Anda di halaman 1dari 202

i

EPISTEMOLOGI
ANTROPOLOGI BUDAYA

HJ. HAMDANAH UTSMAN

PENA SALSABILA

ii
EPISTIMOLOGI ANTROPOLOGI BUDAYA@2014

Diterbitkan oleh:
Pena Salsabila, Juli 2014
Jl. Tale II No.1 Surabaya
Telp. 031-72001887, 081249995403
(Lini Penerbitan CV. Salsabila Putra Pratama)

Anggota IKAPI
No. 137/JTI/2011

Penulis : Hj. Hamdanah Utsman


Lay out dan desain sampul : Salsabila Creative

Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang


Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit

ISBN : 978-602-7567-99-1
viii+152; 14 cm x 20 cm

iii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, ucapan syukur kehadirat Allah SWT


karena berkat karunia dan niatnya akhirnya buku dengan
format yang sangat sederhana ini dapat hadir dihadapan
pembaca, penulis menyadari karya ini masih sangat jauh
dari sempurna oleh karena itu kritik konstruktif sangat
penulis harapkan untuk perbaikan berikutnya.
Buku yang diberi judul Epistemologi Antropologi
Budayaini sebetulnya sudah lama diselesaikan , karena
naskah ini semula karya karya penulis berupa tugas
tugas dan ujian mata kuliah epistimologi antropologi
Program Pasca Sarjana Unuversitas Gajah Mada yang
diasuh oleh Prof. Dr Heddy Shri Ahimsa Putra pada
tahun 1999. Penulis sungguh merasa sangat berhutang
budi kepada beliau yang telah dengan sabar, tulus dan
penuh rasa kasih sayang memberikan arahan dan
bimbingan utamanya tentang epistimologi Antropologi
Budaya, beliau juga yang telah berkenan membimbing
Tesis penulis sekaligus memberikan kata sambutan
dalam Karya Buku penulis yang ke tiga dengan judul
Musim Kawin Dimusim Kemaraupada tahun 2005.
Sekian lama naskah naskah ini hanya disimpan
begitu saja. Akhirnya penulis tergerak untuk menerbitkan
menjadi sebuah buku dengan harapan ilmu yang telah
penulis miliki bisa dibaca oleh anak anak dan para
mahasiswa penulis.

iv
Epistemologi Antropologiini membahas tentang
berbagai teori untuk melakukan penelitian atau kajian
kajian tentang fenomena sosial budaya sehingga dengan
memahami berbagai teori pendekatan akan memudahkan
dalam analisa fenomena sosial budaya.
Ucapan terimakasih yang sangat dalam kepada Prof.
Dr Heddy Shri Ahimsa Putra atas waktu dan ilmu yang
telah diberikan kapada penulis, juga kepada Prof Dr Irwan
Abdullah yang telah banyak memberikan inspirasi agar
penulis terus berkarya dan menulis.
Secara khusus ucapan terima kasih kepada Suami
tercinta Prof. Dr. H. A Halim Soebahar MA., dan keempat
ananda H. A. Faris Wijdan.SPdi.SH. H,A Fauzul Fikri
Biaunillah, S.SI. A.Weldy Fakhriyan dan Ratu Belqys
Rosadeila Putri. Mereka semua adalah anugerah terindah
yang telah dikaruniakan oleh Allah kepada penulis. Mudah
mudahan karya ini menjadi warisan teristimewa untuk
nanda tercinta.

Jember , 13 April 2014

v
DAFTAR ISI

Epistemologi Aliran Positivisme Dalam Ilmu Sosial~ 1


Teori Antropologi Positivistik~ 13
Antropologi Tafsiriyah Hermeneutika Atau Interpretatif
Antropology ~27
Antropologi Struktural Levi-Strauss~ 41
Antropologi Post-Modernisme ~57
Pendekatan Antropologi Yang Positivistik~73
Perbedaan Antropologi Yang Positivistic Dengan
Antropologi Yang Fenomenologi ~88
Epistimologi antropologi ~98
Analisis Variable Dalam Ilmu Sosial Positivisme ~ 124
Analisis structural levi-strauss makna mitos asal nama
banyuwangi ~138

vi
EPISTEMOLOGI ALIRAN POSITIVISME
DALAM ILMU SOSIAL

Filsafat Positif dan Metode Positiif pertama kali


diperkenalkan oleh August Comte lewat karyanya Cours de
Philosophe Positive (Bryant, 1985:1). Selanjutnya, pemikiran
itu berkembang luas sehingga menjadi filsafat ilmu
penggetahuan yang dominan yang mempengaruhi cara
berfikir manusia bahkan hingga kini.
Pada awalnya, aliran ini dianggap sebagai pandangan
tunggal.Akan tetapi, belakangan tampak bahwa filsafat
positif memiliki “variasi” bergantung pada tempat aliran
ini berkambang.Setidaknya, wujud positivism yang
tampak dan berpengaruh adalah positivism dengan wajah
Amerika, Inggris, Perancis, Jerman (Bryant, 1985).
Menanggapi keberagaman dalam positivism itu,
Kolakowski,seorangahli filsafat, dalam Bryant(1985 :
2)menyatakan bahwa positivisme sebagai suatu aliran
dalam Filsafat masih memiliki ciri-ciri umum. Positivism
dipandangnya sebagai sekumpulan kaidah dan kriteria
evaluative bagi acuan terhadap pengetahuan manusia.
Disamping itu, ia juga melihat positivism sebagai perilaku
normatif yang mengatur bagaimana kita menggunakan
istilah-istilah seperti “pengetahuan”, “sains”, “kognisi”,
dan “informasi”.
Menurutnya lagi, ada empat kaidah dalam positivisme
yang menentukan apa yang dimaksud dengan

1
pengetahuan(knowledge). Aturan pertama disebutnya
sebagai the ruleof phenomenalism (kaidah fenomenalisme).
Kaidah ini menunjukkan bahwa pengalaman merupakan
fondasi terpenting dalam pengetahuan manusia, karena
”We are entitled to record only that which is actually manifested
in experience”, manusia hanya berhak merekam apa yang
dialaminya. Dalam pandangan itu, maka positivism
menolak setiap penjelasan yang mengacu pada hal-hal
yangmenurut definisinya tidak dapatdicapai oleh
pengetahuan dan buka noumena, Hanya mengakui
eksistensi, dan menolak esensi.
Kaidah kedua, yakni the rule of nominalism merupakan
implikasi lanjutan dari kaidah yang pertama.Karena
pengalaman adalah fondasi terpenting dalam pengetahuan
manusia, maka setiap pemahaman (instight) yang
dirumuskan dalam istilah-istilah umumhanya dapat
didasarkan pada fakta-fakta individual sebagai referen
riilnya.Jadi, fakta-fakta individual merupakan acuan
rumusan suatu pemahaman. Menurut Kolaowski, setiap
ilmu pengetahuan(science) abstrak merupakan suatu
metode untuk “membatasi” (abridging) proses perekaman
pengalaman dan yang menidakmungkinkan manusia
untuk memperoleh pengetahuan ekstra dan independen
dalam arti bahwa melalui abstraksi pengetahuan itu,
terbuka jalan bagi sebuah kawasan realitas diluar yang
dapat dialami manusia.
Adapun kaidah ketiga, yaitu kaidah yang refuses to call
value judgement and normative statements knowledge,
menunjukkan bahwa nilai (values) wajib ditolak sebagai
karakteristik dari dunia manusia, karena nilai tidak dapat

2
diperoleh dengan cara yang sama dengan satu-satunya
jenis pengetahuan yang sesuai dengan namanya itu:
pengetahuan. Berbeda dengan nilai, pengetahuan akan
dunia empiris selalu dapat diperoleh melalui indera
manusia yang normal. Dengan demikian, asumsi bahwa di
luar dunia yang nyata dan kelihatan(visible) ada suatu
domain nilai “in themselves” yang dengannya penelitian kita
dapat dikorelasikan dalam cara-cara yang misterius tak
dapat lagi dipertahankan.
Dalam pada itu, aturan keempat, yaitu keyakinan akan
kesatuan esensial dalam metode ilmiah menunjukkan
bahwa tidak ada perbedaan yang penting dan mendasar
antara metode dalam ilmu pengetahuan alam dan metode
ilmu sosial budaya. Prosedur penalalran dan penelitian
dalam kedua jenis ilmu tersebut tidak harus berbeda meski
objek kajiannya berbeda.Implikasi dari kaidah itu adalah
bahwa prosedur, metode penalalran, serta penelitian yang
telah berkembang dalam ilmu pengetahuan alam dianggap
dapat digunakan untuk memahami berbagai macam atau
gejala sosial-budaya.
Keempat aturan yang ditawarkan Kolakowski diatas
belum menunjukkan dengan jelas bagaimana aturan-
aturan tersebut diterapkan dalam ilmu sosial-budaya
karena sifatnya abstrak dan filosofis, dengan demikian,
diperlukan kerangka pemikiran yang dapat secara
kongkret menjelaskan bagaimana positivism
diwujudkandalam ilmu sosial-budaya. Dalam hal ini,
tampaknya, apa yang dikemukakan oleh Giddens
mengenai positivism dalam sosiologi dapat menunjukkan
bagaiamana kerja pemikiran positivistic dalam ilmu sosial–

3
budaya. Meski terkait dengan ketiga kaidah pertama dari
Kolakowski, pandangan atau anggapan Giddens ini paling
berkaitan denga kaidah Kolakowski yang keempat, yaitu
keyakinan akan metode yang satu antar ilmu pengetahuan
alam dan ilmu pengetahuan sosial-budaya.
“Positivistic attitude” dalam sosiologi menurut
Anthony Giddens (Bryant: 1985, 7-8) mencakup tiga
anggapan (supposition) yang saling terkait. Yang pertama,
disebutnya sebagai anggapan metodologis, ialah bahwa
prosedur-prosedur dalam ilmu pengetahuan akan dapat
diterapkan langsung dalam ilmu sosial-budaya; kedua,
disebutnya sebagai anggapan analitis, adalah bahwa hasil
akhir pada penelitian atau kajian-kajian sosial dapat
dirumuskan dalam generalisasi yang mendekati hokum
(law-like generalazations) atau rumusan-rumusan seperti
yang diciptakan oleh para ilmuwan ilmu pengetahuan
alam, dan anggapan ketiga yang merupakan asumsi
praktis adalah bahwa sosiologi memiliki suatu karakter
teknis.
Disamping Giddens, David Walsh (1972: 16) juga
menyatakan tiga premis dasar yang menunjukkan bahwa
ilmu pengetahuan sosial harus merupakandisiplin dalam
cara-cara seperti yang dilakukandalam ilmu pengetahuan
alam. Pertama, fenomena sosial fenomena yang secara
kualitatif sama dengan fenomena alam, kedua, teknik
analisis yang dikembangkan dalam ilmu pengetahuan
alam dapat diterapkan dalam penelitian-penelitian
sosial;premis ketiga menyatakan bahwa ilmu sosial adalah
menghasilkan suatu sistem tingkat tinggi tentang
proposisi-proposisi teoretis yang didasarkan atas

4
pengalaman empiris. Proposisi-proposisi itu nantinya akan
menjadi basis pernyataan prediktif tentang suatu fenomena
sosial.
Dari uraian tentang kaidah penentu ilmu
pengetahuan, serta anggapan dan premis-premis yang
lahir dari kaidah-kaidah itu, tampak bahwa kaum positivis
dan bersifat menjelaskan mengenai dunia.1
Untuk itu, teori-teori yang dibangun haruslah
merupakan hal-hal yang sangat umum yang
menggambarkan relasi-relasi yang teratur antargejala di
luar diri manusia. Hal-hal yang umum (general) yang
berupa hukum-hukum itu memungkinkan manusia untuk
membuat prakiraan akan hal-hal yang mungkin terjadi, di
samping menjelaskan gejala-gejala yang dijumpai dalam
keseharian manusia.
Dengan demikian, fenomena sosial budaya yang dapat
dilihat, dirasakan, dan dialami (observable phenomena)
merupakanpusat kajian yang positivistik. Lewat observasi,
eksperimentasi, empirisme, dan prediksi akan
terakumulasi secara cermat pengetahuan faktual yang
dapat menghasilkan relasi-relasi yang mendekati hukum-
hukum (law-like relations).2

1Pengetahuan yang “predictive” dan “explanatory” dalam Ahimsa-


Putra (1997: 31). Istilah itu dikutipnya dari Keat dan Urry(1985: 4)
2Pernyataan dari Keat dan Urry (1985: 72) dikutip oleh Ahmsa-Putra

(1997: 31) secara langsung dalam versi Inggrisnya disertai dengan


cetak tebal di beberapa bagian sebagai penekanan.Dalam tulisan ini
saya mencoba menerjemahkannya dan mengubah sedikit urutan
penyajiannya demi kerunutan jalan pikiran dengan pernyataan
sebelumnya dan kemudahan pemahaman bagi saya sendiri.

5
Analisis variable berupaya mereduksi kehidupan
sosial menjadi variabel-variabel dan hubungan-hubungan
antar variabel. Atau dengan kata lain, menyederhanakan
atau menggolongkan hubungan sosial agar mudah
dimengerti. (Hagul et al., 1982: 42) Variabel-variabel
tersebut merupakan kategori-kategori kehiduan sosial yang
struktural dan organisasional yang diidentifikasikan
sebagai realitas yang berkaitan dengan indeksobjektif lewat
penggunaan konsep dan model sosiologis dan yang
berhubungan dengan tindakan sosial sebagai produknya.
Variabel-variabel itu dilihat sebagai pola-pola interaksi
yang teratur (Walsh, 1972: 41)dang saling terkait serta
mempengaruhi satu dengan lainnya. Fenomena sosial
dapat dijelaskan dan diramalkan apabila hubungan antar
variabel tertentu telah diketahui.
Dari penjelasan diatas kelihatan bahwa adahal umum
tentang variabel yang perlu dicermati.Variabel-variabel
didentifikasikan secara eksternal dengan menggunakan
indikasi-indikasi objektif untuk menetapkan eksistensi
riilnya. Dalam hal ini, makna pelaku(actor) bukannya
diabaikan, tetapi berganti menjadi variable (yang
menghalangi, intervening, vanable), misalnya ketentuan
(prescriptions) kultural, ekspetasi peran, norma, nilai,
kepentingan dan sebagainya yang dicirikan sebagai indeks
objektif. Variabel-variabel semacam itu diberi status
independen(variabel bebas atau pengaruh) yang
merupakan lawan dari pelaku yang dependen(variabel
terkait atau terpengaruh), dalam arti bahwa pelaku
tindakan dianggap sebagai sarana pasif dari tindakannya.
Hal itu dicapai dengan memperlakukan variabel-variabel

6
semacam itu sebagai variabel yang diinternalisasikan oleh
pelaku atau sebagai yang dimunculkanoleh mekanisme
control sosial yang eksternal yang berkaitan dengan
tindakan sosial.
Dengan memfokuskan pada makna-makna sosial
tertentu yang telah mantap senbagai variabel yang
intervening dan bukannya pada bagaimana para pelaku
melaksanakan makna-makna itu, maka penjelasandapat
beralih melalui cara menganalisis tindakan sebagai produk
asosiasivariabel-variabel yang mekanis dalam dunia sosial
eksternal. Dengan demikian, maka makna menjadi suatu
elemen yang taken for granted dalam analisis itu sendiri.
Meski, menurut Cicourel (1964 makna sosial tidak dapat
taken for granted dalam cara-cara semcam itu. Norma dan
nilai hanya merupakan kaidah yang tertulis atau di
nyatakan secara formal. Untuk menjelaskan bagaimana
para pelaku bertindak dengan acuan tindakan sosial,
penting untuk menguji perbedaan persepsi yang adadan
pengetahuan yang dimilikinya.Hal ini penting untuk di
lihat dari pengujian itu adalah bahwa perlu diketahui
bagaimana para pelaku mengelola ketidak cocokan antara
norma yang satu dan norma yang lainnya, serta karakter
dari nilai atau norma baik yang di nyatakan maupun yang
tidak. Makna sosial, dengan demikian, adalah focus
perhatian yang problematic.
Analisis variabel merupakan suatu upaya untuk
menetapkan hubungan kausal antar variabel yang di
tentukan dengan asumsi bahwa ketika relasi sosial yang
mantap diteliti, maka skema sosial tidak di perlukan lagi
sejauh fakta sosialnya tersetruktur prosedur semacam itu

7
biasanya merupakan korelasi statistic antar variabel yang
signifikan.Korelasi tertentu di gunakan sebagai basis untuk
pertanggung jawaban (imputation) hubungan-hubungan
kausal. Hal penting dari imputasi kausal semacam itu
terletak pada deferminasi penelitinya tentang korelasi-
korelasi apa yang relefan secara sosiologis karena itu
merupakan yang menentukan hasil penjelasan. Tidak
setiap korelasi antar variabel yang signifikan secara statistic
di perlakukan oleh peneliti sebagain yang relefan secara
sosiologis.
Sesuai dengan yang di jelaskan oleh Hagul et al
(1982:25) bahwa variabel terkait erat dengan teori karena
hubungan antara variabel sesungguhnya merupakan
penjabaran dari teori yang tujuannya untuk menjelaskan
fenomena sosial yang di teliti. Dengan demikian, peran
teori dalam analisis variabel adalah pada derajat kejelasan,
hal itu bergantung pada bukan saja dengan hubungan
antara teori dan penelitian yang sifatnya semu (vague) dan
“ill-defined” tetapi juga secara implisit pada pemahaman
sehari-hari peneliti terhadap struktur sosial yang
didasarkan atas cara yang membuat eksistensi realitas
sosial yang objektif menjadi taken for granted.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka proses
pengumpulan data dibentuk melalui kerangka konseptual
menurut cara tertentu yang membuat data sesuai atau pas
dengan kerangka kerjanya dan “self-validating”.

8
Kesimpulan
Dari uraian tentang analisis variabel diatas, maka
beberapa hal penting berikut dapat menjelaskan mengapa
analisis variabel bersifat positivistik.
Telah dijelaskan diatas bahwa analisisvariabel
berupaya mereduksi kehidupan sosial menjadi variabel-
variabel dan hubungan-hubungan antar variabel atau
menyederhanakan atau menggolongkan hubungan sosial
agar mudah dimengerti. Selain disebut sebagai kategori ia
juga dilihat sebagai pola-pola interaksi yang teratur dan
saling terkait serta mempengaruhi satu dengan lainnya.
Fenomena sosial dapat dijelaskan dan diramalkan apabila
hubungan antara variabel tertentu telah diketahui.
Pernyataan dan pengertian tentang variabel diatas
jelas melihat kehidupan sosial secara objektif yang dengan
demikian, dapat diramalkan serta dibentuk polanya.
Akibatnya, makna sosial selalu taken for granted yang
mengabaikan perbedaan persepsi yang ada dan
pengetahuan yang dimiliki setiap anggota masyarakat.
Objektifikasi kehidupan sosial itu juga tidak dapat
mengetahui bagaimana para pelaku mengelola
ketidakcocokan antara norma yang satu dan norma lainnya
serta karakter dari nilai atau norma.
Hal lain yang penting untuk melihat variabel bahwa
analisis variabel merupakan analisis yang positivistik
adalah bahwa analisi varibel merupakan suatu upaya
untuk menetapkan hubungan kausal antarvariabel dengan
melihat pada adanya korelasi statistik yang signifikan.
Unsur peneliti juga penting dalam menentukan korelasi-
korelasi yang relevan secara sosiologis menentukan

9
hasilanalisis, seperti yang telah dinyatakan di atas, maka
tidak setiap korelasi antar variabel yang signifikan secara
statistik diperlakukan oleh peneliti sebagai yang relevan
secar sosiologis.Dengan demikian, penelitilah yang
menentukan variabel-variabel yang cocok dengan
permasalahan yang sedang ditelitinya sementara pelaku
tidak mendapat tempat dalam ikut memberi pertimbangan
karena secara implisit pelaku juga merupakan variabel.
Teori yang berupa konsep-konsep pokok diukur
dengan variabel yang diberi definisi khusus oleh
peneliti.Variabelnya pun dipilih oleh peneliti yang sesuai
dan dapat menjelaskan hubungan sosial yang sedang
diamati.
Meninjau kembali kaidah-kaidah pemerolehan
pengetahuan yang ditawarkan oleh Kolakowski diatas, kita
dapat melihat kesesuaian pemikiran antara analisis
variabel dan positivism.
Yang pertama, objektifikasi kehidupan sosial dalam
analisis variabel berarti menciptakan hal-hal umum atau
generalisasi yang selalu menjadi tujuan akhir
daripenelitian yang positivistik. Generalisasi yang
dimaksud adalah yang menyerupai hukum (law-like
generalizations).
Generalisasi yang tercipta itu dimaksudkan untuk
kejadian-kejadiandalam masyarakat yang mungkin hadir
kembali.
Dengan demikian, secara implisit, variabel selalu
dilihat sebagai yang dapat diamati, dialami, dan dilihat
melalui indera seperti halnya fenomena alam.

10
Masalah etik (melihat fenomena yang diteliti dari
sudut pandang peneliti) adalah hal yang dominan dalam
analisis yang positivistik. Dalam analisis variabel telah
dijelaskan bahwa variabel dipilih oleh peneliti yang sesuai
dengan permasalahan yang ditelitinya serta
pemahamannya sehari-hari akan masalah yang
bersangkutan.
Dari generalisasi yang dihasilkann lewat analisis
variabel, maka proses berfikir ilmiah yang dilakukan
adalah proses berpikir induktif. Artinya, dari berbagai
macam fakta dilapangan yang kemudian diubah menjadi
variabel lewat klasifikasi akan dihasilkan suatu ciri atau hal
umum. Proses berfikir induktif ini didukung oleh korelasi
statistik dalam analisis variabel.
Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa
analisis variabel adalah analisi yang positivistik, sehingga
merupakan varian dalam positivisme.

11
Daftar Pustaka

Ahimsa-Putera, 1997, “Antropologi Koenjtraningrat:


Sebuah Tafsir Epistemologi, dala E.K.M.
Masinambow(ed), Koentjaraningrat dan Antropologi
Di Indonesia,Yayasan Obor, Jakarta.
Bryant, Christoper G.A., 1985, Positivism In Sosial Theory
And Research, St. Martin’s Press, NewYork
Filmer, Paul et al.,1972, New Directions in Sosiological Theory,
Collier-macmillan, UK.
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi (eds),1982,Metode
Penelitian Survai,LP3ES.

12
TEORI ANTROPOLOGI POSITIVISTIk

Teori Antropologi Yang Positivistik


Epistemologi antropologi lebih banyak menekankan
tentang pembahasan mengenai ilmu pengetahuan sosial
dan budaya. Dari sudut pandang antropologi sebagai ilmu
pengetahuan sosial budaya mencoba mengklasifikasi
perbedaan itu yang meliputi pengetahuan atau ¨
knowledge¨ dan ilmu pengetahuan atau ¨ science ¨. Dengan
demikian, dalam tataran ini antropologi dapat dikatakan
sebagai disiplin ilmu, karena memiliki kerangka paradigma
teori ilmu sosial budaya, yang meliputi : persepsi, asumsi,
model, metodologi, dan analisis hasil. Dalam hal ini
antropologi mempelajari tingkah laku manusia dalam
masyarakat, di satu pihak tingkah laku manusia memiliki
maksud atau ¨intention¨, memiliki makna, memiliki simbol,
yang menjadi fokus perhatian antropologi .
Untuk itu ada baiknya terlebih dahulu merumuskan
pengertian positivisme. Positivisme berasal dari kata positif
yang merupakan pertentangan dari kata negatif.
Pengertian positif yang diperkenalkan oleh Comte yang
selanjutnya menjadi positivisme merupakan suatu
pertanda awal dimulainya perkembangan filsafat
keilmuan. Menurut pandangan Comte bahwa sejarah umat
manusia, baik secara individu maupun kelompok dapat
dibedakan perkembangannya menjadi tiga tahap, antara
lain :
Pertama tahap teologikal, pada tahap ini manusia
percaya bahwa dibalik gejala-gejala alam terdapat

13
kekuatan supernatural yang mengatur gerak gejala tersebut
diatas. Kekuatan-kekuatan tersebut dianggap sebagai
makhluk yang berbeda dengan makhluk manusia biasa.
Misalnya seperti, dewa-dewi atau Tuhan Yang Maha
Kuasa, yang menguasai alam jagat raya ini, dan tidak
jarang menjadi sesuatu yang dikeramatkan. Gejala-gejala
itu sering diakumulasikan dalam bentuk pengetahuan
mengenai mitos –mitos dan agama, inilah yang oleh Comte
disebut fiksi.
Kedua tahap metafisika, pada tahap ini manusia
memfokuskan perhatiannya pada kemampuan untuk
menemukan dasar spekulasi yang abstrak atas gejala alam.
Mitos-mitos yang berkaitan dengan agama mulai diabaikan
oleh manusia dan selanjutnya mengembangkan
kemampuan akal. Dengan kemampuan akal manusia pada
gilirannya dapat membedakan dunia menjadi dua, yaitu (1)
dunia fisik adalah dunia yang mengalami proses
perubahan, dan (2) dunia metafisika adalah dunia yang
tidak mengalami perubahan.
Tahap ini tidak terlalu banyak menunjukkan
perbedaan dengan tahap pertama, dari sini pula awalnya
dasar spekulasi yang dikembangkan oleh manusia untuk
dapat menemukan ¨ adanya sebuah kebenaran ¨ di alam
metafisika, karena itu kemampuan manusia untuk
menangkap yang metafisika sering dianggap sebagai
pengetahuan sejati. Pandangan Comte mengatakan bahwa
penjelasan metafisika bersifat tertutup dan manusia hanya
mengetahui penjelasan yang bersifat abstrak yang
didasarkan pada spekulasi belaka. Lama-kelamaan
perkembangan metafisika mulai ditinggalkan, tidak lagi

14
merasa berkepentingan terhadap hal-hal yang bersifat
abstrak, nampaknya lebih tertarik pada hal-hal yang
bersifat nyata yang dapat diamati, diperbandingkan, diatas
dalil-dalil yang berlaku secara umum. Manusia membatasi
diri pada fakta yang menjadi obyek observasinya dan
dengan akal dia berusaha untuk menetapkan relasi
persamaan atau urutan yang ada dalam fakta itu. Menurut
Comte inilah yang disebut tahap perkembangan positif,
yakni era ilmu pengetahuan dalam arti yang sebenarnya.
Manusia tidak lagi bergulat dengan pengetahuan yang
abstrak, tapi sudah dengan pengetahuan yang lebih pasti
dan empiris.
Jadi pengertian ¨ positif ¨ mengandung sesuatu yang
nyata, pasti, jelas dan berguna. Karena filsafat positivisme,
merupakan unsur pokok dalam perkembangan ilmu
pengetahuan yang tidak bisa lepas dari dalil-dalinya.
Menurut positivisme dunia yang obyektif itu bukan
sebagai sesuatu yang abstrak sebagaimana penganut aliran
metafisika, melainkan nyata yang bersifat alami. Misalnya
posistivisme tidak memisahkan antara dunia manusia,
dunia bintang, bagi positivisme bahwa dunia adalah
seluruh jagat raya itu termasuk didalamnya manusia,
planet, bintang-bintang, binatang adalah sebagai bagian
dari dunia. Bagian-bagian dari dunia itu mewujudkan diri
sebagai kesatuan organisme, jadi dunia ini, menurut
pandangan positivisme dunia ini adalah satu dan sangat
nyata. Namun dunia bergerak atas dalil-dalil nya, yang
berlaku untuk semua bagian pokok dunia, tingkah laku
dan perbuatan manusia diatur oleh hukum–hukumnya
sendiri. Ini berarti dunia memiliki keteraturan yang bersifat

15
regularitas. Dengan demikian dapat dikatakan positivisme
mempunyai sisi positifnya bagi manusia, oleh karena itu
manusia mempunyai tugas untuk merangkaikan kaedah-
kaedah menjadi ilmu pengetahuan.
Pandangan Kolakanski nampaknya sejalan dengan
pandang yang dikemukakan oleh Heddy Shri Ahimsa
Putra (1997) bahwa merupakan persyaratan penting dalam
positivisme yang menyangkut :
1. positivisme menolak segala entitas yang tidak dapat
dicapai dalam ilmu pengetahuan manusia atau sering
disebut ¨ rule of phenomenalisme ¨,
2. positivisme berusaha memformulasikan pelbagai
istilah dengan dasar acuan yang jelas serta dapat
dikaitkan dengan fakta nyata atau sering disebut ¨ rule
nominalism ¨;
3. positivisme menganggap pernyataan normative
adalah sebagai suatu penilaian, bukan pengetahuan
atau sering disebut ¨ value judgement ¨;
4. positivisme memiliki kesatuan yang esensial dalam
metode ilmiah, karena menganggap ilmu pengetahuan
itu adalah satu atau sering disebut ¨ unified – science ¨
Antropologi yang positivistik dasar pemikirannya
berangkat dari sesuatu yang empirik. Dimana pandangan
ini mengatakan bahwa manusia yang merupakan bagian
dari alam ini mempunyai kemampuan beradaptasi dengan
lingkungannya. Penganut paham positivisme di kalangan
para ahli antropologi berupaya untuk dapat memberikan
suatu penjelasan tentang perilaku manusia yang
menghasilkan fenomena sosial budaya berdasarkan
proposisi tertentu dalam setiap studi kasus yang dijumpai.

16
Lebih lanjut tugas ahli antropologi mengkonstruksi sebuah
rumusan umum tentang kebudayaan, sehingga mendapat
relasi-relasi dari dalil-dalil ilmu pengetahuan dalam
berbagai kasus yang menjadi obyek studinya. Model-model
yang dikembangkan oleh ahli antropologi positivistik
cenderung menunjukkan model yang diterapkan di dalam
ilmu alam khususnya ilmu biologi. Oleh karena itu , paham
antropologi yang positivistik memandang masyarakat
sebagai ¨organisme¨ yang mana unsur-unsur yang
membangun saling terkait secara fungsional.

Model-model Etnografi Antropologi positivistik


Bertolak dari tujuan yang hendak dicapai oleh
kalangan ahli antropologi yang menganut paham
positivistik yaitu menggeneralisasi fenomena sosial budaya
dan sekaligus merekonstruksi dalil-dalil dari fenomena
yang dapat disejajarkan dengan keteraturan fenomena
alam. Model etnografi antropologi yang positivistik dapat
kita jumpai dalam ¨ comperative study ¨ dalam hal ini
mencoba mencari persamaan dan perbedaan tentang
gejala-gejala sosial budaya yang hidup didalam
masyarakat.
Banyak ilmuan sosial khususnya antropologi yang
terpengaruh oleh paham ini, terutama dalam karya R.
Brown yang berjudul ¨ A Natural Science of Society ,
Structure and Function in Primitive Society ¨ pada
masyarakat di kepulauan Andaman. Masyarakat Andaman
dianalogikan oleh Brown sebagai organisma dimana
keseluruhan dari bagian-bagiannya membangun dan
menyangga keutuhan organisma itu. Menurut R. Brown

17
masyarakat itu selalu dalam keadaan harmonis, seimbang
dan terintegrasi sama halnya dengan alam dimana
keseluruhan bagian-bagiannya hidup saling mendukung
satu dengan yang lain.
Disamping itu, R. Brown berusaha untuk
mengabstraksikan bentuk-bentuk sosial dari sekian banyak
masyarakat dengan jalan membandingkan dan
menggolong-golongkan berdasarkan metode ilmiah.
Dalam hal ini, tampaknya R. Brown berusaha keras untuk
membuat suatu formulasi yang menggambarkan secara
umum mengenai masyarakat yang dijadikan generalisasi
dari penyelidikannya. R. Brown menempatkan ¨ totem¨
sebagai sesuatu yang amat penting, karena dengan
totemisme dapat membawa alam natural ke dalam
keteraturan sosial dan moral. Atas dasar pandangan
tersebut ditas, kemudian R. Brown membuat suatu analisis
perbandingan antara bentuk masyarkat serta kaitannya
dengan nama hewan maupun spesies binatang lain,
misalnya seperti ular, ikan gabus (untuk Klem Pande di
Bali ) dan jenis bintang lainya.
¨ The Nuer ¨ karya etnografi Evans Pritchard ( 1976)
bahwa secara homogen orang Nuer dan orang-orang lain
sebagai segmen-segmen di sekitarnya hidup sebagai
peternak dari berbagai jenis sapai. Nampaknya Evans
Pritchard mengabaikan makna simbolik dari jenis-jenis sapi
orang Nur. Lebih lanjut dikatakan kendatipun orang Nuer
belum mengetahui pemerintahan secara formal, namun
memiliki keteraturan hubungan politik dengan bagian-
bagian teritorialnya. Dengan demikian, dapat diasumsikan
bahwa Orang Nuer sangat peka terhadap konflik.

18
Permasalahannya bagaimana stuktur politik itu berproses
demi kepentingan wilayah teritorial dan kelompok-
kelompok orang yang hidup dalam satu kesatuan sistem.
Menurut Evans Pritchard struktur dan sistem politik Orang
Nuer banyak mempengaruhi sistem ekonomi, ekologi dan
sistem kekerabatan. Konsep ruang dan waktu menurut
Evans Pritchard sangat tergantung pada hubungan
struktural yang merupakan fungsi dari nilai ekonomi dan
sosial. Lebih lanjut dikatakan fusi dan visi dalam kontek
politik merupakan dua aspek dari prinsip segmenter yang
ada dalam masyarakat suku Nuer sebagai keseimbangan
antara dua hal yang berkomplementer. Dengan demikian,
struktur dapat dipahami sebagai keseimbangan dari suatu
kekuasaan dalam masyarakat suku Nuer. Karya etnografi
Evans Pritchard mengenai kehidupan orang Nuer sungguh
merupakan etnografi yang sangat detail dan memiliki
cakupan yang luas sekaligus dengan abstraksi yang tinggi.
Evans Pritchard dalam memahami orang-orang Nuer
menggunakan analisis struktural.
Ciri yang menunjukkan sebagai suku bangsa
terpinggir adanya akibat negative dari hubungan dengan
kelompok masyarakat lain, yang melihat sebagai suku
bangsa yang hampir tidak memiliki budaya. Menurut
cerita dongeng terkesan bahwa masyarakat Dayak Meratus
diperlakukan secara semena-mena. Dari berbagai
pertemuan dengan masyarakat lain tidak lebih dari sumber
cerita tentang tindakan kekejaman yang diperlakukan
terhadap Suku Dayak Meratus. Mereka tampaknya hidup
dalam mental yang penuh teror dan tidak jarang berakhir
secara tragis.

19
Suku Bangsa Dayak Meratus dalam menghadapi
hidupnya, mereka mengembangkan dua strategi yaitu : (1)
menghindari terjadinya kontak langsung; dan (2) bilamana
kontak langsung tidak dapat dihindari suku bangsa Dayak
Meratus menunjukkan sifat semunya dalam menerima apa
yang diharapkan oleh pihak lain. Dengan demikian A. L.
Tsing untuk dapat memahami kehidupan sesungguhnya
dari masyarakat suku Dayak Meratus dapat dilihat melalui
dongeng –dongeng dan pelaksanaan upacara-upacaranya.
Sesungguhnya karya Tsing mengisahkan tentang
pencarian kepala yang dilakukan oleh pemerintah,
merupakan suatu deskripsi yang sangat menggelitik untuk
dipikirkan. Disisi yang lain, suku Dayak Meratus merasa
yakin bahwa kepala merekalah yang dicari untuk upacara-
upacara pembangunan yang dikerjakan oleh pemerintah.
Kasus tahun 1981 menunjukkan macetnya proyek
pembangunan di Meratus, diisukan membutuhkan
beberapa kepala untuk tidak terganggunya pembangunan
dan jalannya kembali mesin-mesin yang rusak. Menurut
A.L.Tsing , rapuh nian slogan pembangunan yang dikemas
dalam SARA seperti yang dimitoskan oleh pemerintah
selama ini. Inilah cara yang dianggap tepat oleh
pemerintah untuk menutupi berbagai macam kekerasan
dari yang bersifat fisik. Menurut saya karya etnografi
A.L.Tsing termasuk ¨ postmodernisme¨ yang menekankan
pluralisme dan relativisme.
Munculnya kecenderungan di kalangan ilmu sosial
terhadap paham positivistik, banyak dipengaruhi oleh
aliran etnografi. Dapat kita lihat dari teori evolusi L.H.
Morgan dan E.B.Tylor, menurut Tylor bahwa tahap

20
perkembangan manusia dimulai dari kehidupan yang
paling sederhana sampai kehidupan yang paling
kompleks, liar, biadab, dan beradab. Tylor dalam hal ini,
ingin menemukan unsure persamaan dalam
perkembangan kebudayaan manusia diantara berbagai
suku bangsa yang berbeda. Kemudian diantara umat
manusia di seluruh muka bumi ini tampak adanya ¨
kesamaan jiwa ¨ yang dapat dipakai dasar untuk membuat
suatu perbandingan dengan kebudayaan suku-suku
bangsa lainya. Temuan Tylor lebih lanjut dikembangkan
oleh G.P.Murdock dengan suatu kerangka yang disebut
¨Cross Cultural ¨ .
B. Malinowski dalam penelitiannya mengenai
masyarakat trobriand yang berjudul :¨Crime and Custom in
Savage Society, The Sexual Life Of Savage, Argonaut Of
Western Pacific ¨. Dalam penelitian ini, B. Malinowski
menggunakan pendekatan fungsional struktural, bahwa
kebudayaan diasumsikan sebagai suatu keseluruhan yang
terintegrasi antara unsur-unsur yang saling terkait yang
membangun kebudayaan itu, pandangan inilah yang
disebut pandangan organic tentang kebudayaan dan
masyarakat. Lebih lanjut Malinowski menegaskan
bagaimana unsur-unsur kebudayaan itu berfungsi,
sehingga keteraturan dalam kehidupan manusia sebagai
gejala sosial menunjukkan adanya regularitas ( Adam
Kupper , 1996: 16-35).
Oscar Lewis dalam karyanya ¨ Kisah Lima Keluarga :
Studi Kasus Orang Meksiko Dalam Kebudayaan
Kemiskinan¨ (1988) dalam pandangan Lewis, pola-pola
sosialisasi yang berlandaskan pada kebudayaan tersebut

21
telah berfungsi sebagai mekanisme adaptif terhadap
lingkungan kemiskinan yang dihadapi sehari-hari oleh
suatu keluarga. Asumsi Lewis, lebih terfokus pada ˝
mekanisme pertahanan diri ˝ yang dilakukan oleh keluarga
miskin menghadapi kemiskinan. Keluarga miskin itu,
secara psikologis hanya mengetahui kesulitan-kesulitan
dirinya, tanpa banyak mengetahui lingkungan sekitarnya.
Jadi asumsi Lewis lebih mengatakan budaya, ini dapat
dilihat dari caranya menilai tentang modernisme yang
diidentikkan dengan orang kaya. Konstruksi Lewis
mengenai ˝ budaya kemiskinan ˝ adalah bersifat universal,
dia menunjukkan contoh apa yang menghinggapi keluarga
Castro yang kaya raya. Jika ˝ budaya kemiskinan ˝ itu
merupakan mekanisme adaptasi, saya mempertanyakan
mengapa muncul juga di keluarga kaya ?
Kalau demikian, apakah betul antropologi itu
dipengaruhi oleh aliran positivistik? Landasan apa yang
memperkuat pertanyaan itu ?
Berdasarkan uraian tentang beberapa model etnografi
di atas, menunjukkan bahwa setiap model mempunyai
tujuan-tujuan teoritis yang bersumber pada masing-masing
asumsi yang dikedepankan. Perbedaan tujuan berimplikasi
pada cara kerja dan analisis yang dihasilkan tentu berbeda
pula terhadap fenomena sosial budaya.
Fungsi struktural yang dikembangkan di Inggris oleh
B. Malinowski, R. Brown, E. Leach, Gluckman dan lain-
lainnya banyak mendapat pengaruh dari E. Durkheim.
Dapat dipastikan bahwa dasar pemikiran Durkheim adalah
sosiologi Perancis yang positivistik yang dikembangkan
oleh Auguste Comte. Teori Fungsional struktural

22
berasumsi bahwa gejala sosial budaya suatu masyarakat
bersifat universal, karena itu masyarakat dan kebudayaan
dipandang sebagai suatu proses yang mengalami
perubahan-perubahan struktural. Dalam hal ini
masyarakat dan kebudayaan dianalogikan sama dengan
organisme biologi yang dibangun atas dasar unsur-unsur
yang memiliki fungsi secara intergratif,sehingga dapat
tercipta struktur soscial masyarakat seimbang dan
harmonis.
Pandangan Malinowski mengatakan bahwa
masyarakat dan kebudayaan itu muncul ketika individu-
individu didalam masyarakat berkeinginan memenuhi
kebutuhan dasariahnya atau “basis human needs”. Dilain
pihak R.Brown mengatakan bahwa institusi sosial adalah
berfungsi sebagai penyangga keteraturan sosial yang
harmonis dan terintegrasi. Dengan demikian,fakta sosial
menurut R.Brown adalah aktivitas yang berproses dalam
kehidupan nyata suatu masyarakat yang dapat diamati dan
dideskripsikan sesuai pandangan masyarakat sosialnya.
Hampir setiap teori yang muncul memiliki kelemahan dan
keunggulan masing-masing,demikian pula halnya dengan
teori fungsional struktural.Kelemahan terletak pada
kemampuan analisanya tentang masyarakat dan
kebudayaan yang kurang mendalam atau deep structure
,sedangkan yang menjadi keunggulannya adalah pada
kemampuannya untuk menganalisis tentang sistem
kekerabatan dan institusi sosial yang ada dalam
masyarakat yang dijadikan objek kajiannya.
Atas dasar pandangan tersebut, jika kita telusuri
sejarah perkembangan filsafat didunia Barat bahwa

23
dikalangan para Ahli tidak lagi melihat filsafat sebagai
masalah metafisika tetapi lebih menekankan pada “tingkat
laku manusia “sebagai gejala sosial budaya. Dalam
perkembangan selanjutnya,para ahli sosial merasa tidak
puas atas cara kerja filsafat yang penjelasan bersifat
tertutup,kemudian pengaruh pandangan polistivistik
muncul ketika para ahli sosial menghadapi kritis.
Pandangan positivitik lebih mementingkan “fakta nyata “
sesuai dengan fenomena alam yang diasumsikan sama
dengan tingkah laku manusia. Pada dasarnya fenomena
alam (natural) itu bergerak secara regularitas sesuai dengan
hukum yang dimiliki,demikian pula halnya dengan
tingkah laku manusia. Di sini berakti tingkah manusia
dapat diidentikkan dengan fenomena sosial budaya yang
sekaligus disamakan dengan fenomena alam,karena
manusia merupakan benda alam. Jadi demikianlah
kerangka teori antropologi yang positivistik yang tidak
membedakan antara model –model etnografi tersebut
diatas dengan model-model etnografi yang dilakukan oleh
para ahli–ahli antropologi Indonesia.

24
DAFTAR PUSTAKA

Ahimsa Putra , Heddy Shri 1994 ˝ Metode –Metode


Linguistik dan Sastra dalam Antropologi ˝ ,
Buletin antropologi No. IX 1985 ˝ Etnosain dan
Etnometodologi : Sebuah perbandingan ˝ ,
Masyarakat Indonesia Th. Ke-II No. 2 1994 ˝
Postmodernisme dan perubahan kebudayaan ˝
dalam Postmodernisme dan masa Depan Peradaban
1997 ˝ Claude Levi Strauss: Butir-butir Pemikiran
Antropologi ˝ , Dalam Octavio Paz, Levi Strauss
Empu Antropologi Budaya Yogyakarta , LkiS.
Levi Strauss, Claude, 1967 Struktural Antropology (
Translated From The French By Claire Jacobson and
Brooke Grundfest Schoepf), Doubleday and
Company Ine. New York.
Bryant, Christopher G.A, Positivism In Sosial Theory and
Research.St. Martin’s Prees New York.
Siswomihardjo, Koento Wibisono, Arti Perkembangan
Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte, Gadjah
University Prees, Yogyakarta.
Geertz, Clifford, 1992 Tafsir Kebudayaan. Kanisius,
Yogyakarta.
Jacobson, David, 1991 Reading Ethnography. State
University of New York Prees.
Kleden, Ignas, Sikap ilmiah dan Kritik Kebudayaan, LP3ES.
Jakarta .
Sugiaharto, I. Bambang, Postmodernisme Tantangan Bagi
Filsafat, Kanisius, Yogyakarta

25
Van Baal, J, Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi
Budaya, Jilid I.
Gramedia. Jakarta, 1992,Sejarah dan Pertumbuhan Teori
Antropologi Budaya, Jilid II, Gramedia . Jakarta
Campbell, Tom, Tujuh Teori Sosial Sketsa, Penilaian,
Perbandingan. Kanisius, Yogyakarta.
Brown, A.R. Radeliffe, Structure and Function In Primitive
Society. Routledge &Kegan Paul,, London and Henley
Kuper, Adam, Anthropology and Anthropologist, (Pokok dan
Tokoh Antropologi), terjemah A.F. Saiduddin.
Bhratara, Jakarta.
Spradley, James P, The Ethnographic Interview ( Metode
Etnografi ) Terjemah M.Z.Elizabert, Tiara Wacana.
Yogyakarta.
Malinowski, B, 1944 A Scienctific Theory Of Culture : and
other Essays University of North Carolina Prees.
Phillipson, Michael, 1973, Phenomenological Philosophy and
Society, dalam New Directions in Sosiological Theory

26
ANTROPOLOGI TAFSIRIYAH
HERMENEUTIKA ATAU INTERPRETATIF
ANTROPOLOGY

Pendahuluan
Perbedaan atau pembagian antropologi ke dalam
beberapa corak atau aliran pemikiran seperti Atropologi
Positivistik, Antropologi Tafsiriah, Antropologi Struktural,
dan sebagainya. Adalah pembedaan yang dilakukan atas
dasar epistimologi yang berkembang dan (atau) dianut
dalam antropologi. Pada dasarnya sebuah epistimologi
dalam antropologi membedakan dirinya dari epistimologi
yang lainmelalui asumsi-asumsi dasar yang dipegangi,
model dan metode penelitian yang digunakan, objek
penelitian, dan konsep-konsep yang dipakai untuk
menegakkan bangunan teoritik dalam antropologi tersebut.
Sebab, unsur-unsur itulah yang membentuk bangunan
sebuah epistimologi. Diantara ciri yang membedakan
Antropologi Positivistik dengan Antropologi
Fenomenologis. Umpamanya, adalah model yang
digunakan oleh keduanya dalam menjelaskan fenomena
sosial-budaya. Antropologi positivistik menggunakan
model yang diambil dari ilmu alam (Biologi) seperti terlihat
dalam pandangan kaum fungsionalist yang mengatakan
bahwa kebudayaan itu seperti organisma, sementara
Antropologi Fenomenologis menggunakan model dari
linguistik seperti bahasa, yang di dalamnya terdapat
aturan-aturan tersebut.

27
Berkembangnya paradigm-paradigma dalam
antropologi budaya sering kali didorong oleh keinginan
untuk memecahkan persoalan-persoalan yang muncul
yang tidak bisa dipecahkan oleh paradigma sebelumnya.
Antropologi fenomenologi, umpamanya, muncul bukan
karena pengaruh langsung dari Filsafat Fenomenologi,
akan tetapi karena perkembangan dalam pendefisian
kebudayan, redefinisi dan remodeling, yang ada awalnya
didorong oleh keinginan para ahli antropologi untuk
memecahkan persoalan yang muncul ketika antropologi
melakukan proyek besar cross-Cultural Comparison.
(Catatan Kuliah Heddy Shri Ahimsa-Putra, 1999, Ahimsa-
Putra, 1994 : 37-41).
Seperti disebut dalam soal di atas, Antropologi
Tafsiriah adalah juga paradigma dalamantropologi yang
muncul untuk mengatasi beberapa persoalan penting
dalam antropologi budaya.Seperti telah disebutkan,
Atropologi Tafsiriah ini berbeda pandangan mengenai
beberapa hal dengan Antropologi Positivistik. Tulisan ini
berusaha untuk mengurai perbedaan pandangan kedua
antropologi tersebut mengenai: fakta sosial-budaya, ilmu
Antropologi Budaya, dan metode penelitian Antropologi
Budaya. Dalam tulisan ini, mula-mula akan dijelaskan
pandangan Antrpologi Positivistik mengenai ketiga
persoalan diatas, kemudian akan diuraikan pula
pandangan Antropologi Tafsiriah mengenai Ketiga
masalah yang sama, dan dengan begitu akan dapat pula
ditunjukkan perbedaan yang ada di antara kedua
pandangan ini.

28
Antropologi Positivistik
Sebagai sebuah aliran pemikiran dalam filsafat,
positivisme biasanya dihubungkan dengan aliran
pemikiran yang berpandangan epistimologi bahwa
pengalaman merupakan ontologis yang membedakan
antara objek yang dapat diobservasi dengan objek yang
tidak dapat diobservasi.Positivism berpendirian bahwa
hanya tentang objek yang dapat diobservasi manusia dapat
mempunyai ilmu pengetahuan. Sebagai sebuah aliran
pemikiran dalam ilmu-ilmu sosial, positivism juga merujuk
pada pengertian atau pandangan semacam itu dan upaya-
upaya atau tuntutan untuk membuat ilmu-ilmu sosial(
dalam hal ini sosiologi) menjadi disiplin ilmu yang scientific
(Bryant.1985:1). Barangkali bisa dikatakan bahwa
positivism, sebagai sebuah aliran pemikiran (paradigm)
dalam ilmu-ilmu sosial, bermula dari kecenderungan kuat
para ilmuwan sosial untuk mengangkat ilmu-ilmu sosial,
dalam hal ini sosiologi, agar sejajar “setingkat
keilmiahannya” dengan ilmu alam. Hal ini, sebagai mana
akan kita lihat, tampak dari bagaimana para ilmuwan
sosial ini meletakkan landasan-landasan untuk
membangun apa yang disebut dengan sosialscience
dengancara-cara atau prosedur-prosedur yang merujuk
pada cara-cara atau prosedur-prosedur yang dilakukan
atau dipakai dalam natural science.
Sekalipun positivism dalam ilmu sosial hadir denga
berbagai variasinya, namun aliran pemikiran ini
mempunyai ciri-ciri (prinsip-premis) yang bersifat umum.
Hammerley dan Atkinson (1983: 4) merangkum prinsip-

29
prinsip utama positivism dalam ilmu sosial menjadi tiga
prinsip sebagai berkut:
1. Physical science, conceived in terms of the logic of experiment,
is the model for sosial research Prinsip ini mengatakan
bahwa walaupun metode-metode physical science
bervariasi, namun secara umum metode-metode itu
mempunyai logika yang sama, yakni logika eksperimen
(the logic of experiment), dalam mengidentifikasi
hubungan antar variabel yang telah diukursecara
kuantitatif. Logika inilah yang menjadi ciri utama science
dan menjadi model bagi penelitian sosial.
2. Universal laws. Prinsip ini menegaskan bahwa fenomena
sosial-budaya dapat dijelaskan secara deduktif dengan
menggunakn hukum-hukum universal yang berlaku
dalam berbagai situasi. Ilmu-ilmu sosial harus
mempunyai prioritas untuk menemukan hukum-
hukum universal ini (dengan membuat generalisasi).
3. Neutral observation language. Prinsip ini menegaskan
bahwa objek penelitian harus dapat diobservasi secara
langsung. Bahasa yang digunakan harus bisa difahami
orang lain dengan ketepatan yang sama, dalam arti
ukuran-ukuran yang digunakan harus jelas, seperti
mercury dalam thermometer.
Dengan cara dan bahasa yang, saya kira, lebih jelas,
David Walsh (1972:16) mengemukakan bahwa positivism
dengan berbagai variasinya dicirikan dengan beberapa
premis dasar:
(1) That sosial phenomena are, for all analytical purposes,
qualitatively the same as natural phenomena;

30
(2) That the techniques for analysis developed in the natural
sceinces are applicable to sociological investigation, and;
(3) That the aim of sociology is produce a sistem of high-
level, empirically grounded theoretical propositions
which would provide the basis for predictive statements
about sosial phenomena.
Disini Walsh menegaskan bahwa dalam pandangan
kaum positivist, fenomena sosial, untu semua keperluan
analisis, secara kualitatif sama dengan fenomena alam dan
oleh karena itu teknik-teknik analisis yang dikembangkan
dalam ilmu-ilmu alam dapat digunakan dalam penelitian
sosial dalam rangka menciptakan proposisi teoritis
berdasarkan data empiris yang pada gilirannya dapat
digunakan untuk memprediksi fenomena sosial.
Sebagaimana dikutip Ahimsa-Putra(1998:30), Anthony
Giddens mengemukakan apa yang ia sebut dengan “
Positivistic attitude” yang mencakup tiga pandangan:
(1) “the prcedures of natural sciences may be directly
adapted to sociology”: (2) “the end result of sociological
investigations can be formulated as “laws” or “law-like”
generalizations of the same kind as those established by
natural scientist; dan(3) sociology has a technical
character.” (Bryant 1985:7-8)
Pada dasarnya apa yang dikemukakan Giddens ini
tidakjauh berbeda dengan apa yang dikemukakan Walsh,
dan karena itu, disini, saya kira, tidak diperlukan
penjelasan lebih jauh lagi. Dari apa yang telah dijelaskan
diatas, kita telah mengetahui beberapa ciri dari pandangan
kaum positivist, namun, sejauh itu pembahasan hanya
menyangkut tentang pandangan-pandangan yang beredar

31
dalam wilayah Sosiologi Positivistik dan bukan
Antropologi Positivistik. Oleh karena itu perlu ditegaskan
disini, mengutip Ahimsa-Putra(1998:33), bahwa kata
sosiologi dalam pembahasan diatas dapat saja diganti
dengan kata antropologi. Selanjutnya, Ahimsa-Putra,
dengan mengutip Keat &Urry (1985:4), menambahkan
bahwa bagi kaum positivist ilmu pengetahuan merupakan
suatu upaya untuk memperoleh pengetahuan yang
“predictive” dan “ explanatory” tentang gejala-gejala sosial
diluar diri manusia.
Sampai disini, saya kira, sudah bisa disimpulkan
beberapa hal yang merupakan ciri dari pandangan
Antropologi Positivistik, yakni :
1. Fakta atau fenomena sosial- budaya pada dasarnya
sama dengan fenomena alam, dankarena itu;
2. Metode penelitian yang dikembangkan dalam ilmu
alam dapat digunakan (diadaptasi ke) dalam
penelitian sosial-budaya (karenanya bisa dipakai
pula sebagai metode penelitian dalam Antropologi
Budaya) dengan tujuan akhir membuat generalisasi
atau law-like generalization, dengan begitu;
3. Ilmu Antropologi Budaya adalah Ilmu yang
berupaya untuk menjelaskan, membuat pertanyaan-
pertanyaan prediktif, tentang fenomena sosial-
budaya.

32
Antropologi Tafsiriah

Pandangan kaum positivist sebagaimana diuraikan di


atas, dalam perkembangannya, banyak mendapatkan
kritik.Kritik pertama, untuk menyebutsekedar contoh,
datang dari kaum fenomenologis, yang mengatakan bahwa
kaum positivist telah membuat kesalahan serius dengan
menganggap fenomena sosial sebagai tak berbeda dengan
fenomena alam. Walsh mengatakan bahwa apa yang
terlepas dari dictum Durkheim yang sangat popular dan
banyak mempengaruhi semua variasi positivism dalam
ilmu-ilmu sosial, yakni “to treat sosial facts as thing”, adalah
bahwa Durkheim tidak memberi perhatian pada proses-
proses sosial yang kemudian mengahsilkan realitas sosial:
bagaimana sebuah dunia sosial itu dibentuk oleh bahasa,
tanda-tanda, dan gesture-gestur yang dimiliki bersama,
dan bagaimana karakter yang dimiliki bersam semacam itu
dikenali dan diakui oleh anggota masyarakat.
Dengan merujuk pada pandangan Schutz tentang
fenomena sosial-budaya, Walsh menyatakan bahwa secara
instrinsik fenomena alam tak mempunyai makna
(meaningless), sedangkan fenomena sosial-budaya secara
instrinsik mempunyai makna (meaningful). Dunia sosial
adalah dunia yang dibentuk oleh makna-makna yang
dimiliki bersama dan digunakan oleh anggota masyarakat
sebagai a common scheme of reference.Dengan skema
referensi inilah hal-hal seperti peristiwa, perbuatan, setting,
dsb.Ditafsir dan dijelaskan(Walsh, 1972: 16-19, 30-31).Kritik
berikutnya, yang masih dekat dengan kritik fenomenologis,
adalah kritik hermeneutik. Mengutip Bauman, kritik

33
hermeneutik ini, yang diilhami oleh pandangan kaum
Romantik tentang karyasastra, mempertanyakan
kebenaran pandangan yang mengatakan bahwa kita bisa
memperoleh pengetahuan yang benar tentang masyarakat
dengan mengabaikan unsur maksud dalam fenomena
sosial-budaya. Dalam pandangan kaum hermeneutik,
fenomena sosial budaya merupakanproduk dari perilaku
manusia, laki-laki dan perempuan, sehingga pemahaman
tentang fenomena sosial-budaya itu harus dilakukan
dengancara yang berbeda dari cara kita memperoleh
penjelasan tentang fenomena alam, yakni dengan
melibatkan unsur maksud, pikiran, dan perasaan, yang
mendahului fenomena sosial –budaya dan mendasari
perilaku manusia sebagaimanayang tampak. Oleh karena
itu, memahami perilaku manusia adalah menangkap
makna yang ada padanya, suatu upaya yang jelas berbeda
dengan apa yang dilakukan oleh ilmu alam. (Bauman,
1978:11-12).
Diantara teoritisi dan sekaligus praktisi Antropologi
Tafsiriah yang sangat popular adalah antropolog Amerika
yang telah berjasa banyak bagi masyarakat antropologi
Indonesia karena karya-karyanya tentang kebudayaan di
Indonesia, yakni Clifford Geerts. Dalam bukunya “ Tafsir
Kebudayaan (terjemhan ke bahasa Indonesia oleh F. Budi
Hardiman), Geerts menegaskan:
“Konsep kebuadayaan yang saya dukung pada hakekatnya
merupakan sebuah konsep yang semiotic.Dengan percaya Pada
Max Weber bahwa manusia adalah seekor binatang yang
bergantung pada jaringan makna yang dibangunnya sendiri,
saya menganggap kebudayaan sebagai jaringan-jaringan itu, dan

34
analisis atasnya lantas tidak merupakan ilmu eksperimental
untuk mencapai hukum melainkan sebuah ilmu interpretative
untuk mencari makna.“ (Geertz, 1974: 5).
Artinya, mengutip Budi Susanto dalam Sekapur Sirih
untuk buku “ Tafsir kebudayaan” ini, “bagi Geertz,
kebudayaan adalah sesuatu hal yang bersifat semiotik; hal-
hal yang berhubungan dengan simbol yang tersedia di
depan umum dan dikenal oleh warga masyarakat yang
bersangkutan.” Karena kebudayaan adalah sesuatu yang
berhubungan dengan simbol, maka ia perlu ditafsir untuk
mendapatkan maknanya. Dalam menekankan pentingnya
interpretasi dalam melihat fenomena sosial-budaya itu
Geertz, dengan mengutip Ryle, memberikan ilustrasi
sebagai berikut: dua orang anak mengedipakn mata kanan
mereka. Pada anak tang satu. Kedipan ini adalah sebuah
kedutan yang tak disadari; pada anak yang lain,
merupakan sebuah isyarat persekongkolan dengan seorang
kawan.
Geertz menegaskan “observasi fenomenalistis” atas
kedua anak ini tidak bisa menunjukkan yang mana yang
merupakan kedutan dan yang mana yang merpakan
isyarat, atau apakah memang keduanya merupakan baik
kedutan maupun isyarat.” Maka dari itu, persoalan
mendasar yang kemudian muncul adalah bagaimana
seorang etnografer mampu menangkap lapisan-lapisan
makna dari suatu peristiwa sosial-budaya yang tampak
sama di permukaa, atau, dengan kata lain, bagaimanakah
sebuah interpretasi terhadap fenomena sosial-budaya
dapat dilakukan untuk menemukan maknanya. Jawaban

35
terhadap persoalan ini pastilah akan berimplikasi pada
bagaimana sesungguhnya cara kerja seorang etnografer.
Dalam pandangan Geertz, mengerjakan etnografi
adalah suatu usaha intelektual yang penuh resiko untuk
melakukan apa yang oleh Gilbert Ryle disebut dengan
deskripsi mendalam(1974:6). Disamping itu, Geertz juga
mengatakan bahwa mengerjakan etnografi itu mirip usaha
membaca (dalam arti “menafsirkan sebuah bacaan dari”)
sebuah manuskrip yang bersifat asing, samar-samar, penuh
elips-elips, ketakhorenan-ketakhorenan, dan lebih dari itu,
manuskrip etrsebut ditulis tidak diatas kertas, melainkan
dalam contoh-contoh sementara dari tingkah laku sosial
yang tampak (Geertz, 1978;12).
Dengan demikian kebudayaan itu bersifat public;
kebudayaan tidak bertempat dikepal dan hati manusia
pendukungnya sebagaimana dikatakan Goodenough
(Ibid).Geertz menegaskan bahwa kebudayaan itu bersifat
public karena makna bersifat publik. Dalam contoh kasus
seperti ilustri diatas, anak yang mengedipkan matanya itu
tidak akan bisa memberi isyarat dengan mata kalau ia tidak
tahu apa yang secara sosial dianggap sebagai pemberian
isyarat dengan kedipan mata. Oleh karena itu jika harus
menjawab pertanyaan tentang apa yang memebedakan
kedua jenis kedipan mata dalam ilustrasi diatas, maka
barangkali jawabannya adalah konteks. Apa yang saya
maksud dengan konteks disisni adalah situasi-situasi yang
menjadi setting bagi terjadinya proses-proses interaksi
sosial, peristiwa-peristiwa, yang melahirkan makna.
Konteks itu bersifat sosial sebagaimana makna bersifat
sosial.Geertz mengatakan bahwa sebagai sistem-sistem

36
yang saling terkait dari tanda-tanda (simbol-simbol) yang
dapat ditafsirkan, kebudayaan bukanlah sebuah kekuatan,
sesuatu untuk memberi ciri kausal pada peristiwa-
peristiwa sosial, perilaku-perilaku, pranata-pranata, atau
proses-proses.Kebudayaan adalah sebuah konteks, sesuatu
yang dalamnya semua hal itu dapat dijelaskan dengan
terang, yakni secara mendalam (Geertz, 1974: 17,
penekanan dari saya).
Dalam bukunya “ Reading Ethnography”, David
Jacobson menyatakan bahwa sebuah karya etnografi bukan
semata-mata deskripsi, paparan, atau laporan tentang
suatu kebudayaan tertentu. Dalam setiap karya etnografi
selalu terdapat interpretasi, levels of analysis, klaim-klaim,
dan data yang digunakan untuk mendukung klaim-klaim
tersebut, fakta yang di tampilkan dalam sebuah karya
etnografi bukanlah tanpa melalui proses seleksi, organisasi,
dan bukanya dibiarkan “ berbicara dengan sendirinya”.
Fakta-fakta itu dihadirkan sedikit banyak dalam
hubunganya dengan suatu perspektif atau kerangka
teoritik tertentu.(Jacobson, 1991: 1-5).
Dalam tulisan ini, apa yang hendak ditekankan
dengan mengutip asumsi Jacobson ini adalah bahwa
sebuah karya itu hadir setelah melalui rekaysa-rekayasa yang
memang dibutuhkan dalam penulisan sebuah karya
etnografi. Mekanisme menyangkut soal-soalteknis
penulisan karya etnografi inilah yang, saya kira, menjadi
alasan bagi Geertz untuk mengatakan bahwa tulisan
antropologis, karya etnografi, adalah fiksi, dalam arti
bahwa- sesuai arti asli dari fictio-tuliasan itu merupakan
“sesuatu yang dibentuk”, “sesuatu yang diciptakan” (Ibid).

37
sebagaimana sebuah karya fiksi, karya-karya etnografi itu
lantas tidak jauh berbeda dengan karya satra. Garis batas
antara karya satra dan karya etnografi menjadi demikian
kabur.Citra etnografi sebagai sebuah karya yang obyektif-
faktual menjadi ‘ternoda’ oleh kehadiran unsur-unsur
imajinasi di dalamnya. Satu-satunya hal yang membedakan
karya etnografi dari karya sastra adalah bahwa dala karya
sastra tokoh-tokoh yang diciptakan adalah benar-benar
tokoh imajinatif (sekalipun tidak seluruhnya benar-benar
demikian), sedang dalam karya etnografi baik tokoh
maupun peristiwa semuanya merujuk pada apa yang
benar terjadi dalam suatu masyarakat tertentu.
Hal inilah yang menjadi alasan sebagian orang untuk
mengkhawatirkan, sebagaimana disinggung oleh Gertz
(1974:30), bahwa pada gilirannya fakta itu akan
mengancam status obyektif antropologi sebagai ilmu
pengetahuan ilmiah, terhadap kenyataan ini Geertz
mengatakan bahwa fakta itu memang sungguh telah
mengancam status obyaktif antropologi, akan tetapi
ancaman itu lemah. Seorang etnografer tidak diukur dari
seberapa jauh ia dapat membawa pulang fakta-fakta dari
lapangan seperti sebuah topeng atau ukiran, melainkan
sampai sejauh mana ia dapat menjelaskan apa yang terjadi
di tempat-tempat itu.
Bila etnografi merupakan lukisan mendalam dan para
etnografer adalah mereka yang membuat lukisantersebut,
pernyataan penting yang perlu diajukan adalah apakah
lukisan itu mampu memisahkan –merefer pada ilustrasi
tentang kedipan mata di atas –pemberian isyarat dengan
kediapan mata dari kedutandan mampu memisahkan

38
pemberian isyarat yang sungguh-sungguh dari yang
berupa mimik buatan.(Geertz,1974: 30). Oleh karena itu,
bagi Geertz, antropologi, atau sekurang-kurangnya
Antropologi Interpretatif adalah ilmu pengetahuan yang
kemajuannya tidak ditandai oleh kelengkapan
(kesempurnaan) konsensus, melainkan oleh kehalusan
perdebatan yang dihasilkan. (Geertz,1974:34).
Sampai disini, saya kira, beberapa persoalan yang
dibahas dalam tulisan ini telah terjawab.Oleh karena itu
ada baiknya dikemukakan disini beberapa butir
kesimpulan yang bisa ditarik dari pembahasan diatas :
1. Dalam pandangan Antropologi Tafsiriah fakta atau
fenomena sosial-budaya berbeda dengan fenomena
alam. Fenomena sosial-budaya adalah hasil dari
perilaku manusia yang harus difahami dengan
mempertimbangkan unsur maksud, pikiran, dan
perasaan yang mendasarinya. Memahami fenomena
sosial-budaya adalah menangkap makna yangada
padanya.
2. Metode penelitian yang dikembangkan dalam ilmu-
ilmu alam tidakbisa diadaptasi ke dalam penelitian
sosial-budaya, karena itu tidak bisa dipakai sebagai
metode penelitian dalam Antropologi Budaya, yang
bertujuan akhir memberi interpretasi untuk mencari
makna, bukan membuat generalisasi atau “law-like
generalization.” Dalam hal ini Geertz menawarkan
metode “Thick Description”.
3. Ilmu Antropologi Budaya adalah ilmu interpretatif
untuk mencari makna yang melihat kebudayaan sebagai
sesuatu yang semiotis, sebagai jaringan makna yang

39
ditenun manusia sendiri sebagai pendukung
kebudayaan tersebut.
Dengan butir-butir kesimpulan diatas, saya kira,
tulisan telah menjelaskan pandangan Antropologi Tafsiriah
mengenai fakta sosial-budaya, metode penelitian dalam
Antropologi Budaya, dan ilmu Antropologi Budaya
sekaligus menunjukkan perbedaannya dengan pandangan
Antropologi Positivistik tentang masalah yang sama.

40
ANTROPOLOGI STRUKTURAL
LEVI-STRAUSS

Pendahuluan
Levi-Strauss bukanlah tokoh yang sejak awal karirnya
tertarik pada antropologi sebelum akhirnya mengambil
keputusan penting dalam hidupnya untuk menekuni
antropologi, Levi-Strauss telah lama mendalami filsafat
dan hukum sehingga tak mengherankan jika nuansa atau
percikan filsafat bertebaran di banyak karyanya. Titik awal
karir Levi-Strauss sebagai antropolog bermula dari
pertemuannya dengan seorang linguist Amerika, Roman
Jakobson dan terutama dengan etnolog Robert Lowie yang
menulis “ Primitive Society”.
Setelah membaca karya Lowie inilah Levi-Straus mulai
tertarik pada antropologi. (Ahimsa-Putra, 1997:xii), (van
Baal, 1988: 117). Dalam membangun teori strukturalnya,
Levi-Strauss banyak memanfaatkan (meminjam) perspektif
teoritik dari ilmu-ilmulain, yakni dari psikologi (Gestalt,
Freud), dari sosiologi dan antropologi (Rousseau,
Durkhiem, Mauss, Marx), dari linguistik (Saussure,
troubetzkoy, Jakobson), dll.(Rossi, 1974:8). Tulisan ini
membatasi diri untuk hanya menunjukkan beberapa kritik
Levi-Strauss terhadap Teori Evolusi Kebudayaan dan Teori
Diffusi Kebudayaan serta beberapa ciri yangada pada
fenomena sosial budaya yang menjadi alasan bagi Levi-
Strauss untuk merasa lebih cepat mengambil model
linguisti. Di bagian akhir akansaya kemukakan komentar

41
saya terhadap pemikiran Levi-Strauss terutama menyngkut
soal pengambilan model dari linguistik.

Kritik Levi-Strauss Terhadap Teori Evolusi Dan Diffusi.


Kritik-kritik Levi-Strauss terhadap pandangan kaum
diffusionost dan evolusioneist mengenai fenomena
kebudayaan yang dia kemukakan dalam bukunya “
Struktural Anthropology” sesungguhnya pandangan dia
mengenai posisi sejarah dalam Antropologi Budaya.
Berbeda dengan kaum evolusionist dan diffusonist, Levi-
Strauss berasumsi bahwa fenomena sosial-budaya bersifat
discontineu, artinya, dalam konteks Indonesia kita tidak
melihat bahwa masyarakat Jawa berubah menjadi
masyarakat Batak, masyarakat Batak berubah menjadi
masyarakat Padang atau Minang, dst.
Oleh karena itu, dalam pandangan Levi-Strauss
sejarah bukan merupakan satu-satunya penjelasan. (catatan
Kuliah ahimsa-Putra, 1999). Apa yang menjadi perhatian
Levi-Strauss dalam mencermati pemikiran para
evolusionist dan diffusionist adalah tentang konsep spesies
ketika konsep itu diterapkan pada fenomena sosial-budaya,
tentang detailed history sebagaimana dikemukakan Tylor,
dan tentang asal mula institusi atau tipe struktursosial dual
organization sebagaimana dijelaskan para evolusionist dan
diffusionist. Uraian dibawah ini bermaksud menunjukkan
kritik-kritik Levi-Strauss.
Sebagaimana diketahui, pandangan kaum evolusionist
barsal evoluisnisme dalam biologi dan menganggap bahwa
peradaban Barat mewakili tingkat perkembangan
masyarakat yang paling maju, sementara masyarakat-

42
masyarakat sederhana mewakili perkembangan yang
paling rendah.
Dengan mengutip Tylor, Levi-strauss menunjukkan
bahwa dala pandangan kaum evolusionist dan diffusionist
busur dan anak panahnya adalah spesies, praktek
perhitungan dengan satuan sepuluh adalah spesies,
kebisaaan meratakan tulang tengkorak anak adalah spesies.
Penyebaran hal-hal (tradisi-tradisi) inisecara geografis dari
tempat yang satu ke tempat yang lain harus dipelajari
sebagaimana seorang naturalist mempelajari penyebaran
secara geografis spesie-spesie binatang dan tumbuhan.
Analogi ini, menurut Levi-Strauss, tidak tepat dan
berbahaya karena satu hal.Konsep spesies sebagaimana
digunakan ahli sejarahalam adalah valid karena menunjuk
pada kenyataan bahwa kuda memang melahirkan kuda
dan bahwa, setelah melalui perkembangannya dari
generasi ke generasi, Equus caballus adalah benar-benar
keturunan dari hipparion.Rekontruksi para naturalist
menyangkut perkembangan biologis dan persebaran
geografis spesies ini dibenarkan karena didukung oleh
fakta biologis yang menunjukkan hubungan reproduksi
binatang-binatang tersebut.
Akan tetapi tidak demikian halnya ketika term spesies
ini diterapkan pada fenomena sosial-budaya. Levi-strauss
mencontohkan bahwa sebuah kapak, bagaimanapun, tidak
akan melahirkan kapak lain. Bahkan diantara dua alat yang
tampak sama (mirip) dari segi bentuk, atau hal terdapat
perbedaan yang mendasar, sebab alat yang satu tidak
berasal dari alat yang lain. Sebuah alat pada dasarnya

43
merupakan produk dari suatu sistem representasi (Levi-
strauss, 1963: 3-4).
Dalam “The Scope Of Anthropology”, teks pidato
inagurasi Levi-strauss sebagai professor, Levi-Stauss lebih
jauh mengatakan bahwa teknik, dilihat secara terpisah,
merupakn raw fact,pusaka sejarah, atau hasil kompromi
dari kebutuhan manusia dan kesulitan-kesulitan alam.
Akan tetapi bila diletakkan dalam konteks yang lebih luas
teknik-teknik yang ada di berbagai masyarakat yang ingin
coba direkontruksi oleh antropologi, maka teknik itu bisa
mendapat penjelasan baru, sebab kemudian kita
membayangkan teknik-teknik itu sebagai padanan-
padanan pilihan yang demikian banyak.
Dalam arti ini, suatu kapak batu dengan tipe tertentu
bisa menjadi sign (tanda): dalam konteks tertentu, bagi
peneliti yang mampu memahami kegunaannya, kapak ini
menggantikan alat lain yang barangkali justru digunakan
masyarakat lain untuk keperluan yang sama. Oleh karena
itu, sebuah teknik paling sederhana sekalipun yang ada
pada masyarakat sederhana menyimpan karakter suatu
sistem, yang dapat dianalisis dari sudut pandang sistem
yang lebih umum. Bagaimana elemen-elemen tertentu dari
sistem local itu merupakan pilihan yang dibuat oleh
masing-masing masyarakat atau masing-masing periode
dalam perkembangan masyarakat.(Levi-Strauss, 1967: 18-
19).
Dengan begitu menjadi jelas bahwa, sebagai sebuah
sistem representasi, garpu eropa dan garpu Polynesia(yang
diguanakan dalam hidangan makanan upacara) tidak
membentuk spesies, begitu juga sedotan yang digunakan

44
untuk menghisap limun di kafe, dan “bombilla” yang
digunakan untuk minum mate, dan alat minum tube yang
digunakan untuk keperluan upacara suku indian Amerika.
Hal yang sama juga berlaku bagi institusi. Kita tidak bisa
mengelompokkan ke dalam rubrik yang samakebiasaan
membunuh orang lanjut usia karena alasan ekonomi dan
kebiasaan mempercepat masuknya orang lanjut usia ke
dalam kenikmatan dunia lain(Levi-Strauss, 1963: 4).
Oleh karena itu, menurut Levi-strauss, Tyler benar-
benarmenyesatkan kita ketika mengatakan bahwa bila
mana kaidah umum (general law) dapat diturunkan dari
sejumlah fakta tertentu, maka penggunaan detailed history
dapat ditangguhkan: di manapun dan kapanpun magnet
menyedot sebuah besi, karena itu tak diperlukandetailed
history untuk mengetahui bahwa magnet menyedot sebuah
besi.
Akan tetapi, menurut Levi-Strauss, persoalannya
menjadi lain ketika premis itu ditarik ke wilayah
antropologi, sebab antropolog mempunyai kesulitan serius
untuk memastikan manakah dari obyek studinya yang
termasuk magnet dan mana pula yang termasuk besi, lebih
dari itu mungkin saja antropolog mengidentifikasi dua
obyek yang semula sama-sama Nampak sebagai dua
magnet atau dua buah besi. Hanya dengan “detailed history”
antropolog dapat mengikis keragu-raguan pada masing-
masing kasus. Contoh baik dalam hal ini, menurut Levi-
Strauss, adalah kajian kritis terhadap konsep totemisme.
Jika kita membatasi penggunaan konsep tetomisme itu
hanya pada kasus-kasus yang sudah jelas dimana institusi
tetom berikut semua ciri yang menyertainya dapat dilihat

45
dengan baik, maka kasus-kasus ini merupakan sumber
yang terlampau khusus untuk merumuskan hukum
perkembangan evolusi agama.
Akan tetapi bila sebaliknya kita juga menerapkannya
pada kasus-kasus yang kurang begitu jelas dimana institusi
tetom itu hanya bias diraba dari elemen-elemen tetom yang
ditentukan (penggunaan nama-nama binatang dan
tanaman serta praktek-pratek kepercayaan yang
berhubungan dengan nama-nama binatang dan tanaman
itu), tanpa detailed history mengenai gagasan keagamaan
yang ada pada setiap kelompok (masyarakat), tidak
mungkin kita bias mengetahui apakah elemen-
elementetom tersebut benar-benar merupakan sisa-sisa dari
sistem tetomik awal ataukah merupakan kecenderungan
logiko-estetik pikiran manusia untuk menggolong-
golongkan entitas-entitas sosial, biologis, dan fisik yang
membentuk dunianya ke dalam kategori-kategori dengan
menggunakan nama-nama bnatang dan tanaman. Studi
klasik Dukheim dan Maus telah menunjukkan bahwa cara
berfikir klasifikasi semacam itu merupakan fenomena
universal. (Levi-Strauss, 1963: 4-5).
Selanjutnya, Levi-Strauss mengatakan bahwa pada
dasarnya interpretasi evolusionist dan diffusionist tidak
jauh berbeda. Konsep “lingkaran kebudayaan” yang
dikemukan para diffusionist mirip dengan konsep “tahap-
tahap perkembangan” yang dikemukan para evolusionist.
Kedua konsep itu merupakan hasil dari abstraksi yang
kurang didukungg dengan bukti-bukti empiris sehingga
sejarah atau rekonstruksi yang dibuat para evolusionist
dan diffusionist tetap bersifat dugaan. Menurut Levi-

46
Strauss, pandangan yang mengatakan bahwa setidaknya
dalam beberapa kasus apa yang dikemukakan para
diffusionist dan evolusionist mempunyai tingkat
kemungkinan yang tinggi itu sesungguhnya menyesatkan,
sebab pandangan itu sesungguhnya tidak bicara apa-apa
tentang proses-proses yang dialami manusia secara kolektif
maupun individual, yang dengan proses-proses itu mereka
yang tidak mempunyai institusi tertentu berusaha untuk
mencari dan mendapatkannya, baik dengan cara
menemukannya sendiri atau memodifikasi institusi
terdahulu atau meminjam dari luar.(Levi-Strauss, 1963: 6).
Sebagaimana dikutip Levi-Strauss, Boas dengan
rendah hati menyatakan bahwa sejarah masyarakat
sederhana sebagaimana dikembangkan para etnolog
hanyalah sebuah rekonstruksi, tidak bias yang lain. Namun
demikian, menurut Levi-Strauss, studi-studi semacam itu
jarang benar-benar merupakan upaya recreating history.
Karya Boas menunjukkan bahwa diantara masyarakat
Indian Pueblo Barat Daya dan diantara suku-suku Alaska
dan British Columbia, organisasi sosial mengambil
bentuknya yang berlainan secara sektrim. Orgsnisasi sosial
dimasyarakat Pueblo Barat bersifat matrineal clan tanpa
moieties, sementara dimasyarakat Pueblo Timur bersifat
patrineal moieties tanpa clan.Masyarakat dibagian utara
Pantai Pasifik berciri organisasi bilateral dan kelompok
lokal.
Persoalannya adalah dapatkah kita menyimpulkan
bahwa satu tipe tertentu telah berkembang ke dalam tipe
yang lain? Persoalan mendasar yang dihadapi evolusionist
adalah menunjukkan bukti bahwa suatu masyarakat

47
dengan tipe tertentu memang benar-benar berkembang ke
tipe yang lain dan bahwa perkembangan itu harus lebih
tampak dipusat area dari pada di daerah-daerah
pinggirannya. Gagal mendemontstrasikan hal ini
menyebabkan apapun teori tentang survival menjadi sia-sia
dan dalam kasus diatas fakta tidak mendukung bahwa
yang matrilineal berkembang menjadi patrilineal. Bahwa
karena faktor-faktor tertentu masyarakat matrilineal
mengalami kekacauandan kemudian berubah menjadi
patrilineal adalah mungkin, akan tetapi sama sekali tidak
bisa disimpulkan bahwa secara universal matrilineal
mewakili bentuk yang lebih sederhana.(Levi-Strauss, 1963:
7-8).
Kritik Levi-Strauss berikutnya terhadap pandangan
kaum diffusinoist dan evolusionist adalah mengenai tipe
struktur sosial yang disebut dengan dual organization. Yang
menjadi pokok persoalan disini adalah dimana tipe
struktur sosial ini mulai muncul dan dimana ia berakhir
atau menghilang. Kaum evolusionist, yang cenderung
memandang dual organization sebagai tanpa
perkembangan masyarakat, tentu saja akan berupaya
merumuskan suatu bentuk sederhana dari tipe struktur ini
dengan berpijak pada bentuk yang ada. Para diffusionist,
disisi lain, mungkin akan memilih salah satu tipe struktur
sosial ini yang dianggap paling maju atau paling kompleks
yang mewakili perkembangan bentuk institusi ini dimasa
lalu. Daerah yang memiliki dokumentasi paling baik
mengenai institusi ini kemudian akan dianggap sebagai
daerah asal yang memunculkan institusi ini, sementara
keberadaan institusi ini di daerah-daerah lain merupakan

48
hasil dari proses migrasi atau peminjaman dari pusatnya.
Jadi, dalam kasus itu, masing-masing pihak memilih satu
tipe tertentu sebagai bahan kajian untuk, dengan cara
spekulasi, merumuskan bentuk-bentuk yang lain. Dalam
pandangan Levi-Strauss, dengan mendasarkan
pandangannya pada kenyataan bahwa fungsi institusi ini
tidak selalu sama diberbagai tempat, dan bahwa sejarah
masing-masing masyarakat menunjukkan bahwa
pembagian ke dalam moieties berasal dari cara-cara yang
berlainan, maka dual organization itu mungkin saja
merupakan hasil (akibat) dari invasi suatu kelompok
imigran, atau percampuran (fusi) dua kelompok yang
bertetangga karena alas an-alasan ekonomi, demografi,
seremonial, atau alasan-alasan lain yang berpangkal pada
keinginan memelihara equilibriumsosial, dsb.
Oleh karena itu kita musti menolak konsep dual
organization sebagai spurious category, dengan kata lain kita
musti menolak penjelasan spekulatif berdasar sejarah yang
didukung logikadan bukan dokumen. (Levi-Straus, 1963: 9-
11). Dalam pandangan Levi-Strauss, sejarah semacam itu
akan tetap bersifat ‘conjectural’ (dugaan); hubungan-
hubungan genetik antara masyarakat yang satu dengan
yang lain ditetapkan tidak berdasarkan pada dokumen dan
validitasnya dijamin oleh konsep-konsep, bukan oleh fakta.
(Gaboriau,:158).
Sampai disini, saya kira, tulisan ini telah memenuhi
tugasnya untuk menunjukkan beberapa kritik Levi Strauss
terhadap pemikiran-pemikiran tentang fenomena
kebudayaan yang dikemukakan dalam Teori Evolusi
Kebudayaan dan Teori Diffusi Kebudayaan, yang pada

49
dasarnyamerupakan (sebagian dari) pandangan Levi-
Strauss tentang posisi sejarah dalam antropologi, yakni
bahwa Levi-Strauss menolak penjelasan sejarah yang
bersifat conjectural, yang menetapkan hubungan-hubungan
genetic antar masyarakat atau antar fenomena sosial-
budaya dengan dukungan logika dan bukan dokumen,
sehingga validitasnya dijamin oleh konsep-konsep tetapi
tidak oleh fakta. Pandangan Levi-Strauss ini berangkat dari
asumsinya bahwa fenomena sosial-budaya bersifat
discontinue,sehingga sejarah bukan merupakakn satu-
satunya penjelasan. Karena pandangannya ini yang seolah-
olah menampik ‘campur tangan’ sejarah dalam kajian
antropologis dan lebih memusatkan kajiannya pada
dimensi sinkronis dari fenomena sosial-budaya, Levi-
Strauss sering dikritik sebagai tidak ‘respek’ pada
sejarah.Ini terlihat dari pernyataan Levi-Strauss dalam
pidato inagurasi dirinya sebagai professor.
“this historian’s profession of faith may come as a surprise,
since I have at times been critised for being uninterested in
history and for paying scant attention in my work. I do not
pratise it much, but I am determined that it rights should be
reserved. I merely believe that in this formative period of
sosial anthropology , nothing would be more dangerous than
an unmethodical eclecticism seeking to give the illusion of a
finished science by confusing its taks and mixing its
programmes” (1967: 25).

50
Model Linguistik yang Digunakan Levi-Strauss
Seperti disebut dalam soal diatas bahwa Antropology
struktural dari Levi-Strauss banyak mengambil model dari
linguistik dalam memandang dan menganalisis fenomena
sosial-budaya. Uraian pada bagian ini bermaksud
menunjukkan ciri yang ada pada data Antropologi Budaya,
yang membuat Levi-strauss merasa lebih tepat mengambil
model dari ilmu bahasa(linguistic).
Barangkali harus dikatakan lebih dahulu bahwa
strukturalime, sebagai sebuah metode, bukanlah khas
‘milik’ Antropologi Budaya, karena itu kita dapat
menemukan studi-studi struktural dalam ilmu-ilmu yang
lain. Salah satu ciri metode ini adalah jangkauannya yang
mencakup semua fenomena sosial-budaya, apapun
bentuknya, dan karenanya mencakup semua kajian tidak
hanya dalam ilmu-ilmu sosial (antropologi, sosiologi,
politik, ekonomi, dan psikologi) tapi juga ilmu-ilmu
humaniora (sastra, sejarah, dan linguistik), termasuk juga
seni murni. (Lane, 1970: 13)
Adapun strukturalisme Levi-Strauss adalah
strukluralisme sebagaimana dipraktekkan Levi-Strauss
dalam menganalisis fenomena sosial-budaya seperti yang
bisa dilihat dalam banyak karyanya. orientasi pertama
Levi-Strauss dalam kajian-kajiannya mengenai sistem
kekerabatan dan perkawinan, mitos, dan topeng, seperti
diakuinya sendiri, adalah mencari tatanan tertentu di balik
semua hal yang tampak begitu kacau-balau.(Levi-Strauss ,
dalam cremers dan de santo, 1997: 53), atau, mengutip
Ahimsa-Putra (1997: xxv), “ingin mencari sesuatau yang
universal, yang “invariant”, yang tetap, dibalik berbagai

51
macam fenomena yang tampak begitu beraneka ragam”.
Untuk mencapai tujuan itu Levi-Strauss sudah pasti harus
membangun landasan-landasan teoritik dan itu
dilakukannya dengan, diantara yang lain-lain, mengambil
model dari linguistik.Karena, pertama, linguistik
merupakan ilmu yang benar-benar telah mencapai derajat
sosial science karena kemajuan-kemajuan yang telah
dibuatnya. Levi-Strauss menulis: “Lingusitics occupies a
special place among the sosial science, to whose ranks it
unquestionably belongs. It is not merely a sosial cience like the
others, but, rather, the one in which by far the greatest progress
has been made. It is probably the only one which can truly clain
to be a science and which has achieved both data submitted to its
analysis.”(1963:31)
Merujuk pada pernyataan Troubetzkoy, Levi-Strauss
menunjukkan beberapa kamajuan penting yang telah
dicapai linguistikstruktural.Pertama, kajian
linguistikstruktural telah beralaih dari kajiannya mengenai
fenomena bahsa pada level conscious ke kajiannya
mengenai fenomena bahasa pada level unconscious infra
structure; kedua, linguistic struktural tidak memperlakukan
terms (istilah, kata) sebagai entitasyang independen dan
menempatkan basis analisisnya pada masalah hubungan
antar term; ketiga, linguist struktural mulai
memperkenalakan konsep sistem-ilmu fenom modern
tidak hanya mengatakan bahwa fenom adalah bagian dari
sistem, tapi juga menunjukkan sistem fenom yang konkrit
dan menjelaskan strukturnya; keempat, linguistikstruktural
berupaya menemukan general laws baik dengan logika
induksi maupun deduksi. (1963: 33).

52
Bagi Levi-Strauss, kenyataan ini menunjukkan bhawa
di antara fenomena sosial yang lain bahsa telah lebih
dahulu menjadi obyek kajian yang benar-benar ilmiah; dan
oleh karena itu, linguistik layak menjdai model bagi kajian-
kajian ilmiah terhadap fenomena sosial yang lain diluar
bahasa.(Ibid: 58).
Alas an kedua kanapa Levi-Strauss merasa lebih tepat
mengambil model dari linguistik adalah karena dalam
pandangan dia fenomena sosial –budaya itu seperti
fenomena bahasa fenomena sistem kekerabatan,
umpamanya, sama dengan fenomena fenom. Istilah-istilah
kekerabatan adalah elemen-elemen makna yang,
sebagaimana fenomena fenom, mempunyai makna yang
hanyaketika istilah-istilah ini berada dalam satu
sistem.Sistem kekerabatan, sebagaimana sistem fenom,
dibangun oleh pemikiran pada level unconscious.
Kenyataan bahwa terdapat pengulangan-pengulangan
(kesamaan-kesamaan) pola-pola kekerabatan dan aturan-
aturan perkawinan, sikap-sikap kekerabatan, diberbagai
tempat yang berbeda-beda secara mendasar, menunjukkan
kepada kita bahwa dalam masalah kekerabatan, seperti
juga dalam masalah bahsa, fenomena yang tampak
sesungguhnya berasal dari suatu hukum yang umum,
namun tersembunyi. Jadi, walaupun berada pada another
order of reality, fenomena kekerabatan mempunyai tipe
yang sama dengan fenomena linguistik. (Ibid: 33-34).
Dalam kesempatan yang lain, Levi-Strauss melihat
fenomena fenom ini juga mirip dengan larangan incest.
Dalam sebuah tulisannya “Calude levi-Strauss: Butir-butir
Pemikiran antropologi”, Ahimsa-Putra memberikan

53
penjelasan yang cukup mudah diikuti kenapa levi-strauss
melihat fenomena larangan incest sama dengan fenomena
fenom.
Menurut Ahimsa-Putra, fenom adalah unit terkecil
bahasa yang tidak mempunyai makna tapi menjadi
wahana yang ikut menentukan makan. Misalnya fenom [t]
dan fenom [th] dalam bahasa jawa sebagaimanaberturut-
turut terdapat adlam kata ‘kutuk’ (yang berarti suatu jenis
ikan air tawar) dan ‘kuthuk’ (yang berarti anak ayam).
Yang membuat kedua kata itu berbeda makna adalah enom
[t] dan [th], namun fenom-fenom itu sendiri tidak
mempunyai makna. Fenom adalahsesuatu yang alami
karena terdapat dalam semua bahasa didunia, tapi fenom
juga berada dalam tatanan kultural karena dia terlibat
dalam menentukan makna.Oleh karena itu, dalam
pandangan Levi-Strauss fenom berada pada ambang batas
antara nature dan culture.Hal yang sana juga terjadi pada
fenomena larangan incest. Larangan incest ini terdapat
dimana-mana diseluruh dunia.Oleh karena itu larangan
tersebut merupakan sesuatu yang natural.Disisi lain,
larangan ini ternyata berbeda-beda antara suku bangsa
yang satu dengan suku bangsa lain, dan karenanya juga
bersifat kultural.Jadi, seperti fenom, larangan incest
beradapada ambang batas antara nature dan culture. (1997:
xvii-xviii).
Lebih lanjut, sebagaimana dijelaskan Ahimsa-Putra,
Levi-strauss juga melihat persamaan-persamaan antara
mite dan bahasa. Pertama, bahasa adalah sistemsimbol yang
digunakan untuk menyampaikan pesan; sementara, mite
adalah cerita yang juga digunakan untuk menyampaikan

54
pesan. Kedua, bahasa, mengikuti pandangan de Saussure,
memiliki aspek langue dan aspek parole. Aspek langue
adalah aspek struktural, artinya bahasa sebagai sebuah
sistem atau sistem struktur, tang relative tetap, yang tidak
terpengaruh oleh individu-individu yang memakai bahasa
tersebut.Bahasa dalam arti ini berada dalam waktu yang
bias berbalik (reversible time). Sedang aspek parole adalah
aspek ‘statistikal’ dari bahasa, artinya bahsa sebagaimana
terwujud atau bias dilihat dalam praktek komunikasi
sehari-hari, dimana kita bias melihat gaya berbahasa
seseorang berbeda dengan seseorang yang lain. Dalam arti
ini, bahasa berada dalam waktu yang tidak bias berbalik
(irreversibletime). Mite, dalam pandangan Levi-Strauss, juga
mempunyai dua aspek tersebut. (Ibid: xxxi-xxxii). Jadi, jika
uraian diatas harus disingkatkan, Levi-Strauss melihat
bahwa fenomena sosial-budaya sama dengan fenomena
bahasa. Persamaan inilah, saya kira, disamping kenyataan
bahwa linguistik adalah ilmu yang telah mencapai derajat
science, yang menjadi alas an kenapa, Levi-Strauss merasa lebih
tepat menggunakan model dari linguistik dalam menganalisis
fenomena sosial-budaya.

Komentar
Saya ingin memulai komentar ini dengan mengutip
kembali pendapat david Jacobson (1991: 2) bahwa dalam
setiap etnografi selalu terdapat interpretasi dan seleksi
data. Artinya setiap karya etnografi itu bukan sekedar
laporan atau deskripsi kebudayaan semata dan bahwa
fakta yang ditampilkan sesungguhnya telah melalui

55
pproses “rekayasa”.Fakta itu dihadirkan dalam hubungannya
dengan suatu perspektif atau kerangka teoritik tertentu.
Oleh karena itu jika harus memberikan komentar
terhadap kenyataan bahwa Levi-Strauss merasa lebih tepat
menggunakan model linguistik dalam menganalisis
fenomena sosial-budaya, maka hal pertama yang harus
menjadi perhatian adalah bahwa hal itu dilakukan Levi-
Strauss dalam kerangka perspektif tertentu, dalam hal ini
Teori Struktural. Seperti diketahui, metode struktural
adalah metode yang semula digunakan dalam ilmu bahasa,
artinya, metode struktural adalah metode yang digunakan
untuk mempelajari fenomena bahasa dan karena itu
metode ini juga tentunya didukung dengan konsep-konsep
yang juga berangkat dari fenomena bahasa.
Ketika Levi-Strauss merasa lebih tepat menggunakan
model dari linguistik dalam menganalisis fenomena sosial-
budaya, maka, darisudut pandangmetodologis, merupakan
strategi yang, menurut pendapat saya, sangat tepat.
Persoalan apakah konsep-konsep linguistik sebagaimana
digunakan dan difahami Levi-Strauss adalah hasil dari
pembacaan yang benar atau tidak atau apakah konsep-
konsep linguistik itu benar-benar memadai untuk
melukiskan fenomena sosial-budaya atau tidak,
sebagaimana dipersoalkan oleh G. Mounin (1974:31-34),
atau apakah metode struktural Levi-Strauss ini bisa
diterapkan pada semua fenomena sosial-budaya atau tidak,
adalah persoalan pada lapis yang lain. Sebuah pendekatan
atau epistimologi yang dibangun, mengutip Ahimsa-Putra
(1998: 28), “tentu memiliki kekuatan dan kelemahan
sendiri-sendiri”.

56
ANTROPOLOGI POST-MODERNISME

Pendahuluan
Seperti disebut dalam soal diatas, kemunculan Post-
Modernisme dalam Antropologi Budaya diilhami oleh
analisis terhadap karya sastra dan filsafat bahasa yang
dikemukakan oleh Nitcszhe.Uraian di bawah ini
bermaksud untuk menunjukkan beberapa pandangan yang
mengilhami munculnya Post-Modernisme dalam
Antropologi Budaya dan kekhawatiran sebagian ahli
Antropologi Budaya bahwa pada gilirannya pandangan-
pandangan ini dapat meruntuhkan posisi Antropologi
Budaya sebagai sebuah cabang ilmu pengetahuan.
Dibagian akhir akan saya kemukakan pendapat saya
tentang kekhawatiran sebagian ahli tersebut.Post-
Modernisme, apakah konsep ini mengacu hanya pada
periodisasi dalam sejarah pemikiran ataukah mengacu
pada suatu gerakan kebudayaan tertentu, menandai
sebuah peralihan (shift).
Diantara beberapa hal yang manandai peralihan itu
adalah mulai meluruhnya kepercayaan orang terhadap
beberapa hal yang selama ini menjadi the hallmarks of
modernism (meta-language, meta narrative, meta theory) dan
pada saat yang sama muncul kecenderungankuat untuk
lebih menerima pluralitas, permainan bahasa, dan
meningkatnya perhatian terhadap otherness. Dalam wilayah
sastra, peralihan itu menitik diantaranya pada cara
pandang orang terhadap karya sastra.

57
Sebuah karya sastra tidak lagi dilihat sebagai suatu
bagian dari genre tertentu dan tidak pula dinilai dengan
kriteria-kriteria yang selama ini berlaku dalam menilai
karya sastra dari genre tersebut. Sebuah karya sastra dilihat
sebagai sebuah teks yang memiliki retorika dan idioleknya
sendiri dan yang pada prinsinya bias diperbandingkan
dengan karya sastra yang lain apapun bentuknya.
Sebuah karya sastra tidak lagi dilihat dari sudut
pandang karya itu sendiri, melainkan diletakkan dalam
konteks yang lebih luas keberadaan karya-karya yang lain.
Dalam menghadapi sebuah karya seni (lukis, kolase,
sastra), seorang modernist melihat adanya hubungan yang
erat antara pesan denganmedium yang digunakan untuk
menyampaikan pesan tersebut, sementara postmodernist
(post strukturalist) melihat bahwa hubungan antara pesan
dengan mediumnya itu terus-menerus dihancurkan dan
dieratkan kembali dengan pola pertautan yang lain.
Dalam konteks ini, Derida dengan konsep
dekonstruksionismenya, yang merupakan pembacaacn
Derida atas Martin Heidigger diakhir tahun 1960-an,
adalah tokoh yang sangat penting. Dekonstruksionisme ini
sesungguhnya lebih merupakan cara berfikir dan membaca
teks.
Menurut pandangan ini, seorang penulis
sesungguhnya membangun teksn dari teks-teks yang lain,
sementara pembaca, dengan cara yang sama, membangun
teks yang lain pula ketika membaca teks tersebut, sehingga
yang terjadi adalah hubungan intertekstulitas.
Intertekstualitas ini kemudian melahirkan teks yang lain
lagi.

58
Konsekuensinya, teks yang kita bangun memberi
peluang untuk munculnya makna lain diluar yang kita
maksud, sebab’our words cannot say what we mean’. Dengan
demikian seorang pengarang tidak berkuasa lagi
menentukan ‘jalan cerita’ atau makna. Fenomena ini
kemudian mempertanyakan secara serius tentang konsep
representasi. (Harvey, 1989:44, 49-51)

Post-Modernisme dalam Antropologi Budaya


Saya akan memulai pembahasan pada bagian ini
dengan mengutip pernyataan Geertz,”If you want to
understand what a science is, you should look in the firstinstance
not at its theories or findings, and certainly not at it apologists
say about it; you should look at what the practoners of it do”.
Kemudian Geertz segera manambahkan bahwa dalam
Antropologi Sosial “what the practioners do is
ethnography”.(Via Jacobson, 19991: 1). Disini geertZ
menegaskan bahwa jika kita ingin mengetahui suatu ilmu
pengetahuan, yang pertama-tama kita harus melihat apa
yang dilakukan oleh praktisinya, dalam Antropologi Sosial,
apa yang dilakukan oleh Praktisinya adalah menulis
etnografi. Tentu banyak hal yang dilakukan antropolog,
akan tetapi satu yang paling essensi bagi dirinya sebagai
antropolog adalah menulis etnografi.
Dengan demikian, dalam pandangan Geertz, karya
etnografi adalah ‘jendela’ bagi siapa saja yang ingin melihat
‘dunia dalam’ antropologi, bagi siapa saja yang ingin
mengetahui apap itu antropologi. Kemudian kita mungki
akan bertanya, apa itu etnigrafi? Bagaimana ia dihasilkan
atau dibuat atau ditulis? Jawaban terhadap kedua

59
pertanyan ini, sebagaimana akan kita lihat nanti,
merupakan konsep-konsep yang dikaji ulang oleh
pandangan-pandangan yang kemudian muncul sebagai
Post-Modernisme dalam Antropologi Budaya. Sementara
kita tinggalkan pertanyaan yang kedua dan kita masuki
pertanyaan yang pertama, yakni, apa itu etnografi.
Barangkali ada definisi pasti tentang apa yang kita
sebut dengan etnografi. Akan tetapi, jika boleh
menyederhanakan persoalan untuk keperluan pembahasan
ini, kita cuma perlu mengatakan bahwa di dalam karya
etnografi itu antroplog, setelah 'bersaksi' atas apa yang
terjadi di lapangan (penelitian), membuat representasi
kebudayaan. Jadi secara singkat bisa dikatakan bahwa
etnografi secara essensial merupakan representasi
kebudayaan.Persoalan yang kemudian muncul adalah
tentang konsep representasi itu sendiri. Konsep ini
dipertanyakan, sebab, seperti disinggung di atas, bahasa
yang menjadi medium representasi juga
dipertanyakankeampuhannya untuk melakukan
representasi,untuk menyampaikan makna-makna yang
dikehendaki. Menurut Nietzsche bahasa itu lebih bersifat
retoris dari pada representasional. Ciri utama bahasa
adalah sifatnya yang figuratif dan karena sifatnya yang
figuratif ini bahasa tidak mampu mencermintakan realitas:
"No such thing as unrhetorical, "natural" language exists
that could be used as a point of reference: language is it self
the result of purely rhetorical tricks and devices......
Language is rhetoric, for it intends to convey a doxa
(opinion), not an episteme (truth)... .Tropes are not
something that can be added or subtracted from language at

60
will; they are its truest nature." (de Man,1979:105 via
Manganaro 1990:17-18).
Bahasa bersifat retoris, sebab apa yang ia sampaikan
adalah opini-opini dan bukan kebenaran. Aplikasi dari
pandangan Nietzsche ini dalam dunia sastra, menurut
Manganaro, sangat jelas pandangan Nietzzche ini juga
sesungguhnya yang turut mempengaruhi muncul dan
berkembangnya post-modemisme dalam sastra
sebagaimana diuraikan dalam pembahasan di atas, sedang
dalam wilayah antroplogi pengaruhnya kurang begitu
terasa sampai terbitnya beberapa tulisan yang
dikumpulkan Clifford dan Marcus dalam "Writing
Culture".
Kumpulan ini memberi ketegasan berkembangnya
pemikiran-pemikiran yang mempertanyakanatau
menggugat ketranspranan medium bahasa dalam
Antropologi Budaya.(1979: 10). Mengikut pandangan post-
moderns berkembang dalam sastra, yang melihat karya
sastra sebagai teks, dalam Antropologi Budaya pun
kemudian berkembang pandangan yang menggugat
otoritas antropolog untuk melakukan representasi tentang
the subject, the name, the savage; pandangan ini kemudian
tidak lagi melihat karya etnografi itu sebagai representasi
kebudayaan, melainkan sebagai teks. Manganaro menulis:
"The borrowing of anthropological concepts by literary
theorists (as in the case of the literary uses of Levi-Strauss’s
brand of strukturalism), has reversed, so that
anthropological theorists have adopted literarycriticism’s
orientation toward the “text”. The result has been a
temalization of sosial science. What James

61
Clifford(1986c,2)terms a” focus on teat making and
rhetoric” that”serves tohighlight the constructed, artificial
nature of cultural accounts.”(1990: 3).
Dalam kutipan di atas Manganaromengatakan bahwa
apa yang dulu dilakukan sastra (meminjam konsep
antropologi strukturalisme Levi-Strauss untuk analisis
sastra), sekarang justru dilakukan oleh antropologi, yakni
meminjam analisis sastra untuk keperluan kajian
antropologi. Hasilnya, peralihan fokus dalam Antropologi
Budaya dari representasi kebudayaan ke teks dan
retorika.Karya etnografi dipandang sebagai teks;
antropologi tidak lagi merasa sebagai yang paling otoritafi
untuk membuat representasi kebudayaan, bahkan secara
terbuka antroplog post-modernist mengakui “the fallacy of
representing the cultural subject ini any "real state".
Selanjutnya, kita memasuki pertanyaan yang ke dua,
yakni tentang bagaimana sebuah teks etnografi
ditulis.Telah disinggung dalam pembahasan mengenai
Antropologi Tafsiriah bahwa karya etnografi itu ditulis
dalam suatu kerangka teoritik tertentu, dengan proses-
proses tertentu yang bisa disebut rekayasa-rekayasa. Teks
adalah jalinan kata-kata,kata-kata itu dijalin,
diorganisasikan, sedemikian rupa sehingga menjadi
bangunan sesuai yang dikehendaki.
Dalam rumusan Strathern, problem profesional yang
dihadapi antropolog adalah bagaimana mengorganisasikan
tulisannya sehingga dapat menyampaikan konsep-konsep
kebudayaan, yang mungkin tidak terdapat dalam
kebudayaannya sendiri, kepada pembaca.Dalam
mengerjakan tugas semacam itu, antropolog kemudian

62
merentang jarak antara masyarakat yang dipelajari dan
masyarakat yang diharapkan menjadi pembaca utama
tulisannya..(Post-Modernist berpendirian bahwa sekarang
ini antropolog menlis etnografi tentang suatu masyarakat
yang juga diandaikan sebagai calon pembaca
etnografinya).
Di antara kedua masyarakat itu antropolog
memposisikan dirinya sebagai jembatan atau mediator.
Dalam hal ini, antropolog melakukan kerja mediasi ini
dengan teks yang telah ditulisnya, yang merupakan
deskripsi dan analisis tentang masyarakat yang dipelajari
(1990:121).Keberhasilan antroplog, dalam hal ini,
dipengaruhi oleh posisinya sebagai field-worker, sebab
keberadaannya di lapangan merupakan faktor yang
memperkuat retorika atau 'otoritas etnografik'-nya sebagai
etnografer. Akan tetapi keberhasilan ini sesungguhnya
ditentukan oleh teks rekayasa (fiksi) yang dibuatnya,
sebab, seperti dinyatakan Clifford dalam "On Ethnographic
Authority"", dengan teks itulah antropolog
mentransformasikan berbagai makna dan ambiguitas yang
terserak di lapangan ke dalam suatu gambaran yang
utuh.(Via Manganaro, 1990:20). Dengan begitu, teks
etnografi itu sesungguhnya adalah 'fiksi' yang menyamar
sebagai representasi mumi. (Ibid).
Sebagai karya fiksi, teks etnografi itu kemudian tidak
jauh berbeda dengan karya sastra, suatu jenis karya yang
subyektif-imajinatif, bukan obyektif-faktual-ilmiah, dan
karena itu dalam antropologi, mengutip Ahimsa-Putra
(1994:47),dikenal juga istilah 'genre'. Ada genre 'life-
history'., 'psycho-dynamics', dan 'political-economy', dan

63
sebagainya. Juga, oleh karena karya etnografi dipandang
sebagai teks dan antropolog tidak lagi merasa sebagai yang
paling otoritatif untuk membuat representasi kebudayaan,
bahkan seperti disinggung di atas, antroplog post-
modernist secara terbuka mengakui "the fallacy
a/representing the cultural subject in any "real" state", maka,
konsekuensinya, karya etnografi tidak lagi dinilai secara
konvensional berdasar pada obyektifitas penelitian
lapangan.
Sebab, seperti diindikasikan oleh sub judul buku
"Modernist Anthropology" yang dieditori Manganaro,
telah terjadi pergeseran dari field-work ke text.Oleh karena
itu sebagian ahli mengkhawatirkan bahwa pandangan
(praktek) semacam ini padaakhimya akan meruntuhkan
posisi Antropologi Budaya sebagai cabang ilmu
pengetahuan. Kekhawatiran ini tidak berarti bahwa
mereka tidak mengakui problem bahasa yang dihadapi
antropolog, akan tetapi, menurut mereka,
terlalumeragukan bahasa inilah justru yang mengancam
status Antroplogi Budaya sebagai cabang ilmu
pengetahuan. Sebab bagaimanapun Antropologi Budaya
adalah disiplin ilmu yang berusaha untuk memahami dan
menyampaikan kebenaran-kebenaran tentang
kebuadayaan. Bagaimana mungkin hal ini bisa dilakukan
jika bahasa yang digunakan sebagai mediumnya tidak lagi
dipercaya?(Manganaro, 1990:18).
Sampai di sini, tulisan ini telah berusaha untuk
menjelaskan beberapa pandangan yang mengilhami
munculnya Post-Modemisme dalam Antropologi Budaya
dan kenapa pandangan-pandangan seperti itu dianggap

64
dapat meruntuhkan posisi Antropologi Budaya sebagai
cabang ilmu penegetahuan. Beberapa point yang
barangkali bisa ditarik dari pembahasan di atas adalah
bahwa Post-Modemisme dalam Antropologi Budaya
diilhami oleh filsafat Nietzcshe tentang bahasa dan analisis
karya sastra.
Pandangan Nietzcshe ini pada prinsipnya mengatakan
bahwa bahasa lebih bersifat retoris dari representasional,
sebab sifat dasar bahasa adalah figuratif
(melambangkan).Bahasa menyampaikan pendapat-
pendapat dan bukan kebenaran-kebenaran. Sementara itu
berkembang pemikiran dalam sastra yang melihat karya
sastra sebagai teks yang pada prinsipnya bisa
diperbandingkan dengan teks-teks yang lain. Oleh penulis,
teks ini dibangun atas dasar teks-teks yang lain, sementara
pembaca membangun teks yang lain pula ketika membaca
teks tersebut, sehingga terjadi intertekstualitas. Pandangan-
pandangan inilah yang mempengaruhi munculnya Post-
Modemisme dalam Antropologi Budaya.
Pandangan Post-Modernisme ini melihat karya
etnografi sebagi teks dan bukan representasi kebudayaan.
Antropolog Post-Modernist mengakui
ketidakmampuannya membuat representasi kebudayaan
yang betul-betul benar dan karena itu lebih terbuka
terhadap kehadiran teks-teks yang lain, sehingga
dimungkinkan terjadi ikiim yang dialogis sebagai bagian
dari intertekstualitas. Sebagai teks, karya etnografi dekat
dengan karya sastra, dimana unsur imajinasidan intuisi
menjadi mendapat tempat, dan lebih berperan sebagai
kritik kebudyaan baik bagi antropolog sendiri maupun

65
bagi masyarakat yang diteliti, sebab masyarakat yang
diteliti juga diandaikan sebagai calon pembaca etnografi
yang disusunnya Etnografi post-modernist ini dinilai telah
keluar dari obyektifitas penelitan lapangan dan diragukan
validitas data yang dihasilkannya, sehingga menimbulkan
kekhawatiran di kalangan sebagian ahli bahwa pandangan-
pandangan semacam itu akan meruntuhkan posisi
Antropologi Budaya sebagai cabang ilmu pengetahuan.
Apa yang menjadi persoalan yang kemudian
menimbulkan kekhawatiran sebagian ahli itu adalah
masalah obyektifitas dalam karya etnografi. Hal ini
sesungguhnya telah mendapat jawaban dari Geertz seperti
telah dikemukakan pada pembahasan tentang Antropologi
Tafsiriah di muka. Menurut Geertz, kekhawatiran itu
sesungguhnya lemah, sebab kerja antropolog tidak diukur
oleh seberapa jauh antropolog mampu membawa pulang
data dari lapangan seperti membawa topeng atau ukiran,
tapi oleh seberapa jauh ia dapat menerangkan segala
sesuatu yang teriadi dan dilihat di lapangan. Lebih dari itu,
kita bisa juga mempertanyakan lebih jauh, apa
sesungguhnya yang kita sebut dengan obyektif dan
kebenaran ilmiah? Apakah obyektif sama artinya dengan
mengangkat kehidupan sosial ke dalam teks sebagaimana
adanya, 'plek-sek', tanpa boleh ada campur tangan penulis
yang bersifat subjektif, sekalipun demi sebuah penyajian
yang lebih baik.
Kalau boleh mengajukan argumen sederhana,
barangkali kita bisa mengatakan bahwa posisi penulis di
hadapan halayak pembaca sesungguhnya mirip dengan
posisi pemilik restoran di hadapan pelanggan. Pemilik

66
restoran itu harus menyajikan hidangan dengan cara-cara
tertentu, umpamanya dengan mengatur tempat, meja
kursi, musik, dan yang tidak kalah pentingnya adalah
dengan wadah (peralatan makan) yang menjaga selera,
yang memungkinkan pelanggan bias menikmati hidangan
secara maksimal. Semua ini dilakukan sebagai strategi
yang tetap menjaga rasa asli hidangan yang disajikan: sate
tetap terasa sate. Strategi yang dilakukan pemilik restoran
itu tidak harus mengubah rasa sate menjadi dangdut,
karena, misalnya, diiringi dengan musik dangdut yang
mendayu-dayu. Demikian pula strategi yang dipakai
penulis (etnografer) dalam menyajikan hasil kajiannya;
strategi itu tidak harus berarti mengubah 'rasa aslinya'.
Dalam analogi ini, penulis pos-modemis barangkali
lebih menyukai strategi restoran yang 'self-service'.Namun
demikian subyektifitas itu tetap tidak bisa dihilangkan.
Kalau begitu, kita mungkin bertanya, apa artinya
'kebenaran ilmiah yang kita junjung tinggi itu? Kebenaran
ilmiah bukanlah 'hukum para dewa' yang bersifat benar-
benar mutlak.Kebenaran ilmiah adalah sesuatu yang
mungkin untuk berubah. Menurut Ahimsa-Putra
(1994a:47) ), "kebenaran ilmiah bersifat relatif, kondisional,
dan tergantung pada consensus”. Dalam skala yang lebih
universal, Ahimsa-Putra menambahkan, "tidak ada
kebenaran mutlak di muka bumi ini". Oleh karena itu
hadirnya berbagai perspektif yang dianggap sebagai
kebenaran dalam dunia keilmuan lebih perlu diapresiasi
dari pada diberikan citra negatif, agar tercipta iklim yang
lebih dialogis, di mana setiap ilmuwan lebih siap untuk
menerima kritik dari pada pujian, dan tidak perlu merasa

67
diri sebagai yang paling benar. Tentu saja semua itu harus
dalam batas-batasnya yang tidak ngawur dan 'semau gue'.

68
DAFTARPUSTAKA

Ahimsa- Putra, Heddy Shri. 1994 a, "Model-model


Linguistik dan Sastra dalam Antropologi",
Bulletin Antropologi, Tahun IX,1994.
_______________. 1994 b, "Antropologi di Indonesia Oleh
Antropolog
Indonesia : Perspektif Epistimologi", makalah
Lokakarya Perilaku Manusia Dibahas dari Perspektif
Kajian Ilmu Sosiologi. Antropologi.Psikologi, dan
Sejarah di Indonesia, Komisi Kebudayaan Akademi
Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Universitas
Gajah Mada, 22 Agustus 1994.
_______________ . 1985. "Etnosain dan Etnometodologi :
Sebuah
Perbandingan", dalam Masyarakat Indonesia, Tahun
ke XII, No. 2, 1985
______________. 1985. "Levi-Strauss, Orang-Orang PKI,
Nalar Jawa, dan Sosok Umar Kayam, Telaah
Struktural-Hermeneutik Dongeng Etnografis dari
Umar Kayam", dalam Umar Kayam dan Jaring
Semiotik, Aprinus Salam (ed). Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
_______________. 1997, "Claude Levi-Strauss : Butir-butir
PemikiranAntropologi", Pengantar Edisi
Indonesia, Karya Octavio Paz, Levi-Stauss :: Empu
Antropologi Struktural, Terj. R. Landung
Simatupang, LKIS, Yogyakarta..

69
_______________. 1998, "Antropologi : Koentjaraaningrat,
Sebuah TafsirEpistimologis", dalam
Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia.
Bauman, Zygmunt. 1978. Hermeneutic and Sosial Science,
Colombia UniversityPress, New York.
Clifford, James. 1986, "Intoduction : Partial Truth",
pengantar Writing Culture,George Marcus and
James Clifford (ed). University of California
Press,California.
Gaboriou, Marc. "Struktural Anthropology and History"
dalam Introduction toStrukturalism, Michael Lane
(ed)
Geertz, Clifford. 1992, "Lukisan Mendalam : Menuju
Sebuah Teori Interpretatif tentang Kebudayaan,
dalam Tafsir Kebudayaan, terj. F.B.
Hardiman,Kanisius, Yogyakarta.
Hammersley, Martyn and Paul Atkinson. 1983. Ethnography
Principles inPractice, Tavistock Publication,
London.
Harvey, David. 1989. The Condition of Post-Modernism, Basil
Blackwell, Inc.,Massachusset.
Jacobsen, David. 1991, Reading Ethnography, State
University of New YorkPress, New York.
Kleden, Ignas. 1998, "Dari Etnografi ke Emografi tentang
Etnografi : Antropologi Geertz dalam Tiga
Tahap", Pengantar edisi Indonesia AfterThe Fact,
LKIS, Yogyakarta.
Lane, Michael. "The Strukturalist Method", pengantar
Introduction toStrukturalism, Michael Lane (ed)
Leach, Edmund (ed). 1967, The Struktural Study of
Myth and Totemism,Tavistock Publication, London.

70
Levi - Strauss, Claude.1963, Struktural Anthropology.Basic
book. Inc.,Publisher, New York.
___________ . 1967. The Scope of Anthtropology, Jonathan
Cape Ltd.,London.
___________ . 1997 "Sang Strukturalis" terjemahan
Indonesia oleh Cremers dan
de Santo dari Mythos und Bedeutung, dalam Mitos,
Dukun, Sihir,
Levi-Strauss, Agus Cremers dan John de Santo,
Kanisius,Yogyakarta.
Manganaro, Marc. 1990. "Textual Play and Cultural
Critique : An Orientation toModernist
Anthropology," dalam Modernist Anthropology,
MarcManganaro (ed.), Princinton Uneversity
Press, New Jersey.
Mounin, George. 1974, "Levi-Strauss Use of linguistiks",
dalam The Unconciousin Culture, Ino Rossi (ed.),
E.P. Dutton & Co., Inc., New York.
Pettit, Philip. 1977. The Concept of Strukturalism : A Critical
Analysis, Universityof California Press, Los
Angeles.
Walsh, David. 1972. "Sociology and Sosial World", dalam
New Directions in Sociological Theory, Paul Filmer,
etc.. The Mit Press, Massachusset.
__________ . 1972. "Varieties of Positivism" dalam New
Directions inSociological Theory, Paul Filmer, etc. The Mil
Press, Massachusset.

71
72
PENDEKATAN ANTROPOLOGI
YANG POSITIVISTIK

Durkhem dalam karya “L’education morale “atau the


moral education “, dia mencoba untuk melakukan fakta-
faktadari kehidupan normal menurut metode ilmiah yang
positivitis,jadi lebih lanjut dia ingin lebih difinitiy
menunjukkan apa yang disebutnya science positive de la
morale disini dia bukan ingin mendapat moral dari ilmu
pengetahuan ,melainkan membangun “ilmu moralitas:.
Menurut Durkheimmoralitas tidak bisa hanya
menyangkut suatu ajaran yang normatif tentang baik dan
buruk melainkan suatu sistem fakta yang diwujudkan yang
terkait dalam keseluruhan sistem dunia moralitas bukan
saja hanya menyangkut sistem perilaku yang “sewajarnya
melainkan juga suatu sistem yang didasarkan pada
ketentuan–ketentuan.Karena itu disamping mempunyai
corak yang positivistis,studi tentang moralitas semestinya
juga bersifat rasionalistis dan sekuler.Dalam buku
mengatakan ”tak ubahnya dengan para idealis yang
meisahkan reaksi psikologis dari biologis, begitu pula kami
memisahkan(reaksi)psikologis dan sosial satu-satunya
penamaan yang kami terima ialah rasionalitas.Bahkan
sesungguhnya,tujuan utama kami adalah menerapkan
lebih lanjut rasionalitas ilmiah itu pada prilaku manusia”.
Tampaknya Durkheim menyadari sekali bahwa Eropa
yang dikenal sedang mengalami proses
transformasi,mempunyai kecenderungan visi sejarah yang
evolusionistis. Disamping itu ia merasakan pula dasar

73
konsensus lama tidak lagi memadai.Selama ini,sistem
tradisional hanya bisa bertahan karena keajaiban
ekuilibrium dan kekuatan kebiasaan,pada hal
sesungguhnya tradisi itu telah lama tidak lagi berpijak
pada dasar kuat. Oleh karena itu konsensus lama ,yang
bersifat keagamaan perlu dipermasalahkan
keberlakuannya. Masalah bukan sekedar bahwa agama
telah bisa memberikan dasar ikatan tradisonal,melainkan
suatu masyarakat “harus mempunyai cita yang ingin
dicapai yang dapat dijadikan warisan moral umat
manusia” . Misalnya dalam suatu perubahan sosial yang
telah dimotori oleh kemajuan ilmu dan teknologi,dasar
moralitas yang kuat adalah akal bukan wahyu.
Menurut pandangan yang dikemukakan oleh
Geertz,bahwa kelemahan dasar moral dalam menghadapi
perubahan jaman. Dimana wahyu pada dasarnya bersifat
pra pengalaman yang dianggap benar sebelum dibuktikan
disinilah keberatan Durkheim yang utama. Baginya
moralitas bukanlah sesuatu deduktif,melainkan sesuatu
yang berangkat dari kenyataan empiris dengan kata lain,
moralitas yang ilmiah bercorak pasca pengalaman.
Dewasa ini, perkembangan ilmu pengetahuan yang
makin deras dan homogenitas alam telah terpecah-pecah
maka dasar moralitas tidak bisa hanya dilihat sebagai apa
yang disebut Immanuel Kant” Kategori imperative artinya
suatu dorongan dari dalam diri untuk berbuat etis.Bukan
dasar yang internal itu dapat dipakai sebagai ukuran,
melainkan perbuatan yang tampak obyektif
misalnya,bukan sekedar “saya harus berbuat
begini”,melainkan “saya mau berbuat begini,karena inilah

74
yang secara rasional benar.Dengan demikian antara ilmu
pengetahuan dan moral tidak dapat dipisahkan,sebab
“kebenaran “ sekaligus bersifat moralitas dan ilmiah,ini
berakti harus menghargai realitas moral.
Dalam hal,kita akan berangkat dari satu pertanyaan
apakah “science positive : de moral itu? Penjelasan
Durkheim tampaknya bertumpu pada tiga sikap dasar
yaitu”(1) moralitas haruslah dilihat sebagai suatu “fakta
sosial “ yang terlepas dari keinginan subyektif sedangkan
“fakta moral : harus dianggap fenomena sosial.(2)
moralitas merupakan bagian yang fungsional dari
masyarakat.”berbuat moralitis berarti berbuat menurut
kepentingan koletif”.(3) moralitas merupakan proses
sejarah yang bersifat evolusinitis, berubah sesuai dengan
struktur sosial.
Muncul pandangan positivisme seolah-olah telah
mengakhiri kerja filsafat. Pengetahuan yang benar seolah-
olah hanya bisa didapatkan melalui metode ilmu
pengetahuan positif. Tidak ada hal yang dapat dipercaya,
kecuali hal yang bersifat inderawi. Ilmu pengetahuan juga
menghasilkan kebenaran yang bisa dipercaya jika dianalisa
hanya terbatas pada fakta yang inderawi.Cara pandang
positivisme ini kemudian juga menjadi basis orientasi ilmu-
ilmu sosial termasuk didalam ilmu antropologi). Ilmu
sosial mengesahkan pengunaan metode dalam ilmu-ilmu
alam, karena berasumsi bahwa fenomena sosial merupakan
satu-kesatuan dari fenomena alam (Bryant, 1985:10-22) .
Dengan demikian,positivisme melihat fenomena sosial
semata-mata sebagai sesuatu yang “mekanis”,bergerak
hanya mengikuti hukum-hukum sosial.Misal dalam

75
sosiologi tampak teori fungsionalisme parsons, yang
menekankan agar institusi-institusi sosial dikaji dalam hal
bagaiman institusi–institusi tadi mempertahankan
keseimbangan system (Hamilton,1960). Demikian juga
tampak dalam antropologi terutama dalam teori
fungsionalisme yang dikembangkan oleh Brown dan
Malinowski.
Dengan pendekatan antropologi yang positivitis dengan
jelas beranggapan bahwa pendefinisian fenomena yang
akan diteliti merupakan hal yang sangat mendasar,sebab
dalam penelitian sosial, khususnya mengenai moralitas,
maka “ Fakta sosial “ bukan sesuatu yang ada dalam diri,
melainkan yang secara konseptual bisa dianggap telah
terwujud dalam kaitannya dengan fakta-fakta sosial yang
lain.
Durkheim meneliti gejala bunuh diri mengunakan
angka statistik yang lazim dikembangkan dan
dipergunakan dalampendekatan positivistik. Positivisme
menekan bahwa dalam mempelajari sesuatu ,penguasaan
teori merupakan hal penting,sehingga dalam mengamati,
menganalisa dan menginterprestasi gejala sosial akan
menjadi lebih mudah. Pendekatan ini berbeda dengan
empirisme dan rasionalisme. Dalam hubungan dengan
kedua pendekatan yang disebut terakhir, pendekatan
positivisme berada ditengah-tengah dimana keduanya
saling melengkapi satu sama yang lain terutama utuk
dapat menemukan inti dari ilmu pengetahuan.
Durkheim merasa tertarik pada data statistik seorang
ahli Belgia bernama Adolphequietelet yang menunjukkan
bahwa angka kelahiran, kematian, perkawinan dan bunuh

76
diri,khusus dalam hal ini Durkheim tertarik dengan apa
yang sesungguhnya ada dibelakang angka rata-rata atau
keteraturan yang kurang lebih sama dari tahun ke tahun
dalam studi tentang bunuh diri dia menemukan adanya
korelasi antara tinggi rendahnya angka bunuh diri dengan
renggang atau rapatnya integrasi sosial.Dimana angka
bunuh diri pada orang-orang Protestan lebih tinggi
dibandingkan mereka beragama Katolik.
Penganut Protestan biasanya individualistik,lebih
bebas dalam memberikan arti kehidupan beragama,karena
itu,apabila mereka mengalami,kesepian,kekosongan serta
kesulitan dalam menghadapi masalah sosial
lainnya,mereka selalu berusaha mengatasi sendiri dan
bunuh diri merupakan salah satu jalan keluar sebaliknya
mereka yang beragama katolik lebih mementingkan
sehingga mereka berusaha memecahkan permasalah secara
kolektif.
Perbedaan angka bunuh diri seperti yang dijelaskan
diatas tidak akan dicari dalam ajaran agama,karena kedua
agama baik Protestan maupun Katolik melarang bunuh
diri,oleh karena itu, Durkheim berusaha menemukan pada
kelompok dan kesadaran kelompoknya. Kesadaran
kelompok pada mereka yang menganut agama Katolik
lebih tinggi dibandingkan penganut Protestan sehingga
lebih tinggi integrasi atau kekompakan sosial dibanding
dengan orang Protestan.
Jadi integrasi yang tinggi menyebabkan angka bunuh
diri rendah,hubungan antara tingkat integrasi dengan
bunuh diri dapat dijelaskan pula mengapa orang Yahudi
tidak tinggi kecenderungan untuk bunuh diri

77
dibandingkan dengan kedua kelompok yang disebutkan
diatas.Dalam agama Yahudi tidak terdapat larangan
membunuh diri bagi pemeluknya,Durkheim menjelaskan
bahwa menimbulkan rasa kekompakan sosial mereka
menjadi lebih tinggi. Berdasarkan hal tersebut Durkheim
lalu menyusun hipotesabahwa semakin tinggi intergrasi
makin rendah angka bunuh diri dan semakin rendah
intergrasi makin tinggi angka bunuh diri.Kemudian
dengan hipotesa itu, Durkheim mempergunakan untuk
melihat gejala bunuh diri pada beberapa kelompok sosial
untuk membuktikan hubungan dua variabel tersebut
secara logis.

Pendekatan Antropologis Fenomenologis


Sebagaimana telah diuraikan diatas,bahwa cara
pandang positivisme menjadi dasar orientasi ilmu-ilmu
sosial,berarti positivisme mengundang kritik pada tataran
filsafat. Permasalahan yang mendasar yaitu terletak
padapenyamaan antara fenomena sosial dan fenomena
alam,dengan demikian telah terjadi pula perbedaan
fenomena sosial yang mengabaikan dimensi
“kesadaran”atau “consciousness” pada diri manusia.
Dalam hal ini perilaku manusia dianggap dapat
diidentifikasi dan dipahami dengan mengambil jarak dari
obyek, sebagaimana dapat diidentifikasi dan memahami
alam tentang alam.
Kritik filsafat yang fenomenologi tokohnya adalah
Edmund Husserl. Pemikiran Husserl dalam hal ini
bertujuan untuk menjelaskan antara jarak objek dan subyek
pengetahuan manusia.Fenomenologi ,menurut Husserl

78
hendaknya kembali pada pentingnya data dan bukan pada
pemikiran. Disini subjek harus melepaskan segala analogi
tentang dirinya agar sampai pada objek yang mengarah
dirinya, sehingga pengetahuan murni menurut Husserl
adalah hadirnya data dalam kesadaran dan bukan rekayasa
pemikiran si peneliti untuk membangun teori
(dhavamony 1995;6). Tataran fenomenologi menaruh
perhatian pada dimensi kesadaran, tetapi kesadaran
tentangsesuatu hal atau “consciousness of something “.
Dengan demikian menurut Husserl kesadaran
mempunyai dua aspek yaitu saling menlengkapi yaitu
proses menjadi sadar dan obyek kesadaran (Phillipson
,1972: 123),sehingga pendekatan fenomenologi dapat
mengambarkan kesadaran manusia tanpa mempersoalkan
apakah itu benar atau salah (Heddy Ahimsa Putra,
1986:111). Manusia hidup saling berhubungan satu
dengan lain “Intersubjective“, dalam konteks ini
kesadaran berhubungan dengan” maksud” dan intention “
dari orangnya oleh karena kesadaran akan memberikan “
makna” terhadap gejala sosial . Makna yang diberikan oleh
seseorang terhadap suatu gejala sosial sama dengan yang
diberikan oleh orang lain, sehingga intersubyektivitas
tentang dunia kehidupan terbentuk.
Sesuai dengan uraian diatas, Fenomenologi
mengemukakan konsep “Natural attitude “yang disebut
commonsense reality “. Jadi fenomenologi tersebut, dapat
dikatakan bahwa fenomena sosial mempunyai
karakteristik yang berbeda dengan fenomena alam.
Fenomena sosial pada hakikatnya sarat dengan muatan
makna atau “ meaningful”, namum fenomena alam tidak

79
bermakna atau “meaningless” (walsh ,1972 :17).Pada
fenomenologi ,yang menjadi obyek ilmu tidak lain adalah
persepsi,pemikiran, kemauan dan keyakinan subyek
tentang sesuatu diluar subyek. Dari sudut fenomenologi
penerapan metode ilmu alam dalam ilmu sosial sangatlah
tidak relevan, karena Karakteristik fenomena sosial
berbeda dengan fenomena alam, yang menurut (Heddy
ahimsa Putra,1986:112) keduanya berada pada tingkat
masalah yang berbeda yakni tingkat makna yang tidak
terdapat pada gejala alam.
Antropologi dipandang sebagai pendekatan yang
mengunakan metoda baru,yang muncul di Amerika
dipelopori oleh W.H. Goodneough. Aliran ini muncul
karena adanya ketidakpuasan di kalangan para ahli
antropologi terhadap cara kerja yang dilakukan oleh
G.P.Murdock dalam usahanya membuat usahanya
membuat atlas etnografi dimuka bumi(Baal ,1988:167 -
185).Menurut Goodenough,usaha Murdock mempunyai
beberapa kelemahan antara lain(1)tingkat perbedaan data
etnografi menimbulkan minat yang berbeda pula
dikalangan ahli antropologi ;(2) sifat data,artinya beberapa
jauh data itu dapat dibandingkan ;(3) masalah
klasifikasi,artinya harus dilakukan kriteria yang sama oleh
ahli antropologi (heddy Ahimsa Putra, 1986;104-105)
Timbul Kelemahan seperti tersebut, banyak ahli
antropologi mengalih pada model pendekatan lain,yang
dipandang lebih unggul bisa dipergunakan untuk meneliti
sosial budaya.

80
Pendekatan Antropologi Struktural
Menurut levi strauss tugas antropologi adalah
menemukan”struktur dalam” dari fenomena kebudayaan
tampak seperti ahli membangun grammar.Apa yang
tampak, dan yang sadar sebenarnya bukan totalitas seperti
yang dianggap selama ini melainkan hanya reinterpretatisi
atau rasionalisasi sekunder dari struktur dalam yang tidak
disadari.Hal ini tidak hanya terjadi pada tingkat
individual,tetapi berlangsung dalam transaksi sosial yang
kongkret.Untuk memahami hal itu antropologi mendapat
inspirasi dari lingusitik mengenal bahasa.
Dalam berbahasa lisan terdapat aturan atau struktur
yang tak sadari itu umumnya tidak dipelajari secara ilmiah
oleh pemakaian bahasa. Oleh karena itu bagi orang lain
yang ingin berbahasa secara tepat dan benar harus
mengetahui struktur yang tak disadari dalam bahasa
tersebut. Dengan memimjam asumsi ini antropologi
berusaha menemukan “ struktur dalam “ dari suatu
kebudayaan dengan cara membuat model sendiri
berdasarkan fenomena kebudayaan yang tampak dan yang
disadari. Menurut Levi Strauss dari bahasa, sebuah
menjadi logis, akurat, dan dikenal serta dapat menuntun
untuk memahami berbagai bentuk komunikasi. Struktur
yang dicapai antropologi ini harus mendasar dan
diekspresikan tidak hanya dalam model sadar dan tidak
sadar masyarakat tetapi juga dalam transaksi sosial
kongkret mereka.
Analisa Levi Strauss atas sistem kultural tergantung
pada prinsip oposisi biner. Prosedur Levi Strauss adalah
untuk mencari semua oposisi biner yang relevan satu

81
dengan yang lain dalam sebuah sistem kultural yang
lebih khusus. Sebuah analisis yang memuaskan telah
tercapai saat dia dapat memahami dan mempresentasikan
sebuah sistem atau subsistem norma. Ide seperti yang
dikomposisikan oposisi bipolar, karena menurut Levi
Strauss antara pikiran manusia dan sifat dasar alam
mempunyai struktur yang sama . Levi Strauss mengatakan
bahwa antropologi harus mencapai status ilmiah dengan
mencoba mencapai pemahaman yang universal mengenai
gejala sosial budaya. Untuk itu perlu adanya generalisasi
konsep umum, yang dapat mencakup beberapa gejala
budaya yang mirip sehingga memungkinkan dilakukannya
perbandingan gejala yang sama dalam berbagai
kebudayaan.
Selain itu tujuan antropologi adalah untuk mencari
struktur di balik fenomena budaya. Untuk mencapai
struktur yang ada dibalik kenyataan inilah antropologi
lebih menekankan pada usaha konseptualisasi, yaitu
membangun konsep-konsep baru guna memahami
berbagai macam fenomena yang ada. Langkah yang
ditempuh dengan mengambil model linguistik.
Linguistik merupakan disiplin ilmu budaya yang sudah
mencapai tingkat yang ilmiah. Hal ini disebabkan
linguistik sudah melakukan analisis gejala bahasa pada
tingkat tak disadari, linguistik tidak lagi mempelajari
elemen-elemen tetapi relasi antar elemen, linguistik
memperkenalkan konsep sistem dan berusaha mencapai
hukum-hukum universal, baik dengan cara induktif
maupun deduktif. Oleh karena itu Levi Strauss banyak
mendapat inspirasi dari cara kerja linguistik , terutama dari

82
ahli bahasa seperti Ferdinand De Sausseru, R. Jakobson,
dan Troubetskoy. Salah satu ide Sausseru adalah
perbedaan atas elemen-elemen bahasa mempunyai
hubungan yang bersifat linier. Dalam berbahasa kata-kata
atau elemen-elemen bahasa disusun secara berurutan atau
diakronis. Hubungan yang berurutan antara unsur-unsur
sebelum dan sesudahnya disebut hubungan sintagmatik.
Hubungan sintagmatik ini menunjukkan bahwa suatu
kata maknanya tergantung pada relasinya atau
kedudukannya dalam suatu susunan elemen-elemen
bahasa. Dengan demikian, esensi sebenarnya tidak ada,
yang ada hanya relasi, atau esensi sama dengan relasi.
Ciri kedua bahwa dalam rangkaian kebahasaan juga
memiliki relasi dengan elemen-elemen yang berada di luar
rangkaian atau percakapan. Koordinasi antara elemen
disini tidak atas dasar prinsip linieritas tetapi atas dasar
asosiasi, sehingga hubungan antar elemen bersifat asosiatif.
Elemen-elemen yang berada di luar percakapan atau
rangkaian bahasa tidak terwujud, itu ada dalam pikiran
manusia atau si penutur bahasa.
Hubungan antara suatu elemen bahasa dalam suatu
penuturan dengan elemen di luar penuturan yang memiliki
potensi untuk menggantikannya disebut hubungan
paradigmatik. Dari dua ciri itu menunjukkan bahwa
dalam bahasa ada hubungan antar elemen yang bersifat
sinkronik atau paradigmatic dan diakronik atau
sintagmatik atau biasa disebut sebagai ˝ kontek ˝. Ide dari
Linguistik inilah yang digunakan Levi Strauss dalam
membangun model struktur kebudayaan masyarakat.

83
Ide linguistik terutama dari Sausseru yang
mempengaruhi Levi Strauss adalah pembedaan mengenai
bahasa. Bahwa bahasa mempunyai dua aspek yaitu ˝
langue ˝ bahasa dan ˝ parole˝ ujaran. Langue atau bahasa
bersifat sosial artinya mengekang dan mengendalikan cara
orang berbahasa sehingga dalam berbahasa masih dalam
jalur-jalur tertentu. Tanpa adanya bahasa komunikasi tidak
dapat berjalan. Walaupun ujaran dalam perwujudannya
dikekang atau dibatasi oleh bahasa, namun pengekangan
atau pembatasan ini bersifat tidak disadari. Jadi Individu
yang menggunakan bahasa tidak sadar akan aturan dan
sistem yang mengekangan dia mewujudkan pikirannya
dalam bentuk ujaran. Bahasa yang bersifat sosial pun juga
bersifat tidak disadari. Konsep-konsep linguistik inilah
yang banyak dipinjam dan menjadi inspirasi Levi Strauss
dalam melakukan analisis strukturalnya. Model dan cara
analisis dalam linguistik ini diterapkan Levi Strauss dalam
kajiannya tentang mitos, sistem kekerabatan, dan
totemisme.
Etnosain juga menerapkan beberapa prosedur analisis
linguistik dalam antropologi. Model linguistik yang
dipergunakan oleh etnosain adalah dari fonologi. Dalam
fonologi dikenal dua cara penulisan bunyi bahasa, yaitu
secara fonemik dan fonotik. Fonomik menggunakan cara
penulisan bunyi bahasa menurut cara yang digunakan oleh
si pemakai bahasa. Sedangkan fonetik memakai simbol-
simbol bunyi bahasa yang ada pada peneliti. Dalam
penulisan fonetik ini setiap bunyi yang membedakan arti
akan ditulis dengan simbol yang berbeda. Para peneliti
menulis kata dengan simbol yang dipakai secara universal

84
oleh para ahli bahasa. Namun bertitik tolak dari perbedaan
arti yang diberikan oleh pemakai atau perbedaan bunyi
yang ada pada pemakai bahasa. Keadaan yang dihadapi
ahli linguistik ini hampir sama dengan keadaan yang
dialami ahli antropologi dalam melakukan penelitian. Ahli
antropologi harus melukiskan kebudayaan masyarakat
yang didatanginya, dengan memakai cara-cara yang
bersifat universal dan juga memakai pandangan atau
makna si pendukung kebudayaan. Dengan demikian
model ilmu linguistik tersebut dapat dipakai oleh para ahli
antropologi dalam melukiskan kebudayaan. Cara
pelukisan seperti itu dalam antropologi dikenal sebagai
pelukisan etik dan emik. Ini diambil dari linguistik
fonemik dan fonetik. Melalui model pelukisan seperti ini
diharapkan hasilnya akan dapat dipakai dengan tepat
untuk studi perbandingan. Mengingat model tersebut
menuntut peneliti berangkat dari ˝ dalam ˝ yaitu sudut
pandang orang yang diteliti , timbul keadaaan baru
diantara para ahli antropologi bahwa kebudayaan tidak
mengandung pengertian yang sama. Penggunaan model
linguistik guna menggambarkan suatu kebudayaan
mempunyai implikasi bahwa difinisi kebudayaan yang
dipakai adalah kebudayaan sebagai sistem pengetahuan
atau sistem ide. Dalam definisi ini makna yang diberikan
oleh pendukung kebudayaan turut diperhitungkan serta
menduduki posisi yang penting. Akibat dari definisi iniahli
antropologi harus menguasai bahasa setempat, atau bahasa
masyarakat yang dijadikan obyek penelitian.

85
DAFTAR PUSTAKA.

Ahimsa Putra,Heddy Shri , 1994 “ metode-Metode


Linguistik dan sastra dalam antropolo “.
Bulletin antropologi No IX, 1985” Etnosain dan
etnometodologi;sebuah Perbandingan “,
masyarakat Indonesia Th.Ke-II No.2, 1994
“ Postmodernisme dan perubahan
kebudayaan “ dalam Postmodernisme Dan
Masa Depan Peradaban
__________ 1997 “ Claude levi straus: butir –butir
pemikiran antropologi”, dalam Otavio paz,levi
straus empu antropologi Budaya
Yogyakarta,LKiS
Levi Strauss,Claude, 1967 “ Struktural Antropology
(translaned from the French by Claire
Jacobson and brooke grundgest schoeps).
Double day dan company inc,NEW york
Bryant,Christoper GA, 1985 positisvm in sosial theory and
research .St Martin ‘s press New york
Siswomirhardjo,koento wibisono, 1995 Arti perkembangan
Menurut filsagat positivisme auguste comte
Gadjah university press Yogyakarta
Geertz Clifford, 1992 Tafsir kebudayaan, Kanisius,
Yogyakarta
Jacobson,david, 1991 Reading ethnography,State
university of new york press
Sugiaharto,I bambang, 1996 Postmodernisme tantangan
bagi filsafat,Kanisius Yogyakarta

86
Van Baal,J, 1987 Sejarah pertumbuhan teori
antropologi budaya,jilid 1 Gramedia jakarta
1992 Sejarah Pertumbuhan Teori Antropologi
Budaya,jilid II Gramedia Jakarta
CampbellTom, 1994 Tujuh Teori
SosialSketsa,Penilaian,Perbandingan kanisius,
Yogyakarta
Brown,AR Radcliffe, 1979 Structure And Function In
Primitive Society routledge & kegan
paul,London and Henley
Kuper,Adam, 1996 Anthropology and
anthropologist(pokok dan tokoh antropologi
terjemahan A.f Saifuddin, Bhratara,Jakarta
Spradley,james P, 1997 The Ethnographic
Interview (metode etnografi) terjemahan .M.Z
Elizabeth, tiara wacana,Yogyakarta
Malinowski, B, 1944 Ascienctific theory of culture : and
other essays University Of North Carolina
Press
Phillipson, Michael, 1973 “phenomenological
Philosophy and society “dalam New Directions
In Sosiological Theory

87
PERBEDAAN ANTROPOLOGI YANG POSITIVISTIC
DENGAN ANTROPOLOGI YANG FENOMENOLOGI

Antropologi Yang Fenomenologi


Ilmu-ilmu sosial pada abad ke20 mengalami
perkembangannya, yang ditandai dengan munculnya teori-
teori baru; misalnya dunia atropologi dengan
etnosainsnya,sosiologi dengan etnometodologinya. Dalam
pembahasan ini, akan dimulai dari pandangan
fenomenologi di dalam ilmu-ilmu sosial. Pandangan
positivism dalam ilmu antropologi mengandung kritik
terhadap tataran filsafat. Karena dasar permasalahanya
terletak pada penyetaraan fenomena sosial budaya dan
fenomena alam. Fenomena sosial, tampaknya mengabaikan
dimensi “ kesadaran” atau “consciousness” manusia,
sedangkan tingkah laku manusia dianggap dapat
diidentifikasikan. Dipahami, terlepas dari lingkungan
fenomenanya sebagaimana mengidentifikasi dan
memahami perilaku alam.
Berdasarkan pandangan Husseri, fenomena
menekankan pentinya data sehingga dapat dipisahkan
antara subyek dan obyek pengetahuan manusia. Disini
berarti fenomenologis memfokuskan perhatian pada
dimensi kesadaran yang disebut “kesadaran tentang
sesuatu” atau “consciousness of something”. Kesadaran
cenderungan bersifat sosial, oleh karena itu manusia dalam
kehidupan saling terkolerasi satu dengan yang lainnya
yang disebut “intersubjective” di pihak lain kesadaran
menunjukkan adanya “maksud” atau “intention” dari

88
setiap gejala manusiai, yang penuh “makna”.Disamping itu
fenomenologi menurut Husseri mengandung konsep yaitu;
”natural attitude”, yang disebut juga dengan “commosense
reality”.
Atas dasar uraian tersebut diatas, bahwa setiap
fenomena sosial budaya sangat ditentukan oleh
karakteristiknya sendiri yang berbeda dengan fenomena
alam. Fenomena sosial budaya menurut Walsh sarat man
makna atau “meaningful” sedangkan fenomena alam tidak
sarat makna atau “meaningless” ( 1972:17).Dengan
demikian, fenomenologis telah melancarkan kritik
terhadap pendekatan positivism yang mengatakan bahwa
ilmu pengetahuan lebih menekankan pada fakta-fakta yang
tampak mata dan pendapat ilmiah merupakan “reality
judgement”.
Dalam hal ini pendekatan antropologi yang
fenomenologi mengasumsikan bahwa : (1) tingkah laku
manusia sangat dipengaruhi oleh persepsinya sendiri
tentang lingkungannya; (2) memahami tingkah laku
manusia secara keseluruhan, diperlukan pula pemahaman
tentang interprestasi, dan (3) dalam melakukan suatu
interpretasi hakikay manusia sangat penting diperhatikan,
karena menurut Cassirer itu mahkluk simbol atau “animal
simbolicum”. Manusia ,dalam usahanya untuk memahami
simbol yang dimiliki,mengembangkan bahasa dalam
kehidupan manusia. Oleh karena itu, dalam usaha
antropologi mencari struktur di balik fenomena budaya
lebih menekankan pada konseptualisasi, yaitu membangun
konsep-konsep baru guna dapat memahamiberbagai
fenomena yang ada. Mengambil model linguistik, yaitu

89
“emic” dan “etic” merupakan langkah maju dalamusaha
mengembangkan disiplin antropologi.
Pandangan fenomena mempunyai pengaruh yang
kuat dalam sejarah perkembangan ilmu-ilmu sosial, karena
tatanan fenomenologi berusaha menciptakan sebuah
pendekatan dalam sosiologi yang disebut
“etnometodologi” ( Heddy Shri Ahimsa Putra, 1986: 112-
114). Gagasan fenomenologi tentang kesadaran yang
mengarah pada dunia intersubyektif dikembangkan oleh
Shutz dalam konsep “timbal balik perspektif“ antara
seseorang dengan orang lain. Karena dengan konsep
“timbal balik perspektif”, proses interaksi sosial dalam
kehidupan sehari-hari dapat berlangsung. Dalam pada itu,
kita harus mampu mendefinisikan situasi yang kita
hadapi,sehingga dapat membuat semacam klasifikasi yaitu
menyangkut konsep-konsep pragmatis yang dapat
diterapkan sesuai dengan tujuan yang dihadapi ( Heddy
Shri Ahimsa Putra, 1986: 114).
W.H. Goodenough sebagai pelopor dari etnosain yang
merupakan pendekatan baru dalam dunia antropologi di
Amerika. Munculnya pendekatan ini, pada dasarnya
bertolak dari ketidak puasan kalangan ahli antropologi
terhadap hasil etnografi yang dilakukan oleh G.P.
Murdock, seperti; “atlas Etnograf se Dunia” yang
membandingkan kebudayaan suku-suku bangsa di dunia
melalui lembaga “Human Relation Area Files” (Ball,1992:
67-189). Menurut Goodenoughkarya etnografi G.P.
Murdock memiliki beberapa kelemahan antara lain : (1)
data etnografi yang diperoleh tampaknya tidak sama,yang
diakibatkan oleh adanya perbedaan minat dikalangan ahli

90
antropologi itu; (2) sifat data yang diperoleh tidak dapat
dibandingkan, dan (3)klasifikasi data,harus disepakati oleh
para ahli antropologi (Heddy Shri Ahimsa Putra, 1986: 105-
106). Dari sini awalnya para ahli antropologi
banyakterpengaruh pada modellinguistik seperti yang
sudah disebut diatas.
W.H. Goodenough studi tentang kebudayaan
mempunyai implikasi yang sangat luas terhadap konsep
kebudayaan dan motode penelitian. Ada kecenderungan
selama ini, bahwa kebudayaan sering ditafsirkan oleh para
antropolog sesuai dengan pandangan sendiri, itu berarti
penelitian kebudayaan dituntut berangkat dari pandangan
masyarakat atau orang tentang kebudayaan yang
dijadikan obyek dalam studinya atau “the netive’s point of
view”. Pandangan kebudayaan Goodenough adalah
menyangkut segala sesuatu yang harus diketahui oleh
seseorang atau kelompok orang agar mereka dapat
berperilaku sesuai dengan pandangan yang diterima
masyarakat. Dengan demikian kebudayaan harus
dipandang sebagai sistem pengetahuan masyarakat yang
diteliti,atas dasar inilah etnografi membuat analisisnya
tentang kebudayaan.
Selanjutnya dasar berfikir W.H.Goodenoughmengenai
model pendekatan etnosain, kemudian dikembangkan oleh
Spradly (1997) yang mengacu pada konsep
“interaksoonalisme simbolik“ dari disiplin sosiologi. Disini
Spradly berusaha menjelaskan tingkah laku manusia dalam
kaitannya dengan makna simbolik, sehingga pengertian
makna yang dimaksudkan lebih jelas. Meskipun Spradly
tergolong ke dalam generasi kedua aliran antropologi

91
kognitif, namun banyak karya etnografinya memberikan
pedoman praktikpada etnografer ( 1997: 21). Disamping itu
Spradly menganjurkan cara terbaik belajar etnografi adalah
melakukannya, kerjakan, terus kerjakan.Untuk
mengerjakan secara sistematis, terarah dan efektif
diperlukan satu metode panduan yang disebut
”Developmental Research Sequence” atau “Alur Penelitian
Maju Bertahap”.Metode ini didasarkan atas lima prinsip,
yaitu teknik tunggal,identifikasi tugas, maju bertahap,
penelitian original dan “problem–solving”. Atas dasar
prinsip itu, etnografer tidak saja dapat mengamati tingkah
laku manusia, tetapi lebih jauh dari itu yakni menyangkut
makna tingkah laku. Dengan demikian menurut Spradly,
tugas etnografer menyelidiki bagaimana manusia
menggunkan sistem makna untuk mengatur tingkah
lakunya, memahami diri dan orang lain serta memahami
dunia ini sebagai hidupnya (1997;4-8) ini berarti etnosain
dalam antropologi fenomologi yang merupakan
pendekatan baru,tidak begitu saja langsung diambil
pohon filsafat fenomenologi, tetapi dari arah sosiologi
mengalir inti pandangan antropologi fenomenologi.

Antropologi Yang Positivistic


B. Malinowski, R brown, E.Pritchard,E Leach dan
lain-lain merupakan orang yang banyak berjasa dalam
mengembangkan antropologi fungsional structural.
Mereka juga termasuk penganut teori antropologi yang
positivistik. Para penganut teori evolusionisme
mengasumsikan bahwa masyarakat dan kebudayaan
anolog dengan organisme biologi,evoluosi organisme

92
biologis tersebut dengan sangat jelas mengedepankan
asumsi-asumsi yang bersifat positivistic,karena model
etnografinya mengambil metode-metode yang dipakai
dalam ilmu alam atau ilmu biologi sehingga berimplikasi
terhadap pendekatan empiris.
Awal abad ke-20 pendekar-pendekar seperti E.B
Tylor, J.frazer dan L.h Morgan berusaha untuk
menerapkan teori evolusi biologis terhadap berbagai karya
etnografi suku-sukunya bangsa di muka bumi ini.
Berdasarkan bahan –bahan tersebut direkonstrusi sebuah
bangunan yang menunjukkan tingkat-tingkat
perkembangan evolusi budaya manusia.Kemudian karya
etnografi para penganut teori ini,banyak menunjukkan
kelemahannya misalnya, mereka tidak melakukan
penelitian lapangan hanya bekerja di belakang meja
berdasarkan data-data perpustakaan,mereka sama sekali
tidak tahu tentang masyarakat dan kebudayaan yang
ditulisnya.
Menyadari dari kelemahan itu, kemudian para ahli
antropologi seperti W.H.R Rivers(ahli antropologi
Inggris)F.BOAS (ahli antropologi Amerika ) mengusulkan
bahwa penelitian lapangan sungguh sangat penting dan
harus dilakukan oleh kalangan antropologi,sehingga dapat
menghasilkan karya-karya etnografi tentang masyarakat
tentang masyarakat dan kebudayaan dari suku-
sukubangsa tertentu di muka bumi. Disamping itu model
etnografi yang dikemas oleh kedua pendekar antropologi
tersebut diatas lebih menekankan pentingnya teknik
wawancara yang mendalam (probing) pada setiap suku
bangsa yang dijadikan kajiannya. Dengan demikian dapat

93
dijelaskan tentang terjadinya perubahan masyarakat dan
kebudayaan suku bangsa tertentu.Jadi W.H.R Rivers dan
F.Boas dalam beretnografi memandang penting peranan
orang yang tahu “key informant” tentang sejarah
kehidupan masyarakat suku bangsa.
Tampaknya antara WhR Rivers, F.boas dan B
Malinowski,RBrown ketika muncul etnografi modern
kedua kubu tersebut memiliki pandangan yang berbeda
.Mereka (B.Malinowski dan R.Brown) sama-sama
menganggap factor sejarah tidak perlu diperhatikan,dalam
meneliti struktur sosial suatu masyarakat.Terkait erat
dengan uraian diatas,akan diketengahakan contoh karya
etnografi dari B.Malinowski pada kehidupan orang
trobriand yang berjudul “Argonauts of The western pacific
“(1922). Karya in menjadi sangat popular dikalangan para
ahli antropologi R.Brown sebagai murid dari
B.malinowski tidak lama kemudian menerbitkan sebuah
karya etnografinya mengenai kehidupan orang Andaman
yang berjudul “the Andaman Islanders”, jika kita
bandingkan dengan karya-etnografi B.Malinowski yang
sangat detail dan karya data,maka karya R. Brown sangat
miskin data.
Bertitik tolak dari uraian tersebut diatas maka
dirumuskan mengenai perbedaan antara antropologi yang
positivistic dengan antropologi fenomenologis.
Antropologi yang positivistic beranggapan bahwa
masyarakat dan kebudayaan dianologikan sama dengan
organisma biologis atau organis sedangkan antropologis
yang fenomenologis menganggap masyarakat sebagai
suatu sistem yang unik. Antropologi yang positivistic

94
analisisnya mengambil pendekatan ilmu alam atau ilmu
biologi, sedangkan antropologi yang fenomenologi dalam
analisnya mengunakan pendekatanlinguistic.

95
DAFTAR PUSTAKA

Ahimsa Putra,Heddy Shri, 1994 “ metode-Metode


Linguistik dan sastra dalam antropolo “.
Bulletin antropologi No IX
__________ 1985” Etnosain dan etnometodologi ;sebuah
Perbandingan “, masyarakat Indonesia Th.Ke-
II No.2
__________1994 “ Postmodernisme dan perubahan
kebudayaan “ dalam Postmodernisme Dan
Masa Depan Peradaban
__________1997, “ Claude Levi Straus: Butir –butir
Pemikiran Antropologi”, dalam Otavio paz
,Levi Straus Empu Antropologi Budaya
Yogyakarta,LKiS
Levi Strauss ,Claude, 1967 “ Struktural Antropology
(translaned from the French by Claire
Jacobson and brooke grundgest schoeps).
Double day dan company inc ,NEW york
Bryant ,Christoper GA, 1985 positisvm in sosial
theory and research.St Martin ‘s press New york
Siswomirhardjo, Koento Wibisono, 1995 Arti perkembangan
Menurut filsafat Positivisme Auguste Comte
Gadjah University Press, Yogyakarta
Geertz Clifford, 1992 Tafsir kebudayaan,
Kanisius,Yogyakarta
Jacobson , David, 1991 Reading Ethnography,State
University of New York Press
Sugiaharto ,I bambang, 1996 Postmodernisme tantangan
bagi Filsafat,Kanisius Yogyakarta

96
Van Baal ,J, 1987,Sejarah pertumbuhan Teori Antropologi
Budaya,jilid 1 Gramedia jakarta
_________,1992, Sejarah pertumbuhan teori antropologi
budaya ,jilid II gramedia Jakarta
CampbellTom, 1994, Tujuh Teori SosialSketsa, Penilaian
Perbandingan, Kanisius, Yogyakarta
Brown,AR Radcliffe, 1979 Structure and function in Primitive
Society,Routledge &Kegan Paul,London and
Henley
Kuper,Adam, 1996 Anthropology and
Anthropologist(pokok dan tokoh antropologi
terjemahan A.f Saifuddin ,Bhratara,Jakarta
Spradley,James P, 1997 The Ethnographic Interview (metode
etnografi) terjemahan.M.Z Elizabeth , Tiara
Wacana ,Yogyakarta
Malinowski , B, 1944 Ascienctific theory of culture : and
other essays University Of North Carolina
Press
Phillipson,Michael, 1973 “Phenomenological
Philosophy and society “dalam New Directions
In Sosiological Theory

97
EPISTEMOLOGI ANTROPOLOGI

Pokok Bahasan Hermeneutik, Strukturralisme dan


postmodernisme

Pertama, pendekatan interpretif (interpretive) dalam


antropologi budaya yang di pelopori oleh C. Geertz,
banyak diilhami oleh kajian yang di lakukan oleh para
kritikus karya sastra atau teks. Dalam pendekatan ini
kebudayaan di tanggapi sebagai “teks” tidak semua ahli
antropologi setuju ataupun menyukai pendekatan
semacam ini, diantaranya adalah Roger M.Keesin.,
Pengaruh sastra ke dalam antropologi, mulai muncul
tahun 1960 yang di tandai dengan pinjaman model-model
sastra ke dalam studi antropologi, dengan segala
kosekuensinya. Salah satu tokoh pelopor yang terpengaruh
sastra itu adalah Geertz, yang memandang kebudayaan
sebagai sebuah teks, bukan sebagai organisasi seperti yang
diyakini oleh para pengikut aliran fungsinasionalisme.
Asumsi terpenting (ahimsa-Putra,1994:46) dalam
pendekatan itu adalah bahwa manusia adalah mahluk
simbolis, mahluk yang menggunakan dan
mengembangkan simbol untuk berkomunikasi. Simbol ini
akan menunjukkan adanya makna-makna. Menurut
Geertz, kebudayaan merupakan jaringan-jaringan makna
yang menjerat dan di rajut manusia sendiri. Jadi analisis
atas kebudayaan bukan merupakan sebuah ilmu
eksperimental untuk mencari hukum melainkan sebuah
ilmu yang bersifat interpretif untuk memahami makna
(Geertz, 199:5). Dengan demikian, seorang ahli antropologi

98
(Ahimsa-Putra,1994:46), ketika memahami suatu
kebudayaan pada dasarnya berada dalam situasi seperti
seorang ahli satra yang sedang berusaha memahami makna
suatu teks atau karya sastra. Makna itu tidak berada di
permukaan atau yang dapat di lihat dengan panca indra,
tetapi hanya dapat di peroleh melalui interpretasi.
Untuk menemukan makna tersebut, antropologi harus
menafsirkan perwujudan makna tersebut yaitu berupa
prilaku, ide, atau benda-benda dalam suatu komunitas.
Hasil seorang antropologi adalah berupa diskripsi
kebudayaan yang di paparkan secara mendalam (thin
deskeiption) yang merupakan hasil interprestasi atas
kebudayaan yang di telitinya. Implikasi dari pendekatan
ini, karya etnografijuga di tanggapi sebagai suatu teks,
yang mempunyai nilai sastra. Implikasi atas peminjaman
model sastra ini mengandung banyak kritik, salah satunya
keesing(1987).
Dalam sebuah artikelnya, keesing mengemukakan
sedikitnya tiga kritik yang di tujukan untuk pendekatan
interpretasi Geertz yaitu masalah penyebaran dan
pengetahuan budaya, pengandaian yang muncul dalam
pelukisan “budaya” sebagai sistem terpadu: dan
terjemahan bahasa orang lain ke dalam pandangan dunia
peneliti. Pertama, mengenai anggapan bahwa kebudayaan
di miliki dan di susun secara kolektif, sebagai teks.
Menurutkesing sistem simbol dan makna itu tidak dapat di
susun dan di miliki di setiap orang secara sama, tetapi di
miliki oleh sebagian kecil orang dan di sebarkan.
kebudayaan ibarat sebagai sebuah bawang yang berlapis-
lapis. Tidak setiap pendukung kebudayaan tersebut

99
mampu mengerti lapisan terdalam (makna secarah utuh),
ada orang yang hanya mampu melihat lapisan terluar atau
permukaannya saja, dan hanya sedikit orang yang
mampumemahamami lapisan terdalam. Jadi pemaknaan
itu tidak sama antara pria-wanita, dan tua-muda. Dari sini
perlu di ketahui, siapa yang mebentuk makna dan teks
tersebut, dan siapa yang mengetahuimakna tersebut secara
penuh. Kessing mencontohkan suku Kwaio, dalam
pemerataan pengetahuan budayanya yang sangat komplek
dan penting untuk menopang hubungan dengan leluhur.
Dalam usaha tersebut hanya orang yang berbakat dan
mempunyai tekad yang dapat mengusai pengetahuan
budaya tersebut. Jadi pengetahuan budaya tidak di miliki
secara bersama secara merata antar individu, melainkan di
miliki antar individu secara berbeda-beda. Menurut
Kessing, kesimpulan pandangan tentang budaya sebagai
teks, mengaburkan persoalan penyebaran dan penggunaan
pengetahuan budaya.
Berangkat dari pengetahuan tiap-tiap orang yang
berbeda-beda ini tentu saja akan menyulitkan bagi peneliti
untuk mengetahui makna secara mendalam. Kessing
selanjutnya juga mencontohkan keaneka ragaman jawaban
yang muncul di lapangan menyangkut pandangan budaya
tentang alam kematian di Kwaio. Aneka ragam jawaban
ini, bagi Kessing menunjukkan bahwa kebudayaan sebagai
sistem makna bersama tidak dapat di terima. Menurutnya,
kebudayaan sebagai sistem makna tidak di anut secara
bersamaan, tetapi ada beberapa makna yang di anut umum
dan beberapa yang lain tidak. Apa yang di maksud simbol
bagi para pelaku pribumi tergantung pada yang mereka

100
ketahui. Jadi seorang antropolog, dalam mencari makna,
penafsiran atas kehidupan sehari-hari sekelompok
masyarakat mengalami kesulitan karena setiap kelompok
masyarakat berbeda-beda. Misalnya kehidupan sehari-hari
pekerja pabrik tidak sama dengan kehidupan sehari-hari
pemilik usaha.
Di samping itu, struktur ikatan simbolis tidak bersifat
statis atau mandeg, slalu mengalami perubahan-perubahan
dalam dimensi waktu. Proses pembentukan struktur
simbol dan makna itu terjadi dalam proses dialektika, dan
berjalan terus sepanjang waktu. Kessing kembali
mencontohkan suku Kwaio, yang mengalami kehilangan
penjabaran simbol dari pola leluhur malaitan, sehingga
terjadi perpecahan di bagian utara dan selatan. Dengan
demikian Kessing mengajukan keraguan epistrmonologis.
Budaya menurutnya hidup dalam cipta yang muncul dan
struktur kehidupan sosial yang terus menerus.
Permasalahan yang muncul dalam studi interpretasi adalah
apakah antropologi membentuk kumpulan budaya dari
sepotong situasi atau waktu?
Kedua, kebudayaan sebagai idelogi, masih berkaitan
dengan kritik pertama, Kessing mengkritik antropologi
interpretasi dengan di landasi pandangan Marxis yang
membawa dia sampai pada pemikiran bahwa sistem
budaya sebagai idelogi melayani kepentingan kelas
tertentu. Kessing menunjukkan kasus di kuwaio dan
Biminkuskusmin, dimana sekelompok kecil tenaga ahli
dalam suatu generasi memainkan peranan besar dalam
menciptakan dan merubah budaya, dan sebagian besar
individu lain hanya mengikuti. Demikian pula kasus

101
dominasi pria atas wanita. Di mana wanita hanya dapat
mengakses aspek-aspek tertentu dalam kehidupan,
sedangkan pria dapat mengakses lebih banyak aspek.
Idelogi budaya ini di ciptakan untuk menuntun kekuasaan
dalam mengusai bawahan dan orang lain. Artinya budaya
sebagai pengetahuan dan makna yang di miliki bersama
itu di ciptakan dan di sebarkan.
Berawal dari sini Kessing mengemukakan kritiknya
yaitu kaurr, interprestasi tidak mampu melihat dan
memahami bagaimana makna budaya menopang
kekuasaan dan hak istimewanya. Kaum antropolog
simbolik tidak dapat melihat dampak politik budaya
sebagai idelogi yang melanggengkan status quo penguasa
atau kelompok tertentu. Kessing lebih lanjut
membandingkan bahwa bahwa penganut feminis dan
marxis menemukan penindasan, sedangkan aliran simbolis
akan menemukan makna.
Dari kelemahan ini, Kessing memberi saran agar kaum
antropolog interpretif harus mampu menafsirkan budaya
dalam kerangka konteks kehidupan yang lebih luas, yang
menguji perwujudannya dari dalam struktur
sosial,ekonomi, idelogi, dan politik. Penempatan dalam
konteks yang lebih luas yang dimaksudkan untuk melihat
proses terbentuknya wacana tersebut. Wacana atau teks itu
terbentuk tidak secara kolektif merata, melainkan
menyangga pada suatu kekuasaan tertentu.
Ketiga, masalah penerjemahan kebudayaan ke dalam
konsep kebudayaan peneliti. Seperti telah di katakan di
atas, antropolog akan menyajikan suatu kebudayaan dalam
bentuk deskripsi mendalam atas pembacaannya terhadap

102
teks. Dalam proses penginterprestasian dan pendeskripsian
ini, menurut kessing, terjadi hal yang membahayakan yaitu
adanya penafsiran yang terlalu dalam salahmenafsirkan
atau kabur, dan berbicara tentang bangsa lain berdasar atas
persepsi profesional peneliti.
Dalam sebuah pertanyaan, Keesing (1992:128)
mengemukakan bagaimana kita dapat memperoleh
kepastian bahwa kita tidak menginterpretasikan sistem
simbolis kebudayaan lain dengan menggunakan asumsi-
asumsi dan logika kebudayaan kita sendiri? Kemungkinan
interpretasi yang salah arah atas metafor-metafor bahasa
akan sangat besar, karena adanya perbedaan bahasa
antropolog dengan yang di teliti. Setiap antropolog harus
memahami dan menerjemahkan ke dalam konsep “bahasa”
mereka. Proses penterjemahan inilah yang riskan, karena
tidak setiap istilah atau konsep yang di temukan di
lapangan dapat di pahami dengan istilah dan konsep
dalam bahasa peneliti. Antropolog yang mempunyai
bahasa yang berbeda dengan orang yang di teliti memiliki
penafsiran alternatif yang lebih (sangat) banyak. Untuk
menguatkan kritik atau kekhawatiran itu, Kessing
memberikan satu contoh konsep liget pada suku Ilongot
yang sulit di terjemahkan (mempunyai banyak arti) dalam
konsep kebudayaan lain. Akhirnya Keesing menyarankan
agar peneliti menafsirkan kebudayaan lain menurut
kerangka atau kontekskehidupan masyarakat untuk
menghindari kesalahan penafsiran.
Kedua, keberatan lain muncul adalah bahwa kajian-
kajian kebudayaan oleh para ahli antropolog kemudian
akan menjadi karya-karya “yang lebih indah dari pada

103
warna aslinya”(meminjam kata-kata sebuah iklan rol film)
tersebut akan menjadi “fiktif” apa pendapat saudara
tentang keberatan semacam ini?
Untuk mendiskusikan permasalah ini, saya kira agak
sulit untuk diputuskan secara hitam dan putih, bahwa
pendekatan interpertasi merupakan karya yang
sepenuhnya fiktif (nonreal) atau sepenuhnya tidak fiktif.
Namun bila harus memilih, saya cenderung mengatakan
bahwa etnografi interpretif tidak (sepenuhnya) fiktif
tanggapan atas permasalahan ini, harus didasarkan pada
kerangka pendekatan interpretasi itu sendiri. Atau dengan
kata lain, kita harus memahami dan mengikuti cara
pandang atau asumsi dari pendekatan interpretasi.
Kritik ini muncul, karena adanya kekhawatiran pada
proses interprestasi yang memang mendapat ruang atau
porsi yang sangat longgar dalam pendekatan interpretasi
(tafsir). Dalam pendekatan ini,kebudayaan di anggap
sebagai teks, yang untuk memahami maknanya perlu di
baca dan di tafsirkan. Menurut Geertz, etnografer seperti
memasuki rimba belantara yang mnghadapi struktur yang
bersifat asing, tidak biasa, tidak ekspilit, yang harus
diterjemahkan, dipahami dan di tata secara logis.
Mengerjakan etnografi itu mirip usaha membaca (dalam
arti “menafsirkan sebuah bacaan dari”) ketidak koherenan,
perubahan-perubahan yang mencurigakan dan komentar-
komentar yang tendensius. Kesemuanya itu di baca dari
tingkah laku yang tampak (Geertz, 1992:12) Ruang yang
besar bagi interpretasi ini memungkinkan (dikhawatirkan)
terjadinya tafsir yang terlalu jauh, bahkan bisa lepas dari

104
akar kebudayaan yang di teliti’ sehingga karya etnografi
menjadi karya fiktif.
Kaum interpretatif sendiri mengakui bahwa karya
etnografi adalah sebuah fiksi, namun fiksi di sini bukan
berarti “bohong” atau terlepas dari realitas tingkah laku
yang di baca, melainkan pengakuan bahwa tulisan-tulisan
etnografi itu merupakan “sesuatu yang di ciptakan”,
“sesuatu yang di bentuk” hal ini merajuk pada asal kata
bahasa latin, fictio (kleden, 1998:14; Geertz,1992:19) berarti
sesuatu yang dikonstrusikan, ditemukan,dibuat (dibuat-
buat). Jadi ada unsur khayalan, segi inventif dan segi
kreatifnya. Arti ini, memang agak berbeda dari kata
fiktive/fictous (bahasa inggris) yang lebih mengandung
pengertian non real. Merujuk pada arti asli bahasa latinnya,
fictio lebih menunjuk kepada kemampuan persepsi dan
konsepsi manusia untuk membentuk apa yang di tanggap
dan apa yang di gagaskan. Akal dan angan manusia
bersifat reproduktif,kreatif, inventif dan konstitutif.
Dalam pandangan kaum interpretif, tulisan
antropolog, merupakan penafsiran-penafsiran atas yang di
sampaikan informan, atau memikirkan apa yang mereka
sampaikan dan selanjutnya menatanya kembali. Jadi
tulisan antropolog merupakan penafsiran pada tingkat
kedua, karena penafsiran tingkat pertama, hanya di miliki
oleh “penduduk asli” (Geertz,1992:19)
Dari sini tampak jelas, bahwa kritik itu tidak begitu
beralasan, meskipun kekhawatiran yang di ungkapkan
melalui kritik itu (mungkin) bisa juga terjadi.namun,
menurut saya kritik itu muncul karena dunia pemikiran
kita masih terpengaruh dan dikuasai alam pemikiran

105
epistemonologi positivisme. Fiksi di kaitkan dengan
sesuatu yang tidak bisa di tangkap dengan indra, dan
sesuatu yang tidak bisa merujuk kepada tindakan nyata
yang telah menghasilkannya sebagai fakta (Kleden,
1998:14) sedangkan kaum interpretif tetap berpijak pada
rambu-rambu yakni interpretasi pada apa yang di lihat,
diamati dan di wawancarai.
Pada dasarnya kritik ini juga mempermasalahkan
“tingkat kebenaran” dari karya etnografi interpretif.
Menurut saya, kebenaran karya etnografi interpretif tidak
bisa memakai ukuran kebenaran pada pendekatan lain
atau kebenaran kebenaran menurut positivisme.
Kebenaran interpretatif berada dalam dukungan cerita
yang mendalam, “jujur” dan logis. Etnografer harus
menceritakan secara lengkap, dan jujur mengenai proses
berpikirnya hingga sampai pada klaim dan kesimpulan
yang di ajukan.menurut kleden (1992:20), persoalan ilmiah
dalam ilmu sosial bukan lagi nenunjukkan obyektifitas
pengetahuan ataupun validitas hasil penelitian, tetapi
justru kejujuran dan keterbukaan untuk memperlihatkan
proses bagaiman seseorang sampai pada penemuan atau
pendapat yang di ajukan, menjelaskan prosedur yang
dilewati, asumsi-asumsi nilai-nilai yang di gunakan dalam
preferensi-preferensi teoritis dan metologis. Dan
mungkinjuga kecenderungan ideologis, yang
mempengaruhinya dalam seluruh proses. Hal ini berarti,
suatu pertanggung jawaban mengapa suatu pendapat telah
disusun dengan konstrusi seperti itu dan bukannya dalam
bentuk konstrusi lainnya.

106
Dengan “aturan main” seperti ini, etnografer tidak
akan sampai pada kesimpulan dan hasil karya yang fiktif,
dalam arti melebih-lebihkan, eksotis, lebih indah dari
warna aslinya. Maupun tercabut dari akar kebudayaan
yang di teliti. Geertz (1998:154) menegaskan bahwa
antropolog memiliki sesuatu yang menjaganya tetap
berada di jalurnya yang masuk akal, kesadaran, yang
secara terus menerus diperkukuh bahwa dirinya harus
mengadakan kerja lapangan. Hal ini berarti, antropolog
tidak bisa lepas dari konteks lapangan penelitian, yang
berarti juga hasil karyanya tidak terlepas dari penafsiran di
lapangan. Jadi jelas bahwa penelitian interpretatif sebagai
fiksi (nonreal) terlalu berlebihan.
1. Sebagai sebuah disiplin, antropolog budaya berada
di kutub yang selalu tarik menarik yakni kutub “ilmu
pengetahuan” seni (humaniora:art) di antara tarik menarik
yang tak kunjung usai inilah Levi-strauss menyodorkan
sebuah pendekatan dengan epistemologi baru yakni
“strukturalisme” yang banyak diilhami oleh pendekatan
struktural dalam linguistik. Mereka yang setuju dengan
pendekatan ini mengatakan bahwa stukturalisme berhasil
berdiri di antara dua kutub yang tarik menarik.
Setujukah anda dengan pendapat tersebut? Apa
alasannya? (jika setuju, anda harus mengemukakan
argumen bahwa antropolog struktural adalah science
sekaligus humanities; jika anda tidak setuju, anda harus
menunjukkan bahwa antropolog struktural sepenuhnya
science atau sepenuhnya humanities)
Munculnya Levi-struuss dengan strukturalismenya
yang berusaha mendamaikan kutub science dan

107
humanities telah menbawa polemik tersendiri, karena ada
yang memposisikan levi-Strauuss ke dalam sepenuhnya
science atau berada diantara keduanya. Saya sendiri lebih
berpendapat dengan beberapa ahli yang menempatkan
strukturalisme ke dalam posisi di antar (menjembatani)
kutub science dan humaniora dalam antropologi. Letak
sainsnya pada konsep struktur yang mengambil dari
bahasa serta pada tujuan antropologi, sedangkan ciri
humorian terletak pada makna dan gaya penulisan.
Pendapat saya ini mengikuti apa yang dikemukakan Levi-
Strauss sendiri saat di wawancarai oleh majalah Spiegel
(Creamer 1997:62), bahwa strukturalisme tidak
memisahkan kutub pengetahuan dari seni yaitu dari segala
sesuatu dalam diri kita yang masih menyangkut hal
sensibilitas (kepekaan inderawi dan intuisi). Strukturalisme
merupakan studi terhadap fenomena yang sungguh-
sungguh kongret dan yang menyangkut sensabilitas.
Sebelum membicarakan posisi strukturalisme tersebut,
kiranya perlu sedikit disinggung mengenai kreteria yang
memisahkan sains dan humoiria. Dalam Encyclopedia of
Antropologi(Levinson dan Ember,1996:1142), scence
bersifatobyektif, mempunyai metode yang sistematis untuk
memperoleh ilmu pengetahuan faktual, pembentukan
pengetahuan diperoleh dari interaksi terus-menerus secara
deduktif ( alasan logis) dan induktif (berdasar observasi
empiris). Jadi klaim pada pengetahuan ilmiah didasarkan
secara konsisten pada aturan logis dari hal yang kongkrit,
pengamatan dan penggunaan segala pengalaman inderawi.
Sementara itu, ciri yang melekat pada humaniora
adalah pada evocation dan interpretasi dari kebudayaan

108
yang berfariasi. Penekanan di sini bukan lagi pada
diskripsi dan eksplanasi, melainkan disiplin interpretasi
untuk mencari makna (meaning). Tujuan dari interpretive
ini secara eksplisit adalah memenuhi nilai estesis dan etis
(levinson dan Ember,1996:1144).
Ciri inilah yang di gunakan para ahli untuk
menggolongkan suatu pendekatan ke dalam science dan
humaniora. Meskipun halini tidak selalu mudah atau
terselesaikan sebagai bukti, epistemonologi dari Levi-
Strauss yakni strukturalisme yang mencapai puncak
popularitas pada tahun 1960-1970-an,tetap menjadi
polemik dan tidak mencapai kesepakatan mengenai posisi
strukturalismenya. Kontroversi ini dapat di pahami, bila
melihat karya Levi-Strauss yang kaya warna yaitu warna
filosofis, ilmiah antropologi dan pitis atau seni (Ahimsa-
Putra, 1997:vii ; Cremes,1997;15). Dengan demikian,
strukturalisme Levi-Strauss itu mempunyai sebagian ciri
ilmu pengetahuan dan ciri humaniora.
Ciri sains dari strukturalisme seperti yang di sebutkan
di depan terletak pada peminjaman model linguistik untuk
mencari struktur yang universal dan pada tujuan yang
ingin di capai dari antropologi. Menurut Levi-Struss
antropolgi harus dapat mencapai status ilmiah meskipun
mempelajari tentang human (gejala sosial). Status ilmiah
dalam antropologi dapat di capai dengan cara meminjam
model dalam linguistik, karena linguistik merupakan
disiplin ilmu budaya yang sudah mencapai tingkat sains
atau tingkat ilmiah (Ahimsa-Putra, 1994:42; lihat pula
alasan Levi-Struss, 1969:56-57).

109
Analisis struktural dalam linguistik mengarahkan
Levi-Strauss untuk mencari struktur tersembunyi dibalik
fenomena sosial. Menurutnya, kenyataan yang sebenarnya
bukanlah kenyataan sebagaimana yang kita lihat.
Kenyataan yang sebenarnya adalah yang terdapat di balik
kenyataan itu sendiri, yakni yang tidak dapat dilihat oleh
indera, namun bisa dilihat perwujudannya, Kenyataan
yang tersembunyi inilah yang harus dicari, yaitu berupa
tatanan yang ada di balik suatu kenyataan yang tampaknya
yang tampaknya kacau balau (Levi-Strauss, 1997:52).
Penemuan aturan (tatanan) ini menjadi mudah untuk
mengetahui makna atau arti suatu kenyataan. Menurutnya
makna itu ada dalam aturan itu sendiri.
Prinsip dalam analisis struktural itu berasal dari
pengaruh studi bahasa, terutama dari Troubetskoy.
Menurut Troubetskoy, ada empat aturan atau langkah
dasar dalam analisis linguistik struktural (Levi-Strauss,
1969:33), yaitu : Pertama, lingkungan strutural beralih dari
mempelajari fenomena bahasa yang disadari menuju
mempelajari infrastruktur di bawah sadar (unconscious
infrastuktur). Kedua, dalam linguistik struktural, istilah
(terms) tidak diperlakukan sebagai satuan yang bebas atau
berdiri sendiri, melainkan mendasarkan pada kaitan antar
relasi. Ketiga, lingkungan struktural mengemukakan
konsep sistem. Dalam hal ini ilmu fonemik moderen tidak
hanya mengklaim fonem-fonem sebagai bagian dari sistem,
tetapi juga menunjukkan strukturnya. Terahir, linguistik
struktural bertujuan mengungkapkan hukum-hukum
umum dengan induksi maupun deduksi logis;dimana
dapat diperoleh karakter absolut. Pengaruh ini

110
menjadisuatu prinsip mendasar dalam strukturalisme yaitu
adanya hubungan atau relasi antar unsur yang tidak di
sadari.
Selain itu, Levi-Strauss mengikuti ide-ide Saussure
mengenai bahasa yakni mengenai relasi sintagmatik dan
paradikmatik. Dalam suatu analisa struktural, suatu fonem
atau unsur dilihat dalam suatu konteks relasi yaitu
kedudukan atau relasi suatu fonem dengan fonem yang
mendahuluinya dan fonem yang ada di belakangnya
(sesudahnya). Prinsip relasi paradigmatik menunjuk pada
elemen-elemen yang berada di luar rangkaian atau
percakapan. Dengan kata lain, hubungan antar suatu
elemen bahasa dalam suatu penuturan dengan elemen-
elemen di luar penuturan. Ciri ini senada dengan
hubungan antar elemen dalam bahasa yang merupakan
aspek diakrotis (sintagmatik) dan sinkronis (paradikmatik).
Kesatuan hubungan ini yang di sebut sebagai konteks
(Ahimsa-Putra, 1994:43-44 dan 1997:xviii).
Di samping itu, de saussure (Ahimsa-Putra.1994:44)
juga mempengaruhi Levi-strauss dalam pembedaanya
mengenai bahasa ke dalam aspek langue (bahasa) dan
parole (ujaran).langue atau bahasa bersifat sosial artinya
sistem ini mengekang dan mengendalikan cara orang
berbahasa, sehingga mereka berbahasa dalam jalur-jalur
tertentu. Langue ini merupakan aturan-aturan atau sistem
dalam berbahasa yang mengekang setiap individu,
meskipun individu tidak menyadari (nirsadar) atas batasan
bahasa tersebut. Ujaran atau parole adalah bahasa
sebagaimana dipakai individu. Ujaran relatif bervariasi

111
dari setiap individu itu tetap berada dalam lingkup aturan
bahasa, yang digunakan oleh individu dengan nirsadar.
Prinsip inilah yang mendasari analisa struktural dan
menunjukkan aspek science dari strukturalisme Levi-
Strauss. Dia selalu melihat fenomena sosial seperti melihat
fenomena bahasa. Karya Levi-Strauss yang jelas
menunjukkan pengaruh linguistik struktural (nuansa
science) itu adalah La Pensee’ Sauvage yang berarti pikiran
bersahaja (Koentjaningrat, 1979).
Nuansa science juga terlihat dari pandangannya
tentang tujuan antropologi yang harus dapat mencapai
pemahaman universal (generalisasi) mengenai berbagai
gejala (Ahimsa-Putra, 1994:42). Proses menuju generalisasi
tidak seperti yang di lakukan Murdock dengan proses
perbandingan untuk mencapai generalisasi, tetapi
sebaliknya melakukan generalisasi agar dapat di lakukan
perbandingan. Generalisasi yang di maksud Levi-Strauss
adalah generalisasi pada tingkat konsep, bukan
generalisasi proposisi atau hipotesa.
Di samping orientasi ilmiah, antropolog struktural
mempunyai nuansa humainities (art). Menurut saya,
nuansa humaniora dalam antropologi struktural terletak
pada dimensi makna (arti) dan pada gaya penulisan.
Analisis struktural pada dasarnya tidak dapat lepas dari
makna, namun berbeda dengan cara memahami makna
dan Geertz. Menurut Levi-Strauss antropologi tidak dapat
menemukan makna tanpa menemukan struktur atau
aturan yang mendasarinya. Makna tidak dapat di peroleh
dalam keadaan kacau balau atau tidak beraturan. Jadi para
antropolog harus menempatkan diri dalam situasi yang

112
secara formal menyerupai lunguistik struktural (Levi-
Strauss, 1969:34) dalam mengalisis gejala sosial.
Dalam hal ini, Levi-Strauss tidak mempelajari gejala
sosial yang disadari melainkan mempelajari infrastruktur
yang berada di bawah sadar (unconcious infrastruktur).
Sejak awal karirnya, sikap epistemologis Levi Strauss
(Rozy, 1974:7) didasarkan pada hipotesis yang
mendasarkan pada eksistensi makna fenomena budaya
nirsadar dan secara metodologi pada konsep struktur dan
model. Selanjutnya, (rozy,1974:8) kegiatan pemahaman itu
terdiri dari peredusian realitas yang nampak, menuju
pemahaman dimensi yang tersembunyi melalui proses
pengkodean(procees of decoding). Di sini pembentukan
model menjadi penting, karena (mengikuti pendapat Marx
Rousseau) Levi-Strauss menekankan pada dasar
pengetahuan fisik dan sosial bukan dari persepsi tetapi
pembentukan model melalui interpretsi realitas empiris
dan menemukan infrastruktur nirsadar pada gejala
tersebut.
Jelas di sini bahwa, strukturalisme berusaha
memahami makna realitas sosial yang di temukan melalui
pembentukan model-model yang dibuat mengikuti analisis
bahasa. Arti penting pemahaman makna ini dapat terlihat
dari penjelasan Levi-Strauss (Roxy.1974:10) bahwa:
The human mind mediates between infrastrutur or praxis
and super strukture or practices by elabolating a conceptual
sistem which is a synthesizing operator between ideas and facts;
trough this mediation facts are turned into sigs. It follow that
since “men comminicate by means of simbol and sign” all

113
cultural domain are “pregnat with meaning” and the
antropologist work with meaning.
Jadi jelas bahwa strukturalis mempunyai unsur
humanities karena membahas tentang makna yang hanya
dapat di ketahui dalam struktur atau relasi. Cara berpikir
Levi-Strauss (koentjaningrat,1979) seluruhnya memang
berpangkal pada pendiriian bahwa seluruh total sistem
interaksi manusia yang mempunyai fungsi, arti dan
kehidupan pada kebudayaan itu adalah interaksi simbolik.
Makna dalam analisis struktural hanya dapat
dipahami dalam konteks relasi, yang berarti makna itu
sama dengan relasi antar unsur dalam suatu fenomena
sosial itu sendiri. Misalnya analisa kekerabatan, seperti
fonem-fonem (Levi-Struss,1969:34) istilah kekerabatan
adalah elemen-elemen makna; seperti fonem-fonem,
mereka mengandung makna hanya jika mereka di
integrasikan dalam sistem kekerabatan dibangun dalam
otak pada pikiran nirsadar.
Ciri humanities lain dalam strukturalisme terlihat
pada penulisan. Dalam proses penulisan, etnografer tidak
hanya menyangkut soal ilmu (ilmiah), tetapi juga
berhubungan dengan bahasa untuk mengkomukasikan
interpretasi makna pada pembaca. Bahasa merupakan
keberadaan sastra, dunianya, “penggambaran”, atau
“perasaan” (bathes, 1970:411), sehingga bahasa mempunyai
posisi sentral ilmu membutuhkan bahasa.
Menurut Bathes (1970:413) kelanjutan logika
strukturalisme hanyalah bergabung dengan sastra, bukan
lagi sebagai obyek analisa tetapi sebagai aktivitas
penulisan, menyingkirkan perbedaan yang berasal dari

114
logika yang merubah karya dari obyek bahasa dan ilmu
sebagai semi-bahasa. Salah satu karya tulisan Levi-Strauss
yang bergaya sastra adalah The effectiveness of simbol, yang
berupa teks mengenai penyembuhan shamanistik
(Creamers, 1997:44). Di sini terlihat adanya ungkapan asli
dan lagu dari shaman yang membawa pembaca pada
pengalaman penulis di lapangan. Demikian pula untuk
karyanya Tristes Trropique (daerah tropik yang Suramz)
yang berisi kisah perjalanan ke daerah sungai amazon dan
otobiografi merupakan teks sastra simbolik.
Dalam satu tulisannya, Marlyn Strathen
(1987:269)mengatakan,
“The 1920s shif between frazer and modernist antropology
help interpret the alleged shift from modernism to
postmodernism in the 1980s. The phenomena lies in how
antropologists represent what they do, what they say the are
writing, and in the purpose ofcomunication. Ideas cannot in
the end be divorced from relationships.....”
Pendapat ini sejajar dengan pendapat Roger
M.Keesing bahwa
“...antropologi as an interpretive quest will have to be
situated more wisely withim a wider theory of society, cultural
meaning will have to be more clearly and carefully connected to
the real humans who live out their lives trough them”(1987:169).
a. Apa implikasi penting dari pandangan semacam ini
bagi kita katakanlah sebagai calon ahli antropologi
Indonesia (atau ahli antropologi dari Myanmar, mesir dan
sri langkah)ketika kita menulis suatu etnografi atau
melakukan suatu penelitian berkenaan dengan soal
“obyektifitas” dari etnografi kita?

115
Pergeseran dari antropologi modernis menuju
postmodernisme diiringi dengan perubahan cara kerja dan
cara pandang antropologi pada obyek penelitiannya.
Menurut saya, obyektifitas dan validitas yang sudah di
anggap sebagai syarat mutlak suatu ilmu menjadi tidak
relefan dalam antropologi postmodernisme, yang lebih
terbuka pada kenyataan di lapangan, seperti diungkapkan
oleh Kessing. Bagaimana itu terjadi?
Dalam antropologi, kesadaran bahwa etnografi bukan
bersifat obyektif muncul berdasarkan pengalaman
penelitian beberapa ahli yang meneliti masyarakat yang
sama tetapi menghasilkan kesimpulan yang berbeda-beda.
Perbedaan ini di sadari karena perbedaan perspektif
masing-masing ahli, dan disadari bahwa hasil etnografi
merupakan ciptaan etnografi sendiri. Kebenaran mutlak
atau tunggal dari hasil lapangan ternyata tidak ada. Oleh
karena itu munculnya postmodenisme menjadi alternatif
jawaban untuk memahami obyek dengan lebih baik dan
terbuka, serta mendobrak etnosentrisme dan dominasi
barat pada masa modernisme.
Postmodernisme lahir dari dunia seni dan arsitek
merambah ke bidang lain termasuk antropologi. Menurut
Lyotard (Arivia,1993:33) postmodernisme merupakan
kritik terhadap pemapanan pemikiran abad modern yang
bergantung pada teori besar. Jadi sifatnya dekonstuktif
terhadap kemapanan, kebenaran mutlak, kekuasaan dan
bahasa. Demikian pula dengan legitimasi obyektivitas
dalam ilmu pengetahuan mulai didekonstruksi melalui
etnografi postmodernisme. Obyektifitas kehilangan arti
pentingnya bahkan kehilangan relevansinya dalam

116
pembicaraan tentang etnografi, sebagai suatu gerakan
intelektual,posmodernisme merupakan pemberontakan
terhadap keangkuhan pemikiran sebelumnya yang
berkembang dalam bingkai pemikiran modern. Pemikiran
modern dengan pilar utamanya kekuatan rasionalitas
(power of rationality) manusia di gugat, karena menjebak
manusia kepada absolutisme dan cenderung represif.
Jadi konsep “kebenaran” etnografi berubah menjadi
bersifat multivokal,dialogis,interpretif,refleksi dan
relativistik. Sifat multivokal dalam etnografi menunjuk
pada suara atau pandangan-pandangan dari masyarakat
yang di teliti tampil lebih jelas dan lebih keras, serta tidak
tunggal melainkan bervariasi. Sifat dialogis menekankan
pada percakapan antara peneliti dengan yang di teliti,
sehingga terungkap proses terbentuknya pemahaman
padapeneliti mengenai masyarakat dan kebudayaan yang
di pelajari. Jadi kewenangan antropolog sebagai ahli tafsir
kebudayaan diturunkan. Namun, etnografi
postmoderenisme juga tidak meninggalkan tafsir atas
masyarakat dan kebudayaan masyarakat, sehingga
kebenaran tafsir bersifat relatif (Ahimsa-Putra,1994:86).
Tujuan etnografi postmoderenisme menjadi lebih bersifat
refleksi terhadap apa yang dilihat dan dialami untuk
melakukan kritik terhadap gejala sosial budaya, yang
dilandasi asumsi dan argumen dari interpretasinya.
Antropolog harus mengabaikan obyektifitas gaya
positvis, dan lebih menekankan pada kedekatan hubungan
dialogis antara peneliti dan yang diteliti, sehingga sejalan
dengan saran Keesing) bagi antropolog untuk
mendasarkan interpretasi pada kanyataan di lapangan dan

117
bukan hanya otoritas interpretasi peneliti sendiri.
Hubungan dialogis ini penting karena peneliti dan yang di
teliti mempunyai sejarah ide atau pemikiran yang berbeda,
sehingga keduanya perlu berdialog untuk mencapai
pemahaman tentang apa yang dibicarakan. Pemikiran ini
sebenarnya sudah di lakukan oleh Frezer (strathen,1987).
Demikian pula hubungan antara peneliti (penulis) dengan
pembaca juga terjadi dialog, karena etnografi di tulis untuk
pembaca (Strathern, 1987:269). Jadi disini konteks tidak
bersifat statis atau pasti, tetapi selalu mengalami
pergeseran.
Dengan demikian, kebenaran ilmiah bersifat relatif,
kondisional dan tergantung pada konsensus. Kebenaran
mutlak yang menjadi ciri positivis ternyata tidak ada.
Kebenaran ilmiah adalah kebenaran yang bersifat
konsensus dari para ilmuwan. Oleh karena itu kebenaran
dimungkinkan adanya kritik yang terus menerus (Ahimsa-
Putra, 1994:47 dan 1994:87). Antropologi postmodernisme
menjadi sarana untuk melakukan kritik dan membaca
orang untuk lebih arif dan menghargai dan terbuka akan
perbedaan, dan yang pasti tidak mengklaim diri sebagai
pemilik mutlak.
b. Apa implikasi dari pandangan semacam ini
terhadap pandangan yang masih umum berlaku dalam
masyarakat kita mengenai “obyektif ilmiah” dan
“subyektif-tidak ilmiah” yang seringkali dianggap masih
relevan dalam dunia akademik ilmu sosial-budaya di
Indonesia?
Sejak kemunculannya pada tahun 1950-an, penyabaran
dan kehadiran postmodernisme tidak bisa di hindari lagi,

118
yaitu menyebar ke berbagai bidang dan juga ke berbagai
tempat, termasuk Indonesia. Saya kira kehadiran
postmoderenisme di Indonesia masih belum di terima, di
samping karena dominasi positivisme, orang yang mau
paham tentang postmodernisme masih kurang; juga
bentuk atau perwujudannya berbeda-beda tiap bidang
ahirnya, perbedaan pemahaman dan pro kontra tentang
kehadirannya selalu muncul, ada orang yang menganggap
postmodernisme sebagai aliran pemikiran, metode berpikir
kritis, gerakan sosial budaya (sub-versi), bukti kegagalan
dan kemandegan pemikiran barat, dan di anggap sebagai
konsekwensi logis dari rasionalisme yang berlebihan
danrepresif. Jadi pro-kontra itu terjadi pada tataran teoritis
maupun praktis.
Terlepas dari pro konta tersebut, saya hanya sedikit
(mencoba) merefreksi kehadiran postmodernisme pada
kalangan akademisi, yang masih berada di lingkungan
pemikiran positvisme. Postmodornisme yang lebih
menghargai pluralitas dan kebenaran relatif itu akan sulit
diterima bahkan ditolak dalam kelompok ilmu
pengetahuan. Kritik yang dilontarkan kaum
postmoderisme dianggap aneh dan tidak mempunyai
dasar sehingga membawa kaum akademisi terasing dari
arus besar yang masih kuat, yang ingin diruntuhkan oleh
postmodernisme itu sendiri. Misalnya, hasil penelitian
antropolog postmodernisme yang reflektif tidak akan di
terima di kalangan umum, karena dianggap tidak ilmiah
atau berada diluar standar ilmiah. Di samping itu,
postmodernisme akan menimbulkan ketegangan bahkan
frustasi bagi orang yang percaya pada kebenaran mutlak,

119
karena posmoderisme dianggap meruntuhkan dasar-dasar
kepercayaan dan bangunan “dunianya”, serta
mengjungkirbalikan tatanan sebagai mekanisme
kehidupan. Bahaya yang di khawatirkan akan muncul
adalah solisisme atau kondisi relatif, kehidupan menjadi
tanpa aturan (semua menjadi “benar” dan mungkin kiat
salah akan jarang di pakai?).
Keadaan tanpa tatanan itu tentu meninggalkan
pekerjaan bagi cendikiawan untuk menjawab pertanyaan,
bagaimana mengganti metanarasi yang sudah diruntuhkan
dengan gagasan postmoderinisme yang berciri lokalitas
dan spesifikasi sejarah masyarakat anharudin, 1994:94).
Seperti kita tahu bahwa postmo mendekonstruksi
modernisme dan konsep-konsep besar, untuk itu mereka
harus menggati dan merumuskan (menemukan) konsensus
berdasarkan konsep lokal sebagai pijakan kehidupan
masyarakat. Pekerjaan ini menjadi lebih sulit karena kaum
postmo tidak mempunyai ruang gerak yang luas (ditolak)
di lingkungan positivis. Seandainya kesempatan itu ada,
tetap harus dipertanyakan apakah postmo mampu
mengatasi permasalahan komplek kehidupan yang gagal
(belum) diselesaikan oleh modernisme.
Kehadiran postmo masih menjadi dilema bagi kaum
akademisi. Mereka (Anharudin, 1994:94) harus memilih
umtuk berdiri di atas paradigma yang paling tepat baik
untuk dirinya dan untuk masyarakat. Bila memilih,
mainstream teori modernisasi dan modernisme akan
membawa perubahan sosial yang semakin kapitalistik,
namun seandainya menolak kapitalisme, dan mencari
alternatif lain, mereka akan dihadapkan pada problema

120
sosial yang berada dalam krisis besar. Meskipun
mempunyai beberapa kesulitan, postmoderinisme
menawarkan alternatif untuk menciptakan masyarakat
yang toleran, postmodernisme menawarkan alternatif
untuk menciptakan masyarakt yang toleran, menghargai
perbedaan, semangat untuk menerima kritik, reflektif, dan
kesedihan untuk berubah. Oleh karena itu, kaum
akademisi harus berani mengambil resiko untuk melawan
arus besar yang masih kuat, melakukan dekonstruksi
terhadap berbagai pemikiran, dan pemahaman yang ada.
Semua ini hanya dapat terwujud dengan usaha
menciptakan kebebasan dan kreatifitas berpikir, sehingga
tercipta pemikiran-pemikiran baru. Kebebasan subyektif-
ilmiah akan membawa tindakan reflektif yang jujur pada
diri sendiri dan keadaan nyata, terutama jujur untuk
menerima pada suara-suara kelompok pinggiran yang
selama ini tidak terdengar.

121
DAFTAR PUSTAKA

Ahimsa Putra, 1994 “Model-model Linguistik dan sastra


dalam Antropologi” dalam Buletin Antropologi.
No.18/Th.IX
_________1994 “Postmodernisme dan Perubahan
Kebudayaan” dalam Postmodernisme dan masa
depan Peradapan (Suyuto,dkk(ed)). Yogyakarta :
Aditya Media.
________1997 “Pengantar” dalam Levi-Strauss, Empu
Antropologi Struktural.Landung Simatupang
(peterjemah).Yogyakarta:LKiS
Anharudin, 1994 “Postmodernisme :Sebuah
Problema Intelektual” dala Perspektif No,VI.
Aviri,Gadis, 1993 “Science Versus Literature” dalam
Prisma.Januari .
Bathes,Roland, 1970 “Science Versus Literature” dalam
Introduction to Strukturalism. New York:Basic
Books
Cremer, Agus dan De Santo,J, 1997 “Pengantar” dalam
Mitos Dukun dan Sihir. Yogyakarta :Kanisius.
Greertz, Clifford, 1992 Tafsir kebudayaan.FB hadirman
(Penerjemah). Yogyakarta:Kanisius.
_________1997 After The Fact. Landung Simatupang
(Penerjemah) Yogyakarta:LkiS
Keesing,RM, 1987 “Antropology of Interpretif Quest”
dalam Curret Antropology.Vol 28 No.3:161-176.
_________1992 Antropology Budaya. Jilid II. Rg Soekadijo
(Penerjemah) Jakarta :Erlangga.

122
Kleden,Ignas, 1998 “Fakta dan Fiksi Tentang Fakta dan
Fiksi: Imajinasi dalam Sastra dan ilmu Sosial”
dalam Kalam Edisi II hal. 5-35.
Kontjaraningrat, 1979 Teori Struktural Levi-Strauss. Diktat
Kuliah (tidak diterbitkan).
Levinson, D dan ember,M, 1996 Encyclopedia of
Antropology. Vol.4.USA:Reference Book.
Levi-Strauss,Claude, 1969 Struktural Antropology
London: Allen Lane The Penguin Book,
________1997 Mitos, Dukun dan Sihir,
Yogyakarta:Kanisius.
Rozy,Ino, 1974 The Unconscios in Culture. New York: E.P
Dotton & Co, Inc.
Stratern, Marilyn, 1987 “Out of Context” dalam Current
Antropology. Vol. 28 No.3 Juni
Suyoto,dkk(ed), 1994 Postmodernisme dan masa Depan
Peradaban. Yogyakarta: Aditya Media.

123
ANALISIS VARIABEL DALAM ILMU SOSIAL
POSITIVISME

Pendahuluan
Ada dua ilmu pengetahuan yang berkembang, yaitu
ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial,
yang petama lebih awal dari yang kedua lahir kemudian.
Meskipun demikian ada juga yang menyatakan (Bernard,
1988:17) bahwa kedua bidang ilmu pengetahuan tersebut
telah berkembang pada waktu yang hampir sama dengan
basis filsafat yang sama dikembangkan oleh Isaac Newton
dan John Locke ( 1632-1704). Newton mengembangkan
ilmu-ilmu fisik (benda angkasa), sedangkan locke bergelut
dengan ilmu sosial (perilaku manusia). Selanjutnya ilmu
sosial ini diteruskan pengembangnya oleh Auguste Comte,
calaude-Henri de Saint-simon, Adolpe Quetelet,dan john
Stuart Mill yang mencoba menggunakan metode ilmiah
dalam studi tingkah laku manusia.
Adalah Auguste Comte ( 1798-1857) seorang filsuf
positivisme yang sangat berperan dalam meletakkan dasar
yang kokoh bagi pengembangan ilmu pengetahuan sosial
yang mekanistis. Dia berupaya menciptakan hukum-
hukum yang berkaitan dengan bidang ini, sehingga
terbitlah karyanya yang berjudul “The Sistem Of Positive
Philosophy” yang didalamnya termuat “law of three
stages” dalam pengembangan ilmu pengetahuan (
Bernard, 1988:20). Tahapan pertama pengetahuan manusia
menurut comte adalah bahwa fenomena-fenomena
diuraikan dengan cara menggali eksistensi tuhan yang
berubah-ubah yang tingkah lakunya tidak dapat diperdiksi

124
oleh makhluk manusia. Comte dan teman sejawatnya
menyatakan bahwa agama itu sendiri berkembang dari
penyembahan terhadap benda-benda mati (fetishism),
terus politeisme, dan sampai pada monoteisme. Tahapan
kedua adalah tahapan metafasis yang mengandung
eksplanasi tentang fenomena-fenomena yang diamati
sebagai “esensi-esensi”, yang biasa digeluti pleh para ahli
biologi pada saat itu. Tahapan ketiga adalah tahapan
pemerolehan ilmu pengetahuan manusia berdasarkan data
empiris,penalaran, dan pengembangan hukum-hukum
dalam rangka menjelaskan fenomena-fenomena.
Filsafat positivisme mempunyai peranan yang besar
dalam pengembangan ilmu pengetahuan sosial ( sosial
budaya).Hukum-hukum positivisme dapat diterapkan
dalam mengkaji hubungan-hubungan fenomena sosial
dalam rangka pemecahan masalah yang dihadapi umat
manusia. Bagaimana pengkajian fenomena sosial yang
disebut juga sebagai variabel dalam penelitian dengan
positivisme, apa itu positivisme, apa itu variabel, apa itu
analisis variabel, dan mengapa analisis variabel dianggap
sebagai bagian dari ilmu sosial positivisme merupakan
pertanyaan-pertanyaan yang coba dikaji dalam tulisan
singkat ini.

Positivisme dalam Ilmu Sosial


Positivisme merupakan salah satu aliran dalam filsafat
ilmu pengetahuan (epistemologi) yang memiliki ciri
penekanan bahwa ilmu pengetahuan hanya berkaitan
dengan hal-hal yang betul-betul ada dan teramati melalui
pengalaman. Hal-hal yang abstrak, yang tidak nyata bukan

125
menjadi perhatiannya. Kalau dalam ilmu sosial yang
menjadi obyek adalah fenomena-fenomena sosial. Oleh
karena itu para positivis telah berupaya merumuskan
hukum-hukum atau teori-teori yang berlaku umum yang
mengungkap hubungan antara fenomena-fenomena.
Abercrombie, et al. (1994) menyebutkan bahwa positivisme
merupakan suatu doktrin dalam filsafat ilmu pengetahuan
sosial yang menekankan bahwa ilmu sosial hanya
memfokuskan diri pada hal-hal yang dapat diamati dan
secara langsung dapat diketahui melalui pengamatan.
Untuk melihat lebih jauh konsep positivisme ini, mari
kita lihat filsafat positif yang dikemukan oleh comte. Dia
membagi konsep positivisme ini kedalam tiga bagian .
Pertama, positivisme merupakan sebuah teori
perkembangan historis yang mana kemajuan ilmu
pengetahuan merupakan penggerak kemajuan historis, dan
merupakan sumber stabilitas sosial.
Kedua, positivisme merupakan teori pengetahuan
yang menyatakan bahwa satu-satunya jenis pengetahuan
yang tersedia bagi manusia adalah sains, yang bersumber
dari observasi. Ketiga, positivisme adalah kesatuan tesis
sains yang menurutnya bahwa semua sains dapat
diintegrasi ke dalam sistem natural tunggal ( Halfpenny,
1982:15)
Dari masing-masing konsep positivisme diatas, kita
dapat melihat bahwa konsep pertama ingin menunjukkan
kepada kita kemajuan ilmu pengetahuan adalah hal yang
paling penting yang harus diupayakan oleh manusia,
disamping kemajuan historis adalah terciptanya stabilitas
sosial yang juga merupakan tujuan ilmu pengetahuan.

126
Konsep kedua mengandung arti bahwa yang dapat
dikatakan ilmu pengetahuan adalah sains yang diperoleh
melalui pengamatan. Dalam konsep ini ditekankan bahwa
pengamatan merupakan cara pemerolehan pengetahuan
yang benar. Ilusi, khayalan, hasil pikiran yang tidak
didukung oleh hasil pengamatan tidaklah dapat
dikategorikan sebagai ilmu pengetahuan. Konsep
ketigaingin menegaskan bahwa semua ilmu pengetahuan
itu dapat dipadukan menjadi satu sistem, antara yang satu
dengan yang lainnya saling terkait. Dan karekter yang
paling mendasar dalam filsafat positif adalah, menurut
Halfpenny,(1982:14) menjadi semua fenomena sebagai
subyek hukum alam yang tunggal.
Positivisme dalam ilmu sosial terutama sosiologi
memiliki pemikiran keilmiahan yang setara dengan ilmu-
ilmu fisik (alam).Hal ini dapat dilihat melalui cara
pengukuran dan perhitungan statistik dalam rangka
pembentukan generalisasi-generalisasi yang didasarkan
pada faktor-faktor empiris. J. Habermas menyatakan
bahwa kedudukan positivisme dalam ilmu sosial, sebagai
sebuah contoh rasionalitas teknis, dikaitkan dengan
kebutuhan untuk mengendalikan masyarakat
(Abercrombie, et al. 1994: 323). Tidak disebutkan lebih
lanjut bagaimana cara melakukannya. akan tetapi dapat
diperkirakan bahwa dengan mengkaji fenomena-fenomena
sosial yang ada di masyarakat menurut pandangan
positivisme dan berupaya membuat generalisasi-
generalisasi dan rekomendasi untuk pemecahan persoalan-
persoalan masyarakat.

127
Sementara itu, Durkheim menganjurkan agar
memperlakukan fenomena sosial itu sebagai sesuatu atau
benda (Walsh, 1972:37). Selanjutnya dia membagi
fenomena kedalam dua kelompok, yang pertama
mencakup cara bertindak, berpikir, dan berasa
(menggunakan perasaan); dan kedua adalah fakta-fakta
lain yang memiliki objektivitas yang sama, kekuasaan yang
sama atas individu. Seorang ahli filsafat, Kolakowski
(dalam Bryant, 1985) melihat positivisme sebagai
sekumpulan aturan-aturan dan kriteria penilaian
berkenaan dengan pengetahuan manusia. (Ahimsa-
Putra,1997:29).Kolakowski (dalam Bryant,1985;Rosi, 1974)
menyebutkan empat aturan yang menentukan apa yang
dimaksud dengan pengetahuan, yaitu (1) “rule of
phenomenalism”, (2) “rule of nominalism”, (3) “rule taht
refuses to call value judgements and normative statements
knowledge”, dan (4) “ belief in essential unity of scientific
method”. ( Ahimsa- Putra, 1997:29) .
Dibawah ini saya mencoba memparafrase kalau bukan
dikatakan mengutip secara lengkap uraian tentang
keempat aturan diatas yang telah dipaparkan oleh Ahimsa-
Putra (1997:29-30). Aturan pertama, fenomenalisme,
menyatakan bahwa kita hanya berhak merekam apa yang
sebenarnya kita alami. Ini berarti bahwa positivisme
mengakui eksistensi tapi menolak esensi, sehingga
positivisme menolak setiap penjelasan tentang hal-hal yang
menurut definisinya tidak dapat dicapai oleh pengetahuan
umum. Artinya bagi positivisme, pengalaman adalah dasar
terpenting dari pengetahuan manusia. Jadi, metafisika
berada di luar positisme.

128
Aturan kedua, nominalisme, menganjurkan agar kita
tidak menganggap bahwa setiap pemahaman yang
dirumuskan dalam istilah-istilah yang umum dapat
mengacu selain kepada fakta-fakta individual. Artinya,
meskipun istilah-istilah yang digunakan begitu umum
namun acuan rumusan untuk menguraikan suatu
pemahaman tersebut tetaplah fakta-faktaindividual.
Menurut aturan nominalisme, setiap ilmu pengetahuan
yang abstrak tidak lain adalah sebuah metode untuk
meringkas perekaman pengalaman.
Aturan ketiga menyebutkan bahwa kita wajib menolak
pandangan yang menganggap nilai-nilai sebagai ciri dari
dunia yang ada di sekitar kita. Padahal, pada prinsipnya
nilai itu relatif, antara satu orang dengan yang lainnya
berbeda cara memperolehnya. Suatu nilai memerlukan
sosialisasi, karena setiap masyarakat memiliki sistem yang
berbeda-beda.
Aturan keempat menyebutkan bahwa tidak ada
perbedaan mendasar antara metode ilmu pengetahuan
alam dengan metode ilmu sosial budaya walaupun obyek
penelitian kedua ilmu pengetahuan ini berbeda, namun
prosedur penalaran dan penelitian bisa sama. Pandangan
yang berkembangan dalam hal ini adalah bahwa
meskipun prosedur, metode penalaran dan penelitian telah
berkembang lebih awal dalam ilmu-ilmu alam dianggap
dapat digunakan untuk memahami gejala atau fenomena
sosial budaya.
Mengapa bisa demikian? Satu hal yang perlu dicatat
bahwa obyek kedua bidang ilmu tersebut bersifat empiris,
berulang, dan berpola. Tampak ada kesamaan, sehingga

129
kedua bidang ilmu itu kalau dilihat dengan kacamata
positivisme berjalan di atas rel yang sama meski dengan
obyek penelitian yang berbeda.
Sehubungan dengan keterkaitan antara ilmu
pengetahuan alam dan ilmu sosial (sosiologi ) Anthony
Giddens (dalam Bryant 1985, 7-8) yang kemudian di kutip
oleh Ahimsa-Putra (91997:30-31) mengatakan bahwa (1)
prosedur ilmu pengetahuan alam secara langsung dapat
diadaptasi pada sosiologi, (20 hasil akhir investigasi
sosiologi dapat diformulasikan sebagai hukum-hukum;
atau generalisasi yang setara dengan hukum seperti
hukum-hukum yang dibangun oleh ahli ilmu pengetahuan
alam, (3) sosiologi mempunyai karakter teknis.

Analisis Variable
Menurut Bernard (1988:27) variable adalah “someting
that can take more than one value” Terlihat di sini bahwa
“sesuatu” yang menjadi obyek penelitian memiliki nilai
lebih dari satu. Dia menambahkan bahwa variabel yang
umum digunakan dalam penelitian memiliki nilai lebih
dari satu. Dia menambahkan bahwa variabel yang umum
digunakan dalam penelitian sosial adalah umur, jenis
kelamin, pendidikan,pendapatan, pekerjaan, tekanan
darah, dan sebagainya. Selain itu, Muhadjir (1990:37)
menulis variabel adalah suatu terkecil obyek penelitian.
Misalnya terhadap mahasiswa, dia memberi contoh, akan
muncul satuan terkecil obyek penelitian yaitu variabel,
seperti integensi, minat, status sosial, cita-cita, prestasi
akademik, kesehatan, dan banyak lagi yang lainya yang
melekat pada mahasiswa tersebut. Tentunya bila ingin

130
meneliti mahasiswa tersebut tidak semua variable itu di
teliti, yang diambil hanya yang relevan dengan masalah
penelitian. Oleh sebab itu, variabel-variabel yang tidak di
perlukan perlu dieliminasi.
Definisi lain yang disampaikan oleh Ahimsa-Putra
pada kuliah Epistemologi tanggal 28 September 1999
berbunyi bahwa variabel adalah sesuatu ciri yang memiliki
tingkat, derajat, besar, atau katagori yang berbeda yang ada
pada sekelompok obyek,individu, peristiwa, dan lain-lain.
Di tambahkan bahwa nilai suatu variabel akan muncul
apabila sudah ditentukan variabel. Sebagai contoh,
variabelnya adalah tingkat pendidikan, dan dari sini akan
lahir sejumlah nilai-nilai (values), seperti (pendidikan)
dasar, menengah , atas, dan tinggi.\
Dari ketiga pengertian di atas, tampaknya penulis
memposisikan diri pada pengertian variabel yang kedua
dan ketiga.
Mengacu pada pengertian-pengertian variable di atas,
kalau dikaitkan dengan aliran positivme, maka kita
menurut muhadjir ( 1990:37) harus berpikir spesifik, brpikir
tentang empiri yang teramati dan terukur, serta dapat di
eliminasi, dimanipulasikan, dan dilepas dari satuan
besarnya. Tidak semua variabel dapat di manipulasikan.
Misalnya variabel statis seperti umur, jenis kelamin (Pria-
Wanita) tidak dapat dimanipulasi atau diubah-ubah oleh
peneliti. Sebaliknya, variabel dinamis, seperti prestasi
belajar, motivasi kerja masih dapat dimanipulasi disini
adalah nilai-nilai dari suatu variabel.
Dalam aliran positivisme, pola pikir yang berkembang
adalah pola pikir logis dan kausal, tiada sebab tanpa akibat,

131
tiada akibat tanpa sebab. Dalam kaitan dengan ini , ada
dua variabel plus satu yang saling tarik menarik yaitu
independen dan dependen plus variabel antara atau
pengganggu (intervening). Variabel independen adalah
veriabel yang kemunculannya bukan disebabkan oleh
variabel lain (dependen). Sedangkan variabel dependen
adalah variabel yang kemunculannya disebabkan oleh
adanya variabel independen. Adanya variabel dependen
karena adanya variabel independen. Kita ambil
sebgaicontoh : “belajar dan nilai A” belajar adalah variabel
independen dan nilai A adalah variabel independen.
Dalam hal ini, secara logis nilai A tidak akan mungkin ada
tanpa belajar, adanya aktifitas belajar menyebabkan adanya
nilai A. Akan tetapi dalam peristiwa ini, variabel antara
(pengganggu) mungkin dapat muncul. Misalnya,
meskipun si Ali belajar tetapi tidak dapat nilai A. Menurut
pandangan positivisme, Si Ali apalagi belajarnya sungguh-
sungguh maka dia pasti dapat nilai A. Apalagi Si Ali sudah
melakukan seperti itu, namun tidak dapat mendapat nilai
A, maka di perkirakan ada variabel antara yang
mengganggu (intervening), misalnya tidak bisa menjawab
pertanyaan, tidak mengerjakan tugas, adanya penilaian
subyektif dari dosen, dan masih banyak lagi lainnya.
Di samping itu, kalau di lihat dari sisi struktur dan
teramatinya, menurut positivisme, variabel dapat dibagi
menjadi dua bagian, yaitu (1) variabel yang dapat diamati
secara langsung (directly observable variabel) (2) variabel
yang tidak dapat diamati secara langsung (construct
variabel ) (bernard, 1988:38 ; Muhadjir, 1990:38). Menurut
Bernard, variabel dapat di ukur melalui indikator-

132
indikator, dan indikator-indikator itu dapat di urai melalui
nilai-nilainya. Kalau kita ingin menggunakan warna kulit
sebagai indikator ras, dan kalau warna kulit terdiri atas
dua nilai (hitam dan putih); kemudian untuk menilai ras
kita dapat melihat seseorang dan memutuskan nilai yang
mana yang perlu di catat. Ini merupakan suatu contoh
directly observable variabel. Sedangkan contoh contruct
variabel adalah seperti intensitas keagamaan, dedikasi
terhadap pelayanan publik, keinginan untuk menerima
teknologi pertanian yang baru. Dikatakan konstruk karena
ini merupakan kreasi mental. Berdasarkan pengalaman
bahwa sesuatu itu ada, namun tidak dapat di observasi
secara langsung. Itulah konstruk variabel.
Berkaitan dengan analisis variabel ini, Walsh (1972:41)
menjelaskan bahwa analisis variabel adalah analisis yang
berupaya mereduksi kehidupan sosial menjadi variabel
variabel-variabel dan hubungan antara variabel-variabel.
Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa variabel yang
demikian itu merupakan kategori-kategori struktural dan
organisasional kehidupan sosial yang diidentifikasikasi
sebagai realitas-realitas yang menjadi penunjuk obyektif
melalui penggunaan konsep-konsep atau model-model
yang darinya lahir aksi sosial.

Contoh analisis VariabelKawin Kontrak


Akhir-akhir telah banyak diberikan adanya kawin
kontrak yang terjadi dalam masyarakat kita. Meskipun
sangat memprihatinkan, namun hal ini menarik dan
sedang hangat dibicarakan orang secara lisan, maupun
melalui media cetak dan elektronik. Kawin kontrak adalah

133
realitas sosial, yang betul-betul terjadi dalam masyarakat
kita, yang menyimpang dari sistem budaya dan sistem
sosial yang ada.
Sebagai fakta sosial, kawin kontrak tidak muncul
begitu saja. Di sini hukum kausalitas menurut pandangan
positivisme terjadi, tiada akibat tanpa sebab dan tiada
sebab tanpa akibat. Kalau dilihat dari segi ini, kawin
kontrak merupakan variabel dependen yang
kemunculannya disebabkan oleh adanya variabel lain yaitu
independen dan menurut Walsh (1972:41) merupakan
fenomena sosial. Variabel-variabel independen (penyebab)
yang memungkinkan munculnya kawin kontrak adalah
misalnya faktor ekonomi ( kurang/tidak terpenuhinya
kebutuhan sandang pangan atau lainnya ), sistem budaya,
demoralisasi, kebutuhan akan hidup yang konsumptif.
Antara variabel-variabel ini terdapat hubungan linear,
saling terkait antara yang satu dengan yang lainnya.
Kawin kontrak merupakan fakta sosial, oleh sebab itu
menurut Emile Dirkheim, harus diperlakukan sebagai
benda (sesuatu) dan ditelaah hubungan-hubungannya
diantara hal-hal yang dapat di amati (Walsh, 1972:38).
Kawin kontrak sebagai perilaku menyimpang anggota
masyarakat dari sistem sosial dan budaya merupakan
fenomena sosial yang harus ditelaah akar
permasalahannya. Fenomena-fenomena sosial dapat
direduksi ke dalam fakta-fakta perilaku nyata yang
selanjutnya dianggap sebagai produk stimulusresponse
situations (Walsh, 1972:38). Menurut Tarmidji “kawin
kontrak adalah imbas dari budaya barat” selain itu dia

134
menambahkan bahwa kawin kontrak merupakan cerminan
krisis moral anggota masyarakat (tarmidji, 1999:4).
W.I Thomas mengemukakan suatu konsepsi bahwa
manusia mempunyai kemampuan untuk mengubah tradisi
yang telah lama di anutnya. Kemampuan tersebut
menyebabkan kemungkinan terjadinya perilaku yang
diinginkan sendiri (Soekanto :1984:157). Meskipun perilaku
atau tindakan yang diambil menyimpang dari struktur
sosial yang ada, tapi itu di anggap sebagai pemecahan
masalah yang di hadapainya, tidak peduli dengan orang
lain. Hal ini pula menunjukkan bahwa pembentukan
kepribadian para warga masyarakat melalui sejarah atau
sistem budaya baik tertulis maupun lisan tidak berhasil.
Ketidak berhasilan ini bisa disebabkan oleh suatu proses
perubahan yang berlangsung secara cepat, maka sangat
besar kemungkinannya akan terjadi disorganisasi
sosial(Soekanto 1984 :154)
Emile Durkheim menyatakan bahwa “....These
Conditionof industrial life naturally require new
organisation, but at these changes have accued with”
industri yang begitu cepat dapat mengedorkan sistem
budaya dan sosial masyarakat, dan terjadi goncangan-
goncangan dalam masyarakat. Tuntutan dunia kerja
industri sulit dipenuhi membuat anggota masyarakat
pesimis. Keadaan pesimistis berkembang dengan pesat
sehingga menurut Durkheim terjadinya peristiwa bunuh
diri ) (suicide) karena kesedihan dan kecemasan (Walsh,
1972) dalam keadaan beginilah menurut Durkheim di
butuhkan organisasi baru masyarakat.

135
Meskipun kawin kontrak sebagai fenomena sosial
dianggap sebagai prilaku yang menyimpang dari sistem
budaya, namun itulah fakta sosial yang terjadi yang
membutuhkan penanganan dan pengkajian serius terhadap
relasi-relasi antara fakta-fakta sosial yang ada.

Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat di simpulkan bahwa analisis
variabel dapat dianggap sebagai bagian dari ilmu sosial
positivisme, hal ini dapat dilihat dari pendekatan yang di
gunakan yaitu kausalitas. Menurut pandangan positivisme
bahwa tidak mungkin sesuatu itu terjadi dengan
sendirinya. Dengan kata lain, sesuatu ada karena
disebabkan oleh sesuatu, misalnya adanya banjir karena
ada hujan. Nah kalau kita kaitkan dengan analisis variabel
dalam ilmu sosial positivisme maka menjdi fokus utama
dalam analisa adalah semua fenomena sosial atau fakta
sosial dan kemudian disebut variabel. Variabel-variabel ini
dikaji relasi-relasi kausalitasnya, ditelaah hubungan sebab-
akibatnya, independen-independen bahkan intervening
variabelnya, kemudian lahir generalisasi-generalisasi.

136
REFERENSI

Abercrombie, Nicholas, et al. 1994. The Penguin Dictionary of


Sosiology.London
Ahimsa-Putra, Heddy S, 1997 “ Antropologi
Koentjaraningrat”Kontjaraningrat dan Antropologi di
Indonesia. Masinambow (ED)
Bernard, H Russell. 1988. Research Methods in Cultural
Anthropology,
California : Sage Publications, Inc
Halfpenny, Peter. 1982. Positivism and Sociology Explaining
Sosial Life,London: George Allen & Unwin
Muhadjir. Noeng 1990. Metode penelitian Kualitatif.
Yogyakarta: rakeSarasin.
Soekanto, Soerjono. 1984. Teory Sosiologi, Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Tarmidji, KH M, Mulya. 1999.Pop (Tabloid). Edisi 15 Th 1.
20-26September
Wals, david. 1972. “varieties of Positivism” New Directions in
Sosiological Theory. F.D Pal Filmer, et al. London:
Collier-MacmillanPublishers

137
ANALISIS STRUKTURAL LEVI-STRAUSS
MAKNA MITOS ASAL NAMA BANYUWANGI

Latar Belakang
Cerita rakyat di tanah air ini sangat banyak dan sangat
disenangi oleh masyarakat. Salah satu yang cukup menarik
bagi rakyat adalah cerita mengenai asal mula suatu daerah.
Biasanya asal mula suatu daerah oleh masyarakat
dianggap sebuah mitos. Mitos selalu disosialisasikan
melalui dongeng dan secara tradisional disebarkan melalui
cerita dari generasi ke generasi, meskipun mereka tidak
pernah membaca buku yang menceritakan tentang
dongeng tersebut.
Sebagai orang yang dilahirkan di Kabupaten
Banyuwangi sejak kecil saya sudah pernah mendengarkan
cerita tentang asal mula dinamakan Banyuwangi meskipun
cerita itu tidak saya dapatkan dari orang tua dan guru
saya, namun ketika cerita itu dianalisa ternyata sangat
menarik karena ada tema kesetiaan yang menjadi inti dari
cerita asal mula Kota Banyuwangi.
Cerita asal mula nama Banyuwangi dimaksudkan
untuk memiliki fungsi edukatif yang positif dengan
menyediakan tokoh dalam cerita tersebut.
Bagi masyarakat Banyuwangi sendiri tampaknya mitos
tersebut masih cukup dikenal, barangkali masih bisa pula
dikatakan hidup. Hal yang menarik adalah adanya
anggapan masyarakat yang pada dasarnya melihat
dongeng sebagai suatu cerita yang telah menjadi
kenyataan, meskipun direspon secara terbalik. Apa yang

138
menjadi tema inti sekaligus menjadi pesan edukatifnya,
ditanggapi secara berlawanan dalam perilaku kehidupan
masyarakat Banyuwangi.
Guna menjawab permasalahan tersebut, kiranya perlu
terlebih dahulu memahami mitos asal mula nama
Banyuwangi. Dalam tulisan ini, masalah pemahaman
secara struktural ala Levi-Strauss akan mitos tersebut
menjadi kajian utama. Dengan hasil kupasan tersebut
diharapkan akan diperoleh pemahaman setidak-tidaknya
gambaran tentang kaitannya dengan anggapan masyarakat
Banyuwangi sendiri. Dalam upaya ini digunakan dua versi
cerita asal mula nama Banyuwangi dengan maksud untuk
saling melengkapi sekaligus sebagai perbandingan antara
versi yang satu dengan yang lainnya. Apakah akan
menghasilkan suatu pola yang secara struktural berbeda.
Kedua versi cerita tersebut dihimpun oleh Sagimun (1963).

Kerangka Pemikiran
Seandainya memahami mitos tersebut dengan
merujuk kepada pendapat Bascom yang diikuti Danandjaja
(1991), maka mitos atau folklor memiliki beberapa fungsi
dalam rangka kebudayaannya. Fungsi tersebut adalah : 1)
sistem proyeksi, sebagai alat pencerminan angan-angan
suatu kolektif; 2) sebagai alat pengesahan pranata-pranata
atua lembaga kebudayaan; 3) sebagai alat pendidikan anak
dan 4) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-
norma masyarakat selalu dipatuhi anggota kolektifnya
(Danandjaja, 1986). Semestinya masyarakat memperoleh
atau mengambil manfaat pedagogis yang positif dari cerita
tersebut. Asumsi ini tidak dimaksudkan untuk mengurangi

139
atau mengabaikan bahwa yang sebenarnya paling tepat
memberi penafsiran adalah generasi keturunan itu sendiri
atau komunitas pendukungnya.
Sebagaimana struktrualisme Levi-Strauss
dikembangkan (Ritzer, 1991), mitos dipandang sebagai
fenomena kebahasaan. Bahasa itu sendiri merupakan suatu
alat berkomunikasi, saling menyampaikan informasi atau
pesan. Mitos itu sendiri mengandung berbagai pesan.
Bahasa maupun mitos sama-sama digunakan untuk
menyampaikan berbagai pesan. Berbagai pesan di dalam
mitos akan dapat dimengerti bila berhasil mengungkap
makna dari bagian-bagian mitos beserta strukturnya.
Dengan demikian mitos dapat ditanggapi sebagai gejala
bahasa dan oleh karena itu analisis secara kebahasaan
dapat digunakan dalam menganalisisnya.
Suatu hal yang cukup penting dalam menerapkan
teori Strukturalisme Levi Strauss ini sebagaimana
dituturkannya, bahwa titik tolak strukturalisme adalah
upaya mencari hal atau unsur invarian yang ada di bawah
permukaan penampilan rupa yang beraneka ragam
(Cremers dan Santo, 1997). Hal ini disadari betul oleh
Strauss karena semenjak kecil ketika belum bisa membaca
ditanya ibunya dijawab bisa membaca dengan melihat
persamaan-persamaan pada bagian atau suku katanya.
Pemikiran yang sama muncul berulang ketika baru
memasuki etnologi menjumpai sejumlah adat (aturan)
perkawinan yang saling berbeda penampakannya juga
banyaknya cerita, mitos yang dijumpai berasal dari
berbagai belahan bumi. Pemikiran yang sama senantiasa
muncul dalam diri Strauss, mencari di balik berbagai pada

140
penampakan luarnya. Tampaklah bahwa orientasi utama
Levi-Strauss adalah mencari tatanan dibalik kenyataan
yang tampaknya tidak mempunyai aturan bahkan yang
sekilas tampak agak kacau. Orientasi ini memberi panduan
kepada kita kearah mana analisis Strukturalisme Levi-
Strauss akan dilakukan.

Langkah-langkah Analisis
Dalam menganalisis mitos, Levi-Strauss mengambil
alih analisis linguistik struktural. Dalam mengikuti
langkah-langkah ini, Strauss berkonsentrasi pada adanya
hubungan-hubungan antar elemen di dalam mitos. Pada
langkah awal di dalam mitos dicari bagian-bagian atau
elemen yang mencerminkan adanya tema-tema tertentu
atau sub-tema, yang dipandang mendeskripsikan sesuatu
yang penting. Dengan langkah ini akan diperoleh cerithem
atau mithem. Cerithem tersebut dapat dijumpai pada
tingkatan kalimat, yaitu kalimat yang mengandung, relasi-
relasi antar elemen dalam cerita. Langkah berikutnya,
cerithem tersebut akan disusun dengan mengikuti relasi
sintagmatik dan paradigmatik. Dengan langkah seperti ini
akan diperoleh cerithem yang mengandung suatu
persamaan-persamaan dari berbagai perbedaan yang
tampak dalam mitos atau cerita tersebut. Langkah
terakhir, adalah memberi interpretasi untuk memperoleh
makna mitos atau cerita tersebut.
Levi-Strauss selanjutnya menjelaskan bahwa yang
akan diperoleh adalah relasi, dimana relasi itu sendirilah
yang merupakan isi. Hal yang ada adalah relasi-relasi itu
sendiri dan relasi inilah yang disebutnya sebagai struktur.

141
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa struktur
merupakan serangkaian hubungan-hubungan antar elemen
dalam binier oposition.

Konflik Psikologis Komunitas Pendukung


Levi-Strauss beranggapan bahwa struktur mitos dapat
dijelaskan dengan menunjuk pada fungsinya sebagai
media untuk mengembangkan suatu argumen logis dalam
bentuk proposisi-proposisi (1963). Dengan demikian itu
mitos menjadi memiliki kemampuan untuk menerangkan
atau menjelaskan konflik (pertentangan, kontradiksi) dari
suatu yang dipercaya dan dianut oleh masyarkat. Dalam
hal mitos asal nama Banyuwangi, bagi masyarakat
setempat menjadi suatu usaha “rohaniah” (pemikiran)
guna memecahkan permasalahan dan/atau mengalihkan
konflik tersebut dipandang atau dianggap permasalahan
dapat diatasi, setidak-tidaknya diselimuti sehingga dapat
diredam.
Dengan mendasarkan pada anggapan Levi-Strauss
tersebut, dapat terjadi berbagai kemungkinan di dalam
masyarakat. Pertama, dimungkinkan sebagian anggota
masyarakat mengikuti sisi positif dari pesan-pesan dari
nenek moyang kepada generasi keturunannya. Kedua,
pada sebagian anggota masyarakat yang lain mengikuti sisi
negatif dari pesan tersebut. Tampaknya dalam masyarakat
Banyuwangi terjadi keduanya, baik sisi positif maupun
negatifnya. Dengan demikian kesetiaan-penyelewengan
dalam kehidupan berumah-tangga masyarkat tersebut
merupakan hal yang senantisasa ada dihadapan mereka
atau sesuatu yang relatif dapat diterima. Kesetiaan dan

142
penyelewengan senantiasa menjadi konflik batin
masyarakat tersebut.

Pemaknaan Cerita Asal Nama Banyuwangi


Sebagaimana diutarakan oleh Strauss bahwa dalam
mempelajari mitos tidak dapat dilepaskan dari konteks
sosial-budaya komunitas pendukungnya. Mitos juga
memiliki fungsi sebagai suatu media komunikasi
mengembangkan penafsiran komunikatif pendukung yang
berbentuk proposisi-proposisi (1963). Komunikasi di sini
merupakan lintas generasi, dapat antara generasi nenek
moyang dengan generasi keturunannya yang sekarang.
Hal ini berarti termasuk di dalamnya adalah pewarisan
pemikiran, nilai-nilai yang ada di balik mitos atau cerita
tersebut. Konteks sosial-budaya dalam hal ini adalah
budaya Jawa, dimana komunitas Banyuwangi berada.
Dalam kebudayaan Jawa, dikenal adanya pandangan
hidup berdasarkan pada konsep alus-kasar yang diikuti
oleh orang Jawa. Alus menunjuk kepada pengertiah halus,
rapih, teratur, sopan, indah, beradab. Hal ini berlaku pada
berbagai bidang kehidupan, hasil pekerjaan, tutur kata,
perilaku dan lainnya. Kasar, menunjuk kepada hal yang
sebaliknya, hasil pekerjaannya kasar, tidak atau kurang
sopan tutur kata maupun perbuatannya, tidak beradab.
Orang Jawa melihat sesamanya dalam kerangka ini, mulai
dari strata paling bawah sampai pada strata tertinggi, yaitu
rajanya. Berbagai jenis pekerjaan yang dijalani manusia
pun ditempatkan dalam kerangka tersebut, mulai dari
petani sampai raja. (Geertz, 1964).

143
Orang Jawa sansgat mengidealkan konsep halus.
Semakin halus perasaan seseorang, semakin dalam
pengertian orang tersebut terhadap ciri-ciri moralnya.
Orang tersebut semakin dalam pemahaman akan dirinya
sendiri. Dengan demikian pengendalian dirinya juga
semakin tinggi yang membawa pada penampilannya yang
semakin matang, semakin indah. Orang yang demikian itu
yang dipandang mampu atau merasakan kedamaian yang
sebenarnya. Menurut Geertz, tujuan utamanya adalah
mencapai ketenangan emosional, kematangan jiwa
manusia. Pandangan Jawa menempatkan nafsu adalah
perasaan kasar, sifat yang cocok bagi anak-anak, petani
pedesaan maupun orang asing (Geertz, 1964). Pandangan
semacam ini kini telah banyak mengalami perubahan,
meskipun tidak sepenuhnya ditinggalkan. Pandangan
dunia Jawa dengan seperti ini tampak dalam karakteristik
pada tokoh pada cerita asal mula nama Banyuwangi.
Dalam konteks cerita tersebut, alus-kasar dapat
ditampakkan dengan berbagai perilaku para tokoh cerita
tersebut. Tema utama cerita tersebut juga menampakkan
berlakunya konsep alus-kasar. Kesetiaan mengacu
padakonsep alus, sedangkan perselingkuhan atau
penyelewengan merujuk pada konsep kasar. Apakah
memang demikian realitasnya, kiranya perlu suatu
penelitian.

Deskripsi Cerita
Deskripsi mitos atau cerita ini diambilkan dari tulisan
Sagimun MD. Dalam pengambilan ini tidak disertai
perubahan apapun kecuali ejaan disesuaikan dengan yang

144
berlaku sekarang untuk mempermudah pembacaannya. Isi
cerita dalam bahasanya tetap utuh seperti asli tulisan itu.
Tulisan Sagimun tersebut ada dua versi tentang asal nama
Banyuwangi. Kedua versi tersebut digunakan maksud
untuk saling melengkapi mengingat data etnografinya
relatif sedikit.
Versi pertama mengambil latar belakang hubungan
antara dua kerajaan, sebuah kerajaan di wilayah yang
kemudian dikenal dengan nama Banyuwangi dan kerajaan
lain di Bali, Kerajaan Klungkung. Versi kedua dari asal
nama Banyuwangi lebih dilatarbelakangi konflik dalam
keluarga bangsawan pada wilayah kerajaan yang
kemudian bernama Banyuwangi.

Versi I : Asal nama kota Banyuwangi


Pada jaman dahulu kala, dipantai timur pulau Jawa,
dipantai dekat selat Bali, adalah sebuah kerajaan yang
besar. Yang memerintah kerajaan itu adalah seorang araja
yang sangat besar kekuasaannya. Sri Baginda sangat
dihormati dan ditaati oleh rakyat. Sri Baginda mempunyai
seorang anak laki-laki yang cakap, gagah lagi elok
parasnya. Tidak mengherankan jikalau Sri Baginda sangat
cinta kepada anaknya itu. Sri Baginda sudah lanjut usia,
namun Sri Baginda tidak perlu merisaukan hari depan
kerajaannya, karena putra mahkota yang akan
menggantikannya adalah seorang calon raja yang cakap.
Sri Baginda yakin, bahwa kerajaan yang akan
ditingglkannya itu pasti berada di dalam tangan seorang
yang dapat dipercaya.

145
Raden Banterang, demikianlah nama putra mahkota
itu, adalah seorang anak muda yang cakap, gagah dan elok
parasnya. Karena itu pulalah maka ia sangat dicintai dan
dihormati oleh rakyatnya. Menurut pandangan rakyat,
diseluruh dunia ini, Raden Banterang adalah seorang putra
raja yang tak ada tolok bandingnya. Bagi rakyat, di alam
semesta ini, tidak ada lagi seorang anak muda yang
secakap, segagah dan sebagus Raden Banterang. Namun
putra mahkota yang gagah dan cakap itu mempunyai
sebuah cacat yang sayang sekali sering merugikan dirinya
sendiri. Raden Banterang lekas sekali marah. Apabila ia
sedang marah, ia lupa segala-galanya. Siapa saja yang
menurut pendapatnya berbuat salah, pasti akan diberinya
hukuman yang berat. Kerap tidak diperiksa lebih dahulu
dengan tenang dan teliti, apakah orang yang akan
dihukumnya itu betul-betul bersalah atau tidak. Sri
Baginda tahu pula tentang kekurangan anaknya itu, akan
tetapi hal itu tidak begitu dipusingkannya. Menurut
pendapat Sri Baginda, kekurangan anaknya itu lambat
launakan berubah juga kelak jikalau ia telah banyak
mempunyai pengalaman.
Hatta, maka pada suatu hari pergilah Raden Banterang
berburu ke hutan. Putra Mahkota itu disertai beberapa
orang pengiring. Maka pada suatu waktu, sedang asyiknya
berburu, terpisahlah Raden Banterang dari pengiring-
pengiringnya. Putra Mahkota itu berjalanlah seorang diri di
tengah-tengah hutan yang lebat. Akhirnya sampailah ia ke
sebuah anak sungai. Di tepi sungai itu dilihatlah seorang
gadis yang sangat elok rupanya. Gadis cantik itu sedang
memetik bunga yang banyak tumbuh di tempat itu. Raden

146
Banterang sangat takjub akan apa yang dilihatnya. Seorang
gadis yang sangat cantik di tengah-tengah hutan yang
lebat. Namun ia tidak juga bermimpi. Beberapa kali ia
memejamkan matanya, namun gadis yang menarik hatinya
itu tetap juga tegak dihadapannya. Ia terang di dalam
keadaan yang sadar dan sekali-sekali ia tidak sedang
bermimpi. Akan tetapi putra mahkota itu sangat heran
mengapa ada seorang gadis cantik yang berani seorang diri
ditengah-tengah hutan yang lebat itu. Mungkin seorang
gadis itu bukan manusia biasa. Mungkin ia seorang
bidadari atau mungkin pula ia seorang dewi. Demikianlah
pikiran Raden Banterang, dengan perlahan-lahan
dihampirinya gadis cantik itu lalu disapanya.
Wahai putri cantik! Manusia atau dewikah gerangan
tuan putri? Apakah gerangan sebabnya maka Tuan hanya
seorang diri saja di tengah hutan yang selebat ini? Gadis
rimba yang cantik itu agak terkejut juga mendengar suara
manusia yang sama sekali tidak disangka-sangkanya itu.
Namun demikian suara merdu bagaikan bulu perindu
gadis itupun menjawab.
Saya hanya seorang manusia biasa saja dan sekali-kali
bukanlah seorang dewi. Apapun sebabnya maka saya
sampai berada di tengah-tengah hutan yang lebat ini, ialah
tidak lain karena saya takut kepada musuh yang
menyerang kerajaan ayah saya. Adapun ayah saya seorang
raja di pulau diseberang lautan sini. Pada suatu hari
datanglah musuh yang menyerang kerajaan kami dan Sri
Baginda, ayah saya, gugur dalam mempertahankan
mahkota kerajaannya. Karena takut akan dibunuh oleh
musuh, maka saya melarikan diri dan menyeberang ke

147
pulau ini. Sejak itulah saya mengembara dan akhirya saya
sampai di hutan ini. Di sinilah saya hidup dengan aman
dan tenteram beberapa lamanya. Sejak itu hingga hari ini
tak seorangpun juga yang pernah datang ke tempat yang
sunyi ini. Dan baru hari inilah saya dengan tiba-tiba
dikejutkan oleh suara manusia.
Raden Banterang agak tercengan dan juga terharu
mendengar cerita gadis yang cantik itu, lalu katanya lagi:
jikalau demikian, Tuan putri yang ada dihadapanku
sekarang ini adalah putri Raja Klungkung yang perwira.
Benarlah seperti yang Tuan katakan. Saya adalah Surati,
putri Raja Klungkung yang gugur itu.
Sampai beberapa lamanya Raden Banterang diam saja.
Putra mahkota itu tidak dapat berkata sepatah katapun. Ia
mengerti riwayat Raja Klungkung yang gugur dalam
peperangan. Putra mahkota itu tahu pula bahwa raja yang
menyerang kerajaan Klungkung itu adalah ayahnyasendiri.
Raja Klungkung yang gagah berani itu gugur di dalam
peperangan dan kerajannya kalah. Raden Banterang kerap
mendengar tentang riwayat peperangan itu. Akan tetapi ia
tidak pernah mendengar nasib putri raja yang malang itu.
Dan sekarang ia berhadapan sendiri dengan putri di
tengah-tengah hutan yang lebat. Jatuh juga hati putra
mahkota yang gagah dan cakap itu mengenangkan nasib
putri yang malang itu. Darah remajanya tertarik oleh
kecantikan putri Raja Klungkung. Rasa iba dan rasa cinta
kasih bercampur aduk di hati putra mahkota yang cakap
dan tampan itu. Akhirnya putri Surati dibawa serta oleh
Raden Banterang ke istana.

148
Syahdan, tidak berapa lama kemudian, Raden
Banterangpun dikawinkan oleh ayahnya dengan putri Raja
Klungkung yang ditemukannya di hutan. Rakyat
senegeripun bergembira-ria, karena putri mahkota yang
dicintainya beroleh pasangan yang sepadan. Raden
Banterang dan Putri Surati merupakan pasangan yang
serasi, bagiakan matahari dan bulan yang cemerlang di
langit. Berkat keluhuran budi pekerti Putri Surati yang
lemah lembut, sifat pemarah dan kurang periksa dari
Raden Banterang berangsur-angsur berkurang. Kedua
orang suami-istri yang setara dan serasi itu hidup
berbahagia. Akan tetapi amat sayang sekali, karena
kebahagiaan kedua remaja itu rupanya oleh Yang Maha
Kuasa tidak diperkenankan berlansung lama.
Pada suatu pagi, Putri Surati hendak berjalan-jalan
keluar istana. Pada saat Putri Surati melangkahkan kakinya
keluar gerbang istana, sekonyong-konyong ia bertemu
dengan seorang laki-laki yang berpakaian compang-
camping. Laki-laki itu terus menerus memandang kepada
Putri Surati. Tiba-tiba laki-laki itu berteriak.
Wahai Surati! Alangkah terkejutnya Putri Surati
mendengar teriakan itu. Suara itu sudah lama dikenalnya.
Akan tetapi ia masih ragu-ragu, karena suara laki-laki yang
didengarnya itu tidak lain dari suara kakaknya sendiri.
Tidak mungkin kakaknya berada di sini. Menurut pikiran
putri Surati, kakaknya tentu sudah gugur bersama ayahnya
dan prajurit-prajurit Klungkung lainnya. Dipandangnya
orang yang berpakaian compang-camping itu dengan teliti
dan alangkah gembiranya Putri Surati setelah megnetahui
bahwa laki-laki yang berpakaian compang-camping itu

149
tidak lain daripada kakaknya sendiri. Tidak disangkanya
sama sekali bahwa kakak yang disangkanya sudah gugur
bersama pahlawan-pahlawan Klungkung yang lainnya,
masih hidup dan sekarang berdiri dihadapannya. Ia
hampir-hampir tidak mau percaya akan apa yang
dilihatnya. Dengan suara yang gembira bercampur terharu
putri Klungkung yang cantik berujar.
Aduhai kakanda yang tercinta! Adinda tidak
menyangka sama sekali bahwa kakanda masih hidup.
Adinda sangka, bahwa kakanda sudah gugur bersama
yang lainnya. Rupanya Tuhan Yang Maha Kuasa masih
tetap melindungi kita. Aduhai kakanda! Bukan kepalang
bahagianya rasa adinda dapat berjumpa kembali dengan
kakanda. Marilah kakanda! Mari kita rayakan hari yang
penuh bahagia ini. Marihal kakanda, mari kita
bergembiradan bersenang-senang. Lupakanlah segala
penderitaan kita dimasa yang lampau.
Tidak, Surati! Saya tidak sudi akan segala harta
kekayaan dan kemewahan itu, bentak kakaknya itu dengan
marahnya. Sungguh engkau seorang yang tidak punya
malu. Engkau mau menjadi istri putra seorang yang telah
membunuh ayahmu. Saya hendak menuntut balas atas
kematian ayah dan saudara-saudara saya. Bertahun-tahun
lamanya saya menanti saat yang baik untuk melaksanakan
niat saya ini. Dan sekarang, engkau Surati, engkau harus
dan berkewajiban menolong kakakmu melaksanakan
tugasnya yang suci ini.
Aduhai kakanda! Kata putri Surati lagi dengan lemah
lembut. Adinda telah menjadi istri Raden Banterang dan
adinda telah berhutang budi kepada suami adinda itu. Dia

150
telah menolong dan melepaskan adinda dari segala
penderitaan dan bahaya maut yang mengancam adinda.
Dialah yang melepaskan dan membawa adinda kemari
dari hutan belantara tempat adinda hidup terkurung dan
sunyi. Adinda tidak dapat membalas hutang budi suami
adinda itu dengan menolong kakanda untuk
membinasakannya. Lagi pula suami adinda, Raden
Banterang tidak turut memerangi kita.
Surati, engkau seorang pengkhianat, bentak kakaknya
dengan geram. Engkau telah mendurhakai orang tua,
sanak saudara dan negerimu. Engkau telah lupa, bahwa
merekalah yang menyebabkan binasanya orang tua kita,
sanak saudara kita dan pahlawan-pahlawan negeri kita.
Tidak Surati! Aku harus dan wajib menuntut balas atas
kematian orang tuaku. Raden Banterang dan ayahnya
harus kubunuh. Dan engkau Surati,... engkau harus
menolong aku untuk melaksanakan maksudku. Engkau
harus membawa aku diam-diam ke kamar tidur mereka.
Dengan demikian mudah dan dapatlah aku melaksanakan
niatku. Sesudah itu, engkau akan kubawa keluar dengan
diam-diam, lalu dapatlah kita lari bersama-sama.
Putri Surati diam saja. Berdiri bulu romanya
membayangkan niat kakaknya yang nekad itu. Ia sangat
cinta kepada Raden Banterang yang telah menjadi
suaminya itu. Didalam hati putri Surati terjadi peperangan
batin antara keharusan membantu kakaknya dan cinta
kasihnya terhadap suami yang telah menolongnya dari
kesengsaraan dan bahaya maut. Akhirnya cinta kasihnya
yang menang. Dengan lemah lembut, putri Surati berkata
lagi.

151
Aduhai kakanda! Janganlah kakanda marah kepada
adinda. Suruhlah adinda mengerjakan apa saja, asalkan
jangan untuk membunuh atau membantu membunuh
suami adinda. Jikalau kakanda tetap berkeras hendak tetap
melaksanakan niat kakanda, maka adinda tidak dapat
menolong kakanda. Adinda tidak dapat mengkhianati
suami adinda yang telah menolong adinda dari
kesengsaraan dan bahaya maut yang mengancam.
Kakanda, maafkanlah adinda. Bagaimanapun juga, adinda
tidak dapat menolong kakanda untuk melaksanakan niat
kakanda itu.
Bukan buatan panasnya hati kakak putri Surati
mendengar jawaban adiknya yang tegas itu. Laki-
lakiitupun berkata lagi. Surati! Sungguh engkau seorang
pengkhianat yang tak punya malu. Engkau tidak mau
memberikan pertolongan kepada kakakmu yang hendak
menuntut balas atas kematian ayah dan sanak saudara.
Sungguh durhaka engkau kepada orang tua dan negerimu.
Tetapi, awas engkau! Sebagai pengkhianat engkaulah yang
pertama-tama harus mendapat hukuman. Rasakanlah
pembalasanku nanti! Sesudah berkata demikian, orang
yang berpakaian compang-camping itu menghilang
dengan cepat.
Pada hari pertemuan putri Surati dengan kakaknya
itu, Raden Banterang kebetulan sedang pergi berburu ke
hutan. Putra mahkota itu sama sekali tidak mengerti
tentang peristiwa yang terjadi antara istrinya dan kakak
iparnya yang mengandung dendam itu. Tengah asyiknya
berburu, tiba-tiba Raden Banterang dihampiri seorang

152
pengemis yang berpakaian compang-camping. Pengemis
itu berbisik kepada Raden Banterang.
Tuanku Raden Banterang! Sejak pagi tadi hamba
mencari tuanku di kota. Kebetulan hamba mendengar,
bahwa tuanku pergi berburu ke hutan ini. Tuanku Raden
Banterang! Tuanku terancam oleh bahaya maut yang sudah
direncanakan oleh permaisuri Tuanku sendiri. Oleh karena
itu maka hamba tergesa-gesa kemari untuk
memberitahukan hal ini kepada Tuanku.
Pagi tadi hamba dengan mata dan telinga sendiri
melihat dan mendengar permaisuri Tuanku bercakap-
cakap dengan seorang laki-laki. Ternyata bahwa laki-laki
itu anak Raja Klungkung yang tewas beberapa tahun yang
lalu. Jadi laki-laki itu ternyata kakak permaisuri Tuanku
sendiri. Laki-laki itu hendak menuntut balas atas kematian
ayahnya. Hamba mendengar sendiri percakapan kedua
kakak-beradik itu. Mereka merencanakan hendak
membunuh Tuanku dan ayah Tuanku, Sri Baginda Raja.
Jika Tuanku tidak percaya bolehlah Tuanku memeriksa
kamar permaisuri Tuanku. Di bawah peraduan Tuan Putri
akan Tuanku kutemukan sehelai kain ikat kepala. Itulah
kain ikat kepala orang yang bercakap-cakap dengan Tuan
Putri tadi pagi. Karena cinta hamba kepada Tuankulah,
maka hamba tergopoh-gopoh kemari untuk
memberitahuakan kepada Tuanku tentang bahaya besar
yang mengancam hidup tuanku. Sebagai rakyat yang
mencintai Putra Mahkotanya hamba sudah melakukan
kewajiban hamba. Sekarang terserah kepada Tuanku untuk
berjaga-jaga jikalau perlu untuk bertindak.

153
Setelah berkata demikian, maka pengemis itupun
segera menghilang, sehingga Raden Banterang tidak
sempat lagi menanyakan sesuatu. Mula-mula Raden
Banterang agak terkejut mendengar berita yang tak
disangka-sangkanya itu. Kemudian ia agak ragu-ragu.
Masa kan istrinya yang lemah lembut dan berbudi luhur
itu sampai hati untuk mengkhianati dan membunuhnya.
Akan tetapi dibalik itu, di dalam hati putra mahkota yang
gagah dan cakap itu timbul juga syak-wasangka, kalau-
kalau yang diceritakan oleh pengemis yang berpakaian
compang-camping itu benar. Oleh karena itu maka iapun
segera pulang untuk menyelidiki benar atau tidaknya
laporan pengemis itu. Setibanya di istana, Raden
Banterangpun segera masuk ke kamar putri Surati. Dicari
di bawah peraduan permaisurinya, kalau-kalau benar ada
ikat kepala seorang laki-laki seperti yang dikatakan oleh
pengemis tadi. Alangkah panasnya hati putra mahkota itu.
Tentulah benar apa yang diceritakan oleh pengemis itu.
Istrinya benar telah bersepakat dengan orang lain untuk
membunuhnya. Sunggu Surati seorang perempuan yang
jahat dan tidak tahu membalas budi.
Demikianlah pikiran Raden Banterang setelah
menemukan ikat kepala itu. Putra mahkota itu tidak dapat
lagi menahan panas hatinya. Pengkhianatan permaisurinya
itu akan dihukumnya dengan hukuman seberat-beratnya.
Sudah nyata baginya bahwa Putri Surati telah bersepakat
dengan kakaknya untuk menuntut balas atas kematian
ayah mereka, Raja Klunkung. Raden Banterang hendak
bertindak mendahului pengkhianatan yang direncanakan
oleh permaisurinya.

154
Diajaklah Putri Surati ke tepi laut di dekat muara
sebuah sungai. Putri Surati agak heran juga mendengar
ajakan suaminya yang tiba-tiba datangnya. Namun ia
menuruti juga kehendak suaminya. Setibanya di muara
sungai itu, maka Raden Banterang menceritakan kepada
permaisurinya segala apa yang didengarnya dari pengemis
yang berpakaian compang-camping itu. Kemudian putra
mahkota berkata kepada Putri Surati.
Surati! Jadi demikianlah balasanmu atas segala apa
yang kuberikan kepadamu?
Kakanda!, jawab Putri Surati dengan heran. Adinda
berani bersumpah, bahwa adinda sekali-kali tidak
mempunyai maksud untuk mengkhianati kakanda.
Diam engkau pendusta! Bentak Raden Banterang
dengan geramnya. Sambil memperlihatkan ikat kepala
yang diketemukannya di bawah tempat peraduan Putri
Surati, berkatalah Raden Banterang.
Lihat ini!, ikat kepala ini kudapati di bawah tempat
tidurmu. Inilah bukti yang nyata, bahwa engkau memang
telah sepakat dengan kakakmu untuk membunuh saya.
Aduh! Pikir Putri Surati setelah melihat ikat kepala
yang memang dikenalnya sebagai ikat kepala kakaknya.
Tentulah pengemis yang memberikan laporan palsu
kepada Raden Banterang itu, tidak lain dari pada kakakku
sendiri. Rupanya inilah pembalasan yang direncanakannya
untukku. Inilah rupanya hukuman yang hendak
dijatuhkannya atas diriku, sebagai putri yang menurut
anggapannya mendurhakai orang tua dan negerinya.
Kemudian dengan tenang dan dengan lemah lembut Putri
Surati berkata lagi kepada suaminya.

155
Kakanda Raden Banterang! Adinda sama sekali tidak
tahu apa-apa tentang ikat kepala itu. Entah siapa yang
meletakkannya di bawah tempat tidur adinda. Adinda
berani bersumpah, bahwa tidak ada seorang laki-laki selain
dari pada kakanda yang pernah datang ke kamar adinda.
Memang ada adinda berjumpa dengan kakak adinda, akan
tetapi pertemuan itu terjadi di muka pintu gerbang istana.
Memang benar, bahwa kakak adinda itu menaruh dendam
dan hendak menuntut balas atas kematian ayah. Baginya
sudah terang bahwa keluarga Raja Klungkung masih tetap
dendam kepadanya dan kepada ayahnya. Memang benar
kakak adinda itu bermaksud akan membunuh kakanda
dan ayahanda, Sri Baginda. Memang benar pula bahwa,
adinda diminta tolong kakak adinda untuk membantunya
agar melaksanakan niatnya. Akan tetapi adinda berani
bersumpah, bahwa adinda dengan tegas dan dengan keras
telah menolak permintaan kakak adinda itu. Oleh karena
itu, maka ia pergi dengan marah-marah dan rupanya itulah
pembalasan yang direncanakannya atas diriku.
Akan tetapi, bagaimanapun juga Raden Banterang
sudah tidak mau menerima alasan lagi. Cerita Putri Surati
yang jujur dan terus terang itu malah menambah
kepercayaannya atas apa yang didengar dari pengemis.
Sudah terang bahwa permaisurinyapun tidak dapat
dipercaya lagi. Bukankah Putri Surati memang putri Raja
Klungkung yang tewas itu? Tidak boleh tidak, istrinya itu
tentu sudah sepakat dengan kakaknya untuk
membunuhnya dan Sri Baginda, ayahnya sebagai
pembalasan atas tewasnya Raja Klungkung, ayah mereka
berdua. Panas hati Raden Banterang semakin menjadi-jadi.

156
Istri yang sangat dicintainya, ternyata seorang musuh di
dalam selimut yang telah merencanakan suatu
pembunuhan yang sangat keji. Mata putra mahkota itu
kelihatan seperti bara api yang merah menyala. Melihat
suaminya demikian itu, maka mengertilah putri Surati apa
yang akan terjadi atas dirinya. Namun ia tidak juga gentar
menghadapinya. Ia yakin bahwa dirinya tidak bersalah. Ia
ihlas menghadapi maut. Karena mengerti akan watak keras
suaminya, maka dengan tenang dan dengan lemah lembut,
iapun berkata:
Kakanda Raden Banterang! Adinda tetap cinta kepada
kakanda, dan adinda sungguh-sungguh tidak pernah
mengandung maksud untuk mengkhianati kakanda. Cinta
adinda tetap suci dan adinda tidak berdosa. Oleh karena
itu adinda tidak gentar menghadapi hukuman apapun juga
yang kakanda akan jatuhkan atas diri adinda. Kakanda!
Perhatikanlah nanti sungai ini, jikalau airnya harum, itulah
tandanya bahwa adinda tidak berdosa dan bahwa cinta
adinda memang tetap suci.
Raden Banterang sudah tidak mau mendengar alasan
lagi. Kecurigaannya terhadap keluarga Raja Klungkung,
bekas musuh ayahnya, sudah terlampau besar. Bahkan
Raden Banterang kawatir kalau-kalau kata-kata
permaisurinya yang terakhir itu hanya bujukan untuk
melemahkan hatinya saja. Maka dihunusnya kerisnya dan
hendak ditikamnya istrinya yang tidak berdosa itu. Akan
tetapi sebelum Raden Banterang menikamkan kerisnya ke
tubuh permaisurinya, putri Surati lebih dahulu terjun ke
dalam sungai yang mengalir di tempat itu. Putri Surati
yang tidak berdosa itu menghilang ke dasar sungai untuk

157
tidak muncul kembali. Tidak lama kemudian, terciumlah
oleh Raden Banterang bau yang sangat harum. Bau yang
harum itu datangnya dari air sungai yang mengalir di
depannya. Sekonyong-konyong putra mahkota yang gagap
dan cakap itu berteriak dengan suara yang gemetar
bercampur penyesalan: Banyuwangi......! Aduhai istriku
yang tidak berdosa!.
Banyuwangi.....! Teriak pengemis hampir bersamaan
dari seberang sungai. Raden Banterang mengenal orang
itusebagai pengemis yang memberikan laporan palsu
kepadanya. Pengemis yang berpakaian compang-camping
itu berteriak lagi: Hai Raden Banterang! Aku ini kakak
Putri Surati. Istrimu memang tidak berdosa. Memang ia
tetap setia dan sama sekali tidak mau mengkhianatimu. Ia
menolak membantu saya untuk membunuh engkau dan
ayahmu yang membunuh ayah kami. Banyuwangi....,
itulah tanda cintanya yang suci dan bahwa Putri Surati,
istrimu tidak berdosa seperti yang kamu tuduhkan
kepadanya!
Setelah berkata demikian, pengemis itupun
menghilang. Bukan buatan sedihnya hati Raden Banterang
mengenangkan kehilangan permaisurinya yang suci dan
setia itu. Akan tetapi apa hendak dikata. Nasi telah menjadi
bubur. Memang malang tidak dapat ditolak, mujur tidak
boleh diraih. Raden Banterang sangat menyesali
perbuatannya. Ia terlampau terburu nafsu dan tidak
menyelidiki perkara itu dengan seksama. Inilah
kekurangan putra mahkota itu yang sering merugikan
dirinya sendiri. Oleh karena itu orang harus selalu

158
mengingat akan pepatah: Pikir dahulu pendapatan, sesal
kemudian tidak berguna.
Demikianlah menurut cerita atau dongengnya, tempat
Putri Surati yang tidak berdosa itu menghilang di dasar
sungai sampai sekarang disebut Banyuwangi. Banyuwangi
maksudnya air (sungai) yang harum baunya, seperti cerita
yang telah diuraikan di atas. Banyuwangi adalah sebuah
kota di pantai sebelah timur pulau Jawa dan letaknya di
tepi selat Bali.

Versi II: Asal Mula Nama Banyuwangi


Pada jaman dahulu kala adalah seorang raja yang
bernama Sindureja. Baginda memerintah sebuah kerajaan
di bagian timur pulau Jawa. Patih baginda yang bernama
Sidapaksa mempunyai seorang istri yang sangat elok
parasnya. Namun ibu patih Sidapaksa tidak senang kepada
anak menantunya, karena anak menantunya itu berasal
dari kasta yang lebih rendah. Orang tua itu tidak senang
terhadap pilihan anaknya, bahkan ia benci kepada anak
menantunya. Namun Patih Sidapaksa tetap sangat cinta
kepada istrinya, karena istrinya itu selain cantik, juga
seorang wanita yang lemah lembut dan luhur budi
pekertinya. Kecintaan anaknya itu makin menambah
kebencian ibu Patih Sidapaksa terhadap anak menantunya.
Orang tua yang berhati angkuh itu sekali-kali tidak senang
jikalau anaknya, sebagai orang kedua di dalam kerajaan,
mengambil istri yang tidak setingkat dengan derajat dan
kedudukannya. Orang tua itu mencari akal untuk
memisahkan Patih Sidapaksa dari istrinya.

159
Akhirnya orang tua yang berhati angkuh itu mendapat
sebuah akal yang keji. Dibujuknya raja Sidureja agar Sri
Baginda mengutus Patih Sidapaksa ke suatu tempat,
sehingga Patih Sidapaksa tidak mungkin kembali dalam
waktu singkat. Raja Sidureja yang tidak mengerti maksud
jahat orang tua itu, kemudian mengutus Patih Sidapaksa ke
Gunung Ijen untuk memetik dan membawa pulang
sekuntum bunga yang mempunyai khasiat yang ajaib.
Barang siapa yang memakai bunga itu akan tetap mudadan
akan tetap kelihatan cantik. Dan bunga yang sakti itu
tumbuh di puncak Gunung Ijen. Bunga yang sakti harus
dipersembahkan Patih Sidapaksa kepada permaisuri Raja
Sindureja. Mengingat jauhnya tempat bunga itu tumbuh
dan mengingat bahaya-bahaya serta kesukaran-kesukaran
yang pasti akan dihadapinya, maka teranglah bahwa Patih
Sidapaksa tidak mungkin akan kembali dalam waktu yang
singkat. Ia pasti akan memerlukan waktu yang tidak
sedikit untuk melaksanakan tugas yang diberikan oleh Raja
Sindureja kepadanya.
Dengan hati yang tabah, Patih Sidapaksa menerima
titah rajanya. Sangat berat hatinya meninggalkan istri yang
sangat dicintainya. Apabila karena istrinya sudah
megnandung tua. Namun titah raja harus dijunjung tinggi
dan ditaati. Patih Sidapaksa sama sekali tidak mengerti
jikalau titah Sri Baginda yang amat berat itu datangnya
dari usaha ibunya sendiri. Dengan perasaan yang sangat
terharu, ia berpisah dengan istrinya yang sangat
dicintainya. Dengan penuh khitmad ia meminta diri
kepada ibunya. Kepada ibunya, Patih Sidapaksa memohon
dengan amat sangat, agar selama ia bepergian orang tua itu

160
suka menjaga anak menantunya dengan baik-baik.
Sesudah itu, dengan hati yang tabah berangkatlah Patih
Sidapaksa menuju ke Gunung Ijen untuk melaksanakan
tugas yang dititahkan Sri Baginda Sindureja kepadanya.
Hatta, maka tidak lama kemudian istri Patih Sidapaksa
pun melahirkan seorang anak laki-laki. Pada suatu hari,
ketika bayinya sedang tidur nyenyak, pergilah istri Patih
Sidapaksa mandi. Pada saat itulah ibu mertuanya yang
ternyata bermaksud jahat itu dengan diam-diam masuk ke
dalam kamarnya dan mencuri bayi yang sedang tidur
nyenyak itu. Kemudian oleh orang tua yang jahat itu, bayi
yang tidak berdosa dilemparkan ke dalam sungai yang
mengalir di dekat situ. Sungguh jahat perangai orang tua
itu, karena sampai hati membunuh cucunya sendiri.
Setelah selesai mandi, masuklah istri Patih Sidapaksa ke
dalam kamarnya. Akan tetapi alangkah terkejutnya hati ibu
yang masih muda itu melihat bayi dambaan hatinya sudah
tidak ada lagi di tempat tidurnya. Tidak mungkin bayi itu
pergi sendiri. Tentu ada orang yang membawanya pergi.
Dicarinya bayinya kemana-mana. Akan tetapi kemanapun
ia mencari bayi yang sangat dicintainya itu tidak juga
berhasil. Berhari-hari ia mencari bayinya yang hilang itu,
namun segala usahanya masih tetap tidak ada hasilnya.
Makin meranalah hidup ibu yang malang itu. Siang dan
malam ia menangisi buah hatinya yang hilang. Badannya
makin lama makin kurus dan lemah. Akhirnya perempuan
yang malang itu jatuh sakit.
Hatta, maka sudah dua tahun berlalu sejak peristiwa
keji itu terjadi. Dan kurang lebih selama itu pulalah Patih
Sidapaksa bersusah payah untuk memetik bunga sakti

161
yang tumbuh di puncak Gunung Ijen itu. Setelah melalui
berbagai rintangan dan mengatasi bermacam-macam
kesukaran, akhirnya Patih Sidapaksa yang setia itu berhasil
juga memetik bunga sakti yang akan memberikan
keremajaan dan kecantikan yang abadi kepada permaisuri
Raja Sidureja. Setelah mempersembahkan bunga sakti itu
kepada Sri Baginda, maka Patih Sidapaksa minta diri
untuksegera pulang ke rumah yang sudah lama
ditinggalkannya. Dipacunya kudanya, karena ia ingin
segera sampai kerumahnya. Ia sangat rindu kepada istri
yang dicintainya. Ia ingin lekas-lekas melihat dan
menimang-nimang anaknya yang lahir sementara ia
sedang berbakti kepada rajanya. Akan tetapi, ketika ia baru
saja hendak masuk rumahnya, tiba-tiba datanglah ibunya
menemuinya. Orang tua itu agak terkejut juga melihat
anaknya datang dan masuk ke rumah dengan tergopoh-
gopoh. Dengan suara serta gerak-gerik yang dibuat-buat
untuk memanaskan hati anaknya yang baru datang itu,
diceritakannya bahwa istri anaknya itu seorang ibu yang
sangat jahat. Diceritakannya pula kepada Patih Sidapaksa
yang masih bingung itu, bahwa pada suatu malam hari,
anaknya itu keluar rumah dengan diam-diam dengan
membawa serta bayinya. Setelah sampai di sungai yang
mengalir di dekat rumah mereka, maka istri anaknya itu
melemparkan bayinya ke dalam sungai.
Di dalam air sungai yang keruh lagi pula busuk itulah
anakmu ditenggelamkan oleh perempuan jahanam itu,
kata orang tua pendusta seraya menunjuk ke arah sungai
yang mengalir di dekat rumahnya. Kemudian dengan
suara yang seolah-olah sangat sedih orang tua pendusta itu

162
bercerita lagi: “kami tidak berdaya sama sekali, karena bayi
itu segera hilang ke dalam air sungai yang keruh lagi
busuk itu.
Dan dengan suara yang penuh dendam ibu mertua
yang sangat keji kepada anak menantunya itu berkata lagi:
dan sekarang seperti yang akan kau lihat sendiri nanti,
perempuan itu berpura-pura sakit. Ia berbuat demikian itu,
karena tidak dapat lagi memungkiri perbuatan
jahanamnya. Banyak lagi yang diceritakan oleh orang tua
pendusta itu untuk memburuk-burukkan perempuan
muda yang malang itu, termasuk tuduhan berbuat serong.
Patih Sidapaksa yang baru saja datang dari perjalanan yang
jauh lagi sukar itu tentu saja panas hatinya mendengar
cerita ibunya. Karena tidak menyangka sama sekali kalau
ibunya berdusta. Maka dengan hati yang mendidih Patih
Sidapaksa menuju ke kamar istrinya. Dilihatnya wanita
muda yang malang itu terbaring sakit di atas sebuah tikar.
Dengan tidak berpikir panjang lagi dihunusnya kerisnya
dengan suara yang sangat geram dihampirinya istrinya
seraya berkata: hai perempuan jahanam! Sebelum keris ini
kutancapkan ke badanmu, katakanlah kepadaku apa
sebabnya maka engkau sampai hati membuang anak
kandungmu sendiri kedalam sungai”.
Dengan suara yang lemah lembut perempuan yang
suci itu berkata: “Wahai kakanda Sidapaksa! Mengapa
kakanda hendak menikam adinda. Apa gunanya kakanda
harus menodai tangan kakanda dengan darah adinda yang
tak berdosa ini? Tanpa kakanda apa-apakan pun, adinda
akan segera meninggalkan dunia yang fana dan penuh
dosa ini. Kakanda Sidapaksa yang kucintai! Gendonglah

163
adinda ke tepi sungai. Disanalah akan dinda buktikan,
bahwa bukan adindalah yang membunuh anak kita, akan
tetapi.....”
“Jangan kau gendong perempuan jahanam itu ke tepi
sungai. Tikam saja si jahanam itu di di kamar ini juga.
Jangan kau bawa ia keluar. Sekali ia berada di luar, ia pasti
akan lari dan akan membawa malapetaka yang lebih besar
lagi kepada kita....” Akan tetapi Patih Sidapaksa tidak
mendengarkan kata-kata ibunya. Dengan hati-hati
digendongnya istrinya yang sudah sangat lemah itu ke luar
rumah. Setibanya di tepi sungai, diletakkannya istrinya
dengan perlahan-lahn lalu berkata “cobalah sekarang kau
buktikan, bahwa engkau betul-betul tidak bersalah”. Baru
saja Patih Sidapaksa berkata demikian, maka dengan cepat
istrinya yang malang itu meluncurkan dirinya masuk ke
dalam air sungai yang keruh lagi busuk baunya itu.
Kemudian, seperti juga halnya kurang lebih dua tahun
berselang, dengan cepat sekali perempuan yang malang itu
menghilang ke dalam air sungai.
“Aduhai”! Siapakah gerangan sekarang yang akan
menceritakan kepadaku, apakah istriku bersalah atau
tidak!”
Demikianlah ratapan Patih Sidapaksa ketika melihat
istrinya menghilang ditelan air sungai yang mengalir di
dekat rumahnya. Dan pada saat itu juga terjadilah suatu
keajaiban yang sangat menakjubkan. Bersamaan dengan
ratapan Patih Sidapaksa itu, dari air sungai yang busuk
timbullah dua kuntum bunga yang putih bersih lagi lampai
menggemulai. Bunga yang satu lebih besar dan lebih tinggi
daripada bunga yang lainnya. Kedua bunga yang

164
bersamaan timbul itu mengeluarkan bau yang sangat
harum. Kemudian yang lebih besar lagi tinggi itu berkata:
“Kakanda Patih Sidapaksa! Lihatlah disamping adinda
ini”, seraya merundukkan badannya ke arah bunga yang
lebih kecil di samping badannya, “dialah anak kita yang
adinda ketemukan di dasar sungai ini. Dialah sendiri yang
akan mengatakan kepada kakanda, siapa yang membuang
dan menenggelamkan ke dasar sungai ini.....”. Bunga yang
kecil itupun berkata: “Ayahanda Patih Sidapaksa! Ibuku
sekali-kali tidak berdosa. Beliau seorang yang suci lagi
luhur. Yang membunuh ananda ialah ibu ayah anda, jadi
nenek ananda sendiri. Keangkuhan dan ketinggihan
hatinyalah yang mendorong berbuat keji. Karena
keangkuhan dan ketinggihan hatinya itulah maka ia
sampai hati melempar ananda ke dalam sungai ini, ketika
ananda berusia beberapa hari. Dan sekarang ananda
merasa senang dan berbahagia, karena ibu yang ananda
cintai telah berada di dekat ananda. Kini kami berdua
dapat selalu bersama dan tidak akan berpisah lagi”.
Hanya itulah saja kata-kata bunga yang kecil itu.
Bunga yang kecil itu kemudian menundukkan dirinya,
sedang bunga yang besar melingkari bunga yang kecil itu,
seolah-olah ibu dan anak itu sedang berpeluk-pelukan
dengan mesranya. Demikianlah kedua bunga itu perlahan-
lahan lenyap lagi ke dalam dasar sungai itu. Sejak itu pula
kedua bunga itu tidak pernah lagi menampakkan dirinya.
Namun, kedua bunga itu meninggalkan bau yang sangat
harum. Sejak saat kedua bunga itu muncul, bau busuk air
sungai itu hilang sama sekali. Orang-orang yang pada
datang mandi ke sungai itu sangat heran dan takjub

165
mengetahui air sungai yang tadinya busuk itu menjadi
harum atau wangi. Jadi dari asal air sungai yang menjadi
wangi atau harum baunya itulah diambilkan nama kota
Banyuwangi (banyu=air, wangi=harum), yang sampai
sekarang kita kenal sebagai kota yang terletak di pantai
sebelah timur pulau Jawa, tempat kita menyeberang ke
Gilimanuk jika kita hendak berkunjung ke pulau Bali.

Analisis
Asal Mula Nama Banyuwangi Versi I
Episode Perkenalan
Dalam episode ini diperkenalkan para tokoh dalam
cerita, meliputi: Sri Baginda (SB) dan Raden Banterang (RB)
yang disusul kemudian tokoh putri Surati (S). Tokoh lain
dimunculkan kemudian, tidak diperkenalkan sekaligus
pada bagian awal ini, yaitu kakak Surati (KS). Kemunculan
KS dalam penyamarannya sebagai pengemis, tanpa
diketahui namanya.
SB adalah raja besar kekuasaannya dan dicintai
rakyatnya. SB memiliki putra mahkota, RB yang gagah dan
cakap tiada tandingnya. Sebagai pewaris tahta kesiapan
dan kecakapannya tidak diragukan oleh sang ayah (SB),
meskipun memiliki kelemahan, pemarah. Kegemaran RB
adalah berburu.
Pada suatu kesempatan berburu, RB terpisah dari
pengawal dan kebetulan menjumpai gadis cantik S,
sendirian di tengah hutan. S adalah manusia biasa yang
melarikan diri karena takut musuh yang menyerang dan
membunuh ayahnya, Raja Klungkung (RK).

166
Sampai pada bagian ini terlihat adanya kontras
persamaan tertentu yang ada pada tokoh RB dan S dalam
konteks perjumpaannya. Hal ini dapat dilihat dalam
cerithem berikut ini:

RB: pria-pergi dg rencana-dg gagah berani-terpisah-


berjumpa-menolong dari
bahaya hutan
S : wanita-tanpa rencana dengan rasa takut-sendirian-
berjumpa-ditolong dari bahaya
hutan

RB termangu mendengar kisah S. Dalam diri RB


muncul dua hal, pertama merasa iba dengan nasib S dan
kedua, tahu bahwa S adalah anak musuh yang telah
dikalahkan ayahnya, SR. RB tertarik pada kecantikan S dan
diajak (dibawa) pulang ke istana.

RB: anak raja-putra mahkota-pihak yang berwenang -


pulang bersama menuju
istana yang sama
S: anak raja-bukan putra mahkota-pihak yang kalah-
pulang bersama menuju
istana yang sama
SB: Raja (ujung timur jawa)-menyerang-menang
RK: Raja (Klungkung-Bali)-diserang-kalah

Episode Perkawinan
RB dinikahkan dengan S oleh ayahnya, SB. Rakyat
bersuka-ria karena putra mahkota yang dicintai

167
memperoleh pasangan yang serasi. S berperangai lemah
lembut, yang mampu mempengaruhi perangai panas
suaminya, RB. Sifat pemarah dan kurang periksa RB jauh
berkurang.

RB: pria-panasan, pemarah-menikah sebagai suaminya


S : wanita-tenang, lemah lembut-menikah sebagai
istrinya.

Episode Provokasi
S bertemu pengemis yang tanpa diduga ternyata KS. S
tidak mengira bahwa kakaknya masih selamat dari
serangan musuh, bahkan kini sempat bertemu S mengajak
kakaknya, KS untuk bersenang-senang sebagai ungkapan
rasa syukur, bahagia atas keselamatan dan pertemuan ini.

S : adik-wanita-berjumpa-mengajak syukuran
KS: kakak-pria-berjumpa- menolak ajakan

Dengan membentak, KS menolak ajakan adiknya S. KS


tidak peduli dengan kekayaan dan kemewahan yang
menyelimuti S, bahkan S dituduhnya tak punya malu
karena bersuami seorang anak pembunuh ayahnya. KS
mengutarakan maksudnya untuk menuntut balas kematian
ayahnya. Raja Klungkung, dan mengharuskan S membantu
melaksanakan tugas sucinya yang bertahun-tahun
dinantikan untuk memperoleh kesempatan.
S dengan lemah lembut menolak ajakan KS, dengan
alasan: RB adalah suaminya; RB telah menolong dirinya

168
dari penderitaan dan cengkeraman hutan dan RB tidak ikut
membunuh ayahnya.

S : adik-hidup bahagia-menikah dengan pihak


pembunuh ayah (musuh)
KS: kakak-hidup prihatin-mempertahankan kerajaan
dan keluarga

S dituduh pengkhianat bangsa. KS menyatakan


tekadnya menuntut balas kematian RB dan SB. S ditekan
lagi agar mau menunjukkan tempat tidur RB dan SB untuk
dibunuh dan rencana melarikan diri bersama.

S : adik-pengkhinat kerajaan-menolak kembali-tetap


setia pada suami
KS: kakak-pejuang kerajaan-mengajak kembali-
suaminya pembunuh
S sempat bimbang sesaat, antara membantu KS dan
cintanya kepada suaminya, RB. Cintanya kepada RB
menang. Sekalilagi dijelaskan keputusannya kepada KS,
bahwa ia tak dapat berkhianat kepada suaminya, RB.
KS bertambah marah terhadap adiknya yang
dinilainya berkhianat. KS bertekad tetap
melaksanakanniatnya dan mengancam S akan
mendapatkan hukuman atas pengkhianatan dan menolak
bekerja sama.
S : adik-tokoh setia pada suami-pengkhianat-tenang
tidak marah
KS: kakak-tokoh setia pada kerajaan-pahlawan-marah

169
RB saat berburu ditemui seorang pengemis. Pengemis
menceritakan rencana pengkhianatan S, berdasarkan
perjumpaannya dengan seseorang laki-laki yang
diidentifikasikan sebagai kakak S (KS) yang merupakan
putra Raja Klungkung. Sebagai bukti, ada kain ikat kepala
laki-laki di bawah peraduan S.

RB: putra mahkota-pemburu-dipengaruhi


KS: putra raja-pengemis-mempengaruhi

4.A.4 Episode Perang Batin


RB merasa ragu dan penasaran dengan informasi
pengemis. Ia segera pulang dan langsung menuju kamar S.
Panaslah hati RB begitu dijumpainya kain ikat kepala laki-
laki, dibawah peraduan S, istrinya. RB semula
memustahilkan orang berani masuk kamar S dan akhirnya
RB menganggap benar informasi pengemis tadi. Ia ingin
mendahului rencana S dan KS.
S diajak RB ke tepi pantai dekat muara sungai,
suatu ajakan yang mengherankan dan mengejutkan S,
meskipun diturutinya. Semua informasi dari pengemis
disampaikan kepada S. Dihujamkan kata-kata:
demikiankah pembalasanmu kepadaku, S?! S sama sekali
tidak bermaksud mengkhianati kakanda RB.
Diam kau, S! Ini buktinya, kain ikat kepala laki-laki
dari bawah ranjangmu.
RB: tanpa periksa, menuduh S berkhianat-terpengaruh
pengemis/KS-emosional
S : minta agar memeriksa kebenarannya-tidak
terpengaruh KS-tidak emosional

170
4.A.5 Episode Kejujuran dan Ketertutupan
S paham, ini semua balasan dari kakaknya, KS. Ikat
kepala itu milik KS. S berani bersumpah, tiada laki-laki lain
yang masuk ke kamarku selain suamiku, RB.

S mengakui berjumpa dengan kakak (KS) di pintu


gerbang. Benar bahwa, KS menaruh dendam dan menuntut
balas atas kematian ayahnya, oleh karena itu akan
membunuh kakanda RB dan ayah, SB. Benar pula bahwa
KS minta kesediaan S untuk membantu melaksanakan
maksudnya itu. S berani bersumpah, bahwa dirinya
dengan tegas dan keras menolak permintaan KS.

RB sudah tak percaya pada istrinya, S. Bagaimanapun,


ia putra Raja Klungkung, pasti musuh dalam selimut. Kata-
kata manis S, adalah bujuk rayu yang melemahkannya.
Patilah ia telah bersepakat dengan kakaknya. Mata RB
memerah.
RB: suami-tak percaya istri-musuh-tidak setia
S : istri-percaya suami-tetap suami-tetap setia

RB: tunjukkan bukti-merasa benar-mata batinnya


tertutup-tidak bersumpah
S : melihat bukti-yakin dirinya benar-berkata jujur -
mengucap sumpah

4.A.6 Episode Ketulusan


S melihat mata RB memerah karena marah yang
memuncak dan ia paham, lalu berujar: Cinta S kepada RB

171
tetap seperti sediakala. S sungguh tidak pernah bermaksud
mengkhianati RB. Cinta S tetap suci dan tidak berdosa,
maka S tidak gentar menghadapi hukuman apapun dari
RB. Lihatlah RB, bila air ini nanti menjadi harum, pertanda
cinta S tetap suci dan tidak (berbuat) dosa.

RB: emosi memuncak-tak melihat ketulusan-menahan


emosi-diam
S : tetap tenang-bersumpah tetap setia-ambil
keputusan-bertaruh kesetiaan

4.A.7 Episode Kemenangan dan Penyesalan


RB benar-benar tertutup dan tidak percaya sama sekali
kepada istrinya, S. Dihunuslah kerisnya hendak menikam
sang istri. Sang istri mendahului meluncur ke dalam sungai
dan lenyap untuk tidak pernah kembali. Muncul bau
harum. RB histeris, lalu berteriak: Banyuwangi.... aduhai
istriku yang tidak berdosa!

Pengemis berteriak dari seberang sungai hampir


bersamaan, Banyuwangi....! Pengemis (KS) membuka
kedok dan menyatakan bahwa ia kakak S. Istrimu (S)
benar, tidak berbuat dosa. Ia tetap setia kepadamu, RB.
Cintanya kepadamu, tulus dan suci, RB. S menolak
membantu KS membunuh RB dan SB, yang membunuh
Raja Klungkung. Banyuwangi....... dijadikan “monumen”
tanda cinta suci S, istrimu yang tak berdosa seperti
tuduhanmu, RB.

172
RB kehilangan istri, menyesal tak menyelidiki terlebih
dahulu. Terburu nafsu merupakan kelemahannya.

S : lenyap-menang-dapat kecerahan, kesenangan-


kehilangan (suami)
RB: panic-kalah-tetap dalam gelap, ketertutupan-
kehilangan (istri)
S : ikhlas-bahagia
RB: tak ikhlas-tidak bahagia

Apabila serangkaian peristiwa sepanjang cerita dalam


versi I ini dicermati akan tampak adanya suatu pola
peristiwa yang kiranya dapat dijadikan sebuah model.
Model tersebut adalah
Model ini memperlihatkan bahwa KS sebagai
profokator yang berada di atas senantiasa mempengaruhi
pihak lain, baik RB maupun S. KS jelas memanfaatkan
posisi S sebagai istri RB sebagai informan dalam mencapai
tujuannya, namun S tidak bersedia. Dengan penolakan
tersebut, KS menghancurkan adiknya sendiri. S dan
suaminya RB dengan mengadu dombanya.

173
Model tersebut tampaknya juga bisa dibawa masuk ke
dalam aspek moral. Model tersebut

diputar sehingga posisi RB berada di atas, sedangkan


KS dan S sejajar berada di bawah. Dengan posisi model
yang demikian itu S berada pada kubu alus, baik, lemah
lembut. KS sebaliknya berada pada kubu kasar, jahat. RB
berada pada posisi yang katakanlah “menarik, unik”.
Posisi RB “menarik, unik” karena ia senantiasa berada
diantara dua kubu alus, baik dan kasar, jahat. RB mampu
menolong S dari ancaman bahaya di hutan, dapat merubah
perangainya yang “panasan” menjadi lebih lembut,
meskipun atas pengaruh S yang memang lemah lembut.
Namun ia juga mudah terpengaruh, tanpa mengontrol
kebenaran informasi pengemis tentang istrinya. Dalam
situasi diri RB seperti ini, ia berada pada kubu “netral”.
RB berada pada kubu atau kutub “netral” dalam arti
menyandang unsur baik dan jahat. “Netral” tidak dalam
artian bebas dari sesuatu atau tidak memihak pada salah
satu sisi, sisi KS ataupun S. Dalam diri RB mengandung
unsur baik dan buruk.

174
4.A.8 Hubungan Kekerabatan
Dengan memperhatikan pertalian kerabatan dalam
cerita tersebut, dapat digambarkan sebagai berikut:

Dalam versi I ini disinggung adanya pertalian dengan


kerajaan di Bali, Kerajaan Klungkung. Unsur ini jelas
berkaitan erat dalam memperoleh penjelasan tentang
hubungan kekerabatan atau dalam pencarian model dari
aspek kekerabatannya. Masyarakat Bali dalam menentukan
hubugan kekerabatan mengikuti garis keturunan laki-laki.
Laki-laki merupakan penerus keturunan, sehingga
tanggung jawab keutuhan dan kelangsungan suatu
keluarga ada di tangan pihak laki-laki.
Kakak laki-laki Surati (KS) memiliki posisi yang
penting bagi kelangsungan keluarga Kerajaan Klungkung
yang baru saja diserang Raja Sri Baginda, ayah RB. Surati
(S) sebagai anggota keluarga kerajaan Klungkung menjadi
tanggung jawab KS untuk terlibat dalam menjaga
kelangsungan keluargan, sehingga ia melakukan tekanan
sedemikian rupa agar S bersedia kembali dan dendamnya
dapat terbalaskan. Namun, kenyataannya S telah
bersuamikan RB, musuhnya dan sang adik tidak bersedia
membantu perjuangannya untuk membela negara. Dengan

175
demikian peran KS yang senantiasa melakukan provokais
terhadap RB maupun S dapat dimengerti.
Hubungan kekerabatan tersebut dapat dipertajam
dengan memfokuskan pada hubungan kerabat dikalangan
pemeran utamanya, yaitu RB, S dan KS. Dengan mengikuti
garis patrilineal, RB setelah menikah dengan S menjadi
adik (ipar) KS. Sebagai adik KS, RB semestinya senantiasa
menghormati, menghargai KS, apalagi KS merupakan
pemimpin keluarga setelah ayahnya (Raja Klungkung)
tewas dalam mempertahankan kerajannya. Dengan
memperhatikan peran-peran yang dimainkan KS terhadap
adiknya, S (dan idealnya juga terhadap RB) model yang
berhasil dimunculkan adalah sebagai berikut:

Model ini menunjukkan posisi dan peran KS sebagai


kakak sekaligus pemimpin keluarga terutama bagi S.
Model ini selanjutnya akan dipertemukan dengan model
yang berhasil muncul dari versi II di bawah.

1.1. Asal Mula Nama Banyuwangi Versi II


4.B.1. Episode perkenalan
Dalam episode awal ini diperkenalkan para tokoh
dongeng Asal Nama Banyuwangi versi II seperti Raja
Sindureja (SD) dan sang Patih Sidapaksa (SP). Sedangkan
dua tokoh lainnya adalah tokoh perempuan yang barang

176
kali secara kebetulan tidak diketahui namanya. Kedua
tokoh ini adalah pemeran istri Patih Sidapaksa (Nis) dan
ibu sang patih tersebut (Nib).
Patih SP beristri cantik, lemah lembut dan berbudi
pekerti luhur. Ibu Patih SP (Nib). Tidak menyenangi anak
menantunya (Nis) lantaran berasal dari desa. Nib
menginginkan anak menantu yang sederajat dengan
kedudukan SP.

SP : patih-bangsawan-berperangai temperamen
Nis: istri SP-gadis desa-berperangai tenang, lembut,
halus
Nib: ibu SP-bangsawan-berperangai jahat, congkak,
kasar.

4.B.2 Episode Provokasi


Nib membujuk Raja SD agar menugaskan SP mencari
bunga ajaib di puncak Gunung Ijen. SP menerima tugas
dengan berat hati, karena berpisah dengan Nis yang tengah
mengandung. Siasat Nib berjalan tanpa ada yang tahu.

Nib : bersiasat-membujuk
SD : tidak-member tugas
SP : tidak-menerima tugas
Nis mengalami aneka macam teror yang datang dari
Nib, mertuanya. Anak yang baru dilahirkanpun diambil
dan dibuang ke sungai. Pencarian Nis akan anaknya sia-sia
dan tubuhnya semakin kurus, akhirnya jatuh sakit. Nis
tetap tabah dan bertahan menghadapi intimidasi Sib

177
dikarenakan keyakinannya akan kesetiaan SP kepada
dirinya dan sebaliknya.
Nib : menterot-melenyapkan (membuang)-
membiarkan-terus mengintimidasi
Nis : diteror-mengadakan (melahirkan), mencari-terus
bertabah

4.B.3 Episode Perang Batin


Keberhasilan SP membawa pulang bunga ajaib
disertai kegusaran bercampur kerinduan akan istri dan
anaknya. SP sampai di rumah disambut Nib dengan aneka
laporan palsu tentang kebobrokan Nis selama
ditinggalkannya.

SP : pulang-diteror
Nib : menyambut-menteror

4.B.4 Episode Kejujuran dan Ketertutupan


SP terpancing, emosinya memuncak. Ia masuk
kamar Nis dan menghunus keris. Katakana permintaan
terakhirmu sebelum ajalmu tiba.

Nis dengan lemah lembut berkata: untuk apa


menodai tanganmu, kariermu dengan darahku. Tak perlu
kau bunuh, tidak lama lagi aku (Nis) akan meninggal. SP
yang kucintai, gendonglah aku ke tepi sungai. Di sanalah
akan Nis buktikan atas semua tuduhan itu.
Nib mencegah memenuhi permintaan Nis itu, SP
tidak memperdulikannya.

178
SP : terpancing-akan membunuh-mengabulkan
Nis : tetap tenang-siap mati, ikhlas-ajukan permintaan

4.B.5 Episode Ketulusan, Kemenangan dan Penyesalan


Kini buktikan engkau benar, dan dengan cepat Nis
meluncurkan diri ke sungai yang keruh itu. PS merasa
kehilangan pihak yang mampu menjelaskan salah-tidaknya
sang istri.

Muncul dua bunga putih dari dalam air sungai. Bunga


besar berkata, Kanda SP bunga kecil inilah anak kita. Ia
akan menjelaskan semuanya.

Ayah SP, ibuku tak berdosa, ia suci dan luhur.


Pembunuh ananda adalah nenekku sendiri karena
keangkuhannya. Kini ananda bahagia dapat berdampingan
dengan ibu.

Kedua bunga perlahan tenggelam ke dalam air sungai


dan meninggalkan bau harum. Air sungai yang semula
keruh dan berbau busuk kini menjadi jernih dan berbau
harum. Banyak orang menjadi senang mandi di sungai
tersebut. SP menyesal kehilangan istri dan anaknya.

SP : tetap ada-menyesal-kehilangan (istri)-tidak


berjasa pada orang banyaak-susah
Nis : lenyap-terbukti suci-kehilangan (suami)-berjasa
pada orang banyak-bahagia

4.B.6 Hubungan Suami Istri

179
Dalam hubungan antara SP dengan Nis sebagai suami-
istri, senantiasa mendapatkan rongrongan dari ibu SP, Nib.
Campurtangan sang ibu menimbulkan goncangan yang
sangat dahsyat dalam hubungan SP dan Nis. Bahkan
berakhir pada kehancuran keluarga patih tersebut. Kondisi
hubungan tersebut dapat diformulasikan seperti berikut
ini.
SP : suami-emosional-labil-ragu-susah-tidak/biasa
Nis : istri-lemah lembut-kokoh-setia-bahagia-
lenyap/suci

Nib : ibu-mempengaruhi-kokoh-dengki-gusar-
tidak/biasa
Nis : menantu-dipengaruhi-kokoh-tidak-bahagia-
lenyap/suci

SP : anak-dipengaruhi-labil-susah/tidak tenang
Nib : ibu-mempengaruhi-kokoh-gundah/tidak tenang
Serangkaian peristiwa yang terjadi di atas, dalam versi
II didominasi oleh aktivitas menekan oleh Nib, baik
terhadap anaknya sendiri (SP) maupun terhadap Nis (istri
SP). Berbagai peristiwa itu dapat dibuat model sebagai
berikut :

180
Model ini menunjukkan posisi Nib yang di atas
sebagai ibu senantiasa ada dan menunjukkan sikapnya
yang superior terhadap kedua anaknya (termasuk anak
menantu Nis). Nib senantiasa mempengaruhi, menekan,
menteror SP anaknya sendiri, terutama kepada Nis.
Nissenantiasa mendapat tekanan dari Nib sepanjang
hidupnya bersama SP. Sang anak, SP mendapat tekanan
dari ibunya sendiri, Nib, terutama ketika tiba dari mencari
bunga di Gunung Ijen. Kepergiannya mencari bunga
sebenarnya juga atas tekanan sang ibu terhadap raja.
Model tersebut tampaknya juga dapat diterapkan
seandainya dicoba masuk pada tataran moral, tentang
baik-buruk, dengan memutar model tersebut sehingga
posisi SP berada di atas dan Nis, Nib sejajar di bawah.
Dalam posisi ini Nib berada pada kutub jahat, buruk,
kasar. Nis ada pada kutub baik, berbudi luhur, alus.dalam
menempatkan posisi SP memang agak kabur, dalam artian
dia dapat dinilai lemah, senantiasa mudah terpengaruh
dan cenderung didominasi emosinya. Namun ia
sebenarnya juga tetap setia kepada istrinya, Nis dan
memberi kesempatan membuktikan bahwa diri istrinya
bersih. Dalam posisi seperti itu, SP ditempatkan pada
kutub “netral”. Kutub “netral” berada di atas dari model
tersebut.

4.B.7 Kekerabatan
Dalam cerita tersebut dapat digambar suatu hubungan
kekerabatan diantara para tokohnya sebagai berikut:

181
Cerita versi II ini lebih kuat nuansa kultur jawanya
bila dibandingkan dengan versi I, yang dapat dilihat dari
sikap Nib yang memandang rendah Nis anak menantunya
sendiri yang berasal dari desa. Memandang rendah
masyarakat desa yang pada dasarnya adalah masyarakat
petani Jawa. Pandangan yang demikian ini mendasarkan
pada konsep bibit-bobot-bebet, khususnya bibit (Kodiran,
1976). Bibit menekankan pada prinsip asal usul atau
keturunan seseorang dalam hal ini adalah asal uusul istri
SP atau Nis yng datang dari desa. Berdasarkan prinsip ini
Nis tidak berasal dari keturunan yang setara dengan
suaminya SP, yang menjabat sebagai seorang Patih
Kerajaan.
Apabila hal ini dijelaskan dengan kategori yang
dilontarkan Geertz, keluarga SP merupakan kalangan
priyayi. Dalam kalangan priyayi ini landasan sosialnya
adalah keturunan. Landasan sosial pada kalangan abangan
adalah keluarga, sedangkan pada kalangan santri landasan
sosialnya komunitas. Titik interaksi kalangan priyayi ada
pada kantor yang dalam hal ini lingkungan kraton atau
kerajaan. Titik interaksi kaum abangan pada sawah

182
dansenantiasa mendapat tekanan dari Nib sepanjang
hidupnya bersama SP. Sang anak, SP mendapat tekanan
dari ibunya sendiri, Nib, terutama ketika tiba dari mencari
bunga di Gunung Ijen. Kepergiannya mencari bunga
sebenarnya juga atas tekanan sang ibu terhadap raja.
Model tersebut tampaknya juga dapat diterapkan
seandainya dicoba masuk pada tataran moral, tentang
baik-buruk, dengan memutar model tersebut sehingga
posisi SP berada di atas dan Nis, Nib sejajar di bawah.
Dalam posisi ini Nib berada pada kutub jahat, buruk,
kasar. Nis ada pada kutub baik, berbudi luhur, alus. Dalam
menempatkan posisi SP memang agak kabur, dalam artian
dia dapat dinilai lemah, senantiasa mudah terpengaruh
dan cenderung didominasi emosinya. Namun ia
sebenarnya juga tetap setia kepada istrinya, Nis dan
memberi kesempatan membuktikan bahwa diri istrinya
bersih. Dalam posisi seperti itu, SP ditempatkan pada
kutub “netral”. Kutub “netral” berada di atas dari model
tersebut.

4.B.7 Kekerabatan
Dalam cerita tersebut dapat digambar suatu hubungan
kekerabatan diantara para tokohnya sebagai berikut:

183
Cerita versi II ini lebih kuat nuansa kultur jawanya
bila dibandingkan dengan versi I, yang dapat dilihat dari
sikap Nib yang memandang rendah Nis anak menantunya
sendiri yang berasal dari desa. Memandang rendah
masyarakat desa yang pada dasarnya adalah masyarakat
petani Jawa. Pandangan yang demikian ini mendasrkan
pada konsep bibit-bobot-bebet, khususnya bibit (Kodiran,
1976). Bibit menekankan pada prinsip asal usul atau
keturunan seseorang dalam hal ini adalah asal uusul istri
SP atau Nis yng datang dari desa. Berdasarkan prinsip ini
Nis tidak berasal dari keturunan yang setar dengan
suaminya SP, yang menjabat sebagai seorang Patih
Kerajaan.
Apabila hal ini dijelaskan dengan kategori yang
dilontarkan Geertz, keluarga SP merupakan kalangan
priyayi. Dalam kalangan priyayi ini landasan sosialnya
adalah keturunan. Landasan sosial pada kalangan abangan
adalah keluarga, sedangkan pada kalangan santri landasan
sosialnya komunitas. Titik interaksi kalangan priyayi ada
pada kantor yang dalam hal ini lingkungan keraton atau
kerajaan. Titik interaksi kaum abangan pada sawah

184
danuntuk kalangan santri pada masjid. Dengan demikian
dapat dipahami kalau ibu SP atau Nib begitu “kuat”
berusaha menyingkirkan Nis dari sisi SP.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa
yang ambisi menyingkirkan Nis dari sisi SP adalah ibunya.
Dalam masyarakat Jawa berlaku prinsip keturunan
bilateral (Koentjadiningrat, 1984). Dalam prinsip ini
hubungan kekerabatan diperhitungkan dengan mengikuti
garis pihak laki-laki maupun pihak perempuan. Dengan
demikian hal yang wajar bila seorang ibu menaruh
perhatian terhadap problem prinsip keturunan bagi
anaknya.

2. Perbandingan Antar Versi


Pada versi pertama terlihat bahwa alur cerita lebih
panjang dan tidak langsung mengarah pada puncak cerita.
Versi pertama ini lebih menarik untuk dinikmati. Tokoh
istri berasal dari kalangan bangsawan, yaitu putra Raja
Klungkung, meskipun bangsawan dari pihak musuh yang
pernah diserang bahkan dikalahkan. Dalam versi I tidak
tampak ada problema (yang menjadi sub-tema) keturunan
diantara mereka yang menikah. Problem sal keturunan
atau bibit ini tampaknya tidak relevan karena mereka
merupakan pasangan strata sosial yang sama dan sama-
sama dari kalangan bangsawan.
Pada versi ini, tokoh yang membuka jawaban atas
“sandiwara’’ ini adalah si pengemis yang sebenarnya
adalah kakak Surati yang menyamar, di mana keduanya
putra Raja Klungkung tersebut. KS senantiasa menyulut

185
persoalan dan yang akhirnya mengakhiri dengan
membuka segala kedok dan tujuannya.
Pada versi kedua, alur cerita lebih langsung mengarah
pada puncak cerita sehingga terasa lebih pendek dan
kurang menarik untuk dinikmati. Tokoh istri berasal dari
masyarakat kelas bawah, disebut sebagai gadis desa. Hal
ini dapat diartikan bahwa ia seorang anak petani. Bagi
budaya Jawa yang agraris, aspek keturunan ini menjadi
sangat penting karena pandangannya yang kuat kea rah
status. Namun demikian, orientasi pada status ini bukan
monopoli kultur Jawa saja. Tokoh yang memerankan
pembuka jawaban atas semua “sandiwara” ini adalah
anaknya sendiri yang ketika berumur beberapa hari
dibuang neneknya ke sungai, namun ia tidak mati, terbukti
dengan pemunculannya ke permukaan air dalam air untuk
memberi penjelasan apa yang sebenarnya terjadi.
Cerita asal mula nama Banyuwangi baik versi I
maupun versi II memiliki focus yang sama, yaitu masalah
kesetiaan. Kesetiaan tampak dituntut pada pihak
perempuan atau istri yang senantiasa mendapat tuduhan
tidak setia. Tampaknya istri senantiasa ditempatkan pada
posisi subordinat, istri dituntut harus patuh, nurut pada
suami tanpa ada kesempatan untuk menyampaikan
kebenaran di hadapan suami. Perempuan/istri tidak diberi
hak untuk berkomentar terhadap apapun yang dituduhkan
oleh suami. Dalam kasus semacam ini selalu ada pihak
yang menjadi ujung penyebab permasalahan yang dalam
versi I adalah KS dan pada versi Ii Nib, yang keduanya
dari kalangan sendiriPada versi I maupun versi II
menampakkan istri ada pada pihak yang lemah dan

186
dilemahkan. Berdasarkan asal mula atau latar belakang
asal usulnya, S maupun Nis dari kalangan yang lebih
rendah dari pihak suami. S berasal dari keluarga atau
pihak yang kalah perang dengan pihak (keluarga) suami.
Nis jelas tampak disebut dari keluarga desa, yang dalam
konteks masyarakat Banyuwangi merupakan wilayah
pertanian. Hal ini terlebih lagi jelas bila dihubungkan
dengan kawasan Banyuwangi yang cukup dikenal subur
dan sebagai lumbung padi bagi Jawa Timur sekarang.
Meskipun berasal dari keluarga yang dipandang inferior,
status sosial rendah sebenarnya S maupun Nis tidak
memiliki kekurangan atau kelemahan pribadi. Bahkan
berulangkali disebut sebagai wanita yang lemah lembut,
berbudi pekerti baik. Mereka merupakan wanita yang
tabah dan teguh pendirian, tinggi kesetiannya. Pada ujung
akhir kisanya, mereka membuktikan diri berada pada
pihak yang benar, tidak berdosa dan tetap bersih, tidak
pernah berkhianat, tidak ternoda. Atas kebersihannya itu,
saya kira S maupun Nis tidak pernah disebut
meninggal.mereka disebut hilang masuk ke dalam air
untuk tidak kembali selamanya.
Dalam konteks budaya Jawa dikenal konsep muksa.
Muksa hanya bisa dilakukan atau terjadi pada individu
yang dalam masa hidupnya “bersih’ sehingga mampu
dekat dengan Tuhan Yang Maha Kuasa (Koentjadiningrat,
1984). Dalam kalangan luas, tokoh masyarakat Jawa yang
dipandang berhasil muksa salah satunya adalah Raja
Kediri, Jayabaya. Mereka yang berhasil muksa, dianggap
tidak meninggal, namun karena kebersihannya tadi
mampu masuk ke alam sana, berdialog dan berada di

187
dekatNya. Mereka dipercaya langsung masuk surga tanpa
melalui penyiksaan. Mereka senantiasa menjadi suri-
tauladan bagi manusia yang masih berada di alamini. Hal
ini berlaku juga bagi S dan Nis dalam lingkup masyarakat
Banyuwangi.
Tokoh Surati (S) atau istri Patih Sidapaksa (Nis) tidak
mengherankan kalau menjadi panutan masyarakat
setempat. Meskipun mereka tokoh fiktif hanya ada dalam
cerita atau mitos, tetapi kesetiaannya patut disuri-tauladani
oleh masyarakat setempat. Mengidealkan atau
mengidolakan tokoh S maupun Nis oleh masyarakat cukup
beralasan yang dapat dilihat dari pengkontrasan atau
pemosisian yang oposisional antara suami dengan istri.
Dan juga menjadi harapan bagi para istri (perempuan) di
Banyuwangi agar para suami tidak mudah terprovokasi,
dengan lebih percaya atas kesetiaan istri. Dari cerita asal
kota Banyuwangi ini ternyata sangat kontras dengan
realitas budaya pada umumnya …… di Banyuwangi yang
selalu memberikan strotype pada perempuan sebagai
orang yang emosional, irrasonal, mudah terpengaruh, tidak
bisa tegas dalam mengambil sikap, sementara laki-laki
dianggap tidak mudah emosi, tidak mudah terpengaruh,
bisa tegas, dapat mengambil sikap, dll. Tokoh suami baik
patih SP maupun putra mahkota RB senantiasa dalam
keadaan labil, ragu-ragu, mudah terpengaruh, terbawa
emosi, oleh karena itu hidupnyamenjadi susah dan jauh
dari kondisi batiniah yang suci. Sementara itu tokoh istri
baik Surati (S) maupun Nis senantiasa dalam keadaan
stabil, mantap, tidak terbawa emosi, dapat mengambil
sikap tegas oleh karena itu tidak mudah terpengaruh,

188
sehingga hidupnya bahagia dan kondisi batiniahnya tetap
dalam keadaan suci.
Namun demikian, mengapa masyarakat setempat
cenderung bersikap permisif terhadap kehadiran pria
idaman lain (pil). Hal ini jelas bertolak belakang dengan
perilaku tokoh S dan Nis tersebut. Barangkali problem ini
terletak pada penafsiran masyarakat itu sendiri terhadap
apa yang dilakukan S maupun Nis. Dalam menafsirkan hal
tersebut, masyarakat akan menggunakan kebudayaannya.
Dalam hal ini adalah budaya Jawa yang mengenal konsep
alus-kasar.
Apabila diketemukannya ikat kepala laki-laki di
bawah ranjang sang istri dilihat dengan mengunakan
budaya alus-kasar tersebut, maka pemaparan tersebut
menjadi halus, dalam artian tidak vulgar, tidak terus
terang. Namun bila digunakan bahasa yang terus terang,
maka akan terasa kasar. Kekasaran seperti ini tidak dapat
diterima oleh masyarakat secara umum. Meskipun
diutarakan dengan bahasa yang tersamar, halus,
masyarakat umum akan mudah memahami apa
sebenarnya yang terjadi. Penghalusan pada lapis kedua
mungkin terjadi ketika cerita itu, yang secara tradisional
disampaikan secara lisan, dibukukan. Seorang penulis
pada saat itu (tahun 1964-an) akan mempertimbangkan
aspek moral. “perasaan sosial” dari masyarakat pemilik
cerita itu maupun masyarakat yang lebih luas, pembaca.
Karakteristik tokoh S dan Nis yang ditampakkan
sebagaimana dalam cerita dapat dilihat sebagai langue,
suatu karakteristik yang semestinya yang menjadi harapan
untuk diterapkan. Apabila kemudian dijumpai adanya

189
realitas bahwa masyarakat menunjukkan karakteristik
yang menyimpang bahkan bertolak belakang, seperti sikap
permisif terhadap kehadiran pria idaman lain (pil), dapat
dilihat sebagai parole. Kedua hal ini sekaligus
menunjukkan bahwa mitos berdimensi waktu ganda,
waktu yang mengarah pada peristiwa masa lalu dan waktu
yang mengarah pada realita sekarang. Hal yang terakhir ini
akhirnya menampakkan mitos menjadi relevan dengan
kehidupan sekarang (Strauss, 1963, Ahimsa Putra, 1977).
Aspek kekerabatan yang dapat diungkap dari kedua
versi cerita asal mula Nama Banyuwangi ini menunjukkan
adanya suatu pola yang sama, meskipun sepintas dari
permukaannya menunjukkan tidak adanya kesamaan sama
sekali. Pada Versi I yang berbau Bali, digunakan prinsip
keturunan patrilineal. Pada versi II, digunakan prinsip
bilateral oleh karena warna kejawaannya lebih kuat
dibandingkan versi I.
Model yang berhasil dibangun dari aspek kekerabatan
ini adalah :

Model ini menunjukkan peran-peran tertentu yang


sama antara KS dan Nib, RB dan SP, serta antara S dan
Nis.

190
Apabila

memperhatikan serangkaian peristiwa dalam versi I


dan II, tampak adanya suatu pola tertentu yang
berulang-ulang muncul kembali. Pola tertentu itu
dapat memunculkan model berikut ini:

KS-Nib senantiasa menekan atau berusaha


mempengaruhi S-Nis seperti ketika KS menemui S di pintu
gerbang dan Nib menekan Nis sepanjang hidup bersama
SP dengan puncaknya membuang bayi yang baru
dilahirkan Nis. Tekanan yang sama juga dilakukan oleh KS
terhadap RB ketika menyamar sebagai pengemis
menemuinya di hutan. Nib menyongsong SP pulang
mencari bunga ajaib di Gunung Ijen dengan menceritakan

191
berbagai kejelekan istrinya selama ditinggalkannya, yang
ironisnya semua itu hasil rekayasa dan kebohongan Nib
sendiri. Pada sisi RB dan SP, terlihat adanya sikap, perilaku
yang sama, seperti memiliki posisi sebagai orang kedua
dalam struktur kerajaan, mudah panas-emosional, serba
keragu-raguan, terpengaruh sehingga bermusuhan dengan
istri sendiri dan msih bisa diperbanyak lagi. Persamaan-
persamaan juga ada pada S dengan Nis. Keduanya sama-
sama sebagai istri orang kedua dalam struktur kerajaan
(putra mahkota dan patih), sama ada pada pihak yang
dipersalahkan, sama kokoh pada pendirian dan
berpandangan yang bersih, sama setia, sama tidak merasa
gentar dengan ancaman, sama bisa membuktikan kesucian
dirinya.
Perbedaan yang ada, yaitu berbeda asal keturunan: S
anak bangsawan dan Nis anak desa, tidak mempengaruhi
model atau struktur yang ada. Aspek keturunan
merupakan hal bawaan yang setiap orang tidak dapat
memilihnya, oleh karenanya bersifat nature, alami bagi
seseorang. Namun, dibalik perbedaan tersebut suatu hal
yang sama dapat diupayakan adalah memposisikan
dirinya dalam rangka suatu struktur, bersifat kultur
(Bedcock, 1975) sebagaimana tampak dalam model
tersebut.

Kesimpulan
Model yang berulangkali muncul menunjukkan suatu
kesamaan-kesamaan yang tampak menjadi landasan bagi
keseluruhannya, baik dalam konteks dalam masyarakat
Banyuwangi maupun dalam lingkup cerita tersebut.

192
Landasan tersebut merupakan suatu kerangka berpikir
masyarakat yang kemudian terrepresentasikan dalam
cerita itu.
Dengan model berpikir tersebut, dapat dipahami
bahwa manusia (Banyuwangi) senantiasa ada dalam posisi
antara, diantara binari opposition. Manusia senantiasa
diantara dua kutub yang berseberangan, kesetiaan dan
penyelewengan. Dalam antara dua kutub berseberangan
itulah manusia senantiasa bermain-main sepanjang
kehidupannya. Posisi manusia seperti ini menempatkan
dirinya dalam keadaan konflik yang tiada henti.
Konflik yang tiada henti atau tidak pernah diselesaikan
oleh manusia ini tampaknya berusaha disiasati dengan
mengalihkan dalam bentuk cerita atau mitos tersebut.
Dengan demikian mitos Asal Mula Nama Banyuwangi
merupakan suatu upaya pikir penghindaran atau meredam
problematika yang senantiasa muncul di masyarakat.
Dengan demikian, mitos atau cerita tersebut dapat
menjadi pola bagi tingkah laku masyarakat dan sekaligus
sebagai pola dari tingkah laku masyarakat (Banyuwangi).
Tokoh Raden Banterang dan Patih Sidapaksa merupakan
simbol dari keberadaan manusia yang senantiasa ada
dalam dilema antara dua oposisi biner. Dua oposisi biner
dalam hal ini dimainkan oleh kakak Surati (KS) dan ibu
Patih Sidapaksa (Nib) pada satu sisi sedangkan Surati (S)
dan istri Patih Sidapaksa (Nis) pada sisi yang lainnya.
Dengan ditampilkannya dua versi tersebut tampak
adanya relasi-relasi yang sama dan berulang kembali pada
versi lainnya. Relasi-relasi tersebut menunjukkan adanya

193
struktur. Dengan demikian kedua versi tidak menunjukkan
adanya struktur yang berbeda. Struktur berlangsung tetap.
Tokoh yang baik seperti S dan Nis akan menjadi
panutan atau diidealkan masyarakat. Masyarakat dalam
mensuri-tauladani tokoh ideal tersebut menggunakan
budayanya, sehingga berkembang penafsiran sebagaimana
kebudayaan itu sendiri. Dengan demikian misi dari nenek
moyang yang ingin disampaikan atau diteruskan kepada
generasi keturunannya akan senantiasa mendapat
penafsiran baru sebagaimana kebudayaan yang dimiliki
keturunannya.
Dengan demikian misi dari nenek moyang yang ingin
di wariskan dan diturunkan kepada generasinya adalah
bagaimana seorang istri bisa menjadi istri yang teguh
pendirian, berani mengungkap kebenaran meski mendapat
ancaman dari suaminya sendiri.
Sebaliknya seorang suami harusnya tidak mudah
terprofokasi, namun demikian dari mitos di cerita pasti
akan senantiasa mendapat interpretasi baru sebagaimana
kebudayaan yang dimiliki keturunannya.

194
DAFTAR PUSTAKA

Ahimsa Putra, Heddy Shri, 1985 Analisis Struktural


dan Makna Mithos Orang Bajo, Laporan Penelitian,
Yogyakarta, Fak.Sastra UGM
1977 Claude Levi Strauss: Butir-Butir Pemikiran
Antropologi, dalam: Levi Strauss Empu Antropologi
Struktural, Yogyakarta.LkiS
Badcock, C.R, 1975 Levi-Strauss: Strukturalism and
Sciological Theory, London, Hutchinson
Cremers, Agus dan deSanto,John, 1997 Mitos, Dukun
dan Sihir, Yogyakarta, Kanisius
Danandjaja, James, 1986 Andhe-Andhe Lumut:
Dongeng Sinderela Jawa Yang Mempunyai Nilai
Pedagogis, dalam Kesenian, Bahasa dan Folklor Jawa,
Soedarsono (ed), Yogyakarta, lembaga Javanologi-
Depdikbud
1991 Folklor Indonesia, Abangan, Santri dan PriyayiJakarta,
Grafiti Press
Geertz, Clifford, 1964 , Jakarta, Pustaka Jaya
Kodiran, 1976 Manusia dan Kebudayaan Jawa, dalam
Manusia dan Kebudayaan di Indonesia,
(Koentjaraningrat, ed) Jakarta, Balai Pustaka
Koentjaraningrat, 1984 Kebudayaan Jawa, Jakarta, Balai
Putaka
Levi-Strauss, C,1963 Struktural Anthropology, New York,
Basic Books
Sagimun, MD, 1962 Asal Mula Nama Banyuwangi,
dalam: Tjerita Rakjat I, Jakarta, Balai Pustaka

195
i

Anda mungkin juga menyukai