialnya memiliki
tujuan memaksimalkan utilitasnnya.7 Dalam penjelasan
sederhananya, rasional tindakan manusia dalam kehidupan
sosialnya selalu berdasarkan pada asumsi objektif konsensus
publik sosialnya. Dari sanalah, motif, nilai bahkan batasan
relavan tindakanya.
Untuk lebih rigitnya, cobalah hubungkan dengan
konsepsi rasional umum dari sebuah tindakan. Misalnya ada
dasar teoretis rasional pragmatis. Seluruh tindakan dengan
pendekatan dasar teoretik ini akan menggap segala hal
menjadi fana apabila tidak ada konsekuensi baiknya. Maka
hal yang paling rasional dalam kontek teoreti demikian
adalah probabilitas yang mengahasilkan. Konsekuensi dari
pertimbangan akan memculkan reaksi membandingkan
4
Uhlaner. 554
5
The Science of Giving: Experimental Approaches to the Study of Charity, ed. by
Daniel M. Oppenheimer and Christopher Y. Olivola, 1st edition (New York,
NY: Psychology Press, 2010).6-13
6
Robert Abrams, Foundations of Political Analysis: An Introduction to the Theory
of Collective Choice (New York: Columbia Univ Pr, 1980). 1-10
7
William H Riker and Peter C Ordeshook, An Introduction to Positive Political
Theory (Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall, 1973). 8-43

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 77


beberapa probabilitas. Unlaner menggambarkan rasional
yang bepola demikian, biasanya akan melahirkan rasional
tindakan sosial yang didasarkan pada aspek untuk rugi.
Kata lainnya, lebih condong pada memeriksa pembiayaan
dan segala yang menjadi modal dari kegiatanya. Diskursus
perkembang yang demikian dijelaskan ini, merupakan teori
rasional tindakan pra dihubungkan dengan keniscayaan
status dan institusi sosial.8
Setelah dihubungkan dengan realitas adanya sistem
sosial, rasionalitas tindakan manusia berkembang
lebih utititas. Tujuan baik yang rasional menjadi lebih
holisitik. Dari sekadar mempertimbangkan yang
baik untuk individunya menjadi lebih holistik, yang
mempertimbangkan yang baik bagi kelompoknya. Dasar
rasional ini yang menjadi akar rasional tindakan partisipasi
masyarakat.
Dasar trasisisi konsepsi rasional ini dikatakan
seebagai wujud dari integrasinya dengan teori sistematis.
Sebagaimana perkembangan praksis teori rasional tindakan,
setelah diintegrasikan pun demikian. Sebagai pendekatan
partisipasi, pertimbangan probabilitas pun dilakukan
dengan menghubungkan pada konsepsi sistem. Artinya,
apa yang dimungkin berefek baik bagi keberlangsungan
sebuah komunitas atau negara.
Namun ada beberapa hal yang mungkin dapat
dianggap sebagai ketidakkonsistenan teroretik. Rasional
8
Uhlaner. 554

78 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


pragmatis sebagai sebuah tindakan selalu akan terjebak
pada pertimbangan empiris. Jadi jika dihubungkan pada
keniscayaan kehidupan sosial, kajian pertimbangan rasional
dalam pendekatan teoretik ini akan terjerembab pada
pespektif empiris saja. Padahal sistem sosial masyarakat
tidak hanya disasarkan pada pertimangan empiris. Hal-
hal yang transenden kadang juga menjadi pertimbangan,
seperti pada masyarakat primit. Di titik ini, lemahnya
resional pragmatis materi menjadi dasar konsep partisipasi
politik, sebab pedekatan epiris tidak akan relevan dengan
realitas yang terjadi di masyarakat.
Makanya, dalam pengembangan normatif praksis,
rasionalitas tindakan sosial dalam partisipasi politik bukan
hanya menfokuskan pada aspek empiris saja. Namun
dihubungkan dengan konsepsi budaya sosial masyarakat
yang terdiri dari beberapa macam, baik materi dan
immateri. Dalam hal ini, kemdian teori tentang asumsi
dan persepsi dimasukkan sebagai hal yang perlu diteliti
dalam melakukan partisipasi politik. Dengan kata lain,
nilai, tradisi, dan semacamanya perlu dipandang sebagai
hal urgen yang menentukan tingkat tindakan partisipasi
masyarakat dilakukan.
Berdasarkan penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa
dasar teoretik partisipasi politik memadukan tiga teoretik
berbeda. Teori rasional berbeda dengan teori sistem sosial
dan tentu juga berbeda dengan teori budaya. Integrasi ketiga
hal ini yang menjadi dasar partisipasi politik sebabagai

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 79


pengembangan diskursus sosiologi politik.
Adapun dalam hal upaya formalisasi praksis
normatifnya, sebenarnya telah banyak juga direkomendasi
oleh beberapa pakar.. Beberapa pakar tampak berbeda sesuai
dengan sudut basis klasifikasinnya. Ada yang didasarkan
pada aspek konsep kegiatan politik, alasan rasional, kondisi
perubahan sosial, dan ada juga yang berdasar pada jenis
motif sosial. Seluruhnya telah diringkas secara rinci oleh
Damsar. Dalam bukunya, dijelaskan beberapa di antara
pakar yang mengklasifikasikan berdasar konsep kegiatan
politik, adalah Rosenberg. Baginya, alasan tindakan
politik adalah anggapan bahwa politik sia-sia, penting atau
mengancam.9
Pernjelasan ini sebenarnya hampir mirip dengan apa
yang dijabarkan oleh Entus Sukria. Konsepsi yang jabarakan
oleh Rosenberg sebenaranya berhubungan dengan motif
memasuki dunia politik. Klasifikasi berdasar pada fungsi
politik yang dijabarkannya, sebenarnya berhubungan
dengan dasar motif tindakan. Sehingga Sukria lebih
mengelomppkkannya berdasar pada jenis motif sosial.
Adapun gambaran sederhananya sebegaimana yang disusun
penulis di bawah ini;

Damsar. 191-192
9

80 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


Gambar 4.1 Klasifikasi Dasar Partisipasi berdasarkan Motif

Ada lima hal yang secara mendasar dapat dijadikan


dasar rasional partisipasi politik berdasar pada konseps
jenis motif yakni psikologi, sosial, keagamaan, ekonomi
dan politik sendiri. Motif psikologi meliputi dorongan
untuk merasa bahagia, puas, tentram dan semacamnya. Hal
ini dapat disebut sebagai pengembangan aktualisasi diri.
Berbeda dengan motif keagamaan yang lebih memiliki sisi
spritualitas dan pengamalan nilai serta ajaran agamanya.
Sosialnya pun sebenarnya agak sama. Hanya saja, lebih pada
nilai masyarakat yang mendorong dan menjadi pemabatas
dalam kehidupan sosialnya. Yang lebih pragmatis, itu disebut
sebagai motif ekonomi, dimana alasan partisipasinya adalah

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 81


pemenuhan kebutuhan manusia. Sedangkan yang disebut
sebagai motif politik, lebih mengarah pada persoalan
memenuhi hasrat kekuasaan.10
Ada yang juga mengelompokan berdasa pada
perubahan sosial yang terjadi. Salah satunya Ranjabar. Ia
membagi empat hal yang secara rasional dapat menjadi
dasar partisipasi politik yakni arus modernisasi, perubahan
struktur kelas sosial, pengaruh komunikasi dan intelektual
modern, konflik komunal politik serta tingkat keterlibatan
pemerintah di segala bidang kebutuhan masyarakat.11
Seluruh yang dijelaskan di atas berbeda dengan apa
yang telah disusun oleh Damsar sendiri. Ia menyusun
berdasarkan jenis rasional tindakan umum manusia. Ia
mencatat ada alasan rasional nilai, afektif, tradisional,
dan instrumental.12 Kelima alasan ini menegaskan adanya
formulasi praksis dasar yang lebih subjektif. Maksudnya,
berasal dari personal individu yang diyakini secara rasional
manusia sendiri.

B. Participation Scope
Pada penjelasan ini, penulis akan berusaha
menggambarkan ruang partisipasi politik yang telah dikaji
oleh beberapa pakar. Yang demikian sangat penting sebagai
fondasi formulasi praksis normatif sosiolologi politik.
10
Entus Sukria, Simpul-Simpul Dinamika Strategi Pembangunan: Good Governance
(Jakarta: Kencana Mas Publishing House, 2005). 53-54
11
Ranjabar. 231-233
12
Damsar. 197-198

82 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


Sebagaimana yang dinyatakan oleh Gatara. Ia menjelaskan
ada dua hal yang penting dalam membuat dasar pengukuran
partisipasi politik. Selain ukuran, intensitas dan lamanya
partisipasi, juga dapat dilihat dari participation scope yang
telah dijalani.13
Sepanjang penulis melakukan analisi literatur
review, telah banyak pakar yang menggambarkan ruang
lingkup proses kegiatan politik dilakukan. Ada yang
mengelompokan berdasar pada bentuk inti proses politik
dan ada yang menklasifikasikan berdasar pada posisi
dalam kegiatan politik. Pejelasan-penjelasan ini yang akan
difokuskan dalam kajian sub bab ini.
Pertama, terkait dengan klasifikasi yang dijelaskan oleh
Althof dan Rush. Ia menyusun ruang lingkup politik berdasar
aspek posisi aktor dalam kegiatan politik. Sebenarnya item
yang dijelaskan berjumlah sembilan varian. Namun, agar
lebih sederhana, kesemuanya penjelasan yang disamaikan,
akan disajikan dalam bentuk konsep scope sebagaimana
penulis buat di bawah ini;

13
Sahid Gatara, Sosiologi Politik : Konsep Dan Dinamika Perkembangan Kajian
(Bandung: Pustaka Setia, 2018). 312

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 83


Gambar 4.2 Participatiom Scopes (Rush & Althoff )

Bedasar pada penjelasan di atas, dapat dijelaskan


bahwa Rush dan Althoff membagi ruang lingkup jenis
ruang kegiatan politik. Jabatan admintrasi merupakan
jabatan yang memiliki wewenang dalam pengaturan
sistem. Begitupun dengan keanggotan politik, tentu juga
merupakan ruang kegiatan politik, baik untuk yang aktif
dan pasif. Apalagi voting, merupakan proses pengukuran
pesetujuan dalam politik.14
Penjelasan ini berbeda dengan apa yang dijelaskan
oleh Aim Abdulkarim yang menukil pendapat Milbrath
dan Goel. Dalam pandangan ruang partisipasi politik
dapat saja dikelompokkan berdasar pada upaya politik
yang dilakukan. Dengan kata lain dapat didasarkan pada
seserong dalam dunia politik. Sedikitnya ada peran seserong
dalam politik yakni sebagaimana di bawah ini;
1. Apatis atau tak acuk. Orang ini juga sebenarnya
memiliki peran. Walaupun tidak acuh dalam dunia
politik, namun sebenarnnya ia berposisi sebagai
14
Rush and Althoff. 122

84 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


penentral masalah-masalah politik. Ini merupakan
peran terendah aktor politik
2. Spektator. Partisipasi dalam jenis ini memiliki standar
minimal pernah ikut dalam pemilihan umum
3. Gladiator. Pihak ini merupakan aktifis politik. Kerjanya
sebagai komunikator politik, pengembangan program,
perumus kebijakan dan semacam. Seluruh aktor dalam
kelompok ini banyak beperan sebagai tim suksesi
kegiatan politik
4. Kritikus. Ruang lingkup kelompok ini pada kerja politik
non konvensional. Biasanya partisipasi yang dilakukan
oleh kelompok ini dilakukan dengan menjadi pengkaji
dialektis kebijakan dan tindakan politisi.15
Selain penjelasan ini, juga ada penjelasa lain terkait
dengan ruang lingkup yang lebih sederhana. Yakni
penjelasan dari Eko dalam bukunya yang berjudul “Voice,
Acces, Control”. Dalam buku ini dijelaskan ada tiga yang
dapat menjadi dasar sederhana pengukuran ruang lingkup
politik. Ketinya sebagaimana judul bukunya itu, yakni
pertama, voice. Ruang lingkup pertama ini berkaitan dengan
suara partisipasi politik setiap anggota masyarakat. Jadi
apabili masyarakat memberikan suara atau pendapatnya
pada setiap keputusan politik, berarti ia telah berpartisipasi
dalam politik.
Kedua, access. Dalam hal ini masyarakat juga dapat
ikut serta dalam governmance. Mereka ikut serta mengisi
15
Abdulkarim Aim, Pendidikan Kewarganegaraan (Bandung: Rajagrafindo,
2008). 120

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 85


ruang jabatan atau kegiatan politik praktis. Pihak yang
mengisi ruang ini telah memiliki partisipasi politik.
Ketiga, control. Ruang ini dapat juga disebut sebagai
ruang dialektis politik. Dalam ruang ini, kebijakan dan
tindakan politik didiskusikan. Peran masyarakat dalam
ruang ini adalah sebagai control atau kritukus kebijakan
dan tindakan para politisi.16
Seluruh penjelasan di atas dapat menjadi dasar
dirumuskannya formulasi praksis normatif sosiologi
politik. Baik yang didasarkan pada elemen politik maupun
jenis kegiatan yang dilakukan dapat menjadi dasar sistemik
pengukuran partisipasi politik. Dengan kata lain seluruh
penjelasan di atas merupakan basis indikator tolak ukur
partisipasi politik.

C. Participation Typology
Tipologi partisipasi politik menjadi banyak macamnya
saat merebaknya sistem demokrasi politik di beberapa
negara. Mufti, Dkk, banyak menulis tentang era demokrasi
dengan hubungan pada diskursus pengembangan konsep
pengembagan partisipasi masyrakat. Menurut sistem
demokrasi menjadi sistem yang paling baik dalam
mengmebangkan partisipasi politik masyarakat. Dalam hal
ini, katanya ada tiga yang alasan kenapa demikian, yakni
pertama, demokrasi merupakan sistem yang berbasiskan
pada pengehargaan kehormatan manusia. Sehingga dunia
16
S. Eko, Voice, Acces Dan Control (Yogyakarta: AMD Press, 2004). 222

86 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


politik sangat merata. Kedua, Demokrasi memberikan
peluang pada satiap untuk berpikir dan menghadapi secara
bersama-sama secara sadar rasional. Ketiga, demokrasi juga
membebasakan anggota masyarakat untuk berpendidikan
politik.17
Melalui era demokrasi, beberapa banyak pakar yang
mencoba mengkonstruk tipologi partisipasi berdasarkan
beberapa penelitianya masing-masinga. Penulis akan
membuat beberapa sub penjelasan mengenai konstruksi
tipologi yang dijelaskan oleh beberapa pakar. adapun yang
demikian adalah sebagaimana di bawah ini;
1. Konsep Roth dan Wilson
Nama lengkap Ruth adalah David R. Roth. Sedangkan
karibnya bernama Frank L. Wilson. Keduanya menulis
buku dengan judul “The Comparative Study of Politics”.
Dalam buku tersebut secara rinci ia menggambarkan
tipologi partisipasi dengan mengunakan gambaran
piramid. Ia menyebutnya sebagai “piramida partisipasi”.
Bentuk piramid mendankan adanya kualitas partisipasi,
artinya semakin atas posisi semakin keatas, semekin tinggi
derajatnya. Sebaliknya semakin ke bawah, semakin rendah.
Untuk jelasnya, lihatlah konsepsinya sebagaimana
gambar berikut;18

17
Muslim Mufti, Teori-Teori Demokrasi, ed. by Beni Ahmad Saebani (Bandung
/ west java: CV. Pustaka Setia, 2013), 191.
18
David F Roth and Frank Lee Wilson, The Comparative Study of Politics (Boston:
Houghton Mifflin, 1976). 159

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 87


Gambar 4.3 Piramida Partisipasi (Roth & Wilson)

Gambaran di atas memperlihat ada empat golongan


tipologi partisipasi masyarakat. Paling puncak adalah
aktivis. Masyarakat di tipologi ini paling sedikit namun
paling berkuasa. Kuantitasnya yang sedikit merupakan
konsekuensi dari sosial masyarakat sebagai sebuah sistem.
Berikutnya adalah partisipan. Partisipasi dalam tipologi ini
dianggap sebagai klauster kedua di bawah aktivis. Sebabnya
tentu karena dalam struktural politik partisipan jenis ini
berposisi sebagai pendukung kalangan aktifis yang berada
di puncak. Artinya mereka masih merupakan bagiang yang
aktif dalam politik.19
Kalangan selanjutnya adalah kalangan pengamat.
Jumlahnya tentu lebih banyak daripada dua tipologi
sebelumnya. Kalangan ini hanya aktif mengomentari
tindakan dan keputusan politik, walaupun demikian
19
Damsar. 184

88 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


kalangan ini masing dianggap pihak yang peduli. Berbeda
dengan kalangan terakhir, mereka tidak ikut tahu menahu
pada konstelasi politik dan tentu juga pasti tidak sama sekali
terlibat. Jumlah kalangan tinggi, namun tidak memiliki
peran dalam kegiatan politik.
2. Konsepsi Rush dan Althoff
Tidak sesistematis Roth dan Wilson, argumentasi
yang ditwarkan Rush dan Althoff lebih relatif. Menurutnya
tipologi partisipasi tidakan diatur secara hirarki. Dalam
padannganya hirarki atau lebih tepatnya susunan secara
relatif didasarkan pada kondisi politik dan lain semacamnya.
Jadi kondisi struktur politikm membuat tipologi partisipasi
sangat beragam.
Tidak mengherankan jika ia menyusun partisipasi
politik berdasar kemungkinan ketersedian ruang lingkup.
Yang demikian sebagaimana yang telah dijelaskan dalam
gambar 4.2 pada pembahasan sebelumnya. Ruang lingkup
itu dianggapnya sebagai medan formulasi varian tipologi
partisipasi dilakukan.
Namun bukan berarti keduanya tidak sepakat pada
piramida partisipasi. Sebagaimana yang disampaikan oleh
Rancajabar, Mereka sepakat pada formula bahwa semakian
tinggi partisipasi masyarakat, perannya juga akan semakin
tinggi. Yang demikian pun akan mengantarkan mereka
pada puncak struktural politik. Struktural puncak tentu
dianggap berperan tinggi dan jumlahnya sedikit.20
20
Ranjabar. 214

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 89


3. Konsep Gabriel A. Almond
Berbeda dengan Rush dan Althoff, Almond tetap
melihat partisipasi tetap berlangsung secara hirarkis.
Namun bukan sebagiamana pendapat Roth dan Wilson.
Perbedaanya sebenarnya disebabkan objek kajian yang
berbeda. Almond fokus pada negara yang memiliki
sitem politik semi otoriter. Lebih jelasnya penulis akan
menyusun konsepsi tipologi partisipasi dalam padangannya
sebegaimana di bawah ini;
Gambar 4.3 Piramida Partisipasi (Almond)

Non-Participant

Sesuai dengan gambar di atas, ada lima hirarki


partisipasi dalam politik. Pertama, partisipasi pihak yang
memiliki pengaruh. Pihak ini paling beperan dalam
pembuatan keputusan dan situasi politik. Jumlahnya
tentang sangat sedikit. Kedua, aktivis. Sebegaimana yang
dijelaskan sebelumnya pihak ini merupakan praktisi yang

90 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


aktif dalam suksesi politik. Ketiga, publik yang tertarik
pada politik. Pihak ini bukan praktisi, namun memiliki
perhatian besar terhadap isu dan masalah politik. Keempat,
pemilih. Kelompok ini sebenarnya merupakan pihak yang
paling besar jumlah. Mereka dapat berpartisipasi dengan
memberikan suara baik berupa persetujuan keputusan atau
penyusunan struktural politik. Kelima, pihak yang tidak
sama sekali memberikan partisipasi pada perpolitikan.
Sisi ini sangat berbeda dari apa yang dijelaskan pakar
sebelumnya, yang memasukkan pihak yang apatis pada
orang yang partisipasi. Almond tidak, pihak demikian
berdasa di luar piramida politik.21 Kelimanya yang menjadi
dasar konsep tipologi partisipasinya.
4. Konsep Lester Milbrath
Milbarth lebih sederhana dalam menjelaskan tipologi
partisipasi. Ia sama sekali tidak memberikan penjelasan
tentang hirarki partisipasi, namun menyusun varian
tipologi ini berdasarkan stimulan masyarakat dalam politik.
Baginya konsep praksis partisipasi politik dalam dua hal
yakni public dan private.
Pada sisi public participation, manurut ada tiga jenis
tipe partisipasi yakni seperti berikut ini;22
a. Partisipasi tipe penonton
Pada tipe ini, partisipasi yang dilakukan adalah sebagai
penyimak dan ikur serta dalam kegiatan politik. Jadi
21
Damsar. 186-188
22
Damsar. 189-190

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 91


penonton yang dimaksud bukan bersifat pasif, namun
aktif sebagai bagian yang menyimak, memperhatikan
lalu menentukan sikapnya terhadap politik.
b. Partisipasi tipe transisional.
Partisipasi yang dilakukan tipe ini meliputi komunikasi
politik, pemodalan kegiatan kepartaian dan
semacamnya. Tipe ini merupakan jembetan atau model
kepentingan pencapaian suksesi politik.
c. Partisipasi tipe gladiator
Berbeda dengan dua tipe sebelumya, partisipasi
dilakukan dengan sangat aktif. Tipe ini bisa dianggap
sebagai praktisi politik. Ia berperan dalam kampanye
politik, penyusunan strategi politik dan sebagainya.
Adapun tipe partisipasi dalam sudut pandang private
lebih bervarian dibanding dengan tipe di area publiknya.
Ranjabar menjelaskan Milbrath membagi partisipasi politik
menjadi tujuh tipe penting. Ketujuanya adalah sebagimana
berikut ini; 23
a. Apatis dan tidak aktif
Tidak sama sekali aktif dalam berpartisi di kegiatan
politik dan juga sangat apatis pada isu politik baik
dalam dan luar komunitasnya
b. Pendukung Pasif
Tidak aktif dalam kegiatan politik, namun patuh
terhadap aturan-aturan politik.
23
Ranjabar. 235-236

92 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


c. Memiliki kontrak khusus
Menjadi khusus pejabat atau pemerintah politik dalam
beberapa isu dan program khusus
d. Komunikator
Berperan sebegai informan politik. Biasanya terlibat
dalam diskusi publik dan semacamnya.
e. Pekerja partai dan kampenye
Berkhitmat pada partai politik dan giat melakukan
suksesi kampanye politik
f. Anggota komunitas
Membangun komunal dalam menagani masalah publik,
baiknya yang sifatnya lokal, pemberdayaan dan lain
sebagainya.
g. Kritikus
Melakukan demonstrasi pada gerakan dan kebijakan
politik yang dianggap tidak sesuai.
Penjelasan Almond ini tampak lebih kompleks. Namun
secara mendasar dapat dijadikan sebagai titik perumusan
indikasi partisipasi publik dan pribadi. Sehingga, dengan
gagasan ini akan ada standar partisipasi baik dalam sudut
pandang negara maupun personal masyarakat.
Banyak varian tipe yang dijelaskan oleh beberapa pakar
di atas mengindikasikan adanya varian gagasan tipologi
partisipasi politik. Multi tipe demikian dapat memberikan
tawaran dasar praksis normatif pengembangan sosiologi

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 93


politik, tentunya dalam hal partisipasinya. Sebagaimana
dijelaskan di atas, bahwa era demokrasi dewasa ini
memungkin banyak perubahan-perubahan sosial politik
masyarakat. Ragam varian tipe yang dikemukan beberapa
tokoh di atas, tentu dapat dipilih sesuai dengan kondisi
perubahan sosial politik yang ada.
Tidak semua tipe dapat digunakan. Ada kondisi
sosial yang masyarakatnya mayoritas apatis pada keadaan
politik. Ada yang malah sangat minim. Dengan kata lain,
ada kondisi dimana yang partisipasi sangat tinggi dan ada
kondisi partisipasi melemah. Yang demikian, tentu tidak
sesuai dengan gagasan hirarki partisipasi yang dijelaskan
beberapa pakar sebelumnya. Untuk itulah seluruh model
partisipasi yang dijelaskan beberapa pakar, pada kondisi
penting dijadikan sudut pandang, dan pada kondisi lain
malah tidak sama sekali bisa.

94 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


BAB V
POLITICAL RECRUITMENT

Apapun bentuk institusi sosialnya, memerlukan struktur.


Setiap struktur perlu diisi oleh orang-orang yang berkualitas.
Apalagi untuk institusi negara dengan kompleksitas urusan
yang heterogen, sangat memerlukan pejabat pemerintah yang
memiliki kemampuan tertentu. Pada keniscayaan demikian,
strategi rekrutmen politik dilakukan.

Selain daripada itu, arus demokrasi yang membuka kran


partisipasi politik secara lebar, mendorong seluruh pihak
ikut serta dalam kegiatan politik. Karena telah terbuka lebar-
lebar, seluruh memungkin untuk masuk dalam menempati
beberapa posisi penting. Baik dari kalangan akademisi, praktisi
dan semacamnya memiliki peluang ikut serta menjadi pejabat
publik. Dititik ini strategi pengembangan rekrutmen politik
juga perlu dikembangkan.

Demokrasi bukan hanya berdampak pada kebebasan


masyarakat, namun juga berpotensi menimbulkan
ketidakseteraan antar golongan. Yang demikian disebabkan
kebebasan tindakan sosial, tentu juga akan mengantarkan

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 95


kesewenang-wenangan sosial. Tidak mengherankan jika dalam
kelompok masyarakat yang telah memakai sistem demokrasi
pun, juga menghadapi kerentanan diskriminasi sosial. Beberapa
contohnya, diskriminasi gender, kelempok masyarakat desa
dan beberapa pihak yang dengan status kuasa yang lemah.

Ketimpangan yang terjadi menimbulkan atau menjadi


tantangangan diskursus kajian pengembangan sosiologi politik
dalam aspek proses rekrutmentnya. Beberapa pakar banyak
yang telah meneliti dan merekomendasi gagasannya pada
masalah yang terjadi tersebut. Beberapa dinataranya misalnya,
dalam negeri sendiri, salah satunya ada Fitriyah. Ia meneliti
tentang rekrutmen dalam Pilkada serentak. Ia menulis dalam
temuannya bahwa di era demokrasi pun, dinasti penguasa
tetap terjadi.1 Lumanauw juga mengangkat hal senada, yakni
tentang keterwakilan perempuan. Dalam penjelasan, di
Indonesia keterwakilan perempuan masih lemah. Perlu strategi
rekrutmen yang jelas dan berpihak pada kaum yang lemah.2

Bukan hanya di Indonesia, beberapa pakar di pakar besar


juga demikian. Misalnya Matland. Ia menfokuskan kajian
pada keterwakilan perempuan dalam pemilu. Kajian dilakukan
pada beberapa negara.3 Bahkan pakar ternama seperti Norris
dan Lovenduski juga meneliti tentang kerentanan perempuan
1
Fitriyah, ‘Partai Politik, Rekrutmen Politik Dan Pembentukan Dinasti Politik
Pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)’, Politika: Jurnal Ilmu Politik, 11
(2020), 1–17.
2
Fenny Lumanauw, ‘Rekrutmen Perempuan Dalam Partai Politik’, JURNAL
POLITICO, 3.1 (2014).
3
Richard Matland, ‘Enhancing Women’s Political Participation: Legislative
Recruitment and Electoral Systems’, Women in Parliament: Beyond Numbers,
2002.

96 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


didiskriminasi dalam proses rekrutmen politik. Fokus kajiannya
di Britinia Raya.4

Berawal dari keresahan beberapa pakar ini juga, dalam


pembahasan bab ini berusaha secara terperinci membahas
upaya pengembangan praksis normati rekrutmen politik.
Tentunya masih dalam kacamata sosiologi politik.

A. Diskursus Rasional Dasar Rekrutment Politik


Lahirnya diskursus tentang dasar rasional rekrutmen
politik sebenarnya dapat ditela’ah dari dua rumpun
keilmuan. Tentu keduanya adalah sosiologi dan juga politik.
Pada aspek sosialogi, dapat ditelusuri dari konsepsi strutur
sosial dan dasar rasional tindakan sosial manusia. Sistem
sosial memiliki kecenderungan terciptanya hirarki struktural
sosial. Selain itu juga, terbentu komunal masyarakat selalu
diberengi dengan terciptanya ruang publik yang tentu
dapat melepaskan sisi personal manusia sendiri. Berdasar
argument ini, ada konsepsi tindakan publik atau tugas kerja
komunal. Bentuk riilnya bisa berupa pemerintah eksekutif
atau legislatif.
Ruang-ruang kerja publik hanya dapat dilakukan oleh
individu yang memiliki dorangan dan kualitas individu
utilitarian. Artinya, memerlukan agen publik yang dapat

4
Dalam buku keduanya, banyak dibicarakan tentang persoalan rekrutmen yang
masih terkesan diskriminasi pada kulit hitam, perempuan dan kaum lemah
lainnya. Lengkapnya, Pippa Norris and Joni Lovenduski, Political Recruitment:
Gender, Race and Class in the British Parliament (Cambridge University Press,
1995).

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 97


melaksankan seluruh kerja ini. Tujuanya, agar institusi
sosial masyarakat terus berkembang, atau paling tidak
dapat menjaga keberlangsungan kelompok tersebut.
Selain itu lahirnya ruang kerja publik, niscaya lahir
juga posisi struktural kerjanya. Pada aspek ilmu politik,
struktural sosial melahirkan konstruk kekuasaan. Pada titik
ini, manusia yang secara alamiah memiliki dasar rasional
tindakan berupa pemenuhan kebutuhan dan aktualisasi
diri tentu saling berharap menempati posisi struktural
sosialnya. Karena bahkan mereka akan saling bersaing
untuk mendapatnya. Dasar asumsi teoretis demikian yang
menjadi dasar kajian rekrutmen politik. Tentu, tujuang
telah jelas, yakni sebagai cara memilih dan memenuhi kerja
dan struktural publik.
Hal demikian di atas, sebenarnya telah banyak
dijelaskan oleh beberapa pakar sosiolog politik. Beberapa
di antaranya, misalanya penjelasan Pakulski dan Tranter.
Keduanya mejelaskan bahwa kualitas elite selalu lahir dari
proses rekrutmen dan seleksi atau sifting and grooming
politik. Sebab terbentuknya kehidupan sosial yang baik
hanya dapat dilahirkan dengan proses ini. Sehingga
keduanya berargumen bahwa rekrutmen sebenarnya
merupakan proses reformula standar kualitas pemenuhan
struktural kerja politik.5

Jan Pakulski and B. Tranter, The Decline of Political Leadership in Australia?,


5

Original Text: Changing Recruitment and Careers of Federal Politicians (US:


Palgrave Macmillan, 2015). 20

98 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, secara
sosiologis masing-masing komunal sosial memiliki
konsep kepercayaan, nilai dan semcamnya yang dapat
diformulasikan sebagai dasar moral. Oleh karena itu
juga, rekrutmen secara teoreti bukan hanya mencari agen
yang dapat bekerja, namun juga dapat sesuai dan bahkan
bermutu secara moral kelompok. Ini yang mendasari
anggapan bahwa rekrutmen juga bertujuan menyeleksi
orang yang dapat bertanggung jawab secara baik.
Selain daripada penjelasan di atas, sebenarnya ada
hubungan dekat teoretik rasional partisiasi dengan rasional
tindakan rekrutmen dalam dunia politik. Beberapa pakar
mejelaskan bahwa walaupun partisipasi masyarakat dengan
kondisi sosial politik demokratis sangat tinggi. Namun,
Interkasi sosial sebagasi sebuah tidak akan secara alami
dapat berjalan tanda diarahkan oleh manusia. Bagimana
pun manusia merupakan pihak yang aktif dan yang utama
dalam sebuh sistem tersebut. Jika hanya tergantung pada
partisipasi alami politik, arah kehidupan politik bahkan
perkembangan kelompok sosial tidak akan memiliki
orientasi yang terarah.
Apalagi, dari penjelasan beberapa pakar disebutkan
partisipasi selalu berhubungan dengan kondisi sosial
masyarakat. Partisipasi warga negara yang alami sangat
lemah. Namun apabila partisipasi didorong dengan
rekrutmen politik dengan menyesuikan tugas yang telah

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 99


disusun, tampak sangat tinggi.6 Yang demikian adalah
hasil penelitian yang mendorong adanya pemahaman
bahwa rekrutmen merupakan pendukung adanya tingkat
partisipasi tinggi.
Berdasarkan hal hubungan konsep kedua ini, dapat
dikatakan, pertama, rekrutmen politik tampaknya
menjadi aspek penting dari kehidupan politik sehari-hari
dan penyebab independen dari partisipasi politik. Kedua,
rekrutmen politik merupakan konsep yang perlu dilakukan
jika partisipasi melemah. Salah satu contohnya, misal
dijelaskan bahwa partisipasi dipengruhi kondisi sosial-
ekonomi. Orang yang berpendidikan lebih baik dan kaya
cenderung lebih banyak melakuka partisipasi permintaan
daripada warga negara di bawah skala status sosial-ekonomi.
Hal ini persis sebagaimana yang disampaikan oleh Brady
Dkk. Ia bahkan mengatakan partisipasi akan melemah
pada masyarakat yang pendidikan lemah. Dari itulah,
menurutnya formulasi praksis normatif rekrutmen politik
wajib dilakukan.7

B. Political Recruitment System


Sebenarnya adanya model sistem rekrutmen partai
politik. Seluruh lahir sesuai dengan kondisi sosial politik
yang terjadi. Pada kondisi tertentu, rekrutmen politik kadang
6
J. Tobin Grant and Thomas J. Rudolph, ‘To Give or Not to Give: Modeling
Individuals’ Contribution Decisions’, Political Behavior, 24.1 (2002), 31–54.
7
Henry E. Brady, Sidney Verba, and Kay Lehman Schlozman, ‘Beyond Ses:
A Resource Model of Political Participation’, The American Political Science
Review, 89.2 (1995), 271–94.

100 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


hanya dikhusus bagi pihak tertentu. Sebab kebutuhan
tugas kerjannya, membutuhkan spesifikasi tertentu juga.
Contohnya, rekrutmen administrasi politik. Tidak semua
orang dapat dilibatkan dalam proses rekrutmen pada
kebutuhan kerja yang dimaksud. Rekrutmen mestinya
diadakan dengan indikator keahlian administrasi politik.
Selain itu, sistem rekrutmen juga berhubungan dengan
masalah rentan yang sedang terjadi. Misal pada kasus
rasisme merebak menjadi isu politik yang sensitif. Proses
rekrutmen politik yang dilakukan mesti memiliki dasar
keadailan pada ras yang minoritas. Begitupun juga pada
perempuan. Jika menjadi masalah yang dihadapi, mestinya
sistem rekrutmen menjauhi potensi sensivitas tersebut.
Namun dari beberapa varian sistem model rekrutmen
politik, berdasarkan sifatnya dapat dikategorikan menjadi
dua bagian. Keduany tentudidasarkan pada sifat prosedur
pelaksanaanya. Ada prosedur yang dijalankan secara terbuka
dan sangat luas cakupannya. Ada juga yang dilaksanakan di
internal elit kepemerintahan saja. Keduanya tentu memiliki
syarat dan prosedur berbeda satu sama lain. Penulis
konsepsikan sebagaimana tabel berikut ini;

Tebel 5.1 Klasifikasi dasar sistem Rekrutmen Politik

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 101


Penjelasan di atas dapat diperinci sebagaimana
penjelasan berikut ini;
1. Prosedur Rekrutmen Terbuka
Model kerja rekrutment terbuka merupakan rekrutmen
yang berbasiskan pada nilai-nilai modern dan demokrasi.
Aritnya, baik dari indikator standar kualitas hingga nilai
yang dipakai sangat sistematis, terarah, dan transparan.
Sasarannya tidak hanya pada beberapa kalangan atau
kelompok masyarakat. Namun personal kualitas yang
dibutuhkan.
Terkait dengan model ini, Putra Fadhilah menjelaskan
bahwa ada beberapa syarat dan prosedur dalam
menjalan rekrutmen terbuka ini. Salah satu fungsi
terbukanya tentu agar seluruh proses dapat didukung
oleh masyarakat. Ia behkan menjelaskan ada beberapa
item atau nilai yang perlu adalah dalam model sistem
rekrutment terbuka. Yang demikain adalah berikut ini;8
a. Demokratis
Prosedur perlu berdasasarkan pada keadilan. Artinya
secara tebuka diadakan dan boleh diikut untuk semu
pihal
b. Kompetitif
Karena secara terbuka diadakan, maka banyak
peserta yang berkompetisi untuk lulus proses
rekrutmen. Dengan demikian, proses seleksi baik
Fadillah Putra, Partai Politik Dan Kebijakan Publik : Analisis Terhadap
8

Kongruensi Janji Politik Partai Dengan Realisasi Produk Kebijakan Publik Di


Indonesia 1999-2003 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003). 209

102 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


oleh kelembagaan maupun masyarakat akan berjalan
secara kompetitif
c. Akuntalibilitas
Proses selalu sistematis, terarah dan transparan. Hal
ini ditujukan agar prosedur berjalan dengan sehat
dan dapat diterima oleh semua kalangan
d. Berorientasi pada dihasilkannya pemimpin yang
demokratis dan berintegritas
Yang terakhir ini, merupakan dasar yang berhubungan
dengan perumusan standar seleksi sasaran rekrutmen.
Selain sesuai dengan kualitas kebutuhan kerja yang
dicari, seleksi haris menjamin hasil figur yang
demokratis dan memiliki integritas yang tinggi.
2. Prosedur Rekrutmen Tertutup
Prosedur dengan sifat tertutup merupakan kebalikan
dari prosedur sistem yang sifatnya terbuka. Pada
prosedur ini, syarat tranparansi tidak diperlukan. Yang
demikian, karena rekrutmen tertutup dilakukan dengan
tujuan menjaga kerahasian atau keberlanjutan tugas
yang tidak mungkin dipahami masyarakat luas.
Pada praksisnya tentu juga tidak kompetitif yang
tinggi. Karena sifatya yang tertutup beberapa syarat
juga dirumuskan sesuai dengan circle komunal institusi
sosialnya sendiri. Sehingga tidak perlu banyak individu
yang berkesempatan untuk bersaing dalam mencapai
standar yang dicari.

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 103


Selain sistem yang dikemukan di atas, ada pakar lain
yang juga menggambarkannya berdasarkan pada aspek
sifat penentu formulasinya. Yang demikian sebagaimana
dijelaskan oleh Gatara. Ada tiga model yang sistem
rekrutmen yang dapat dikembangkan secara praksis.
Pertama, model top down. Model rekrutmen jenis ini
dilakukan oleh struktur puncak yang berwenang. Seluruh
standar dan seleksi dilakukan atas dasar otoritasnya.
Sehingga, pada tipe ini praksis rekrutmen berjalan dalam
control wewenang atasan. Bahkan keputusan juga demikian,
seluruhnya terpusat.
Kedua, Model Bottom up. Model ini dijalankan dengan
demokratis. Artinya, secara terbuka dirumuskan dan
dijalankan. Biasanya dalam mekanisme kerjanya, rekrutmen
jenis prosedural ini diawali dengan proses pelamaran para
peserta rekrutmen. Artinya, penyelenggara rekrutment
menyeleksi beberapa individu yang telah melamar. Selain
itu, pada model ini selurunya dilakukan secara publik, agar
dapat diakses oleh seluruh kalangan.
Ketiga, Model Mixed. Prosedur pelaksanaan yang dalam
model ini mengintegrasikan kedua model sebelumnya. Hal
ini yang banyak dilakukan di negara-negara berkembang.
Biasanya terjadi pada kasus pemilihan pemerintah kepala
daerah atau legislatif yang secara terbuka diadakan. Sistem
yang dipakai, pada satu sisi terlihat dilakukan dengan cara-
cara buttom up, yakni diawali dengan pelamaran beberapa
calon bahkan secara transparan dipublikasi. Namun,

104 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


keputusan secara resmi masih dipegang oleh struktural
tertinggi atau yang memiliki tugas dan wewenang.
Ketiga model ini yang paling banyak dipakai adalah
model mixed. Penyebabnya tentu tidak satupun negara
yang dewasa ini yang ektrim mutlak terhadpa pendapat
sipil. Tidak ada satupun negara yang ekstri penuh terhadap
sipil. Sedemokratis-demokratisnya negara, mesti memiliki
strata kuasa yang dapat memaksa sipil. Sebaliknya juga,
seotoriter-otoriternya negara, tidak akan mampu secara
penuh membuang kualitas ide dan tindakan sipilnya dalam
merawat kekuasanya.

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 105


BAB VI
POLITICAL COMMUNICATION

Politik merupakan bagian dari perkembangan interaksi


sosial. Interaksi sosial adalah proses hubungan timbal balik
saling pengertian antara dua manusia atau lebih. Interaksi
saling memaknai ini merupakan hal yang mendasar dari
konsepsi komunikasi. Dari argumen ini, praksis politik tak
dapat dipisahkan dari proses komunikasi sosial itu sendiri.

Urgensi komunikasi politik sebenarnya merupakan bagian


yang terpadu dengan proses sub strategi praksis normatif
yang telah dijelaskan sebelumnya. Pada strategi partisipasi
misalnya, komunikasi merupakan instrument penting dalam
mentraformasikan rasional kebijakan dan tindakan politik.
Begitupun dalam rekrutmen politik, dapat dengan mudah
dijalankan apabila dilakukukan dengan strategi komunikasi
yang baik pula. Salah satu contohnya, dalam rekrutmen
terbuka akan dapat banyak menjaring agen-agen politik
berkualitas baik, apabila dapat mempengaruhi motif tindakan
objek sasaran rekrutmen.

Bahkan di era modern ini, interaksi sosial komunikasi


manusia berkembang dengan pesat. Arus pengembangan

106 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


tekhnologi memberikan ruang baru komunikasi sosial
dilakukan. Kondisi ini tentu mendorong adanya diskusus
kajian komunikasi politik terus dikembangkan. Dalam hal
ini, Duverger menjelaskan bahwa perkembangan tekhnologi
telah mengubah pola komunikasi masyarakat. Potensi semakin
mudahnya ruang lingkup komunikasi memberikan tantangan
pada masalah-masalah komunikasi politik. Salah satunya
adalah semakin stabilnya komunikasi internal politik. Dalam
hal kajian sosiologi politik, perkembagan ini merupakan
tantangan dalam pengembangan struktural politik, khususnya
pada aspek demografis dan geografisnya.1

Masalah yang dipaparakan oleh Duverger di atas,


sebenarnya juga banyak disadari oleh beberapa pakar. Beberapa
di antarannya, seperti penjelasan dalam penelitian Horvath dan
Szakolaczai. Keduanya menjelaskan ada ruang yang secara masif
selalu terjadi di balik stabilinya politik. Bahkan ruang tersebut,
telah ada dan digunukan sejak dulu. Ia meyebut ruang tersebut
sebagai “spheres of communication”. Pada ruang tersebut, para
pemimpin atau pemerintah mengendalikan kekuasanya.
Komunikasi yang mereka lakukan bertujuan menjaga rasional
senada masyarakat agar patuh dan mempercayai mereka. Dari
ruang ini, traformasi nilai dan asumsi terbaik struktural politik
dilakukan. Dari rasionlitas program ekonomi, hukum dan
bahkan masalah ketuhanan, ditranformasikan lewat ruang
komunikasi yang mereka upayakan.2

1
Duverger, Sociologia Politica. 37
2
Outhwaite and Turner. 197

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 107


Berdasarkan penjelasan di atas, urgensi komunikasi politik
merupakan hal yang tidak boleh dilewati dalam membahas
upaya pengembangan praksis normatif sosiologi politik.
Komunikasi dalam dunia politik dan kajian sosiologi adalah
instrumen sekaligus sebagai keniscayaan proses tumbuh dan
terus menerus berkembang. Dari itulah, penulis akan berusaha
menjabarkan konsep-konsep komunikasi politik, utamanya
dalam hal pengembangan praksis normatifnya.

A. Diskursus Problematika Komunikasi politik


Permasalahan komunikasi politik sangat kompleks.
Ardial yang menyatakan bahwa yang paling substansial
dari masalah komunikasi politik adalah terpisahnya
antara tujuan politik dengan komunikasi yang dilakukan.
Dengan kata lain, seseroag yag melakukan komunikasi
politik kadang hanya membawa kepentingan pribadinya,
bukan kepentingan politik yang mestinya holistik dan non-
individual. Efeknya, disintegrasi dan konflik politik selalu
terjadi. Bahkan berkembangan menjadi kasus yang tidak
sederhana.3
Pada diskursus pengembangan ilmu komunikasi,
McNair banyak mengungkap masalah-masalah yang pada
umumnya terjadi. Tentu dalam hal ini, dalam konteks
penawaran gagasan model komunikasinya. Menurutnya,
negara yang menganut sistem demokrasi, beberapa pihak
yang terlibat dalam komunikasi memiliki multi peran.

3
Ardial, Komunikasi Politik (Jakarta: Indeks, 2009). 23

108 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


Kadang dapat menjadi sources dan kadang juga bisa menjadi
receiver. Sehingga perlu dicatat bahwa setiap pihak memiliki
otoritas dalam memproduksi pesan dan dipengaruhi oleh
pesan itu sendiri. Dengan demikian, masalah yang terjadi
adalah pada kesinambungan peran mereka dengan tujuan
politik. Dengan kata lain, bisa dicintohkan pada peran
pemerintah sebagai sumber pesan dan berkepentingan,
akan terjadi masalah jika medai memiliki kepentingan
berbeda dan juga citizens tidak menangkap pesan luhur
dari pemerintah sebagai sumber kepentingan politik.4
Probelematika demikian ini, yang tampaknya hingga
dewasa ini yang salah satu akar masalah. Di Indonesia
sendiri misalnya, pesat gerak globalisasi di era modern
memperluas ruang komunikasi, termasuk di dalamnya
adalah media sosial. Sejak memasuki abad ke 21, pemerintah
fokus pada penyelesaian masalah komunikasi di media.
Pasalanya, beberapa informasi yang berkembang tampak
saling bertabarakan. Sehingga komunikasi pemerintah
terhambat kerena riuhnya informasi komunikasi yang
berbeda. Akibatnya, rasional kebijakan pemerintah tidak
maksimal tersampaikan. Dampak negatif yang dirasakan,
adanya pertentang masif yang dari anggota dan kelompok
masyarakat. Problem ini–tampaknya–saat buku ini ditulis,
pemerintah lagi mengupayakan strategi kominukasi politik
medianya.

4
Brian McNair, An Introduction to Political Communication, 5th edition
(London ; New York: Routledge, 2011). 1-67

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 109


Selain masalah yang dikemukan oleh McNair. Juga
ada problem lain yang tek kalah penting. Jika McNair
menjelaskan probelemnya ada pada tidak sesuai tujuan
politik ideal dengan subjek komunikasi sendiri, tentu
berbeda dengan Gronbeck. Ia fokus pada diskursus masalah
yang terjadi pada elemen komunikasi sendiri. Menurutanya,
msalah lain yang perlu didiskusikan adalah ada miss
pada bentuk retorika komunikan yang disampaikan. Hal
ini penting, sebab yang terjadi ini akan menyebabkan
diorientasi hegemoni sosial. Sebagaimana dipahami
bersama bahwa komunikasi politik yang memiliki orientasi
penguatan hegemoni pada citizens.
Mereka sebagai objek komunikasi kadang memiliki
kecendrungan mempertimbangkan sesuatu futuristik
retorik saja. Bahkan kadang juga komunikasi disusun
tanpa mempertimbangkan aspirasi publik objektif citizens.
Akibatnya ada pemaknaan objektif tidak dapat dicapai.
Begitupun terkait dengan orientasi komunikasinya, akan
melemah. Subjek komunikasi pun tidak akan menerima
feedback sebagaimana diharapkan. Pada kondisi ini
partisipasi politik akan melemah dan kuasa pemerintah
juga akan melemah. Problem ini yang mendasari kajian
beberapa pakar dalam merumuskan argumentasinya.
Kaid menjelaskan beberapa pakar yang berusaha
merespon masalah ini di antaranya, Lippman dengan
model komunikasi public opinion, Laswell dengan
model propaganda analysis dan Lazersfeld dengan model

110 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


Erie contry study. Seluruh model ini dijelaskan sebagai
konsekuensi dari masalah kepentingan politik yang kadang
gap dengan proses komunikasi yang terjadi.5
Lebih luas dan kompleks lagi, Lilleker menjelaskan
sebenarnya ada banyak masalah komunikasi politik. Yang
demikian mulai masalah otentik komunikan politik, public
sphere yang berubah-ubah, nilai berita sebagai instrumen
pesan, hingga persoalan komunikasi tekhnologi yang
berkembang berbasis komunitas sosial. Seluruhnya, dalam
pandanganya merupakan masalah yang terpisah-pisah
dan tak dapat disangsikan.6 Namun penulis melihat, dari
beberapa penjelasanyaterkait dengan masalah-masalah
yang disebutkan, intinya, selalu dihubungkan dengan
moral politik publik yang berkembang. Baik dari pihak
pemerintah, media dan bahkan citizensnya. Sehingga
substansi masalahnya sebenarnya sama, yakni adanya gap
atau ketidaksinabungan masing-masing agensi komunikasi
politik.
Substansi masalah yang dilihat penulis ini, tampaknnya
juga menjadi pembahasan yang urgen dalam diskursus kajian
dan penelitian pakar-pakar sosiologi politik di Indonesia.
Sebagian besar banyak menganggap bahwa masalah
komunikasi politik berkenaan dengan etis peran pihak
dalam proses yang berlangsung. Salah satunya, penjelasan
5
Handbook of Political Communication Research, ed. by Lynda Lee Kaid, 1st
edition (Mahwah, N.J: Routledge, 2004). 4-9
6
Darren G. Lilleker, Konsep Utama Dalam Komunikasi Politik, 1st edition
(London ; Thousand Oaks, Calif: SAGE Publications Ltd, 2006). 39-209

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 111


Heryanto-salah pakar komunikasi politik-dalam beberapa
penelitianya, menjelaskan hal senada yang mengutamakan
masalah komunikasi politik pada hekekatnya adalah tidak
tersambungnya komunikan dengan tujuan komunikasinya.
Tampaknya, ia berusaha lebih memperinci tentang
masalah-masalah yang dikemukan McNair tampak, ia
mengklasifikasikan masalah sesuai dengan varian pihak
yang terkait dengan komunikasi politik di Indonesia. Ia
mengemukan masalah yang terjadi di antaranya adalah
masalah masalah pemerintahan, partai politik, legislatif,
media massa dan elektoral. Beberapa masalah ini tentu
merupakan masalah fundamental yang sering terjadi di
Indonesia. Kesemuanya mengahdapi gap dalam proses
komunikasi politiknya.7
Selain masalah esensial proses komunikasi
sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Ada masalah
lain, yang tampaknya juga urgen, yang selalu menjadi topik
pembahasan para pakar. Kebanyakan para pakar, selain
menjelaskan masalah mendasar dari proses komunikasi,
mereka juga banyak menguhubungkan komunikasi politik
dengan masalah-masalah yang lumrah terjadi pada era
demokrasi. Tentu yang penulis maksud, adalah sejumlah
isu kesetaraan dan keadilan yang memang ramai menjadi
perbincangan tokoh sosiologi politik di abd 20 hingga 21
dewasa ini.

7
Gun Gun Heryanto, Problematika Komunikasi Politik (IRCiSoD, 2018). 10-
519

112 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


Hal yang paling menarik dan yang paling sering dikaji
adalah persoalan yang berhubungan dengan diskriminasi
gender dalam politik. Tentunya sebagaimana dimafhum
bersama perempuan dalam politik selalu dikaitkan dengan
identitasi dirinya yang dianggap sebagai second sex. Ada
yang menganggapnya unggul dalam hal psikososialnya.
Namun pada sisi lain, sebagai praktisi politisi akan selalu
lemah dan tak berdadaya menghadapi kehidupan sosial
politik.
Selain itu, juga telah banyak dijelaskan bahwa ada
budaya patirarki yang berlangsung lama di sepanjang
peradaban manusia. Yang demikian merupakan budaya
yang menomerduakan posisi perempuan dalam struktur
sosial. Asumsi umum menjadikan mereka sebagai manusia
yang hanya mampu mengurusi persoalan domestik rumah
tangga saja. Akibatnya dalam interaksi di dunia politik yang
pun tak bedaya. Budaya yang merupakan bagian dari politik,
tak bisa dipisahkan. Begitupun asumsi patriarki demikian,
juga berkembang. Tidak mengherankan, jika isu tentang
perempuan terus dibicarakan bahkan di beberapa negara,
pemerintahnya sampai perlu memasukkan isu ini sebagai
diskursus pengembangan tata hukum demi berjalannya
stabilitas sosial masyarakatnya adil dan makmur.
Persoalan ini penting menjadi awal memahami
masalah komunikasi perempuan dalam dunia politik.
Beberapa pakar mengurai masalah-masalah yang lumrah

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 113


terjadi. Salah satunya, Randall. Ia mengutarakan tindakan
politik perempuan di ruang publik, utamannya tentu
terhambat pada persoalan makro dan mikro perempuan
sendiri. Masalah mikro yang dinyatakan bahwa akses
pendidikan yang sejak awal lemah pada perempuan
menjadikan kualitas mereka lemah dalam menjalani peran
agensi public services. Begitupun pada aspek makronya,
perempuan harus menghadapi budaya patriarki yang
sejak awal membumi menjadi persepsi umum yang tak
dapat disangkal. Karena persolaan ini, komunikasi politik
perempuan cenderung didasarkan pada konten emosional
pada persolan diskriminasi golongannya.8
Tidak ketinggalan, Nimrah dan Zakariah, dua pakar
asal Indonesia, juga membahas masalah penting perempuan
dalam politik. Keduanya mengungkapkan komunikasi
komunikasi perempuan dalam politik, tidak berdaya
menahan asumsi publik yang berkembang. Walaupun
kampanyenya telah baik, namun elektabilitas perempuan
begitu setelah dihadapkan pada budaya patriarki yang
berkembang. Dengan demikian tidak mengherankan
jika komunikan yang berkembang dalam konumunikasi
politik perempuan selalu mengandung perlawanan pada
asumsi patriarki ini. Yang demikian, adalah keniscayaan
yang timbul karena perkembangan era demokrasi yang
mestinya melahirkan budaya yang lebih adil memandang

Vicky Randall, Women and Politics (USA: Macmillan International Higher


8

Education, 1987). 122

114 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


status komunal sosial.9
Persoalannnya dalam berbicara masalah yang ada,
sebenarnya adalah persoalan ruang komunikasi perempuan
sendiri. Artinya, untuk bukan hanya pada asumsi tradisional
yang terjadi dan keadaan politik saja. Namun juga perlu
dianalisi dari tubuh dan peran perempuan itu sendiri.
Persoalan ini panjang dibahas oleh Elshtain. Ia menjelaskan
masalah terkait perempuan dalam dunia modern sekalipun
adalah adanya pengkhususan peran mereka. Sesuaikah
mereka, atau mampukah mereka menyelesaikan tanggung
jawab spesialisasi kebutuhan kerja sosial. Bisakan mereka
mengerjakan secara efektif. Kluster peran perempuan di
ruang personal membuat mereka diasumsikan tidak layak
berbicara di publik. Hal ini demikian bukan hanya kerena
fakta sejarah, namun kemampuan perempuan di publik
masih dipertanyakan. Sebab perempuan sebagai manusia
yang cenderung mengutamakan psiksi pribadinya memilik
kecendrungan lemah dalam memimpin publik.10 Asumsi ini
melemahkan komunikan yang disampaikan. Jika dikatakan
bahwa komunikasi politik penting untuk menancamkan
hegemoni publik. Tentu akan sulit dicapai oleh seorang
perempuan di tengah asumsi tersebut.

9
Siti Nimrah and Sakaria Sakaria, ‘Perempuan Dan Budaya Patriarki Dalam
Politik: Studi Kasus Kegagalan Caleg Perempuan Dalam Pemilu Legislatif
2014’, The POLITICS : Jurnal Magister Ilmu Politik Universitas Hasanuddin,
2015, 173–81.
10
Jean Bethke Elshtain, Public Man, Private Woman (USA: Princeton University
Press, 1993). 302

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 115


Masalah-masalah perempuan dalam politik sepertu
yang dijelaskan di atas, sebenarnya telah banyak pakar yang
mencarikan solusinya. Beberapa argumentasi telah banyak
disusun dengan mengacu pada peran politisi perempuan.
Beberapa pakar memberikan pandangan bahwa banyak
strategi komunikasi yang dilakukan politisi perempuan
dalam berkontestasi di dunia politik.
Adapun beberapa strategi berusaha penulis
akumulasikan menjadi dua penjelasan penting. Pertama,
komunikasi perempuan berusaha menyurakan ideologi
perlawanan patriarki. Hal ini sebagaimana yang dikemukan
oleh Ford. Dalam penelitiannnya ia fokus pada persoalan
komunikasi perempuan dalam politik. Beberapa
penjelasannya dapat dikonklusikan bahawa ada sejumlah
pesan yang betuknya perjuangan feminis dalam hak
partisipasi politik.11 Pendapatan ini yang mengunci peran
perempuan dalam komunikasi sebagai figur etik ideologi
feminis. Tentu yang demikian, tetap berkembang hingga
saat buku ini ditulis.
Kedua, komunikasi perempuan berdasar pada rasional
nilai. Keniscayaan dari penjelasan awal, memposisikan
perempuan sebagai figur yang mementingkan rasional
nilai daripada instrumental. Walaupun pada satu sisi, hal
demikian merupakan kelemahan. Namun pada sisi lain
merupakan kelebihan. Pola komunikasi yang dilakukan
perempuan, baik penyusunan komunikan hingga orientasi
11
Lynne Ford, Perempuan Dan Politik: The Pursuit of Equality, 4th edition
(Boulder, CO: Routledge, 2017). 49

116 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


komunikasinya didasarkan pada ideal public dalam sudut
pandang mereka. Sehingga, mereka begitu kental dalam
menjaga nilai yang mereka percaya. Nilai rasionalitas yang
dalam diri mereka, terus mereka pegang.
Kuatnya nilai rasional subjektif tersebut akan
menyebakan perlemahan pada rasional intrumental yang
biasanya mendasarkan pada pertimbangan pragmatis. Itu
artinya, perempuan akan susah untuk melakukan politik
pragmatis. Yang demikian, tentu kebalikan dari penjelasan
rasionalitas perspektif Coleman yang Wulantami kaji.
Dengan kata lain, perempuan yang memilih berkarir
dalam dunia politik selalu lemah dalam urusan komunikasi
berbasis cost dan reward. Namun ia akan lebih komitemen
dalam menjaga nilai.12
Conway lebih memperjelas argumentasi di atas. Ia
mengemukakan bahwa perempuan sebenarnya memiliki
potensi lebih baik dalam ruang publik. Komunikasi yang
dilakukan atas nalar rasion emosional pada nilai publik akan
membuat figurnya lebih bermoral daripada laki-laki. Hal
demikian yang dianggapnya sebagai potensi perempuan
dalam komunikasi politik guna memenangkan kontestasi.
Walaupun satu sisi mengorbankan komunikas privatenya,
di sisi lain, melalui hal tersebut perempuan dapat lebih kuat
dalam mempertahankan moral politik melalui komunikasi
yang dilakukan. 13 Licthman dan Bdolach bahkan
12
Ardina Wulantami, ‘Pilihan Rasional Keputusan Perempuan Sarjana Menjadi
Ibu Rumah Tangga’, Dimensia: Jurnal Kajian Sosiologi, 7.1 (2018).
13
M. Margaret Conway, ‘Women and Political Participation’, PS: Political Science
& Politics, 34.2 (2001), 231–33.

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 117


menjelaskan bahwa kondisi perempuan yang demikian itu
dapat dimungkin menjadi basis tindakan kerja politiknya
tampak lebih maskulin .14
Kesimpulan dari sub penjelasan ini, menampilkan
komunikasi perempuan memiliki dua substansi komunikan.
Keduanya secara terpadu menjadi pola komunikasi
yang menguatkan kepentingan politiknya, tentu dalam
meningkatkan elektabilitas. Komunikan perempuan yang
mengandung perjuangan nilai feminis yang dipadu dengan
pertimbangan rasional intrumental, merupakan potensi
perempuan dalam komunikasi politik yang ia jalankan.
Berdasarkan penjelasan di atas, menjadi jelas bahwa
masalah komunikasi politik terjadi akibat adanya
kesenjangan etis pada kepentingan pihak-pihak yang
memiliki peran dalam proses komunikasi itu sendiri.
Beberapa masalah akan terjadi apabila seluruh pihak tidak
memiliki komunikan yang berkesinambungan. Dampaknya
komunikasi akan selalu dibuat berdasar pada kepentingan
masing pihak. Ini yang dalam komunikasi politik, dianggap
sebagai proses propoganda, framing dan semacamnya.
Selain itu, masalah yang komunikasi juga disebabkan
faktor eksternal dari komunikasi itu sendiri. Juga banyak
kajian massalah-masalah yang berhubuangan dengan faktor
eksternal seperti keadilan gender dan semacamnya.

14
Tsfira Grebelsky-Lichtman and Liron Bdolach, Political Communication
Framework for Female Politicians (Jarusalem: The Hebrew University, 2017),
xxiii.

118 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


B. Teoretis Praksis Komunikasi Politik
Berbicara masalah komunikasi politik, dalam upaya
pengembagan praksi normatifnya, sebenarnya tak bisa
dipisahkan dari dasar konsepsi komunikasi pada umumnya.
Dengan kata lain, komunikasi politik masih merupakan
perkembangan model komunikasi tradisional. Jadi
walaupun komunikasi politik merupakan perkembangan
praksis dari keilmuan politik, namun hal-hal yang substansi
dari konsep komunikasi sosial, tetap menjadi rumpun dasar
pengembanganya.
Sebagaimana dimafhum bersama bahwa ada empat
komponen dalam konseptual framework komunikasi.
Empat komponen ini yang oleh beberapa pakar peneliti
komunikasi politik dikembangkan sebagai acuan
penyusunan konsep pengembangan di dunia politik.
Salah satu pakar yangb dengan terang-terangan menyusun
konsepsi seperti ini adalah Lilleker, Dkk. Dalam karyanya
adalah penjelasan tentang model praksis komunikasi
politiknya. Namun, walaupun bersumber dari teoretik
komunikasi tradisional, pengembaganya tidak mutlak sama
dengan konsepsi awal. Artinya Model yang dikembangkan
agak berbeda dengan teori tradisional ini. Alasanya tentu
kerena politik komunikasi merupakan jalan sumber politik
penguatan kredibilitas, dan proses pengelolaan persepsi
publik.15 Hanya saja tidak dapat terlepasd dari element
dasar tradisionalnya. Adapun elemen dasar yang dimaksud,
15
Lilleker. 17

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 119


4 element penting dari teori komunikasi klasik sebagaimana
berikut ini;

Gambar 6.1 Model Komunikasi Klasik

Model klasik di atas, merupakan dasar fundamental


dalam proses komunikasi. Dasar fundamental yang
dimaksud terdiri dari sumber, pesan, media dan penerima
pesan. Kempatnya yang oleh beberapa dibangun sebagai
pendekatan awal menentukan skema komunikasi politik.
Tokoh yang termashur, dalam perumusan gagasan
komunikasi politik, salah satunnya adalah McNair. Namun
sebenernya, ia juga mengembangkan gagasan dari sejumlah
pakar. Beberapa di antarannya, seperti penjelasan dari
Denton and Woodward. Kedua pernah mengatakan, “the
crucial factor that makes communication ‘political’ is not the
source of a message [or, we might add, referring back to their
earlier emphasis on ‘public discussion’, its form], but its content
and purpose”.16 Artinya, proses pengembangan komunikasi
dalam politik bukan karena perbedaan sources, namun pada
perbedaan konten dan juga perlu mempertimbangkan
porposenya. Integrasi pertimbangan semua elemen tersebut
adalah inti yang mendasar dari upaya pengembangan model
komunikasi politik.
16
Robert E. Denton and Gary C. Woodward, Political Communication in America,
Praeger Series in Political Communication, 2nd ed (New York: Praeger, 1990).
11

120 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


Untuk itulah, Mc Nair telebih dahulu mencoba
menelisik beberapa hal yang penting yang elemen-elemen
dasar konsepsi komunikasi dalam hubungan dengan
diskursus praksis politik. Adapun uraiannya terkait hal ini
dijabarakan dalam tiga hal penting seperti berikut ini;17
a. Bentuk komunikasi politik dilakukan oleh sejumlah
politisi tentu dengan orientasi tertentu
b. Komunikasi dari aktor politik dilakukan juga pada
kelompok non-politisi seperti voters dan newspaper
columnists.
c. Komunikasi politik juga dilakukan oleh media publik
baik tentang aktifitasnya maupun perkataanya.
Tiga hal yang dijelaskan oleh McNair di atas,
tampaknnya dibagun atas pemahamanya tentang realitas
interaksi politik sebagai ruang komunikasi. Gagasan yang
dibangun dari analisanya ini, memunculkan kesimpulan
yang sama dengan apa diijelaskan Franklin dan Murphy.
Sebagaimana dijelaskan sebelummnya bahwa kedua
tokoh ini menganggap komunikasi politik merupakan
komunikasi yang melibatkan kepentingan politik dan
media publik. Jadi komunikasi politik perlu dibedakan
dengan komunikasi yang sifatnya interpesonal. Keduanya
menegaskan bahwa komunikasi politik mengandung unsur
publik dan segala aktifitas dan otorirtas di dalamnya.
Dalam hal ini maka konsepnya mesti mempertimbangan

17
McNair. 4

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 121


kepemerintahan sebuah negara dari pusat hingga daerah.18
McNair berusaha menganalisa bahwa tujuan dan publik
komunikasi politik dapat menjadi awal dirumuskanya
komunikasi politik. Ia menyebut ada tiga pihak yang
mesti ada dalam komunikasi politik. Ketiganya tentu yang
lumrah ada pada nagara yang menganut sistem demokrasi,
ya salah satu contohnya di Indonesia, Amerika dan
sebagainya. Untuk memperjelas konsep yang digagasnya,
lihatlah gambar di bawah ini;

Gambar 6.2 Political Communication Model (McNair)

Berdasarkan penjelasan di atas, tiga varian kelompok


yang penting dalam komunikasi politik adalah political
organisations, media, dan citizens. Untuk memperincinya,
tentu perlu penjelasan lagi. Pertama, political organizations.
18
Bob Franklin and David Murphy, What News? The Market, Politics, and the
Local Press, Communication and Society (London ; New York: Routledge,
1991).

122 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


Dalam hal ini ada beberapa elemen yang dimaksud,
tergantung pada objek pembahasan yang ditelisik. McNair
meyebut ada beberapa organisasi yang sifatnya politik,
di antaranya partai, organisasi publik, lembaga kontrol,
organisasi terorist dan unit pemerintah.19 Beberapa lembaga
ini posisinya tentu sebagai sources dalam komunikasi politik.
Yang demikian oleh penulis disebut sebagai pihak pertama.
Kedua, the media. Penulis menyebut pihak ini sebagai
pihak kedua. Sebenarnnya dalam McNair, mengurutkannya
pada pihak ketiga. Namun demi sistematika penjelasan
yang lebih mudah, penulis memasukkannya sebagai pihak
kedua. Pihak ini dalam model komunikasi tradisional tidak
masuk sebagai sources. Perannya lebih sebagai instrumen
penyampai pesan. Namun, dalam komunikasi politik
tidak demikian. Mereka juga memiliki kuasa melahirkan
pesan bahkan kadangan juga perperan sebagai receiver
komunikan politik. Hal ini tentu sebagaimana yang juga
dipertimbangkan dalam kajian beberapa pakar di buku
Kaid, Dkk. Dalam penjelasannya ia mengemukan tiga
pertimbangan alasan media sebagai sources dan juga bisa
menjadi receiver. Dalam bukunya dituturkan,
First, we may speak of an objective political reality,
comprising political events as they actually occur • There
is then a subjective reality – the ‘reality’ of political events
as they are perceived by actors and citizens • Third, and
critical to the shaping of the second category of subjective
perceptions, is constructed reality, meaning events as
covered by the media.20
19
McNair. 5-9
20
Ketiga penjelasan digambarkan secara terpisah. Lengkpanya baca, Kaid.

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 123


Bedasar pada penjelasan ini, McNair memberikan
narasi, pihak kedua ini sebagai pihak yang juga memiliki
peran ganda dan juga penting dibahas dalam masing-
masing hubungannya dengan beberapa pihak lain. Artinya
proses komunikasinya dengan kedua pihak lainnya, juga
membentuk proses komunikasi dengan peran dan tujuan
tertentu. Pada sisi ini, ia menyebutnya mereka berperan
tripel yakni sebagai sources, channel dan juga receiver.21
Ketiga, the citizens. Penulis menyebut pihak ini sebagai
pihak ketiga. Dalam sistem demokrasi, mereka bukan
hanya sebagai receiver, namun juga sebagai sources dalam
hal tertentu, utamanya untuk pihak kedua. Peran ini
oleh McNair disebutkan sebagai keniscayaan pada negara
yang memiliki sistem demokrasi. Citizens jika dipandang
sebagai penerima komunikan, dapat menjadi objek
pandangan dampak dari komunikasi yang dilakukan oleh
pemerintah ataupun media. Mereka merupakan sasaran
proses komunikasi yang paling riil. Namun jika dipandang
sebagai sources mereka juga memiliki komunikan yang
dapat menjadi sumber para receiver seperti media dalam
membangun wacana dan politcal oragnisations dalam
menyusun kebijakan.22
Berdasarkan pada penjelasan teoretik di atas, penelitian
ini mengambil dasar padangannya. Konsekuensinya, tentu
kajian akan mencoba memahami proses komunikasi yang
21
McNair. 11
22
McNair. 10

124 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


dilakukan perempuan dalam ruang komunikasi antar media,
dan juga citizens. Sehingga penggambaran terjadinya pola
komunikasinya dalam setiap tahapan akan jelas dipahami
sebagai pola komunikasi politik yang sesungguhnya.

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 125


BAB VII
POLITICAL ANTAGONISM

Pada penjelasan ini akan perkembangan kontemporer dari


sosiologi politik, utamanya dalam hal diskursus pengembangan
sistem ideologi di dunia politik. Sebagaimana dipahami bersama
bahwa seluruh ideologi politik sering bertebarakan. Bahkan
tabrakan tersebut kadang juga menjadi akan konflik politik
di sebuah negara, atau secara umum kelompok sistem sosial
masyarakat. Pertentang ini yang disebut sebagai antagonisme
politik.

Antoginisme merupakan hal urgen dalam dunia


politik. Keberdadanya merupakan keniscayaan dari lahirnya
heterogenitas sistem sosial masyarakat. Institusi sosial yang
terus berkembang dan bahkan semakian banyak kuantitasnya,
akan serta merta melahirkan ketagangan sistem sosial
masyarakat secara holistik. Bukan hanya karena perbedaan
ideologi politik, namun juga disebabkan keniscayaan ragam
asumsi sosial terkait dengan sistem politik yang selema ini
dikembangkan.

Duverger merinci persoalan ini dengan melihat ada


persebarangan mendasar yang terjadi dan merupakan

126 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


pemahaman anatagonisme politik. Ia menjelaskan bahwa
persolan utamanya adalah pada doktrin politik. Bagi kaum
konservatif tradisional, pelanggangen kekuasaan terjadi pada
kekuatan elit. Kaum elit dianggap syah meneruskan kekuasaan
sebab mereka memiliki pengaruh akan hal tersebut. Di pihak
lain, utamanya pemahaman modern, tentu menolak hal
tersebut. Berbalik argumen dengan apa yang diasumsikan
oleh masyarakat tradisional. Masyarakat modern menolak
untuk mengakui superioritas alami para elit dan hak mereka
untuk memerintah. Yang demikian tentu sangat tidak terima
apabila ada angggapan ras superior dan inferior. Ras superior
ditakdirkan untuk mendominasi, sedangkan ras inferior
dikuasai.1 Kedua asumsi yang dijelaskan ini, hingga tulisan ini
dibuat masih jadi pertentangan dalam dunia politik. Demikian
yang melahirkan kajian antagonisme politik. Yang tentunya
akan secara rinci dijelaskan pada bab ini.

A. Historitas dan Dasar Konseptual Antagonisme Politik


Antonisme lahir atas perdebatan panjang ideologi
politik klassik. Tokoh yang terkenal melahirkan ide ini adalah
Laclau. Ia pertama menyusun argumentasinya saat menulis
penelitian dengan judul, “Argentina:Imperialist Strategy
and the May Crisis”. Tulisannya ini menggambarkan krisis
politik yang terjadi pada negara Argentina di tahun 1969.
Dalam ceritanya, kala itu ada banyak mahasiswa yang
melakukan demonstrasi. Mereka bergabung dengan pada

1
Duverger, Sociologia Politica. 109

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 127


buruh di Córdoba untuk memprotes pemerintah. Konflik
yang terjadi terus menerus membesar hinga menggulingka
otoriterinisme militer pada tahun 1973. Titik fokus kajian
Lancau pada peristiwa ini adalah pertanyaan fundamental
berupa, “kenapa kesatuan mahasiswa dan buruh tercipta?.
Ia mengatakan, yang demikian tidak mungkin disebabkan
adanya indikasi tercapainya kesejahteraan. Namun lebih
condong, karena penolakan sistem penguasaan militer pada
sektor ekonomi masyarakat. Penolakan ini yang didorong
oleh kekuatan politik yang besar dan akhirnya mempu
menggulingkan kekuasan otoriter yang sebelumnya ada.2
Berdasarkan konflik yang ditelitinya, Laclau
berargumen bahwa konflik terjadi karena arus liberalisme
atau bahkan demokrasi yang menimbulkan efek diluar
perkiraan. Liberalisme bukan serta merta melahirkan
kedamian sosial tanpa konflik. Runtuhnya rezim kerajaan
membangkitkan kelas menengah untuk melakukan revolusi
besar. Kelas menengah yang merasa diberikan oleh ideologi
liberlisme bangkit dan berselisih dengan kelas menengah
lainnya, bahkan juga militer. Tentu sebagaimana dalam
peristiwa yang Laclau teliti di atas. Konflik terjadi antara
kelas menengah dengan kelas menengah proletarin lain.3
Liberalisme memang menolak ide terkait dengan
adanya gerak alami ketidaksetaraan dalam institusi sosial.
Anggapan mereka pada dunia politik sama dengan dunia
2
Ernesto Laclau, ‘Argentina--Imperialist Strategy and the May Crisis’, New Left
Review, I/62, 1970, 3–21.
3
Laclau, ‘Argentina--Imperialist Strategy and the May Crisis’. 13

128 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


ekonomi. Bebas diupayakan dan tak hal yang sacara alami
terbentuk tanpa adanya dorongan subjek penentu. Setiap
manusia dalam dunia ekonomi berhak menentukan
pemenuhan kebutuhannya. Begitupun dalam politik,
setiap secara bebas mengupayakan identitas dan hak sosial
politiknya.
Duvergen menjelaskan juga paham liberliasme ini. Ia
menjelaskan bahwa masyarakat di mana tidak ada cukup
barang-barang konsumsi untuk memenuhi permintaan
publik, ada persaingan terus-menerus di antara manusia,
dengan setiap orang berusaha untuk mendapatkan
keuntungan maksimal untuk dirinya sendiri dengan
mengorbankan orang lain. Memegang posisi kekuasaan
memberikan satu keuntungan yang cukup besar. Oleh
karena itu, manusia sebagai homo politicus, tidak berbeda
dengan homo economicus. Dalam pandangannya, liberlisme
meyamakan keduanya, yakni sebegai bentuk perjuangan
untuk hidup. Dasar asumsi ini tentu sebagaimana yang
telah digagas oleh Darwin.4
Anggapan liberalisme ini terlihat bersenada atau
dikembangkan oleh Marxisme. Kalangan Marxist
mendorong adanya bentuk antagonisme untuk melawan
arus liberalisme ini. Menurut Laclau, kalangan marxist
membangun antagonis bebrbasi pada budaya produksi.
Value added sebegai sebuah keniscayaan dari adanya
perkembangan industri secara simultan membentuk
4
Duverger, Sociologia Politica. 109

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 129


hubungan antara kapitalis dan pekerja. Hubungan ini
yang disebut sebagai hubungan yang anatagonisti. Kelas
tidak menjadi antagonis dalam proses perjuangan. Untuk
menyelesaikan masalah yang demikian, kalangan marxist
percaya bahwa dengan perjuangan kelas, antagositik dapat
teratasi.5
Duverger menambahkan bahawa antagonisme politik
ala marx berbasis ekonomi. Yakni lebih tergantung pada
kontestasi barang dan produksi. Keduany tentu juga
dipengaruhi oleh sistem tekhnologi yang berkembang baik
itu bentuknya pertanian di era klasik maupun pertanian
industri modern. Seluruh dianggap dapat membentuk kelas-
kelas sosial. Jadi kelas yang terbentuk dari kondisi adalah
antara mereka yang menguasai alat industri dan mereka
yang hanya memiliki untuk bekerja. Yang demikian ini
tentu adalah kondisi diskriminasi. Kondisi ini menjadikan
kelas yang terdiri dari pemilik properti menggunakan negara
untuk mempertahankan dominasinya atas kelas yang tidak
terikat, yang secara alami melawan. Konsepsi demikian
disebut antanisme kerena sebenarnya menurunkan koflik
politik lain seperti pertentangan antar komunitas, wilayah,
dan semacamnya, pada pertimbang antagonis yang lebih
rendah. Dari anggapan ini, tidak mengherankan jika,
upaya politik yang dilakukan oleh kalangan marxist lebih
mengedepakan keseteraan kelas kapital secara ekstrim.

5
Ernesto Laclau, Politics and Ideology in Marxist Theory: Capitalism, Fascism,
Populism (USA: Verso Books, 2012). 106

130 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


Sifat eksrim yang ini, oleh Duverger disebut sebagai
sebuah konsekuen dari ide antansime politiknya Marx. Ia
membangun argumentasi dalam perspektif psiokosisial.
Teori psikoanalisis memandang bahwa pertempuran
politik juga merupakan konflik batin. Dengan kata lain,
didorong motivasi psikologis. Menurutnya, keteralienasian
menghasilkan frustrasi yang berkembang menjadi
kecenderungan agresi dan dominasi. Sudut pandangan
ini memebrikan pemahaman rasional terkaiat anggapan
manusia sebagai homo politikus sangat kompleks.6
Namun anggapan Duverger dengan penjelasan di
atas, tentu juga melahirkan argumentasi bahwa keinginan
akan keuntungan material dari kekuasaan tidak selalu
menjadi motif utama antagonisme. Dengan kata lain tidak
lagi menyamakan antara manusia homo politikus selain
homo ekonomikus. Namun ia tampak mengambangun
argumen, manusia seutuhnyalah adalah ikut serta terlibat
dan tak terpisahkan dari kehidupan sosialnya sendiri. Jadi
dalam argumennya ia telah mengembangkan argumentasi
antagonisme politik baru yang berbeda dengan dengan
antagonisme kaum Marxist.
Senada dengan Duverger, antagonisme versi Marxist,
juga oleh Laclau sendiri dikembangkan sebagai sebuah
kontruksi utuh antagonismenya. Devenney menjelaskan
ada dua hal dalam melihat perkembangan konsepsi Laclau
dari marxisme. Pertama, Laclau mengenagaskan antagonis
6
Duverger, Sociologia Politica. 110

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 131


perlu dilahirkan dari persebarangan konflik ekstrim ideologi
politik. Tentu salah satunya adalah marxis sendiri. Kedua,
Laclau juga berposisi sebagai pengkritik perdebatan teoretis
Marxis. Hal ini dapat terlihat dari karya dan gagasan
kritisnya pada ide-ide Marx. Dengan dua dasar demikian,
tentu sudah dapat dijelaskan bahwa antagonisme dalam
gagasan Laclau lebih berisifat ekstrim dan berhadap-
hadapan secara kritis dengan teori Marxisme sendiri.7
Hal yang paling mendasar dari perbedaan konsepi
antogisme politik Marxis dengan Laclau adalah, menurut
hemat penulis, antagonisme politik tidak ditentukan oleh
posisi kelas ekonomi. Laclau tampak mengembangkan
kembali konsepsi antogisme sebagai sistem demokrasi yang
luhur. Ia mengkonseptualisasikan ulang demokrasi radikal
sebagai artikulasi hegemonik dari tuntutan emansipatoris
yang berbeda terhadap hegemoni neoliberal yang muncul
sebelumnya. Argumen ini didukung konsepsi teoretis baru,
yakni pemahaman bahwa secara ontologis, antagonisme
berorintasi pada pembatasan objektivitas sosial. Sifdatnya
tentu mengandung nilai demokratis yakni empiris dan
tentu juga logis.
Salah satu yang dicontoh oleh Mouffe dan Laclau
terkait dengan argumentasi antaginis kontemporen adalah
tercipatnya instutisi yang sosial di luar konflik besar
liberalisme dan Marxisme. Ia mencontohkan, bahwa tidak
semua konflik sosial dapat disebut sebagai antagonisme
7
Mark Devenney, ‘La Política Del Antagonismo’, Debates y Combates, 2015. 3

132 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


politik. Misalnya, polisi memukul buruh tani. Tentu bukan
bentuk antaginisme politik. Sebab kepolisian merupakan
elemen negara bukan borjusi sebagai anggagapan kaum
marxist.8
Pada intinya, antoginisme yang dimaksud dalam
perkembangan normatif praksis kontemporer adalah
menekankan pada cara pandang objektif. Konflik sosial
tidak dipahami sebagai akibat dari pertetangan kelas saja.
Namun lebih pada persaingan sehat sebagai konsekuen dari
budaya demokrasi politik. Jadi pada satu sisi, manusia secara
politik bebas, namun di sisi lain mesti tetap dikuasinya oleh
pihak yang secara objektif berwenang.
Konsepsi sederhana yang dikembangkan oleh Duverger
dalam menjelaskan antagonisme politik, adalah adanya
pembedaan ruang privet dan publik. Artinya, antogonisme
yang ideal yang terjadi adalah kontestasi politik sebagai
reprsentasi individu dan jiga sebagai pembatasan individu
sendiri.9 Jadi ada dua antagonis yang pasti terjadi. Ia
menyebut keduanya sebagai antagonisme individual dan
kolektif.

B. Konsepsi Antogonisme Individual dan Kolektif


Konsepsi antoginisme pada perkembangan terakhir
dibagi sesuai dengan klasifikasi ruang private dan public.
8
Ernesto Laclau and Chantal Mouffe, Hegemony and Socialist Strategy: Towards
a Radical Democratic Politics, 2nd edition (London ; New York: Verso, 2001).
124
9
Duverger, Sociologia Politica. 110

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 133


Pembagain keduanya tentu didasarkan pada diskursus utama
pertemuan tindakan manusian pada realitas kehidupan
sosial. Manusia sebagai pribadi memiliki persepsi, bahkan
subjektifitas emosional. Yang demikian dipaksa melebur
saat masuk dalam proses sosial. Makanya dalam berbicara
antagonisme politik, penulis akan menjelaskan satu persatu,
agar dapat dipahami satu persatu cakupan diskursus
masing-masing konsepsinya.
1. Konsepsi antagonisme Individual
Antogonisme dalam ruang individu, didasarkan pada
asumsi fonomanal Darwin terkait dengan perjuangan
untuk hidup. Dalam buku yang berjudul “Origin
of Species” dijelaskan bahwa setiap manusia untuk
bertahan hidup mebutuh bakan survival dan mampu
berkontestasi. Secara natural, yang kalah dalam bersaing
akan lebur dan tak akan melanjutkan kehidupanya
dengan layak. Sudut pandang teori tersebut, merupakan
cara pandang pada manusia dengan memposisikan
sebagai makhluk biologis saja. Tindakan manusia
dianggap sebagai perjuangan untuk memenuhi
kebutuhannya sendiri.
Asumsi di atas menurut Duverger berkembang di dunia
politik. Asumsi yang awal disitilah perjuangan untuk
hidup, bertranformasi menjadi perjuangan untuk
menang. Artinya, secara personal, manusia yang akan
sukses dalam politik adalah manusia yang memiliki
kemampuan bersaing dan mampu menjalankan

134 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


kekuasaan. Sebeliknya, manusia yang akan gagal adalah
manusia yang kalah dalam pertarungan kekuasaan.10
Teori yang berbicara tentang antagonisme individu
sebenarnaya banyak. Namun beberapa pakar mempunnya
satu kesamaan dalam penjelasaan. Kesamaan yang
dimaksud adalah setiap manusia memiliki bakat yang
berbeda. Mereka yang paling berbakat akan mengusai
yang lemah. Dalam padangan liberalism, mereka yang
berbakat digerak oleh motif ekonomi. Sedangkan dalam
pandangan konservatif, individu yang paling berbakat
lebih dimotivasi oleh altruistik daripada pertimbangan
ekonomi. Artinya, tindakan yang berkualitas bukan
karena motif ekonominya yang kuat. Namun karena
semangat diri untuk berkuasa dan dapat bermanfaat
bagi orang lain. Ini yang disebut sebagai dasar asumsi
konservatif.
Kedua teori yang berbeda di atas, tentu sangat penting
sebagai dasar memahami konsep antagonisme individual.
Liberalisme lebih menekankan pada persaingan individu
dalam memenuhi kebutuhan pribadinya. Sedangkan
konservatisme lebih menekankan pada kajian personal
manusia sebagai bagian aktor sosial. Perbedaan asumsi
ini berkembang secara berbeda dalam hal antagonisme
politik. Perbedaanya tentu dalam hal berbicara tentang
konsepsi aptitudes (bakat).
Pada asumsi liberalism, bakat selalu digerakkan oleh

10
Duverger, Sociologia Politica. 112-113

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 135


motif ekonomi. Jadi setiap manusia dipercaya memiliki
bakat sesuai dengan kebutuhanya. Sedangkan pada
konservatisme, selalu percaya bahwa aptitudes yang
dimiliki manusia cenderung berbeda. Sehingga,
tindakan indvidu manusia pun berbeda. Ada yang baik
dan tidak. Namun beberapa perebedaan ini menjadi
dasar argumentasi fungsional sistem sosial. Artinya
konservatisme memahami struktur sosial tersusun dari
tindakan masyarakat sesuai dengan kualitas bakatanya.
Perbedaan konsep terkait dengan aptitudes ini, tampak
juga mempengaruhi konsep masalah dan orientasi
masing-masing aliran. Pada aliran liberal, dasar tindakan
politik tentu adalah pemenuhan ekonomi. Jadi seluruh
manusia diyakini membutuhkan kesejahteraan ekonomi.
Dalam kontestasi politik, biasanya individu dari paham
liberal banyak memainkan isu keadilan, keteraan,
kesejahteraan dan semacamnya. Berbeda dengan
konservatisme, individu politik dalam pemahaman
aliran ini selalu berorientasi pada semakin baiknya
komunitas sosial. Makanya dalam pandangan Sterling,
Jost dan Hardin, isu yang banyak dimainkan oleh
aliran ini adalah isu-isu populisme agama, komunitas,
kenegaraan, imigrasi dan lain semacamnya.11
Perbedaan cara pandang semacam di atas, terus berhadap-
hadapan. Yang paling menakutkan, antagonisme yang
11
Joanna Sterling, John T. Jost, and Curtis D. Hardin, ‘Liberal and Conservative
Representations of the Good Society: A (Social) Structural Topic Modeling
Approach’, SAGE Open, 9.2 (2019).

136 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


terbentuk dari dua aliran ini melahirkan konflik yang
tak berkesudahan. Utamanya sebagai asumsi dasar
manusia dalam melihat struktur politiknya. Perdebatan
panjang yang sering menjadi pembahasan penting
diskursus sosiologi politik adalah terkait dengan kosepsi
elit struktural sosialnya.
Menurut Duverger, antogonisme induvidu politik
dalam liberalisme liberalisme tidak mungkin terfokus
dan sentralistis. Sebab setiap manusia, tanpa terkecuali
memiliki hak untuk menjadi kalangan elit. Jadi masih
dimungkinkan terjadinya “movement of elit” dari seluruh
anggota masyarakat. Tentu yang demikian berbeda
dengan konservatisme. Bagi mereka, struktural elit akan
selalu dan mestinya jatuh pada orang dengan aptitudes
yang baik, Jadi aliran ini tidak begitu menghargai pada
kebebasan masyarakat akan hak elit.12
Secara teoretis, dasar dua perbedaan ini menjadi inspirasi
Eysenck menyusun gambaran psikologi personal
politik. Ada varian penting pemahaman individu dalam
dunia politik yakni ada yang liberal dan conservatif.
Kedunaya yang mennyebutnya sebagai tindakan politik
kanan (right) dan kiri (left) Keduanya dapat dipisah lagi
yakni ada keras dan ada pula yang halus. Gambaran
sederhannya sebagaimana di bawah ini;13

12
Duverger, Sociologia Politica. 116
13
Hans Eysenck, The Psychology of Politics (New Brunswick, N.J., U.S.A:
Routledge, 1998).

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 137


Gambar 7.1 Dimensi Aliran Politik

Liberalisme oleh konservatisme dinilai tidak akan dapat


membentuk struktural sosial yang baik. Sebab, individu
masyarakat dengan motif kepentingan ekonomi akan
cendrung merusak kehidupan sosial. Seperti, pada
umumnya anggapan kaum liberalis sendiri. Para pakar
yang mendukung liberalis cenderung memposisikan
manusia sebagai binatang. Bisanya terkait dengan
gagasan “hyperorganism” dari De Greef. Ia menjelaskan
manusia dalam kehidupan sosialnya bergerak
sebagaimana organisme biologis pada umumnya.14
Begitupun dengan anggapan liberalisme pada
konservatisme. Konservatisme dianggapnya tidak
dapat membaca pentingnya perubahan-perubahan
sosial. Struktur sosial konservatif akan kaku dan tidak
menghormati kemampuan masing-masing manusia.
14
Gagasan De Greef, sebenarnya berhaya empiris. Rasional tindakan manusia
bagianya pasti berhubungan dengan motif pemenuhan kebutuhanya.
Lengkapnya, Guillaume De Greef, Le Transformisme Social: Essai Sur Le Progrès
Et Le Regrès Des Sociétés (Nabu Press, 2010).

138 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


Kondisi ini yang oleh Pareto dianggap berpotensi
menyebabkan terjadi hirarki sosial dan banyak
diskriminasi atau ketidak adilan.15
Inti dari perbedaanya kedua aliran ini sebenarnya
adalah pada sisi fokus pengembangan tindakan individu
manusia. Aliran liberalisme memahami bahwa hal yang
terpenting dari tindakan individual manusia dalam
politik adalah adanya semangat kerja karena motif
emosional. Sedangkan konservatisme mempercayai
tindakan individu manusia didorong oleh semangat
alturistik yang melahirkan moral publik elit yang
baik. Jadi konservatisme sebenarnya mengarah pada
pengutamaan ability sedangkan liberalisme mengarah
pada konsep pengembangan psychological temperaments.
Dua konsepsi berbeda di atas, menjadi dasar konsep
antagonisme individu. Keduanya secara terpadu
menjadi dasar pengembangan paham antagonistik
personal politisi. Duverger menjelaskan, pemaduan
keduanya maksudnya mencoba mengkolaborasikan
doktrin liberal, yang menganggap kepentingan
pribadi dan terutama kepentingan ekonomi sebagai
kekuatan pendorong dalam aktivitas sosial. Sedangkan
doktrin konservatif, ditujukan untuk menekankan
perkembangan sentimen altruistik di elit struktural
sosial.16
15
Gagasan berkaitan dengan signifikansi moving elite. Baca, Vilfredo Pareto,
The Rise and Fall of Elites: Application of Theoretical Sociology, 1st edition (New
Brunswick, N.J., U.S.A: Routledge, 1991).
16
Duverger, Sociologia Politica. 123

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 139


Secara teoretik sebenarnya, sudah ada gagasan (sebelum
Duverger) yang menggabugkan dua asumsi yang
berbeda ini. Salah satunya dalah ide dari Sigmund Freud.
Ia menggagas teori besar dengan istilah psikoanalisis
dengan menggabungkan beberapa motif manusia
yang didiskusikan oleh pakar sebelumnya. Gagasan
mengintegrasikan ide motif pemenuhan manusia
dengan motif aktuaslisasi nilai personal manusia.
Konsep psikoanalisa Freud yang secara mendasar
dapat dikembangkan sebagai basis konsep antonisme
individu adalah sub penjelasan tentang traumatik
manusia. Sebagaimana dimafhum bersama bahwa
konsep psikoanlisa didasarkan perkembangan psikis
manusia dari kecil hingga dewasa. Manusia mengalami
traumatik saat menginjak dewasa ini, sebab tidak
terbiasa. Manusia bisanya terdorong untuk otoriter dan
mendominasi. Mereka akan begitu liberal. Saat semua
sudah ia pelajari, barulah begitu bijaksana penuh nilai
dan semangat alturistik.17
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan
bahwa konsepsi antogonismen individu didasarkan
pada pendekatan psikoanalisa. Psikoanalisa sebagai
pendekatan tindakan individu politik dapat dipahami
sebagai kolaborasi antara paham liberal dan konservatif.
Paham konservatif menggerakan semangat ability,
17
Waktu kecil manusia memili prinsip kesenangan. Waktu dewasa atau saat
bersentuhan dengan kehidupan sosialnya, memiliki prinsip realitas. Baca,
Sigmund Freud, The Best of Sigmund Freud, North-American edition (USA:
Wordsworth Editions, 2016).

140 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


sedangkan liberal sebagai pendorong sentimen
psikologis.
2. Konsepsi Antagonisme Kolektif
Perjuangan politik lumrah memiliki dua aspek penting.
Pada satu sisi, komunitas sosialnya saling berkontestasi
untuk merebut kekuasaan. Di lain sisi, kelompok
sosial juga berusaha secara fungsional saling berbagi
tempat antar satu dengan yang lainnya atau sesamanya.
Perbedaan sisi ini yang menjadi garis dasar yang
membedakan liberal dan konservatif. Liberal tentu yang
pertama, terus yang kedua tentu adalah konservatif.
Menurut kaum liberal, perjuangan kelompok masyarakat
yang berbeda kelas adalah akar dari konflik sosial yang
terjadi. Sedangkan dalam pandangan konservatif,
yang demikian merupakan satu keniscayaan dalam
membangun keutuhan sistem sosial yang baik. Artinya
sistem sosial yang terjadi secara alami terbentuk dari
konflik sistem sosial.
Untuk lebih mudahnya dipahami, antagonisme kolektif
ini sebenarnya merupakan perkembangan keras yang
dari antogonisme individu. Lebih jelasnya lihat gambar
7.1 sebelumya yang dibuat penulis. Konservatif
individu perkembanganya dapat dicontohkan pada
aliran rasisme. Sebagaimana yang dijelaskan oleh
Mackel. Rasisme merupakan aliran yang berlawanan
dengan sistem demokrasi. Kelompok ini memandang
pertarungan kelas merupakan konsekuensi dari dunia

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 141


politik. Apalagi yang bersifat biologis. Konflik terjadi
demi bangkitnya sistem yang sosial yang utuh dan ras
terbaik.18
Begitupun dengan individu liberalis, paham ini
juga berkembang menjadi faham komunis. Paham
komunis menurut Westoby dan Hill disebut sebagai
puncak pemahaman liberalis yang mempercayai konfik
kelompok merupakan akar diintegrasi sistem sosial,
sehingga harus ada sistem sosial internasional yang
dapat secara penuh menjadi konsensus sistem sosial.19
Kedua pemahaman ini merupakan dasar nalar
antagonisme kolektif politik. Antagonisme kolektif
merupakan kontradiksi pemahaman akan kontestasi
komunitas atau kelompok masyarakat. Baik yang
memahami konflik sebagai sebuah keniscayaan alami
atau perjuangan kelas, merupakan perkembangan dari
pemahaman antagonisme individu.
Ada banyak ragam bentuk antagonisme politik yang
banyak menjadi tema-tema penting beberapa dalam
menjelaskan antagonisme kolektif. Yang demikian
telah secara rinci dibahas oleh Duverger. Adalah
penjelasannya berusaha disederhanakan oleh penulis
sebagaimana berikut;20

18
Katharine A. Mackel, ‘Fascism: A Political Ideology of the Past’, Inquiries
Journal, 2.11 (2010).
19
Adam Westoby and Ronald J. Hill, ‘Communism and Political Evolution’,
Journal of Communist Studies, 8.1 (1992), 160–174.
20
Duverger, Sociologia Politica. 133-175

142 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


Gambar 7.2 Dimensi Antagonisme Kolektif

Gambar di atas menjelaskan adanya tiga varian besar


anatonisme kolektif yang terjadi di dunia politik. Ada
yang memang berasar dari pemahaman adanya hirarkis
sosial, seperti konflik antar kelas dan ras. Kedua konflik
ini karena terjadi realitas yang tampak hirarkis. Hirarki
sosial kelas misalnya, terjadi karena adanya asumsi
diskriminasi kelas elit capital (borjusi) dengan kelas
sipil buruh (proletar). Begitupun dengan fasisme. Ia
juga lahir dari asumsi kuatnya ras eropa pada ras negro.
Berbeda dengan antagonisme yang terjadi pada
kelompok horizontal. Konflik yang terjadi tidak
didasarkan hirarki. Ada dua sumber yang menjadi
pertikaian dalam kelompok ini. Beberapa di antaranya,

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 143


beda teritorial, beda pemahaman agama, dan saling
berebut keuntungan. Yang demikian ini, dianggap
horizontal karena tidak didasarkan pada diskriminasi
yang sebelumnya terjadi.
Panjang penjelasan di atas, dapat disimpulkan
bawah ada dua bentuk antogonisme dalam politik yakni
antagonisme individu dan kolektif. Kedua antagonisme
ini saling berhubungan. Antagonisme individu yang terdiri
dari asumsi liberal dan konservartif berkembang ke ranah
kolektif menjadi pertikaian kelompok. Pertikaian kelompok
yang terjadi tetap didasarkan pada asumsi liberalisme dan
konservatisme sebagaimana pada pemahaman dalam
antagonisme individu.
Kondisi antaginosme kolektif dapat dimungkin
juga merupakan indikator terjadi antagonisme individu.
Begitupun sebeliknya, antagonismen individu merupakan
akar terjadi antagonisme kolektif. Sehingga dalam
hal ini keduanya sebenarnya saling berkaitan. Sebab
keduanya merupakan elemen mendasar dari kehidupan
sosial masyarakat. Sebagaimana terminologi holistiknya
bahwa masyarakat merupakan kumpulan individu yang
berkomunal.
Persepsi psikologi manusia merupakan dasar dalam
tindakan sosialnya. Sebegaimana umum dipahami dalam
teori tindakan rasional. Motif tindakan dalam ruang
mikro akan terus berkembang dan berinteraksi dengan
motif mikro antar sesama manusia. Pada awalnya tentu

144 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


setiap mikro persepsi akan bertemu mikro persepsi lainya.
Pada sisi ini, potensi awal adanya anatonisme pertama.
Persepsi manusia ini akan terus berkembang dan eksis
sesuai dengan tingkat kuantitas dan kualitas interaksi yang
mereka lakukan. Beberapa orang yang sanggup membuat
persepsinya mendominasi akan dapat membangun
komunal dan kuasa sosial. Setelah berkuasa, komunal
persepsi ini berubah menjadi makro persepsi. Antagonisme
yang muncul pada kondisi ini adalah antagonisme kolektif.
Berkembangan demikian ini yang menjadi dasar konsepsi
kedua varian antagonisme yang dibahas di atas sebenarnya
memiliki hubungan interdependensi.

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 145


BAB VIII
UPAYA PENGEMBANGAN INTEGRASI POLITIK

Kehidupan sosial sebagai sebuah sistem melahirkan dua


hal yang berbeda yakni konflik dan integrasi. Keduanya bagai
dua sisi mata uang, saling kotradiktif dan sekaligus saling
melengkapi. Pada penjelasan sebelumnya penulis telah banyak
membahas tentang antagonisme. Penjelasannya memang
tentang konflik. Namun konflik tesebut bukan hanya sebagai
disintegrasi sosial, tetapi juga sebagai instrumen pembatasan
pada perpecahan itu sendiri. Jika dirunut, sebenarnya integrasi
yang akan penulis jelaskan adalah bentuk dari antagonisme
yang telah diperbincangkan sebelumnya.

Konsep integrasi dalam politik memiliki fungsi penting


dalam persoalan konflik sebagai keniscayaan sosial. Fungsi
integrasi dapat disenadakan dengan disenadakan dengan
perkembangan psikologi manusia. Jika diibaratkan, jiwa
manusia adalah keadaan politik, maka integrasi dapat
diasumsikan sebagai akhir dari keadaan hidup yang didasarkan
pada pemahaman realitas. Pada kondisi tersebut, jiwa manusia
yang keras dan penuh hasrat kembali melunak dan mencoba
meelaborasi semua pengalamanya.

146 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


Karena dibangun atas logika demikian, maka integrasi
politik tentu juga memerlukan elaborasi pengalaman
dari konflik yang terjadi. Maka, jika menengok kembali
pembahasan sebelumnya, maka integrasi dapat dilakukukan
apabila antagonisme telah selesai dipahami. Baik pemahaman
antagonisme individu ataupun kolektif, sangat diperlukan
dalam mengupayakan integarsi politik.

Berdasarkan asumsi mendasar tersebut, penjelasan pada bab


terakhir ini disusun. Penulis melihat bahwa ada hubungannya
yang erat, antara bentuk-bentuk perjuangan politik dan
perkembangan integrasi politik. Ada kenyataannya, bahwa
beberapa jenis konflik-konflik "dalam" sebuah rezim, misalnya-
telah menyiratkan tingkat integrasi tertentu, dan bahwa tahap
pertama integrasi terdiri dari menahan penggunaan kekerasan,
artinya, menggantikan bentuk-bentuk konflik tertentu dengan
bentuk-bentuk lain. Bentuk lain yang lain yang dimaksud
tentu berdasar elaborasi fungsi antagonisme politik itu sendiri.

A. Integrasi dan Kuasa Politik


Sebenarnya pembasahan ini bukan akan mejelaskan
tentang hubungan kuasa politik dan integrasi. Menurut
Duverger, integrasi sosial tidak tergantung pada kekuatan
politik. Integrisi merupakan hal yang niscaya dari fenomena
integraksi sosial. Jadi kedekatan atau renggangnya
interaksi sosial merupakan variable berbeda atau tak saling
terpengaruh dengan kekuatan politik. Integrasi perlu
diupayakan dengan pengembangan interaksi sosial yang

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 147


baik. Kekuatan politik bisa hanya diposisikan sebagai wasit,
jika ada pertentangan atau antagonisme politik. Jika lebih
dari itu, Duverger melihanya sebagai kamuflase.1
Duverger memberikan tawaran bahwa ada empat
peran kuasa dan negara dalam hal mengupayakan integrasi
politik. Keempatnya penulis gambarkan seperti di bawah
ini;

Gambar 8.1 Power and The State Intervene (Duverger)

Berdasarkan penjelasan di atas, ada empat posisi kuasa


pemerintah dalam hal menjembatani antaginisme politik.
Pertama, pembuat rules and prosedures. Bagaimanapun
keadaan politik yang terjadi, negara merupakan struktur
sosial yang secara formal mengikat dan bertanggung
jawab pada tata tindakan sosial masyarakat. Pemerintah
1
Duverger, Sociologia Politica. 230

148 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


dalam sebuah negara bukan hanya bertanggung pada
kesejahteraan ekonomi masyarakat. Namun juga bertugas
membatasi tindakan dengan sejumlah ataran dan prosedur
yang telah disebakati.
Prosedur dan aturan yang dimaksud biasnya berupa
kontrak sosial atau hukum yang telah disepakati. Jika
negara memakai pola tradisional, maka yang biasanya kuat
adalah aturan yang berdasar pada consensus nilai adat dan
budaya yang berkembang. Sedangkan dalam system negara
yang modern, hukum bannyak diadosi sudut padangan
empiris dan kontrak sosial yang telah disepakati. Yang
banyak dipakai dewasa ini adalah kontrak sosial. Sebabnya
tentu kebanyakan sistem politik menposisikan negara
sebagai lembaga administrasi juga, sehingga pendekatan
aturan yang dibuat harus rasional dan juga empiris. Namun
walaupun demikian, bukan berarti tidak diperlukan,
beberapa negara tetap memakai idea tradisi sebagai hal yang
dipertimbangkan dalam membuat kontrak sosial. Bebrapa
negara melegalkan elemen budaya sebagai pertimbangan
hukum.
Kedua dasar pertimbangan prosedur ini, dalam
kajian hukum juga menjadi topik perdepatan dalam hal
pengembangan rules and prosedurs yang diideal. Bahkan
dalam sisi kadangan menjadi faktor anatagonisme politik
juga. Untuk menjembatani dua hal yang berbeda ini,
dalam upaya pengembangan integrasi, negara semestinya
mengambil kuasa. Akhirnya, hukum seharusnya ditentukan

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 149


oleh kekuasaan. Artinya tidak penting lahi mempersoalkan
dasar aturan sebuah negara. Yang terpenting, roles dan
prosedures kuat apabila telah disetujui oleh kekuasan nagara
atau pemerintah.2
Negara atau pemerintah melalui aturan dan
prosedurnya, akana dapat membatasi tindakan antagonisme,
utamanya yang mengandung lahirnya kekerasan politik.
Pada sisi antogonisme individual, yang demikian akan
dapat mengelola tindakan konflik kejahatan utamanya
dalam pelanggaran hak individu. Tentunya dalam hal
ini, berposisi sebagai peminimalisiran kejahatan. Prilaku
kejahatan atau pelanggaran terhadap hak akan dilarang
oleh kuasa negara. Sedangkan dalam antagonisme kolektif,
aturan dan prosedur akan dapat mengelolah perjuangan
kelas. Sehingga, hal-hal yang berkaitan dengan konflik
populisme dalam politik yang merusak akan dapat
dihentikan.
Peran ini sebagaimana dijelaskan di atas ini merupakan
supremasi dari adanya power pemerintah pada masyarakat.
Hal ini sebagimana dijelaskan oleh Augenstein. Dalam
pandangannya, pengaplikasian sumpremasi kuasa
pemerintah dalam mengembangkan integrasi sosial adalah
dengan meyusun hukum secara legas. Kuasa pemerintah
yang baik akan dapat menentukan hukum yang baik
bekerja.3
2
Duverger, Sociologia Politica. 231
3
Daniel Augenstein, ‘Integration through Law’ Revisited: The Making of the
European Polity (USA: Routledge, 2016). 2

150 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


Kedua, pengembagan organisasi kolektif (colective
organization). Hal mendasar yang melahirkan argumen
peran kedua ini adalah anggapan yang muncul dari mazhab
liberalism. Anggapan yang menyatakan bahwa keniscayaan
terbentuk sistem sosial adalah adanya pembatasan tindakan
sosial itu sendiri. Sebenarnya, kekuasaan negara dan
pemerintahan memainkan pola pengembangan tindakan
manusia yang mestinya dapat dibatasi dalam kehidupan
sosialnya. Negera dalam hal ini bukan terlibat dalam proses
pembatasan saja, namun juga serta mertas termasuk yang
menggerak organisasi kolektifnya.
Duverger dalam menjelasan basis fungsi pemerintah
yang satu ini, adalah dengan mennjelasakan arugumentasi
liberalisme dalam mengakui adanya peran pemerintah
dalam menjamin fasilitas umum. Dalam pandangannya
fasilitas umum seperti jalan raya, dan semacamnya perlu
dijamin fungsinya semata-mata untuk masyarakat. Namun,
yang demikian tidak perlu menjadi halangan bagi instasni
swasta dalam menjalankan usaha menggapai orientasi
mereka. Jadi sebenarnya, kuasa pemerintah dalam hal ini,
dilakukan pada sisi pengembangan fasilitas penjagaan peran
dan pembentukan orgnisasi kolektif masyarakat.4
Pemahaman ini mengembangkan nilai liberalisem
adalam melihat situasi masyarakat yang mesti bekelompok-
kelompok dan tentu juga membentuk sistem sosial.
Liberalism memahami manusia tidak dapat mutlak
4
Duverger, Sociologia Politica. 233

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 151


mandiri karena itulah ia membutuhkan interaksi sosial.
Namun bukan berarti adanya sistem sosial dapat mealienasi
keberadapa masing kepentingan personal. Kolektifitas
sistem sosial lahir secara alami. Begitupun pada keberadaan
negara, sistemnya lahir karena konsekuensi dari interaksi
manusia sendiri. Pada aspek ini, kuasa negara tidak
diharapkan menghanguskan kelompok sosial, akan tetapi
dapat menjadi pendorong tumbuhnya sistem sosial yang
dapat diikat secara kolektif. Peran kuasa dalam titik ini
melahirkan prinsip good governance.5
Ketiga, pendidikan dan propaganda. Terbentuknya
integrasi sebenarnya sebenarnya juga dipengaruhi oleh
hal-hal yang material, gagasan dan keyakinan kolektif.6
Faktor material dianggap kurang urgen apabila dilihat
dalam hubungannya dengan opini, feeling dan beliefs
masyarakat. Itu artinnya hal yang abstrak dari materi, seperti
ketiganya, dianggap lebih penting. Sebuah masyarakat di
mana ada distribusi barang dan properti yang adil akan
dapat dianggap tidak adil apabila masyarakat melihatnya
juga demikian. Dengan kata lain, anggpan dan keyakinan
masyarakat terhadap keadilan yang perlu dikonsepsikan
secara kolektif.
Hal-hal yang abstrak ini tentu dapat dikembangkan
dan dikelola dengan dua cara yakni pendidikan dan proses
5
Adam McCann, ‘Regressive Liberalism and Principles of Good Governance’,
European Journal of Comparative Law and Governance, 5.2 (2018), 115–18.
6
Material yang dimaksud seperi Hal materia (keadilan dalam distribusi barang,
kelimpahan ekonomi, pengembangan saling ketergantungan). Baca, Duverger,
Sociologia Politica. 235

152 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


propoganda. Keduanya akan secara masif mengendalikan
motif tindakan manusia. Sebab manusia selelu bertindakan
berdasar pada basis argumentasi, kepercayaan dan rasa.
Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Zeigler dan
Peak. Kedua pakar ini menelitik peran pendidikan bagi
dunia politik. Dalam hubungan dengan fungsi kuasa
pemerintah atau sosial, pendidikan dan proses propoganda
dapat membentuk rasionalitas nilai. Fungsi yang demikian
akan juga penting dalam mengatasi antagonisme dan
membentuk integrasi dalam kehidupan sosial masyarakat.7
Selain penjelasan tersebut, Duverger juga
menambahkan penjelasan yang berkaitan dasar pendidikan
sebagai instrumen power pengembangan integrasi politik.
Ia menyampaikan bahwa tindakan manusia dibentuk
dari proses rasional sejak ia lahir. Prosesnya mesti lewat
pendidikan yang tempuh. Dasar ini yang membuat kuasa
negara selalu tampil dalam hal pengembangan pendidikan
manusia. Walaupun tidak dapat dipastikan secara
keseluruhan. Namun semua negara mesti melakukan hal
tersebut.8
Memeng dalam layanan pendidikan di negara,
tingkatnya tidak sama. Namun sebenarnya, jika lebih
mendalam memahaminya, sistem negara yang totaliter
pun, dapat saja memakai elemen ini sebagai pengembangan
integrasi politik. Pasalanya, pendidikan dapat dimulai dari
7
Harmon Zeigler and Wayne Peak, ‘The Political Functions of the Educational
System’, Sociology of Education, 43.2 (1970), 115–142.
8
Duverger, Sociologia Politica. 236

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 153


institusi keluarga yang memiliki pengaruh yang cukup
besar pada perkembangan rasional anak. Selain daripada
itu, beberapa karib dan atau secara keselurah interaksi sosial
manusia dapat disebut sebagia osmosis proscess. Proses ini
dapat diarahkan oleh kuasa pemerintah.
Adapun dalam hal penjelasan terkait dengan
propaganda, sebenarnya juga diarahkan pada fungsi yang
sama dengan pendidikan. Propaganda pada umumnya
adalah proses pengembangan duplikasi dasar tindakan
pada masyarakat. Fungsinya sebagai cara memperkuat
kekuasan atau juga sebagai pengembagan gagasan terpadu.
Dalam point pembahasan ini, tentu yang dimaksud adalah
fungsinya sebagai penguatan gagasan dan tindakan integrasi
politik. Dengan kata lain, konsepsi yang dibangun adalah
berkaitan dengan duplikasi rasional dan tindakan integrasi
sebagai cara mengatasi antagonisme yang terjadi.
Keempat, mengatasi kendala sosial. Point terakhir ini
adalah cara terakhir penggunaan kekuasaan dalam mengatasi
masalah antagonisme politik. Kendala sosial merupakan
ketidakharomonisan kehidupan sosial masyarakat.
Pemerintah sebagai tim pelaksana kolektifitas negara, perlu
juga ikut campur dalam menjamin keharmonisan anaggota
masyarakatnya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan ada
dua yakni integrasi dengan menggunakan institusi keamaan
atau pelucutan senjata sipil. Kedua cara ini menjadi contoh
memperlemahkan potensi antagonisme kolektif maupun
pribadi masyarakat.

154 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


Elemen fungsi power pada point terakhir ini lebih
pada funsinya dalam perlemahan institusi konflik. Kuasa
pemerintah yang mengikat dapat menjadi instrumen
intervensi pada konflik yang terjadi. Tindakan pemerintah
yang demikian ini dilakukan dengan menggunakan cara-
cara yang memaksa secara legal. Dianggap legal, sebab
intervensi dilakukan didasarkan pada legalitas pemerintah
sebagai lembaga kolektif politik. Pemaksaan lebih sering
digunakan ketika antagonisme terjadi secara ekstrim dan
telah berada pada kondisi darurat.9
Kontektualisasi yang terjadi di masyarakat, salah satu
contohnya konflik antar aliran keagamaan seperti syi’ah-
sunni di Indonesia. Negara dalam masalah tersebut tidak
membela salah satu pihak. Konflik diselesaikan dengan
menurunkan institusi keamanan seperti TNI dan Polri.
Kondisi demikian dilakukan, sebab konflik yang terjadi
telah banyak memakan korban.
Selain dari itu, legalias pengguanan institusi keamanan,
sifatnya tidak dapat bertahan lama. Jadi proses hanya
dilakukan pada saat anatagonisme berada pada kondisi akut.
Dasar intervensi yang memaksa didasarkan pada anggapan
bahwa seluruh apa yang menjadi kebebasan manusia dalam
memenuhi kebutuhanya, selalu akan menjadi tantangan
atau bahkan ancaman pada terganggunya pencapaian
kebutuhan orang lain. Kondisi ini dapat menyebabkan
konflik sosial.
9
Duverger, Sociologia Politica. 238.

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 155


Pada perkembangannya manusia melakukan refleksi
pada realitas yang ia saksikan. Masing-masing individu
maupun kelompok saling bersitegang dan bertarung
dalam kontestasi politik. Akibatnya, Pada titik ini, dasar
pengembangan upaya pengembangan integrasi sosial secara
paksa. Kekerasan yang memaksa dalam penjelasan ini
tentu bertolak belakang dari permahaman bahwa bahwa
perubahan sosial akan selalu ada dan diisi oleh kepentingan
manusia yang saling berlawanan.
Kekerasan terhadap tindakan manusia oleh negara ada
yang menolak dan juga ada yang menerima. Yang menolak,
merupakan liberalisme murni. Argumen yang dibangun,
sebagaimana yang dijelaskan di atas. Negara merupakan
institusi sosial, perannya bukan hanya membentuk
kebudayaan secara alami. Kondisi antoginistik mendorong
negara untuk ikut andil namun tidak ikut juga membatasi
kehidupan sosial yang berlangsung secara konsekuen.
Ada juga yang menerima. Dalam hal ini adalah
konservatisme. Bagi konservatisme memiliki akar anggapan
bahwa kehidupan sosial berjalan secara hirarkis. Problem
sosial dalam pandangan teorinya, dianggap sebagai
kebutuhan kerja yang juga hirarkis. Oleh kerena itu,
hubungan kuasa dan pelayanan sosial, dilakukan oleh
struktural puncak. Seluruh sub struktural akan patuh.
Penjelasan ini melahirkan anggapan bahwa kekuasaan
negara akan dapat menjadi pengikat dan intrument
mengatasi masalah. Walaupun prosesnya tidak dilakukan

156 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


secara demokratis, namun kuasa negara pada paham
konservatisme berhak menjamin selesainya masalah-
masalah yang dihadapi masyarakat.

B. Pengembangan Konsepsi Praksis Normatif


Proses pengembagan integrasi politik, sebenarnya selalu
diupayakan oleh keberadaan struktur sosial masyarakat.
Secara alami, struktural sosial selalu memiliki dua sisi yang
berbeda. Pada saat legitimasi melemah dan tak menemukan
konsensus, antoginisme lahir. Sebaliknya, saat legitimasi
menguat, proses integrasi juga menguat. Dua sisi yang
berbeda ini terus terjadi dan melakat dalam peran kuasa
sebuah struktus sosial.
Integrasi dan antoginisme memang nyata merupakan
situasi politik yang selalu berlawanan. Namun dapat
saling beriringan. Artinya, kedua dapat tidak mudah
untuk dideferensi. Sederhananya begini, pemerintah
atau kekuasaan politik, selalu akan fokus upaya integrasi
masyarakat. Upaya tentu guna menetapkan aturan
pertempuran dan mendefinisikan ruang lingkupnya, yang
demikian sebagaimana dijelaskan terkiat dengan peran
pemerintah sebagai pembuatan rules and prosesdures. Pada
kondisi yang sama pemerintah sebenarnya memperjuangkan
kelas elit. Dengan kata lain, antagonisme terjadi antara
pemerintah dan yang diperintah. Antogonisme ini akan
selesai, setelah ditemukan konsensus.

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 157


Jadi dari pola yang dijelaskan, antagonisme dan
integarasi dijalankan bersama dan dalam waktu yang sama.
Perjuangan dalam suatu rezim secara simultan merupakan
bentuk antagonis dan juga bisa dilihat sebagai integrasi.
Yang demikian kerena perannya dalam integrasi kesepakatan
masyarakat dan juga ada antagonistis posisinya sebagai elit.
Jadi satu sisi, pemerintah memiliki peran pemersatu dan
juga berupa memperjuangkan kelasnya sendiri.
Duverger memberikan penjelasan terkait dengan
dualitas yang ambigu ini. Baginya setiap ideologi gerakan
sosial dan politik satu sisi mengarah pada integrasi dan sisi
lain juga antagonis. Pada dasar antagonisme cenderung ke
arah penghapusan perjuangan dengan dalih membentuk
sistem sosial yang baik. Hal demikian ini dapat dibuktikan
dengan adanya perubahan perjuangan kelas politik saat pra
dan pasca berkuasa. Misal, sebuah partai yang memerintah
akan menjadikan kekuasaan sebagai terget perjuangan
kelas sosialnya. Namun ketika berkuasa, kekuasaan akan
ia jadikan sebagai jalan megintegrasikan masyarakat. Hal
demikian ini, merupakan idea yang tak dapat terbantahkan.
Duverger bahkan menjelaskan di budaya politik barat, tidak
mempercayai tesa ini dimungkinkan kalangan antisosial.10
Untuk itulah, dalam rangka mengembangkan normati
praksi integrasi politik, perlu memahami terlebih dahulu
dasar konsepsinya. Baru selanjutnya, mengkonsepsikanya
sebagai diskursus konsep politik. Dengan cara ini, baru
10
Duverger, Sociologia Politica. 219

158 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


akan dapat pahami posisi integrasi politik sebagai sebuah
pengembangan akhir dari gerakan politik.
Integrasi dapat diartikan sebagai pengokohan element
interindependensi sistem sosial. Jadi prosesnya, mengikat
seluruh komponen masyarakat guna pencapain harmionis
kehidupan sosial masyarakat. Istilah lain dari kata harmonis,
lumrahnya dikenal sebagai masyarakat yang teroragnisir.
Sebagai sebuah gerakan politik integrasi merupakan
resolusi konflik politik. Atau dalam arti lain, menguburkan
semangat anataginisme politik. Puncak orientasi integrasi
adalah sistem sosial tanpa konflik. Jadi melalui integrasi
konflik akan terhapus dan muncul solidaritas sosial.
Latar belakang lahirnya konsepsi integrasi politik,
oleh Ilievski anggap berhubungan dengan beberapa hal.
Beberapa hal tersebut tentu merupakan asalan integrasi
politik dilakukan. Ada empat yag disebutkannya, yakni
pertama, membentuk integrasi kerangka hukum terpadu.
Dalam hal ini integrasi lahir sebagai bentuk dari upaya
kekuasaan dalam membatasi tindakan sosial masyarakat.
Kedua, membentuk institusi publik. Salah satu syarat
pembentuk institusi adalah memadukan asumsi publik.
Ketiga, pengembangan pusat pembuat keputusan.
Keputusan yang dimaksud merupakan sintesa dari terjadi
perbedaan pendapat. Integrasi dalam hal ini diupayaka
sebegai proses penyatuan pendapat. Keempat, proyeksi
identitas. Yang terakhir ini amat penting dalam isntitusi
sosial. Syarat utama identitas sosial terbentu adalah dengan

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 159


memadukan persepsi publik terhadap identitas itu sendiri.11
Secara teoretis, sebanarya dasarnya adalah penemuan
konsep teori kontrak sosial. Kosepsi yang dibangun berawal
dari induvidu memiliki kepentingan berbeda, yang secara
alami menyepakati untuk hidup bersama. Kesepakatan
untuk hidup bersama ini yang disebut sebagai kontrak
sosial.
Beberapa pengagas teori kontrak sosial di antaranya
adalah Hobbes, Lock dan Rousseau. Ketigannya merupaka
pakar sosiologi yang fokus pada konsepsi mendasar
tentunya lahir sistem sosial. Hubbes menawarkan gagasan
kontrak sosial berdasarkan kondisi perubahan yang alami.
Sistem sosial menurutnya terbentuk dari beberapa tahapan.
Walanya kondisi manusia hidup dengan alam dan dengan
dirinya sendiri. Di titik ini manusia hidup penuh ego.
Cenderung destruktif dan tidak teratur, kondisi demikian
dapat disebut sebagai kondisi anatogistik. Pada kondisi,
untuk tercipatanya kondisi yang baik, proses integrasi
individu mulai terbangun. Saat itulah kontrak sosial
terjadi.12
John Locke menambahkan bahwa kontrak sosial
bukan hanya sebagai pengikat. Namun lebih pada
perlindungan terhadap masing-masing individu yang
11
N. Ilievski, ‘The Concept of Political Integration: The Perspectives of
Neofunctionalist Theory’, Journal of Liberty and International Affairs, Vol 1
No 1 (2015). 15
12
Thomas Hobbes, Leviathan: Or The Matter, Forme, & Power of a Common-
Wealth Ecclesiasticall and Civill, ed. by Ian Shapiro, Reprint edition (New
Haven Conn.: Yale University Press, 2010). Chapter XIII-XXIII

160 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


sedang bertikai. Pada sisi ini pemerintah dianggap sebagai
legalitas pada kebebasan dan juga kepemilikan.13 Rousseau,
juga menambahkan bahwa kontrak sosial adalah konsensus
sosial dan kepentingan. Fungsinya adalah untuk orientasi
kesejahteraan bersama.14
Gagasan beberapa pakar di atas, sebagai sebuah sistem
negara dikembangkan juga oleh Kant. Ia mengemukakan
padangan rasional sebuah kotrak sosial yang lahir dari sub
individu. Menurunya negara sebagai bentuk yang paling
holistik daru sub kelompok masyarakat di beberapa daerah
bagian. Hampir senada dengan apa yang digagas oleh
Rousseau. Ia menjelaskan integrasi sub pemerintah daerah
memiki target terbentuk keamanan, aturan kepemilikan,
kemerdekaan dan kesejahateraan bersama.15
Berdasar pada ide di atas, dasar konsepsi praksis
normatif disusun. Banyak gagasan dari para tokoh terkait
hal demikian. Penulis akan menjabarkan dua konsep
yang pernah digagas oleh beberapa pakar, yakni konsep
yang digagas oleh Duverger dan Ilievski. Yang klasik
tentu adalah Duverger. Ia membicarakan konsep integrasi
yang ditujukan guna mengelolah antogonisme dengan
beperkenalkan fungsinya bagi kompleksitas kehidupan
politik.

13
John Locke, A Letter Concerning Toleration (USA: Merchant Books, 2011). 230
14
Jean-Jacques Rousseau and Garnier Flammarion, Du Contrat Social (Paris:
French and European Publications Inc, 1976). 47-53
15
Immanuel Kant, Perpetual Peace A Philosophical Essay 1917 (USA: Generic,
2016). 53

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 161


Ada tiga hal didapat dilakukan dalam mengupayakan
integrasi politik. Tiga hal ini selain bukan haya dianggap
menyelesaikan persoalan anatogonisme, namun
mengelolanya agar sesuai membentuk kontrak sosial yang
paling baik. Artinya, tiga hal fungsi yang disusunnya
didasarkan pada anggapan antagonisme sebagai sebuah
keniscayaan. Kadang bermanafaat adaya dan kadangan
menyebebkan destruksi sosial. Tidak mengherankan, jika
ketiga hal dikatakan sebagai fungsi fitur integrasi politik
yang disusunya, sepentintas mengakhiri anatagonisme.
Sepintas juga merupakan holistikasi semangat antagonisme
itu sendiri. Untuk lebih rincinya, satu persatu akan penulis
gambaran sebagaimana di bawah ini;

Gambar 8.2 Duverger’s Integration Feature

Gambar di atas menjelaskan tiga hal yang paling


mendasar dari model integrasi yang diperkenal Duverger.
Pertama, limiting the conflict. Tahap pertama ini dilakukan
dengan proses elimanasi dan membatasi kekerasan yang
ada. Tentunya dalam hal ini, kekerasan yang timbul
akibat perjuangan kelas. Baik antagonisme induvidu,
atau pun kolektif selelu akan menghasilkan destruksi
sosial. Antagonisme individu akan merusakan pada

162 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


proses pengembangan sistem nilai dan budaya, begitupun
antagonisme kolektif, akan menyebabkan destruksi sistem
politik yang lebih luas.
Kedua, the establishment of compromises. Proses kedua
ini merupakan langlah lanjutan setelah kekerasan selesai
dibatas dan dieliminasi. Lemahnya semangat perjuangan
merupakan kesempatan untuk melakukan kompromi.
Beberapa langkah kompromi ada dua yakni negosiasi dan
arbitrase. Negoisiasi mencari titik tengah kepentingan yag
berbeda. Sedangkan arbitrase mencari pihak ketiga sebagai
pihak berwenang dalam menciptakan perdamain kelas yang
mengalami antagonistik.
Ketiga, the development of solidarities. Solidaritas yang
dimaksud adalah hal yang berhubungan dengan kolektif
sosial dan psikologi indvidu masyarakat. Dalam solidaritas
kolektif, artinya yang pengembangan satu orientasi tindakan
publik bersama. Sedangkan sisi psikologinya, adalah segala
yang berhubungan kesepahaman persepsi atau ketertarikan
terhadap sesuatu.16
Ketiga hal yang merupakan fitur konsep integrasi politik
Duverger merupakan gagasan awal dari perkembangan
sosiologi politik. Pakar lain setelahnya mengambangkannya
dengan menyesuaikan pada realitas masalah yeng
terus berkembang. Namun perkembangannya tidak
menghilangkan dasar-dasar yang substantif. Ilievski salah
satunya, ia merekontruksi gagasannya dengan berdasarkan
16
Duverger, Sociologia Politica. 220-230

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 163


relitas yang terjadi. Namun tanpa menghilangkan adanya
anggapan bahwa semua tahapan terdiri limiting conflitc,
compromises, dan solidarity sebenarnya berorientasi pada
common goals (tujuan umum). Asumsi ia dasarkan pada
ide Kant terkait dengan integrasi global. Reves menjelaskan
konsep tersebut teori federasi global.

Gambar 8.3 Ilievski’s Integration Feature

Dalam padangan Ilievski, ada empat tahap analisis


integrasi. Puncaknya adalah common goals. Variannya
yakni berkaitan dengan keamanan, perdamian, konsensus
kepemilikan, dan kesejahteraan bersama. Untuk mencari
beberapa varian tersebut, hal pertama yang dilakukan
adalah menganalisa sensitivitas politik individu dan global.
Hal demikian ini demi memperkuat political community.

164 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


Setelah langkah ini selesai, baru melakukan pembatasan
pada kebebasan diri manusia, sekaligus melakukan
pembatasan pada kedaulatan negara. Hal ini dilakukan
sebagai law frame. Pada tahap ini, yang dianalisa adalah
kemampuan proses integrasi pada pembatasan kebabasan
dan intervensi kuasa negara.
Terakhir, proses analisis dilakukan pada kekuatan
kelembagaan dan tentu juga model pengambilan
keputasannya. Integrasi pada tahap terakhir ini sudah
dilakukan pada bentuk formal dari integrasi yang ada. Pada
tahap ini, integrasi telah menjadi strategi dan bahakan telah
berbentuk praksis gerakan politik.17
Beberapa langkah yang disebutkan di atas ini yang
ditetapkan sebagai fitur analisis indikator integrasi. Hal
yang paling pokok dari tahapan di atas tersebut, sebenarnya
ada pada dua hal yakni analisis pada political sense baik
global dan individual. Keduanya pada perkembangannya
dijadikan klasifikasi mendasar bentuk-bentuk integrasi.
Beberapa klasifikasi yang dimaksud di antaranya, klasifikasi
berdasarkan sector dan geografis.
Klasifikasi yang berdasarkan sector adalah integrasi
yang dilakukan berdasar pada sektor proses pemenuhan
kebutuhan manusia. Hal yang masuk dalam sektor ini,
misalnya integrasi ekonomi dan integrasi politik. Integrasi
pada sektor sebenarnya merupakan integrasi sense politik.
Sedangkan sektor geografi, merupakan proses integrasi
17
Ilievski. 3-4.

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 165


yang dilakan berdasar pada spasial wilayah. Beberapa di
antaranya misalnya integrasi global dan regional. Yang
demikian ini sebenarnya merupakan intergasi kolektif atau
global sebagaimana penjelasan Ilievski.

166 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


BAB IX
PENUTUP

Berbagai penjelasan di atas merupakan upaya


pengembangan praksis nomatif sosiologi politik. Pada
bab penutup ini penulis akan menjelaskan inti beberapa
yang telah disajikan dari awal. Tentunya diakhir, beberapa
penjelasan tersebut akan dijadikan dasar penyusunan saran dan
rekomendasi yang berguna bagi pengembang-pengembangan
diskursus sosiologi politik baik secara konsepsional maupun
praksis.

A. Kesimpulan
Ada beberapa sub bahasan yang sebenarnya merupakan
bagian penjabaran yang tak bisa dipisah-pisahkan. Mulai
dari bab 1 hingg bab VII penulis menjabarkan sub demi
sub dalam satu penjelasan yang saling berkaitan. Pertama,
penulis terlebih dahulu merinci beberapa persoalan
mendasar sosiologi politik. Dalam hal ini penulis berusaha
meenggambarkan secara utuh konsepsi teoreti dana upaya
pengembangan conseptual framework sosiologi politik.
Inti dari pembahasan awal ini mengupayakan pencarian
pertemuan antara dua konsepsi ilmu yakni berbeda yakni

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 167


ilmu politik dan sosiologi. Inti dari pemaduan keilmuan
ini secara mendasar ini berbicara dua hal yakni bagaimana
mencapai dan mengelolah kekuasaan?, Yang demikian,
menjadi fokus kajian beberapa pakar. Sehingga dalam
hemat, penulis pengembangan praksis normatif politik
selalu dibangun atas pertanya penting tersebut. Salah
contohnya, misalnya Smith mengembangkannya sebagai
dasar argumentasi terkait dengan valueble fetures pemimpi
yang melipuit modernis, humanis, multi perspektif dan
kemampuan membaca isu.
Kedua, berkaitan dengan ruang kerja pengembangan
sosiologi politik. Signifikansi dari pembahasanya masih
memperjelas pertanyaan fundamental tentang kekuasaan
dalam kehidupan sosial. Ada dua ruang lingkup konseptual
politik kekuasan yang hingga dewasa ini dikembangkan,
baik sebagai konseptual teoretis maupun praksis. Keduanya
adalah ruang struktur fisik dan kolektif atau komunal.
Dalam ruang fisik kekuasan dikonsep-prkasikan berdasar
pada struktur fisik seperti demografis dan geografis.
Sedangkan dalam ruang kolektif, terjadi pada pertemuan
antar kelompok masyarakat.
Ketiga, pembahasan koseptual praksis normatif tentang
sosialisasi. Ini juga berkesinambungan pada pembahasan
holisitik lainnya. Sosilisasi tentu juga berdasar pada
pertanyaan fundamental awal. Penulis menghubungkan
sosialisasi sebagai cara merawat dan mencapai kekuasaan.
Ada tiga bagian pola sosialisasi disesuaikan dengan kondisi

168 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


politik sosial masyarakat yakni sosialisasi pada masyarakat
totaliter, primitif dan prismatik. Pada masyarakat totaliter,
proses sosialisasi dilakukan dengan barbasiskan pada
orientasi berkomunal atau bernegara. Pada masyarakat
primitif, sosialitas lebih didasarkan pada value atau
persepsi moral. Sedangkan pada masyarakat prismatik,
perlu mempertimbangkan pertentangan sistem modern
dan tradisional, urbanisasi, perbedaan nilai dan peradigma
sosial.
Keempat, berkaitan dengan partisipasi politik.
Partisipasi salah satu dapak dari suksesnya sosilisasi
secara praksis. Jadi masih berkaitan dengan penjelasan
sebelumnya. Secara praksis normatif, konsepsi partisipasi
secara mendasar berasal dari teori rasional action. Jadi
pengembangannya juga perlu mempertimbangkan diskusi
tentang motif. Dari diskursus motif tersebut, model
partisipasi politik beserta indikatornya dapat dirumuskan.
Seluruh pakar mengembangkan gagasannya mendasarkan
pada pencarian motif dan kepentingan manusia dalam
berpolitik.
Kelima, rekrutemen politik. Sebenarnya pembahasan
ini lebih pada dasar langkah normatif praksis yang dapat
dijalankan guna pemenuhan tindakan politik. Terntunya
masih ada kaitanya dengan proses peningkatan partisipasi,
namun lebih fokus pada bagaimana pemenuhan kerja
komunal struktural sosial masyarakat dipenuhi. Pada
penjelasan bab ini penulis membagi pola besar model

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 169


rekrutmen poltik menjadi dua bagian, yakni terbuka dan
tertutup. Pemilihan model keduanya juga disesuaikan
dengan jenis orientasi rekrutmen yang dilakukan.
Keenam. komunikasi politik. Sacara mendasar dalam
praktiknya sebenarnya banyak yang mengaitkan konsepsi
komunikasi dengan sosialisasi politik. Komunikasi juga
berorinetasi pada peningkatan partisipasi politik, Namun
jika ditinjauh lebih jauh, dalam praksis-normatifnya,
berbeda. Komunikasi tidak mesti berhubungan dengan
upaya penguatan nilai secara sabjektif kepentingan politik.
Komunikasi politik juga berkaitan dengan upaya-upaya
pengembangan strategi dan tindakan dalam hal saling
memahami antar individu maupun kelompok masyarakat.
Ketujuh, penjelasan tentang antagonisme politik.
Pembahasan ini berbicara keniscayaan konflik dalam
interkasi sosial, baik individual maupun komunal. Konsepsi
antagonisme merupakan tahapan-tahapan kehidupan sosial
politik. Ada dua pola antagonisme yang mesti terjadi
yakni antagonisme individual dan kolektif. Antagonisme
individual berbicara tentang persepsi dan psikologi manusia.
Sedangan anatagonisme kolektif berbicara perjuangan
komunal seperti gender dan kelas.
Kedelapan, pembasahan tentang integrasi. Sebagaimana
antagonisme, integrasi politik juga merupakan keniscayaan.
Konflik sebagai sebuah keniscayaan dari perbedaan-
perbedaan persepsi dan nilai, baik anatar individu maupun
komunal. Namun dalam politik misi pelestarian kekuasaan

170 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


menimbulkan kosekuensi pada adanya upaya integrasi
yang dilakukan guna merekatkan hubungan politik dalam
sebuah komunal masyarakat.
Konlusi penjelasan-penjelasan diberbagai bab yang
telah disusun sebelumnya secara garis besar merupakan
susunan kosepsis holistik sosiologi politik. Khusunya dalam
pengembangan praksi normatifnya. Mulai dari penjelasan
terkaita dengan konsepsi dasar hingga antagonisme dan
integrasi politik saling berhubungan. Secara keseluruhan,
melalui semua pembahasan yang ada, penulis ingin
menekankan bahwa pengembangan praksis normatif
sosilogi politik harus didasarkan pada pemahaman tentang
konsep dasar politik dan sosial beserta seluruh perubahan
dan realitas yang terjadi.

B. Saran dan Rekomendasi


Seluruh penjelasan terkait pengembangan sosiologi
politi yang telah dikelaskan, tentu merupakan hal yang
dapat menjadi dasar pengembangan lanjutan. Baik sifatnya
konseptual teoretis maupun praksis, beberapa penjelasan
tentu sangat penting untuk dipahami secara komprahensif.
Penulis menyusun bebereapa hal yang bentuknya dapat
dianggap sebagai. rekomensasi dan saran untuk studi
lanjutan dan pengembangannya. Adapun yang demikian
adalah sebagaimana berikut;
1. Keterbatasan penjelasan dan rekomendasi pengem­
bangan lanjutan bagi pakar teoretis sosilogi politik

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 171


Seluruh penjelasan yang dikemukan merupakan
gagasan dari para pakar sosiologi politik, biak yang
tradisional maupun modern. Namun penulis mengakui
bahwa seluruh penjelasan masih memiliki kelemahan
yang lebar. Salahnya satunya, ide-ide yang telah disusun
hanya didasarkan pada studi literatur. Jadi tidak kaya
dalam dalam perspektif kontektual teoretis. Karena
kesadaran demikian, penulis berharap\ sekali beberapa
sosiolog politik terus melanjutkan kajian dalam buku
ini, tentu utamanya mendapatangkan sudut pandang
kontekstual sesuai dengan perkembangan perubahan
sosial yang terjadi.
Kajian-kajian kontekstualisas yang demikian,
dapat dilakuka dengan mengupayakan pertemuan
beberapa penjelasan dalam buku ini melalui reseach
sosiologi politik. Analisis yang dilakukan pada proses
tersebut, akan memberikan padangan baik berupa
tesa pegembangan lanjutan atau anti tesa yang dapat
mengurukan penjelasan dalam buku ini.
2. Transformasi pemahaman politik
Seluruh konsepsi normatif praksi yang dibangun
dalam tata koseptual penjelasan penulis tentu dapat
dikembangkan menjadi basis pemahaman, tindakan
bahkan strategi politik. Sebagaimana yang dijelaskan
di awal bahwa yang secara mendasar membedakan
ilmu politik murni dengan sosiologi politik adalah
fokus pemahaman kajiannya. Dengan ilmu sosiologi,

172 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


ilmu politik dapat dipandangan sebagia kajian yang
menhadirkan manusia dengan kehidupan sosialnya.
Faktor pemahaman demikian itulah yang
sebenarnya merupakan akar urgensi keilmuan sosiologi
politik. Dengan menghadirkan sudut pandangan
kontruksi teoretis kehidupan sosial dalam politik.
Praksis pengembangan politik dapat lebih komprahensif
agar bersusuai dengan perubahan sosial yang terjadi.
3. Rekomensasi pemahaman pada praktisi politik
Rekomendasinya selenjutnya adalah bagi para
politisi. Hal menarik yang penting untuk menjadi
kajian politisi dalam buku ini adalah adanya upaya
pengembangan praksis normatif yang disusun oleh
beberapa pakar. Beberapa di antaranya yang berkaitan
dengan sosialisasi, komunikasi, pertisipasi, hingga
konsepsi praksis integrasi politik.
Seluruh penjelasan di atas dapat digunakan sebagai
dasar dalam melakukan strategi politik, baik yang
urusanya dengan pelanggengan maupun pencapaian
kekuasaan. Dalam pencapaian kekuasaan, salah
contohnnya dapat menyertakan dasar sosilisasi dan
komunikasi dalam meningkatan partisipasi politik
masyarakat. Begitupun dalam upaya melanggengkan
kekuasan. Analisis pada perbedaan nilai, budaya tentu
dapat dipakai sebagai dasar intrumen strateginya.
Sebagaimana semua tahua bahwa jika sense politik
baik indivudu maupuan global banyak pertentangan

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 173


anatonismen, tentu rawan terjadi. Analisis yang
diperkenalkan beberapa pakar dapat menjadi salah satu
cara untuk menyelesaikan masalah antagonistik yang
terjadi.

174 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


DAFTAR PUSTAKA

Abrams, Robert, Foundations of Political Analysis: An


Introduction to the Theory of Collective Choice (New York:
Columbia Univ Pr, 1980)
Aim, Abdulkarim, Pendidikan Kewarganegaraan (Bandung:
Rajagrafindo, 2008)
Ardial, Komunikasi Politik (Jakarta: Indeks, 2009)
Augenstein, Daniel, ‘Integration through Law’ Revisited: The
Making of the European Polity (USA: Routledge, 2016)
Berger, Peter L., The Sacred Canopy: Elements of a Sociological
Theory of Religion (New York: PKB, 1996)
Bolgherini, Silvia, and Selena Grimaldi, ‘The May Regional
Elections: Consolidation of the Tripolar System’, Italian
Politics, 31.1 (2016), 80–98
Bourdieu, Jean-Claude Passeron Pierre, La Reproduccion
(Spanyol: Fontamara, 2013)
Brady, Henry E., Sidney Verba, and Kay Lehman Schlozman,
‘Beyond Ses: A Resource Model of Political Participation’,
The American Political Science Review, 89.2 (1995), 271–
94

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 175


Braungart, Richard, Das Moderne Deutsche Gebrauchs Exlibris
(Wiesbaden: t_tp, 1981)
Brinkerhoff, David B., and Lynn K. White, Essentials of
Sociology (San Fransisco: Publishing Company, 1989)
Caporaso, James A., and David P. Levine, Teori-Teori Ekonomi
Politik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015)
Charles, Tilly, As Sociology Meets History (USA: Academic
Press, 1981)
Chirot, Daniel, Fred Block, Gary G. Hamilton, Dietrich
Rueschemeyer, and Charles Ragin, Vision and Method
in Historical Sociology, ed. by Theda Skocpol, Illustrated
edition (Cambridge Cambridgeshire ; New York:
Cambridge University Press, 1984)
Connolly, Williem E., The Bias of Pluralism (New York:
Atherton Press, 1969)
Conquest, Robert, Reflections on a Ravaged Century, Reprint
edition (New York: W. W. Norton & Company, 2001)
Conway, M. Margaret, ‘Women and Political Participation’,
PS: Political Science & Politics, 34.2 (2001), 231–33
Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan (Jakarta: Kencana,
2015)
Déloye, Yves, Sociologie Historique Du Politique, LA
DECOUVERTE edition (Paris: LA DECOUVERTE,
2007)
Denton, Robert E., and Gary C. Woodward, Political
Communication in America, Praeger Series in Political

176 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


Communication, 2nd ed (New York: Praeger, 1990)
Devenney, Mark, ‘La Política Del Antagonismo’, Debates y
Combates, 2015
Dobratz, Betty A., Lisa K. Waldner, and Timothy Buzzell,
Power, Politics, and Society: An Introduction to Political
Sociology, 2nd edition (New York: Routledge, 2019)
Duverger, Maurice, Sociologia Politica (Barcelona: Ariel., 1968)
———, The Study of Politics. Translated by Robert Wagoner.
Nelson. 1978. (London: Sunbury-on-Thames, Thomas
Nelson and Sons Ltd. 1978., 1978)
Eko, S., Voice, Acces Dan Control (Yogyakarta: AMD Press,
2004)
Elias, Norbert, The Society of Individuals, Reissue edition (US:
Continuum, 2001)
Ellul, Jacques, La Technique, Ou, L’enjeu Du Siècle (Paris:
Economica, 1990)
Elshtain, Jean Bethke, Public Man, Private Woman (USA:
Princeton University Press, 1993)
Eysenck, Hans, The Psychology of Politics (New Brunswick,
N.J., U.S.A: Routledge, 1998)
Feldman, Arnold S., and Charles Tilly, ‘The Interaction of
Social and Physical Space’, American Sociological Review,
25.6 (1960), 877–84
Fitria Dewi, Susi, Sosiologi Politik (Magelang: Gre Publishing,
2017)

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 177


Fitriyah, ‘Partai Politik, Rekrutmen Politik Dan Pembentukan
Dinasti Politik Pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)’,
Politika: Jurnal Ilmu Politik, 11 (2020), 1–17
Ford, Lynne, Perempuan Dan Politik: The Pursuit of Equality,
4th edition (Boulder, CO: Routledge, 2017)
Franklin, Bob, and David Murphy, What News? The Market,
Politics, and the Local Press, Communication and Society
(London ; New York: Routledge, 1991)
Freud, Sigmund, The Best of Sigmund Freud, North-American
edition (USA: Wordsworth Editions, 2016)
Gatara, Sahid, Sosiologi Politik : Konsep Dan Dinamika
Perkembangan Kajian (Bandung: Pustaka Setia, 2018)
German, Daniel B., ‘Political Socialization Defined: Setting
the Context’, in Political Socialization Defined: Setting the
Context (Jerman: Franfurt Am Main, 2014)
Grant, J. Tobin, and Thomas J. Rudolph, ‘To Give or Not to
Give: Modeling Individuals’ Contribution Decisions’,
Political Behavior, 24.1 (2002), 31–54
Grebelsky-Lichtman, Tsfira, and Liron Bdolach, Political
Communication Framework for Female Politicians
(Jarusalem: The Hebrew University, 2017), xxiii
Greef, Guillaume De, Le Transformisme Social: Essai Sur Le
Progrès Et Le Regrès Des Sociétés (Nabu Press, 2010)
Groshek, Jacob, ‘The Internet and Political Protest in
Autocracies’, Journal of Information Technology & Politics,
18.4 (2021), 466–67

178 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


Hekim, Hakan, ‘Ideological Homophily or Political Interest:
Factors Affecting Twitter Friendship Network between
Politicians’, Journal of Information Technology & Politics,
18.4 (2021), 371–86
Heryanto, Gun Gun, Problematika Komunikasi Politik
(IRCiSoD, 2018)
Hobbes, Thomas, Leviathan: Or The Matter, Forme, & Power
of a Common-Wealth Ecclesiasticall and Civill, ed. by
Ian Shapiro, Reprint edition (New Haven Conn.: Yale
University Press, 2010)
Horton, Paul B., and Chester L. Hunt;, Sosiologi Jilid 1,
Ed.ke-6 (Jakarta: Erlangga, 1999)
Hume, David, A Treatise of Human Nature (USA: CreateSpace
Independent Publishing Platform, 2011)
Ilievski, N., ‘The Concept of Political Integration: The
Perspectives of Neofunctionalist Theory’, Journal of
Liberty and International Affairs, Vol 1 No 1 (2015)
Ishomuddin, Perubahan Orientasi Budaya Dan Integrasi
Masyarakat Prismatik  : (Kajian Pada Warga
Muhammadiyah Dan Nahdlatul Ulama Di Kabupaten
Lamongan) (Surabaya: Universitas Negeri Surabaya,
2007)
Janoski, Thomas, Cedric de Leon, Joya Misra, and Isaac
William Martin, eds., The New Handbook of Political
Sociology (Cambridge, United Kingdom ; New York, NY:
Cambridge University Press, 2020)

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 179


Javadi, Farnaz, and Hossein Noormohamadzad, ‘The
Comparison between the Identity Structure of the
Society and the Physical Structure of the City’, Journal
of Architecture and Urbanism, 41.1 (2017), 34–45
Jr, William H. Sewell, Logics of History: Social Theory and Social
Transformation, Illustrated edition (Chicago: University
of Chicago Press, 2005)
Kaid, Lynda Lee, ed., Handbook of Political Communication
Research, 1st edition (Mahwah, N.J: Routledge, 2004)
Kalberg, Stephen, Max Weber’s Comparative-Historical
Sociology Today: Major Themes, Mode of Causal Analysis,
and Applications, 1st edition (Farnham ; Burlington, VT:
Routledge, 2012)
Kant, Immanuel, Perpetual Peace A Philosophical Essay 1917
(USA: Generic, 2016)
Kershaw, Ian, The Nazi Dictatorship: Problems and Perspectives
of Interpretation (New York: Bloomsbury Publishing,
2015)
Khaldûn, Ibn, and Bruce B. Lawrence, The Muqaddimah: An
Introduction to History - Abridged Edition, ed. by N. J.
Dawood, trans. by Franz Rosenthal, Abridged edition
(Princeton, NJ: Princeton University Press, 2015)
Laclau, Ernesto, ‘Argentina--Imperialist Strategy and the May
Crisis’, New Left Review, I/62, 1970, 3–21
———, Politics and Ideology in Marxist Theory: Capitalism,
Fascism, Populism (USA: Verso Books, 2012)

180 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


Laclau, Ernesto, and Chantal Mouffe, Hegemony and Socialist
Strategy: Towards a Radical Democratic Politics, 2nd
edition (London ; New York: Verso, 2001)
Lilleker, Darren G., Konsep Utama Dalam Komunikasi Politik,
1st edition (London ; Thousand Oaks, Calif: SAGE
Publications Ltd, 2006)
Linton, Ralph, The Study of Man: An Introduction (USA: D.
Appleton-Century Company, incorporated, 1936)
Linz, Juan J., and Alfred Stepan, Problems of Democratic
Transition and Consolidation: Southern Europe, South
America, and Post-Communist Europe (Baltimore: Johns
Hopkins University Press, 1996)
Locke, John, A Letter Concerning Toleration (USA: Merchant
Books, 2011)
Lumanauw, Fenny, ‘Rekrutmen Perempuan Dalam Partai
Politik’, JURNAL POLITICO, 3.1 (2014)
Mackel, Katharine A., ‘Fascism: A Political Ideology of the
Past’, Inquiries Journal, 2.11 (2010)
Marx, Karl, A History of Economic Theories, 1st edition (Los
Angles: Langland Press, 1952)
Matland, Richard, ‘Enhancing Women’s Political Participation:
Legislative Recruitment and Electoral Systems’, Women
in Parliament: Beyond Numbers, 2002
Mauss, Marcel, The Nature of Sociology (USA: Berghahn Books,
Incorporated, 2005)
McCann, Adam, ‘Regressive Liberalism and Principles of Good

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 181


Governance’, European Journal of Comparative Law and
Governance, 5.2 (2018), 115–18
McNair, Brian, An Introduction to Political Communication,
5th edition (London ; New York: Routledge, 2011)
Montesquieu, Charles Lois, The Spirit of Laws, Revised edition
(Amherst, N.Y: Prometheus, 2002), XVIII
Mufti, Muslim, Teori-Teori Demokrasi, ed. by Beni Ahmad
Saebani (Bandung / west java: CV. Pustaka Setia, 2013), i
Nimrah, Siti, and Sakaria Sakaria, ‘Perempuan Dan Budaya
Patriarki Dalam Politik: Studi Kasus Kegagalan Caleg
Perempuan Dalam Pemilu Legislatif 2014’, The
POLITICS : Jurnal Magister Ilmu Politik Universitas
Hasanuddin, 2015, 173–81
Norris, Pippa, and Joni Lovenduski, Political Recruitment:
Gender, Race and Class in the British Parliament
(Cambridge University Press, 1995)
Oppenheimer, Daniel M., and Christopher Y. Olivola, eds.,
The Science of Giving: Experimental Approaches to the
Study of Charity, 1st edition (New York, NY: Psychology
Press, 2010)
Outhwaite, William, and Stephen P. Turner, eds., The
SAGE Handbook of Political Sociology, 2v, First edition
(Thousand Oaks, CA: SAGE Publications Ltd, 2018)
Pakulski, Jan, and B. Tranter, The Decline of Political Leadership
in Australia?, Original Text: Changing Recruitment and
Careers of Federal Politicians (US: Palgrave Macmillan,
2015)

182 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


Pareto, Vilfredo, The Rise and Fall of Elites: Application of
Theoretical Sociology, 1st edition (New Brunswick, N.J.,
U.S.A: Routledge, 1991)
Popper, Karl R., The Logic of Scientific Discovery (USA: Martino
Fine Books, 2014)
Preston, Paul, The Spanish Civil War: Reaction, Revolution,
and Revenge (Revised and Expanded Edition) (US: W. W.
Norton & Company, 2007)
Putra, Fadillah, Partai Politik Dan Kebijakan Publik : Analisis
Terhadap Kongruensi Janji Politik Partai Dengan Realisasi
Produk Kebijakan Publik Di Indonesia 1999-2003
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003)
Randall, Vicky, Women and Politics (USA: Macmillan
International Higher Education, 1987)
Ranjabar, Jacobus, Pengantar Ilmu Politik: Dari Ilmu Politik
Sampai Politik Di Era Globalisasi (Bandung: Alfabeta,
2016)
Reisch, George A., How the Cold War Transformed Philosophy
of Science: To the Icy Slopes of Logic (USA: Cambridge
University Press, 2005)
Richardson, Lindsey, Evan Wood, and Thomas Kerr, ‘The
Impact of Social, Structural and Physical Environmental
Factors on Transitions into Employment among People
Who Inject Drugs’, Social Science & Medicine, 76 (2013),
126–33
Riggs, Fred W., Administration in Developing Countries: The
Theory of Prismatic Society (Place of publication not

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 183


identified: Houghton Mifflin Co, 1964)
Riker, William H, and Peter C Ordeshook, An Introduction to
Positive Political Theory (Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-
Hall, 1973)
Roth, David F, and Frank Lee Wilson, The Comparative Study
of Politics (Boston: Houghton Mifflin, 1976)
Rousseau, Jean-Jacques, and Garnier Flammarion, Du Contrat
Social (Paris: French and European Publications Inc,
1976)
Runciman, W. G., Social Science and Political Theory, 2 edition
(Cambridge: Cambridge University Press, 1969)
Rush, Michael, and Phillip Althoff, Pengantar Sosiologi Politik
(Jakarta: Rajawali Pers, 1990)
Smith, M. Brewster, ‘“Personality and Social Psychology”:
Retrospections and Aspirations’, Personality and Social
Psychology Review, 9.4 (2005), 334–40
Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar/Soerjono
Soekanto (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1982)
Soelaiman, M. Munandar, Dinamika Masyarakat Transisi :
Mencari Alternatif Teori Sosiologi Dan Arah Perubahan
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998)
Sondrol, Paul C., ‘Totalitarian and Authoritarian Dictators:
A Comparison of Fidel Castro and Alfredo Stroessner’,
Journal of Latin American Studies, 3.21 (1991), 599
Sterling, Joanna, John T. Jost, and Curtis D. Hardin, ‘Liberal
and Conservative Representations of the Good Society:

184 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


A (Social) Structural Topic Modeling Approach’, SAGE
Open, 9.2 (2019)
Sukria, Entus, Simpul-Simpul Dinamika Strategi Pembangunan:
Good Governance (Jakarta: Kencana Mas Publishing
House, 2005)
Sutaryo, Dasar-Dasar Sosialisasi (Jakarta: Rajawali Pers, 20014)
Thiele, Leslie Paul, ‘Politics of Technology—Specialty Grand
Challenge’, Frontiers in Political Science, 2 (2020), 2
Tilly, Charles, Durable Inequality, First edition (Berkeley:
University of California Press, 1999)
Tylor, Edward Burnett, Primitive Culture: Researches Into the
Development of Mythology, Philosophy, Religion, Art, and
Custom (USA: J. Murray, 1871)
Uhlaner, Carole Jean, ‘Political Participation, Rational Actors,
and Rationality: A New Approach’, Political Psychology,
7.3 (1986), 551–73
Vine, Victor T. Le, Politics in Francophone Africa (Colarado:
Lynne Rienner Publishers, 2004)
Wallerstein, Immanuel, ‘Social Science and Contemporary
Society: The Vanishing Guarantees of Rationality’,
International Sociology, 11.1 (1996), 7–25
Weber, Max, Sociology of Religion, English Translation from
Fourth Edition (USA: Beacon Press, 1963)
———, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (USA:
Routledge, 2013)

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 185


Westoby, Adam, and Ronald J. Hill, ‘Communism and
Political Evolution’, Journal of Communist Studies, 8.1
(1992), 160–74
Wulantami, Ardina, ‘Pilihan Rasional Keputusan Perempuan
Sarjana Menjadi Ibu Rumah Tangga’, Dimensia: Jurnal
Kajian Sosiologi, 7.1 (2018)
Zeigler, Harmon, and Wayne Peak, ‘The Political Functions
of the Educational System’, Sociology of Education, 43.2
(1970), 115–42

186 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.


BIOGRAFI PENULIS

Dadang Hartanto merupakan


sosok akademisi kelahiran Surabaya
pada tanggal 14 Nopember 1971.
Ia menempuh Strata-1 (S-1) pada
tahun 2002 di Sekolah Tinggi Ilmu
Kepolisian (Jurusan Ilmu Kepolisian);
Strata-2 pada tahun 2005 di Universitas
Indonesia (Jurusan Ilmu Kepolisian);
dan Strata-3 pada tahun 2015 juga di almamater yang sama
(yaitu: Universitas Indonesia) jurusan Ilmu Administrasi pada
tahun 2015. Penulis yang memiliki kompetensi dalam bidang
komunikasi organisasi dan sosiologi terapan ini dalam riwayat
pengalaman kerja pernah menjabat sebagai wakil kepala di
instansi Kepolisian Daerah Sumatera Utara.
Dan di sela-sela kesibukannya menjadi dosen di Universitas
Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), ia juga sangat
produktif menulis. Karya-karya yang dihasilkan terutama di
jurnal-jurnal internasional antara lain: “Determinants of Overall
Public Trust in Local Government: Meditation of Government
Response to COVID-19 in Indonesian Context” terbit di

Sosiologi Politik: Dari Introduksi Teoretis ke Praksis Normatif 187


Transforming Government:People, Process and Policy Vol. 21
No.1 Tahun 2021; “Is Pattern Of Government Spending Related
With Environmental Sustainability In Asean Countries? Role Of
Debt Servicing, Development Expenditure and Social Investment”
diterbitkan di Journal of Security & Sustainability Issues Vol.
10 Tahun 2020; “Implementation Of Metanoia-Shift Of Mind
In Shaping The Character Of Members Of The Indonesian
Police Criminal And Investigation Organization (BARESKRIM
POLRI)” diterbitkan di E-Bangi: Journal of Social Science and
Humanities Vol. 18 No. 3 Tahun 2021; “Formation of Soul
Leadership Model in Indonesian Middle Schools” diterbitkan di
Educational Sciences: Theory & Practice Vol. 21 No. 1 Tahun
2021; “Analysis of Mental Models at Criminal Investigation
Division of the Indonesian National Police” diterbitkan di
Technium Social Sciences Journal Vol. 1 No. 1 Tahun 2020;
“Covid-19 Pandemic: A Social Welfare” diterbitkan di Social
Science and Humanities Journal (SSHJ) Vol. 4 No. 5 Tahun
2020; dan “Analysis of Mental Models at Criminal Investigation
Division of the Indonesian National Police” diterbitkan di
International Journal of Innovation, Creativity and Change
Vol. 13 No. 11 Tahun 2020.

188 Dr. Dadang Hartanto, SH., S.IK, M.Si.

Anda mungkin juga menyukai