iii
iv 50 Tahun DMI: Menjaga Masjid, Mengawal Rohani Bangsa
Pengantar Sekretaris Jenderal DMI
v
vi
Pengantar Editor
vii
viii
Daftar Isi
BAB 1
PENDAHULUAN............................................................................... 1
A. Masjid Demak sebagai Prototipe Masjid Kuno Asia Tenggara ........ 9
B. Pengaruh Arsitektur Modern dan Kubah Lingkaran pada Masjid ... 23
B.1. Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh ....................................... 24
B.2. Masjid Raya Al-Mashun, Medan .................................................... 26
C. Arsitektur Masjid Kontemporer ............................................................. 29
BAB 2
BERDIRI DAN BERKEMBANGNYA DMI .................................... 35
A. Latar Belakang Berdirinya DMI .................................................. 35
1. Para Bidan Kelahiran Dewan Masjid Indonesia ................... 36
2. Masjid sebagai Oase Spiritual ............................................... 44
3. Indonesia Masyarakat Agamis .............................................. 59
4. Orde Baru dan DMI ................................................................ 64
B. Profil Pengurus DMI dan Pola Rekrutmen Kader DMI ........... 69
C. Pembiayaan Organisasi Dewan Masjid Indonesia ................... 87
Bab 3
KONSOLIDASI DAKWAH DMI ..................................................101
1. Periode Pertumbuhan, 1972-1974 .......................................... 103
2. Periode Perkembangan, 1975-1981........................................ 108
C. Periode Konsolidasi, 1981-1984 ............................................. 120
ix
BAB 4
INTEGRASI SIMBIOTIK 1984-1998 ........................................... 127
A. Penerimaan Asas Tunggal dan Dampak terhadap Gerakan Islam..127
B. Kelas Menengah Islam Mendinamisasi Islam Kultural .........133
C. Muktamar DMI I: Konsolidasi Organisasi dan Peningkatan
Fungsi Masjid sebagai Sarana Pembinaan Umat dan Pem.
bangunan Bangsa .......................................................................... 142
1. Pemetaan Aneka Dakwah DMI 1984-1989 .......................146
2. Perencanaan Program Kerja DMI periode 1984-1989 .............151
D. Muktamar II: DMI Bertekad Memantapkan Partisipasinya
dan Peranan Masjid Menjelang Tinggal Landas Pembangunan ....156
1. Struktur Bidang Kerja dan Rekomendasi pada Muktamar
DMI II .......................................................................................157
2. Mukernas dan Pelaksanaan Program DMI
Periode 1989-1994 .............................................................165
E. Muktamar III: Dengan Muktamar III DMI Siap Menyukses
kan Pembangunan Jangka Panjang II .............................................128
1. Masjid, Dakwah, dan Perkembangan Kehidupan Beragama:
Catatan Penting dari Sambutan Presiden hingga Menteri......180
2. Pemetaan Program Kerja DMI Periode 1995-2000 ........184
BAB 5
DAKWAH PADA ERA REFORMASI ............................................189
A. Dewan Masjid Indonesia (DMI) dalam Masa Awal Reformasi ...... 192
1. Pidato Sambutan Ketua dan Laporan Umum PP DMI
1995-2000 ................................................................................195
2. Suasana Muktamar IV, Kembalinya kepada Asas
Islam, dan Pelaksanaan Program .........................................198
B. DMI Periode 2001-2006: Masa Kepemimpinan Dr. H. A.
Sutarmadi, M.A. .............................................................................. 208
1. Rekomendasi Internal ............................................................212
2. Rekomendasi Dalam Negeri ................................................ 214
3. Rekomendasi Luar Negeri dan Dunia Islam .......................216
4. Pelaksanaan Program ............................................................ 217
C. DMI periode 2006-2011: Masa Kepemimpinan Dr. H.
Tarmizi Taher ............................................................................... 221
1. Proses Keterpilihan Dr. H. Tarmizi Taher dan Asas
Islam DMI ............................................................................... 223
BAB 6
DAKWAH PADA MASA REVOLUSI 4.0 .................................. 237
A. Pak JK Terpilih secara In-Absentia dan Aklamasi ................. 243
B. Pak JK Membangun Harmonisasi dalam Perbedaan .......... 246
C. Program DMI yang Terdigitalisasi ......................................... 254
1. Situs dmi.or.id ....................................................................... 255
2. Majalah Masjid dalam Digital Magazine.......................... 258
3. TV DMI dan TV BERITA TAWAF ...................................... 259
4. Aplikasi Dewan Masjid Indonesia .................................... 260
D. Pelaksanaan Program DMI Periode Pertama Kepemim-
pinan Pak JK .............................................................................. 262
1. Pelatihan Kewirausahaan Bisnis Syariah Berbasis Masjid ....... 263
2. Program Penataan Akustik .............................................. 264
3. Pengembangan PAUD dan TK Berbasis Masjid ............ 267
4. Sertifikasi Wakaf Masjid .................................................. 269
E. Masa Kepemimpinan Kedua Pak JK dan Pelaksanaan Program .. 275
1. Gerakan Bersih Masjid dan Eco-Masjid ........................... 281
2. Kembali kepada Asas Pancasila dan Penyokong lain
Agenda Kerja DMI ........................................................... 286
3. Rancang Bangun Arsitektur Masjid Ciri Indonesia ....... 288
4. Pelatihan Khatib, Dai, dan Mubalig .................................. 289
5. Masjid Ramah Anak (MRA) ............................................ 293
6. Pemberdayaan Ekonomi Berbasis Masjid ....................... 296
7. Pengembangan Potensi dan Kapasitas Wisata Religi
Berbasis Masjid .................................................................... 299
8. Museum Rasulullah ............................................................. 302
9. Pembangunan Gedung Baru DMI ................................... 304
10. Program Lainnya ................................................................ 306
a. Departemen Sosial, Kemanusiaan, dan Penang-
gulangan Bencana ............................................................ 307
b. PRIMA DMI dan Masa Depan Kade-risasi Pengelola
Masjid .................................................................................. 308
Daftar Isi xi
Bab 7 Penutup ................................................................................. 315
B
uku ini sebenarnya telah diselesaikan pada pertengahan
2019, sehingga dua tahun setengah tahun menuju 2022
sudah tidak cukup terliput. Namun 2,5 tahun ini juga dunia
dikejutkan dengan datangnya endemik Covid-19. Sebuah virus
yang mematikan dan cepat bermutasi dengan aneka variannya
yang mengancam jiwa umat manusia dan menyebar dengan
cepat secara global yang berlangsung hingga kini. Dampaknya,
segenap kegiatan telah terdisrupsi oleh virus ini, tak hanya
di Indonesia, melainkan dunia pula. DMI sendiri pun relatif
terhenti dalam laju programnya. Akibatnya, tidak atau kurang
adanya pertambahan yang signifikan pada program DMI.
Sementara, beberapa program yang digagas pra-Endemi Covid
19, telah usai pada pertengahan 2022 ini, antara lain, seperti:
Thawaf TV, alih-alih DMI TV yang tidak jadi berlanjut; usai dan
diaktifkannya Gedung DMI di Jalan Matraman Raya No. 48
Jakarta Timur menggantikan Kantor PP DMI di Jalan Surabaya
Menteng, Jakarta Pusat. Sedangkan Museum Rasulullah yang
memanfaatkan kerjasama dengan Museum As-Salamu Alayka
Ayyuha An-Nabi dan diinisiasi oleh DMI, yang semula akan
berlokasi di Cimanggis, Depok, Jawa Barat, keputusan final dan
kini tengah dikebut penyelesaiannya, berlokasi di Pantai Ancol,
Jakarta Utara. Demikian sedikit up dating untuk mengantar pada
program DMI hingga tahun 2022.
1
Akhirnya, pada 22 Juni 2022, Dewan Masjid Indonesia (DMI)
genap berusia setengah abad atau 50 tahun, semenjak DMI resmi
berdiri pada 22 Juni 1972. Satu jubelium yang penuh makna bila
ditilik dari perkembangan, perjuangan, dan pencapaian sebuah
organisasi yang membaktikan diri demi pemuliaan masjid di
Indonesia. Catatan atau penulisan yang bersifat sekuental-
kronologis disertai dengan analisis atas perkembangan,
perubahan, dan kesinambungan, akan membantu kita dalam
memahami langkah-gerak-juang DMI sebagai sebuah ormas
Islam di Indonesia. Sebagai sebuah pendekatan historis, dengan
rentang waktu yang cukup panjang, tentunya yang terbahas
lebih pada aspek diakronis, dari awal hingga akhir, memanjang
dalam waktu, dan menyempit dalam ruang (Kuntowijoyo, 2018).
Artinya, setiap periode pada DMI akan terbahas, namun tidak
akan sedetail bila DMI dibahas dari aspek-aspek terbatas, seperti:
program dakwahnya, atau faktor kepemimpinannya, atau
sosialisasi PP kepada PW dan PD. Ini akan memberi kesempatan
kepada ahli lainnya untuk mengusahakan eksplorasi dari aspek
ruang.
Tentunya, negeri sebesar Indonesia dengan proyek
keindonesiaannya telah menarik beragam kelompok sosial
dalam masyarakat untuk menerakan catatan dan sudut
kepentingannya, sehingga gagasan dan aksi yang dilakukannya
merupakan tindakan-tindakan allocative politics (alokasi politik)
dan upaya memengaruhi publik demi menjaga, membela,
mendesakkan, hingga mengamankan kepentingan kelompok
sosial masing-masing, baik di hadapan sesama kekuatan sipil (civil
society) maupun kekuatan Negara. Adapun melalui penelusuran
sekuental-historis, kita dapat memahamkan pertumbuhan
dan perkembangan DMI, baik dalam merespons, mengambil
keuntungan, hingga mengadaptasi peristiwa-peristiwa besar yang
menerpa negeri, baik karena introduksi kebijakan Negara maupun
pengaruh eksternal lainnya. Peninjauan perjalanan sepanjang
setengah abad ini memiliki keuntungan tersendiri karena kita
dapat melihat bagaimana keliatan DMI dalam mengarungi masa,
BAB I : Pendahuluan 3
dengan golongan PKI utamanya, dan kekuatan pemerintahan
lama.
Dari pemrakarsa hingga keterlibatan aneka pemangku
kepentingan inilah, DMI lahir, berkembang dan mengalami
dinamika selama 50 tahunan terakhir. Yang patut menjadi
menjadi titik perhatian adalah posisi dan fungsi “masjid”, baik
bagi masyarakat maupun Negara. Bagi masyarakat sudah jelas,
masjid adalah ekspresi dari keberagamaan dan kemusliman
mereka. Tidak ada masyarakat muslim yang abai dengan masjid,
karena mereka akan mendatanginya dalam salat fardu berjemaah.
Dan masjid sebagai suatu lembaga telah muncul jauh sebelum
nasion Indonesia terbentuk. Keberadaan masjid dan umat Islam
terentang semenjak abad ke-13 kala Samudera Pasai muncul di
pantai timur Sumatra, lalu membesar dalam kerajaan-kerajaan
Islam pantai serta di pedalaman Jawa, bahkan saat Nusantara
dikuasai pemerintah kolonial, kaum muslimin tetap menempati
posisi mayoritas. Sementara Negara membutuhkan masjid yang
berhimpun dan teratur-terkoordinasi sebagai rekan andal dan
potensial untuk meneruskan proyek dan visi keindonesiaan.
Hadir dan berkembangnya masjid serta dalam awasan
maupun fasilitasi Negara memberikan bukti bahwa bangsa
Indonesia semenjak kelahiran Republik Indonesia tidak pernah
mengabaikan faktor rohaniah sebagai pembentuk pekerti bangsa.
Sebagai ganti tidak dipilihnya Islam sebagai agama negara, atau
negara agama (teokrasi), kaum muslimin mendapatkan porsi
kementerian agama, di mana di kementerian ini, segenap hajat
dan keperluan kaum muslimin dalam olah keagamaan difasilitasi
–pelembagaan masjid, sekolah/madrasah/pondok pesantren,
zakat, pernikahan, haji, mawaris, perbankan Islam, jaminan
produk halal, organisasi keagamaan, dan sebagainya. Belakangan,
kementerian agama menjadi fasilitator dan pengembang
segenap agama resmi. Semenjak kelahirannya, Indonesia sudah
mendeklarasikan sebagai negara yang berdasarkan Pancasila
dengan konstitusinya pada UUD 1945.
BAB I : Pendahuluan 5
Dengan demikian, kritik ataupun alternatif tindakan atau ide dari
agama, sebagaimana kritik atas nama tradisi atau paham lainnya,
dibolehkan dan dilazimkan kembali.
Postulasi di atas yang berbolak-balik atas ekspresi keberagama-
an sebenarnya tidak pernah terjadi dalam masyarakat Indonesia
yang jauh-jauh hari telah mendeklarasikan agama sebagai
kekuatan dan potensi rohaniah masyarakat demi memperkuat
ketahanan nasional. Dalam titik inilah, fasilitasi negara atas DMI
dan juga ormas-ormas sejenis merupakan konsekuensi logis dari
upaya menjaga dan mengembangkan potensialitas rohaniah
bangsa. Masjid merupakan salah satu lembaga penting dalam
masyarakat Islam, di mana masjid merupakan tempat berjemaah
sekaligus mengatur ritme dan kemanfaatan masjid bagi para
jemaahnya. Hampir setiap hari dalam lima waktu yang berbeda,
kaum muslimin mendatangi dan bersalat di masjid. Sementara
pada masjid-masjid yang sudah teroptimalisasi, akan menjadi
berkah tambahan bagi jemaahnya.
Bila para pengurusnya merasa tersapa, para imam, khatib,
dan jemaahnya mendapatkan info-info penting, hal ini bisa
menyambungkan kehendak atau program Negara kepada
masyarakat akar rumput (paling bawah). Bagaimanapun, akar
rumput adalah unit terkecil perhimpunan kemasyarakatan yang
sangat penting, karena dari sinilah hadir-tidaknya Negara bisa
diukur. Masjid desa atau kampung sebagai satuan kerohanian
terkecil turut membantu stabilitas, pemantapan kamtibmas,
suasana keberagamaan, dan bisa berfungsi sebagai filter,
absorbser (penyerap), maupun deterrent (penolak) atas gerakan-
gerakan radikal atau ekstrem yang coba hadir di dalamnya.
Akan sebaliknya yang terjadi –radikalisme, ekstremisme—bila
masjid tidak tersapa dan para pengurusnya mengembangkan
persepsinya sendiri.
Meskipun lokasi dan posisi masjid bisa saja memperlihatkan
pengelompokan kelas sosial, rata-rata masjid adalah terbuka
untuk aneka kelas sosial. Masjid pun tidak akan terfragmentasi ke
BAB I : Pendahuluan 7
DMI sendiri sebagai sebuah ormas yang berbasis masjid, telah
turut menyumbang bagi penyegaran wacana maupun praksis
kemasjidan yang diterapkan pada masjid-masjid binaannya. DMI
menginisiasi manajemen kemasjidan, training kepemimpinan
masjid, training ekonomi syariah, hingga perbaikan akustik
masjid, menggerakkan Jumat Bersih, yang telah merambah pada
ribuan masjid di Indonesia. Departemen antarlembaganya pun
bergiat untuk mengenalkan masjid di Indonesia kepada khalayak
internasional. Dengan mengingat DMI berhasil melewati usia
setengah abad, artinya DMI berhasil melewati perubahan
demi perubahan masa dengan baik. Ini tentunya tiada lepas
dari kesiapan SDM, kaderisasi, dana penunjang, keberhasilan
menggerakkan jejaring, dan juga faktor kepemimpinan kolegial
yang ada di dalamnya. Kendatipun, tetap terjadi kekurangan,
yang biasanya tersuarakan dalam “butir-butir” rekomendasi pada
setiap Muktamar yang terselenggara lima tahun sekali.
Dalam medan baktinya, DMI akan menjadi mitra pemerintah,
utamanya soal dan fungsi kemasjidan. Posisi DMI tentu saja pada
suatu saat akan afirmatif (penguat) atas kebijakan Negara pada
soalan masjid khususnya, dan soal-soal keislaman pada umumnya.
Hal itu sudah terbukti ketika DMI membantu memfasilitasi
berdirinya Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1975, atau
urun rembuk dan masukan atas RUU Perkawinan yang memicu
gelombang demonstrasi massa besar-besaran pada tahun 1973,
serta penerimaan asas tunggal Pancasila pada tahun 1983,
yang diundangkan berlakunya pada 1985. Dalam perubahan/
peralihan arah politik dari Orde Baru kepada masa Reformasi,
ketika otoriterisme Orde Baru beralih pada pemeritahan
yang demokratis, dan juga bergaungnya Revolusi 4.0, ketika
datangnya teknologi informasi, artificial intelligence, cloud, big
data, hadirnya media sosial yang mendisrupsi (penghentian
secara tiba-tiba), dan mengubah segenap lanskap cara dan bisnis
tradisional secara signifikan, DMI pun berada dalam pusarannya.
Tentunya DMI akan secara konsisten berdiri dalam posisinya
sebagai penjaga ruhiyah masjid dalam fungsi utamanya sebagai
BAB I : Pendahuluan 9
sebagai unit peribadatan, masjid tidak saja semata sebagai tempat
salat/sujud, melainkan urusan kemusliman yang lebih luas. Dari
sini, berkembanglah sisi arsitektural, manajemen, organisasi,
masjid yang peran dan prestisenya menjadi representasi dan
ekspresi kaum muslim.
Dalam soal sisi arsitektural peribadatan dan sebagai suatu
warisan bendawi, bangunan masjid merupakan tengara yang
penting. Malah, tak sebagaimana istana atau rumah penduduk,
khususnya rumah bangsawan, yang hancur atau dihancurkan
karena pertikaian politik atau perpecahan antarwangsanya,
masjid-masjid relatif terselamatkan dan aman dari imbas
pertikaian. Masjid masih tegak berdiri, sebagian tanpa perubahan
berarti, bahkan akan menjadi pembanding antara bangunan
masjid dari masa ke masa mengingat perbedaan bentuk dan ciri
arsitekturalnya.
Sekalipun telah piawai membikin bangunan candi dengan
tersedianya pula material batu, masyarakat Asia Tenggara belum
akrab dengan model rumah dari bahan batu. Masjid maupun
rumah di kawasan Asia Tenggara didominasi oleh bangunan
kayu. Bangunan beratap tumpang hingga tiga dengan kemuncak
sebagai kubah berbentuk piramida yang meruncing.
Sayangnya, tipologi masjid tumpang beratap limas ini belum
tampak diakui sebagai warisan bangunan Islam Asia Tenggara.
Natsir Zubaidi menjelaskan model atau mazhab arsitektural Islam
di dunia yang terbagi menjadi lima: 1) Mazhab Syro Agyptian
(Suriah dan Mesir); 2) Mazhab Hispano Mosque (Morin-Spanyol);
3. Mazhab Persia (Iran); Mazhab Turki (Usmaniyah); 5. Mazhab
Hindi (India dan Pakistan) (M. Natsir Zubaidi, 2017). Ternyata
masjid-masjid di kawasan Asia Tenggara terlewat dalam mazhab
tersebut. Padahal, wilayah Asia Tenggara, khususnya di kawasan
Malaysia, Indonesia, dan Filipina Selatan, menempatkan dirinya
sebagai bagian dari representasi muslim yang besar, bahkan
terbesar di dunia.
Sementara Prof. Ismail Ra’ji al-Faruqi dalam bukunya The
Cultural Atlas of Islam, yang terbit pada 1986, menempatkan
BAB I : Pendahuluan 11
atas makin lancip; (3) mempunyai serambi (surambi) di depan
atau di samping ruangan utama masjid; (4) di bagian depan atau
samping masjid biasanya terdapat kolam; (5) di sekitar masjid
diberi pagar tembok dengan satu, dua, atau tiga buah gerbang
(Uka Tjandrasasmita, 2009). Tipe masjid bertumpang, dengan
serambi di depan atau di samping ini, tidak saja diketemukan
di Indonesia, melainkan pula di Malaysia, salah satunya Masjid
di Kampung Laut, Distrik Nilampuri, Negara Bagian Kelantan.
Masjid Tua Kampung Laut ini dibangun para jurudakwah
(dai, mubalig) yang tengah berlayar dari Jawa hendak menuju
Champa (Vietnam) sekitar abad ke-13 (Ahmad Sanusi Hassan
dan Mohd. Syafik Ahmad Nawawi, 2014). Semua ini semakin
memperbesar keyakinan bahwa ada suatu masa ketika Asia
Tenggara dipersatukan dengan suatu pengetahuan yang sama
dalam model dan bentuk bangunan.
Kekhasan masjid-masjid kuno beratap tumpang yang berasal
dari abad ke-16 sampai abad ke-18 tersebut mengundang aneka
pendapat arkeolog mengenai pengaruh apa yang dominan atau
terdapat dalam struktur bangunan tersebut.
Pertama, pendapat bahwa model atap itu tak lain mengambil
bentuk bangunan masa pra-Islam yang disebut meru, Gunung
Mahameru, yang mulai dikenal pada relief-relief candi di Jawa
Timur, seperti Candi Surawana, Panataran, Kedaton, Jago atau
Tumpang, Jawi, dan pura-pura di Bali sampai kini, bahkan ada
yang sampai bertumpang sebelas. Masyarakat Hindu meyakini
bahwa tempat tinggi, berupa gegunungan, adalah tempat
bersemayamnya para dewa. Hal itu tetap terbawa ketika
para Sunan, mendirikan padepokan/pesantren/makam di
pegunungan, seperti Sunan Giri, Sunan Tembayat, Sunan Gunung
Jati, Sunan Prawata, Sunan Sendang Dhuwur, atau, dimakamkan
di pegunungan, seperti wangsa Mataram Islam yang dimulai
semenjak Sultan Agung. Bahkan Presiden kedua RI, Soeharto,
dimakamkan bersama istri dan kerabatnya di Bukit Mangadeg,
Sragen, layaknya para raja tempo dulu.
BAB I : Pendahuluan 13
sudah mendiami pantai-pantai utara Pulau Jawa? Para penyebar
Islam pun berasal dari Champa yang notabene dipengaruhi
oleh kebudayaan China. Struktur atap masjid tradisional Asia
Tenggara tersebut tak berbeda dengan China, bahkan de
Graaf menganggap struktur tumpang itu mirip pagoda, yang
banyak didapati di Champa (Kamboja), China, kendati memberi
kesempatan pula pada interpretasi yang bersumber pada kultur
lokal yang ada atas adanya penambahan undakan dan pola atap
tumpangnya (Uka Tjandrasasmita, 2009).
Ketiga, dari sisi perspektif Islam, di mana bangunan ini
memang merupakan bangunan Islam, adanya tiga atap tumpang,
yang di Jawa disebut tajuk yang dipuncaki dengan mustoko,
merupakan simbol tingkatan perjalanan iman manusia –syariat,
thariqat, hakikat, dan makrifat pada puncaknya (Ashadi, 2002).
Letak perbedaan masjid-masjid di Nusantara dan Asia
Tenggara dengan di tempat lain tidak bisa tidak karena aneka hal
yang ada pada waktu itu: latar belakang kultural, perbedaan iklim,
ketersediaan bahan dan akses pengetahuan teknik arsitektural,
dan sebagainya. Tidak sebagaimana candi, yang fokus utamanya
hanya untuk dipandang para pemeluknya yang berkumpul dan
beribadah di lapangan yang mengelilingi candi, masjid adalah
bangunan tempat para pemeluknya harus masuk ke dalamnya
untuk bersujud, bersembahyang dan melakukan aktivitas
keagamaan di dalamnya, juga urusan sosial yang tidak terkait
langsung dengan ibadah. Karena itulah, tidak hanya keindahan
yang dikonsentrasikan, melainkan pula demi keselamatan para
jemaah yang berada di dalamnya.
Tentunya, iklim tropis yang membagi musim menjadi dua,
kemarau dan penghujan, menjadikannya penting bangunan
dengan atap, baik untuk berlindung dari terpaan hujan maupun
panas. Atap tumpang akan memudahkan jatuhnya air hujan
ke atap dengan kecepatan terukur hingga mengawetkan
bangunan, menjadikan jemaah di dalamnya aman dari air hujan,
dan mengurangi kecepatan air yang mengalir ke tanah yang
BAB I : Pendahuluan 15
dan menggantikannya dengan teknologi bentang panjang,
sehingga pandangan ke depan tidak terhalang lagi dengan empat
tiang utamanya.
Di lain tempat, di tengah kontemporerisasi arsitektur
modern aneka masjid, Raja Kraton Yogyakarta, Sri Sultan
Hamengkubuwono X, justru memperbarui 5 “masjid pathok
nagoro”, atau masjid batas nagoro (mengacu konsep kekuasaan
konsentris), yakni: Masjid Taqwa Wonokromo; Masjid Sulthoni
Plosokuning; Masjid Jamie An Nuur, Mlangi; Masjid Nurul Huda
Dongkelan; Masjid Ad Dorojatun, Babadan. Masjid-masjid
ini direstorasi dengan meniru model Masjid Gedhe, Kauman,
Yogyakarta, termasuk pembagian bangunan induk dan serambi,
serta mempertahankan empat soko guru atau tiang utamanya
(Muhammad Nur Hakimuddin At-toyibi dan Dyah Titisari
Widyastuti, 2021)
Bagian yang tak kalah penting pada bangunan masjid adalah
ragam hias yang disebut ornamentasi. Ini merupakan fungsi
seni hias di dalam Islam. Dengan demikian, bagian dari interior
maupun eksterior masjid tidak dibiarkan kosong tanpa aksentuasi.
Namun tak sebagaimana seni visual dalam kebudayaan lainnya,
Islam sangat menghindari visual figuratif, baik yang bertema fauna
maupun manusia, apalagi seni patung tiga dimensi. Keengganan
atau lebih tepatnya penolakan atas seni figuratif ini menyebabkan
para seniman muslim mendenaturalisasi atas objek-objek atau
pola hias yang hendak disentuh-pasangnya –pola hias kaligrafi,
pola bintang, pola swastika, pola pilinan, pola gelombang, pola
sulur, pola poligon, pola spiral, pola daun, dsb.
Terkhusus untuk masjid, pola-pola tersebut akan ditempel
pada pintu, dinding, kubah, jendela, menara, dengan kehendak
bulat untuk memanifestasikan nilai tauhid (mengesakan Tuhan).
Semua ini dengan “transfigurasi”, yakni mengubah bentuk
ornamentasi untuk dibawa ke arah refleksi dan spiritualisasi, seni
hias di dalam masjid tersebut tidak hanya mengisi kekosongan
unit volume sasaran, melainkan pula, yang lebih penting, untuk
BAB I : Pendahuluan 17
yang dibelah tengah, dan tanpa penutup atap, sebagai pintu
masuk menuju masjid. Gerbang bentar di masa Hindu adalah
gerbang pertama, baik saat memasuki kota maupun rumah
tinggal dan perkantoran para punggawa kerajaan.
Dari gerbang bentar, kita tak mendapati halaman lagi
melainkan akan memasuki ruang masjid. “Gerbang kori agung
(paduraksa)”, yakni gerbang berpintu rendah dan beratap, tetap
dipertahankan keberadaannya. Berdiri sunyi dan anakronistis,
ditemani oleh kawasan pesalatan yang lebih modern. Masjid
bergaya tradisional dan memberi ciri khas hinduistik ini menandai
pola akulturasi awal, ketika Sunan Kudus,memberi ruang tatanan
lama, namun tetap akan dibawa untuk berkesadaran Islam
(Hasan Muarif Ambari, 2001).
Masjid Sendang Dhuwur Nama masjid yang berlokasi di
perbukitan ini tentunya dahulu terdapat sendang (mata air) yang
berada di ketinggian bukit (dhuwur), Paciran, Lamongan. Akhir
hayat aNg pendiri, yakni Sunan Sendang Duwur atau Raden
Nur Rahmat dimakamkan di kompleks masjidnya. Tampaknya
Masjid Sendang Duwur rusak dalam perjalanan masa, sehingga
direnovasi. Unsur keaslian masjid sudah tanggal sama sekali.
Hanya beberapa tempat bekas fondasi (ompak) yang ditandai,
yang bisa dilihat saat ubin portable, yang bisa dibuka-tutup, itu
disingkap.
Yang mengesankan dari Masjid Sendang Duwur adalah
petilasannya, yakni sisi ragam hias dan taman di luar masjid.
Paduan unsur Hindu dan Islam berada di situs ini. Sebagaimana
di Masjid Kudus, jalan masuk menuju ke Masjid Sendang Duwur
ini harus melalui tahapan pintu, yakni pintu candi bentar dan kori
agung (paduraksa). Hanya saja karena Masjid Sendang Dhuwur
berada di atas bukit, para jemaah harus melewati undak-undakan.
Yang menarik dari petilasan Sendang Duwur adalah dua
paduraksa (kori agung) yang disertai sayap di kanan-kirinya, yang
menempel di dekat atap dari pintu. Sebagian menisbahkannya
pada perlambangan mitologi Hindu, sebagaimana digambarkan
BAB I : Pendahuluan 19
hubungan antara Indonesia dengan kebudayaan lama Asia.
Pohon hayat, dalam Islam dikenal dengan sebutan syajaratul
khuldi, atau pohon khuldi (Uka Tjandrasasmita, 2009).
Bagaimana masjid di luar Jawa? Bentuk arsitekturalnya yang
beratap tumpang, berkubah limas, tetap dipertahankan. Bukan
karena simbolisasi Hinduistik sebagaimana yang terjadi di
Jawa lagi, melainkan lebih pada fungsinya yang sesuai dengan
klimatologi daerah tropis: terdapat mustoko sebagai puncak
dari kubah berbentuk limas, terdapat penerangan relatif semasa
siang, karena belum adanya penerangan listrik, dan juga sirkulasi
angin, yang berasal dari sela-sela perpindahan atap tumpang.
Tampak bahwa renovasi, baik dalam dinding maupun ubin,
terus-menerus berlangsung setiap kali pembenahan masjid
dilakukan, namun tidak mengubah tiang penyangga dan atap
tumpang yang memiliki multidaya efektivitas, baik untuk naungan
dari cuaca panas-hujan, penahan beban atap masjid, dan juga
teknologi semasa yang belum tergantikan. Besar kemungkinan,
semula dinding masjid berbahan kayu, sebagaimana tiang
penyangga, reng penyangga atap, dan dengan tutupan dedaunan
ijuk. Masjid Sultan Suriansyah di Banjarmasin, Masjid Sultan
Badaruddin I atau Masjid Agung Palembang (sudah direnovasi
total, kendati ada arsitektural bagian paling awal yang tetap
dipertahankan), meniru model masjid Demak.
Masjid Baiturrahman Aceh, sebagaimana disketsakan oleh
seniman Peter Mundy pada 1637 saat dia menyaksikan iring-
iringan Sultan Iskandar Tsani dalam prosesinya menuju Masjid
Kerajaan, tergambar memiliki jenis atap tumpang hingga 4
tingkat, dan ke-5 merupakan pemuncaknya (Anthony Reid,
2011). Sayangnya, tidak ada foto satu pun untuk mendukung
autentitas Masjid yang dibangun oleh bangsa Aceh sendiri itu,
yang terbakar pada 1873 (bujangmasjid.blogspot.com, 2001).
Barangkali berfoto di depan atau sedang bersalat di masjid
masih merupakan hal yang tabu bagi raja maupun bangsawan
Aceh, kendati teknologi fotografi telah dikenal. Hal ini tampak
BAB I : Pendahuluan 21
1670, dalam usia 39 tahun). Hal yang melegakan, arsitektur
masjid tidak banyak mengalami perubahan, kecuali, kemungkinan
besar dahulu berbahan kayu, kini sudah berlapis batu-bata dan
tiang beton pula. Adanya penambahan tiang-tiang di dekat pilar
utama memang memperlihatkan kerentaan masjid yang sudah
berbilang 300-an tahun usianya.
Dari sisi gaya arsitekturnya, Masjid Katangka tidak jauh beda
dengan masjid-masjid tradisional Asia Tenggara. Masjid Katangka
beratap tumpang, dengan empat pilar utama penyangga beban
atap di ruang utamanya. Masjid seluar 150 m2 ini telah diperluas
dengan sayap dan penambahan bangunan di sekitarnya, juga
dicat agar memperlihatkan kesegaran pandang. Kini, Masjid
Katangka dimasukkan sebagai bangunan cagar budaya. Keunikan
dan timbunan kisahnya, menyebabkan masjid itu dipenuhi oleh
orang-orang yang berziarah, apalagi di sebelahnya terdapat
makam bangsawan dan raja-raja Gowa.
Masjid beratap tumpang lima dan tergolong tradisional
ditemukan pula di Kecamatan Kaum Lima, Kabupaten Tanah
Datang, Sumatra Barat. Masjid bernama Lima Kaum yang
melintasi abad tersebut setinggi 55 meter, bangunan menjadi
Masjid Katangka (Masjid al - Hilal, merupakan Masjid Tua yang ada di Sulawesi
Selatan di bangun pada masa Sultan Gowa, Hasanuddin (wafat pada 1670).
BAB I : Pendahuluan 23
B.1. Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh
Sebuah masjid baru yang bergaya beda, untuk pertama
kalinya, muncul di Aceh. Presedennya pun tak biasa, yang dimulai
dengan perang penaklukan. Pasukan Belanda yang berhasil
merangsek menuju ibukota, mendapati pasukan Aceh yang
bertahan di masjid kerajaan. Masjid itu kemudian dihujani artileri
yang membuatnya terbakar. Bahan masjid yang terdiri dari bahan
kayu dan beratap daun rumbia yang mudah terbakar itu luluh
lantak pada Januari 1873. Demi menenangkan masyarakat Aceh,
juga rencana lanskap Kutaraja atau Banda Aceh yang elegan, di
sela pasifikasi (proses pengamanan) di ibukota kerajaan, Belanda
mulai membangun masjid pada 1879, atau enam tahun setelah
terbakarnya masjid.
Masjid itu tak lagi model Asia Tenggara yang beratap tumpang
dengan bahan kayu, dan kubah bentuk limasan, melainkan
bangunan berbahan batu-bata dan berangka besi secara masif.
Masjid Raya Baiturrahman awalnya dirancang oleh arsitek
Belanda yang bernama Gerrit Bruins dari Departemen Pekerjaan
Umum (Departement Van Burgerlijke Openbaare Werken)
Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Masjid sengan desain/ gaya Mughal
dengan ciri kubah besar dengan menara-menara. Untuk pertama kalinya, kubah
beralas lingkaran lalu mengerucut ke satu titik, sebagaimana model kubah di
Turki, Syria, Mesir, Iran, Pakistan, India.
BAB I : Pendahuluan 25
Demikian penjelasan di atas itu yang ditulis oleh sejarawan Prof.
Dr. T. Ibrahim Alfian-dari Pusat Latihan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial,
Aceh 1976.
Pada awalnya, tidak mudah menjadikan masjid itu sebagai
tempat salat dan sarana peribadatan bagi orang Aceh. Mereka
menganggap masjid tersebut dibuat oleh kaphe atau orang
kafir. Namun dengan berjalannya waktu, tidak hanya jemaah
yang mendatangi dan memakmurkannya, arsitektur Masjid
Baiturrahman juga menjadi tengara bagi masyarakat Aceh dan
masjid-masjid di Aceh menduplikasi, baik tiang, kubah, ukiran,
maupun keindahan interior dalam skala bangunan yang lebih
kecil. Masjid Baiturrahman diperluas pada tahun 1935 dengan
menambahkan luas ruangan dalam ke arah kiri dan kanan dan
penambahan dua buah kubah lagi, sehingga jumlahnya menjadi
tiga buah kubah. Pada tahun 1963, pemerintah Indonesia
merenovasi dengan penambahan dua buah kubah serupa,
hingga menjadi lima kubah (bijeh-design.blogspot.com/2014;
Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari,
2008).
Masjid Raya Al-Mashun Medan. Masjid yang diarsiteki orang Belanda ini bahan
bakunya, antara lain: marmer untuk tiang dan dekorasi diimpor dari Italia dan
Jerman, kaca patri dari Tiongkok, dan lampu gantung langsung dari Prancis.
BAB I : Pendahuluan 27
Melayu sang pemilik dari Kesultanan Deli (Kota Medan) pada
masanya, dan masih tampak indah pada masa kini sebagai
sebuah tengara.
Inilah masjid gaya baru kedua setelah Masjid Baiturrahman,
Aceh. Namun keindahan Masjid Raya al-Mashun, yang dibangun
dalam masa damai dan juga oleh perkembangan inovasi
arsitektur maupun teknologi semasanya, tak tertandingi oleh
Masjid Baiturrahman sendiri, yang dibikin di tengah Perang Aceh.
Kesamaannya, arsiteknya adalah seorang Belanda, yakni J.A.
Tingdeman. Demikian pula bahan bakunya, antara lain: marmer
untuk tiang dan dekorasi diimpor dari Italia dan Jerman, kaca
patri dari Tiongkok, dan lampu gantung langsung dari Prancis.
Denah persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam
yang unik, dengan empat penjuru masjid masing-masing diberi
beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi
kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing
beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung
antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan,
kecuali bangunan beranda di sisi mihrab. Peninggian ini jelas
mengambil inspirasi dari rumah-rumah panggung pada suku
Melayu. Sementara dalam pemilihan cat pada dinding masjid,
dominasi warna kuning juga merupakan warna kebesaran
bangsawan Melayu, yang memesankan perihal kejayaan.
Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat
wudu, gerbang masuk, dan menara. Ruang utama, tempat salat,
berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan
lebih kecil, terdapat ‘beranda’ serambi kecil yang menempel dan
menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda
terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga,
sisa peninggalan Art Nouveau periode 1890-1914, yang dipadu
dengan kesenian Islam. Seluruh ornamentasi di dalam masjid
baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan
yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan
setiap beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi,
BAB I : Pendahuluan 29
RI dari Yogyakarta ke Jakarta. Masjid yang menempati bekas
taman kolonial, Wilhemina Park, ini, mulai dibangun dengan
pemancangan pada 1964, Istiqlal baru usai 12 tahun kemudian,
yakni tahun 1978. Saat peresmiannya, Masjid Istiqlal yang
berlokasi di ibukota Negara RI ini menjadi masjid terbesar dan
termegah di Asia Tenggara pada waktu itu.
Masjid Istiqlal memperlihatkan identitas dan simbol
kebanggaan berbangsa dan bernegara bagi bangsa yang
mayoritas muslim ini. Jakarta, sebagai bekas ibukota kolonial
Belanda sampai melupakan jajahannya yang dihuni oleh
mayoritas Islam dengan penanda Islam. Terdapat katedral yang
megah di dalam kota, demikian juga bangunan Kristen dari
segenap aliran, sayangnya tiada yang memerhatikan Islam, yang
memang para kawulanya berada di “ring tiga” atau ring terakhir
dalam lokasi kediamannya.
BAB I : Pendahuluan 31
gaya Eropa; MSJID Ukhuwah Islamiyah, Universitas Indonesia,
UI; Masjid Masjid al-Markaz, di Makassar, yang diprakarsai oleh
Jenderal M. Joesoef, dan sebagainya.
Perkembangan pesat pada bangunan megah masjid di
Indonesia, menghadirkan pula polemik terkait perubahan
paradigma arsitektur secara total. Unsur kebudayaan lama
ditinggalkan, sedang unsur futuristik dikedepankan. Masjid as-
Safar yang berdiri megah dan berlokasi di Rest Area Cipularang
Km 88 B, meninggalkan polemik antara sang arsitek Masjid
as-Safar, kini seorang Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil,
dengan seorang ustad bernama Rahmat Baiquni. Sang Ustad
menengarai bahwa model masjid yang diarsiteki Ridwan Kamil
ini mengandung pesan “illuminati”, dengan model segitiga mirip
simbol dajjal. Ketidakbiasaan desain, sebagaimana tampilan
masjid yang selama ini tersaksikan, juga bisa pula karena hal lain,
membuat prasangka ini membesar dan meledak menjadi suatu
tuduhan. Kebaruan desain masjid yang betul-betul meninggalkan
langgam tradisi, telah mengejutkan pihak-pihak yang selama ini
mempersepsi simbol-simbol permusuhan atas Islam, dan Masjid
as-Safar dianggap sebagai salah satu simbol representasi tersebut.
Lain halnya dengan Masjid al-Furqon di Kampus UPI,
Bandung, yang dibangun pada 2004, misalnya. Sang arsitek,
Achmad Noe’man, mengolah kubah tradisional limasan, namun
dengan inovasi berupa lipatan-lipatan undak-undakan. Apakah
Noe’man ingin memperlihatkan punden berundak semasa
animistik? Mungkin juga tidak, namun aksentuasi itu berterima
karena masih mengaitkan dengan warisan budaya masa lalu.
Tengara atau pemuncak arsitektural masjid sebagai penanda
peradaban agamis selalu hadir di Indonesia. Kehadirannya
dipertinggi berkat para arsitek masjid yang menyambut
kegairahan beragama dengan teknik dan inovasi pada arsitektural
masjid itu sendiri. Kembali kepada tuntutan adanya arsitektur
nusantara sebagai suatu bidang studi dan pada akhirnya
mengarah pada identitas diri, beberapa bukti telah ditunjukkan
BAB I : Pendahuluan 33
masjid yang terdapat di sentra-sentra bisnis, perkantoran,
perumahan, dan sebagainya.
Bangunan masjid adalah perangkat keras, sedangkan pola
manajemen (idarah), pemeliharaan (ri’ayah) dan pemakmuran
(imarah) merupakan perangkat lunaknya. Sinergi di antara
keduanya, tentunya dengan adaptasi sesuai dengan sifat
dan kondisi jemaahnya, akan membawa kesejahteraan dan
kebertahanan masjid di Tanah Air tercinta. Membentang selama
beberapa abad, masjid dengan kumandang azan, ketaatan jemaah
menghadiri masjid, teknik dan inovasi arsitektural masjid secara
berkelanjutan, adalah bekal rohaniah bangsa, yang diharapkan
menjadi bekal dan pengawal setia Republik Indonesia sebagai
bagian dari masyarakat beradab nan agamis.
35
yang lebih adaptif kepada institusi masjid dan umat Islam (dari
awal Orde Baru hingga kini), DMI pun menjadi impetus atau
pendorong dinamis bagi berdirinya organisasi sejenis lainnya
dan berperan afirmatif atas berjalannya program agenda
pembangunan negara. Namun pada saat-saat tertentu, akan
menjadi suara kritis-persuasif atas kinerja pemerintahan maupun
gerak dinamika umat Islam itu sendiri.
Dari sejarah yang tampak biasa dan tak tampak terlihat
inilah sebenarnya yang terjadi pada diri proses pembentukan
Dewan Masjid Indonesia (DMI). Ide itu pertama-tama berasal
dari kumpul-kumpul para tokoh beberapa jenderal senior TNI
dan Polri serta pemuka-pemuka masjid di sebuah masjid kecil
bernama al-Ma’rifah di bilangan selipan rumah-rumah yang
ada di Jalan Lembang, Jakarta Pusat pada tahun 1970. Kala itu,
tenaga baru dari pemerintahan Orde Baru tengah mekar, dengan
tujuan melakukan koreksi atas tatanan lama yang dianggap tidak
lagi kompatibel dengan suasana zaman. Begitu pula dalam soal
pembelahan aliran agama serta prospek tantangan agama ke
depan, hendak pula ditangani.
Bagian Pembangunan:
H. Syarbaini Karim
Bagian Dakwah:
H.M. Toha Ma’ruf
Bagian Riset:
Drs. H. Ibrahim AR
Bagian Organisasi:
A.M. Fatwa
masjid, serta kantor DMI dan kantor PTDI (Perguruan Tinggi Dakwah Islam), barulah pada
1987 dengan SK Gubernur No. 5184/1987, tanggal 18 Agustus, resmi menjadi masjid
•ngkat provinsi. Masjid Cut Meu•a kini menjadi masjid yang ramai oleh aneka kegiatan,
dengan tanpa mengubah gedungnya yang bekas bangunan jenis art nouvo masa Hindia
Belanda tersebut. Lihat Perjalanan Panjang Masjid Cut Meu•a”, h!ps://travel.kompas.
com/read/2009/08/30/05500974/perjalanan.panjang.masjid.cut.meu•a; juga lihat
“Masjid Cut Meu•a, dari Gedung Belanda Jadi Rumah Tuhan”, h!ps://regional.kompas.
com/read/2015/07/20/10312581/Masjid.Cut.Meu•a.dari.Gedung.Belanda.Jadi.Rumah.
Tuhan, dan h!ps://situsbudaya.id/masjid-cut-meu•a-jakarta/
kuasa Presiden Soeharto. Dalam negara pluralis, korpora•sme berkaitan erat dengan
hubungan negara dan masyarakat yang tujuannya untuk mengakomodasi kepen•ngan
keduanya. Hal ini ditujukan agar •dak melahirkan sistem pemerintahan yang otoriter. Lihat
http://wiwit_tri-fisip13.web.unair.ac.id/artikel_detail-120513-Negara%20Agama%20
dan%20Demokrasi-Memandang%20Orde%20Baru%20Dengan%20Korporatisme.html
diakses pada Ahad, 11 Agustus 2019, pukul 19.12.
38
BKM adalah lembaga yang dibentuk oleh Departemen Agama untuk meningkatkan
peranan dan fungsi masjid sebagai tempat ibadah dan sarana pembinaan umat Islam
hingga ke tingkat paling bawah. Hadirnya Dewan Masjid Indonesia (DMI) yang
berkhidmad pada masjid, dari Pusat hingga Ranting seluruh Indonesia, tentunya
disambut oleh Ditjen Bimas Islam, karena meringankan tugas mereka. Ditjen Bimas
Islam merupakan satuan kerja tingkat 1 di Departemen Agama. Bimbingan Masyarakat
Islam lahir pada 3 Januari 1946, jauh sebelum diwadahi dalam unit Direktorat Jenderal
Bimas Islam, yang nomenklaturnya sudah berubah beberapa kali. Kini bernama Ditjen
Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji.
Dana BKM ini kemudian diperbesar, yang sebagian diberikan untuk membantu kerja-
kerja PP DMI. Bahkan pembicaraan secara nonformal dan santai saat Dirjen Bimas
Islam dipegang oleh Drs. Kafrawi Ridwan, M.A., bantuan itu bisa segera cair. Misalnya
DMI butuh mobil second, oleh Pak Kafrawi malah diberikan uang untuk membeli
mobil baru. Wawancara dengan Prof. Dr. Sutarmadi, M.A., mantan pengurus DMI dan
Ketua Umum PP DMI periode 1995-2000 pada April 2019 di Kantor PP. DMI, Jalan
Surabaya No.1, Cikini, Menteng, Jakarta Pusat.
Komitmen Ditjen Bimas Islam kepada DMI tetap berlanjut. Dalam 5 tahun terakhir
ini, dana sebesar Rp300 juta, yang berarti rata-rata Rp25 juta/bulan, dialokasikan
untuk PP DMI. Tentunya, dana ini hanya cukup untuk gaji karyawan kesekretariatan
DMI, bahkan cenderung kurang, apalagi untuk menggerakkan roda organisasi beserta
program-programnya secara maksimal. Bantuan sebesar itu diinformasikan oleh Dirjen
Bimas Islam, Prof. Dr. H. Muhammadiyah Amin, M.Ag, pada wawancara hari Rabu, 17
Juli 2019, pukul 09.30 di Grand Sahid Hotel, Jakarta.
Juli 1982-September
3 Rp250.000,00/bulan
1983
4 September-Desember Rp500.000,00/bulan Semasa Dirjen Bimas
1983 dan Urusan Haji, H.A.
Burhani Tjokrohandoko
O
rde Baru adalah sebuah ide besar dan segar yang
bertekad untuk membangkitkan Indonesia dari
keterpurukan ekonomi serta penataan ke arah
kestabilan politik.1 Setelah menghancurkan kekuatan Partai
Komunis Indonesia (PKI), sebuah partai dengan jaringan kekuatan
transnasional, rivalitas tentara dan organisasi keagamaan dengan
PKI pun berakhir. Kemenangan Angkatan Darat atas Komunis
ini harus diakui sangat terbantu oleh unsur-unsur antikomunis,
seperti kelompok intelektual dan kelompok agama, khususnya
Islam sebagai agama mayoritas.
Dengan basis legitimasi politik yang semakin kuat, Presiden
Soeharto sendiri dalam setiap kesempatan menyerukan kepada
partai-partai tetap menjaga stabilitas nasional dan kelancaran
pembangunan, menghindari kesimpangsiuran dan perpecahan,
dan memikirkan pengelompokan partai-partai ke dalam kelompok
spirituil dan materiil (terbentuk menjadi Partai Persatuan
Pembangunan [PPP] dan Partai Demokrasi Indonesia [PDI], serta
Golkar yang bergaris kekaryaan, namun memiliki penyaluran
hak politik). Gagasan penyederhanaan partai ini tidak hanya
berarti pengurangan jumlah partai, tetapi yang lebih penting
1
Kendati demikian, ilmuwan politik LIPI, Mochtar Pabottingi, M.A., Ph.D, dalam setiap
komentarnya mengenai Orde Baru adalah “format politik darurat”, yang tidak didesain
untuk membawa Indonesia menuju tatanan masyarakat demokratis.
103
“Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah
orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian,
serta tetap mendirikan salat, menunaikan zakat dan tidak takut
(kepada siapa pun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-
orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang
mendapat petunjuk.” (Q.S. at-Taubah: 18)
“Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan
Allah. Maka janganlah kamu menyembah sesuatu pun di
dalamnya selain (menyembah) Allah.” (Q.S. al Jin: 18).
Dalam laporan kegiatan DMI pada 1972-1974, terdapat
kegiatan yang bersifat internal, yakni penguatan organisasi ke
dalam; serta yang bersifat eksternal, yakni: melakukan sosialisasi
dan perkenalan tentang keberadaan DMI yang belum lama
berdiri; audiensi dengan para pejabat terkait; komunikasi dan
penjalinan kerjasama dengan organisasi sejenis atau yang terkait
dengan pihak DMI. Selain itu, DMI turut serta atau terlibat
dalam isu-isu strategik nasional yang terkait dengan hajat hidup
umat Islam, maupun kesertaannya sebagai komunitas Islam
internasional beserta isu-isu internasional penting lainnya.
Tahun-tahun pertama usai berdiri, aneka kegiatan untuk
memperkenalkan DMI telah dijalankan, antara lain:
a. Penyebarluasan informasi tentang Dewan Masjid ke
daerah-daerah di seluruh Indonesia. melalu surat-me-
nyurat, media massa (surat kabar, tv, radio), penerbitan
buletin, kalender, dan kunjungan ke daerah-daerah.
b. Mengadakan pertemuan dan silaturahmi dengan para
pejabat pemerintah, seperti Menteri Agama, Dirjen Bimas
Islam, dan Gubernur DKI Jakarta, dan lembaga dai maupun
kemasjidan di dalam maupun di luar negeri, dalam rangka
berkenalan, mendapatkan bantuan dan kerjasama, serta
memberi sumbangan pemikiran atas isu strategik.4
Selama 3 tahun tersebut, DMI mendapatkan komitmen,
4 Lihat Pimpinan Pusat Dewan Masjid Indonesia, Hasil Keputusan Muktamar I Dewan
Masjid Indonesia 1984, Jakarta: PP DMI, 1984), hlm. 43-44.
127
Keberhasilan swasembada pangan (utamanya beras sebagai
makanan pokok bangsa Indonesia) disebutkan oleh Presiden
Soeharto kala itu sebagai kerja raksasa yang melibatkan aneka
hal: keputusan-keputusan politik yang diambil oleh lembaga-
lembaga politik dalam negara yang demokratis, alokasi anggaran
yang konsekuen, pembangunan bendungan-bendungan besar
sampai jaringan irigasi tersier, pembangunan pabrik-pabrik pupuk
dan industri lain yang menunjang pembangunan pertanian, kerja
tekun dari pekerja ilmiah di lembaga lembaga penelitian yang
menghasilkan bibit unggul, bekerjanya aparatur pemerintahan dari
pusat sampai ke daerah-daerah yang menangani pembangunan
pertanian.
Dan yang paling penting dan menentukan ialah: kerja keras,
cucuran keringat, semangat dan kegairahan berjuta-juta petani
Indonesia sendiri. Dalam hubungan ini patut dicatat bahwa
peranan wanita sangat besar, baik dalam usaha intensifikasi
pertanian maupun dalam usaha meningkatkan kesejahteraan
keluarga pada umumnya dengan adanya PKK di setiap desa.
Tidak kalah penting, swasembada juga dimungkinkan karena
keberhasilan Indonesia menekan jumlah penduduk lewat
program Keluarga Berencana (KB). Demikian beberapa catatan
dari pidato Presiden di Roma, 34 tahun yang lalu.
Terdapat semangat zaman yang optimistis pada masa itu,
seiring berkembangnya postur ekonomi di Indonesia, yang telah
meningkat menjadi negara berkembang (developing country).
Semua ini tidak terlepas dari keberhasilan pemerintah dalam
konsolidasi politik di dalam negeri. Momentum terbesarnya
adalah penerimaan asas tunggal Pancasila oleh organisasi politik
maupun organisasi sosial. Dengan asas tunggal ini, yang diawali
dengan pidato Presiden di hadapan Sidang Umum MPR pada
16 Agustus 1982, pemerintah berharap bahwa segenap orpol
maupun ormas tidak akan mempertikaikan lagi ideologi masing-
masing. Diharapkan, mereka, bersama-sama pemerintah, akan
berkonsentrasi dalam peranserta dan mengawal pembangunan
O
rde Baru tampak menua bersama Presiden Soeharto,
yang pada tahun 1997 terpilih untuk ketujuh kalinya,
semenjak keterpilihan pertamanya dengan mandat
MPRS pada Maret 1968 dan lalu lewat Pemilu pertama pada
1971. Kekuasaan Presiden Soeharto bertopang kuat pada ABRI
(militer dan polisi), birokrasi, dan Golkar. Dengan kekuasaan yang
cenderung kuat ini, tidak bisa dimungkiri sifat otoriterisme Orde
Baru. Di satu sisi memang berguna untuk memuluskan program
pembangunan, namun di sisi lain, kerinduan pada suasana
kebebasan dan demokrasi menjadi dambaan, khususnya bagi
kalangan menengah perkotaan maupun para aktivis prodemokrasi
dari aneka spektrum aliran politik –islamis, liberalis, marxis (Kiri),
sosialis, feminis, ekologis, dan sebagainya.1
Namun Golkar sebagai mesin politik pemerintah tidak
tergoyahkan. Golkar selalu memenangkan kontestasi pada setiap
Pemilu yang diadakan semenjak awal. Orde Baru. Soeharto runtuh
bukan karena rendahnya legitimasi politiknya, yang bahkan
mencapai titik tertinggi dengan perolehan suara sebesar 74,51%
pada Pemilu 1997, meskipun cara-cara perolehannya melalui
proses koersif ataupun pemaksaan hegemonik. Keamanan politik
1
Anders Uhlin, Oposisi Berserak: Arus Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia,
Bandung: Mizan, Agustus 1998
189
di Parlemen pun masih dijaga dengan adanya utusan Fraksi ABRI
sejumlah 100 kursi tanpa turut serta berkontestasi dalam Pemilu,
dan utusan Daerah, yang semua mendukung Presiden.
Krisis ekonomi dan disusul krisis politik-lah, yang menjadikan
goyah topangan Orde Baru. Krisis ekonomi yang semula
menghantam mata uang baht Thailand, sebelumnya juga won
Korea Selatan, merembet kepada Indonesia, yang sebelumnya
diperkirakan cukup tangguh untuk menghadapinya. Bagaikan
kartu domino yang jatuh secara bergiliran, Indonesia juga
mengikuti krisis tersebut. Setelah upaya melakukan stabilisasi
rupiah yang gagal, Presiden Soeharto kemudian menyerah,
lalu menandatangani kesepakatan dengan IMF (International
Monetary Fund) demi mendapatkan dana talangan (utang).
Namun IMF mensyaratkan, Indonesia harus menyesuaikan harga
minyak, menghapus aneka subsidi, serta memotong proyek-
proyek berbiaya mahal, seperti mobil nasional dan pembuatan
pesawat terbang yang prestisius. Saat Presiden Soeharto
menyesuaikan harga BBM untuk lebih menyehatkan keuangan
negara, ternyata penaikan bahan bakar menjadi pemicu
demonstrasi besar-besaran, yang berubah menjadi anarkisme
sosial.
Dari krismon atau krisis moneter pun berubah menjadi krisis
politik yang belum pernah ada presedennya semenjak Orde
Baru. Ketidakpercayaan sosial meningkat tajam. Demonstrasi,
utamanya para mahasiswa, terus saja terjadi di kota-kota di
Indonesia, yang kemudian memicu rush, atau penarikan uang
secara besar-besaran di dunia perbankan. Harga saham di
bursa saham anjlok, dan di kota-kota besar, masyarakat urban
yang semakin panik memborong segenap bahan kebutuhan
pokok di mal atau pusat perbelanjaan di toko-toko besar, hingga
kelangkaan barang semakin nyata. Inflasi pun melambung tinggi,
dengan kurs dolar yang semakin tiada terkendali.
Demo mahasiswa yang dihadapi dengan keras oleh aparat
keamanan menemukan martir dengan terbunuhnya beberapa
mahasiswa Universitas Trisakti. Korban penembahan oleh
Umat:
- Bersama-sama dalam koordinasi MUI, DMI turut
menyampaikan sikap dan menempatkan wakil-
wakil-nya di dalam setiap kegiatan
- Juga melakukan koordinasi atau kunjungan
ke daerah, baik dengan dana sendiri maupun
undangan daerah, kepada 19 PW DMI, demi
menyikapi perkembangan Tanah Air yang sedang
direbak pertikaian (Aceh, Ambon, Kupang,
Timor Timur, Sambas). Dengan koordinasi dan
peninjauan maupun berbagi informasi, pihak-
pihak yang terkait DMI akan mengetahui secara
lebih jelas pergolakan yang terjadi, dan bisa
memedomani dalam bersikap maupun bertindak.
- Kunjungan Direktur Islamic Centre Melbourne,
tamu dari Australia pada awal Juli 1997 kepada
PP DMI, yang menjelaskan penyelenggaraan
pendidikan agama Islam yang dipadukan dengan
pendidikan umum, semacam Tsanawiyah dan
Aliyah.
- Menerima kunjungan Imam Besar Masjid al-Aqsa,
Syekh Ahmad Muhammad Husein beserta dua
imam lainnya pada 15 Juli 1997.
- Doa dan tasyakuran Tahun Baru Islam, 1 Muharam
1417H/1997 dengan acara doa, syukur, dan
seminar sehari dalam tema “Aktualisasi Hijrah
dalam Mendorong Kebangkitan Umat dan
Kebangkitan Nasional” dengan pembicara Pangab
Feisal Tanjung (diwakili oleh Asospol ABRI, Mayjen
Soewarno, Prof Hasan Muarif Ambary, Muslimina
Nasution (Staf Ketua Bappenas).
PP DMI
ü BPD (Badan Pengem-
bangan Dana), dengan
mengusahakan PT Muda-
rabah Investment dan PT
Menara serta Yayasan
Lembaga Kesejahteraan
Imam dan Khatib. TOKOH
KH. A Sahal Mahfudh
Ketua Umum MUI
Semakin Luruh-Lirihnya
SOSOK
Oki Setiana Dewi
Artis Muslim
LAPORAN KHUSUS
KH. Masdar F. Mas’udi
Waketum PP-DMI
D. Pelaksanaan Program
Dalam rangka melaksanakan program, usai Muktamar VI
pada 25-28 Agustus 2006, DMI melakukan pertemuan untuk
melaksanakan program-program strategis, yakni:
1. Rapat Kerja Nasional (Rakernas) ke-1, pada 16-18 Maret
2007. Pembukaan Rakernas dibuka oleh Wakil Presiden
Dr. Muhammad Jusuf Kalla di Istana Wakil Presiden,
yang kemudian dilanjutkan Rakernas di Hotel Sriwijaya,
Pecenongan, yang dengan dihadiri oleh perwakilan dari
PP DMI serta pengurus wilayah dan daerah.
2. Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) pada 27 Februari -
1Maret 2009 dengan tema “Peran Strategis Dewan Masjid
Indonesia dalam Menyukseskan Pemilu 2009” yang
dilaksanakan di Hotel Borobudur/Hotel Atrium, dalam
rangka sosialisasi Pemilu 2009
3. Dialog Dakwah untuk Pemberdayaan Umat dan Temu
Pengusaha Berbasis Masjid pada 12-14 Mei 2010, yang
diselenggarakan di Asrama Pondok Haji Pondok Gede,
Jakarta Timur.
Terdapat dua kegiatan rutin yang diselenggarakan dua tahunan,
yakni:
1. Festival Masjid Bersejarah dan Keraton Tingkat Nasional
ke-3 tahun 2007 yang dilaksanakan di lantai dasar Masjid
Istiqlal, Jakarta, pada 7-13 Juni 2007
D
MI atau Dewan Masjid Indonesia mengadakan halal
bihalal bersamaan dengan miladnya yang ke-47 di Hotel
Grand Sahid, Jakarta, pada Rabu, 17 Juli 2019. Halal
bihalal ini mengambil tema “Islam Rahmatan Lil A’lamin sebagai
Modal Utama Membangun Bangsa”. DMI telah mencanangkan
bahwa keberadaan Islam adalah rahmat bagi seluruh alam dengan
perannya sebagai umat pertengahan (ummatan wasathan).
Keindahan Islam ketika ia berlaku moderat, menjadi rahmat, dan
bukan sebagai penebar bencana. Bersamaan dengan kegiatan
halal bihalal ini, dilangsungkan enam acara dijadikan satu, six in
one, ujar Ketua Umum DMI sekaligus Wakil Presiden RI, H.M.
Jusuf Kala saat menyambut para peserta.
Di hadapan K.H. Ma’ruf Amin, Wapres RI terpilih periode
2019-2024 serta para ketua ormas Islam atau yang mewakilinya,
seperti ormas Muhammadiyah, NU, PUI, Perti, DDII, Ketua
Umum PP DMI ini beserta pengurus harian lainnya, para pejabat
pemerintahan, dan hadirin/rat menyaksikan penandatanganan
Nota Kesepahaman (Memo of Understanding, MoU) antara PP
DMI dan PT Dompet Anak Bangsa, yang membawahi platform
digital Go Pay, penyedia layanan keuangan berbasis aplikasi
internet. Di masa depan yang tak begitu lama lagi, MoU ini akan
237
menjadi jalan-masuk bagi masjid-masjid yang menjadi anggota
DMI, atau yang terinspirasi dengan pola ini untuk memfasilitasi para
jemaah masjid maupun umat Islam yang hendak mendonasikan
amal sedekah, zakat, infak melalui layanan berbasis internet.
Selain itu, ruang atau area di masjid-masjid yang dijadikan
keperluan sosial dan bisnis bisa dikerjasamakan dengan layanan
go-send atau go-food, sesuai dengan kepemilikan usaha dari
masjid-masjid yang bersangkutan. Seraya berseloroh Pak JK
menyatakan, besok kotak amal bisa kosong karena semua
jemaah sudah menyedekahkan amal jariyah dan sedekahnya
lewat aplikasi. Semua serba cash-less dan tanpa dibatasi atau
terkendala geografis atau jarak, asal semua tersambung dalam
internet.
Masa kepemimpinan Pak JK adalah masa ketika Revolusi
4-0 menyeruak di dalam pertengahan kepemimpinannya, yang
semakin meninggi pada tahun 2015-an dan mengalami aneka
penyempurnaan hingga pertengahan tahun 2019, dan kita masih
akan menunggu pula inovasi-inovasi digital yang menakjubkan
lainnya. Tahun 2012, saat Pak JK terpilih, teknologi digital dengan
ragam aplikasinya belum sampai pada taraf terintegrasi begitu
rupa atau menggantikan banyak perangkat atau mode bisnis
lainnya. Kebetulan sekali beliau terpilih dalam dua periode, yang
memungkinkan beliau untuk menuntaskan kepemimpinannya
yang berada dalam gelombang Revolusi Digital 4.0. Dengan
latar belakangnya yang seorang pengusaha dan juga pada
pertengahan tahun 2014 beliau terpilih kembali kali kedua
sebagai wakil presiden RI (2014-1019), jejaring beliau mampu
dimanfaatkan secara optimal demi kemajuan DMI.
Jaringan internet merupakan mimpi besar dunia sebagai
kampung besar atau global village yang pernah dilontarkan
Marshal Mc. Luhan pada awal tahun 1960-an, dan ini telah
menyata pada lima tahun terakhir ini. Segenap manusia di dunia
telah terhubung dengan gawai sebesar genggaman tangan
namun memiliki aneka fungsi yang dahsyat --alat komunikasi,
Assalaamu’alaikum DMI
Kami pengurus takmir Masjid Nurul Huda, Semarang,
mohon dengan hormat kehadiran teknisi DMI, karena kami
berencana untuk pemasangan dan instalasi baru peralatan
sound system untuk masijd kami yang baru kami renovasi.
17
http://dmi.or.id/kiai-achmad-ketua-terpilih-dmi-jawa-tengah-2015-2020/ diakses
pada Rabu, 14 Agustus 2019, pukul 19.38.
Kegiatan Semiloka dan Peluncuran Program Eco Masjid kerjasama DMI dengan
MUI pada 19 Januari 2016 di Masjid Az-Zikra, Sentul, Kabupaten Bogor.
41
http://dmi.or.id/dmi-kalsel-selenggarakan-pelatihan-dai-dan-manajemen-masjid/
diakses pada Selasa, 10 September 2019, pukul 15.49
Komjen Pol. Drs. H. Syafruddin, M.Si, selaku Wakil Ketua Umum DMI membuka
Simposium Wisata Religi Berbasis Masjid, 115/05/2018 di Kraton Kesultanan
Kasepuhan Cirebon
8. Museum Rasulullah
Suatu upaya luhur dan monumental PP DMI adalah rencana
pembangunan Museum Rasulullah bernama Museum Assalamu’
A’laika ya Rasulullah. Museum ini nantinya akan menjadi museum
modern terlengkap dengan sistem digital dan alat peraga yang
canggih, dengan konsep teknologi multimedia digital dalam
bentuk hologram dan tiga dimensi. Para pengunjung museum
akan dibawa kembali ke suasana seperti di masa kehidupan
Nabi Muhammad Saw, seperti menampilkan miniatur Masjid
Nabawi di Madinah serta kediaman Rasulullah Muhammad Saw
dan keluarganya dengan ukuran yang sama dalam skala tertentu.
Pendekatan awal ini telah dimulai dengan pertemuan antara
Wakil Ketua Umum PP DMI, Komjenpurn Drs. H. Syafruddin,
M.Si. dengan General Supervisor pendirian Museum Assalamu
42
Kronologi masjid historis, legendaris, dan potensial sebagai destinasi wisata religi ini
dapat diakses di berita-berita yang terdapat di daring dmi.or.id.
1
Drs. Sidi Gazalba, Mesdid Pusat Ibadat dan Kebudajaan Islam: Pemikiran dan Penafsiran
Kembali Adjaran-Esensi dan Masalah Islam, Djakarta: Pustaka Antara, cet. ke-11, 1962,
hlm.
315
Masjid Raya Cordova dialihfungsikan menjadi katedral setelah
penaklukan kerajaan Kristen Spanyol atas daulah muslim di sana.
Sidi Cazalba adalah cendekiawan muslim modernis era tahun
1960-an dan 1970-an, yang dibesarkan dalam era redupnya
partai Islam yang notabene mengawal perkembangan masjid
pada umumnya. Suatu kerinduan untuk mempertalikan ibadat
dan kebudayaan Islam ada padanya, sehingga masjid berfungsi
lebih optimal.
Antara lain beliau menegaskan, “karena soal-soal kebudayaan
disingkirkan dari masjid, putuslah hubungan antara ibadat dan
kebudayaan, antara akhirat dan tamaddun (peradaban, sic). Maka
ibadat tidak dapat lagi mengendalikan kebudayaan. Kebudayaan
mencari jalannya sendiri-sendiri berpedoman kepada hal-hal
yang di luar Islam.”2
Yang dimaksud Sidi Gazalba bukan semata pengaruh
sekularisme modern semata, bahkan pemisahan yang dimulai
antara imam masjid beserta khotbahnya. Semula, khotbah diisi
oleh para khalifah, yang kemudian digantikan oleh jurukhotbah
profesional atau ahli agama, seiring semakin tidak alimnya para
penguasa Islam. Padahal urusan ketakwaan plus pengendalian
otoritas yang membentuk saripati kebudayaan Islam, seharusnya
dilahirkan dari khotbah sang khalifah, sebagaimana Rasulullah
Muhammad Saw dahulu lakukan.
Keberjarakan menjadi semakin tinggi saat khotbah para
profesional atau petugas agama tersebut dengan kebijaksanaan
istana atau Sultan yang memerintah. Namun perkembangan
sosiologis lewat pengenalan modernisasi telah meniscayakan
pemisahan dan spesialisasi pekerjaan. Pun perkembangaan
pelembagaan lain untuk menopang fungsi-fungsi bangunan
modernitas lainnya, termasuk urusan keagamaan lainnya. Kendati
totalitas gerak masjid yang diimpikan Sidi Gazalba jelas susah
terwujud lagi, beliau memberi saran internal dalam meremajakan
kembali fungsi masjid, antara lain dengan manajemen. Visi
2
Ibid, hlm, 298-299.
Buku
Abdurrahman Wahid, “’Kelas Menengah Islam di Indonesia”
dalam Richard Tanter dan Kenneth Young, terj. Nur Iman Subono,
Arya Wisesa, Ade Armando, Politik Kelas Menengah Indonesia,
Jakarta: LP3ES, Mei, 1993.
Ahmad Syafii Maarif, Memoar Seorang Anak Kampung,
Yogyakarta: Penerbit Ombak, edisi revisi, Juni 2013.
Alan Sampson, “Conceptions of Politics, Power, and Ideology
in Contemporary Indonesian Islam” dalam Karl D. Jackson dan
Lucien W. Pye, Political Power and Communications in Indonesia,
Los Angeles: University of California Press, 1978.
Ali Murtopo, Dasar-dasar pemikiran tentang akselerasi modernisasi
pembangunan 25 tahun, Jakarta: Yayasan Proklamasi, Centre for
Strategic and International Studies, 1973.
Ali Rahnema, terj. Wakhid Nur E, D. Wahid, S.N. Azkiyah, Ali
Syari’ati: Biografi Intelektual Revolusioner, Jakarta: Penerbit
Erlangga, 2006, cet. 1.
Anders Uhlin, terj&penyt. Rofik Suhud dan Yuliani Liputo, Oposisi
Berserak: Arus Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia,
Bandung: Mizan, Agustus 1998
Anthony Reid, terj. Mochtar Pabottingi, Asia Tenggara dalam
Kurun Niaga, 1453-1615, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999.
Anthony Reid, terj. Masri Maris, Menuju Sejarah Sumatra: Antara
Indonesia dan Dunia, Jakarta: KITLV-Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, edisi I, Januari 2011
Aqib Suminto (Ketua Panitia), Refleksi Pembaharuan Pemikiran
Islam, 70 Tahun Harun Nasution, Jakarta: Lembaga Studi Agama
dan Filsafat, cet. 1, 1989.
David R, Sorensen, Brent E. Kinsher (eds), On Heroes, Hero-
Worship, and the Heroic in History Thomas Carlyle: Rethinking
the Western Tradition, New Haven and London: Yale University
Press, 2013.
323
Deliar Noer, terj, Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia,
Jakarta: LP3ES, cet. ke-4, 1988.
Dennys Lombard, terj. , Nusa Jawa Silang Budaya, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1999.
Dr. Daoed Joesoef, Dia dan Aku: Memoar Pencari Kebenaran,
Jakarta: Gramedia, 2006.
Drs. Firdaus Syam, M.A., Yusril Ihza Mahendra: Perjalanan Hidup,
Pemikiran, dan Tindakan Politik, Jakarta: Millennium Publisher,
cet. 1, Mei 2004.
Ela Siti Nurfajriah, Peranan Dewan Masjid Indonesia (DMI) dalam
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Masjid (Studi Deskriptif di
DMI Provinsi Jawa Barat), Diploma thesis, UIN Sunan Gunung
Djati Bandung.
H. Aboebakar, Sejarah Hidup K.H. A. Wahid Hasjim, Bandung: PT
Mizan Pustaka, Jumada al-Ula 1432/April 1911.
H.J. de Graaf dan Th. Pigeaud, editor naskah Eko Endarmoko&Jaap
Erkelens, Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Tinjauan Sejarah Politik
Abad XV dan XVI, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti dan KITLV, cet.
ke-5, 2003.
H.M. Jusuf Kalla, Harmoni dan Damai dalam Perbedaan, Jakarta:
Grafindo Books Media, cet. 1, Mei 2013.
H.R. Maulany, “Sekilas Sejarah Dewan Masjid Indonesia” dalam
M. Natsir Zubaidi (ed), Mendisain Masjid Masa Depan, Jakarta:
Dewan Masjid Indonesia,cet. 3, rev. 3, Nov. 2017.
Hadi Nur Ramadhan, “Taufiqurrahman: Pelopor Kebangkitan
Masjid Indonesia” dalam Lukman Hakim (ed), Pendiri dan
Pemimpin Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Jakarta: Dewan
Da’wah Islamiyah Indonesia, cet. ke-2, Sya’ban 1439/Februari
2017, hlm. 69-79.
Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia, Jakarta, Sinar
Harapan, 1986.
Hasan M. Noer dan Sofyan Badri (eds), Kyai Seribu Pondok,
Inspirasi & Dedikasi KH. Kafrawi Ridwan, Jakarta: Penerbit Pustaka
Ummat, cet. 1, Agustus 2018.
Wawancara
Wawancara dengan drg. Muhammad Arief Rosyid Hasan, M.K.M,
aktivis PRIMA DMI saat menjadi plt Sekjen PP DMI pada April
2019 di Kantor PP DMI, Jalan Surabaya No. 9, Menteng, Jakarta.
Wawancara dengan H. Imam Addaraqutni, M.A., Sekretaris
Jenderal DMI periode 2017-2022 di Kantor PP DMI, Jalan
Surabaya No. 9, Menteng, Jakarta.
Wawancara dengan Drs. KH. Masdar F. Mas’udi, Wakil Ketua
Umum DMI periode 2017-2022 di Kantor PP DMI, Jalan Surabaya
No. 9, Menteng, Jakarta.
Wawancara dengan Prof. Dr. H. A. Sutarmadi, mantan Ketua
Umum DMI periode 2000-2006, di Kantor PP DMI, Jalan
Surabaya No. 9, Menteng, Jakarta.
Wawancara dengan KH. Abdul Manan, Ketua Harian DMI
periode 2017-2022 di Kantor PP DMI, Jalan Surabaya No. 9,
Menteng, Jakarta.
Wawancara dengan Drs. M. Natsir Zubaidi, Ketua Harian DMI
periode 2017-2022 di Kantor PP DMI, Jalan Surabaya No. 9,
Menteng, Jakarta.