Anda di halaman 1dari 139

PENDIDIKAN

BERBASIS
PROBLEM
SOSIAL
.,. Prof. Dr. Sutrisno, M.Ag. & Muhyidin Albarobis, M.Pd.l.

PENDIDIKAN
HERBASIS
PROBLEM
SOSIAL

IBI
AR•JruzzarotA
PENDIDIKAN ISLAM BERBASIS PROBLEM SOSIAL

Sutrisno & Muhyidin Albarobis

Editor: Rose Kusumaning Ratri


Proofreader: NurHid
Desain Cover: TriAT
Desain Isi: Leelo Legowo

Penerbit:
AR-RUZZ MEDIA
]1. Anggrek 126 Sambilegi, Maguwoharjo,
Depok, Sleman, Jogjakarta 55282
Telp./Fax.: (0274) 488132
E-mail: arruzzwacana@yahoo.com

ISBN: 978-602-18785-4-5
Cetakan I, 2012

Didistribusikan oleh:
AR-RUZZ MEDIA
Telp./Fax.: (0274) 4332044
E-mail: marketingarruzz@yahoo.co.id

Perwakilan:
Jakarta: Telp./Fax.: (021) 7816218
Malang: Telp./Fax.: (0341) 560988

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)


Sutrisno
Pendidikan Islam Berbasis Problem Sosial/Sutrisno & Muhyidin Albarobis-
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012
148 him, 14,8 X 21 em
ISBN: 978-602-18785-4-5
1. Pendidikan
I. Judul II. Sutrisno & Muhyidin Albarobis
Pengantar Penerbit

da suatu anggapan yang mengemuka di kalangan masyarakat

A dewasa ini. Yakni, ranah agama mungkin berhasil dalam


hubungan antara insan dengan Sang Sesembahannya, tetapi
gagal dalam hubungan an tara man usia dengan sesama pun alam sekitar
pada ranah kehidupan sosial empiris. Pendapat macam tersebut, bukan
sebuah lontaran asal-asalan tanpa alasan dan bukti. Tengok sebentar,
narasi apa yang kerap dituturkan berita-berita di media, tayangan
di televisi, dan yang terlihat atau dialami sendiri. Kerap kali tersaji
pemberitaan dan pengalaman bahwa agama justru menjadi faktor
pemicu keretakan hubungan bermasyarakat. Konflik antar-agama
menjadi huru-hara dan kerusuhan yang sampai menelan korban, baik
materi, psikis, maupun nyawa manusia. Orang-orang berlainan agama
saling curiga dan berprasangka buruk. Bahkan, dalam intern sebuah
agama pun, terjadi perselisihan yang satu sama lain saling mencela
dan menghujat.
Kondisi seperti ini tidak dapat dinafikan apalagi disembunyikan.
Diakui atau tidak, memang yang demikianlah yang terjadi. Agama
seakan menjelma "hanya" menjadi serangkaian aturan-aturan ritual
atau malah dalam bahasa sarkastis, hanya formalitas untuk mengisi
kartu identitas pengenal. Esensi dari sebuah agama sebagai pembawa

5
kerahmatan di dunia pun akhirat menjadi angan-angan utopis
dalam kitab sud yang semakin tidak dikenali. Sementara wajah yang
diperlihatkan oleh agama mengguratkan sikap intoleran, angkuh,
fundamentalisme, destrukrif, agresif, fanatik, dan lain sebagainya.
Anggapan dan kondisi memprihatinkan tersebur bukan guna
memacu perdebatan apakah benar atau keliru, melainkan menjadi
sebuah ajakan untuk kira renungi bersama. Apalagi kondisi demikian,
melanda negeri Indonesia yang mengaku sebagai negara yang religius.
Hal ini semakin menjadi ironi yang menyakitkan. Tentu saja tidak
sekadar direnungi, tetapi yang lebih penting adalah kesadaran dalam
melakukan perubahan. Oleh karena itu sudah saatnya kini kita menjadi
agen-agen yang mengagas dan menggerakkan perubahan. Sebuah
perubahan menuju tatanan berbangsa dan bernegara yang menjadi
tujuan bersama, yakni keadilan, kemakmuran, kesejahteraan, dan
kedamaian.
Pendidikan bernapaskan keislaman yang terintegrasi dan berbasis
pada problem sosial menjadi sebuah wacana yang menyuarakan
perubahan. Islam adalah agama rahmatan lil alamin, sementara
pendidikan adalah dasar dari peradaban manusia. Oleh karena
itu mencanangkan wacana pendidikan Islam untuk memperbaiki
bangsa-yang dikatakan dalam buku ini sedang sakit-bagaikan sedang
menyuguhkan alternatif solusi dari akar terdalam menggunakan metode
yang terbaik. Namun, gagasan dan wacana ini mesti dikembangkan
lebih lanjut untuk kemudian sesegera mungkin diaplikasikan dalam
praktik. lni adalah tantangan besar bagi kita bersama.

Jogjakarta, Agustus 20 12
Redaksi

6
Pengantar Penulis

l[) engan mengucap alhamdulillah, penulis memanjatkan puji

D syukur kepada Allah Swt., yang memberikan taufik-Nya


sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan buku ini.
Shalawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Nabi Muhammad
Saw. besena keluarga, sahabat, dan pengikut-pengikutnya yang setia.
Buku ini ditulis sebagai salah satu ikhtiar memperbaiki kualitas hidup
bangsa Indonesia, suatu tugas yang penulis yakini sebagai tanggung jawab
setiap Muslim. Penulis memaharni tanggung jawab ini dari misi yang
diemban oleh Nabi Muhammad. Dengan demikian, menjadi misi Islam
di dunia ini, yaitu menjadi rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil a!amin).
Misi yang ditegaskan oleh Allah dalam Al-Quran (QS. Al-Anbiya' [21]:
107) ini dapat dipaharni sebagai tanggung jawab sosial umat Islam, yang
menuntut mereka untuk mencurahkan segenap potensi yang dimiliki
demi terwujudnya kehidupan yang damai, adil, makmur, sejahtera, dan
penuh kebahagiaan. Disebabkan misi sosial inilah, umat Islam disebut oleh
Al-Quran sebagai umat terbaik (khairu ummah), yang mana hanya pantas
disandang manakala rnisi itu dapat ditunaikan dengan baik.
Melalui gagasan pendidikan Islam berbasis sosial yang didedahkan
dalam buku ini, penulis mengusung harapan besar akan lahirnya
generasi Islam yang membawa rahmat bagi sesamanya, sebagaimana

7
telah diteladankan oleh Rasulullah Saw. Generasi itu, dalam citra ideal
penulis, memiliki kepekaan nurani terhadap berbagai problem sosial serta
memiliki kekritisan dan kreativitas yang dibutuhkan untuk menemukan
jalan keluarnya. Mereka tidak saja saleh secara individual, yang mana
mereka sepenuhnya sadar akan kedudukan mereka sebagai hamba Allah
(abdullah), tetapi juga saleh secara sosial karena memahami tanggung
jawab mereka sebagai representasi (khalifoh) Allah di muka bumi.
Penulis berharap kehadiran buku ini dapat menjadi sebuah langkah
kecil dari suatu perubahan besar dalam pendidikan Islam di T anah Air.
Semoga pula percikan pemikiran yang sederhana ini dapat mendorong
munculnya gagasan-gagasan besar dari para pemikir yang memiliki
kepedulian dan keprihatinan yang sama sehingga kesemua gagasan itu
dapat saling berdialog, saling melengkapi, dan pada akhirnya saling
berkontribusi dalam mewujudkan sistem pendidikan Islam yang ideal.
T entu saja tak ada gading yang tak retak. Sebagai sebuah gagasan,
buku ini tidak mungkin bebas dari kekurangan dan kekeliruan, baik yang
bersifat teknis maupun substansial. Oleh karena itu, kritik dan masukan
dari para pembaca yang budiman penulis terima dengan lapang dada.
T erakhir, penulis ingin menyampaikan terima kasih, sekaligus
permohonan maaf, kepada seluruh pihak yang telah membantu
terwujudnya buku ini. Khusus kepada anak dan istri penulis, semoga
Allah berkenan mengganti saat-saat kebersamaan yang terbuang dengan
waktu-waktu yang penuh berkah. Kepada para pemikir yang gagasan
dan percikan pemikirannya penulis jadikan sumber inspirasi dan
rujukan penguat, penulis berterima kasih dan mendoakan semoga ilmu
mereka bermanfaat. U ngkapan terima kasih tak lupa penulis sampaikan
kepada Saudara Abdullah Masrur, dari Penerbit Ar-Ruzz Media, yang
turut membidani kelahiran buku ini. ]azakumullah khaira.

Jogjakarta, Mei 2012


Penulis

8
Daftar lsi

Pengantar Penerbit ........................................................................ 5


Pengantar Penulis........................................................................... 7
Daftar lsi .............................................................................................. 9

BAB I Pendahuluan ........................................................................ 11


BAB II Hakikat Pendidikan Islam.............................................. 17
A. Pengertian Pendidikan Islam....................................... 18
B. Dasar Pendidikan Islam ............................................... 23
C. Tujuan Pendidikan Islam............................................. 26
D. Jiwa Pendidikan Islam.................................................. 38

BAB III Pendidikan Islam di Indonesia..................................... 41


A. Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan
Nasional........................................................................... 42
B. Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia.................. 50
C. Penyelenggaraan Pendidikan Islam di Indonesia ....
D. Kurikulum Pendidikan Islam di Indonesia.............. 61
BAB IV Pendidikan Islam dan Problematika Umat............. 75
A. Problematika Umat Islam Masa Kini........................ 76

9
BABI

Pendahuluan

ll!f(elah lebih dari enam dasawarsa bangsa Indonesia merdeka.


Selama rentang waktu itu, sesungguhnya ada banyak hal
yang bisa dilakukan unruk membangun bangsa ini menjadi
lebih baik. Namun, pada kenyataannya, kita belum dapat keluar dari
berbagai persoalan yang membelit bangsa kita. Berbagai krisis seakan
datang silih berganti, membuat bangsa ini semakin terpuruk dalam
kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan.
Para pemimpin sepertinya telah kehilangan kemampuan untuk
mengarahkan kemudi bahtera bangsa menuju suatu tempat yang
menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Sementara itu, masyarakat
pada umumnya mulai bersikap apatis terhadap masa depannya. Behan
hidup yang mengimpit membuat mereka memilih berpikir pendek dan
mengutamakan kepentingan sesaat, daripada berpikir panjang untuk
kepentingan yang lebih besar. Pola pikir "mumpungisme" dalam istilah
Buya Syafi'i Maarif, atau "menerabas jalan pintas" dalam ungkapan
Kuntowijoyo, telah berevolusi menjadi budaya.
Di berbagai ranah, kita dapat dengan mudah menjumpai
perilaku menerabas jalan pintas itu. Pelakunya pun mencakup semua
kalangan; dari rakyat jelata sampai pejabat negara, anak-anak sampai
orang dewasa, anak sekolahan sampai para akademisi di perguruan

11
tinggi, ibu-ibu sosialita sampai ibu rumah tangga, selebriti sampai fans
penggilanya, dan seterusnya. Pendek kata, semua kalangan masyarakat
kita telah terjangkiti virus itu tanpa kecuali.
Sekadar contoh, lihatlah bagaimana anak-anak kita setiap
tahun menggelar doa bersama (istigasah) menjelang Ujian Nasional.
Bersama-sama gurunya, mereka menangis berjamaah di dekat
makam tokoh yang dikeramatkan, lalu berdoa agar dimudahkan
dalam mengerjakan soal ujian dan memperoleh kelulusan. Ada di
antara mereka yang berdoa dengan penuh kekhusyukan, ada yang
menangis sesenggukan, bahkan ada yang sampai jatuh pingsan. Mereka
beristigasah dengan harapan dapat menempuh ujian dengan lancar dan
meraih kelulusan. T emu saja istigasahnya sendiri baik, tetapi kalau
beristigasah agar dapat lulus ujian, melakukannya di makam keramat
pula, bukankah itu tidak sesuai tuntunan agama?
Lalu, kalau kita alihkan pandangan ke perempatan-perempatan
jalan raya, di sana kita jumpai pengamen dan peminta-peminta, bahkan
tidak jarang "pemalak", yang terdiri dari beragam usia. Anak-anak,
remaja, pemuda gagah, bapak-ibu setengah baya, kakek-nenek, bahkan
bayi yang masih digendong ibunya. Sebagian dari mereka melakukan
pekerjaan yang kurang terpuji itu karena tidak ada pekerjaan lain yang
bisa mereka lakukan. Namun, banyak dari mereka yang melakukannya
karena ingin mendapatkan uang dengan cara yang mudah.
Di pelosok-pelosok kampung, kita kerap disuguhi drama
menyedihkan setiap kali pemilihan umum (pemilu) digelar. Kita
lihat bagaimana "serangan fajar" yang dilancarkan oleh tim sukses
calon tertentu dapat menghipnotis kesadaran warga yang lugu
sehingga pilihan mereka ditentukan oleh seberapa banyak isi amplop
yang diberikan ketimbang seberapa besar harapan yang bisa mereka
tumpukan kepada calon pemimpin yang mereka pilih. Politik uang
(money politic) sudah menjadi budaya. Oleh karena itu calon yang

12
terpilih sering bukan karena kapasitas dan kapabilitasnya, melainkan
karena modal yang dimilikinya. Dengan kapital yang dimiliki, fi?.ereka
menempuh jalan pintas membeli suara. Kebetulan pula pemilik
suara itu memiliki mental yang sama sehingga transaksi suara pun
terjadilah.
Di dunia pendidikan, tempat sesungguhnya kita menumpukan
harapan akan kehidupan yang lebih baik, budaya menerabas jalan pintas
juga dilestarikan. Aksi sontek massal yang terjadi di SD Negeri Gadel2
Surabaya, tahun 2011 yang lalu, dapat dijadikan sebagai cermin untuk
melihat wajah bopeng masyarakat kita. Ceritanya, pada UN tahun 2011
lalu Alifah Ahmad Maulana dipaksa oleh gurunya umuk memberikan
kunci jawaban kepada teman-temannya. Ia pun melaporkan perihal
itu kepada ibunya, Nyonya Siami, seorang perempuan bersahaja
yang hanya lulusan SMP, tetapi masih menjunjung tinggi kejujuran.
Merasa muak dengan perbuatan tak terpuji sang guru, Nyonya Siami
mengajak anaknya melaporkan kasus itu kepada Dinas Pendidikan
Kota Surabaya.
Kisah ini berakhir dengan kesimpulan Mendiknas bahwa tidak
terbukti adanya sontek massal di SD Negeri Gadel2, dibarengi dengan
pemecatan guru dan kepala sekolah yang dianggap telah bersekongkol
melakukan kecurangan. Hal yang menarik dari kisah heroik Alifah
dan ibunya adalah nasib mereka. Gara-gara tindakan mengungkap
kecurangan itu, mereka harus rela terusir dari rumahnya di Kampung
Gadel Sari, setelah terlebih dahulu didemo, dihujat, dan dituding
sok pahlawan oleh ratusan warga sekampungnya yang secara umum
bermental menerabas jalan pintas.
Selain kasus contek massal di atas, banyak contoh kasus lain
yang bisa dikemukakan di sini, seperti pemalsuan sertifikat, jual beli
ijazah, transaksi nilai akademik, dan lain sebagainya. Kemudian, yang
menyedihkan adalah bahwa para pelaku beragam tindak kecurangan

13
itu adalah orang-orang yang notabene bergelut di dunia pendidikan,
seperti guru, dosen, pimpinan lembaga pendidikan, serta siswa dan
mahasiswa: Mengapa menyedihkan?
Mari kita lihat. Sebagai sebuah bangsa, kita bercita-cita untuk
maju dan tidak tertinggal dari bangsa lain. Lalu, kita sama mafhum
bahwa satu-satunya jalan menuju ke sana adalah melalui pendidikan.
Sebuah pepatahJerman mengatakan, "Kalau engkau mau membangun
bangsamu, bangunlah terlebih dahulu pendidikanmu." Melalui
pendidikan, kita dapat mencapai apa pun yang kita cita-citakan, sebab
pendidikan membekali kita berbagai kecakapan hidup (life skills).
Disebabkan kekuatannya yang dahsyat itulah, pendidikan, kata Nelson
Mandela, dapat menjadi senjata paling ampuh untuk menaklukkan
dunia.
Sungguh tepat pesan Nabi Muhammad, dalam sebuah hadis
sahih riwayat Bukhari dan Muslim: "Barang siapa yang menginginkan
dunia haruslah dengan ilmu, dan barang siapa yang menginginkan
akhirat haruslah dengan ilmu, dan barang siapa yang menginginkan
kedua-keduanya haruslah dengan ilmu. " Ilmu, kita tahu, diperoleh
melalui pendidikan.
Pendidikan adalah satu-satunya jalan yang dapat mengantarkan
manusia menuju puncak peradaban dan ujung tombaknya adalah
para pendidik. Ketika guru atau dosen--sebagai pendidik-tidak
menjalankan perannya dengan baik, proses pendidikan tidak akan
dapat berjalan dengan efektif. Dengan demikian, tujuan pendidikan
pun tidak akan tercapai. Ketika pendidikan gagal mencapai tujuannya,
dengan sendirinya man usia juga gagal menjadi lebih baik. Sebab, tujuan
pendidikan adalah membentuk manusia yang baik dalam seluruh
aspeknya.
Di sinilah letak persoalan terbesar bangsa kita. Secara umum,
bangsa ini tengah sakit. Bagian terparah dari sakit kita adalah pada

14
mental yang mengalami kerusakan. Kerusakan mental ini membuat kita
terpuruk, menjadi bangsa pecundang yang hampir selalu kalah dalam
setiap persaingan antarbangsa. Kalau dahulu kita pernah dihormati
sebagai bangsa besar, kini kita relatif hanya diperhitungkan sebagai
bangsa dengan populasi terbesar keempat di dunia. Sebuah populasi
yang tentu saja menggiurkan untuk dibidik sebagai pasar yang potensial
di era perdagangan bebas. Semen tara berkaitan dengan dari sisi prestasi,
Indonesia dikenallebih sebagai salah satu negara terkorup di dunia.
Dalam kondisi yang memprihatinkan sepeni itu, kita menumpukan
seluruh harapan kepada pendidikan karena sadar bahwa hanya melalui
pendidikanlah kita dapat memperbaiki hidup. Memang, seharusnyalah
demikian, tetapi mengapa kehidupan bangsa ini tidak juga mengalami
perbaikan setelah lebih dari 60 tahun merayakan kemerdekaannya?
Mengapa pendidikan yang kita selenggarakan selama rentang waktu
itu, dengan biaya yang tentu saja tidak sedikit, belum juga mampu
mengangkat harkat dan martabat bangsa?
Ada masalah dengan pendidikan kita; itulah jawabannya. Sistem
pendidikan kita terbukti belum berhasil mengeluarkan bangsa ini
dari berbagai permasalahan hidup yang mengimpitnya. Bukannya
melahirkan generasi yang lebih baik, yang mampu memberikan solusi
atas permasalahan kebangsaan yang sudah ada, pendidikan kita justru
melahirkan generasi yang menjadi masalah-masalah baru. T ak ayal,
bangsa ini makin hari makin parah sakitnya.
Sebagai bangsa dengan penduduk Muslim terbesar, kita tentu
patut bertanya: di mana peran pendidikan Islam dalam memperbaiki
kehidupan bangsa ini?
Pendidikan Islam merupakan subsistem pendidikan nasional
yang sesungguhnya diharapkan berperan penting dalam pencapaian
tujuan pendidikan yang diamanatkan oleh undang-undang. Oleh
karena itu dapat disimpulkan bahwa kegagalan pendidikan yang kita

15
perbincangkan di atas adalah kegagalan pendidikan Islam juga. Apalagi
kalau kita kembali kepada kenyataan bahwa populasi umat Islam di
negeri ini adalah yang terbesar di antara umat beragama lain. Sebab,
dari situ kita dapat mengasumsikan bahwa ketika bangsa ini sakit, bisa
jadi kebanyakan individu yang sakit itu dari kalangan umat Islam.
Sementara itu, tujuan ideal pendidikan Islam, sebagaimana
dikatakan para ahli, selaras dengan tujuan hidup manusia yang sudah
digariskan di dalam Al-Quran. Kalau pada kenyataannya kehidupan
bangsa kita jauh dari cita-cita hidup manusia Muslim, bukankah ini
sebuah ironi? Dari sini, menjadi penting bagi kita untuk mendiskusikan
kembali hakikat pendidikan Islam, kemudian merumuskan suatu
sistem pendidikan Islam yang diharapkan dapat menjadi solusi atas
persoalan bangsa. Atas dasar itulah, gagasan tentang pendidikan Islam
berbasis problem sosial dalam buku ini ditawarkan.

*****

16
BABII

Hakikat Pendidikan Islam

l[) ewasa ini, sistem pendidikan kita telah kehilangan visi

D sejatinya. Alih-alih mengantarkan manusia menemukan


hakikat kemanusiaannya, kebanyakan lembaga pendidikan
kini cenderung mengusung visi pragmatis: mencetak lulusan yang siap
kerja! Benar bahwa pendidikan harus mampu mempersiapkan generasi
yang kompeten dan berdaya saing tinggi, tetapi kalau kemudian hal iru
menjadi satu-satunya tujuan pendidikan, tentu saja terlalu naif.
Namun, begitulah fenomena yang menggejala. Pengaruh
paradigma pendidikan Barat yang sekuler ditengarai sebagai
penyebabnya. Dalam paradigma sekuler Barat, pendidikan memang
hanya berorientasi pada kehidupan duniawi sehingga aspek-aspek
spiritual keagamaan sama sekali diabaikan. Akibat dari paradigma
pendidikan sekuler tersebut, lembaga-lembaga pendidikan hanya
mampu menghasilkan individu-individu yang cerdas dan terampil,
tetapi ruhaninya kosong. Kecerdasan dan keterampilan mereka yang
tinggi tidak berbanding lurus dengan kemuliaan akhlaknya, khususnya
dalam konteks sosial keagamaan.
Celakanya, saat ini lembaga-lembaga pendidikan Islam pun
menunjukkan gejala serupa. Orientasi pendidikan Islam, sebagai
subsistem pendidikan tinggi nasional, ikut terpengaruh par4digma

17
transfer ofknowledge, sebatas yang terkait erat dengan masalah kerja dan
perolehan gelar akademik, bukan untuk mengembangkan kemampuan
manusia secara kajfah (Djohar, 2002).
Bukankah ini sebuah bencana? Sebab, kalau ditilik dari tujuan
penciptaannya, bukankah Allah menciptakan man usia tidak lain untuk
menjadi hamba dan khalifah-Nya? Bukankah Rasulullah Saw. yang
mulia diutus semata-mata untuk menyempurnakan akhlak manusia?
Sudah tentu pemahaman tentang tujuan penciptaan manusia, juga
tentang tujuan risalah kenabian Muhammad Saw., menjadi bagian
yang sangat penting dalam pendidikan Islam. Dari sinilah kita dapat
menarik pertanyaan mendasar seperti: apa sesungguhnya hakikat
pendidikan Islam? Pertanyaan prinsipiil ini dengan sendirinya akan
mengantarkan kita kepada pertanyaan lain yang tak kalah pentingnya:
apa dasar, tujuan, dan jiwa pendidikan Islam?
Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di at as ten tu akan
membawa konsekuensi yang serius bagi sistem pendidikan Islam
secara keseluruhan. Inilah alasan kita mendiskusikan tentang
hakikat pendidikan Islam pada bab ini. Sebab, dengannya kita dapat
membangun sebuah kerangka pikir yang kukuh sebagai landasan pijak
dalam mendiskusikan gagasan pendidikan Islam berbasis problem sosial
yang menjadi topik utama buku ini.

A. Pengertian Pendidikan Islam


Istilah pendidikan Islam terdiri dari dua kata, yaitu pendidikan dan
Islam. Oleh sebab itu, untuk mengetahui makna istilah tersebut,
pedu diketahui lebih dahulu definisi pendidikan menurut para pakar
pendidikan.
Hasan Langgulung (1992: 3) berpendapat bahwa pendidikan dapat
ditinjau dari dua segi, yaitu dari segi masyarakat dan segi individu. Dari
segi masrarakat, pendidikan berani pewarisan kebudayaan dari generasi

18
tua kepada generasi muda agar hid up masyarakat tetap berkelanjutan.
Semenrara dari segi individu, pendidikan berarti pengembangan
potensi-potensi yang terpendam dan tersembunyi. Dari situ, ia menarik
kesimpulan bahwa pendidikan dapat diartikan sebagai pewarisan
kebudayaan sekaligus pengembangan potensi-potensi.
Omar Mohammad at- Toumy al-Syaibany (1979: 399)
memandang pendidikan sebagai proses membentuk pengalaman dan
perubahan yang dikehendaki dalam individu dan kelompok melalui
interaksi dengan alam dan lingkungan kehidupan. Sementara Bassam
Tibi lebih memandang pendidikan sebagai sistem sosial yang dapat
membenruk subsistem-subsistem dalam sistem sosial secara total (Tibi,
1991: 113).
Napoleon Hill (2007) memaknai pendidikan bukan sekadar
tindakan menyampaikan pengetahuan (the act ofimporting knowledge)
a tau transfer pengetahuan (trasfer ofknowledge) semata. Hill merunut
makna pendidikan dari akar katanya, yaitu dari bahasa Latin educo yang
berarti "to develop from within: to educe; to draw out; to go through
the law of use" (mengembangkan dari dalam; mendidik; melaksanakan
hukum kegunaan). Oleh karenanya, pendidikan yang sesungguhnya
berarti pengembangan potensi diri (indra dan pikir), bukan sekadar
mengumpulkan dan mengklasifikasikan pengetahuan.
Semenrara itu, dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan didefinisikan sebagai
"usaha sadar dan terencana unruk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara."
Dapat kita lihat bahwa definisi ini relatif lebih lengkap dibandingkan
dengan definisi-definisi terdahulu.

19
Beberapa definisi pendidikan dalam perspektif umum di atas
sebenarnya cukup untuk merumuskan definisi pendidikan Islam, kalau
kita sepakat bahwa kata Islam dalam terma pendidikan Islam pada
dasarnya menunjukkan ciri khas. Dalam sejarah pendidikan Indonesia
maupun studi kependidikan, demikian menurut A. Malik Fadjar
(2005), sebutan "pendidikan Islam" umumnya dipahami hanya sebatas
"ciri khas". Padahal, menurutnya, keberadaan pendidikan Islam tidak
sekadar menyangkut persoalan ciri khas, tetapi lebih mendasar lagi,
yaitu tujuan yang diidamkan dan diyakini sebagai yang paling ideal.
Kalau terma pendidikan Islam dipahami sebatas pendidikan
dengan ciri khas Islam, maka definisi pendidikan secara umum yang
dihubungkan dengan Islam akan menimbulkan pengertian baru yang
secara implisit menjelaskan karakteristik khas yang dimilikinya.
Namun demikian, tetap saja definisi tersebut tidak mudah
di.sepakati oleh para pakar pendidikan Islam sehingga belum ada
definisi yang benar-benar disepakati dan dianggap baku. T ak heran
jika Konferensi Internasional Pendidikan Islam pertama, yang
diselenggarakan oleh Universitas KingAbdulAziz,Jeddah, tahun 1977,
juga tidak berhasil merumuskan definisi pendidikan yang disepakati,
disebabkan banyaknya jenis kegiatan yang dapat disebut sebagai
kegiatan pendidikan serta luasnya aspek yang dikaji oleh pendidikan.
Konferensi tersebut hanya menyimpulkan bahwa pendidikan Islam
adalah segala sesuatu yang terkandung dalam istilah ta 'lim, tarbiyah,
dan ta'dib (Muhajir, 2011: 73).
Senada dengan kesimpulan Konferensi Internasional Pendidikan
Islam tersebut, Azyumardi Azra (1999) menyatakan bahwa, dalam
konteks Islam, pengertian pendidikan dengan seluruh totalitasnya
inheren dalam istilah tarbiyah, ta 'lim, dan ta 'dib yang harus dipahami
secara bersama-sama. Ketiga istilah itu mengandung makna yang amat
dalam menyangkut manusia, masyarakat, dan lingkungannya, yang

20
dalam hubungannya dengan Tuhan saling berkaitan satu sama lain.
Istilah-istilah itu, menurut Azra, sekaligus menjelaskan ruang lingkup
pendidikan Islam: informal, formal, dan nonformal.
Di tengah kesulitan menemukan definisi pendidikan Islam yang
baku, para pakar mencoba memberikan batasan-batasan terhadap apa
yang disebut pendidikan Islam. Qadri Azizy (2003: 22), misalnya,
menyebutkan batasan tentang definisi pendidikan agama Islam
dalam dua hal, yaitu (1) mendidik peserta didik untuk berperilaku
sesuai dengan nilai-nilai atau akhlak Islam; (2) mendidik peserta
didik untuk mempelajari materi ajaran Islam. Dengan batasan ini,
dapat dirumuskan pengertian pendidikan agama Islam sebagai usaha
secara sadar dalam memberikan bimbingan kepada anak didik untuk
berperilaku sesuai dengan ajaran Islam dan memberikan pelajaran
dengan materi-materi tentang pengetahuan Islam.
Menurut Hasan Langgulung (1980: 94), pendidikan Islam
merupakan suatu proses penyiapan generasi muda untuk mengisi
peranan memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang
diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan
memetik hasilnya di akhirat. Artinya, pendidikan Islam tidak bisa
dimaknai sebatas transferofknowledge, akan tetapi juga transferofvalue
serta berorientasi dunia-akhirat (teosentris dan antroposentris).
Zakiyah Daradjat (1992: 25) memaknai pendidikan Islam
sebagai proses untuk mengembangkan fitrah manusia, sesuai dengan
ajarannya (pengaruh dari luar). Sementara Naquib al-Attas (1979:
ix) menekankan pendidikan Islam sebagai proses untuk membentuk
kepribadian Muslim. Lalu, Yusuf Qardhawi (1980: 39) memaknai
pendidikan Islam sebagai pendidikan manusia seutuhnya, akal dan
hatinya, ruhani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya.
Abdurrahman an-Nahlawi (1989) menyimpulkan bahwa
pendidikan Islam terdiri dari empat unsur, yaitu (1) menjaga

21
dan memelihara fitrah; (2) mengembangkan seluruh potensi; (3)
mengarahkan seluruh fi.trah dan potensi menuju kesempurnaan; (4)
dilaksanakan secara bertahap. Syed Ali Ashraf (1985: 4), sebagaimana
Muhammad Iqbal dan Fazlur Rahman, memaha~i pendidikan Islam
sebagai proses untuk menghasilkan manusia (ilmuwan) integratif,
yang padanya terkumpul sifat-sifat kritis, kreatif, dinamis, inovatif,
progresif, adil, dan jujur.
Sementara itu, Athiyah al-Abrasyi, sebagaimana dikutip oleh
As'aril Muhajir (2011: 80), mendefinisikan tarbiyah dalam konteks
pendidikan Islam sebagai upaya mempersiapkan manusia untuk
hidup dengan sempurna dan bahagia, mencintai tanah air, tegap
jasmaninya, sempurna akhlaknya, pola pikirnya sistematis, perasaannya
halus, profesional dalam bekerja, bersikap toleran, kompeten dalam
berkomunikasi, serta terampil dalam berkarya.
Selain beberapa definisi di atas, masih banyak definisi lain yang
dikemukakan oleh para pakar pendidikan Islam, yang tentu tidak perlu
kita pertentangkan satu sama lain. Penulis cenderung merangkum
definisi-definisi itu menjadi suatu definisi yang mencakup seluruh
unsur yang terkandung dalam diri manusia, yaitu fisik, psikis, d;m
ruhani, serta lebih selaras dengan tujuan hidup manusia sebagaimana
akan dipaparkan lebih lanjut.
Selain itu, menurut hemat penulis, perlu ditekankan hal paling
mendasar yang terkait dengan aspek ruhani, yaitu keimanan (tauhid).
Oleh sebab itu, penulis mengusulkan definisi pendidikan Islam
sebagai "usaha sadar untuk membimbing manusia menjadi pribadi
beriman yang kuat secara fisik, mental, dan spiritual, serta cerdas,
berakhlak mulia, dan memiliki keterampilan yang diperlukan bagi
kebermanfaatan dirinya, masyarakatnya, dan lingkungannya."

22
B. Dasar Pendidikan Islam

Ismail Raji al-Faruqi, seperti diceritakan oleh muridnya, Muhammad


Shafiq (2000: 1182), mengatakan bahwa pendidikan (Islam) harus
diarahkan menurut konsep tauhid. Hal ini mengingat pentingnya
tauhid sebagai fondasi yang harus dibangun di atas ilmu pengetahuan
dan nilai-nilai yang akan ditransfer kepada anak didik melalui proses
pendidikan.
Dengan kata lain, pendidikan Islam mestilah berbasis tauhid.
Pendidikan yang mementingkan pencapaian lain dengan mengabaikan
tauhid sebagai fondasinya adalah pendidikan yang-meminjam istilah
M. Natsir-"ketinggalan dasar; pendidikan yang mempertukarkan
alat dengan tujuan (Natsir, t.t.: 116)." Oleh sebab itu, menurut
Natsir, "Mengenal Tuhan, mentauhidkan Tuhan, memercayai dan
menyerahkan diri kepada Tuhan, tak dapat tidak harus menjadi dasar
bagi tiap-tiap pendidikan yang hendak diberikan kepada generasi yang
kita latih."
Tauhid menjadi tema yang sangat penting dalam pandangan
Islam karena, seperti dikatakan MuhammadAnis (2010: 126), tema ini
berbicara tentangAllah yang notabene merupakan pusat segala sesuatu.
Konsep tauhid, menurut Anis, mengandung implikasi doktrinallebih
jauh bahwa tujuan hidup man usia haruslah dalam kerangka beribadah
kepada Allah. Doktrin inilah yang merupakan kunci dari seluruh
ajaran Islam. Sebab, dari konsep tauhid inilah akan muncul standar
yang sangat penting dalam konsep pendidikan Islam, yaitu standar
akhlak (baca: standar nilai), yang esensinya adalah baik-buruk dan
benar-salah.
Bagi orang mukmin, standar nilai yang harus diacu tentu saja
sangat jelas, yaitu wahyu. Apa yang diperintahkan oleh Allah pastilah
baik dan apa yang dilarang-Nya tentulah buruk. Apa yang menurut
Allah benar pastilah benar dan apa yang menurut-Nya salah tentulah

23
salah. Di sinilah konsep tauhid memainkan perannya yang sangat
sentral sebagai penyatu pandangan kaum Mukminin. Oleh karena
itu, pendidikan Islam mudak harus dibangun di atas tauhid sebagai
fondasinya.
Konsep pendidikan berbasis tauhid ini sesungguhnya sudah
diajarkan oleh Allah, melalui seorang ahli hikmah yang namanya
diabadikan sebagai salah satu nama surah dalam Al-Quran, yakni
Luqman. Konsep pendidikan ala Luqman ini menjadikan keimanan
kepada Allah (tauhid) sebagai pelajaran pertama.
Dan (lngatlah) ketika Luqman berkata kepatfa anaknya, di waktu
ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah)
atfalah benar-benar kezaliman yang besar. "(QS Luqman [31]: 13)

Ayat di atas menegaskan tauhid atau akidah sebagai basis


pendidikan. Setelah itu, dalam ayat-ayat berikutnya, barulah Luqman
memberikan pelajaran akhlak dan ibadah kepada anaknya, seperti
perintah untuk berbakti kepada orangtua, larangan untuk tidak
sombong, perintah mendirikan shalat, dan sebagainya. Dalam konsep
pendidikan Islam ala Luqman ini, tauhid dijadikan sebagai fondasi atau
dasar, sebab darinyalah aspek-aspek lain (ibadah dan akhlak) dilahirkan.
Dalam Al-Quran, Allah membuat tamsil yang sangat indah mengenai
ketiga aspek (akidah-ibadah-akhlak) tersebut.
Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat
perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya
teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit? Pohon itu memberikan
buahnya patfa setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat
perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka
selalu ingat. (QS Ibrahim [14]: 24-25)

Dalam ayat di atas, iman (aspek akidah) diibaratkan akar sebuah


pohon yang amat rindang, dengan tauhid sebagai akar tunggangnya.

24
Batang, dahan, dan rantingnya adalah islam (aspek ibadah), semen tara
buahnya adalah ihsan (aspek akhlak). Akar tidak hanya merupakan
penentu kekukuhan sebatang pohon, tetapi juga menjadi sumber
kehidupan, kekuatan, kesuburan, bahkan kualitas buah pohon
tersebut, sebab darinyalah pohon itu menerima asupan gizi dan nutrisi.
Demikianlah akidah menjadi penentu kualitas ibadah dan keindahan
akhlak seorang Muslim.
Karena pentingnya tauhid dalam pendidikan Islam itulah,
Rasulullah Saw. mengajarkan kepada kita untuk mengumandangkan
azan di telinga bayi yang baru lahir, dengan harapan agar kalimat yang
pertama didengar dan direkam oleh si bayi adalah kalimat tauhid. Oleh
karena itu pula, Rasulullah menghabiskan sebagian besar waktunya
dalam perjuangan dakwah di Makkah untuk membangun akidah
umat.
Kemudian kalau kita tilik lebih jauh, jumlah surah-surah
Makkiyah-yang mayoritas berbicara tentang masalah akidah/
tauhid-jauh lebih banyak dibanding surah-surah Madaniyah.
Sebagian ulama menyebut jumlah 94 surah Makkiyah dan 20 surah
Madaniyyah, sebagian yang lain menyebut jumlah 84 surah Makkiyah
dan 30 surah Madaniyah. Ada pula yang menyebut 85 Makkiyah dan
29 Madaniyah (Sa'dullah, 2010).
T emu saja pendidikan Islam tidak berhenti sebatas pada pengajaran
tauhid, sebab tauhid hanyalah fondasi bagi sebuah bangunan utuh
pendidikan Islam. Namun, seperti dikatakan Ali al-Qadhi, justru
karena berbasiskan tauhid inilah maka konsep pendidikan Islam
menjadi konsep pendidikan yang paling lengkap dan sempurna. Hal
ini disebabkan selain memerhatikan aspek akal dan jasmani juga sangat
mengutamakan aspek ruhani (Musthafa, 2004: 33).

25
C. Tujuan Pendidikan Islam
Membincangkan tujuan pendidikan dalam Islam, sesungguhnya kita
tidak bisa lepas dari diskusi tentang tujuan hidup manusia. Sebab,
tujuan pendidikan yang paling ideal seharusnya bermuara pada
pembentukan man usia yang ideal. Sementara sosok man usia yang ideal
tentulah manusia yang tujuan hidupnya telah selaras dengan tujuan
penciptaannya. Lalu, apakah tujuan Allah menciptakan makhluk
bernama manusia itu?
Menurut Ahmad Janan Asifuddin (2010: 56), jika dikaitkan
dengan tujuan penciptaannya, setidaknya ada empat tujuan hidup
manusia. Tujuan pertama adalah untuk mengabdi/beribadah kepada
Allah, sebagaimana difirmankan dalam Al-Quran berikut.
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka
beribadah kepada-Ku. (QS Al-Dzariyat [51]: 56)

Tujuan kedua adalah untuk menjadi khalifah Allah di bumi,


sebagaimana firman Allah dalam ayat berikut.
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berkata kepada para malaikat, ':4ku
hendak menjadikan khalifoh di bumi': Mereka berkata, ':4pakah
Engkau hendak menjadikan orangyang merusak dan menumpahkan
darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan
menyucikan nama-Mu?" Dia berfirman, "Sungguh, Aku mengetahui
apa yang tidak kamu ketahui. "(QS Al-Baqarah [2}: 30)

Tujuan hidup manusia Muslim yang ketiga adalah untuk


mendapatkan ridha Allah, sebagaimana firman-Nya.
Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk
Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang
yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan
mereka pun ridha kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal

26
di dalamnya selama-lamanya. !tulah kemenangan yang agung. (QS
Al-Taubah [9]: 100).

Adapun tujuan keempat adalah untuk meraih kebahagiaan hidup


di dunia dan akhirat, sebagaimana termaktub dalam Al-Quran.
Dan di antara mereka ada yang berdoa, "Ya Tuhan kami, berilah
kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah
kami dari azab neraka. "Mereka itulah yang memperoleh bagian dari
apa yang telah mereka kerjakan, dan Allah Mahacepat perhitungan-
Nya. (QS Al-Baqarah [2]: 201-202)

Menilik tujuan-tujuan hidup manusia tersebut di atas, wajar jika


paradigma pendidikan sekuler Barat tidak mendapat tempat dalam
pendidikan Islam. Sebab, dalam pandangan Islam, man usia tidak saja
terdiri dari komponen fisik dan psikis, tetapi juga spiritual (ruhani).
Lebih dari itu, Islam meyakini adanya kehidupan akhirat yang lebih
kekal, yang mana setiap manusia akan dimintai pertanggungjawaban
atas apa yang telah diperbuat selama hidupnya di dunia.
Jadi, sementara paradigma sekuler memandang dunia sebagai
tempat untuk meraih kesuksesan dan kesenangan hidup, Islam
memandangnya lebih sebagai ladang amal yang akan dipanen kelak
di akhirat. Dengan pandangan seperti ini, Islam mengidealkan sistem
pendidikan yang dapat membimbing manusia untuk tetap dalam
fitrahnya sebagai makhluk beriman, serta mampu mengembangkan
potensi fisik, psikis, dan ruhaninya sekaligus.
Oleh karena itu ketika banyak lembaga pendidikan berubah
menjadi industri bisnis yang semata-mata mengusung visi dan misi
pragmatis seperti saat ini, tentu saja kita patut prihatin. Betapa
tidak, pendidikan kini didorong untuk secara pragmatis melahirkan
individu-individu yang siap kerja demi meraih kesuksesan dalam

27
pengertian material dan keduniaan. Sementara aspek spiritual-
keagamaan mereka tidak mendapat tempat yang cukup.
Lebih mendasar lagi, pendidikan telah dipandang sebagai sebuah
investasi, dengan ijazah dan gelar sebagai tujuan utamanya. Oleh
karena itu menjadi lazim dalam pandangan masyarakat kita dewasa ini
bahwa sebisa mungkin gelar cepat diraih sehingga modal yang telah
dikeluarkan dapat segera kembali dan mendatangkan keuntungan.
Keberhasilan atau kesuksesan seseorang pun kemudian diukur dari
pencapaian materi dan status sosial yang ia raih sebagai keuntungan
atas modal yang telah diinvestasikan. Parahnya lagi, tidak jarang tujuan
pragmatis semacam itu dicapai melalui jalan pintas sehingga praktik
jual-beli ijazah pun marak terjadi di sekitar kita.
Padahal, menurut laporan Malik Fadjar (2005: 121), dahulu
pendidikan lebih merupakan model untuk pembentukan maupun
pewarisan nilai-nilai keagamaan dan tradisi masyarakat. Artinya,
ketika seorang anak sudah mempunyai sikap positif dalam beragama
dan memelihara tradisi masyarakatnya, pendidikan dinilai sudah
berhasil menjalankan misinya. Sementara mengenai kaitannya dengan
ketenagakerjaan, kepentingan ekonomi, dan sebagainya, itu persoalan
kedua.
Berpijak pada permasalahan di atas, pendidikan Islam hams
dikembalikan ke khitahnya sebagaimana telah diteladankan oleh
Rasulullah dan para penerusnya dari generasi terbaik. Untuk apa
sesungguhnya pendidikan dalam perspektif Islam dilakukan? Inilah
pertanyaan mendasarnya. Substansi dari pertanyaan ini adalah tentang
tujuan pendidikan dalam pandangan Islam.
Jadi, untuk mengembalikan pendidikan Islam ke khitahnya, yang
hams kita lakukan pertama kali adalah memmuskan tujuan pendidikan
Islam yang ideal. Sebab, tujuan inilah yang nantinya akan menjadi
acuan pokok dalam perumusan aspek-aspek lain dari pendidikan,

28
semisal pemilihan materi, kurikulum, sistem pengorganisasian, metode
pembelajaran, teknik evaluasi, serta psikologi belajar yang sesuai.
Lalu, apakah tujuan pendidikan Islam itu?
Hilda Taba, sebagaimana dikutip dalam Hitami Munzir (2004:
32), menyatakan bahwa tujuan pendidikan pada hakikatnya merupakan
rumusan-rumusan dari berbagai harapan ataupun keinginan manusia.
Rumusan ini barangkali tepat, tetapi menurut penulis kurang
sempurna jika diterapkan dalam konteks pendidikan Islam. Sebab,
dalam paradigma pendidikan Islam, pijakan pertama dan utama
yang tidak boleh dilupakan adalah wahyu. Jadi, tujuan pendidikan
dalam pandangan Islam lebih dari sekadar harapan manusia, tapi
lebih dari itu kehendak Allah yang tertuang dalam firman-Nya. Apa
yang dikehendaki oleh Allah dari diciptakan-Nya manusia? Inilah
pertanyaan krusial yang akan membawa kita kembali kepada tujuan
hidup manusia sebagaimana diuraikan di depan.
Dalam kaitan ini, tidak kurang para pakar sudah mencoba
merumuskan tujuan pendidikan Islam. Hidayatul Haq (20 1O)
mencatat beberapa rumusan tujuan pendidikan Islam dari para
pakar, di antaranya Abdul Fattah Jalal, Umar at-Taomy asy-Syaibani,
dan Athiyah al-Abrasyi. Menurut Abdul Fattah J alal, tujuan umum
pendidikan Islam adalah terwujudnya mamisia sebagai hamba Allah.
Artinya, pendidikan harus dapat membentuk manusia menjadi pribadi
yang menghambakan diri kepada·Allah.
U mar at-T aomy membagi tujuan akhir pendidikan Islam ~enjadi
tiga, yaitu 1) tujuan yang berkaitan dengan individu, mencakup
perubahan yang berupa pengetahuan, tingkah laku, dan kemampuan-
kemampuan yang harus dimiliki untuk hidup di dunia dan akhirat;
2) tujuan yang berkaitan dengan masyarakat, mencakup tingkah laku
masyarakat, tingkah laku individu dalam masyarakat, dan perubah4n
kehidupan masyarakat; 3) tujuan profesional yang berkaitan dengan

29
pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi,
dan sebagai kegiatan masyarakat. Sementara al-Abrasyi mengusulkan
empat tujuan akhir pendidikan islam, aruara lain 1) pembinaan
akhlak; 2) menyiapkan anak didik untuk hidup di dunia dan akhirat;
3) penguasaan ilmu; 4) penguasaan keterampilan bekerja dalam
masyarakat.
Muhammad Iqbal menekankan pendidikan Islam untuk
membentuk manusia mukmin sejati atau yang biasa disebut insan
kamil, dengan ciri-ciri yang diungkapkan sebagai hamba T uhan dan
khalifah Allah di muka bumi (Saiyidain, 1938). Sementara menurut
Abdul Munir Mulkhan {2001), tujuan pendidikan Islam adalah
membentuk kepribadian Muslim yang berakhlak mulia.
Fazlur Rahman {1967: 315) berpendapat bahwa tujuan pendidikan
Islam dalam perspektif Al-Quran adalah untuk mengembangkan
man usia sehingga semua pengetahuan yang diperolehnya akan menjadi
organ pada keseluruhan prihadi yang kreatif, yang memungkinkan
manusia untuk memanfaatkan sumber-sumber alam untuk kebaikan
umat manusia dan untuk menciptakan keadilan, kemajuan, dan
keteraturan dunia.
Sementara itu, Azyumardi Azra (1998: 6-7) membagi tujuan
pendidikan Islam ke dalam dua tahap, yaitu tujuan antara dan tujuan
akhir. Tujuan antara menyangkut perubahan yang diinginkan dalam
proses pendidikan Islam, baik berkenaan dengan pribadi anak,
masyarakat, maupun lingkungan tempat hidupnya. Tujuan antara ini
harus jelas sehingga pendidikan Islam dapat diukur keberhasilannya
tahap demi tahap.
Adapun menurut hasil Kongres Pendidikan Islam Sedunia
ke-2, pendidikan Islam benujuan untuk mencapai keseimbangan
pertumbuhan dari prihadi manusia secara menyeluruh melalui
latihan-latihan kejiwaan, akal pikiran, kecerdasan, perasaan, dan

30
pancaindra. Pendidikan Islam harus mengembangkan seluruh aspek
kehidupan man usia seperti spiritual, intelektual, imajinasi, jasmaniah,
keilmiahan, bahasanya, baik secara individual maupun kelompok, serta
mendorong aspek-aspek itu ke arah kebaikan dan ke arah pencapaian
kesempurnaan hidup.
Dari rumusan-rumusan tujuan pendidikan Islam yang diusulkan
para pakar di atas, dapadah diambil kesimpulan bahwa tujuan yang
ingin dicapai oleh pendidikan Islam mencakup keempat tujuan
hidup manusia seperti disinggung di depan, yaitu mengabdi kepada
Allah, menjadi khalifah di bumi, mencari ridha Allah, dan meraih
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Kalau dirumuskan, berarti
tujuan pendidikan Islam adalah menyiapkan anak didik untuk menjadi
hamba Allah yang mampu mengemban tugas sebagai khalifah di bumi,
yang mengarahkan hidup dan matinya hanya untuk mencari ridha
Allah dalam meraih kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Hal yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, dari keempat
tujuan tersebut, manakah yang perlu diangkat menjadi semacam tujuan
utama pendidikan Islam?
Kalau kita menapaktilasi sejarah Islam pada periode-periode awal,
khususnya sejarah dakwah Nabi Saw., tampak bahwa yang menjadi
tujuan utama pendidikannya adalah mendidik manusia menjadi
hamba yang beriman kepada Allah dan Rasul-~ya. Perjuangan beliau
menanamkan akidah tauhid selama hampir tiga belas tahun di Makkah,
kemudian strategi dakwah beliau selama kurang lebih sepuluh tahun di
Madinah, hampir semuanya bermuara pada pembentukan umat yang
rela mendedikasikan dirinya untuk mengabdi kepada Allah. Dari situlah
kemudian terbentuk generasi pilihan yang setiap perkataan, perbuatan,
tingkah laku, dan segala peri kehidupannya ditujukan sebagai bentuk
pengabdian kepada-Nya. Kalau merujuk pada Al-Quran, generasi

31
bentukan Rasulullah ini sangat sesuai dengan gambaran yang diberikan
oleh Allah dalam Surah Al-Dziriyat [51] ayat 56.
Dalam kaitan ini, penting juga diingat bahwa satu-satunya tugas
yang diembankan kepada seluruh rasul adalah menyeru manusia
kepada tauhid. Aninya, benang merah yang menghubungkan antara
satu rasul dengan rasul lainnya dalam tugas mereka mendidik umat
adalah membentuk pribadi-pribadi yang rela mengabdikan dirinya
kepada Allah.
T ambahan pula, jika kita tilik garis tegas yang memisahkan
antara manusia yang bahagia dan yang celaka di akhirat kelak, tidak
lain adalah iman. Iman sendiri, sebagaimana didefinisikan oleh para
ulama, adalah "membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan,
mengamalkan dengan perbuatan" (al-imanu huwa tashdiqun bil-qalb
wa iqrarun bil-lisan wa amalun bil-arkan). Oleh karena itulah, seperti
kata Syekh Ali Thanthawi (2004: 69), "Iman tidak bisa dipisahkan dari
amal sebab amal adalah buah dari iman dan merupakan indikasi yang
terlihat oleh man usia."
Jadi, dapatlah dikatakan bahwa mengabdi kepada Allah adalah
tujuan yang paling utama bagi pendidikan Islam. Sebab, tujuan inilah
yang menentukan apakah seseorang akan hid up bahagia atau sebaliknya
sengsara di akhirat nanti. Tentu saja "ibadah" di sini harus dimaknai
ulang bukan sebatas pada ibadah-ibadah mahdhah saja, melainkan
segala sesuatu yang disandarkan kepada Allah.
Meskipun demikian, ada juga yang berpendapat bahwa tujuan
utama pendidikan Islam mestinya adalah melahirkan khalifah-khalifah
Allah di bumi. Hujair AH. Sanaky {2003: 142), misalnya, mengatakan
bahwa sebenarnya pendidikan Islam telah memiliki visi dan misi yang
ideal, yaitu rahmatan lil alamin, yang maknanya adalah membangun
kehidupan dunia yang makrnur, demokratis, adil, damai, taat hukum,
dinamis, dan harmonis. Selain itu, sebenarnya konsep dasar filosofis

32
pendidikan Islam tidak terpisahkan dari tugas kekhalifahan manusia,
atau lebih tepatnya untuk menyiapkan kader-kader khalifah dalam
membangun kehidupan dunia yang sesuai dengan gambaran ideal
Al-Quran (Sanaky, 2003: 142).
Pendapat senada disampaikan oleh Ahmad Janan Asifuddin
(2010), yang mengusulkan pembentukan khalifah di bumi sebagai
tujuan utama pendidikan Islam. Menurutnya, tujuan ini lebih
relevan dengan kondisi umat Islam dewasa ini yang terpuruk dalam
ketertinggalannya. Setidaknya, ada dua hal yang menurut Ahmad
Janan perlu dipertimbangkan di sini. Pertama, kebanyakan umat Islam
memahami secara keliru konsep ibadah yang disuratkan dalam QS
Al-Dziriyat ayat 56, yakni hanya sebatas pada ibadah-ibadah mahdhah.
Miskonsepsi ini berbahaya dalam pembentukan pribadi Muslim,
karena pada gilirannya ia cenderung menafikan pentingnya ilmu-ilmu
umum. Akibatnya, umat Islam semakin jauh tertinggal. Mereka terlalu
asyik tenggelam dalam "ibadah"-nya.
Kedua, saat ini umat Islam membutuhkan solusi yang tepat
untuk dapat keluar dari keterpurukan. Salah satu solusi mendasar
yang diharapkan dapat mendorong mereka untuk bangkit adalah
dengan mereorientasi tujuan hidup manusia, dari sebelumnya untuk
beribadah kepada Allah menjadi orientasi kekhalifahan yang menuntut
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai sarana untuk
menjalankan tugas kekhalifahannya di bumi. Apabila konsepsi tentang
tujuan hidup man usia ini diterapkan sebagai tujuan utama pendidikan
Islam, diharapkan nantinya akan lahir generasi yang unggul dalam
peradaban dunia.
Dalam kaitan ini, Ahmad J anan mendefinisikan tugas kekhalifahan
manusia di bumi meliputi: pertama, memakmurkan bumi (QS Hud
[11]: 61), menjadi rahmat bagi seluruh alam (QSAl-Ahzab [33]: 107),
serta membangun budaya yang baik (QS Al-Baqarah [2]: 195); dan

33
kedua, menegakkan agama (iqamatuddin) dengan cara mengembangkan
pendidikan Islam dan beramar makruf nahi mungkar . .
Hal yang terpenting di sini, menurut penulis, adalah tujuan
pendidikan Islam akan berimplikasi terhadap sistem pendidibn Islam
secara keseluruhan. Ini menjadi sangat krusial bagi para pemegang
kebijakan, penyelenggara pendidikan Islam, dan juga guru sebagai
ujung tombak dan pelaku langsung pendidikan.
Bagi pemegang kebijakan, tujuan pendidikan Islam ini harus
menjadi visi yang menjiwai seluruh kebijakan pendidikan Islam dari
hulu sampai hilir. Pun demikian halnya bagi penyelenggara pendidikan
Islam ketika hendak merumuskan visi dan misi, membuat kebijakan di
tingkat sekolah/madrasah/ pesantren, membangun budaya, menyusun
kurikulum, dan sebagainya.
Bagi guru, tujuan pendidikan Islam tentu saja menuntut "visi
profesi" yang selaras, yang semestinya mewujud dalam sosok yang
mendedikasikan hidup dan matinya untuk mengabdi kepada Allah
serta memiliki kompetensi dan perilaku seorang khalifah Allah di bumi
sehingga dapat menjadi teladan bagi peserta didiknya. Sosok guru,
dengan demikian, selain saleh secara individual juga harus saleh secara
sosial, yang dalam bahasa agama disebut rahmatan lil alamin.
Adapun mengenai kurikulum, menurut hemat penulis, jelas
bahwa dengan empat tujuan akhir yang hendak dicapai dalam
pendidikan Islam, ia mesti disusun dengan menjadikan tauhid sebagai
fondasi dan wahyu sebagai pedomannya, serta mencerminkan integritas
an tara akal dan hati, ftkr dan dzikr, ilmu dan amal, dan yang tak kalah
penting adalah berorientasi dunia-akhirat.
Amat penting bagi stakeholders pendidikan memerhatikan masalah
kurikulum ini, sebab ia memiliki peran yang amat sentral dalam
pencapaian tujuan pendidikan. Seperti ditulis Nurhayati Djamas
(2005: 11), kurikulum memiliki peran yang strategis karena di dalam

34
kurikulumlah seluruh pengalaman belajar peserta didik direncanakan.
Dengan kurikulum yang ideal, lem?aga pendidikan Islam diharapkan
dapat, misalnya, membendung arus globalisasi yang demikian deras,
termasuk di dalamnya menyaring pengaruh negatif lingkungan yang
berpotensi sebagai ancaman bagi pembentukan akhlak peserta didik
yang menjadi tujuan akhir pendidikan Islam.
Melalui kurikulumlah, internalisasi nilai-nilai Islam dapat dilakukan
melalui proses pembelajaran, an tara lain dengan mengintegrasikannya
ke dalam materi-materi pelajaran yang diajarkan di sekolah. Melalui
kurikulum pula, lembaga pendidikan Islam dapat menciptakan budaya
Islam yang ingin dikembangkan di lingkungannya, melalui strategi
budaya yang dirangcang sejak semula. Kemudian pada akhirnya,
melalui kurikulum yang ideal inilah tujuan akhir pendidikan Islam
yang diidealkan dapat dicapai.
Keempat tujuan pendidikan Islam di atas, kalau kita perhatikan,
akan sangat sulit diukur tingkat keberhasilannya. Bagaimanapun, jika
keempat tujuan tersebut dapat dicapai, sudah tentu seorang manusia
sempurna akan tercipta, padahal profil man usia sempurna semacam itu
hanya ada pada diri sang uswah hasanah, Rasulullah Saw. Oleh karena
itulah, dalam Islam muncul konsep pendidikan sepanjang hayat (long
life education) yang meniscayakan upaya perbaikan terus-menerus
hingga peserta didik sampai ke titik pencapaian maksimalnya sebagai
seorang hamba sekaligus khalifah Allah.
Meskipun begitu, tetap saja pencapaian itu harus dapat diukur
sehingga tingkat keberhasilan pendidikan juga dapat ditentukan. Oleh
karena itu ketika keempat tujuan itu tidak dapat diukur, para pakar
pun menyeburnya sebagai tujuan umum atau tujuan akhir pendidikan
Islam.
Tujuan umum tersebut memerlukan penjabaran lebih lanjut,
yang dengannya indikator-indikator pencapaian hasil pendidikan

35
dapat dilihat, diamati, dan diukur. Dengan kata lain, tujuan umum
itu memerlukan tujuan khusus atau tujuan sementara yang sifatnya
lebih operasional, yang disebut oleh Azyumardi Azra sebagai tujuan
antara. Tujuan khusus inilah yang nantinya dapat dirujuk oleh
lembaga-lembaga pendidikan Islam sebagai semacam petunjuk teknis
untuk mencapai tujuan akhir pendidikan Islam.
Dalam kaitan ini, Peter F. Oliva {1992: 181-182) membedakan
istilah outcome, aims, curriculum goals, curriculum objectives,
instructional goals, dan imtructional objectives. Istilah outcome dipakai
untuk menunjukkan hasil sementara secara umum. The aims of
education adalah pernyataan sangat luas dan umum mengenai tujuan
pendidikan. Curriculum goals (tujuan kurikuler umum) didefinisikan
sebagai tujuan umum dan terencana, tetapi tanpa disertai kriteria
pencapaiannya, sedangkan curriculum objectives (tujuan kurikuler
khusus) adalah target khusus dan terencana serta disertai dengan
kriteria pencapaiannya. lmtructionalgoals (tujuan pembelajaran umum/
TPU) adalah pernyataan mengenai target pembelajaran umum, yang
dibuat dengan istilah tidak operasional dan tidak dapat diukur, serta
dengan tanpa kriteria pencapaiannya, sedangkall imtructional objectives
(tujuan pembelajaran khusus/TPK) adalah perilaku peserta didik
yang diharapkan, yang dibuat dengan istilah operasional serta dapat
diukur.
Sementara itu, Fazlur Rahman {1967) secara lebih sederhana
merumuskannya ke dalam tujuan pendidikan umum dan tujuan
pendidikan khusus. Tujuan pendidikan secara umum, menurut
Rahman, adalah untuk memungkinkan manusia memanfaatkan
sumber-sumber alam untuk kebaikan umat manusia dan untuk
menciptakan keadilan, kemajuan, dan keteraturan dunia. Sementara
tujuan pendidikan secara khusus adalah untuk mengembangkan

36
man usia sehingga semua pengetahuan yang diperolehnya akan menjadi
organ pada keseluruhan pribadi yang kritis dan kreatif.
Sampai di sini, kita dapat menyimpulkan bahwa pada hakikatnya,
pendidikan Islam mencakup sebuah definisi ketika man usia dibimbing
untuk menjadi pribadi beriman yang kuat secara fisik, mental, dan
spiritual, serta cerdas, berakhlak mulia, dan memiliki keterampilan
yang diperlukan bagi kebermanfaatan dirinya, masyarakatnya, dan
lingkungannya, dalam tujuan meraih kesuksesan hidup di dunia dan
akhirat.
Jadi, yang menjadi ciri utama pendidikan Islam, yang
membedakannya dengan pendidikan pada umumnya, adalah
pendidikan Islam mestilah berbasis tauhid dan berorientasi pada
kebahagiaan (baca: kesuksesan) hid up di dunia dan kebahagiaan hid up
di akhirat. Dalam bahasa agama, kita dapat mengutip sebuah hadis
yang mengatakan, "Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau akan
hidup selamanya dan beramallah untuk akhiratmu seakan-akan engkau
akan mati esok pagi"(H.R. Ahmad)
Dengan hakikatnya yang demikian itu, pendidikan Islam
menuntut sebuah rumusan tujuan yang tentu juga berbeda dengan
tujuan pendidikan pada umumnya. Oleh karena basisnya adalah
tauhid, tujuan pendidikan Islam pun dengan sendirinya harus mengacu
atau tidak dapat dipisahkan dari tujuan hid up man usia-yang menjadi
objek pendidikan itu sendiri-yang sudah disuratkan oleh Allah dalam
wahyu-Nya.
Dari sini kemudian kita menggarisbawahi bahwa tujuan hidup
man usia, yang harus menjadi tujuan akhir pendidikan Islam, ada em pat
yaitu untuk mengabdi kepada Allah, menjadi khalifah Allah di bumi,
mencari ridha Allah, dan meraih kebahagiaan hidup di dunia dan
akhirat. T ujuan inilah yang hams dijadikan sebagai visi pendidikan
Islam yang akan menjiwai sistem pendidikan Islam secara keseluruhan,

37
termasuk di dalamnya masalah kebijakan, kurikulum, psikologi belajar,
dan sebagainya.
Satu hal yang menarik, dalam kaitannya dengan gagasan
pendidikan Islam berbasis problem sosial yang hendak kita diskusikan,
adalah usulan untuk menjadikan salah satu dari em pat tujuan tersebut
sebagai tujuan utama pendidikan Islam. Dalam konteks ini, usulan
tujuan "menjadikan manusia sebagai khalifah Allah di bumi" sebagai
tujuan utama pendidikan Islam, yang antara lain dilontarkan oleh
Hujair AH Sanaky dan Ahmad Janan Asifuddin, menjadi sangat
relevan. Apabila kita sepakat menjadikan tujuarr-yang dirumuskan
dari QS Al-Baqarah [2]: 30--ini sebagai tujuan utama pendidikan
Islam, sungguh kita dapat berharap nasib umat Islam berubah lantaran
pendidikan Islam. Mengenai hal ini, kita akan mendiskusikannya lebih
lanjut pada bah tersendiri.

D. Jiwa Pendidikan Islam

Pembicaraan tentang tujuan pendidikan, baik secara umum ,


maupun dalam konteks pendidikan Islam, dengan sendirinya
mengantarkan kita pada diskusi tentang jiwa pendidikan. T opik ini
perlu kita perbincangkan sekilas di sini sebagai landasan pijak saat nanti
mendiskusikan praktik penyelenggaraan pendidikan Islam, khususnya
di Tanah Air.
Seperti halnya man usia yang terdiri dari jasmani dan ruhani, fisik
dan psikis, atau jiwa dan raga, pendidikan pun begitu. Ia memiliki
jiwa selain aspek fisik. Jiwa pendidikan itu tidak lain adalah hakikat
pendidikan sebagaimana telah kita diskusikan di depan, yang dalam
konteks pendidikan Islam mencakup dasar dan tujuan. Pendidikan
Islam yang diselenggarakan dengan mengabaikan hakikat ini sama saja
dengan manusia yang sakit jiwa.

38
Ironisnya, penyelenggaraan pendidikan Islam di negeri ini cukup
menunjukkan bahwa pendidikan kita tengah "sakit jiwa". Indikatornya
jelas, yakni perhatian utama kita masih berputar-putar pada persoalan-
persoalan fisikal seperti biaya pendidikan, pengelolaan pendidikan, dan
sarana-prasarana pendidikan. Sementara hakikat pendidikan itu sendiri,
yaitu untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas dalam seluruh
aspeknya (fisik, psikis, ruhani), sering kita abaikan (Sutrisno, 2011: 18).
Dalam ungkapan yang berbeda, penyelenggaraan pendidikan Islam
sekarang ini tidak berorientasi pada pencapaian tujuan pendidikan,
tetapi masih terlalu disibukkan dengan persoalan-persoalan yang
sesungguhnya tidak substansial dan hanya merupakan kulit luar saja.
Tujuan pendidikan Islam, sebagaimana sudah kita bicarakan,
memang masih interpretable. T etapi, secara umum dapatlah dikatakan
bahwa pendidikan itu diselenggarakan untuk meningkatkan kualitas
Sumber Daya Manusia (SDM), baik melalui pewarisan budaya,
maupun melalui penggalian dan pengembangan potensi-potensi
kemanusiaannya, yang dengannya ia dapat mencapai tujuan hidupnya
yang hakiki. Ke sanalah seharusnya penyelenggaraan pendidikan Islam
ditujukan.

*****

39
BAB III

Pendidikan Islam di Indonesia

ubungan an tara agama dan negara sudah menjadi bahan

H perdebatan sejak lama sehingga dapat dikatakan bahwa usianya


setua usia bangsa ini. Perdebatan itu sudah dimulai sejak
masa prakemerdekaan dan terus berlanjut setelah masa kemerdekaan
hingga sekarang. Pembicaraan dalam bab ini akan kita batasi mulai
masa kemerdekaan hingga sekarang, dengan berpijak pada peraturan
perundang-undangan di bidang pendidikan.
Pada masa kemerdekaan, perdebatan ideologis menyangkut
hubungan agama-negara berlangsung cukup sengit, an tara lain dalam
apa yang kita kenai dengan Piagam Jakarta yang merupakan cikal
bakal Pancasila. Serelah Pancasila dan UUD 1945 disepakati sebagai
dasar negara, perdebatan itu tidak lantas berhenti. Ia terus berlanjut,
mewarnai produk-produk hukum yang lahir sebagai kebijakan
politik nasional, tak terkecuali di bidang pendidikan yang melahirkan
peraturan perundang-undangan yang mengatur segala sesuatu yang
berkaitan dengan pendidikan.
Melalui peraturan perundang-undangan dalam bidang pendidikan
itulah kemudian sisrem pendidikan nasional (Sisdiknas) mengambil
bentuknya. Di dalamnya rercakup pendidikan Islam yang akan kita
diskusikan pada bab ini. Diskusi ini penting kita lakukan terutama

41
untuk memperoleh gambaran yang lebih uruh tentang pendidikan
Islam dalam konteks keindonesiaan, sebab dari sanalah nanti kita dapat
menganalisis kekurangan dan kelebihan pendidikan Islam kita, untuk
kemudian menawarkan jalan keluarnya.

A. Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional


Undang-undang tentang sistem pendidikan nasional, sejak masa
Orde Lama hingga masa Reformasi saat ini, selalu menjadi produk
hukum yang sensitif dengan isu mengenai hubungan antara agama
dan negara. Itulah mengapa, sejak lahirnya UU Nomor 411950
sebagai undang-undang pertama yang mengatur pendidikan
nasional, isu pendidikan agama-sebagai refleksi sikap negara terhadap
agama-menjadi diskusi dan perdebatan yang cukup sengit. Perdebatan
itu berlanjut sampai lahirnya UU Nomor 2/1989, dan terus berlanjut
hingga diundangkannya UU Nomor 20/2003.
Bagaimana posisi pendidikan agama (Islam) dalam UU tersebut
sehingga rancangannya selalu menyita perhatian berbagai kalangan
dan menjadi bahan perdebatan yang panjang? Lalu, kalau kita tinjau
dari hubungan agama-negara, bagaimana sikap negara terhadap agama,
yang terefleksikan dalam UU tersebut?
Untuk mengawali diskusi ini, baiklah kita kutip opini salah
seorang pakar pendidikan nasional, Darmaningtyas, yang pernah
dimuat di harian Kompas dengan judul "Undang-U ndang Pendidikan
dari Masa ke Masa" (2003). Dalam opininya itu, Darmaningtyas
mengelaborasi beberapa produk hukum terkait Sisdiknas sejak masa
Orde Lama, lalu mengomparasikannya satu sama lain. Produk-produk
hukum yang diperbandingkan adalah UU Nomor 4/1950, UU Nomor
2/1989, serta RUU SPN-yang merupakan embrio dari UU Sisdiknas
Nomor 20/2003. Salah satu pokok masalah yang dicermati adalah
pendidikan agama. Darmaningtyas menulis.

42
Dalam Pasa! 20 UU No . 411950 dinyatakan, 1) Dalam
sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama; orangtua murid
menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut; 2)
Cara menyelenggarakan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri
diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan,
Pengajaran, dan Kebudayaan, bersama-sama dengan Menteri
Agama. Pada UU No. 2/1989 tidak terdapat pasal khusus yang
mengatur pendidikan agama. Pengaturan itu ada pada penjelasan
Pasa/28 ayat 2 yang menyatakan, "Tenaga pengnjar pendidikan
agama harus beragama sesuai tlengan agama yang diajarkan dan
agama peserta didik yang bersangkutan. "Penjelasan ini kemudian
diangkat menjadi bunyi Pasa/13 ayat 1 butir a dalam RUU SPN
yang menyatakan, ''Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan
berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai tlengan agama yang
dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama. "

Kiranya jelas sekarang perbedaan antara UU No. 411950, UU


No. 211989, dan RUU SPN Dalam UU No. 411950 itu yang
diatur adalah pendidikan agama di sekolah negeri dan hak untuk
menentukan pendidikan agama yang akan diikuti, itu pun berada
pada orangtua murid, bukan pada sekolah atau negara. Sikap negara
yang tlemokratis dan toleran itu juga tecermin di Pasa/16 tentang
guru, bunyinya, ''Di dalam sekolah, guru-guru harus menghormati
tiap-tiap a/iran agama atau a/iran hidup. "Di sini yang dihormati
bukan hanya agama formal, tetapi a/iran hidup yang lain pun
dihormati.

Hal itu berbeda sekali tlengan penjelasan Pasa/28 ayat 2 UU No.


211989 dan RUU SPNyang hanya membatasi pada agama formal
yang diakui oleh pemerintah, mereka yang memiliki keyakinan lain .
tidak masuk hitungan. Seandainya rumusan Pasa/13 ayat 1 butir
a itu mengadopsi Pasa/20 UU No. 411950, besar kemungkinan
tidak timbul gejolak karena tak ada unsur intervensi negara, tetapi
kewenangan orangtualah yang dikedepankan.

43
Dari apa yang ditulis oleh Darmaningtyas di atas, tampak bahwa
hubungan antara agama dan negara, yang tecermin dalam perundang-
undangan yang mengatur pendidikan agama, telah sejak lama menjadi
perhatian. Sikap negara terhadap (pendidikan) agama, kalau kita
sepakat dengan Darmaningtyas, bisa "demokratis" dan "toleran" seperti
dalam UU Nomor 4/1950, bisa juga "intoleran" atau mengandung
unsur intervensi seperti yang tecermin dalam UU Nomor 2/1989 dan
UU Sisdiknas Nomor 20/2003. Namun demikian, agaknya kita perlu
mencari tahu jawaban atas pertanyaan: mengapa persoalan agama, yang
notabene merupakan hak asasi dan wilayah privat setiap warga negara,
harus diintervensi oleh pemerintah melalui undang-undang?
Kalau ditilik ke belakang, agaknya sikap pemerintah (baca:
negara) terhadap (pendidikan) agama, khususnya pendidikan Islam,
sebagaimana tertuang dalam Pasal13 ayat 1 butir a RUU SPN-yang
kemudian ditetapkan dengan redaksi yang persis sama dalam Pasal12
ayat 1 butir a UU Sisdiknas Nomor 20/2003-bukanlah tanpa alasan.
Sikap yang dalam pandangan Darmaningtyas merupakan intervensi
negara terhadap ruang privat warga negara itu muncul antara lain
karena perilaku para penyelenggara pendidikan, khususnya pada
sekolah-sekolah swasta, yang cenderung tidak menghargai pluralitas
agama peserta didiknya. Betapa pun dalam UU Nomor 2/1989
negara sudah mengatur agar pluralitas agama peserta didik dihargai
dengan memberikan pendidikan agama yang sesuai dengan agamanya,
serta oleh pendidik yang seagama, pada praktiknya peraturan ini
diabaikan.
Akibatnya, banyak sekali peserta didik Muslim yang menjadi
"korban" pendidikan agama dari sekolah swasta tempatnya bersekolah,
yang dalam ban yak kasus mereka masuki karena keterpaksaan. Dalam
konteks inilah "intervensi" negara terhadap ruang privat warganya
itu diburuhkan, tentu saja karena tujuan akhirnya adalah melindungi

44
keyakinan agama setiap warga negara yang diatur dalam dan merupakan
amanat dari, UUD 1945. Dengan pencantuman secara tegas klausul
tersebut dalam Pasal 12 UU Sisdiknas, diharapkan tidak ada lagi
praktik "pemaksaan" pendidikan agama terhadap peserta didik yang
berbeda agama sehingga akidah mereka terlindungi dan terjaga.
Dalam ungkapan yang berbeda, sesungguhnya kita dapat
mengatakan bahwa melalui UU Sisdiknas, negara telah memberikan
perhatian yang sangat besar terhadap pendidikan Islam. Tidak hanya
karena tegasnya pengaturan mengenai hak setiap peserta didik untuk
memperoleh pendidikan agama sesuai agama yang dianutnya serta
oleh pendidik yang seagama, tetapi juga karena tegasnya pengakuan
terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti akan kita lihat
nanti.
Dapat dikatakan bahwa dalam konteks sistem pendidikan Islam,
sesungguhnya UU Sisdiknas ini cukup ideal. Khamim Zarkasih Putro
(20 1O) mengelaborasi idealitas sistem pendidikan Islam dalam UU
Sisdiknas dari berbagai aspeknya. Namun, menurut penulis, idealitas
itu tecermin setidaknya dari tiga aspek, yaitu tujuan pendidikan
nasional, prinsip penyelenggaraan pendidikan agama, serta bentuk
penyelenggaraan pendidikan agama.
Pertama, tujuan pendidikan nasional. Pasal 3 UU Sisdiknas
menyatakan, "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi man usia yang
beriman dan bertakwa kepada T uhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab."
Kalau kita lihat dari perspektif pendidikan Islam, rumusan tujuan
pendidikan nasional sesungguhnya sangat ideal. Meskipun redaksinya

45
berbeda, substansinya lebih kurang sama dengan tujuan pendidikan
Islam yang dirumuskan oleh para pakar pendidikan Islam, sebagaimana
sudah kita diskusikan pada bab sebelumnya. Adanya penekanan pada
keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan, menjadi semacam pengakuan
terhadap pentingnya tauhid sebagai dasar bagi pendidikan Islam.
Sementara secara keseluruhan, rumusan tersebut menunjukkan bahwa
sistem pendidikan nasional mengakui keberadaan manusia sebagai
makhluk yang terdiri dari fisik, psikis, dan ruhani.
Implikasinya, menurut Khamim Zarkasih Putro (2010) adalah
menuntut terwujudnya suasana belajar dan proses pembelajaran yang
islami, kondusif, harmonis, dan dialogis. Suasana belajar dan proses
pembelajaran seperti ini akan mendorong peserta didik untuk secara
aktif mengembangkan potensi dirinya sehingga ia memiliki kekuatan
iman, kedalaman ilmu, dan keterampilan profesional yang dengan
semuanya itu ia dapat mengemban tugas sebagai hamba sekaligus
khalifah Allah di bumi (Putro, 2010).
Kedua, prinsip penyelenggaraan pendidikan agama. Dalam
perspektif pendidikan Islam, akidah (tauhid) haruslah menjadi fondasi
bagi seluruh bangunan utuh pendidikan. Tanpanya, bangunan
pendidikan Islam akan rapuh dan keropos. Oleh karena itu apa jadinya
kalau pembangunan fondasi ini diserahkan kepada pihak lain yang
sama sekali tidak paham atau tidak peduli dengan akidah islamiyah?
Memang, setiap individu berhak untuk memilih atau bahkan
berpindah agama, tetapi sejatinya pilihan tersebut baru absah serelah
ia beranjak dewasa. Sebelum itu, agama anak-anak diidentifikasi
dengan agama orangruanya (Mudzhar, 2006). Dengan demikian,
upaya memaksa anak unruk memilih atau berpindah agama dapat
dikategorikan ke dalam tindakan melanggar hak asasi manusia. Oleh
karena itu merupakan suatu idealitas tersendiri manakala ayat (1) Pasal
4 UU Sisdiknas menegaskan bahwa "Pendidikan diselenggarakan

46
secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan
menjunjung tinggi hak asasi man usia, nilai keagamaan, nilai kultural,
dan kemajemukan bangsa."
Prinsip penyelenggaraan pendidikan agama yang diatur dalam
Pasall2 ayat 1 butir a UU Sisdiknas ini dimaksudkan untuk secara adil
menghormati hak asasi setiap individu untuk beragama, menghindari
kerancuan, dan kecampuradukan dalam beragama serta menghindari
arogansi pemeluk suatu agama yang dipeluknya kepada pemeluk
agama lain. Aturan ini tentu saja merupakan kondisi yang ideal
bagi penyelenggaraan pendidikan Islam di tengah pluralitas bangsa
Indonesia, juga di tengah kondisi banyaknya anak-anak Muslim yang
bersekolah di sekola-sekolah non-Islam.
Selain itu, ketentuan ini setidaknya mempunyai tiga tujuan, yaitu
pertama, umuk menjaga keutuhan dan kemurnian ajaran agama; kedua,
adanya guru agama yang seagama dan memenuhi syarat kelayakan
mengajar diharapkan dapat menjaga kerukunan hidup beragama bagi
peserta didik yang berbeda agama tapi belajar pada satuan pendidikan
yang sama; ketiga, pendidikan agama yang diajarkan oleh pendidik yang
seagama menunjukkan profesionalitas dalam penyelenggaraan proses
pembelajaran pendidikan agama. Demikian penjelasan umum atas PP
Nomor 55/2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan.
Ketiga, bentuk penyelenggaraan pendidikan agama. UU Sisdiknas
secara tegas dan eksplisit menyebut lembaga-lembaga pendidikan
Islam sebagai lembaga pendidikan nasional. Madrasah disebur sebagai
lembaga pendidikan formal yang diakui baik pada jenjang pendidikan
dasar maupun menengah. Demikian juga diniyah, pesantren, dan
Raudhatul Athfal (RA) sebagai lembaga pendidikan khas Islam, semua
disebut secara eksplisit dalam UU tersebut.
Pasal 17 ayat (2) menegaskan: "Pendidikan dasar berbentuk
Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah lbtidaiyah (MI) atau bentuk lain

47
yang sederajat sena Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah
Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat." Selanjutnya,
pada Pasal18 ayat (3) dinyatakan: "Pendidikan menengah berbentuk
Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK),
atau bentuk lain yang sederajat."
Selain madrasah, lembaga pendidikan Islam lain yang juga
disebut secara eksplisit dalam UU Sisdiknas. Dengan demikian, berarti
diakui eksistensinya adalah diniyah dan pesantren. Dalam Pasal 30
ayat (4) disebutkan: "Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan
diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain
yang sejenis."
Sementara itu, Raudhatul Athfal (RA) juga diakui sebagai
salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan formal pada jenjang
prasekolah atau PendidikanAnak Usia Dini (PAUD). Dalam Pasal28
ayat (3) dinyatakan: "Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan
formal berbentuk Taman Kanak-kanak (TK), Raudatul Athfal (RA),
atau bentuk lain yang sederajat."
Dari ulasan singkat di atas, selintas terlihat bahwa posisi
pendidikan Islam dalam UU Sisdiknas cukup ideal. Ketentuan-
ketentuan di dalamnya, menurut M. As'ad Thoha, menegaskan
bahwa status lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti madrasah
sama dengan lembaga pendidikan formallainnya (Thoha, 2011: 265).
Pengakuan ini membuat posisi madrasah secara yuridis-formal setara
dengan sekolah, sekaligus menolak anggapan bahwa madrasah adalah
lembaga pendidikan nomor dua.
"Posisi pendidikan Islam dalam Sisdiknas sudah setara sehingga
tidak ada lagi istilah mendapat kelas dua," begitu kata Muhammad
Ali, (waktu itu) Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian
Agama RI (21/10/2010), sebagaimana dikutip dalam berita bertajuk

48
"Pendidika? Islam Setara dengan Pendidikan U mum" dalam http:!!
www.jurnas. com.
Meskipun demikian, ada juga yang memandang bahwa
idealitas itu masih sebatas wacana atau bahkan sekadar lipstik belaka.
Aries Munandar (2011), misalnya, menilai bahwa pengakuan dan
pencantuman madrasah dalam UU ini sekadar "pelengkap" komponen
utama pendidikan nasional. Sebab, dalam tataran praksis, jelas sekali
terlihat bahwa pemerintah lebih menaruh perhatian kepada lembaga
pendidikan yang bernaung di bawah Kemdikbud, baik dari sisi desain
pengembangan, alokasi anggaran, maupun teknis peningkatan mutu
persekolahan.
Memang, harus diakui dengan jujur bahwa sistem pendidikan di
Indonesia, betapa pun sudah mengakui pendidikan Islam sebagai bagian
dari sistem pendidikan nasional yang diatur dalam UU Sisdiknas, masih
menempatkan lembaga pendidikan Islam seperti madrasah pada posisi
yang marginal. Bukti paling konkret dari asumsi ini adalah kurangnya
perhatian pemerintah terhadap pendidikan madrasah, termasuk
yang paling signifikan di antaranya adalah minimnya anggaran yang
dialokasikan untuk penyelenggaraan pendidikan di madrasah.
Tak heran apabila jumlah sekolah dasar (SD) di suatu wilayah
hampir selalu lebih banyak daripada jumlah Madrasah Ibtidaiyah
(MI). Lalu, kalau diperhatikan, perbandingan jumlah MI negeri (MI
yang dibiayai oleh pemerintah) di suatu wilayah selalu lebih sedikit
daripada MI swasta (MI yang dibiayai oleh masyarakat); kebalikannya
adalah jumlah SD negeri yang selalu lebih banyak daripada SD swasta.
Sekadar contoh, penelitian Muhyidin (20 11) menunjukkan bahwa di
wilayah Kabupaten Sleman, perbandingan jumlah SD dan MI sangat
signifikan.
Mengutip Data Pokok Pendidikan Wilayah Dinas Pendidikan
Kabupaten Sleman yang dimuat di situs resmi Dinas Pendidikan

49
Kabupaten Sleman, Muhyidin menyebut jumlah SD di Kabupaten
Sleman total mencapai 508 buah. Dari jumlah tersebut, 383 buah
(75,4%) di antaranya berstatus negeri, sedangkan sisanya sebanyak
125 buah (24,6%) berstatus sekolah swasta. Jumlah tersebut teramat
kontras ketika dibandingkan dengan jumlah total MI yang hanya 21
buah, 19 buah (90,5%) di antaranya berstatus swasta dan hanya 2 buah
(9,5%) yang negeri (Muhyidin, 2011: 2). Kalau data lokal ini ditarik
ke daerah lain atau ke tingkat nasional, tentunya akan menjadi fakta
yang cukup memprihatinkan.
Dari kenyataan ini, bukan tanpa alasan jika madrasah dianggap
sebagai lembaga pendidikan kelas dua. Hampir menjadi fenomena
umum bahwa banyak madrasah yang menerima siswa dari sisa-sisa
seleksi masuk sekolah, dan sudah bukan rahasia lagi jika pada suatu saat
sebuah madrasah mengalami kesulitan luar biasa untuk mendapatkan
siswa, sementara pada saat yang sama sekolah di dekatnya mengalami
surplus sehingga harus menolak banyak calon siswa yang mengantre.
Dampak lebih lanjutnya adalah munculnya stigma di kalangan
masyarakat bahwa kualitas madrasah secara umum di bawah sekolah
(Muhyidin, 2011: 2).

B. Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia

Tidak mudah membuat kategorisasi lembaga pendidikan Islam di


Indonesia. Sebab, selama ini ia menjelma dalam pranata kehidupan dan
menyatu dalam kiprah masyarakat sehingga modelnya berwarna-warni
sesuai dengan aliran komunitas yang menjadi basisnya (Fadjar, 2009:
154). N amun, untuk memudahkan diskusi kita dalam bah ini, penulis
berusaha membuat kategorisasi lembaga pendidikan Islam secara garis
besar.
Menurut jenjangnya, lembaga pendidikan Islam di Indonesia dapat
dibedakan ke dalam dua kategori, yaitu pendidikan dasar-menengah

50
dan pendidikan tinggi. Pada jenjang dasar-menengah, lembaga
pendidikan Islam dapat dibedakan ke dalam tiga jenis, yaitu pendidikan
pesantren, sekolah, dan madrasah. Semen tara pada jenjang pendidikan
tinggi, lembaga pendidikan Islam dapat dibedakan ke dalam dua
kategori, yaitu Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) dan Pendidikan
Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum (PTU).
Secara sederhana, kategorisasi lembaga pendidikan Islam di
Indonesia dapat diskemakan sebagai berikut.

PENDIDIKAN
ISLAM
I
I
I
I
PENDIDIKAN DASAR-
MENENGAH
I I PENDIDIKAN
TINGGI
I
I
I J I I
SEKOLAH
PO NOOK ISLAM&PAI MADRASAH PTI PAIDI
PESANTREN Dl SEKOLAH PTU
UMUM

Skema 1

Kategorisasi Lembaga Pendidikan Islam

Pertama, pesantren. Pesantren merupakan lembaga pendidikan


Islam tertua di Indonesia dan dipandang sebagai lembaga pendidikan
tradisional Islam indigenous karena tradisinya yang panjang di
Indonesia. MenurutAzyumardiAzra (2009), pesantren pada umumnya
didirikan oleh kiai yang berafiliasi pada N ahdlatul Ulama (NU).
Kedua, sekolah. Dari perspektif sejarah, sekolah (Islam) merupakan
perkembangan lebih lanjut dari sistem sekolah Belanda yang pertama
kali diadopsi Muhammadiyah sejak organisasi ini berdiri pada 1912.
Muhammadiyah tidak sekadar mengambil alih sistem sekolah Belanda,

51
tetapi juga memasukkan pelajaran agama Islam, yang sekarang dikenal
dengan istilah Ismuba (Al-Islam, Kemuhammadiyahan, dan bahasa
Arab). Sampai sekarang, Muhammadiyah menaungi lebih dari 5.632
sekolah dasar dan menengah. Pada perkembangan selanjutnya, muncul
sekolah-sekolah Islam seperti Al-Azhar, Al-Izhar, Az-Zahrah, Madania,
Dwiwarna, Athirah, Muthahhari, Sultan Agung, Al-Khairat, Nurul
Fikri, Al-Hikmah, Global Islamic School, dan banyak lagi (Azra,
2009).
Selain di sekolah Islam, pendidikan Islam juga diselenggarakan
di sekolah umum, baik negeri maupun swasta, mulai dari SD sampai
SMA/K. Pendidikan Islam di sekolah umum dikemas dalam mata
pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) yang terdiri dari lima aspek,
yaitu Akidah, Akhlak, Al-Quran dan Hadis, Fikih, dan Sejarah
Kebudayaan Islam.
Ketiga, madrasah. Pada awalnya, madrasah di Indonesia
merupakan lembaga pendidikan yang umumnya didirikan kalangan
modernis, seperti Jami'at Al-Khair dan Al-Irsyad untuk merespons
ekspansi sekolah-sekolah model Belanda dan sekolah-sekolah
Muhammadiyah yang mengadopsi sistem persekolahan Belanda (Azra,
2009). Dalam perkembangan selanjutnya, sistem dan kelembagaan
madrasah semakin banyak diadopsi di pesantren, seperti di Pesantren
Darul Ulum dan TebuirengJombang, Lirboyo Kediri, Buntet Cirebon,
Gontor Ponorogo, Pabelan Magelang, Diniyah Putri Padang Panjang,
dan Darunnajah Jakarta. Lalu, Persyarikatan Muhammadiyah pada
1923 juga mendirikan Madrasah Muallimin dan Muallimat di
Yogyakarta.
Selanjutnya, dari segi kuantitas, madrasah berkembang sangat
pesat. Menurut data dari Ditjen Pendidikan Islam, hingga tahun 2007
jumlah madrasah mencapai 22.189 MI, 12.619 MTs, dan 5.043 MA.

52
Besarnya jumlah madrasah ini tentu merupakan tantangan tersendiri
bagi umat Islam untuk juga meningkatkan kualitasnya.
Dari segi kualitas, madrasah pun sesungguhnya mampu menjelma
menjadi lembaga pendidikan dasar dan menengah alternatif di
Indonesia, yang secara kualitas diakui dan disegani. Beberapa di
antaranya yang dapat disebut di sini adalah Madrasah T erpadu (MIN,
MTsN, dan MAN) di Malang, MAN Insan Cendekia, Madrasah Darul
Ulum di Jombang, Assalam di Surakarta, Madrasah Diniyah Putri
Padang Panjang, serta Muallimin dan Muallimat Muhammadiyah di
Yogyakarta.
Keempat, perguruan tinggi. Dalam buku Transformasi JAIN
Menjadi UIN (2006), disebutkan bahwa gagasan pendirian pendidikan
tinggi Islam di Indonesia merupakan salah satu mata rantai sejarah
perjuangan umat Islam Indonesia sejak awal abad 20. Saat itu muncul
kesadaran ten tang pembaruan sistem pendidikan Islam yang dilakukan
oleh organisasi-organisasi Islam, seperti Jam'iat Al-Khair (1905) di
Jakarta, Sarekat Islam (1912) di Solo, Muhammadiyah (1912) di
Yogyakarta, Al-Irsyad (1915) diJakarta, Persatuan Umat Islam (1917)
di Majalengka, Persis (1923) di Bandung, dan Nahdlatul Ulama (1926)
di Surabaya.
Pada 1938, Dr. Satiman Wiryosandjoyo melalui majalah
Pedoman Masyarakat mencetuskan ide pendirian Sekolah Tinggi Islam
(STI) sebagai tempat mendidik mubaligh. Tujuh tahun berikutnya,
tepatnya pada bulan April 1945, Masyumi berhasil membentuk
Panitia Perencana pendirian STI di bawah pimpinan Moh. Hatta. J uli
1945, STI resmi berdiri di Jakarta. Proses ini sempat terhenti karena
Jakarta dikuasai oleh tentara Sekutu Belanda, STI dibuka kembali di
Yogyakarta pada tanggal 10 April 1946.
Pada 10 Maret 1948, STI berubah menjadi Universitas Islam
Indonesia (UII) dengan empat Fakultas, yaitu Fakultas Agama,

53
Hukum, Ekonomi, dan Pendidikan. Kemudian, melalui Perpres No
34 tahun 1950 tertanggal 14 Agustus 1950, Fakultas Agama UII
dinegerikan menjadi Perguruan Tinggi Agama Islani N egeri (PTAIN)
yang berkedudukan di Yogyakarta. Selanjutnya, melalui Perpres No 11
tahun 1960, PTAIN dan AD IA (Akademi Dinas Ilmu Agama) dilebur
menjadi Institut Agama Islam Negeri (WN) yang berkedudukan di
Yogyakarta. Selanjutnya, lAIN terus berkembang di berbagai kota di
seluruh Indonesia. Sampai tahun 2011, jumlah PTAIN mencapai 53,
dengan rincian 6 UIN, 13 WN, dan 34 STAIN.
Sementara itu, UII, setelah Fakultas Agamanya dinegerikan
menjadi PTAIN, berhasil bertahan dan terus berkembang. Disusul
kemudian oleh PTAIS-PTAIS lain seperti UMI di Makassar, U nisba di
Bandung, U nisula di Semarang, U nisma di Malang, dan Universitas-
Universitas di bawah pengelolan Persyarikatan Muhammadiyah yang
tergabung dalam Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM). Sampai
sekarang jumlah PTAIS di Indonsia tidak kurang dari 400 buah.
Seperti halnya pendidikan Islam di sekolah, PAI tidak hanya
dikembangkan di PTAIN dan PTAIS. PAl juga dikuliahkan di
Perguruan Tinggi Umum (PTU) baik negeri maupun swasta, yang
dikemas dalam kegiatan intrakurikuler maupun ekstrakurikuler. U ntuk
kegiatan keislaman ekstrakurikuler di PTU, yang paling menonjol
adalah Jamaah Salahuddin UGM Yogyakarta, Masjid Jamik UI
Jakarta dan Depok, serta Masjid Salman ITB Bandung (Gatra, 2009:
112-115; 118-126).

C. Penyelenggaraan Pendidikan Islam di Indonesia

Reformasi 1998 telah menjadi semacam tonggak pancang bagi


pembaruan sistem pendidikan di Indonesia. Diawali amandemen
UUD 1945 oleh MPR/DPR tahun 2002, terutama Pasal 31 yang
mengamanatkan pada negara untuk menyempurnakan sistem

54
pendidikan nasional, satu demi satu lahir peraturan perundang-
undangan di bidang pendidikan. Mulai dari UU Sisdiknas Nomor
20/2003, lalu Peraturan Pemerintah Nomor 19/2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan (SNP) yang mengatur delapan standar pendidikan
nasional, disusul kemudian peraturan-peraturan lain yang merupakan
turunan darinya.
Lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan tersebut tentu
saja membawa implikasi bagi pendidikan Islam, sebab bagaimanapun
juga pendidikan Islam merupakan subsistem dari sistem pendidikan
nasional. Lembaga pendidikan Islam yang mampu memenuhi delapan
standar tersebut semakin berkembang dan mencapai kemajuan.
Sebaliknya, yang tidak mampu memenuhinya semakin terseok-seok,
bahkan banyak di antaranya gulung tikar (Sutrisno, 2011: 79).
Kalau berbicara idealitas, kita sudah membuktikan bahwa dari
setidaknya tiga aspek, sistem pendidikan nasional yang diatur dalam
UU Sisdiknas sudah cukup ideal bagi penyelenggaraan pendidikan
Islam. Namun demikian, pada kenyataannya kondisi yang ideal
itu belum cukup mampu untuk menghasilkan penyelenggaraan
pendidikan Islam yang berkualitas. Dengan kata lain, kondisi ideal
yang diusung oleh UU Sisdiknas tidak dengan sendirinya membawa
perbaikan dalam tataran praksis penyelenggaraan pendidikan Islam.
Kenyataan menunjukkan bahwa masing-masing dari ketiga jenis
pendidikan Islam dasar-menengah di Indonesia memiliki problem
sendiri-sendiri.
Pertama, pesantren. Sebagaimana diketahui, pada umumnya
pesantren fokus pada ilmu-ilmu tradisional (agama) seperti tafsir,
hadis, fikih, tauhid/akidah, akhlak, tasawuf, dan bahasa Arab. Pada
perkembangan selanjutnya, pesantren merasakan keterbatasannya
karena hanya mengembangkan ilmu-ilmu agama saja. Oleh karena
itu, para pengelola pesantren mulai memunculkan kesadaran untuk

55
mengembangkan ilmu-ilmu modern (umum) seperti matematika, ilmu
pengetahuan alam, kesehatan, ilmu-ilmu sosial, dan bahasa Inggris, di
samping ilmu-ilmu agama. Tetapi untuk mengembangkan ilmu-ilmu
modern tersebut, mereka masih menghadapi berbagai problem. Belum
adanya pengalaman menjadi kendala paling serius yang dihadapi oleh
pesantren.
Di sam ping itu, pesantren belum sepenuhnya bebas dari problem
stigma negatif seperti dianggap eksklusif, radikal, fundamentalis, dan
dikait-kaitkan dengan isu terorisme. Di pihak lain, pengelola pesantren
pada umumnya memiliki keyakinan bahwa jika lulusan pesantren
dapat mencapai kebahagiaan di akhirat, secara otomatis mereka akan
dapat mencapai kebahagiaan dunia. Namun, kenyataan menunjukkan
bahwa sebagian lulusan pesantren belum cukup memiliki kemampuan
umuk meres pons kehidupan di dunia dengan baik. Dengan demikian,
semakin terasa perlunya pesantren mengembangkan ilmu-ilmu
tradisional sekaligus ilmu-ilmu modern guna mencapai kebahagian,
baik di dunia, maupun di akhirat.
Kedua, sekolah. Berkebalikan dengan situasi yang dihadapi
pesantren, sekolah-sekolah Islam sudah relatif lama memiliki
pengalaman dalam mengembangkan ilmu-ilmu umum. Hal ini
disebabkan sejak awal sekolah Islam mengadopsi sistem sekolah
Belanda yang modern. Oleh karena itu, sekolah-sekolah Islam relatif
kuat dalam ilmu-ilmu umum. Tetapi, ternyata keunggulan sekolah
Islam dalam ilmu-ilmu umum belum menjadi jaminan untuk
mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Para pengelola sekolah
Islam pun merasa perlu umuk mengembangkan ilmu-ilmu agama,
di samping ilmu-ilmu umum. Dengan demikian, mereka masih
menghadapi problem dengan pengembangan ilmu-ilmu agama di
sekolah Islam. Secara umum, penyelenggaraan PAl di sekolah masih

56
kebanjiran kritik, seperti terlalu normatif, doktriner, cognitive oriented,
dan masih belum bisa membentuk kepribadian Muslim.
Ketiga, madrasah. Pada eksistensinya, madrasah didirikan dengan
maksud umuk mengembangkan lembaga pendidikan Islam yang
memiliki keunggulan dalam ilmu-ilmu agama seperti pesantren dan
memiliki keunggulan dalam ilmu-ilmu umum sebagaimana sekolah,
ternyata justru menjadi serbatanggung. Namun pada kenyataannya,
malah kebanyakan madrasah masih menghadapi problem dari kedua
jenis ilmu tersebut. Dari segi ilmu agama, lulusan madrasah pada
umumnya masih kalah dari pesantren, sedangkan dari segi ilmu umum
masih kalah dari sekolah. Bahkan, Madrasah menghadapi problem
lebih serius, seperti dianggap sebagai lembaga pendidikan kurang
kompetitif, kualitas lulusannya masih dipertanyakan, 40% gurunya
mismatch, sarana dan prasarana pendidikan serbakurang, manajemen
pengelolaan kurang profesional, dan sebagainya.
Problem-problem yang dihadapi madrasah disebabkan oleh
berbagai faktor yang sangat kompleks. Dari segi manajemen, madrasah
dikelola Kementerian Agama yang masih sentralistik, sedangkan
sekolah sudah dikelola secara desentralistik dengan prinsip otonomi
daerah. Konsekuensinya, banyak pemerintah daerah yang tidak merasa
ikut memiliki madrasah. Oleh karena itu, kebanyakan madrasah tidak
mendapatkan anggaran dari APBD (Provinsi dan Kabupaten/Kota).
Madrasah juga tidak mendapatkan kesempatan untuk mengikuti
pelatihan-pelatihan pengembangan tenaga pendidik dan kependidikan
serta fasilitas-fasilitas lain dari pemerintah daerah.
Selain pesantren, sekolah Islam, dan madrasah, PTAI juga
menghadapi problem yang serius. Menurut Zamroni, walaupun
jumlahnya relatifbanyak (lebih dari 453 buah), dalam peta perguruan
tinggi di Indonesia kebanyakan PTAI masih menempati posisi di
pinggiran (Zamroni, 1997: 28-31). Selain itu, orientasi pendidikan

57
tinggi Islam, sebagai subsistem pendidikan tinggi nasional, ikut
terpengaruh paradigma transfer of knowledge, sebatas yang terkait
erat dengan masalah ' kerja dan perolehan gelar akademik, bukan
untuk mengembangkan kemampuan manusia secara kaffah (Djohar,
2002).
Memasuki era globalisasi, PTAI menghadapi problem serius terkait
kualitas lulusannya. PTAI masih menghadapi berbagai tantangan dan
masalah, antara lain sebagai berikut. Pertama, setelah enam lAIN/
STAIN berubah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) tidak
hanya berkesempatan mengembangkan ilmu-ilmu agama, tetapi juga
ilmu umum (sosial, alam, dan humaniora). Dengan perubahan itu,
diharapkan upaya untuk mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum
dapat terealisasi. Kedua, dengan peningkatan otonomi yang lebih besar,
PTAI diharapkan dapat mengembangkan dirinya secara lebih maksimal.
Ketiga, peningkatan akuntabilitas PTAI dari segi kelembagaan dan
akademis sehingga alumninya lebih profesional, ahli, dan terampil.
Keempat, peningkatan kerja sama dengan perguruan tinggi lain, guna
menciptakan sinergi yang dapat mendorong akselerasi peningkatan
mutu pendidikan di PTAI Qalal dan Supriadi, 2001: 368-369).
Untuk memenuhi tuntutan tersebut, PTAI perlu mengkaji
ulang visi, misi, dan paradigma yang mendasarinya. Bangunan ilmu
pengetahuan yang dikotomik an tara ilmu-ilmu tradisional (agama) dan
ilmu-ilmu modern (umum) harus diubah menjadi pandangan baru yang
lebih holistik atau setidak-tidaknya bersifat komplementer (Tilaar, 1998:
207-208). PTAI memiliki peran yang sangat strategis untuk mengurai
benang kusut krisis pemikiran dalam Islam yang berdampak pada
stagnasi dan kemunduran peradaban umat Islam. Sebab, bagaimanapun
juga, reformasi umat Islam yang berorientasi pada kemajuan harus
bermula dari pendidikan, sementara PTAI merupakan wahana yang

58
ideal untuk mengembangkan tradisi ilmiah umat Islam yang peduli
terhadap persoalan-persoalan bangsa (Mastuhu, 1999: x).
Berbagai problem penyelenggaraan pendidikan Islam di atas akan
kelihatan lebih kompleks lagi kalau kita kaitkan dengan jiwa pendidikan
Islam yang sempat kita singgung sekilas pada bab sebelumnya.
Sutrisno (2011: 18-20) mendedahkan secara gamblang bagaimana
penyelenggaraan pendidikan Islam di T anah Air masih lebih banyak
berkutat pada aspek fisik daripada jiwanya. Menurutnya, hal itu dapat
dilihat dari bagaimana para pengelola pendidikan Islam selama ini telah
keliru memperlakukan input, proses, dan output pendidikan.
Dalam pengelolaan pendidikan dikenal adanya input, proses, dan
output. Input-nya adalah calon siswa, prosesnya adalah pembelajaran
selama di sekolah, dan output-nya adalah lulusan atau alumni dari
sekolah tersebut. Dalam merancang proses pembelajaran, idealnya
lembaga pendidikan berangkat dari kondisi peserta didik, demikian
pula ketika mengimplementasikan dan mengevaluasinya. Sebab, peserta
didiklah yang mengalami proses pendidikan; proses membaca, proses
memahami, proses menemukan, dan proses menjadi alumni.
Sebagai contoh, ketika mau memulai tahun ajaran baru, diketahui
bahwa motivasi belajar peserta didik secara umum rendah sehingga
perlu ditingkatkan. Oleh karena itu kurikulum harus mencakup
desain program yang dapat meningkatkan motivasi peserta didik,
misalnya training. Setelah motivasi mereka cukup tinggi, baru dimulai
pembelajaran di ruang kelas.
Pembelajaran di ruang kelas pun harus berangkat dari kondisi
peserta didik (student centered), misalnya dengan menggali terlebih
dahulu kebutuhan mereka baru kemudian materi dan metodenya
disesuaikan. Selanjutnya, selama proses pembelajaran berlangsung,
seharusnya lembaga pendidikan terus berfokus pada kebutuhan
peserta didik. Kebutuhan akan guru yang kompeten, sumber dan alat

59
belajar yang lengkap, ruang kelas dan lingkungan yang kondusif, dan
sebagainya, semua perlu disediakan. Sebab, semua itu dibutuhkan oleh
peserta didik untuk berproses menjadi lulusan yang kompeten.
Untuk memenuhi kebutuhan peserta didik akan guru yang
kompeten , misalnya, lembaga pendidikan perlu menerapkan
penjaminan mutu guru. Dibuatlah rancangan cara mengevaluasi
kinerja guru, yang diperlukan guna mengevaluasi guru. Hasil dari
evaluasi guru berupa data yang kemudian diolah untuk mengetahui
indeks prestasi kinerja guru. Dari indeks prestasi kinerja guru itulah
kemudian diketahui guru yang kompeten, cukup kompeten, dan
kurang kompeten. Lalu, diketahui pula guru-guru yang memiliki
kinerja tinggi, sedang, dan kurang. Selanjutnya, guru-guru yang kurang
kompeten ditingkatkan kompetensinya melalui berbagai macam
kegiatan peningkatan mutu yang relevan, seperti pelatihan, kursus,
seminar, workshop, dan sebagainya. Demikian juga guru yang indeks
kinerjanya kurang harus ditindaklanjuti dengan program peningkatan
mutu guru yang relevan. Cara ini harus dilakukan secara terus-menerus
dan berkelanjutan, untuk memastikan bahwa kebutuhan peserta didik
akan guru yang kompeten terpenuhi.
Persoalannya, kebanyakan lembaga pendidikan Islam terjebak pada
persoalan fisikal seperti membeli forniture yang sebetulnya masih bisa
digunakan, memperbaiki pagar dan gapura sekolah yang sebetulnya bel urn
mendesak, dan sebagainya. Sementara hal-hal lain yang sesungguhnya
lebih krusial seperti penyediaan sumber belajar yang memadai, pengadaan
peralatan dan media pembelajaran yang representatif, dan sebagainya,
sering diabaikan. Akibatnya, penyelenggaraan pendidikan Islam belum
mampu menghasilkan output yang berkualitas oleh karena prosesnya
sendiri tidak bagus. Bagaimana mungkin lembaga pendidikan akan
menghasilkan lulusan yang berkualitas, kalau proses penyelenggaraannya
sendiri sudah tidak heres?

60
D. Kurikulum Pendidikan Islam di Indonesia

Diskusi tentang kurikulum pendidikan Islam di sini merujuk pada


pendidikan formal yang kurikulumnya ditetapkan oleh pemerintah.
Berkaitan dengan definisi kurikulum yang diacu, sekadar untuk
mempersingkat pembicaraan-mengingat banyaknya definisi yang
dikemukakan oleh para ahli-adalah definisi yang diberikan oleh PP
No. 19/2005. Dalam Pasall PP ini, yang dimaksud kurikulum adalah
seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Dari segi waktu, kita akan membatasi pembicaraan ini
pascakemerdekaan Indonesia. Secara substansial, diskusi kita pada
bah ini tidak akan lepas dari konteks kurikulum pendidikan nasional.
Sebab, bagaimanapun juga, kebijakan kurikulum pendidikan Islam
selalu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan nasional.
Kalau kita tilik dari sejarah pendidikan nasional, yang mana
pendidikan Islam menjadi bagian di dalamnya, kita dapat menjumpai
fakta bahwa kurikulum pendidikan nasional telah mengalami
perubahan berulang kali. Perubahan tersebut tidak hanya terkait
pengertiannya yang terus-menerus mengalami perkembangan, tetapi
juga pada isinya. Perubahan itu sendiri merupakan suatu keniscayaan,
mengingat bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana pendidikan
yang tidak bisa dilepaskan dari kondisi masyarakat yang selalu
mengalami perubahan dan perkembangan yang dinamis sehingga
dengan sendirinya kurikulum pun dituntut untuk meresponsnya secara
dinamis pula.
Secara umum, sejarah perkembangan kurikulum pendidikan
nasional-khususnya pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah---dapat dipetakan sebagai berikut.

61
1. Rencana Pelajaran 1947
Dapat dikatakan bahwa kurikulum ini merupakan warisan
kolonial sehingga masih relatif banyak dipengaruhi oleh sistem
pendidikan Belanda dan Jepang. Dalam kurikulum ini, penekanan
lebih banyak dilakukan pada pembangunan karakter manusia
Indonesia yang merdeka dan berdaulat, serta tumbuhnya kesadaran
berbangsa dan bernegara. Penekanan ini dilakukan karena bangsa
Indonesia kala itu baru saja terlepas dari penjajahan yang berlangsung
selama berabad-abad, yang tentu saja telah membentuk mental bangsa
menjadi inferior dan terjajah. Melalui pendidikan, diharapkan penyakit
mental itu dapat disembuhkan sehingga bangsa Indonesia mampu
memandang dirinya sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang merdeka
dan berdaulat.
Rencana Pelajaran 1947 ini baru dilaksanakan di sekolah-sekolah
pada 1950, sehingga sejurnlah kalangan menyebut sejarah perkembangan
kurikulum di Indonesia baru dimulai pada 1950. Dalam kurikulum ini,
pendidikan Islam sudah memperoleh porsi dalam bentuk pendidikan
agama yang boleh diajarkan di sekolah rendah (mulai kelas 4) dan
sekolah lanjutan. Syarat penyelenggaraan pendidikan agama pada
periode ini adalah terdapat minimal 10 siswa dalam satu kelas yang
menganut satu agama, sedangkan dasar penyelenggaraannya SKB Dua
Menteri (Menteri PP&K dan Menteri Agama) tahun 1946.

2. Rencana Pelajaran Terurai 1952


Kurikulum ini disebut "terurai" karena sudah lebih menegaskan
secara detail mata pelajaran yang harus diajarkan di sekolah. Di
dalam kurikulum ini ditentukan jenis-jenis mata pelajaran yang harus
disampaikan kepada siswa, yang meliputi bahasa Indonesia, bahasa
Daerah, Berhitung, Ilmu Alam, Ilmu Hayat, Ilmu Bumi, dan Sejarah.

62
Sementara itu, buku-buku sumber yang bertentangan dengan dasar
negara dan tujuan revolusi nasional tidak boleh digunakan.
Pelaksanaan pendidikan agama pada kurikulum ini didasarkan
pada Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran (UUPPP)
Nomor 4 Tahun 1950 yang secara khusus mengatur masalah
pendidikan agama. Pasal20 UU ini mengatur: "Dalam sekolah-sekolah
Negeri diadakan pelajaran agama, orangtua murid menetapkan apakah
anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut. Cara penyelenggaraan
pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri diatur dalam peraturan
yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, bersama
dengan Menteri Agama."
Selanjutnya, muncul SKB Dua Menteri tahun 1951 yang
merupakan revisi dari SKB sebelumnya. SKB ini menegaskan bahwa
pendidikan agama secara resmi diberikan di sekolah rendah dan
lanjutan, dengan alokasi waktu 2 jam pelajaran per minggu dengan
syarat yang sama seperti pada SKB sebelumnya. Dalam SKB ini juga
diatur antara lain bahwa di lingkungan yang istimewa, pendidikan
agama dapat dimulai pada kelas 1, dan jumlah jamnya dapat ditambah
menurut kebutuhan, tetapi tidak melebihi 4 jam/seminggu; pendidikan
agama diberikan menurut agama murid masing-masing; murid dalam
suatu kelas yang memeluk agama lain dari agama yang sudah diajarkan
pada suatu waktu, boleh meninggalkan kelasnya selama pelajaran itu;
dan pendidikan agama diberikan kepada murid-murid sedikitnya 10
orang dalam satu kelas dan mendapat izin dari orangtua/walinya.
Selain mengusahakan masuknya pelajaran agama ke dalam
kurikulum pendidikan nasional (untuk sekolah umum), Departemen
Agama juga berusaha menyusun kurikulum pendidikan untuk madrasah
dan pesantren. U ntuk tujuan tersebut, dibentuklah kepanitiaan yang
diketuai oleh KH. Imam Zarkasyi dari Pondok Modern Gonto r
Ponorogo. Kepanitiaan ini berhasil menyusun kurikulum yang

63
kemudian disahkan oleh Menteri Agama pada 1952. Pada kurikulum
tersebut, pelajaran agama di madrasah memperoleh porsi 25% dari
seluruh mata pelajaran yang diajarkan.

3. Rencana Pendidikan 1964


Di pengujung era Orde Lama, Presiden Soekarno menerapkan
Rencana Pendidikan 1964 atau Kurikulum 1964. Fokus kurikulum ini
pada pengembangan lima potensi man usia, yaitu daya cipta, rasa, karsa,
karya, dan moral (Pancawardhana). Dari kelima aspek yang menjadi
fokus pendidikan nasional ini kemudian mata pelajaran diklasifikasikan
menjadi lima kelompok bidang studi, yaitu kecerdasan, emosional
(artistik), keprigelan (keterampilan), jasmani, dan moral.
Posisi pendidikan agama pada kurikulum ini masih seperti
pada Kurikulum 1952. Pada periode ini, Departemen Agama juga
mengeluarkan kurikulum madrasah, melalui SK Menteri Agama
tentang kurikulum madrasah Ibtidaiyah, tahun 1962. Meskipun
demikian, dalam praktiknya, kurikulum yang diterapkan antara satu
madrasah dengan madrasah lain berbeda, tergantung pada organisasi
yang menyelenggarakan program pendidikan tersebut. Oleh karena
itu perbandingan muatan pelajaran agama dan pelajaran umum pun
tidak sama di tiap daerah; ada yang 30%:70%, 60%:40%, dan lain-lain.
Bahkan, di Sumatra Barat banyak madrasah yang hanya memasukkan
pelajaran umum 11%, sebab murid-murid madrasah di sana juga
belajar di sekolah umum sehingga muatan pelajaran agamanya yang
diperbanyak.

4. Rencana Pendidikan 1968


Kurikulum ini merupakan penyempurnaan dari Kurikulum 1964
dan menjadi kurikulum terintegrasi pertama di Indonesia. Beberapa
mata pelajaran, seperti Sejarah, Ilmu Bumi, dan beberapa cabang ilmu

64
sosiallain dilebur menjadi Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), sedangkan
Ilmu Hayat, Ilmu Alam, dan beberapa cabang ilmu alam lainnya dilebur
menjadi satu dalam Ilmu Pengetahun Alam (IPA). Fokus kurikulum
ini tidak lagi Pancawardhana seperti pada Kurikulum 1964, tetapi pada
pembinaan jiwa Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus.
Tujuan pendidikan pada kurikulum ini adalah untuk membentuk
manusia Pancasila sejati, kuat dan sehat jasmani, serta mempertinggi
kecerdasan dan keterampilan, moral, budi pekerti, dan keyakinan
beragama. Kebijakan pendidikan agama dalam kurikulum ini masih
relatif sama dengan Kurikulum 1964.

5. Kurikulum 1975
Dalam kerangka meningkatkan kualitas pendidikan nasional,
pemerintah menyusun Kurikulum 1975 sebagai pengganti Kurikulum
1968. Kurikulum ini berorientasi pada tujuan pendidikan dan
menekankan pada efektivitas dan efisiensi waktu. Pada era kurikulum
inilah dikenal istilah satuan pelajaran yang merupakan rencana
pengajaran pada setiap bahasan, yang memuat petunjuk umum,
tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran,
kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi secara detail. Barangkali persis
seperti rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) saat ini. Ketentuan
ini berlaku pada semua mata pelajaran, tidak terkecuali pendidikan
agama di sekolah.
Pada periode ini, pendidikan Islam mengalami perubahan
posisi yang cukup signifikan. Salah satu kebijakan strategis dalam
konteks ini adalah SKB 3 Menteri (Menteri Dalam Negeri, Menteri
Agama, dan Menteri P&K) Nomor 6/1975 tentang "Peningkatan
Mutu Pendidikan pada Madrasah". Sebagai tindak lanjut dari SKB
ini, disusun pula Kurikulum Madrasah 1975 dengan perbandingan
bobot alokasi waktu 70% pelajaran umum dan 30% mata pelajaran

65
agama. Sebagai konsekuensinya, ijazah madrasah mempunyai nilai
sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat. Selain itu, siswa
madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat dan
lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang lebih
atas (Supani, 2009).
Kurikulum Madrasah 1975 ini juga mengatur komposisi pelajaran
umum dan agama, yaitu 70:30 persen. Komposisi ini tidak berorientasi
pada materi yang dipelajari, tetapi pada waktu yang disediakan. Artinya,
waktu untuk pemberian materi pelajaran agama hanya 30 persen, tetapi
materinya tetap diberikan 100 persen. Realisasi pembakuan kurikulum
madrasah ini dituangkan dalam Keputusan Menteri Agama pada tahun
1976. Sementara pelaksanaannya dilakukan secara bertahap sejak tahun
ajaran 1976 hingga tahun 1979.

6. Kurikulum 1984 (Kurikulum Cara Belajar Siswa Aktif/CBSA)


Kurikulum 1984 sering juga disebut "Kurikulum 1975 yang
Disempurnakan", hanya saja kurikulum ini mengedepankan
pendekatan proses daripada tujuan. Dengan pendekatan ini, siswa
diperlakukan sebagai subjek belajar yang menjalani proses belajar mulai
dari pengamatan, pencatatan, pengelompokan, analisis, diskusi, hingga
pelaporan hasil. Pendekatan belajar yang demikian itu pada gilirannya
melahirkan model pembelajaran yang kita kenai dengan CBSA, yang
kemudian juga menjadi nama lain Kurikulum 1984. Sementara itu,
pemberian materi pelajaran dilakukan dengan pendekatan spiral, yang
mana semakin tinggi tingkat kelas semakin banyak pula materi yang
harus dipelajari oleh siswa. Dengan demikian, materi pendidikan
agama pun mengalami peningkatan intensitas di setiap kelas dan
jenjang pendidikan.
Seiring dengan lahirnya Kurikulum 1984, lahir pula kebijakan
mengenai kurikulum pendidikan Islam yang dituangkan dalam SKB

66
2 Menteri (Menteri P&K dan Menteri Agama) tentang "Pengaturan
Pembakuan Kurikulum Sekolah Umum dan Kurikulum Madrasah".
Di dalam SKB ini antara lain diatur tentang penyamaan mutu lulusan
madrasah yang dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah-sekolah umum
yang lebih tinggi; kurikulum sekolah umum dan madrasah terdiri dari
program inti dan program khusus; program inti untuk memenuhi tujuan
pendidikan sekolah umum dan madrasah secara kualitatif sama; program
khusus (pilihan) diadakan untuk memberikan bekal kemampuan siswa
yang akan melanjutkan ke Perguruan Tinggi bagi sekolah dan madrasah
tingkat menengah atas; dan pengaturan pelaksanaan kurikulum sekolah
dan madrasah mengenai sistem kredit, bimbingan karier, ketuntasan
belajar dan sistem penilaian adalah sama.
Dari sini kemudian lahirlah Kurikulum Madrasah 1984. Dalam
kurikulum ini ditekankan bahwa proses pembelajaran dilaksanakan
dengan memerhatikan keserasian antara cara seseorang belajar
.-dan apa yang dipelajarinya. Sementara penilaian dilakukan secara
berkesinambungan dan menyeluruh untuk keperluan peningkatan
proses dan hasil belajar. Susunan kurikulum ini terdiri dari program
inti yang terdiri dari kelompok pendidikan agama dan kelompok
pendidikan dasar umum, serta program pilihan yang berbeda antara
MIIMTs dan MA. Kurikulum ini mengalami penyesuaian pada 1987
khusus untuk kurikulum MI dan MTs.

7. Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999


Menurut gagasan awalnya, Kurikulum 1994 mengusung idealisme
untuk menggabungkan antara pendekatan t ujuan (Kurikulum
1975) dan pendekatan proses (Kurikulum 1984). Namun, pada
praktiknya, kurikulum ini lebih berorientasi pada materi/isi pelajaran
(content oriented). Disebabkan orientasinya pada materi pengetahuan,
kurikulum ini memuat lebih banyak mata pelajaran yang masing-masing

67
memuat substansi materi yang banyak pula. Selain itu, muatan
kurikulum ini bersifat inti, artinya setiap daerah diberi keleluasaan
untuk mengembangkannya sesuai dengan kekhasan dan kearifan
lokal masing-masing. Akibatnya, beban belajar siswa menjadi relatif
berat. Kemunculan Suplemen Kurikulum 1999 juga tidak mengubah
pendekatan tersebut, hanya menambal sulam sebagian materi saja.
Dalam konteks pendidikan Islam, momen terpenting yang
patut dicatat pada periode ini adalah lahirnya Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) Nomor 2/1989, yang antara
lain menegaskan posisi madrasah sebagai sekolah berciri khas Islam.
Kelahiran UU ini menjadikan seluruh proses pengembangan pendidikan
Islam yang terdiri dari lembaga, struktur, kurikulum, materi dan konsep
dasar lainnya, berada pada satu paket dalam sistem pendidikan nasional.
Dalam hal kurikulum, Pasal 37 UU ini menegaskan: "Kurikulum
disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan
memerhatikan tahap perkembangan siswa dan kesesuaiannya dengan
lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta kesenian, sesuai dengan jenis dan
jenjang masing-masing satuan pendidikan."
U ntuk memenuhi amanat UU tersebut, Departemen Agama pun
mengeluarkan kerentuan yang menegaskan bahwa setiap madrasah pada
tingkat masing-masing wajib melaksanakan kurikulum mara pelajaran
yang disusun secara nasional. Oleh karena itu lahirlah Kurikulum
Madrasah 1994, yang mana pendidikan agama memperoleh alokasi
waktu antara 16-18%, sedangkan mara pelajaran umum antara
82-86%. Pada kurikulum ini, mara pelajaran umum sama dengan mara
pelajaran pada kurikulum sekolah, sedangkan mara pelajaran agamanya
lebih banyak. Sementara itu, guru diberi wewenang dan keleluasaan
untuk mengatur alokasi waktu dalam mengajarkan materi (pokok
bahasan maupun subpokok bahasan) sesuai dengan kebutuhan.

68
8. Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi/KBK)
Kurikulum 2004, yang populer dengan sebutan KBK, muncul
sebagai semacam reaksi atas ketidakpuasan masyarakat umum
terhadap Kurikulum 1994 yang content oriented Melalui kurikulum
ini, diharapkan peserta didik tidak dibebani terlalu banyak materi
yang bersifat kognitif. Oleh karena itulah, kurikulum ini menjadikan
kompetensi sebagai orientasi utama. Dengan pendekatan yang
competency oriented tersebut, KBK mengidealkan pencapaian sejumlah
kompetensi sebagai tujuan pendidikan. Kompetensi dimaksud
mencakup kompetensi pada ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik,
yang pencapaiannya dimaksudkan untuk membekali peserta didik
dengan kecakapan hid up (life skill) yang dibutuhkan dalam menjalani
kehidupannya.
KBK mencakup em pat unsur utama, yaitu pengelolaan kurikulum
berbasis sekolah, Kurikulum Dan Hasil Belajar (KHB), Kegiatan Belajar
Mengajar (KBM), dan Penilaian Berbasis Kelas (PBK). Keempat unsur
tersebut merupakan suatu kesatuan utuh yang menjadi konsep dasar
dalam pengembangan KBK. Dalam KBK ini dikenalkan juga Konsep
Kompetensi Limas Kurikulum (KLK), yang mana suatu kegiatan
pembelajaran dapat dilakukan untuk mencapai beberapa kompetensi
dari beberapa mata pelajaran.
Dalam konsep KBM, pendekatan belajar kontekstual (contextual
teaching and learning!CTL) memperoleh perhatian , yang mana
kegiatan pembelajaran didorong melalui tujuh prinsip belajar, yaitu
konstruktivisme, inkuiri, bertanya, masyarakat belajar, pemodelan,
refleksi, dan penilaian autentik. Dengan pendekatan CTL, materi
yang dipelajari oleh peserta didik dikaitkan dengan situasi dunia
nyata sehingga mereka terdorong untuk membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimiliki dengan perencanaan dalam kehidupan
mereka sehari-hari. Sementara itu, dalam konsep PBK, hasil belajar

69
dinilai dengan beragam model penilaian, yaitu penilaian tertulis (paper
and pen test), penilaian kinerja (performance test), penugasan (project) ,
hasil karya (product), dan penilaian porto folio (portfolio).
Kurikulum yang sempat diujicobakan di beberapa sekolah di
sejumlah daerah ini sesungguhnya tidak sekadar penyempurnaan
dari Kurikulum 1994. Lebih dari itu, KBK muncul sebagai respons
terhadap lahirnya UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah,
yang disusul dengan PP No. 25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah
dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom. Kedua peraturan
perundang-undangan ini pada gilirannya berimplikasi terhadap
kebijakan pengelolaan pendidikan, dari yang semula sentralistik
menjadi desentralistik. Kebijakan desentralisasi pendidikan kemudian
ditegaskan dalam UU Sisdiknas No. 20/2003, yang mana pada Pasal
51 ayat (1) diatur: "Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini,
pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan
standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis
sekolah/madrasah." Kebijakan inilah yang kemudian mewujud dalam
apa yang kita kenai dengan istilah manajemen berbasis sekolah (MBS),
yang mana sekolah/madrasah diberi kewenangan yang relatif besar
untuk mengelola kegiatan pendidikan yang diselenggarakannya.
Salah satu perbedaan yang cukup signifikan antara Kurikulum
2004 dan Kurikulum 1994 adalah dalam hal pengelompokan
muatan kurikulum. Pada Kurikulum 1994, tidak ditemui adanya
pengelompokan yang tegas antara kelompok mata pelajaran,
ekstrakurikuler, dan muatan lokal. Sementara itu, Kurikulum 2004
secara tegas membagi struktur kurikulum menjadi tiga kelompok, yaitu
kelompok mata pelajaran, kelompok kegiatan khusus, dan kelompok
muatan lokal.
Lahirnya Kurikulum 2004 tentu saja membawa dampak bagi
pendidikan Islam sehingga Kurikulum Madrasah 2004 yang muncul

70
kemudian pun menjadikan kompetensi sebagai basisnya. Struktur
kurikulum ini terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu kelompok mata
pelajaran, kegiatan belajar pembiasaan, dan alokasi waktu. Mata
pelajaran adalah kegiatan pembelajaran yang berjadwal dan berstruktur.
Sementara kegiatan pembiasaan merupakan kegiatan pembentukan
sikap dan perilaku melalui kegiatan rutin, spontan, dan pengamalan
dalam kehidupan sehari-hari.

9. Kurikulum 2006 (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan/KTSP)


Lahirnya UU Sisdiknas, yang kemudian diikuti dengan
munculnya PP No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
(PP SNP), telah membidani lahirnya Badan Standar Nasional
Pendidikan (BSNP) yang bertanggung jawab terhadap standardisasi
penyelenggaraan pendidikan nasional. PP SNP ini an tara lain mengatur
ten tang delapan standar nasional pendidikan, yaitu standar kompetensi
lulusan, standar isi, standar proses, standar pendidik dan tenaga
kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan
pendidikan, standar pembiayaan, dan standar penilaian. Kedelapan
standar ini berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan,
dan pengawasan pendidikan dalam mewujudkan pendidikan nasional
yang bermutu. Seluruh standar tersebut merupakan acuan minimal
dalam penyelenggaraan pendidikan sehingga penyelenggara pendidikan
dimungkinkan untuk melampaui standar tersebut.
Salah satu dari delapan standar tersebut adalah Standar lsi, yang
dalam PP SNP didefinisikan sebagai "ruang lingkup materi dan tingkat
kompetensi yang dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi
tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan
silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada
jenjang dan jenis pendidikan tertentu." Standar lsi mencakup lingkup
materi dan tingkat kompetensi untuk mencapai kompetensi lulusan

71
pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu, serta memuat kerangka
dasar dan struktur kurikulum, beban belajar, kurikulum tingkat satuan
pendidikan, dan kalender pendidikan/akademik.
T erlihat di sini adanya perbedaan mendasar an tara Kurikulum 2006
dibandingkan kurikulum-kurikulum sebelumnya. Dalam Kurikulum
2006, pemerintah hanya menetapkan sejumlah standar yang menjadi
acuan secara nasional. Namun, penyusunan kurikulum itu sendiri
diserahkan sepenuhnya kepada satuan pendidikan. Itulah mengapa
kurikulum ini populer dengan sebutan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP), yang dimaknai sebagai kurikulum operasional yang
disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan.
Kebijakan KTSP ini tentu saja tidak dapat dipisahkan dari, bahkan
merupakan suatu bentuk penguatan terhadap, kebijakan desentralisasi
pendidikan melalui MBS yang sudah dirintis pada era KBK.
Kalau kita perhatikan dari segi orientasinya, Kurikulum 2006
tidak jauh berbeda dengan Kurikulum 2004. Keduanya sama-sama
berorientasi pada pencapaian kompetensi tertentu, yang dalam
Kurikulum 2006 ditetapkan melalui Permendiknas No. 22/2006
tentang Standar lsi dan Permendiknas No. 23/2006 tentang Standar
Kompetensi Lulusan. Dalam Standar lsi, kerangka dasar dan struktur
kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas (a) kelompok
mata pelajaran agama dan akhlak mulia; (b) kelompok mata pelajaran
kewarganegaraan dan kepribadian; (c) kelompok mata pelajaran ilmu
pengetahuan dan teknologi; (d) kelompok mata pelajaran estetika; dan
(e) kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan.
Penyelenggaraan pendidikan Islam di sekolah sudah tentu
mengacu pada Kurikulum 2006 ini. Berkaitan dengan pendidikan
Islam di madrasah, Kementerian Agama mengeluarkan kurikulum
tersendiri yang merupakan pengembangan dari Kurikulum 2006.

72
T epat pada bulan Mei 2008, Menteri Agama menandatangani
Peraturan Menteri Agama (Permenag) No. 2/2008 tentang Standar
Kompetensi Lulusan dan Standar lsi Pendidikan Agama Islam dan
bahasa Arab di Madrasah. Kita sebut saja Kurikulum Madrasah 2008.
Standar lsi dalam kurikulum ini meliputi struktur mata pelajaran,
lingkup materi minimal, dan tingkat kompetensi minimal untuk
mencapai kompetensi lulusan minimal.
Dari aspek muatan materi, Kurikulum Madrasah 2008 merupakan
pendalaman dan pengayaan dari standar isi mata pelajaran PAI--untuk
sekolah-dalam Kurikulum 2006. Kalau kita tinjau dari pendekatan
penyusunannya, muatan materi tersebut kurang lebih sama dengan
kurikulum-kurikulum pendidikan agama sebelumnya, yaitu berbasis
pada ajaran agama Islam. Materi dipilah berdasarkan empat aspek,
yaitu (I) Al-Quran dan Hadis; (2) Akidah Akhlak; (3) Fikih; dan
(4) Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Keempat aspek materi tersebut
berlaku mulai dari jenjang MI sampai dengan MA, hanya saja materi
diberikan dengan tingkat gradasi tertentu.

*****

73,
BABIV

Pendidikan Islam dan


Problematika Umat

P
endidikan agama di Indonesia, oleh banyak kalangan, dinilai
telah gagal total. Kegagalan itu bisa ditengarai dari maraknya
kasus korupsi, vandalisme, tawuran antarpelajar, meningkatnya
angka kehamilan dan aborsi di kalangan remaja-pelajar, meningkatnya
kasus kriminalitas, maraknya kasus narkoba, dan sebagainya, yang
notabene pelakunya adalah orang-orang yang beragama. T ak he ran
bila kemudian banyak tokoh nasional yang menyoroti masalah ini dari
berbagai perspektif. Guru besar UIN Syarif Hidayatullah, Musdah
Mulia, menegaskan kegagalan pendidikan agama terkait peristiwa
pembakaran gereja di Bekasi akhir tahun 2009 lalu. Sementara itu,
cendekiawan Muslim Haidar Baqir menyoroti kegagalan pendidikan
agama dari semakin merajalelanya para koruptor di negeri ini.
Senada dengan keduanya, KH Sahal Mahfudz dan KH
Salahuddin Wahid juga menegaskan hal yang sama. Kiai Sahal bahkan
jelas menyebut kegagalan ini sebagai kegagalan pendidikan agama di
sekolah, yang menurutnya terlalu menekankan pada pencapaian nilai
ujian (kuantitatif) sehingga mengabaikan internalisasi nilai-nilai akhlak
(kualitatif). Sementara Gus Solah mengatakan bahwa pendidikan
agama yang mengalami kegagalan tidak hanya pendidikan agama Islam

75
(PAl), tetapi semua pendidikan agama. Buktinya, para pelaku tindakan
kriminal dan kebobrokan moral juga berasal dari berbagai agama.
Meskipun sesungguhnya kegagalan pendidikan agama dipengaruhi
oleh banyak faktor, termasuk dua di antaranya yang terpenting adalah
faktor keteladanan di dalam keluarga dan faktor sistem sosial yang
berlaku di dalam masyarakat, tudingan yang mengarah ke sekolah
tetap saja sulit dihindari. Betapa pun guru agama berargumen bahwa
tidak mungkin membentuk akhlak anak hanya dalam beberapa jam
pelajaran di sekolah, kebanyakan orang akan mengatakan tidak peduli
karena mereka merasa sudah menyerahkan pendidikan anaknya ke
sekolah. Dalam waktu yang relatif singkat, di tengah lingkungan
sosial (keluarga-masyarakat-sekolah) yang belum tentu mendukung,
mereka dituntut untuk menghasilkan output pendidikan agama yang
tak bercela. lnilah tantangan terbesar pendidikan agama di sekolah.
Untuk menghadapi tantangan dan tuntutan tersebut, jelas
dibutuhkan upaya cerdas dari para guru agama dan pihak sekolah, tentu
saja dengan dukungan pemerintah melalui kebijakan-kebijakan yang
mendukung terciptanya situasi yang kondusif bagi penyelenggaraan
PAI. Dalam konteks inilah kita perlu mendiskusikan kembali hakikat
atau jiwa pendidikan Islam dan kemudian menawarkan jalan keluar.
Sebelum itu, terlebih dahulu kita akan mengupas problem-problem
yang dihadapi oleh umat Islam dewasa ini.

A. Problematika Umat Islam Masa Kini

Sebagai bagian--bahkan bagian terbesar--dari penduduk Indonesia,


umat Islam kini sedang berada di tengah berbagai persoalan yang teramat
kompleks. Ibarat orang sakit, bangsa ini mengidap komplikasi penyakit
yang sudah sedemikian akut. Tidak ada lagi obat yang cukup mujarab
untuk mengobati dan menyembuhkannya, karena penyakit itu sudah
menyerang bagian paling penting dari struktur tubuh manusia: hati.

76
Kita tentu masih ingat sabda mulia Rasulullah Saw.: "Ketahuilah
bahwa di dalam tubuh (manusia) itu ada segumpal daging. Apabila ia
baik, baiklah seluruh tubuh. Sebaliknya bila ia rusak, rusaklah seluruh
tubuh. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati" (HR Al-Bukhari
dan Muslim).
Hadis ini dengan tegas menyatakan bahwa dalam struktur tubuh
kita, peran hati sangat krusial. T entu saja hati di sini harus dimaknai
dalam konteks kejiwaan, sebab demikianlah yang dimaksudkan oleh
Rasulullah. Dalam bahasa aslinya, hadis di atas menyebut hati dengan
istilah qalb, yang kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi
kalbu. Pengertian hati dalam konteks ini dapat kita temukan dalam
hadis yang lain, ketika Nabi Saw. mengisyaratkan tentang fungsi hati
sebagai penuntun kebaikan: "Mintalah fotwa kepada hatimu. Kebaikan
adalah sesuatu yang membuat hatimu tenang dan keburukan adalah
sesuatu yang membuat hatimu gelisah" (HR Ahmad dan al-Darimi).
N ah, saat ini bangsa kita tengah mengalami bermacam-macam krisis
yang membuatnya semakin terpuruk. Krisis ekonomi, kepemimpinan,
kepercayaan, kedamaian, kesejahteraan, dan sebagainya, makin hari
makin mengimpit kita. Semua krisis itu sesungguhnya bersumber
pada satu krisis saja, yaitu krisis moral. Sementara krisis moral terjadi
karena hati (qalb) yang rusak.
Muhyidin Albarobis memotret kondisi karut-marut bangsa ini
dan menyebut generasi bangsa Indonesia dewasa ini sebagai "generasi
rusak-rusakan". Dalam bukunya, Mendidik Generasi Bangsa (2012b),
Muhyidin mendedahkan enam kerusakan umum yang diidap oleh
bangsa kita.
Pertama, "prestasi" bangsa Indonesia di mata dunia. Menurut
Muhyidin, dalam banyak hal Indonesia kini telah menjadi bangsa
pecundang yang hampir selalu kalah di setiap kancah persaingan
antarbangsa. Kalau dahulu bangsa ini adalah bangsa yang besar dan

77
disegani, kini bahkan negara kecil macam Malaysia pun' sama sekali
tidak takut untuk terus-menerus mengusik kedaulatan Indonesia.
Melalui persengketaan Pulau Sipadan dan Ligitan, Malaysia telah
membuktikan bahwa Indonesia benar-benar macan tua yang sudah
kehilangan taring dan cakarnya. Oleh karena itu mereka pun kemudian
tidak segan-segan untuk terus mencoba merampas kekayaan negeri
ini dengan memancing konflik di perairan Indonesia, mengklaim
lagi pulau-pulau terluar kita, hingga mengakui kekayaan budaya kita
sebagai budaya asli mereka.
lronisnya, saat ini dunia mengenal bangsa Indonesia dengan
"prestasi" yang amat memalukan: korupsi. Ya, Indonesia kini menjadi
salah satu negara terkorup di dunia! Mengutip hasil survei Political and
Economic Risk Consultancy (PERC) tahun 2010, Muhyidin menunjukkan
bahwa Indonesia adalah negara terkorup di Asia Pasifik, mengungguli
15 negara lain. Data lain dari World Economic Forum (WEF), melalui
survey global competitivenes index pada 2010, menempatkan korupsi di
Indonesia pada ranking 44 dari 139 negara di dunia. Sebelumnya, survei
ini menempatkan korupsi Indonesia pada ranking 54 (2009), ranking
55 (2008, 2007), dan ranking 50 (2006).
Sementara itu, hasil survei IPK (lndeks Persepsi Korupsi/
Corruption Perception Index) 2011 yang dilakukan oleh T ransparansi
l nternasional (TI) terhadap 183 negara di dunia menempatkan
Indonesia pada peringkat 100 bersama beberapa negara lain, seperti
Argentina, Djobouti, Gabon, Madagaskar, Malawi , Meksiko ,
Suriname, dan Tanzania. Di jajaran NegaraASEAN, Indonesia kalah
dari Brunei (peringkat44), Malaysia (50), dan Thailand (80). Indonesia
hanya lebih baik dari Vietnam di peringkat ke-112, Filipina (1 29),
Laos (154), Kamboja (164), dan Myanmar (180).
Selain "prestasi" di bidang korupsi, prestasi lain yang juga tak
kalah mengecewakan adalah di bidang pembangunan manusia, yang

78
mencakup kualitas kesehatan, tingkat pendidikan, dan kondisi ekonomi
(pendapatan). Mengutip Laporan Pembangunan Manusia 2010 yang
dikeluarkan United Nation Development Program (UNDP), Muhyidin
menunjukkan bahwa indeks pembangunan manusia {IPM) Indonesia
berada di peringkat 108 dari 169 negara yang tercatat, dengan nilai
IPM 0.600. Di tingkat ASEAN, Indonesia hanya berada di peringkat 6
dari 10 negara. Peringkat ini masih lebih rendah dibanding Singapura
(27), Brunei Darussalam (37), Malaysia (57), Thailand (92) , dan
Filipina (97).
Kedua, pejabat publik yang tunamoral. "Prestasi" memalukan
bangsa Indonesia di mara dunia tidak lepas dari tingkah polah para
pejabat publik di negeri ini, baik dari kalangan eksekutif, legislatif,
maupun yudikatif. Mereka, yang sesungguhnya diberi amanat kekuasaan
oleh rakyarnya, bertindak seolah-olah kekuasaan itu adalah pemberian
Tuhan yang boleh dimanfaatkan untuk apa saja. Oleh karena itu
mereka tidak menggunakan kekuasaan itu untuk kepentingan rakyat
banyak, tetapi untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya saja. Hal
yang lebih ironis, kekuasaan itu justru digunakan unruk menindas
rakyat yang-dalam wacana demokrasi-sesungguhnya merupakan
pemilik sah kekuasaan itu sendiri.
Para pemegang kekuasaan sudah tak malu-malu lagi
menyalahgunakan kekuasaan untuk menjajah bangsanya sendiri.
Dengan kekuasaan itu, para legislator merumuskan undang-undang dan
beragam peraturan yang mengunrungkan mereka dan kelompoknya.
Jual beli pasal pun sudah menjadi hal yang lumrah sehingga rakyat yang
miskin tidak pernah bisa berharap perbaikan hidupnya menjadi bagian
dari agenda mereka. Dengan pasal-pasal itulah berbagai kejahatan
dilindungi.
Di lembaga eksekutif, kerusakan moral sama parahnya. Akibat
sistem demokrasi yang diterapkan secara serampangan, para eksekutif

79
kita harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk menduduki
jabatan tertentu. Untuk menjadi kepala desa saja sekarang orang
harus mengeluarkan dana puluhan hingga ratusan juta rupiah, apalagi
menjadi bupati, gubernur, atau presiden. Begitu pun untuk menjabat
posisi tertentu di pusat maupun daerah, hampir semua ada tarifnya.
Menjadi kepala ini tarifnya sekian, kepala itu sekian, dan seterusnya.
Praktik ini padagilirannya memunculkan perilaku koruptifketika
mereka menduduki jabatannya. Alih-alih memikirkan bagaimana
lembaga yang dipimpin dapat berbuat sesuatu untuk rakyat, mereka
justru memutar keras otaknya umuk menemukan cara mengembalikan
modal dan memperoleh keuntungan. Dalam ungkapan Buya Syafii
Maarif (2005), mereka menganut paham "mumpungisme". Jabatan
bukan dipandang sebagai amanat yang harus diemban dengan penuh
tanggung jawab, melainkan sebagai kesempatan untuk meraup
sebanyak-banyaknya keuntungan pribadi. Selanjutnya, kerusakan
moral di yudikatif juga tidak jauh berbeda dengan kerusakan di dua
lembaga sebelumnya. J ual beli perkara, tebang pilih kasus, perlakuan
istimewa untuk para penjahat kakap, dan sebagainya mewarnai sistem
peradilan kita.
Ketiga, penegakan hukum yang tim pang. Di negeri ini, keadilan
sudah seperti barang mewah yang hanya bisa dibeli dengan harga
mahal. Hukum hanya berlaku bagi rakyat kecil dan miskin, yang
sebagian mereka melakukan tindak kejahatan itu karena lapar. Kasus
pencurian tiga kilogram karet mentah di Ban ten, pencurian tiga butir
kakao di Banyumas, pencurian satu butir semangka di Kediri, atau
kasus pemungutan sisa-sisa pan en kapas di T egal, semua adalah kasus
yang menimpa rakyat miskin yang tidak punya uang untuk menebus
perkaranya. Apa yang terjadi pada mereka? Semuanya terancam
hukuman. Para penegak hukum seakan berlomba-lomba untuk
menegakkan hukum dengan sangat presisi tanpa kesalahan.

80
Tetapi, tengoklah bagaimana hukum yang sama ditegakkan
kepada pelaku korupsi yang merugikan negara triliunan rupiah. Kasus
BLBI yang merugikan negara lebih dari Rp 700 triliun, kasus Bank
Century yang telah merugikan negara Rp 6, 7 triliun, kemudian drama
pengemplangan pajak dengan Gayus Tam hunan sebagai salah satu
aktor figurannya, dan lain-lain. Pertanyaannya: di manakah keadilan
ketika kasus itu diusut? Di mana pula para penegak hukum yang begitu
garang saat mengadili perkara rakyat miskin? Tidak ada.
Di sini, Muhyidin mengutip riwayat tentang bagaimana Nabi
Muhammad Saw. mewanti-wanti umatnya agar tidak ada kezaliman
dalam penegakan hukum. Hukum harus ditegakkan dengan adil atau
Allah akan menghancurkan negeri yang menerapkan hukum secara
serampangan berdasarkan syahwat penguasanya saja. Pada zaman Nabi
Saw., pernih seorang wanita terhormat dari Bani Makhzun kedapatan
mencuri. Keluarganya mencoba melobi beliau untuk mendapatkan
dispensasi hukum agar wanita itu tidak dijatuhi hukuman potong
tangan. Apa kata beliau? Dengan tegas beliau bersabda: 'Wahai manusia!
Sesungguhnya orang-orang sebelum kamu hancur karena mereka menerapkan
hukum tebang pilih. Ketika yang mencuri itu dari kalangan terhormat,
mereka membiarkannya. Namun, bila yang mencuri itu dari kabmgan lemah
(rakyat jelata), mereka terapkan hukum pada mereka. Demi Dzatyangjiwa
Muhammad di tangan-Nya, sekiranya Fatimah putri Muhammad mencuri,
pasti akan kupotong tangannya!" (HR. Bukhari dan Muslim)
Keempat, masyarakat yang kalap. Kerusuhan Mei 1998 menjadi
bukti sejarah mengenai aksi-aksi brutal bangsa ini terhadap saudaranya
sendiri. Juga aksi penjarahan dan perusakan yang dilakukan oleh
para suporter fanatik ketika klub kesayangannya kalah tanding atau
bagaimana sebuah konser yang digelar untuk hiburan akhirnya justru
memakan korban jiwa akibat perkelahian. Semua peristiwa itu, menurut
Muhyidin, menunjukkan bahwa masyarakat kita telah kalap.

81
Belum lagi kasus-kasus lain yang sempat mewarnai pemberitaan di
koran dan televisi, seperti aksi tawuran massal antarpelajar, antarwarga,
atau antarmahasiswa. Pemberitaan lain konflik antaretnis di Sampit dan
pertikaian antarkelompok beragama di berbagai kota seperti Ambon,
Banten, Indramayu, dan Temanggung. Kisah lain pembantaian
dukun santet di Banyuwangi atau tentang seorang pencuri sandal
yang digebuki massa sampai babak belur. Ada lagi tentang aksi bakar
diri yang dilakukan seorang ibu bersama dua anaknya di Sleman,
Yogyakarta atau tentang seorang ibu muda yang membunuh tiga
anaknya di rumah kontrakannya di Bandung.
Kelima, guru yang tak patut ditiru. Guru adalah ujung tombak
pendidikan, yang kepadanya kita berharap banyak akan kemajuan
bangsa. Sebuah pepatah Jerman mengatakan, seperti yapg telah
disebutkan di bagian depan bahwa "Kalau engkau mau membangun
bangsamu, bangunlah terlebih dahulu pendidikanmu." Dengan
demikian, jika hendak membangun pendidikan bangsa, kita tidak
boleh mengabaikan peran guru, sebab merekalah ujung tombaknya.
Dalam ungkapan bahasa J awa, guru adalah sosok yang digugu /an ditiru
artinya diikuti omongannya dan diteladani perbuatannya. lronisnya,
ungkapan itu kini sudah mempunyai plesetan wagu tur saru (tak patut
dan tidak senonoh).
Sekadar misal, kita sering mendengar nasihat atau bahkan tidak
jarang ancaman guru kalau muridnya membolos sekolah. Tetapi, data
Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas, sekarang Kemdikbud)
tahun 2010 menyebutkan bahwa dalam sehari ada 500 ribu atau
setengah juta guru membolos atau mangkir mengajar tanpa alasan
yang jelas. Dengan jumlah total guru di seluruh Indonesia sebanyak 2,6
juta, berarti ada sekira 0,12% guru bolos mengajar setiap minggunya,
0,54% setiap bulannya, dan 6,5% setiap tahunnya. Fakta ini membuat
kita berpikir, jangan-jangan banyaknya siswa yang kepergok membolos

82
sekolah sesungguhnya bukan karena mereka malas belajar, tetapi karena
tidak ada yang mengajar di kelas.
Potret lain sosok guru yang tak patut ditiru adalah temuan Doktor
Ishartiwi, seorang dosen di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang
melakukan penelitian tentang minat baca guru sekolah dasar (SD)
di Kabupaten Sleman pada 20 11. Dengan menggunakan metode
kuesioner, observasi, dan wawancara, hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa minat membaca sebagian besar guru masih dalam kategori
rendah. Padahal, ketika guru sudah tidak suka membaca, sangat
mungkin ilmu yang mereka transfer kepada murid-muridnya sudah
out ofdate, dan yang pasti mereka tidak akan cukup kompeten untuk
mengajarkan pengetahuan. Hal yang lebih berbahaya adalah ketika
perilaku negatif mereka itu dicontoh dan ditiru oleh murid-muridnya
sehingga mereka tumbuh menjadi pribadi yang tidak suka membaca,
malas belajar, dan akhirnya tidak mencintai ilmu pengetahuan. Suatu
hal yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam sendiri yang sangat
menjunjung tinggi ilmu pengetahuan.
Di sam ping itu, masih banyak contoh lain yang menggambarkan
perilaku tak patut dari sebagian guru, seperti hilangnya keteladanan
dalam kerja keras, kepercayaan diri, dan kejujuran. Kasus pemalsuan
dan jual beli sertifikat (untuk keperluan sertifikasi guru), jual beli
ijazah (untuk meraih gelar S-1), plagiarisme karya tulis ilmiah, hingga
persekongkolan dalam mencurangi Ujian Nasional adalah sebagian
bukti yang dapat diajukan di sini.
Keenam, generasi muda yang sakit. Dalam soal prestasi, anak-anak
Indonesia tidak kalah hebat dibandingkan anak-anak dari negara lain.
Buktinya, sering mereka menjadi juara olimpiade Matematika atau
Fisika. Mereka juga cukup kreatif, terbukti lagu-lagu dan film-film
buatan anak negeri diakui di kancah dunia. Prestasi di bidang olahraga
juga tidaklah jelek-jelek amat. Salah satu bukti terbarunya adalah

83
keluarnya Indonesia sebagai juara umum dalam gelaran ASEAN Games
2011 baru-baru ini.
Namun di sisi lain, hal yang memprihatinkan dari mereka adalah
moralitas yang sudah mencapai titik nadir. Kasus sontekan massal
dalam Ujian Nasional sudah menjadi rahasia umum. Kasus tawuran
antarpelajar yang tak pernah sepi dari pemberitaan media. Beberapa
kasus lain, seperti kasus kekerasan dan perkelahian antarkelompok
(geng) motor; penganiayaan dan kekerasan di lingkungan sekolah;
kasus kehamilan di luar nikah dan aborsi yang cenderung meningkat;
kasus penyalahgunaan narkoba dan minum minuman keras; kasus
pencurian dengan pelaku remaja. Deretan kasus-kasus tersebut
ditambah lagi dengan kecurangan-kecurangan dalam berbagai hal,
termasuk dalam praktik percobaan kantin kejujuran yang gagal total;
kasus-kasus pelacuran remaja ABG; kasus perkosaan di bawah umur
dengan pelaku anak-anak atau remaja; meningkatnya jumlah anak
gelandangan dan pengemis jalanan; dan sebagainya. Semua fakta itu
membuktikan bahwa generasi muda kita tengah sakit.
Keenam serpihan kisah miris bangsa Indonesia yang berhasil
dipotret oleh Muhyidin Albarobis di atas relatif merepresentasikan
problem yang dihadapi oleh umat Islam, khususnya di Indonesia.
Daftar itu sesungguhnya masih bisa kita tambah menjadi lebih panjang
lagi, misalnya, dengan memasukkan permasalahan-permasalahan
sosial seperti kemiskinan, pengangguran, pendidikan yang makin
mahal, angka putus sekolah yang tinggi, kerusakan lingkungan, dan
sebagainya. Kemudian, manakala skopnya diperluas ke belahan dunia
lain, niscaya kita akan mendapati problem yang lebih kompleks.
Menurut Ismail Raji al-Faruqi (1989: 1), secara umum keadaan
umat Islam di dunia sekarang benar-benar terpuruk dan terhina, baik
secara fisik, maupun mental. Citra umat Islam selalu dipojokkan
dengan sebutan agresif, destruktif, ekstremis, eksklusif, mengingkari

84
hukum, teroris, biadab, fanatik, fundamentalis, dan dunianya selalu
dipenuhi dengan pertentangan, perpecahan, dan peperangan. Dunia
Islam digambarkan sebagai dunia yang sakit. Kemunduran umat Islam
tentu bukan tanpa sebab. Menurut Fazlur Rahman, pokok pangkal
kemunduran itu adalah adanya dikotomi ilmu, yaitu ilmu tradisional
(Islam) di satu sisi dan ilmu sekuler modern {umum) di sisi lain.
Rahman menulis:
.. . the most fateful distinction that came to be made in the course of
time was between the religious sciences (ulum shariah) or traditional
sciences and the rational or secular sciences (ulum aqliya or ghayr
shar'iya), toward which a gradually stifling attitude was adopted
(Rahman, 1984: 33)

Dikotomi ilmu tersebut pada perkembangannya mengakibatkan


terjadinya dualisme dalam sistem pendidikan umat Islam, yaitu
sistem pendidikan tradisional dan sistem pendidikan sekuler modern
(Rahman, 1967: 320-326). Padahal, seharusnya, pendidikan Islam
diselenggarakan secara integratif dan ditujukan untuk mengatasi
persoalan-persoalan yang dihadapi oleh umat manusia.
Kelemahan sistem pendidikan umat Islam yang dualistik itu harus
segera dicarikan solusinya. Dari situ baru kemudian kita bisa berharap
umat Islam bangkit dari keterpurukannya, dan pada gilirannya hadir
sebagai rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil alamin) sebagaimana
misi Islam itu sendiri.

B. Kembali kepada Hakikat Pendidikan (Islam)

Berbagai problem yang dihadapi umat Islam, khususnya umat Islam


Indonesia, membukrikan bahwa sesungguhnya pendidikan nasional telah
gaga!. Sebab, hakikat pendidikan adalah mendidik manusia menjadi
lebih baik. Jika ada yang bertanya tentang apa manfaat pendidikan,

85
jawabannya sederhana: "Pendidikan membuat orang menjadi baik dan
orang baik tentu berperilaku mulia," begitu kata Plato. Sementara itu,
Paulo Freire, dalam ungkapan yang berbeda, mengatakan bahwa tujuan
utama pendidikan adalah penyadaran diri subjek didik akan dirinya,
orang lain, dan masyarakat sekitarnya (Miller, 2002: 3).
Pendidikan juga merupakan solusi yang bersifat preventif
ketika suatu bangsa mengalami problem-problem kebangsaan
dan kemanusiaan, sebab pendidikan adalah usaha membangun
generasi bangsa yang lebih baik (Kemdiknas, 2010: 1). Melalui
pendidikan, jati diri suatu bangsa dapat terus dilestarikan dan
diwariskan secara turun-temurun. Melalui pendidikan pula, suatu
bangsa dapat meningkatkan kualitas SDM-nya dengan memberikan
bekal pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang memadai, yang
memungkinkannya untuk bersaing dengan bangsa lain dan kemudian
memenangi persaingan itu (Albarobis, 2012a).
Secara yuridis, sebenarnya penyelenggaraan pendidikan nasional
juga diarahkan ke tujuan yang sama. Kalau kita tilik dari tujuan
pendidikan nasional, seharusnya penyelenggaraan pendidikan di
negeri membuat bangsa ini menjadi bangsa yang maju, adil, makmur,
dan sejahtera. Mari kita tengok lagi tujuan pendidikan nasional yang
termaktub dalam Pasal 3 UU Sisdiknas.
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi subjek didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggungjawab.

T etap i, yang kita lihat sejauh ini antara pendidikan yang


diidealkan dengan kenyataan yang dihasilkan masih jauh panggang

86
dari api. Bangsa kita telah mengalami kerusakan yang parah. Generasi
bangsa ini, sekali lagi, sudah menjadi generasi rusak-rusakan. Kerusakan
itu merambah seluruh lapisan masyarakat, dari lapisan paling bawah
yang diwakili oleh rakyat jelata, hingga lapisan paling atas tempat para
pejabat berkuasa.
Dengan segala kerusakan yang tampak nyata di depan mata, kita
dapat menarik kesimpulan bahwa pendidikan nasional telah gagal
menjalankan fungsinya. Alih-alih melahirkan generasi yang baik sepeni
dikatakan Plato, pendidikan kita justru menghasilkan pribadi-pribadi
yang di dalam dirinya terkumpul segala macam kejelekan seperti licik,
culas, curang, khianat, brutal, malas, bodoh, rakus, korup, sombong,
oportunis, tidak bertanggung jawab, dan lain-lain.
Hal yang menjadi persoalan kita adalah kenyataan bahwa
pendidikan Islam merupakan bagian dari pendidikan nasional.
Dalam ungkapan yang berbeda, pendidikan Islam adalah subsistem
pendidikan nasional. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa
kegagalan pendidikan nasional yang kita perbincangkan di atas,
dengan seluruh bukti yang tak terbantahkan, adalah juga kegagalan
pendidikan Islam.
Bagaimanapun juga, hakikat pendidikan Islarn--sebagaimana
sudah kita diskusikan sebelumnya--mencakup sebuah definisi
ketika manusia dibimbing untuk menjadi pribadi beriman yang kuat
secara fisik, mental, dan spiritual, serta cerdas, berakhlak mulia, dan
memiliki keterampilan yang diperlukan bagi kebermanfaatan dirinya,
masyarakatnya, dan lingkungannya, dalam kerangka meraih kesuksesan
hidup di dunia dan akhirat.
Ciri utama pendidikan Islam yang harus digarisbawahi adalah
berbasis tauhid dan berorientasi pada kesuksesan hidup di dunia dan
kebahagiaan hidup di akhirat. "Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan
engkau akan hidup selamanya dan beramallah untuk akhiratmu

87
seakan-akan engkau akan mati esok pagi." Demikian sabda Nabi Saw.
dalam sebuah hadis riwayat Imam Ahmad.
Sementara itu, para pelaku berbagai kerusakan yang merajalela
di negeri ini kebanyakan adalah orang-orang yang mengaku beragama
Islam, yang bisa jadi juga merupakan "produk" pendidikan Islam.
Akhirnya, bukannya menjadi solusi atas berbagai problem umat,
pendidikan Islam yang selama ini kita selenggarakan justru menjadi
bagian dari problem itu sendiri. Bukankah ini sebuah ironi yang
menyakitkan?

C. Pendidikan Islam sebagai Solusi atas Problematika Umat

U ntuk mengurai dan kemudian menemukan solusi atas problem-problem


yang dihadapi umat Islam, pertama-tama kita perlu merunut jejak
sejarah pendidikan Islam khususnya pada masa Nabi Saw. Dari sana
nanti kita dapat melihat bagaimana pendidikan Islam menjadi solusi
bagi berbagai problem sosial yang tengah menjangkiti masyarakatnya.
Sebelum Islam datang, tradisi pendidikan bangsa Arab terfokus
pada tradisi lisan (Asari, 1994: 16). Pewarisan ilmu pengetahuan,
nilai, dan tradisi berlangsung dari mulut ke mulut, dari satu generasi
ke generasi berikutnya. Memang sudah dikenallembaga pendidikan
kuttab pada zamanJahiliah, tetapi jumlahnya masih sangat sedikit dan
perkembangannya relatiflambat (Syalabi, 1973: 33). Sedemikian sedikit
dan lambatnya perkembangan kuttab sehingga pada saat Islam datang,
orang Quraisy yang melek huruf san gat sedikit. Di antara mereka yang
melek hurufitu, yang kemudian memeluk agama Islam adalah Umar
bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abu Ubaidah,
Yazid bin Abu Sufyan, dan Zaid bin Tsabit. Setelah kedatangan Islam,
beberapa sahabat yang pandai baca-tulis itu kemudian menjadi juru
tulis Nabi Saw. yang ditugasi untuk mencatat wahyu setiap kali beliau
menerima wahyu dari Allah Swt. Sahabat-sahabat pencatat wahyu itu
antara lain Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan Zaid bin Tsabit
(Hajar, 2000: 54).
Kegiatan pendidikan Islam pada periode Makkah ini bertumpu
sepenuhnya pada Nabi Saw. sebagai perumus kurikulum pendidikan
sekaligus pendidik tunggal. Ketika itu, pendekatan yang beliau gunakan
adalah pendekatan personal individual yang kemudian meluas ke arah
pendekatan keluarga dan akhirnya ke pendekatan sosial (Thoha, 2011:
11), yang mana beliau selalu menyampaikan wahyu yang turun kepada
para sahabat, lalu keluarga, dan pada perkembangannya kemudian
kepada masyarakat luas. Beliau menyampaikan wahyu itu dengan
disertai penjelasan dan contoh pengamalannya sehingga umatnya dapat
memahami dengan baik materi pelajaran yang beliau sampaikan dan
menemukan contoh penerapannya.
Pada tahun-tahun awal dari kenabian, wahyu yang turun
kebanyakan berkaitan dengan keimanan (Sutrisno, 2008: 16). Hal ini
dapat dipahami dari fakta sejarah bahwa masyarakat Arab Jahiliah kala
itu tengah mengalami kesesatan akidah yang parah. Mereka telah jauh
meninggalkan ajaran bapak moyang mereka yang hanif, Ibrahim a.s.
Dengan problem keumatan seperti itu, adalah logis kalau pendidikan
Islam meresponsnya dengan upaya pelurusan akidah melalui wahyu
ilahi yang kemudian disampaikan sebagai materi pendidikan oleh
Nabi Saw.
Menurut Mahmud Yunus, sebagaimana dikutip oleh M . As'ad
Thoha (2011: 12), materi pendidikan Islam pada periode Makkah
ini meliputi pendidikan keagamaan (akidah) , pendidikan aqliyah
dan amaliyah, pendidikan akhlak dan budi pekerti, serta pendidikan
jasmani (kesehatan) . Materi kelimuan (sains) belum diajarkan, tetapi
Nabi Saw. memberikan dorongan secara umum untuk memerhatikan
kejadian manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan alam raya (Thoha,
2011: 12).

89
Dengan demikian, tujuan utama pendidikan Islam pada periode
ini adalah untuk meluruskan dan memurnikan akidah umat (Sutrisno,
2008: 16). Materinya adalah wahyu yang diterima oleh Nabi Saw. dari
Allah, terutama tentang keimanan. Metode pendidikan yang beliau
terapkan adalah dengan cara menyampaikan dan menjelaskan wahyu
kepada sahabat-sahabatnya, kalau perlu disertai dengan tanya jawab dan
contoh pengamalannya. Sementara proses pendidikan berlangsung di
rumah sahabat bernama al-Arqam (sejarah mencatatnya dengan sebutan
Dar al-Arqam) serta rurnah beliau sendiri. Kegiatan pendidikan dilakukan
dengan model halaqah-"lingkaran belajar" (Azra, 1999: vii).
Pendidikan Islam pada periode berikutnya, yaitu periode Madinah,
diselenggarakan dengan lebih luas lagi, baik dari sisi tujuan, maupun
materinya. Hal ini disebabkan masyarakat Islam sudah terbentuk dan
makin berkembang. Oleh karena itu dengan sendirinya tuntutan terhadap
pendidikan Islam pun semakin luas. Pada periode ini, tujuan pendidikan
Islam mengalami perkembangan dan mulai diarahkan untuk membina
aspek-aspek kemanusiaan sebagai hamba Allah dalam kerangka mengelola
dan menjaga kesejahteraan alam semesta (Thoha, 2011: 13). Tujuan
akhirnya adalah untuk membersihkan hati dan jiwa para sahabat sehingga
mereka dapat naik dari tingkat iman ke ihsan (Sutrisno, 2008: 17).
Dengan berkembangnya tujuan pendidikan Islam, materi
pendidikan pun mengalami perkembangan. Setidaknya ada empat
bidang yang menjadi materi pendidikan Islam pada periode ini, yaitu
pendidikan keagamaan, pendidikan akhlak, pendidikan kesehatan
jasmani, serta pengetahuan yang berkaitan dengan kemasyarakatan
dan politik kenegaraan (Thoha, 2011: 14). Selain itu, materi-materi
baca-tulis Al-Quran juga mulai diajarkan pada periode Madinah ini.
Dalam hal ini, sejarah mencatat bagaimana Nabi Saw. membebaskan
orang-orang kafir Quraisy yang menjadi tawanan Perang Badar dengan
syarat mereka mengajarkan baca-tulis kepada kaum Muslim.

90
Selain materi pendidikan, metodenya pun mengalami
perkembangan. Metode dialog mengedepan dalam pembelajaran
materi keagamaan, semen tara pada materi pendidikan ibadah, akhlak,
dan kemasyarakatan metode yang lebih dominan adalah demonstrasi
dan peneladanan (Thoha, 20 11: 14). Pusat pendidikan pada periode ini
adalah masjid, yang memang menjadi prioritas pertama pembangunan
Nabi Saw. pascahijrah ke Madinah. Selain itu, pendidikan Islam juga
diselenggarakan di lembaga kuttab untuk mengajarkan baca-tulis
kepada anak-anak Muslim (Thoha, 2011: 15).
Dari kilasan sejarah pendidikan Islam pada masa Nabi Saw. di
atas, kita dapat menarik sebuah benang merah mengenai keterkaitan
antara penyelenggaraan pendidikan Islam dengan permasalahan sosial
umat. Dapat kita lihat dengan jelas bahwa pendidikan yang beliau
selenggarakan, baik pada periode Makkah maupun periode Madinah,
ditujukan untuk membebaskan masyarakat dari persoalan-persoalan
yang membelenggu mereka. Dengan demikian, kurikulumnya pun
disesuaikan dengan persoalan yang tengah membelit masyarakat yang
hendak dibebaskan. T ujuan pendidikan diarahkan ke sana, begitu juga
materi dan metodenya.
Pada periode Makkah, persoalan terbesar yang melingkupi
masyarakat Arab adalah ketersesatan akidah. Mereka telah tersesat
jauh dari akidah Islam yang lurus (hani/J yang pada mulanya diajarkan
oleh Nabi Ibrahim a.s. sehingga praktik ibadah yang mereka lakukan
sudah amat jauh menyimpang, meskipun sekilas tampak bahwa mereka
masih setia menjalankan ajaran beliau. Sekadar contoh, mereka masih
melakukan thawaf di Ka'bah, juga masih melaksanakan ibadah haji,
tetapi kerusakan akidah membuat mereka menjadikan patung-patung
berhala sebagai sesembahan mereka. Oleh karena itu melalui pendidikan
Islam, Nabi Saw. berusaha menyadarkan kaumnya itu dari ketersesatan
sembari menunjukkan jalan yang benar.

91
Pada periode Madinah, kebutuhan sosial kaum Muslim sudah
berkembang lebih kompleks. Adanya kelompok-kelompok sahabat
Muhajirin dan Anshar, misalnya, menuntut Nabi Saw. sebagai
pendidik untuk mengambillangkah yang cerdas dan bijaksana dalam
merumuskan kurikulum pendidikan yang tepat agar tidak terjadi
perpecahan yang dapat melemahkan kaum Muslim. Belum lagi
persoalan-persoalan kemasyarakatan lainnya yang juga berpotensi
rawan konflik, misalnya pertentangan antarsuku, ancaman kaum
munafik, atau keberadaan kaum Yahudi dan umat beragama lain seperti
Nasrani dan Majusi.
Oleh karena itu, dapat dimengerti kalau pada periode ini
Nabi Saw. memasukkan materi tentang kemasyarakatan, politik,
dan kenegaraan ke dalam kurikulum pendidikan Islam yang beliau
selenggarakan. Hasilnya, kaum Muslim tumbuh dengan cepat menjadi
sebuah kekuatan peradaban yang mengagumkan. Pertikaian antarsuku
dapat dipadamkan, Muhajirin dan Anshar menjadi saudara yang saling
mendukung. Semen tara itu, pemeluk agama lain dapat hid up dengan
aman dan damai dalam sebuah ikatan kuat yang kita kenal dengan
Piagam Madinah.
Tidak hanya materi yang disesuaikan dengan problematika umat,
metodenya pun diselaraskan dengan subjek didiknya. Satu contoh
yang barangkali cukup relevan untuk disajikan di sini adalah tentang
bagaimana pendidikan Islam ala Nabi Saw., yang memang langsung
dibimbing oleh Allah Swt., mendidik masyarakat Arab untuk menjauhi
minuman keras (khamar). Yusuf Qardhawi (2007) menguraikan
perihal metode pelarangan khamar ini dalam konteks pembelajaran
bertahap yang menjadi salah satu keunggulan ajaran Islam. U raian
berikut diadaptasi secara bebas dari tulisan Muhyidin Albarobis dalam
bukunya, Islam !tu Mudah (2008), yang merupakan elaborasi lebih
lanjut atas uraian Qardhawi tersebut.

92
Masyarakat Arab Jahiliah pra-Islam, yang menjadi subjek
pendidikan Islam yang diselenggarakan Nabi Saw., memiliki kebiasaan
mabuk-mabukan yang lebih dari masyarakat lain. Meminum
khamar bagi mereka adalah suatu hal yang biasa, tidak melanggar
atau bertentangan dengan apa pun. Kebiasaan ini sudah merebak ke
seluruh kalangan, baik masyarakat biasa, maupun kaum bangsawan.
Bagi masyarakat Arab ketika itu, meminum khamar bahkan menjadi
suatu kebanggaan. Para bangsawan mereka biasa menjadikan khamar
sebagai simbol gengsi, yakni dengan bersaing dalam menyuguhkan
khamar terlezat dalam perjamuan-perjamuan.
Kegilaan bangsa Arab J ahiliah terhadap khamar dapat dilihat
dari syair-syair yang mereka ciptakan dan lombakan secara rutin di
Pasar Ukaz. Pemenang dari lomba ini memperoleh hak istimewa
untuk dipajang di dinding Ka'bah. Hampir semua penyair Arab
kala itu menjadikan khamar sebagai sumber inspirasi mereka dalam
menciptakan syair. Maka tak heran, ratusan puisi dan syair Arab
berhasil menggambarkan khamar dari berbagai sisinya: warnanya,
rasanya, aromanya, wadahnya, majelis-majelisnya lengkap dengan
suasananya, hingga wanita penyajinya. Tak heran pula jika bangsa
Arab mampu menemukan sampai seratus nama hanya untuk satu jenis
barang ini: khamar (Qardhawi, 2007).
Dengan kondisi masyarakat yang sedemikian "gila" terhadap
khamar, bagaimana mungkin Nabi Muhammad Saw. memberikan
pendidikan yang mengharamkannya secara frontal? T emu tidak
mungkin, karena pendidikan yang beliau selenggarakan itu berada
di bawah bimbingan Zat yang Mahabijaksana. Maka itulah, metode
pendidikan Islam dalam pengharaman khamar ini melalui tiga tahap.
Pada tahap pertama, Al-Quran hanya memberikan penjelasan
bahwa khamar mengandung dosa dan manfaat. Hanya saja, dosanya
lebih besar daripada manfaatnya. Allah berfirman

93
Mereka menanyakan kepadamu {Muhammad) tentang khamar
dan judi. Katakanlah, "Pada keduanya terdapat dosa besar dan
beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar daripada
manfaatnya. "(QS Al-Baqarah [2]: 219)

Dengan adanya penjelasan Al-Quran ini, sebagian sahabat


mulai berhenti minum khamar karena khawatir akan dosa yang
dikandungnya. Namun, sebagian yang lain masih terus meminumnya
karena Al-Quran tidak melarang mereka meminumnya. Bahkan,
mengakui bahwa di dalam khamar juga terkandung manfaat meski
kalah besar dibanding kerusakan yang ditimbulkannya.
Beberapa wakru setelah menyarakan bahwa khamar mengandung
dosa yang lebih besar daripada manfaatnya, pada tahap kedua Al-Quran
menyampaikan larangan shalat dalam keadaan mabuk. Larangan ini
memang tidak menyentuh langsung khamar yang menjadi tujuan
pendidikan tersebut, tetapi dengan sendirinya menahan kaum Muslim
kerika itu dari meminum khamar saar hendak shalat. Sebabnya, khamar
itu memabukkan dan mereka tidak boleh shalat dalam keadaan mabuk.
Allah Swt. berfirman:
Wahai orang yang beriman! ]anganlah kamu mendekati shalat
ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa
yang kamu ucapkan. (QS An-Nisa' [4]:43)

Setelah adanya larangan ini, semakin banyak sahabat yang


mengurangi kebiasaannya meminum khamar. Sebagian besar dari
mereka masih juga meminum khamar, karena memang Al-Quran
bel urn menyarakan bahwa khamar haram diminum. Di antara mereka
ada yang telah meninggalkan sama sekali kebiasaan Jahiliah tersebut.
Semen tara sebagian yang lain hanya minum selepas shalat isya karena
melihat jarak antara shalat isya dan shalat subuh sangat jauh.

94
Setelah dua tahap tersebut dilalui, dengan sendirinya kaum
Muslim sudah semakin siap untuk menerima larangan meminum
khamar. Oleh karena itu pada tahap ketiga Al-Quran menegaskan
bahwa khamar itu keji, haram, dan termasuk perbuatan setan sehingga
harus dijauhi. Allah Swt. berfirman.
Wahai orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi,
(berkurban untuk) berhala, clan mengundi nasib dengan anak panah,
aclalah perbuatan keji clan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah
(perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung. (QS Al-Ma'idah
[5]: 90)

Dengan metode pendidikan gradual seperti itu, para sahabat dapat


menerima ajaran dan melaksanakannya tanpa kesulitan. Meskipun
sebelumnya meminum khamar sudah menjadi tradisi yang mendarah
daging dalam kehidupan mereka. Andaikata khamar diharamkan
sekaligus dan spontan, mungkin mereka akan merasa sangat keberatan
dan bisa jadi mereka menolaknya secara spontan pula.
Metode pendidikan gradual inilah yang diadopsi oleh para fukaha
yang bijaksana seperti Umar bin Abdul Aziz, seorang khalifah Bani
Umayyah yang terkenal warak. Saat anaknya, Abdul Malik bin Umar
bin Abdul Aziz, mempertanyakan mengapa ia tidak memberantas
sekaligus kezaliman dan kerusakan yang merebak, dengan bijak beliau
menjawab, "Wahai anakku, janganlah tergesa-gesa. SesungguhnyaAllah
mencela khamar dalam Al-Quran dua kali dan mengharamkannya pada
kali ketiga. Saya khawatir jika menegakkan kebenaran ini pada umat
manusia secara spontan, mereka pun akan menolaknya secara spontan,
dan dari sinilah fi.tnah bakal muncul."
Demikianlah metode pendidikan Islam ala Nabi Saw., yang sangat
memerhatikan kondisi psiko-sosial subjek didiknya. Pembacaan yang
baik atas permasalahan masyarakat yang menjadi subjek pendidikan,
seperti dapat kita lihat pada kasus pengharaman khamar secara

95
gradual di atas, menjadikan kurikulum pendidikan lebih berdaya.
Sebab, dengan itu, pemilihan materi dan juga metode pendidikan
menjadi lebih tepat karena sesuai dengan kondisi subjek didik. Pada
akhirnya, pendidikan yang diselenggarakan dapat menjadi solusi atas
problematika umat.

*****

96
BABV

Pendidikan Islam Berbasis


Problem Sosial

K
ini sampailah kira pada bagian terpenting dari topik buku
ini, yakni kira akan mendiskusikan konsep pendidikan
Islam berbasis problem sosial. Seperti sudah dikemukakan
sebelumnya, gagasan ini bermula dari kepriharinan penulis terhadap
berbagai persoalan yang mengimpit umat Islam khususnya di Indonesia.
Dengan predikat umat terbaik (khairu ummah) yang disandangnya,
seharusnya umat Islam dapat merepresentasikan diri sebagai rahmat
bagi semesta alam (rahmatan Iii alamin). Namun, kenyataannya justru
umar ini menjadi bagian dari persoalan bangsa yang kian hari tampak
semakin besar bak bola salju.
Sementara itu, pendidikan Islam yang hakikarnya adalah untuk
mendidik manusia menjadi pribadi-pribadi khalifah dan abdullah,
ternyata belum juga mampu mengemban misinya dengan baik. Seperti
juga manusianya, sistem pendidikan Islam justru menjadi bagian dari
persoalan pendidikan nasional yang tak kunjung mencapai tujuan
yang sudah diamanatkan oleh undang-undang. Padahal, kalau menilik
sejarahnya, pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh sang mahaguru,
Nabi Muhammad Saw., sejatinya berangkat dari problematika umat
dan menjadi solusi yang brilian atas problem-problem yang sudah
sangat akut. Atas dasar itulah, kita mesti mengembalikan pendidikan

97
Islam kepada hakikatnya yang agung. Gagasan mengenai pendidikan
Islam berbasis problem sosial, yang akan kita diskusikan dalam bab
ini, hendaknya dipahami dalam konteks tersebut.

A. Mengapa Berbasis Problem Sosial?

Salah satu misi kerasulan Nabi Muhammad, dan dengan demikian juga
menjadi misi Islam di dunia ini, adalah menjadi rahmat bagi semesta
alam. Sejarah mencatat bagaimana rusaknya kondisi masyarakat Arab
ketika Nabi Muhammad diutus. Kesenjangan sosial, berlakunya hukum
rimba, peperangan antarkabilah yang mentradisi, sampai kebiasaan
biadab membunuh bayi perempuan dengan cara menguburnya
hidup-hidup, adalah sebagian dari potret buram masyarakat Arab
jahiliah pra-Islam. Ziaul Haque memberikan gambaran yang cukup
tepat mengenai kondisi tersebut melalui tulisannya.
Masyarakat Mekah digerogoti o/eh disparitas sosia/ dan ekonomi
yang akut, kebusukan moral dan kebobrokan agama. Kekerasan
ada/ah hukum di mana suku-suku yang kuat menak/ukkan dan
memperbudak suku-suku yang /emah. Tak seorangpun aman berada
di /uar daerah-daerah ter/arang Ka'bah, daerah suci (Haram), di
mana permusuhan, perang, dan pertumpahan darah sebenarnya
di/arang. Anak-anak yatim yang ke/aparan, Janda-janda, para
budak, dan orang-orang buangan berkumpul di kota seperti Mekah
dan dieksploitasi o/eh para /intah darat kaya, bangsawan, dan
pedagang. Para agamawan menyalahtafiirkan kitab-kitab suci dan
menerapkannya kepada kaum miskin dan membiarkan orang-orang
kaya dan berkuasa me/akukan suap.

Keadaan masyarakat sangatlah menyedihkan. Mereka diperlakukan


seperti barang bergerak, bahkan seperti kambing dan domba,
dan karenanya dianggap sebagai harta mi/ik para pemuka suku.
Perempuan dan anak-anak tidak dapat berperang di da/am
perang-perang suku dan karenanya mereka tidak berhak atas harta

98
rampasan perang, atau atas harta dan kekayaan seseorangyang telah
meninggal Masyarakat itu kurang lebih mirip dengan masyarakat !sa
di Palestina dalam hal penindasan dan eksploitasi umum terhadap
rakyat jelata oleh para pemuka, bangsawan, agamawan, dan
penguasa, baik asing maupun lokal. Masyarakat suku ini berdiri di
atas prinsip bahwa yang kuat adalah yang benar. Kaum yang kuat
merebut harta rampasannya. (Haque, 2000: 218)

Dalam kondisi masyarakat seperti itulah, Nabi Muhammad diutus


untuk mendakwahkan Islam yang ajarannya mengatur seluruh aspek
kehidupan manusia. Ajaran tersebut mulai dari masalah hubungan
manusia dengan Tuhannya (hablum minallah), hubungan dengan
sesama (hablum minannas), hingga hubungan dengan alam semesta
(hablum minal alam). Dengan cakupan ajarannya yang komprehensif
itu, Islam menawarkan jalan keluar dari segala macam persoalan yang
melilit bangsa Arab ketika itu. Misi yang dicanangkan pun jelas, yaitu
menjadi rahmat bagi seluruh alam. Firman Allah dalam Al-Quran
menegaskan.
Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk
(menjadi) rahmat bagi seluruh alam. (QS Al-Anbiya' [21]: 107)

Abudin Nata ( 1998) memberikan penjelasan yang menarik terkait


misi Islam sebagai pembawa rahmat tersebut. Menurutnya, misi Islam
sebagai pembawa rahmat dapat dilihat dari peran yang dimainkan
Islam dalam mengatasi berbagai persoalan masyarakat dalam berbagai
aspeknya, seperti sosial, ekonomi, politik, hukum, dan sebagainya.
Dalam bidang sosial, Islam mengusung ajaran kesetaraan manusia.
"Tidak ada kelebihan orang Arab atas orang a Jam (non-Arab), tidak
juga orang yang berkulit putih atas orang yang berkulit hi tam, kecuali
siapa di antara mereka yang paling bertakwa." Demikian sabda Nabi
Saw. dalam sebuah hadis riwayat Muslim. Di dalam Al-Quran, Allah
Swt. menegaskan ajaran ini melalui firman-Nya.

99
Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling
mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi
Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha
Mengetahui, Mahateliti. (QS Al-Hujurat [49]: 13)

Kesetaraan kedudukan antara laki-laki dan perempuan juga


mendapat perhatian khusus dalam ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi
Muhammad. Oleh karena itu ajaran Islam ketika itu menjadi sangat
revolusioner dengan mengakui hak-hak wanita atas harta, warisan,
pendidikan, persaksian hukum, dan hak-hak lainnya, di tengah kondisi
masyarakat yang memandang rendah mereka.
Dalam bidang ekonomi, Islam membawa ajaran ekonomi
yang bersendikan asas keseimbangan dan pemerataan. Selain itu,
praktik-praktik ekonomi yang merugikan juga dikecam, seperti
berdagang dengan curang dan terutama praktik riba yang sudah
membudaya. Islam mengajarkan bahwa perdagangan harus dilakukan
dengan cara yang jujur (QS Al-Isra' [17]: 35). Sementara itu, sembari
menegaskan kehalalan praktik jual beli, Al-Quran dengan tegas
menyebutkan keharaman praktik riba (QS Ali 'Imran [3]: 130).
Praktik ekonomi ribawi kala itu sudah biasa dilakukan, antara lain
dengan membungakan pinjaman secara berlipat ganda, yang mana
sangat memberatkan orang yang meminjamnya. Alih-alih mengambil
keuntungan dari kesusahan ekonomi orang lain dengan membungakan
pinjaman, umat Islam justru didorong untuk saling menolong
dalam kebaikan dan takwa (QS Al-Ma'idah [5]: 2) . Dalam konteks
perilaku ekonomi, ajaran ini tentu juga berlaku ketika terjadi praktik
pinjam-meminjam.
Dalam hi dang politik, ajaran Islam memandang kekuasaan sebagai
amanat sehingga seorang pemimpin berkewajiban untuk menunaikan

100
hak-hak orang yang dipimpinnya (QS Al-Nisa' [4]: 58). Seorang
pemimpin harus bersikap bijaksana, mendahulukan kepentingan
rakyat di atas kepentingan diri dan keluarganya, serta melindungi,
mengayomi, dan mengupayakan kesejahteraan rakyatnya.
Dalam bidang hukum, ajaran Islam ditegakkan di atas prinsip
keadilan (QS Al-Nisa' [4]: 58). Para pemimpin, khususnya pejabat yang
memiliki kewenangan dalam peradilan, dituntut untuk menegakkan
hukum seadil-adilnya, tanpa pandang bulu atau tebang pilih sehingga
keadilan dapat ditegakkan dalam sistem pemerintahan Islam. Bahkan,
kalaupun yang berperkara itu adalah musuh, prinsip keadilan hukum
tetap wajib ditegakkan. Dalam Al-Quran, Allah berfirman, Wahai
orang-orangyang beriman!]adilah kamu sebagai penegak keadilan karena
Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu
terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa (QS Al-Ma'idah
[5]: 8).
Singkatnya, Islam datang untuk merespons berbagai persoalan
masyarakat yang sudah akut. Dengan ajarannya yang-meminjam istilah
Ziaul Haque-revolusioner, Islam mendobrak struktur masyarakat
yang sudah mapan ketika itu; suatu struktur yang teramat korup
dan tidak manusiawi, tetapi dipertahankan karena menguntungkan
sekelompok man usia yang kuat baik secara keagamaan, sosial, ekonomi,
politik, maupun lainnya. Oleh karena itu wajar kalau kedatangan Nabi
Muhammad memperoleh resistensi yang luar biasa kuat dan keras dari
kalangan tersebut. Resistensi yang diterima oleh Nabi Muhammad
sangat hebat, mulai dari fitnah, ejekan, caci maki, intimidasi, hingga
penyerangan fisik. Namun, semua itu tidak membuat beliau mundur
atau menyerah. Demi memperbaiki tatanan masyarakat yang rusak,
beliau rela menanggung segala penderitaan. Bahkan, meski kemudian
harus pergi meninggalkan kampung halaman dan sanak saudara umuk

101
berhijrah. Pada akhirnya, sejarah membuktikan bahwa perjuangan
beliau berhasil dengan gemilang. Keberhasilan itu dibuktikan dengan
membaiknya tatanan masyarakat yang sebelumnya rusak. Bangsa
Arab yang sebelumnya terbenam dalam jurang gelap peradaban,
dalam waktu yang relatif singkat berevolusi menjadi bangsa yang
memiliki peradaban yang mengagumkan sehingga menjadi kiblat bagi
bangsa-bangsa lain di dunia.
Berkaca pada sejarah dakwah Islam di atas, layak bagi kita untuk
merenungkan kembali pendidikan Islam yang sudah kita selenggarakan.
Sudahkah pendidikan kita memberikan jalan keluar bagi segala macarn
persoalan bangsa sehingga rahmat yang menjadi misi Islam dapat
dirasakan oleh penghuni alam semesta? Kalau melihat kondisi bangsa
Indonesia saat ini, agaknya pendidikan Islam yang kita selenggarakan
belum bisa menjadi jalan keluar bagi berbagai persoalan itu. Harus
jujur diakui, kita belum bisa menghadirkan Islam yang rahmatan lil
alamin. Atas dasar itulah, kita harus melakukan reformasi pendidikan
Islam. Dengan dengan belajar dari sejarah dakwah Islam, kita mesti
mendudukkan pendidikan Islam pada posisinya yang ideal sebagaimana
dipraktikkan oleh Nabi Muhammad, yakni sebagai jalan keluar bagi
berbagai persoalan yang melilit bangsa. Pendidikan Islam mestilah
diselenggarakan dengan menjadikan problem-problem sosial sebagai
basisnya sehingga kehadiran umat Islam benar-benar menjadi rahmat
bagi semesta alam.

B. Konsep Pendidikan Islam Berbasis Problem Sosial

Dari paparan di atas, tampak bahwa fungsi pendidikan (agama) Islam


dari sisi sosial sangatlah strategis. Akan tetapi, fungsi ini tidak dapat
berdiri sendiri, tetapi sangat tergantung pada sistem pengetahuannya.
Oleh karena itu, tidak diragukan lagi bahwa cara terbaik untuk
memberdayakan pendididikan Islam dalam kerangka mendobrak

102
stagnasi peradaban Islam harus dimulai dari penyusunan konsep
sistem pengetahuan yang dinamis, yang dengannya pendidikan dapat
mengalami kemajuan. Bukankah kalau pendidikan maju, peradaban
pun dengan sendirinya akan mengalami kemajuan?
Sudah bukan rahasia lagi bahwa dinamika kehidupan suatu
masyarakat dapat dilihat dari dinamika pendidikannya. Jika
dinamika pendidikan berjalan dengan baik, sudah tenru dinamika
kehidupannya pun berjalan dengan baik; begitu pula sebaliknya.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dinamika pendidikan dapat
memengaruhi dan menentukan dinamika peradaban suatu bangsa.
Sementara itu, peradaban sangat ditenrukan oleh sistem pengetahuan
yang mendasarinya, yang mana sistem pengetahuan itu sendiri
disosialisasikan dan dilembagakan melalui pendidikan. Jika pada
abad ke-8 sam pai dengan abad ke-12 M peradaban umat Islam begi tu
maju, misalnya, tentu karena pengetahuan dan pendidikan mereka
juga mencapai kemajuan. Tetapi, sekarang peradaban umat Islam
mengalami kemunduran sebagai akibat dari kemunduran atau stagnasi
dalam sistem pengetahuan dan pendidikan mereka.
Penulis sepakat dengan Fazlur Rahman bahwa pokok pangkal
kemunduran umat Islam adalah adanya dikotomi ilmu, yaitu ilmu
tradisional (Islam) di satu sisi dan ilmu sekuler modern (umum) di
sisi lain (Rahman, 1984: 33). Bagaimanapun juga, dikotomi ilmu ini
telah mengakibatkan terjadinya dualisme dalam sistem pendidikan
kita, yaitu sistem pendidikan tradisional dan sistem pendidikan sekuler
modern. Di satu sisi terdapat sistem pendidikan tradisional (Islam)
mulai dari MI sampai PTAI. Akan tetapi di sisi lain, terdapat sistem
pendidikan sekuler modern (umum) mulai dari SD sampai PTU yang
sama sekali tidak menyentuh ideologi dan nilai-nilai Islam. Padahal,
kalau kita berkaca pada sejarah pendidikan Islam, sebagaimana telah
kita singgung sebelumnya, seharusnya pendidikan diselenggarakan

103
secara integratif dan ditujukan untuk mengatasi persoalan-persoalan
yang dihadapi oleh umat manusia.
Dalam Islam, ilmu adalah milikAllah dan berasal dari-Nya. Oleh
karena itu, Islam tidak memandang berbeda antara ilmu agama dan
ilmu umum seperti lazimnya pandangan masyarakat dewasa ini. Islam
memiliki pandangan bahwa ilmu sudah terkandung secara esensial
dalam Al-Quran sehingga beragama berarti berilmu dan berilmu berarti
beragama. Tidak ada dikotomi antara agama dan ilmu.
Paradigma ilmu dalam Islam, demikian menurut Mastuhu
(1999: 219-220), meliputi beberapa kesadaran. Pertama, ilmu itu
secara esensial terkandung dalam ajaran Islam; pertumbuhan dan
perkembangan suatu ilmu senantiasa bersumber dari nilai-nilai ajaran
Islam. Kedua, Islam tidak mengenal dikotomi antara ilmu dan agama.
Keduanya tidak dapat dipisahkan, tetapi dapat dibedakan dalam
setiap posisi dan perannya. Ketiga, ilmu itu diciptakan manusia, tetapi
pengembangan dan pengamalannya sejak awal sudah diniatkan untuk
mengabdi kepada Allah Swt., Zat yang secara hakiki memiliki dan
menjadi sumber ilmu.
Kalau rnau menengok kembali ke fakta sejarah, kita dapat
menjumpai kenyataan bahwa pada masa kejayaan peradaban Islam,
belum dikenal adanya pertentangan antara ilmu agama dan ilmu
umum. Sebaliknya, lembaran sejarah menunjukkan banyaknya pemikir
Muslim yang ahli agama sekaligus ahli kedokteran, matematika,
astronomi, fisika, kimia, sosiologi, filsafat, pendidikan, dan sebagainya.
Justru pada abad modern sekarang inilah dikotomisasi ilmu menguat.
Begitu pun kita kemudian cenderung mempertentangkan antara ilmu
agama {tradisional) dan ilmu sekuler {modern).
Hal yang lebih memprihatinkan dari dikotomi tersebut adalah
munculnya pandangan tentang netralitas ilmu, yang mana ilmu
dikatakan bebas nilai. Pandangan inilah yang pada gilirannya

104
mendorong manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi tanpa mengindahkan kemaslahatan dan kemudharatannya
bagi manusia dan alam beserta isinya, sebab mereka meyakini bahwa
nilai (maslahat dan mudharat) itu ada di wilayah ilmu agama. Mereka
menyudutkan akhlak atau moral ke wilayah ilmu agarna, sedangkan ilmu
umum dibebaskan dari seluruh pertimbangan nilai-nilai yang menjadi
basis moral. Akibat lebih lanjutnya adalah lahirnya ilmuwan-ilmuwan
tanpa agama, cendekiawan tanpa erika, dan orang-orang pintar yang
mencampakkan nilai-nilai moral di trotoar.
Di sisi yang lain, mereka yang mendalarni ilmu agarna seakan-akan
sepenuhnya mengorientasikan hidupnya untuk kebahagiaan di akhirat
dan harnpir mengabaikan kehidupan di dunia. Mereka terbenarn dalarn
keasyikan mendalami ilmu agama sambil membayangkan indahnya
kehidupan di negeri akhirat. Namun sayangnya, lupa bahwa negeri
yang mereka tuju itu sesungguhnya tempat menuai apa yang mereka
tanarn di dunia. Akibatnya, mereka menjadi seperti orang asing yang
kebingungan ketika dihadapkan pada persoalan-persoalan kehidupan
seperti kemiskinan, pengangguran, ketenagakerjaan, kesenjangan sosial,
kemajuan teknologi, pembajakan, vandalisme, kapitalisme, dan sebagainya.
Alih-alih memberikan solusi, mereka justru menjadi bagian dari masalah
tersebut dengan menambah angka pengangguran dan kemiskinan,
menjadi pelaku kekerasan atas nama agarna, dan sebagainya.
Dari sini menjadi jelas bahwa sesungguhnya gagasan pendidikan
Islam berbasis sosial yang ditawarkan dalam buku ini secara ideal
mensyaratkan penghapusan dikotomi ilmu yang menjadi pangkal
dari dualisme sistem pendidikan tradisional dan modern. Dengan
mencontoh praktik pendidikan yang diterapkan oleh Nabi Saw.,
pendidikan Islam harus berangkat dari problematika umat dan
diselenggarakan untuk memberikan solusi atas persoalan-persoalan
tersebut. Disebabkan persoalan-persoalan itu mencakup segala aspek

105
kehidupan manusia, pendidikan Islam mesti bersiap diri dengan
kurikulum yang mampu mengakomodasinya. Artinya, tidak seharusnya
kurikulum pendidikan Islam berhenti hanya pada tema-tema akidah,
fikih, akhlak, tasawuf, rafsir, sejarah Islam, atau ilmu hadis, sementara
hal-hal yang berkaitan dengan masalah ekonomi, politik, teknologi,
dan sejenisnya diabaikan.
Hal yang menjadi persoalan adalah sistem pendidikan Islam
di Indonesia menjadi subsistem dari pendidikan nasional, yang
mana dikotomi dan dualisme yang dimaksud justru memperoleh
pembenaran. Bukti paling konkret yang dapat diajukan di sini adalah
manakala pendidikan agama di sekolah-sekolah kita dilokalisasi hanya
pada satu mata pelajaran dengan alokasi waktu dua jam per minggu.
Kalau sistem pendidikan kira menganut prinsip integrasi ilmu, tentu
hal semacam ini tidak mungkin terjadi, karena nilai-nilai agama
diintegrasikan ke dalam muatan kurikulum.
Upaya-upaya mengintegrasikan ilmu (agama dan umum) seperri
dilakukan oleh Ismail Raji al-Faruqi, Syed Naguib al-Arras, Fazlur
Rahman, Kuntowijoyo, atau Amin Abdullah mungkin--pada tataran
terrentu--dapat menjadi semacam oasis di tengah sistem pendidikan
nasional kita yang dikotomis itu. Gagasan Ismail Raji al-Faruqi dan Syed
Naguib al-Attas untuk melakukan islamisasi pengetahuan (islamization
of knowledge), lalu metode gerakan ganda (a double movement) yang
ditawarkan Fazlur Rahman, disusul Kuntowijoyo dengan "pengilmuan
Islam" -nya, kemudian Amin Abdullah dengan "imegrasi-interkoneksi"-
nya (Sutrisno, 2008: 83-99), semua merupakan upaya mencari jalan
keluar atas problem pendidikan umat Islam. Dengan gagasan-gagasan
dari para tokoh tersebut, diharapkan sistem pendidikan Islam dapat
melahirkan ilmuwan-ilmuwan Muslim yang berkontribusi besar
terhadap peradaban Islam, sama seperti para ilmuwan Muslim yang
dihasilkan oleh pendidikan Islam pada masa kejayaan dahulu.

106
Adapun gagasan yang penulis tawarkan dalam buku ini lebih
pada upaya untuk mendiskusikan kembali pendekatan pendidikan
agama Islam (PAl) sebagai sebuah bidang keilmuan. Gagasan ini
digulirkan sebagai alternatif solusi di tengah persoalan-persoalan bangsa
di satu sisi, serta dualisme sistem pendidikan umat Islam Indonesia
di sisi lain. Bagaimanapun, sungguh tidak mudah mengharapkan
sistem pendidikan nasional-yang mana pendidikan Islam menjadi
subsistemnya--menghapuskan dikotomi ilmu dan kemudian
mengintegrasikan nilai-nilai Islam ke dalam setiap mata pelajaran
sebagai kompensasi dari dihapusnya mata pelajaran PAI.
Melalui gagasan PAl berbasis problem sosial, diharapkan
pelaksanaan PAl di lembaga-lembaga pendidikan kita, baik sekolah,
madrasah, pesantren, maupun perguruan tinggi, mampu melahirkan
individu-individu yang merepresentasikan Islam yang rahmatan lil
alamin. Dengan begitu, Islam dapat kita hadirkan sebagai jalan keluar
dari berbagai persoalan bangsa yang kian hari kian kompleks.
Selama ini, PAl dilaksanakan dengan menjadikan ajaran Islam
sebagai basisnya, itu pun kadang diberikan dengan pendekatan
indoktrinasi yang ekskl us if. Kurikul urn PAI dirancang untuk
mengajarkan pengetahuan tentang ajaran Islam yang dipilah ke dalam
empat aspek, yaitu Al-Quran dan Hadis, Akidah Akhlak, Fikih, dan
Sejarah Kebudayaan Islam. Titik tekan proses pembelajaran pun
kemudian hampir sepenuhnya pada penguasaan pengetahuan berupa
hafalan pada keempat aspek tersebut sehingga sistem evaluasinya
juga memberi tekanan yang berlebihan pada aspek kognitif saja.
Penyelenggaraan PAI seperti ini pada gilirannya membuat peserta didik
(dan juga guru) kurang peka terhadap persoalan-persoalan sosial yang
ada di sekitarnya sehingga mereka tidak terdorong untuk secara kritis
memikirkan solusi atas berbagai persoalan tersebut.

107
Sebaliknya, konsep PAI berbasis problem sosial mendorong guru
dan peserta didik untuk secara aktif menemukan serta memahami
berbagai problem kehidupan di sekitarnya, untuk kemudian
merumuskan jalan keluarnya. Materi PAI bukan disusun dari ajaran
Islam yang sudah mapan, melainkan dari kehidupan masyarakat tempat
dan ruang para peserta didik menjalani hidupnya. Konsep PAI berbasis
problem sosial ini berpijak pada prinsip-prinsip berikut.

1. Menjadikan problem sosial sebagai basisnya


Sesuai dengan misi Islam sebagai rahmat bagi semesta alam,
maka-sekali lagi-kehadirannya harus menjadi solusi atas
berbagai problem yang dihadapi oleh masyarakatnya. Itulah
mengapa PAI harus dilaksanakan dengan menjadikan problem
sosial sebagai basisnya. Prinsip ini tentu berbeda dengan pola yang
berlaku selama ini, yang mana PAI diberikan dengan berbasis pada
ajaran Islam yang sudah mapan. Dengan menjadikan problem sosial
sebagai basis, diharapkan PAI lebih dari sekadar rangkaian ajaran
agama yang harus dihafalkan, melainkan lebih dari itu merupakan
suatu "tafsir kontekstual" yang secara dinamis merespons berbagai
persoalan yang terjadi di tengah masyarakat.

2. Menggunakan paradigma inklusif

Penduduk Indonesia sampai tahun 2011 mencapai jumlah 241 juta


menganut bukan hanya satu agama, melainkan bermacam-macam
agama. Mayoritas mereka beragama Islam, yang lain menganut
agama Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Di samping itu, dalam setiap agama terdapat berbagai aliran,
misalnya dalam Islam ada Muhammadiyah, NU, Persis ,
Ahmadiyah, Syiah, dan sebagainya. Jika setiap agama atau aliran
mengajarkan keyakinan (doktrin) yang diyakininya secara eksklusif,
sangat mungkin terjadi konflik antarumat beragama dan konflik

108
interumat beragama. Kesemuanya ini dapat memicu terjadinya
konflik sosial. Oleh sebab itu, hendaknya PAl dilaksanakan
dengan berpijak pada paradigma inklusif, dengan penekanan pada
nilai-nilai universal yang mendorong peserta didik untuk menjadi
individu yang berperilaku santun di tengah masyarakat.

3. Berorientasi pada norma dan etika agama untuk membentuk


perilaku sosial dan pemecahan problem sosial
Selaras dengan paradigma inklusif, prinsip ini menuntut
pelaksanaan pembelajaran PAI yang berorientasi pada pencapaian
kompetensi sosial peserta didik. Norma-norma dan nilai-nilai Islam
diajarkan bukan dalam kerangka membentuk kesalehan individu
semata, yang mana sering ajaran Islam dijadikan sebagai doktrin
eksklusif yang menafikan agama atau aliran lain. Kesalehan individu
tetap penting, tetapi harus dibingkai dalam kerangka kesalehan
sosial yang mana seorang Muslim menjadi penyebar rahmat bagi
lingkungan sekitarnya.

4. Kurikulum berbasis pada realitas sosial yang menantang untuk


dipecahkan oleh peserta didik
Prinsip ini mengidealkan kurikulum PAI yang disusun dengan
menjadikan realitas sosial sebagai pijakannya, bukannya ajaran
Islam yang sudah mapan. Ini bukan berarti bahwa mated tentang
ajaran Islam seperti akidah, akhlak, fikih, tafsir, dan lain-lainnya
tidak penting. Namun , pemilihan materi-materi tersebut
mestinya dilakukan dengan berpijak pada realitas sosial yang
berkembang di masyarakat. Selain itu, pemberian materi juga
harus mempertimbangkan paradigma inklusif sebagaimana sudah
dijelaskan. Dengan cara ini, diharapkan peserta didik tumbuh
menjadi pribadi-pribadi yang tidak hanya kritis, tetapi juga sensitif
terhadap persoalan-persoalan di sekitarnya.

109
5. Menekankan pada kompetensi yang berkaitan dengan pemenuhan
kesalehan sosial
Karen a basisnya adalah problem so sial, PAI sudah seharusnya
memberikan penekanan lebih pada pencapaian kompetensi-
kompetensi yang dapat memberikan manfaat langsung kepada
masyarakat. Kita mungkin bisa menyebutnya sebagai kompetensi
sosial. Jadi, selain membekali peserta didik dengan kompetensi
individual, PAI juga harus memberi perhatian lebih pada pencapaian
kompetensi sosial tersebut. Dengan begitu, diharapkan PAI dapat
menjadi jalan keluar dari berbagai persoalan yang dihadapi peserta
didik dewasa ini, seperti narkoba, tawuran antarpelajar, vandalisme,
dan sebagainya.

6. Norma agama ditanamkan kepada peserta didik sebagai landasan


berperilaku dan bertindak di masyarakat
Konsep PAI berbasis problem sosial juga mengidealkan internalisasi
nilai-nilai Islam ke dalam diri peserta didik, yang muaranya
adalah pembentukan sikap dan perilakunya. Prinsip ini berbeda
dengan pola pembelajaran PAl secara konvensional yang
mengedepankan pencapaian pengetahuan keagamaan peserta
didik melalui pengertian, hafalan, dan pemahaman terhadap
ajaran Islam. Sebab, pola konvensional ini terbukti tidak berhasil
membentuk kepribadian islami. Meskipun relatif berhasil
mentransfer pengetahuan tentang ajaran Islam. Hal mana tampak
dari ketidaksinkronan antara nilai akademik peserta didik dengan
akhlak keseharian yang ditunjukkan dalam perilakunya. Konsep
PAI berbasis problem sosial didasarkan pada realitas sosial sehingga
norma agama yang diajarkan kepada peserta didik pun tidak
sebatas untuk dimengerti, dihafal, dan dipahami, tetapi lebih
dari itu dijadikan sebagai landasan berperilaku dan bertindak di
masyarakat.

110
7. Peserta didik dibina menjadi kader pembangunan masyarakat
yang taat beragama
Konsep PAl berbasis problem sosial mencita-citakan lahirnya
generasi Islam pembawa perubahan, yang selalu merasa gelisah
melihat ketidakberesan yang menggejala di masyarakat. Pesena didik
tidak dituntut untuk menguasai sebanyak mungkin pengetahuan
agama, tetapi dibina menjadi kader pembangunan masyarakat
yang taat beragama. Dengan kata lain, ia diharapkan bukan hanya
saleh secara individual, melainkan pula mampu menjadi katalisator
pembangunan masyarakatnya. Pengetahuan agamanya boleh jadi
sedikit, tetapi kiprahnya dalam pembangunan dan pemberdayaan
masyarakat jauh melampaui pengetahuannya itu.

8. Peserta didik yang berbeda agama boleh mengikuti PAl dalam


materi yang bersifat universal
Ketika PAl dilaksanakan dengan pendekatan inklusif, dengan
sendirinya tidak perlu lagi muncul kekhawatiran bahwa peserta
didik yang berbeda agama akan terpengaruh dan kemudian goyah
imannya. Materi-materi pembelajaran sepeni toleransi, kejujuran,
keadilan, kedisiplinan, sponivitas, kerja keras, keuletan, antikorupsi,
tolong-menolong, dan semacamnya bukanlah materi yang eksklusif
PAI. Materi-materi tersebut merupakan nilai-nilai universal yang bisa
diterima oleh semua agama sehingga pembelajarannya bisa dilakukan
secara inklusif pula seperti pembelajaran pada mata pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan atau Pendidikan Budi Pekerti.

9. Guru PAl berkolaborasi dengan semua guru di sekolah untuk


menanamkan nilai-nilai Islam
Prinsip ini sesungguhnya merupakan pengejawantahan dari prinsip
integrasi ilmu, di mana nilai-nilai agama tidak dilokalisasi hanya
pada wilayah pendidikan agama. Dengan paradigma inklusif yang

111
berorientasi pada pembenrukan perilaku sosial, PAI tidak lagi menjadi
milik guru PAI di sekolah. Pembelajaran PAI bisa dilaksanakan
oleh seluruh pendidik dan tenaga kependidikan, sebab materi yang
diajarkan adalah nilai-nilai agama yang sifatnya universal. Ketika
melakukan penilaian terhadap hasil belajar peserta didik, terutama
yang terkait dengan sikap dan perilaku, guru PAI harus bersama-sama
dengan semua guru mata pelajaran lain yang ada di sekolah.

Demikianlah konsep dasar PAI berbasis problem sosial yang


ditawarkan dalam buku ini. Dari apa yang sudah kita diskusikan di
atas, tampak jelas perbedaan antara pola penyelenggaraan PAI secara
konvensional dengan konsep PAI berbasis problem sosial. Perbedaan
tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.
Tabell.
Perbedaan antara Penyelenggaraan PAl Konvensional dengan Berbasis Problem Sosial

No. PAl Konvensional PAl Berbasis Problem Sosial


1 Berbasis pada keyakinan (doktrin). Berbasis pada problem sosial.
2 Menggunakan paradigma eksklusif. Menggunakan paradigma inklusif.
3 Berorientasi pada penguasaan ilmu agama Berorientasi pada norma dan etika agama untuk
dan ritual keagamaan untuk membentuk membentuk perilaku sosial keagamaan dan
siswa menjadi ahli agama. pemecahan problem sosial.
4 Kurikulum berbasis pada ilmu/ pengetahuan Kurikulum berbasis pada realitas sosial yang
agama yang perlu dipelajari peserta didik. menantang untuk dipecahkan oleh peserta didik.
5 Kompetensi yang dituntut berkaitan dengan Menekankan kompetensi yang berkaitan dengan
perilaku kesalehan individu. pemenuhan kesalehan sosial.
6 Norma agama menjadi materi pelajaran Nonna agama ditanamkan kepada peserta didik
untuk dihapal dan dimengerti peserta didik. sebagai landasan berperilaku dan bertindak di
masyarakat.
7 Peserta didik dituntut menguasai Peserta didik dituntut menjadi kader pembangunan
pengetahuan agama. masyarakat yang taat beragama.
8 Peserta didik selalu terdiri dari satu agama Peserta didik yang berbeda agama boleh mengikuti
yang sama. pelajaran agama lain dalam materi yang bersifat
universal.
9 Guru agama menjalankan tugasnya secara Guru agama berkolaborasi dengan semua guru di
mandiri untuk menyampaikan materi sekolah untuk menanamkan nilai-nilai agama.
pelajaran.

112
Dapat dikatakan bahwa konsep PAI berbasis problem sosial ini
menekankan posisi peserta didik sebagai subjek didik yang mengalami
proses pendidikan, mulai dari proses mencari, menemukan, dan
menerapkan pengetahuannya, sampai menjadi seorang manusia
Muslim yang ideal dalam perspektif tujuan pendidikan Islam. Sebab,
bukankah ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang diamalkan sehingga
mendatangkan manfaat bagi sesama? Dengan pendekatan seperti ini,
kita tidak hanya harus mau mengubah cara pandang terhadap peserta
didik, tetapi juga mesti bersiap melakukan perubahan terhadap sistem
pendidikan Islam yang sudah relatif mapan.
Salah satu bagian terpenting yang harus digarisbawahi adalah
untuk dapat memecahkan masalah, seseorang harus memiliki
kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Bahkan, dapat dikatakan
bahwa menumbuhkembangkan kemampuan memecahkan masalah
juga berarti menumbuhkembangkan sifat kritis dan kreatif. Masalah
itu sendiri bisa datang dari mana saja dengan mengambil bentuk
apa saja, mulai dari masalah sederhana yang hanya menggunakan
akal sehat untuk memecahkannya, sampai masalah muskil yang
menuntut prosedur berpikir yang lebih kompleks untuk mengurainya
(Mainuddin, 1994: 44-45).
Proses berpikir untuk memecahkan masalah berlangsung dalam
empat tahap. Pertama, tahap persiapan. Pada tahap ini, masalah
diselidiki dari segala arah sehingga semua informasi yang terkait
dengannya ditemukan, selanjutnya dianalisis dan didefinisikan. Proses
ini menyangkut klasifikasi dan penilaian masalah. Kedua, tahap inkubasi.
Pada tahap ini, masalah seakan-akan terbawa tidur, tidak terpikirkan
secara sadar dan dinamis, tetapi masalah itu merasuk ke alam pikir yang
nantinya akan mengalir keluar dalam wujud iluminasi kreatif (tahap
ketiga). Tahap ketiga ini disebut tahap ilmuninasi yang mana ide atau
kesimpulan baru muncul tidak terduga. T ahap keempat merupakan

113
suatu usaha sadar yang dilakukan untuk mencoba menentukan
kesahihan dari kesimpulan yang didapat tadi sesuai dengan kriteria
atau aturan-aturan ilmiah, baik dengan menggunakan langkah-langkah
logika maupun eksperimen (Mainuddin, 1994: 45-46).
Dalam pemecahan masalah diperlukan dua kategori pengetahuan,
yaitu (1) pengetahuan konseptual yang meliputi konsep, hukum,
definisi, dan teori; (2) pengetahuan prosedural yang diperlukan untuk
memecahkan masalah sejak dari mengumpulkan informasi sampai
melaksanakan langkah-langkah pemecahan masalah. Langkah-langkah
logis dalam pemecahan masalah dimulai dengan adanya masalah,
kemudian dilanjutkan dengan identifikasi masalah; merumuskan
masalah secara eksplisit dan menetapkan tujuan pemecahan masalah
tersebut; menyusun jawaban sementara; mengumpulkan informasi
pengarnatan untuk verifikasi jawaban sementara; menganalisis informasi
atau data dengan mengerahkan kemampuan berpikir pemecahan
masalah dengan menggunakan aturan-aturan pengarnbilan kesimpulan
dan arahan strategi yang telah ditetapkan; menarik kesimpulan dan
mengomunikasikannya (Mainuddin, 1994: 47-48).
Pada awalnya, sifat kritis dan keatif yang diperlukan adalah
yang memungkinkan peserta didik berani dan memiliki rasa percaya
diri untuk memahami wahyu secara langsung. Mereka tidak lagi
menganggap bahwa hasil pemahaman ulama terhadap wahyu pada
masa lalu merupakan sesuatu yang final, yang pasti mujarab untuk
mendiagnosis permasalahan-permasalahan sekarang dan yang akan
datang. Hasil-hasil ijtihad ularna masa lalu yang cocok untuk mengatasi
persoalan pada waktu itu, belum tentu cocok untuk mengatasi
persoalan sekarang, dan masa mendatang. Oleh karena itu, mereka
harus senantiasa melakukan ijtihad, guna mengatasi persoalan-
persoalan yang mereka hadapi masing-masing. Kondisi semacam ini

114
akan selalu terpelihara dengan baik, selama pendidikan umat Islam
berhasil melahirkan lulusan yang memiliki sifat kritis dan kreatif.
Kalau PAI dikembangkan dengan menjadikan problem sosial sebagai
basis, maka sudah semestinya tujuan pendidikan diarahkan ke sana. PAI
harus dilaksanakan untuk mengembangkan daya kritis dan kreatif peserta
didik sehingga mereka mampu menjadi pemberi solusi sekaligus siap
menjadi katalisator perubahan di tengah masyarakatnya. Peserta didik
yangkritis dan kreatif, demikian menurut SuharsimiArikunto (1993: 78),
paling tidak mempunyai riga ciri yang menonjol, yaitu (1) mempunyai
pemikiran asli atau orisinal (originality), (2) mempunyai keluwesan
(flexibility), dan (3) menunjukkan kelancaran proses berpikir (jluency).
Dengan tiga ciri utama ini, mereka akan mampu menghasilkan sesuatu
yang tidak sederhana dan berbeda dari yang lain. Sementara itu, Guilford
menekankan bahwa peserta didik yang kreatif paling tidak dapat dilihat
dari ciri-ciri berikut (1) sensitif tidaknya mereka dalam melihat sesuatu
masalah, (2) orisinal tidaknya ide atau pikiran yang dikemukakan, (3)
lancar tidaknya mereka dalam mengemukakan ide, (4) fleksibel tidaknya
dalam berpikir, dan (5) mampu tidaknya mereka mengutarakan kembali
pengetahuan yang telah dimiliki (Arikunto, 1993: 78.).
Hal yang juga harus disadari adalah setiap peserta didik
mempunyai potensi kritis dan kreatif. Namun, berkembang atau
tidaknya potensi itu sangat tergantung pada fakror-fakror lain seperti
guru, materi, metode, media, dan lingkungan belajar. Oleh karena
itulah, semua faktor ini harus diarahkan untuk membantu peserta didik
mengembangkan potensi kritis dan kreatif sehingga setelah mengalami
proses pembelajaran mereka diharapkan dapat mengembangkan
potensinya untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.

115
C. Implikasinya terhadap Kurikulum Pendidikan Islam

Dengan menjadikan problem sosial sebagai basis PAl, paradigma


pengembangan kurikulum pun harus berubah. Di sini, kita akan
melihat dan mendiskusikan bagaimana implikasi konsep PAI berbasis
problem sosial terhadap kurikulum PAI. Agar lebih komprehensif, kita
perlu memahami kurikulum sebagai sebuah perangkat pendidikan
yang terdiri dari empat unsur utama, yaitu tujuan pembelajaran,
materi pembelajaran, metode pembelajaran, dan evaluasi hasil belajar
(Nasution, 1991: 12; Sukmadinata, 2000: 10).

1. Tujuan Pembelajaran
Dilihat dari tujuannya, PAl harus diarahkan untuk dapat
menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan sebagai pemberi
solusi atas berbagai persoalan umat. Oleh karena itu, pembentukan
karakter kritis dan kreatif para peserta didik menjadi suatu keniscayaan.
Sebab, karakter kritis dan kreatif inilah yang akan dapat membantu
mereka untuk memahami problem-problem sosial dengan baik dan
kemudian mencari jalan keluarnya. Jadi, dalam perumusan tujuan
operasional, baik di lingkup lembaga, maupun dalam rancangan
kegiatan pembelajaran, pelaksanaan PAl perlu diorientasikan
kepada pencapaian tujuan tersebut. Dengan begitu, output--berupa
lulusan-yang dihasilkan dari proses pendidikan ini memiliki
kompetensi yang cukup untuk memecahkan berbagai masalah yang
dihadapi masyarakatnya. Mereka dapat merepresentasikan Islam yang
membawa rahmat, bukan sebaliknya. Tujuan ini sesuai dengan amanat
undang-undang, yang mana pendidikan agama diidealkan dapat
"menumbuhkan sikap kritis, inovatif, dan dinamis sehingga menjadi
pendorong peserta didik untuk memiliki kompetensi dalam bidang
ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau olahraga" (Pasal 5 ayat 6
PP No. 55/2007).

116
2. Materi Pembelajaran
Dengan mengacu kepada tujuannya, materi pembelajaran yang
termuat dalam kurikulum PAI mestinya dirancang untuk mendorong
munculnya sikap kritis dan kreatif peserta didik, khsususnya dalam
mencari solusi atas berbagai problem sosial yang ada di masyarakat.
Dengan demikian, seharusnya muatan kurikulum tidak disusun
berdasarkan struktur ajaran Islam yang sudah mapan, tetapi berangkat
dari pencarian dan penemuan problematika umat yang hendak dicari
jalan keluarnya. Tegasnya, materi pembelajaran disusun dengan
menjadikan problem-problem sosial sebagai basisnya, kemudian
dimunculkanlah materi ajaran Islam sebagai jalan keluar. Permasalahan-
permasalahan riil seperti etas kerja yang rendah, lunturnya tradisi
keilmuan, meningkatnya angka kemiskinan dan pengangguran,
kemudian maraknya kasus-kasus korupsi, seks pranikah, vandalisme,
penyalahgunaan narkoba, pornografi, kerusakan lingkungan, dan
masalah-masalah lain yang banyak dijumpai di sekitar peserta didik,
hendaknya diangkat sebagai materi pembelajaran PAI. Selanjutnya, dari
sana peserta didik diajak unruk mencari dan menemukan solusi yang
brilian dengan cara menggalinya dari berbagai sumber ajaran Islam.

3. Metode Pembelajaran
Kita tentu masih ingat ungkapan hikmah Arab yang menyebut
bahwa metode lebih penting daripada materi, sementara guru lebih
penting daripada metode. Tujuan dan materi pembelajaran yang
bagus hanya akan menjadi among kosong belaka kalau metode yang
digunakan tidak sesuai, apalagi kalau gurunya tidak memiliki semangat
atau kemauan untuk menjalankannya. Oleh sebab itu, pemilihan
metode-dan tentunya juga pendekatan--pembelajaran yang tepat
juga merupakan suatu keharusan. Guru PAI harus berani keluar dari
kebiasaan dan cara pandang tradisional yang menganggap peserta

117
didik sebagai gelas kosong yang perlu dituangi pengetahuan melalui
ceramah dan indoktrinasi, menuju paradigma yang lebih manusiawi
yang menempatkan peserta didik sebagai manusia dengan segala
potensinya. Dari sini jelas bahwa pemilihan metode memiliki peranan
penting dalam pembentukan karakter kritis dan kreatif-dan pada
gilirannya kemampuan memecahkan masalah--dalam diri peserta
didik. ldealnya, sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang,
"Pendidikan agama diselenggarakan secara interaktif, inspiratif,
menyenangkan, menan tang, mendorong kreativitas dan kemandirian,
serta menumbuhkan motivasi untuk hidup sukses." (Pasal5 ayat 7 PP
No. 55/2007).
Dalam kaitan ini, ada banyak metode yang dapat digunakan dalam
kegiatan pembelajaran PAl berbasis problem sosial. Mel Silberman
(2001), sekadar contoh, mengembangkan metode pembelajaran aktif
(active learning) yang menempatkan guru sebagai fasilitator sementara
peserta didik berperan aktif dalam kegiatan pembelajaran. Kemudian
ada Fazlur Rahman, yang menawarkan metode gerakan ganda (a
double movement), yakni pembelajaran melibatkan gerakan ganda, yaitu
gerakan dari guru ke peserta didik dan sebaliknya gerakan dari peserta
didik ke guru. Dalam proses pembelajaran yang menerapkan metode
ini, peserta didik didorong untuk leluasa melakukan berbagai aktivitas
seperti membaca, memahami, menganalisis, menulis, mengadakan
eksperimen, mengalami proses pembuktian, menemukan jawaban
dari pertanyaan-pertanyaan, dan sebagainya. Metode gerakan ganda
Fazlur Rahman ini, juga pembelajaran aktif dari Mel Silberman,
hanyalah sedikit contoh dari banyak metode yang dapat diterapkan
dalam pembelajaran PAI berbasis problem sosial. Masih banyak metode
lain yang sesuai dengan konsep ini, seperti metode pembelajaran
berbasis masalah, metode pembelajaran kontekstual (contextual
teaching and learning), pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif,
dan menyenangkan (PAIKEM), dan sebagainya. Kata kuncinya adalah

118
bagaimana metode itu dapat meningkatkan daya kritis dan kreatif
peserta didik dalam mengidentifikasi persoalan-persoalan di sekitarnya
untuk kemudian merumuskan jalan keluarnya.

4. Evaluasi Pembelajaran
Dengan karakteristik PAl berbasis problem sosial seperti sudah
diuraikan di depan, sistem evaluasinya pun harus disesuaikan. Penilaian
hasil belajar tidak bisa lagi memberi penekanan berlebihan pada
aspek pengetahuan (kognitif) melalui penilaian tertulis, sebab bukan
kompetensi pengetahuan yang menjadi tujuan di sini. Prestasi peserta
didik pun tidak diukur dari seberapa mengerti, paham, atau hafalnya
mereka terhadap materi tertentu, tetapi seberapa mampu mereka
mengejawantahkannya ke dalam sikap dan perilaku. Dengan kata lain,
hasil belajar yang diharapkan dalam konsep ini lebih pada aspek sikap
(afektif) dan perilaku (psikomotorik). Sementara itu, aspek kognitif
lebih dipandang sebagai landasan bagi sikap dan perilaku tersebut.
Model evaluasi semacam ini memungkinkan atau lebih tepatnya
meniscayakan, peran serta seluruh warga sekolah-terutama guru
dan tenaga kependidikan lainnya--dalam proses penilaian. Bahkan,
keluarga dan masyarakat tempat peserta didik tinggal pun idealnya
dilibatkan dalam proses evaluasi. Dengan demikian, sikap dan perilaku
peserta didik bisa diamati, dinilai, dan diarahkan secara terus-menerus.
Dengan kata lain, evaluasi pembelajaran bukan lagi menjadi hak muclak
guru PAI, melainkan menjadi kewajiban seluruh pihak yang terlibat
dengan peserta didik. Gagasan penilaian berbasis kelas (PBK) yang
pernah mengemuka pada era KBK, agaknya relevan untuk diterapkan
di sini, tentunya dengan pemberian penekanan tertentu kepada aspek
afektif dan psikomotorik yang menjadi tujuan utama evaluasi. Penilaian
pada aspek kognitif mungkin tetap diperlukan, tetapi tidak terlepas dari
tujuan pembelajaran dalam konteks PAl berbasis problem sosial.

119
D. Implikasinya terhadap Penyelenggaraan Pendidikan Islam
Konsep PAl berbasis problem sosial ini dengan sendirinya juga
berimplikasi terhadap praksis penyelenggaraannya di tingkat lembaga
pendidikan. Para pemimpin lembaga pendidikan, khususnya kepala
sekolah/madrasah dan ketua yayasan, pertama-tama harus memiliki
paradigma yang benar tentang misi Islam sebagai rahmat bagi seluruh
alam. Sebab, dari sanalah gagasan PAI berbasis problem sosial ini
berasal. Kelurusan paradigma ini penting karena akan menjadi semacam
fondasi bagi struktur bangunan pendidikan yang diselenggarakan, yang
mana akan membawa pengaruh yang signifikan terhadap penyusunan
kurikulum di tingkat satuan pendidikan.
Kepemimpinan menjadi bagian terpenting dari proses transformasi
pelaksanaan PAl ini, kalau kita sepakat menyebutnya demikian,
mengingat peranannya yang sangat strategis dalam organisasi. Tanpa
kepemimpinan yang efektif dalam menjalankannya, proses transformasi
ini tidak akan memiliki cukup bahan bakar yang menjadi sumber
energinya umuk mencapai tujuan yang diharapkan. Dalam pengantar
buku Kepemimpinan Pendidikan (Albarobis, 2012a: xi), Sutrisno
menggarisbawahi peran strategis pemimpin pendidikan .
... Kdrena itu, tramformasi pendidikan juga banyak dipengaruhi oleh,
dan harus dimu!di dari, pemimpin (kepa!d)-nya. Kita lihat, misalnya,
saat ini banyak lembaga pendidikan yang semu!d biasa-biasa saja,
namun kemudian berangsur-angsur menjadi lebih baik setelah
ada pergantian kepala sekolah dengan yang lebih baik. Hal itu
menunjukkan bahwa fungsi kepala sekolah sangat menentukan
kemajuan seko!dh.

Benar bahwa kepala sekolah bukan satu-satunya faktor yang


menentukan kemajuan dan kemunduran suatu sekolah, namun
ia merupakan foktor terpenting di antara semua foktor yang ada.
Tanpa kepemimpinan kepala sekolah yang efektif, akan sangat

120
sulit atau bahkan bisa jadi mustahil suatu lembaga pendidikan
dapat mencapai dan mempertahankan keunggulannya. Dari sini
dapat dipahami mengapa transformasi pemimpin pendidikan
menjadi suatu keharusan manakala kita menginginkan terjadinya
transformasi pada lembaga-lembaga pendidikan, baik itu sekolah,
madrasah, maupun lembaga pendidikan lainnya.

Setelah para pemimpin pendidikan bertransformasi, yang mana


dimulai dari perubahan paradigma sebagaimana disinggung di atas,
selanjutnya mereka harus mewujudkan gagasan serta cara pandang baru
terhadap PAI tersebut dalam proses penyusunan dan pengembangan
kurikulum. Perumusan visi dan misi lembaga pendidikan, dalam
konteks ini, menjadi bagian penting berikutnya. Dalam sudut
pandang PAl berbasis problem sosial, visi dan misi sekolah/madrasah
mesti selaras dengan visi dan misi PAI sebagai pemberi jalan keluar
bagi berbagai persoalan bangsa. T emu saja rumusan visi tidak harus
menekankan pada hal-hal yang bersifat formal atau simbolis keagamaan
Islam, sebab memang bukan itu tujuan dari gagasan ini. Hal yang
terpenting di sini adalah adanya perhatian yang besar terhadap tujuan
pokok pelaksanaan PAI, yang mana hal itu bisa saja dicapai dengan
pendekatan pembelajaran PAI yang inklusif.
Selain visi dan misi yang selaras, pengembangan kurikulum
sekolah/madrasah juga mesti mempertimbangkan kalender pendidikan,
program kerja, target, sasaran, strategi, manajemen sumber daya
manusia (SDM), pengelolaan sarana dan prasarana, pengembangan
budaya, dan lain-lain yang bernapaskan sama. Sebab, sekali lagi,
penyelenggaraan PAl berbasis problem sosial tidak bisa hanya
dibebankan kepada guru PAl, tetapi butuh keterlibatan seluruh warga
dan bahkan stakeholder sekolah. Setidak-tidaknya, kepala sekolah
menciptakan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan PAl, misalnya
dengan menyosialisasikan program tersebut kepada seluruh warga

121
dan stakeholder sekolah, menyusun tata tertib dan sistem operasional
prosedur (SOP) yang mendukung, merancang program dan kegiatan
yang merangsang perkembangan daya kritis dan kreatif peserta didik,
dan sebagainya. Kemudian, guru-guru mata pelajaran lain diminta
kesediaannya untuk membantu guru PAI, khususnya dalam melakukan
evaluasi hasil belajar peserta didik sebagaimana sudah kita diskusikan
di depan.
Dalam tataran pelaksanaan, guru PAI harus melakukan banyak
penyesuaian, mengingat konsep PAl berbasis problem sosial ini
memiliki banyak perbedaan dibanding pendekatan PAI konvensional.
Pertama-tama, guru PAl juga harus membangun mindset yang
humanis tentang peserta didik dengan memandang mereka sebagai
manusia-makhluk Allah yang paling sempurna dalam segala
aspeknya--yang dibekali beragam potensi yang luar biasa, yang dengan
potensi-potensi itu mereka bisa menjadi representasi (khalifoh) Allah
di muka bumi. Dengan mindset seperti ini, kecil kemungkinan guru
melaksanakan pembelajaran yang mengaborsi potensi kritis dan kreatif
peserta didik. Sebaliknya, guru akan memandang mereka sebagai
bibit-bibit unggul yang dilahirkan untuk masa depan yang lebih baik,
yang dari hati mereka muncul kepekaan terhadap berbagai persoalan
bangsa, sementara dari pikiran mereka muncul solusi kreatif yang
mencerahkan. Tidak hanya itu, guru juga membantu peserta didik
umuk menyadari potensi-potensi luar biasa yang mereka miliki,
membamu mereka untuk menjadi lebih percaya diri, dan tentu saja
mendorong mereka untuk mengaktualisasikan seluruh potensi yang
dimiliki. Kegiatan-kegiatan semacam tadabur alam dan sosial, diskusi,
penugasan (project), dan semacamnya bisa menjadi pilihan yang layak
dipertimbangkan dalam perencanaan pembelajaran, baik di dalam,
maupun di luar sekolah.

122
Dalam kaitan ini, Supriadi (1994: 161-164) menawarkan sejumlah
langkah yang dapat ditempuh oleh para guru untuk merangsang
kreativitas peserta didiknya. Pertama, guru harus menciptakan rasa
aman bagi peserta didik untuk mengekspresikan kreativitasnya. Guru
sebaiknya berani mengoreksi secara bijaksana kekeliruan mereka, tetapi
secara jujur berani pula mendukung gagasan-gagasan mereka yang
konstruktif dan benar. Kedua, guru harus mengakui dan menghargai
gagasan-gagasan peserta didik. Pengakuan ini diberikan dalam berbagai
situasi yang memungkinkan mereka menunjukkan kebolehannya
(misalnya: melalui diskusi, seminar, penelitian, kepemimpinan, dan
kegiatan-kegiatan lain). Ketiga, guru perlu mendorong peserta didik
untuk mengomunikasikan dan mewujudkan gagasan-gagasannya.
Dorongan seperti ini diperlukan terutama untuk menumbuhkan
rasa percaya diri peserta didik dalam menunjukkan kekritisan dan
kreativitas mereka.
Keempat, guru perlu membantu peserta didik memahami
heterogenitas mereka dalam berpikir dan bersikap. Peserta didik
perlu dibantu untuk memahami bahwa keragaman dalam berpikir
dan bersikap merupakan ciri umum mereka yang alamiah. Dengan
demikian, mereka lebih mampu untuk memahami dan menerima
perbedaan satu sama lain. Kelima, guru harus memberikan kesempatan
kepada peserta didik untuk mengomunikasikan gagasan-gagasannya.
Dengan cara ini, mereka akan tertantang untuk terus berpikir dan
berbuat karena merasa telah mendapatkan kesempatan dan juga
penerimaan dari lingkungan sosialnya. Keenam, guru perlu memberikan
informasi mengenai peluang-peluang yang tersedia. Minar peserta didik
yang luas menuntut pemberian informasi yang memadai, terutama
mengenai peluang-peluang yang tersedia di luar sekolah yang dapat
mereka akses, seperti narasumber yang dapat dihubungi, organisasi
remaja yang dapat dimasuki, dan sumber-sumber informasi lain yang
dapat dimanfaatkan dalam meningkatkan potensi mereka.

123
E. Implikasinya terhadap Kebijakan Pendidikan Islam

Konsep PAI berbasis problem sosial, dengan sembilan karakteristiknya


yang sudah kita perbincangkan pada bah ini, sudah tentu
membawa implikasi tidak hanya terhadap kurikulum dan praksis
penyelenggaraannya, tetapi juga terhadap kebijakan pendidikan
Islam. Sebab, bagaimanapun juga, kebijakan di tingkat pusat relatif
menentukan bagaimana pendidikan Islam terselenggara di tingkat
lembaga pendidikan. Apalagi kalau mengingat bahwa pengelolaan
pendidikan agama menjadi kewenangan Kementerian Agama (Pasal
3 PP No. 55/2007) yang, seperti kita semua tahu, masih bersifat
sentralistik. Kemenag harus berani melakukan terobosan-terobosan
kebijakan yang bisa jadi berbeda dengan kebijakan formal Kemdikbud,
baik dalam penetapan muatan kurikulum, pengaturan tentang beban
belajar dan alokasi waktu, pengelolaan SDM, sampai sistem evaluasi.
Dengan berpijak pada tujuan utama PAl, yang bersumber pada misi
Islam sebagai rahmatan lil alamin, sesungguhnya Kemenag memiliki
kewajiban untuk memberi masukan kepada Badan Standar Nasional
Pendidikan (BSNP) mengenai idealitas penyelenggaraan PAI.
Sebagai contoh, Kemenag bisa membuat terobosan kebijakan
dengan meninjau kembali Standar lsi (SI) dan Standar Kompetensi
Lulusan (SKL) PAI yang masing-masing termuat dalam Permendiknas
Nomor 22/2006 dan Permendiknas Nomor 23/2006. SI dan SKL PAl
dalam kedua Permendiknas tersebut, yang kemudian juga menjadi
acuan penyusunan SI dan SKL PAl Madrasah dalam Permenag Nomor
2/2008, disusun dengan pendekatan konvensional. Dalam pendekatan
PAl konvensional, materi kurikulum diangkat dari struktur ajaran
Islam yang sudah mapan, seperti rukun iman, rukun Islam, membaca
dan menghafal surah-surah pilihan, sejarah kebudayaan Islam,
serta tema-tema akhlak tertentu. Selain itu, sasaran kompetensinya

124
pun terlalu banyak memberi penekanan pada aspek pengetahuan
(ko gni tif).
Dengan pendekatan PAI berbasis problem sosial, perumusan SI
dan SKL PAI semestinya didahului oleh pembacaan yang komprehensif
atas berbagai persoalan dan problematika umat yang hendak
dipecahkan. Setelah persoalan-persoalan tersebut disenaraikan, barulah
dari sana kemudian materi kurikulum disusun, tentunya dengan
mempertimbangkan tingkat kematangan berpikir serta perkembangan
psikologis peserta didik. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya adalah
pemberian kewenangan kepada daerah dan juga satuan pendidikan
untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan lokalitasnya, yang
sudah tentu antara daerah satu dan daerah lain berbeda. lni artinya,
pengelolaan pendidikan secara sentralistik yang selama ini diterapkan
oleh Kemenag juga patut ditinjau kembali.
Dengan pendekatan ini, maka SI dan SKL dituntut untuk bersifat
dinamis, sebab persoalan-persoalan yang kita hadapi juga amat sangat
dinamis. Persoalan yang sudah ditemukan pemecahannya, akan
segera disusul dengan persoalan-persoalan berikutnya yang mungkin
jauh lebih kompleks dan krusial. Rhenald Kasali (2006: 2), misalnya,
memberikan contoh yang cukup relevan mengenai persoalan-persoalan
yang sangat dinamis yang dihadapi oleh dunia pendidikan.
Pada tahun 1970-an, masalah disiplin terbesar yang dihadapi
berbagai sekolah adalah datang terlambat, tidak membuat pekerjaan
rumah, ngobrol di kelas, berkelahi, lupa memakai seragam,
berpakaian seenaknya, kabur dari sekolah, dan merokok di we
sekolah. Pada tahun 2000-an, masalah yang dihadapinya telah
berubah menjadi tawuran antarsekolah, narkoba, vandalisme,
pencurian handphone, dan seks pranikah.

Kebijakan lain yang juga krusial adalah mengenai sistem evaluasi


PAL Seperti sudah kita perbincangkan sekilas di depan, tidak

125
seharusnya sistem evaluasi PAl terlalu menitikberatkan pada aspek
kognitif melalui ujian tertulis. Dari perspektif ini, agaknya gagasan
mengenai Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) PAl, yang
mulai diujicobakan di sejumlah daerah sejak tahun 2010 lalu, patut
menjadi bahan perenungan bersama. Sebab, sekali lagi, penguasaan
pengetahuan-yang diukur melalui ujian tertulis itu-bukanlah
tujuan dari gagasan ini. Dalam konsep PAl berbasis problem sosial,
tujuan utama PAl adalah membentuk sikap dan perilaku yang
merepresentasikan Islam yang rahmatan lil alamin, sedangkan
pengetahuan lebih berperan sebagai landasan bagi sikap dan perilaku
tersebut. Bukankah sudah sering dijumpai, banyak peserta didik yang
nilai ujiannya bagus, tetapi sikap dan perilakunya jauh dari nilai-nilai
Islam yang sudah ia hafal di luar kepala? Inilah kelemahan mendasar
sistem penilaian melalui ujian tertulis, kalau kita lihat dari sudut
pandangini.

Tentu saja masih banyak kebijakan pendidikan Islam lain yang


akan terimplikasi konsep PAl berbasis problem sosial, yang mana
kebijakan-kebijakan itu menjadi kewenangan Kemenag. Kalau
disenaraikan, mungkin kita bisa membuat daftar panjang yang
mencakup seluruh unsur yang terkait dengan pengelolaan pendidikan
Islam. Bagaimana kebijakan tentang pemberian bantuan, tentang
pendidikan dan pelatihan (diklat) pendidik dan tenaga kependidikan,
tentang penilaian buku, tentang pengangkatan guru dan pengawas
PAl, dan lain-lain, semuanya harus menyesuaikan dengan semangat
menjadikan PAI sebagai jalan keluar dari berbagai problem sosial.

*****

126
BABVI

Penutup

M
enjadi bagian terbesar dari sebuah bangsa besar (± 85% dari
241 jura penduduk Indonesia), yang menjadikan Indonesia
sebagai negara dengan jumlah umat Islam terbesar di dunia,
tentu saja merupakan sebuah pencapaian tersendiri bagi umat Islam
di negeri tercinta ini. Kita boleh berbangga hati akan hal itu. Namun,
ketika keberadaan yang mayoritas tidak menghadirkan manfaat dan
kebaikan bagi bangsa yang tengah sakit parah ini, sungguh tidak ada
yang layak dibanggakan. Apalagi kalau justru menjadi bagian dari
generasi sakit itu, kita harus rela menukar kebanggaan kita dengan
sebuah keprihatinan yang mendalam. Sebab, tidak ada yang lebih
patut disedihkan selain mendapati diri kita tidak melakukan perubahan
yang dibutuhkan, padahal sesungguhnya kita berkesempatan
melakukannya.
Bangsa Indonesia tengah sakit, bahkan mungkin sudah sekarat.
Generasi bangsa ini sudah mengalami kerusakan serusak-rusaknya.
Generasi bangsa dari yang muda sampai yang tua, dari yang kecil
sampai yang besar, dari rakyat jelata sampai yang berkuasa, hampir
semua sudah terjangkiti penyakit bernama dekadensi moral yang
menjadi sumber dari segala macam krisis berkepanjangan. Bangsa ini

127
seakan-akan terkena tulah atau semacam kutukan yang membuatnya
terus-menerus dirundung petaka yang menyengsarakan.
Hal yang paling ironis, barangkali, adalah fakta bahwa umat
Islam menjadi bagian dari kerusakan tersebut. Dengan predikat "umat
terbaik" yang disandangnya, tentu saja kenyataan ini menjadi ironi
yang menyakitkan. Apalagi kalau kita kembali kepada misi Islam
sebagai rahmat bagi semesta alam, niscaya ironi itu akan semakin pahit
kita rasakan.
Sekali lagi, kita semua patut merasa prihatin. Namun, keprihatinan
saja tanpa diiringi dengan upaya yang sungguh-sungguh untuk
melakukan perubahan hanya akan menjadi omong kosong belaka.
Jadi, kata kuncinya adalah perubahan. Melalui perubahanlah kita dapat
berharap kondisi bangsa yang menyedihkan itu membaik. Kemudian
dengan sendirinya nasib umat Islam pun menjadi lebih baik. Tidak
hanya itu, apabila perubahan dapat diwujudkan, dengan umat Islam
menjadi lokomotifnya, kita dapat membuktikan bahwa kita memang
pantas menyandang predikat "umat terbaik" yang disematkan oleh
Allah Swt. dan diabadikan di dalam Al-Quran.
Pertanyaannya kemudian adalah dari mana, kapan, dan
bagaimana kita mesti melakukan perubahan? Sebuah pepatahJerman
agaknya cukup menjawab pertanyaan pertama, "Kalau engkau hendak
membangun bangsamu, bangunlah lebih dahulu pendidikanmu."
Bagaimanapun, pendidikan memainkan peran yang sangat strategis
dalam pembangunan peradaban suatu bangsa. Dengan fungsi gandanya
sebagai penjaga warisan budaya (fungsi konservatif) sekaligus sebagai
institusi umuk membekali SDM dengan sejumlah kompetensi yang
diperlukan di masa depan (fungsi progresif), pendidikan menempati
posisi yang sungguh sangat strategis.
Mengenai kapan perubahan itu sebaiknya kita lakukan, cukuplah
kita kembali kepada ajaran agama kita, yang sangat menganjurkan

128
k.ita untuk menyegerakan berbuat baik. Tidak ada alasan yang cukup
untuk menunda-nunda kebaikan yang sesungguhnya bisa kita lakukan
sekarang. Dalam bahasa Rhenald Kasali (2006), "Tak peduli berapa
jauh jalan salah yang Andai jalani, putar arah sekarang juga!"
Lalu, bagaimana kita mesti melakukan perubahan itu?
Untuk menjawab pertanyaan ini, sudah tentu dibutuhkan kajian
yang mendalam dari berbagai aspek, mengingat ada banyak aspek yang
saling berjalin-kelindan satu sama lain. Dalam tataran yang lebih teknis,
bisa jadi perubahan seperti itu ditentukan oleh faktor kepemimpinan
di tingkat lembaga pendidikan, yang detailnya mungkin akan
melibatkan para pendidik sebagai agen-agen perubahan. Dalam tataran
kebijakan (politik), perubahan hanya akan terjadi kalau para pembuat
kebijakan memiliki political will untuk melakukannya. Namun,
gagasan perubahan itu sendiri sesungguhnya bisa dimulai dari sebuah
kegelisahan akademik serta keterpanggilan jiwa untuk memberikan
jalan keluar atas berbagai persoalan bangsa yang mana umat Islam
menjadi bagian di dalamnya. Gagasan yang didedahkan di dalam buku
ini muncul dari kegelisahan dan keterpanggilan semacam itu.
Penulis sadar bahwa gagasan ini bukanlah sebuah konsep yang
final, melainkan sebaliknya merupakan sebuah rintisan yang diharapkan
dapat mengundang gagasan-gagasan lain yang akan saling melengkapi.
Dengan demikian, tujuan akhir pendidikan Islam dapat tercapai.
Selanjutnya, dengan sendirinya kondisi bangsa ini berubah menjadi
lebih baik sesuai dengan cita-cita luhur pendidikan nasional.

*****

129
Daftar Pustaka

Albarobis, Muhyidin. 2012a. Kepemimpinan Pendidikan;


Mengembangkan Karakter, Budaya, dan Prestasi Sekolah di Tengah
Lingkungan yang Terus Berubah. Yogyakarta: Insan Madani.
---------· 2012b. Mendidik Generasi Bangsa. Yogyakarta:
Pedagogia.
_ _ _ _. 2008. Islam Itu Mudah. Jakarta: Artha Rivera.
Anis, Muhammad. Quantum Al-Fatihah; Membangun Konsep
Pendidikan Berbasis Surah Al-Fatihah. Yogyakarta: Pedagogia.
Arikunto, Suharsimi. 1993. Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi.
Jakarta: Rineka Cipta.
Asari, Hasan. 1994. Menyingkap Zaman Keemasan Islam. Bandung:
Mizan.
Ashraf, Syed Ali. 1985. New Horisons in Muslim Education.
Chippenham, Great Britain: Antony Rowe Ltd.
Asifuddin, Ahmad Janan. 2010. Mengungkit Pilar-Pilar Pendidikan
Islam. Yogyakarta: SUKA Press.
Al-Attas, Naguib. 1979. Aims and Objectives of Islamic Education.
Jeddah: King Abdul Aziz University.

131
Azizy, Ahmad Qadri A. 2000. Islam dan Permaslahan Sosial· Mencari
]alan Keluar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azra, Azyumardi. 1999. Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi
Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
_ _ _ _ . 1998. Esei-Esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam.
Jakarta: Logos Wacana Ilmu .
. 2000. Renaisans Islam Asia Tenggara. Bandung:
Rosda.
_ _ _ _. 2009. "Revitalisasi Pendidikan Agama." Dalam Gatra,
30 September 2009.
Daradjat, Zakiyah. 1992. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi
Aksara.
Darmaningtyas. 2003. "Undang-Undang Pendidikan dari Masa ke
Masa." Dalam Kompas, 9 Juni 2003.
Departemen Agama RI. 2006. Al-Quran Tajwid dan Terjemahnya.
Bandung: Syamil.
Djamas, Nurhayati. 2005. Manajemen Madrasah Mandiri. Jakarta:
Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan.
Djohar. 2002. "Pendidikan Alternatif: Mencari Terobosan Baru dalam
Kemandegan Pendidikan di Indonesia." Makalah disampaikan
pada Seminar Pemikiran dan Metodologi Pendidikan,
diselenggarakan oleh LP3 dan FAI UMY, 25 Februari 2002.
Fadjar, A. Malik. 2005. "Pengembangan Pendidikan Islam yang
Menjanjikan Masa Depan." Dalam Begawan Muhammadiyah;
Bungarampai Pidato Pengukuhan Guru Besar Tokoh
Muhammadiyah. Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban
Muhammadiyah.
_ _ _ _. 2009. "Jangan Ada Penyeragaman." Dalam Gatra, 30
September 2009.

132
Al-Faruqi, Ismail Raji. 1989. Islamization ofKnowledge. United States
of America: The International Institute oflslamic Thought.
Hajar, SyekhAhmad bin. 2000. Sejarah Baca Tulis NabiMuhammadSaw..
Terj. Halabi Hamdi danJoko S. Yogyakarta: Pustaka Iqra'.
Haq, Hidayatul. "Tujuan Pendidikan Islam." Dalam http:!/
hidayatulhaq.wordpress.com. Diakses pada 26 November 2010.
Haque, Ziaul. 2000. Wahyu dan Revolusi. Terj. E. Setiyawati Al
Khattab. Yogyakarta: LKiS.
Hitami, Munzir. 2004. Menggagas Kembali Pendidikan Islam.
Yogyakarta: Infinite Press.
Ishartiwi. 2011. "Potret Minat Membaca Guru Sekolah Dasar (SD) di
Kabupaten Sleman Yogyakarta." Dalam http://lemlit. uny. ac.id.
Diakses pada 14 Januari 2012.
Jalal, Fasli dan Dedi Supriadi (ed.). 2001. Reformasi Pendidikan dalam
Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita.
Kasali, Rhenald. 2006. Change!, cet. IV, Jakarta: Gramedia.
Kemdiknas. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter
Bangsa; Pedoman Sekolah. Jakarta: Balitbang Puskur.
Langgulung, Hasan. 1992. Asas-Asas Pendidikan Islam. J akarra: Pustaka
Al-Husna.
_ _ _ _ . 1980. Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam.
Bandung: al-Ma'arif.
Maarif, Ahmad Syafii, 2005. Menggugah Nurani Bangsa, Jakarta:
Maarif Institute.
Mainuddin, Yurmaini . 1994. "Pengembangan dan Pelaksanaan
Kurikulum yang Menjamin Tercapainya Lulusan yang Kreatif."
Dalam Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia II, Kurikulum
untuk Abad ke-21. Jakarta: Grasindo.

133
Mastuhu. 1999. Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, cet. II.
Jakarta: Logos.
Miller, John P. 2002. Cerdas di Kelas Sekolah Kepribadian, disadur oleh
Abdul Munir Mulkhan, Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Mudzhar, M. Atho. 2006. "Pendidikan Agama Berwawasan
Multikultural." Dalam Jurnal Edukasi, Vol. 4 No. 1,
Januari-Maret 2006.
Muhajir, As'aril. 2011. Ilmu Pendidikan Perspektif Kontekstual.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Muhyidin. 2011. Kepemimpinan Kepala Madrasah sebagai Agen
Perubahan. Tesis Yogyakarta: PPs UIN Sunan Kalijaga.
Mulkhan, Abdul Munir. 2001. "Refleksi Humanisasi Tauhid dalam
Reformasi Ontologis Pendidikan Islam." Dalam J urnal Ilmu
Pendidikan Islam, Vol. 2, No. 1, Juli 2001.
Munandar, Aries. 2011. "Problematika Pendidikan Islam di Indonesia."
Dalam www. uin-malang.ac. id.
Musthafa, asy-Syaikh Fuhaim. 2004. Manhaj Pendidikan Anak Muslim.
Terj. Abdillah Obid dan Yessi HM Basyaruddin. Jakarta:
Mustaqiim.
Nasution, S. 1991. Pengembangan Kurikulum. Bandung: CitraAditya
Bakti.
Nata, Abuddin. 1998. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Natsir, M. (t.t.). Capita Selecta. Bandung: Penerbitan W Van
Hoeve.
Putro, Khamim Zarkasih. 2010. "lmplikasi UU Sisdiknas terhadap
Pendidikan Islam." Dalam http://tarbiyah. uin-suka. ac. id..
Diakses pada 6 Desember 20 10.

134
Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 2008 tentang Standar
Kompetensi Lulusan dan Standar lsi Pendidikan Agama Islam dan
Bahasa Arab di Madrasah.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang
Standar lsi Pendidikan Dasar dan Menengah.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan
Agama dan Keagamaan.
Qardhawi, Yusuf. 1980. Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan
al-Banna. Terj. Bustani A. Gani dan Zainal Abidin Ahmad.
Jakarta: Bulan Bintang.
Qardhawi, Yusuf. 2007. Halal Haram dalam Islam. Terj. Wahid
Ahmadi dkk. Cet. IV. Solo: Era lntermedia.
Rahman, Fazlur. 1967. "The Qur' anic Solution ofPakistan' s Educational
Problems" dalam Islamic Studies, Vol. 6, Nomor 4.
_ _ _ _ _ . 1984. Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition, Chicago: The Diversity of Chicago
Press.
_____ . 1979. Islam. Second Edition. London: The Chicago
University Press.
Saiyidain, K.G. 1938. Iqbal's Educational Philosophy. Lahore: Arafat
Publication.
Sanaky, Hujair AH. 2003. Paradigma Pendidikan Islam; Membangun
Masyarakat Indonesia. Yogyakarta: Safiria Insania Press dan
MSI.
Sa'dullah, M. "S urat Makkiyah dan Madaniyah." Dalam www.
thohiriyyah.com. Diakses pada 6 Desember 2010.

135
Shafiq, Muhammad. 2000. Mendidik Generasi Baru Muslim. Terj.
Suhadi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sukmadinata, Nana Syaudih. 2000. Pengembangan Kurikulum; Teori
dan Praktek. Bandung: Rosda.
Supani. 2009. "Sejarah Perkembangan Madrasah di Indonesia." dalam
Jurnal PemikiranAlternatifKependidikan Insania, Vol. 14, No.
3, September-Desember 2009.
Supriyadi, Dedi. 1994. Kreativitas, Kebudayaan, dan Perkembangan
Iptek. Bandung: Alfabeta.
Sutrisno. 2012. "T ransformasi Pendidikan." Kata pengantar dalam
buku Kepemimpinan Pendidikan; Mengembangkan Karakter,
Budaya, dan Prestasi Sekolah di Tengah Lingkungan yang
Terus Berubah, karya Muhyidin Albarobis (Yogyakarta: Insan
Madani).
_ _ _ . 2011. Pembaharuan dan Pengembangan Pendidikan Islam.
Yogyakarta: Fadilatama.
_ _ _ . 2008. Pendidikan Islam yang Menghidupkan, cet. II.
Yogyakarta: Kota Kembang.
_ _ _ . 2005. Revolusi Pendidikan di Indonesia (Membedah Metode
dan Teknik Pendidikan Berbasis Kompetensi). Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media.
_ _ _ . 2004. "Pemikiran Pendidikan Kritis dan Kreatif Menurut
Fazlur Rahman." Dalam Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Fakultas
Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Vol. 5. No. 2,
Desember 2004.
Al-Syaibany, Omar Mohammad at-T oumy. 1979. Fa/safah Pendidikan
Islam. Terj. Hasan Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang.
Syalabi, Ahmad. 1973. Sejarah Pendidikan Islam. Terj. Much tar Yahya
dan M. Sanusi Latief. Jakarta: Bulan Bintang.

136
Thanthawi, Syekh Ali. 2004. Aqidah Islam; Doktrin dan Filosoji. Terj.
Hawin Murtadha dan Salafudin. Solo: Era Intermedia.
Thoha, M. As' ad. 2011. Sejarah Pendidikan Islam. Yogyakarta: Insan
Madani.
Tibi, Bassam. 1991. Islam and the Cultural Accomodation of Social
Change. Boluder: Westview Press.
Tilaar, H.A.R. 1998. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional
dalam PerspektifAbad 21. Magelang: Indonesiatera.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
Zamroni. 1997. "Sosok Ideal Pendidikan Tinggi Islam." Dalam
Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial, penyunting
Muslih Usa dan Aden Wijdan SZ. Yogyakarta: Aditya Media.

137
lndeks

A c
abdullah 8,97 CBSA 66
Abudin Nata 99 cognitive oriented 57
AhmadJanan 26, 33, 131, 144 content oriented 67, 69
Ahmad Janan Asifuddin 26, 33, 38, D
144
Darmaningtyas 132
Alifah Ahmad Maulana 13
desentralistik 57, 70
Ali Thanthawi 32
dikotomi ilmu 85, 103, 105, 107
Anshar 26, 92
doktriner 57
As' aril Muhajir 22
double movement 106, 118
Athiyah al-Abrasyi 22, 29
dualisme 85, 103, 105, 106, 1o7
Azyumardi Azra 20, 30, 36, 51
E
B
ekonomi 28, n,
79, 98, 99, 100,
Bassam Tibi 19 101, 106
BSNP 71, 124, 143
evaluasi 29, 60, 65, 116, 119, 122,
Buya Sya6'i Maarif 11 124, 125

139
F 59,60,61,62,65,66,68,
Fazlur Rahman 22, 30, 36, 85, 70, 72, 73, 75, 76,83,84,
103, 106, 118, 136, 143 85,87,88,89,90,91,92,
Freire, Paulo 86 93,95,97,98,99, 100,101,
102, 103, 104, 105, 106,
G
107, 108, 109, 110, 111,
globalisasi 35, 58 113, 115, 116, 117, 120,
gradual 95, 96 121, 124, 126, 127, 128,
129, 131, 132, 133, 134,
H
135, 136, 137, 143, 144, 145
Haidar Baqir 75
islamisasi pengetahuan 106
halaqah 90
Ismail Raji al-Faruqi 23, 84, 106
Hasan Langgulung 18, 21, 136
istigasah 12
Hilda Taba 29
Hitami Munzir 29 J
Hujair AH. Sanaky 32 Jahiliah 88, 89, 93, 94
Jepang 62, 143
I
ihsan 25, 90 K

iman 24,32,90,124 kapitalisme 105


indigenous 51 KBK 69, 70, 72, 119
indoktrinasi 107, 118 kesenjangan sosial 105
inklusif 108, 109, 111, 112, 121 khairu ummah 7, 97
insan kamil 30 khalifah 8, 18, 26, 30, 31, 32, 33,
integrasi ilmu 106, 111 34,35,37,38,95,97, 122
Ishartiwi 83, 133 kompetensi 34, 69, 71, 72, 73,
Islam 1, 6, 7, 8, 15, 16, 17, 18, 20, 109, 110, 112, 116, 119, 128
21,22,23,24,25,26,27, konflik 78,82,92,108
28,29,30,31,32,33,34, kreatif 22, 30, 37, 83, 86, 113,
35,36,37,38,39,41,51, 115,116,117,118,122
52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, kritis 22, 37, 107, 109, 113, 114,

140
115, 116, 117, 118, 119, 122 92, 131, 134, 136, 144
Kuntowijoyo 11, 106 mumpungisme 11, 80
kurikulum 29, 34, 35, 38, 59, 61, 11usdah 11ulia 75
62,63,64,65,66,67,68,
N
69, 70, 71, 72, 73,89,92,
Napoleon Hill 19
96, 106, 109, 116, 117, 120,
Naquib al-Attas 21
121, 124, 125
Nasrani 92
L
netralitas ilmu 104
long life education 35 norma agama 110
Luqman 24
0
M
Oliva, Peter F. 36
11adinah 31, 90, 91, 92 Omar 11ohammad at-Toumy al-
madrasah 34, 52, 53, 57, 63, 64, Syaibany 19
66,67,68, 70, 72,107,120,
Orde Lama 64
121, 144, 145
otonomi daerah 57
11ahmud Yunus 89
out of date 83
11ajusi 92
p
11akkah 25,31,89,91
11alik Fadjar 20, 28 PAIKE11 118

11andela, Nelson 14 Pancasila 41, 65

11. As' ad Thoha 89 Pancawardhana 64, 65

11oh. Hatta 53 paradigma 17, 27, 29, 58, 108,


109, 111, 112, 116, 118,
11uhajirin 26, 92
120, 121
11uhammad Anis 23
PBK 69, 119
11uhammad Iqbal 22, 30
Pendidikan 4
11uhammad Saw. 7, 18, 81, 93, 97,
pengangguran 84, 105, 117
133
11uhammad Shafiq 23
pesantren 34, 51, 52, 55, 56, 57,
63, 107
11uhyidin 1, 77, 78, 79, 81, 84,

141
Piagam Madinah 92 T
Plato 86, 87 tauhid 22, 23, 24, 25, 31, 32, 34,
politik 41, 90, 92, 99, 100, 101, 37,55,87
106, 129 teknologi 33, 68, 72, 105, 106,
pornografi 117 116
terorisme 56
Q
tradisional 51, 55, 56, 58, 85, 103,
Quraisy 88, 90
104, 105, 117
R transfer of knowledge 18, 21, 58
rahmatan lil alamin 6, 7, 32, 34, transfer of value 21
85,97, 102,107,124,126
u
Reformasi 54, 133, 134, 137
Ujian Nasional 12
revolusioner 100, 101
Umar bin Abdul Aziz 95
Rhenald Kasali 125, 129
UUD 1945 41, 54
riba 100
v
s
vandalisme 75, 105, 110, 117, 125
Sahal Mahfudz 75
y
Salahuddin Wahid 75
Satiman Wiryosandjoyo 53 Yahudi 92
sekuler 17, 27, 85, 103, 104 Yusuf Qardhawi 21, 92
Siami 13 z
Silberman, Mel 118
Zakiyah Daradjat 21
Sisdiknas 41, 55, 70, 7 1, 86, 134
Ziaul Haque 98, 101
Soekarno 64
Sosiologi 4
Suharsimi Arikunto 115
Supriadi 58, 123, 133
Sutrisno 1, 39, 55, 59, 89,90, 106,
120, 136, 143

142
Penulis

Sutrisno lahir di Karanganyar, Surakarta, 7 November


1963. Penulis yang merupakan Guru Besar Fakultas
Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
dan pernah menjabat dekan di fakultas yang sama
(2007-2011), ini menyelesaikan pendidikan S-1, S-2, dan S-3
semuanya di PTAI tempatnya mengabdi saar ini. Ia pernah mengikuti
short course "Management on Higher Education" di Faculty of
Education, McGill University, Canada (2006), terlibat di Tim Adhoc
Standar Penilaian BSNP (2006-2007), dan menjabat Kerua Pusat
Pengembangan Madrasah (PPM) Kanwil KementerianAgama Provinsi
D.I. Yogyakarta (2009-2012).
Beberapa karyan ya yang sudah diterbitkan antara lain Pembahaman
dan Pengembangan Pendidikan Islam (Fadilatama, Yogyakarta, 2011 );
Pendidikan Islam yang Menghidupkan (Kota Kern bang, Yogyakarra,
2006); Revolusi Pendidikan di Indonesia (Ar-Ruzz Media, Yogyakarta,
2005); Epistemologi-Metodologi Pemikiran Fazlur Rahman dan
Aplikasinya dalam Pendidikan Islam, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2005); "Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia" dalam buku
Pendidikan Islam di Dunia Melayu (Toyo University, Jepang, 2010);
"Transformasi Pendidikan", kata pengantar dalam buku Kepemimpinan

143
Pendidikan karya Muhyidin Albarobis (lnsan Madani, Yogyakarta,
2012); "Pentingnya Filsafat Pendidikan Islam pada Kurikulum
Pendidikan Tinggi Islam", kata pengantar dalam buku Mengungkit
Pilar-Pilar Pendidikan Islam (Tinjauan Filosojis) karya Dr. Ahmad
Janan Asifuddin (Suka Press, Yogyakarta, 2010); "Transformasi
Pendidikan di Dunia Islam", kata pengantar dalam buku Pendidikan
Moral dalam Puisi Imam Syaji'i dan Ahmad Syauqi karya Dr. Juwariyah,
MAg, (BidangAkademik UIN Sunan Kaljaga, 2008).
Selain itu, karya-karyanya juga menghiasi sejumlah jurnal,
antara lain Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Jurnal Sosio-Religia, Jurnal
Pendidikan Agama Islam, J urnal Penelitian Agama, dan lain-lain.
Penulis dapat dihubungi via email di: trisno63@yahoo.com.

Muhyidin Albarobis dilahirkan di Brebes, 6 Januari 1977,


dengan nama lengkap yang sebenarnya pendek saja, yakni
Muhyidin. Dalam keseharian, dia biasa dipanggil Didin.
Karena alasan branding, yakni bahwa sudah sangat banyak
yang menyandang nama tersebut, dia menambahkan laqab pemberian
dosennya sewaktu studi di Fakultas Adab lAIN Sunan Kalijaga:
Albarobis.
Pendidikan formal dimulai dari madrasah ibtidaiyah, kemudian
berlanjut ke madrasah tsanawiyah, lalu madrasah aliyah, yang semuanya
ditempuh di daerah kelahirannya. Pada 1996, dia melanjutkan studi di
lAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, mengambil jurusan
Bahasa dan Sastra Arab di Fakultas Adab, lulus pada 2001. Tahun
2009 dia melanjutkan studi 52 di Prodi Pendidikan Islam, Program
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, dan lulus dalam waktu 1 tahun 9
bulan dengan predikat Cumlaude.
Selain aktif sebagai pengurus di lkatan Penerbit Indonesia (IKAPI)
DIY, dia juga pernah terlibat sebagai Tim Pengembang Perpustakaan

144
KotaYogyakarta. Dalam kapasitasnya sebagai insan perbukuan, dia
beberapa kali diminta mengisi acara seminar, workshop, dan pelatihan
untuk tema-tema pendidikan, penulisan, dan juga penerbitan, yang
sebagian besar pesertanya adalah guru.
Beberapa bukunya yang telah diterbitkan, selain buku teks
pelajaran untuk sekolah dan madrasah, antara lain Kepemimpinan
Pendidikan (lnsan Madani, Yogyakarta, 2012), Mendidik Generasi
Bangsa (Pedagogia, Yogyakarta, 2012), Doa-Doa Penenang ]iwa
(Insan Madani, Yogyakarta, 2009), Doa-Doa Keluarga Sakinah (Insan
Madani, Yogyakarta, 2009), Islam Itu Mudah (Artha Rivera, Jakarta,
2008), dan lain-lain. Artikelnya juga pernah dipublikasikan di beberapa
majalah dan koran, seperti Majalah Mimbar Pengembangan Agama,
Harian Republika, Kompas, dan Kedaulatan Rakyat, serta Portal Berita
Pendidikan www.diksia.com.
Pembaca yang ingin berdiskusi atau bertukar pikiran dapat
menghubunginya via email: albarobis@yahoo.com atau albarobis@
gmail.com.

145

Anda mungkin juga menyukai