Anda di halaman 1dari 168

KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM

Teori dan Praktik

Materi Perkuliahan

Dosen Pengampu
Dr. H. Syamsuddin RS., M.Ag.
NIP. 196105271986031004

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI


UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2019

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………………. i


DAFTAR ISI …………………………………………. ii
Bagian I : Pendahuluan …………………… 1
Bagian II : Pengertian Kepemimpinan …………… 4
Bagian III : Teori Kepemimpinan ………………… 11
Bagian IV : Konsep Kepemimpinan dalam Islam … 24
Bagian V : Dasar-dasar Kepemimpinan dalam Islam.. 32
Bagian VI : Karakteristik Kepemimpinan Islam ….. 39
Bagian VII : Prinsip-prinsip Kepemimpinan Islam …. 42
Bagian VIII : Kriteria Pemimpin dalam Islam ……. 63
Bagian IX : Komunikasi dalam Kepemimpinan ….. 66
Bagian X : Administrasi dalam Kepemimpinan …. 77
Bagian XI : Tipologi Kepemimpinan Nabi Saw. …. 83
Bagian XII : Nabi Saw. Seorang Pemimpin dan
Negarawan Teladan ………………….. 126
Bagian XIII : Urgensi Kepemimpinan dalam
Komunitas Masyarakat Islam Indonesia. 140
DAFTAR PUSTAKA …………………………………. 156

2
KATA PENGANTAR

Puji dan rasa syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt.,


Shalawat dan salam semoga tetap terlimpah curah kepada para
nabi, dan rasul-rasul Allah, serta seluruh umat manusia yang
mentaati-Nya, hingga akhir jaman. Amin.
Pada dasarnya manusia sejak lahir telah dipersiapkan dan
diamanati penciptanya untuk menjadi pengelola, perekayasa
(engenering) dan pemakmur jagat raya di mana manusia
bertempat tinggal. Manusia selain memiliki sejumlah keunggulan
dibanding makhluk Allah lainnya, juga diberi potensi yang sangat
besar untuk menjadi seorang pemimpin (khalifah fi al-ardhi).
Pemimpin dan kepemimpinan adalah masalah yang sangat
penting bukan hanya untuk dipelajari dan dipahami, tetapi lebih
jauh sangat urgen untuk diterapkan dalam kehidupan masyarakat,
baik ketika ia sebagai anggota keluarga yang merupakan
organisasi terkecil, sebagai bagian dari organisasi atau
perkumpulan yang ada di tengah-tengah masyarakat, berupa
organisasi profesi atau pun organisasi yang diikat oleh kesamaan
keyakinan (agama) dan sebagai anggota organisasi terbesar yakni
negara.
Oleh karena itu, buku sederhana ini, berupaya
mengetengahkan berbagai kajian kepemimpinan dalam Islam dari
berbagai perspektif. Penulis berharap substansi dan himmah dari
buku ini, akan mudah difahami, dianalisis dan bermanfaat
terutama untuk konsumsi para mahasiswa yang mengambil mata
kuliah Kepemimpinan dalam Islam. Sekaligus menambah
khazanah dan referensi bagi para pemerhati sosial Islam.
Akhirnya penulis ucapkan terima kasih kepada siapa saja
yang telah membantu dan memberi masukan sangat berharga,
sehingga penulisan buku daras ini rampung dan sampai kepada
para pengguna. Waalahu a’lam bi al shawab.
Bandung, Agustus 2019

3
BAGIAN PERTAMA
PENDAHULUAN

Bumi merupakan tempat tinggal manusia yang terbaik. Tidak


terbilang jumlahnya manusia yang telah, sedang dan akan menjadi
mpenghuni bumi. Semua manusia yang memeluk agama yang
bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa (agama samawi) meyakini
bahwa manusia pertama adalah nabi Adam As. dan istrinya Siti
Hawa. Dengan demikian berarti sejak awal kehidupan manusia di
muka bumi ini, kehidupannya telah dijalankan dalam bentuk
kebersamaan, yang pada masa-masa berikutnya juga dilaksanakan
oleh anak cucu Adam dan Siti Hawa hingga saat ini.
Manusia harus berusaha mewujudkan kehidupan bersama
sesuai dengan tempat atau wilayah domisili masing-masing.
Keharusan ini bukan sekedar manifestasi hakikat kemanusiaannya
sebagai makhluk sosial, tetapi juga merupakan kebutuhan dasar
(basic need) untuk dapat hidup secara manusiawi.
Hakikat sosial (sosialitas) yang dimiliki oleh setiap
manusia, mendorongnya untuk saling mendekat satu dengan yang
lain, sehingga terjadi pergaulan yang berbentuk kelompok hidup
atau komunitas masyarakat, baik kelompok kecil maupun
kelompok besar, bersifat formal, informal maupun tidak formal.
Disamping itu, pergaulan juga terbentuk karena manusia
secara individual harus berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya,
yang banyak diantaranya tidak dapat diperoleh hanya dengan
mengandalkan usahanya dan kemampuannya sendiri. Untuk
memenuhi kebutuhan hidup yang banyak jenisnya dan bersifat
variasi antar setiap individu itu, diperlukan usaha saling
membantu satu sama lain. Oleh karena itu terjadilah pergaulan

4
yang disadari oleh hubungan manusiawi yang bersifat saling
ketergantungan antar individu di lingkungan suatu komunitas
masyarakat.
Disadari benar bahwa manusia tidak sama satu dengan
yang lainnya, masing-masing memiliki kukurangan dan kelebihan,
di dalam kelompok maupun organisasi yang perlu membina
kebersamaan dengan mengikuti pengendalian dari pimpinan.
Dengan pengendalian itu perbedaan keinginan, kehendak,
kemauan, pikiran, perasaan, pendapat, kebutuhan, sifat, tingkah
laku dan lain-lain dipertemukan, untuk digerakkan ke arah yang
sama. Ini berarti di dalam setiap kelompok atau organisasi kecil
maupun besar perbedaan individual diamanfaatkan untuk
mencapai tujuan yang sama sebagai kegiatan kepemimpinan.
Kepemimpinan juga merupakan pangkal dan sumber
utama berbagai aktivitas manusia. Proses untuk merubah
pandangan atau sikap mental dari sejumlah manusia yang
tergabung dalam hubungan organisasi formal maupun informal
khusunya dalam komunitas muslim.
Kepemimpinan (leadership) Islam berarti bagaimana
ajaran Islam dapat memberi sibghah dan wijhah, corak dan arah
bagi seoramg pemimpin, dan dengan kepemimpinannya mampu
merubah yang kemudian meluruskan pandangan atau sikap mental
yang selalu hinggap, menghambat dan menjadi karakter pada
sekelompok masyarakat maupun perorangan.
Betapa penting sekaligus kompleksnya masalah yang
berekenaan dengan kepemimpinan (dalam Islam) khusunya.
Untuk memahaminya diperlukan diskusi yang panjang dan
komprehensif dan didukung oleh berbagai referensi baik yang

5
berasal dari kalam Allah (Al-Qur’an) al-Hadits, maupun pendapat
para pakar dibidangnya.
Selain itu memahami kompleksitas kepemimpinan adalah
sesuatu yang sangat urgen, bukan hanya karena mansusia sudah
ditakdirkan untuk menjadi pemimpin dari seluruh mahluk Allah di
muka bumi ini, tetapi juga bahwa manusia dalam mewujudkan
keinginan, kebutuhan, hasrat, dan cita-citanya, sekaligus sebagai
manifestasi hakikat manusia sebagai makhluk sosial yang
berbudaya.
Buku ini bermaksud mendiskusikan dan membahas
masalah-masalah yang berhubungan dengan seluk-beluk
pemimpin dan kepemimpinan secara mendalam dan
meletakkannya dalam kerangka doktrin Islam. Tujuannya adalah
agar para pembaca, khususnya para mahasiswa dapat memahami
dan mampu menjelaskan konsep-konsep kepemimpinan Islam dan
terampil untuk menerapkannya dalam berbagai pengelolaan
(tadbir-management) aktivitas dakwah, dan pengembangan
masyarakat Islam (tathwir) menuju masyarakat mandiri (madani).
Untuk memenuhi tujuan di atas maka dalam buku ini
dibahas tentang penegertian dan beberapa teori serta pendekatan-
pendekatan kepemimpinan, sumber dan prinsip kepemimpinan,
urgensi kepemimpinan dalam komunitas masyarakat Islam, dasar-
dasar kepemimpinan dan karakteristik kepemimpinan Islam,
management dan admnistrasi kepemimpinan, faktor komunikasi
dalam kepemimpinan Islam, profil kepemimpinan lembaga-
lembaga Islam, tipologi dan model kepemimpinan Rasulullah
Saw.

6
BAGIAN KEDUA
PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP
KEPEMIMPINAN

Dalam setiap lembaga atau institusi, pengambilan


keputusan merupakan sesuatu yang penting, pekerjaan sehari-hari
dilaksanakan, program kerja dan pertanggungjawaban ditulis.
Demikian pula negosiasi dilakukan dalam rangka pembuatan
kontrak maupun pembuatan aturan-aturan baru. Orang yang
mengerjakan atau melakukan hal-hal tersebut atas nama kelompok
adalah pemimpin yang mengendalikan dan mengarahkan pengikut
ataupun bawahannya untuk mencapai tujuan bersama. Sedangkan
kegiatan pemimpin tersebut dikenal dengan istilah kepemimpinan.
Pemimpin (leader) adalah orangnya, sedangkan kepemimpinan
(leadership) adalah kegiatannya.
Kepemimpinan menurut Hadari (1992 :12), bisa dipandang
dari dua konteks, struktural dan non-struktural. Dalam konteks
struktural, kepemimpinan diartikan sebagai proses pemberian
motivasi agar orang-orang yang dipimpin melakukan kegiatan
atau pekerjaan sesuai dengan program yang telah ditetapkan.
Kepemimpinan juga berarti usaha mengarahkan, membimbing dan
mempengaruhi orang lain, agar pikiran dan kegiatannya tidak
menyimpang dari tugas pokok dan fungsi masing-masing.
Sedangkan dalam konteks non struktural, lepemimpinan dapat
diartikan sebagai proses mempengaruhi pikiran, perasaan, tingkah
laku, dan mengarahkan semua fasilitas untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan bersama.
Kemudian Mar’at (1984:8-17) mengelaborasi dua
konteks kepemimpinan di atas, secara rinci dari berbagai aspek,

7
bahwa kepemimpinan didefinisikan sebagai fokus proses-proses
kelompok, sebagai suatu kepribadian dan akibatnya,
kepemimpinan sebagai seni mempengaruhi orang lain, sebagai
penggunaan pengaruh, sebagai tindakan atau tingkah laku, sebagai
bentuk persuasi, hubungan kekuasaan, alat mencapai tujuan,
sebagai akibat interaksi, pembedaan peran, dan kepemimpinan
sebagai inisiasi struktur.
Bertolak dari kedua konteks kepemimpinan di atas, maka
dapat diidentifikasi unsur-unsur dalam kepemimpinan adalah
sebagai berikut : (1) adanya seseorang atau lebih yang berfungsi
memimpin, disebut pemimpin (leader), (2) adanya orang lain
yang dipimpin, (3) adanya kegiatan menggerakkan orang lain
yang dilakukan dengan mempengaruhi dan mengarahkan
perasaan, pikiran, dan tingkah lakunya, (4) adanya tujuan yang
hendak dicapai yang dirumuskan secara sistematis, dan (5)
berlangsung berupa proses di dalam institusi, organisasi atau
kelompok.
Kepemimpinan (leadership), baik yang bersifat mikro
maupun makro, telah menjadi pengkajian sosiologis. Dilihat dari
gayanya (style), menurut hasil penelitian Bales, terdapat dua jenis
gaya kepemimpinan yaitu: task-oriented dan expresive. Sesuai
dengan gaya task-oriented leadership, pemimpin memusatkan
perhatian terhadap anggota kelompok dalam rangka pelaksanaan
pekerjaan yang mereka lakukan, sedangkan sesuai dengan gaya
jenis expresive leadership, pemimpin menekankan hubungan
personal diantara anggota kelompok.
Menurut Earl R. Babbie, dan James Mac Gregor Burns.
Leadership (1999: 214) para sosiolog sangat tertarik untuk
memahami orang yang menempati posisi pemimpin dalam

8
kelompok kecil. Pada umumnya, orang yang memiliki status
tinggi cenderung menjalankan hal-hal dalam kebanyakan
kelompok kecil. Beberapa peneliti lain melihat kecenderungan
anggota-anggota yang berstatus tinggi untuk memimpin kelompok
kecil sebagai bagian dari proses umum yang dikenal sebagai
“generalisasi status” (status generalization). Dalam hubungan ini,
generalisasi status mengacu kepada kecenderungan menganggap
keunggulan seseorang pada situasi tertentu akan memiliki
keunggulan pula dalam situasi lain.
Untuk menghindari kecenderungan pemahaman seperti di
atas, maka pemahaman lebih lanjut mengenai kepemimpinan
merupakan sesuatu yang perlu. Dalam upaya mengartikan
kepemimpinan secara depinitif bisa digunakan berbagai
pendekatan. Hal ini memungkinkan pengertian yang dikemukakan
akan berbeda antara satu pendekatan yang lain. Namun secara
umum, pendekatan yang biasa digunakan adalah pendekatan ilmu-
ilmu sosial dan pendekatan ilmu manajemen sedangkan
penekanannya pada pendekatan sosiologis. Kedua pendekatan ini
ada yang melihat kepemimpinan sebagi suatu proses dan ada juga
yang melihatnya sebagai suatu upaya pencapaian tujuan
kelompok. Oleh karena itu, dalam mengartikan kepemimpinan,
penulis akan mengacu kepada dua pendekatan tersebut.
Secara sosiologis, Tanembaum dan Massarik dalam
bukunya Studies in Organization Behavior and Management,(
1994:413) menyatakan bahwa “kepemimpinan adalah suatu
proses atau fungsi daripada sebagai suatu peran yang
memerintah”. Pernyataan ini, pernah pula dikemukakan oleh
Danfprd, setelah mengkaji teori-teori kepemimpinan dengan
menyatakan bahwa suatu teori kepemimpinan yang komprehensif

9
meliputi tiga fakta, yakni; (1) pemimpin dengan karakteristik
psikologinya; (2) para pengikut dengan masalah, sikap, dan
kebutuhannya; dan (3) situasi kelompok yang mana pemimpin dan
pengikut saling berinteraksi. Ini berarti, bahwa kepemimpinan itu
tidak selalu diarahkan kepada pencapaian tujuan-tujuan
organisasi. Pengertian itu diperkuat oleh pendapat Harold Konntz,
yang menyatakan bahwa kepemimpinan adalah pengaruh, seni
atau proses mempengaruhi orang sehingga mereka akan berusaha
mencapai tujuan kelompok, dengan kemauan dan antusias. (Paul
Kenneth H.Blanchard Hersey, 1999:111)
Penekanan dari pengertian ini, bahwa kepemimpinan itu
adalah adanya motivasi dari pemimpin kepada kelompok yang
dipimpinnya. Dengan motivasi ini, maka kelompok yang dipimpin
tidak akan merasa terpaksa melaksanakan kebijakan-kebijakan
pemimpin,(Harold Kontz, 1989: 96)
Meskipun demikian, kepemimpinan seperti dinyatakan
Pamudji, dalam bukunya Kepemimpinan Pemerintahan di
Indonesia, (1989: 22-27) menegaskan bahwa kepemimpinan itu
ada dalam setiap usaha kelompok dan memiliki posisi strategis
dalam kegiatan kelompok atau organisasi, karenanya,
kepemimpinan adalah kemampuan untuk menggerakkan dan
mengarahkan orang-orang ke tujuan yang dikehendaki oleh
pemimpin.
Sementara itu, Ralph M. Stogdill, sebagaiamana dikutif
Kartini Kartono, (1989: 39) memberikan pengertian tentang
kepemimpinan secara lebih rinci, yang dapat dilihat dari berbagai
sudut pandang bahwa kepemimpinan itu menurutnya berarti: (1)
Kepemimpinan sebagai titik pusat proses-proses kelompok. (2)
Kepemimpinan adalah suatu kepribadian yang mempunyai

10
pengaruh. (3) Kepemimpinan adalah seni untuk menciptakan
kesesuaian paham atau kesetujuan dan kesepakatan; (4)
Kepemimpinan adalah pelaksana pengaruh. (5) Kepemimpinan
adalah tindakan atau perilaku. (6) Kepemimpinan adalah suatu
bentuk persuasi; (7) Kepemimpinan adalah suatu hubungan
kekuatan/kekuasaan. (8) Kepemimpinan adalah saran pencapaian
tujuan. (9) Kepemimpinan adalah suatu hasil dari interaksi dan
(10) Kepemimpinan adalah sebagai inisiai (permulaan) dari
struktur. Kesepuluh pengertian kepemimpinan yang
dikemukakan stodgil, menurut Kartini Kartono, dari perspektif
unsur-unsur bisa disimpulkan menjadi tiga, bahwa (1)
Kepemimpinan berarti kemampuan mempengaruhi orang lain,
bawahan atau kelompok, (2) Kepemimpinan berarti mengarahkan
tingkah laku bawahan atau orang lain, dan (3) Kepemimpinan
berarti untuk mencapai hasrat bagi pemimpin.
Kemudian George Terry (1984: 9) menjelaskan bahwa
kepemimpinan adalah “aktivitas mempengaruhi orang lain untuk
secara sukarela mau berjuang mencapai tujuan-tujuan kelompok.
Pengertian ini mengandung makna bahwa dalam kepemimpinan
itu akan terdiri dua aspek penting yakni; (1) adanya usaha dari
pemimpin untuk mempengaruhi orang lain; dan (2) tujuan-tujuan
kelompok yang akan dicapai. Pengertian itu diperkuat oleh
Pamudjhi, yang menyatakan bahwa kepemimpinan adalah
“kemauan yang dikehendaki untuk menggerakan dan
mengarahkan orang-orang ke tujuan yang dikehendaki oleh
pemimpin”. Ini berarti, kepemimpinan itu pada tahapan tertentu
dapat dijadikan sebagai salah satu sarana dalam menggerakkan
dan sebagai salah satu fungsi dari manajemen,( 1989: 25)

11
Stoner, dengan menggunakan pendekatan manajemen
mengartikan “kepemimpinan dengan proses perencanaan,
pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengendalian upaya
anggota organisasi serta proses penggunaan semua sumber daya
organisasi untuk tercapinya tujuan organisasi yang telah
ditetapkan”. Dalam pengertian ini, mengandung arti bahwa
kepemimpinan itu terdiri dari empat unsur utama, yaitu: (1)
perencanaan, (2) pengorganisasian, (3) pemimpin, dan (4)
pengendalian. Hal ini pun sekaligus mengisyaratkan adanya
hubungan yang erat antara manajemen dengan kepemimpinan
James A.F. Charles Wankel, Manajemen, jilid I, ( 1988: 4).
Dari berbagai pengertian yang dikemukakan di atas, dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kepemimpinan adalah:
1. Kepemimpinan adalah suatu proses dalam mengerahkan
kecakapan untuk mempengaruhi, membimbing,
menggerakkan dan mengarahkan orang lain dengan cara
memanfaatkan daya, dana, sarana, dan tenaga yang
tersedia untuk mencapai tujuan tertentu.
2. Kepemimpinan adalah suatu konsep menganai tujuan dan
metode untuk mencapainya, serta memobilisasi dari
seluruh fasilitas yang diperlukan untuk mencapai hasil
yang diharapkan;
3. Kepemimpinan adalah suatu proses mempengaruhi
tindakan orang lain secara terorganisir untuk menyusun
dan mencapai tujuan bersama yang diinginkan
4. Kepemimpinan adalah suatu interaksis dalam masyarakat
dimana seseorang mempengaruhi yang lainnya.
5. Kepemimpinan adalah suatu proses interaksi yang dinamis
yang meliputi tiga dimensi; pimpinan, bawahan, dan
12
situasi, dimana ketiga dimensi itu saling mempengaruhi
satu sama lain.
Diskusikan pertanyaan di bawah ini:
1. Mengapa penting memahami kepemimpinan bagi saudara.
2. Kepemimpimpinan mengandung beberapa unsur sebutkan
dan jelaskan unsur-unsur tersebut.
3. Jelaskan yang dimaksud kepemimpinan struktual dan non
structural.
4. Jelaskan pula perbedaan kepemimpinan struktual dan non
structural.
5. Kemukakan pengertian kepemimpinan dilihat dari konteks
sosiologis.
6. Jelaskan pula pengertian kepemimpinan dari konteks
manajemen.

13
BAGIAN KETIGA
TEORI KEPEMIMPINAN

Pada intinya, teori kepemimpinan merupakan teori yang berusaha


untuk menerangkan bagaimana pemimpin dan kelompok yang
dipimpinnya dapat berperilaku dalam berbagai struktur
kepemimpinan, budaya, dan lingkungannya. Para teorisi (pakar)
kepemimpinan baik secara sosiologis maupun manajerial telah
banyak menawarkan berbagai teori tentang kepemimpinan. Teori-
teori tersebut acapkali sama atau mirip dan seringkali pula
berbeda.
Mar’at, mengemukakan lima teori, yaitu teori lingkungan,
teori personal-situasional, teori interaksi, teori humanistik, dan
teori harapan,(1984:21). Sedangkan James Owen, dalam
tulisannya The Leadership Game,(1984:411-413) mengemukakan
dua teori dan satu matrik, yaitu trait theory behavior theory dan
matrik of leadership style. Sementara Tannenbaum dan Massarik
dalam tulisannya Leadership: A Frame of Reference,
mengemukakan beberapa pendekatan diantaranya trait approach,
situasionist approach, and flower-oriented approach Di
samping itu, Parmudjhi, (1989:29) dengan mengikuti berbagai
pendapat mengajukan enam teori kepemimpinan, yakni: (1) teori
sifat, (traist theory); (2) teori lingkungan (environmental theory);
(3) teori pribadi dan situasi (personal-situasioanl theory); (4) teori
interaksi dan harapan (interaction-expectation theory); (5) teori
humanistik (humanistic theory); dan (6) teori pertukaran
(exchange theory).
Dari berbagai teori itu dapat diidentifikasikan bahwa pada
dasarnya teori kepemimpinan itu ada tiga macam, yaitu: (1) teori

14
sifat, (2) teori perilaku, dan (3) teori lingkungan. Sedangkan yang
lainnya merupakan gabungan dari teori sifat dan teori perilaku.
Teori pribadi dan situasi merupakan gabungan dari teori sifat dan
teori perilaku dan lingkungan.
Pertama, teori sifat (trait theory), menurut Sondang P.
Siagian dalam bukunya Filsafat Administrasi (1995: 87)
menyebutnya “teori genetis, yang menjelaskan bahwa seorang
pemimpin dianggap memiliki sifat-sifat yang dibawa semenjak
lahir sebagai sesuatu yang diwariskan. Selain itu, teori ini juga
sering disebut sebagai teori bakat, karena ia menganggap bahwa
pemimpin itu dilahirkan bukan dibentuk George M. Bill (et,al)
dalam bukunya Leadership and Group Action, lowa: The Lowa
State University Press, 1977, hal.32
Asumsi dasar dari teori ini menyatakan bahwa
kepemimpinan itu memerlukan serangkaian sifat, ciri, atau
perangai tertentu yang menjamin keberhasilan setiap keberhasilan
seseorang pemimpin diletakkan pada kepribadian seseorang
(personality) pemimpin itu sendiri. Oleh karena itu, penganut teori
sifat dalam mengembangkan teorinya terus berusaha menggali
karakteristik bawaan pimpinan yang telah terjadi, baik yang
berhasil maupun kurang berhasil.
Studi terhadap pemimpin yang berhasil dimaksudkan agar
diketahui karakteristik yang dapat dikembangkan untuk mencapai
kepemimpinan yang baik, sedangkan studi terhadap
kepemimpinan yang kurang atau tidak berhasil dimaksudkan
untuk mengetahui karakteristik yang harus dihindari.
Teori sifat, telah memberikan suatu kebenaran yang
praktis dan fundamental, bahwa kepribadian seseorang merupakan
kehidupan batin (innerlife) bagi dirinya termasuk unsur-unsur

15
dalam diri manusia itu sendiri, seperti latar belakang kehidupan,
pengalaman hidup, keyakinan, sikap khas, prasangka, perasaan,
imajinasi dan filsafat hidup. Kepribadian ini berkaitan erat dengan
keberhasilan seorang pemimpin, baik dalam kehidupan pribadinya
maupun kehidupan dalam pekerjaannya. Oleh karena itu, dalam
teori ini dianjurkan bagi pemimpin untuk selalu berusaha secara
periodik mengembangkan kepribadiannya. Seorang pemimpin
bisa berhasil manakala ia berusaha menumbuhkan dirinya sebagai
personalitas yang penuh.
Teori ini berasumsi bahwa pemimpin itu dibentuk bukan
dilahirkan, berkorelasi atau berhubungan dengan keefektifan
kepemimpinan. Ada beberapa sifat bawaan bagi setiap manusia:
(1) Intelegensi, sifat bawaan yang berkaitan dengan kecerdasan,
pengetahuan kemampuan mennetukan sesuatu (mengambil
keputusan), dan kelancaran berbicara (oral). Unsur-unsur
intelegensia dalam kepemimpinan meliputi kemampuan penilaian,
pengambilan keputusan, pengetahuan, dan kelancaran berbicara.
(2) Kepribadian, sifat bawaan yang berkaitan dengan kemampuan
menyesuaikan diri, keyakinan diri, kreativitas, dan mampu
menyatukan diri dalam kerjasama dengan orang lain. Unsure-
unsur kepribadian dalam kepemimpinan meliputi kemampuan
adaptasi, kesadaran, kreativitas, kerjasama, keseimbangan, dan
control emosi.;
(3) Kemampuan, sifat bawaan yang berkaitan dengan popularitas,
kewibawaan, dan keterampilan diri untuk ndipakai sebagai
symbol dalam menyampaikan segala sesuatu dan dapat pula
menanamkan kesatuan mendalam diantara anggota-anggota dalam
suatu organisasi (Sttogdill’s Handbook of Leadership, dalam
Russel C. Swanburg (1987)

16
Sifat-sifat di atas sangat penting dalam mengilhami,
mendinamisasi, memobilisasi, memotivasi, dan mempererat
hubungan pemimpin dengan bawahan. Kepemimpinan akan
berhasil apabila pemimpin mampu menjadikan bawahannya
menerima arahan tanpa paksaan dari kekuasaan atau kekuatan.
Kedua, teori perilaku (behavior theory) yang memiliki
dasar pemikiran bahwa kepemimpinan itu harus dipandang
sebagai hubungan diantara orang-orang, bukan sebagai sifat-sifat
atau ciri-ciri seorang individu. Oleh karena itu, keberhasilan
seorang pemimpin sangat ditentukan oleh kemampuan pemimpin
itu dengan segenap anggotanya. Dengan kata lain, teori ini sangat
memperhatikan perilaku pemimpin sebagai aksi dan respon
kelompok yang dipimpinnya sebagai reaksi.
Teori perilaku, yang disebut juga teori humanistik, lebih
menekankan pada model atau gaya (style) kepemimpinan yang
dijalankan oleh seorang pemimpin. James Owens dalam suatu
matrik tentang gaya-gaya kepemimpinan dalam bentuk suatu
model analisis yang versinya dapat dipandang sebagai model-
model baku. Dalam matrikya itu, digambarkan lima gaya
kepemimpinan, yaitu; (1) gaya autokratis; (2) gaya birokratis; (3)
gaya diplomatis; (4) gaya partisipatif; (5) gaya free rein leader.
Pemimpin autokratis adalah pemimpin yang memiliki
wewenang (aothority) dari sesuatu sumber (misalnya karena
posisinya), pengetahuan, kekuatan atau kekuasaan untuk
memberikan penghargaan ataupun menghukum. Ia menggunakan
aothority ini, sebagai pegangan atau hanya sebagai alat atau
metode agar sesuatunya dapat dijalankan serta diselesaikan “Apa
yang dilakukan oleh pimpinan atau pemimpin dengan gaya ini
hanyalah memberitahukan apa tugas serta menuntut kepatuhan

17
orang secara penuh tanpa bertanya-tanya dan totalitas. Lihat
prolog yang diberikan James Mac Gregor Burn, dalam tajuk “The
Crisis of Leadership” untuk bukunya yang meraih “winer of the
publizer and national book award” New York: Harper and Row,
(1979, hal.141)
Gaya kepemimpinan autokratis ini, terdapat dua model,
ada yang berhaluan keras dan ada yang paternalistik.
Kepemimpinan autokratis yang berhaluan keras, menuntut dan
memperoleh kepatuhan, kalau tidak, maka disediakan sanksi
tertentu yang diterapkan. Sedangkan pada gaya kepemimpinan
paternalistik, menuntut dan mengharapkan kepatuhan dari para
anggotanya hanya saja atas dasar hubungan, yang sering bersifat
pribadi yang diwarnai oleh father knows best, ketergantungan
pribadi bawahan dan berdasarkan pada rewards dan rasa aman.
Adapun yang dimaksud dengan kepemimpinan birokratik
adalah; Gaya kepemimpinan yang dijalankan dengan
memberitahukan para anggota atau bawahan apa dan bagaimana
sesuatu itu dilaksankan. Namun demikian, dasar-dasar dari
perintahnya ini hampir sepenuhnya menyangkut kebijakan-
kebijakan, prosedur-prosedur, dan peraturan-peraturan
oraganisasinya. Ciri khas seorang birokratis adalah pandangannya
bahwa semua aturan/ketentuan organisasi itu adalah “absolute”,
artinya pemimpin memanage kelompoknya dengan berpegang
sepenuhnya pada aturan-aturan yang telah ditetapka (Soejono,
1998: 18)
Gaya kepemimpinan Diplomatis adalah secara umum
dapat dikatakan bahwa seorang diplomat adalah pula seorang
seniman, sebagaimana seorang salesman, yang melalui seninya
berusaha mengadakan persuasi secara pibadi. Jadi sekalipun ia

18
memiliki wewenang ataupun kekuasaan yang jelas, tetapi ia
kurang suka mempergunakan kekuasaannya itu. Ia lebih
cenderung memilih cara menjual sesuatu (motivasi) kepada
bawahannya dan mereka menjalankan tugas pekerjaannya dengan
baik. Karena gaya kepemimpinan yang demikianlah maka sering
pula mempergunakan taktik persuasi yang beraneka ragam dan
berbagai tingkatan.
Pemimpin dengan gaya partisipatif adalah pemimpin yang
selalu mengajak secara terbuka kepada para anggota atau
bawahnnya untuk berpartisipasi atau mengambil bagian, baik
secara luas atau dalam batas-batas tertentu dalam pengambilan
keputusan, pengumuman kebijakan, dan metode-metode
operasionalnya, “Jenis pemimpin ini dapat berupa seorang
pemimpin yang benar-benar demokratis ataupun ia berstatus
sebagai pemimpin untuk berkonsultasi”( Nawawi: 1993 : 112-
117)
Sedangkan Free Rein Leader pemimpin yang seakan-akan
seperti menunggang kuda yang melepaskan kedua kendali
kudanya. Walaupun dalam arti yang sesungguhnya ia bukanlah
seorang pemimpin yang benar-benar memberikan anggota atau
bawahannya bekerja tanpa pengawasan sama sekali. Apa yang
dilakukan si pemimpin itu, pertama-tama ia menetapkan tujuan
yang harus dicapai oleh anggota atau bawahannya untuk bebas
bekerja dan bertindak tanpa pengarahan ataupun kontrol lebih
lanjut, kecuali apabila mereka memintanya.
Menurut teori perilaku, kepemimpinan yang efektif
bergantung pada sikap dan perilaku pemimpin kepada
bawahannya. Bila bawahannya dapat menerima atau menyetujui
sikap dan perilaku pemimpinnya, maka mereka akan merasa aman

19
dan nyaman. Apabila sebaliknya, mereka akan merasa terancam,
ketakutan dan tentu merasa tidak aman.
Asumsi ini didasarkan pada kenyataan bahwa dalam
kehidupannya, setiap individu berinteraksi dengan individu yang
lain. Apa yang terjadi atau menimpa individu terkait atau
merupakan akibat dari perilaku orang lain. Sikap perilaku orang
lain mempengaruhi individu tersebut. Dalam suatu organisasi atau
institusi bahkan kelompok, bawahan amat bergantung pada atasan,
dan berkeinginan untuk diperlakukan dengan adil.
Suatu hubungan akan berhasil tidak hanya dikehendaki
oleh kedua belah pihak, tetapi juga ditentukan oleh inisiatif atau
prakarsa yang diambil atasan. Bawahan membutuhkan rasa aman
dan akan memperjuangkannya untuk melindungi diri mereka dari
ancaman yang membuat tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan.
Dalam kondisi ini, pemimpin dituntut untuk mampu memberikan
rasa aman, dan mampu menciptakan suasana yang dapat diterima
oleh bawahan. Kemampuan ini, amat terkait erat dengan sikap dan
perilaku seorang pemimpin.
Ketiga, Teori lingkungan (environmmental theory)
beranggapan bahwa “munculnya pemimpin-pemimpin itu
merupakan hasil dari waktu, tempat dan keadaan”. Situasi dan
kondisi tertentu yang berbeda menyebabkan kualitas
kepemimpinan berbeda pula. Seorang pemimpin yang berhasil
pada situasi dan kondisi yang lazim. Dalam teori ini muncul
sebuah pernyataan; Leader are made not born atau pemimpin itu
dibentuk bukan dilahirkan. Lahinya seorang pemimpin melalui
evolusi sosial dengan cara memanfaatkan kemampuannya untuk
berkarya dan bertindak mengatasi masalah-masalah yang timbul
pada situasi dan kondisi tertentu (Trimo,1984: 24).

20
Teori lingkungan pernah dikembangkan oleh beberapa
pakar, misalnya, V.H.Vroom dan Philip Yettom (1973) “dengan
mengacu pada pendekatan situasional yang berusaha memberikan
model normatif. Kedua ahli tersebut berasumsi bahwa
kepemimpinan akan berhasil apabila pemimpin mampu bersikap
fleksibel untuk merubah gayanya agar cocok dengan situasi dan
kondisi”.
Situasi dan kondisi yang berubah menghendaki gaya dan
model kepemimpinan pun ikut berubah. Jika tidak demikian,
maka kepemimpinan itu akan berhasil secara maksimal. Namun,
ternyata studi tiga teori menunjukkan bahwa penggunaan teori
secara parsial keberhasilannya masih diragukan. Alvin W.Gouler
misalnya, setelah melakukan penelitian bahwa pada saat ini tidak
ada bukti yang dapat diandalkan mengenai keberadaan sifat-sifat
kepemimpinan universal. Diantara kelemahan teori sifat adalah:
(1) diantara pendukung tidak ada penyesuaian atau kesamaan
mengenai perincian sifat tersebut; (2) selalu sulit untuk
menentukan sifat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin; dan
(3) sejarah membuktikan bahwa situasi dan kondisi tertentu
memerlukan sifat pemimpin yang tertentu pula Atmosoedirdjo
dalam bukunya Decision Making, (1996 : 59).
Demikian halnya dengan teori perilaku yang melahirkan
berbagai gaya kepemimpinan tidak dapat dipakai untuk segala
situasi yang dihadapi oleh seorang pemimpin. Hal ini disebabkan
setiap situasi memiliki variabel yang berbeda-beda. Lebih-lebih
kalau variabel tersebut menyangkut penelitian manusia, baik
pemimpin maupun kelompok yang dipimpin. Di samping itu, para
pakar juga menganggap teori lingkungan kurang sempurna, tidak
dapat menjamin berjalannya kepemimpinan. Dengan demikian

21
ketiga teori kepemimpinan tersebut tidak dapat dijalnkan secara
sendirian (parsial). Dan sebagai alternatifnya perlu dikembangkan
kombinasi antara teori-teori itu yang memungkinkan lahirnya dua
teori baru di bawah ini (Atmosudirdjo,1996: 60-61)
Pertama, teori pertukaran (exchange theory) yang
merupakan modifikasi dari teori sifat dan teori perilaku yang
berasumsi bahwa interaksi sosial menggambarkan suatu bentuk
tukar-menukar, antara pemimpin dengan bawahannya
(anggotanya) maupun anggota dengan anggota masing-masing
saling memberikan kontribusinya. Proses tukar-menukar ini
menjadikan semua pihak merasa dihargai dan mendapatkan
sesuatu yang tidak dimilikinya. Pemimpin dengan sifat dan
karakter yang dimilikinya, memberikan kontribusi terhadap
anggota. Upaya ini dilakukan dengan cara mengembangkan
kebiasaan-kebiasaan perilakunya, sehingga berpengaruh terhadap
anggota dalam keikutsertaan dalam berbagai kebijakan pemimpin,
karena merasa dirinya telah diberi dan dihargai pemimpinnya.
Proses sosial seperti berlangsung terus karena setiap pihak
merasa sama-sama memperoleh keuntungan. Pemimpin menerima
respon positif dari anggotanya, sehingga kebijaksanaannya dapat
terealisasi. Sedangkan anggota menerima bimbingan dan arahan
dari pemimpinnya sehingga memenuhi kebutuhannya. “Istilah lain
teori ini disebut dengan teori saling memberi dan menerima (take
and give).( Mar’at,1984:.36)
Kedua, teori pribadi dan situasi (personal-stuasional
theory) yang menyatakan bahwa kepemimpinan merupakan
produk terpadunya tiga faktor, yaitu: (1) perangai atau sifat-sifat
pribadi pemimpin; (2) sifat dari kelompok dan anggota-
anggotanya; dan (3) kejadian-kejadian (masalah-masalah) yang

22
dihadapi kelompok. Hal ini berarti sifat-sifat seseorang tanpa
didukung oleh situasi dan kondisi yang kondusif tidak akan
menjamin ia berkembang menjadi pemimpin. Oleh karena itu,
teori ini dipandang sebagai perpaduan dari teori lingkungan dan
teori sifat. Dalam teori pribadi dan situasi ditekankan bahwa
seorang pemimpin dituntut mengenal dirinya, kelompok yang
dipimpinnya serta situasi dan kondisi di mana ia menjalankan
kepemimpinannya. Pemimpin mengembangkan sifat
kepemimpinanya disesuaikan dengan situasi dan kondisi.
Pemimpin menurut teori ini, tidak hanya menilai perilaku
sendiri, tetapi juga memahami perilaku anggota kelompok yang
dipimpinnya. Kepribadian pemimpin dipadukan dengan situasi
dan kondisi yang dihadapi. Situasi ini bisa berupa tugas, pekerjaan
atau masalah yang dihadapi kelompok serta keadaan lain yang
bisa mempengaruhi. Keterpaduan antara kepribasian pemimpin
dan situasi ini, memungkinkan terciptanya kepemimpinan yang
sukses, kepemimpinan yang dapat memahami dan memenuhi
aspirasi kelompok yang dipimpin.
Ketiga, teori interaksi dan harapan (interaction ezpectation
theory) yang merupakan perpaduan antara teori perilaku dan
lingkungan. Teori ini pada prinsipnya sama dengan kontingensi
(contingency theory) dari F.E Fiedler (1967) dan expectancy-
reinforcement theory dari Ralph M. Stogdill (1959). Sedangkan
M.G. Evans (1970) mengistilahkan teori ini dengan path-goal
theory, yang kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Robert
J.House dan Terence R.Mitchell (1979) dengan nama motivational
theory.
Teori interaksi dan harapan berasumsi bahwa semakin
sering terjadi interaksi dan partisipasi dalam kegiatan bersama,

23
maka akan semakin meningkat pula perasaan saling menyenangi
satu sama lain dan saling memperjelas pengertian atas norma-
norma kelompok. Karena itu, dalam teori ini akan terkait beberapa
variabel yang satu sama lain tidak terpisahkan, yakni “variabel
aksi, reaksi, interaksi dan perasaan”.
Variabel aksi dilakukan oleh pemimpin dalam
menggerakkan kelompoknya, sedangkan reaksi merupakan respon
(tanggapan) dari kelompok yang dipimpin terhadap aksi
pemimpin. Adanya keserasian antara aksi yang dilakukan
pemimpin dengan reaksi yang dilakukan kelompok yang dipimpin
akan melahirkan interaksi sosial yang harmonis. Namun dalam
teori ini, interaksi yang terjadi selalu dibarengi dengan harapan-
harapan. Pemimpin melakukan aksi dengan harapan asanya
respon positif dari kelompok yang dipimpinnya atas kebijakan
yang dikeluarkan, sedangkan anggota kelompok yang dipimpin
memberikan reaksi dengan harapan akan memperoleh keuntungan
dan pelayanan.
Berdasar pada hasil studi dan penelitian para ahli
menyebutkan bahwa teori interaksi dan harapan merupakan teori
yang paling baik dan efektif. F.E. Fiedler, misalnya, pernah
menguji teori selama enam belas tahun (1951-1967) yang
menyimpulkan bahwa pemimpin direktif yang berorientasi
terhadap hubungan hanya berhasil dalam kondisi tertentu
(kondisional). Hubungan perilaku pemimpin dan lingkungannya,
jelas pada analisis Fiedler yang menyimpulkan bahwa gaya
kepemimpinan yang paling baik antara lain: (1) Pemimpin agak
disenangi, memiliki suatu kekuatan, dan tugas pekerjaan bawahan
agak kabur, maka kepemimpinan harus berorientasi kepada
hubungan, (2) situasi sangat menguntungkan, maka gaya

24
kepemimpinan harus berorientasi kepada hubungan, dan (3) tidak
ada kesesuaian antara pemimpin dan situasi, maka situasilah yang
harus dirubah supaya cocok dengan gaya kepemimpinan yang
dijalankan, (Homand, The Human Group, New York: Harcourt,
Brace, 1950: 61).
Sementara itu M.G Evans dalam teori path-goalnya,
mengemukakan bahwa pemimpin akan efektif dengan cara
menyediakan suatu sistem imbalan dan mengaitkan sistem itu
dengan pelaksanaan tujuan khusus bagi para bawahan agar
bekerja sesuai dengan tugas dan kewajiban secara sungguh-
sungguh. Hal ini disebabkan atas dasar expectancy-reinforcement
theory bahwa orang (bawahan) atau kelompok yang dipimpin
akan merasa puas dengan pekerjaannya dan melakukan
pekerjaannya itu secara sungguh-sungguh apabila pekerjannya itu
bisa mendatangkan hal yang sangat dibutuhkan. Dapat dipahami
kiranya bahwa antara jalan ke arah tujuan (goal-path) yang ingin
dicapai dengan sistem nilai dan valensinya memiliki keterkaitan
yang erat. Dengan landasan itu, maka keberhasilan kepemimpinan
itu sangat tergantung oleh daya tarik tujuan yang hendak dicapai
(goal-attactiveness). Ralp Stodgil, Hand Book of Leadership.
Bandingkan dengan Mar’at (1994.36-52)
Diskusikan pertanyaan di bawah ini:
1. Para pakar telah menjelaskan banyak tentang teori
kepemimpinan. Jelaskan pespektif sosiologi tentang
kepemimpinan.
2. Dari sejumlah teori kepemimpinan yang banyak dibahas
para ahli, bisa disimpulkan pada tiga teori besar: teori sifat
(trait theory), teori perilaku (behavior theory) Teori

25
lingkungan (environmmental theory). Jelaskan masing-
masing teori di atas, berikut asumsinya.
3. Ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi dan dijalankan
seorang pemimpin agar kepemimpinannya efektif.
Sebutkan dan jelaskan syarat-syarat tersebut.
4. Paling tidak ada lima (5) gaya atau tipe kepemimpinan,
yaitu; (1) autokratis; (2) birokratis; (3) diplomatis; (4)
partisipatif; (5) free rein leader. Jelaskan kelima tipe
kepemimpinan tersebut.
5. Kemukakan tipe-tipe pemimpin yang disenangi anggota
atau bawahan?
6. Menurut teori interaksi dan harapan berasumsi, ada tiga
variabel yang tidak bisa dipisahkan yakni variabel aksi,
reaksi, interaksi dan perasaan. Jelaskan ketiga variabel
tersebut.

26
BAGIAN KEEMPAT
KONSEP KEPEMIMPINAN ISLAM

Pada dasarnya al-Qur’an secara tersurat menyebutkan kata


kepemimpinan, karena kepemimpinan (leadership) merupakan
istilah dalam manajemen organisasi. Dalam manajemen,
leadership adalah satu factor penting yang mempengaruhi berhasil
atau gagalnya suatu organisasi. Memang betul bahwa suatu
organisasi dapat mencapai tujuannya jika sumber permodalan
tercukupi, struktur organisasi dapat mencapai tujuannya dan jika
sumber permodalan tercukupi, struktur organisasi nya rapid an
berjalan, dan tenaga terampilnya tersedia. Sekalipun demikian
kepemimpinan memegang peranan penting yang mesti
dipertimbangkan. Tanpa pemimpin yang baik, roda organisasi
tidak akan berjalan lancar. Dengan kata lain, kepemimpinan
merupakan faktor penentu bagi efektivitas dan efisiensi kegiatan
organisasi.
Sebutan pemimpin muncul ketika seseorang memiliki
kemampuan mengetahui, mampu mengarahkan perilaku orang
lain, mempunyai kepribadian khas, dan mempunyai kecakapan
tertentu yang tidak dimiliki semua orang. Apabila ciri-ciri tersebut
dikaitkan dengan kegiatan mobilisasi massa, maka lahirlah
sebutan pemimpin massa. Jika berkenaan dengan organisasi
kedinasan pemerintah maka disebut jabatan pimpinan. Apabila
dikaitkan dengan bidang administrasi biasanya disebut
administrator. Begitu juga muncul sebutan mursyid untuk
organisasi tarekat, kiai untuk pengasuh pesantren dan imam untuk
pemimpin shalat. Di bidang pemerintahan atau negara, pemimpin
disebut juga berbagai nama, misalnya, imamah (di kalangan

27
Syi’ah) dan khalifah (dalam tradisi Sunny), raja untuk kerajaan
atau presiden dalam istilah negara republik (al-Munawar:
2002:174)
Al-Qur’an bukan tidak membicarakan sama sekali tentang
masalah kepemimpinan, karena al-Qur’an sebagai petunjuk bagi
manusia (hudan li al-nas). Selain menyebut tentang pemimpin
(imam, a’immah, wali, khalifah, dan lain-lain) al-Qur’an juga
mengemukakan tentang prinsip-prinsip dasar kepemimpinan
seperti amanah, keadilan, dan musyawarah. Pembahasan ini
bermaksud mengulas masalah kepemimpinan dalam al-Qur’an
dan prinsip-prinsip yang harus dimiliki seorang pemimpin.
Kepemimpinan dalam Al-Qur’an
1. Konsep Khalifah dan Khilafah
Kata khalifah berasal dari kata “kh-l-f” yang dalam Al-Qur’an
disebut sebanyak 127 kali, dalam 12 kata jadian. Maknanya
berkisar diantara kata kerja “menggantikan”, “meninggalkan”,
atau kata benda “pengganti” atau “pewaris”. Secara terminologis,
kata ini mengandung setidaknya dua makna ganda. Disatu pihak,
khalifah diartikan sebagai kepala negara dalam pemerintah dan
kerajaan Islam masa lalu, yang dalam konteks kerajaan
pengertiannya sama dengan kata sulthan. Di lain pihak, khalifah
juga bisa berarti dua macam. Pertama, yang diwujudkan dalam
jabatan sulthan (berikutnya ditulias sultan) atau kepala Negara.
Kedua, fungsi manusia itu sendiri di muka bumi sebagai ciptaan
Allah yang sempurna.
Sehubungan dengan pengertian pertama, ulama’-sarjana asal
Pakistan Abul A’la Al-Maududi telah mengarang sebuah buku
yang berjudul Al-khlifah wa Al-Mulk. Menurutnya, istilah khilafah
berasal dari akar kata yang sama dengan khalifah, yang berarti

28
pemerintahan atau kepemimpinan. Khilafah, sebagai turunan dari
kata khalifah adalah teori Islam tentang negara dan pemerintahan.
Guna memperoleh gambaran tentang arti khalifah dalam
konteks al-Qur’an, berikut ini diturunkan beberapa ayat dari surat
al-A’raf. Kata ini disebut sebanyak 7 kali. Sebagai contoh pada
: ayat 69 terdapat istilah khalifah dalam ayat yang berbunyi
        
         
        
 
Apakah kamu (tidak percaya) dan heran bahwa datang
kepadamu peringatan dari Tuhanmu yang dibawa oleh seorang
laki-laki di antaramu untuk memberi peringatan kepadamu? dan
ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu
sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya
kaum Nuh, dan Tuhan telah melebihkan kekuatan tubuh dan
perawakanmu (daripada kaum Nuh itu). Maka ingatlah nikmat-
nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
Kata khalifah di bawah ini diterjemahkan sebagai pengganti,
yakni generasi yang menggantikan generasi sebelumnya. Generasi
itu adalah kaum Hud, yaitu bangsa ‘Ad yang terkenal perkasa
sebagai pengganti generasi nabi Nuh.
Pada ayat 74 diceritakan tentang umat Nabi Shaleh yang juga
menggantikan generasi sebelumnya, yaitu kaum ‘Ad. Wadhkuru
izh ja’ lakum khulafa’a min ba’di ‘id. Pada surat yang sama, ayat
142 juga ditampilkan tentang Nabi Musa dan Harun yang
mengemban misi kenabian kepada bangsa Mesir. Wa qâla Musa li
akhihi Harûn ukhlufnî fî qawmi …. (Berkata Musa kepada
saudaranya Harun: Gantikanlah aku dalam (memimpin)
kaumku….) Dalam ayat ini ada perintah ukhlufnî, yang berarti
29
“jadilah penggantiku” yang merupakan perintah Nabi Musa
kepada Nabi Harun ketika Nabi Musa hendak berkhalwat ke
gunung Tursina guna bermunajat kepada Allah. Sebelum pergi
nabi Musa berpesan kepada nabi Harun untuk sementara
menggantikan peranannya sebagai pemimpin bangsanya. Dalam
konteks ini, nabi Harun diserahi mengambil alih kepemimpinan
sementara, dapat disebut sebagai khalîfah. Dalam lanjutan ayat itu
nabi Musa berpesan agar nabi Harun tidak terpengaruh oleh
orang-orang yang akan membuat kerusakan. Ternyata
kepemimpinan nabi Harun tidak cukup tangguh sehingga umat
nabi Musa melakukan penyelewengan dengan menyembah patung
anak sapi yang mereka buat sendiri (al-Munawar : 2002: 175)
Jika ayat-ayat di atas khalîfah diartikan sebagai “generasi
penerus” atau “generasi pengganti” dalam surat al-Baqarah:3 dan
al-An’âm:165. Khalîfah diartikan sebagai “penguasa” di bumi
atau mereka yang mempunyai kekuasaan. Pengertian yang kurang
leih sama dijumpai dalam Yûnus: 73 (kasus Nabi Nuh dan
kaumnya), al-Naml :62, dan Fatir: 39. Masih dalam pengertian
“penguasa”, dalam surat Shad: 26 secara jelas yang disebut
khalîfah adalah Dawud a.s Ya Dawuda inna ja’alnaka khalîfatan
fi al-ardhi. Allah telah menjadikan Dawud sebagai raja Isra’il.
Kepadanya diperintahkan agar menggunakan kekuasaannya untuk
memerintah umatnya secara adil (dalam ayat itu disebut bi al-
haqq). Disini kita bisa mengambil suatu makna bahwa asas
pertama kekuasaan adalah keadilan. Sebuah kekuasaan,
pemerintah atau kepemimpinan harus didasarkan atas keadilan,
dijalankan secara adil dan berfungsi untuk menegakkan keadilan.
       
        
        
30
Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat)
sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan
jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), Maka
sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh
malam. dan berkata Musa kepada saudaranya Yaitu Harun:
"Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah
dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat
kerusakan".[564],
Ibn Khaldun, dalam bukunya Muqaddimah, banyak berbicara
mengenai khilâfah, khalîfah, dan imâmah (kepemimpinan). Dia
menarik teorinya tentang khilafah dari al-Qur’an. Dalam
penjelasannya, ia antara lain mengatakan bahwa manusia
mempunyai kecenderungan alami untuk mempimpin karena
mereka diciptakan sebagai khalîfah Allah di muka bumi. Menurut
Ibn Khaldun, khilâfah adalah kepemimpinan. “khilâfah berubah
menjadi pemerintahan berdasarkan kedaulatan”, katanya. Kalau
khilâfah masih bersifat pribadi, pemerintahan adalah
kepemimpinan yang telah melembaga ke dalam suatu sitem
kedaulatan.
Istilah khalîfah dalam konteks sitem kekuasaan berasal dari
pengertian khalîfah ini. Dengan demikian, istilah khilâfah ada
kaitannya dengan pengertian khalîfah dalam QS. Al-Baqarah: 30.
Maka dalam konteks ini khalîfah adalah manusia di bumi adalah
untuk mengemban amanat dari Tuhan (QS. Al-Ahzâb : 72).
Manusia mengemban amanat kekhalifahan karena kualitas
kemampuannya dalam berpikir, menangkap, dan mempergunakan
symbol-simbol komunikasi (al-asmâ’a kullaha). Dan teori
kepemimpinan, sebagaimana diterangkan Ibn Khaldun, dapat
merujuk kepada kemampuan dasar manusia tersebut.

31
Gelar khalîfah, dalam sejarah pemerintahan Islam, mula
pertama diterima oleh Abu Bakar yang menggantikan
kepemimpinan Nabi Muhammad Saw. Namun, Abu Bakar tidak
member gelar kepada dirinya sendiri. Menurut riwayat, ada
seorang sahabat yang mengusulkan agar Abu Bakar memakai
gelar khalîfah Allah, (wakil Tuhan di muka bumi), tetapi ia
menolaknya. “Saya bukan khalîfah Allah, melainkan khalîfah al-
Rasul”. Artinya, ia tidak menganggap dirinya sebagai wakil
Tuhan, tetapi pengganti kepemimpinan Nabi Muhammad Saw.
Pengangkatan Abu Bakar dilakukan melalui proses musyawarah
antara kaum Anshar dan kaum Muhajirin, bernama Tsaqifah Bani
Sa’idah di Madinah.
Umar bin Khatab, khalifah kedua dari khulafa’u al-rasidin
disebut juga khalîfah al-Rasul. Tetapi ia tidak menyukai gelar ini
dan menyebut dirinya Amîr al-Mu’minîn, pemimpin kaum
beriman. Pemilihan Umar berdasarkan pencalonan yang diusulkan
oleh Abu Bakar mengingat kapasitas kepemimpinannya yang
tidak diragukan. Pencalonan ini dilakukan melalui proses
konsultasi, bahkan diskusi dengan beberapa sahabat dan
disampaikan kepada umat di Masjid Nabawi. Setelah
mendapatkan persetujuan dari umat akhirnya Umar terpilih
sebagai khalîfah.
Berbeda dengan Umar, Utsman bin Affan terpilih sebagai
khalîfah berdasarkan atas permufakatan antara Dewan Ahli (Ahlul
halli wa al-aqdli) atau formatur yang dibentuk Umar. Sementara
Ali bin Abi Thalib dipilih sebagai pengganti Utsman berdasarkan
bai’at (bay’at) oleh kaum muslimin setelah terjadi tragedi
berdarah (al-Fitnatul Kubra) yang menewaskan Umar ra.

32
Dari uraian di atas tampak bahwa pemimpin dan
kepemimpinan dalam Islam punya rujukan naqliyah, artinya ada
isyarat-isyarat al-Qur’an yang memperkuat perlu dan pentingnya
kepemimpinan dalam sistem sosial. Selain itu, kepemimpinan
dalam arti khalîfah dan khilâfah sudah terpraktekan bahwa dalam
kepemimpinan ini ada prinsip-prinsip yang harus dilakukan yaitu
adanya keadilan (al-‘adl), amanat (amânah), dan musyawarah
(syurâ). Ketiga prinsip ini akan dipaparkan pada bagian
selanjutnya.
2. Konsep Imamah
Imâmah sering diartikan sebagai kepemimpinan. Akan tetapi,
dalam al-Qur’an sendiri tidak dijumpai kata “Imâmah”, yang ada
hanyalah kata imam yang terulang sebanyak 7 kali atau kata
“Immah” terulang 5 kali. Dengan demikian agak sulit
menyimpulkan konsep Imâmah dalam atau menurut al-Qur’an.
Lebih sulit lagi karena kata imam dalam al-Qur’an mempunyai
beberapa arti sebagai berikut:
a. Imâm berarti “Nabi” seperti dalam QS. Al-Baqarah : 124:
        
           
  
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji[87] Tuhannya dengan
beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim
menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya aku akan
menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata:
"(Dan saya mohon juga) dari keturunanku"[88]. Allah
berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim".

b. Imâm berarti “pedoman”. Arti ini bisa dijumpai misalnya


dalam QS. Al-Ahqâf : 12, sebelum al-Qur’an telah ada kitab
33
Musa sebagai imam (petunjuk/pedoman) dan rahmat”. Hal
yang sama bisa dilihat pada QS. Hud : 17.
c. Imâm berarti: “kitab/buku/teks” seperti terdapat dalam surat
Yasin : 12, “….segala sesuatu telah kami kumpulkan dalam
imam (kitab induk) yang nyata (Lauh Mahfuz)”.
d. Imâm berarti: “jalan lurus”. QS. Al-Hijr : 79 menyatakan,
“Maka kami binasakan mereka. Sesungguhnya kedua kota itu
(yaitu kota kaum Luth, Sadom, dan Aikah) benar-benar terletak
di imam (jalan umum) yang terang”.
e. Imâm berarti “pemimpin”, misalnya dalam QS. Al-Furqan : 74,
“Orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami,
anugerahkanlah kepada kami istri dan keturunan yang menjadi
penyenang hati dan jadikanlah kami imam (pemimpin) bagi
mereka yang bertakwa”. Atau “Ingatlah suatu hari nanti kami
panggil tiap umat dengan pemimpinnya (QS. Al-Isra’ : 71).
Konsep “imâm” yang berkembang dalam sejarah Islam,
seperti dapat dilihat dalam kitab-kitab kuning, mempunyai
beberapa pengertian.
a. Imâm dalam arti “pemimpin shalat jama’ah”. Imam dalam
arti ini mempunyai beberapa ketentuan seperti orang yang
bagus qira’atnya, wara’, dituakan, dan alim. Biasanya
imam dalam arti ini diberi tugas sampingan di masyarakat
untuk mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan
kepentingan umum dan sosial.
b. Imâm dalam arti “pendiri madzhab”, seperti para pendiri
madzhab empat, yaitu Imam Malik, Imam Hanafi, Imam
Syafi’i, dan Imam Hambali.
c. Imâm dalam arti “pemimpin umat”. Imam dalam arti ini
sering disepadankan dengan ”khalîfah”. Hanya saja imam

34
dipergunakan oleh kalangan Syi’ah, sedangkan khalîfah
oleh Sunny. Oleh sebab itu, golongan Syi’ah menamakan
kepemimpinan mereka dengan “imâmah”, sedangkan
Sunny menggunakan “khilafah”.
Pemakaian konsep “imâmah” khususnya di kalangan Syi’i
secara evolutif telah mengalami perkembangan makna. Semula
masih berarti khalifah, seperti pengakuan Khalifah Ali ra. Sebagai
pemegang khalifah. Disini, “imâmah” mempunyai arti yang sama
dengan khalifah sebagai konsep politik. Namun, pada
perkembangannya selanjutnya “imâmah” diberi muatan ideologis
dan teologis sehingga tidak murni lagi sebagai konsep politik,
melainkan berkembang menjadi “pemimpin spiritual” yang
mempunyai makna sakral. Menurut keyakinan kaum syi’i, baik
Itsna Ashariyah maupun Sab’iyyah, imam mempunyai hubungan
spiritual dengan Nabi sehingga diyakini ma’sum dan mempunyai
beberapa keutamaan, misalnya memahami aspek-aspek esoterik
al-Qur’an.
Diskusikan pertanyaan di bawah ini:
1. Coba saudara uraikan kosep khalifah menurut al-Qur’an
2. Jelaskan konsep khilafah dan khalifah menurut Abul A’la
Al-Maududi dan Ibn. Khaldun.
3. Kemukakan perbedaan konsep kepemimpinan menurut
ulama Sunny dan ulama Syi’i.
4. Jelaskan pula apakah konsep imamah dan khalifah itu?

BAGIAN KELIMA
DASAR-DASAR KEPEMIMPINAN ISLAM

Pemimpin dan Kepemimpinan


35
Memahami dasar-dasar kepemimpian Islam adalah sangat
penting, sebagaimana pentingnya membahas tema kepemimpinan
Islam, karena bukan saja yang terus akan aktual, tetapi juga sangat
penting untuk didiskusikan karena menyangkut faktor dinamik
kehidupan umat atau masyarakat Islam di berbagai belahan dunia,
khsusnya di Indonesia. Oleh karenanya sangat penting untuk
kemudian dibahas tentang konsep dasar kepemimpinan Islam .
Untuk mengelaborasi konsep dasar pemimpin dan
kepemimpinan sebagai salah satu tugas yang sangat penting
sekaligus merupakan bagian tak terpisahkan dalam syari’at Islam,
mensyaratkan terelebih dahulu memahami kedudukan manusia
menurut Alquran. Dalam konteks Alquran, manusia selain aharus
menyembah dan beriabadah kepada Allah juga berfungsi sebafgai
khalifah Allah di bumi. Dari fungsi manusia sebagai khalifah
inilah kemudian banyak mendasari konsep kepemimpinan
(imamah) dalam Islam.
Kata yang berkaitan langsung dengan istilah khalifah
disebut sebanyak 10 kali, antara lain dalam surat Al-Baqarah ayat
30, yang kemudian menjadi dasar kepemimpimpinan dalam Islam;
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman (mengataakan) kepada para
malaikat “sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang
khalifah di muka bumi. Surat Al-Baqarah (2: 30):
         
        
          

Iingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat:
"Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
36
padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?"
Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui."

        


         
   
Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi
dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang
lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang
diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat
siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (QS. Al-An’am:165)
Dari perkataan khalf yang artinya sukses, pergantian atau
generasi penerus, wakil, pengganti, penguasa terualang sebanyak
22 kali dalam Alquran kenudian lahir kata khalifah. Kata ini
menurut Ensiklopedia Islam, adalah “istilah yang muncul dalam
sejarah pemerintahan Islam sebagai institusi politik Islam yang
bersinonim dengan kata imamah yang berarti kepemimpinan,
sebagaimana yang dikemukakan Ibnu Khaldun dalam bukunya
Muqaddimah (1986 :117).
Ibnu Khaldun, menjelaskan mengenai khalifah dan
imamah (kepemimpinan). Ia antara lain mengatakan bahwa
manusia itu mempunyai kecenderungan alami untuk memimpin
karena ia diciptakan sebagai khalifah Allah di bumi. Khalifah
adalah pemimpin yang pekerjaannaya adalah kepemimpinan. Pada
perjalanan berikutnya khalifah berubah pengertian menjadi
pemeriantahan berdasar kedaulatan. Khalifah ini bersifat pribadi,
sedangakan pemerinatahan adalah kepemimpinan yang telah
37
melembaga kedalam suatu system kedaulatan (Ibn. Khaldun:
1986:118).
Menurut Imam Al-Baidhowi, Al-Mawardi dan Ibn.
Khaldun, khalifah adalah lembaga yang mengganti fungsi
pembuat hukum, melaksanakan undang-undang berdasarakan
hukum Islam, dan yang mengurus masalah-masalah agama dan
dunia. Al-Mawardi menambahkan, khalifah atau imamah
berfungsi mengganti peranan kenabian dalam memelihara agama
dan mengatur dunia. Dalam konteks sejarah pemerintahan Islam,
ke-khaliafahan meruapakan symbol kesatauan masyarakat atau
ummat (M. Quraish Shihab: 1996: 422-427)
Interpretasi terhadap kata khalifah dapat ditarik
kesimpulan bahwa Allah telah mengisyaratkan suatu konsep
manusia sebagai pemimpin di muka bumi, yakni sebuah fungsi
yang diemban manusia berdasarkan amanat diterimanya dari
Allah. Amanat itu pada intinya adalah tugas mengelola bumi
secara bertanggung jawab dengan mempergunakan akal yang
telah dianugerahkan-Nya kepada manusia. Tetapi konsep
kepemimpinan (khalifah) tidak berdiri sendiri, oleh karena itu
dalam mengembangkan teori dan sistem kepemimpinan dalam
Islam perlu dikaitkan dengan konsep-konsep lain, seperti konsep
yang berdasar pada fakta-fakta normatif fakta-fakta psikologis dan
tentu saja fakta-fakta sosial, yang terus berkembang di masyarakat
sesuai dengan jamannya.
Teori konsep kepemimpinan dalam Islam lebih banyak
timbul karena kebutuhan sejarah dari pada langsung berkaitan
dengan perintah Allah dan Alquran atau mengikuti sunnah Nabi
SAW. Jika ada konsep atau teori politik dan kepemimpinan Islam,
maka tidak mungkin diperoleh suatu konsep yang bisa mengklaim

38
kebenaran satu-satunya. Teori dan sistem itu bersiafat majemuk
dan fleksibel menurut kebutuhan masyarakat ( M. Quraish
Shihab: 1996: 4229).
Namun demikian, ada beberapa petunjuk Nabi Saw.,
melalui hadits-haditsnya yang berhubungan langsung dengan
konsep-konsep kepemimpian antara lain: Pertama; manusia
sebagai pemimpin disebutkan dalam hadits dari Abdullah bin
Umar yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim
sebagai berikut: Saya telah mendengar Rasulullah SAW bersabda;
Kamu semua adalah pemimpin dan kamu semua bertanggung
jawab atas kepemimpinan itu. Imam itu adalah pemimpin dan
bertanggung jawab kepada yang dipimpinnya. Laki-laki (suami)
itu adalah pemimpin adan bertanggung jawab kepada yang
dipimpinnya (isteri-keluarga). Wanita (isteri) itu pemimpin di
dalam rumah tangga dan bertanggung jawab atas
kepemimpinannya, kamu semua adalah pemimpin dan
bwertanggung jawab atas kepemimpinanmu (lihat Shahih
Bukhari: al-Itqi bab Farahiyatul That Hauli Al-Raqiq dan dalam
Shahih Muslim, kitab Al-Lammarah bab,Fashilaltul Iamamul
Adil).
Kedua, kewajiban mentaati pemimpin antara lain
disebutkan dalam haditas yang siterima oleh Abdullah Ibn Umar
dan diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim: Patuh dan
taat itu adalah kewajiban bagiorang Islam, baik terhadap
pemimpin (pemerintah) ayang menyenangkan maupun tidak
menyenangkan, selama ia tidak memerintahkan untuk berbuat
maksiat kepada Allah, atau malakukan kemaksiatan. Maka oleh
karena itu apabila ia diperintahkan untuk melakukan suatu
kemaksiatan tidak ada kewajiban untuk mematuhinya

39
(Lihat,Shahih Bukhari,kitab Al-Ahkam,bab, al-Syamsu wa al-
Thoat li al-Imam, dan lihat Shahih Muslim, kitab Imaroh bab,
Wujubu Thoati al-Umaro fi Ghairi Ma’shiatin).
Ketiga, kewajiban mengangkat pemimpin (pimpinan) jika
suatu kelompok atau komunitas kecil apalagi besar keluar dari
rumah atau satu tempat hendak bepergian untuk suatu keperluan.
Seabagaiamana disabdakan Nabi SAW “ Apabila keluar (musafir)
tiga orang diantara kamu, maka hendaklah mereka mengangkat
salah seorang dari mereka untuk menjadi amir atau pemimpin
mereka. (Shahih Bukhari).
Dari ayat-ayat dan hadist-hadits di atas bisa disimpulkan
bahwa betapa pentingnya kepemimpinan dalam Islam. Seperti
digambarkan dalam hadits nomor tiga, misalnya, bahwa bila
manusia berkumpul tiga orang saja harus ada pemimpinnya. Ibn
Taimiyah, sebagaimana dikutif Imam Munawir memberikan
komentar, bahwa Rasulullah SAW mewajibkan mengangkat
seorang pemimpin dalam suatu jamaah yanag begitu kecil yang
bersipat sementara dalam perjalanan sebagai contoh dalam
berjamaah yag lebih besar, Allah telah mewajibkan menegakkan
amar ma’muf nahyi al-munkar, hal itu tidak akan dapat terlaksana
kecuali dengan kekuatan dan pimpinan (1992 : 253).
Konsekuensinya dari berjamaah menurut Ziauddin Sardar,
ada tiga kategori: pertama, dunia muslim sama terikat oleh ikatan-
ikatan suci iman dan aqidah, warisan budaya, perkembangan
peradaban, dan kesamaan struktur sosial, ekonomi, politik
masyarakat mereka. Dunia muslim membentang luas dari utara
sampai selatan, dari timur sampai barat bumi, dengan aneka ragam
bahasa, budaya, struktur politik dan status ekonomi. Namun
demikian, kesamaan alam di blok-blok rigional menjadikan

40
mereka satuan-satuan strategi vital yang perlu ditelaah. Di dunia
Arab terdapat tiga kawasan regional, yaitu negara-negara Teluk,
Traktamediterania, dan bangsa-bangsa Afrika Utara. Bangsa
muslim Afrika Timur dan Tengah menciptakan satuan terpadu
yang lain. Pada ujung lain Timur Tengah, Turki, Iran dan Pakistan
memberikan peluang untuk memperdalam hubungan dalam semua
bidang pengembangan masyarakat. Lebih jauh lagi Timur Jauh,
Malasyia dan Indonesia memilkiki banyak hal harus dibagi satu
sama lainnya (Ziauddin Sardar, 1993 : 192-193).
Kedua, negeri-negeri muslim membentuk suatu blok di
dalam komunikasi bangsa-bangsa yang memiliki kepentingan-
kepentingan, problem-problem dan tantangan-tantangan yang
sama dalam pogram-program pembangunan mereka. Penelaahan
terpokus atas situasi mereka menampilkan perspektif-perspektif
bermanfaat yang relevan dengan perkembangan mereka.
Ketiga, ada wilayah-wilayah tertentu dalam berbagai
sumber daya yang mnerupakan prerogratif has dunia muslim.
Sumber daya warisan dan peradaban Islam berasal dari negeri-
negeri ini, tetapi sedemikian berserakan sehingga sulit bagi para
peneliti untuk melacaknya. Begitu pula, studi dan penelitian
dalam studi-studi keislaman, hukum dan yurisprodensi Islam, dan
aspek-aspek teologis lain, Islam menuntut suatu pendekatan yang
lebih koheren dan terpadu, baik segi pengumpulan maupun
pengorganisasian sumber-sumber daya intelektual, ataupun bagi
penyampaian informasi atau dokumen-dokumen (Ziauddin Sardar,
1993 : 193)
Dengan gambaran tersebut, dapat diamati betapa konsepsi
kepemimpinan dalam Islam sangat beragam. Umpamanya dalam
mengambil keputusan dalam semua urusan kemasyarakatan harus

41
dilakukan melalui konsensus dan konsultasi dengan semua pihak.
Kepemimpinan negara pemerintahan harus ditegakkan
berdasarkan persetujuan seluruh rakyat. Ijtima dan Syura harus
disediakan badan musyawarah (majelis al-syura) yang mewakili
masyarakat melalui pilihan yang bebas dan jujur (Waqar Ahmad
Husaini,1983 : 220).
Keragaman yang diciptakan oleh keadaan geografis,
etnografis, maupun perbedaan kultural lainnya. Namun demikian,
menurut Munawir,(1993: 98) bahwa tujuan pengangkatan
pimpinan dalam masyarakat besar maupun kecil agar segala
urusan masyarakat dapat berjalan teratur. Dan semuannya ini tidak
mungkin terlaksana kecuali adanya seoarang pemimpin di dalam
masyarakat itu, sehingga segala perbedaan pendapat, perpecahan
dapat dieleminir dan kemudian mampu diatasi.

Diskusikan pertnyaan di bawah ini.


1. Bagaimana tugas manusia menurut Alqur’an perspektif
kepemimpinan.
2. Jelaskan tugas dan fungsi khalifah dan imamah menurut
al-Mawardi.
3. Teori dan sistem kepemimpinan dalam Islam tidak bisa
berdiri sendiri oleh karenanya perlu dikaitkan dengan
konsep-konsep lain, seperti konsep yang berdasar pada
fakta-fakta: jelaskan yang dimaksud fakta-fakta di bawah
ini: (a) fakta normatif, (b) fakta psikologis, dan (c) fakta
sosial.
4. Menurut keterangan bahwa banyak sekali ayat-ayat
Alqur’an atau hadits-hadits Nabi Saw, yang yang menjadi

42
dasar sistem kepemimpinan dalam Islam. Coba tulis secara
lengkap dan fahami maknanya.
5. Menurut Ziuddin Sardar, dunia muslim terikat oleh ikatan-
ikatan suci iman dan aqidah, warisan budaya,
perkembangan peradaban, dan kesamaan struktur sosial,
ekonomi, politik masyarakat. Coba jelaskan maksudnya.

BAGIAN KEENAM
KARAKTERISTIK KEPEMIMPINAN ISLAM

Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa pemimpin suatu


kelompok adalah pelayan kelompok tersebut. Oleh karena itu,
pemimpin hendaklah melayani dan menolong orang lain untuk
maju dengan ikhlas.
Menurut Hisyam al-Tholib (1995 :52), ada beberapa ciri
penting yang menggambarkan kepemimpinan Islam adalah: (1)
pemimpin dan orang yang dipimpin terikat kesetiaan kepada

43
Allah, (2) pemimpin melihat tujuan organisasi bukan berdasarkan
kepentingan kelompok, tetapi juga dalam ruang lingkup tujuan
Islam yang lebih luas, (3) pemimpin terikat dengan peraturan
Islam, dan boleh menjadi pempimpin selama ia berpegang kepada
perintah syari’at (Ahmd Husaeni, 1983 : 219-223). Waktu
mengendalikan urusannya ia harus patuh pada etika atau (adab-
adab) Islam, khusunya ketika berurusan dengan golongan oposisi
atau orang-orang yang tidak sepaham, (4) pemimpin menerima
kekuasaan sebagai amanat dari Allah disertai oleh tanggung jawab
yang besar.
Alqur’an memerintahkan pemimpin melaksanakan
tugasnya untuk Allah dan menunjukkan sikap baik kepada
pengikutnya, kedaulatan yang mutlak, riil atau legal adalah milik
Allah. Kedaulatan ini trerletak di dalam kehendaka-Nya. Seperti
yang difahami dari syari’at. Secara politis syariah adalah
konstitusi ideal dari negara yang ideal (Husaeni, 1995: 219).
Beberapa karakteristik penting yang menggambarkan
kepemimpinan Islam adalah sebagai berikut: (1) Setiap pemimpin
dan orang yang dipimpin terikat kesetiaan kepada Allah; (2)
Terikat kepada tujuan, seorang pemimpin ketika diberi amanat
sebagai pemimpin dalam melihat tujuan lembaga, organisasi dan
atu institusi, bukan saja berdasarkan kepentingan kelompok, tetapi
juga dalam ruang lingkup tujuan Islam yang lebih luas; (3)
Menjungjung tinggi syariat dan akhlak Islam, seorang pemimpin
yang baik bilamana ia merasa terikat dengan peraturan Islam dan
boleh menjadi pemimpin selama ia tidak menyimpang adari
syariah. Waktu ia melaksanakan tugasnya ia harus patuh kepada
aturan-aturan Islam, khusunya ketika berhadapan dengan
golongan oposisi dan orang-orang yang tidak sepaham;(4)

44
Memegang teguh amanah, seorang pemimpin ketika menerima
kekuasan menganggap sebagai amanah dari Allah yang disertai
oleh tanggung jawab. Alquran memerintahkan pemimpin
melaksanakan tugasnya untuk Allah dan selalu menunjukkan
siakap baik kepada orang yang dipimpinnya.
Seajalan dengan itu Muhammad Al-Aqad, dalam
bukunaya Al-Dhimaghrafiyah fi al-Islam, sebagai mana dikutif
Abdul Muis (1988 :73), berpendapat pemimpin adalah yang
memimpin manusia dalam menegakkan hukum, syarat-syarat
yang diminta darinya (pemimpin) berpusat pada kesanggupan
menegakkan hukum itu. Pemimpin yang menjaga dan memegang
teguh hukum patut ditaati. Sedangkan menurut kaum Syiah,
pemimpin adalah orang yang menjalankan kepemimpinannya
dalam urusan agama dan dunia sebagai pengganti Rasulullah
SAW dalam kesempurnaan kekuasaannya.
Dalam konteks sosiologis dan psikologis masyarakat, al-
Mawardi berpendapat bahwa kepemimpinan atau imamah adalah
model yang riil dari suatu institusi merupakan respresentasi dari
kepercayaan (trust) dan memeperkuat ikatan politik sehingga
dalam puncaknya seorang imam (pemimpin) dipilih oleh
masyarakat, sehingga timbul kepercayaan yang penuh dari
masyarakat kepada seorang pemimpin yang sanggup memelihara,
melindungi dan memberikan keadilan kepada seluruh masyarakat
bawahannya (Abdul Muis, 1988 : 74). Ini berarti bahwa seorang
pemimpin untuk suatu kawasan atau sebuah institusi,
mengisyaratkan harus lahir dari kalangannya sendiri.

Diskusikan pertanyaan di bawah ini:


1. Sebutkan ciri-ciri pemimpin Islam.

45
2. Sebutkan syarat-syarat menjadi pemimpin dalam Islam.
3. Jelaskan yang dimaksud bahwa pemimpin dan
kepemimpinan Islam terikat oleh aturan-aturan dan
kestiaan.
4. Apa yang diamaksud kesetaiaan kepada Allah.
5. Jelaskan yang dimaksud pemimpin itu terikat kepada
tujuan;
6. Bagaiamana cara menjungjung tinggi syari’at bagi seorang
pemimpin
7. Mengapa memegang teguh amanah itu penting dalam
kepemimpian Islam.

BAGIAN KETUJUH
PRINSIP-PRINSIP KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM

Menurut beberapa pakar ada sejumlah prinsip dasar yang


mengatur pelaksanaan kepemimpinan Islam, antara lain: , al-
shidqu wa almanah, al-Adalah (keadilan), al-Syura
(musyawarah), Al-Musawah (kesamaan hak/egaliter) dan
kebebasan berpikir,. Musyawarah adalah prinsip pertama dalam
kepemimpinan Islam. Al-quran menyatakan bahwa pemimpin
Islam wajib mengadakan musyawarah dengan orang yang dapat

46
memberikan pandangan yang baik. Sebagaimana Rasul Saw.
diperintahkan oleh Allah supaya melakukan musyawarah dengan
para sahabatmya.
Prinsip-prinsip Kepemimpinan
1. Jujur dan Amanah (Al-shidqu wa al-amanah)
Ada ungkapan menarik bahwa “kekuasaan itu amanah, karena
itu harus dilakukan dengan penuh amanah”. Ungkapan ini
menyiratkan dua hal. Pertama, apabila manusia berkuasa di muka
bumi, menjadi khalifah, maka kekuasaan yang diperoleh sebagai
suatu pendelegasian kewenangan dari Allah swt. (delegation of
authority) karena Allah sebagai sumber segala kekuasaan. Dengan
demikian, kekuasaan yang dimiliki hanyalah sekedar amanah dari
Allah yang bersifat relative, yang kelak harus
dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya.
Kedua, karena kekuasaan itu pada dasarnya amanah, maka
pelaksanaanya pun memerlukan amanah. Amanah dalam hal ini
adalah sikap penuh pertanggungjawaban, jujur, dan memegang
teguh prinsip. Amanah dalam arti ini sebagai prinsip atau nilai.
Fazrul Rahman, Guru Besar pemikiran Islam di Universitas
Chicago, dalam bukunya Major Themes of the Qur’an mengaitkan
arti amanah ini dengan fungsi kekhalifahan manusia. Ini bisa
dipahami dari pernyataan Allah dalam al-Qur’an:
      
        
   

“Sungguh kami telah menawarkan amanah kepada langit,


bumi dan gunung-gunung tetapi mereka enggan menerimanya
karena takut mengkhianatinya. Tapi manusia bersedia

47
memikulnya meskipun ia sungguh zalim dan bodoh sekali” (QS.
al-Ahzâb : 72).
Para mufassir memang berbeda pendapat dalam mengartikan
“amanah” dalam ayat ini. Ada yang menyatakan bahwa amânah
disini berarti “hukum-hukum ketuhanan” (the devine law) atau
sunnatullah.
Di samping itu juga ada yang mengaitkan dengan fungsi
kekhalifahan manusia. Ini dikaitkan dengan pernyataan dalam QS.
al-Baqarah : 30-33 seperti disinggung di muka. Agaknya dasar
yang dipakai manusia ketika menerima amanah ini karena ia
diberi kemampuan oleh Allah yang memungkinkan mengemban
amanah itu. Kemampuan itu adalah “wa’allama âdama al-asma’
kullaha, dan Allah mengajarkan Adam untuk mengeja nama setiap
benda” yang berarti pengalaman, pengetahuan, dan potensi yang
dimilikinya.
Sementara itu, pada QS. al-Anfâl : 27 :

      


    
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengkhianati Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu
mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu,
sedangkan kamu mengetahuinya”.
Pada ayat 28 dikatakan bahwa harta dan anak adalah “ujian”.
Karena itu, “jika kamu bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan
memberikan kepadamu furqân” (ayat 29).
Dari rangkaian ayat itu dimengerti bahwa harta dan anak
adalah “amanat”. Sedangkan furqân adalah kemampuan
membedakan antara yang baik dan buruk. Dengan kata lain,
amanah adalah kemampuan moral dan etika yang akan
48
memungkinkan manusia membangun sifat positif dan
menghilangkan yang negatif. Dengan kemampuan ini pula
manusia diharapkan dapat menunaikan fungsinya sebagai khalifah
di muka bumi.
Apabila di dalam al-Qur’an disebutkan bahwa harta, anak,
hutang, bahkan bumi adalah amanah, maka dalam hadits Nabi ada
pernyataan: “Jika seseorang berbicara dalam suatu perundingan
maka ketika ia telah berpaling itu merupakan amanah” (HR. Abu
Dawud dan Tirmizi). Jadi, kata-kata pun merupakan amânah yang
harus diucapkan atau dikeluarkan dengan penuh tanggung jawab.
Karena itu maka, ketika Presiden memberikan “amanatnya di
depan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), maka segala ucapannya
adalah bentuk pertanggungjawabannya sebagai eksekutif dan
sekaligus pesan-pesan yang harus diperhatikan oleh para wakil
rakyat, karena mengandung amânah.
Amanah dengan demikian adalah salah satu prinsip
kepemimpinan. Nabi Muhammad Saw. disebutkan memiliki
empat cirri kepemimpinan yaitu shiddiq (jujur), amânah (dapat
dipercaya dan dihandalkan), fathanah (cerdas
berpengetahuan),sehingga mudah memahami tanda dan simbul-
simbul masa depan dan tabligh (berkomunikasi dan komunikatif).
Ada sebuah hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim yang
menyebut istilah amanah, tetapi secara jelas berintikan nilai
amânah. Hadits ini secara lengkap artinya:
“Tiap kamu adalah penggembala (pemimpin) dan tiap
kamu akan dimita pertanggungjawaban dari gembalanya.
Maka seorang pemimpin yang memimpin orang banyak
adalah gembala yang akan diminta pertanggungjawaban
atas gembalanya. Seorang istri adalah gembala atas rumah

49
tangga suaminya dan ia diminta pertanggungjawaban atas
gembalanya. Anak adalah gembala pada rumah tangga
bapaknya dan seorang bapak akan dimintai
pertanggungjawabannya. Ketahuilah, tiap-tiap kamu
adalah pemimpin dan masing-masing kamu akan dimintai
pertanggungjawaban dalam kepemimpinan”. (HR. Bukhari
dan Muslim).
Oleh sebab itu, menurut konsep Islam, semua orang adalah
pemimpin. Dan setiap orang harus mempertanggungjawabkan
perbuatannya kepada sesamanya di dunia dan kepada Tuhan kelak
di akhirat. Adanya pertanggungjawaban ini menyiratkan bahwa
seorang pemimpin, dimana dan apapun level posisinya, ia
pemegang amanah, dalam hal ini bisa rakyat maupun Tuhan.
Rakyat, sebagai pemegang amanah, karena amânah sebagai dasar
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dapat diartikan sama
dengan “kontrak sosial” (le contract sociale), -istilah JJ. Rouseau.
Sedangkan Tuhan jelas sebagai pemegang dan pemberi amânah
kepada manusia. Pernyataan Allah dalam ayat:
         
         
        
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan
dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
mendengar lagi Maha melihat. (QS. al-Nisâ’ :58).
1. Amânah ini pula yang kembali diminta oleh Nabi Musa as.
kepada Nabi Harun as. yang diserahi mandate memimpin
untuk sementara Bani Israil. Pesan Nabi Musa itu pada
50
hakekatnya adalah amânah yang harus dipelihara
pemegang mandate kepemimpinan, yang dipegang Nabi
Harun as. jadi, seorang pemimpin atau kepala negara
adalah pemegang amânah, baik amânah Tuhan maupun
dari rakyat. Amânah adalah salah satu prinsip penting
dalam soal ketatanegaraan. Al-shidqu wa al-amanah.
Prinsip dasar kepemimpinan adalah Al-shidqu wa al-
amanah, yang berarti kejujuran dan tangtgung jawab
terhadap amanat yang dipikul seorang pemimpin. Aada
ungkapan menarik bahwa kekuasaan itu amanah, karena
itu harus dilaksanakan dengan penuh amanah. Ungkapan
ini menurut Agil Al-Munawar (2002:181) menyiratkan
dua hal: Pertama, apabila manusia berkuasa di muka
bumi, menjadi khalifah, maka kekuasaan yang diperoleh
sebagai suatu pendelegasian kewenangan dari Allah swt.
(delegation of authority) karena Dialah sebagai sumber
segala kekuasan. Dengan demikian, kekuasaan yang
dimiliki hanyalah sekedar amanah dari Allah yang bersifat
relatif, yang kelak harus dipertanggung jawabkan di
hadapan-Nya.
Kedua, karena kekuasaan itu pada dasarnya amanah, maka
pelaksanaannya pun memerlukan amanah. Amanah dalam
hal ini adalah sikap penuh tanggungjawab, jujur, dan
memegang teguh prinsip (Al-shidqu wa al-amanah).
Amanah dalam arti ini sebagai prinsip atau nilai.

2. Adil (Al-Adalah)
Pengertian “adil” dalam budaya Indonesia sebenarnya
bersumber dari ajaran Islam, yaitu dari kata Arab ‘Adl.

51
Namun, dalam al-Qur’an pengertian adil paling tidak
diwakili oleh dua kata, yaitu ‘adl dan qisth. Dari akar kata
“a-d-l” disebut sebanyak 14 kali dalam al-Qur’an,
sedangkan “q-s-t’ diulang sebanyak 15 kali. Namun
demikian dalam pembahasan ini tidak mungkin semua
dapat kata diungkapkan secara detail.
Dalam QS. al-Nisâ : 58 yang dikutip di atas terdapat
perintah untuk menyampaikan amânah dan berlaku adil.
Ayat ini berkaitan dengan pemerintahan. Alasan yang
memperkuat pernyataan ini karena pada ayat selanjutnya
memang menyangkut soal pemerintahan:

     


        
       
“        
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. al-Nisâ :
59).

Fokus ayat ini sebenarnya adalah hendaknya masyarakat taat


kepada mereka yang telah diberi amânah untuk memegang
kekuasaan. Dengan demikian amânah yang dimaksud ayat
tersebut adalah pemerintahan atau urusan negara.

52
Pemerintah atau pemimpin selalu berhadapan dengan
masyarakat yang terdiri dari kelompok-kelompok. Proses
politik juga berhadapan dengan berbagai kelompok golongan.
Seorang yang terpilih menjadi pemimpin harus mampu
berdiri di atas semua golongan. Untuk itu diperlukan sifat
keadilan. Dalam QS. al-Mâ’idah : 8 ada firman yang
menyebutkan keadlian sampai tiga kali. Ya
     
       
        
       
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-
orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah,
menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk
Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih
dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah,
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.

yang Keterangan bahwa keadilan adalah sesuatu


dituntut pada seorang pemimpin terdapat pada kisah
Nabi Dawud as. yang waktu itu berkedudukan sebagai
raja, disamping sebagai Nabi. Dalam QS. Shad : 22
antara lain menceritakan bahwa Nabi Dawud as. yang
sedang berkhalwat di mihrabnya kedatangan dua orang
tamu tak diundang –menurut riwayat mereka berdua
adalah malaikat- yang akan meminta penyelesaian
perkara. Mereka berdua menghadap kepada Nabi
Dawud as. karena ada persoalan yang tidak bisa mereka
pecahkan, yaitu kasus temannya yang secara zalim
53
meminta kambing piaraannya yang hanya satu ekor
padahal dia sudah memiliki 99 ekor kambing. Cerita ini
sebenarnya sindiran buat Nabi Daud yang ingin
meminang seorang wanita untuk menjadi istrinya
padahal Daud sendiri sudah mempunyai sebanyak 99
orang. Mereka meminta agar Daud memutuskan
perkara mereka secara adil (bi al-haqq) dan tidak
menyimpang dari kebenaran, dan mereka meminta
penyelesaian secara fair. Setelah menceritakan kasus
kedua orang tersebut, selanjutnya dalam ayat 26 Allah
menegaskan tentang bagaimana sikap yang harusnya
dimiliki oleh seorang penguasa se
     
      
        
       
 
“Hai Daud, sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah
(penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (atas masalah-
masalah yang timbul) diantara manusia dengan adil, dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan
menyesatkan kamu dari jalan Allah.” (QS. Shad : 26)
Berdasarkan petunjuk Allah, seorang penguasa haruslah adil
dan tidak mengikuti hawa nafsu. Esensi dan azas pemerintahan
adalah keadilan. Yang dimaksud dengan al-haqq –dalam kasus
pemerintahan- adalah keadilan. Unsur utama keadilan itu adalah
al-haqq (kebenaran), yang ada dalam ayat 22 disebut juga sawa’
al-sirâth, jalan yang lurus.
Secara lebih spesifik dapat diketahui pada saat Nabi
Muhammad Saw., berada di Madinah menghadapi berbagai
golongan, yaitu orang-orang Arab musyrik, orang Nasrani dan
54
Yahudi. Di antara mereka, kaum Yahudilah yang sering membuat
ulah. Nabi mengalami kesulitan menghadapi mereka yang selalu
menyebarkan kabar bohong, memprovokasi dan memutarbalikkan
fakta. Sebagai pemimpin umat yang majemuk tentu saja Nabi
harus mampu bertindak adil. Allah memberi petunjuk kepada
Rasulullah sebagaimana termaktud dalam ayat:
“Mereka adalah orang-orang yang suka menyiarkan
kabar bohong dan banyak makan barang haram. Jika
mereka datang kepadamu (untuk meminta keputusan), maka
putuskanlah (perkara itu) di antara mereka atau
berpalinglah dari mereka. Jika kamu berpaling dari mereka
maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu
sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka,
maka putuskanlah dengan adil (al-qist). Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang adil.” (QS. al-Mâ’idah :
42)
Kalau uraian di atas berkaitan dengan keadilan di wilayah
politik dan sosial, dimensi keadilan lainnya adalah ekonomi. Nabi
Syu’aib diutus oleh Allah untuk menegakkan keadilan ekonomi di
kalangan kaum Madyan yang makmur, tetapi sistem ekonominya
dinodai oleh perilaku bisnis yang tidak etis dan eksploitatif, yaitu
mengurangi takaran dan timbangan. “Dia (Syu’aib) berkata: “hai
kaumku, sembahlah. Sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia.
Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan.
Sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan baik (mampu,
kaya) tetapi aku khawatir terhadapmu akan datangnya azab pada
hari yang membinasakan (kiamat)” (QS. Hud : 84).
Agaknya ajakan Syu’aib untuk memperbaiki sistem ekonomi
menemui tantangan dari para pelaku bisnis karena dianggap

55
himbauan itu menggangu sistem ekonomi yang berlaku dan
merombak sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan (status quo).
Syu’aib memang ingin melakukan pembaharuan perekonomian
kea rah yang lebih etis. Karena mendapatkan tantangan, Syu’aib
akhirnya berdo’a kepada Allah: Ya Tuhan kami, berilah keputusan
antara kami dan kaum kami dengan adil (al-haqq) dan Engkaulah
Pemberi keputusan yang sebaik-baiknya (QS. al-‘Arâf : 89). Do’a
seperti ini pula yang dapat dipanjatkan oleh Rasulullah Saw. “Ya
Tuhanku, berilah aku keputusan dengan adil (al-haqq)” (QS. al-
Anbiyâ’ : 112).
Jadi, berbuat adil agaknya adalah standar minimal bagi
perilaku manusia apakah dia sebagai saksi (dalam arti luas),
penguasa (pemerintah, pemimpin) atau “orang biasa”. Kalau
menurut Islam semua orang adalah pemimpin, maka dengan
sendirinya harus menegakkan keadilan di manapun dia berada.
Seorang pemimpin sepatutnya memperlakukan semua orang,
komunitas, golongan dan bahkan bawahannya secara adil dan
tidak berat sebelah. Lepas dari pengaruh suku bangsa, warna kulit,
keturunan, etnis, strata sosial di masyarakat atau bahkan agama.
Al-quran memerintahkan agar seorang muslim belaku adil bahkan
ketika berurusan dengan para penentang sekalipun. Oleh
karenanya perlu ditegaskan di sini bahwa menu dan volume
keadialan bukanlah ada untuk konsumsi bagi kaum muslimin saja.
Islam memandang keadilan harus ditegakkan kepada seluruh
manusia tanpa pandang bulu sungguh pun non muslim. Hal ini
pun dijelaskan dalam Alqur’an yang menegaskan kepada semua
orang agar senantiasa berlaku adil. Antara lain:
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan

56
menyuruh kamu apabila menetapkan hukum antara manusia
supaya kamu berlaku adil”sesungguhnya Allah member
pengajaran yang baik sebagaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat
(QS.An-Nisa :58).
Hai orang-orang beriman, hendaklah kamu jadi orang-
orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi
saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu kepada
suatu kaum mendorong kamu berlaku tidak adil. Berlaku adillah,
karena adil lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Mahga Mengetahui apa yang kamu
kerjakan (QS. Al-Maidah : 8)
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang
benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah
walaupun terhadap dirimu sendiri, ibu bapak dan kaum
kerabatmu. kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu
kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu
memutar balikan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi,maka
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala apa yang
kamukerjakan (QS. An-Nisaa : 135).
Selain mematuhi prinsip keadilan sebagaimana diisyaratkan
secara normatif dalam Al-quran, menjadi basis tegaknya
masyarakat Islam, pemimpin orgaisasi Islam, menurut pakar
organisasi Islam, misalnya Yahya Al-Thalib, juga mensyaratkan
mendirikan badan peradilan internal atau lembaga hukum, komisi
arbritasi untuk menyelesaikan berbagai peradaban dan pengaduan
dalam kelompok. Anggota-anggota lembaga tersebut dipilih dari
orang-orang yang berpengetahuan, arif dan bijak.

57
3. Musyawarah (Al-Syuura)
Musyawarah berasal dari kata yang makna aslinya ialah
megeluarkan atau menampakkan sesuatu. Adapun yang dimaksud
musyawarah dalah fikih siyasah (politik) Islam seperti
dikemukakan sebagian ahli ialah meminta pendapat orang lain
atau umat (bawahan) mengenai suatu urusan. Kata musyawarah
juga biasa diartikan dengan perundingan atau tukar pikiran.
(Harun Nasution, 1992:705). Islam memandang musyawarah
sebagai salah satu hal almat penting bagi kehidupan umat insani,
bukan saja dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melainkan
juga dalam kehidupan berumah-tangga dan lainnya. Bahwa Islam
memandang penting peranan musyawarah bagi kehidupan
manusia, antara lain dapat dilihat dari perhatian Alquran dan
Alhadits yang memerintahkan atau paling tidak menganjurkan
umat pemeluknya supaya bermusyawarah dalam memecahkan
berbagai persoalan yang mereka hadapi. Dalam Alquran yang
terdiri dari 114 surat dan 6000 ayat lebih itu, dijumpai satu surat
yang bernama al-Syura artinya musyawarah, dan dua ayat yang
berkenaan dengan soal musyawarah yankni dalam surat Ali Imran
ayat 159 dan surat Al-Syura ayat 38.
“Dan bagi orang-orang yang menerima (mematuhi)
seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan
mereka (diputuskan) dengan musyawarah diantara
mereeka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki
yang kami berikan kepada mereka” (QS. Asy-Syuura :38)
Mengutamakan musyawarah sebagai prinsip yang harus
diutamakan dalam kepemimpinan Islam. Alquran dengan jelas

58
menyatakan bahwa seseorang yang menyebut dirinya atau dipilih
untuk menjadi pemimpin wajib melakukan musyawarah dengan
orang yang berpengetahuan atau orang yang berpandangan baik.
Demikian pula halnya orang-orang yang menyambut baik
panggilan Allah kepada agama-Nya seperti menegaskan-Nya,
menyucikan Zat-Nya dari penyembahan selain Dia, mendirikan
shalat fardu pada waktunya dengan sempurna untuk
membersihkan hati dari i’tikad batil dan menjauhkan diri dari
perabuatan munkar, baik yang tampak maupun yang tidak tampak,
selalu bermusyawarah untuk menentukan sikap di dalam
menghadapi hal-hal yang pelik, rumit dan penting. “Maka
disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati
kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.
Karena itu maafkanlah mereka. Mohonkanlah ampun bagi
mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.
Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka
bertawakallah kepada Allah. Sesunggunhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakal kepada-Nya (QS.Ali Imran :159).
Melalui musyawarah memungkinkan umat, komunitas,
anggota organisasi dan lembaga turut serta dalam proses
pembuatan keputusan. Pada saat yang sama musyawarh juga
berfungsi mengawasi tingkah laku pemimpin jika menyimpang
dari tujuan semula. Dalam praktiknya menurut Faithzal dalam
bukunya Islamic Leadership (2013: 156) , pemimpin tidak harus
selalu melakukan musyawarah dalam setiap masalah. Misalnya,
masalah yang bersifat rutin ditanggulangi dan diselesaikan secara
berbeda sesuai dengan permasalahannya, sedangkan masalah yang
menyangkut pembuatan kebijakan lazimnya dimusyawarahkan.

59
Kegiatan rutin dan apa yang bukan rutin harus diputuskan
dan dirumuskan oleh masing-masing kelompok sesuai dengan
ukuran, kebutuhan, sumber daya manusia dan lingkungan yang
ada. Seorang pemimpin harus mengikuti dan melaksanakan
keputusan hasil musyawarah. Pemimpin harus menghindari
dirinya dari manipulasi atau bermain dengan kata-kata untuk
hanya menonjolkan pendapatnya atau mengungguli keputusan
yang dibuat dalam musyawarah.
Secara umum pemilihan atau pembagian tugas, tanggung
jawab atau delegation of authority dapat membantu untuk
menjelaskan ruang lingkup musyawarah seperti: (1) urusan-urusan
yang bersifat administrasi dan eksekutif dapat saja diserahkan
langsung kepada pemimpin; (2) persoalan yang membutuhkan
keputusan segera ditangani oleh pemimpin dan disajikan kepada
kelompok untuk ditinjau dalam pertemuan berikutnya atau melalui
sarana komunikasi yang cepat; (3) semua anggota kelompok harus
mampu mengkaji dan mengoreksi tindakan pimpinan secara bebas
tanpa rasa segan, malu dan apalagi rasa takut; (4) kebijakan yang
hendak diambil, sasaran jangka panjang yang direncanakan dan
keputusan penting yang harus diambil diputuskan oleh pemimpin.
Ada beberapa hal sangat penting diperhatikan sebagai
syarat suksesnya dalam musyawarah :
(1) musyawarah mengandung pengertian yang mulia. Bagi umat
Islam, musyawarah berhubungan dengan akidah, karena ungkapan
itu adalah petunjuk suci yang termaktub dalam kitab suci dan
sunnah nabi. Musyawarah hanya dapat diselenggarakan bila
kebebasan mengutarakan pendapat atau pendirian, kemerdekaan
untuk mengartikulasikan keyakinan dijamin. Musyawarah tidak
bisa terselenggara dalam iklim yang diliputi rasa takut dan

60
khawatir karena dibatasi oleh aneka tabu. Sebab dalam
kekhawatiran dan ketakutan orang hanya akan membebek,
membisu atau membantah tanpa bisa memanfaatkan potensinya
untuk berargumen secara cerdas. Dalam suasana yang dihantui
oleh aneka tabu, orang hanya akan membualkan slogan atau
melafalkan mantera, tetapi tetap menyembunyikan pendirian
aslinya. Lalu yang diperoleh bukan konsensus, tetapi sebuah
produk dari komunikasi yang terputus, pemaksaan dari satu pihak
dan ketidakberdayaan di pihak yang lain.
(2). Musyawarah sejati selalu diawali dengan prasangka
baik (husnudhan) terhadap semua yang diajak mufakat.
Musyawarah dengan berangkat membawa prasangka buruk
(suudhan), sesungguhnya sudah menolak tercapainya hasil akhir
yang dikehendaki, yakni hikmah kebijaksanaan atau the ultimate
wisdom. Prasangka baik dibangun dari sikap saling percaya
(mutual trust), saling bersikap amanah, tidak saling menghianati,
serta saling menjunjung tinggi sense of mission yang dibebankan
dipundak masing-masing. Musyawarah, dengan perkataan lain
secara implisit mengandung inklinasi (kecenderungan,
kecondongan, kehendak hati, atau kesudian) untuk mendahulukan
kepentingan bersama daripada kepentingan sendiri. Tatkala
kepentingan pribadi terlalu kuat mencuat atau mendominasi,
amaka sendi musyawarah pun bisa kehilangan landasan dasarnya
untuk bisa dilaksanakan dengan saksama.
(3) Tidak ada pilihan, untuk memperoleh hasil
musyawarah yang sejati, proses musyawarah harus dibangun di
atas suasana kemerdekaan, persamaan dan kebersamaan
(tasamuh), saling percaya, saling bersikap amanah, dan saling

61
menjunjung tinggi sense of mission yang dibebankan dipundak
masing-masing peserta musyawarah.
Begitu pentingnya prinsip musyawarah ini, sampai Nabi
SAW meskipun dalam kapasitasnya sebagai seorang yang
ma’shum, ternyata masih diperintah Allah untuk bermusyawarah
dengan para sahabatnya, terutama dalam kaitannya dengan al-
mashlahah al-ammah (kepentingan hajat umum). Prinsip ini, akan
berfungsi mengkikis habis sifat dan kultur otoriter dan
absolutisme. Karenanya bukan pada tempatnya, seseorang yang
mengaku muslim (baik itu pemimpin ataupun yang dipimpin),
tetapi selalu mempertahankan arogansi kekuasaan dan otoriter.

4. Al-Musawah (egaliter).
Dalam hal ini Nabi Muhammad Saw dan al-Khulafa al-
Rasyidin telah memberika contoh sikap egaliter dalam semua
sektor kehidupan, ekonomi, social, politik, budaya dan yang
lainnya. Dikalangan para sahabat Nabi, baik dalam bidang politik,
ekonomi, karir militer, maupun dalam interaksi sehari-hari tidak
dikenal adanya diskriminasi rasial, meskipun para sahabat Nabi
tersebut masing-masing memiliki perbedaan latar belakang
budaya, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain. Diantara mereka
interaksi dan komunikasi dilakukan secara terbuka dengan semua
lapisan, tanpa terbelenggu dan terganggu oleh asal-usul, warna
kulit, suku, ras, latar belakang sosial budaya dan bahkan
keyakinan dan agama. Kita bisa melihatnya bagaiamana Piagam
atau Konstitusi Madinah dibuat. Konstitusi pada sejarah terdahulu
umumnya berasal dari catatan-catatan konsensus warga pada
sebuah negara, kemudian ditulis dalam bentuk piagam yang
menjadi kesepakatan bersama. Piagam tertulis pertama dalam

62
sejarah umat manusia yang dapat dibandingkan dengan pengertian
konstitusi dalam arti kekinian (modern) adalah Piagam Madinah.
Piagam ini dibuat atas persetujuan bersama antara Nabi
Muhammad Saw dengan wakil-wakil penduduk kota Madinah,
tidak lama setelah beliau hijrah dari Makkah ke Madinah (Yastrib)
pada tahun 622 M. Esensi dari Piagam Madinah itu menunjukkan
kepada kita semua, bahwa betapa agung dan mulianya Rasul Saw.
walaupun memiliki otoritas, pengakuan dan kedaulatan yang kuat
sebagai pemimpin. Ia tetap menempatkan dirinya sejajar dengan
masyarakat yang lainnya di Madinah. Beliau memberikan hak
yang sama kepada semua warga kota, tanpa sedikitpun melihat
latar belakang etnis, ras, suku, budaya, ekonomi, pendidikan, dan
agama/kepercayaan.
Inilah perwujudan dari tasamuh dan musawah dari seorang
pemimpin besar yang harus menjadi prinsip dasar bagi seseorang
yang menjadi pemimpin Islam. Oleh karena itu, dalam Islam tidak
mengenal adanya kedudukan istimewa bagi seorang pemimpin
ditengah-tengah ummatnya. Yakni suatu kedudukan yang
membuatnya tidak memerlukan nasehat, bimbingan, kritikan, dan
bebas dari kewajiban-kewajiban tertentu yang berlaku kepada
ummatnya. Akan tetapi setiap orang dalam pandangan orang
Islam punya kewajiban dan hak yang sama.

5. Prinsip Kebebasan Berpikir.


Prinsip kebebasan berfikir yakni pemimpin dan
kepemimpinan dalam Islam memberikan ruang dan mengundang
anggota (bawahan) organisasi untuk dapat mengemukakan
kritiknya secara konstruktif, mereka dapat mengeluarkan
pandangan atau keberatan-keberatan dengan bebas, serta

63
mendapatkan jawaban dari segala persoalan yang mereka ajukan.
menciptakan suasana kebebasan berfikir dan pertukaran gagasan
yang sehat dan bebas, saling kritik dan saling menasehati satu
sama lain sedemikian rupa, sehingga tercipta suasana kondusif
untuk para pengikut suatu lembaga dalam mendiskusikan masalah
yang menjadi kepentingan bersama (Hisyam Al-Thalib,
1995 :167).
Akibat manusia tidak mengindahkan peringatan Allah, maka
Allah berfirman dalam Surat Al-Kahfi (18) ayat 54: Dan
sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam
Alquran ini bermacam-macam perumpamaan. Dan manusia
adalah makhluk yang paling banyak membantah
       
       

Berbagai macam perumpamaan dikemukakan Allah di dalam


Alquran, baik berupa perbandingan terhadap sesuatu ataupun
bentuk cerita. Hal ini dimaksudkan sebagai cermin perbandingan
bagi manusia, sebab manusia itu mempunyai akal pikiran. Dari
binatang-binatang kecil seperti nyamuk, lalat dan lebah, sampai
benda-benda alam yang besar seperti gunung-gunung dan
samudera dijadikan contoh untuk menarik perhatian .
Namun demikian manusia itu adalah makhluk yang paling
suka membantah. Artinya, ketika Allah menyadarkan akal pikiran
dan budi luhurnya dengan berbagai macam perumpamaan itu,
mereka pun mencari-cari dalih alasan untuk mengingkari dan
tidak mau mematuhinya, hal itu karena hawa nafsu, kesombongan
dan tipu daya setan dan iblis (Faithzal, 2013: 165).

64
Pemimpin yang baik adalah mereka yang mampu memberikan
ruang dan mengundang anggota kelompok untuk mampu
mengemukakan kritiknya secara konstruktif. Mereka diberikan
kebebasan untuk mengeluarkan pendapat atau keberatan mereka
dengan bebas, serta dapat memberikan jawaban atas setiap
masalah yang mereka ajukan.
Agar sukses dalam memimpin, seoarang pemimpin hendaknya
dapat menciptakan suasana kebebasan berfikir dan pertukaran
gagasan yang sehat dan cerdas, saling kritik dan saling menasehati
satu sama lain, sehingga para pengikutnya merasa senang
mendiskusikan masalah atau persoalan yang menjadi kepentingan
bersama. Seorang muslim diminta memberikan nasihat yang
ikhlas apabila diperlukan. Tamim bin Auws meriwayatkan bahwa
Rasulullah pernah bersabda “Agama adalah nasihat. Kami
berkata (bertanya) Kepada siapa? Beliau menjawab “Kepada
Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, Pemimpin umat Islam dan kepada
seluruh masyarakat kamu sekalian (HR. Muslim).
Selain itu, prinsip-prinsip umum politik (kekuasaan) Islam
yang berkaitan dengan kepemimpinan Islam sebagaimana
dikatakan oleh A. Ezzati adalah sebagai berikut:
Seorang pemimpin (1) Tidak bersifat diktator, sebab
bertentangan dengan kedaulatan tentang kedaulatan Allah, (2)
bukan kekuasaan polotik yang berorientasi kekuasaan, sebab
manusia hanya memikul tanggung jawab, (3) bukan sekuler, sebab
bertentangan dengan jiwa dan kebenaran Islam, (4) bukan semata-
mata spiritual sebab bertentangan dengan hal-hal yang bersifat
ajaran keduniaan Islam, (5) bukan teokrasi, sebab tidak ada
system kependataan dan hirarki kependataan dalam Islam, (6)
bukan demokrasi, sebab bertentangan dengan kedaulatan Allah,

65
(7) bukan dispotik, totaliter, otokratis, sebab semua itu tidak
sesuai sengan sifat musyawarah dalam istem politik Islam, (8)
bukan regional, rasial, nasional, sektoral, sebab kesemuanya
bertentangan dengan universalitas dan jiwa Islam, (9) bukan
imperialis, eksploitatif atau kolonial, sebab bertentangan dengan
sifat keagamaan dan jiwa system politik Islam, (10) bukan
represif, agresif dan tiranis, sebab Al-quran dengan tegas
melarangnya (Ezzati, 1994:40).
Oleh karena itu, dalam Islam tidak mengenal adanya
kedudukan istimewa bagi seorang pemimpin ditengah-tengah
ummatnya. Yakni suatu kedudukan yang membuatnya tidak
memerlukan nasehat, bimbingan, kritikan, dan bebas dari
kewajiban-kewajiban tertentu yang berlaku kepada ummatnya.
Akan tetapi setiap muslim dalam pandangan Islam punya
kewajiban dan hak yang sama.
Dalam hal ini, kewajiban semua manusia maupun
kewajiban kepada Tuhannya, pemimpin bukanlah manusia kudus
atau suci dan bebas dari dosa dalam pandangan kaun muslimin
tidak memiliki wewenang tunggal untuk menjelaskan dan
menafsirkan atau menginterpretasikan ketentuan-ketentuan agama
dan tidak pula mempunyai kekuasaan terhadap diri orang lain.
Akan tetapi pemimpin hanyalah seseorang yang karena agamanya
dan keadilannya ia memperoleh kepercayaan (trust) ummat untuk
menangani dan mengurus kepentingan mereka berdasarkan
perintah allah (Yusuf Musa,1990:140).
Secara ringkas bisa disebutkan bahwa kepemimpinan
Islam bukan kepemimpinan tirani dan non koordinasi. Pemimpin
Islam, selalu mendasari dirinya dengan prinsip-prinsip Islam,
bermusyawarah dengan sahabat, kolega, sejawat, bahkan bawahan

66
secara objektif dan dengan penuh rasa hormat, membuat
keputusan seadil-adilnya. Pemimpin bertanggung jawab bukan
hanya kepada para pengikutnya akan tetapi yang lebih penting
bertanggung jawab kepada Tuhannya (Hisyam 1995:67).
Kepemimpinan dalam Islam walaupun dari satu sisi
memiliki kepatuhan dan ketundukan terhadap hukum-hukum
Allah sebagaimana ditetapkan Al-quran, tetapi pada sisi lain
senantiasa memperhatikan dinamika dan kebutuhan kemajuan
sesuai dengan perkembangan waktu dan kemanusiaan tanpa
mengurangi ketaatan total kepada Allah SWT.

Diskusikan soal-soal di bawah ini:


Jelaskan prinsip-prinsip kepemimipinan Islam di bawah ini
1. Al-Sidqu wa al amanah;
2. Al-Adalah..
3. Al-Syura’.
4. Al-Musaswah.
5. Kebebasan berpikir
6. Kemukakan syarat-syarat agar pelaksanaan musyawarah
efektif.
7. Prinsip-prinsip umum politik (kekuasaan) Islam yang
berkaitan dengan kepemimpinan Islam A. Ezzati
berpendapat bahwa seorang pemimpin Islam: (1) tidak
bersifat diktator. (2) bukan kekuasaan polotik yang
berorientasi kekuasaan (3) bukan sekuler, (4) bukan
semata-mata spiritual, (5) bukan teokrasi, (6) bukan
demokrasi, (7) bukan dispotik, totaliter, otokratis, (8)
bukan regional, rasial, nasional, sektoral, (9) bukan

67
imperialis, eksploitatif atau kolonial, (10) bukan represif,
agresif dan tiranis.
Mengapa demikian, jelaskan.

BAGIAN KEDELAPAN

68
KRITERIA PEMIMPIN DALAM ISLAM

Selain harus memahami karakteristik kepemimpinan


dalam Islam sebagaimana telah diuraikan pada bab-bab di atas,
juga perlu dijelaskan di sini beberapa kriteria yang tidak kalah
pentingnya dimiliki seorang (calon) pemimpin dalam Islam.
Kriteria itu adalah: (1) berpengatahuan (berwawasan) luas
(basthatan fi al-ilmi); (2) berbadan /fisik yang kuat lagi sehat
(basthatan fi al-jismi); (3) jujur dan dapat dipercaya (al-shidqu wa
al-amanah, (4) memiliki kecerdasan yang melahirkan kemampuan
menghadapi dan menanggulangi persoalan yang muncul (al-
Fatonah) dan (5) memiliki sifat penyampaian yang jujur dan
bertanggung jawab dan terbuka (al-Tabligh).
Memiliki pengetahuan yang luas dan fisik yang kuat di sini
dimaksudkan kondisinya sehat dan memungkinkan melakukan
tugas-tugas kepemimpinan. Tempo dulu kriteria ini pernah
diperdebatkan oleh bani Israil: kenapa, masa calon pemimpin itu
Thalut, padahal dia tidak punya kekayaan, bukan turunan ningrat,
bukan berdarah biru, tidak popular, dan tidak banyak pengikut?
        
       
       
       
       
      
Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya Allah
telah mengangkat Thalut menjadi rajamu." mereka menjawab:
"Bagaimana Thalut memerintah Kami, Padahal Kami lebih
berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun
69
tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?" Nabi (mereka)
berkata: "Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan
menganugerahinya ilmu yang Luas dan tubuh yang perkasa."
Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-
Nya. dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha
mengetahui. QS. Al-Baqarah: 247).

Memiliki fisik yang kuat dan dapat dipercaya. Memiliki


kesehatan jasmani dan rohani yang memungkinkan mampu
berpikir dan berbuat dengan leluasa dan sempurna dalam
kehidupan keseharaiannya dalam rangka meningkatkan tarap
kehidupan.
Memiliki kepribadian yang mantap dan mandiri yang
memungkinkannya mampu membangun dirinya dan masyarakat
sekelilingnya serta dapat memenuhi kebutuhan pembangunan
kelompok masyarakat, dan pembangunan nasional.
Memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan
kebangsaan. Ia berpikir dan bebrbuat bukan nuntuk kepentingan
pribadinya dan keluarganya semata, tetapi untuk masyarakat di
sekitarnya secara khusus dan untuk bangsanya secara umum.
Memiliki rasa tanggung jawab yang memungkinkan mampu
membangun dirinya dan masyarkat sekelilingnya dan memmenuhi
kebutuhan pembangunan nasional. Rasa tanggung jawab itu juga
akan mampu menumbuhkan jiwa patriotik dan mempertebal
kesetiakawanan social dan kesadaran pada sejarah umat.
       
   

70
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: Ya bapakku,
ambilah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena
sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk
mbekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya
(QS. Al-Qashash :26).
Oleh kerena itu ada sejumlah kriteria yang perlu
diperhatikan oleh umat bahwa syarat menjadi pemimpin
perspektif Alquran dan al-Hadits antara lain: Islam, Adil, Jujur,
Ditaati, Demokratis, Berwibawa, Punya Keahlian, Dewasa, Sehat
Jasmani, Sehat Rohani, Mampu Bekerjasama, Shaleh, Berakhlak
Mulia, Berpendirian, menegakkan Hukum, Kasih Sayang, Sabar
dan Tanggap, Cerdas, dan Terbuka (IK.Syafiie, 2004: 76)

      


      
        
   
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-
pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi
sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil
mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu
Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS. Al-Maidah : 51)

     


    

71
     
   
Hai orang-orang beriman, apabila kamu Mengadakan
pembicaraan rahasia, janganlah kamu membicarakan tentang
membuat dosa, permusuhan dan berbuat durhaka kepada rasul.
dan bicarakanlah tentang membuat kebajikan dan takwa. dan
bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nya kamu akan
dikembalikan (QS.al-Mujadilah:9)
       
      
     
       
      
      
       
       
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
melanggar syi'ar-syi'ar Allah dan jangan melanggar kehormatan
bulan-bulan haram jangan (mengganggu) binatang-binatang had-
ya, dan binatang-binatang qalaa-id dan jangan (pula)
mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang
mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan
apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah
berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu
kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari
Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka).
dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan
72
dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya
Allah Amat berat siksa-Nya. (Q.S.5(al-Maidah:2)

Tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa,


dan janganlah tolong menolong dalam dosa dan permusuhan
Terhadap orang-orang muslim hrendaklah ia mau
mendengarkan dan taat pada pimpinan, baik ia suka maupun
tidak suka, kecuali jika pimpinan itu memerintahkan suatu
maksiat (kemungkaran), maka jika maksiat itu diperintahkan
olehnya, jangtanlah didengarkan dan tidak perlu ditaati (Al-
Hadits).
Tidak akan menyesal orang yang suka bermusyawarah,
dan tidak akan gagal orang yang selalu berdoa. Apabila suatu
perkara (jabatan) tidak serahkan kepada ahlinya maka tunggulah
saat kehancuranhnya (Al-Hadits).

Diskusikan soal-soal di bawah ini:


Jelaskan yang dimaksud:
1. basthatan fi al-ilmi
2. basthatan fi al-jismi
3. al-shidqu wa al-amanah
4. al-Fatonah
5. al-Tabligh.

73
BAGIAN KESEMBILAN
PROSES KOMUNIKASI DALAM KEPEMIMPINAN

Mengapa Komunikasi.
Manusia sebagai makhluk sosial yang saling berinteraksi
dengan yang lainnya membutuhkan komunikasi, karena dengan
komunikasi manusia dapat menjalin hubungan baik dengan
keluarga ataupun lingkungan. Arus informasi mempunyai manfaat
dalam meningkatkan komunikasi antar sesama. Lembaga,
organisasi atau bahkan perusahaan-perusahaan modern sekarang
sangat mementingkan komunikasi dalam bentuk arus informasi.
Bukan saja arus informasi berguna bagi pengendalian pihak
pimpinan tetapi juga karena dapat menciptakan kesetiakawanan
antara seluruh lapisan anggota, pekerja dan rasa keterlibatan yang
menyebabkan keikutsertaan yang lebih besar dan intensif.
Komunikasi memegang peran penting di dalam
menentukan sampai sebarapa jauh orang-orang dapat
bekerjasaama secara efektif untuk mencapai tujuan yang sudah
ditentukan. Berbagai hasil penelitian para ahli (Faithal: 2013:424),
menyatakan bahwa terdapat hubungan langsung atara peoses
komunikasi dan produktivitas kerja. Komunikasi yang baik, lemah
lembut dan manusiawi yang dilakukan dalam sebuah perusahaan,
seluruh orang yang terlibat, seperti karyawan akan bekerja secara
lebih produktif, efektif, efisien dan dengan kepuasan kerja yang
cukup besar apabila mereka mengerti bukan hanya kebutuhannya

74
sendiri yang terpenuhi akan tetapi juga kebutuhan kelompok
maupun organisasi, lembaga, ataupun perusahaan.
Komunikasi pada dasarnya adalah sebuah proses member
dan menerima informasi saampai pada pemahaman maksa,
sehingga komunikasi sebagai arus informasi dan penyampaian
emosi (perasaan) yang berada dalam lapisan masyarakat baik dari
atas ke bawah (vertikal) ataupun dari samping, kanan ke kiri
(horizontal) yang berarti pula merupakan perhubungan atau
persambungan wahana atau media sarana. Sehingga melalui
komunikasi individu maupun kelompok dapat menyampaikan
perasaan, pikiran dan kehendak kepada individu dan kelompok
lainnya. Dengan demikian, komunikasi merujuk kepada berbagai
cara berbagi hal-hal seperti kita berbagi pikiran, kita
mendiskusikan makna, dan kita mengirimkan pesan.
Istilah lain yang mirip dengan komunikasi adalah
komunitas dan jamaah (community-Jamaah) yang menekankan
kesamaan atau kebersamaan, baik keahlian, profesi atau bahkan
pekerjaan. Kamunitas merujuk kepada sekelompok orang yang
berkumpul atau hidup bersama untuk mencapai tujuan tertentu,
dan mereka berbagi makna dan sikap.dengan demikian bisa
dipastikan bahwa ruh atau energi yang paling dominan
terbentuknya komunitas adalah faktor komunikasi.
Suatu pemahaman popular mengenai komunikasi manusia
adalah komunikasi yang menyampaikan pesan searah dari
seseorang atau suatu lembaga kepada seseorang atau sekelompok
orang lainnya baik secara langsung tatap muka ataupun melalui
media seperti lembaran surat, surat kabar, majalah, radio, televisi
dan media lainnya. Apabila dalam komunikasi tidak memenuhi
unsur-unsur tersebut maka dapat menimbulkan ketidak-akuratan

75
informasi yang didapat, artinya berita yang diterima dapat
menimbulkan penafsiran yang berbeda, bervariasi dan bahkan bisa
menimbulkan multitafsir.
Paparan tentang mengapa dan apa itu komunikasi di atas,
terdapat dua hal harus diperhatikan dalam proses komunikasi
kepemimpinan; (1) proses komunikasi bisa terjadi jika memenuhi
empat komponen yakni komunikator, komunikasi gagasan dan
saluran (media) atau wasilah. (2) komunikasi menekankan
pentingnya menciptakan saling pengertian, pemahaman. Oleh
karena itu komunikasi sejatinya adalah alat bagi pemimpin untuk
berinteraksi dengan bawahannya. Didalam suatu organisasi
inisiatif untuk berkomunikasi secara efektif biasanya datang dari
pihak atas (pimpinan).

Problematika dalam Proses Komunikasi.


Pimpinan sebagai pusat kekuatan dan dinamisator sebuah
lembaga, organisasi atau perusahaan, mau tidak mau harus
berkomunikasi kepada semua pihak, secara formal maupun
informal. Suksenya kepemimpinan seseorang sebagian besar
ditentukan oleh kemahiran dan kepiawaiannya dalam
berkomunikasi dengan semua pihak, baik vertikal maupun
horizontal.
Dalam lingkungan pekerjaan misalnya, dikenal
komunikasi antar atasan bawahan. Maksudnya komunikasi yang
terjadi antara pihak atasan dan bawahannya, seperti telah
dikemukakan di atas. Komunikasi tersebut dapat berbentuk
penyampaian informasi, pesan, ataupun instruksi. Perlu disadari
dan diperhatikan bahwa akibat komunikasi yang tidak lancar akan
tidak menguntungkan bagi kemajuan organisasi, lembaga maupun

76
perusahaan. Akan banyak waktu yang terbuang, pemborosan,
kekeliruan bawahan dalam melaksanakan instruksi atau perintah.
Oleh karenanya seringkali atasan dalam hal ini pimpinan
berulang-ulang menerangkan maksud dari instruksi yang
diberikannya agar tidak terjadi kesalah-pahaman (mis-
communication).
Ada cara untuk berkomunikasi yang efektif antara atasan
dan bawahan, pimpinan dan anggota, yaitu dengan komunikasi
dialogis atau komunikasi dua arah. Komunikasi yang bersipat
timbal balik yakni penerima pesan sekaligus sebagai penyampai
pesan. Dalam praktiknya komunikasi dalogis ini adalah kedua
belah pihak secara bergantian menyampaikan dan menerima
pesan. Diskusi, brainstorming, pertemuan berkala, adalah cara-
cara yang lazim dilakukan. Bagi pihak pimpinan, komunikasi
dialogis membuktikan pengujian apakah gagasan, pesan, prosedur
baru yang diterapkan dapat diterima dan ditanggapi secara tepat
oleh bawahannya. Melalui komunikasi dialogis dapat
menghindarkan kecenderungan pimpinan untuk menafsirkan
sendiri setiap pesan, atau instruksi (amr) yang ia sampaikan.
Selain itu cara berkomunikasi yang akan produktif adalah dengan
menggunakan cara-ccara yang tegas, lugas, jelas dan lembut.
Dalam hal ini Alquran mengajarkan kepada kita melalui qisah
Nabiyullah Musa as dan Nabiyullah Harun as. sebagaimana
dijelaskan dalam Alquran surat Thoha ayat 44 : maka bicaralah
(berkomunikasi) kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang
lenah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut. (QS. Thoha:
44). Demikian pula Rasulullah mengajarkan “Bicaralah kepada
manusia (kaummu) menurut kadar (akal) kecerdasan mereka
masing-masing”.

77
Pada ayat di atas, Allah menganjurkan kepada Nabi Musa
dan Nabi Harun, bagaimana cara berkomunikasi dengan Fir’aun,
agar mengunakan kata-kata halus dan ucapan yang lemah-lembut.
Seseorang yang dihadapi dengan demikian akan berkesan di
hatinya dan akan cenderung menyambut baik dan menerima
ajakan (dakwah) yang diserukan kepadanya. Cara yang bijaksana
seperti ini juga diajarkan Allah kepada NabiMuhammad saw.
Sebagaimana firman-Nya: “Serulah (manusia) kepada jalan
Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah
(dialog) mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu,
Dia lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat di
jalan-Nya dan Dia lah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk” (QS. An-Nahl :125). Dan sebaliknya jika
berkomunikasi atau dihadapi dengan kekerasan, bukan menurut,
tunduk atau taat, malah sebaliknya akan menentang dan
menjauhkan diri sebagaimana dijelaskan Al-qur’an berikut ini,”
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkandiri dari sekelilingmu (QS. Ali Imran : 159).
Perlu diperhatikan seorang pemimpin, bahwa komunikasi
dengan bawahan atau anggota hendaknya merupakan pendorong
motivasi bagi mereka dalam melaksanakan tugas dan program-
program yang telah digariskan. Tanpa hal itu sulit rsaanya
mengetahui sejauhmana kemampuan mereka. Akibatnya turun
minat produktivitas, berkurangnya pengawasan terhadap mutu dan
lain sebagainya. Seringkali didalam komunikasi apa yang menjadi
pesan atau content dari komunikator tidak dapat dimengerti
langsung oleh komunikan sehingga harus dilakukan berulang-
ulang.

78
Menurut Arviyan Arifin (2013: 442), ada beberapa
problema atau hambatan yang sering dijumpai dalam proses
komunikasi antara pimpinan dan yang dipimpin, antara lain; (1)
kurangnya kesediaan untuk mendengarkan. Ada banyak kasus
diantara kita yang tidak siap mendengarkan apa yang akan
disampaikan orang lain, oleh pimpinan sekalipun (2) segan terlibat
urusan pribadi, banyak diantara manusia bahkan mungkin antara
lain kita yang sering hanya peduli kepada diri sendiri dan
sebaliknya sering abai terhadap urusan dan kepentingan orang
lain, padahal di dalamnya sangat mungkin memerlukan bantuan
kita. (3) prasangka buruk (suudzhon), betapa pentingnya
mengendalikan perasaan buruk sangka terhadap niat atau perilaku
orang lain. Tumbuhkan rasa kepercayaan bahwa orang lain
bermaksud baik (4) keterbatasan pengetahuan. Perbedaan
kapasitas pengetahuan, wawasan dan pengalam dari seseorang
seringkali mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara satu
dengan yang lainnya, sehingga dalam batas-batas tertentu
seringkali menjadi problem komunikasi, di sinilah pentingnya
falsafah egaliter, respek dan rasa hormat serta saling menghargai
yang memandang persamaan hak diantara anggota komunitas.
dan (5) emosional. Sifat emosional adalah sesuatu yang melekat
pada diri manusia siapapun itu, untuk mengungkapkan siapa
dirinya, ego dan keakuan sering menjadi media untuk
mengaktualisasikan diri dihadapan orang lain sulit dihindarkan.
Namun demikian, perasaan-perasaan tersebut harus dikelola
dengan baik agar kemudian tidak menjadi penghambat dalam
berkomunikasi.

79
Setiap pemimpin dituntut untuk memahami dan mencari
solusi dari hambatan-hambatan komunikasi agar lembaga atau
organisasi yang dipimpinnya survive.
Betapapun unggulnya suatu produk, berbakatnya
seseorang atau kuatnya sebuah lembaga, keberhasilan tidak akan
pernah diraih tanpa keterampilan komunikasi. misalkan kita
sedang mempersiapkan diri menghadap Allah untuk berdo’a,
suatu presentasi hasil penelitian atau makalah ilmiah, negosiasi
bisnis, membangun sebuah teamwork, menghadapi lawan ketika
berargumentasi, bahkan menghadapi sidang terbuka dalam ujian
kesarjanaan dan seterusnya, maka komunikasi akan menentukan
kesuksesan dalam kegiatan-kegiatan itu.
Disinilah letak pentingnya kemampuan mengembangkan
komunikasi yang efektif yang merupakan salah satu keterampilan
amat penting dan sangat diperlukan dalam rangka pengembangan
diri, baik secara personal maupun komunal yang profesional.
Ada empat keterampilan dasar yang harus dikuasai daalam
berkomunikasi, yaitu menulis, membaca, mendengar, dan
berbicara. Sehingga tepatlah jika dikatakan bahwa komunikasi
merupakan keterampilan yang paling penting dalam mengisi
kehidupan manusia. Kita menghabiskan sebagian besar waktu
disaat kita sedang sadar dan bangun dari untuk berkomunikasi.
Sama halnya dengan pernapasan, komunikasi kita anggap sebagai
hal yang otomatis terjadi begitu saja, sehingga sering tidak
disadari untuk melakukannya dengan efektif ( Arifin : 2013: 442).
Unsur penting dalam komunikasi bukan sekedar pada apa
yang kita tulis atau katakan, tetapi pada karakter kita dan
bagaimana kita menyampaikan pesan kepada komunikan. Jika
kata-kata ataupun tulisan dibangun dari teknik hubungan manusia

80
yang dangkal (etika kepribadian) bukan dari diri kita yang paling
dalam (etika karakter), orang lain akan melihat atau membaca
sikap kita. Oleh karenanya, syarat utama dalam komunikasi
efektif adalah karakter yang kokoh yang dibangun dari pondasi
integritas pribadi yang kuat.
Integritas pribadi yang kuat akan menghasilkan
kepercayaan dan merupakan dasar dari berkomunikasi. Integritas
merupakan landasan utama dalam membangun komunikasi yang
efektif, karena tidak ada persahabatan atau teamwork tanpa
kepercayaan dan tidak akan ada kepercayaan tanpa adanya
integritas. Integritas adalah tidak semata-mata menyesuaikan
realitas dengan kata-kata kita. Karena integritas bersifat aktif
sedangkan kejujuran bersifat pasif.
     
 
“Dan diantara orang-orang yang Kami ciptakan ada umat
yang memberi petunjuk dengan hak, dan dengan yang hak itu pula
mereka menjalankan keadilan” (QS. Al-A’raf : 181).
Komunikasi Efektif
Dimuka telah dikemukakan betapa pentingnya faktor
komunikasi untuk memuluskan program pemimpin dalam
menjalankan kepemimpinannya. Namun demikian agar
komunikasi yang dilakukan tepat sasaran, efisien dan efektif tentu
saja diperlukan beberapa syarat yang harus dipenuhi yaitu:
1. Respect. Rasa hormat dan saling menghargai setiap
individu sebagai hukum pertama yang menjadi sasaran
pesan yang disampaikan. Perlu diingat bahwa pada
dasarnya manusia ingin dihargai dan dianggap penting.
Jika harus mengfkritik atau menegur hendaknya dilakukan
81
dengan penuh respek terhadap harga diri dan kebanggaan
seseorang. Jika membangun komunikasi dengan rasa
saling mengharagai dan menghormati, maka kita dapat
membangun kerja sama yang menghasilkan sinergi yang
akan meningkatkan efektivitas kinerja baik secara individu
maupun sebagai tim.
     
        
 

“Apabila kamu diberi penghormatan dengan suatu


penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan
yang lebih baik dari padanya, atau balaslah
penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya
Allah memperhitungkan segala sesuatu (QS. An-Nisa : 86)
2. Empathy. Salah satu prasyarat utama untuk memiliki sifat
atau rasa empati adalah kemampuan untuk mendengarkan
atau mengerti terlebih dahulu sebelum didengardan
dimengerti oleh orang lain. Allah membenci orang-orang
yang tidak mendengarkan masukan dan kritikan dari orang
lain.
      
    
“…yaitu orang-orang yang matanya dalam keadaan
tertutup dari memperhatikan tanda-tanda kebesaran-Ku,
dan adalah mereka tidak sanggup mendengar (QS. Al-
Kahfi : 101).

82
Empati sebagai kemampuan untuk mendengar atau siap
menerima masukan apapun dengan sikap yang positif.
Komunikasi satu arah tidak akan efektif, jika tidak ada
respon berupa unpan balik yang merupakan arus balik dari
penerima pesan.
3. Audible. Empati berarti kita harus mendengar terlebih
dahulu atuapun mampu menerima unpan balik dengan
baik, maka audible berarti pesan yang disampaikan dapat
diterima oleh penerima pesan. Dalam komunikasi personal
hal ini berarti bahwa pesan disampaikan dengan acara atau
sikap yang dapat diterima oleh penerima pesan.
4. Celarity. Celarity dapat pula berarti keterbukaan dan
transparansi. Dalam berkomunikasi perlu dikembangkan
sikap terbuka, sehingga dapat menimbulkan sifat percaya
diri penerima pesan atau anggota tim. Karena tanpa
keterbukaan akan timbul sikap saling curiga dan pada
gilirannya akan menurunkan semangat dan antusiasme
kelompok atau team kita.
5. Humble. Sikap ini merupakan unsur yang terkait dengan
hukum pertama dengan rasa menghargai orang lain,
biasanya disertai dan disadari oleh sikap rendah hati.
Jika komunikasi dibangun oleh lima hal di atas, maka
komunikasi akan menjadi efektif dan apabila seorang
pemimpin memiliki sifat-sifat itu, maka bukan hanya akan
menjadi komunikator yang handal tetapi lebih dari itu akan
mudah mambangun jaringan hubungan dengan orang lain
yang penuh dengan penghargaan.
Karena inilah yang dapat membangun hubungan jangka
panjang yang saling menguntungkan dan saling menguatkan.

83
Ada statement yang mengatakan bahwa komunikasi yang
efektif, adalah pencapaian dari separuh keberhasilan.

Diskusikan soal-soal di bawah ini.


1. Kemuakakan apa yang dimaksud komunikasi
kepemimpinan.
2. Mengapa penting membangun komunikasi bagi seorang
pemimpin.
3. Sebautkan syarat-syarat komonikasi yang efektif dalam
kepemimpinan.
4. Terdapat dua hal harus diperhatikan dalam proses
komunikasi kepemimpinan; (1) proses komunikasi bisa
terjadi jika memenuhi empat komponen yakni
komunikator, komunikasi gagasan dan saluran (media) atau
wasilah. (2) komunikasi menekankan pentingnya
menciptakan saling pengertian, pemahaman. Jelaskan
maksud masing-masing item tersebut.
5. Kemukakan pula hambatan-hambatan komunikasi dalam
sebuah organisasi atau kelompok, sehingga seringkali
mempengaruhi tingkat keberhasilan tujuan yang sudah
ditetapkan.
6. Bagaimana cara menanggulangi hambatan komunikasi
dalam kepemimpinan.
7. Ada statement yang mengatakan bahwa komunikasi yang
efektif, adalah pencapaian dari separuh keberhasilan,
jelaskan maksudnya.
8. karakter merupakan unsur penting dalam komunikasi bukan
sekedar pada apa yang kita tulis atau kata-kata, jelaskan
maksudnya.

84
9. Jelaskan pyula yang dimaksud etika kepribadian dan etika
karakter.
10. Pahami maksud Alqur’an surat An-Nisa ayat 86, dalam
konteks komunikasi.

85
BAGIAN KESEPULUH
ADMINISTRASI DALAM KEPEMIMPINAN

Dalam kesemptan ini kita akan mendiskusikan secara singkat


tentang ruang lingkup admnistrasi dan seberapa penting fungsi
administrasi bagi seorang pimpinan organisasi atau kelompok
masyarakat. Oleh karena itu mengetahui seluk beluk administrasi dan
memahami betapa pentingnya fungsi administrasi dalam mensukseskan
tujuan organisasi adalah sebuah keniscayaan bagi seorang calon
pemimpin.

Pengertian Administrasi.
Dalam tulisan ini, administrasi diartikan sebagai suatu usaha
bersama sekelompok manusia untuk mencapai tujuan organisasi secara
efektif dan efisien dengan menggunakan segala dana dan daya yang ada.
Secara terinci pengertian administrasi di atas menagandung
beberapa unsur yakni (1) usaha bersama, (2) sekelompok manusia, (3)
tujuan organisasi, (4) efektif dan efisien, (5) dana dan daya.
Usaha: Administrasi adalah bagian dari keseluruhan organisasi
formal atau tidak formal. Dalam suatu organisasi harus ada kegiatan
minimal merencanakan, melaksanakan, menilai, dan melaporkan.
Sekolompok manusia : Administrasi menjadikan segala sesuatu
kegiatan yang direncanakannya dengan bekerjasama dengan orang lain.
Kualitas, keahlian, dan karakter atau sifat orang-orang yang terlibat di
dalamnya sangat menunjang untuk berhasilnya tujuan organisasi.
Administrasi adalah sarana untuk mencapai tujuan oleh karena
itu administrasi biasa disebut bentuk pelayanan. Efektif dan efisien,
administrasi sebagai suatu organ penting dari organisasi atau institusi
dapat mengusahakan agar sumber daya dan dana dapat digunakan secara
optimal.
Efektivitas administrasi dapat diukur dari sebarapa jauh tujuan
organisasi dapat diwujudkan, sedangkan efisiensi administrasi diketahui

86
dari seberapa irit banyaknya dana dan daya yang diserap dan diperlukan
untuk pencapaian tujuan terssebut. Dengan pengertian ini Robert L.
Katz (1964)sebagaimana dikutif Sondang Siagian, berpendapat
“successful administration appears to rest on three basic skills, that
called technical, human, and conceptual”.

Administrasi Sebagai Ilmu dan Seni


Pertama, Kelompok yang berpendapat administrasi itu sebagai ilmu
bahwa kondisi, unsur yang berhubungan dengan administrasi
bagaimanapun kecilnya dapat dikontrol. Segala kegiatannya dapat
diarahkan dan dapat diprediksi outputnya. Metode yang digunakan
harus ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan; modelnya harus
didasarkan pada faktor-faktor yang penting dan relevan. Rumus-rumus
yang digunakan harus matematis yang canggih untuk memecahkan
masalah-masalah administratif.
Kedua, Kelompok yang berpendapat bahwa administrasi
merupakan seni mengatakan bahwa kegiatan administrasi didasarkan
atas instuisi dan pengalaman para pelaksana. Sempurna tidaknya hasil
administrasi sangat tergantung dari kehalusan atau kepekaan pelaksana
administrasi.
Fungsi Administrasi
Menurut Gulick dan Urwick (1950) paling tidak ada tujuh fungsi
dalam administrasi: (1) Planning (Perencanaan), (2) Organizing
(Pengorganisasian), (3) Staffing (Penunjukan personal), (4) Directing
(Pengarahan), (5) Coordinating (Pengkoordianasian), (6) Reporting
(Pelaporan), dan (7) Budgeting (Pembiayaan).

1. Planning
Planing (Perencanaan) dimaknai sebagai suatu proses
mempersiapkan serangkaian pengambilan keputusan untuk
dilakukannya tindakan dalam mencapai tujuan organisasi, dengan dan
tanpa menggunakan sumber-sumber yang ada. Aspek perencanaan
87
meliputi (a) Apa yang dilakukan, (b) Siapa yang harus melakukan, (c)
Kapan dilakukan, (d) Dimana akan dilakukan, (e) Bagaimana
melakukannya, dan (f) Apa saja yang diperlukan agar tercapainya tujuan
yang optimal.
2. Organizing (Pengorganisasian),
Pengorganisasian adalah penyatuan atau penghimpunan sumber
manusia dan sumber lain dalam sebuah organisasi atau perkumpulan.
Manusia atau sumber yang dihimpun tersebut dalam dan untuk
kepentingan unit-unit yang ada dalam organisasi. Untuk memperoleh
maksimal dalam pencapaian tujuan organisasi, maka pengorganisasian
mengandung manfaat sebagai berikut : (a) Setiap unit akan selalu
merasa dalam wadah yang sama, (b) Antar unit dengan uinit yang lain
dapat diketahui dengan jelas batas-batas wewenang dan
tanggungjawabnya, (c) Struktur organisasi dapat diketahui jalur
hubungan kerja baik yang sifatnya vertical maupun horizontal.
3. Staffing (Penunjukan personal)
Staffing adalah pengisian suatu bidang atau unit dengan
personal yang akan melaksanakan tugas kegiatannya. Ada beberapa
prinsip atau ketentuan dalam staffing:
(a) Penunjukkan personal harus mengingat prinsip the riht man
and the right place, yakni adanya kesesuaian antara tugas atau beban
yang akan dilaksanakan dengan kemampuan personal yang akan
menangani tugas tersebut.
(b) Adanya keseimbangan antara tugas personal-personal yang
akan terlibat didalam organisasi. Artinya bahwa tidak terdapat personal
yang tugasnya sangat berat dan dilain pihak ada personal yang sangat
ringan. Kebiasaan yang sering ditemukan dalam praktek adalah adanya
penumpukan tugas pada seseorang atau beberapa orang yang dipandang
sangat dekat dengan pimpinan.
(c) Tidak terdapat bidang atau unit yang tidak atau belum
tertangani sehingga terjadi ketimpangan penyelesaian tugas dan
pencapaian tujuan tidak maksimal.
88
4. Directing (Pengarahan),
Pengarahan adalah suatu usaha untuk memberikan penjelasan,
petunjuk, serta pertimbangan dan bimbingan terhadap para personal
baik secara struktural maupun fungsional agar pelaksanaan tugas
berjalan dengan lancar.
Cara pengarahan dapat berupa (a) Penjelasan tentang apa,
mengapa, dan bagaimana tugas (b) Urutan prioritas penyelesaian, (c)
Prosedur kerja, (d) Sarana dan sumber yang dapat dilaksanakan (e)
Pihak-pihak yang terkait dengan tugas baik langsung maupun tidak
langsung. (f) Melakukan evaluasi terhadap penyelesaian tugas.
5 Coordinating (Pengorganisasian)
Coordinating adalah suatu usaha untuk memandu, menyatukan,
menserasikan, mengintegrasikan semua kegiatan yang ada dalam suatu
organisasi agar pencapaian tujuan bersama berjalan serasi dan
seimbang.
Manfaat dari pengorganisasian antara lain : Kekuatan yang
integral dan menyatu sehingga diperoleh hasil gerak organisasi yang
kompak, harmonis, dan saling menunjang. Tidak terjadi simpang siur
antara unit-unit yang ada baik dalam pengambilan keputusan,
penginformasian, serta tindakan. Tidak terjadi persaingan yang tidak
sehat antar bidang yang satu dengan bidang lain. Namun sebaliknya
akan saling mensuport untuk tercapainya tujuan.
Tindakan pengkoordinasian dapat dilakukan secara sistematis:
(a) Mengusahakan adanya pertemuan berkala. (b) Diusahakan adanya
kegiatan yang memerlukan kerja sama antar bagian agar terjadi saling
pengertian mengenai tugas dan kepentingan masing-masing. (c)
Menciptakan kondisi dan situasi kebersamaan.

6. Reporting (Pelaporan)
Pelaporan merupakan satu kegiatan yang dilakukan untuk
menyampaikan melaporkan yang berhubungan dengan hasil pekerjaan
yang telah ditentukan dalam suatu periode tertentu.
89
Pentingnya pelaporan: (a) Mengetahui sejauh mana program
dapat dilaksanakan. (b) Dapat diketahui kesesuaian, kecocokan, dan
kesenjangan antara hasil pelaksanaan dengan perencanaan yang telah
dibuat. (c) Melihat apakah penugasan, penjelasan, dan pengarahan yang
diberikan, dipahami oleh personal atau tidak. (d) Pelaporan mampu
mengidentifikasi factor penunjang dan penghambat dalam pemilihan
tugas untuk dijadikan bahan pertimbangan pada masa yang akan dating.
(e) Laporan yang dibuat dapat dijadikan arsip baik oleh pelapor maupun
pihak yang mendapat laporan untuk dijadikan bahan yang dapat
disimak, dibandingkan dengan hasil sebelum dan sesudahnya sehingga
terukur tingkat keberhasilan suatu organisasi dari waktu ke waktu.
7. Budgeting (Pembiayaan),
Kegiatan pembiayaan meliputi tiga hal yaitu : (a) Penyusunan
anggaran, (b) Pembukuan, (c) Pemeriksaan.
Yang dimaksud dengan pembiayaan dalam administrasi adalah semua
urusan yang berkaitan dengan masalah dana. Dana adalah unsur penting
dalam sebuah organisasi. “Namun tidak sedikit organisasi yang hancur
karena uang”.
Ada beberapa prinsip agar pengelolaan keuangan berjalan baik, (a)
Harus ada personal khusus yang menangani keuangan. (b) Personal
yang dipercayai menangani keuangan harus yang jujur dan cermat. (c)
Penggunaan uang harus transparan dan akuntable. (d) Mengikuti
ketentuaan aturan yang berlaku secara umum dan secara khusus.
Aksiologi, kegunaan dan manfaat adiministrasi bagi seorang
Pemimpin adalah: (1) seluruh program kerja akan terukur (2) seluruh
personalia atau pelaksana akan memahami keahlian dan tugasnya
masing-masing, (3) pengelolaan sumberdaya, sarana, dan dana untuk
kepentingan organisasi, lembaga atau institusi akan optimal.

Diskusikan soal-soal di bawah ini:


1. Jelaskan pengertian admnistrasi dipandang sebagai
ilmu.
90
2. Jelaskan pengertian admnistrasi dipandang sebagai
seni.
3. Jelaskan funsi administrasi bagi kepemimpinan.
4. Bagaimana kedudukan planning dalam
kepemimpinan.
Jelaskan pula fungsi-fungsi di bawah ini dalam
sebuah organisasi:
5. Staffing;
6. Pengarahan,
7. Pengkoordinasian,
8. Controlling,
9. Pelaporan, dan
10. Pembiayaan.

91
BAGIAN KESEBELAS
TIPOLOGI KEPEMIMPINAN NABI MUHAMMAD SAW

A. Sekilas Sejarah Muhammad sebagai Uswah


1. Silsilah Keluarga Nabi Muhammad Saw.
Keluarga Quraisy merupakan bagian (cabang) yang
termasyhur dari bangsa Ismailiyah. Ada seorang ketrunan nabi
Ismail yang sangat terpandang bernama Fihir. Nama lain dari
Fihir adalah Quraisy. Pada tahun 5 M. salah seorang anak cucu
Fihir bernama Kushay mempersatukan semua suku Quraisy,
menguasai Hijaz dan menjadi pengurus Ka’bah . Untuk
menunjang kelancaran pemerintahan, dia membangun suatu
gedung permusyawratan (Darun Nadwa) tempat para pemimpin
Quraisy bermusyawarah khususnya dalam urusan negara dan
pemerintahan. Menurut Ali, Kushay merupakan seorang
administrator yang cakap. Dia juga yang selalu menyediakan
makanan dan minuman dan akomodasi untuk keperluan para
jamaah haji selama musim haji.
Sepeninggal Kushay, anaknya Abdu Dar, menjadi
penguasa Hijaz, terutama Mekah. Namun setelah kematiannya,
terjadilah suatu persengketaan dalam pemerintahan Hijaz, antara
cucu-cucunya dengan anak saudaranya Abdul Manaf. Akhirnya
diputuskan, Abdu Syam anak Abdul Manaf bertugas mengatur
bidang perpajakan, sedangkan cucu-cucu Abdul Dar mengurusi
kemiliteran, yang kemudian pada suatu ketika Abu Syam
menyerahkan urusan pemerintahan kepada saudara mudanya
Hasyim yang dipandang cukup cakap untuk diberi tanggung
jawab tersebut. Hasyim terkenal sebagai seorang pemberani dan
seorang dermawan. Tetapi Umayah, salah seorang anak Abdu

92
Syam, iri hati terhadap kedudukan dan kekuasaan pamannya. Dia
menantang Hasyim dalam medan terbuka, tetapi dia terpaksa
mengakui kekalahan, dan sesuai keputusan hakim, dia dibuang
dari negeri itu selama 10 tahun.
Hasyim kakek yang agung Bani Muhammad, mengawini
seorang wanita Madinah dan memperoleh seorang anak bernama
Shahib. Sepeninggal Hasyim, saudaranya Muthalib membawa
Shahib ke Makkah. Masyarakat Mekah saat itu, bahwa Shahib
adalah budak Muthalib, oleh akrena itu mereka memanggil dia
“Shahib Abdul Muthalib” dan nama Abdul Muthalib inilah yang
kemudian dikenal dalam sejarah Islam.
Kedermawanan dan kebijaksanaan Abdul Muthalib
membuat dia memperoleh kedudukan yang kuat diantara orang
Quraisy yang mengakui kekuasaannya. Akan tetapi lagi-lagi, Harb
anak lelaki Umayah, menolak mengakui kekuasaannya. Akhirnya
keputusan para hakim untuk yang kedua kalinya mengalahkan dia
sebagaimana yang terjadi pada kasus ayahnya. Sejak itu muncul
kecemburuan sosial antara Bani Hasyim dan Bani Umayah dan
persaingan untuk memperoleh kekuasaan diantara kedua marga
itu, yang muncul pada periode atau generasi berikutnya, berasal
dari peristiwa tersebut.
Abdul Muthalib memiliki anak laki-laki dan perempuan.
Ketika dia sedang memerintah Hijaz, Abrahah, pemimpin Kristen
dari Yaman, menyerbu Makkah, pemimpin Kristen itu
mengendarai gajah, dan karena orang Arab (Makkah) sebelumnya
belum pernah melihat binatang semacam itu, tahun penyerbuan itu
terjadi pada tahu 570 M, dikenal dalam sejarah sebagai Tahun
Gajah. Pasukan Abrahah, sebagian dihancurkan oleh “wabah
penyakit, dan sebahagian lagi oleh angin topan ganas dan oleh

93
hujan air dan batu” (lihat isyarat QS. Al-Fiil). Sebelum peristiwa
itu terjadi, Abdul Muthalib membawa anak termudanya Abdullah,
ke rumah Wahab, ketua Bani Zohra, dan mengawinkannya dengan
putrinya bernama Aminah. Kebiasaan Arab perkawinan selalu
dilangsungka di rumah keluarga pengantin putri. Bersamaan
dengan perkawinan anaknya (Abdullah), Abdul Muthalib pun
melangsungkan perkawinan dengan Halla putri pamannya, dari
perkawinannya kemudian mempunyai anak yang diberi nama
Hamzah, paman Nabi. oleh karenanya antara Nabi Muhammad
dengan Hamzah hampir seusia (Muhammad Haikal, 1992 :44)
Abdullah bin Abdul Muthalib, menurut banyak sumber, hanya
beberapa hari tinggal bersama isterinya di rumah bapaknya dan
kemudian pindah bersama-sama ke keluarga Abd Muthalib.
Kemudian dia meninggalkan isterinya pergi ke Syiria untuk
urusan dagang. Dalam perjalanan pulang ia jatuh sakit di Madinah
dan meninggal dunia di sana. Abdullah meninggalkan harta
warisan, 5 ekor unta, segerombolan kambing, dan Umm Aiman,
seorang budak perempuan yang kemudian menjadi pengasuh
Nabi. Peninggalan sebanyak ini bukan baerarti suatu tanda
kekayaan; tetapi tidak juga merupakan suatu kemiskinan.
Disampiung itu umur Abdullah masih sangat muda tetapi beliau
sudah mampu bekerja keras dan berusaha mencapai kekeyaan.
Harta sedikit ini adalah harta warisan Muhaamad dari ayahnya.
Penjelasan lebih lanjut, Muhammad Haekal (1992: 46).
Sunnguh sangat sebentar Abdullah diberi waktu oleh Allah
untuk “berbulan madu” dan membina rumah tangga dengan isteri
tercintanya Aminah, ibunda manusia pilihan dan kekasih Allah,
Muhammad Saw.
2. Kelahiran dan Masa Kanak-kanak Nabi Muhammad Saw.

94
Ketika Abdullah meninggalkan Aminah untuk
keperluan dagang ke Syiria, ia dalam keadaan hamil, dan
kemnudian seperti wanita lain ia pun melahirkan. Seusai bersalin
dikirimnya berita kepada Abdul Muthalib di Ka’bah, bahwa ia
melahirkan seorang anak laki-laki. Alangkah gembiranya orang
tua itu setelah menerima berita kelahiran cucunya, sekaligus ia
teringat kembali kepada anaknya Abdullah. Cepat-cepat ia
menemui menantunya, diangkatnya bayi itu lalu dibawanya ke
Ka’bah. Ia diberi nama Muhammad oleh kakeknya dan Ahmad
oleh ibunya. Nama ini sebanarnya tidak umum bagi kalangan
orang Arab, tapi cukup dikenal.
Mengenai tahun kelahiran Muhammad, beberapa ahli
berlainan pendapat, namun sebahagian besar (mayoritas)
mengatakan pada bulan Rabiul hari ke dua belas, tahun Gajah
(570 M). Mengenai tahun ketika Muhammad dilahirkan, beberapa
ahli berbeda pendapat, sebagaian besar mengatakan pada tahun
Gajah, yakni mengingatkan pada peristiwa penyerangan Ka’bah
oleh tentara Abrahah sebagaimana ditulis Ibn Abbas. Namun ada
pula yang berpendapat kelahirannya itu 15 tahun sebelum
peristiwa gajah, sebagian lagi mengatakan beberapa hari atau
beberapa tahun sesudah peristiwa itu. Demikian pula mengenai
bulannya, selain bulan Rabiul Awal, ada mengatakan pada bulan
Muharram, kemudian ada yang mengatakan Safar, sebagian lagi
mengatakan bulan Rajab, sementara yang lainnya berpendapat
lahir pada bulan Ramadhan. Muhammad, dan Ahmad, kedua
nama ini terdapat dalam Alquran yang berarti terpuji. (K. Ali,
Studi Sejarah Islam, 1995. hal. 33-34)
Sesuai dengan adat kebiasaan Arabia, pemeliharaan dan
perawatan anak kecil dipercayakan kepada Halimah, seorang

95
wanita dari Bani Sa’ad. Muhammad mulai tumbuh asuhan
Halimah, selama 5 tahun berada di lingkungan Bani Sa’ad,
“dibentuk menurut model tuturan yang paling murni di antara
bahasa yang paling indah dari Jazirah Arab” (K. Ali, 1992).
Pada usia 6 tahun, Muhammad dikembalikan ke pangkuan
ibunya. Ibu yang mulia itu bermaksud memperkenalkan anak laki-
lakinya kepada kelurga bapaknya dari pihak ibu. Bersama
budaknya, mereka menuju Madinah. Ketika sampai di Madinah,
mereka bertiga mampir ke rumuah di mana suaminya meninggal
dunia dan dikubur. Tetapi dalam perjalann pulang ke Mekah,
sesampai mereka di tempat yang bernama Abwa, Aminah jatuh
sakit dan meninggal dunia. Setelah dikubur, anak yatim piatu itu
dibawa serta ke Makkah oleh Umm Aiman yang menjadi
pengasuh setia anak itu. Kemudian Abdul Muthalib
memeliharanya selama 2 tahun, dengan demikian, pada usia muda
belia calon Nabi itu sudah kehilangan kedua orang tuanya dan
kakek tercintanya.
Pasca Abdul Muthalib, pemeliharaan anak yatim itu
diteruskan pamannya Abu Thalib. Kecintaannya terhadap
Muhammad begitu besar, sehingga tidur pun sering bersamanya,
makan di sampingnya, dan bahkan sering pula bepergian ke luar
negeri sekalipun sering bersmanya. Perlakuan yang sangat lembut
ini berlangsung hingga ia dewasa. Karena pamannya ini, termasuk
orang yang kurang mampu, Muhammad bekerja untuk
meringankan pamannya.
Sejak masa kanak-kanak shahibuddakwah ini,
perasaannya sangat peka terhadap penderitaan orang miskin dan
tertindas. Dia sering berkhlawat (meditasi) dan menyendiri. Dia
dihormati dan dicintai bangsanya karena keramah-tamahan dan

96
budi pekertinya yang halus. Keteguhannya terhadap kebenaran,
kejujuran yang seksama, keyakinannya yang teguh, dan sangat
tanggung jawab terhadap kewajibannya yang sangat kuat,
menyebabkan dia memperoleh gelar Al-Amin, artinya Terpercaya,
(sebagai syarat mutlak yang harus dimiliki seorang pemimpin).
Disekitar usia 12 tahun Muhammad menemani pamannya
berdagang ke Siria (Syam). Di sana ia bertemu dengan pendeta
(rahib) Nasrani bernama Bahira yang melihat tanda-tanda
kenabian padanya sesuai dengan petunjuk cerita-cerita Kristen,
bahwa Muhammad akan menjadi nabi terakhir.
Sebagian sumber menceritakan bahwa rahib Bahira itu
mmenasihatkan keluarganya supaya jangan terlampau dalam
memasuki daerah Syam, sebab dikuatirkan orang-orang Yahudi
yang mengetahui tanda-tanda itu akan berbuat jahat terhadap dia.
Lihat Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, 1992:56. Bandingkan
pula dengan Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 1996: 16.
Muhammad kecil sering mengembalakan kambing dan
unta di bukit dan lembah yang tidak jauh dari Makkah (K. Ali,
1995 :36) Selama masa ini, Perang Al-Fijar terjadi di Pekan Raya
Ukaz yang dalam perang itu semua suku Arab terlibat. Termasuk
bangsa Hasyimiyah (leluhur Nabi) dari Arabia juga terlibat dalam
perang tersebut.
Dalam satu riwayat diceritakan, Muhammad membantu
pamannya, meskipun dia tidak tidak secara langsung mengambil
bagian dalam perang itu. Peranannya dalam perang itu adalah
mengumpulkan anak panah yang dilempar musuh. Dan
menyerahkannya kepada pamannya, Abu Thalib. Ia mengikuti
perangf itu sebagai pengamat. Ketika dia mengetahui bahwa
beribu-ribu jiwa akan binasa karena perang yang menghancurkan

97
itu, ia lalu membentuk suatu komite perdamaian yang diberi nama
Hulful Fuzul.
3. Nabi Menikah dengan Khadijah.
Pada usia yang kedua puluh lima, kemasyhuran
Muhammad telah menyebar luas ke seluruh pelosok Arabia.
Khadijah, setelah mendengar kabar tentang ketulusan hati dan
kejujuran Muhammad, mengundang beliau ke rumahnya dan
menawarkan pekerjaan untuk mengurus dangangannya.
Muhammad dengan persetujuan pamannya berangkat ke Syria
untuk menjual barang dagangan Khadijah. Turut pula dalam irng-
iringan karavan (kafilah) dagang itu Maysarah, budak Khadijah.
Masyarah pun mulai mengenal dan mengagumi Nabi. Pria ini
tidak seperti orang-orang lain yang selama ini dikenalnya. Ada
dua peristiwa dalam oerjalanan itu yang menjadi teki-teki bagi
Maysarah, kini menjadi bagian dari sejarah, yang dicertitakan oleh
jutaan muslim.
Peristiwa pertama; terjadi saat irng-iringan kafilah
dagang berhenti untuk istirahat dekat rumah terpencil, kediaman
seorang pendeta Kristen bernama Bahira. Nabi beristirahat di
bawah pohon sementara Maysarah sibuk mengerjakan beberpa
tugas. Pendeta itu mendatangi Masyarah dan bertanya, ‘Siapa
lelaki di bawah pohon itu?’ Seorang anggota suku Quraisy,
penjaga Ka’bah, jawab Masyarah. Pendeta itu menggelengkan
kepala dan berkata, ‘Tidak ada kecuali seorang nabi yang duduk
di bawah pohon itu.
Peristiwa kedua; terjadi pada perjalanan pulang. Saat
mereka mengarungi padang pasir, Masyarah yang menunggang
unta di belakang unta Nabi merasakan panas terik siang hari.
Ketika matahari berada dipuncak panasnya, ia melihat dua

98
malaikat di atas Nabi, melindungi Nabi dari sinar matahari yang
menyengat. Dua setibanya di Makkah Maysarah menceritakan
kepada Khadijah segala sesuatu yang terjadi sepanjang perjalanan,
termasuk pengamatannya mengenai sifat dan perilaku Nabi.
Sejak pertemuan pertama, Khadijah sudah
memperhatikannya (tertanam rasa cinta), sehingga siang dan
malam, dia selalu menunggu kedatangannya. Dalam
perdagangannya di Syiria, Muhammad, memperoleh keuntungan
besar karena kejujuran dan kecerdikannya menjual barang
dagangannya sehingga menambah keuntungan bagi Khadijah.
Khadijah, sangat terpesona dan terkesan dengan kepribadian agen
dagangnya itu. Janda mulia sekarang sudah berusia 40 tahun. Ia
telah dua kali kawin dan melahirkan dua orang anak, seorang laki-
laki dan seorang perempuan. Setelah sekian lama hatinya
membeku, kini mencair setelah kedatangan Muhammad, dan
akhirnya ia mengambil keputusan yang pasti.
Sebagai wanita kaya dan menarik, telah banyak diantara
orang Quraisy yang melamarnya, tetapi ia selalu menolaknya.
Tetapi sejak pertemuannya dengan Nabi, ia sangat tertarik. Ia
kemudian mengirim seorang kawan untuk menanyakan kepada
Nabi mengapa belum menikah. Jawabannya adalah bahwa Nabi
tidak memiliki cukup uang untuk mendukung kehidupan
berkeluarga. Kawan Khadijah kemudian bertanya; Bagaimana bila
seorang wanita kaya, cantik, dan terhormat bersedia menikah
denganmu? Yakni Khadijah. Nabi bersama pamannya Abu Thalib
dan Hamzah, menemuai paman Khadijah dan meminta izin untuk
menikahi wanita itu. Sang paaman setuju, maka Nabi dan
Khadijah pun menikah. Lihat lebih lanjut lihat (Akbar S. Ahmed,
Living Islam, 1997).

99
Dia memutuskan untuk kawin dengan Muhammad dan
perkawinannya dilakukan dengan persetujuan paman beliau (Abu
Thalib). Saat itu Muhammad berumur 25 tahun. Ini merupakan
perkawinan yang membahagiakan dan menguntungkan. Khadijah
sangat menghargai kecerdasan Muhammad yang mengagumkan
dan kepribadiannya yang menawan. Dia mengizinkan beliau
menghabiskan masa-masa senggangnya tanpa terganggu dan
tanpa mengalami kesusahan. Di saat-saat Muhammad menemui
kesedihan dan keksusahan, dia bisa membuktikan dirinya sebagai
pelipur lara bagi beliau dan tidak pernah gagal.
Berkenaan dengan kesetian Khadijah, “Muhammad pernah
bersabda, bahwa pada waktu tidak ada seorangpun yang percaya
kepada Kerasulannya, Khadijah lah yang pertama
mempercayainya, pada waktu bel;iau tidak punya shahabat, dia
lah yang pertama menjadi sahabatnya, ketika beliau tidak berdaya,
dia lah yang membantu menolongnya” Sabda Nabi ini
menguatkan pendapat bahwa Khadijah adalah orang sekaligus
wanita pertama yang masuk Islam, dan sangat banyak membantu
Nabi dalam perjuangan dakwah Rasul.
Ketika Muhammad berusia 50 tahun, Khadijah
rahmatullah meninggalkan Nabi untuk selama-lamanya. Dengan
kepergiannya, Nabi kehilangan sahabat setia dan pemandu yang
tulus. Dari perkawinanya beliau dikaruniai 6 anak 2 putera dan 4
puteri. Putra-putri Nabi adalah, Qasim, Abdullah, Zainab,
Ruqayah, Ummu Kulsum, dan Fatimah. Kedua anak laki-lakinya
meninggal dunia ketika masih kecil. Tetapi putri-putri Nabi,
semuanya berumur panjang dan memainkan peran penting dalam
sejarah dakwah Islam. Lihat, Akbar. S. Ahmed, Living Islam.
1997, hal. 37

100
Tetapi mereka meninggal pada usia muda, kecuali anak-
anak perempuan, dan hanya putri yang paling mudalah (bungsu)
yakni Fatimah, isteri Ali bin Abi Thalib, yang dapat menyaksikan
peristiwa-peristiwa besar dalam kehidupan ayahnya sampai ia
pulang ke hadirat Allah.
Peristiwa penting yang memperlihatkan kebijakasanaan
Muhammad sebagai shahibuddakwah terjadi pada usia 35 tahun.
Waktu itu bangunan Ka’bah rusak berat. Perbaikan Ka’bah
dilakukan secara gotong royong. Para penduduk Makkah
membantu pekerjaan itu secara suka rela. Tetapi pada saat
terakhir, ketika pekerjaan tinggal mengangkat dan meletakkan
hajar aswad (batu hitam) di tempatnya semula timbul perselisihan.
Semua suku merasa berhak melakukan tugas akhir dan terhormat
itu. Perselisihan semakin memuncak, namun akhirnya para
pemimpin Quraisy sepakat bahwa orang yang pertama masuk ke
Ka’bah melalui pintu Safa, akan dijadikan hakim untuk
memutuskan perkara ini. Ternyata orang yang masuk pertama itu
adalah Muhammad. Ia pun dipercaya menjadi hakim. Ia
kemuadian membentangkan sehelai kain dan meletakkan hajar
aswada di tengah-tengah, lalu meminta seluruh kepala suku
memegang tepi kain itu dmengangkatnya bersama-sama. Setelah
sampai pada ketinggian tertentu, Muhammad kemudian meletakan
batu itu pada tempat semula. Dengan demikian perselisihan dapat
diselesaikan dengan bijaksana, dan semua kepala suku merasa
puas dengan cara penyelesaian seperti itu ( Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, 1996, hal. 18)
Setelah perkawinannya dengan Khadijah, Muhammad
sering pergi ke sebuah gua di Gunung Hira yang jaraknya tidak
jauh dari Mekkah, selama satu bulan dalam setahun, beliau berada

101
di sana untuk berkhalwat. Pada suatu malam ketika beliau sedang
berbaring di dalam gua, dengan berselimutkan mantel Arabnya,
terdengar suara, kemudian menyruh beliau membaca. Beliau
menggigil karena ketakutan dan berkata bahwa beliau tidak bisa
membaca (apa yang harus dibaca). Ketika untuk ketiga kalinya
suara itu memerintahkan untuk membaca, beliau membaca dengan
nama Allah dan seterusnya ia membaca 5 ayat yang terdapat
dalam surat Al-Alaq, sebagai wahyu pertama sekaligus
pengangkatan Muhammad Saw sebagai Nabi Allah. Kejadian
penting itu terjadi pada bulan Ramadlan.
Berdasar pada fakta itulah, para ahli sejarah dan para
intelektual muslim (ulama) bersepakat bahwa Alquran sebagai
wahyu dan sekaligus menjadi pedoman serta pemandu para da’i
Allah mula pertama turun. Kemudian dikenal dengan peristiwa
Nuzul Al Qur’an al-Kariem. Adapun hari dan tanggal Nuzulnya
Alquran, diantara para ahli masih bersilang pendapat. Namun
demikian, menurut kebanyakan diantara mereka (jumhur) ulama,
Alquran diturunkan untuk pertama kalinya pada tanggal 17
Ramadhan. Maka mayoritas kaum muslimin di dunia,
memperingatinya pada tanggal dan bulan itu.

B. Kondisi Masyarakat Arab Pra Dakwah Islam


1. Daratan Arabia
Arabia, tempat lahirnya agama Islam, merupakan sebuah
jazirah luas yang terletak di barat daya Asia. Jazirah ini
merupakan jazirah paling luas dan salah satu negeri paling
gersang di dunia. Luas wilayahnya 120.000 mil persegi, tetapi
penduduknya sedikit, hanya sekitar 7 jiwa untuk setiap mil
pergegi. Arabia menduduki posisi unik dalam peta dunia, yaitu

102
pada tempat bertemunya tiga benua yakni Asia, Erofa dan Afrika.
Karena itu, Arabia menduduki posisi sentral dari dunia, ketika
benua Amerika dan Australia belum ditemukan.
Di sebelah utara, dibatasi oleh Padang Pasir Siria, sebelah
selatan oleh lautan Hindia, sebelah timur oleh Teluk Persia, dan
sebelah barat oleh Laut Merah. “Karena dikelilingi air di ketiga
sisinya, maka bangsa Arab menyebutnya Jaziratul Arab, Pulau
Arabia” Jazirah dalam bahasa Arab berarti pulau, jadi Jazirah
Arab berarti Pulau Arab. Oleh bangsa Arab tanah air mereka
disebut jazirah, kendatipun hanya dari tiga jurusan saja yang
dibatasi laut. Yang demikian itu hanya majazi (tidak sebenarnya)
Sebahagian ahli sejarah menamai tanah Arab itu “Shibhul jazirah”
yang dalam bahasa Indonesia berarti “semenanjung”. Lihat
Ahmad Salabi,, Sejarah dan kebudayaan Islam, jilid I, 1994.
Bandingkan, K. Ali, Studi Sejarah Islam, 1996, hal. 17.
Bandingkan pula dengan, Badri Yatim, Sejarah Perdaban Islam,
1996, hal. 22)
Wilayah Arabia yang sangat luas itu terbagi dalam beberpa
provinsi. Hijaz, Nejed, Yaman, Hadramaut dan Oman, merupakan
provinsi-provinsi yang sangat penting dalan sejarah dakwah
Islam. Mekkah, Madinah dan Thaif adalah tiga kota utama yang
ada di wilayah provinsi Hijaz. Jazirah Arab Utara merupakan
daratan tandus yang sangat luas. Kira-kira sepertiga dari luas
negeri itu merupakan padang pasir. Bagian terbesar dari wilayah
padang pasir ini dikenal sebagai “ad-Dahna”yang terletak di
tengah-tengah wilayah Jazirah Arab Selatan. Bagaian selatan,
terdiri atas Yaman, Hadratulmaut, dan Oman, berpenduduk
sanagat sedikit, terkenal perdagangan dan pertanaiannya.

103
Wialayah ini merupakan paling subur diantara seluruh Jazirah
Arabia.
Iklim Arabia sangat panas, kcuali di beberapa kota pantai
dan lembah berair. Masyarakat Arabia, pada umumnya sangat
keras dan berbadan kuat karena pengaruh iklim yang khas itu.
Meskipun Arabia dikelilingi air dari semua sisinya, kecuali bagian
utara, secara praktis tidak terdapat sungai . Kalupun ada sungai
tidak bisa dilayari. Sungai-sungai kecil yang terdapat di Arabia
membuat pantai-pantai Arabia menjadi subur. Curah hujan sangat
sedikit, tetapi di tempat yang terdpat air, tanahnya sangat subur
dan dapat ditanami kopi, nila, kurma, sayur dan buah-buahan
lainnya. Bagi penduduk Arabia, pohon kurma merupakan ratu dari
segala macam pohon. Ia merupakan teman bagi orang miskin dan
kaya; tanpa kurma kehidupan di padang pasir akan sangat sulit.
keterngan lebih lanjut, lihat KBagi penduduk Arabia, pohon
kurma merupakan ratu dari segala macam pohon. Ia merupakan
teman bagi orang miskin dan kaya; tanpa kurma kehidupan di
padang pasir akan sangat sulit,(K. Ali, 1992: 27)

Yaman adalah daerah yang paling subur di Jazirah Arab.


Gandum dan kopi sangat melimpah di wilayah ini. Pertanian juga
dimungkinkan karena adanya curah hujan yang banyak (normal).
Beberapa daerah di wilayah Oman menghasilkan padi-padian dan
beras. Hadralmaut dan Mahra menghasilkan kayu damar yang
paling berharga dan menduduki tempat khusus dalam
perdagangan yang utama di Arabia.
Unta, kuda, biri-biri dan kambing merupakan binatang
ternak Arabia yang utama. Tetapi unta adalah binatang yang
paling banyak manfaatnya, selain untuk alat transpotasi, juga

104
menjadi alat tukar yang uatama. Pemberian mahar, harga denda,
keuntungan perjudian, kekayaan seseorang, semuanya diukur
dengan unta. Sedangkan Kuda adalah binatang lux, memiliki kuda
berarti hidup mewah, karena makanan dan pemeliharaannya yang
memerlukan baiaya yang tidak sedikit. Sebenarnya bagi orang-
orang Arab, kuda termasuk jenis binatang baru, yang didatangkan
ke negeri ini diperkirakan pada awal abad Masehi, tetapi literatur
Arab membuatnya termasyhur dan keadaan negeri ini memberikan
kemungkinan yang baik untuk menjaga keturunan yang murni,
tidak tercampur oleh jenis-jenis kuda lain. Tidak mengheran jika
kuda Arab itu terkenal keindahan fisiknya, tenaganya,
kecerdikannya, dan kadang-kadang juga kesetiannya yang sangat
mengharukan. Dengan keadaan demikian, pemeliharaan kuda di
Arab menjadi sampel pemeliharaan kuda di Barat.
Karena kuda bisa bergerak cepat dari tempat satu ke
tempat lain, yang sangat diperlukan bagi masyarakat yang
kegemarannya berburu, menyerang orang-orang Badui, selain
juga untuk olahraga. Dalam satu cerita disebutkan saking
sayangnya orang Arab terhadap bintang ini, jika sedang terjadi
kekurangan air, yang diutamakan adalah untuk minum kuda,
walaupun anaknya menjerit kehausan. Lihat, Toha Yahya Omar,
Ilmu Dakwah. 1967. Menurut, K. Ali, kuda Arab adalah kuda
terbaik di dunia. Begitu pentingnya unta bagi bangsa Arab, Umar
pernah berkata, “Bangsa Arab menjadi makmur hanya bila unta
makmur”. Binatang ini memainkan peran penting dalam
penaklukan pertama umat Islam .
2. Masyarakat Arab Pra Islam.
Masyarakat Jazirah Arab terbagai kepada dua kelompok
besar, yakni penduduk kota dan penduduk pedalaman (padang

105
pasir) yang juga sering disebut Badui. Penduduk kota bertempat
tinggal di satu tempat dan mereka mengetahui begaimana
menggarap tanah dan bercocok tanam. Mereka melakukan
transaksi dagang dalam negeri bigitu pula luar negeri. Mereka
lebih ‘beradab’ dibanding orang-orang badui yang tidak menyukai
gagasan hidup menetap.
Sedangkan orang Badui berpindah-pindah dari satu tempat
ke tempat lain sambil membawa semua harta kekayaannya. Di
tengah perjalanan, mereka kadang-kadang berhenti dan
mendirikan tenda. Mereka memiliki citra dan cara kehidupan yang
berbeda, memelihara kambing, biri-biri, unta, berternak kuda,
berburu dan merampok adalah pekerjaan yang berguna bagi
seseorang.
Orang Badui tidak tertarik kepada pertanian, perdagangan
dan pertukangan sebagaimana banyak dilakukan penduduk kota.
Saling menyerang, merampok, dan merampas merupakan ciri
utama dalam sistem kehidupan masyarakat Badui. Mereka tidak
suka lama-lama tinggal tenang di satu tempat. Jika tidak
menemukan musuh, mereka mencari jalan dengan cara menyerang
bangsanya sendiri.
Berkaitan dengan hal ini, seorang penyair Arab berkata :”
Urusan kita adalah melakukan penyerbuan terhadap musuh,
tetangga, dan terhadap saudara kita sendiri, seandainya kita tidak
menemuka nsiapa-siapa untuk diserbu kecuali seorang sauadara”.
Selain itu orang Badui memiliki kecintaan khusus terhadap sanak
sauadara mereka. Bila seorang anggota dari suatu suku melakukan
kesalahan terhadap suku lain, seluruh suku tidak hanya membantu
perbuatannya, tetapi juga membagi tanggung jawab dengan si
pelaku. Dalam hal ini seorang penyair mengatakan, “Kami tidak

106
menanyakan alasan dan penjelasan (bagi suatu kejahatan) kepada
sauadara kami bila dia memerlukan bantuan”.
Patriotisme orang-orang Badui tidak bersifat nasional atau
teritorial, tetapi benar-benar bersifat kesukuan. Oleh karenanya
sukuisme merupakan karakteristik utama kehidupan sosial
mereka. Tiada satu suku pun yang dapat memperoleh loyalitas
dari seorang anggota bila dia gagal melindungi anggota itu.
“Setialah kepada suku”, kata seorang penyair, tuntutannya kepada
para anggotanya cukup kuat untuk membuat seorang suami
menceraikan isterinya”. “Sistem suku ini merupakan sumber
peperangan yang terus menerus antara bangsa Arab pada masa
sebelum Islam”. (Yahya Omar, 1996:37)
Sampai masa kontemporer, tidak seorang pun bisa
menolak realitas, bahwa segi fisik bangsa Arab mempunyai
pengaruh penting terhadap pemikiran masyarakatnya. Di satu
pihak tanah padang pasir menyelamatkan bangsa Arab dari
penyerbuan bangsa asing, di pihak lain, hal itu membuat mereka
menjadi suatu bangsa pedagang (bepergian). Jazirah Arab karena
merupakan padang pasir yang gersang, tidak menarik bagi orang-
orang luar. Karena itulah menurut Philip K. Hitti, bangsa Arab
terhindar dari kekuasaan (penjajahan) asing selama berabad-abad.
Dengan keadaan tanahnya yang demikian, bangsa Arab
harus berjuang keras untuk menyambung hidupnya, mereka
berjuang terus dengan padang pasir, mereka menjadi tekun dan
rajin. Kehidupan mereka yang bebas di padang pasir, juga telah
membantu perkembangan dalam diri mereka semangat kebebasan
dan semangat individualisme. Kecintaan akan kebebasan ini
membuat mereka tidak pernah menerima kekuasaan orang asing.

107
Para sejarawan Eropa sangat kagum terhadap kecintaan
bangsa Arab ini, Strabo, salah seorang sejarawan Eropa,
sebagaimana dikutif K. Ali (1996), mengatakan bahwa “Bangsa
Arab adalah satu-satunya bangsa yang tidak mengirimkan duta
mereka kepada Alexander, yang telah merencanakan membuat
Jazirah Arab, menjadi pusat kerjaannya”. Karena memiliki sifat
ini, bangsa Arab, setelah mereka masuk Islam, sebagai hasil
proses dakwah bangsanya sendiri, mampu menciptakan kerajaan
yang sangat luas dan mampu menciptakan peradaban dalam
sejarah dunia.

3. Kehidupan Sosial Masyarakat Arab ketika permulaan


Dakwah Islam.
Masa sebelum munculnya dakwah Islam terkenal dengan
masa (zaman) Jahiliyah atau masa “kobodohan”. Masa itu disebut
demikian, karena kondisi politik, sosial, dan agama masyarakat
Arab sangat buruk. Bangsa Arab sebelum munculnya Islam, tidak
memiliki Nabi yang membimbing mereka, kitab yang
diwahyukan, ideologi keagamaan yang jelas, dan pemikiran bagi
sistem pemerintahan, serta pemikiran tentang kehidupan moral
dan keturunan. “Kehidupan agama, juga kehidupan politik mereka
berada pada tingkat yang benar-benar primitif”.
Agar lebih mudah memahami kehidupan sosial masyarakat
Arab sebelum berlangsungnya dakwah Islam, bisa dikatagorisasi
sebagai berikut:
3.1 Bidang Politik.
Selama zaman Jahiliyah, seluruh Jazirah Arab, kecuali
beberap bagian tertentu di wilayah utara yang berada di bawah
kekuasaan Kerajaan Persia dan Romawi, menikmati kemerdekaan

108
yang sempurna. Bangsa Arab terbagi dalam banyak suku bangsa.
Masing-masing suku mempunyai seorang ketua (pemimpin) yang
pada umumnya dikenal dengan nama Syekh yang kepadanya
mereka memberikan sumpah setia. Mereka yang masuk ke dalam
suku bangsa yang sama, mempunyai hubungan persahabatan yang
baik. Sedangkan hubungan antara anggota suku yang satu dengan
anggota suku yang lain sangat buruk.
Bangsa Arab tidak merasa ragu untuk pergi ke suatu
tempat yang sangat jauh, bahkan mereka bersdia mengorbankan
jiwa-raga mereka demi kehormatan dan martabat suku mereka.
Karena tidak ada pemerintahan yang terpusatkan (de-sentralisasi),
suku-suku bangsa ini selalu berada dalam kondisi pertentangan,
sekalipun alasan yang sangat kecil, dan perang diantara suku-suku
yang bersengketa itu kadang-kadang berlangsung terus selama
bertahun-tahun. “Perang Basus”, misalnya, yang bermuala dari
pemukulan sapi betina, terjadi antara Bani Bakar dan Bani Taglib,
berlangsungf selama empat puluh tahun. Perang Dahis dan Ghabra
(nama kuda) terjadi antara suku bangsa Abes dan saudaranya suku
bangsa Dhubyan, karena masalah pacuan kuda, berlangsung
selama beberapa dekade. Masih contoh lain, yang
menggambarkan betapa rapuhnya sistem sosial bangsa Arab pra
dakwah. Hal ini sangat berkaitan dengan tingkat kemapanan
berpikir (intelektualitas) mereka yang masih sangat terbatas,
sebagai makna lain dari jahiliyah.
Serbuan-serbuan suku dan perang antar suku seperti itu
merupakan pemandangan sehari-hari.
Tidak ada hukum yang sistematis di negeri luas itu. Yang
kuat adalah yang benar, merupakan hukum penduduk negeri itu.
Demikian pula dalam masalah politik, Arabia, pada saat lahirnya

109
dakwah Rasul Saw. berada dalam keadaan terkoyak-koyak oleh
berbagai permusuhan antar-suku bangsa, oleh tipu daya negara
tetangga dan nafsu serakah dari para penjajah Yahudi Uraian lebih
lengkap, lihat beberapa buku-buku tentang studi Sejarah (tarekh)
Islam, misalnya karya; Philip K. Hitti, History of Arabs. R.A
Nicholson, A. Literary History of the Arabs. K. Ali, A. Study of
Islamic History, Ahmad Salaby, Sejarah Kebudayaan Islam,
Badri Yatim, Sejarah Peraadaban Islam, dan Living Islam, karya
Akbar S. Ahmed, seorang Antropolog dan Pakar Media Massa
Muslim.

3.2 Ekonomi.
Jazirah Arab sebagaimana dijelaskan di muka adalah
merupakan negeri yang sanagat gersang, dan tidak mempunyai
hasil pertanian dan pertambangan yang memadai. Karena itu
masyarakat Arab pada waktu itu pada umumnya secara ekonomi
sangat menyedihkan. Mereka mencari nafkah dengan memelihara
ternak. Orang yang berstatus ekonomi lebih tinggi, seperti Abu
Bakar dan Ustman, menjalankan perniagaan di dalam negeri dan
di luar negeri. Secara ekonomi keadaan mereka lebih baik
(mapan), tetapi jumlah seperti mereka sanagat sedikit. Praktek
meminjamkan uang yang didasarkan pada sistem riba sedang
digemari orang Yahudi yang memperlakukan para peminjam
dengan sangat kejam.

3.3 Kebudayaan.
Meskipun pada masa itu belum ada sistem pendidikan
seperti zaman modern, bukan berarti bangsa Arab tidak memiliki
kebudayaana sama sekali. Salah satunya mereka sanagat terkenal

110
karena bahasa dan syairnya. Bahasa bangsa Arab, pra dakwah
Islam sudah kaya, sehingga dapat dibandingkan dengan bahasa
Eropa modern yang sudah berkembang. Kesempurnaan bahasa
Arab merupakan sumbangan paling besar zaman Jahiliyah, bagi
kemunculan dan berkembangnya Islam, “Kemenangan dakwah
Islam sampai saat tertentu merupakan kemenangan suatu bahasa,
lebih-lebih bagi suatu kitab”. Demikian menurut Philip K. Hitti,
dalam bukunya, History of the Arabs. Pencapaian budaya yang
lain dari orang-rang Arab yang paganism (musyrik) adalah
syairnya. Syair pada masa itu pengaruhnya bersifat nasional,
walaupun semangatnya tidak demikian. Tema-tema syair tidak
mencerminkan sifat kebangsaan Arab, tetapi lebih bersifat
kesukuan Arab.
Dalam nyanyian dan syair atau sajak, penyair masa
Jahiliyah berbicara tentang suku bangsa, perang, prestasi,
keberanian para pahlawan suku mereka dan, terutama tentang
wanita cantik dan percintaan. “Pada masa sajak, bagi sebagian
orang sudah berbudaya, bukan barang mewah, tetapi hanya
merupakan alat pengungkapan sastra. ( Philip K. Hitti, 1986:123)
Ghalan Ibn Salamah, dari suku bangsa Tsaqif, satu minggu satu
kali menyelenggarakan suatu pertemuan sastra, di mana banyak
banyak sajak atau syair dibaca dan dibicarakan. Sajak-sajak Arab
sebelum datangnya dakwah Islam merupakan salah satu sumber
penting bagi studi sejarah masa kini. Sajak-sajak itu, menerangkan
semua aspek Arabia sebelum Islam. Imraul Qais, Tarafa bin al-
Abad, Harits bin Haritsah, Antara bin Syadad al-Absi dan Amar
bin Kultsum, merupakan sebagian dari penyair penting pada masa
Arab sebelum Islam.
3.4 Agama.

111
Kecuali orang Yahudi dan Nasrani, bangsa Arab adalah
penyembah berhala (paganism). Tetapi agama Yahudi dan
Nasrani pada masa itu, berada dalam keadaan hampir “mati”.
Kedua agama itu tidak dapat memberikan kesejahteraan lahir dan
bathin kepada bangsa Arab secara keseluruhan. Bangsa Arab
adalah penyembah berhala, bentuk dan figur berhala itu
disesuaikan dengan khayalan para penyembah berhala. Mereka
menyembah matahari, bulan, bintang dan angin. Mereka telah
menjadi sedemikian rendah dalam masalah kepercayaan dan
agama, sehingga batu, pohon dan tumpukan pasir, sekalipun,
mereka sembah.
Bangsa Arab saat itu, tidak percaya kepada ke-Esaan
Allah, pembalasan bagi kejahatan dan hari kebangkitan atau hari
akhirat. Hanya sekelompok kecil orang Yatsrib (Madinah) yang
percaya kepada monoteisme, itu pun secara samar-samar. Setiap
kota memiliki tuhannya sendiri. Al-Uzza. Latt, manat dan Hubbal
dipandang mempunyai nilai yang tinggi oleh bangsa Arab.
Seorang bangsa Arab dipandang tidak terhormat jika menyembah
tuhan orang lain. Terdapat banyak kuil, bagi para dewa di Arabia.
Ka’bah, dianggap kuil yang paling suci, tidak kurang 360 berhala
ditempatkan di sana untuk disembah. Setiap tahun banyak orang
dari berbagai tempat di negeri itu datang ke Ka’bah untuk
menyembah tuhan-tuhan mereka. Selama masa itu, suatu pekan
raya diselenggarakan di Arabia, dan pekan raya itu desebut
“Pekan Raya Ukaz.”

3.5 Sosial dan Moral.


Pada masa kegelapan, bangsa Arab memiliki keberanian,
keuletan yang tinggi, daya ingat yang kuat, perasaan harga diri

112
yang besar, perasaan bebas, kecintaan, kesetiaan kepada suku dan
pemimpin suku, kesederhanaan, kedermawanan, keramah-
tamahan, dan tidak kurang penting mereka mempunyai kecakapan
khusus untuk bersyair. Tetapi semua sifat baik ini terkalahkan
oleh sifat buruk mereka. Selama masa Jahiliyah ini, cakrawala
Arabia diselimuti awan ketikadilan, kejahatan dan ketakhayulan.
Kedudukan kaum wanita pada waktu itu lebih jelek
dibanding kedudukan wanita di negeri lain dalam sejarah yang
sezaman. Bangsa Arab sebelum datangnya dakwah Islam
menganggap wanita sebagai barang bergerak dan memandang
mereka dengan pandangan yang jijik. Kaum wanita tidak
mempunyai hak dan respek sosial. Seorang laki-laki dapat
mengawini sebanyak mungkin wanita; bila dia suka, dan dapat
menceraikan mereka sebanyak yang ia inginkan.
Apabila seorang suami mendengar bahwa istrinya
melahirkan seorang bayi perempuan, roman mukanya menjadi
pucat pasi karena perasaan sedih dan marah. Kadang-kadang si
ayah mengubur bayi itu hidup-hidup meskipun bayi itu menangis
dengan sangat memilukan. Banyak ayah membunuh anak
wanitanya karena takut miskin , seperti dinyatakan dalam Alquran
sebagai berikut: “Dan janganlah membunuh anak-anakmu karena
takut miskin. Kami memberi mereka rezeki dan kamu juga,
sesungguhnya membunuh mereka adalah dosa besar”
Poligami dan poliandri umum terjadi di antara bangsa
Arab. Di samping poligami, “seorang laiki-laki dapat melakukan
hubungan tidak sah dengan sejumlah kekasihnya. Wanita yang
telah bersuami diizinkan oleh suaminya untuk melakukan
hubungan badan dengan laki-laki lain agar memperoleh keturunan
(K. Ali, 1993:25).

113
Para gadis genit yang memiliki watak jelak sering pergi
keluyuran ke luar kota di mana mereka mengajak kaum laki-laki
melakukan perzinahan. Ibu tiri dikawinkan dengan anak tirinya,
dan kadang-kadang perempuan biasa dikawinkan dengan saudara
kandungnya sendiri. Kaum wanita tidak berhak memperoleh
bagian harta dari peninggalan suaminya, bapaknya dan kerabatnya
yang lain. Kehidupan kaum wanita yang sangat menyedihkan dan
menjijikan seperti itu sangat menonjol pada masa sebelum
datangnya dakwah Nabi Muhammad Saw. yang kemudian
mengangkat mereka dari lumpur kehinaan dan kehidupan yang
terhormat dan bermartabat.
Perbuatan sedang digemari bangsa Arab pada masa itu.
Mereka memperlakukan para budak dengan sangat tidak
manusiawi, mereka diperlakukan dengan sewenang-wenang.
Perkawinan di antara para budak dianggap tidak sah, dan
perkawinan bebas dilarang dengan ancaman hukuman yang
mengerikan.
Masyarakat Arab terjerumus ke dalam jurang kejahatan,
ketahayulan dan barbarisme. Bangsa Arab begitu terbiasa dengan
ketahayulan, sehingga mereka tidak akan melakukan pekerjaan
apa pun seblum berkonsultasi dengan sembahan mereka dengan
bantuan ramalan (mengundi) dengan menggunakan anak panah.
Korban manusia di altar kuil sering dilakukan.
Kepincangan sosial, penganiayaan, mabuk, perjudian, perampasan
dan berbagai kejahatan lainnya sedang merajalela di waktu itu di
antara merka sendiri. Kondisi lahir batin Arabia khususnya, dan
dunia pada umumnya ketika, begitu menyedihkan dan sangat
tercela, sehingga perlu campur tangan Tuhan untuk
mengatasinya. Keadaan yang berlangsung pada masa sebelum

114
lahirnya Yesus Kristus (Isa), hampir tujuh abad sebelum lahirnya
agama Islam (pada masa Jahiliyah), berlangsung dengan kekuatan
dan kehebatan yang lebih besar lagi. Karena itulah Nabi
Muhammad Saw. dimunculkan di tanah Arabia, karena kondisi
semua negeri di seluruh dunia, baik di bidang politik, agama,
maupun sosial dalam keadaan paling menyedihkan.
Seperti itulah, seluruh Jazirah Arab merintih di bawah
tekanan, penyiksaan, ketidakadilan, kekejaman dan kejahatan
serta ketahayulan. Kesemrawutan di bidang politik, ekonomi,
kebudayaan, agama, sosial dan moralitas manusia sangat parah.
Dalam keadaan demikianlah, Muhammad Saw. lahir sebagai
shahibuddakwah Islam , pembawa risalah agama (baru) Islam
yang menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta (rahmatan
lilalamin).
4.Model Kepemimpinan Rasulullah SAW.
Uraian ini diadaptasi dari buku-buku karangan Syafii Antonio
diantaranya Ensiklopedia Leadership & Manajemen Muhammad
Saw. (2011), berpendapat bahwa, sebagai pemimpin (kaum
muslimin), Rasulullah Saw memiliki pengaruh luar biasa dalam
menentukan pelbagai strategi dakwah. Keberhasilan dan
pencapaian kaum muslimin tidak lepas dari ketaatan dan
ketundukan para sahabat kepadanya. Sebagai seorang figur
politikus, Rasulullah Saw telah mencapai kedudukan tertinggi dan
berada di puncak kejayaan seorang pemimpin.
Perjalanan panjang sejarah menunjukkan, belum pernah ada
seorang pun yamg mencapai peringkat seperti itu secara sempurna
selain Muhammad Saw. Itu membuktikan bahwa langkah-langkah
yang ditempuh Rasulullah Saw tidak lepas dari “intervensi” Allah
SWT sejak awal hingga akhir perjuangannya.

115
Paparan berikut ini merupakan penjelasan beberapa aspek
kepemimpinan politiik Rasulullah Saw yang mendorong sukses
kepemimpinan politiknya. Langkah-langkah konsisten tersebut
diwujudkan, diantaranya dengan memusatkan dan menjaga
kelangsungan misi dakwah Islam.
Kecakapan kepemimpinan Muhammad Saw juga dapat dilihat
dari kemapuannya dalam mengendalikan pengikut-pengikutnya,
sehingga dengan modal kepercayaan utuh dari mereka, Rasulullah
Saw pada masa yang sama dapat mengarahkan potensi
pengikutnya. Sebagai negarawan, Rasulullah Saw juga diyakini
telah meletakkan strategi politik jangka panjang dan menata pola
kerja yang ideal untuk menggapai suatu keberhasilan.
Dengan langkah-langkah itu, Rasulullah Saw mampu
mencapai kemenangan sekaligus menjadi bukti otentik bahwa
beliau adalah utusan Allah SWT yang mendapatkan sebaik-
baiknya didikan dan bimbingan dari-Nya.
Memusatkan Misi Dakwah (Focus on Dakwah Mission)
Landasan dasar yang menjadi pijakan Rasulullah Saw dalam
memulai langkah-langkah politisnya adalah kesadaran bahwa
penguasa manusia yang hakiki hanyalah Allah SWT. Penyeraha
diri manusia kepada kekuasaan selain Allah SWT adalah bentuk
kemusyrikan yang nyata. Transformasi diri manusia kepada
kekuasaan manusia lain menuju penyerahan diri kepada Allah
SWTmerupakan proses peralihan yang sangat fundamental.
Manusia yang melakukan kewajiban ini akan memperoleh
kemenangan hidup, dimanapun ia berada.
Ujian keimanan yang paling nyata telah dialami oleh
Rasulullah Saw manakala para pemimpin Quraisy merayu Abu
Thalib sebagai pamannya agar beliau meninggalkan misi Islam.

116
Ibnu Ishaq meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ketika para
pemuka Quraisy; ’Utbah bin Rabi’ah , Syaibah bin Rabi’ah, Abu
Jahl bin Hisyam, Umayyah bin Khalaf, Abu Sufyan bin Harb, dan
beberapa pemimpin lainnya mendatangi Abu Thalib, mereka
berkata:
“Wahai Abu Thalib, engkau termasuk golongan kami, dan
engkau pun menyadarinya. Namun, emhkau telah membuat kami
khawatir atas apa yang terjadi diantara kami dan saudaramu
(Muhammad Saw). Panggillah dia. Ambillah dia untuk kami, dan
ambillah dari kami untuk dia. Agar ia tidak merepotkan kami dan
kami pun tidak merepotkannya. Biarkanlah kami dengan agama
kami, lalu kami pun membiarkan dia dengan agamanya.”
Abu Thalib pun segera bangkit dan mendatangi Rasulullah
Saw sereaya berkata, “Wahai anak saudaraku, mereka para
pemimpin kaummu telah berkumpul untuk memberikan sesuatu
kepadamudan mengambil sesuatu darimu.”
“Satu kalimat kalian berikan kepadaku, niscaya akan dimiliki
orang-orang Arab dan dipeluk oleh orang-orang selain Arab,”
sabda Rasulullah Saw. Abu Jahl pun menukas, “Persetan dengan
ayahmu dan sepuluh kalimat itu.” Beliau menegaskan,
“Katakanlah bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT, dan
lepaskanlah apa yang kalian sembah selain Allah SWT.”
Berulang kali kalangnan musyrikin menuntut Rasulullah Saw
untuk mengusi orang-orang Islam dari kaum papa dan lemah.
Tentu saja Rasulullah Saw menolak permintaan mereka. Dalam
hal ini Abu Nu’aim meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa
beberapa ortang pemimpin Quraisy berlalu di hadapan Rasulullah
Saw yang saat itu sedang bersama Suhaib, Bilal, Khabab,
‘Ammar, dan beberapa orang Islam lainnya dari kalangan dhuafa.

117
Para pemimpin Quraisy itu berkata kepada beliau, “Relakah
mereka menjadi anggota kaummu? Apakah kami harus mengikuti
mereka? Merekalah yang akan mendapatbalasan dari Allah SWT.
Usirlah mereka dari sisimu. Bisa jadi kalau kamu mengusir
mereka, kami akan mengikutimu.”22 Lalu turunlah ayat:
      
        
      
      
       
      


“Dan berilah peringatan dengan apa yang diwahyukan itu


kepada orang-orang yang takut akan dihimpunkan kepada
Tuhannya (pada hari kiamat), sedang bagi mereka yang tidak ada
seorang pelindung dan pemberi syafaat pun selain dari Allah,
agar mereka bertakwa. Dan janganlah kamu mengusir orang-
orang yang menyeru Tuhannya pada mpagi dan petang hari,
sedang mereka menghendaki keridhaa-Nya. Kamu tidak memikul
tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatan mereka dan
mereka pun tidak memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap
perbuatanmua, yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir
mereka, sehingga kamu termasuk orang-orang yang zalim.” (QS.
AL-An’am : 51-52)
Dari contoh di atas, terlihat gambaran jelas pemusatan usaha
Rasulullah Saw terhadap kegiatan dakwah yang ditopang oleh
keyakinan, kemenangan, harmonisasi tindakan dan dakwah,
118
kejelasan jalan yang ditempuhnya pada langkah-langkah awal dan
hasil terakhir yang dikehendaki. Tidak ada ketimpangan antara
tindakan beliau dari permulaan hingga penghabisan.
Setiap langkah adalah penyempurnaan tindakan sebelumnya.
Setiap hukum baru melengkapi hukum sebelumnya, sehingga
syariah Allah SWT menjadi sempurna dan agamanya menjadi
lengkap. Semua itu tidak akan mampu dilaksanakan andai kata
Muhammad Saw bukan seorang utusan Allah SWT. Itulah
langkah awal yang harus dilaksanakan dalam hubungannya
dengan aktivitas politik umum. Gambaran secara lengkap hanya
ada pada diri Rasulullah Saw.
Dari telaah di atas, bisa dipahami bahwa semua manusia
menganggap aktivitas politik Islam merupakan aktivitas ideal
yang tidak dapat dilakukan oleh siapa pun. Kita tidak melihat
tindakan beliau berlawanan dengan nash dan dasar-dasar
dakwahnya. Tidak sedikit para politikus dihadapkan pada hal-hal
yang kontroversial dan dilematis. Tindakannya saat ini tidak
sesuai dengan tindakannya kemarin, unsure internal tidak sepadan
dengan unsure eksternal, dan lain sebagainya.

Menjaga Kelangsungan Misi (Maintaining Mission


Sustainability)
Ada dua hal fundamental yang harus diperhatikan oleh
seorang pemimpin gerakan politik, yaitu semangat kuat untuk
meneruskan proses penyebaran dan mengatur strategi jitu untuk
menghadapi lawan. Bentuk seruan apapun jika tidak dijaga proses
kelangsungan penyebarannya, tentu akan stagnan, lalu mati.
Seruan apapun, bila tidak mencanangkan strategi yang tepat untuk
menghadapi lawan, tentu mudah dirobohkan. Kelangsungan ini

119
dimaksudkan juga untuk menarik simpati khalayak dan
membentuk opini publik.
Meskipun seluruh jazirah Arab bersekutu menghadang
Nabidan permusuhan yang keras dilancarkan kepadanya, proses
tabligh tidak pernah berhenti sekejap pun. Bisa dimengerti,
perhatian yang dicurahkan Rasulullah Saw sesudah menanamkan
tauhid dengan berdakwah kepada suku-suku Arab adalah menjaga
dakwah dan melaksanakannya secara terus menerus. Lebih dari 13
tahun beliau menghadapi orang-orang musyrik Mekkah. Beliau
tidak pernah berhenti berbuat dan mengambil tindakan-tindakan
praktis yang akhirnya menunjukkan keberhasilannya dalam
mengendalikan masalah ini.
Berkenaan dengan faktor kedua, yaitu menggunkan strategi
jitu dalam menghadapi lawan, dapat terlihat dari kebijaksanaan
tindakan beliau dalam menghadapi musuh. Ketika masih di
Mekkah, beliau bersabar dan menyuruh pengikutnya untuk tetap
bersabar. Karena, jika tidak bersikap seperti itu, tentu para
pengikutnya akan dibantai. Paling tidak, mereka akan disibukkan
oleh masalah peperangan, sehingga tidak ada kesempatan untuk
berdakwah.
Setelah beliau hijrah ke Madinah, Nabi melakukan perbaikan
langkah-langkah yang disesuaikan dengan kondisi yang ada,
seperti perjanjian damai, perang, pengiriman pasukan, dan lain-
lain. Tapi semua itu sama sekali tidak menghentiakn proses
dakwah dan penyebaran kebenaran.

Mengendalikan Pengikut (Managing Followers)

120
Kegagalan dalam perekrutan anggota atau pengikut yang
sangat berkaitan dengan masalah kepemimpinan biasanya
bersumber dari tiga hal:
1. Ketiadaan figur kharismatik yang bisa diteladani (the absence
of charismatic role model). Mereka hanya dijejali dengan
gambaran-gambaran yang serba bagus, yang justru membuat
mereka lari. Lalu muncul opini public untuk menentangnya.
Sebaliknya bila para pemimpinnya dididik untuk menjadi figur
yang diteladani, justru orang-orang percaya kepada figur-figur
ini sebelum mereka percaya keapada seruannya. Mereka sudah
lebih dahulu mencintai figur ini sebelum mengetahui apa yang
harus dianut.
2. Seruan yang tidak disertai dengan pengembangan potensi
pengikut yang berkelayakan (poor potential and vague
mission). Mereka ditempatkan pada suatu tempat yang rapuh.
Sikap yang dimunculkan adalah ketiadaan penentangan, tetapi
tidak juga menyumbangkan apa-apa. Sehingga, hanya para
pemimpinnya saja yang memikul segala macam tanggung
jawab. Padahal para pemimpin itu lambat laun akan menjadi
uzur dan tidak mampu lagi mengemban seluruh kewajiban.
3. Pengikut tidak dibimbing secara kontinyu, dan mereka merasa
tidak diawasi, tidak disalurkan, dan dilalaikan (lack of
continuous supervision coaching). Atau juga mereka memang
tidak tahu kewajiban yang harus dipikulnya. Semua itu akan
berpengaruh negatif terhadap jiwa mereka dan kelangsungan
dakwahnya. Hal-hal seperti itu harus dibenahi demi menjaga
stabilitas suatu seruan yang sudah memilih pondasi tertentu.
Kalau tidak tentua akan menghambat kelangsungan dan akan
segera membunuhnya.

121
Ibnu Ishaq meriwayatkan dari Ummu Salamah Ra, bahwa
ketika Mekkah terasa semakin sesak, para sahabat Rasulullah Saw
disiksa da difitnah. Mereka melihat siksaan yang dilancarkan pada
diri mereka dan fitnah yang dilemparkan kepada agama mereka
akan terus berlangsung, padahal Rasulullah Saw sendiri tidak
mampu menyelamatkan mereka. Beliau mendapatkan pembelaan
dari kaum dan pamannya. Namun, ini pun tidak seberapa
membantu.
Akhirnya, beliau bersabda kepada para sahabat,
“Sesungguhnya di bumi Habasyah ada seorang raja. Ia tidak
menganiaya seorang pun yang berada di bawah kekuasaannya.
Pergilah kesana. Semoga Allah SWT meringankan beban derita
dan memberi jalan keluar dari keadaan selama ini.” Beliau
menyuruh para sahabatnya pergi mengungsi ke Habasyah dua
kali. Pertama pada tahu ke-5 Hijriyah dan kedua pada tahun ke-7
Hijriyah. Saat itu, kaum muslimin mengalami tekanan, intimidasi,
dan penyiksaan yang diluar batas dari kalangan Quraisy.
Ketika Rasulullah Saw memerintahkan hijrah ke Madinah,
seluruh pengikutnya pun disuruh berangkat terlebih dahulu.
Ketika sudah tidak ada lagi yang tinggal di Mekkah, kecual orang-
orang yang sudah tidak mampu mengadakan perjalanan, barulah
beliau ke luar untuk hijrah. Itu pun tidak lepas dari incaran kaum
Quraisy.
Itulah salah satu contoh kejelian Rasulullah Saw dalam
mengarahkan sahabat-sahabatnya dan sangat memperhitungkan
keselamatan mereka. Beliau tidak pernah lupa kepada salah
seorang di antara mereka. Semua mendapat perhatian dari beliau.
Ada kalanya dengan mengutus mereka untuk melaksanakan suatu
kebijaksanaan tertentu sesuai dengan bidang masing-masing.

122
Kepercayaan Utuh Para Sahabat (Full Trust of Companions)
Bagi pelaku politik, kepercayaan pengikut terhadap
pemimpinnya adalah persoalan yang cukup mendasar. Dalam
aturan demokrasi, pemerintah akan tetap menjadi penguasa, selagi
ia masih mendapat kepercayaan rakyat.
Seorang filsuf China, Confusius, pernah berkata, “Pemerintah
harus mendapat kepercayaan dari rakyat dan menjamin kehidupan
mereka dengan mencukupi unsur-unsur kekuatan, makanan,
minuman, dan apa yang dibutuhkan.”
Orang-orang bertanya, “Bagaimana kalau pemerintah tidak
mampu mengamankan tiga unsure ini?”
Confucius menjawab, “Tidak apa-apa, asal jangan sampai
pemerintah mengabaikan kepercayaan rakyat.” (Syafii, 2011)
Ini masalah yang sangat rasional. Sebab, selagi rakyat masih
percaya kepada pemerintah dan bekerjasama, maka dengan
sendirinya mereka bisa menutupi kekurangan. Tapi, kalau
pemerintah sudah kehilangan kepercayaan, semua akan menjadi
kacau dan kekuatan umat akan hilang. Hal seperti ini sudah sering
terjadi. Hilangnya kepercayaan akan menghambat aktivitas
politik, mematikan gerakan massa, melumpuhkan ruh idealism
dan ekonomi, dan pada akhirnya dapat menyebabkan keruntuhan.
Karena itu, faktor terpenting keberhasilan seorang pemimpin
politik dan pemimpin umat adalah kepercayaan dan kecintaan
kepadanya. Kalau kepercayaan umat ini dapat diraih secara utuh,
segala kekurangan yang ada dapat diatasi. Namun, yang jelas,
sepanjang perjalanan sejarah tidak pernah dikenal satu teladan
yang menyamai kepercayaan yang diberikan pengikut Rasulullah
Saw kepadanya.

123
Kepercayaan mereka kepada beliau adalah kepercayaan yang
utuh dan tidak tergoyahkan. Kita dapat melihat beberapa contoh
kepercayaan yang diberikan kepada beliau, meskipun para
sahabatnya berada dalam kondisi yang memrihatinkan. Kisah
Baiat Aqabah Kedua antara Rasulullah Saw dan duta-duta dari
suku Aus dan suku Khazraj sebagaimana diterangkan Ibni Hisyam
adalah bukti nyata.
Ada juga kisah mengenai budak yang beliau
merdekakan,yaitu Zaid bin Haritsah, yang semakin memperkuat
bukti kepercayaan umat kepadabeliau. Sebenarnya sudah cukup
lama Zaid ingin bertemu dengan orangtuanya. Setelah ia dapat
berjumpa, ayah dan paman-pamannya hendak memberikan
tebusan agar Zaid dapat kembali kepada keluarganya sebagai
orang yang merdeka. Tapi, ternyata Zaid lebih senang tinggal
bersama Nabi daripada berkumpul dengan sanak keluarganya dan
harus berpisah dengan beliau. Ini suatu kejadian yang sangat unik
saat itu.
Zaid sudah mampu berterus terang kepada keluarganya,
padahal ia masih terlalu kecil dan pikirannya pun belum matang
untuk menghadapi suatu permasalahan. Peristiwa itu terjadi
sebelum kerasulan (nubuwwah). Selanjutnya ia diasuh dan
dimerdekakan Rasulullah Saw.
Semua itu menunjukkan seberapa jauh kepercayaan yang
diberikan orang kepada Rasulullah Saw, terutama para
pengikutnya, yang tidak ada bandingannya.

Mengarahkan Potensi Pengikut (Directing Full Potential of


Followers)

124
Intelegensi seorang pemimpin dapat dilihat dari sejauh mana
ia dapat mengetahui seluk beluk pengikutnya. Rasulullah Saw
adalah teladan dalam hal menempatkan para sahabatnya pada
posisi yang tepat, dan menyalurkan potensi akal mereka dalam
forum musyawarah.
Dalam ilmu politik, musyawarah merupakan proses untuk
memadukan semua potensi akal hingga menghasilkan kondisi
yang tepat. Setiap orang bertanggungjawab mencari jalan
pemecahan yang tuntas, puas, dan menerima hasil yang dicapai,
mendukung maksud yang hendak dicapai, memadukan antara
potensi individu dan ruh jamaah. Setiap orang memiliki
keterkaitan dengan problema umat dan sosial. Maka dari itu, Allah
SWT menjadikan wahana syura agar setiap individu muslim
memiliki tanggung jawab penuh terhadap setiap masalah, dan
tidak bersikap acuh tak acuh.
Apa yang kita lihat dalam kehidupan Rasulullah Saw adalah
figur yang utuh sebagai seorang pemimpin. Beliau menyenangi
musyawarah, tidak meremehkan sesuatu, selalu ingin
bermusyawarah, dan membuka kesempatan bagi semua sahabat
untuk ikut serta mencari jalan pemecahan yang tuntas.
Menjelan perang Badar, beliau meminta agar orang-orang
bermusyawarah. Namun, beliau merasa belum cukup. Sekali lagi
beliau meminta orang-orang bermusyawarah. Maka orang-orang
khazraj dan Aus pun bermusyawarah. Akhirnya, beliau
menetapkan keputusan terakhir untuk maju ke medan perang,
sehingga dapat menghapuskan semua keraguan yang tadinya
menyelubungi hati para pengikutnya. Ketika orang-orang Islam
hendak memusatkan pasukan (pada waktu Perang Badar) di

125
belakang mata air, Hubab bin Mundzir berkata pada Rasulullah
Saw:
“Apkah engkau memilih tempat ini karena Allah SWT telah
menetapkannya kepadamu, sehingga kami tidak memiliki pilihan
lain untuk maju atau mundur sekali pun? Ataukah ini hanya
sekedar ‘pendapat’ karena pertimbangan perang dan siasat?”
“Ini hanya sekedar ‘pendapat’, pertimbangan perang, dan
siasat.” Jawab beliau.
Hubab lalu mengatakan, “Wahai Rasulullah Saw, menurutku
tempat ini kurang tepat.”
Kemudian Hubab menunjukkan tempat di depan mata air.
Menurutnya, tempat itu lebih strategis karena dengan berada di
depan mata air pasukan muslimin akan bisa menguasai mata air
dan memperoleh air sepuasnya, sedangkan pasukan musuh yang
berada di depan akan kesulitan mendapatkan pasokan minuman.
Akhirnya, beliau bangkit beserta semua orang, meninggalkan
kepulan-kepulan debu di belakang. Kemudian beliau bersabda
kepada Mundzir, “Kamu telah menunjukkan tempat yang tepat.”
Berkat strategi penempatan pasukan yang cemerlang itulah,
pasukan kaum muslimin mendapatkan kemenangan gemilang
dalam kancah peperangan yang baru pertama kali dilakukan.
Dalam Perang Uhud, beliau pun meminta pendapat para
sahabatnya. Setelah mendengar pendapat mereka, akhirnya beliau
menetapkan agar keluar dari Madinah. Pada waktu Perang Ahzab,
beliau menyetujui pendapat Salman Al-Farizi. Sedangkan pada
waktu Perjanjian Hudaibiyah, beliau meminta dan melaksanakan
pendapat Ummu Salamah, istrinya.
Itulah gambaran seorang pemimpin yang tidak merasa
sungkan mengambil pendapat pengikutnya, siapa pun orangnya,

126
selagi pendapatnya itu benar. Seorang pemimpin yang baik selalu
membuka kesempatan untuk bermusyawarah, sehingga tidak ada
seorang pun yang memiliki suatu pendapat kecuali ia
mengatakannya.
Abu Bakar dan Umar Ra mendapat gelar wazirain (dua
menteri) di kalangan para sahabat. Pasalnya, Nabi selalu meminta
pendapat mereka berdua dalam menghadapi permasalahan umat.
Ketika beliau jatuh sakit, beliau memerintahkan Abu Bakar
menjadi imam shalat jamaah di Masjid Nabawi. Atas
pertimbangan itu pula mereka memilih Abu bakar sebagai
khalifah setelah beliau meninggal.
Setiap orang mengetahui apa yang dilakukan Abu Bakr dan
Umar Ra saat member keputusan kepada masyarakat. Tak seorang
pun yang menyangsikan keterpaduan dua karakter yang saling
berbeda itu. Mereka berdua mempunyai tempat tersendiri yang
lebih tinggi daripada yang lain. Pilihan Rasulullah Saw itu tidak
salah, karena memang selalu mengandung hikmah yang besar.

Meletakkan Strategi Politik Jangka Panjang (Long-Term


Political Strategy)
Suatu ketika, Kisra memerintahkan gubernurnya di Yaman,
Badzan, agar memancing kemarahan Rasulullah Saw dan
menangkap beliau untuk dikirimkan kepada Kisra. Badzan
mengutus dua orang untuk keperluan itu. Salah seorang dari
mereka disuruh untuk mempelajari keadaan Rasulullah Saw
terlebih dahulu. Setelah dua utusan Badzan itu sampai, iadibiarkan
bersama Rasulullah Saw selama lima belas hari tanpa ditemui
orang-orang Islam. Tepat pada hari ke-15, Kisra mati. Pada hari
itu juga Rasulullah Saw mendengar berita kematian itu. Beliau

127
menghadiahi salah seorang utusan itu sebuah ikat pinggang yang
berisi manic-manik emas dan perak.
Lalu, beliau mengirim sebuah surat kepada Badzan, yang
isinya: andaikata ia masuk Islam, akan diserahi kekuasaannya
seperti yang ia pegang selama ini. Hasilnya Badzan melepaskan
kekuasaannya atas pemerintahan Persia, lalu masuk Islam dan
mengakui kekuasaan pemerintahan Islam.
Ketiak orang-orang munafik hendak melecehkan syiar Islam,
mereka menyusun suatu strategi yang dilakukan sesama mereka
untuk menyerang Islam. Mereka mendirikan sebuah Masjid
tandingan, sekaligus sebagai sentral aktivitas persekongkolan dan
perkumpulan mereka. Rasulullah Saw tidak segera bertindak
terhadap ulah para munafik itu hingga sekembalinya dari Perang
Tabuk. Setelah itu beliau membakar masjid itu, dan Allah SWT
juga melecehkan persekongkolan mereka.
Contoh-contoh yang senada dengan itu cukup banyak.
Semuanya menunjukkan kebijaksanaan tindakan beliau. Siasat
yang diterapkannya selalu sesuai dengan karakter masing-masing.
Beliau menghadapi setiap orang dengan cara yang menimbulkan
respek.
Perhatikan juga percakapan beliau dengan para utusan Bani
Harits binb Ka’b. Terdapat perbedaan dengan percakapan beliau
terhadap utusan-utusan yang lain. Sebab, suku tersebut memiliki
keutamaan daripada suku-suku yang lain dalam hal-hal tertentu.
Ibnu Hisyam menceritakan bahwa Khalid menghadap
Rasulullah Saw bersama para utusan Bani Harits bin Ka’b.
Setelah melihat mereka, Rasul bertanya.

128
“Siapakah merekla itu yang sepeti orang-orang India?” Ada
yang mejawab, “Wahai Rasulullah Saw, mereka adalah para
pemimpin Bani Harits bin Ka’b.”
Setelah benar-benar berhadapan dengan Rasulullah Saw,
mereka pun member salam kepada beliau dan berkata, “Kami
bersaksi bahwa engkau adalah rasul Allah SWT dan
sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah.”
Beliau menyahut, “Aku juga bersaksi bahwa tiada Tuhan
selain Allah SWT dan aku adalah rasul Allah SWT.” Kemudian
beliau melanjutkan lagi, “Kamukah yang apabila dirintangi justru
maju ke depan?” Mereka diam, tak seorang pun menjawab. Beliau
mengulangi pertanyaannya lagi hingga empat kali, barulah
kemudian Yazid bin ‘Abdul Madan menjawab, “Benar, wahai
Rasulullah Saw, kamilah yang apabila dirintangi justru maju ke
depan.” Ia mengatakan kata-kata itu hingga empat kali.
Beliau lalu mengatakan, “Andaikata Khalid tidak menulis
surat kepadaku bahwa kamu semua telah masuk Islam dan tidak
mau memerangi orang lain, tentu kepala kalian telah kubuat
berada di bawah telapak kaki kalian. Yazid bin ‘Abdul Madan lalu
mengatakan, “Demi Allah SWT kami tidak memujimu dan tidak
pula memuji Khalid.”
Rasulullah Saw pun bertanya, “Lalu, siap yang kalian puji?”
Orang-orang Bani Harits serentak menjawab, “Kami memuji Alah
SWT yang telah memberikan hidayah kepada kami dengan
perantara engakau, wahai Rasulullah Saw.”
Rasulullah Saw pun menyatakan, “Kalian semua benar.”
Kemudian beliau bertanya, Lalu, dengan cara apakah kalian
mengalahkan orang-orang yang memerangi kalian pada zaman
jahiliyah?”

129
Mereka menjawab, “Kami tidak pernah mengalahkan seorang
pun.”
Beliau bersabda, “Tetapi kalian semua selalu dapat
mengalahkan orang-orang yang memerangi kalian.”
Mereka menjawab, “Wahai Rasulullah Saw, kami dapat
mengalahkan orang yang memerangi kami karena kami selalu
bersatu, tidak berpecah belah, dan kami tidak pernah memulai
suatu kezaliman kepada seseorang.”
Tidak bisa juga dilewatkan sebuah peristiwa yang
memaparkan ketatnya syarat yang ditekankan kaum Quraisy
dalam Perjanjian Hudaibiyah terhadap orang-orang Islam. Dalam
salah satu klausul perjanjian disebutkan, orang-orang Mekkah
yang masuk Islam lalu mendatangi Rasulullah Saw ke Mekkah,
sementara orang-orang Quraisy Mekkah tidak wajib
mengembalikan orang muslim yang datang ke mereka.
Ketika Abu Basir bin Usaid melarikan diri ke Mekkah, lalu
hijrah ke Madinah sesudah Perjanjian Hudaibiyah, kaum Quraisy
segera mengutus dua orang untuk menyusul di belakangnya.
Karena Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah Saw menyerahkan Abu
Basir kepada utusan Quraisy itu, lalu segera bertolak lagi ke
Mekkah.
Sesampainya di Dzul Hulaifah, mereka beristirahat sambil
memakan kurma yang dibawanya. Abu Basir lalu berkata kepada
salah seorang di antara keduanya, “Hai Fulan, kulihat pedangmu
itu sangat bagus.” Sambil menghunus pedangnya, orang itu
berkata, “Ya begitulah, demi Allah SWT aku telah mencobanya.”
Lalu Abu Basir berkata, “Coba kau berikan keapdaku. Aku ingin
melihatnya.”

130
Setelah memegang pedang dengan kuat, Abu Basir langsung
menyabetkan ke orang itu hingga meninggal dunia. Temannya
yang satu lagi segera lari menuju Madinah dan masuk ke dalam
masjid. Nabi yang melihatnya lalu bersabda, “Orang ini seperti
dalam ketakutan.”
Setelah benar-benar sampai di hadapan Rasulullah Saw, lelaki
nutusan Quraisy itu pun berkata, “Demi Allah SWT, temanku
telah dibunuh oleh temanmu. Bahkan aku pun ingin dibunuhnya.”
Pada saat itu juga Abu Basir datang seraya berkata, “Wahai Nabi
Allah SWT, Allah SWT telah memenuhi janjimu. Engkau telah
mengembalikan diriku kepada orang-orang Quraisy. Namun Allah
SWT telah menyelamatkan aku dari tindakan mereka.”
Dari kisah Abu Basir bin Usaid secara khusus dan Perjanjian
Hudaibiyah secara umum, dapat kita perhatikan strategi jangka
panjang Rasulullah Saw yang luar biasa.

Menggapai Kemenangan dan Menata Pola Kerja


Sejaklima belas abad silam, Islam lahir dan terus menyebar
meskipun musuh-musuh terus menghadang, baik dari pemeluk
suatu agama maupun bukan pemeluk suatu agama, dengan cara
terorganisir ataupun tidak. Selama itu, Islam tetap mampu
bergerak dengan leluasa. Meskipun perjalanan sejarah dunia lebih
sering dikendalikan musuh-musuh Islam, Islamtetap utuh.
Meskipun orang-orang kafir menyediakan segala fasilitas di
berbagai penjuru dunia kepada musuh-musuh Islam, Islam tetap
berjalan dengan tegar.
Sepanjang sejarah, tidak sedikit negara yang runtuh karena
ditundukan Islam. Tidak sedikit pula negara yang bangkit karena
membawa nama Islam dan menjalankan ketentuan Islam.

131
Pada setiap masa, Islam dijalankan secara benar. Pemeluknya
selalu memperoleh kemenangan. Kalaupun mereka tidak pernah
bisa menanjak dan maju, sebabnya terletak pada kebodohan
mereka sendiri terhadap Islam.
Pada abad pertengahan, darata Eropa mengalami puncak
kemunduran karena penduduknya berpegang teguh pada agama
mereka. Sementara itu, orang-orang Islam justru mencapai puncak
kemajuan karena mereka taat pada agamanya. Disinilah terdapat
persimpangan jalan yang sangat mencolok. Islam mebawa
pemeluknya pada kemajuan, sedangkan agama lain membawa
pemeluknya pada kemunduran.
Kini, Islam harus bergumul dengan nilai-nilai barat dan timur.
Namun, setiap saat Islam bisa tampil sebagai pemenang. Orang-
orang Islam tetap tegar karena kekuatan pola piker mereka. Setiap
orang kini mengetahui bahwa ruh jihad yang bersemayam di hati
orang-orang Islamlah yang dapat membebaskan dunia Islam dari
cengkraman penjajah. Jika ruh jihad ini berada di tangan orang
Islam yang lalai, meskipun mereka memiliki kebebasan, maka
kelompok lain akan mengambil mereka. Inilah perjalanan Islam
dari generasi ke generasi. Namun, kini sudah siap untuk
menyongsong masa depannya.
Islam mampu menyeruak ke pelbagai masa dan tempat karena
Rasulullah Saw mampu meletakkan dasar pijakan dalam 23
tahunmasa dakwahnya. Dasar itulah yang menjadi kekuatan, terus
dibawa umat pada setiap masa, dan berkembang pada setia zaman.
Tentunya, untuk mengembangkan sutau seruan politik,
dibutuhkan jangka waktu berpuluh-puluh tahun. Itu pun tidak
mesti berhasil. Maka dapat digambarkan,proses yang dilalui
Rasulullah Saw bukanlah proses biasa, tapi luar biasa, yang

132
mendapat sentuhan tangan Allah SWT, karena agama yang
dibawanya juga agama Allah SWT, dan Muhammad Saw adalah
hamba serta rasul-Nya.
Secara khusus tipologi kepemimpinan Nabiyullah
Muhammad Rasulullah Saw. Mengandung beberapa kriteria di
bawah ini:
Ia memimpin dengan penuh rasa cinta: dalam martian
mendahulukan dan rela berkorban untuk kepentingan orang lain
dan memiliki kepekaandan care yang tinggi terhadap persoalan
persoalan orang lain; kepekaaan tinggi; tidak hanya menginginkan
tetapi mengupayakan dengan sungguh sungguh agar orang lain
terbebas dari masalah yang dihadapinya.
Ia memimpin dengan ikhlas berorientasi kepada keridhoan
Allah Swt., karenanya ia tidak butuh pujian dan tidak terganggu
oleh celaaan. Dilihat atau tidak, dipuji atau tidak, dan dicela atau
tidak oleh orang lain, ia tetap memeranakan fungsi-fungsi
kepemimpinan secara maksimal, ia merasa cukup Allah saja yang
menilai kinerja kepemimpinanya.
Ia meminpin sesuai antara niat, ucapan dan tindakan,
sehingga benar-benar menjadi sosok teladan yang sempurna.
Bercermin pada tipologi kepemimpinan Rsululllah Saw di
atas, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mencintai
bawahannya secara ikhlas dan mendahulukan kepentingan orang
lain di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
Semua itu menunjukkan kehebatan nabi Muhammad Saw.
dalam menentukan langkah politik jangka panjangnya.
Kredibilitas beliau sebagai pemimpin, tidak lepas dari hubungan
beliau dengan Allah SWT, yang senantiasa memberi petunjuk dan
bimbingan kepadanya.

133
Diskusikan soal-soal di bawah ini:

1. Kemukakan orientasi kepemimpinan Nabi Saw.


2. Jelaskan karakteristik Nabi Saw. sebagai seorang
pemimpin
3. Jelaskan beberapa kunci sukses kepemimpinan Nabi Saw.;
4. Bagaimana strategi dan kebijakan Nabi Saw. dalam
menentukan skala prioritas dalam kepemimpinannya
5. Kemukakan pula system yang dibangun Nabi Saw. dalam
kepemimpinannya.
6. Bahwa Nabi Saw. memimpin penuh rasa ikhlas dan rasa
cinta. Jelaskan.
7. Bagaimana cara mencontoh kepemimpinan Nabi Saw.
Jelaskan.
8. Masih relevankah apabila tipe atau pola kepemimpinan
Rasulullah Saw.; diterapkan masa kini. Kemukakan
pendapat saudara berikut alasannya.

134
BAGIAN KEDUABELAS
NABI MUHAMMAD SAW SEORANG PEMIMPIN DAN
NEGARAWAN TELADAN

Kepemimpinan sebagaimana dikemukakan Ralph M.Stogdill


pada bab sebelumnya, adalah proses pelibatan kelompok,
pengaruh kepribadian, dan seni meminta kerelaan. Kepemimpinan
juga merupakan proses penggunaan pengaruh, persuasi,
pencapaian tujuan, interaksi, peran yang diperbedakan, dan
perbedaan antar kelompok.
Nabi Muhammad Saw adalah sosok yang memenuhi semua
kualifikasi tersebut. Sukses yang diraihnya tak pernah pudar, dan
masih dirasakan oleh dunia hingga sekarang. Muhammad Saw
memang memiliki karakteristik kepemimpinan politik yang
istimewa. Ia tidak hanya pembaru sosial, tetapi juga seorang
pendiri peradaban besar.
Pada tahap awal, Nabi Muhammad Saw berjuang mendirikan
sebuah bangsa dengan menyatukan para pemeluknya, lalu
merangcang sebuah civilization yang dibangun berdasarkan
kerjasama kelompok-kelompok terkait. Masyarakat Madinah yang
saat itu terbiasa dengan perpecahan, dapat bersatu dalam kesatuan
Negara Madinah.
Di Negara Madinah Nabi Muhammad Saw bertindak sebagai
pemegang kekuasaan hukum tertinggi yang menyampaikan
ketentuan hukum bagi tatanan sosial yang damai, dan
memperlakukan semua kelompok masyarakat dalam kedudukan
setara. Tidak dikenal diskriminasi hukum karena perbedaan
kedudukan, nasib, kelas sosial, dan lain-lain. Sebagai landasan
konstitusionalnya, Nabi Muhammad Saw meletakkan landasan

135
dasar sebuah pemerintahan dalam bentuk Piagam Madinah, yang
menjadi contoh bagi masyarakat dunia dalam memberikan
jaminan kebebasan hidup, hak milik, dan kebebasan beragama,
baik terhadap muslim maupun nonmuslim (M. Syafii Antonio,
dkk; 2011)

Tugas Utama Pemimpin


Mengamati kepemimpinan Nabi Muhammad Saw selama di
Madinah, setidaknya ada tiga tugas pokok yang harus dilakukan
oleh seorang pemimpin. Menurut Raja Ali Haji, tiga tugas pokok
tersebut apabila dijalankan dengan baik akan membawa
kemajuan, kemakmuran, dan kesejahteraan bagi masyarakatnya.
Pertama, seorang pemimpin jangan sampai luput dari rasa
memiliki hati rakyat. Itu penting, karena pemimpin tidak dapat
dipisahkan dari masyarakat yang dipimpinnya. Adanya pemimpin,
karena adanya rakyat. Dengan demikian, dalam menjalankan roda
pemerintahan, harus terjalin hubungan yang harmonis dan seirama
antara pemimpin dan masyarakat yang dipimpin, agar terjadi
sinergi, sehingga pemerintahan berjalan dengan baik. “Rakyat itu
umpama akar, sedangkan pemimpin itu umpama pohon. Jikalau
tiada akar, niscaya pohon tiada akan dapat berdiri.”
Kedua, pemimpin harus berhati-hati bila menerima
pengaduan dari masyarakat, karena ada tiga macam pengaduan:
(1) pengaduan jenis malaikat, (2) pengaduan jenis hawa nafsu, dan
(3) pengaduan jenis setan. Dari ketiga jenis pengaduan tersebut,
hanya pengaduan jenis malaikat saja yang sesuai dengan hukum
Islam, dan harus ditindaklanjuti oleh seorang pemimpin (M.
Syafi’i Antonio, dkk; 2011).

136
Ketiga, pemimpin tidak boleh membeda-bedakan rakyat,
tidak diskriminatif. Pemimpin harus adil.
Tiga tugas pokok di atas, pada intinya menuntut seorang
pemimpin agar dalam menjalankan pemerintahan dan
kepemimpinannya harus sesuai dengan ketentuan yang ada dan
tidak bertindak sewenang-wenang atas dasar kekuasaan. Untuk
menghindari kesewenang-wenangan itu, maka harus ada hukum.
Kepemimpinan ideal memang membtuhkan sosok pemimpin
yang ideal pula. Akan tetapi, seideal apupun pemimpin tersebut,
jika tanpa sistem hukum yang kuat, maka kepemimpinannya atau
pemerintahannya tidak akan berjalan efektif. Itu perlu, agar
pelaksanaan pemerintahan sesuai dengan fatsun-fatsun yang ada,
demi tegaknya keadilan dan bertambahnya kemakmuran
masyarakat yang dipimpin.
Antara pemerintahan yang baik dan hukum yang ditegakkan,
berkait erat. Proses pemerintahan baru berjalan lancar dan sesuai
dengan yang diharapkan, apabila disertai hukum yang mengatur
hubungan hidup bermasyarakat. Sebaliknya, hukum baru dapat
berfungsi dengan baik bila didukung oleh suatu pemerintahan.
Pemerintahan tanpa hukum adalah anarki, dan hukum tanpa
pemerintahan adalah angan-angan.

Teladan Kenegarawanan Nabi Muhammad SAW


Atas apa yang telah dialkukan di awal pemerintahannya, Nabi
Muhammad Saw sangat layak disebut negarawan teladan. Itu
dapat dilihat dari beberapa faktor berikut ini:

a. Menerapkan Sistem Politik Baru

137
Sebagai seorang kepala negara, Rasulullah Saw telah
menerapkan suatu sistem politik baru yang belum pernah
berlaku sebelumnya. Sistem politik itu menegaskan bahwa
kedaulatan itu tidak berada ditangan rakyat maupun kepala
negara, melainkan ditangan syara’ (syari’ah).
Hanya saja, pesan-pesan syara’ yang sifatnya Ilahiyah itu
tidak di monopoli oleh kepala Negara dan tidak dimanipulasi
oleh tokoh agama, karena kedudukan seluruh kaum muslimin
di depan syara’ baik dari segi hukum maupun kewajibannya
adalah sama. Oleh karena itu, meskipun kekuasaan dan
wewenang pelaksanaan politik terpusat kepada kepala Negara,
itu tidak menyebabkan kelemahan Negara Islam, bahkan justru
memperkuatnya.
Kekuasaan seorang kepala Negara adalah kekuasaan untuk
melaksanakan dan menerapkan syariah Islam. Kontrol
pelaksanaan hukum dan mekanismenya yang mduah, serta
parameter yang jelas dengan menjadikan nash-nash syara’
sebagai pijakan telah menjadikan Negara Madinah kokoh,
tegak dan menjadi rahmat bagi seluruh dunia selama berabad-
abad.
b. Mengendalikan Urusan Dalam dan Luar Negeri
Langkah-langkah Rasulullah Saw dalam masyarakat setelah
hijrahnya ke Madinah, juga beberapa kejadian sebelumnya,
menegaskan bahwa Rasulullah Saw adalah kepala sebuah
masyarakat dalam apa yang sekarang disebut sebagai negara.
Sebagai kepala Negara, Rasulullah Saw sadar betul akan
arti pengembangan sumber daya manusia. Untuk mendapatkan
manusia yang tangguh adalah dengan penanaman akidah adan
ketaatan kepada syariah Islam. Untuk itu, Rasulullah Saw

138
sesuai dengan misi kerasulannya, memberikan perhatian utama.
Melanjutkan apa yang telah beliau ajarkan kepada para sahabat
di Mekkah, maka di Madinah, Rasul terus melakukan
pembinaan seiring dengan turunnya wahyu.
Rasul membangun mesjid yang dipakai sebagai sentra
pembinaan umat. Di pelbagai bidang kehidupan, Rasulullah
Saw melakukan pengaturan sesuai dengan petunjuk dari Allah
SWT. Dalam mengendalikan roda pemerintahan, sebagai
kepala pemerintahan, Rasulullah Saw mengangkat beberapa
sahabat untuk menjalankan beberapa fungsi yang dibutuhkan
agar menejemen pengaturan masyarakat berjalan dengan baik.
Rasul mengatakan Abu Bakr Ra dan Umar bin Khatab
radiullah anhu (ra). sebagai wazir, juga mengangkat beberapa
sahabat yang lain sebagai pemimpin wilayah Islam di luar
Madinah, diantaranya Mu’adz bin Jabal sebagai wali sekaligus
qadi di Yaman.
Di samping itu, sebagai kepala negara, Rasulullah Saw
juga melaksanakan hubungan dengan negara-negara lain.
Rasulullah Saw mengirimkan sekitar 30 pucuk surat kepada
kepala negara tetangga, diantaranya kepada Raja Najasyi, Raja
Muqauqis penguasa Mesir, Kisra Persia, Kaisar Heraklius,
penguasa Oman, penguasa Damaskus, dan penguasa tinggi
Romawi Timur di Palestina. Rasulullah Saw mengajak mereka
masuk Islam, sehingga politik luar negeri Negara Islam adalah
dakwah semata. Bila tidak bersedia masuk Islam, mereka
diminta untuk tunduk; dan bila tidak mau tunduk, barulah
negara tersebut diperangi.

c. Meletakkan Pola Hubungan Rakyat dan Negara

139
Dalam Islam, tidak ada dikotomi antara rakyat dan negara,
karena negara didirikan justru untuk kepentingan mengatur
kehidupan rakyat dengan syariah Islam. Kepentingan tersebut
yaitu tegaknya syariah Islam secara keseluruhan di segala
lapangan kehidupan.
Hubungan rakyat dan negara akan menghasilkan hubungan
yang sinergi bila keduanya memiliki kesamaan pandangan
tentang tiga hal, yaitu:
1. Asas pembangunan peradaban (asas al-hadarah), yakni
akidah Islam.
2. Tolok ukur perbuatan (miqyas al-‘amal), yakni perintah
dan larangan Allah SWT.
3. Makna kebahagiaan (ma’na as-sa’adah) dalam
kehidupan dengan terpenuhinya kesejahteraan dalam
ridha Allah SWT.
Ketiga hal tersebut telah terwujud pada masa Rasulullah
Saw. Piagam Madinah dibuat dengan asas Islam, dan syariah
Islam sebagai tolak ukur perbuatan. Karena itu, pola hubungan
rakyat dan negara pada masa Rasulullah Saw tertata dengan
sebaik-baiknya.
Sebagai seorang pemimpin, Rasulullah Saw mempunyai
pendengaran dan penglihatan yang baik. Beliau senantiasa
mendengarkan dan melihat suara hati nurani rakyat, dengan
penuh perhatian. Rasulullah Saw sangat mengayomi dan
memerhatikan aspirasi mereka.
Itu dapat dilihat dari realitas yang terjadi pada masyarakat
yang dipimpinnya. Berbicara dari hati nurani, dan bukan hanya
di mulut, artinya pembicaraannya sesuai dengan realiats dan
fakta, bukan hanya sekedar di mulut. Pemimpin yang berbicara

140
hanya sekedar di mulut, digambarkan dalam ungkapan melayu:
“Pemimpin mulut hanya sekedar menyebut, menjalankan tugas
terkentut-kentut, kalu memikul beban hatinya kecut,
menghadapi masalah nyawanya ke buntut.” Olrh karena itu,
seorang pemimpin disyaratkan harus mempunyai pendengaran,
penglihatan, dan pembicaraan yang baik. Itu sangat penting
untuk menjalin hubungan yang harmonis dan konstruktif antara
seorang pemimpin dan rakyat yang dipimpinnya.

d. Mengoptimalkan Peran Rakyat dalam Negara


Optimalisasi peran rakyat dalam Negara Islam, dapat dilihat
dari tiga hal.
Pertama, melaksanakan syariah Islam yang wajib
dilaksanakan. Ini adalah pilar utama tegaknya syariah Islam,
yakni nkesediaan tiap-tiap individu tanpa pengawasan orang
lain untuk taat pada aturan Islam karena dorongan takwa
semata-mata.
Kedua, mengawasi pelaksanaan syariah Islam oleh negara
dan jalannya penyelenggaraan negara.
Ketiga, rakyat berperan sebagai penopang kekuatan
Negara secara fisik maupun intelektual, agar Negara menjadi
maju, kuat, dan disegani di tengah-tengah percaturan dunia.
Adapun dalam persoalan hukum syara’, kaum muslimin
bersikap “sami’na wa atha’na” (patuh tunduk kepada aturan
yang telah ditetapkan Allah SWT dan Rasul-
Nya).Sebagaimana ajaran al-Qur’an, kaum muslimin wajib
melaksanakan apa saja yang telah ditetapkan al-Qur’an dan
meninggalkan yang dilarangnya.

141
Dalam masalah ini, kepala negara Islam menetapkan
keputusannya berdasarkan kekuatan dalil, bukan suara
terbanyak tetapi dalam kebatilan; atau bila hukumnya sudah
jelas, maka tinggal melaksanakannya saja. Ia juga menerima
aspirasi rakyat dalam masalah tasyri’ yang ingin mengetahui
hukum syara’ dalam pelbagai masalah yang selalu terikat
dengan waktu.
Dengan demikian, rakyat menjadi taat kepada syariah, dan
negara melaksanakan kewajiban syara’nya dengan sebaik-
baiknya. Dengan sendirinya, rakyat akan bertindak apabila
terjadi penyimpangan.
Di luar masalah tasyri’, Rasulullah Saw juga membuka
pintu musyawarah. Dalam musyawarah, terkadang Rasulullah
Saw mengambil suara terbanyak, meskipun bertentangan
dengan pendapatnya pribadi yang bukan wahyu, seperti
pertahanan di dalam kota dan di luar kota sewaktu Perang
Uhud. Para sahabat juga tidak segan-segan mengemukakan
pendapatnya kepada Rasulullah Saw, setelah mereka
menanyakan terlebih dahulu apakah itu wahyu dari Allah SWT
atau pendapat Rasul sendiri.

e. Menegakkan Kedaulatan Hukum


Hukum Islam ditegakkan atas semua warga, termasuk
nonmuslim, di luar perkara ibadah dan akidah. Tidak ada
pengecualian dan dispensasi. Tidak ada grasi, amnesti,
banding, atau pun kasasi dalam kebatilan. Tiap keputusan qadi
adalah hukum syara’ yang harus dieksekusi. Peradilan erjalan
secara bebas dari pengaruh kekuasaan atau siapa pun.

142
Salah satu bukti keadilan Nabi Saw dalam menegakkan
hukum (law enforcement) adalah peristiwa seorang perempuan
keturunan bangsawan Quraisy yang mencuri barang perhiasan
berharga milik orang lain. Menurut suatu riwayat, perempuan
itu bernama Fatimah binti Al-Aswad bin ‘Abdul bin ‘Abdullah
bin ‘Amr bin Makhzum. Setelah ditangkap, perempuan itu lalu
ditahan dan menunggu keputusan hakim.
Menurut hukum yang berlaku di kalangan bangsa Arab
terutama dikalangan bangsa Quraisy di kota Mekkah pada
masa jahiliyah orang yang mencuri harus dijatuhi hukuman
potong tangan. Akan tetapi,hukuman ini kerap kali
dilaksanakan oleh hakim dengan cara yang tidak adil, tidak
sesuai dengan yang semestinya dilakukan, dimana kaum
bangsawan bisa bebas dari hukuman.
Setelah Islam datang, hukum potong tangan atas orang
yang sudah jelas mencuri itu dikuatkan dan dilakukan dengan
adil menurut wahyu Allah SWT yang telah diturunkan kepada
Rasulullah Saw. Karena kota Mekkah sudah berada di bawah
kekuasaan kaum muslimin, sudah tentu perempuan yang
mencuri itu akan dijatuhi hukuman potong tangan, yakni harus
dipotong tangannya yang kanan.
Pada saat hukuman potong tangan bagi perempuan itu
akan dilaksanakan, para family dan kerabatnya terkejut, lalu
mereka berusaha mencari jalan memintakan ampunan kepada
Rasulullah Saw, agar hukuman itu jangan sampai dijatuhkan.
Mereka memutuskan bahwa orang Islam sahabat Nabi yang
kiranya dapat menjadi perantara untuk memintakan ampunan
kepada Rasulullah Saw pada waktu itu ialah Usamah bin Zaid.

143
Mereka mengambil keputusan demikian karena Usamah
bin Zaid adalah anak Zaid bin Haritsah sekaligus figur sahabat
Nabi Saw yang sangat disayangi oleh beliau. Mereka lalu
dating berduyun-duyun kepada Usamah untuk mengungkapkan
keinginan dan harapan mereka, bahwa hendaknya ia sudi
memberikan pertolongan menjadi perantara untuk memintakan
ampunan kepada Nabi bagi saudara mereka yang akan dijatuhi
hukuman potong tangan dan membebaskannya dari segala
macam hukuman.
Dengan tidak berfikir panjang lagi, setelah menerima
permintaan tersebut, Usamah bin Zaid segera menghadap Nabi
Saw dan mengemukakan segala yang diharapkan oleh orang-
orang itu. Setelah Nabi Saw mendengar penuturan Usamah,
berubahlah air muka beliau seraya bersabda:
“Apakah kamu akan membicarakan kepadaku tentang
sebagian hudu (ketentuan-ketentuan hukum) Allah SWT?
Apakah kamu akan menolong orang yang melanggar hudu
tersebut?”
Mendengar jawaban Nabi Saw yang demikian kerasnya
disertai air muka beliau yang terlihat sangat marah, Usamah
bin Zaid pun berkata, “Ya Rasulullah Saw, mintakan aku
ampunan kepada Allah SWT!”
Pada petang harinya, Rasulullah Saw dating di depan
orang ramai dan berdiri sambil berkhutbah.
Setelah berkhutbah beliau memerintahkan supaya
perempuan yang mencuri itu dijatuhi hukuman potong tangan.
Oleh orang yang diserahi untuk melaksanakan hukuman itu,
perintah ini segera dilaksanakan dengan seksama dan
perempuan itu dipotong tangannya sebagaimana yang telah

144
ditetapkan oleh Allah SWT dalam wahyu-Nya. Diriwayatkan
juga, setelah dijatuhi hukuman, perempuan tersebut lalu
bertobat dengan taubat yang sebenar-benarnya.
Itulah diantara riwayat yang menunjukkan keadilan
Rasulullah Saw ketika menjatuhkan hukum kepada orang yang
sudah jelas melanggar hukum Islam. Beliau tidak pandang
bulu, tidak melihat warna kulit, dan tidak pula memandang
kedudukan dan martabat seseorang.
Siapa pun yang telah jelas melakukan pelanggaran
terhadap hukum-hukum Allah SWT, ia akan dijatuhi hukuman
sebagaimana yang telah ditetapkan oleh-Nya, meskipun jika
pelakunya itu adalah puteri beliau yang amat disayangi dan
dicintainya. Dalam ungkapan Melayu diungkapkan: “Yang
disebut adil, tidak membedakan besar dan kecil.”
Dalam konteks kepemimpinan, adil berarti bertindak dan
memberikan hak masyarakat yang dipimpinnya secara
proporsional dan professional. Mendahulukan mana yang harus
didahulukan, memberikan sesuatu kepada yang berhak,
menindak yang melanggar aturan, tidak diskriminatif, dan
sebagainya.

f. Memiliki Visi, Kemandirian, dan Keberanian yang Kokoh


Rasulullah Saw telah menunjukkan kepemimpinannya selama
di Madinah dengan visi yang tajam dan akurat (strong vision
and clear mission). Seorang pemimpin, karenanya, disyaratkan
memiliki daya ijtihad yang baik, di samping cermat dalam
mengambil keputusan dan kebijakan.
Keputusan yang diambil harus benar-benar berdasarkan
pemikiran yang mendalam dan pertimbangan yang cermat dan

145
matang. Selain itu juga mempertimbangkan efek manfaat dan
mudarat dari keputusan dan kebijakannya itu. Karena itu,
seorang pemimpin harus visioner, mampu merencanakan dan
menatap masa depan dengan cermat dan baik. Pemimpin
masyarakat harus berpandangan jauh ke depan, berpikiran
panjang.
Hidup tidaklah untuk masa silam dan hari ini, tetapi juga
untuk masa depan, baik kehidupan dunia mau pun kehidupan
akhirat. Dengan memandang jauh ke depan, pemimpin
diharapkan memiliki wawasan luas, pikiran panjang, dan
perhitungan yang semakin cermat. Berpandangan jauh ke
depan akan menumbuhkan rasa tanggungjawab terhadap
generasai berikutnya.
Pemimpin juga harus mampu mandiri. Artinya, kebijakan
pemimpin harus bebas dari kepentingan pribadi dan kelompok.
Pemimpin harus benar-benar bisa memosisikan dirinya di atas
kepentingan semua kelompok: masyarakat luas yang
dipimpinnya. Kebijakan yang diambil tidak berdasar pada
tekanan kepentingan atau pihak-pihak tertentu. Harus
independen, dan benar-benar berdasarkan suara hati rakyatnya.
Karena itulah, pemimpin dituntut mempunyai keberanian
yang tinggi, sehingga kepemimpinannya benar-benar kredibel
dan berwibawa. Seorang pemimpin harus benar-benar all out
dalam mencurahkan pikiran, waktu, dan tenaganya dalam
mengurusi kepentingan rakyat. Seorang pemimpin harus benar-
benar siap dan rela berkorban lahir dan batin demi
kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat yang dipimpinnya.
g. Menunjukkan Kepemimpinan yang Bermoral

146
Munculnya pemimpin ideal adalah hasil dari proyeksi nilai-
nilai moral spiritual agama dari setiap muslim ke dalam
kehidupan sosial masyarakat. Sebagai pecinta Rasulullah Saw
dan penerus dakwahnya, Al-Ghazali berpendapat bahwa
fenomena kemanusiaan dan keruntuhan suatu masyarakat,
tidak semata-mata disebabkan oleh mundurnya pemikiran,
tetapi juga oleh kemunduran moral-spiritual yang melanda para
pemimpinnya. Oleh karena itu, seorang pemimpin, selain harus
menguasai ilmu pengetahuan, tata pemerintahan, dan wawasan
yang luas, ia juga harus mempunyai moralitas yang tinggi.
Masyarakat yang adil dan makmur akan tercipta apabila
pemimpin sebagai pelaksana amanah rakyat mempunyai
integritas dan moralitas yang tinggi. Karena, pemimpin
mempunyai peran yang sangat dominan dalam menjalankan
pemerintahan.
Pemimpin memegang tanggung jawab yang berat dan
tugas yang mulia. Ia harus mempunyai kepribadian yang utuh
dan semangat perbaikan diri terus-menerus. Karakter dan
moralitas pemimpin merupakan masalah utama, karena
pemimpin adalah simbol kekuasaan dan kredibilitas suatu
bangsa, sekaligus pemimpin tertinggi dari suatu negara.
Pemimpin Ideal adalah Negarawan Teladan
Islam adalah landasan dasar dalam perumusan sistem,
gerakan moral, dan etika politik pemerintahan, sehingga
kebijakan-kebijakan politik penguasa senantiasa harus merujuk
pada prinsip ajaran Islam.
Madinah adalah negara Islam pertama yang didirikan oleh
Rasulullah Saw. Apa yang telah dilakukan beliau telah hijrah dari
Mekkah ke Madinah adalah memimpin rakyat Islam dan

147
memerankan dirinya bukan sebagai rasul semata, tetapi juga
sebagai kepala negara Islam Madinah.
Rasulullah Saw benar-benar menunjukkan kemampuan luar
biasa dalam hal pengelolaan sebuah negara. Karena itu, konsep
Islam sangat menekankan masalah pemimpin dan kepemimpinan
dalam sebuah wilayah atau negara, khususnya dalam praktik-
praktik penguasa.
Kepemimpinan ideal, sesungguhnya, dapat dilihat dari
kemampuan seorang pemimpin yang dapat menjaga kredibilitas,
kedisiplinan, konsistensi, komitmen, visi, dan kehidupan yang
sederhana artinya tidak berlebihan dalam segala sikap dan
tindakan.
Maka, pemimpin ideal sebuah pemerintahan adalah sosok
negarawan yang memiliki kriteria seorang pemimpin teladan
dengan kapasitas moral yang tinggi. Itu merupakan prasayarat
bagi terciptanya kehidupan yang baik dalam masyarakat.
Diskusikan soal-soal di bawah ini:
1. Selain pemuka agama, rasulullah Saw juga sebagai
pemimpin Negara. Jelaskan kepribadian Rasul baik
sebagai pemimpin agama maupun Negara.
2. Mengapa Rasullah Saw. bisa sukses kedua-duanya.
3. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keteladanan
Rasulullah Saw. Sebagai negarawan.
4. Pemimpin ideal adalah jika memilki siafat-sifat yang
bagaimana. Sebutkan!
5. Kemukakan konsep kepemimpinan Rsulullah Saw. sebagai
uswah al-hasanah.

148
BAGIAN KETIGABELAS
URGENSI KEPEMIMPINAN DALAM KOMUNITAS
MASYARAKAT ISLAM INDONESIA

Sebagai risalah yang sempurna, Islam tidak hanya


mengajarkan tentang aspek-aspek rohaniah, ibadah (ritual)
semata, akan tetapi ajaran Islam meliputi seluruh aspek
kehidupan manusia. Kebenaran risalah Islam sebagai rahmat bagi
seluruh alam terletak pada kesempurnaan Islam sebagai agama.
Bahkan Islam itu ibarat ratu adil yang menjadi tumpuan
harapan sebagian besar umat manusia. Ia harus mengangkat
ummat dari kehinaan menjadi mulia, menunjuki manusia yang
tersesat jalan, membebaskan manusia dari kedzaliman,
melepaskan manusia dari rantai perbudakan, dan diskriminasi
antar sesama. Tugas Islam memberikan dunia hari depan cerah
dan penuh harapan. Manusia akhirnya merasakan nikmat karena
Islam (Razak, 2009: 80).
Konsekuensi dari keharusan terwujudnya risalah Islam di
muka bumi ini, maka setiap pemeluk Islam memikul tanggung
jawab bekerja memperjuangkannya. Dengan kata lain bahwa
setiap muslim berkewajiban untuk mendakwahkan Islam, yaitu
merubah situasi yang belum Islami ke dalam situasi islami dalam
berbagai aspek kehidupan adalam bahasa lain
menginternalisasikan Islam kedalam kehidupan manusia.
Al-Quran menegaskan bahwa manusia diciptakan antara lain
untuk menjadi khalifah di muka bumi ini yang memiliki
kewajiban untuk mengelola kehidupan dunia sesuai dengan
kehendak Allah. Maka dengan bekal Islam, kaum muslimin
dituntut untuk mampu memecahkan masalah-masalah yang

149
dihadapi dengan menjadikan Al-Quran sebagai terms of refferen-
nya.
Dalam tugas kekhalifahan itu menurut M. Amin Rais (1998:
25), dakwah menjadi bagian paling esensial, karena pembangunan
manusia dan masyarakat sebagaimana di kehendaki Allah Sang
Maha Pencipta hanya dapat terselenggara jika secara individual
maupun kolektif manusia dan masyarakat menyambut dakwah ila
Allah dan menebarkan amal shaleh.
Karena risalah Islam meliputi seluruh aspek kehidupan
manusia, maka kegiatan dakwah pun sesungguhnya meliputi
semua dimensi kehidupan manusia itu. Dengan demikian kegiatan
budaya, politik, ekonomi, sosial, dan lainnya dapat dijadikan
kegiatan dakwah Islam.
Dakwah merupakan rekonstruksi muslim sesuai dengan
ajaran Islam. Semua bidang kehidupan dakwah dijadikan arena
dakwah, dan seluruh kegiatan hidup manusia bisa digunakan
sarana atau wasilah dakwah. Kegiatan politik misalnya,
sebagaimana kegiatan ekonomi, usaha-usaha sosial, gerakan-
gerakan budaya, kegiatan-kegiatan ilmu dan teknologi, kreasi
seni, kodifikasi hukum, dan lain sebagainya, bagi seorang muslim
seharusnya memang menjadi alat dakwah (Amin Rais, 1998: 27).
Politik sebagai salah satu aspek kehidupan manusia menurut
Miriam Budiarjo (1989: 8), pada umumnya dapat dikatakan
bahwa politik (politics) adalah bermacam-macam kegiatan dalam
suatu sistem politik (negara) yang menyangkut proses menentukan
tujuan-tujuan dari sistem dan melaksanakan tujuan itu.
Pengambilan keputusan (decision making) mengenai apakah yang
menjadi tujuan dari sistem politik itu menyangkut seleksi antara

150
beberapa alternative dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-
tujuan yang telah dipilih.
Kebijakan yang bersifat umum yang meliputi pengaturan
dan pembagian, merupakan hal yang mesti ada dalam rangka
melaksanakan tujuan-tujuan di atas. Untuk melaksanakan
kebijaksanaan-kebijaksanaan itu, perlu dimiliki kekuasaan
(power) dan kewenangan (authority), yang akan dipakai baik
untuk membina kerja sama maupun untuk menyelesaikan konflik
yang mungkin timbul dalam proses ini. Cara-cara yang dipakinya
dapat bersifat persuasive (meyakinkan) dan jika perlu bersifat
paksaan (coercion) (Budiarjo, 1989: 8).
Politik sebagai aspek penting dalam kehidupan manusia,
bahkan bagi seorang muslim hendaknya menjadi kegiatan integral
dari kehidupan yang utuh, mengingat bahwa suatu masyarakat
hanya bisa hidup secara teratur kalau ia hidup dan tinggal dalam
sebuah negara dengan segala perangkat kekuasaannya. Politik
sangat menentukan corak sosial, ekonomi, budaya, hukum, dan
berbagai aspek kehidupan lainnya (Amin Rais, 1998: 27).
Mengenai definisi politik, Amin Rais (1990: 27)
berpendapat, bahwa politik dapat didefinisikan dengan berbagai
cara. Tetapi bagaimanapun ia didefinisikan, satu hal sudah pasti,
bahwa politik menyangkut kekuasaan dan bagaimana cara
penggunaan kekuasaan.
Ungkapan di atas sejalan dengan pendapat yang diajukan
Meriam Budiarjo (1989: 102), bahwa politik pada intinya adalah
semua kegiatan yang menyangkut masalah merebutkan dan
mempertahankan kekuasaan. Perjuangan kekuasaan ini
mempunyai tujuan yang menyangkut kepentingan seluruh
masyarakat.

151
Prof. Hertz dalam bukunya Political Realism and Idealism
yang dikutip oleh F. Isjwara (2005: 54) mengakui bahwa
kekuasaan adalah satu keharusan bagi hidup bersama, yang aman
dan tentram. Apabila manusia mengutamakan keamanan daripada
kekacauan dan anarki, maka manusia harus menerima kekuasaan
sebagai sesuatu yang tidak dapat dielakkan. Dan karena hidup
bersama manusia didasarkan atas perdamaian dan keamanan,
maka sebagai konsekuensinya manusia harus menerima dilema
itu.
Kekuasaan merupakan gejala sosial, gejala yang terdapat
dalam pergaulan hidup. Kekuasaan adalah gejala antar individu,
antar individu dengan kelompok, atau antar kelompok, atau antar
Negara dengan Negara, gejala kekuasaan hanya dikenal oleh
manusia (Isjwara, 2005: 52).
Ada dua jenis kekuasaan dalam politik yang saling
berlawanan. Pertama kekuasaan antagonis dan yang kedua
kekuasaan integrasi. Keduanya walaupun bertentangan, tapi mesti
ada dan harus terjadi. Dalam kata pengantar buku Sosiologi
Politik, karya Mourice Duverger, Alfian (1982: XIII)
mengemukakan, ada dua corak pengaruh yang ditimbulkan oleh
kekuasaan. Pertama, bila orang melihat pertempuran, dalam hal
ini kekuasaan memungkinkan mereka berhasil merebut dan
mengontrolnya untuk berkuasa dan mempertahankan kekuasaan di
dalam masyarakat. Di samping itu, ada pihak lain yang menentang
dan ingin merebut kekuasaan itu untuk tujuan yang sama. Disini
kita lihat kekuasaan memainkan peranan sebagai biang konflik
dan alat untuk menindas. Aspek kedua muncul bilamana orang
menganggap bahwa politik adalah suatu upaya untuk menegakkan
ketertiban dan keadilan. Dalam hal ini kekuasaan dilihat sebagai

152
pelindung kepentingan dan kesejahteraan umum me;lawan
tekanan dan aturan berbagai kelompok kepentingan.
Dengan demikian di satu pihak kekuasaan berfungsi sebagai
biang antagonis (konflik), sementara di pihak lain dalam waktu
yang bersamaan juga berfungsi sebagai benmih integrasi dan
kerjasama. Dialetika antagonisme (konflik) dengan integrasi
merupakan hakekat dari politik.
Sebenarnya kekuasaan bukanlah sesuatu yang baik atau
buruk, karena baik atau buruknya kekuasaan hanya dapat dinilai
dari penggunaan kekuasaan itu. Apa yang dikemukakan Mourice
Duverger di atas, jelas ditujukan pada nilai-nilai pragmatis sebuah
kekuasaan.
Sebagai bagian integral dari syari’at Islam, politik bagi
kaum muslimin hendaknya juga merupakan bagian integral dari
aktivitas kehidupannya. Dengan landasan ini Islam jelas menolak
adanya sekularisasi -lebih jauh lagi sekularisme- yang
memisahkan agama dari kegiatan politik.
Politik menurut konsepsi syari’at Islam adalah politik yang
didasarkan atas moralitas keagamaan dengan tauhid sebagai
ruhnya. Sehingga kekuasaan bagi kaum muslimin bukan untuk
kekuasaan atau politik untuk politik., melainkan politik atau
kekuasaan yang penuh komitmen kepada Tuhan pemelihara alam
Allah SWT.
M. Amin Rais (1990: 31) membagi politik kedalam dua
tingkatan yaitu politik kualitas tinggi (high politic) dan politik
kualitas rendah (low politic). Menurutnya politik kualitas tinggi
sekurang-kurangnya memiliki tiga cirri :
Pertama, setiap jabatan politik pada hakekatnya amanah dari
masyarakat, yang harus dipelihara sebaik-baiknya. Kekuasaan

153
harus dipandang sebagai nikmat yang dikaruniakan Allah untuk
mengayomi masyarakat, menegakkan keadilan, dan memelihara
orde atau tertib sosial yang egalitarian.
Kedua, setiap jabatan politik mengandung
pertanggungjawaban (mas’uliyah), sebagaimana yang diajarkan
oleh Nabi, setiap orang pada dasarnya pemimpin yang harus
mempertanggungjawabkan kepemimpinannya atau tugas-
tugasnya, yang bukan hanya tanggung jawab di hadapan lembaga
atau institusi, melainkan juga di hadapan Allah kelak di akherat –
tanggung jawab inilah justru yang paling penting-.
Ketiga, kegiatan politik harus dikaitkan secara ketat dengan
prinsip-prinsip ukhuwah (brotherhood), yakni persamaan diantara
umat manusia, yang dalam arti luas meliputi batas-batas etnik,
rasial, agama, latar belakang sosial, keturunan, dan sebagainya.
Sebagai khalifah Allah di muka bumi, kaum muslimin
berkewajiban untuk menjalankan sistem politik yang selaras
dengan tuntutan syari’at, sehingga dunia akan dapat dikendalikan
sesuai dengan ketentuan Sang Pencipta. Dengan politik seperti ini,
tak dapat diragukan lagi merupakan bagian dari dakwah, karena
berpijak pada sumber yang sama serta berjalan pada poros yang
sama dan keduanya bertujuan untuk menciptakan dunia yang
berjalan selaras dengan tentuan Ilahi.
Seperti sudah dikemukakan di atas, bahwa politik tidak
terlepas dari kekuasaan dan cara penggunaan kekuasaan, maka
dalam sistem politik Islam pun dinyatakan adanya kekuasaan dan
penguasa serta cara-cara penggunaan kekuasaan tersebut. Dalam
Islam penguasa disebut “Amir” yang wajib dita’ati oleh umat
(rakyat). Abul A’la al-Maududi (1990: 205) menyatakan,
Siapapun yang diberi beban untuk mengatur urusan-urusan kaum

154
muslim, berhak untuk dita’ati dan diikuti di sektor masing-
masing.
Bagi Islam, keharusan taat ini bukan hanya keharusan
secara manusiawai, melainkan kewajiban syariat, sehingga
siapapun yang menolak kewajiban ini, maka termasuk kepada
perbuatan maksiat (berdosa). Begitu pentingnya masalah ketaatan
ini, sehingga Al-Quran mensejajarkan ketaatan kepada pemimpin
ini dengan ketaatan kepada Allah dan ketaatan kepada Rasul-Nya.
Umar bin Khatab berkata : “Tak ada Islam kecuali dengan jamaah,
tak ada jamaah kecuali dengan kepemimpinan, dan tak ada
kepemimpinan kecuali tanpa ketaatan” (Abdurrahman, 1993: 35).
Oleh karena itu Islam menekankan akan urgensi loyalitas
kepada jamaah muslimin dan ketaatannya kepada pemimpin
mereka, serta tidak keluar dari jamaah, kecuali dalam keadaan
yang sangat mendesak. Loyalitas dan ketaatan umat (rakyat
kepada pemimpinnya, itu didasari keikhlasan mereka untuk
berbai’at, sehingga bai’at menurut sistem politik Islam merupakan
peneguhan antara umat kepada imam atau khalifah mereka
(Abdurrahman, 1993: 35-36).

Pemimpin Masyarakat Islam


Telah menjadi kesepakatan (ijma) para ulama, bahwa
sesudah wafatnya Nabiyullah Muhammad Saw., tidak boleh taat
kepada pemimpin (ulil amri) kecuali dalam batas-batas yang telah
diperintahkan Allah; dan para fuqaha (ahli fiqh Islam) dan para
mujtahidin telah sepakat pula, bahwa taat hukumnya tidak wajib,
melainkan dalam apa yang diperintahkan oleh Tuhan, dan tidak
ada perselisihan atau silang pendapat diantara mereka, baik

155
menurut perkataan, maupun dalam i’tikad, bahwa tidak boleh taat
bagi makhluk dalam hal-hal yang mendurhakai khalik.
Bagi pemimpin Islam, harus memastikan menjamin
terlaksananya nas-nas syari’at Islam. Dan mampu mengatur
masyarakat dan melindungi serta memenuhi kebutuhan atas
tegaknya (asas-asas) syari’at Islam di tengah-tengah kehidupan
masyarakat.
Oleh karena itu, pemimpin yang ditaati adalah mereka
yang mentaati Allah dan Rasul-Nya. Maka setiap perintah
pimpinan yang tidak bertentanagan dengan hukum-hukum Allah
dan Rasul-nya wajib ditaati. Dan sebaliknya jika seorang
pemimpin menyuruh atau memberi instruksi, tetapi perintah itu
bertentangan dengan hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya, tidak
patut didengar dan ditaati.
Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatlah
Rasul-Nya, dan ulil amri diantara kamu.kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah dan Rasul (Qur’an dean sunnahnya) jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian
itu nlebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya (Qs. An-
Nisa :59).
Dan barangsiapa mengambil (menjadikan) Allah dan
Rasul-nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya
(pemimpin), maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah. Itulah
yang pasti menang (QS.Al-Maidah :56). Hai orang-orang yang
beriman janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu,orang-
orang yang membuat agamamu menjadi buah ejekan dan
permainan, yaitu diantara orang-ornag yang telah diberi kitab
sebelummu, dan oaring-rang yang kafir, orang-orang yang

156
musyrik. Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul
orang yang beriman (QS.Al-Maidah :57).
Selain itu perlu diperhatikan, bahwa ketaatan kepada
pimpinan bukan didasarkan kepada keturunan, golongan, karena
suka atau tidak suka, akan tetapi karena kemampuan
kepemimpinannya walaupun dari golongan atau keturunan mana
pun juga. Dalam hubungan ini Rasulullah Saw pernah bersabda;
Dengar dan taatlah, walaupun hamba bangsa Habsyi yang
menajdi pemimpinmu, selama ia menjalankan hukum Allah
diantara kamu.
Allah telah memberikan patokan, bagaimana ketentuan
kaum muslimin dalam mengangkat pemimpinnya. Dewasa ini
banyak para pemimpin yang dengan kelicikannya mengaku islam
hanya untuk mencari dan memperoleh dukungan. Akan tetapi
apabila dukungan itu telah berhasil, maka kembali ajaran Islam
ditinggalkannya.
Mereka sangat pandai membuat siasat dan strategi, bisa
senyum di hadapan orang yang tidak disukainya. Semua mereka
lakukan hanya untuk memperoleh kedudukan dengan mencari
dukungan. “Ingat kamu ini suka kepada mereka, sedang mereka
tidak suka kepadamu, dan kamu percaya kepada isi kitab-kitab
semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata:
Kami beriman, dan apabila mereka menyendiri, menggigit ujung
jari lantaran mereka bercampur benci terhadap kamu.
Katakanlah kepada mereka, matilah kamu karena kemarahanmu
itu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati “(QS. Ali
Imran:118)
Dilarang pula menurut Islam, orang yang mempermainkan
agama diangkat sebagai pemimpin, Firman Allah: “Hai orang-

157
orang yang beriman. Janganlah kamu jadikan pemimpinmu dari
orang-orang yang memperolok-olokkan dan mempermainkan
agamamu yaitu diantara orang-orang yang telah diberi mkitab
sebelummu, dan orang-orang kafir(orang-orang musyrik). Dan
bertakwalah kepada Allah jika kamu benar-benar orang-orang
yang beriman (QS.Al-Maidah:57).
Sebagaimana diajarkan dalam Islam, bahwa ketaatan
kepada pemimpin adalah hanya terbatas dalam hal baik menurut
pandangan agama. Hanya ntaat itu dalam hal yang ma’ruf
(Innama tha’atun bil al-ma’ruf). Bagaimana sekiranya pemimpin
itu memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan agama?
Nabi bersabda “Barangsiapa diantara mereka memerintah kamu
dengan (kepada) maksiat, maka tidak boleh didengar dan tidak
boleh ditaati.
Mendengar dan mentaati wajib atas manusia dalam apa-
apa yang ia sukai dan juga dalam apa yang tidak disukai, kecuali
bila ia disuruh kepada sesuatu yang maksiat, maka tidak boleh
didengar dan tidak boleh pula ditaati (assamu’u waththa’atu ‘alal
mar’I fima ahabba wa kariha illa an yuammara bi ma’shiyatin
fala sama wala tha’ata).

Sekilas tentang asal-usul pemimpin umat Islam Indonesia.


Sebenarnya agak sulit mendefinisikan dengan tegas siapa
dimaksud dengan pemimpin Islam di Indonesia, pertama karena
definisi adalah masalah persepsi, dan kedua, definisi itu selalu
berkembvang. Perkembangan definisi pemimpin Islam sejalan
dengan perkembangan sejarah Indonesia.
Ada tiga fase dalam periodisasi kepemimpinan Islam di
Indonesia. Setiap fase menunjukkan genesis kepemimpinan yang

158
khas. Pertama, fase ulama. Pada babakan inbi, seseorang menjadi
pemimpin Islam karena ia memiliki pengetahuan agama yang
mendalam. Ia menjadi rujukan umat. Ia melewati masa awal
hidupnya di pesantren sebagai santri dan menghabiskan sisa
hidupnya juga di pesantren sebagai kiai. Dari pesantrennya keluar
para santri yang nanti menjadi “agen-agen” kiai di seluruh
Nusantara. Lewat para santri, kiai melebarkan pengaruhnya secara
nasional bahkan internasional. Dari sejartah, diketahui bahwa
pemimpin masyarakat yang potensial adalah ulama pesantren.
Kepemimpinan kiai bersifat transformasional. Ia
memotivasi, mengubah, menggerakkan, dan mengarahkan
pengikutnya ke tingkat intelektual dan spiritual yang lebih tinggi.
Pada gilirannya, para pengikutnya juga “mengontrol” kiai dengan
menempatkan kiai sebagai anutan dan rujukan. Tidak ada
hubungan transaksional pada babakan atau fase pertama ini.
Kedua, fase organisator. Sebagai reaksi terhadap
kebijaklan politis colonial, mungkin antara lain politik etis, umat
Islam membentuk organiosasi (social, ekonomi, atau politis).
Syarikat Islam, Muhammadiyah, NU, Persis, Jami’atul Khair, dan
lain-lain. Pada babakan ini, pemimpin Islam adalah pemimpin
organisasi Islam. Tentu saja karier kepemimpinan kini tidak
dimulai dari pesantren, tetapi di organisasi. Orasng menapak
secarta berangsur-angsur atyau melompat hieraki orgnisasi.
Variable kepemimpinan yang utama tidak lagi pengetahuan agama
yang mendalam, tetapi keterampilan organisasi (organizational
skill), termasuk lobbying dan kasak-kusuk, yang sampai ke tingkat
nasional, melalui jenjang organisasi, pada umumnya adalah orang
yang mempunyai pijakan lokal.

159
Pada awal fase ini terjadi persaingan antara tipe pemimpin
pesantren dengan tipe pemimpin organisator. Persaingan ini
mencapai puncaknya pada Masyumi. Tipe pemimpin pesantren
akhirnya tergeser atau digeser. Mereka memisahkan diri dari
Masyumi dan “memandirikan” (bukan mendirikan) NU. Akan
tetapi, yang terjadi pada Masyumi kemudian juga terjadi di NU,
pergolakan nyang btrimbul karenma pergesekan antara pemimpin
pesantren dengan pemimpin organisator masih berlangsung
sampai sekarang.
Ketiga fase pemuka pendapat (opinion leader). Pada fase
pertama, pemimpin ulama lahir dan dibesarkan dipesantren. Pada
fase kedua, pemimpin organisator lahir dari dan dibesarkan
organisasi. Dimana dibesarkan pemimpin fase ketiga?
Di media massa yang dianggap sebagai pemimpin adalah
para empu yang dianggap pandai melontarkan isu-isu penting
untuk dijadikan agenda media massa (Jalaudiin Rakhmat:
1999:32). Mereka menulis di media, atau menghadiri berbagai
seminar dan diskusi. Atau mereka mampu menyedot massa yang
banyak dalama macara-acara mereka. Apabila media massa yang
mengagendakan isu-isu mereka itu local, mereka menjadi
pemimpin Islam local. Apabila medianya nasional, meeka menjadi
pemimpin Islam nasional.
Oleh karenanya, jika pengikut fase pertama, santri, fase
kedua, anggotanya organisasi, maka pengikut fase ketiga adalah
“fans” (penggemar). Pda fase ketiga pemimpin Islam menjadi
“idola”. Ada dua jenis pemimpin pada fase ketiga.
Pertama, mubaligh. Ia mungkin memulai kariernya pada
tingkat local. Ia berbicara pada mejelis-majelis taklim atau stasiun
radio. Ceramahnya direkam, kemudian diproduksi dijual secara

160
nasional. Media massa menyiarkan ceramahnya dan
menokohkannya. Tidak perlu mubaligh itu berasal dari pesantren;
tidak perlu menguasai pengetahuan Islam yang mendalam; juga
tidak perlu ia memiliki keterampilan komunikasi, termasuk
kemampuan menyajikan Islam sebagai pop culture. Karena
digemari oleh orang banyak, para mubaligh menjadi celebrities
(artis, pelawak, perancang mode, misalnya). Terjadilah tumpang
tindih. Mubaligh menjadi artis, dan sebaliknya artis menjadi
mubaligh.
Kedua, cendekiawan. Apabila mubaligh lebih banyak
menyentuh ranah afektif, cendekiawan bergerak di ranah kognitif.
Ia dibesarkan lewat kerja sama kampus dengan media massa.
Melalui tulisan di media, seminar, dan diskusi, para cendekiawan
membentuk jaringan pengikutnya. Seperti kata Abdul Rahman
Wahid (Gus Dur), umumnya pengetahuan agama mereka sangat
dangkal (Jalaluddin Rahkmat; 1999:33). Akan tetapi analisis
mereka tentang persoalan umat sangat tajam. Mereka membentuk
opini, sikap, dan akhirnya tindakan umat Islam. Seperti pemimpin
para ulama pada fase pertama, mereka juga menjadi rujukan daan
anutan. Kepemimpinan mereka juga lebih bersifat
transformasional daripada transaksional.
Seperti pada fase kedua, sekarang ada tarikan yang kuat
memasukkan cendekiawan kedalam jaringan birokrasi. Apabila itu
terjadi, seperti para pendahulu mereka, para cendekiawan akan
digeser oleh pemimpin organisator. Pola transformasional akana
diganti dengan pola transaksional. Karena massa umat Islam
cenderung tidak menyukai pandangan birokrat, mereka pun akan
kehilangan banyak pengikut.

161
Di samping itu ada upaya untuk memasukkan
cendekiawan pada organisasi (politik atau massa) Islam. Secara
formal, mungkin banyak diantara mereka sudah berada dalam
organisasi, tetapi naik ke posisi pemimpin tidak melalui jalur-jalur
organisasi. Apabila kemudian mereka menjadi pemimpin
organisator, mereka akan mengalami nasib seperti para pemimpin
organisasi. Kepemimpinan mereka menjadi transaksional, dan
umatnya akan terbatas lagi pada lingkungan organisasi yang
dimasukinya.
Dengan demikian, karakteristik fase kedua masih
mewarnai kepemimpinan Islam sekarang ini. Perubahan besar
mungkin akan terjadi apabila tipe pemimpin fase ketiga ini
bekerjasama dan bergabung dengan pemimpin ulama. Yakni
pesantren, kampus dan media massa bersama-sama membesarkan
mereka.
Terlepas dari semua itu, siapakah sebenarnya tergolong
sebagai peimpin umat dan bagaimana corak dan gaya
kepemimpinan mereka dalam praktik kesehariannya? Untuk
menjawab pertanyaan itu, barangkali telaah sosiologis Max
Weber, sebagaimana dikutif Malik Fajar (1999:44), bisa dijadikan
pangkal berangkatnya.
Sebagaimana yang diungkapkan Weber, ada tingkatan
ukuran tentang orang yang tergolong sebagai pemimpin. Pertama,
mereka yang secara tradisional atau berdasarkan keturunan
(genetis), berhak menyandang dan bisa diterima sebagai
pemimpin serta mewarisi kepemimpinan leluhurnya.
Kedua, mereka yang secara karismatis dalam arti
berdasarkan kelebihan yang dimiliki, berhak menyandang dan
bisa diterima sebagai pemimpin serta mewakili aspirasi dan

162
kepentingan umatnya. Ketiga, mereka yang secara rasional, dalam
arti memenuhi persyaratan formal untuk diangkat dan didudukkan
sebagai pemimpin.
Ketiga jenis ukuran itu (tradisional, karismatik, dan
rasional), dalam kepemimpinan umat Islam, tampaknya akan terus
berlangsung. Kalaupun terjadi pergeseran, (karena pengaruh
perubahan sosial, budaya, ataupun ekonomi dan politik), sifatnya
hanyalah adaptatif. Artinya pergeseran itu tidak terlalu mendasar,
bahkan cenderung sekedar merupakan “kompromi”, agar tidak
timbul gejolak yang mengakibatkan perpecahan.

Pemimpin yang ideal bagi umat Islam di Indonesia.


Pemimpin yang ideal paling tidak harus memenuhi
beberapa syarat (Din Syanmsuddin:1999 :36): Peratama, ia harus
memeilikim penerimaan (acceptability) di kalangan umat sendiri,
baik pada tingkat local maupun pada tingkat nasional, dan bahkan
internasional.
Kedua, ia harus memiliki penghargaan di kalangan umat
itu (accountability) baik karena kepengurusannya kemampuannya
atas ilmu-ilmu keagamaan, maupun karena kemampuan
manajerial dalam menjalankankan roda organisasi
kepemimpinannya. Dalam ungkapan lain, seorang pemimpin
adalah seorang yang mampu memadukan kealiman yang tinggi
dan kealiman yang dalam. Ini tidak hanya pemimpin bawahan,
anggota atau jamaah, tetapi juga pembimbing spiritual dan
intelektual mereka.
Ketiga, ia perlu memiliki kredibilitas di kalangan
pemerintah dan umat lain sehingga dapat menhadirkan Islam

163
sebagai rahmatan lil alamin dalam konteks kekuasaan dan
kemajemukan masyarakat Indonesia.
Sejauh menyangkut identitas di atas, sepertinya tidak ada
masalah atau kita semua dapat ber-muttafaq’alaih. Masalah yang
tersisa adalah bagaimana mewujudkan sang pemimpin ideal tadi.
Bahkan masalah mendasar adalah mungkinkah identitas tersebut
terwujud dalam konteks ralitas umat Islam Indonesia.
Realitas umat Islam di Indonesia menunjukkan fenomena
kemajemukkan, baik dalam paham keagamaan maupun dalam
menifestasinya pada gerakan-gerakan sosial keagamaan.
Kemajemukan ini sejalan dengan kemajemukan masyarakat
Indonesia itu sendiri, atas dasar suku bangsa, bahasa dan agama.
Sigmentasi umat Islam di Indonesia antara lain
mempunyai dimensi kultural;. Keragaman kelompok umat Islam
mempunyai latar budaya keagamaan (religio -cultural) yang
relatif berbeda, sejalan dengan perbedaan latar “budaya
kemasyarakatan”(sosio cultural) mereka.

Diskusikan pertanyaan di bawah ini:


1. Kedudukan politik kekuasaan dalam kepemimpinan Islam.
2. Sejarah kepemimpinan Islam di Indonesia.
3. Pembagian periodesasi atau fase kepemimpinan Islam di
Indonesia.
4. Apa yang dimaksud corak kepemimpinan tradisional,
karismatik, dan rasional.
5. Corak kepemimpinan tradisional, karismatik, dan rasional,
dalam kepemimpinan umat Islam diprediksi akan terus
berlangsung. Mengapa?

164
DAFTAR RUJUKAN

Al-Qur’an al-Karim.
Abdul Ahmad Sachedina, 1995. Kepemimpinan dalam Islam
Perspektif Syi’ah, Mizan, Bandung.
Ahmad, Mumtaz, 1993 Masalah-masalah Teori Politik Islam,
a.b.Ena Hadi, Mizan, Bandung.
Al-Bauthy, Muhammad Sa’id Ramdan, 1991 Fiqh al-Sirah al-
Nabawiyah, Daar al-Fikr Mu’ashir, Beirut.
Al-Bukhari, Abi ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il t.t.
Shahih Bukhari, Juz III, Syirkah Nur Asia.
Al-Ghadban, Syeik Munir, 1992 Manhaj Haraki Dalam Sirah
Nabi, a.b.Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Robbani Press,
Jakarta.
Al-Maududi, Abu al-‘Ala, 1990 Sistem Politik Islam,
a.b.Asep Hikmat, Mizan, Bandung.
Amitai Etzioni, 1982. Organisasi-organisasi Modern, UI Jakarta.
Pustaka Brajaguna. Jakarta.
Antarikso dkk., 1989, Manajemen, Erlangga, Jakarta.
Apter, David E., 1983 Pengantar Analisa Politik, a.b. Kathur
Pustaka al-Kautsar, Jakarta.
Atmosudirdjo, 1976. Pengambilan Keputusan (Decision Making),
Gunung Agung, Jakarta.
Badri Yatim, 1999. Sejarah Sosial Keagamaan Tanah Suci,
Logos, Jakarta.
Budiardjo, Miriam, 1989 Dasar-dasar Ilmu Politik, PT.
Gramedia, Jakarta
Ezzati, A., 1990 Gerakan Islam Sebuah Analisis, a.b.
A.Sulistiyadi,Pustaka Hidayah, Jakarta.
Hadari Nawawi dan Martini Hadari, Kepemimpinan Yang Efektif,
1995, Gajah Mada University Press, Jogjakarta.
165
Haekal, Muhammad Husain, 1992 Sejarah Hidup Muhammad,
a.b. Ali, Audah Litera Antar Nusa, Jakarta.
Harun Nasution, dkk., 1992. Ensiklopedia Islam Indonesia,
Jambatan, Jakarta.
Hisyam al-Thalib, 1993, Training Guide for Islamic Workers,
Virginia, IIFSO-IIIT.
Ibnu Khaldun, 1986 Muqaddimah, a.b. Ahmadie Toha, Pustaka
Firdaus, Jakarta.
Imam As-Suyuti, Tarikh Khulafa, 2003, Pustaka Al-Kautsar,
Jakarta.
Imam Munawir, (tt), Asas- asas Kepemimpinan dalam Islam,
Usaha Nasional, Surabaya.
Inu Kencana Syafiie dan Arviyan Arifin, 2004. Al-Qur’an dan
Ilmu Administrasi, Asdi Mahasatya, Jakarta.
Isjwara, F, 1992 Pengantar Ilmu Politik, Bina Cipta,
Bandung.
James McGregor Burns, 1979. Leadership, New York, Harper &
Row.
Kartini kartono, 1988. Pemimpin dan Kepemimpinan, Rajawali,
Jakarta.
M. Watt, 1991, Muhammad Nabi dan Negarawan, Intermasa.
Jakarta.
Maksum (ed)., 1999. Mencari Pemimpin Umat, Mizan. Bandung,
Mar’at, 1984. Pemimpin dan Kepemimpinan, Ghalia Indonesia,
Jakarta.
Mohammad S, 1983 Sistem Politik Dalam Pemerintahan Islam,
A.b, Anshari Tayyib, Bina Ilmu, Surabaya.
Muhammad Syafii Antonio, 2011, Ensiklopedia Leadership &
Manajemen Muhammad SAW. Tazkia Publishing, Jakarta.

166
Pamudjhi, 1989. Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia, Bina
Aksara, Jakarta.
Panglaykim, J. 1984. Manajemen, Ghalia Indonmesia, Jakaarta.
Porter dkk. 1964. Studies in Organization Behavior and
Management, Scantion: International Texbook Co.
Rais,Amin.M., 1990. Cakrawala Islam antara Cita dan Fakta,
Mizan, Bandung
Said Agil Husin Al-Munawar, 2002, Al-Qur’an Membangun
Tradisi Kesalehan Hakiki, Ciputat Pers. Jakarta,
Soejono, 1984. Analisis Kepemimpinan, Angkasa, Bandung.
Sondang P. Siagian, 1984. Filsafat Administrasi, Gunung Agung,
Jakarta.
Syamsuddin, RS. 2012, Sejarah Dakwah Islam, Insan Komunika,
Bandung.
Viethzal Rivai dan Arviyan Arifin, 2013. Islamic Leadership,
Bumi Aksara, Jakarta,
Ziauddin Sardar, 1985. Masa Depan Islam (terj) Pustaka, Jakarta.

167
KISI-KISI PENELITIAN LEMBAGA/INSTITUSI
MATA KULIAH : KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM

UNSUR-UNSUR YANG HARUS ADA DALAM LAPORAN


PENELITIAN:

1. NAMA, ALAMAT, SEJARAH BERIDIRNYA


LEMBAGA YANG DITELITI;
2. SIAPA PIMPINAN, BAGAIMANA STRUKTUR
KEPEMIMPINANNYA (ORGANISASI)/
3. VISI-MISI NYA.
4. PRODUK/BERGERAK DI BIDANG;
5. SUKSESI KEPEMIMPINAN;
6. SISTEM KEPEMIMPINAN
7. ANALISIS SISTEM KEPEMIMPINAN.
8. PENUTUP

168

Anda mungkin juga menyukai