MEMANDANG
Revolusi Industri
DIALOG
Pendidikan Karakter
di Perguruan Tinggi Indonesia
&
MEMANDANG
Revolusi Industri & DIALOG
Pendidikan Karakter
Disusun Oleh :
Majelis Pendidikan
Dewan Pendidikan Tinggi
Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
SAMBUTAN
MENTERI RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI
Bangsa Indonesia sejak lama memiliki ciri khas dan memiliki tempat
tersendiri di antara bangsa-bangsa di dunia. Namun, apabila melihat kondisi
yang terjadi di Indonesia saat ini, ada kekhawatiran karakter terpuji bangsa
Indonesia yang telah dibentuk oleh nenek moyang sejak berabad-abad yang
lalu, kondisi sosial maupun budayanya yang baik yang dirumuskan menjadi
budaya Pancasila, saat ini akan tercemar oleh pengaruh budaya lain yang
negatif. Hal ini terlihat dari banyaknya kejadian negatif di masyarakat saat ini.
Kondisi ini menunjukkan pentingnya penanaman pendidikan karakter pada
i
ii
Buku ini ditulis dengan semangat mengajak praktik baik dialog karakter
yang menginspirasi para dosen dan mahasiswa dalam membangun
karakter dirinya.
Semoga bermanfaat.
Mohamad Nasir
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
KATA PENGANTAR
DIREKTUR JENDERAL PEMBELAJARAN DAN KEMAHASISWAAN
Sejalan dengan regulasi di atas dan program Nawacita yang dicanangkan oleh
pemerintah, lulusan Perguruan Tinggi di Indonesia dituntut untuk menjadi agen
strategis bagi pembangunan Bangsa Indonesia yang kompetitif, beragam,
maju, dan beradab. Untuk melaksanakan amanat dari regulasi dan program
pemerintah, maka salah satu tugas Kementerian Riset, Teknologi, dan
Pendidikan Tinggi adalah mengawal Perguruan Tinggi untuk mempersiapkan
generasi muda agar mampu meningkatkan daya saing bangsa, adaptif,
fleksibel, kreatif, dan memiliki inovasi tinggi sebagai agen perubahan dengan
muatan karakter berbudaya Indonesia. Selain mahasiswa, dosen-dosen
iii
iv
muda adalah calon pemimpin masa depan Indonesia yang harus memiliki
sikap mental dan karakter Bangsa Indonesia yang mumpuni.
Intan Ahmad
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
DAFTAR ISI
Sambutan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi | i
Kata Pengantar Direktur Jenderal Pembelajaran dan
Kemahasiswaan | iii
Daftar Isi | v
Induk Gagasan dan Tokoh Simulasi Dialog | 1
Pendahuluan | 2
v
vi
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Epilog | 178
Sumber Tulisan | 180
Tim Penulis Dan Pendukung | 181
Kontributor Tulisan Pembuatan Buku Dan Fasilitator Rapat-
Rapat Majelis Pendidikan Tahun 2016 | 182
vii
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
“
Induk gagasan sebagai sumber inspirasi penulisan buku
Buku disajikan dengan orientasi sebagai bacaan ringan yang menarik untuk
diperbincangkan di kelas-kelas mata kuliah di perguruan tinggi. Perbincangan tersebut
diharapkan dipimpin oleh dosen agar para mahasiswa memahami peran mata kuliahnya
sebagai bagian ilmu pengetahuan, pelatihan keterampilan termasuk keterampilan
berpikir analitis bermutu dengan sikap mental dalam kerangka pengamalan ilmu untuk
kepentingan masyarakat, bangsa, negara dan kemanusiaan. Dosen dan mahasiswa
diharapkan menemukan inspirasi lebih baik dari keterbatasan paparan dalam buku
ini, berprinsip keterbukaan pemikiran atas tantangan dan ide-ide penyelesaian masalah-
masalah masyarakat, bangsa dan kemanusiaan (open ended problem and open ended
solution).
Sejumlah dialog oleh tokoh hipotetik wakil beberapa komponen masyarakat dari
beberapa lapis generasi disisipkan dalam berbagai uraian yang gayut (relevan) dengan
urusan revolusi industri dan dialog pendidikan karakter di perguruan tinggi.
1
2
PENDAHULUAN
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Pada pertengahan tahun 2016 telah diyakini bersama bahwa tiga buah buku
kecil atau sebuah buku yang terdiri dari tiga bagian harus dibuat sebagai salah satu
produk majelis yang dapat menjadi kawan kerja para pendidik dalam mencari dan
menemukan solusi pendidikan tinggi dengan fokus orientasi model pada lima butir
hal yang diutarakan oleh para sosok nasional tersebut.
Buku yang dibuat tidak boleh menggurui namun menjadi teman dialog dan
refleksi mencari solusi-solusi inovatif penyelenggaraan perguruan tinggi yang
memilih sistem keyakinan atas kecerdasan penyelenggara pendidikan menemukan
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
karakter positif menjadi realita karakter terpuji dicari dengan dialog indah
antara dosen dengan mahasiswa.
5
6
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
7
8
Perguruan Tinggi ini tak pernah berubah, terasa selalu sama dan
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
masih mahasiswa setiap sore saya dan dua orang teman selalu berlomba menggunakan
sepeda kami untuk sampai ke tempat ini. Setiap sore sampai malam, kami sering
menghabiskan waktu untuk diskusi sampai larut malam. Kami bertiga adalah mahasiswa
Prof. Mirza, suatu hari beliau menawari kami untuk tinggal di salah satu rumahnya yang
kosong dan dekat kampus. Di samping untuk menghemat uang kos, kami diminta Prof.
Mirza membantu Pak Rahmat, tukang kebun rumah ini untuk sesekali membersihkan
rumahnya.
Perkenalkan namaku Salim, sedangkan 2 orang temanku bernama Abdul dan Jalal.
Saya, Abdul dan Jalal adalah mahasiswa kurang mampu, kebetulan kami bertemu dengan
Prof. Mirza yang membantu kami. Lima belas tahun lalu, kami sering sekali berdiskusi
dan sesekali berdebat bersama Alm. Prof. Mirza. Kami berjuang menyelesaikan gelar
S1 dan lima belas tahun setelahnya, sekarang ini, kami mendapatkan gelar Doktor dan
sedang berjuang mendapat jabatan Profesor seperti dosen kami, Prof. Mirza.
Kami bertiga masih sering berhubungan walaupun sudah terpisah jarak beratus-
ratus kilometer. Abdul saat ini tinggal di kota Makasar, mengajar di salah satu Perguruan
Tinggi Negeri; Jalal juga merupakan salah satu dosen di perguruan tinggi di Palembang;
dan saya sendiri saat ini menetap di Jakarta. Karena sering kali dosen pada umumnya
ditugaskan ke Jakarta, maka tempat berkumpul kami adalah rumah saya, karena hanya
saya di antara kami bertiga yang tinggal di Jakarta. Kali ini kami juga merencanakan
untuk berkumpul, namun bedanya reuni kami saat ini bukan lagi di rumah saya, namun
di rumah kami. Ya, rumah kami yang diwariskan oleh Prof. Mirza.
Saya dan Abdul sampai di rumah Alm. Prof. Mirza pada waktu yang hampir bersamaan
di tengah hari. Namun Jalal agaknya akan tiba pada malam hari, karena lima hari yang
lalu dia baru saja pulang dari kunjungan ke Okinawa, Jepang. Mungkin masih banyak
pekerjaan yang harus dia urus di universitasnya. Jadi dia baru bisa berangkat pada sore
hari.
Pada saat kami berdua sampai di depan rumah Alm. Prof. Mirza, Pak Rahmat,
penjaga rumah sekaligus tukang kebun di rumah kami rupanya agak terkejut bercampur
bahagia melihat kedatangan kami yang tiba-tiba. Memang kami bertiga tidak ada yang
memberitahu beliau bahwa kami hari ini akan datang.
“Nak Salim, Nak Abdul, kenapa tidak telepon terlebih dahulu, memberi kabar kalau mau
datang berkunjung kemari?” kata Pak Rahmat sembari memeluk erat tubuh kami berdua
bergantian.
9
10
“Kami memang sengaja, Pak, ingin memberi kejutan kepada Pak Rahmat dan Ibu.
Dimana Ibu Pak?” tanya Abdul sembari memberikan sekantung besar oleh-oleh untuk
Pak Rahmat dan Ibu.
“Ada di belakang, mari-mari masuk. Saya sudah sangat rindu dengan Nak Salim dan
Nak Abdul. Apa kali ini hanya berdua saja? Dimana Nak Jalal?”
“Nanti Jalal akan menyusul, Pak. Mungkin dia akan tiba petang.”
Pak Rahmat adalah pribadi yang hangat, usianya telah menginjak 65 tahun,
namun beliau masih kuat dan bersemangat dalam bekerja, terlebih yang berhubungan
dengan pekerjaan fisik. Walaupun beliau adalah seorang pekerja di sini, namun kami
telah menganggap beliau seperti keluarga dan merupakan bagian dari perjuangan kami
bertiga ketika kuliah.
Kami adalah tiga mahasiswa tidak mampu yang berjuang keras ingin mencapai cita-
cita bersama. Persahabatan kami yang kami jalin selama 18 tahun. Kami bersahabat
tidak hanya ketika kami kuliah S1, namun setelah kami lulus kuliah, kemudian mencari
beasiswa untuk kuliah S2, menikah, memiliki anak, hingga saat ini kami sudah ada yang
memiliki cucu, kami masih bersahabat. Persahabatan kami begitu erat dan kami lebih
suka menyebutnya keluarga.
“Akhirnya datang juga Tuan Muda kita”, ledek Abdul kepada Jalal.
Kami menyebutnya tuan muda karena Jalal adalah yang paling muda di antara
kami bertiga. Selain paling muda, dia juga sebenarnya yang paling cerdas di antara kita,
namun dia pula yang keadaan ekonominya paling lemah di antara kami. Dia merupakan
anak sulung dari tiga bersaudara. Ayah dan ibunya meninggal dunia ketika Jalal duduk
di bangku SMA dan adik-adiknya masih kecil, bahkan ketika itu adiknya yang paling kecil
masih balita.
Kami masih sangat ingat perjuangan Jalal ketika itu. Ia adalah mahasiswa yang
datangnya paling pagi. Bukan hanya paling pagi di antara kami, tetapi paling pagi dari
seluruh mahasiswa. Dia datang sangat pagi demi meminta air tajin kepada ibu kantin
kampus untuk adiknya yang masih balita. Karena tidak mampu membeli susu, terpaksa
susu untuk adiknya diganti dengan air tajin pemberian dari ibu kantin. Selain itu, Jalal dan
kedua adiknya tidak selalu makan nasi setiap hari. Mereka lebih sering makan tiwul atau
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
singkong, karena harganya tidak semahal harga beras. Terkadang Jalal juga mengalah
untuk adik-adiknya agar adiknya bisa makan nasi. Sering kali kami berbagi nasi bungkus
bertiga ketika kami kuliah.
Namun demikian, semangat kami untuk menuntut ilmu sangatlah besar. Kami tidak
ingin menyia-nyiakan kesempatan emas kami untuk kuliah. Kami sadar betul, kami
merupakan manusia yang beruntung, karena kami dapat bersekolah sampai ke tingkat
perguruan tinggi, sedangkan di luar sana masih sangat banyak orang yang tidak dapat
bersekolah, apalagi kuliah karena berbagai alasan.
Mungkin karena itulah, Alm. Prof. Mirza begitu iba dan sangat menyayangi kami. Kami
diberi kepercayaan tinggal di rumahnya, agar dapat menghemat pengeluaran dan dapat
membeli keperluan lain. Sejak saat itu kami berjanji akan menyelesaikan pendidikan
kami, menuntut ilmu setinggi-tingginya hingga kami dapat menjadi Profesor, seperti Alm.
Prof. Mirza yang sudah begitu baik hati kepada kami. Inilah kenangan berharga kami
yang tidak akan kami lupakan. Jalal memberi kami buku dan oleh- oleh makanan ringan
berupa coklat berperisa (flavored) teh hijau khas Jepang kepada kami semua.
“Ini, tadi di rumah ada coklat dan buku untuk kalian. Coklat bisa diberikan untuk cucu
kalian, kalian kan sudah tua, tidak baik makan yang manis-manis, harus menjaga gula
darah. Hahaa...”, ledek Jalal dengan ketawanya yang khas.
Tujuan kami berkumpul di rumah ini karena kami teringat akan kebaikan Alm. Prof.
Mirza dan teramat rindu dengan beliau. Beliau adalah dosen yang begitu rendah hati.
Beliau selalu mengajar muridnya dengan cara tidak menggurui muridnya. Dengan
kerendahatiannya, beliau tak pernah merasa hebat dari pada yang lain. Beliau
mengamanatkan rumah ini kepada kami bertiga dan berpesan agar rumah ini dapat
terus digunakan dan dimanfaatkan untuk membantu orang lain.
“Alhamdulillah Nak. Walaupun bapak sudah 65 tahun, Bapak masih kuat bersih-bersih
rumah, memotong rumput pekarangan dan memotong kayu”.
Setelah saling menanyakan kabar dan mengobrol santai dengan Pak Rahmat,
kami menuju ruang perpustakaan, ruangan favorit kami. Letaknya di ruang tengah.
Perpustakaan ini begitu besar dan sangat nyaman. Ada bermacam-macam buku dari
11
12
berbagai rumpun ilmu di perpustakaan ini. Saya, Jalal dan Abdul sangat beruntung sekali
bisa berkunjung dengan bebas ke perpustakaan pribadi yang dimiliki beliau ketika kami
masih kuliah. Kami yang miskin, dan tidak bisa membeli buku penting, bisa membaca
dan meminjam buku milik beliau dengan bebas. Beliau pernah berkata pada kami bahwa
setelah keluarganya, harta yang paling dicintai di dunia ini adalah buku-bukunya. Beliau
begitu menjaga buku-buku di perpustakaannya.
“Buku-buku selalu mempunyai aroma yang khas”, kataku pada kedua temanku.
“Pasti kita akan menghabiskan semalam suntuk hanya untuk berdiskusi atau berdebat”,
kata Abdul terkenang masa lalu.
“Nak Salim, Nak Jalal, Nak Abdul, makan malam sudah siap”, Pak Rahmat menghampiri
kami dan mengajak kami untuk makan.
“Ayo semuanya, tapi Bu Inah tidak bisa ikut makan dengan kita, dia ada pertemuan ibu-
ibu di rumah Bu RT”
Bu Inah memasak masakan kesukaan kami bertiga ketika kami kuliah, yaitu bakmi
goreng. Malam itu begitu lengkap nostalgia kami.
***
“Oh iya, tadi setelah cuci piring Pak Rahmat memberi amplop coklat ini”
“Amplop apa itu Lim? terlihat tebal sekali isinya”, tanya Abdul penasaran.
“Entah. Saya belum tahu isinya. Kata Pak Rahmat, ini untuk kita bertiga”
Sebelum meninggal setahun yang lalu, Prof menitipkan amplop ini kepada Juna,
putranya. Kata Pak Rahmat tadinya mau diberikan langsung oleh Juna, tapi Juna saat
ini sedang menempuh kuliah S2 di luar negeri, jadi amplop ini dititipkan kepada Pak
Rahmat.
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Untuk anak-anak
Sebelum Bapak meninggal, Bapak tahu Bapak takkan bisa menyelesaikan buku ini.
Bapak harap, kalian bisa menyelesaikan buku ini untuk Bapak. Semoga kalian sehat-
sehat selalu dan terus mencapai cita-cita kalian.
Mirza
Abdul membuka halaman kedua, sebuah naskah yang lumayan tebal, berisikan
sebuah rancangan pendidikan tinggi dengan kata pembuka:
Kurang dari sepuluh tahun dari sekarang, tahun 2025 akan segera datang dan akan
dialami oleh generasi penerus. Banyak pengamat ekonomi dunia meramalkan akan
kemajuan ekonomi Indonesia pada tahun tersebut. Indonesia memang masuk anggota
G 20 dengan perkembangan ekonomi yang menjanjikan. Bahkan untuk tahun 2016,
pertumbuhan ekonomi Indonesia termasuk tinggi dibanding dengan negara-negara lain.
Bonus demografi juga disebut-sebut sebagai salah satu pemicunya, jika generasi muda
Indonesia dengan cerdas dapat memanfaatkannya seoptimal mungkin. Kita umumnya
optimis dengan impian akan datangnya kemajuan ekonomi yang akan diraih bangsa
Indonesia. Namun, sebelum datangnya era yang mengandung optimisme tersebut, perlu
juga dicermati laporan hasil rapat kerja nasional pendidikan di awal tahun 2016.
Rapat kerja nasional pendidikan yang diselenggarakan oleh Kementrian Riset dan
Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) pada awal tahun 2016 memberi catatan penting dan
menegaskan adanya beberapa persoalan yang sedang dihadapi bangsa Indonesia.
Persoalan tersebut antara lain sebagai berikut. Pertama, permasalahan yang sedang
dihadapi bangsa radikalisme, intoleransi, separatisme, tindakan kekerasan, narkoba,
kerusakan lingkungan, pengangguran, dan para sarjana perguruan tinggi yang kurang
siap menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Kedua, kritik terhadap kualitas
lulusan perguruan tinggi. Lemahnya kemampuan berbahasa asing (english proficiency),
IT skill, kepemimpinan (leadership), cara berpikir yang kompleks (higher order of thinking),
rendahnya kemampuan komunikasi lisan dan tertulis, kurang berpikir kritis, rendahnya
13
14
rasa percaya diri dan lunturnya nilai-nilai kebaikan yang berakibat pada merebaknya
korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi penyakit kronis bangsa.
Inilah sebagian persoalan bangsa dan persoalan yang dihadapi oleh perguruan
tinggi di tanah air, baik negeri maupun swasta. Para pemikir, manajer dan pengelola
pendidikan baik di lingkungan Kementrian Riset dan Pendidikan Tinggi dan kementrian
lain yang menaungi penyelenggaraan pendidikan tinggi di lingkungan masing-masing
serta para penanggung jawab dan pemangku kepentingan di lingkungan perguruan
tinggi itu sendiri harus berpikir keras mencari jawaban terhadap permasalahan yang
dihadapi bangsa secara keseluruhan. Apa peran dan sumbangan pendidikan umumnya
dan pendidikan tinggi khususnya untuk mencari jalan keluar dari kesulitan yang dihadapi
bangsa tersebut?
Mengacu pada hasil rapat kerja nasional pendidikan tinggi tersebut, Dewan
Pertimbangan Pendidikan (DPT) Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
menggaris bawahi adanya 4 hal yang sangat penting untuk segera dibenahi dari waktu
ke waktu oleh penyelenggara pendidikan tinggi di tanah air. Pertama, kepemimpinan
(leadership). Mengapa pemimpin yang umumnya adalah alumni perguruan tinggi
masih suka saling berkelahi dan tidak memberi contoh kepada rakyat banyak yang
dipimpinnya? Kedua, pendidikan nilai (value) dan karakter (character). Mengapa semua
ingin menempuh jalan pintas? Mengapa materi (uang dan kekuasaan) menjadi nilai
utama dari pada nilai-nilai fundamental kemanusiaan? Ketiga, tata kelola pemerintahan
yang baik (good governance). Mengapa pemerintah dalam setiap jenjangnya maunya
melaksanakan program yang masa berlakunya pendek, hanya dibatasi masa periode
kepemimpinan, selama 4 atau 5 tahun? Mengapa pemerintah tidak membangun
sebuah sistem yang berkesinambungan dari masa kepemimpinan yang satu ke masa
kepemimpinan yang lain? Mengapa ada kecenderungan yang kuat bahwa ganti menteri
ganti kebijakan? Ganti rektor juga ganti kebijakan sehingga tidak ada kebijakan yang
berjangka panjang dan sistem yang diperjuangkan oleh institusi? Keempat, kehidupan
berbangsa dan bernegara yang berlandaskan konstitusi, Undang-Undang Dasar 1945,
Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Bhinneka Tunggal Ika belum
dipahami dengan baik oleh warga negara (nationalism). Mengapa idealisme dan
nasionalisme tidak kuat dan mudah menguap begitu saja begitu ada perkembangan
internal maupun eksternal? Dan belakangan, setiap menjelang pemilihan kepala
daerah cenderung hubungan antar berbagai kelompok di dalam masyarakat cenderung
mengeras, tidak harmonis, lebih-lebih yang sekarang difasilitasi oleh jaringan sosial
media.
Perguruan tinggi sebagai tempat persemaian calon pemimpin bangsa dan negara,
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
15
16
Tugas itu hanya dapat dilakukan oleh dosen. Bukan oleh birokrasi kependidikan.
Keteladanan dan keseriusan dosen dalam menjalankan tugasnya sangat penting dalam
membentuk pola pikir dan pola perilaku mahasiswa. Pola pikir dan pola tingkah laku
dosen yang tecermin dalam menjalankan Tridarma perguruan tinggi, yaitu pendidikan,
penelitian dan pengabdian pada masyarakat secara utuh tidaklah dapat ditawar-tawar.
Undang-Undang Pendidikan No. 14/2005, tentang Guru dan Dosen, pasal 1, ayat
2 menyebutkan bahwa “Dosen adalah Pendidik Profesional dan ilmuwan dengan tugas
utama mentransformasikan, mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni melalui pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat”. Dosen
adalah ujung tombak terdepan di perguruan tinggi. Dosen adalah agen perubahan. Begitu
dosen tidak perform, tidak dapat menjalankan tugas Tridarma perguruan tinggi dengan
optimal, tidak meyakinkan, tidak inspiring bagi mahasiswa baik di depan kelas atau
bangku kuliah maupun di luarnya, maka perguruan tinggi tidak dapat menjalankan tugas
dengan baik dan ideal dan tugas perguruan tinggi sebagai pencetak agen perubahan
di masyarakat luas gagal direalisasikan. Karenanya para dosen perlu terus menerus
mengingat kembali dan memperbarui tugas-tugas yang diembannya. Menurut UNESCO,
setidaknya ada 4 beban pokok yang dipikul oleh dosen perguruan tinggi.
Pertama, belajar untuk membangun jati diri (to be). Sebagai agen perubahan, dalam
diri dosen dituntut untuk terlebih dahulu mempunyai akhlak yang mulia, berbudi tinggi
(akhlaq karimah), kematangan, keutuhan dan kedewasaan berpikir. Mentalitas melimpah,
mentalitas untuk selalu ingin memberi yang terbaik kepada mahasiswa (abundant
mentality) adalah sesuatu yang diidamkan oleh mahasiswa dan lingkungan kampus
pada umumnya. Kedisiplinan masuk kuliah, metode dan pendekatan dalam mengajar
yang memuaskan, keteladanan dalam dunia akademik maupun perilaku sosial adalah
seperangkat tata nilai yang diserap oleh mahasiswa. Keteladanan dalam arti yang luas
adalah bagian dari upaya membangun jati diri.
Kedua, belajar untuk tahu (to know). Semangat ingin tahu yang prima (curiosity)
adalah roh, spirit dan salah satu nilai utama ilmu pengetahuan yang tidak dapat diganti
oleh nilai yang lain. Kreativitas dan inovasi dalam bidang apapun pasti didahului oleh
rasa ingin tahu yang kuat dan kemudian diikuti penelitian yang cermat, percobaan di
laboratorium, kemudian menuliskan dan melaporkannya dalam jurnal nasional maupun
internasional. Ditengarai oleh banyak pengamat bahwa para dosen kita kurang mampu
menyumbangkan tulisan hasil pemikiran maupun penelitian di jurnal internasional.
Artinya, gairah dan semangat untuk mencari tahunya masih belum maksimal dan perlu
diperbaiki dan didorong terus menerus.
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Keempat, belajar untuk membentuk sikap hidup dalam kebersamaan (to live
together). UNESCO merasa perlu menambah aspek penting dalam pendidikan, termasuk
pendidikan tinggi di era global sekarang ini, dengan menekankan pentingnya pendidikan
sosial-kemanusiaan yang lebih tegas dan eksplisit lagi. Ilmu pengetahuan dan teknologi
setinggi dan semaju apapun akan tidak ada gunanya jika manusia yang berbeda bangsa,
suku, ras, etnis, kelas, ekonomi, sistem pemerintahan, golongan, aliran dan pemahaman
agama yang berbeda tidak dapat hidup rukun, berdampingan, harmonis, dan masih ada
konflik. Elemen keempat yang dicanangkan dan ditegaskan oleh UNESCO benar karena
pasca perang dunia kedua, banyak negara masih dirundung konflik berkepanjangan,
perpecahan dan ujungnya kesengsaraan rakyat. Hidup berbangsa dan bernegara
dengan dukungan teknologi tinggi belum tentu membahagiakan, jika kemampuan rakyat
untuk hidup dalam kebersamaan (to live together) tidak dapat berlangsung dengan baik.
17
18
4. Wawasan Umum Tentang Linearitas Program Studi, Spesialisasi Ilmu dan General
Education
Belajar di tingkat perguruan tinggi pada suatu program studi dalam konteks
kehidupan yang makin kompleks seperti sekarang ini tentu memerlukan wawasan yang
luas, tidak hanya mementingkan hal-hal teknis saja. Salah satu proses belajar tersebut
misal dalam bidang teknik. Belajar bidang teknik di berbagai perguruan tinggi maju di
dunia telah dilengkapi dengan aspek fondasi profesi dan wawasan profesional selain
hal teknis. Kecenderungan tantangan penyelesaian urusan yang kompleks memerlukan
pemahaman antardisiplin ilmu.
Solusi individual untuk urusan-urusan yang melibatkan dukungan ilmu dari berbagai
bidang memerlukan kerjasama keahlian dari berbagai bidang ilmu. Sebagai contoh, dalam
profesi teknik diperlukan landasan kesuksesan yang disebut dasar atau foundational
dengan sumber ilmunya pada ilmu humaniora dan sosial serta spiritualitas.
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
19
20
disiplin ilmu yang dimiliki dosen yang berkarya pada sebuah program studi yang pohon
keilmuannya berbeda namun dalam satu rumpun yang sama, tetap dapat naik jenjang
jabatan, sepanjang dapat menunjukkan keterkaitan dalam pengembangan keilmuan
program studi tersebut yang ditunjukkan oleh publikasi karya ilmiah dalam jurnal
terakreditasi atau terindeks.
Ilmu-ilmu di dunia ini sudah amat berkembang. Bila diibaratkan sebagai pohon, maka
pohon ilmu ini sudah mempunyai banyak cabang dan ranting, dan setiap kali tumbuh
tunas keilmuan yang baru dari pohon yang sama. Dengan berkembangnya kepandaian
manusia maka batang pohon yang lain dapat dicangkokkan pada batang pohon yang
lain dan menghasilkan satu cabang yang akhirnya menjadi batang pohon lain yang agak
berbeda dengan induknya. Demikianlah perkembangan pohon ilmu pengetahuan. Yang
terjadi pada masa sekarang banyak sekali perkawinan ilmu yang tidak serumpun. Ilmu
tentang perubahan iklim merupakan perpaduan dari beberapa jenis bidang ilmu yang tidak
serumpun. Demikian pula bidang ilmu baru Neuropsikologi yang merupakan perpaduan
antara ilmu Neurologi dari rumpun ilmu alam dan Psikologi dari rumpun ilmu sosial.
Begitu pula dengan bidang ilmu Bioetika, yang merupakan perpaduan dari rumpun ilmu
alam (kedokteran dan teknik), rumpun ilmu sosial (psikologi), rumpun ilmu agama, dan
rumpun ilmu humaniora (hukum dan filsafat). Bila surat edaran Dirjen yang tersebut di
atas masih memungkinkan bagi seorang dosen naik jabatan ke Guru Besar dengan latar
belakang pendidikan S1 dan S2 sama tetapi dengan S3 yang berbeda namun masih
serumpun ilmu, maka dengan adanya perkembangan keilmuan baru yang lintas rumpun
ilmu, maka surat edaran tersebut menjadi kurang cocok lagi. Untuk perkembangan
program studi dan keperluan kenaikan jabatan Guru Besar di masa depan diperlukan
kebijakan baru yang memayunginya.
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Dua kenyataan di atas menunjukkan bahwa bangsa Indonesia di masa lalu adalah
suatu bangsa yang bisa bersatu bila menghadapi satu ancaman atau common enemy
yang mengancam kemandirian dan eksistensi suatu bangsa. Konklusi lain yang dapat
diambil bahwa di masa lalu bangsa Indonesia mempunyai perasaan kebersamaan,
kekuatan pikir dan keinginan bersama untuk menjadi bangsa yang besar serta dihormati
oleh bangsa lain. Dalam olah rasa dan estetika, bangsa Indonesia juga mempunyai
beragam budaya, seni serta nilai-nilai lokal yang kesemuanya membentuk Bhinneka
Tunggal Ika. Manusia Indonesia sudah terbukti dapat menyandingkan antara ilmu-
ilmu fisik dan ilmu-ilmu yang mengembangkan budi pekerti, nilai-nilai ketimuran secara
bersama dalam keharmonisan.
21
22
penemuannya. Dampak negatif yang terjadi diantaranya adalah banjir informasi yang
bermuatan reklame produk barang dan jasa. Bagi orang-orang yang tidak mampu
memilah dan memilih dengan tepat lalu suka membeli produk yang sesungguhnya tidak
diperlukan namun sekedar diinginkan. Banyak orang yang kehidupannya menjadi boros,
konsumerisme merambah berbagai kalangan dari kota sampai ke desa-desa. Di masa lima
tahun terakhir ini beberapa masalah lain telah berkembang dan sangat mencengangkan.
Permasalahan utama adalah ideologi. Sejak berdirinya negara Indonesia, para founding
fathers kita sudah mencanangkan bahwa dasar negara kita adalah Pancasila, bukan yang
lain. Indonesia juga menganut Bhinneka Tunggal Ika, yang berarti sejak hari pertama kita
merdeka sudah disadari bahwa keberagaman adalah khitah bangsa Indonesia. Khitah
yang sudah diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa harus dijaga sampai akhir zaman.
Pendangkalan yang terjadi pada pemahaman akan arti Pancasila, kurangnya usaha
untuk menjaga dan menghidupkan, memakai Pancasila sebagai landasan kehidupan
bangsa, mungkin hal tersebut yang membuat sekelompok manusia Indonesia kesulitan
untuk menerima perbedaan dalam hal gender, suku, agama, golongan, dan sebagainya.
Bila diamati, sangat terang betapa masyarakat Indonesia bersikukuh akan hal yang
diyakininya dan kurang arif dalam menerima perbedaan yang ada. Banyak manusia
Indonesia menjadi bersifat mekanistik yang kaku, kurang dialektis. Manusia Indonesia
seolah mengalami sebuah pencucian otak yang menghilangkan sifat-sifat alami mereka.
Sifat-sifat alami seperti adaptif, memandang jauh ke depan dan mempertimbangkan
lingkungan sekitar merupakan sifat-sifat dari insan kreatif dan visioner yang secara
perlahan mulai berkurang. Manusia Indonesia, termasuk insan di perguruan tinggi, juga
telah tergelincir memasuki kumparan mekanistik ini. Kurang arifnya sebagian masyarakat
kita dalam hal melakukan dialog antargolongan telah menimbulkan radikalisme yang
menandakan pendidikan agama pada sebagian orang diterima sebatas kognitif yang
dangkal, kurang disertai dengan analisis-sintesis berdasar kenyataan di Indonesia.
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
pendidikan yang diukur dari kemampuan membaca, matematika, dan sains di antara
remaja-remaja kita dibandingkan dengan remaja seumuran di negara-negara lain.
Apabila hal tersebut terus berlanjut maka bangsa Indonesia akan tidak siap menghadapi
kompetisi di lingkungan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dan global.
Banyak kemajuan yang telah dicapai oleh bangsa Indonesia di bidang politik dan
hukum. Pemilihan kepala daerah yang langsung, kesadaran untuk membayar pajak,
melaporkan harta kekayaan bagi pejabat adalah beberapa contoh perkembangan
tersebut. Namun, masih banyak partai politik yang kurang berpikir nation first, saling
serang, dan lunturnya etika berorganisasi. Kemunduran ini banyak terpampang di televisi
yang dapat ditonton oleh masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke, menjadi
contoh perilaku buruk yang mudah ditiru oleh mereka yang tidak mempunyai kemampuan
untuk menggunakan logikanya untuk menganalisis apa yang terjadi. Demikian pula
dengan kasus korupsi yang belum berhenti hingga kini.
Di level dunia, banyak permasalahan serupa yang melanda banyak negara, terutama
negara berkembang yang permasalahannya mirip dengan yang dihadapi Indonesia.
Pertanyaannya adalah dimana peran Indonesia? Dimana peran perguruan tinggi?
Apakah generasi muda kita paham permasalahan Indonesia dan dunia? Apakah mereka
bisa membaca koran dan menganalisis apa yang dibacanya?
Apabila kita menilik hakikat dari pembelajaran di perguruan tinggi, ada baiknya
pula kita melihat apa yang telah terjadi di perguruan tinggi dunia baik yang masih ada
maupun yang sudah punah di negara-negara Timur maupun Barat. Marilah kita mulai
dengan perguruan tinggi kuno. Universitas Nalanda di India adalah universitas tertua di
dunia yang beraktivitas dari tahun 500-1300 M. Banyak mahasiswa dari mancanegara
menimba ilmu di sana, antara lain dari Cina, Korea, Jepang, Tibet, Indonesia, dan Persia.
Kampusnya menyediakan tempat ibadah, tempat meditasi, kelas, dan perpustakaan.
Salah satu bangunannya adalah hadiah dari Kerajaan Sriwijaya Indonesia. Mata kuliah
diambil dari tradisi Buddhis dan Hindu, sakral dan sekular, asing dan lokal, diantaranya
23
24
adalah sains, astronomi, kedokteran, dan logika yang diaplikasikan dalam metafisika,
filosofi, yoga, dan Weda. Setiap mahasiswa digembleng dengan perhatian yang cukup
dari dosen atau guru. Universitas Al Nizamiyya di Baghdad berdiri pada tahun 1065
M. Mula-mula kurikulumnya berfokus pada agama, hukum Islam, sastra Arab, dan
aritmatika tetapi kemudian berkembang dengan sejarah, matematika, ilmu fisika, dan
musik. Ada hubungan yang intens antara mahasiswa dan dosen yang menjadi jalan
adanya penggemblengan berdasarkan dialog. Universitas Al Azhar, Mesir, berdiri pada
tahun 970 M oleh Fatimids sebagai Pusat Studi Islam. Mata ajaran yang diberikan adalah
kajian Al Qur’an, hukum Islam, bersama dengan logika, tata bahasa, retorika, dan ilmu
perbintangan. Universitas Bologna di Italia dipandang sebagai perguruan tinggi tertua
di Barat yang masih beroperasi hingga kini. Di perguruan tinggi ini pada awal berdirinya
diajarkan seni, teologi, ilmu hukum, dan kedokteran. Kesimpulan yang dapat diambil dari
perguruan tinggi kuno adalah mata ajaran yang banyak diajarkan adalah Ilmu Agama,
Seni, Logika, Hukum, Kedokteran, Fisika, Matematika, dan Bahasa (tata bahasa &
retorika). Hubungan antara dosen dan mahasiswa yang cukup intens memungkinkan
terjadinya dialog, pemberian perhatian dan empati yang cukup dari dosen kepada
mahasiswanya. Perguruan tinggi menempatkan manusia pada posisi luhur, memelihara
harmonisasi hubungan melalui perpaduan dari pelbagai sisi keilmuan.
Selanjutnya, di perguruan tinggi modern saat ini (India, Amerika Selatan, dan
Amerika Serikat) permasalahan utama yang dihadapi antara lain adalah kualitas
pengajaran rendah, pendanaan bermasalah, metode mengajar masih traditional, fasilitas
dan infrastruktur tidak memadai, mobilitas sosial, meningkatnya heterogenitas dan
privatisasi, adanya kesenjangan antara kemajuan sains dan penelitian, ekualitas dan
dana, kebutuhan meningkatkan jumlah remaja dan lansia yg mempunyai keterampilan
kerja termasuk keteknikan, vokasional, sesuai pasar kerja, lapangan kerja yang kurang
memadai dan entrepreneurship, adanya kesenjangan gender dan orang dengan
kebutuhan khusus, masyarakat indegenous. Sebuah ulasan yang mendalam datang dari
Presiden Universitas Harvard.
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
arsitektur. Rabindranath Lagore, seabad lalu telah mengingatkan kita untuk memberikan
perhatian dengan cara memberi mahasiswa informasi intelektual, fiskal dan kehidupan
spiritual. Kita akan menjadi kuat dengan pengetahuan, namun mencapai kesempurnaan
dengan simpati. Baik untuk ilmu-ilmu Humaniora maupun Sains, amat fundamental
untuk mempunyai capacity for interpretation – the ability to combine intuition and reason
to make sense of the world around us. Untuk paham tidak hanya dengan mengetahui
ukuran dari sesuatu akan tetapi harus paham maknanya. Kapasitas ini terdapat pada
inovasi (pembelajaran). Pembelajaran adalah hal yang dikerjakan oleh perguruan
tinggi. Konklusi dari penyelenggaraan perguruan tinggi modern nampaknya tidak terlalu
berbeda, yaitu pentingnya mahasiswa menjadi tidak hanya pintar berpikir tetapi juga
terasah kalbunya, untuk mengetahui rahasia Tuhan melalui ilmu-ilmu yang dipelajarinya,
dan bahwa yang terpenting bukan ukuran banyaknya ilmu yang didapat melainkan
kebijaksanaan manusia, si empunya ilmu itu.
Sejak abad pertengahan di Eropa, para pakar di perguruan tinggi berpikir tentang
cara membebaskan masyarakat dari kebodohan dan kemiskinan. Di zaman Yunani dan
Romawi, mahasiswa belajar Liberal Arts dengan fokus pada tata bahasa (grammar),
retorika, dan logika. Hal tersebut bertujuan agar masyarakat dapat menjadi warga negara
yang baik, sehingga dapat berkontribusi maksimal bagi kerajaan (negara). Orang yang
hanya mempelajari ilmu tertentu dianggap sebagai “budak” dalam kehidupan. Misalnya,
orang yang hanya mengetahui tentang keteknikan dianggap kurang bermanfaat, tetapi
tingkatnya akan lebih luhur apabila yang bersangkutan juga mempelajari seni atau filsafat.
Selama zaman pertengahan, subjek ditambah dengan ilmu aritmetika, geometri, musik,
dan astronomi. Di zaman modern liberal art education bertujuan membentuk manusia
yang “lengkap” sehingga dalam pendidikan tinggi subjek yang ditawarkan menjadi
perpaduan antara beberapa keilmuan seperti Seni, Humaniora, ilmu Sosial, Sains dan
Matematika. Tujuan utamanya untuk:
• memperluas cakrawala pembelajar
• kesempatan berdialog dengan individu dari ilmu lain
• kesempatan memperkaya kajian untuk pembuatan keputusan yang komprehensif
• memperkaya dan menajamkan kemampuan analisis dan sintesisnya.
Di zaman sekarang banyak perguruan tinggi dunia yang memakai kembali pemikiran
Liberal Art Education yang kemudian digantikan namanya sebagai General Education. Di
dalam general education kurikulum dan lingkungan luar perguruan tinggi bekerja sama
untuk membuat koherensi pengalaman mahasiswa. General education juga menawarkan
etos dan tradisi hubungan yang intens antara mahasiswa dengan mahasiswa dan
mahasiswa dengan dosen-dosennya. Hal tersebut mirip dengan perguruan tinggi
kuno (misal: Nalanda) yang tujuan utama pendidikannya adalah memartabatkan
25
26
manusia dengan kombinasi ilmu yang dimilikinya. General education tidak memberikan
kesempatan seseorang menjadi radikal, kasar, bengis dan sifat buruk lainnya untuk
tumbuh, karena kurikulum general education menawarkan perpaduan antara ilmu-ilmu
eksakta dengan ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Mahasiswa diberikan kesempatan untuk
berdialog dengan mahasiwa yang lain dari latar ilmu yang lain. Misalnya, mahasiswa ilmu
pertanian yang membicarakan kasus tentang hama tanaman, akan diberikan persepsi
lain oleh kawan satu kelompok yang berasal dari ilmu filsafat, sosial, kesehatan, dan
sebagainya. Mahasiswa yang membedah kasus keagamaan dapat diberikan persepsi
lain dalam diskusi yang akan membuka cakrawalanya, dan mendapat pandangan lain
yang belum pernah terpikirkan olehnya. Karakter berpikir mahasiswa dan dosen menjadi
fleksibel dan tidak kaku. Di USA, sejak kejadian 911 dan kejadian-kejadian lain yang
berkaitan dengan dunia Arab, kampus mulai memberikan kesempatan lebih besar bagi
mahasiswa dan dosen untuk mempelajari agama dan budaya tanah Arab, termasuk
tentang perjalanan haji. Selain itu, mereka juga menawarkan kuliah-kuliah tentang seni,
budaya, dan filsafat yang dapat diambil oleh mahasiswa dari luar keilmuan tersebut.
Dalam UU Nomor 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi terdapat klausul bahwa
pada pendidikan jenjang S1, mahasiswa harus diberikan mata kuliah wajib umum
sebanyak 8 sks, antara lain bahasa Indonesia, bahasa Inggris, Agama, dan Pancasila.
Penyelenggaraan general education dapat merupakan reinterpretasi atau pemikiran
ulang, atau bentuk baru dari mata kuliah wajib umum yang telah ada.
Buku ini bermaksud menyajikan inspirasi bagi para dosen agar mata kuliah yang
diampu dapat diberi tambahan muatan wawasan komprehensif dan pembangunan
kepribadian utuh, pertumbuhan benih karakter mulia yang ada dalam diri setiap
mahasiswa.
Cerita di bawah ini memberikan ilustrasi pendidikan karakter secara tidak langsung.
Pagi harinya, kami bertiga mengobrol santai di teras depan. Melihat halaman depan
yang banyak ditumbuhi pohon buah-buahan, mengingatkan kami kepada Bu Laksmi,
Istri Alm Prof. Mirza. Beliau adalah sosok ibu yang sangat suka bercocok tanam. Sejak
kami tinggal di rumah ini 15 tahun yang lalu, kami selalu membantu memanen buah-
buahan yang ditanam Bu Laksmi. Di depan rumah kami, terdapat pohon mangga, pohon
kelengkeng, dan pohon rambutan. Di saat musim panen tiba, kami selalu memetik buah-
buahan tersebut dan dimakan bersama-sama. Selama rumah ini tidak ditempati oleh Bu
Laksmi dan Alm Prof. Mirza, kami, Bu Inah dan Pak Rahmat lah yang merawat tanaman-
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
“Sebenarnya saya juga berpikiran demikian.” Abdul menjawab ajakan Jalal, dan kemudian
kami bertiga langsung menuju kebun belakang.
Setelah kami sarapan bersama Pak Rahmat dan Bu Inah, kami bertiga pergi
melihat-lihat lingkungan sekitar rumah. Kami pergi ke bukit dekat kampus berjalan kaki,
sekalian berolahraga. Kami melewati jalan yang biasa kami lewati ketika kami berangkat
ke kampus. Jalanan ini banyak sekali berubah, banyak sekali gedung dan rumah mewah
dibangun di dekat kampus kami. Hari ini adalah hari Sabtu, jadi kegiatan perkuliahan di
kampus kami sedang libur. Kami juga mampir ke fakultas kami, Fakultas Teknik.
Ada satu memori yang langsung melintas dalam ingatan begitu masuk lingkungan
Fakultas Teknik. Memori itu adalah memori pasca kelulusan. Kelulusan atau wisuda
adalah hal yang tidak bisa dilupakan oleh hampir semua lulusan universitas karena
berkaitan dengan perjuangan semasa kuliah. Namun bagi saya, ada satu memori yang
tak kalah membekas di ingantan selain wisuda, yaitu memori mengenai transkrip nilai
sarjana yang telah saya terima sewaktu wisuda. Ketika saya menerima traskrip nilai,
saya merasa sedikit aneh. Dalam transkrip tersebut, IPK saya sedikit berubah dengan
IPK yang terakhir kali saya baca di berkas kelulusan ujian Skripsi saya.
Seusai upacara wisuda, sesampainya di rumah, saya buka kembali transkrip nilai
saya. Kemudian saya hitung manual semua nilai saya. Betapa terkejutnya saya, ternyata
IPK yang tertera dalam transkrip nilai saya lebih! Yang benar adalah yang saya terima
seusai ujian skripsi dan hitungan manual saya. IPK saya yang seharusnya adalah 3.25.
Namun, yang tertera pada transkrip nilai saya adalah 3.45. Disitu saya merasa sangat
diuntungkan. Namun, terjadi perdebatan dalam batin saya. Haruskah saya pergi ke
bagian akademik untuk membetulkan IPK yang tertera pada transkrip saya? Kemudian
saya berpikir, ah untuk apa? Kan ini sangat menguntungkan bagi saya.
Ketika malam tiba, saya tak dapat memejamkan mata. Terjadi perdebatan dalam
diri saya. Kepala saya rasanya penuh dengan percakapan antara pikiran dan hati nurani
saya. Sama sekali saya tak dapat memejamkan mata. Abdul sepertinya tahu bahwa
saya sedang gelisah. Malam itu dia menanyai saya,
27
28
“Ada apa? Dari tadi saya merasa bahwa kamu sedang tidak bisa tidur. Harusnya kamu
sudah lega dan tidurmu nyenyak, tadi adalah hari kelulusanmu, kamu sudah lega
tentunya.”
“Justru itu Dul, Aku sedang bingung. Terjadi perang dalam pikiranku saat ini.”
“Begini, Dul, saya merasa bahwa ada yang salah dengan transkrip nilai yang saya terima
tadi.”
“IPK yang tertulis di transkrip nilai berbeda dengan IPK terakhir yang saya terima
ketika saya ujian Skripsi. Dalam transkrip nilai IPK saya 3.45. Ketika saya hitung IPK
saya secara manual sesuai dengan peraturan akademik, IPK saya seharusnya 3.25.
Yang benar adalah IPK yang diumumkan setelah sidang Skripsi. Saya merasa sangat
diuntungkan di sini. Tapi di sisi lain, hati nurani saya tidak dapat menerima ini. Ini seperti
saya akan menipu masa depan saya.”
“Dilema memang, Lim. Di satu sisi saat ini kamu merasa sangat diuntungkan, namun
di sisi lain, ini semacam kebohongan. Kamu harus mengurusnya, Lim. Memang benar
pada awalnya kamu merasa diuntungkan, namun suatu hari, apabila ini diketahui pihak
lain, maka akan hancur karirmu, Saudaraku! Hati nuranimu sudah benar, kau harus jujur
pada dirimu sendiri, dan pada orang lain, juga kau harus jujur pada masa depanmu.”
“Iya kamu benar, Dul, ini mungkin memang menguntungkanku sesaat ketika aku ingin
mencari pekerjaan, namun nantinya sikap saya yang tidak jujur ini akan merugikan atau
bahkan akan menghancurkan karir saya di kemudian hari. Kalau begitu besok pagi saya
akan ke bagian akademik untuk mengurus kesalahan penulisan IPK dalam transkrip
saya ini.”
***
Kita sebagai pembaca, terlebih sebagai generasi muda dapat mengambil sebuah
pelajaran dari cerita mengenai kesalahan penulisan IPK pada transkrip nilai Salim di atas,
bahwa kejujuran adalah salah satu karakter yang harus ada pada diri setiap generasi
muda. Kejujuran merupakan karakter yang sangat penting. Dari sikap yang tidak jujur
itulah lahir para koruptor. Sudah tidak dipungkiri lagi saat ini banyak kasus korupsi yang
terkuak.
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Ada 360 dari total 524 tersangka Kepala Daerah yang korupsi. Itu baru dari Kepala
Daerah saja. Kalau dihitung dengan wakilnya jumlahnya bisa berkali lipat. Pernyataan
tersebut, resmi disetujui Menteri Dalam Negeri dan bahkan Kementerian Hukum dan
Hak Asasi Manusia mencatat sekitar 70 persen kepala daerah di Indonesia terjerat kasus
korupsi (sumber: radarpolitik.com2016).
Apa arti dari kenyataan ini bagi kita? Apakah hal ini ada hubungannya dengan budaya
kita? Gagalkah pendidikan di Indonesia? Apa fungsi pendidikan tinggi?
Lebih lanjut, fungsi pendidikan tinggi berdasar UU No.12 Tahun 2012 pasal 4, yaitu
(1) mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat; (2) mengembangkan civitas akademika yang inovatif, responsif, kreatif,
terampil, berdaya saing dan kooperatif; dan (3) mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi dengan menerapkan nilai humaniora.
29
30
of pressure from without and temptation from within”,
Dari dua pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa ada kesenjangan yang jauh
antara yang diajarkan dengan yang terjadi di masyarakat. Sebaik apapun isi kurikulum
pendidikannya, pembelajaran akan sulit berhasil tanpa adanya hubungan antara harapan
dan kenyataan. Mengapa begitu besar jarak antara niat dan hasil? Apa yang dapat kita
lakukan untuk mempersempit atau menghilangkan jarak itu?
Ibarat orang yang diajar menganyam di sekolah, begitu keluar kelas, anyamannya
diurai kembali oleh masyarakat. Nilai-nilai yang diajarkan di sekolah bertentangan
dengan kenyataan yang ada di masyarakat. Sangat kurang teladan (role models) di
masyarakat dan contoh yang ada di sekitar sangat negatif. Pendidikan karakter bukan
merupakan tanggung jawab institusi pendidikan saja tetapi tanggung jawab kita semua.
Pendidikan karakter di perguruan tinggi dikomentari banyak orang sebagai “terlambat”.
Namun, sebaiknya harus meyakini bahwa pendidikan karakter di perguruan tingggi di
Indonesia sebagai “the last opportunity” dalam pendidikan formal. Cara terbaik harus
ditemukan, jalan baru pendidikan karakter harus dibuat. Terbatas gunanya membentuk
institusi yang bertugas memberi hukuman, misalnya KPK, tanpa ada perubahan nilai di
masyarakat, hukuman tidak akan memberikan efek jera selama karakter manusia dan
masyarakatnya buruk.
Penting diajarkan lebih dalam lagi kemampuan anak bangsa menahan godaan buruk
yang datang dari luar maupun dari dalam pribadi itu sendiri. Dibutuhkan motivasi internal
yang kuat yang didasari perilaku dan sifat baik. Penanaman motivasi berbuat baik harus
diinternalisasikan. Pendidikan karakter seharusnya mulai diberikan pada masa kecil, tapi
dengan kenyataan sekarang, pendidikan karakter harus diajarkan pada semua jenjang
pendidikan yang ada secara serentak.
Jadi, meskipun daftar nilai baik itu telah ada, selama pendidikan karakter hanya
diajarkan sebagai ilmu pengetahuan secara kognitif, peserta didik tidak dapat menghayati
dan merasakan apa yang dipelajari. Untuk pengembangan pendidikan budaya dan
karakter bangsa, pemerintah telah menetapkan daftar nilai-nilai karakter sebagai berikut:
• Religius
• Jujur
• Toleran
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
• Disiplin
• Kerja keras
• Kreatif
• Mandiri
• Demokratis
• Ingin tahu
• Bersemangat
• Nasionalis
• Menghargai
• Ramah
• Komunikatif
• Cinta damai
• Suka memberi
• Peduli lingkungan
• Bertanggung jawab
• Punya empati sosial
Masa muda kami sedikit berbeda dengan masa muda para mahasiswa pada
umumnya, terlebih dengan kehidupan mahasiswa pada saat ini. Mungkin karena itu,
kami terbiasa bekerja keras dari dulu. Kami benar-benar menerapkan sikap mandiri pada
diri kami. Tidak ada seorang pun dari kami yang meminta uang kepada orang tua untuk
kuliah. Kami sadar bahwa hidup kami belum sejahtera pada saat itu. Saya dan Abdul
harus lebih bersyukur karena orang tua kami masih hidup pada saat itu walaupun kondisi
ekonomi orang tua kami jauh dari sejahtera. Sedangkan Jalal, dia sudah tidak memiliki
orang tua, ditambah lagi dia harus menanggung hidup kedua adiknya yang masih kecil.
Kami bertiga bekerja paruh waktu untuk membayar kuliah kami dan mencukupi
kebutuhan sehari-hari kami. Kami bekerja seadanya. Abdul menjadi pramuniaga disebuah
toko kelontong milik keturunan Tionghoa. Pemilik toko kelontong tersebut sangat baik
terhadap Abdul. Setiap bulan Abdul menerima gaji. Namun, begitu dia menerima gaji,
separuh dari gajinya dia pergunakan untuk membeli beras kami bertiga ditambah dua
adik Jalal. Sang pemilik toko merasa iba kepada kami, dia sangat peduli kepada kami,
beliau sering kali memberi potongan harga beras atau menambahkan timbangan beras
31
32
kami. Tak jarang beliau memberikan kami minyak goreng atau satu kardus mie instan
kepada kami secara gratis.
“Kawan-kawan, hari ini kita mendapatkan rejeki dari Pak Anton. Beliau memberi kita mie
instan satu kardus”, teriak Abdul bahagia.
“Wah, Pak Anton itu begitu baik ya...” kata Jalal sembari menyunggingkan senyum
harunya.
“Hari ini saya belum menerima gaji, jadi belum bisa membayar iuran beras bulan ini.”
sambungnya lagi.
“Tidak apa-apa, Jalal, aku masih ada uang, kamu bisa membayarnya ketika kamu sudah
gajian.” Jawab Abdul.
Jalal bekerja menjadi guru les pribadi di sore atau malam hari. Dia memiliki
beberapa murid. Terkadang dia harus mengayuh sepeda tuanya menempuh perjalanan
8-10 kilometer untuk sampai di rumah muridnya. Namun, pekerjaan itu dia lakukan
dengan senang hati. Dia sangat senang dan sangat menikmati ketika dia mengajar. Dia
juga sangat kreatif dalam mengajar. Tak heran murid-muridnya sangat menyukainya.
Begitupun dengan orang tua mereka. Sering kali, ketika Jalal selesai mengajar les, ibu
dari murid-muridnya memberi makanan untuk Jalal bawa pulang.
Begitupun dengan saya, saya bekerja di sebuah bengkel. Saya bekerja tiga hari dalam
seminggu setelah saya selesai kuliah. Selain bekerja di bengkel, saya juga memberikan
les kepada anak-anak pemilik bengkel. Pak Hadi pemilik bengkel mengetahui bahwa
saya seorang mahasiswa dan meminta saya memberikan tambahan pelajaran untuk
anak-anaknya. Bengkel Pak Hadi tidak jauh dari kampus. Beliau menginginkan anaknya
masuk di universitas yang sama dengan kami. Pak Hadi dan Bu Hadi begitu ramah dan
penyayang. Mereka menganggap saya seperti keluarga mereka sendiri. Setiap bulan,
selain memberikan saya gaji, mereka juga sering memberikan saya pakaian dan juga
makanan. Kami bertiga sangat bersyukur karena kami dipertemukan dengan orangorang
yang baik. Dan juga karena Tuhan selalu memudahkan jalan kami ketika kami berjuang
menyelesaikan pendidikan kami di perguruan tinggi.
Apabila mengingat perjalanan dan perjuangan kami, kami merasa sedih. Karena
keadaan kami pada saat itu yang serba kekurangan, namun kami selalu bersyukur karena
kami merasa selalu ada jalan apabila kami memiliki tekad yang kuat untuk belajar. Kami
juga merasa lebih sedih lagi ketika melihat banyak orang yang lebih memutuskan untuk
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
bekerja setelah mereka lulus dari sekolah dan tidak melanjutkan ke perguruan tinggi.
Banyak dari mereka yang sebenarnya memiliki keadaan ekonomi yang cukup bahkan
berlebih apabila mereka pergunakan untuk belajar di perguruan tinggi, namun, karena
kurangnya semangat dan tekad untuk belajar, maka mereka memutuskan untuk bekerja
menjadi buruh.
Berdasarkan data grafik yang dikutip dari sumber Kompas, 9 Desember 2016
menerangkan bahwa dari tahun ke tahun jumlah angkatan kerja di Indonesia mengalami
peningkatan jumlah prosentase, jumlah angkatan kerja yang mendominasi yakni lulusan
SD. Pemimpin korup seperti yang disebut pada awal bagian ini adalah bagian dari sedikit
penduduk Indonesia yang berpendidikan tinggi. Tindakan korupsi tidak saja miskin
etika dan nilai tetapi sudah digolongkan sebagai tindakan kriminal yang telah terbukti
merugikan bangsa dan negara. Pemimpin seharusnya menjadi panutan, role model
dan teladan, tetapi pada kenyataannya tindakan korup yang dilakukan menjadi contoh
perilaku buruk bagi masyarakat luas. Oleh karena itu, diperlukan sebuah jalan baru,
jalan keluar untuk mengatasi hal tersebut.
Dalam mencari jalan keluar, kita harus segera dan secara serentak mencari terobosan
yang dapat secara cepat mengubah situasi buruk ini menjadi baik. Bersama sama kita
harus mencari jalan keluar. Dalam mencari jalan keluar tersebut perlu diperhatikan
beberapa hal.
• Diperlukan sikap bersama dari institusi pendidikan dan masyarakat dalam memperbaiki
keadaan yang ada; penanaman motivasi dan niat untuk berubah.
• Diperlukan contoh-contoh pribadi pemimpin yang dapat dijadikan sebagai role models.
• Diperlukan nilai-nilai baik yang dikembangkan bersama sehingga tidak ada kontradiksi
antara apa yang diajarkan dan apa yang terlihat di masyarakat. Diperlukan perangkat
dan sistem kerja yang tidak memungkinkan dilakukannya penyelewengan
• Diperlukan upaya untuk mengenal identitas dan jati diri bangsa yang baik.
• Diperlukan langkah mengenali budaya kita, bagaimana cara kita mendidik keluarga.
Apa yang penting bagi kita? Apa yang telah kita lakukan dalam usaha mencapai cita
cita bangsa?
• Diperlukan ilmu interdisiplin dan transdisiplin untuk membedah keadaan masyarakat
Indonesia saat ini.
• Diperlukan contoh contoh dari negara lain yang berhasil menumbuhkan pemerintah
dan masyarakat yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
• Diperlukan pemahaman mendalam mengenai Indonesia dalam konteks dunia.
“Terkadang saya merasa sedih dengan pemuda yang lebih memilih untuk bekerja menjadi
buruh pabrik setelah mereka lulus sekolah. Di zaman yang serba modern dan maju ini
33
34
masih banyak orang yang berpikiran demikian”
“Iya, Dul, padahal kita dulu berjuang keras agar bisa kuliah. Kita kuliah sambil bekerja,
makan sering kali sehari hanya satu kali. Namun, kita memiliki semangat yang tinggi
untuk belajar pada saat itu”
“Kemungkinan besar orang yang memilih memutuskan untuk bekerja menjadi buruh
pabrik tersebut berpikir bahwa, kuliah hanya bertujuan untuk mencari ijazah, yang ujung-
ujungnya pasti bekerja. Mereka lebih tergiur dengan gaji bulanan yang besar. Karena di
beberapa kota industri, UMR tinggi, sehingga mereka ingin lekas memiliki uang sendiri.
Mungkin juga kau benar, Jalal, mungkin juga semangat mereka kurang, mereka terlalu
pasrah dengan keadaan mereka tanpa berupaya semaksimal mungkin. Padahal apabila
mereka sudah bertekad untuk belajar, pasti ada jalan, seperti kita dahulu.”
“Maka apa yang dipikirkan oleh Alm. Prof. Mirza benar, kita harus menyisipkan pendidikan
karakter tidak hanya di rumah, menanamkan karakter baik harus dimulai kapan pun
dan dimana pun. Tidak terkecuali di sekolah dan di universitas, sebagai kesempatan
terakhir sebelum mahasiswa terjun dalam dunia kerja. Pendidikan merupakan hal yang
sangat fundamental dalam membangun karakter, seperti yang diungkapkan oleh David
Elkind & Freddy Sweet Ph.D., “Character Education is the deliberate effort to help people
understand, care about and act upon core ethical values. When we think about the kind
of character we want for our children, it is clear that we want them to be able to judge
what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from
without and temptation from within”
Indonesia merupakan bangsa yang kaya akan budaya. Banyaknya etnis membuat
bangsa ini memiliki budaya yang bermacam-macam. Perbedaan budaya antar-
masyarakat tersebut dapat menjadi kekuatan sekaligus kelemahan. Kita sebagai
masyarakat yang multikultural dituntut untuk dapat memahami budaya sendiri juga
budaya masyarakat atau kelompok lain agar banyaknya etnis dan budaya yang ada
dapat menjadi kekuatan bagi bangsa kita. Berikut adalah tahapan-tahapan karakter yang
harus dilakukan dalam pemahaman antarbudaya:
Tahapan Pribadi
• Pemahaman atas konsep diri
• Berpikir kritis
• Percaya diri dan mempunyai motivasi yang kuat
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
• Hidup dihayati melalui nilai-nilai (values) dan bukan materi, dapat menahan tekanan
dari luar maupun dari dalam.
Tahapan Antarpribadi
• Berempati dan bersimpati
• Fleksibel dan terampil sosial
• Terampil komunikasi
• Memiliki komitmen pada masyarakat dengan sikap kooperatif dan menghargai
Tahapan Antarbudaya
• Berteman dengan orang lain yang berbeda suku, ras, agama dan golongan
• Mengenal dan memperlajari budaya lain
• Bilingual language (pandai mengolah bahasa komunikasi yang dapat diterima di
kalangan internal kelompok sendiri dan bahasa yang dapat diterima oleh kalangan
di luar kelompok)
Tahapan Global
• Tertarik terhadap persoalan dunia.
• Tertarik memperjuangkan perdamaian dunia
• Memahami perjuangan kesejahteraan dan permasalahan yang dihadapi bangsa
dan dunia.
• Sadar akan pentingnya kontribusi pribadi maupun bangsa terhadap permasalahan
dunia
Sampai abad ke-21, dunia keilmuan pada pendidikan tinggi telah melewati tiga
generasi pendekatan terhadap ilmu pengetahuan. Generasi pertama, era klasik, adalah
generasi monodisiplin. Pada generasi ini ilmuwan puas dengan batang, cabang atau
ranting dari disiplin ilmu yang dikuasainya dan tidak begitu peduli terhadap batang,
cabang dan ranting disiplin ilmu di luar bidang yang dikuasainya. Generasi ini belum
atau bahkan tidak menyadari akan adanya kekurangan yang melekat pada pendekatan
monodisiplin seperti itu. Spesialisasi, bahkan overspecialization adalah ciri khasnya. Cara
pendekatan persoalan dan cara berpikir pada generasi ini mulai dikritisi oleh generasi
yang datang setelahnya.
Generasi kedua, era modern, pada dasarnya juga masih bercorak monodisiplin,
tetapi telah mulai ada kesadaran baru yang mengingatkan bahwa ada kekurangan yang
melekat pada pendekatan monodisiplin. Namun, secara tegas belum berani keluar dari
35
36
cara berpikir dengan paradigma lama tersebut. Generasi ketiga dengan tegas mengkritik
dan meninggalkan model pendekatan generasi pertama dan kedua yang dipraktikkan
secara kaku. Generasi ketiga adalah generasi pendekatan keilmuan yang bercorak inter,
multi dan transdisiplin. Orang mulai sadar bahwa permasalahan yang dihadapi oleh alam
semesta, seperti perubahan iklim (climate change), kerusakan lingkungan hidup dan
persoalan yang dihadapi oleh manusia, seperti fenomena lunturnya nilai-nilai, pendidikan
karakter, pendidikan nilai, penanggulangan korupsi, kolusi dan nepotisme, juga kasus-
kasus radikalisme, terorisme dan kekerasan yang mengatasnamakan agama yang
sedang merebak sekarang ini tidak bisa dan tidak mungkin dapat diselesaikan dengan
hanya menggunakan pendekatan monodisiplin. Persoalan-persoalan ini memerlukan
kerja sama antar berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Kerja sama antar berbagai disiplin
ilmu adalah masa depan ilmu pengetahuan era baru.
Tidak begitu salah jika salah satu catatan penting rapat kerja nasional pendidikan
Kemristekdikti menyebut bahwa alumni perguruan tinggi di Indonesia tidak atau kurang
mampu untuk berpikir tingkat tinggi (higher order of thinking), tidak mampu berpikir kritis,
tidak terbiasa berpikir kompleks, multidimensi dengan mempertimbangkan masukan
dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Umumnya, alumni perguruan tinggi sekarang
ini masih terbiasa berpikir tingkat rendah (lower order of thinking). Dapat diperkirakan
mengapa seperti itu, karena salah satu sebabnya adalah mahasiswa dan bahkan dosen
di perguruan tinggi di Indonesia hanya terbiasa berpikir dengan corak monodisiplin yang
ketat.
Pendidikan nilai dan karakter adalah sebuah disiplin ilmu pengetahuan yang lunak
(soft), yang bercorak inter, multi dan transdisiplin. Banyak keahlian yang diperlukan
oleh dosen dan guru untuk menanamkan nilai-nilai luhur dan karakter mulia dan
membiasakannya dalam kehidupan sehari-hari. Multipermit dan multieksit kritik yang
bergerak secara dinamis masuk dalam gugusan pendidikian nilai dan pendidikan karakter.
Pendidikan nilai tidak dapat diuraikan dengan menggunakan pendekatan monodisiplin.
Lebih-lebih yang bercorak memorizing, menghapal rumus-rumus kebaikan dan
kesalehan. Kesalehan pribadi dan lebih-lebih kesalehan sosial memerlukan pendekatan
yang inter, multi dan transdisiplin. Selain melibatkan otak, pendidikan karakter juga
melibatkan hati dan juga pembiasaan dan keteladanan dalam praktik hidup sehari-
hari yang terus berkesinambungan. Tidak ada jalan pintas dalam pendidikan nilai dan
pendidikan karakter. Inilah inti dari pendidikan kemanusiaan. Pendidikan tentang nilai
dan pendidikan karakter adalah pendidikan sepanjang hidup. Nilai dan karakter adalah
inti dari proses kehidupan, dan inti kemanusiaan itu sendiri.
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Buku ini adalah salah satu upaya untuk mendiskusikan kembali, menggugah,
membangkitkan, memperbaiki dan menemukan kembali nilai-nilai dasar, jati diri dan
kepribadian bangsa Indonesia dalam payung Bhinneka Tunggal Ika. Nilai-nilai dan
kepribadian bangsa Indonesia yang hampir luntur lantaran arus deras perkembangan
teknologi komunikasi dan badai globalisasi. Diperlukan upaya ekstra keras untuk
membangkitkan dan memuliakan sisi humanitas melalui pengembangan pendidikan
akhlak, character building, dengan kemasan pendidikan nilai dan karakter dengan
pendekatan yang bercorak inter, multi dan transdisiplin.
Kemasan baru pendidikan nilai dan karakter perlu disampaikan kepada mahasiswa
perguruan tinggi karena mereka adalah calon pemimpin bangsa dan pemimpin
masyarakat (community leaders) yang akan datang. Dosen dan mahasiswa perlu
secara tajam mengetahui dan memahami dengan baik permasalahan dan kesulitan
yang sedang dihadapi bangsa saat sekarang ini dan mengenal dari dekat bagaimana
cara memperbaikinya sehingga pada saatnya mereka tampil sebagai pemimpin dapat
mengambil langkah-langkah tepat, langkah-langkah perbaikan dan penyempurnaan dan
dapat menghindari tindakan pengulangan kesalahan yang tidak perlu.
Bagian ketiga buku ini akan memaparkan beberapa pengalaman personal anggota
majelis pendidikan sekitar terbentuknya karakter dan sikap hidup sebagai produk
perjalanan hidupnya. Kisah tersebut bukan kisah spektakuler. Namun, suatu kisah
dengan produk positif yang didapat dari lingkungan dan orang terhadap dirinya. Bagian
ketiga tersebut dimaksudkan untuk memberi inspirasi kepada generasi penerus dalam
bidang pendidikan umumnya dan pendidikan tinggi khususnya. Banyak buku autobiografi
ditulis untuk membeberkan pengalaman dan cerita sukses seseorang dalam menjalani
karir hidupnya. Umumnya biografi yang tersedia di toko buku dan perpustakaan hanya
menulis kisah dan perjalanan hidup orang yang dianggap sukses dalam bidang bisnis,
politik, mantan presiden atau menteri, sukses dalam dunia jurnalistik dan kewartawanan
atau tokoh agama. Buku-buku biografi ini memberi inspirasi kepada generasi muda yang
sedang mencari tokoh panutan dalam menempuh perjalanan karir hidupya di masa yang
akan datang.
Sayang sekali, masih jarang biografi ditulis untuk para tokoh pendidik, guru besar dan
dosen yang inspiratif, mantan dekan dan mantan rektor yang sukses dalam memimpin
perguruan tinggi, yang dianggap baik. Bagian ketiga buku ini adalah salah satu upaya
37
38
untuk menutupi kekurangan dan kelangkaan tersebut. Best practices dan lesson learnt
dari para tokoh pendidik yang telah pernah berkiprah dalam dunia pendidikan di tanah
air. Dengan harapan tulisan rintisan ini dapat memberi inspirasi tambahan untuk lebih
banyak mendokumentasikan prestasi pendidik anak bangsa, guru bangsa, supaya dapat
dibaca dan diakses oleh publik yang lebih luas.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tecermin dalam revolusi industri
1, 2, 3 dan 4 harus dibarengi dengan revolusi dalam pemikiran, bukan revolusi bidang
pemikiran sosial, kebudayaan dan keagamaan. Revolusi dalam teknologi informasi yang
memuncak dalam penggunaan media sosial secara massal, belum menjamin kehalusan
budi di ruang publik dan sikap mental sosial dan sikap keagamaan yang terpuji. Konten
media sosial merupakan sebuah cermin realitas sosial yang menggambarkan belum
paralelnya kemajuan dalam bidang sains dan teknologi dan kemajuan dalam dunia
kemanusiaan. Pembelajaran nilai-nilai mulia dan karakter dalam kehidupan tertinggal
di belakang. Kemajuan dalam ilmu-ilmu kemanusiaan hanya dapat diraih setelah
melalui tahapan pemikiran dan diskusi kritis (critical thought) yang kemudian diikuti
oleh penanaman nilai-nilai dan pembiasaannnya dalam kehidupan lewat keteladanan
pemimpin. Pendidikan nilai dan karakter adalah bagian tidak terpisahkan dalam upaya
pengembangan sains dan teknologi. Dirasakan oleh generasi sekarang bahwa ada gap
yang dalam antara keduanya.
Tidak bisa tidak, para tokoh dan pemikir pendidikan di tanah air harus terus
menerus berani untuk melakukan refleksi kritis terhadap hubungan antara 6 (enam)
rumpun ilmu pengetahuan dalam UU Perguruan Tinggi No. 12/2012, yaitu ilmu agama,
ilmu humaniora, ilmu sosial, ilmu alam, ilmu formal dan ilmu terapan. Hubungan antara
satu rumpun dan lainnya terkesan seolah-olah terputus. Hal tersebut mengakibatkan
terjadinya segmentasi dan kompartemen pandangan hidup para alumni perguruan tinggi
sehingga mengalami kesulitan ketika hendak melakukan komunikasi dan koordinasi
untuk pemecahan masalah yang sedang dihadapi. Baik secara langsung maupun tidak
langsung, hal tersebut berakibat pada pembentukan karakter. Pemerintahan dibawah
kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Yusuf Kalla (2014-2019) mencanangkan
gerakan revolusi mental dalam semua lini kehidupan bangsa Indonesia karena masih
rendahnya kualitas karakter bangsa dan lunturnya nilai-nilai keadaban di Indonesia.
Revolusi mental tersebut juga harus masuk ke dunia pendidikan umumnya dan dunia
pendidikan tinggi khususnya. Buku yang dihadirkan oleh Dewan Pendidikan Tinggi (DPT)
Kemristekdikti 2016-2017 sangat relevan dengan keprihatinan nasional yang tecermin
dalam hasil rapat kerja nasional pendidikan tinggi seperti disebut di atas. Ada tiga nilai
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
utama revolusi mental, yaitu integritas (jujur, dapat dipercaya, berkarakter, bertanggung
jawab dan konsisten), etos kerja (etos kerja, daya saing, optimis, inovatif dan produktif);
dan gotong royong. Baik integritas, etos kerja maupun gotong royong adalah nilai-nilai
fundamental dalam pendidikan nilai dan pendidikan karakter. Perguruan tinggi sebagai
tempat persemaian calon pemimpin bangsa yang akan datang tidak dapat menghindar
dari tugas mulia ini. Untuk itu, upaya yang berkesinambungan untuk menyemaikan nilai-
nilai luhur dan akhlak atau karakter mulia yang berbasis pada ilmu pengetahuan adalah
tugas penting yang diemban oleh perguruan tinggi dalam setiap jenjang dan jenisnya.
39
40
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
sebagai pembuka dialog lanjutan oleh para dosen di kampus-kampus untuk menemukan
hal-hal yang cocok setempat. Hal yang cocok tersebut akan menjadi suatu inovasi
kontekstual yang dilakukan para dosen pengampu mata kuliah dengan mahasiswa.
Buku ini menyampaikan keyakinan tentang open ended problem dan open ended
solution di masing-masing program studi. Dosen pada masing-masing mata kuliahnya,
pada masing-masing program studinya diharapkan dapat melanjutkan dialog dan praktik
baik yang disampaikan di buku ini dan menemukan hal lebih baik lagi bagi kepentingan
generasi penerus, masyarakat, bangsa dan negara.
Pagi memang selalu datang tepat waktu. Seperti biasa, sang fajar selalu menyapa
dengan gagahnya, mencoba membangunkan seorang anak laki-laki yang beranjak
dewasa, yang sedang ingin menemukan dirinya yang berada di luar sana. Mencoba
mencari apa yang sebenarnya ia inginkan. Sigepen, begitulah bapaknya menamainya.
Nama tersebut merupakan singkatan dari Si Generasi Penerus. Pagi itu, sama seperti
pagi-pagi yang lain ketika akhir pekan tiba, ia masih saja bersembunyi di balik selimut
merahnya.
Dingin yang datang karena hujan tadi malam membuat tubuh Sigepen sangat nyaman
tinggal di balik selimutnya. Tadi malam sebelum ia beranjak tidur, Mister Si Pembawa
Harapan (Misipha), yang tidak lain adalah bapaknya, mengajak Sigepen berdiskusi.
Misipha memaksa anaknya yang sudah mengantuk dan tinggal 5 watt untuk menuruti
keinginannya. Misipha tetap menarik Sigepen keluar dari kamarnya menuju ruang
keluarga dan memberikan satu bendel kertas yang berjudul Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025. Misipha kerap kali mengajak
putranya berdiskusi sampai larut malam. Sigepen yang baru memasuki dunia Perguruan
Tinggi, selalu disodori oleh Misipha dengan kertas-kertas yang kadang kala membuat
Misipha harus berpikir sangat keras, tetapi Sigepen beruntung mempunyai bapak
seperti Misipha. Beliau menjadikan Sigepen merasa “lebih keren” dibanding mahasiswa
baru pada umumnya. Malam itu Sigepen terlihat bingung membaca judul bacaan yang
diberikan oleh bapaknya.
41
42
judul: Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025.
Kemudian ia melanjutkan membaca bahan bacaan yang diberikan bapaknya itu. Di
dalamnya membahas banyak mengenai pembangunan Indonesia dalam bidang budaya,
disebutkan bahwa pembangunan di bidang budaya sudah mengalami kemajuan. Hal
tersebut ditandai dengan meningkatnya pemahaman terhadap keberagaman budaya,
pentingnya toleransi, sosialisasi penyelesaian masalah tanpa kekerasan, serta mulai
berkembangnya interaksi antarbudaya.
Namun demikian, di balik kemajuan tersebut, memudarnya jati diri bangsa tidak
dapat dihindarkan. Hal ini ditandai dengan menurunnya penghargaan pada nilai bahasa
dan budaya, nilai solidaritas sosial, kekeluargaan, dan rasa cinta tanah air. Hal tersebut
disebabkan antara lain karena belum optimalnya upaya pembentukan karakter bangsa,
kurangnya keteladanan para pemimpin, dan lemahnya budaya patuh pada hukum.
Penyebab lainnya adalah cepatnya penyerapan budaya global yang negatif, kurang
mampunya menyerap budaya global yang lebih sesuai dengan karakter bangsa, serta
ketidakmerataan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat.
“Bagaimana menurutmu, Nak?” Misipha sudah kembali dengan baju yang lebih santai,
yang akan beliau pergunakan untuk beristirahat.
“Sebenarnya saya belum selesai membaca seluruh dari laporan ini, Pak, namun kurang
lebih saya menangkap isinya. Ini mengenai mentalitas generasi muda pada saat ini. “
Kemudian bapaknya mulai berbicara mengenai isi laporan tersebut layaknya Beliau
memberikan kuliah kepada mahasiswanya.
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
“Saya setuju sekali dengan beberapa poin yang baru saja Bapak sebutkan. Selain
itu, Pak, menurut saya selain pemerintah, kita sebagai Agent Of Change juga harus
berusaha. Berusaha tidak hanya mengharapkan Ijazah yang hanya berupa selembar
kertas saja.
Maksud saya di sini, kita harus benar-benar mencari ilmu guna nantinya menjadi bekal
untuk membangun negeri kita ini”. Kata Sigepen mulai antusias.
“Tepat sekali!”
“Kemudian, Pak, penjelasan para anggota yang hadir dalam Rakernas tersebut
bagaimana?”
Kemudian putra seorang dosen di sebuah perguruan tinggi tersebut mulai membaca lagi,
butuh waktu lama baginya untuk mengerti bahasa dari laporan hasil Rakernas tersebut,
karena memang ia belum terbiasa dengan bahasa akademis para petinggi di perguruan
tinggi. Kurang lebih lanjutan dari laporan tersebut berisi:
Berdasarkan sumber pustaka yang relevan mengenai hasil studi pendidikan tinggi
di Indonesia tertulis tentang rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia yang
43
44
diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM yang rendah mengakibatkan
rendahnya produktivitas dan daya saing perekonomian nasional. Pendidikan tinggi perlu
menyadari tantangan yang dihadapi dalam pembangunan pendidikan, diantaranya
dengan menyediakan pelayanan pendidikan yang berkualitas untuk meningkatkan
jumlah penduduk yang menyelesaikan pendidikan dasar sampai ke jenjang pendidikan
yang lebih tinggi. Hal itu bertujuan agar kualitas sumber daya manusia yang dimiliki
oleh Indonesia dapat lebih meningkat dan nantinya diharapkan dapat meningkatkan
produktivitas dan daya saing perekonomian.
Kemandirian yang diperlukan harus bersifat proaktif, bukan reaktif atau defensif.
Kemandirian merupakan konsep yang dinamis karena kehidupan dan kondisi merupakan
keadaan yang senantiasa berubah, baik tatanannya, perimbangannya, maupun nilai-
nilai yang mendasari dan mempengaruhinya.
Dalam urusan ini diperlukan lulusan perguruan tinggi berkarakter terpuji yang mampu
menjadi pemimpin yang mampu bertindak proaktif dan antisipatif.
“Saya rasa, karakter masyarakat kita ini mudah terprovokasi, atau manajemen
pendidikan kita yang salah ya? Seharusnya, selain teori dan praktik perkuliahan yang
diajarkan, pendidikan karakter juga harus diberikan, supaya bangsa Indonesia itu
mempunyai karakter yang benar-benar positif”, kata Sigepen menjelaskan.
“Pak, kemarin dalam kelas mata kuliah kewirausahaan, kami dijelaskan bagaimana
menjadi bangsa yang mandiri. Sebenarnya, bangsa yang mandiri itu seperti apa? Karena
kemarin dalam perkuliahan tersebut, penjelasan dosen terbatas oleh waktu, jadi kami
hanya memperoleh pemahaman setengah saja”.
“Bangsa mandiri adalah bangsa yang mampu mewujudkan kehidupan sejajar dan
sederajat dengan bangsa lain yang telah maju dengan mengendalikan kemampuan
dan kekuatan bangsa itu sendiri. Oleh karena itu, untuk membangun kemandirian,
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
mutlak harus dibangun kemajuan ekonomi. Kemampuan untuk berdaya saing menjadi
kunci untuk mencapai kemajuan sekaligus kemandirian. Kemandirian suatu bangsa
tecermin antara lain pada ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas dan
mampu memenuhi tuntutan kebutuhan dan kemajuan pembangunannya; kemandirian
aparatur pemerintah dan aparatur penegak hukum dalam menjalankan tugasnya;
ketergantungan pembiayaan pembangunan yang bersumber dari dalam negeri yang
makin kokoh sehingga ketergantungan kepada sumber dari luar negeri menjadi kecil;
dan kemampuan memenuhi sendiri kebutuhan pokok. Apabila sumber daya alam tidak
lagi memungkinkan, kelemahan itu diimbangi dengan keunggulan lain sehingga tidak
membuat ketergantungan dan kerawanan serta mempunyai daya tahan tinggi terhadap
perkembangan dan gejolak ekonomi dunia.”
“Sebetulnya topik yang Bapak bicarakan menarik, saya merasa sangat tertarik. Tetapi
sepertinya saya sudah mulai mengantuk”, jawab Sigepen sopan.
“Ya sudah, bagaimana kalau kita lanjutkan besok? Ini juga memang sudah larut”, ajak
bapaknya.
Sigepen sangat beruntung sekali memiliki bapak dan ibu yang sangat menyayanginya
dan menyayangi adiknya, Masidi (konon nama Masidi merupakan kependekan dari
Komandan Generasi Mudi). Bapak dan ibunya tak hanya memberikan mereka kebutuhan
materi, namun juga kebutuhan non-materiil seperti pendidikan dalam keluarga,
kehangatan, kesabaran, dan juga cerita mengenai pengalaman hidup.
Bapak Sigepen adalah salah seorang dosen di sebuah perguruan tinggi negeri.
Ketika Sigepen masih duduk di bangku sekolah dasar dan tiba waktu libur sekolah, ia
dan adiknya sering diajak ke kampus, untuk sekedar melihat-lihat kehidupan kampus
dan lingkungan tempat beliau bekerja. Sungguh Sigepen dan Masidi memiliki orang tua
yang begitu baik dan perhatian. Karena tidak semua anak seberuntung Sigepen dan
Masidi. Tidak sedikit dari teman-teman Sigepen yang tidak terpenuhi kebutuhannya, baik
itu kebutuhan materinya, maupun kasih sayangnya.
***
Sore itu, seusai Sigepen bermain bola dan menghabiskan waktu dengan teman-
45
46
temannya, keluarga kecil itu berkumpul kembali. Akhir pekan memang tepat untuk
berkumpul bersama keluarga. Misipha, Sigepen, Masidi, dan Sang Ibu sebagai penyala
harapan mereka, berkumpul bersama, bercengkrama dan menikmati makan malam
mereka. Seusai makan malam, ayah dan anak itu berkumpul kembali di ruang keluarga.
Bapak membuka korannya mencari berita yang menarik. Kemudian, Sigepen mulai
membuka kembali percakapan mereka mengenai obrolan semalam yang belum tuntas
mereka bicarakan.
“Pak, mengenai bangsa yang mandiri kemarin, bisakah Bapak menjelaskannya lagi
secara lebih rinci?”
“Bisa. Tentu saja bisa. Secara lebih mendasar lagi, kemandirian sesungguhnya
mencerminkan sikap seseorang atau sebuah bangsa mengenai dirinya, masyarakatnya,
serta semangatnya dalam menghadapi tantangan-tantangan. Karena menyangkut sikap,
kemandirian pada dasarnya adalah masalah budaya dalam arti seluas-luasnya. Sikap
kemandirian harus dicerminkan dalam setiap aspek kehidupan, baik hukum, ekonomi,
politik, sosial budaya, maupun pertahanan keamanan.
Sikap (attitude) yang direfleksikan dengan karakter merupakan bingkai utuh untuk
aktualisasi pendidikan nilai (living values) yang juga untuk mengaktualisasi pengetahuan
(knowledge) dan keterampilan (skill) yang dimiliki peserta didik. Karena karakter yang
baik, yang sesuai dengan jati diri bangsa yang dibutuhkan untuk dapat membangun
negeri ini.
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
dan bernegara adalah pembangunan karakter bangsa. Ada beberapa alasan mendasar
yang melatari pentingnya pembangunan karakter bangsa, baik secara filosofis, ideologis,
normatif, historis maupun sosiokultural.
“Kemarin saya belajar tentang sejarah bangsa Indonesia. Ternyata bangsa Indonesia itu
bangsa yang tangguh, buktinya Belanda bisa dikalahkan hanya dengan bambu runcing
oleh pejuang kita, menurut sang komandan generasi mudi, itu juga ciri-ciri bangsa yang
mandiri, mempunyai khas-nya sendiri yang berbeda dengan bangsa lain. Ibu guru juga
menjelaskan bahwa demi kemerdekaan Indonesia, Bung Karno rela diasingkan, Jenderal
Soedirman dengan ditandu membantu merebut kembali Indonesia, serta para pahlawan
yang lain dibunuh dan dibuang di lubang buaya. Dari perjuangan para pahlawan kita,
Sang Komandan Generasi Mudi tahu, bahwa Indonesia mempunyai identitas yang
istimewa. Tapi, yang Sang Komandan Generasi Mudi benar-benar pikirkan, sebenarnya
apa itu pembangunan karakter bangsa, dan apa saja fungsi karakter bangsa untuk
bangsa kita?”.
“Wah anak-anak Bapak ini ternyata keren-keren ya, pertanyaannya sulit-sulit” kata
Misipha memuji anak keduanya, yang sebentar lagi akan menjadi mahasiswa juga
seperti kakaknya.
“Baiklah, akan Bapak jelaskan apa maksud dan fungsinya. Tolong dengarkan dengan
47
48
seksama.”
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Pembangunan karakter bangsa memiliki urgensi yang sangat luas dan bersifat
multidimensional. Bersifat sangat luas karena terkait dengan pengembangan multiaspek
potensi-potensi keunggulan bangsa dan bersifat multidimensional karena mencakup
dimensidimensi kebangsaan yang hingga saat ini sedang dalam proses berkembang
menjadi yang lebih baik. Dalam hal ini dapat juga disebutkan bahwa (1) karakter
merupakan hal sangat esensial dalam berbangsa dan bernegara, hilangnya karakter
akan menyebabkan hilangnya generasi penerus bangsa; (2) karakter berperan sebagai
kendali dan kekuatan sehingga bangsa ini tidak terombang-ambing; (3) karakter tidak
datang dengan sendirinya, tetapi harus dibangun dan dibentuk untuk menjadi bangsa
yang bermartabat.
49
50
karakter melalui pendidikan sebelum lulusan memasuki dunia kerja baik mengikuti suatu
institusi ataupun menciptakan lapangan pekerjaan sendiri.
Pada bagian kedua buku ini berpedoman pada pandangan jangka panjang yang
dikaitkan dengan skenario kondisi Indonesia dan pendidikan tinggi yang terkait pada
tahun 2045, namun bagian 1, 2 dan 3 yang dibuat oleh Majelis Pendidikan dibatasi pada
wawasan ke 2025 (bukan 2030). Apabila didalami dan direnungkan buku ini memberi
pesan bahwa generasi penerus pada tahun 2025 wajib mengevaluasi perjalanan tindakan
implementasi buku untuk tambahan materi proses pembelajaran, agar menemukan fakta
baru sebagai landasan penyesuaian terbaik sesuai kondisi (state) pada saat itu dan
berorientasi menuju perspektif 2045 dan perspektif lebih ke masa depan yang lebih jauh
lagi yang ditetapkan oleh generasi penerus tersebut.
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Pada bagian kedua dari buku ini memaparkan materi umum tentang potensi bangsa,
dilanjutkan dengan cara pengelolaan yang baik untuk tujuan bangsa, dan peran sentral
sumber daya manusia terdidik. Sumber Daya Manusia (SDM) terdidik dirancang untuk
menguasai hal-hal pada Taksonomi Bloom dengan pendidikan terintegrasi. Pendidikan
terintegrasi memerlukan sistem baru, payung hukum untuk mobilisasi sumber daya
(resources) secara baik. Diperlukan FEE (facilitating, empowering, enabling) yang
dilandasi oleh peraturan yang berlaku untuk menjamin legalitas dan legitimasi inovasi
yang dilakukan di perguruan tinggi. Inovasi mobilitas sumber daya akan bermuara pada
pembiayaan. Dalam konteks ini, pimpinan garis depan operasional pendidikan perlu
memiliki pemahaman pada operasional pendidikan tinggi yang diberi istilah BOPT.
Sejumlah wawasan tentang kata kunci orientasi analisis mengenai tantangan dan
menetapkan operasional respons adalah sebagai berikut:
• Komparatif dan daya saing: lokal, regional, nasional, dan global
• Kebijakan administratif, akademik dan tata kelola
• Pengembangan pengetahuan (knowledge), kemampuan (skills), dan sikap (attitude)
• Lingkungan dan atmosfer
• Minat (enthusiasm), komitmen (commitment) dan kejujuran (honesty)
Kata kunci di atas merupakan contoh, tetapi tidak membatasi. Perguruan Tinggi dapat
mengembangkan lebih jauh berdasar studi pustaka dan permasalahan yang ada pada
perguruan tinggi masing-masing, menetapkan kombinasi explicit knowledge dan tacit
knowledge.
51
52
22. Arti Penting Identitas Perguruan Tinggi dan Lulusannya
Diperlukian suatun refleksi atas pentingnya dua poin besar, yaitu identitas perguruan
tinggi dan lulusannya, serta karakter yang diharapkan. Tentang hal ini, juga tepat untuk
menggunakan format di atas, yaitu “trust‟ kepada perguruan tinggi untuk pendalaman
dengan tindakan menggabungkan studi pustaka dan pengalaman sendiri, menetapkan
kombinasi explicit knowledge dan tacit knowledge.
Tentang identitas perguruan tinggi dan lulusannya, acuan utamanya adalah visi,
misi dan rencana strategis perguruan tinggi. Adapun karakter yang diharapkan dapat
memilah dan memilih dari pustaka umum kemudian dicari kombinasi terbaik dengan
kesadaran dan inspirasi yang tercantum dalam buku I.
Pokok pikiran dalam bagian 1 buku ini adalah general education yang prinsipnya
dapat dipetik dari pengalaman sukses di negara lain dengan catatan khusus. Catatan
khusus tersebut adalah “Pengalaman sukses general education di negara lain “necessary
and important, but not sufficient‟. Kita ingin tambahan pendidikan terintegrasi yang makin
sukses berorientasi membangun karakter dan sikap mental nasionalisme, mendahulukan
kesejahteraan bangsa”. Perguruan tinggi di Indonesia menemukan tambahan spesifik
tentang pendidikan nilai dan karakter (living values and character building education),
pemahaman antarbudaya (inter dan cross cultural communication) dan Tridarma
perguruan tinggi yang terintegrasi melalui pendekatan inter, multi, dan transdisiplin dalam
upaya menyemaikan karakter mahasiswa agar menjadi lulusan yang berkualitas, dapat
menjadi pemimpin yang nantinya bisa berkontribusi dalam pembangunan nasional dan
memiliki pola pikir problem solver, bukan complainer.
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
rancangan tindakan (action design) yang realistis. Semua stakeholder diajak memahami
melalui sosialisasi bahwa perpindahan dari cara lama ke cara baru selalu ada rentang
waktu. Dan rentang waktu tersebut harus dikelola dengan rancangan masa transisi
yang tepat. Operasionalisasi jalan baru di perguruan tinggi memilih kerangka tindakan
yang bersifat open ended problem and solution. Otonomi perguruan tinggi merupakan
suatu keniscayaan yang harus dijadikan asas dengan dibimbing oleh kementerian dalam
kerangka Facilitating, Empowering dan Enabling (FEE).
Siang itu ketika Sigepen pulang kuliah, begitu ia membuka pintu rumahnya, bau
harum masakan Sang Penyala Harapan keluarganya menyambut hangat kedatangannya.
Tanpa meletakkan tasnya di kamar, ia bergegas menuju dapur menyapa ibunya dan
tentu ingin melihat apa yang sedang beliau masak.
53
54
“Masak apa Bu, kalau boleh tahu, bau harumnya membuatku lapar.”
“Sudah pulang, Nak? Ini Ibu masak sayur asem dan tempe goreng.”
“Wah, tempe goreng hangat dengan sayur asem dan nasi panas, paduan makanan yang
nikmat!”
“Tadi sebenarnya Ibu menginginkan tempe bungkus daun, karena rasa aromanya lebih
enak daripada tempe bungkus plastik, tapi sekarang tempe bungkus daun sudah jarang
ditemui.”
“Iya kah Bu? Tapi memang orang sekarang lebih suka menggunakan plastik sebagai
bungkus makanan, walaupun sebenarnya plastik itu adalah bahan yang berbahaya dan
tidak ramah lingkungan. Saya setuju sebenarnya dengan kebijakan untuk membayar
setiap plastik yang digunakan sebagai wadah di hampir sebagian besar swalayan di
Indonesia. Dengan begitu masyarakat lebih memilih untuk membawa tas belanja sendiri
dari rumah dan lebih sadar lingkungan.”
“Ibu juga termasuk kelompok masyarakat yang membawa sendiri kantong belanja dari
rumah”
Di manapun, Misipha dan Sang Penyala Harapan selalu berpesan pada anak-anaknya
untuk menjaga kebersihan dan tidak membuang sampah sembarangan. Jika mereka tak
menemukan tempat sampah, mereka akan menyimpan terlebih dahulu sampah mereka
dalam tas sampai mereka menemukan tempat sampah. Salah satu karakter inilah yang
dibutuhkan oleh masyarakat saat ini. Namun, untuk mengubah mental masyarakat butuh
waktu yang tidak singkat.
Dalam bagian ini diuraikan hal-hal umum yang berorientasi pada potensi bangsa
dan cita-cita tentang arah pengelolaannya menuju terbentuknya knowledge society yang
mampu membangun masyarakat makmur, aman, sejahtera dan adil. Potensi bangsa
dipandang dari ketersediaan sumber daya yang ada dan pembentukan knowledge
society dipercayai memerlukan lulusan perguruan tinggi menjadi sosok-sosok pemimpin
yang dapat diharapkan oleh masyarakat.
Secara universal setiap bangsa dapat menelaah potensi yang dimiliki melalui
diagram kepemilikan jenis-jenis sumber daya sebagai berikut.
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Berdasar pada pemahaman gambaran karakter sumber daya di atas, dosen wajib
mengerti tentang berbagai rumpun ilmu agar dapat memahamkan kepada mahasiswa
bahwa pengelolaan sumber daya secara optimal memerlukan ilmu pengetahuan,
keterampilan dan sikap mental serta etika yang dilandasi karakter terpuji. Pada pemikiran
ini, selanjutnya semua bidang ilmu dapat disampaikan dengan materi perkuliahan yang
dianggap paling sesuai dalam suatu kerangka pembelajaran terintegrasi yang mencakup
tiga hal, yaitu integrasi komponen Tridarma, integrasi penyelesaian interdisiplin dan
integrasi penyemaian tiga aspek IKS (Ilmu, Keterampilan dan Sikap) dengan orientasi
sikap yang mengarah pada pembentukan karakter
Negara telah menetapkan enam rumpun ilmu untuk kategorisasi kelompok ilmu-ilmu
yang dikembangkan dan diamalkan dalam rangka pencapaian masyarakat berkualitas
berkelanjutan (sustainable quality) yang perwujudan masyarakat tersebut tecermin pada
cita-cita bangsa yang ringkasannya diungkapkan sebagai Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945. Rumpun-rumpun ilmu tersebut adalah ilmu agama, ilmu humaniora, ilmu
sosial, ilmu alam, ilmu formal, dan ilmu terapan.
55
56
Wawasan tentang kebutuhan sinergitas antarkeahlian dari berbagai rumpun ilmu
sangat diperlukan untuk menyelesaikan persoalan kehidupan yang semakin lama semakin
kompleks. Sejalan dengan dinamika perkembangan zaman yang terkait pertumbuhan
ekonomi, baik nasional dan global, diperlukan pengembangan dan pengamalan ilmu
secara interdisiplin dan sinergis antar bidang ilmu yang relevan untuk mengatasi berbagai
permasalahan. Selain permasalahan ekonomi global, perlu disadari bahwa saat ini di
dunia terus berlangsung dua gelombang revolusi yang harus menjadi perhatian serius
perguruan tinggi, yaitu revolusi pemikiran dan kebudayaan, serta revolusi Industri.
Bangsa Indonesia harus berupaya keras mencari jalan demi mengejar ketertinggalan
tersebut dengan bangsa lain.
Salah satu cara yang dilakukan oleh keluarga Sigepen dalam menjalankan
revolusi pemikiran dalam kehidupan sehari-hari adalah dengan cara pergi ke kampus
menggunakan sepeda. Karena jarak rumah Sigepen dan kampus yang tidak terlalu jauh,
kurang lebih lima kilometer, ia lebih memilih menggunakan sepeda. Dalam benaknya
ia ingin memberi contoh baik kepada teman-temannya agar mereka sebagai generasi
penerus bangsa juga ikut serta dalam mengurangi polusi dan kemacetan, dan agar
mereka lebih cinta dengan lingkungan mereka. Walaupun teman-teman Sigepen tidak
serta-merta mencontoh langsung apa yang dilakukan oleh Sigepen, namun ia masih
tetap melakukan kegiatan tersebut. Ia yakin suatu saat teman-temannya akan tergugah
hatinya untuk tidak mengendarai kendaraan bermotor ketika berangkat ke kampus.
Dikelola optimal dan memerlukan Pendidikan Tinggi yang tepat bangsa Indonesia
merupakan bangsa yang sangat kaya. Kekayaan bangsa ini amatlah beragam, dari segi
kebudayaan dan bahasa daerah, sumber daya manusia yang melimpah, dan sumber
daya alam yang tak kalah melimpahnyanya. Kekayaan yang dimiliki oleh bangsa kita ini
merupakan nilai tambah yang belum tentu dimiliki oleh bangsa lain.
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
bahan baik yang berada di bawah permukaan bumi maupun di permukaan bumi. Dialog
antar bidang ilmu untuk pengelolaan nilai tambah secara optimal berdasar knowledge
society belum menjadi tradisi di perguruan inggi dalam rangka membekali generasi
penerus dengan knowledge, skill dan attitude yang diperlukan oleh bangsa Indonesia.
Wapres berpendapat bahwa Indonesia saat ini lebih cocok memaksimalkan usaha
pada pemakaian IT terlebih dahulu, sebelum ke robotik. Kita masih punya banyak tenaga
kerja berusia produktif yang harus diberi pekerjaan. Robotik lebih cocok bagi negara
yang mayoritas penduduknya berusia lanjut (aging country).
57
58
Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan mengungkapkan pentingnya
arti pembelajaran dan mahasiswa di perguruan tinggi, dengan ungkapan bahwa
membangun perguruan tinggi merupakan faktor signifikan dalam membangun Negeri.
Tiap perguruan tinggi baik negeri maupun swasta memiliki kekuatan masing-masing.
Pilihan masing - masing dalam berkontribusi menjawab tantangan bangsa yang kritis
tersebut. Indonesia menghadapi perkembangan tantangan baru (new challenges) yang
memerlukan identifikasi cerdas dan memerlukan tanggapan baru (new responses). Dirjen
selanjutnya menyatakan persetujuannya atas gagasan Rabindranath Tagore bahwa roh
pendidikan adalah untuk menjawab keperluan masyarakat.
Tahun 1784 terkenal sebagai tonggak sejarah dimulainya sistem baru dengan
kehadiran sebuah mesin yang disebut mechanical weaving loom. Pada saat itu cara
kerja menenun yang semula dengan tangan (manual), diganti dengan mesin. Tahun 1784
merupakan akhir abad 18 yang digunakan sebagai tanda dimulainya revolusi industri
pertama, suatu babak baru yang menjadi bagian awal dihasilkannya produkproduk baru
dengan bantuan mesin-mesin yang makin canggih. Pekerjaan manual berkurang dan
sebagian manusia beralih profesi kerja memasuki lapangan kerja jenis baru.
Revolusi industri berlanjut ke tonggak berikutnya yang disebut sebagai awal revolusi
industri tahap kedua. Awal revolusi industri tahap kedua ditandai dengan adanya
assembly line, sistem ban berjalan yang dioperasikan oleh Henry Ford pada tahun 1870.
Masa setelah tahun 1870 tersebut dimulailah produksi massal dengan pemanfaatan
energi listrik. Selanjutnya, pada tahun 1969 tercipta programmable logic dan ini menandai
revolusi industri ketiga. Dengan aplikasi elektronik dan teknologi informasi, melalui
program tersebut, proses produksi menjadi semakin canggih dan otomatis.
Saat ini telah berlangsung revolusi industri keempat yang dikenal dengan ciri CPPS
yaitu CyberPhysical Production System. Secara garis besar sistem baru ini merupakan
sinergi antara dunia nyata dan dunia maya (merging of real and virtual world). Revolusi
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
industri ke-4 ini memerlukan tanggapan tepat. Pendidikan tinggi harus memahami hal
ini dan memetakan kebutuhan bangsa untuk landasan membuat road-map pendidikan
berkaitan pembagian tugas kerja produktif di Indonesia. Akan selalu ada masyarakat
yang bekerja manual, bekerja dengan hasil revolusi industri yang pertama, kedua, ketiga,
dan keempat. Permasalahan yang muncul dari fenomena sosial tersebut adalah siapa
yang mengerjakan apa serta seperti apa kualitas tenaga kerja di masing-masing sektor.
Alec Ross (2016) menulis buku tentang industri di masa depan. Tulisan Alec Ross
pantas untuk menjadi bahan utama refleksi pemikiran pada berbagai kelompok diskusi
(focus group discussion) di perguruan tinggi dengan orientasi melihat kemungkinan-
kemungkinan partisipasi sumber daya manusia yang mengambil keahlian di bidang
komputer. Hal tersebut harus disampaikan kepada para mahasiswa sebagai calon
pemimpin bangsa. Komputer adalah komponen sangat penting pada sistem digital dan
telah dipahami fungsinya sebagai perangkat paling utama untuk menggerakkan ekonomi
dunia saat ini dan di masa depan, termasuk Indonesia. Telah nyata dirasakan bahwa
peran komputer sudah merasuk ke seluruh lapisan masyarakat.
30. Dampak Positif dan Negatif Revolusi Industri yang Mungkin Terjadi
Proses globalisasi yang lancar karena ketersediaan komputer mulai beberapa dekade
yang lalu dalam rentang waktu 30 tahun yaitu dari tahun 1982-2012 telah mengentaskan
ratusan juta penduduk di India dan China dari kemiskinan menjadi penduduk yang lebih
sejahtera. Dalam rentang waktu itu pengentasan kemiskinan di seluruh dunia mencapai
angka lebih dari satu milyar orang. Ekonomi China saat ini mencapai tingkat 25 kali
lebih besar dari 30 tahun lalu dan menjadi nomor dua terbesar di dunia setelah Amerika
Serikat.
Revolusi industri ke-4 saat ini dapat membawa kebaikan tetapi dapat juga membawa
keburukan. Alec Ross meyakini bahwa inovasi ke depan akan menghadirkan banyak hal
yang menjanjikan, namun juga dapat muncul hal-hal yang membahayakan kesejahteraan
ratusan juta orang secara serius. Gelombang pasang sistem globalisasi yang dipimpin
oleh aplikasi perangkat digital dan proses inovasi yang terjadi dengan cepat merupakan
tantangan bagi penduduk dunia golongan menengah. Tantangan itu selain membuka
harapan baru juga sekaligus merupakan ancaman yang akan mendorong banyak
golongan menengah ke jurang kemiskinan bentuk baru. Di dunia akan ada pemenang
dan akan ada pecundang (there will be both, winners and losers). Pendidikan tinggi di
Indonesia harus menghayati hal ini dan menyiapkan respons tepat dalam hal kulitas
lulusan. Parameter pokok lulusan tidak boleh terbatas pada kebiasaan yang lalu, namun
harus ada inovasi pendidikan karakter sebagai nilai tambah atas ranah attitude dengan
59
60
format sampai dengan tahun 2016 ini.
Ada dua kata kunci yang memerlukan perhatian serius yaitu globalisasi dan inovasi.
Dua kata kunci tersebut akan sangat berpengaruh terhadap negara negara, terhadap
masyarakat, perusahaan-perusahaan dan orang per orang. Berkaitan dengan sistem
digital, telah nyata bahwa sistem robot sebagai produk disiplin ilmu mekatronik terus
berkembang dan makin mengisi penyelesaian tugas-tugas di industri yang semula
ditangani oleh manusia. Ekonomi global akan mengalami revolusi yang lajunya dipercepat
oleh fungsi-fungsi kecerdasan tiruan, kecerdasan buatan (artificial intelligence) dan
fungsi mesin yang dapat belajar mirip manusia (learning machine) yang makin ketat
menyaingi fungsi-fungsi tenaga kerja manusia. Sistem robot tersebut pada saatnya juga
dapat mengganti sebagian besar fungsi-fungsi petani di daerah pertanian.
Keuntungan ekonomi dari sistem baru di masa depan, baik itu terkait robotik maupun
bio-teknologi, keduanya tidak lepas dari bantuan komputer digital. Cara pengelolaan
ekonomi baru itu akan menghasilkan keuntungan besar tetapi tidak dapat terdistribusi
dengan baik ke seluruh wilayah di dunia. Akan terjadi jurang pemisah di antara mereka
yang ada pada posisi pencipta dan pengguna cerdas sistem baru dengan mereka yang
berada pada posisi ketinggalan jauh di belakang kemajuan teknologi. Bagi kondisi
Indonesia dengan wilayah yang luas dan merupakan negara kepulauan maka logika
kemungkinan ketimpangan antar negara di dunia dapat terjadi kemiripan ketimpangan
di Indonesia bila perguruan tinggi tidak mampu menyemaikan pemimpin-pemimpin
berkualitas untuk kepentingan masa depan.
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
61
62
34. Ancaman Sekaligus Peluang
Saat ini kita berada pada bagian awal revolusi pemanfaatan teknologi yang secara
mendasar mengubah cara hidup, cara bekerja, cara berteman, cara membangun kerja
sama dan cara bersaing. Perubahan mendasar yang terjadi menyangkut semua dimensi
dan cakupan dengan kompleksitas baru yang lebih rumit dari masa revolusi industri
ke-1, ke-2, dan ke-3. Transformasi tentu terjadi di bidang politik kenegaraan, sektor
publik dan sektor privat, juga perkembangan sosial-ekonomi dan bidang pendidikan
harus menciptakan bentuk-bentuk baru yang paling cocok, menciptakan inovasi dalam
rangka adaptasi pada kondisi terintegrasi antara dunia nyata dan dunia maya (virtual).
Zaman baru saat ini adalah ancaman sekaligus peluang untuk pengambilan kesempatan
tambahan (opportunity gain), dengan keuntungan yang dapat dipilih orientasinya, untuk
individual dan untuk sosial. Pendidikan tinggi wajib menyiapkan lulusan yang memiliki
kearifan lengkap di dua sisi yaitu kearifan individual dan kearifan sosial.
Pada akhir abad sebelumnya sebenarnya telah ada pandangan tentang keadaan
abad 21 yang menghadirkan tantangan baru berupa solusi analisis data dan informasi
menggunakan kecerdasan kolektif. Saat ini proses implementasi optimalisasi kecerdasan
kolektif mulai dibantu dengan berbagai jenis robot tipe baru yang diciptakan manusia.
Kecerdasan kolektif yang diciptakan oleh bangsa-bangsa di dunia harus kontekstual
memperhatikan situasi dan kondisi setempat. Kondisi setempat tersebut meliputi
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Bangsa Indonesia harus kreatif dan inovatif dalam beradaptasi pada zaman baru
sebagai produk revolusi industri ke-4. Pada kenyataannya, produk revolusi industri ke-1
dan juga ke-2, masih banyak dalam kehidupan sehari-hari dan banyak di antara mereka
yang hidup dengan bahagia dan dapat digolongkan sebagai manusia sejahtera dengan
teknologi dari gelombang revolusi industri baik yang pertama maupun yang kedua.
Penanganan kondisi diversifikasi di lapangan di berbagai penjuru dan pelosok Indonesia,
keragaman pendidikan, dan berbagai macam variasi kemampuan adaptasi oleh rakyat
memerlukan kreativitas cara-cara penanganannya. Kreativitas itu harus membuahkan
berbagai inovasi yang dapat diterapkan untuk operasionalisasi pendidikan tinggi yang
berorientasi pada kemajuan bangsa.
Bagaimanakah kita belajar dari proses inovasi yang telah membentuk situasi dan
kondisi dunia saat ini?
Membicarakan inovasi tidak lepas dari kreativitas. Kreativitas ini harus dilatih
di perguruan tinggi. Kemristekdikti sudah punya program PKM (Pengembangan
Kreativitas Mahasiswa) yang diciptakan 15 tahun yang lalu. Kreativitas dan inovasi telah
menghasilkan temuan-temuan yang sangat mempengaruhi tatanan hidup manusia.
Temuantemuan besar yang menjadi tonggak sejarah dimulainya revolusi industri telah
kita tinjau sepintas. Kemakmuran suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh kualitas
temuantemuan yang bersumber dari inovasi sebagai kunci paling cocok untuk membuka
pintu masuk ke ruang kemakmuran. Inovasi adalah penguat daya saing dan merupakan
perangkat penciptaan cara-cara baru dalam menghasilkan produk barang maupun jasa
dengan sistem baru dan cara kerja baru.
Inovasi itu dapat besar sebagai tonggak sejarah revolusi industri, dapat menengah,
maupun kecil. Inovasi dapat dilakukan di bidang industri berkaitan dengan mesin dan
material, dapat dilakukan di bidang perdagangan, bidang tugas pemerintahan atau
dalam kehidupan sehari-hari. Inovasi dalam kehidupan sehari-hari antara lain makanan,
63
64
minuman, transportasi dan cara pembelajaran di perguruan tinggi untuk penyemaian
talenta karakter terpuji dan banyak hal lainnya. Kenyataan menunjukkan bahwa
inovasi yang sukses memajukan kesejahteraan dalam kehidupan sehari-hari umumnya
adalah inovasi-inovasi kecil. Inovasi-inovasi kecil di hampir semua lini pekerjaan akan
menghasilkan perubahan yang sangat besar.
Oleh karena itu, inovasi yang diperlukan untuk tindak lanjut tonggak sejarah revolusi
industri adalah inovasi-inovasi kecil yang bersifat massal di semua lini kerja yang dapat
dirancang dan dipimpin oleh lulusan perguruan tinggi. Banyak orang mampu menemukan
ide-ide kreatif inovatif kecil dan sangat bermanfaat. Lulusan perguruan tinggi bidang
apapun juga dapat dilatih berpikir kreatif agar mampu menemukan inovasi-inovasi.
Perlu diingatkan bahwa inovasi itu belum memberi manfaat apabila berhenti pada tahap
rencana. Inovasi akan bermanfaat bila mencapai tahap implementasi sukses.
Sangat banyak inovasi-inovasi kecil yang dapat dilakukan massal dalam kehidupan
sehari-hari dengan potensi manfaat dan bila dinilai dengan uang bernilai triliunan.
Tantangan paling sulit adalah memastikan bahwa gagasan dan rancangan inovasi itu
dapat terlaksana massal menjadi implementasi sukses. Hal tersebut juga berlaku bagi
inovasi pendidikan karakter di perguruan tinggi.
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
determinatif bahwa manajemen pendidikan jalan baru di perguruan tinggi dapat menjadi
bagian esensial untuk tugas-tugas penyelesaian masalah baik di masa sekarang maupun
di masa depan.
Kreativitas dan inovasi merupakan hal yang sulit dan tidak cocok jika dipelajari dari
buku maupun dari kuliah sistem ceramah. Kreativitas dan inovasi cocok dipelajari melalui
format-format pembelajaran dengan pelibatan solusi suatu persoalan dalam sebuah
team work. Selain dengan format pembelajaran tersebut, juga dapat dipelajari dengan
pembelajaran yang menumbuhkan pembelajaran inovasi dengan tambahan muatan
karakter yang sistemis pada metode pembelajaran terintegrasi.
Untuk dapat menjadi inovator tentu harus berlatih sampai menguasai seni inovasi.
Penguasaan seni inovasi memerlukan pengertian, latihan dengan sungguh-sungguh
secara terus menerus sampai menjadi inovator. Berkaitan dengan hal tersebut, berikut
ungkapan dari Ki Hajar Dewantara, “Ilmu iku kelakone kanthi laku. Laku iku pinangka
guru sejati”, yang bermakna “sangatlah penting menjalani praktik untuk mendapatkan
pengalaman terus menerus, pengalaman sebagai guru utama‟. UNESCO memberi
istilah “learning to know, to do and to be”.
Dalam penyelenggaraan pendidikan saat ini harus makin menghayati kualitas yang
diberi istilah kualitas berkelanjutan (sustainable quality). Pada saat sekarang ini, semua
perguruan tinggi berkualitas baik menggunakan sistem evaluasi yang didasarkan pada
outcomes, bukan input. Evaluasi berdasar outcomes adalah mengembangkan parameter
penilaian terhadap ketercapaian kemampuan lulusan yang dirancang untuk memenuhi
65
66
kebutuhan masyarakat dengan dilandasi karakter terpuji. Kebutuhan masyarakat
sangat beragam dan suatu program studi dapat memilih fokus solusi untuk kepentingan
masyarakat. Fokus tersebut ditetapkan dengan dasar kebutuhan masyarakat, sinyal
pasar dan visi pengembangan ilmu pengetahuan.
Suatu kerangka pikir yang cocok untuk menjadi orientasi inovasi pendidikan yaitu
keyakinan bahwa inovasi akan makin produktif, makin banyak jumlahnya bila dilakukan
melalui kerja sama. Semboyan yang sekarang diikuti secara universal karena telah
terbukti kebenarannya adalah tidak seorang pun yang dapat menyelesaikan urusan yang
sangat banyak sendirian. Tindakan ke depan meningkatkan kemitraan dan kolaborasi
harus dilakukan. Pada saat ini tentu harus mengikuti perkembangan pemanfaatan model-
model digital dan menggunakan peran teknologi informasi secara optimal.
Empat pilar perubahan yang dirujuk banyak institusi secara umum harus dipahami
dan ditambah dengan satu pilar spesifik untuk kepentingan bangsa sebagai pilar kelima
(ke-5).
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Sesuai dengan ideologi negara dan budaya bangsa Indonesia, maka implementasi
sistem pendidikan nasional dan sistem pelatihan kerja yang dilakukan di Indonesia di
setiap jenjang kualifikasi pada KKNI mencakup proses yang membangun karakter dan
kepribadian manusia Indonesia sebagai berikut:
• Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
• Memiliki moral, etika dan kepribadian yang baik dalam menyelesaikan tugas
• Berperan sebagai warga negara yang bangga dan cinta tanah air serta mendukung
perdamaian dunia
• Mampu bekerja sama dan memiliki kepekaan sosial dan kepedulian yang tinggi
terhadap masyarakat dan lingkungannya.
67
68
tinggi untuk memperkaya wawasan adalah ilmu agama (religion). Namun, ilmu agama
tersebut tidak dapat dipisahkan dari ilmu pengetahuan (science). Ilmu agama tidak selalu
dikaitkan antar-disiplin ilmu yang serumpun, seperti fikih, tafsir, tasawuf, dsb. Tetapi
juga dapat dikaitkan dengan ilmu antar-rumpun, seperti llmu-Ilmu alam, sosial, dan
humaniora. Ilmu agama juga tidak dapat dipisahkan dengan keilmuan lain, contohnya
biologi, khususnya mengenai DNA, sosiologi, dan antropologi. Seperti ungkapan “The
religion that is divorced from science today will leave no offspring tomorrow”, yang
bermakna “Agama yang terpisah dari ilmu pengetahuan saat ini tidak akan bertahan di
kemudian hari‟.
Selain, pembelajaran mengenai ilmu agama yang terintegrasi dengan disiplin ilmu
yang lain, pemahaman terhadap konteks global dan nasional juga harus telah dipastikan
dalam pendekatan pendidikan tinggi untuk menghasilkan SDM yang menguasai hal-
hal pada Taksonomi Bloom melalui pendidikan terintegrasi. Pendidikan terintegrasi
memerlukan sistem baru, payung hukum untuk mobilisasi sumber daya (resources)
secara baik.
Diperlukan FEE yang dilandasi oleh peraturan yang berlaku untuk menjamin legalitas
dan legitimasi inovasi yang dilakukan di perguruan tinggi. Inovasi pada proses mobilitas
sumber daya akan bermuara pada pembiayaan. Dalam konteks ini pimpinan garis depan
operasional pendidikan perlu memiliki pemahaman pada operasional pendidikan tinggi
yang diberi istilah BOPT. Diperlukan cara pengelolaan yang baik serta ada jaminan
legalitas dan legitimasi dalam bentuk payung hukum.
Memetik kata kunci pada diagram umum sumber daya maka sumber daya manusia
perlu dijadikan pangkal pertumbuhan keyakinan bahwa solusi kehidupan masa depan di
Indonesia wajib menyemaikan insan terdidik yang memiliki kualitas tinggi dalam hal nilai-
nilai (values), karakter, sikap mental, dan etika. Selain itu, perlu penguasaan IPTEKS
disertai kualitas kebudayaan dari pemahaman terhadap hasil-hasil revolusi pemikiran
sebagai landasan kepemimpinan (leadership) masa depan.
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Kata kunci di atas merupakan contoh parsial tetapi tidak membatasi dan perguruan
tinggi dapat mengembangkan lebih jauh berdasar studi pustaka dan pengalaman sendiri,
menetapkan kombinasi explicit knowledge dan tacit knowledge. Solusi implementasi
sejumlah konsep dalam buku ini merupakan tantangan pendekatan yang tepat, bersifat
open ended problem dan open ended solution.
Pilihan konsep pendidikan tersebut dapat disandingkan dengan daftar kata kunci
tantangan masa depan dalam hubungannya dengan penyelenggaraan Tridarma.
Penyelenggaraan Tridarma ke depan dapat diatur ulang dengan orientasi pencapaian
tujuan pada posisi kepeloporan adaptasi terhadap revolusi industri tahap keempat.
69
70
Penyelenggaraan itu dapat diatur makin baik dengan pedoman proses PDCA (Plan, Do,
Check, Act) secara utuh dalam rangka memenuhi asas sustainable quality.
Kutipan dipilih dari butir-butir (items) spesifik yang dikemukakan oleh Farhan Saker,
Hugh Davis dan kawan-kawan sebagai berikut: Terdapat tiga kelompok tantangan yang
perlu diselesaikan secara terintegrasi dengan istilah populer “three in one”. Tantangan
pengelolaan pertama adalah permasalahan manajemen dengan kata kunci good university
governance dan dana optimal untuk kemajuan perguruan tinggi. Kelompok tantangan
kedua adalah akreditasi, kurikulum, perluasan partisipasi, dan penanganan hambatan-
hambatan proses belajar mahasiswa. Selain itu, masih dalam kelompok kedua ini adalah
peluang kerja setelah lulus (employability), kualitas penelitian, kualitas pembelajaran,
urusan kejujuran mencegah plagiarism (menyontek), peran dalam partisipasi kemajuan
ekonomi dan rekrutmen dosen secara tepat kualitas pada tugas serta fungsi. Kelompok
tantangan ketiga mencakup urusan konstruksi pengetahuan individu dan grup, cara
berpikir kritis dan cara berargumentasi yang baik, urusan pemberian nilai ke mahasiswa,
adaptasi terhadap perkembangan teknologi, rekrutmen staf generasi baru dalam
rangka kaderisasi optimal, pembentukan grup-grup pembelajaran, dan persaingan
serta kemitraan di bidang Tridarma di tingkat global. Banyak hal yang perlu ditangani itu
berarti banyak peluang untuk melakukan perbaikan-perbaikan dalam memberi jawaban
terhadap tantangan baru yang berkembang secara dinamis.
Dosen, mahasiswa dan tenaga kependidikan, serta pihak-pihak yang aktif melakukan
tugas-tugas kemajuan institusi, negara, bangsa, sebenarnya dapat bersama meyakini
tulisan Fuller yang dikutip jelas dalam buku K. Tiyosaki, yaitu suatu ungkapan yang
dapat mendasari satu determinasi tiap orang untuk merasa mampu cepat maju, cepat
beradaptasi pada kondisi-kondisi baru. Menurut keyakinan Fuller, seseorang dilahirkan
genius, “Every one is born a genius, but the process of life degeniuses them”. Proses
hiduplah yang membedakan terawat atau tidaknya kegeniusan yang dikaruniakan oleh
Tuhan Yang Maha Esa. Proses kehidupan, proses belajar sepanjang hayat (lifelong
learning) dapat diperbaiki dari waktu ke waktu dan potensi mahasiswa di perguruan
tinggi dapat dikembangkan maksimal untuk menjadi lulusan berkarakter baik dan menjadi
bagian dari para pemimpin (pool of leaders) bagi kepentingan Indonesia.
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Harapannya seluruh generasi penerus bangsa yang diwakili oleh Sigepen, setelah
menempuh proses pembelajaran dalam perguruan tinggi dapat belajar banyak keilmuan.
Selain mempelajari keilmuan sebagai bekal dalam mengarungi masa depan, para
generasi penerus juga dibekali dengan pendidikan karakter yang sesuai dengan jati diri
bangsa. Sehingga nantinya dapat memiliki karakter yang mulia demi terciptanya para
pemimpin bagi bangsa ini.
Sama seperti harapan Misipha kepada putra-putranya. Sejak dini beliau mengajarkan
dan menanamkan karakter-karakter positif kepada mereka, agar nantinya apabila mereka
berdua telah dewasa dan menjadi pemimpin, mereka akan menjadi pemimpin yang baik
dalam masyarakat yang dapat memajukan lingkungan, dan dapat membawa perubahan
yang positif bagi bangsa ini.
Pada bulan Mei 2016, dilakukan bahasan atas beberapa hal berkaitan dengan
identitas perguruan tinggi dan lulusannya. Saat ini perguruan tinggi di Indonesia memiliki
status Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Perguruan
Tinggi Negeri sebagian telah menjadi PTN Badan Hukum, sebagian mengikuti sistem
administrasi negara yang disebut Badan Layanan Umum (BLU) dan sebagian berupa
71
72
Satuan Kerja (Satker).
Dari sisi kualitas, masyarakat mengaitkan perguruan tinggi dengan status akreditasi.
Berdasar Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT), terdapat akreditasi
program studi dan akreditasi institusi perguruan tinggi dengan kategori A, B dan C.
Kepercayaan masyarakat secara umum terbatas pada parameter sederhana yaitu
status PTN atau PTS dan akreditasi kategori A, B atau C. Selain itu, sejumlah orang
tua calon mahasiswa juga memandang penampilan bangunan fisik universitas, jumlah
mahasiswa, dan sosok para alumninya. Masih cukup banyak juga yang melihat bidang
studi yang sedang banyak diminati atau tidak.
Kombinasi pemikiran dimulai dari komunikasi intensif dalam kelompok A yang terdiri
dari rumpun ilmu alam, formal dan terapan, kelompok B terdiri dari kelompok rumpun ilmu
agama, humaniora dan sosial. Selanjutnya kombinasi pemikiran dari kelompok A dan
kelompok B menghasilkan banyak hal berharga terkait usaha jawaban atas tantangan
bangsa ke depan. Kombinasi awal pemikiran berlatar belakang enam rumpun ilmu telah
menjadi dasar gagasan solusi masa depan yang secara normatif diungkapkan dalam
bagian I. Ungkapan-ungkapan dalam bagian I diberi label ungkapan tentang kesadaran
(awareness) dan inspirasi (inspiration).
Banyak pelajaran yang didapat dari diskusi antar-rumpun ilmu dalam kaitannya
dengan peran pemanfaatan ilmu melalui pendidikan yang berkaitan dengan program
akademik dan vokasi, serta program pendidikan profesi. Setelah beberapa kali diskusi,
benar-benar dihayati bahwa pada pengalaman pembelajaran telah banyak dosen yang
memperkaya wawasan mahasiswa dan mencoba membangun kualitas sikap mental
serta etika mahasiswa dengan hal-hal terkait agama, humaniora dan sosial. Hal ini
diarahkan pada pendidikan karakter dan memang ditengarai menjadi hal sangat penting
sekaligus strategis bagi peran pendidikan tinggi untuk menjadi perangkat signifikan
dalam membangun masa depan bangsa.
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
profesional (professional) yang ditekuni oleh suatu program studi. Salah satu contoh
sederhana yang dipaparkan dalam diskusi adalah tentang pendidikan yang terkait profesi
teknik sipil. Ternyata secara global mulai dipahami bahwa pendidikan teknik memerlukan
komponen dasar (foundational) yang berasal dari rumpun ilmu humaniora dan sosial,
untuk Indonesia diyakini pentingnya ilmu agama juga. Inspirasi yang bersumber pada
hasil diskusi tersebut adalah pentingnya insan bidang keteknikan mempelajari juga
pelengkap materi perkuliahan yang bersifat teknis.
73
74
• Kemampuan untuk bertanggung jawab kepada masyarakat dan mematuhi etika
profesi dalam menyelesaikan permasalahan teknik.
• Kemampuan memahami kebutuhan akan pembelajaran sepanjang hayat (long life
learning), termasuk akses terhadap pengetahuan terkait isu-isu kekinian yang relevan.
Program studi apapun perlu diberi pencerahan dan diyakinkan bahwa hal penting
dalam menyiapkan lulusan adalah untuk memastikan kualitas lulusan dapat memberi
sumbangan yang signifikan pada kebaikan bangsa. Bagi lulusan perguruan tinggi di
Indonesia diberi orientasi keberpihakan pada kepentingan masyarakat Indonesia, bangsa
dan negara Indonesia dengan jalan hidup aktualisasi Ketuhanan Yang Maha Esa dan
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Agar dipastikan menjadi pelaku dalam kolaborasi global yang menggunakan prinsip
winner-winner, warga bangsa harus mengerti dua aspek sekaligus, dua dalam satu (two
in one). Pertama, tahu tentang pesaing yang punya identitas dan keunikan. Kedua, tahu
diri sendiri punya identitas dan keunikan, memiliki jati diri sebagai bangsa berbudaya
tinggi. Dengan orientasi pikiran tersebut, mahasiswa dituntun untuk menelusuri
pengertian karakter dan cerita sukses aktualisasi karakter bangsa lain dan juga harus
ditunjukkan tanda tanda karakter terpuji bangsa sendiri. Lalu bagaimanakah pendekatan
pembelajaran karakter di perguruan tinggi menggunakan jalan baru inovatif?
Pengenalan sumber belajar universal dapat dituntun melalui kata-kata kunci tautan
informasi lewat internet dan mahasiswa mencari sendiri melalui kerja tim (teamwork)
yang diarahkan secara efektif dan efisien. Namun, dosen dan mahasiswa didorong untuk
mencari kata-kata tautan lain yang akan memperkaya data sumber belajar.
75
76
Pengertian tentang karakter dapat dimulai dengan membaca tulisan karya Lapssley
dan Navares (2006). Bacaan awal dapat diperluas dengan tulisan karya Dewey &
Tufts (1910). Selanjutnya, dapat dikenalkan rujukan tambahan misalnya tulisan karya
Nicgorski & Ellrod (1992); Wynne & Ryan (1997); Hay, Castle, Stimson, & Davies
(1995); dan Baumrind (1999). Dengan bacaan-bacaan tersebut, mahasiswa dan dosen
dapat menelusuri bersama berbagai sumber belajar yang lebih luas. Setelah diskusi
tentang karakter di atas, mahasiswa dan dosen dapat menelusuri katakata kunci yang
mencirikan pendapat tentang tujuan pendidikan diantaranya adalah personal realm,
interpersonal realm, cultural realm. Selanjutnya dapat dikenalkan enam pilar karakter
yang menjadi bacaan umum di literasi internasional yaitu (1) trustworthiness, (2)respect,
(3) responsibility, (4) fairness, (5) caring, (6) citizenship. Enam pilar karakter tersebut dapat
dijadikan materi bahasan bersama melalui kelompok diskusi (focus group discussion) di
suatu mata kuliah atau kelompok mata kuliah.
Sumber belajar dari pustaka yang disajikan oleh negara maju sangat berlimpah,
namun apabila bangsa Indonesia salah melakukan kawalan perkembangan budaya atau
perubahan budaya (culture change), maka bangsa Indonesia akan kehilangan identitas
yang sangat bernilai dan telah disimpulkan dari lesson learnt selama berabad-abad secara
estafet oleh generasi nenek moyang Indonesia sampai terbentuk negara Indonesia yang
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
merdeka dan berdaulat. Salah satu contoh dari buah pikiran baik bangsa Indonesia yang
belum dibukukan dengan baik, belum dapat diakses dengan mudah adalah pemaknaan
huruf Jawa oleh masyarakat.
77
78
19. Tha, Thukul saka niat – sesuatu harus dimulai – tumbuh dari niatan
20. Nga, Ngracut busananing manungsa – melepaskan egoisme pribadi manusia
Dua puluh makna tersebut merupakan parameter terpuji yang tidak ada satu pun
yang bertentangan dengan Pancasila dan nilai-nilai spiritualitas serta dapat dijabarkan
secara positif sebagai materi studi banding dengan sifat-sifat pilihan pendidikan karakter
di berbagai tempat di berbagai penjuru dunia.
Di Indonesia juga telah dikenal berbagai prinsip kepemimpinan yang baik yang
dirumuskan oleh para leluhur bangsa diantaranya adalah Hasta Brata. Hasta Brata
digunakan sebagai metafora watak atau karakter ksatria. Selain itu, prinsip Hasta Dasa
Prateming Prabu dapat dijabarkan menjadi prinsip indah pada kepemimpinan dalam
zaman revolusi industri ke-4 dan revolusi pemikiran saat ini dan ke depan. Sumber-
sumber kearifan lokal masa lalu yang sangat berharga dan masuk dalam daftar “the lost
of intelligence” harus ditemukan kembali dan dikembangkan sebagai materi pencerahan
kehidupan global saat ini dan memperkuat akar identitas bangsa Indonesia sebagai
ekspresi jalan hidup Pancasila dalam kegiatan sehari-hari. Berkaitan dengan hal
tersebut, mahasiswa perlu dilatih memaknai kearifan lokal dan selalu bersyukur sebagai
warga Indonesia yang memiliki identitas budaya pemikiran terpuji. Hasil belajar bersama
melakukan perbandingan nilai-nilai budaya Indonesia dengan nilai-nilai budaya bangsa
lain akan melahirkan identitas yang makin eksplisit dan rasa percaya diri yang tinggi
sebagai warga bangsa Indonesia.
Kata Hasta berasal dari bahasa Jawa kuno yang memiliki makna “delapan‟ dan
Brata yang bermakna “watak‟. Delapan watak atau karakter yang dapat menjadi orientasi
budi baik, budi luhur. Delapan watak tersebut diutarakan sebagai sifat sinergi tata jagad
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
mengambil metafora sifat alam yang dilihat sehari-hari, yaitu matahari, rembulan, bintang,
bumi, samudra, air, angin dan api. Interpretasi positif nenek moyang bangsa Indonesia
memaknai sifat matahari sebagai pembawa terang, sumber pencerahan, sumber energi
dan kehangatan. Matahari melambangkan watak pemimpin sebagai penyemangat dan
sumber inspirasi. Rembulan membawa terang di waktu malam, membawa keindahan
dan cahaya kesejukan, memancarkan sinar lembut yang membawa persahabatan.
Sinar rembulan sering dideskripsikan oleh pembawa pertunjukan wayang kulit (puppet
show) sebagai belaian bidadari yang memberikan kebahagiaan. Watak pemimpin yang
tecermin dari sifat rembulan adalah pemimpin yang mampu menjadi penuntun dan
memberikan pencerahan kepada pengikutnya. Bintang berada di tempat yang tinggi,
menjadi lambang petunjuk arah, petunjuk musim, pemandu kegiatan petani bercocok
tanam, petunjuk iklim. Dalam konteks ini, bintang dilambangkan sebagai pemimpin yang
memiliki sifat mulia, disegani, terhormat dan dihormati. Bumi dimaknai sebagai sarana
kehidupan walaupun kaya berbagai macam kandungan di dalamnya, namun ikhlas
menjadi pijakan tempat kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan. Seorang pemimpin
yang memiliki sifat bumi adalah pemimpin yang mampu menjadi pengayom dan dapat
menyejahterakan pengikutnya. Samudra adalah luas dan lapang, menerima sangat
banyak hal menyatu dalam diri dan juga menjadi sarana kehidupan. Berkaitan dengan
sifat samudra tersebut, seorang pemimpin akan dapat menerima kritikan dengan lapang
dada, mampu menampung semua kepentingan para pengikutnya. Air memiliki sifat
selalu mencari tempat yang rendah. Seorang pemimpin yang memiliki sifat air adalah
pemimpin yang tidak sombong dan bersikap rendah hati kepada siapa pun. Angin dapat
berada di mana-mana, ke segala tempat untuk mendukung kehidupan juga membawa
ketenteraman, kesegaran dan kesejukan. Seorang pemimpin yang menguasai sifat
angin adalah pemimpin yang mampu menciptakan keharmonisan dan kepemimpinan
yang sejuk. Api dilambangkan secara positif sebagai keberanian, berani memberantas
hal-hal yang salah, yang tidak selaras dengan kehidupan.
Banyak, sangat banyak ajaran nenek moyang yang dapat diuraikan melalui latihan
berpikir positif. Hasta Brata sebagai satu contoh kecil, mahasiswa dapat ditugasi
melacak lebih jauh tentang Hasta Dasa Prateming Prabu, dan memaknainya secara
positif. Saat ini zaman telah memasuki era revolusi industri ke-4 yang akan baik apabila
menggunakan tata kehidupan berdasar ajaran nenek moyang yang makna ringkasnya
dirumuskan menjadi Pancasila.
Contoh-contoh ungkapan lain yang dapat menjadi bahan studi perbandingan dengan
tanda-tanda budaya bangsa lain, misalnya ungkapan yang berbunyi “lain ladang lain
belalang, lain lubuk lain ikannya” jelas dapat dimaknai positif untuk landasan prinsip
saling mengerti, toleransi dan menyambut baik perbedaan untuk membangun sinergi.
79
80
Ungkapan lain berbunyi “dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung” juga dapat dimaknai
sebagai pesan yang memberi bekal kesetiaan kepada tanah air, kesiapan melakukan
harmonisasi dan toleransi pada peraturan dan adat istiadat setempat dan berbagai
intepretasi positif yang lain. Ungkapan kearifan lokal itu harus dicari, di Indonesia dari
provinsi Aceh sampai Papua. Selanjutnya, secara bersama dengan kecerdasan kolektif
dosen dan mahasiswa dapat dijabarkan menjadi prinsip kehidupan abad 21 yang tidak
bertentangan dengan perkembangan budaya global, dan harus dimaknai positif untuk
pencerahan budaya global tersebut.
Oleh karena prinsip solusi didasari pada trust kepada pelaku garis depan yang
diberi otonomi perguruan tinggi, tentu prinsip open ended problem dan open ended
solution wajib diterapkan. Prinsip kerja di tingkat Kemristekdikti yang disebut FEE
(facilitating, empowering, enabling) telah lama berjalan dan dibuat makin sukses dalam
implementasi, menggunakan penyebarluasan best practices yang sudah terjadi, terbatas
dan memanfaatkan lesson learnt untuk peningkatan mutu lulusan perguruan tinggi
melalui jalan baru yang telah dibahas di atas.
Untuk mencari format prinsip solusi, tentu banyak cara yang dapat dilakukan oleh
perguruan tinggi. Salah satu cara untuk menemukan format tindakan realistis dapat
direnung kembali metode berpikir Rudyard Kipling yang sudah pernah berkali-kali
dibaca oleh insan perguruan tinggi. Pertanyaan yang dikemukakan oleh Rudyard Kipling
dapat menjadi salah satu cara analisis pemecah masalah yang baik.Pertanyaan yang
ditemukan oleh Rudyard Kipling ini berupa enam pertanyaan sebagai cara analisis yang
sudah lama menjadi bahan kuliah di hampir semua program studi, disebut (5w+1 h) yang
terdiri dari beberapa pertanyaan sebagai berikut: what, who, where, when, why, dan how.
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Berdasar pandangan tersebut, format baru, sistem baru, metode pembelajaran baru
yang bermuara pada pembelanjaan dana secara efektif, efisien, akuntabel dan transparan
81
82
harus diciptakan oleh masing-masing perguruan tinggi. Menurut UU No.12/2012 tentang
pendidikan tinggi, pemerintah secara berkala harus menetapkan Standar Satuan Biaya
Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT). Model SSBOPT tentu berorientasi pada
tujuan pendidikan tinggi yang wajib menyediakan lulusan bagi kepentingan masyarakat,
bangsa dan negara. Efektivitas dan efisiensi pembiayaan operasional pendidikan
tinggi dipengaruhi oleh banyak faktor. Penyelenggaraan pendidikan tinggi mempunyai
komponen utama, yaitu mahasiswa, dosen, tenaga kependidikan dan lingkungan serta
sumber belajar yang cocok dengan bidang studi yang ditekuni.
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
tinggi negeri;
3. Bahwa ketentuan mengenai biaya operasional perguruan tinggi negeri harus selalu
disesuaikan dengan dinamika perubahan lingkungan strategis dan temuan metode
baru dalam pembelajaran.
Adapun peraturan perundangan lain yang mendasari pengaturan bantuan operasional
perguruan tinggi negeri diantaranya adalah sebagai berikut.
1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4301);
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5336);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan
Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5500);
4. Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2015 tentang Kementerian Riset, Teknologi, dan
Pendidikan Tinggi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 14);
5. Keputusan Presiden Nomor 121/P Tahun 2014 tentang Pembentukan Kementerian
dan Pengangkatan Menteri Kabinet Kerja Periode Tahun 2014-2019;
6. Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 15 Tahun 2015
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan
Tinggi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 889).
Program dan Kegiatan Operasional Pendidikan Tinggi yang telah menjadi tradisi di
perguruan tinggi adalah sebagai berikut.
• Pelaksanaan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat
• Biaya pemeliharaan pengadaan
• Penambahan bahan praktikum/kuliah
• Bahan pustaka
• Penjaminan mutu
• Pelaksanaan kegiatan kemahasiswaan
• Pembiayaan langganan daya dan jasa
• Pelaksanaan kegiatan kemahasiswaan
• Pengembangan teknologi informasi dan komunikasi dalam pembelajaran.
• Honor dosen dan tenaga kependidikan nonpegawai negeri sipil
• Pengadaan dosen tamu
83
84
• Pengadaan sarana dan prasarana sederhana
• Satuan pengawas internal
• Pembiayaan rumah sakit perguruan tinggi negeri; dan atau
• Kegiatan lain yang merupakan prioritas dalam rencana strategis perguruan tinggi
masing-masing.
Dengan prinsip melakukan beberapa hal secara serentak dan sinergis dapat
dilakukan penghematan waktu dan energi dalam mencapai tujuan luaran pembelajaran
(outcomes). Cara-cara baru tersebut sangat banyak ragam dan variasi yang bersifat
kontekstual setempat, berhubungan dengan sifat program studi, standar lulusan yang
ingin dicapai dan sumber daya komponen tersedia. Komponen kegiatan dan konsekuensi
pada komponen pembiayaan menyangkut tiga bagian proses utama pembelajaran, yaitu
(1) memberitahu, (2) menunjukkan, (3) mendapatkan pengalaman dalam pertumbuhan
kualitas diri. Lebih jauh lagi, pertumbuhan kualitas diri dapat disertai pembentukan
pengalaman tentang kenyamanan mengembangkan kesalehan individual sampai utuh
dilengkapi kesalehan sosial.
Berikut ini disampaikan satu paparan garis besar inovasi proses pembelajaran,
namun jabaran kegiatan rinci tidak dipaparkan agar masing-masing pembaca mendalami
sendiri sesuai konteks setempat masing-masing. Inovasi proses pembelajaran dapat
dilakukan dalam kegiatan pembelajaran. Wadah kegiatan pembelajaran yang membuka
ruang luas untuk interaksi dosen dengan mahasiswa, antar dosen dan antar mahasiswa
serta dapat menjadi arena ekspresi serentak tiga komponen Tridarma dapat diciptakan.
Hal baik yang pernah digagas majelis pendidikan atas tugas dari kementerian adalah
pembelajaran terintegrasi. Catatan tentang bahasan pembelajaran terintegrasi yang
dapat dikembangkan lebih jauh sesuai konteks program studi dan konteks wilayah serta
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Untuk memberi peluang mahasiswa terlibat (involve) pada suatu tantangan yang
memerlukan solusi dengan pertimbangan komprehensif akan baik apabila penyampaian
materi suatu mata kuliah dikemas bersama dengan mata kuliah lain yang relevan
untuk menjadi bagian solusi persoalan dengan wawasan tentang penelitian terkait,
perkembangan teknologi serta pengabdian kepada masyarakat.
85
86
dan diimplementasikan dengan baik apabila program studi dapat membangun sistem
dan metode sehingga rancangan pembelajaran yang akan mempengaruhi penjadwalan
kuliah dan berbagai hal terkait mobilisasi sumber daya memperoleh kepastian dukungan
dengan pengaturan dan legitimasi tingkat fakultas dan program studi.
Dengan modal hasil inisiatif individual sejumlah dosen yang telah ada di berbagai
perguruan tinggi sebenarnya telah dimiliki modal yang dapat dikategorikan sebagai
sumber informasi best practices dan experience learnt. Salah satu inisiatif yang pernah
ada adalah upaya untuk menyelenggarakan pembelajaran yang terintegrasi dengan
sistem olah pikir penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
Diagram di bawah memberi gambaran tentang satu alternatif garis besar sebuah
format pembelajaran terintegrasi.
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Pembelajaran terintegrasi ini dapat menjadi wahana untuk pelatihan sinergi berbagai
proses yang melibatkan berbagai bidang ilmu secara lebih nyata, antara lain sebagai
berikut.
1. Untuk memberikan kemampuan memahami bahwa proses pengembangan dan
penerapan ilmu bermanfaat itu memiliki konektivitas dengan hal-hal dalam penelitian,
pendidikan dan pengabdian kepada masyarakat.
2. Untuk menumbuhkan hasrat besar dan keterampilan lifelong learning dalam situasi
kehidupan menekuni profesi berkaitan dengan kondisi dunia saat ini yang mengalami
berbagai bentuk dinamika perubahan secara cepat.
3. Untuk membiasakan kerja tim dalam menghadapi urusan-urusan riil terkini.
Demikian salah satu alternatif yang dipikirkan untuk inovasi pendidikan karakter di
perguruan tinggi. Renungan tentang hal-hal penting dari berbagai kombinasi pemikiran
yang dibahas di depan dapat dikombinasikan dengan renungan sejumlah life stories di
bagian tiga.
Uraian di atas memberi gambaran tentang inovasi realistis dari jalan operasional
pendidikan tinggi yang umum saat ini menjadi jalan baru dengan makin banyak peluang
untuk melakukan inovasi kontekstual.
87
88
Pembaca akan makin dekat ke hal-hal operasional dalam implementasi proses
pendidikan di bagian 3. Bagian tiga tersebut memberikan gambaran tentang praktik baik
pendidikan dengan tambahan muatan nilai dan karakter di perguruan tinggi. Pada bagian
tiga juga disajikan sejumlah kutipan dari sumber-sumber inspirasi oleh penulis.
Tulisan individual di bagian tiga menghindari ungkapan yang memberi kesan
menonjolkan diri (glorifying). Tulisan diusahakan bergaya bukan akademik, melainkan
mendekati gaya penulisan yang mudah dimengerti. Tulisan di bagian tiga berupa
paparan biografi intelektual perorangan dalam tugas memberikan pembelajaran di
media apapun dengan membawa tambahan muatan karakter. Dalam biografi intelektual
yang disampaikan secara sederhana tersebut disinggung juga aspek kelembagaan
atau institusi terkait eksistensi sistem lokal yang telah memfasilitasi diri penulis dalam
berkarya untuk peningkatan mutu pendidikan tinggi.
Salah satu aspek penting yang menjadi orientasi inovasi metode pembelajaran
adalah keinginan yang kuat untuk menemukan kembali the lost of intelligence yang
dapat menjadi pijakan identitas bangsa dan mengetahui keunikan diri bangsa. Selain
itu, agar dapat menciptakan rasa percaya diri yang sangat kuat untuk menjadi problem
solver masa depan dan bukan complainer yang gagap menghadapi gelombang pasang
revolusi pemikiran, revolusi industri ke-4 dan perubahan budaya (culture change).
Dua abad sebelum Socrates, di timur sudah hidup filsuf Lao Tzu, kemudian Kong Fu
Zu yang juga seorang pemikir besar. Selain itu, Tuhan Yang Maha Esa telah bermurah
hati memberikan bimbingan cara hidup kepada manusia dengan mengutus nabi-nabi,
rasul untuk menyampaikan ajaran yang menunjukkan kebenaran tentang cara hidup
harmonis dan bahagia.
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Semua ajaran baik tersebut merupakan wawasan berkah untuk dunia. Bangsa
Indonesia telah memilih jalan hidup Pancasila yang memiliki banyak makna positif dan
tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran dari Tuhan Yang Maha Esa. Demikian juga hasil
pemikiran para filsuf besar untuk kemaslahatan tidak ada satupun yang bertentangan
dengan Pancasila.
Pancasila sangat cocok sebagai bingkai persemaian talenta karakter terpuji para
mahasiswa yang akan menjadi penghuni “pool of leaders” masa depan dan menggunakan
kemampuan puncaknya untuk berkontribusi signifikan menciptakan kehidupan pribadi,
masyarakat, bangsa dan dunia yang harmonis, makmur, aman, sejahtera dan adil dalam
kondisi masyarakat seperti dicita-citakan dalam pembukaan UUD 1945. Indonesia,
diharapkan menjadi negara yang maju dengan SDM dan SDA yang cukup memadai.
Indonesia ke depan diharapkan dapat meneruskan citacita dan perjuangan para
pendahulu untuk membangun dan menempatkan Indonesia pada posisi terbaik di dunia.
89
90
Selamat membaca.
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Saya lahir di Malang sebagai bungsu dari delapan bersaudara. Nama saya panjang
sekali karena semua yang terlibat dengan kelahiran saya ingin memberi nama. Dipilihlah
sebuah nama: Farida Tjahja Irani Merdekawati Rachman. Nama itu dari dokter, perawat,
kakak dan kedua orang tua. Namun panggilan di rumah Irid karena ibu saya tahu banyak
sekali Farida, Zuraida, Aida, Halida, Zubaidah yang nama panggilannya Ida. Jadilah nama
saya “Irid” dan itu yang saya pakai sampai sekarang sebagai nama resmi di Akta Kenal
Lahir.
Saya mendapat hanya sedikit bagian hidup bersama ayah dan ibu, karena saya anak
ke delapan, mereka meninggal saat saya masa sekolah. Tetapi kenangan yang terbatas itu
sangat membekas, karena sangat berarti.
Tugas menulis tentang diri sendiri kali ini, memaksa saya untuk mengevaluasi kehidupan
saya di masa kecil dan apa saja nilai-nilai yang saya pelajari dan yang berdampak pada
kehidupan saya.
Orang Tua
Siapakah ayah dan ibu yang saya kenal hanya sebentar itu? singkatnya mereka adalah
“who and what shaped me to become the way I am”. Ayah saya penerima beasiswa di
Belanda, belajar paedagogi pada tahun 1920-an, dan ibu saya lulusan Sekolah Guru Putri
di Salatiga. Mereka berkenalan, kemudian ayah saya memberi les matematika kepada ibu
saya. Setelah itu mereka bersahabat, dan persahabatan itulah yang membuat ibu saya jatuh
hati pada ayah saya. Tidak disangka-sangka, apabila kebanyakan wanita terpesona oleh
paras atau postur tubuh seorang lelaki, namun ibu saya berbeda. Beliau terpesona oleh
kuku jemari ayah saya yang bersih dan terawat.
Singkat cerita, mereka menikah dan mempunyai delapan anak yang lahir pada tahun:
1929, 1932, 1934, 1936, 1938, 1941, 1942 dan 1945. Setelah itu, ibu saya memutuskan
berhenti dari pekerjaannya sebagai pengajar dan memutuskan untuk menjadi ibu rumah
tangga sepenuhnya. Pada saat itu memang belum ada program Keluarga Berencana (KB),
sehingga apabila sepasang suami-istri memiliki banyak anak itu adalah hal yang wajar.
Demikianlah cerita tentang orang tua saya yang memberi kenangan spesifik di hati.
91
92
Kehidupan Masa Kecil
Saya lahir tahun 1945, tiga bulan sesudah kemerdekaan Indonesia, dan pada saat itu
sedang terjadi perang kembali (Agresi militer Belanda). Belanda dan sekutu menyerang
karena ingin merebut kembali bekas jajahan mereka. Keadaan itu terdengar gawat tapi
kenangan masa kecil saya tidak merekam kegetiran perang dan kenangan saya hanya rasa
bahagia.
Keluarga kami adalah keluarga yang rukun. Banyaknya anak yang dimiliki oleh orang tua
saya merupakan sebuah berkah. Karena kami membuat rumah kami menjadi teratur. Kakak-
kakak saya punya tugas masing-masing, istilah sekarang mungkin, ayah ibu saya dapat
mengatur dan medelegasikan semua “house chores” ke semua anggota keluarga. Semua
anggota keluarga saling membantu. Saya paling banyak memiliki waktu luang, mungkin
karena saya dianggap masih kecil, jadi tugas saya hanya mengelap debu di perkakas ruang
tamu.
Kami sangat beruntung, karena kami dapat belajar banyak bahasa. Bahasa yang
kami pergunakan sehari-hari sebelum kemerdekaan adalah bahasa Indonesia dan bahasa
Belanda. Namun setelah kemerdekaan, ayah dan ibu kami memutuskan untuk mengganti
bahasa Belanda menjadi bahasa Inggris.
Keberuntungan kami, tidak hanya di situ saja, di rumah kami banyak terdapat alat musik,
seperti piano, gitar, okulele, dan harmonika. Jadi kami dapat mempelajari alat-alat musik
tersebut, dan suasana di rumah kami menjadi ceria dan hangat.
Ayah saya adalah seorang kepala sekolah. Beliau memberikan kami sekeluarga
kehidupan yang sederhana tetapi cukup nyaman. Murid murid beliau yang sebagian besar
adalah tentara pelajar, sering datang ke rumah kami. Mungkin karena sebagian dari mereka
menaruh hati pada kakak-kakak saya yang juga aktif di Palang Merah sekolah tempat ayah
kami bekerja. Alasan lain mungkin karena Ibu kami selalu menyediakan makanan, karena
siapapun yang mampir boleh makan (mungkin karena hal itulah rezeki keluarga kami selalu
dilapangkan oleh-Nya).
Sewaktu saya kecil (saya lupa usia saya pada saat itu). Ibu saya pernah memberikan
pesan kepada kami, anak-anaknya yang begitu membekas di pikiran saya hingga saat ini.
pesan tersebut adalah:
“Apapun yang terjadi pada kalian (kami berdelapan), terutama apabila ada yang bersedih
atau gagal, kalian harus pulang ke rumah. Di rumah ini semua dapat mencari jalan keluar,
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Pesan tersebut sangat membekas di pikiran saya, sama membekasnya dengan pesan ayah
saya:
“Be on time! Don’t waste your time! Do your best! Find what your like! Finish your work!”
Pesan tersebut mungkin secara tidak langsung menuntun saya hingga saya menjadi pribadi
saat ini. Gambaran tentang ayah saya selalu membekas di hati, mungkin karena saya sangat
mengidolakan beliau.
Pada suatu hari ayah saya dipindahtugaskan menjadi Kepala Sekolah Guru Atas (SGA) di
Bogor, sejak saat itu, kami sekeluarga pindah ke Bogor. Beliau memiliki banyak pekerjaan
dan jadwal beliau padat. Salah satu tugas yang harus dilakukan oleh ayah saya adalah
harus menguji ujian B1 dan B2. Karena alasan itulah beliau sering ke Jakarta.
Saya selalu menunggu hari Selasa. Alasannya karena setiap Selasa sore ayah akan
membawa saya ke Perpustakaan Pusat di Bogor. Saya begitu gembira dan begitu antusias
setiap kali ayah mengajak saya ke perpustakaan pusat. Di perjalanan menuju atau pulang
dari perpustakaan, kami selalu mengobrol. Saya selalu senang bertukar cerita dengan ayah
saya.
Menginjak usia sekolah, saya sangat gembira. Saya sangat menyukai suasana sekolah,
karena selalu menyenangkan. Sampai-sampai kalau saya sakit, saya tidak mau mengeluh.
Karena apabila saya mengeluh, ayah dan ibu saya akan menyuruh saya untuk tidak pergi
ke sekolah dan istirahat di rumah.
Sepulang sekolah, saya dan kakak-kakak saya selalu makan siang atau makan malam
bersama keluarga. Orang tua kami merupakan orang tua yang demokratis. Pada saat
makan bersama, kami sekeluarga akan mengobrol. Dan kami boleh mengungkapkan apa
saja. Apabila kami memiliki usul, maka orang tua kami akan menghormati dan menampung
usul-usul kami. Kami berbicara tanpa rasa takut atau ragu pada orang tua kami. Perempuan
dan laki-laki memiliki hak yang sama di keluarga kami. Dari situlah saya menyukai diskusi.
Dan menjadi salah satu siswa yang aktif di sekolah.
Dalam usaha memahami apa yang terjadi di masa kecil dan masa remaja saya, saya
mulai mengidentifikasi nilai-nilai yang saya dapat dari keluarga saya. Dari situlah saya
93
94
menyadari bahwa pembinaan karakter seseorang dimulai sejak dini dan dimulai dari
keluarga. Lingkungan sekitar dan sekolah akan membantu menguatkan nilai-nilai tersebut
dan membentuk sikap jiwa yang selanjutnya dikembangkan sepanjang hayat.
Orang tua saya mengenal anaknya masing-masing sebagai individu yang berbeda
dengan bakat dan passion yang berbeda. Kedua orang tua saya yang mempelajari paedagogi
dan menerapkan pengetahuan yang mereka dapat kepada kami, anak-anak mereka. Saya
beruntung menjadi anak seorang pendidik.
Kami sekeluarga berbicara secara egaliter. Karena itulah, kami semua sangat
menyegani orang tua kami. Kami segan kepada orang tua kami, namun kami dididik untuk
tidak takut, terutama tidak takut dalam mengungkapkan pendapat kami. Ini menjadi bekal
mendasar. Karena kami tidak perlu berbohong kalau berbuat salah. Kejujuran dihargai
di atas kesuksesan. Sejak kecil saya tahu bahwa lebih baik berterus terang daripada
menyembunyikan hal-hal yang negatif.
Saya ingat sebuah kejadian, ketika itu ibu saya meminta saya untuk les menari. Setelah
beberapa kali pertemuan, saya tidak menyukainya. Kemudian ibu saya mengetahui hal
tersebut dan memperbolehkan saya untuk mundur dan tidak mengikuti lagi les menari
tersebut. Sedangkan pada salah satu kakak laki-laki saya, beliau membiarkan kakak laki-
laki saya terus les menari karena dia menyukainya. Kami tidak harus melakukan hal yang
bertentangan dengan keinginan kami, dan kami belajar bahwa personal preference itu boleh
dan bahwa tidak ada masalah gender dalam hal passion.
Semua perempuan di keluarga saya tetap punya karir setelah menikah meskipun tentu
porsinya menurun ketika hamil dan melahirkan. Tetapi karir tersebut dapat diteruskan setelah
anak-anak besar tanpa mengesampingkan peran penting istri dan ibu dalam keluarga.
Sekolah bagi keluarga kami sangat penting meskipun artinya kami harus bersekolah
sambil bekerja karena penghasilan ayah saya sebagai pengajar pada saat itu terbatas, kami
harus bersekolah sambil bekerja. Mungkin karena saya dan kakak-kakak saya sudah terbiasa
dengan hal itu, membuat bekerja sekaligus melakukan pekerjaan rumah tangga adalah
hal yang biasa bagi kami. Lingkungan keluarga tersebut tanpa sengaja telah membentuk
kebiasaan kami dalam menjalani proses kehidupan.
Dari pengalaman masa kecil saya, terlebih di lingkungan keluarga, dapat ditarik beberapa
hal positif yang berhubungan dengan karakter terpuji, diantaranya adalah:
1. Kehidupan Beragama yang Solid
Tidak dapat dipungkiri, pengetahuan tentang agama merupakan hal yang penting
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
dalam kehidupan. Di keluarga kami, kami berdelapan selalu diajarkan tentang agama,
dan kami selalu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dari situ juga kami belajar
untuk bertoleransi dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
2. Kejujuran
Berbohong adalah sesuatu hal sangat tidak disukai dalam keluarga kami. Kebohongan
dan kecurangan adalah satu hal yang memalukan. Karena apabila kedua hal itu terus
dilakukan, nantinya akan berdampak kepada perilaku yang menjurus kepada tindakan
tindakan yang tidak berdasarkan keadilan.
5. Peduli
Salah satu karakter yang ditanamkan oleh orang tua kami adalah peduli terhadap
sesama. Hal itu terlihat bukan dari hal yang besar, memberikan tempat duduk di bus
kepada kakek/nenek yang tidak mendapatkannya adalah salah satu cerminan karakter
peduli.
6. Bermasyarakat
Kami berdelapan terbiasa untuk hidup saling membantu sejak kecil karena kami
beranggapan bahwa tidak ada orang yang dapat berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain.
Kami akan turut membantu apabila ada kegiatan di lingkungan sekitar kami, termasuk
ketika ada tetangga yang memiliki hajat atau selamatan. Pada awalnya hal ini tidak
langsung kami pahami dan rasakan dampaknya. Dampak positifnya baru kami rasakan
ketika kami dewasa dan hidup jauh dari keluarga.
7. Mendamaikan Perselisihan
Dalam bermasyarakat, kami diajarkan untuk saling menjaga kerukunan dengan
orang lain. Apabila terjadi sebuah perselisihan di lingkungan sekitar, maka kami diajarkan
95
96
untuk selalu berpegang pada prinsip kebenaran dan keadilan. Dengan begitu apabila
ada suatu kejadian yang berujung pada perselisihan, kami lebih memilih untuk menjadi
penengah dan mendamaikan perselisihan tersebut.
9. Tahu Aturan
Walaupun kami bebas berpendapat, apabila kami melakukan kesalahan kami
mendapat teguran dari orang tua kami. Namun demikian, apabila kami berkeras dalam
hal-hal yang tidak beralasan atau alasan yang kami kemukakan keliru, kami juga akan
menerima teguran yang keras. Apabila kami sudah keterlaluan, kami akan mendapat
hukuman. Agar kami selalu belajar (belajar sepanjang hayat). Rasa senang belajar
menumbuhkan curiousity dan excitement yang terus menyertai hidup kita.
Bisa saja kami mempunyai kesalahan dan menghadapi hal-hal yang sulit dan berat,
namun demikian kami diberi keyakinan bahwa apapun bentuknya dan betapapun besarnya
kesulitan yang kami hadapi, kami selalu mempunyai kepastian bahwa kami dapat pulang
kerumah, kepada orang tua.
Saya melihat kakak-kakak saya yang masih hidup, ada yang berusia 83, 76 dan 75
tahun. Mereka tetap berjiwa muda dan mempraktikkan nilai-nilai keluarga kami dulu ke
keluarga mereka yang sekarang. Saya berusaha mengerjakan hal serupa karena saya ingin
seperti mereka.
Di usia saya yang ke-72 tahun ini, saya percaya pada Hadis HR Muslim no 1631 yang
menyatakan bahwa: seseorang telah meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali
3 perkara yaitu: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak-anak yang saleh dan
salihah. Untuk itu, hingga saat ini saya masih giat mencari ilmu dan mengupayakan agar
ilmu yang saya peroleh tersebut dapat bermanfaat bagi saya dan orang lain.
Pada saat ini, saya sedang mengembangkan ilmu pilihan saya, yaitu kajian antarbudaya
(Intercultural Studies). Saya percaya bahwa dengan mempelajari dan mengembangkan
kajian tersebut, dunia dapat belajar untuk saling menghargai dan dapat terhindar dari
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
peperangan.
Alasan saya memilih bidang keilmuan tersebut salah satunya karena saya sedari kecil
sudah terbiasa memiliki teman dari berbagai bangsa, yang juga memiliki budaya yang
beragam. Di Bogor ada banyak dosen dari Kentucky Contract Team, Amerika yang datang
bersama keluarganya untuk mengajar di Fakultas Pertanian. Saya tumbuh bersama anak-
anak mereka. Sahabat dekat saya bernama Cindy Kline. Karena saya terbiasa menggunakan
bahasa Inggris di rumah, maka tidak ada kesulitan bagi saya untuk berkomunikasi dengannya.
Tahun 1970 adalah tahun pertama saya bekerja di luar negeri. Pada saat itu saya
ditugaskan ke Jepang sebagai information aide. Di sana saya berkenalan dengan staf dari
ratusan negara perserta Expo 70. Saya menikmati persahabatan yang lebih luas dan merasa
nyaman dengan mereka. Sampai saat ini, rekan-rekan Expo 70 menjadi rekan saya seumur
hidup.
Secara teori saya mengembangkan kerja sama dengan SIETAR International (The
International Society for Intercultural Education, Training and Research) dan menjadi
Governing Council Member, saya mendirikan SIETAR Indonesia, Bina Antarbudaya, Pusat
Kajian Antarbudaya dan Agoes & Agoes Intercultural Management Consulting. Melalui AFS
Intercultural Programs, CIDA dan IIE (The Institute of International Education) saya bekerja
penuh waktu, hingga pada usia 65 tahun saya memutuskan untuk tidak lagi bekerja secara
penuh.
Dua bulan kemudian saya diminta membantu Pascasarjana UI dan DPT Majelis
Pendidikan pada tahun 2011. Dua kegiatan akademik yang saya nikmati sampai saat ini
sambil tetap mengembangkan kajian antarbudaya dalam kurikulum maupun dalam pelatihan
perusahaan nasional dan multinasional. Tahun ini saya berusia 72 tahun dan memiliki
sembilan cucu tetapi saya berniat untuk terus bekerja dan mengembangkan ilmu yang
bermanfaat. Insya Allah.
97
98
59. Pembelajaran Inovatif Berbasis Produksi
Oleh : Kokok Haksono Dyatmiko
Pendahuluan
Pada dasarnya pembelajaran inovatif berbasis produksi bukanlah hal yang benar-
benar baru. Sudah banyak institusi pendidikan baik di dalam maupun di luar negeri yang
menerapkannya, dan tentunya dengan berbagai istilah maupun nama yang digunakan.
Dikalangan pendidikan tinggi, penerapannya lebih sesuai pada jenjang dan jalur pendidikan
diploma. Pada jalur pendidikan diploma, yang layak dan sesuai untuk dilakukan adalah
“pengembangan produk”, dan bukan riset. Pendidikan diploma lebih dituntut untuk
menyelesaikan permasalahan masa kini, sehingga lulusannya lebih dituntut untuk memiliki
keseimbangan psikomotorik dan kognitif. Sedangkan pada ranah afektif, tetap merupakan
keharusan untuk dimiliki secara lebih utuh. Aktivitas pengembangan produk bisa dimanfaatkan
sebagai basis pembelajaran dengan berbagai versinya. Salah satu versinya adalah yang
diterapkan di Politeknik Manufaktur Negeri Bandung (POLMAN Bandung, dahulu PMS-
ITB), yang akan dijadikan bahan paparan. Sistem pembelajaran ini pada dasarnya adalah
“teaching factory”, sehingga disamping kaidah-kaidah pendidikan pada umumnya diterapkan
pula kaidah kultur korporat yang sudah baku. Dengan demikian sistem pembelajaran ini
sifatnya tidaklah spesifik dan bisa diterapkan dimana saja. Belakangan ini Kementrian
MARA dan MOHE Malaysia mencoba menerapkan Pembelajaran Berbasis Produksi versi
POLMAN Bandung.
Latar Belakang
Sebagai salah satu perintis pendidikan diploma, POLMAN Bandung yang dahulu
dikenal sebagai Politeknik Mekanik Swiss-ITB tetap konsisten menyelenggarakan program
pendidikan pada jalur vokasi, vocational oriented higher education. Program studi yang
diselenggarakan mengacu sepenuhnya pada kompetensi yang mudah dijumpai di dalam
masyarakat industri. Pada awalnya, 30 tahun lalu, diselenggarakan 3 Program Studi
yang berbasis mekanikal yaitu Teknik Pembuatan Perkakas Presisi/Tool Making; Teknik
Pemeliharaan Mesin/Maintenance Mechanics; Teknik Gambar dan Perancangan yang secara
substansial cenderung pada Tool Designing. Walaupun ketiga nama Program Studi tersebut
tidak lazim pada saat itu, namun Tool Designer, Tool Maker dan Maintenance Mechanics
bukanlah terminologi kompetensi yang asing di dalam dunia industri manufaktur. Akhir-akhir
ini banyak dibicarakan tentang kompetensi atau bahkan sampai pada Competency Based
Education, tetapi belum banyak lembaga pendidikan tinggi vokasi, politeknik, yang berani
mengeksplisitkan kompetensi pada program studi yang diselenggarakannya.
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Berkembangnya kebutuhan akan tenaga trampil menjelang tahun 90-an hampir dalam
semua bidang, pada tahun 1987 POLMAN Bandung mengembangkan Program Studi baru
dalam bidang pengecoran logam yaitu Program Studi Teknik Pengecoran Logam dan Teknik
Pembuatan Pola Pengecoran Logam. Kemudian dengan mengalirnya teknologi informasi,
pada tahun 1995 dikembangkan pula Program Studi Teknik Otomasi Manufaktur dan Teknik
Mekatronika. Semua nama program studi baru itu pun tetap memegang keterkaitan eksplisit
dengan kompetensi yang dimiliki lulusannya. Hingga sekarang POLMAN Bandung tetap
konsisten terhadap keterkaitan nama Program Studi dengan kompetensi serta kebenaran
kompetensi yang dimiliki lulusannya.
Hingga menjelang akhir tahun 80-an, sistem pendidikan yang diterapkan sepenuhnya
berorientasi praktis. Pada awal tahun 90-an, beranjak dari tuntutan eksternal baik kompetensi
lulusan maupun produk dalam konteks kapasitas, maka dikembangkan sistem pendidikan
Production Based Education (PBE). Di dalam sistem ini dimungkinkan pemanfaatan potensi
insani beserta kemapanan organisasi internalnya secara optimal. Mahasiswa bersama
pengajarnya belajar dan bekerja untuk menghasilkan karya yang bernilai ekonomis. Hampir
secara bersamaan dimana pada saat itu mulai ada tanda-tanda maraknya sistem ganda
(PSG), POLMAN Bandung mengembangkan sistem 3-2-1 kooperatif untuk program studi
yang diarahkan menjadi Industrial Trainer.
Selama kurang lebih 25 tahun, jenjang pendidikan yang diselenggarakan oleh POLMAN
Bandung masih Diploma-3. Kesempatan menyelenggarakan pendidikan Diploma-4 terjadi
pada tahun 1998, khusus untuk menyiapkan dan meningkatkan kualifikasi staf pengajar
politeknik. Program Diploma-4 ini tentunya dirancang secara khusus pula. Dengan mayoritas
penyelengaraan program D-3, kompetensi yang dimiliki lulusannya atau POLMAN Bandung
secara institusi sebagian besar pada umumnya masih bisa dikatakan pada kisaran mengubah
bahan mentah menjadi produk teknik yang bernilai ekonomis. Pemanfaatan potensi insani
yang mengarah pada produk-produk pada tingkat yang lebih tinggi baik dari segi nilai tambah
maupun teknologi masih belum tampak menonjol.
99
100
4. Kurikulumnya fleksibel dan sebagian menggunakan modul-modul
Desain Kurikulum
Standar Kompetensi
Pada saat POLMAN Bandung melakukan revisi kurikulum ditahun 2000, Standar
Kompetensi Nasional Indonesia untuk Industri Logam dan Mesin belum terbit, dan baru
terbit pada bulan Agustus 2002. Permasalahan ini sudah dihadapi POLMAN Bandung sejak
dimulainya tahun akademik yang pertama di tahun 1976. Menyadari keadaan ini, maka
secara berjenjang diambil langkah-langkah sebagai berikut:
1. Berdasarkan studi potensi industri di wilayah Bandung dan Jabotabek saat itu disimpulkan
bahwa praktikum mahasiswa harus mempunyai keterpakaian yang tinggi dan pada
akhirnya harus mempunyai nilai ekonomis.
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Produk tersebut merupakan salah satu produk standar POLMAN Bandung yang selama
ini dimanfaatkan untuk kepentingan pengembangan keterampilan dasar. Produk-produk
standar pada umumnya mempunyai tingkat kesulitan yang sudah terukur dan terdefinisi
dengan baik. Dengan memanfaatkan produk seperti ini untuk proses pembelajaran,
maka pada awalnya akan terbangun kompetensi internal yang bisa di-benchmark
dengan kompetensi eksternal untuk kepentingan validasi relevansi materi. Kedalaman
pembelajaran pada seluruh ranah akan bisa dipastikan dan diukur pencapaiannya, baik
untuk pembelajaran teori maupun praktik. Kurikulum yang tersusun adalah “kerangka
kurikulum” yang solid dengan isi/materi yang fleksibel. Fleksibilitas bisa dicapai dengan
mengembangkan produk-produk standar yang lain yang layak jual, dan yang sesuai
dengan tuntutan industri terkini.
Produk semacam ini mempunyai tingkat kesulitan yang cukup tinggi untuk ukuran
suatu lembaga pendidikan. Kesulitan-kesulitan pada saat pembuatan baru merupakan
101
102
perkiraan berdasarkan teori dan pengalaman para perancangnya/mold designer serta
para pembuat cetakan/mold maker. Produk-produk semacam ini dimanfaatkan untuk
teori dan praktik tingkat lanjut, dimana tingkat dasarnya memanfaatkan produk-produk
standar. Sistem ini hingga sekarang tetap dijalankan dan dikenal sebagai Production
Based Education (PBE) berbasis pada pengembangan produk semacam ini, Program
Studi Teknik Perancangan/Tool Design Technology bisa menurunkan keterampilan-
keterampilan yang diperlukan dengan mata kuliah terkait serta kedalaman pembelajaran
untuk masing-masing mata kuliah yang diberikan.
4. Praktik Lapangan (PPL), yaitu di semester 4 (empat) dan 5 (lima). Benchmark kompetensi
berlangsung secara otomatis setiap tahun ketika mahasiswa kembali ke kampus untuk
melanjutkan semester-6. Selain monitoring yang dilakukan oleh POLMAN Bandung,
menjelang semester-6 dimulai, mahasiswa diwajibkan mempresentasikan hasil PPL-nya.
Dengan demikian tingkat relevansi pembelajaran di POLMAN Bandung bisa dievaluasi
dan dipastikan.
Kendala dalam kaitannya dengan standar kompetensi industri yang diacu, adalah
beragamnya pendapat baik mahasiswa maupun staf pengajar yang melakukan monitoring.
Dalam hal ini diperlukan peran kuat Pembantu Direktur Bidang Akademik bersama tim-
nya untuk menentukan elemen kompetensi, materi yang harus diberikan, dan kedalaman
pembelajarannya. Kendala lain adalah menurunnya “image” POLMAN Bandung, bila
ternyata peralatan di industri yang mahasiswa manfaatkan selama PPL lebih canggih.
Sistem Pembelajaran
Lebih rinci tentang penerapan sistem Pembelajaran Berbasis Produksi dan 3-2-1
Kooperatif, dapat diuraikan sebagai berikut:
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
relevansi pendidikannya tetap tinggi, maka semua jenis latihan pengembangan keterampilan
harus menghasilkan produk-produk yang layak jual atau bahkan merupakan produk-
produk pesanan dari industri manufaktur. Produk Standar yang dikembangkan POLMAN
Bandung dimanfaatkan untuk pengembangan keterampilan tingkat dasar, sedangkan
produk pesanan dimanfaatkan untuk pengembangan keterampilan tingkat lanjut. Prinsip-
prinsip Tepat Waktu, Unggul Mutu dan Sadar Biaya diterapkan secara ketat dalam proses
pembelajaran, mengingat keterkaitannya dengan pihak eksternal. Dengan demikian para
mahasiswa mengembangkan keterampilannya dengan memanfaatkan produk-produk nyata
dan bernilai ekonomis serta belajar berperilaku secara benar dalam berkarya. Di dalam
sistem pembelajaran ini seorang dosen bisa berfungsi ganda, disamping memberikan kuliah
ataupun instruksi dalam praktikum, seorang dosen juga melakukan penyelesaian terhadap
proses pengerjaan produk oleh mahasiswa di dalam kerangka praktikum. Dengan demikian
sumber daya yang dimiliki termanfaatkan secara efisien untuk menghasilkan lulusan yang
berketerampilan tinggi pada bidangnya dan produk-produk yang bernilai ekonomis layak
jual sebagai hasil dari latihan-latihan dalam rangka praktikum pengembangan keterampilan
mahasiswa. Materi pembelajaran selalu ter-update, karena baik dosen maupun mahasiswa
menggunakan obyek-obyek nyata dalam proses pembelajarannya, yang mana sebagian
besar merupakan pesanan dari industri.
Facets:
• Materi pembelajaran selalu dinamis, karena memanfaatkan obyek-obyek riil pesanan
industri yang didasarkan pada kepentingan aktualnya.
• Dosen dan mahasiswa, disamping mempelajari pengetahuan dan keterampilan yang
aktual, juga harus berperilaku yang sesuai dalam berkarya, karena selalu berhubungan
dengan industri.
• Karya-karya yang dihasilkan mahasiswa bersama dosennya dalam rangka praktikum
pengembangan keterampilan mengacu pada standar industri baik nasional maupun
internasional.
• Sumber daya termanfaatkan secara lebih efektif karena menghasilkan lulusan yang
berketerampilan aktual pada bidangnya. Hemat material dan energi karena menghasilkan
barang-barang bernilai ekonomis.
103
104
based, tetapi memiliki semua parameter pengendali yang ada di kedua pendekatan di atas.
Oleh karenanya, lulusannya tidak diragukan memiliki kecakapan intelektual, sikap dan
keterampilan yang diperlukan oleh industri. Program kerja industri selama 2 semester setelah
pembekalan keahlian 3 semester disamping dapat mencapai target akademis, juga mampu
memberikan sumbangan profesional bagi industri. Hal ini ditunjukkan oleh penghargaan
industri terhadap peserta praktik kerja dalam bentuk insentif bulanan yang rata-rata melebihi
kebutuhan bulanannya selama masa praktik kerja.
Facets:
• Materi pembelajaran terstruktur dengan menggunakan modul-modul.
• Aktualisasi pengetahuan dan keterampilan mahasiswa terjadi di lingkungan industri,
dimana mereka melakukan kerja praktik lapangan selama 2 semester.
• Dengan menggunakan metode kooperatif 3-2-1, untuk meningkatkan kapasitas daya
tampung mahasiswa bisa menghemat investasi peralatan dan fasilitas mendekati 30%.
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Penyampaian Pembelajaran
Dengan menerapkan PBE dan sistem 3-2-1 Kooperatif, POLMAN Bandung memakai
sistem blok dalam penyelenggaraan pendidikannya. Dalam pelaksanaannya pembelajaran
teori dan praktik berlangsung secara terpisah, dan mempunyai bobot SKS masing-masing
secara terpisah pula. Pada dasarnya, 1 (satu) minggu dimanfaatkan untuk pembelajaran
teori di dalam kelas, dan selama 2 (dua) minggu berikutnya dimanfaatkan sepenuhnya untuk
praktik di lab atau bengkel.
Mata kuliah teori, terutama yang terkait dengan pencapaian keahlian/kemahiran lebih
bersifat kontekstual. Materinya lebih bersifat mendukung mata kuliah praktik. Pola ini sudah
berjalan selama kurang lebih 25 tahun, dan sudah terbukti bisa memenuhi kebutuhan
minimum “knowledge” yang harus dimiliki oleh seorang D-3 lulusan POLMAN Bandung.
Tetapi dengan adanya tuntutan menjadi suatu vocational oriented higher education, dan
dengan dukungan ICT dan multimedia, harus memiliki bobot yang memadai dalam menuju
knowledge based society.
Sejauh ini pembelajaran praktik dilaksanakan dengan menerapkan high order dicipline
untuk ukuran lembaga pendidikan umum. Mengingat bahwa tujuan pembelajaran praktik
adalah untuk skills development (bukan untuk tujuan validity), maka Standar Prosedur
Operasional, “Order”, rasio mahasiswa/staf pengajar merupakan elemen-elemen pengajaran
yang penting untuk tujuan pencapaian keahlian/kemahiran/kebisaan yang sesuai dengan
tujuan kurikulum. Pada dasarnya mata kuliah teori diberikan terlebih dahulu sebelum
melakukan praktik. Apabila kondisi ideal ini terganggu, instruksional singkat dan khusus
diberikan terlebih dahulu.
Penutup
Paparan yang berbasis pada pengalaman selama kurang lebih 30 tahun terlibat dalam
menjalani pendidikan, melaksanakan pendidikan, dan mengelola pendidikan di POLMAN
Bandung, diharapkan bisa memberikan kontribusi positif terhadap pengembangan pendidikan
vokasi di tanah air, terutama pendidikan politeknik dan program diploma. Kekurangan, kondisi
kurang sesuai dalam paparan ini diharapkan tetap bisa menginspirasi para pengembang
pendidikan vokasi.
105
106
Bahan Bacaan
Banner, M J Jr; Cannon, H C. (1997) The Elements of Teaching, London: Yale University
Press.
Tim POLMAN Bandung (1996) Pengembangan Profesi Teknisi di National Astra Motor,
Bandung: Politeknik Manufaktur Negeri Bandung.
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Pengantar
Tulisan ini merupakan pikiran dan pengalaman yang saya lalui ketika saya memimpin
satu unit di sebuah perguruan tinggi negeri di Indonesia ini. Sejak awal saya menjadi
tenaga pengajar di perguruan tinggi tersebut, ada keinginan yang tak pernah pudar, yaitu
ingin meniru berbagai tokoh yang mempunyai komitmen amat kuat dalam mengabdikan
dirinya pada upaya-upaya penguatan dan pengembangan pendidikan tinggi. Nah, kata
kunci “komitmen” ini amat enak didengar karena bunyi ujungnya bunyi sengau dalam istilah
fonetik, begitu juga mudah diucapkan karena hanya ada 3 suku kata saja, tetapi termasuk
yang tidak mudah untuk diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Tapi lepas dari
sukar atau mudahnya diimplementasikan, komitmen adalah salah satu karakter yang amat
penting bagi civitas akademika dalam kaitan dengan peningkatan mutu proses dan hasil
pendidikannya.
Komitmen itu dalam Kamus Bahasa Indonesia merujuk ke “perjanjian untuk melakukan
sesuatu,” atau merujuk ke penyepakatan “kontrak.” Seseorang yang memilih sebuah
pekerjaan pada dasarnya mengikatkan diri dengan sejenis atau serangkaian pekerjaan
yang telah ditetapkan oleh tempat kerja tersebut. Komitmen itu sebagaimana disebutkan di
atas sepadan juga dengan kontrak, yang berarti merujuk pada “perjanjian antara dua pihak,”
antara yang mempekerjakan dengan yang dipekerjakan.
Nah, begitulah cita-cita saya, ketika menjadi dosen ingin mengikatkan diri dengan
pekerjaan sebagaimana disenaraikan untuk seorang dosen, dan ketika menjadi pejabat juga
ingin mengikatkan diri kepada tugas pokok dan fungsinya. Itulah komitmen. Kadang-kadang
berhasil, kadang-kadang tidak karena banyak godaannya, tetapi dalam konteks upaya, saya
selalu berusaha dan mengusahakan agar komitmen ini tetap tumbuh subur di dalam diri,
dan tercermin dalam tindakan.
Apa yang saya ceritakan di bawah ini bercampur aduk antara imajinasi, keinginan, hasil
bacaan, harapan, dan beberapa kenyataan. Intinya, siapa tahu ada manfaat sebagai lesson-
learnt terutama bagi teman-teman yang mau, akan atau sedang dipercaya memangku
tugas, mengemban jabatan. Karena isinya merupakan “karedok” yang didalamnya berbaur
antara imajinasi, keinginan, hasil bacaan, harapan, dan beberapa kenyataan, para pembaca
dipersilakan untuk memilih dan memilah mana dan apa yang mungkin ada manfaatnya.
Tulisan ini merupakan catatan saya berkenaan dengan kiprah dan unak-anik yang bertemali
dengan jabatan tersebut.
107
108
Ada beberapa kata kunci yang tersirat pada semua bagian cerita ini, yaitu konsistensi,
kegesitan, keberdayasaingan, dan kebersamaan, rangkaian sifat yang amat penting dalam
konteks pembentukan karakter insan perguruan tinggi. Makna dari setiap kata kunci ini yang
sebaiknya menjadi background knowledge bagi para pembaca tulisan ini, walaupun pada
bagian-bagian tulisan ini tidak secara tersurat dieksplisitkan.
Menata Keinginan
Setelah hampir 3 tahun saya turut berkiprah di posisi eselon 2 pada sebuah Kementerian
di Jakarta, dan 5 tahun mendapat tantangan tugas pada posisi eselon 1 di sebuah
Kementerian Koordinator, saya mendapat kepercayaan mulai tahu 2010 untuk memimpin
Sekolah Pascasarjana (SPs) di sebuah Universitas negeri, yang universitas tersebut telah
melalui sejarah yang relatif panjang dalam ukuran usia PT di Indonesia.
Alur sejarah SPs-nya dimulai pada tahun 1968 tatkala universitas tersebut membuka
program yang disebut dengan Lembaga Pendidikan Post Doktoral yang disingkat dengan
LPPD. Usia yang memasuki dekade ke-5 merupakan penanda kematangan yang lebih bila
dibandingkan dengan apa yang berkembang pada perguruan tinggi lain di Indonesia.
Kenyataan bahwa, pada tahun 2010, SPs tersebut telah melepas lebih dari 3500 lulusan
dengan gelar magister dan lebih dari 600 lulusan dengan gelar doktor merupakan salah
satu penanda matangnya lembaga ini, apalagi bila kita melihat beraneka peran yang telah
dimainkan oleh lulusannya di berbagai ranah kehidupan baik akademik maupun kegiatan
sosial politik lainnya.
Di balik itu semua, perubahan mendasar dalam tatanan pendidikan sebagai bagian
tak terpisahkan dari berbagai pergeseran dalam kehidupan bermasyarakat secara nasional
maupun global telah menuntut lembaga pendidikan tinggi untuk memberikan tanggapan
yang tepat waktu dan tepat sasaran. SPs tidak terkecuali dalam hal ini, bahkan karena
posisinya sangat memberi warna kepada komponen dan konstituen lain yang ada di dalam
peguruan tinggi ini, SPs perlu mencermati secara lebih arif lagi visi, misi dan tujuannya serta
program strategis yang akan dijalankannya.
Dalam pendidikan tinggi, dari perspektif kebijakan nasional, perubahan mendasar itu
terletak pada pergeseran paradigma sentralistik ke paradigma desentralistik yang ditandai
dengan sokongan pada daya saing bangsa, otonomi yang handal dan bermartabat, serta
kewarasan organisasi. Lazimnya keinginan itu tereksplisitkan dalam visi dan misi. Visi
adalah ekspektasi, bukan angan-angan. Visi adalah masa depan yang hendak diraih. Dalam
konteks ini, Universitas tersebut sendiri sebagai perguruan tinggi telah memasang visi yang
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
berat dan sangat menantang yaitu menjadi universitas pelopor dan unggul dalam disiplin
ilmu pendidikan dan pendidikan disiplin ilmu.
Selain itu misi SPs adalah menciptakan budaya meneliti dengan mengembangkan
payung-payung penelitian oleh dosen dengan melibatkan mahasiswa dalam penyelesaian
studi, serta sekaligus mengembangkan budaya akademik melalui peningkatan mutu
secara sinambung pada berbagai bidang strategis dan penciptaan jejaring baru, program
entrepreneurship dan kelas-kelas internasional, serta pusat-pusat kajian yang krusial sesuai
skala prioritas dan kebutuhan masyarakat.
Lulusannya diharapkan memiliki wawasan yang luas dan kepedulian yang tinggi terhadap
pendidikan dengan segala aspeknya, memiliki penguasaan yang mendalam dalam bidang
ilmu yang menjadi keahliannya, serta memiliki kemampuan meneliti, mengembangkan,
merencanakan, dan mengelola pendidikan serta menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan
teknologi di bidang pendidikan.
Ciri lain yang diharapkan menjadi karakteristik dari lulusan SPs tersebut adalah
lulusan yang memiliki integritas yang tinggi, terbuka dan tanggap terhadap kemajuan ilmu
pengetahuan dan perkembangan masyarakat, mampu mengembangkan ilmu khususnya
disiplin ilmu pendidikan dan pendidikan disiplin ilmu, dan terus menerus memotivasi diri
sebagai ilmuwan.
Visi, misi, dan tujuan di atas merupakan pegangan arah pengembangan SPs tersebut,
sekaligus menjadi alat ukur untuk melihat sejauh mana upaya-upaya yang dilakukan oleh
segenap unsur lembaga tersebut berada pada jalur yang tepat dengan sasaran sesuai yang
diharapkan. Visi, misi, dan tujuan ini menjadi patokan untuk melahirkan program-program
strategis yang perlu dikembangkan.
Visi dan misi baru terlihat operasional bila diterjemahkan ke program strategis. Dalam
upaya pengembangan SPs sebagai bagian tak terpisahkan dari universitas tersebut, program
109
110
strategis yang digelar tentu harus dalam tata dan tertib yang sealur dengan kebijakan pada
tatanan universitas dengan tetap memanfaatkan semangat otonomi kelembagaan yang
digunakan untuk kemaslahatan pengembangan SPs yang utuh dan kokoh. Dari sisi sinergi
kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia, program strategis SPs di Universitas tersebut juga
dapat dikemas di sekitar tata kelola (governance), sumber daya manusia, peraturan, dan
penjaminan mutu akademik.
Jangkauan
Ada berbagai jangkauan yang hendaknya digapai dalam mengelola unit lembaga
pendidikan semuskil SPs ini: tata-kelola, sumber daya manusia, peraturan, dan penjaminan
mutu akademik. Dalam konteks tatakelola, sumber daya manusia, peraturan dan penjaminan
mutu akademik ini, kondisi idaman strategis yang ingin dicapai menurut RPJM Kemendiknas
2010- 2014 patut menjadi acuan, yang untuk bidang pendidikan tinggi dan yang relevan
dengan program pascasarjana, meliputi:
a. Semua PT memperoleh sertifikasi ISO 9001:2008,
b. Semua prodi yang menerbitkan ijazah memiliki izin operasi dan berakreditasi, 55%nya
berakreditasi minimal B, dan 150 prodi berakreditasi internasional (OECD),
c. Minimal 2 PT masuk peringkat masing-masing TOP 200, TOP 300, TOP 400, dan TOP
500 dunia versi THES
d. Semua dosen program S2, profesi, spesialis, dan S3 berkualifikasi S3, bersertifikat,
memiliki akses internet dan e-journal, dan menerapkan pembelajaran berpusat pada
mahasiswa yang kontekstual berbasis TIK,
e. Sebesar 40% dosen PT milik negara melakukan publikasi dan 5% melakukan publikasi
internasional, 20% dosen tetap PTS melakukan publikasi dan 1% melakukan publikasi
internasional,
f. Paten yang dihasilkan 300, 85% lulusan program S2/Profesi/Spesialis, dan 99% lulusan
program S3 bekerja dalam waktu 1 Tahun setelah lulus.
Tata Kelola
Program di atas kertas diharapkan tercerminkan dalam kegiatan dan upaya nyata pada
kegiatan dari hari ke hari. Program strategis itu akan mampu diejawantahkan bila tata-kelola
diatur secara baik dan benar—baik karena cocok dengan cita rasa yang lazim dipahami
dan dilaksanakan di berbagai institusi sejenis, dan benar karena segala langkahnya sesuai
aturan yang telah ditetapkan. Tata-kelola SPs sebagai bagian dari sebuah perguruan tinggi
ditandai dengan keunikan yang berbeda dari organisasi pemerintah, bisnis, atau industri.
Pendidikan tinggi mempunyai ciri khas dalam mengembangkan sistem nilai dan norma seperti
pencarian kebenaran, kejujuran dan rasa saling percaya. Oleh karena itu pembenahan tata-
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Dari sisi tata-kelola, SPs di universitas tersebut mempunyai kekuatan antara lain
kesejarahan dan pengalaman yang memasuki dekade ke-5, telah pernah mengalami
berbagai bentuk pengelolaan, mempunyai potensi leadership yang ditokohkan bahkan pada
tataran nasional, dan telah melahirkan birokrat handal di berbagai PT dan lembaga yang
menyebar secara luas di Indonesia ini. Di balik kekuatan itu, ada kelemahan inheren yang
harus diwaspadai, seperti besarnya jumlah program studi, luasnya populasi mahasiswa,
dan jurang “keterampilan” administratif antara unsur pimpinan akademik dan pengelola
administratif.
Namun peluang begitu banyak dan terbuka bagi SPs tersebut untuk menjadi lembaga
pendidikan pascasarjana yang merupakan pelopor dan unggul, antara lain karena universitas
tersebut sendiri akan memberi keleluasaan bagi SPs untuk berkreasi dan berinovasi. Selain
itu SPs tersebut dapat merentangkan sayapnya dalam menciptakan berbagai bentuk
kolaborasi dan kerja sama karena tenaga pengajarnya datang dari berbagai perguruan tinggi
mancanegara, juga alumninya tersebar secara luas di seluruh nusantara dalam berbagai PT
dan lembaga pemerintahan dan lembaga swasta. Dari sini muncul berbagai tantangan yang
dapat dihadapi dengan berbagai program strategis. Di antara program strategis berkenaan
dengan tata-kelola yang dapat dikembangkan adalah sebagai berikut:
a. penguatan otonomi bagi program studi dalam menata program akademiknya dengan
mengacu kepada baku mutu yang ada;
b. pendekatan berbagi dan partisipatoris antar pimpinan SPs secara horizontal maupun
vertikal dalam mengimplementasi-kan program Sekolah;
c. pengembangan proses penentuan kepemimpinan pada SPs yang mengutamakan prinsip
meritokrasi ketimbang popular votes;
d. penyeimbangan pada tataran Sekolah antara keseragaman dan ciri khas lintas program
studi dalam hal pengelolaan pelaksanaan program, ukuran kelas, dan hal-hal prosedural
administratif perkuliahan;
e. perluasan tawaran program yang terkendali mutu dengan menggunakan ukuran yang
ada secara internal maupun eksternal;
f. pembakuan pokok-pokok proses belajar mengajar, dengan memberi keleluasaan inovasi
111
112
dan improvisasi bagi setiap individu pengajar.
Tata-kelola ini perlu dikembangkan pula dengan melihat pertumbuhan perguruan tinggi
di Indonesia yang pada 3 tahun terakhir ini berkembang amat pesat rata-rata 9.4% dengan
jumlah total di atas 3.000 institusi. Pada saat yang sama, perkembangan yang terjadi di
tataran persekolahan perlu dicermati juga, termasuk diimplementasikannya gagasan
Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional, yang telah banyak mengundang pro dan kontra
sekaligus.
Tata-kelola sebuah institusi akan amat bergantung pada sumber daya manusia yang
penuh komitmen. Pengelolaan sumber daya manusia di perguruan tinggi perlu ditangani
secara spesifik. Kinerja komunitas akademik akan berkembang dengan baik apabila
berkembang kebebasan akademik yang tinggi, yang harus diciptakan dengan dukungan
peluang dan fasilitas. Pengelolaan sumber daya manusia pada SPs tersebut perlu dilakukan
dengan tujuan untuk efektivitas dan efisiensi pemanfaatan potensi yang dimiliki.
Kekuatan SDM pada SPs di universitas tersebut ditandai dengan jumlah penyandang
gelar S3 dengan latar belakang pendidikan yang bervariasi serta asal beraneka dari dalam
negeri dan juga dari luar negeri. Selain itu, rata-rata SDM ini mempunyai pengalaman
yang kaya, baik pengalaman masing-masing pada berbagai ranah dan kegiatan akademik
maupun administratif di perguruan tinggi tersebut maupun pada lembaga atau kegiatan di
tingkat lokal, nasional, dan internasional.
Di balik itu, kita masih melihat kelemahan SDM dalam pemanfaatan teknologi informasi
baik untuk kepentingan akademik maupun untuk efisiensi administrasi. Namun luasnya
networking yang dimiliki oleh para dosen SPs universitas tersebut merupakan peluang
tersendiri yang dapat dimanfaatkan baik untuk penguatan akademik dan perluasan wawasan,
maupun untuk kepentingan benchmarking. Dalam menyiapkan sumber daya manusia
berkualitas patut dirujuk Rencana Strategis Kemendiknas 2005-2025 yang memperlihatkan
upaya dari peningkatan kapasitas dan modernisasi (2005-2009), penguatan pelayanan
(2010- 2014), penguatan daya saing regional (2015-2019), dan penguatan daya saing
internasional (2020-2025).
Untuk itu, berbagai tantangan perlu dihadapi antara lain melalui program strategis yang
dapat dikembangkan sebagai berikut:
a. identifikasi potensi terjualkan dari para tenaga pengajar dan tenaga administrasi;
b. peningkatan mutu tenaga akademik dan tenaga administratif melalui berbagai kegiatan
seminar, lokakarya dan pelatihan, baik yang bersifat lokal, nasional maupun internasional;
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Peraturan
Peraturan positif pada tataran nasional maupun lokal perguruan tinggi akan turut
memberi warna pada pengembangan SPs di perguruan tinggi ini. Dalam sejarahnya,
perguruan tinggi ini mempunyai kekuatan tersendiri karena kemauannya untuk memenuhi
aturan perundangan yang berlaku. Misalnya, selama ini peraturan perundang-undangan
yang menyangkut kelembagaan serta kepegawaian dijadikan pegangan dalam mengelola
lembaga ini. Otonomi yang diemban oleh perguruan tinggi ini merupakan budaya baru.
Kelemahan inheren yang ada adalah kesulitan untuk mengubah paradigma, yang tentu
harus dicerminkan dalam aturan atau peraturan yang dilahirkannya.
Tekad yang ada untuk memperkuat sistem, merupakan peluang selain adanya
‟keleluasaan‟ sebagai bagian dari perguruan tinggi ini bagi SPs untuk melahirkan aturan
dan peraturan yang menertibkan dan sekaligus memberi keleluasaan untuk berinovasi dan
berkreasi. Ini merupakan tantangan tersendiri. Peraturan yang menyangkut mekanisme
tata-kelola interen baik yang menyangkut masalah administratif maupun akademik perlu
dikembangkan untuk memenuhi keperluan ketaat-asasan kita dalam menciptakan lembaga
yang waras atau yang sehat. Di antara peraturan yang perlu dikembangkan dan atau
dicermati lagi antara lain adalah:
a. kendali mutu produk: tesis & disertasi, serta penyediaan basis data yang dapat dijadikan
acuan dalam menelorkan produk bermutu;
b. tata-kelola dengan aturan eksplisit, terutama yang menyangkut pengembangan program;
c. aturan pencegahan bahaya plagiarisme dengan mekanisme pengendaliannya serta
jenis-jenis hukuman yang pantas diterapkan di dalamnya.
113
114
Penjaminan Mutu Akademik
Penjaminan mutu pada SPs tersebut mempunyai peluang dapat dilakukan dengan
baik karena banyaknya SDM yang turut terlibat dalam upaya penjaminan mutu secara
nasional. Untuk kepentingan validitas eksternal dalam upaya penjaminan mutu itu, bisa juga
kita meminta jasa lembaga eksternal. Tantangan yang harus dihadapi ialah pembentukan
upaya penjaminan mutu yang dilakukan secara built-in dalam kelembagaan kita dari mulai
tataran universitas, sekolah, dan program studi itu sendiri.
Dalam persaingan yang bukan saja antar PT lokal tapi juga antar PT secara global,
standar mutu sudah menjadi tuntutan yang fundamental. Kemampuan sebuah lembaga
pendidikan tinggi, termasuk SPs di dalamnya, untuk bisa bertahan dan berhasil dalam
persaingan ditentukan oleh kemampuan dalam memberikan jaminan mutu akademiknya.
Untuk agar kompetitif pada tataran global, perlu kita rujuk dan jadikan pedoman berbagai
pemeringkatan internasional yang dilakukan oleh berbagai pihak termasuk THES, Jiatong,
dan Webometrics. Kriteria yang dikembangkan THES misalnya mencakup reviu sejawat,
reviu pengguna lulusan, rasio dosen-mahasiswa, indeks sitasi, dosen internasional dan
mahasiswa internasional.
Berbagai program strategis dalam penjaminan mutu ini dapat dilakukan antara lain
sebagai berikut:
a. program “tuning-in‟ bagi mahasiswa SPs yang hadir dengan kemampuan dasar yang
“kurang‟ memadai, sebagai akibat atau pengakuan dari adanya disparitas input;
b. penggalakan kerja sama dengan perguruan tinggi lain di dalam dan di LN sebagai bagian
akselerasi upaya penjaminan mutu, misalnya penciptaan kerja sama dual degree;
c. pengendalian standar perkuliahan baik dari sisi penataan waktu maupun dari sisi
pengembangan bahan ajar dan juga pengembangan standar penyelesaian studi,
misalnya pembakuan bentuk dan tata letak tesis atau disertasi, serta pembakuan tatanan
ujian tertulis, maupun lisan;
d. kajian sistematik tentang kontribusi lulusan terhadap pembangunan bangsa, yang
sekaligus berfungsi sebagai feedback untuk perbaikan program.
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Program strategis yang diuraikan di atas tentu harus menunjang kebijakan dan program
yang telah digariskan dalam Rencana Strategis perguruan tinggi tersebut. Dalam aspek
pendidikan salah satu indikator realisasi program Renstra tersebut adalah semakin besarnya
jumlah mahasiswa program pascasarjana. Mendekati 1000 mahasiswa baru yang diterima
di SPs tersebut untuk tahun ajaran 2010/2011 merupakan bagian upaya ke arah itu. Ini tentu
harus dijaga dengan baik, agar ekspansi ini tidak berdampak negatif terhadap mutu antara
lain dengan program-program yang disebutkan di atas. Selain itu, untuk merealisasikan
tuntutan adanya program studi yang berstandar internasional tentu harus didorong oleh
kekuatan yang ada pada SPs ini.
Di sisi lain, indikator keberhasilan aspek pendidikan pada perguruan tinggi tersebut itu,
khususnya di SPs, adalah tercapainya rata-rata IPK lulusan yang meningkat dari tahun ke
tahun—S2: 3,30 (2006), 3,34 (2007), 3,47 (2008), 3,47 (2009); S3: 3.50 (2006), 3,63 (2007),
3,64 (2008), 3,66 (2009). Tentu saja, harus dicermati serta dipandu juga dengan baik agar
tidak terjadi inflasi dalam evaluasi, yaitu adanya nilai yang tinggi tetapi tidak terimbangi oleh
mutu yang dicapai oleh lulusannya.
Dalam konteks ketersediaan infrastruktur ICT, fasilitas dasar telah mulai dikembangkan
lewat jejaring internet di universitas tersebut dan di dalam sistem SPs sendiri. Pemanfaatan
fasilitas ini perlu didorong melalui tugas-tugas perkuliahan serta kajian dan penelitian untuk
S2 dan S3. Perkuliahan dengan sistem e-learning serta pemanfaatan virtual library menjadi
indikator realisasi Renstra perguruan tinggi tersebut, dan dalam kaitan dengan ini SPs
tersebut telah menanam dasar-dasar yang baik, sehingga pengembangannya ke depan
relatif lebih mudah.
115
116
Penutup
Dalam satu tahun terakhir pada jabatan saya tersebut, semua unsur yang terlibat
berupaya keras untuk memperkokoh keinginginan mewujudkan, mengembangkan,
dan mempertahankan upaya-upaya bermutu. Hal-hal pokok yang kelihatannya perlu
perhatian teramat sungguh, yaitu yang terkait dengan: fondasi, konsistensi, kegesitan,
keberdayasaingan, dan kebersamaan.
Dalam konteks fondasi, peraturan perundangan yang ada yang menyangkut SPs dalam
keseluruhan urusannya masih perlu diterjemahkan ke peraturan pelaksanaannya secara
lebih operasional dan jelas. Aturan-aturan ini ada yang perlu dikembangkan di tingkat
universitas, ada yang cukup pada tingkat SPs. Persoalan mekanisme kerja pimpinan sampai
ke Ka Prodi, tata cara ujian dan monitoring perkuliahan, serta upaya mengefektifkan semua
dosen dan pegawai dalam melaksanakan dan memantau kegiatan akademik maupun ujian
sebagiannya sudah diatur dalam bentuk Ketetapan Direktur SPs tersebut dan juga SOP
yang sudah dikembangkan, dan sebagian bentuk-bentuk kegiatan lainnya lagi masih perlu
dikembangkan.
Hal lain yang terakhir, tapi teramat penting untuk tidak diabaikan, adalah kebersamaan.
Kebersamaan antara pimpinan SPs, Ka Prodi dan staf. Kebersamaan yang memerlukan
ketelatenan pimpinan untuk melihat persoalan bawahannya. Kebersamaan yang membuka
kunci keterbukaan, sehingga tak ada persoalan yang menyembul ke luar sebelum diketahui
di dalam. Dalam banyak hal, keterbukaan sudah terbina dengan baik di SPs. Kebersamaan
dan keterbukaan tentu sekaligus harus dikembangkan dalam kerangka penguatan
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Dengan menyadari kekurangan yang saya miliki, saya sama sekali tidak berpretensi
bahwa apa yang diuraikan di atas sudah komprehensif dan konklusif. Semuanya merupakan
gagasan awal yang baru sebagiannya saja yang telah direalisasikan yang tentu saja masih
memerlukan pengasahan dan bahkan bahasan kritis dari berbagai pihak yang mempunyai
kepedulian pada SPs di universitas tersebut dan bersentuhan dengan SPs tersebut dari
hari ke hari. Misalnya, dari sisi kontekstualisasi, program strategis yang dimiliki tentu harus
disenadakan dan selanjutnya diimplementasikan di atas landasan nilai-nilai yang dianut
oleh lembaga pendidikan tinggi ini. Dari sisi kemungkinan keberhasilan merealisasikan
program program yang ditawarkan, dukungan dan kesepahaman dari semua pemangku
kepentingan akan sangat diperlukan. Pekerjaan mengembangkan SPs adalah pekerjaan
banyak pihak, oleh karena itu kerja sama yang kokoh dan menyatu secara baik, dengan
semangat persaudaraan yang kompetitif, akan menjadi prasyarat keberhasilannya.
Selama 14 bulan saya memimpin SPs tersebut, dengan gaya dan tenaga serta
kemampuan yang ada, saya menyadari kekurangan-kekurangan saya. Mengapa hanya
14 bulan? Itu karena ketika masa jabatan paruh waktu tersebut habis, usia saya sudah
melampaui 60 tahun. Memang, kata teman saya, visiting professor dari Australia, adalah
aneh dan sangat diskriminatif mengapa usia menjadi syarat jabatan tersebut. Topik ini
mungkin memerlukan tulisan lain, ya. Nah, dalam masa waktu yang relatif pendek itu, bila ada
keberhasilan seperti terakreditasi ISO untuk beberapa program studi, serta terakreditasinya
dengan baik oleh BAN PT untuk semua Prodi yang telah diajukan, semuanya merupakan
hasil kerja keras dan kerja sama yang baik di antara para penanggungjawab dan staf.
Untuk itu permohonan maaf saya sampaikan kepada semua pihak serta terima kasih atas
kepercayaan yang amat menyenangkan ini.
Pertama, saya ucapan terima kasih kepada Bapak Rektor yang telah memberi amanah
ini, serta permohonan maaf atas segala kekurangan saya. Kepada pimpinan dan anggota
MWA, SA serta SPM, Para Pembantu Rektor, Para Dekan, Ka LPPM serta unsur pimpinan
dan dosen serta staf di seluruh universitas ini, saya ingin menyampaikan penghargaan atas
117
118
dukungan dan kerjasamanya selama 14 bulan ini, serta permohonan maaf yang setinggi-
tingginya atas segala gaya dan kekhilafan yang saya perbuat. Kalaupun bentuknya membuat
Bapak/Ibu tidak berkenan, biasanya maksud saya insya Allah baik. Sekali lagi permohonan
maaf.
Permohonan maaf serta terima kasih yang tiada terhingga kepada kedua Asisten
Direktur saya yang dari hari ke hari memberikan butir-butir yang perlu saya cermati dan
sekaligus menerima arahan serta keseringannya nurut pada apa yang saya minta, kecuali
bila ada yang tidak sepadan dengan aturan perundangan yang ada, keduanya akan segera
memberikan koreksi yang amat positif. Para Kasi dan Kasubbag selalu responsif terhadap
gagasan dan permintaan saya dalam menuntaskan program dan menangani persoalan
yang dihadapi. Komitmen mereka amat baik dan perlu terus dibina serta dikembangkan.
Semua staf amat hormat kepada saya, mungkin salah satunya karena tak ada
yang pernah saya marahi secara terbuka. Saya memohon maaf karena belum semua
permintaannya dapat direalisasikan, tapi bersama dengan kedua Asdir telah banyak hal
yang menyangkut kesejahteraan mereka yang direalisasikan. Staf administratif yang khusus
membantu saya dan sopir saya paling banyak disuruh-suruh. Saya sering meminta staf
saya itu mengetik ulang surat berulangkali terutama pada awal masa jabatan saya hanya
karena salah ejaan atau salah mengetik nama. Mohon maaf kalau saya agak ‟cerewet‟
tentang kesalahan kecil yang masih saja saya temukan, karena itu bagian dari proses
pembelajaran. Sopir saya tidak pernah mengatakan tidak kalau diminta mengantar saya ke
mana saja, sepertinya tak pernah ngantuk, dan tidak merasa lelah.
Ada yang teramat penting untuk tidak boleh saya lewatkan. Selama menjabat ini,
serta tentu sebelum dan sesudahnya, isteri saya adalah penasihat utama yang sering
memberikan masukan ‟sebaiknya begini, sebaiknya begitu,‟ sekaligus memberikan kritik
yang kadang-kadang amat ‟keras‟ bila saya bergaya sedikit ‟nyeleneh,‟ kebiasaan yang
kayanya merupakan bagian dari diri saya. Saya amat berterima kasih kepada isteri yang
mendukung kuat selama saya memangku amanah ini.
Pendek kata, saya telah merasa kehilangan semua ini. Tetapi sekaligus merasa
bahagia karena telah memperoleh pengalaman dan kebersamaan yang teramat sangat
menyenangkan dan berharga bagi saya. Hanya Allah swt yang maha tahu dan maha tepat
dalam memberikan balasan atas kebaikan semua yang terlibat di SPs ini.
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
61. Memahami Makna Identitas dan Karakter dalam Kehidupan dan Pendidikan
Oleh: Rizal Z Tamin1
Pengantar
Saya memasuki perguruan tinggi Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1974, lulus
Program Sarjana Teknik Sipil tahun 1979, dan selanjutnya melamar menjadi dosen di
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP). Pada tahun 1982 berkesempatan mengikuti
pendidikan Magister dan Doktor di perguruan tinggi Perancis, kembali tahun 1987, dan
bekerja sebagai dosen sampai sekarang. Selama 37 tahun di ITB, saya mengalami beberapa
pemerintahan yang dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. 1974 – 1998 :Pemerintahan Presiden Soeharto.
b. 1998 – 2004 :Pemerintahan Presiden B.J. Habibie, Presiden Abdulrahman Wahid, dan
Presiden Megawati Sukarnoputri.
c. 2004 – 2014 :Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
d. 2014 – sekarang: Pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Peralihan dari pemerintahan Presiden Soeharto kepada Presiden B.J. Habibie ditandai
oleh peralihan dari pemerintahan yang sentralistik menjadi desentralisasi, pemerintahan
yang otoriter menjadi pemerintahan yang lebih terbuka, lebih demokratis dengan pengakuan
yang lebih baik mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) dan kebebasan untuk menyatakan
pendapat.
Bersamaan dengan peralihan kehidupan sosial dan politik tersebut, yang memberikan
dampak langsung kepada keterbukaan informasi dan perekonomian yang berorientasi
pasar, saya mencermati terjadinya secara konsisten penurunan idealisme dan nasionalisme
kehidupan seluruh lapisan masyarakat, baik mahasiswa dan dosen di dalam kampus,
maupun masyarakat umum dan pemimpin di luar kampus. Kelompok masyarakat yang ingin
melakukan kegiatan atau tindakan dengan benar dan baik semakin lama semakin menurun.
Demikian juga mereka yang memikirkan kepentingan orang lain, masyarakat umum,
bangsa dan negara dalam melakukan kegiatan dan upayanya mencapai tujuannya semakin
berkurang. Kebanyakan kita lebih permisif dalam bertindak dan cenderung mementingkan
diri sendiri, keluarga, atau kelompok.
Mengapa mahasiswa tidak lagi mempunyai sopan santun dan menghormati orang lain
terutama yang lebih tua. Mengapa kedisiplinan menurun, mereka tidak lagi segan datang
terlambat dan mencontek dalam ujian. Mengapa mereka kurang aktif berorganisasi, kurang
-----------
1 Dosen Fakultas Teknik Sipil & Lingkungan, Institut Teknlogi Bandung
119
120
melakukan kegiatan membantu masyarakat, tidak lagi sensitif terhadap ketidakadilan dan
ketimpangan kualitas kehidupan masyarakat. Mengapa lulus cepat, dengan nilai tinggi,
dan mendapatkan pekerjaan dengan gaji besar merupakan tujuan utama. Mengapa tidak
ada lagi keinginan untuk berbuat sesuatu bagi kelompok kurang mampu, menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi masyarakat, atau memberikan kontribusi sekecil apapun bagi
kemajuan masyarakat, bangsa, dan negara.
Pada tingkat politik dan pemerintahan, kita melihat Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
(KKN) merajalela seakan-akan menjadi hal biasa. Karena semua melakukan, kita tidak lagi
merasa bahwa itu salah dan akan menghancurkan negara dan bangsa. Walaupun Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menangkap banyak pejabat dari berbagai instansi
negara dan pemerintahan serta pengusaha dan menjebloskannya ke penjara, kasus korupsi
dari tahun ke tahun bukannya menurun tetapi semakin meningkat. Tidak ada lagi etika dan
rasa malu. Semua cara dilakukan untuk dapat berkuasa. Setelah suami, istri, kemudian
anak diupayakan untuk menggantikan menjadi pejabat publik. Materi dan kekuasaan telah
menjadi tujuan hidup. Siapa saja melakukan apa saja termasuk menuduh, menghasut,
memfitnah, untuk memperebutkan kekuasaan. Media sosial yang berkembang pesat
berkat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi bukan digunakan untuk meningkatkan
pengetahuan dan kearifan diri dan komunal, tetapi disalahgunakan untuk mengolah dan
menyebarkan informasi yang keliru untuk menyerang dan menyudutkan pihak lawan demi
mendapatkan keuntungan kelompok dan golongan dalam rangka mendapatkan materi dan
merebut kekuasaan.
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
memahami makna (why) dari apa yang dipelajari. Kualitas pembelajaran demikian rendah,
sehingga mereka tidak cukup percaya diri dan tertantang atau bahkan mempunyai
kesempatan untuk berpikir kritis.
Selain itu lemahnya toleransi dan afinitas terhadap pihak lain, juga menyebabkan
lemahnya kemampuan mahasiswa berkomunikasi baik lisan maupun tulisan. Ini merupakan
tantangan besar bagi kemajuan di masa yang akan datang. Kolaborasi baik lokal, regional,
nasional, maupun internasional di semua bidang baik, industri, ekonomi, politik, sosial dan
budaya merupakan kebutuhan untuk meningkatkan daya saing dan nilai tambah produk dan
jasa. Di masa yang akan datang peningkatan nilai tambah, bukan hanya diperoleh melalui
peningkatan produktivitas dan efisiensi, tetapi terutama akan berasal dari kreativitas dan
inovasi.
121
122
masyarakat.
g. Mengapa dalam kehidupan nasional sering terjadi penghargaan (merit) dan hukuman
(dismerit) pergi ke tempat yang salah?. Orang yang berbuat kebaikan dan melakukan
pengorbanan tidak mendapat penghargaan, sementara yang mengambil kesempatan
untuk kepentingan pribadinya justru dihargai.
h. Mengapa pemerintah senangnya melaksanakan program saja, berpikir jangka pendek,
tidak membangun sistem yang memberikan manfaat jangka panjang dan berkelanjutan?.
i. Mengapa secara umum idealisme dan nasionalisme menghilang begitu saja?.
Keadaan yang diuraikan diatas sudah sampai pada kondisi kritis. Kerusakan yang terjadi
menyangkut dimensi moral dan budaya masyarakat, bersifat masif dan menyeluruh,
menyentuh seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, melingkupi aspek institusi
dan pengaturan berikut:
• Sistem kenegaraan dan sistem pemerintahan;
• Kerangka regulasi (peraturan perundang-undangan);
• Kerangka institusi dan kelembagaan (Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Mahkamah Agung, Kepolisian, Kehakiman, Kejaksaan);
• Unsur kepemimpinan eksekutif (pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota);
• Masyarakat pemberi panutan: pegawai negeri sipil, guru, dan dosen;
• Pemimpin dunia industri dan usaha.
Hipotesis yang dapat diajukan untuk memahami apa yang terjadi dan mengapa kita jadi
begini adalah proses demokrasi tidak tertata, yang kurang disiapkan dengan baik, di mana
terjadi dua kondisi yang saling melemahkan ketahanan nasional dalam menghadapi transisi
demokratisasi kehidupan masyarakat yaitu besarnya ancaman eksternal dan lemahnya
kekuatan internal individu masyarakat yang dimulai saat reformasi tahun 1998.
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
a. Informasi yang tidak terkendali. Semenjak reformasi tahun 1998 Indonesia mengambil
kebijakan untuk tidak mengendalikan arus informasi seperti yang dilakukan negara-
negara maju Amerika Serikat dan Eropa. Dua kelompok informasi yang memberikan
dampak luas dalam nilai-nilai kehidupan masyarakat adalah pornografi dan iklan usaha.
Kesadaran pemerintah dan masyarakat untuk membatasi informasi pornografi mulai
muncul dengan terjadinya banyak kasus pemerkosaan yang dilakukan generasi muda
akhir akhir ini. Namun, dampak iklan yang sangat mendorong perilaku konsumtif dan
materialisme masyarakat belum sepenuhnya disadari dan diatasi.
b. Lemahnya penegakan hukum. Selama 30 tahun pemerintah totalitarian dan sentralistik
orde baru, pengetahuan dan sistem hukum nasional kurang berkembang dengan baik.
Lemahnya penegakan hukum paling tidak diakibatkan oleh empat hal. Pertama, sistem dan
peraturan dan perundang-undangan bidang hukum yang belum berkembang. Kita masih
banyak menggunakan peraturan jaman penjajahan Belanda. Masih banyak kejahatan
yang telah dilakukan, namun tidak dapat dibuktikan secara hukum di pengadilan. Kedua,
kapasitas, kompetensi, etika aparat hukum, polisi, jaksa, dan hakim masih terbatas
sehingga belum melaksanakan fungsinya dengan baik dan benar. Ketiga, perlengkapan
untuk menegakkan hukum seperti penjara, peralatan keamanan polisi, dan teknologi
polisi masih lemah, dan ke empat, belum terciptanya budaya hukum di masyarakat.
Budaya kita lebih takut dipermalukan dari pada berbuat salah.
c. Hilangnya panutan kepemimpinan untuk bersikap jujur, kerja keras, hemat dan hidup
sederhana. Kepemimpinan informal dari kelompok suku dan agama yang dulu banyak
berperan memberikan panutan nilai-nilai kemuliaan kehidupan berangsur hilang digantikan
oleh kepemimpinan formal politik dan pemerintahan yang dipilih dengan mekanisme
demokrasi dengan etika yang lemah. Selain itu konsumerisme telah merubah perilaku
masyarakat menjadi lebih materialistis, menjadikan uang dan pangkat sebagai ukuran
keberhasilan dalam kehidupan.
d. Negara belum selalu hadir di tengah rakyatnya, di mana kesehatan, pendidikan, dan
pangan tidak dapat diperoleh dengan mudah. Karena pemerintah belum mampu
memberikan rasa aman, maka masyarakat bukannya mengembangkan dirinya dan
menemukan kebahagian berdasarkan identitas dan karakternya masing-masing, tetapi
merasa lebih penting mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya dan menciptakan
keamanan pada tingkat individu.
e. Berkurangnya kegiatan kebangsaan. Akhir-akhir ini kegiatan kebangsaan seperti upacara
menaikkan bendera, peringatan hari-hari besar kebangsaan, dan diskusi pemikiran
kebangsaan tidak lagi dilakukan dengan intensif. Kondisi ini mengakibatkan semangat
kebangsaan, kebersamaan, dan upaya menjaga persatuan juga menurun. Generasi
muda dibiarkan lebih banyak memikirkan kepentingan sendiri atau kelompoknya daripada
melakukan kegiatan kolektif untuk kepentingan bersama. Sebaliknya di negara maju,
yang menganut paham kapitalisme sekalipun, kegiatan bersifat membangun kekuatan
123
124
nasional seperti bela negara dan wajib militer terus berlangsung.
f. Disparitas yang semakin melebar. Proses demokrasi yang berlangsung tanpa disadari
telah menjadikan sistem perekonomian menjadi lebih berdasarkan mekanisme pasar,
tanpa kemampuan pemerintah yang memadai untuk memihaki kelompok yang lemah.
Sebagai akibatnya yang kaya menjadi semakin kaya, yang miskin menjadi semakin
miskin, dan disparitas semakin melebar. Kondisi ini menimbulkan rasa ketidak-adilan
di kalangan kelompok miskin yang, tanpa perlindungan pemerintah, merasa kehilangan
harapan. Kecemburuan sosial muncul, toleransi masyarakat menurun, dan radikalisme
mulai berkembang.
g. Dihapusnya Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan Masterplan Sektor Pembangunan.
Dihapuskannya GBHN dan Masterplan Sektor Pembangunan juga berdampak
kepada arah pengembangan yang semakin meninggalkan kepentingan rakyat. Model
pemerintahan good governance yang mendorong peningkatan peran swasta dan sistem
perencanaan pembangunan nasional partisipatif berdasarkan aspirasi masyarakat sering
menghasilkan program yang memihak pada kepentingan kelompok tertentu. Kekuatan
usaha bekerja-sama dengan kekuatan politik sering mengatas-namakan kepentingan
rakyat untuk mendukung program pembangunan dan pengalokasian anggaran
pemerintah. Tanpa GBHN dan Masterplan Sektor Pembangunan yang kokoh, pemerintah
sering lemah dalam menjamin arah pengembangan tetap dalam koridor kepentingan
rakyat dan kemajuan bangsa.
h. Bercampurnya sistem negara dan sistem pemerintahan. DPR dan DPRD sebagai institusi
negara melaksanakan tugas membuat undang-undang, mengalokasikan garis besar
anggaran, dan mengawasi pemerintah. Dalam pelaksanaan tugasnya DPR dan DPRD
sering mencampuri program dan anggaran pemerintah untuk kepentingan politiknya
dengan pertimbangan mewakili aspirasi masyarakat. Dengan demikian pemerintah
tidak mempunyai kesempatan untuk membangun kapasitas birokrasi dan sistem
pelayanan masyarakat yang bersifat jangka panjang dan berkelanjutan. Sebagian besar
kegiatan hanya melakukan program jangka pendek, menyerap anggaran banyak, untuk
kepentingan kelompok, tidak berdampak jangka panjang dan berkelanjutan.
i. Rendahnya kapasitas birokrasi pemerintah dan pemerintah daerah. Peningkatan peran
swasta dalam melayani masyarakat perlu diikuti dengan kapasitas pengaturan pemerintah
yang memadai.
j. Reformasi birokrasi yang dicanangkan sejak Pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono sampai saat ini belum menunjukkan kemajuan. Tanpa pengaturan dan
pengawasan yang kuat dari pemerintah, maka pengusaha dan swasta akan lebih leluasa
mendikte pemerintah menetapkan kebijakan pembangunan untuk kepentingannya.
Dengan demikian yang berkuasa dan kaya akan semakin kaya, yang miskin tidak
terlindungi, dan kesenjangan sosial semakin meningkat.
k.
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Secara umum menurunnya toleransi dan meningkatnya radikalisme dan terorisme juga
dapat dijelaskan berdasarkan faktor-faktor tersebut di atas. Penyebab utama radikalisme dan
terorisme mencakup hal-hal berikut: a. Pemerintah yang belum hadir di tengah masyarakat
dalam memenuhi kebutuhan dasar, b. Pemerintah yang tidak berhasil mengontrol sistem
perekonomian pasar bebas dan memihak kelompok miskin, c. Disparitas kehidupan yang
melebar melebihi toleransi, munculnya rasa ketidakadilan, dan hilangnya harapan, d.
kepemimpinan timur (informal) yang memberikan pengaruh negatif, e. Identitas dan karakter
individu masyarakat yang belum terbentuk dengan kuat, serta f. Penalaran ilmu pengetahuan
yang terbatas, dan bergeser pada keimanan sempit.
Pembentukan identitas dan karakter anak bangsa perlu dimulai dari kecil melalui
125
126
pendidikan keluarga, pendidikan masyarakat, dan pendidikan formal Taman Kanak-Kanak,
Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah. Di negara maju mereka melakukannya melalui
pendidikan budi pekerti yang kuat. Pendidikan liberal arts (pendidikan yang membebaskan
pemikiran anak) dapat menjadi contoh yang mencakup mata pelajaran Logika, Matematika,
Bahasa2, Retorika atau Komunikasi3, dan seni (musik, tari, dll.). Pendidikan budi pekerti
pernah dilaksanakan dengan baik dan intensif di Indonesia, namun pada saat ini sudah
sangat berkurang.
Manusia Indonesia baru tersebut mengenal dengan baik apa yang disukai dan
diinginkannya, menetapkan pilihan, dan menjadi dirinya. Menjadi tugas generasi sebelumnya
untuk memperkenalkan dalam konteks nilai-nilai yang baik dan mulia, variabilitas lingkungan
fisik alam dan budaya nasional yang sangat kaya, sehingga setiap individu dapat menetapkan
pilihannya berdasarkan bakat dan minatnya. Dengan demikian manusia baru Indonesia
menjadi beraneka ragam dalam spektrum yang luas. Kehadiran pemerintah dalam setiap
pelayanan dasar seperti ketersediaan pangan dengan harga terjangkau, kesehatan,
-----------
2 Bahasa merupakan dasar ilmu kemanusiaan
3 Retorika (komunikasi) merupakan dasar ilmu sosial
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Manusia dengan identitas yang kuat ini akan mempunyai kehormatan diri, jujur,
mempunyai integritas (satu kata dengan perbuatan), dan dapat dipercaya. Ia juga akan
taat kepada aturan, disiplin, dan bertanggung jawab. Manusia yang hidup sesuai dengan
keinginannya akan selalu gembira, mempunyai semangat (passion), pekerja keras, dan
gigih mencapai cita-citanya. Ia lebih mudah menemukan kebahagiaannya, kaya dengan
talentanya, terbuka, mempunyai sikap abundant mentality, dan ikhlas memberi, karena
menemukan kebahagiaan dalam menyumbangkan keunggulan dan kelebihannya. Ia tidak
gampang iri, percaya dan tidak curiga, toleran dan kontributif (caring, sharing, giving),
mempunyai afinitas, dan mampu bersikap adil kepada yang lain. Ia selain sabar karena
berkecukupan, juga mementingkan hubungan baik dengan semua orang. Manusia dengan
identitas dan karakter yang kuat seperti ini dengan sendirinya tidak akan mudah dipengaruhi
dari luar oleh nilai-nilai permisif kehidupan dan pragmatis duniawi. Perkembangan budaya
bangsa-bangsa besar di dunia menunjukkan bahwa pengetahuan mengenai ilmu-ilmu
kemanusiaan (humanities) dan ilmu sosial (social sciences) seperti filosofi, bahasa dan
sastra, sejarah, seni, antropologi, dan psikologi, serta komunikasi sangat diperlukan untuk
membangun identitas dan karakter yang kuat.
Dimensi pengetahuan secara umum mencakup Ilmu Alam (natural sciences), Ilmu
Manusia (human sciences), dan Seni (arts). Ilmu alam berdimensi benar dan salah dan
bersifat sangat kaku (rigidity), Ilmu Manusia berdimensi baik dan buruk bersifat fleksibel
(flexibility), dan seni menunjukkan keindahan, bersifat imaginasi (plasticity).
Natural sciences pada dasarnya pada dasarnya bersifat objective dan menjadi landasan
dalam mencari kebenaran (benar & salah). Human sciences seperti filosofi, bahasa/sastra,
sejarah, seni, psikologi & antropologi, bersifat reflective digunakan untuk mencari makna –
meaning (baik & buruk).
Dalam literature lain ilmu manusia (human science) didefinisikan mencakup humanities
(ilmu kemanusiaan) yang mempelajari manusia secara individu, social science (ilmu sosial)
yang mempelajari manusia secara kolektif, dan arts (seni) mengungkapkan rasa yang indah,
yang halus, yang tidak kasar, berdasarkan kekuatan imajinasi.
127
128
• logos (kebenaran), yang terdiri atas formal science (matematika, statistik, komputer, dst.
nya), natural science (fisika kimia), life science (biologi), dan applied science (teknologi/
engineering).
• pathos (keindahan, beauty), mencakup ilmu seni (arts).
• ethos (yang baik & buruk dalam berbagai bidang keilmuan & kehidupan), mencakup
humanities & social science.
‘Hidup yang baik’ merupakan pertanyaan yang kompleks yang susah menjawabnya,
dan perlu mencakup ketiga aspek ilmu pengetahuan di atas (logos, pathos, dan ethos) yang
harus menjadi suatu kesatuan. Menjadi tugas perguruan tinggi dan pendidikan tinggi untuk
terus mencarinya, apa yang benar, apa yang baik, dan apa yang indah.
Universitas adalah bentuk perguruan tinggi dengan lingkup ilmu pengetahuan terbanyak.
Universitas merupakan lembaga ilmiah yang berfungsi sebagai pusat budaya, pilar bangsa,
dan penggerak perubahan sosial menuju masyarakat demokratis maju. Ia menjadi wadah
pendidikan calon pemimpin bangsa, wadah pembelajaran mahasiswa & masyarakat, pusat
pengembangan iptek, pusat kebajikan & kekuatan moral untuk mencari dan menemukan
kebenaran. Memperhatikan fungsinya, sangat penting bagi universitas untuk memperkuat
pengembangan ilmu kemanusiaan dan sosial untuk terus mencari apa yang benar, apa
yang baik, dan apa yang indah sebagaimana diuraikan di atas dan menjadikan lulusannya
calon pemimpin dengan identitas dan karakter yang kuat, disamping kompetensi keilmuan
yang tinggi.
Daya saing atau nilai tambah (value for money) suatu bangsa di masa yang akan datang
ditentukan oleh bukan hanya produktivitas dan efisiensi, karena sumber daya yang selalu
terbatas, tetapi lebih oleh kreativitas dan inovasi, karena ia bertumpu pada penguasaaan
ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang terus berkembang tanpa batas. Kolaborasi
multidisiplin dengan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi dan imaginasi yang kuat
akan mendorong kreativitas dan inovasi. Keanekaragaman lingkungan fisik, sumber daya
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
alam, dan budaya merupakan reservoir dari kreativitas & inovasi nasional. Seni yang
berkorelasi kuat dengan alam dan budaya menjadi penting karena membentuk manusia yang
minatnya berbeda-beda. Karakter yang jujur, terbuka, dapat dipercaya, dengan kemampuan
komunikasi yang baik menjadi syarat untuk melakukan kolaborasi. Dengan demikian dapat
disimpulkan ‘variabilitas identitas’ dan ‘karakter yang kuat’ manusia Indonesia dapat menjadi
modal utama kreativitas dan inovasi nasional di masa yang akan datang.
Yang telah saya lakukan sesungguhnya belum banyak. Yang paling sering adalah
mendiskusikan pengembangan identitas diri dan pendidikan karakter bersama dengan rekan
dosen. Selain itu mendiskusikannya bersama dengan mahasiswa saat perkuliahan. Selain
mendiskusikan perilaku mahasiswa dan masyarakat umum yang cenderung mementingkan
diri, kelompok, atau golongan saat ini, kita juga mendiskusikan apakah terlambat mencoba
mengenal diri sendiri, menetapkan minat dan pilihan karir pada masa pendidikan tinggi. Kita
juga membahas variasi kehidupan alam dan budaya nasional yang sangat kaya dengan
keanekaragaman. Setelah melakukannya beberapa tahun, saya merasa bahwa mahasiswa
tertarik mendiskusikannya, menaruh keprihatinan yang tinggi atas permasalahan nasional
yang sedang dihadapi, dan berusaha memperbaiki dari dalam dirinya masing-masing.
Hal lain yang saya lakukan adalah mendorong perkembangan ilmu kemanusiaan dan
sosial di ITB melalui diskusi di Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD), Senat Fakultas dan
Forum Guru Besar. Pada saat ini sejawat di FSRD sedang mempersiapkan Program Studi
Magister Teknokultur dan Fakultas Ilmu Kemanusiaan dan Sosial. Harapan saya Program
dan Fakultas dapat berdiri dalam waktu yang tidak terlalu lama, karena keduanya merupakan
langkah strategis yang efektif untuk membangun kompetensi humanities & social sciences
di ITB melengkapi kompetensi matematika dan ilmu pengetahuan alam, engineering, dan
seni yang telah lebih dulu berkembang. Pengembangan dua kelompok ilmu baru ini menjadi
bagian dari rencana besar ITB untuk menjadi pusat budaya dan pilar bangsa sebagaimana
dinyatakan dalam Statuta.
Upaya tersebut terus berjalan. Proses sedang berlangsung dan telah terjadi penyesuaian
penyesuaian pada bagian-bagian yang belum tepat melakukan langkah-langkah ke depan
seperti diharapkan.
Penutup
129
130
ketahui masih sangat terbatas. Demikian juga upaya untuk mendiskusikannya dan
mengembangkannya bersama dengan mahasiswa. Sebenarnya masih banyak kegiatan
yang dapat dilakukan, antara lain:
• Membangun upaya institusi: menegakkan disiplin dan ketertiban kehidupan kampus;
membangun suasana akademik, interaksi kuat antara dosen dan mahasiswa dalam
pendidikan dan pelayanan kebutuhan masyarakat; membawa mahasiswa ke masyarakat;
membangun organisasi mahasiswa lintas daerah, lintas minat; lintas ilmu, organisasi
kesenian; mengelola asrama mahasiswa lintas daerah dan lintas agama;
• Memperkokoh idealisme dan nasionalisme: melakukan semua tindakan dengan benar
dan baik, disiplin dan patuh terhadap hukum dan peraturan, memikirkan kepentingan
bersama, membahas disparitas antar kelompok, pemihakan kepada yang lemah,
menyusun kembali GBHN dan Masterplan Sektor Pembangunan yang memihak
kepentingan rakyat;
• Membangun nilai-nilai kebangsaan dengan: melaksanakan upacara bendera, peringatan
hari besar kebangsaan, membahas pemikiran-pemikiran tokoh nasional/bangsa,
melakukan pendidikan bela negara;
• Mengembangkan wawasan internasional (global awareness and citizenship) dengan:
mempelajari keadaan bangsa lain, membangun jejaring, kolaborasi internasional.
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Pengantar
Sebagai anggota Majelis Pendidikan DPT (Dewan Pendidikan Tinggi) periode 2016-
2017, saya bersama anggota yang lain diminta untuk menuangkan dalam tulisan pengalaman
mengelola pendidikan tinggi di tanah air untuk dibagi kepada teman-teman sejawat pengelola
pendidikan tinggi di tanah air. Berikut ini sekilas latar belakang kehidupan akademik,
pengalaman memimpin institusi perguruan tinggi dan dunia ilmu pengetahuan di tanah air.
Setelah memimpin proses transformasi keilmuan dan kelembagaan dari Institut (IAIN) ke
universitas (UIN) dari tahun 2002-2006 dan 2006-2010, tepatnya pada tahun 2012, saya
terpilih menjadi anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Komisi Kebudayaan.
Menyampaikan pidato inaugurasi sebagai anggota AIPI di Balairung Universitas Gadjah
Mada bersama Prof. Dr. Sofian Efendi dan Prof. Dr. Maria tanggal 3 September 2013. Ada
tugas lain menyela seperti sebagai staf ahli menteri agama bidang pendidikan antara tahun
2012-2013.
Panjang jalan akademik yang saya tempuh sejak dari alumni pesantren tahun 1972
(KMI, Gontor) dan Institut Pendidikan Darussalam (IPD), Gontor, tahun 1977, IAIN Sunan
Kalijaga (1978-1982) sampai pendidikan S3 di Department of Philosophy, Faculty of Art and
Sciences, Middle East Technical University (METU), Ankara, Turki (1984-1990). Ketika saya
berusia 60 tahun (1953-2013), ada 3 buku terbit yang dihadiahkan kepada saya sebagai tanda
rekam jejak kiprah panjang dalam bergelut dalam pendidikan, ilmu pengetahuan, pemikiran
keagamaan dan keislaman di tanah air.1 Tulisan di bawah ini adalah cuplikan sebagian
kegelisahan akademik saya dalam mengelola pendidikan agama pada era multikultural-
multireligi khususnya pada level perguruan tinggi di tanah air. Tulisan tahun 2009 di bawah
ini2 – yang kemudian saya tambah dan kurangi disana sini - saya tulis ketika saya menjalani
-----------
1
Waryani Fajar Riyanto, Integrasi-Interkoneksi Keilmuan: Biografi intelektual M. Amin Abdullah
[1953-...]: Person, Knowledge, and Institution, Buku Satu dan Buku Kedua, Yogyakarta: SUKA Press,
2013; Moch Nur Ichwan dan Ahmad Muttaqin (Ed.), Islam, Agama-agama, dan Nilai Kemanusiaan:
Festschrift untuk M. Amin Abdullah, Yogyakarta: Suka Press, 2013; Mirza Tirta Kusuma (Ed.), Ketika
Makkah menjadi seperti Las Vegas: Agama, Politik, dan Ideologi, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2014
2
M. Amin Abdullah, “Mempertautkan UlUM AL- DIIN, AL-FIKR ALISLAMIY DAN DIRASAT
ISLAMIYYAH: Sumbangan Keilmuan Islam untuk Peradaban Global”, dalam Marwan Saridjo (Ed.),
Mereka Bicara Pendidikan Islam: Sebuah Bunga Rampai, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009,
h. 261-298.
131
132
tugas sebagai rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga periode kedua. Ada kegelisahan
akademik yang mendalam dan harus diurai dan dicari pemecahannya melalui pendekatan
pembelajaran sosial-keagamaan yang bercorak multidisiplin, bahkan transdisiplin.
Belakangan, kegelisahan tersebut dan cara pemecahannya dikenal di tanah air dengan
sebutan paradigma keilmuan integrasi-interkoneksi, yang kemudian menjadi icon kehadiran
universitas Islam negeri di tanah air tahun 2000-an.
Istilah “act locally and think globally” (bertindak dan berbuatlah di lingkungan masyarakat
sendiri menurut aturan-aturan dan norma-norma tradisi lokal serta berpikir, berhubungan
dan berkomunikasilah dengan kelompok lain menurut cita rasa dan standar aturan etika
global) sudah mulai muncul ke permukaan sejak dekade delapan puluhan, namun hingga
sekarang, seperempat abad lebih kemudian, belum juga kunjung ketemu formula yang
jitu tentang hal tersebut. Pengalaman kemanusiaan era sekarang merasakan hal-hal
yang sebaliknya. Bukannya kedamaian, mutual trust, peaceful coexistence, alta’ayus al-
silmi, tolerance, tasamuh antar sesama dan antar kelompok umat manusia, tetapi malah
kekerasan, violence, prejudice (buruk sangka), su’u al-dzan keagamaan, etnisitas, kelas,
ras, kepentingan,3 baik di tingkat lokal, regional, nasional maupun internasional. Seolah-olah
semua malah ingin membalik adagium “act and think locally only”, tanpa harus dibarengi
“think globally”. Di dalam bergaul, berhubungan dan berkomunikasi dengan kelompok
lain tak merasa perlu mempertimbangkan dan mengindahkan tata aturan, hukum-hukum,
kesepakatan-kesepakatan dan hubungan internasional. Masing-masing kelompok etnis,
agama, kelas, kultur ingin mempertahankan, bahkan sekte, madzhab atau aliran pemikiran
tertentu ingin mengokohkan dan mempertegas identitas lokal keagamaan, identitas kultural,
identitas etnis, identitas politik karena merasa di bawah bayang-bayang ancaman dominasi
dan hegemoni kultur, budaya atau peradaban asing tertentu. Tekanan psikologi sosial yang
nyata maupun yang dibayangkan ini kemudian menimbulkan perlakuan tidak adil (injustice),
diskriminaif (perilaku politik yang membeda-bedakan ras, suku, agama, asal usul dan
subordinatif (merendahkan dan tidak menganggap penting kehadiran orang atau kelompok
lain).
-----------
3
Secara normatif-tekstual semua sikap dan pola hubungan antagonistik antar kelompok sosial, etnis,
agama, dan ras ini bertentangan dengan himbauan dan ajakan ayat al-Qur’an yang tegas-tegas
menyebut, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya
sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan
janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu
memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan
bertakwalah kepada Allah. “Sesungguhnya Allah Maha penerima taubat lagi maha Penyayang”.
(Surat Al-Hujuraat, 12).
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Seolah-olah semua malah ingin membalik adagium “act and think locally only”, tanpa harus
dibarengi “think globally”. Di dalam bergaul, berhubungan dan berkomunikasi dengan
kelompok lain tak merasa perlu mempertimbangkan dan mengindahkan tata aturan, hukum-
hukum, kesepakatan-kesepakatan dan hubungan internasional. Masing-masing kelompok
etnis, agama, kelas, kultur ingin mempertahankan, bahkan sekte, madzhab atau aliran
pemikiran tertentu ingin mengokohkan dan mempertegas identitas lokal keagamaan, identitas
kultural, identitas etnis, identitas politik karena merasa di bawah bayang-bayang ancaman
dominasi dan hegemoni kultur, budaya atau peradaban asing tertentu. Tekanan psikologi
sosial yang nyata maupun yang dibayangkan ini kemudian menimbulkan perlakuan tidak
adil (injustice), diskriminatif (perilaku politik yang membeda-bedakan ras, suku, agama, asal
usul dan subordinatif (merendahkan dan tidak menganggap penting kehadiran orang atau
kelompok lain). Apa yang salah di sini? What went wrong? Seolah-olah tidak ada masalah
memang dalam mempertahankan identitas dan jati diri kelompok, tetapi letupan-letupan
yang muncul dalam peristiwa lokal, regional, nasional maupun internasional membuktikan
ada masalah memang dalam tatanan pergaulan dunia.4 Tidak ada jawaban yang memuaskan
terhadap persoalan ini, namun ikhtiar dan usaha untuk keluar dari kemelut yang kompleks
ini perlu terus menerus diupayakan demi tegaknya peradaban manusia yang lebih baik dan
santun di masa yang akan datang.
Dalam tulisan pengantar singkat ini, penulis tidak akan menyentuh semua persoalan.
Penulis hanya ingin melihat kembali bagaimana hubungan dan jaringan intelektual antara
tradisi keilmuan Ulum al-Diin (Religious Knowledge), al-Fikr al-Islamiy (Islamic Thought) dan
Dirasat Islamiyyah (Islamic Studies) dalam sejarah intelektual-akademik budaya Islam dan
melihat implikasi dan konsekuensinya dalam kehidupan sosial kemasyarakatan secara luas
ketika ketiganya berpisah dan berjalan sendiri-diri, atau berhubungan erat saling mengenal
antar tradisi keilmuan dan apa akibatnya jika ketiganya saling bertentangan. Hubungan
tersebut akan penulis potret dari perspektif sejarah perkembangan studi agama-agama
yang telah melewati 4 (empat) fase, yaitu, lokal, kanonikal, kritikal dan global. Dalam tulisan
-----------
4
Beberapa saat yang lalu, dunia dikejutkan oleh aksi teror yang melanda India. Dalam waktu yang
hampir bersamaan, beberapa kota di India diserang oleh sekelompok teroris yang menamakan
kelompok Deccan Mujahidin. Yang paling dramatis adalah aksi penyerbuan hotel Taj Mahal di
Mombay, yang menewaskan tidak kurang dari 200 orang. Target utamanya adalah orang asing
berasal dari Barat, tetapi warga Negara India sendiri yang menjadi korban. Dalam dua puluh tahun
terakhir banyak peristiwa serupa di dunia ini, khususnya setelah tentara Amerika berada di Iraq dan
Afghanistan. Al-Qaedah, Arab Spring , Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS), tragedi kemanusiaan
di Suriah yang menewaskan lebih dari 300.000 orang dan belum tampak kunjung akan selesai,
terrorisme, radikalisme atas nama agama masih menjadi ancaman keamanan dunia.
133
134
ini penulis membatasi pemahaman ‘Ulum al-Diin sebagai representasi “tradisi lokal”
keislaman yang berbasis pada “bahasa” dan “teks-teks” atau nash-nash keagamaan,
al-Fikr al-Islamiy sebagai representasi pergumulan humanitas pemikiran keislaman
yang berbasis pada “rasio-intelek”, sedangkan Dirasat Islamiyyah atau Islamic
Studies sebagai kluster keilmuan baru yang berbasis pada paradigma keilmuan
sosial kritis-komparatif lantaran melibatkan seluruh “pengalaman” (experiences)
umat manusia di alam historis-empiris yang amat sangat beraneka ragam. Menurut
penglihatan penulis, para penggemar dan pecinta studi keislaman sendiri5 seringkali tidak
dapat membedakan secara jelas dan gamblang (clear and distinct) antara ketiganya sehingga
tidak dapat membentuk satu pandangan keagamaan (world view) Islam yang utuh, yang
dapat mempertemukan dan mendialogkan secara positif konstruktif antara yang “lokal” dan
“global”, antara yang “partikular” dan “universal”, antara “distinctive values” dan “shared
values”, antara yang biasa disebut “dzanni” dan “qath’iy” dalam pemikiran fikih Islam dalam
hubungannya dengan keberadaan pandangan hidup dan pandangan keagamaan tradisi
dan budaya lain (others; al-akhar) di luar budaya Islam.
Dalam kegamangan meniti kehidupan era global yang amat kompleks, pendidikan
menurut hemat penulis masih merupakan alat yang dapat mencerahkan peradaban.
Pendidikan keagamaan Islam yang terstruktur dan tersistematisasi secara utuh, yang
diharapkan dapat memberi peta yang utuh, lengkap dan komprehensif tentang keislaman
amat diperlukan oleh warga masyarakat luas, termasuk para alumni perguruan tinggi umum,
para penyelenggara negara dan para tokoh dan pemimpin gerakan sosial keagamaan.
Kebutuhan mendesak itu muncul mengingat terjadinya kesimpangsiuran lalu lintas informasi
----------
5
Yang dimaksud para pecinta studi keislaman di sini sangatlah variatif. Para pecinta ini dapat dilihat
dari segi jenjang level pendidikan yang ditempuh seperti Madrasah Tsanawiyah (Mts), Madrasah
Aliyah (MA), Perguruan Tinggi setingkat S1 (dapat juga Lc), setingkat S2 (MA, M.Sc, M.Ag) dan
setingkat S3 (DR, Ph.D). Juga dapat dilihat dari penyelenggaranya seperti pesantren, majelis
taklim, lembaga dakwah kampus (LDK), kursus-kursus singkat, basic training, Dar al-Arqom, kursus
kilat, training-training singkat, pendidikan akhir pekan, sekolah keagamaan (madrasah diniyyah;
sebenarnya kluster ini lebih tepat disebut madrasah Islamiyyah karena hanya mempelajari agama
tertentu saja dan tidak mengenalkan agama lain), ceramah pagi atau sore di televisi yang tidak selalu
diikuti secara runtut-berkesinambungan dan terpotong-potong, belum lagi yang model self study
(belajar autodidak) dengan membaca literature yang tidak terstruktur dan komprehensif, bahkan
mungkin dilakukan sangat selektif. Ada lagi model kajian keislaman yang diselenggarakan oleh
organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan Islam yang umumnya bercorak training atau pelatihan
singkat, paket-paket studi Islam singkat yang diselenggarakan oleh gerakan (social movement)
sosial keagamaan, aktivis (harakah) dan ideologi-ideologi gerakan lain dan bukannya pendalaman
keilmuan secara terstruktur, sistematis dan komprehensif. Belum lagi studi yang sifatnya sangat ad
hoc, partial dan sepotong-sepotong, seperti kajian khusus fikih, khusus tafsir, khusus hadis, khusus
bahasa Arab, belum lagi telaah khusus tentang jihad yang mengantarkan sebagian aktivisnya menjadi
pengantin bom bunuh diri dan begitu seterusnya, yang tidak terstruktur dan tidak berhubungan antara
satu dan yang lain secara utuh-komprehensif-sistematis. Istilah Studi Keislaman di alam praktik
di lapangan sekarang ini disinilah yang sangat membedakan dengan studi ilmu-ilmu umum yang
biasa diselenggarakan di sekolah atau perguruan tinggi umum yang diselenggarakan secara ketat
dan disiplin amatlah sangat rancu, overlapping, kompleks karena semua jenjang, model, lembaga
penyelenggara dengan aneka ragam variasi kepentingannya mengklaim bahwa itulah yang disebut
Dirasat Islamiyyah atau Ulum al-Diin. Ada semacam kontestasi antara penyelenggaraan pendidikan
agama yang diselenggarakan oleh masyarakat dan penyelenggaraan pendidikan agama yang
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
tentang Islam dan klaim-klaim keislaman secara sepihak-subjektif, yang semakin hari
semakin membingungkan masyarakat dan semakin tak terkontrol oleh siapapun dan oleh
lembaga apapun. Kecanggihan telekomunikasi, teknologi informasi yang menggunakan
media sosial, media elektronik lewat jaringan Website, Internet, Multimedia, E-Jihad,
FatwaOnline dan seterusnya—yang seringkali tak terstruktur secar sistematis baik segi materi
maupun metodologi—menambah kesulitan masyarakat untuk memperoleh informasi yang
memadai dan akurat tentang Islam.6 Serbuan informasi era cyber dan digital dalam dunia
maya ini besar pengaruhnya dalam membentuk opini publik dalam masyarakat luas, karena
mudahnya diakses secara cepat tanpa memerlukan waktu lama dan dasar pengetahuan
keislaman yang kuat. Di tengah keputusasaan, despair, ketidakberdayaan dalam menghadapi
realitas baru pasca revolusi industri dan hempasan gelombang revolusi Informasi dalam
borderless society, diperlukan konsep-konsep baru yang dapat mencerahkan, yang
dapat mengolah dan meramu kembali silabi, kurikulum, metode, pendekatan, filosofi
pendidikan agama Islam yang dapat mengantarkan para peserta didik dan masyarakat
luas untuk tetap dapat berpikir jernih, santun, etis, penuh pertimbangan yang rasional-logis
dan dapat mengantarkan mereka untuk bertindak “act locally and think globally”, tanpa harus
mengorbankan salah satunya, apalagi mengorbankan identitas religius dan kulturalnya.
7
Mengawali perbincangan di atas, dengan mengambil inspirasi dari Keith Ward, penulis
akan membagi terlebih dahulu empat fase atau tahapan studi terhadap fenomena agama.
Pertama, adalah tahapan local. Semua agama pada era prasejarah (Prehistorical period)
dapat dikategorikan sebagai lokal. Semua praktik tradisi, kultur, adat istiadat, norma, bahkan
agama adalah fenomena lokal. Kelokalan ini tidak bisa dihindari sama sekali karena salah
satu faktor utamanya adalah bahasa. Bahasa yang digunakan oleh penganut tradisi dan
adat istiadat setempat adalah selalu bersifat lokal. Warisan lama prasejarah ini ternyata
masih berlangsung sampai saat sekarang ini. bahasa China, misalnya, hanya terbatas
-----------
dilakukan oleh negara lewat Perguruan Tinggi Agama (PTA) yang ditempuh secara berjenjang,
terstruktur dan sistematis. Di belakang nanti akan dijelaskan mengapa ada semacam “tension” atau
ketegangan antara corak pendidikan agama Islam yang diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi
Agama (lewat penjenjangan S1, S2 dan S3) dengan budaya dan tradisi research (penelitian) dan
pengembangan keilmuan lewat jurnal keilmuan serta penulisan buku yang melekat di dalamnya
dan corak pendidikan agama Islam yang diselenggarakan oleh non-perguruan tinggi di tanah air
sekarang ini yang seringkali tidak menempuh tata cara dan tata kelola yang seperti ada pada PTA.
Morld: The Emerging Public Sphere, Bloomington: Indiana University Press, 2003.
6
Untuk mendalami persoalan baru dalam kehidupan publik ini dapat dilihat Gary R. Bunt, Islam in
the Digital Age: E-Jihad, Online Fatwas and Cyber Islamic Environments, London: Pluto Press,
2003, h. 207. Juga beberapa artikel relevan tentang hal ini dapat dijumpai dalam Dale F. Eickelman
dan John W. Anderson, New Media in the Muslim 7 Keith Ward, The Case for Religion, Oxford:
Oneworld Publications, 2004.
7
Keith Ward, The Case for Religion, Oxford: Oneworld Publications, 2004.
135
136
pada daratan China. Begitu juga Jepang, Inggris, Arab, Melayu. Di benua Eropa sendiri ada
beberapa bahasa, seperti bahasa Perancis, Jerman, Itali, Spanyol, Belanda dan Inggris.
Semua bahasa tidak ada yang sepenuhnya bersifat universal, dalam arti tidak dapat dipahami
secara langsung seperti menggunakan bahasa ibu sendiri. Ketika manusia harus belajar
keras menguasai bahasa asing, maka hal itu pertanda bahwa fenomena bahasa adalah
fenomena lokal. Letak geografi juga menjadikan salah satu faktor lain yang menyebabkan
bahasa adalah lokal sifatnya. Dapat dibayangkan bagaimana bahasa dan tradisi Pastun di
wilayah Pakistan dan Afganistan dan bahasa suku Dayak di pedalaman Kalimantan. Agama
sama sekali tidak bisa terhindar dari sifat kelokalan bahasa sekaligus dengan batas-batas
geografinya.
Habits of mind, yang kemudian mengkristal menjadi belief adalah selalu lokal
sifatnya. Meskipun lokal, keduanya sangat-sangat diperlukan oleh umat manusia. Untuk
mempertahankan kelangsungan hidupnya (to be survival), manusia baik sebagai pribadi
maupun kelompok harus memelihara kebiasaankebiasaan tertentu. Identitas kelompok
termasuk dalam kategori habits of mind kelompok yang senasib dan sepenanggungan.
Agama, adat istiadat, norma, kesepakatan-kesepakatan, aturan-aturan, hukum, aturan
main dan begitu seterusnya, dalam perspektif antropologis ini, adalah masuk dalam
kategori habits of mind dan belief pada umumnya. Namun, identitas lokal ini, tiba-tiba akan
mendapat ujian dan cobaan berat ketika pada suatu saat di kemudian hari terpaksa harus
berhadapan dengan sistem adat-istiadat, norma, kesepakatan-kesepakatan, aturan-aturan,
sistem ritual “lain” yang datang dari wilayah lain. Dalam perjumpaan ini, muncullah keragu-
raguan (doubt).8 Bagi orang purba dahulu, kehadiran orang atau kelompok lain selalu
dianggap sebagai ancaman yang akan memusnahkan keberadaannya atau mengganggu
kepentingannya (threat of extinction). Perasaan terancam ini lalu diselesaikan dengan
cara menolak, menghina, bertindak kejam (cruelty) bahkan tindakan “menyerang” atau
menundukkan (opportunity to expand) kelompok lain yang dianggap sebagai “ancaman”
bagi keberlangsungan hidup dan eksistensi pribadi atau kelompoknya.9 Belum terlintas
-----------
8
Diskusi tentang hal ini dapat ditelusuri dari sejarah cikal bakal munculnya filsafat pragmaticism
Amerika dalam karya Charles Sander Peirce. Lebih lanjut Milton K. Munitz, Contemporary Analytic
Philosophy, New York : Macmillan Publishing Co., Inc, l98l, h.29-33. Logika penelitian (the Logic
of Inquiry) diperkenalkan oleh Peirce dengan menyebut tahapan sejarah perkembangan metode
dan cara manusia menyelesaikan persoalan yang dihadapi (doubt) yaitu metode tenasitas,metode
otoritas, metode a priori dan metode keilmuan lewat research yang mendalam dan berkelanjutan,
h. 34-42.
9
Dalam literature agama dalam era konflik diperoleh informasi sebagai “An historical overview of the
world’s mainstream religious traditions highlights how without exception each faith community has
in the face of the threat of extinction or the opportunity to expand interpreted its fundamental
teachings to accommodate the changing circumstances by sanctioning the use of violence to protect
and secure its own sectarian interests͟ ”. Lihat Oliver McTernan, Violence in God’s Name: Religion
in an Age of Conflict, London: Darton, Longman and Todd Ltd., 2003 h. 76. Cetak hitam dari
penulis.
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
dalam budaya dan cara berpikir mereka saat itu perlunya partisipasi penuh dan aktif
(participation)10 atau keikutsertaan semua pihak yang berbeda golongan (agama, suku,
ras, etnis, bahasa, perbedaan tingkat pendidikan) untuk secara bersama-sama mengelola
pemerintahan dengan baik dan mengelola konflik yang selalu ada di sekililing mereka dengan
cerdas. Sampai sekarang, perasaan atau psikologi merasa terancam dengan kehadiran
orang atau kelompok lain tersebut masih melekat pada sekelompok orang dan tidak mudah
dihilangkan. Pada budaya masyarakat yang telah maju-modern, keragu-raguan atau doubt
yang sungguh-sungguh (genuine) lantaran hadirnya orang atau kelompok lain di sekeliling
kita hanya dapat diobati atau sedikit banyak dapat dikurangi secara evolutif lewat penelitian
(Inquiry) atau kajian yang serius dengan kepala dingin dan tidak emosional.
Fase kedua adalah fase canonical atau propositional. Era agama-agama besar
dunia (world religions) masuk dalam kategori tradisi canonical ini. Kehadiran agama-agama
Ibrahimi (Abrahamic religions), dan juga agama-agama di Timur, yang pada umumnya
menggunakan panduan Kitab Suci (the sacred text) merupakan babak baru tahapan
sejarah perkembangan agama-agama dunia paska prehistoric religions di atas. Budaya
baca tulis ( literacy) dengan menggunakan huruf, sudah mulai dikenal dalam kehidupan
umat manusia. Tradisi yang dulunya “oral” (lisan) berubah menjadi “written” (tulis), dengan
menggunakan alfabet, huruf, kata, anak kalimat, kalimat dan begitu seterusnya. Ketika
norma-norma, aturanaturan, kesepakatan-kesepakatan lokal, ditulis dan dibukukan maka
sejarah manusia memasuki babakan baru yang disebut canonical. Masing-masing agama,
baik Abrahamic religions (Yahudi, Kristen, Islam) maupun Eastern religions (agama-agama
Timur) mempunyai kitab suci sebagai panduan hidup moral, hukum dan sosial. Pada era ini
pula muncul 4 (empat) model pemahaman tentang realitas spiritual, yaitu idealis (hanya yang
bersifat spiritual yang ada), dualis (spiritual dan materi dua-duanya ada dan masingmasing
secara relatif berdiri sendiri-sendiri), teis (spiritual dan materi kedua-duanya memang ada,
namun adanya materi sepenuhnya tergantung kepada yang spiritual), dan monis (spiritual
dan materi merupakan dua aspek yang berbeda tetapi sesungguhnya menunjukkan satu
kesatuan yang tak terpisahkan). Model-model ini telah berkembang di wilayah India, Timur
Dekat (Tengah) dan Asia Timur. Dari situ kemudian, muncul 4 aliran besar dalam pemikiran
keagamaan dunia. Era ini disebut “canonical” karena semuanya menerima adanya wahyu
yang kebenarannya dianggap final dan absolute, yang terjelma dalam kitab suci (sacred
text).
Dalam tradisi-tradisi besar ini, agama tidak hanya berhubungan dengan dunia spiritualitas
tetapi juga berusaha keras untuk mengatasi keinginankeinginan manusia yang bersifat
egoistis dan menjadikan pengetahuan tentang penyatuan kembali dengan yang spiritual
-----------
10
Abdul Karim Soroush, Reason, Freedom, and Democarcy in Islam: Essential Writings.
Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, Bandung:
Penerbit Mizan, 2002, h. 132.
137
138
sebagai nilai tertinggi. Tetapi agama-agama canonical ini hampir seluruhnya memberikan
pandangan dan pendapat tentang realitas yang maha tinggi tadi dalam berbagai penafsiran
yang berbeda-beda. Selain itu, semuanya juga terlibat aktif dalam sistem budaya dan
politik setempat sehingga agama-agama canonical ini selalu terlibat dalam konflik yang tak
berkesudahan. Seirama dengan perjalanan waktu, tradisi interpretasi terhadap kitab suci
mulai berkembang dari waktu ke waktu. Pelapisan sosial berdasarkan kemampuan dan
kemahiran menguasai dan memahami kitab suci mulai terstruktur dan terlembaga seiring
dengan perkembangan waktu. Ulama, kyai, pastur, pendeta, pedande, bhikkhu, resi dan
begitu seterusnya berkembang dengan hierarki yang berkembang sesuai dengan kebutuhan
zaman yang memerlukannya. Panduan keagamaan yang didasarkan pada teks kitab suci
inilah yang berkembang pesat di abad tengah dan di kemudian hari nanti akan mempunyai
andil dalam membentuk corak keberagamaan yang skripturalis-tekstualis, selain tradisi-
tradisi lain yang lebih kontekstual juga ikut berkembang dalam menginterpretasikan kitab
suci.11
Fase ketiga adalah fase critical. Pada abad ke-16 dan 17, kesadaran beragama di
Eropa mengalami perubahan yang radikal, yang terwadahi dalam gerakan Enlightenment.
Meskipun ini adalah pengalaman Eropa, tetapi dalam perkembangannya juga merambah
ke seluruh tradisi agama-agama dunia selain Kristiani dan Yahudi Eropa. Agama-agama
tradisional menghadapi tantangan berat sehingga memaksa para penganutnya untuk
memikirkan kembali secara menyeluruh asumsi- asumsi dasar yang telah menjadi
habits of mind dan belief, dengan mengikuti bahasa yang digunakan Peirce tadi. Dua
tantangan besar tersebut adalah prinsip-prinsip berpikir yang harus berdasarkan pada bukti-
bukti riil di lapangan (the principle of evidentalism)—dalam arti bahwa seluruh kepercayaan
hendaknya secara proporsional bersedia (legowo) untuk menghadapi pertanyaan dan
pertanggungjawaban uji publik—serta prinsip otonomi moral (the principle of autonomy)
dalam arti bahwasanya kepercayaan agama, khususnya hal-hal yang terkait dengan
persoalan moral (moral beliefs) hendaknya tidak didasarkan atas otoritas. Kalau umat
beragama menerima kedua prinsip enlightenment ini, maka kepercayaan agama dalam
bentuknya yang tradisional-konvensional selama ini, tidak akan dapat dipertahankan lagi.
The principle of evidentalism bukan dimaksudkan untuk menghadirkan bukti konkret bahwa
Tuhan itu ada atau tidak, tetapi lebih pada uji sahih di hadapan publik terhadap perilaku sosial-
keagamaan yang dianggap menyimpang dari asas kepatutan dan akal sehat (common sense).
Tidak dapat diingkari sama sekali bahwa antar pengikut dan pendukung keberagamaan yang
bersifat canonical-texstual sendiri seringkali muncul ketegangan-ketegangan sosial-politik yang tak
terhindarkan. Pengalaman hubungan disharmoni dan penuh ketegangan dan kekerasan antara
-----------
11
Keith Ward, h. 3, 5 dan secara lebih lengkap bab 5, 6 dan 7.
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Katolik dan Protestan di Barat pada abad pertengahan, antara kelompok Sunni dan Syi‘iy di Timur
Tengah pada abadabad sebelumnya bahkan hingga sekarang, Mahayana dan Hinayana di
lingkungan tradisi keagamaan Buddha, Brahmaisme, Wisnuisme dan Syivaisme di lingkungan
Hindu dan masih banyak lagi yang lain, yang menjadikan atau mendorong munculnya “doubt”
seperti telah diungkap di depan. Doubt inilah yang memicu munculnya tradisi baru dalam
sejarah pemikiran keagamaan yang disebut penelitian atau research. Tradisi keilmuan baru
dalam mempelajari agamaagama dunia ini, selain didorong rasa ingin tahu tentang hakikat
agama, asal-usul, sejarah perkembangannya, juga didorong oleh cara berpikir kritis atau
critical dalam beragama. Pada abad ke-18, sebutlah mudahnya begitu, tumbuh tradisi baru,
yaitu tradisi manusia yang berusaha ingin mengurangi atau menghilangkan rasa “doubt”
dalam diri pribadi dan dalam kehidupan sosial dengan cara melakukan pengamatan dan
penelitian terus menerus (research).12 Tradisi baru ini berkembang terus, yang kemudian
membudaya dalam dunia akademis, penelitian (research), scholarly work dan wilayah
intelektual pada umumnya. Pandangan keagamaan yang mewakili “insider” dan “outsider”13
mulai muncul di sini. Objektif dan subjektif, fideistic subjectivism dan scientific objectivism,14
believer dan spectator mulai dikenal. Belakang para ilmuwan membedakan antara “faith” dan
“tradition”;15 antara “essence” dan “manifestation” dalam beragama. Sejarah perkembangan
studi terhadap fenomena agama, ibarat gerak jarum jam, tidak bisa diputar kembali. Ketiga
tradisi tersebut berjalan bersama. Kadang bersenggolan, kadang berjalan bersama lalu
pisah dipersimpangan jalan, bahkan kadang bertubrukan juga. Dalam kondisi seperti itu
muncul fase keempat yaitu fase Global.
Fase keempat adalah fase global. Belum tahu persis bagaimana formatnya yang utuh
nanti, tetapi yang jelas era teknologi informasi, ditambah lajunya kemajuan transportasi
udara, laut dan darat mempercepat terwujudkannya impian borderless society ini. Dalam
-----------
12
Orang mulai mengenal berbagai pendekatan terhadap realitas agama, seperti sejarah, antropologi,
sosiologi, psikologi. Lebih lanjut Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, New York: Oxford
University Press, l996
13
Kim Knott, “Insider/outsider perspectives” dalam John R Hinnells (Ed.), The Routledge Companion
to the Study of Religion, London: Routledge, 2005, h. 243-258; juga Muhammad Abdul-Rauf,
“Outsiders” interpretations of Islam: A Muslim’s point of view” dan Fazlur Rahman, “Approaches to
Islam in Religious Studies: Review Essay”, dalam Richard C. Martin (Ed.(, Approaches to Islam
in Religious Studies, Tucson: The University of Arizona Press, 1985, h.179-188 dan h.189-202.
14
Istilah yang digunakan oleh Richard C. Martin untuk menjelaskan posisi seorang yang terlibat
penuh dalam beragama dan posisi seorang yang dapat mengambil jarak dari keberagamaan yang
dipeluknya untuk kepentingan penelitian dan tugas-tugas akademik lainnya. Richard C. Martin,
“Islam and Religious Studies: An Introductory Essay”, dalam Richard C. Martin (Ed.), Ibid., h. 2.
15
Istilah yang digunakan oleh W. C, Smith. “Faith” mengacu kepada sisi keberagamaan manusia
yang bersifat internal, tak terelakkan, berorientasi transendental dan privat, sedangkan “tradition”
mengacu kepada hal-hal yang bersifat eksternal-lahiriyyah, tindakan sosial-keagamaan yang dapat
diamati dan dimensi kesejarahan keberagamaan umat manusia. Pendapat ini dikutip oleh Charles
J. Adams, “Islamic Religious Tradition” dalam Leonard Binder, The Study of the Middle East:
Research and Scholarship in the Humanities and the Social Sciences, New York: John Wiley
& Sons, 1976, h.33.
139
140
era global, fenomena glokalisasi juga tampak jelas di sini. Tradisi lokal dibawa ke arena
global. Muslim diaspora, immigrant muslim di Eropa, gerakan transnasionalisme menempati
salah satu bagian dari kompleksitas kehidupan agama di era global ini.16 Apakah pada
tempatnya yang baru di Eropa ini, para migran Muslim perlu menyusun dan menciptakan
sistem kehidupan keagamaan tersendiri, sebagai hasil adaptasi dengan lingkungan sekitar
yang baru, ataukah mereka masih bersikukuh mempertahankan sistem aturan fikih lama,
yang biasa digunakan dan dipraktikkan di tempat-tempat yang dihuni oleh mayoritas Muslim,
baik di Timur tengah, Pakistan atau Indonesia? Ataukah mereka harus berpikir dan bertindak
“seolah-olah” mereka masih menghuni daratan dan bergaul sehari-hari dengan orang-
orang atau masyarakat mayoritas muslim di negara asalnya dan tidak mempedulikan sama
sekali sistem dan aturan kenegaraan dan keagamaan di tempat baru yang mereka huni
selama tiga generasi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi? Pertanyaan yang sama pernah
diajukan secara sengit oleh pengikut Katolik di Indonesia dalam perbincangan mereka
dengan pusat Katolik di Roma.17 Fikih mayoritas dan fikih minoritas kemudian muncul ke
permukaan dengan tiba-tiba ketika pengikut agama dihadapkan pilihan pilihan sulit ketika
harus tinggal di tempat yang seharusnya ia tidak bertempat dan berdomisili di situ. Muslim
diaspora sedang mencari solusi yang aman dari tarikan kepentingan fikih aktsariyyah atau
aghlabiyyah dan kemungkinan mempunyai kewenangan secara otonom menyusun sendiri
sistem fikih aqalliyyah yang adjustable dengan lingkungan setempat.18 Fase global ini sama-
sama sulitnya dengan tiga fase yang telah dilalui oleh umat beragama. Belum lagi ketika
kita membahas dan mencari soulsi pengaruh media sosial yang dipenuhi dengan ujaran
kebencian pada era digital sekarang ini.
Tidak hanya itu. Pascabencana alam tsunami di Banda Aceh, dunia internasional
membantu pemerintah Indonesia umumnya dan Pemda Nangroe Aceh Darussalam
khususnya untuk keluar dari kesulitan yang mereka alami. Australia, Jerman, Denmark,
-----------
16
Dalam waktu 10 tahun terakhir, tema penelitian baru ini mulai menarik perhatian banyak peneliti
studi agama. Sebagai bahan awal untuk dikembangkan lebih lanjut dapat diikuti Sean McLoughlin,
“Migration, diaspora and transnationalism: Transformations of religion and culture in a globalizing
age” dalam John R. Hinnells (Ed.), The Routledge Companion to the Study of Religion, New
York, Routledge, 2005, h. 526-546. Juga Steven Vertovec, “Religion and Diaspora” dalam Peter
Antes, Armin W. Geertz, Randi R. Warne (Eds.), New Approaches to the Study of Religion,
Volume 2, Berlin: Walter de Gruyter, 2004, h. 275-297.
17
Eddy Kristiyanto, OFM, “Sekapur Sirih Untuk Opus Magnum Prof. Steenbrinks, dalam Karel
Steenbrink, Orang-orang Katolik di Indonesia l808-l942: Pertumbuhan yang Spektakuler dari
Minoritas yang Percaya Diri l903-l942, Jilid 2, Maumere: Ledalero, 2006, h. v—xxii, khususnya h.
xiv.
18
Banyak sekali buku yang mengulas minoritas Muslim di Eropa, meskipun di tanah air tidak begitu
dikenal, antara lain seperti Tariq Ramadan, Western Muslims and the Future of Islam, Oxford: Oxford
University Press, 2004. Juga Jorgen Nielsen, Muslims in Western Europe, Edinburg: Edinburg
Univesity Press, 1992. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab berjudul Al-Muslimun fii
Auruba, terjemahan Walid Syamith, Beirut: Ra al-Saqi, 2005.
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Norwegia, Swiss, Amerika Serikat, Turki, Oman, Saudi Arabia, Jepang dan lain-lain membantu
pemerintah daerah membuat jalan raya, perumahan rakyat, sumber air bersih, rumah sakit,
masjid, perbaikan lingkungan hidup dan sarana prasarana yang lain. Secara otomatis,
warga Banda Aceh yang 100 persen beragama Islam sekarang terbuka dan terpaksa (atau
lebih tepat dipaksa oleh alam) untuk membuka diri menerima kehadiran orang luar (the
others). Orang asing dan badan-badan internasional datang tidak sebagai turis atau guest
workers (pekerja tamu) tetapi sebagai partner internasional untuk bantuan kemanusiaan
(humanitarian aids). Orang Aceh sekarang berkomunikasi dengan orang, kelompok dan
bangsa lain yang tidak seagama, tidak seadat-istiadat, tidak sepaham, tidak sependidikan,
tidak seetnis, tidak sebangsa dengan mereka. Dalam proses ini, pasti ada harga yang
harus dibayar. Paling tidak mereka sekarang mengenal tata nilai baru, yang paling mudah
diamati sekarang adalah nilai ekonomi yang membuat biaya hidup (sewa rumah, kebutuhan
makan-minum sehari-hari, kesehatan, transportasi dan lain-lain) jauh lebih mahal dibanding
sebelum tsunami. Nilai-nilai “asing” masuk ke Banda Aceh tanpa bisa dibendung. Semua
ini menunjukkan bahwa pada era sekarang ini ada fikih baru hubungan internasional dan
tanggung jawab kemanusiaan yang menjadi acuan norma-norma hubungan antar bangsa-
bangsa yang tidak bisa dihindari oleh siapapun, khususnya jika manusia mengalami krisis
lingkungan dan kemanusiaan seperti bencana tsunami, yang tidak bisa lagi ditangani dan
diselesaikan sendiri oleh masyarakat dan negara setempat. Bagaimana memahaminya
dalam perspektif pendidikan agama di era global? Umumnya, pendidikan agama yang
berjalan sekarang ini tidak dapat mengantisipasinya dengan cara yang memuaskan, karena
pendidikan agama selalu mengacu pada nilainilai, praktik hidup beragama yang bersifat
normal, stabil, rutin, wajar dan tidak ada ruang untuk mendiskusikan untuk masalah-
masalah yang tidak normal, tidak stabil, krisis.
Bercermin dari dilema dan kompleksitas pergumulan studi agama dengan fase-fase
perkembangan yang telah dilaluinya, bagaimana peta perkembangan studi keislaman di dunia
dan di Indonesia khususnya dan implikasinya dalam pendidikan agama? Persoalan ini layak
dan penting untuk dikaji, diteliti, dicari solusi-solusi yang menyegarkan dan mencerahkan
untuk semua stakeholders yang berkepentingan, baik untuk para pendidik, dosen, guru,
tokoh masyarakat, pimpinan organisasi sosial-keagamaan, pimpinan partai politilk, diplomat
dan masyarakat luas pengguna jasa keilmuan keislaman, untuk dicari rumusan ulang yang
lebih antisipatif dan akomodatif terhadap persoalan kemanusiaan global.
Pengertian Dirasat Islamiyyah atau Islamic Studies sebenarnya berbeda dari pengertian
Ulum al-Diin yang biasa dikenal selama ini. Ketika disebut Ulum al-Diin (religious knowledge),
pemahaman kita umumnya langsung merujuk kepada ilmu-ilmu agama (Islam) seperti aqidah
dan syari’ah dengan menggunakan ilmu bantu bahasa (yang dapat membantu memahami
141
142
kandungan dan arti nash atau teks kitab suci) dan logika deduktif yang merujuk dan
menderivasi hukum-hukum, aturan-aturan dan norma-norma agama dari kitab suci. Dari
sana lalu muncul kluster ilmu-ilmu agama (Islam) seperti Kalam, Fikih, Tafsir, Hadis,
Qur‟an, Faraidl, Aqidah, Akhlaq, Ibadah dan begitu seterusnya dengan ilmu bantunya
bahasa Arab (Nahwu, Saraf, Balaghah, Badi’, ‘Arudl).19 Dalam perkembangannya, ketika
bahan dasar atau bahan pokok (ushuluddin) keagamaan Islam ini terkumpul dan disusun
secara sistematis dan terstruktur secara akademis dengan melibatkan pendekatan
sejarah pemikiran (origin, change dan development), maka secara akademik Ulum al-Diin
berkembang menjadi subjek yang secara luas sekarang di kenal di lingkungan Perguruan
Tinggi sebagai al-Fikr Islamiy (pemikiran Islam).
Fazlur Rahman dan Abdullah Saeed,20 misalnya, telah menulis buku tentang Islamic
thought atau al-Fikr al-Islamiy yang isinya secara komprehensif meliputi studi Al-
Qur’an dan al-Sunnah, pemikiran hukum (legal thought), pemikiran kalamiyyah
(theological thought), pemikiran mistik (mystical thought atau sufism), ekspresi
artistik, pemikiran filsafat (philosophical thought), pemikiran politik (political thought),
dan pemikiran Modern dalam Islam. Yang ingin ditekankan di sini adalah bahwasanya
Islamic thought atau al-Fikr al-Islamiy mempunyai struktur ilmu dan the body of
knowledge yang kokoh dan komprehensif-utuh tentang Islam, sedang ‘Ulum al-Diin
seringkali hanya menekankan atau memilih bagian tertentu saja atau satu-dua saja dari the
body of knowledge pengetahuan tentang Islam yang utuh komprehesif tersebut. Kadang
penekanannya hanya pada pemikiran kalam atau aqidah saja dengan meninggalkan
kajian filsafat. Seringkali penekanan hanya pada fikih dengan meninggalkan tasawuf. Ada
pula yang hanya menekankan dan mencintai Hadis (dalam era teknologi canggih malah
cukup menggunakan CD) tetapi tidak mengenal perdebatan dan pergumulan tentang hadis
yang mendalam21 dan pemikiran fikih yang sangat mendalam dalam kitab-kitab kuning,
apalagi sampai mengenal perdebatan pemikiran kalamiyyah dan tasawuf. Bahkan tidak
-----------
19
Secara analitik-rinci-mendalam, buku Mohammad Abid alJabiry dapat dijadikan rujukan untuk
melacak sejarah pertumbuhan munculnya Ulum al-Diin yang penulis maksud. Lihat Mohammad
Abid Al-Jabiriy, Takwin al-Aql al-Arabiy, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafy al-Arabiy, 1991. Juga buku
berikutnya Bunyah al-Aql al-Arabiy: Dirasah Tahliliyyah Naqdiyyah li Nudzum al-Ma’ƌifah fii
al-Tsaqafah al-Arabiyyah, Beirut: Markaz dirasaat al-Wihdah al-Arabiyyah, l990, cetakan ke 3.
Khusus untuk struktur dasar dan pola pikir Mutakallimun (pemikiran Kalamiyyah) dapat ditelaah
lebih lanjut Josef van Ess, “͞The Logical Structure of Islamic Theology͟”, dalam Issa J. Boullata (Ed.),
An Anthology of Islamic Studies, Montreal, McGill Indonesia IAIN Development Project, 1992.
20
Abdullah Saeed, Islamic Thought: An Introduction, London: Routledge, 2006.
21
Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, Karachi: Central Institute of Islamic Research,
1965. Juga Hammadi Dzuwaib, al-Sunnah baina al-Usul wa al-Tarikh, Beirut: Al-Markaz al-Tsaqafy
alArabiy, 2005. Belum lagi penelitian seperti yang dilakukan Muhammad Khalid Mas’ud, “Hadit and
Violence. Dalam OM, XXI h.a (LXXXII), 1, 2002, h. 5-18.
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
jarang terjadi, bahwa pengajaran yang partial-tidak utuh tadi masih direduksi lagi dengan
hanya memilih salah satu corak pemikiran atau pola pikir ‘keilmuan’ yang sesuai dengan
‘kepentingan’ kelompok masing-masing di masyarakat‘ Sebutlah sekedar sebagai contoh,
orang atau kelompok Sunni hanya mempelajari pemikiran, tokoh dan metode berpikir, buku-
buku, kitab kuning ala Sunni saja dengan meninggalkan dan tidak mengenal sama sekali
sama sekali pola pikir, tokoh, metode berpikir, buku-buku, kitab kuning pemikiran kalamiyyah
Syi’iy. Dan begitu pula sebaliknya. Belum lagi harus menyebut pemikiran kalamiyyah
model Wahhabiyah, Baha‘i, Ahmadiyyah, Qadyaniyyah, Salafi dan begitu seterusnya.
Masing-masing aliran pemikiran kalamiyyah ini malah justru saling menutup diri dan saling
menghindar untuk bertemu, bahkan saling menghujat dan saling murtad memurtadkan.
Setidaknya pada level psikologi kelompok, para pendukung aliran pemikiran kalamiyyah ini
cenderung tersegmentasi dan cenderung sangat emosional.22
Dengan begitu, pengajaran dan pembelajaran ‘Ulum al-Diin yang diselenggarakan
oleh masyarakat sekarang ini sangat terasa sangat “lokal”, dangkal, parsial (sepotong-
potong) provincial (terkotak-kotak; terbatas cara pandangnya), parochial (sempit).
Dalam arti, tanpa disadari oleh para pelaku dan aktor yang berada di belakangnya,
mereka jatuh pada pemihakan kelompok tertentu (al-Firqah al-Islamiyyah) dan
belum sampai masuk dan mengenal kelompok yang lain (al-Firaq al-Islamiyyah).
Maka pengajaran agama (‘Ulum al-Diin) terkesan menjadi dangkal, rentan terhadap
konflik-konflik—untuk tidak menyebutnya sangat rentan terhadap tindak kekerasan
antar kelompok—tidak mendalam dan tidak komprehensif. Studi ‘Ulum al-Diin di
berbagai tempat di dunia, termasuk Indonesia, hampir-hampir kehilangan horizon
keilmuan keislaman yang utuh, luas dan komprehensif. Pengajaran ‘Ulum al-Diin
kontemporer lebih bercorak partial, reduktif, selektif, tanpa melihat ketersambungan
dan keterkaitannya dengan kluster yang lain dalam satu rumpun disiplin keislaman.23
Dengan begitu tidak cukup lagi orang yang belajar Islam hanya terbatas pada Ulum al-
-----------
22
Peristiwa di Monas, Jakarta, pada tanggal 1 Juni 2008, dengan sangat jelas menunjukkan
fenomena tingginya tingkat emosionalitas para pendukung pemikiran keagamaan yang bercorak
Kalamiyyah di antara umat Islam di tanah air, dan dimana pun mereka berada. Selagi studi dan
pendalaman agama yang bercorak Kalamiyyah-Fiqhiyyah ini terpisah dari studi keislaman yang lain,
belum lagi jika tidak dikaitkan dengan studi sosial keagamaan yang utuh, maka tingkat emosionalitas
keagamaan ini akan terus tinggi dan cenderung mengarah tindakan kekerasan (violence) fisik.
23
Para peneliti dan penulis studi keislaman kontemporer telah merasakan kesulitan-kesulitan ini. Isi-
isu modernitas seringkali tidak tertangkap oleh para pecinta ͚Ulum al-Diin, dan mereka menghadapi
isuisu modernitas ini dengan cara-cara yang kurang santun menurut ukuran orang yang memperoleh
pendidikan modern sekarang. Hal demikian dapat dimaklumi karena ini merupakan konsekuensi
logis dari mempertahankan corak pemikiran kalamiyyah Islam lama yang terpisah dari bidang-bidang
studi keislaman yang lain. Salah satu peneliti dan pemikir muslim kontemporer yang sangat risau
dengan perkembangan ini adalah Khaleed Abou el-Fadl. Lebih lanjut lihat Khaleed Abou el-Fadl,
Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women, Oxford: Oneworld Publications,
2003.
143
144
Diin yang parsial, parochial, sectarian, provincial, dan reduktif, jika seseorang ingin
mempelajari khazanah intelektual Islam secara utuh, mendalam dan komprehensif.
Kehadiran al-Fikr al-Islamiy, Islamic thought atau pemikiran Islam yang pendekatannya
lebih historis, sistimatis, utuh komprehensif, non-sektarian, tidak provincial, tidak parochial,
sebenarnya sangat menolong untuk mengisi kekurangan yang dialami dan melekat pada
corak pembelajaran dan praktik pengajaran ‘Ulum al-Diin tersebut di atas.
Ketika pergumulan dan silang pendapat antara Ulum al-Diin dan al-Fikr al-Islamiy belum
selesai dan belum duduk, dunia akademis keilmuan Islam terus berkembang, mengikuti
perkembangan ilmu-ilmu dan metode-metode penelitian yang umum ada di dunia akademis
pada umumnya. Publikasi hasil penelitian lapangan, hadirnya jurnal keilmuan keislaman,
simposium, seminar-seminar keilmuan, ensiklopedia, terbitnya buku-buku baru dari manapun
datangnya, baik dari insiders maupun outsiders, mulai merangsek masuk ke pusat-pusat
studi keislaman baik di Barat maupun Timur. Dengan munculnya berbagai metode dan
pendekatan baru yang yang muncul mulai abad ke 18-19, baik yang disebut filologis-historis
dan lebih-lebih social sciences,24 maka munculah cluster baru keilmuan Islam yang disebut
dengan Dirasat Islamiyyah atau Islamic Studies. Cara kerja untuk memperoleh data (process
dan procedure), cara berpikir mendekati persoalan akademik yang dihadapi (approaches),
asumsi-asumsi dasar yang digunakan (basic assumption) sangatlah berbeda dari kedua
jenis keilmuan keislaman yang mendahuluinya. Selain masih merujuk pada kluster ilmu-
ilmu keagamaan (Islam) yang paten, standard baku dalam Ulum al Diin dan al-Fikr al-
Islamiy, ia juga ditopang dan diperkokoh oleh research (penelitian) lapangan, pengamatan
historisempiris yang ‘objektif’ tentang dinamika sosial, ketersambungan (continuity) dan
perubahan (change), pola (pattern) dan trends pergumulan sosial-politik, ekonomi, budaya,
pola-pola ketegangan, konflik, harmoni dan merekam pluralitas interpretasi makna oleh
para pelaku di lapangan. Pendekatan kritis dan comparative (perbandingan) sangat
diutamakan dalam tradisi keilmuan Dirasat Islamiyyah atau Islamic Studies. Metode
dan pendekatan historis, psikologis, antropologis atau sosiologis (meskipun tidak
sampai jatuh pada jebakan reduksionistik) terhadap realitas keberagamaan muslim di
lapangan selalu digunakan oleh Dirasat Islamiyyah atau Islamic Studies. Penggunaan
“kerangka teori” untuk memandu analisis data yang terkumpul dari lapangan juga
sangat dipentingkan dalam Dirasat Islamiyyah. Dengan kata lain, Dirasat Islamiiyah
selalu menggunakan dan menggandeng metode kerja tata pikir ilmu-ilmu sosial untuk
membedah realitas keberagamaan Islam di alam nyata kehidupan sehari-hari, tidak
-----------
24
Charles J. Adams menginformasikan perkembangan ini dengan baik, meskipun informasi ini telah klasik, sekitar 30
tahun yang lalu. “Islamic Religious Tradition” dalam Leonard Binder (Ed), The Study of the Middle East: Research
and Scholarship in the Humanities and the Social Sciences, New York: John Wiley & Sons, 1976, h. 29-89. Juga
Richard C. Martin (Ed.), Approaches to Islam in Religious Studies, Tucson: The University of Arizona Press, 1985.
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
hanya di alam teks dan tidak pula hanya terbatas pada alam rasio.25
Munculnya generasi baru Dirasat Islamiyyah menjadi sangat asing dan sedikit aneh
bagi penggemar dan pecinta Ulum al-Diin, dan mungkin bagi pecinta dan penggemar al-Fikr
al-Islamiy.
Dialog, perbincangan dan pembahasan yang mendalam tentang isu-isu kontemporer
seperti Hak Asasi Manusia,26 gender27 (partisipasi wanita dalam kegiatan politik, sosial,
ekonomi, pendidikan), pluralitas agama,28 hubungan dan hukum Internasional yang
menggunakan metode dan pendekatan campuran antara al-Fikr al-Islamiy dan Dirasat
islamiyyah mengagetkan para pecinta ‘Ulum al-Diin yang masih menggunakan perspektif
metodologi keilmuan lama. Bahkan belakangan terdengar suara keras untuk menolak
perkembangan baru (the idea of progress) dalam studi keislaman ini, dengan melempar
tuduhan liberal, sekuler, murtad, pendangkalan akidah dan begitu seterusnya. Hal itu dapat
dimaklumi karena corak pendekatan kritis dalam studi agama (Islam) tidak atau belum
begitu dikenal dan tidak populer di kalangan masyarakat muslim. Ada keyakinan kuat bahwa
pelaksanaan ajaran agama di masyarakat tidak perlu dipertanyakan ulang, tidak perlu diteliti,
tidak perlu diamati, tidak perlu ditinjau ulang untuk tidak menyebutnya tidak boleh dikritik.29
Jika dilihat dari perspektif ke empat tahapan atau fase studi agama di atas, maka
tampak bahwa ‘Ulum al-Diin masih pada tahapan canonical—bahkan dengan uraian di atas
terbaca bahwa sebagiannya telah merosot ke fase “lokal”, dalam arti, parochial provincial—
sedangkan al-Fikr al-Islamiy berada pada masa transisi ke arah pematangan munculnya
Dirasat Islamiyyah yang bercorak critical. Seperti disinggung di atas, rupanya hubungan,
persentuhan, dan perkembangan dari satu fase tertentu ke fase yang lain tidak dapat berjalan
mulus, bahkan terputus-putus. Ada goncangan-goncangan di situ. Goncangan-goncangan
selalu mengiringi perjalanan sejarah perkembangan fase-fase studi terhadap fenomena
-----------
25
Talal Asad, Genealogies of Religion: Discipline and Reasons of Power in Christianity and
Islam, Baltimore: The Johns Hopkins University Press, 1993; Mohammad Arkoun, Tarikhiyyah
al-Fikr al-Islamiy, Beirut: Markaz al-Inma al-Qaumiy, l986; Andre Moller, Ramadan di Jawa:
Pandangan dari Luar, Jakarta: Penerbit Nalar, 2005.
26
Abdullahi Ahmed an-Na’im, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights, and
International Law, Syracuse: Syracuse University Press, 1990; Mashood A. Baderin, International
Human Rights and Islamic Law. Oxford: Oxford University Press, 2003.
27
Nasr Hamid Abu Zaid, Dawair al-Khauf: Qira’ah fi Khitaď al-Mar’ah, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafy
al-Araby, 2000; Fatema Mernissi, Islam and Democracy: Fear of the Modern World, Cambridge:
Perseus Publishing books, 2002.
28
Mahmud Ayyoub, Dirasaat fi al-’Alaqaat al-Masihiyyah al-Islamiyyah, Jilid 1 dan 2, Lebanon,
Markaz al-Dirasah al-Masihiyyah alIslamiyyah, 2000; Mark A. Gabriel, The Unfinished Battle:
Islam and the Jews, Florida : Charisma House, 2003; Hans Kung dan Jurgen Moltmann, Islam: A
Challenge for Christianity, London: SCM Press, 1994.
29
Kecemasan dan kegelisahan seperti ini sudah pernah muncul di tanah air pada tahun 80-an, namun
solusinya dengan cara menyelenggarakan seminar di berbagai tempat, khususnya di perguruan
tinggi dan pusat-pusat penelitian tentang Penelitian Agama. Periksa lebih lanjut Mulyanto Sumardi
(Ed.), Penelitian Agama: Masalah dan Pemikiran, Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1982.
145
146
agama. Tidak hanya terjadi di Timur, tetapi juga terjadi di Barat.30 Tradisi pendukung pola pikir
canonical-textual-scriptural tidak rela (tidak legowo) jika tradisi alam pikiran critical apalagi
global ikut campur memasuki domain mereka yang telah dipelihara dan dijaga berabad-
abad.31 Meskipun tidak dapat digeneralisasikan, perlu dan penting untuk disebutkan di sini,
bahwa pada era belakangan ini ketidakrelaan tersebut justru dimotori dan digerakkan oleh
para pecinta Ulum al-Diin yang berlatar belakang studi umum seperti kedokteran, engineer,
physical sciences, computer sciences, yang pengetahuan mereka tentang perkembangan
studi Islam dari waktu ke waktu tidak begitu lengkap dan tidak mendalam. Mereka ini tidak
salah sesungguhnya, tetapi sistem pendidikan yang bersifat dikotomis antara umum dan
agama, yang sudah begitu kronis-akut, menjadikan generasi sekarang bernasib malang
seperti yang dapat dilihat sekarang ini. Pertemuan (meeting point) antara keberatan yang
diajukan oleh para pecinta ‘Ulum al-Diin dari perguruan tinggi umum (non Islamic studies)
dan para pecinta pembelajaran ‘Ulum al-Diin yang belum mengenal wilayah al-Fikr al-
Islamiy secara utuh-komprehensif dan belum mempunyai kesempatan mendalami Dirasaat
Islamiyyah kontemporer menambah kencangnya angin di buritan pesawat peradaban muslim
kontemporer di berbagai tempat di dunia. Baik di Barat, tempat para Muslim minoritas tinggal
maupun di Timur, tempat mayoritas muslim tinggal. Peradaban yang sedang mengalami
turbulensi (goncangan) hebat karena perubahan cuaca buruk hubungan antar bangsa-
bangsa di dunia pascainvasi Amerika Serikat atas Irak tahun 1990-an dan Afganistan, setelah
meluasnya pengaruh al-Qaeda serta pemboman World Trade Center (WTC), New York dan
Pentagon, Washington pada 11 September 2001. Memburuknya cuaca hubungan antara
Barat dan Timur (Islam), mendorong munculnya genre baru trend pemikiran kalamiyyah
dalam Islam yang disebut oleh Khaled Abou el Fadl sebagai puritan dan moderat. Saya
kutip pengamatan Khaled Abou el-Fadl sebagai berikut:
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
order to resist Western culture, Muslims should not seek to study the social sciences
or humanities. This is the reason that a large number of puritans come, to the West
to study, but invariably focus their studies on the physical sciences, including
computer science, and entirely ignore the social sciences and humanities. Armed
with modern science and technology, puritans believe that they will be better positioned
to recreat the golden age of Islam by creating a society modeled after the Prophet’s
citystate in Medina and Mecca.32
Kesan dan pengamatan serupa disampaikan oleh intelektual Muslim Palestina yang
telah lama tinggal di Barat, Ibrahim M. Abu-Rabi‘ sebagai berikut:
Jargon-jargon, istilah-istilah baku dalam pemikiran dan ideologi konflik kalamiyyah era
lokal canonical muncul kembali dan sangat populer saat sekarang ini di tanah air lewat
gerakan-gerakan sosial keagamaan Islam yang baru (the new Islamic movements; Harakah)
dengan memanfaatkan mesin politik yang sama-sama konfliktual. Mencampuradukkan
tuduhan pemurtadan, pendangkalan aqidah, pensyahadatan ulang (kosa kata idiologi-
keagamaan yang lazim digunakan dalam pengalaman keberagamaan Islam) dengan
tuduhan liberal, sekuler, pluralism (kosa kata idiologi-barat yang lazim digunakan
dalam pengalaman pergumulan keagamaan Kristen) dalam satu paket adalah cermin
-----------
32
Khaleed Abou El-Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists, New York:
Harpercollins Publishers, 2005, h. 171.
33
Ibarahim M. Abu-Rabi’, “A Post-September 11 Critical Assessment of Modern Islamic Thought”
dalam Ian Markham dan Ibrahim M. Abu Rabi (Eds.), dalam 11 September: Religious Perspectives
on the Causes and Consequences, Oxford: Oneworld Publications, 2002, h. 36.
147
148
kesulitan positioning dalam mendialogkan dan mempertautkan antara kluster ‘Ulum
al-Diin, kluster al-Fikr al-Islamiy dan kluster Dirasat Islamiyyah. Sejatinya, para pecinta
dan penggemar ketiga kluster keilmuan ini tidak perlu membangun “tembok tebal”
pemisah antara ketiga cluster keilmuan keagamaan (Islam) tersebut. Tetapi memang
demikianlah perkembangan sejarah intelektual Islam. Adanya dinding atau tembok
tebal tersebut menjadikan ketiganya menjadi saling terpisah, asing dan terasing antara
satu dan lainnya. Tidak saling mengenal dan tidak saling menghargai. Mutual distrust
ada disana. Bahkan belakang hubungan antara ketiganya terasa sangat antagonistis,
bermusuhan, berbau ancaman, dan tidak sehat.
Tugas dan proyek besar keilmuan keislaman kontemporer adalah bagaimana
menjelaskan pola-pola keterhubungan antara ketiganya dan mendamaikan silang pendapat
yang tidak proporsional serta menghilangkan sikap saling curiga antara ketiganya. Ketiga
kluster tersebut sebenarnya bersaudara, hanya saja cara atau sudut pandang, keluasan
horizon pengamatan (approaches) dan metode (process dan procedure) pengambilan dan
pengumpulan data serta aneka ragam sumber data yang diperoleh dari berbagai bahasa
(termasuk bahasa asing) berbeda antar ketiga tradisi keilmuan keislaman tersebut sehingga
hasilnya pun berbeda. Perbedaan itu muncul karena perkembangan intelektual manusia
itu sendiri. Perkembangan sejarah intelektual adalah min lawazim al-hayah, seperti halnya
perkembangan pengalaman hidup bernegara umat manusia yang semula cuma kumpulan
dari tribes (suku-suku; qabilah) ke pembentukan ummah, dan kemudian dari ummah
berkembang ke pendirian negara-bangsa (nationstates) seperti saat sekarang ini. Bahkan
sekarang mengarah ke pasca-nation-states, yang biasa disebut global. Masing-masing fase
mempunyai karakteristik sendiri-sendiri sejak dari sistem hukum, sosial, budaya, ekonomi
termasuk agama. Dalam proses perkembangan seperti itu, continuity (kesinambungan) dan
change (perubahan), dan perkembangan dan transformasi (development) pasti ada. Tetapi
dalam melewati perkembangan sejarah intelektual semacam itu, semua aktor dan pelaku
sejarah aturannya tidak boleh kalap, disoriented, dan buruk sangka (prejudice) antar satu
dan yang lain.
Oleh karenanya, Ulum al-Diin sebagaimana yang kita kenal sekarang ini tidaklah cukup
memadai untuk menghadapi persoalan dan tantangan-tantangan baru era modernitas dan
pascamodernitas. Untuk keluar dari paradigma keilmuan agama Islam yang lama ke yang
baru perlu upaya-upaya baru yang dapat mengawinkan, memperkaya, mempertautkan
khazanah intelektual lama (al-Turast) dengan khazanah intelektual baru (al-Hadatsah;
bahkan ma ba’da al-hadastah) agar generasi baru yang hidup pada era global sekarang dan
lebihlebih yang akan datang tidak gamang menghadapi modernitas dan pascamodernitas.
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Seperti diungkap di atas bahwa memang ada keterputusan (missing link) perkembangan
dan hubungan antara kajian keilmuan Islam yang bercorak canonical-propositional
dan kajian keilmuan Islam yang bercorak critical (dirasat Islamiyyah; Islamic studies).
Ketiganya sepertinya tidak bersambung, terputus dan tidak saling berdialog, tidak saling
mengenal dan tidak saling mengambil manfaat masukan yang disumbangkan oleh satu
kluster keilmuan kepada kluster keilmuan yang lain.34 Hubungan antara ketiganya pun,
menurut hemat penulis, bukannya bersifat struktural hirarkis, dimana Ulum al-Diin
atau Dirasat Islamiyyah atau al-Fikr al-Islamiy diandaikan paling tinggi, paling utama
atau penting dibanding yang lain. Hubungan antara ketiga kluster adalah terintegrasi
satu sama lain, ketiganya sama-sama penting, bersifat Interrelated hierarchy, dialogis
dan negosiatif.35 Pendekatan inter, multi dan transdisiplin dalam pembelajaran dan
penelitian ilmu-ilmu keagamaan (Islam) adalah istilah yang digunakan sekarang ini.
Masing-masing kluster tidak hanya secara pasif mengambil manfaat dari kluster yang lain,
tetapi juga secara aktif dapat memberi masukan kepada kluster yang lain. Masing-masing
kluster dapat saling berdialog dan saling menyampaikan kritik (al-naqd) membangun jika
ada hal-hal atau poin-poin yang lemah, janggal, bahkan ugly dan memang perlu diperbaiki
dan disempurnakan. Tidak ada truth claim antar kluster di sini. Hubungan antara ketiganya
bersifat cair, fleksibel, tidak membeku pada kluster tertentu. Dengan cara pandang seperti
itu, pengembangan keilmuan Islam yang akan berdampak besar pada pola dan metode
pendidikan agama di era global dapat dimungkinkan mengingat tantangan yang dihadapi
dari hari ke hari, dari waktu ke waktu, dari kurun ke kurun sangatlah luar biasa. Bahasa
populer yang sedang muncul ke permukaan adalah Islam yang “Rahmatan li al-‘Alamiin”.
Rahmat bagi seluruh isi alam, dan bukannya hanya rahmat untuk kalangan intern umat Islam
sendiri saja. Hanya dengan perspektif seperti itulah maka adagium dan dalil al-muhafazah
‘ala al-qadim al-salih dan al-akhdzu bi al-jadid al-aslah dapat dioperasionalisasikan dan
dipraktikkan di alam pendidikan agama (Islam). Jika tidak, maka yang terjadi hanyalah al-
-----------
34
Lebih lanjut Mohammad Arkoun, al-Fikr al-Islamiy : Qira’ah Ilmiyyah, Beirut : Markaz al-inma’
al-qaumiy, 1987, khususnya bab 3, h.87-112. Juga Richard C. Martin (Ed.), Approaches to Islam
in Religious Studies, Tucson : The University of Arizona Press, 1985, h. 1-18
35
Buku baru sebagai respons terhadap perkembangan pemikiran Islam kontemporer, khususnya
pada bidang hukum Islam, adalah Khaleed Abou el-Fadl, Speaking in God’s Name : Islamic
Law, Authority and Women. Dalam buku ini Khaleed mengusulkan perlunya memunculkan genre
pemikiran Islam baru dengan 5 (lima) items yang saling terkait yaitu kemampuan mengendalikan
diri (self restrain), sungguh-sungguh (diligent), menyeluruh (comprehensiveness), kemasukakalan
(reasonableness) dan jujur (honesty). Pemikiran Islam baru ini bercorak “negosiatif” antar berbagai
kelompok dan faksi yang saling memperebutkan otoritas pembacaan dan penafsiran ajaran Islam
di era kontemporer. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul Atas Nama
Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, Jakarta: Serambi, 2004.
149
150
muhafazah ‘ala al-qadim al-salih, sedang sisi keduanya berubah menjadi wa lam ya’khudz
bi al- jadid al-aslah. Sudah barang tentu, kerja besar ini semuanya perlu dikerjakan
dengan penuh kecermatan, kesungguhan, kehati-hatian, penuh kearifan, termasuk
kearifan lokal, dan tidak grusa-grusu atau serampangan. Sebagian syarat-syarat
melakukan ijtihad lama masih tetap berlaku tetapi perlu ditambah dengan metode dan
pendekatan keilmuan baru yang sebagian telah penulis uraikan di atas.
Menurut hemat penulis, terapi yang diperlukan untuk mengobati kecenderungan
konservatisme dan eksklusifisme pendidikan agama di era modern36 adalah bagaimana
mengelas, menghubungkan dan mempertautkan hubungan yang kokoh antara ketiganya.
Dirasat Islamiyyah atau Islamic studies yang bercorak critical dan dialogical perlu dikenalkan
kepada anak didik agar nilai-nilai dari keberagamaan yang otentik untuk menyangga
kehidupan bersama (peaceful coexistence; al-ta’ayus al-silmi) dapat dipelihara dan
dikembangkan suburkan. Perbedaan visi dan misi muslim puritan dan moderat pun dapat
dijembatani. Nilai fundamental keberagamaan Islam yang bersifat altruistic (taqdiim ‘ala al-
ghair; al-itsar; mendahulukan dan memprioritaskan kepentingan orang lain dan umum dari
pada kepentingan sendiri dan kelompok) perlu ditonjolkan kepada anak didik dan masyarakat
luas, dan bukannya cuma nilai-nilai yang bersifat egoistic, agitatif dan acitivistic.
Nilai-nilai dan pandangan hidup baru yang terpancar dari nilai altruistic dalam
keberagamaan yang otentik dan tulus antara lain munculnya rasa empati (rasa senasib dan
sepenanggungan bersama yang lain), simpati (merasakan perasan orang atau kelompok
lain (the others; al-akhar) seperti yang ia rasakan sendiri), memiliki sensivitas atau kepekaan
yang tinggi terhadap perasaan (feelings) orang atau kelompok lain, kasih sayang (tanpa harus
disekat oleh perbedaan umur, seks, ras, agama, etnis, kelas), kedermawanan (mentalitas
yang melimpah; abundant mentality), kejujuran, fairness, keterbukaan (tidak dendam
dan tidak suka menutup-tutupi maksud yang sesungguhnya; tidak menggunting dalam
lipatan), keadilan, kesetaraan, toleransi (secara proaktif-positif menghormati perbedaan
tersebut), mempunyai penafsiran yang berbeda dari yang kita miliki, tidak mendahulukan
absoluditas dalam segala hal, tidak totalistik (memaksakan kehendak; tanpa argumen yang
rasional, komprehensif), menghargai dan menghormati orang lain sebagaimana adanya,
kesederhanaan (sak madyo dalam bersikap, bergaul, berperilaku, berpakaian, perabot
rumah, perhiasan, makan, minum), disiplin diri (dalam menggunakan dan mengatur waktu,
uang, dana, kesempatan), moderasi atau mengambil sikap jalan tengah (tidak mendahulukan
ekstrimitas dan radikalitas), kesabaran (budaya antri; tidak egoistik), selalu mendahalukan
tindakan yang non-diskriminatif (suka membeda-bedakan atas dasar suku, ras, etnis, umur,
seks, agama, sekte, jenjang pendidikan) dan lebih mengutamakan budaya non-violence.
Budaya lokal dan global memerlukan nilai-nilai fundamental kemanusiaan yang soft seperti
-----------
Baca laporan hasil penelitian PPIM UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dalam GATRA, edisi Desember
36
2008.
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
yang antaranya disebut di atas, dan sudah barang tentu masih banyak yang lain lagi. Hanya
saja, bagaimana cara penyampaiannya kepada anak didik secara lebih akademik sekaligus
pedagogis? Salah satu yang saya usulkan dan perjuangkan dengan penuh komitmen adalah
lewat pengenalan humanitas kontemporer yang dikawinkan dengan bagian-bagian tertentu
dari ilmu-ilmu sosial kritis dan budaya lokal yang mendarah mendaging dalam payung Ulum
al-Diin dalam konteks budaya Islam.
Dengan bantuan cara berpikir dan metode ilmuilmu sosial, yang salah satunya
menggunakan prinsip evidentalism (selalu melibatkan dan mempertimbangkan data-
data dan fakta-fakta konkret di lapangan), manusia dan umat beragama pada umumnya
menyadari benar adanya fakta sosial (belum lagi politik dan ekonomi) yang ada di
hadapan dan mengelilingi mereka adalah sangat keras. Fakta keras di lapangan tersebut
adalah bahwa hidup adalah penuh dengan perbedaan, pertentangan dalam setiap lini,
ketidakharmonisan, ketegangan, konflik, permusuhan, penghinaan, kebencian, dendam,
buruk sangka, memandang rendah kelompok lain, ketidakadilan, tindakan membeda-
bedakan (diskriminasi), kekacauan, kekerasan (violence), keserakahan, kehendak untuk
menguasai, ketidaknyamanan psikologis. Belum lagi menyebut radikalisme, ekstrimisme,
dan terorisme. Dalam praktik keberagamaan dalam dunia sosial, manusia beragama tidak
bisa menghindari hal itu. Bahkan agama adalah bagian yang tak terpisahkan dari kenyataan
sosial itu. Bisa sangat boleh jadi, jika tidak ekstra hati-hati, agama adalah bagian dari
permasalahan yang dihadapi oleh manusia. Agama menjadi a part of the problem, bukannya
a problem solver, jika para pelakunya tidak menyadari perlunya kritik dalam kehidupan
beragama sehari-hari. Umat beragama, khususnya para elit-pemimpinnya, tidak
boleh menghindari kritik. Kehidupan beragama tidak boleh kebal (immune) dari dari
kritik. Agar kehidupan beragama yang majemuk (majemuk secara internal maupun
eksternal) dengan intensitas dan ekstensifitas perjumpaan antarkelompok, sekte,
komunitas, partai, golongan, ras, etnis, kelas, tingkat pendidikan yang semakin cepat
dan luas di era global ini tidak menimbulkan situasi yang kacau (chaotic) dan tidak
pula terjadi apa yang dikhawatirkan sementara pihak sebagai pendangkalan aqidah,
maka bantuan ilmu-ilmu sosial dan humanitas kontemporer sangat diperlukan.
Studi agama, khususnya fenomenologi agama, yang menggunakan seperangkat
metodologi ilmu-ilmu sosial yang bersifat interdisiplin memberi masukan berharga bahwa
studi agama adalah amat unik dan khas. Mungkin juga paling sulit. Kesulitan terletak pada
kenyataan pertama, bahwa jika ilmu-ilmu lain mengandaikan dapat membedakan secara
tegas dan lugas antara peran “objek” dan “subjek” dalam telaah dan analisis akademik
mereka, sedangkan dalam studi agama hal demikian tidak mungkin dilakukan. Keterlibatan
peran “subjek” sangat kental dalam studi agama, namun adanya fenomena “objek” di luar
subjektivitasnya pengamat atau peneliti juga jelas-jelas ada dan tidak dapat dinegasikan
begitu saja. Meskipun “objek-objek” di luar “subjek” tadi juga memiliki “subjektivitas” sendiri-
sendiri, justru itulah yang sejak awal harus dipertimbangkan secara serius. Dengan demikian,
151
152
sejak awal berangkat studi agama memang bersifat Objektif-cum-Subjektif atau Subjektif-
cum-Objektif. Inilah letak keunikan sekaligus kesulitan studi agama.37 Dengan begitu, studi
agama tidak dapat disamakan begitu saja dengan studi ekonomi, politik, sosiologi dan lain
sebagainya, apalagi biologi, kimia, fisika, dan matematika. Kedua, yang menjadi ciri khas
studi agama adalah adanya unsur Nonfalsifiable Postulated Alternate Realities, yaitu adanya
kepercayaan, keimanan, aqidah, kredo, yang diasumsikan pasti benar adanya, dan tidak bisa
dipertanyakan dan dipermasalahkan oleh siapapun. Tidak mengenal falsifikasi dan verifikasi
seperti umumnya dikenal dalam ilmu-ilmu dan wilayah bidang studi yang lain. Bahkan
dalam pemikiran kalamiyyah Islam tegas-tegas disebut dengan istilah “bila Kaifa” (tak boleh
dipertanyakan whatness, howness, whereness, dan whyness nya). Tidak bisa didiskusikan,
tidak bisa diperdebatkan. Tidak bisa difalsifikasi. Semua agama-agama dunia mempunyai
struktur lapis dasar hard core seperti itu. Seringkali wilayah ini disebut sebagai wilayah the
sacred (yang suci). Tidak hanya agama tertentu saja (sebutlah Islam saja) yang memiliki
sifat dasar seperti itu. Semua agama memiliki struktur dasar seperti itu. Kalau asumsi dasar
dalam ilmu ekonomi atau psikologi dapat didiskusikan dan dapat dibantah secara terbuka,
dan tidak perlu membawa bawa emosi, tapi kalau agama tidak demikian halnya. Dalam
agama, emosi sangat terlibat disitu. Struktur dasar ini bagus, karena kalau tidak punya sifat
seperti itu bukanlah agama namanya. Namun sudah barang tentu hal tersebut mempunyai
harga yang harus dibayar. Fanatisme, absolutism, mungkin juga truth claim berakar dari
situ. Jika tidak ekstra hati-hati, bahkan dapat terpeleset ke jurang radikalisme dan terorisme.
Sering dilupakan oleh umat beragama adalah kenyataan bahwasanya hard core
keberagamaan ini selalu terselimuti dan terbungkus dalam praktik historisitas (tarikhiyyah;
historicity) di alam praktik kehidupan sosial, budaya, politik, psikologi dan belum lagi dalam
bentuk-bentuk ekspresi artistiknya. Sisi kedua ini sesungguhnya sarat dengan interpretasi
interpretasi para tokoh-tokoh besar, para pelaku sejarah pendiri madzhab, aliran-aliran,
organisasi, pemangku kepentingan, relasi kuasa, kelengkapan sumber yang digunakan,
situasi sosial-budaya dan politik yang mengelilinginya dan begitu seterusnya. Jadi, meskipun
semula tadi ada yang disebut atau dikategorikan sebagai wilayah yang Nonfalsifiable, tetapi
dalam alam praktik historisitasnya sesungguhnya ada wilayah yang falsifiable. Yang sangat
rumit dan kompleks dalam fenomena kehidupan beragama adalah percampuradukan
antara kedua wilayah tersebut. Sebagian atau seluruh yang semestinya masuk wilayah
falsifiable dimasukkan dalam wilayah nonfalsifiable sehingga aspek historisitasnya tidak
diperhitungkan atau dihapuskan sama sekali demi untuk menjaga berbagai kepentingan
yang menyertainya.
Setidaknya ada enam atau tujuh wilayah interpretasi manusia terhadap hard core
keberagamaan. Pertama, Meyakini adanya suatu Zat yang mengatasi kemampuan manusia
-----------
37 Diskusi serius tentang hal ini dapat diikuti dalam James L. Cox, A Guide to the Phenomenology
of Religion: Key Figures, Formative Influences and Subsequent Debates, London: T & T Clark
International, 2006, h. 203-243.
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
(Belief in a certain things). Kepercayaan atau keimanan ini akhirnya setelah disistematisasikan
dan dibakukan menjadi dogma, credo, (rukun) iman dan begitu seterusnya. Kedua, Melakukan
kegiatan atau aktivitas rutin yang diulang-ulang (Perform certain activities). Ibadah atau ritual
dalam agama-agama masuk dalam kategori ini. Ketiga, Menghormati kitab suci (Hallowing
certain text). Bisa Zabur, Injil, Taurat, Qur‘an, Veda, Upanishad dan kitab-kitab lain, great
books, yang sangat dihormati dan dianggap suci serta dijadikan rujukan dan pedoman hidup
oleh para pengikutnya. Keempat, menaruh kepercayaan kepada seseorang yang dianggap
punya kharisma untuk memimpin (Invest authority in certain personalities). Dapat disebut
nabi, rasul, pemimpin besar, pahlawan, great leaders dan seterusnya. Kelima, menuturkan
cerita dan sejarah asal usul munculnya seperangkat kepercayaan ini untuk kepentingan
transfer pengetahuan dan pengalaman kepada generasi yang datang berikutnya
(telling story). Penuturan ini bisa oral (lisan) atau written (tertulis). Penuturan tertulis ketika
perkembangan sejarah manusia telah mengenal budaya tulis menulis. Keenam, kelompok
umat beragama menyusun code of conduct, sistem moral, tata pergaulan hidup sehari-
hari di lingkungan dalam maupun ketika menghadapi orang di luar kelompoknya. Sistem
Syariah atau perda Syariah yang muncul belakangan di tanah air menjadi ilustrasi yang
tepat untuk point ini (legitimate morality). Ketujuh, kesemuanya kemudian dibakukan dalam
bentuk institusi-institusi dan lembaga-lembaga, baik pendidikan, sosial politik, sosial budaya,
sosial kemasyarakatan. bahkan juga dalam bentuk-bnetuk ekspresi lahiriah dalam bentuk
karya-karya seni, baik pahat, ukir, kaligrafi dan banyak yang lain (institution and artistic
expression).38
Masukan fenomenologi agama yang memanfaatkan ilmu-ilmu sosial kritis dapat
membantu Islamic Studies atau Dirasat Islamiyyah keluar dari paradigma Ulum al-Diin yang
belum memanfaatkan masukan-masukan dan temuan-temuan ilmu-ilmu sosial. Ilmu-ilmu
sosial berangkat dari kancah lapangan yang konkret, objektif, ada dengan sendirinya, tanpa
intervensi dan rekayasa dunia subjektif. Fakta-fakta di lapangan yang menjelaskan fenomena
dengan sendirinya. Selain menyandarkan pada prinsip evidentalisme (bukti-bukti konkret–
empiris di lapangan), ilmu-ilmu sosial juga menggunakan pendekatan komparatif, dan
sekaligus kritis. Dengan prinsip evidentalisme, komparatif (perbandingan) dan kritis, maka
manusia dapat terbantu memahami peta atau map keberagamaan umat manusia secara
universal yang sangat plural-majemuk ini. Dalam ketujuh wilayah historisitas agama tersebut
masing agama-agama menjadi unik-spesifik. Lain dari pada yang lain. Partikularitas agama-
agama terletak di wilayah historisitasnya. TIDAK ADA AGAMA YANG SAMA APALAGI
SEBANGUN DALAM WILAYAH HISTORISITAS (TARIKHIYYAH) INI. DALAM 7 (TUJUH)
ITEM BENTUK MANIFESTASI SOSIALKULTURAL - LINGUAL KEBERAGAMAAN
MANUSIA TERSEBUT, AGAMA YANG SATU DAN YANG LAIN AMATLAH SANGAT
BERBEDA. TIDAK ADA YANG SAMA DI SINI. YANG MENYAMAKAN ANTARA SATU
-----------
38
James L. Cox, h. 236-238.
153
154
YANG LAIN ADALAH ADANYA PATTERN ATAU POLA UMUM (GENERAL PATTERN)
YANG MELEKAT-BAKU DALAM SETIAP KEHIDUPAN SOSIAL KEAGAMAAN SPESIES
MANUSIA YANG DAPAT DITEMUKAN SECARA INTELEKTUAL LEWAT BANTUAN
STUDI, TELAAH, PENGAMATAN YANG EMPIRIS-KRITISKOMPARATIF. KALAUPUN
TIDAK BOLEH DIKATAKAN SAMA, SECARA INTELEKTUAL MASIH DAPAT
DIKATAKAN ADANYA FAMILY RESEMBLANCE (KESERUPAAN KELUARGA) DALAM
KE TUJUH ITEM MANIFESTASI TERSEBUT. Dengan uraian dan penjelasan ini, maka
apa yang dilangsir oleh sementara kalangan adanya pendangkalan aqidah adalah tidak
berdasar, karena masing-masing agama mempunyai daya tarik dan kekuatan aqidahnya
sendiri-sendiri. Dengan model dan pendekatan seperti ini, umat beragama diberi masukan
yang cukup berharga bagaimana menghadapi kolega umat beragama lain, dan begitu pula
sebaliknya, yang sama-sama mempunyai keyakinan yang kuat akan kebenaran agama
mereka sendiri-sendiri tetapi tetap memberi ruang untuk dialog bahkan hak hidup bersama
dalam kehidupan yang harmonis (al-ta’ayus al-silmi).
Apabila hal-hal yang fundamental ini dapat dipahami dengan jelas secara intelektual
– tidak secara parochial, partisan, sektarian, dan tanpa disulut pula oleh perasan psikologi-
emosional, yaitu pemahaman yang baik dan jernih tentang adanya pembedaan wilayah
operasional antara yang disebut nonfalsifiable dan yang falsifiable, antara yang objektif dan
subjektif, antara general pattern dan particular pattern, belum lagi jika keduanya tumpang
tindih dan saling bergayut, maka subjektifitas dalam beragama adalah sah-sah saja, sejauh
subjektifitas itu tidak berlebih-lebihan dan berubah menjadi dogmatis dan fanatisme dengan
menghilangkan dimensi objektifitas dalam beragama yang termanifestasikan dalam pola-
pola dasar dan pola umum yang dapat dijumpai dimana saja dalam penganut agama-agama
dunia yang manapun juga. Kecerdasan spiritualitas keberagamaan era global adalah terletak
dalam kemampuan seseorang, kelompok, pimpinan kelompok untuk dapat melakukan
dialog yang intens, sungguh-sungguh, mendalam, dan tulus dalam dan dengan diri sendiri
serta antarpemimpin kelompok untuk dapat melerai ketegangan yang selalu ada dalam diri
seorang yang beriman.
Terjadi ketegangan yang luar biasa antara Barat dan Timur, antara Barat dan Islam,
untuk tidak menyebutnya antara Yudeo-Kristiani dan Islam, antara fundamentalisme dan
sekularisme, minoritas-mayoritas, antara puritan dan moderat, antara fundamentalisme dan
moderatisme dalam pemikiran Islam kontemporer.39 Semuanya mempunyai klaim-klaim
-----------
39
Buku yang cukup membantu untuk memahami isu ini, buku karya Stephen Schwartz, The Two
Faces of Islam, New York : Doubleday, 2002. Telah diterjemah ke dalam bahasa Indonesia Dua
Wajah Islam : Moderatisme vs Fundamentalisme dalam Wacana Global, Jakarta : Penerbit Blantika,
2007.
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
-----------
40
M. Amin Abdullah, Pendidikan Agama Era Multikultural Multireligius,Jakarta:PSAP,2005,
h. 1-32.
155
156
pertautan yang saling melengkapi adalah kebutuhan zaman yang tidak bisa ditunda-tunda.
Ketegangan-ketegangan yang terjadi balakangan ini hanyalah karena antara ketiganya
tidak saling mengenal. Tidak saling menyapa bahkan cenderung saling menegasikan
keberadaan yang satu dan lainnya. Ada kesalahpahaman diantara para pemangku tradisi
berpikir keagamaan Islam. Pola pikir ini perlu dibenahi secara serius dan direkonstruksi
secara radikal, jika generasi sekarang ini menginginkan kehidupan yang harmonis antar
berbagai orchestra keberanekaragaman di dalam kehidupan intern umat, apalagi jika harus
berhubungan dengan orang atau kelompok lain dalam format negara-bangsa Indonesia.
Dengan mencermati pola-pola hubungan yang bercorak single entity (entitas tunggal;
hanya mengenal satu kluster sedang kluster-kluster yang lain tidak dikenal), separated entities
(ketiga kluster ada, tetapi terpisah-pisah dan tak saling terhubung, tidak saling berkomunikasi
antara yang satu dan lainnya) dan integrated entities (ketiga kluster tersebut saling terpaut
dan terhubung) berikut implikasi dan konsekuensinya masing-masing pada dataran praktis di
lapangan, maka upaya serius untuk mempertautkan ketiga kluster pilar studi Islam tersebut
layak dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh. Dengan keterpautan dan keterhubungan
antara ketiganya akan dimungkinkan munculnya cara berpikir (mentality), sikap (attitudes)
dan perilaku (behaviour) baru dalam keberagamaan Islam yang lebih integratif-mediatif-
rekonsiliatif. Pola pikir dan tata pergaulan sosial-keagamaan lama yang bersifat antagonistik,
hitam-putih, eksklusif, absolute, dogmatis, truth claim, tertutup, keras, tidak memberi ruang
dan tempat untuk orang atau kelompok lain, tak mengenal kompromi dan konsensus harus
bergeser ke arah corak pola pikir baru keagamaan yang lebih kondusif untuk menabur benih
corak berpikir keagamaan yang lebih rekonsiliatif, mediatif, partisipatif, mengenal warna lain
selain hitam-putih, mengedepankan pentingnya konsensus, kompromi, inklusif, terbuka.
Tidak hanya ‘tradisi’ (al-muhafazah ‘ala al-qadim al-salih) yang ditekan-tekankan dan
ditonjolkan, tetapi juga aspek “translation” (al-akhdz bi al-jadid al-aslah), yakni dengan cara
menerjemahkan kembali dan menafsirkan ulang konsep-konsep dan khazanah intelektual
lama ke konteks intelektual baru yang lebih menjanjikan untuk menjawab tantangan zaman.
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
63. Refleksi Kisah Hidup dan Pengalaman Terkait Dialog Karakter di Perguruan Tinggi
Banyak Hal Terjadi di Luar Dugaan, Dapatkah Dibuat Sebuah Sistem? (disampaikan
delapan renungan berikut)
oleh: Sudjarwadi
Ketika saya akan mulai membuat catatan untuk persiapan tulisan kisah hidup dan
pikiran yang sederhana ini, terasa keharuan menyelimuti perasaan sehingga berlinang
sedikit air mata. Keharuan itu dirasakan sejenak dan tuntutan keterbatasan waktu untuk
menulis akhirnya menepikan semua rasa haru itu. Catatan pokok pikiran ini merupakan
sebagian dari jejak-jejak perjalanan hidup saya sedari masa kanakkanak. Ada delapan
renungan yang dirasa berkaitan dengan upaya menemukan beberapa kalimat cukup
memadai untuk menjadi sebagian pemicu diskusi dan dialog tentang pendidikan karakter di
perguruan tinggi. Delapan renungan tersebut diplih sebagai penanda jejak-jejak perjalanan
hidup yang dipahami sebagai kejadian tidak terduga. Ayah saya telah dipanggil Allah pada
saat saya kelas dua di Sekolah Dasar. Saya berusia delapan tahun saat itu. Sebelum itu,
saat kelas satu SD, ayah dan ibu mengajak saya ke Kebon Rojo (Kebun Raja), Kebun Raja
Surakarta di kota Solo. Kebun itu sebenarnya adalah kebun binatang yang dapat dikunjungi
oleh masyarakat untuk wisata lokal. Di Kebon Rojo tersebut dipelihara sejumlah binatang,
diantaranya ada gajah, kera, burung kakak tua, ular, buaya, kijang, harimau dan banyak
hewan yang lain. Anak kecil biasanya ditunjukkan berbagai binatang untuk mengenal nama-
namanya. Kebun binatang tersebut memberi kesan khusus, namun ada kesan lain yang
lebih spesifik selain kebun binatang tersebut, yaitu ungkapan ibu tentang pabrik gula Ceper
yang dilewati saat perjalanan ke kebun binatang Solo menggunakan kereta kuda. Saat itu
kereta kuda masih lazim digunakan sebagai angkutan umum dari desa saya ke Solo yang
berjarak sekitar 40 km.
Saat melewati pabrik gula Ceper ibu mengatakan bahwa pabrik itu yang membuat
adalah orang pintar yang disebut insinyur, orang yang rajin belajar saat bersekolah. Kata
insinyur dalam anganangan saya adalah orang yang rajin belajar yang akhirnya menjadi
pintar membuat pabrik. Itulah kesan spesifik saya. Dari perbincangan sederhana dan
spontan tersebut, ibu yang hidup di desa dengan segala keterbatasan pengetahuannya telah
memberikan sentuhan di hati dan mengembangkan sikap mental belajar saya. Peristiwa
sederhana. Di hari tua ini saya makin mengerti bahwa yang telah terjadi itu adalah bagian
rencana Tuhan.
Kesan spesifik tentang kata insinyur itu adalah hal yang terjadi diluar dugaan yang
mempengaruhi sikap mental belajar saya. Sebuah peristiwa dan ungkapan dari seorang
157
158
ibu yang tidak dirancang sebagai sebuah konsep formal pendidikan, namun mempengaruhi
pikiran dan perasaan saya. Pada saat ini, saya berusia 69 tahun, mempunyai pertanyaan
dalam hati. Apakah kiranya ada proses-proses yang mirip dengan beberapa hal tidak terduga
itu dapat dirancang menjadi bagian formal sistem untuk menanamkan sikap mental belajar
mahasiswa termasuk belajar mengembangkan karakter? Saat merefleksi hal tersebut, saya
teringat cerita tentang Thomas Alva Edison dan ibunya yang secara ringkas adalah sebagai
berikut (kutipan dari majalah internal Halo Sritex).
Jauh setelah ibunya wafat dan Edison telah menjadi penemu ternama, dia melihat-lihat
barang lama keluarganya. Tiba-tiba dia melihat kertas surat terlipat di laci sebuah meja. Dia
membukanya dan membaca isinya:
“Putra Anda seorang anak yang bodoh. Kami tidak mengizinkan anak Anda
bersekolah lagi.”
Edison menangis hingga berjam-jam (meskipun Edison telah menjadi penemu ternama, dia
sangat terharu atas sikap ibunya yang luar biasa kepada dirinya). Setelah itu, kemudian
Edison menulis di buku hariannya.
“Thomas Alva Edison, adalah seorang anak yang bodoh, karena seorang ibu yang luar
biasa, ia mampu menjadi genius pada abad kehidupannya”. (ini adalah pernyataan tulus
Edison). Kenapa Edison mencatat ini di buku hariannya?
Suatu hari Thomas Alva Edison pulang sekolah dan menyerahkan selembar kertas
pemberian gurunya yang ditujukan untuk ibunya. Sang ibu menangis sambil membaca isi
surat itu dengan mengeraskan suaranya (agar dapat didengar anaknya dengan jelas, namun
ibunya saat itu mengarang sendiri kalimat yang seolah-olah isi surat, padahal beda dengan
isi sebenarnya). Kalimat ciptaan ibunya yang luar biasa itu adalah sebagai berikut
“Putra anda seorang genius. Sekolah ini terlalu kecil untuk menampungnya dan
tidak memiliki guru yang cakap untuk mendidiknya. Agar Anda mendidiknya
sendiri”.
Bagaimana cerita Edison itu dimaknai? Bagaimana tanggapan mahasiswa tentang cerita
tersebut?
Pertama, kita bertambah makin menyetujui ucapan bijaksana Fuller yang telah di kutip
oleh banyak dosen, “Every one is born a genius, but the process of life degeniuses them.”
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
“process of life”, kesalahan proses hidup. Kesalahan proses berpikir, proses bekerja, proses
makan, proses tidur, proses perasaan, proses kemauan, proses kasih sayang keluarga,
proses kasih sayang dalam bekerja, proses orientasi pikiran, dan ribuan jenis proses dalam
pikiran manusia dalam kehidupan sehari-harinya.
Renungan Kedua: Pengalaman pada Masa Peralihan dari Masa Sekolah ke Perguruan
Tinggi
Pada masa sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas banyak sekali
kesan dalam proses belajar bersama kawan-kawan. Akan tetapi, cerita personal tersebut
tidak diceritakan disini. Kisah pengalaman pribadi dan pikiran ini diawali dengan pencarian
jati diri setelah ujian sekolah menengah atas. Timbul pemikiran tentang melanjutkan kuliah
atau bekerja.
Pertimbangan utama saat itu adalah kesulitan ekonomi orang tua. Kalau kuliah adakah
yang membiayai? Ternyata terdapat cerita-cerita tentang orang kuliah sambil bekerja. Saya
mengambil keputusan mendaftar ke Universitas Gadjah Mada untuk kuliah sambil bekerja
seadanya.
Pada awal masa kuliah, ternyata bacaan di perpustakaan sekolah secara tidak sengaja
telah mempengaruhi proses pembentukan pola pikir dan jati diri saya. Beberapa cerita tentang
tokoh-tokoh yang ditulis dalam buku diperpustakaan sekolah memberi pengaruh besar pada
saya. Dua nama dari bacaan buku di perpustakaan SMA yang masih sering dikenang, yaitu
Mahatma Gandhi dan Eleanor Roosevelt. Mahatma Gandhi menempuh kehidupan yang
memberi inspirasi, visi dan karya hidup, ungkapan unik gagasannya melakukan perlawanan
terhadap penjajahan dengan cara non-kekerasan. Kehidupan Gandhi juga terbentuk karena
pengaruh kuat dari ibunya yang mengajarkan etika Hindu yang kuat pada anak-anaknya.
Ibunya juga mengajak mereka menjadi vegetarian, mempraktikkan toleransi beragama, dan
159
160
gaya hidup sederhana.
Eleanor Roosevelt diceritakan sebagai wanita muda yang tidak dapat berbicara di
depan umum, namun akhirnya ia belajar dan belajar kemudian pandai berbicara di depan
umum dan banyak mengutarakan kalimat-kalimat baik. Banyak sekali kata mutiara dari
Eleanor Roosevelt diantaranya “Kebahagiaan bukanlah tujuan tetapi itu merupakan produk
dari kehidupan yang baik” (Happiness is not a goal but it is a by-product of a life well lived).
Ternyata hasil belajar seseorang pada akhirnya membawa pada suatu tingkatan pengertian
terhadap makna kehidupan. Secara personal saya menyebutnya sebagai salah satu indikator
mutu karakter manusia. Apabila hal tersebut dipikirkan ternyata sejalan dengan pengertian
yang diuraikan oleh para penceramah keagamaan baik yang diungkapkan secara langsung
maupun yang disiarkan lewat televisi.
Renungan Ketiga Catatan Personal Saat Awal Menjadi Dekan Fakultas Teknik
Universitas Gadjah Mada Tahun 2000
Pada awal menerima amanah sebagai Dekan Fakultas Teknik UGM pada tahun 2000
saya membuat sebuah catatan personal. Kutipan dari buku berjudul Collective Intelligence
ditulis oleh Pierre Levy (1999) berikut catatan pribadi saya di kala itu:
• Combination of computer with human intelligence
• Collaboration
• Knowledge Management
• Virtual Teaming
• Continuous Improvement and Learning
For Levy: The prosperity of a nation, geographical region, business, or individual depends
on their ability to navigate the knowledge space. --> Keyword: to navigate.
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Sejalan dengan catatan tentang kecerdasan kolektif, dibuat catatan bahwa bukti terbaik
kepemimpinan yang sukses adalah terjadinya pengertian terhadap semua komponen SDM
terkait visi dan misi organisasi, saling memperkuat antara yang satu dengan yang lainnya,
dan bekerja dengan gembira untuk aktualisasi kemampuan puncaknya. Semua yang terlibat
dalam sebuah urusan dapat diajak menciptakan ilmu berupa cara-cara untuk menyelesaikan
urusan tersebut. Menunjukkan tantangan dan menemukan bersama respons optimal (prinsip
challenge and response)
Berikut ini berupa gambaran pemikiran sintesis antara cara Barat dan cara Timur yang
diimplementasikan dengan pendekatan Patrap Triloka yang dikemukakan oleh Ki Hadjar
Dewantara dan diterapkan dengan konteks budaya setempat.
Lima langkah iterasi peningkatan kesuksesan secara kontinu dicatat amat ringkas sebagai
berikut. (Gambar Skema diatas dari Prof. Nonaka)
1. Socialization, from group process and organization culture
2. Externalization
3. Combination, from information processing
161
162
4. Internalization, from organizational learning
5. Implementasi dan belajar dari pengalaman berikutnya untuk landasan peningkatan lebih
lanjut.
Dalam proses kerja bersama atau kerja tim, semua yang terlibat dalam penyelesaian
tugas-tugas dalam naungan visi dan misi secara berkala diajak merenung bersama. Prof.
Nonaka penulis buku Knowledge Creation suka menceritakan tradisi di perusahaan Honda
bahwa kritik untuk hal-hal yang telah dikerjakan itu sangat penting. Kritik adalah sebuah awal
perbaikan yang bernilai sepuluh persen (10%) dan saran konstruktif tepat bernilai sembilan
puluh persen (90%) atas kemungkinan perbaikan optimal yang dapat dilakukan.
Dalam pembentukan rekatan sinergi Prof. Nonaka telah mengenalkan istilah VDPSE
(Vision, Dialogue, Practice, Sharing, Environment Concern). Adopsi prinsip VDPSE tersebut
untuk proses sebagian pembelajaran mata kuliah di UGM dilakukan sebagai berikut.
Asas VDPSE dijadikan catatan bersama pada proses kegiatan sehari-hari, dilatih
bersama dengan pendekatan Patrap Triloka Ki Hadjar Dewantara yaitu peran dinamis dosen
dalam siklus ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
Vision adalah pandangan jauh ke masa depan untuk memilih arah tepat tindakan-
tindakan pro-aktif antisipatif, bukan sekedar tindakan reaktif. Dialog adalah komunikasi
dengan SDM terkait penyelesaian tugas sehari-hari. Komunikasi dapat lewat acara rapat
formal, acara non-formal seperti makan bersama atau informal dalam forum silaturahmi
tradisi setempat. Banyak cara untuk dialog sesuai kondisi setempat untuk kelancaran dan
kenyamanan komunikasi.
Praktik nyata adalah latihan pengembangan integritas seluruh karyawan untuk selalu
mempraktikkan hal-hal yang direncanakan, memikirkan, mengucapkannya dan melakukan
tindakan yang selalu cocok antara hal baik yang diucapkan dengan hal baik yang dikerjakan.
Selanjutnya, kata sharing (berbagi) ini sangat penting. Pimpinan dapat berbagi peran,
mendengarkan anak buah dan menunjukkan hal-hal yang perlu, kemudian berada di tengah-
tengah mereka (ing madya mangun karsa). Pimpinan dapat memberi kepercayaan kepada
anak buah untuk berada di garis depan pada tugas dan fungsi masing-masing (pimpinan
mengambil posisi tut wuri handayani pada saat yang tepat, berada di belakang dengan
mempercayai anak buah).
Istilah environment atau lingkungan adalah pesan pada semua SDM untuk bertindak
optimal sesuai lingkungan, sesuai konteks sumber daya dan batasanbatasan yang tersedia,
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
peraturan, pengaturan, kesepakatan dan disiplin terhadap waktu atau jadwal. Konteks
lingkungan ini juga terkait konteks lingkungan konsep berpikir nasional tentang pendidikan.
Saya menambahkan kata LEAP++ pada konsep berpikir nasional yang saat itu digunakan
sebagai salah satu kisi seleksi proposal permintaan anggaran negara melalui kompetisi
(competitive based funding). Lingkungan wajib selalu diperhatikan untuk membangun
penyelesaian urusan sesuai lingkungan atau kontekstual. Walaupun berpikir global dan
membaca literasi internasional, pemahaman atas kearifan lokal sangat penting untuk
menciptakan solusi tepat setempat, berpikir global bertindak lokal. Ringkasan penjelasan
lingkungan berpikir nasional yang ditambah pemikiran inovatif oleh Fakultas Teknik UGM
menjadi seperti berikut ini.
Renungan Keempat: Catatan Personal saat Awal menjadi Wakil Rektor Bidang
Akademik Universitas Gadjah Mada Tahun 2002
Di luar dugaan personal saat itu, saya diminta menjadi Wakil Rektor yang membidangi
akademik di UGM mulai tahun 2002 dan aktif sebagai wakil rektor pada akhir tahun setelah
serah terima jabatan Dekan di Fakultas Teknik. Langkah identifikasi tantangan dan rumusan
strategi jawabannya untuk urusan pendidikan tinggi dilanjutkan di tingkat universitas
menggunakan pendekatan yang sama yaitu kecerdasan kolektif dan penciptaan ilmu solusi.
Kecerdasan kolektif sejumlah dosen UGM pada tahun 2003 menghasilkan program khusus
di UGM yang disebut Peningkatan Pertumbuhan Kepemimpinan Berkualitas (PPKB). Produk
kecerdasan kolektif pada tahun 2003 tersebut ditindaklanjuti di UGM dan perkembangan
163
164
pengalaman serta ringkasan pemikiran menjelang hari Sumpah Pemuda tahun 2010 ditulis
di Surat Kabar Jurnal Nasional (Jurnas). Produk pemikiran bersama tersebut sebagai berikut:
Pada akhir tahun 2002, sekelompok dosen UGM mulai aktif membicarakan potret bangsa
Indonesia yang menampakkan tiga noktah. Tiga noktah itu adalah krisis multidimensi,
ancaman disintegrasi bangsa, dan krisis kepemimpinan. Mereka tidak khawatir, namun
merasa perlu melakukan penyesuaian pendidikan tinggi.
Pada tahun 2003 dibuatlah satu program di UGM yang disebut SP2MP atau Sahabat
Percepatan Peningkatan Mutu Pendidikan. Program tersebut merupakan inti program PPKB
yang baru berskala 120 orang/setiap tahun. Program itu dikehendaki menjadi jawaban
terhadap tantangan kerja dalam rangka menghapus tiga noktah pada lembar potret bangsa.
Tujuh tahun telah berlalu dan lulusan SP2MP baru meniti karir awal di berbagai lini pengabdian
di tanah air tercinta. Dapatkah mereka mengajak banyak kawan untuk menghapus tiga
noktah?
Pada awal tahun 2009, menjelang pemilihan legislatif dan pemilihan presiden, UGM
menyampaikan deklarasi untuk memberi catatan-catatan bagi komponen-komponen
pejuang, agar mengembangkan sikap saling mengerti, meniadakan peristiwa-peristiwa pro
dan kontra yang terlalu panas, menghanguskan lingkungan sehat, berkompetisi dengan
tujuan mendapatkan kekuasaan. UGM telah membatasi diri agar potensi daya bakar yang
dimiliki UGM tidak mengobarkan api pertikaian di luar kemampuan kendali emosi oleh
masyarakat luas.
Peristiwa demi peristiwa berlalu, pergolakan demi pergolakan emosi mahasiswa dan
generasi muda berjalan terus-menerus. Tanggal 28 oktober adalah hari peringatan Sumpah
Pemuda, ikrar kebulatan tekad pemuda pada tahun 1928 untuk membentuk satu tanah air
Indonesia, satu bangsa Indonesia, satu bahasa Indonesia.
Penghayatan bahwa generasi muda itu sejatinya harus didominasi oleh kelompok yang
bukan mengeluh tetapi menyelesaikan masalah, bukan complainer tetapi problem solver,
masih memerlukan kerja keras perluasan program persemaian pemimpin masa depan.
Perguruan tinggi harus menjadi bagian penting penyiapan pemimpin berkualitas masa
depan.
Kesadaran bahwa politik selain yang dipahami oleh umum sebagai perkara di seputar
kekuasaan, perlu ditambah dengan pengertian lebih tinggi pada generasi muda. Politik tinggi
bermakna sebagai strategi bagi kepentingan bangsa dan kemanusiaan bukan hanya sekedar
kekuasaan. Pemimpin berkualitas di masa depan adalah generasi saat ini yang berpolitik
tinggi dengan cara-cara inovatif sesuai pilihannya, bukan suka bertengkar dan bukan suka
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
mencela sebagai penyebaran benih perpecahan bangsa. Pemimpin masa depan bukanlah
mereka yang menggunakan kekerasan dan turut serta dalam kegiatan anarki. Pemimpin
masa depan adalah mereka yang mengembangkan sifat bisa mengerti, dapat toleransi dan
saling menghargai serta menyambut baik perbedaan untuk membangun sinergi bangsa
Bhinneka Tunggal Ika.
UGM telah berinisiatif mengajak tiga puluh perguruan tinggi di Indonesia membuat
tonggak sejarah yang menandai kebangkitan rasa percaya diri bersama dan peduli bangsa
dengan membuat event spesifik di UGM. Event itu mendapat dukungan Kementrian Luar
Negeri, Pariwisata dan Budaya, serta Kementrian Pendidikan Nasional, dan diberi payung
kearifan lokal menginspirasi solusi global. Generasi muda harus sukses dibawa ke dalam
politik tingkat tinggi, untuk bekerja keras bersama dengan cerdas menempatkan Indonesia
pada posisi terbaik di dunia. Pusat pendidikan, budaya dan ekonomi dunia pada abad 19
berada di Eropa, pada abad 20 di Amerika Utara dan pada abad 21 di Asia. Pada konteks ini
Indonesia wajib menempatkan diri pada posisi barisan terdepan pemimpin dunia. Dapatkah
ini menjadi kenyataan?
Indonesia dapat mengambil posisi terbaik dengan segala keterbatasan yang ada
asalkan para pemimpin dapat membuka jalan bagi sebuah generasi pemilik kejayaan masa
depan. Bangsa ini mempunyai sumber daya berlimpah untuk bekal. Namun, biaya yang
utama adalah biaya psikologi (psychological cost) para pemimpin untuk menepikan ego
yang tanpa disadari (uncounsciously) telah menaburkan benih perpecahan. Menepikan ego
dan mengetengahkan kepentingan bangsa, berarti ikhlas membangun kecerdasan institusi,
kecerdasan negara, kecerdasan kolektif bangsa.
Menjelang peringatan hari Sumpah Pemuda, tentu akan bertambah jumlah pemimpin
yang hatinya tergetar menjadi lebih peduli, dan menumbuhkan perhatian makin besar
165
166
bagi pemberantasan benih-benih perpecahan. Contoh kebahagiaan hidup yang tidak
mementingkan ego harus terpapar di mana-mana, di media publik, di kelas-kelas sekolah
menengah dan di bangku perguruan tinggi. Niat untuk semua itu telah ada. Namun, sayang
bahwa cakupannya masih kecil kecil dan sporadik. Perekat sinergi gerakan massal belum
hadir di antara mereka yang mendapat amanah dan memiliki peluang.
Organisasi bangsa belum lulus belajar menjadi satu kesatuan sinergi. Realisasi Sumpah
Pemuda memerlukan operasionalisasi bentuk relevan dan optimal pada zamannya. Kita
sedang menunggu ilmu persatuan kontekstual yang otomatis mematikan benih-benih
perpecahan bangsa yang sedang tumbuh di beberapa lini di Indonesia.
Keseimbangan bobot antarbutir 1 s.d. 5 tergantung jenis mata kuliahnya, dosen memiliki
kebebasan mengembangkan kualitas proses pembelajaran mata kuliahnya berbasis
Rencana Program dan Kegiatan Pembelajaran Semester, yang fleksibel, menginspirasi dan
memotivasi, dalam rangka pembentukan pengembangan sikap mental, ilmu pengetahuan
dan keterampilan serta nilai-nilai. Program PPKB adalah satu usaha khusus agar mulai tahun
2003 mahasiswa UGM terpapar pada diskusi dan ungkapan oleh sejumlah dosen tentang
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Pada akhir masa bakti jabatan Wakil Rektor UGM saya berkesempatan
mempresentasikan makalah UGM pada konferensi pendidikan di Singapura. Pokok-pokok
paparan makalah tersebut sebagai berikut.
Pada pertemuan tersebut dikenalkan fokus program UGM dari tahun ke tahun mulai
tahun 2006 ke depan. Pada tahun 2005, selain program-program rutin telah diupayakan
kegiatan khusus yang berorientasi pada percepatan peningkatan jejaring yang mencakup 1)
national network in 2005, 2) internal UGM, 3) industry , 4) community, 5) MOED (Ministry of
Education), 6) local government 7) Department’s (kementerian-kementerian).
167
168
Fokus yang dirancang untuk tahun 2007 adalah berkaitan dengan experience learnt
tahun 2006 untuk mengembangkan kreativitas dan inovasi dalam hal leadership culture in
2007, moral force, sustainable improvements.
Universitas sebagai institusi harus memiliki fokus jelas setiap tahun, memilih prioritas
program sesesuai pengalaman tahun sebelumnya.
Kata kunci untuk fokus kreativitas dan inovasi tahun 2008 adalah culture of continuous
improvements in 2008, many source of:
1. Financial supports
2. Human resource
3. Informations
4. Sustainable leadership program
Di UGM ada Unit yang disebut P3, yaitu Pusat Pengembangan Pendidikan. Pada akhir
jabatan sebagai wakil rektor dan berlanjut mendapat amanah sebagai rektor UGM untuk
masa bakti tahun 2007-2012 gagasan tentang STAR tersebut terus diproses.
Abstract
Since 2004, a Student-Centered Learning (SCL) approach to learning began to be
introduced and implemented in Universitas Gadjah Mada (UGM). One important aspect
in SCL is the shifting role of the teacher, from being the only main source of information
to becoming a facilitator and learning partner. UGM realizes that this new role needs
to be improved, to bring SCL to be in harmony with the principle of Patrap Triloka
(Dewantoro, 1962), a local wisdom stipulating the three main teacher behaviours: “at the
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
front providing a model, in the middle creating an intention or creating student motivation
and at the back giving constructive support.” The principles of SCL and Patrap Triloka
has inspired UGM to build a program known as Student Teacher Aesthetic Role-sharing
(STAR).
Basically, STAR is an activity to lead students and teachers into a closer and
harmonious academic relationship. By implementing STAR, it is expected that:
1. Students will feel comfortable in building communication with their teachers, and at
the same time, teachers will guide their students more intensively;
2. Students will be more self-confident and innovative in a created creative, condusive,
academic atmosphere; and
3. Teachers will pay more attention on the academic development of individual students.
The STAR approach to teaching can be construed as an effort to build a harmonious
relationship between students and teachers at UGM.
The effort to implement STAR in UGM is similar to building a new culture, therefore
it should be made gradually. The implementation was carried out in the following stages:
1. Establishing a team to produce an academic papers regarding the main ideas of
SCL-Plus (STAR);
2. Distribution of academic papers of STAR to the relevant parties;
3. Provision of competitive grants for the implementation of STAR. The grantees have
to implement STAR in their learning process and evaluate the result;
4. Dissemination to other teachers within UGM. This activity is designed to create a
multiplier effects. Furthermore, dissemination of STAR to other universities in Indonesia
will be carried out, to achieve one of UGM’s mission to increase the academic quality
of higher education in Indonesia. By implementing STAR, it is expected that graduates
from UGM as well as other universities in Indonesia will be of higher quality.
Key words: STAR – student-centered learning – patrap triloka – multiplier effect – high
quality graduates
The concept of STAR, which is based on the SCL approach to learning, Patrap
Triloka, and the 3N+3N concept should lead teachers to become motivators, who are
able to develop effective class interactions, build scientific and social skills inside and
outside the classroom, become role models for students, enhance cognitive, affective,
and psychomotor skills, and develop leadership characters in the student’s life..
169
170
Model of Implementation and Best Practices
Dynamic interaction between delivery method based on T-K-A and learning materials
constructed by I-N-K-S applied in STAR.
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Kisah pembelajaran saya memang banyak menjumpai hal tidak terduga. Saya
gembira dan berbahagia belajar dari kecerdasan kolektif rekan-rekan dosen Universitas
Gadjah Mada termasuk satu bentuk pendekatan pembelajaran yang disebut STAR.
Bentuk ini merupakan salah satu yang saya sukai, sebuah testimoni manfaat penggunaan
kecerdasan kolektif berbasis budaya.
Untuk membatasi cerita personal yang tidak terlalu panjang tulisan ini akan ditutup
dengan dua buah renungan lagi. Renungan pertama adalah tentang pengembangan
program antarbidang ilmu lintas rumpun ilmu dan renungan berikutnya adalah kerangka
proses pembelajaran di mata kuliah yang saya ampu.
Misi umum UGM pada saat itu adalah melaksanakan pembelajaran dan pengabdian
berbasis riset. Misi khusus UGM adalah meningkatkan kegiatan pendidikan, penelitian, dan
pengabdian kepada masyarakat berkelas dunia; beridentitas kerakyatan; serta membangun
sosio-budaya Indonesia dan menuntaskan transisi UGM menjadi universitas yang mandiri
dan mempunyai tata kelola yang baik (Good University Governance).
Tujuan yang diharapkan adalah (1) menjadikan UGM sebagai universitas riset kelas
dunia, beridentitas kerakyatan, dan berakar pada sosio-kultur Indonesia dan (2) menjadi
universitas yang mandiri dan bertata kelola baik. Kata-kata kelas dunia dan berakar pada
sosio-kultur Indonesia tersebut merupakan pendorong agar dosen dan mahasiswa menjadi
warga bangsa yang percaya diri. Percaya sebagai warga negara Indonesia yang dikaruniai
sumber daya spesifik dan dapat diolah menjadi nilai-nilai ekonomi yang mendukung
kemakmuran Indonesia sekaligus dapat menolong bangsa-bangsa lain di kemudian hari.
Pada konteks ini UGM kemudian memilih tema payung pengembangan sistem
171
172
pembelajaran antardisiplin dengan kalimat kunci “Meningkatkan Peran UGM dalam Mencapai
Kemakmuran Bangsa dengan Pemberdayaan Masyarakat” Program tersebut diusulkan
untuk mendapat dukungan dana dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi melalui program
Hibah Kompetisi dan sangat melegakan, akhirnya disetujui oleh Ditjen Dikti.
Salah satu komponen Tridarma adalah pengabdian kepada masyarakat. UGM memberi
kesempatan kepada dosen dan mahasiswa melakukan pengabdian kepada masyarakat
berdasar amalan ilmu dari kampus yang dipilah dan dipilih sesuai tingkat pertumbuhan
daerah yang menjadi tempat penerapan ilmu tersebut.
Kata penghiliran hasil riset (down streaming) digarisbawahi agar program dan
kegiatan mengutamakan penyelesaian masalah bangsa melalui peningkatan keunggulan
komparatif dan keunggulan kompetitif daerah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat
yang berkelanjutan.
Program dan kegiatan UGM dapat memilih sejumlah orientasi (multi-objectives untuk
tingkat lokal, nasional dan internasional) dan secara lokal dilakukan dengan mendorong
peningkatan kemajuan desa-desa yang masih relatif belum maju untuk menjadi semakin baik
dan makmur. Dalam hal ini, secara umum kecamatan target memiliki persentase keluarga
miskin beragam mulai kisaran 20% sampai dengan 60%. Program dirancang berdasar
optimasi kontekstual melalui kerja sama dengan pemerintah daerah beserta masyarakat
industri unggulan lokal sehingga model kerja sama tersebut kelak dapat menjadi salah satu
unggulan UGM. Program tersebut dapat digunakan sebagai model oleh perguruan tinggi lain
dalam rangka program peningkatan kemakmuran rakyat melalui sinergi tripartit perguruan
tinggi-pemda-komunitas.
Model optimasi ini menggunakan berbagai parameter karakteristik lokal. Satu tempat
dapat menggunakan parameter terkait menekan kerugian akibat bencana alam yang sering
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
melanda suatu daerah.Tempat lain dapat menggunakan parameter unik sesuai identitas
lokasi, misalnya potensi usaha kecil untuk olahan bahan pangan, kerajinan yang dapat
ditambah sentuhan nilai seni dan pemasaran serta pengembangan pariwisata. Tempat
yang lain lagi mungkin dirancang berdasar parameter optimasi pertumbuhan lokal dengan
mengurus secara baik perbaikan teknologi proses / produksi, pengelolaan / manajemen
yang lebih baik.
Sejumlah prinsip dasar yang dirumuskan untuk membuka inovasi pembelajaran baru
tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
• Pendekatan pemberdayaan masyarakat dipilih agar program lebih menempatkan
masyarakat sebagai pelaku yang memiliki kearifan dan potensi untuk mendayakan diri
serta agar masyarakat dapat menjaga keberlanjutan capaian program pengembangan
sesudah program selesai.
• Kekuatan kolektif masyarakat merupakan potensi lokal yang akan dijadikan dasar
bagi pengembangan kawasan ini. Karena itu pendekatan pemberdayaan masyarakat
berbasis kearifan lokal melalui kelembagaannya akan menjadi pilihan dalam program
pengembangan ini.
• Prinsip-prinsip pemberdayaan harus dikembangkan dalam pelaksanaan program
pengembangan ini adalah partisipatif, terarah, pemihakan, kemandirian, desentralisasi,
keterbukaan, dan keswadayaan yang diwadahi dengan sistem yang tepat.
• Dukungan infrastruktur dan potensi alam perlu ditingkatkan untuk menunjang program
pengembangan serta lebih menguatkan daya tawar kolektif masyarakat, sistem informasi,
sistem manajemen pengurangan risiko bencana atau Disaster Risk Reduction (DRR), air
bersih, dan energi untuk meningkatkan daya dukung kawasan yang dilakukan melalui
satu rancangan penerapan ilmu antardisiplin yang cocok.
173
174
Sangat banyak alternatif pembelajaran antardisiplin yang dapat dirancang dengan
penentuan topik atau tema integrator. Ribuan alternatif dapat dikembangkan dan apabila
dibuat oleh sekelompok dosen di perguruan tinggi yang punya “passion” tentu dapat diciptakan
banyak jalan baru untuk penguasaan ilmu, keterampilan, sikap mental, nilai-nilai kehidupan
dan karakter terpuji. Seni penciptaan rancangan jalan baru pendidikan dan kemanfaatannya
dipastikan dapat diciptakan oleh ribuan super-team dosen di banyak perguruan tinggi di
Indonesia.
Untuk memudahkan tumbuhnya berbagai inspirasi terkait hal tersebut dapat direfleksi
salah satu gambar dari ribuan gambar yang pernah dibuat oleh kelompok-kelompok dosen.
Gambar berikut ini dibuat oleh Tim di UGM untuk ilustrasi konsep berpikir penyelenggaraan
sejumlah mata kuliah secara sinergis dengan tambahan wawasan luas dengan orientasi
pada sejumlah kata kunci sebagai inisiasi dialog yang meningkatkan kualitas karakter.
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Renungan Kedelapan: Kerangka Proses Pembelajaran pada Mata Kuliah yang Diampu
oleh Penulis
Berdasarkan skema di atas, dosen dapat berperan pada penyadaran pentingnya belajar
optimal dan memberi inspirasi tentang esensi mata kuliah dan selanjutnya melakukan fungsi
pemberdayaan aktualisasi potensi semua mahasiswa dalam kelas. Penjelasan tentang
sistem sinergi belajar bersama dalam tim dan antar-tim dalam sistem besar dapat diberikan
ilustrasi dengan gambaran di bawah.
Selanjutnya, akan diberikan ilustrasi sederhana tentang proses SEKI (Sosialisasi,
Eksternalisasi, Kombinasi, Internalisasi) yang dilakukan dengan seni praktik kombinasi
dengan Patrap Triloka Ki Hadjar Dewantara. Proses SEKI didasarkan atas model yang
diusulkan oleh Prof. Nonaka, tenaga ahli JICA dibidang penciptaan ilmu (“knowledge
creation”, KC ). Langkah pertama adalah membentuk kelompok-kelompok agar semua
peserta kelas atau kelas bersama di bawah payung topik integrator berpartisipasi belajar
dengan dosen melakukan Patrap Triloka kontekstual masingmasing kelas.
Berbagi seperti pada prinsip STAR. Dosen mulai dengan arahan-arahan pada posisi ing
175
176
ngarsa sung tuladha dan menyampaikan pesan-pesan pembentukan sikap mental belajar,
menunjukkan orientasi belajar dan memupuk karakter terpuji para mahasiswa. Urutan
kegiatan dapat dilakukan sebagai berikut (gabungan langkah SEKI dengan patrap Triloka Ki
Hadjar Dewantara).
AWAL KULIAH. Membicarakan wawasan ilmu terkait mata kuliah dan dialog dengan
mendengarkan ungkapan mahasiswa dan memberi wawasan kecerdasan kolektif.
Membangun kecerdasan bersama dengan penyemaian sikap mental dan karakter dengan
cara tersebut dapat diberi sejumlah catatan untuk diperhatikan sebagai berikut.
• Mahasiswa disiapkan agar termotivasi untuk aktif berkontribusi dalam tim dan di kelas
• Perlu pengaturan dan kesepakatan di program studi
• Partisipasi optimal dari dosen dan tenaga kependidikan
• Sinergi semua unit-unit pendukung pembelajaran
• Perhatian terhadap nilai dan wawasan terbaik dalam akar budaya Indonesia
• Fasilitasi kemampuan puncak tiap mahasiswa
• Pemberdayaan mahasiswa untuk belajar mandiri sekaligus suka membantu sesama
mahasiswa sehingga piawai kerja tim membangun kecerdasan kolektif efektif dan
efisien dalam menemukan solusi-solusi permasalahan.
Strategi untuk pembelajaran dengan pendekatan kombinasi Patrap Triloka dan penciptaan
ilmu melalui proses SEKI adalah dialog pada awal kuliah menciptakan gambar capaian masa
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
depan oleh para mahasiswa. Gambar masa depan tersebut sesuai pilihan masing-masing,
namun ada esensi yang merekat kebersamaan untuk kontribusi kepada keluarganya,
masyarakat, bangsa dan negara. Mahasiswa diajak meyakini bahwa dirinya mampu
melakukan hal-hal besar tidak terbatas hanya untuk kepentingan personal.
Ungkapan pembuka pada kisah personal ini adalah “Banyak Hal Terjadi Diluar Dugaan.
Dapatkah Dibuat Sebuah Sistem?”. Berkaitan dengan ungkapan pembuka tersebut, penulis
meyakini adanya rencana Tuhan untuk manusia, dituntun-Nya, dicocokkan dengan pikiran,
ucapan dan tindakan manusia dalam koridor kehendak-Nya. Banyak hal tidak terduga yang
dialami oleh penulis. Sistem pembelajaran yang diceritakan di atas kiranya dapat menjadi
bagian inspirasi pembuka jalan untuk dosen dalam meratakan jalan bagi mahasiswa, untuk
menemukan hal-hal baik yang tidak terduga, namun sebenarnya atas izin-Nya di jalan baik
yang disiapkan oleh perguruan tinggi. Semoga.
177
178
EPILOG
“Everyone is born a genius, but the process of life degeniuses them”, kiranya kutipan dari
Fuller tersebut sangat tepat untuk menggambarkan pentingnya sebuah pendidikan sebagai
proses dalam kehidupan. Pendidikan tinggi merupakan tingkatan tertinggi dalam pendidikan
formal yang diharapkan dapat berperan membentuk generasi muda sesuai dengan karakter
bangsa sebelum mereka masuk dunia kerja.
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang kaya. Tidak diragukan lagi bahwa sumber
daya alam kita sangat melimpah. Selain itu, budaya, bahasa, kearifan lokal dari berbagai
kelompok masyarakat di Indonesia juga memberikan sumbangsih pada kekayaan bangsa ini.
Keadaan tersebut harus didukung dengan sumber daya manusia yang baik, yang mengerti
cara mengelola sumber daya alam dan kekayaan lainnya agar nantinya bangsa ini dapat
bersaing dan tidak tertinggal dengan bangsa-bangsa lain.
Oleh karena itu, Majelis Pendidikan memandang perlunya sebuah pendidikan berbasis
karakter dalam sistem pendidikan tinggi di Indonesia. Agar lulusan perguruan tinggi memiliki
karakter yang mulia, sesuai dengan yang dicita-citakan oleh founding fathers bangsa ini.
Selain itu, revolusi pemikiran di era revolusi industri yang keempat ini juga diperlukan guna
menghadapi tantangan zaman, salah satunya dalam perdagangan bebas WTO dan MEA.
Meskipun berisi tentang diskusi para anggota Majelis Pendidikan Tinggi, buku ini dibuat
dengan bahasa yang tidak glorifying, diharapkan semua kalangan akademik, khususnya
para mahasiswa dapat dengan mudah mengerti pesan yang terkandung di dalamnya.
Selain itu, terdapat beberapa cerita yang mewakili gambaran proses-proses yang
mengantar pada terbentuknya beberapa karakter positif yang ada dalam daftar nilai karakter
menurut pustaka. Terbentuknya beberapa karakter positif tersebut seperti tidak disengaja.
Namun, beberapa cerita tersebut sebenarnya adalah sebuah kejadian yang dapat menjadi
salah satu sumber pembelajaran, misalnya ungkapan dari seorang ibu. Kondisi lingkungan
juga memungkinkan terciptanya ide-ide positif atau gagasan-gagasan bagus.
Semoga cerita keluarga Sigepen (Si Generasi Penerus) dan persahabatan antara
Salim, Jalal, dan Abdul dapat menjadi jeda serta dapat menginspirasi para mahasiwa pada
khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Buku ini merupakan pengetahuan awal (prior-knowledge) mengenai pendidikan karakter
di perguruan tinggi dan diharapkan tidak hanya berhenti di tangan para petinggi atau dosen
perguruan tinggi saja. Dosen dan mahasiswa dapat meneruskan dan menggali lebih dalam
dari pendidikan karakter melalui diskusi-diskusi di kelas.
Majelis Pendidikan meyakini bahwa sesungguhnya sangat banyak dosen di
perguruan tinggi di Indonesia yang mampu membangun sistem sesuai kondisi setempat
dan menunjukkan sumber belajar serta mendampingi mahasiswa menumbuhkan potensi
karakter mereka pada sisi-sisi yang baik. Potensi karakter baik itu dapat dikembangkan
dengan sebuah proses pembelajaran dan membentuk karakter terpuji.
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
179
180
SUMBER TULISAN
Isi buku ini sebenarnya merupakan sebagian dari materi diskusi yang dibawa oleh para
anggota majelis pendidikan. Materi yang dibawa didiskusikan dengan orientasi penemuan
cara-cara yang diyakini bersama dapat memberi manfaat signifikan bagi percepatan
peningkatan kualitas lulusan perguruan tinggi.
Ada lima komponen yang dicoba didalami tantangan dan jawabannya yaitu 1) pendidikan
ilmu, 2) ketrampilan, 4) nilai-nilai kehidupan (value), 5) karakter.
Pemahaman oleh para anggota majelis bersumber ilmu eksplisit (explicit knowledge)
dari bacaan-bacaan dan sumber-sumber lain dibacakan melalui rangkaian pertemuan-
pertemuan selain ilmu eksplisit bersebut juga didalami bersama ilmu tasit (tacit knowledge)
dari pengalaman sepanjang pengalaman hidup anggota majelis.
Materi diskusi dan hasil diskusi bersumber ilmu eksplisit dan tacit tersebut dicatat.
Ternyata materi diskusi dan hasil–hasil diskusi yang dicatat sangat banyak untuk dijadikan
tulisan berupa buku dengan tujuan berbagi atau (sharing) usaha tindak lanjut bersama
pembaca yang tertarik berpartisipasi pada percepatan peningkatan mutu pendidikan tinggi
Indonesia.
Selanjutnya disepakati untuk memilah dan memilih materi yang dianggap paling sesuai
untuk berbagi dengan pemerhati pendidikan tinggi dan utamanya para dosen diprogram
studi.
Berdasar proses diatas dan mengingat keterbatasan waktu untuk membuat buku
bermanfaat, daftar pustaka buku ini dan pernyataan sumber–sumber tulisan belum tuntas
dilengkapi.
Semua yang berpartisipasi pada penulisan buku ini menyerahkan tulisannya menjadi
milik publik dengan harapan dapat memberi manfaat. Buku ini bukan merupakan karya
orang perorang atau sekelompok orang namun sebagai karya publik.
Sumber pustaka, kutipan–kutipan belum sempat dicermati untuk kelengkapannya.
Untuk itu para penulis mohon maaf apabila ada tulisan seorang dan institusi yang masih
menginginkan haknya untuk disebut sebagai sumber.
Selanjutnya dimohon para pribadi atau instansi yang menemukan pentingnya
disebut sebagai sumber tulisan pada kalimat yang ditunjuk spesifik dapat menyampaikan
keinginannya ke alamat majelis pendidikan, Dewan Pendidikan Tinggi (DPT) dengan alamat
email: dpt@dikti.go.id dan dpt@ristekdikti.go.id. Keinginan tersebut akan dipenuhi dan akan
diumumkan sebagai bagian perbaikan buku ini pada topik “SUMBER TULISAN”.
Demikian permintaan maaf para penulis untuk kekurang telitian kutipan – kutipan dan
sumber pustaka.Semoga buku ini memberi manfaat bagi pembaca dalam peningkatan mutu
penyelesaian amanah pada tugas dan posisinya masing–masing.
Semoga peningkatan mutu pendidikan karakter di perguruan tinggi menghasilkan
outcomes yang signifikan bagi kemajuan bangsa. Amin.
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
181
182
Kontributor Tulisan dan Fasilitator Rapat-Rapat Majelis Pendidikan Tahun 2016
Kontributor
1. Prof. Ainun Na'im, Ph.D.
2. Widijanto S. Nugroho, Ph.D.
3. Prof. Dr.Ir. Sudjarwadi, M.Eng.
4. Prof. Dr. Marsudi Triatmodjo,S.H., LL.M.
5. Prof. H. Fuad Abdul Hamied, M.A., Ph.D.
6. Prof. Dr. M. Amin Abdullah, M.A.
7. Irid Agoes, Ph.D.
8. Kokok Haksono Dyatmiko, Masch.Ing.HTL.
9. Dr. Muklas Ansori, M.Si.
10. Prof.Ir. Nizam, M.Sc., Ph.D.
11. Dr. Ir. Paristiyanti Nurwardani, Mp.
12. Prof. Dr.Ir. Rizal Z.Tarnin
13. Prof. Supra Wimbarti, M.Sc., Ph.D.
14. Prof. Dr. Supriadi Rustad, M.Si.
15. Dr. Ir. Adil Basuki Ahza, MS.
16. dr. Iik Wilarso, M.TI.
Fasilitator
1. Moch. Wiwin Darwina, SE, MM.
2. Arzaini Zacbri, ST., MM.
3. R. Jatmiko p. Hadiyanto, S.Sos, MM.
4. Parino, S.Sos.
5. Ary Utami Wahyuningtyas
6. Retnaning Tyastuti, SE.
7. Mujiman Kp., S.Sos., MM.
8. Ir. Etty Indiati
9. Erwin Hutajulu, SE.
Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia
Majelis Pendidikan
Dewan Pendidikan Tinggi
Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi