Anda di halaman 1dari 38

METODOLOGI STUDI ISLAM

Perspektif Mohammed Arkoun Dan Ibrahim M. Abu Rabi

Disusun untuk memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Pendekatan Studi Islam
Program Studi S-2 Pendidikan Agama Islam, Program Pascasarjana
STAI Sukabumi

Dosen Pengampu Mata Kuliah :

Dr. Yurna, M.A.

Disusun Oleh :
1. Muhammad Wathoni
2. Harianto
3. Atep Maulana
4. Herna Maulana

PROGRAM PASCASARJANA
S-2 PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) SUKABUMI
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
banyak memberikan beribu-ribu nikmat kepada kita semua. Shalawat beserta
salam semoga tetap tercurahkan kepada jungjunan kita, pemimpin akhir zaman
yang sangat dipanuti oleh pengikutnya yakni Nabi Muhammad SAW. 
Judul makalah ini “Metodologi Studi Agama dalam Perspektif Mohammed
Arkoun dan Ibrahim M. Abu Rabi” ini diangkat karena sangat penting untuk kita
ungkap dan didiskusikan untuk membuka cakrawala berfikir tentang pendekatan
studi Islam.
Selanjutnya, penyusun mengucapkan terimakasih kepada semua pihak
yang telah memberikan pengarahan-pengarahan terutama dosen pengampu mata
kuliah Ilmu Pendidikan Islam, Dr. Yurna, M.A. sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tidak lupa juga kepada bapak
dosen dan teman-teman yang lain untuk memberikan sarannya kepada kami agar
penyusunan laporan makalah ini lebih baik lagi.
Demikian, semoga laporan ini bermanfaat khususnya bagi penyusun dan
umumnya semua yang membaca laporan ini.

Sukabumi, 31 Oktober 2019

Penyusun,

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar – i
Daftar Isi – ii
BAB I PENDAHULUAN - 1
A. Latar Belakang – 1
B. Rumusan Masalah - 2
C. Tujuan – 3

BAB II PEMBAHASAN – 4
A. Biografi Ilmiah Mohammed Arkoun dan Ibrahim M. Abu Rabi – 4
B. Karya Intelektual Mohammed Arkoun dan Ibrahim M. Abu Rabi – 10
C. Pemikiran Mohammed Arkoun dan Ibrahim M. Abu Rabi – 12

BAB III PENUTUP – 32


A. Simpulan – 32
B. Rekomendasi – 33

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Studi agama adalah suatu kajian sistematis dan metodolgis terhadap
agama-agama yang ada sebagai kajian yang terbuka dan netral , studi agama
mengkaji baik dari segi asal usul keberadaannya sebagai suatu sistem keyakinan
dan kepercayaan dalam konteks hubbungan antar agama. Metodologi adalah studi
tentang metode yang digunakan dalam suatu bidang ilmu untuk memperoleh
pengetahuan mengenai pokok persoalan dari ilmu itu menurut aspek tertentu dari
penyelidikan.1
Problem diskursus studi agama dan secara khusus studi Islam dalam
pemikiran kontemporer dapat dilihat dari diskusi studi model orientalis yang
mengkritik studi tradisional. Salah satunya yang diajukan oleh Mohammed
Arkoun dengan tawaran studi agama bernama Islamologi Terapan. Tawaran ini
bertujuan sebagai ‘pembaharuan’, nmun persoalannya apakah studi yang
menginduk orientalis kontemporer ini sesuai dengan tujuan mempelajari Islam
ataukah sebuah percobaan yang bagi kalangan tradisional menyisakan
problematika. Islamologi Terapan merupakan model studi agama yang ditawarkan
oleh Mohammed Arkoun, pemikir Islam kontemporer asal Aljazair. Kajian yang
ditawarkan Arkoun ini mempraktikkan pendekatan eklektik (eclectic approach)
yang meliputi linguistik, kritik historis, psikologi dan sosiologi. Model studi ini
sebetulnya merupakan kritik teologis atas berbagai studi keislaman yang menurut
Arkoun terlalu turats centris dan logos centris yang dianggapnya menyebabkan
kemunduran keilmuan Islam. Secara umum model ini mengkaji Islam dalam
kerangka paradigma humanisme. Seluruh subjek dalam studi Islam (tafsir, fiqih,
tasawuf, kalam, dan lain-lain) debaca dalam kerangka ini dengan aplikasi
pendekatan eklektik itu.
Sedangkan kajian sejarah pemikiran Islam, Ibrahim M. Abu Rabi’
berusaha membuka kevakuman tersebut dan menyadarkan para intelektual untuk
memahami betul peran dan fungsinya dalam menggiatkan studi Islam dengan

1
Mariasusai Davamony, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta:Kanisius, 2001), h. 32.

1
perspektif keilmuan yang berkembang saat ini. Persoalan saat ini dan semakin
kompleks tidak dapat dijelaskan secara memuaskan oleh teori kajian Islam klasik
yang hanya terfokus pada kajian teks. Menurutnya, studi Islam harus terbuka dan
membuka diri terhadap disiplin-disiplin keilmuan yang ada saat ini. 2
Kesenjangan antara idealitas Islam sebagai agama yang cinta damai
(rahmatan lil ‘alamin) dan berkemajuan dengan kenyataan berbagai peritiwa
kekerasan atas nama agama serta kondisi ketertinggalan umat Islam saat ini adalah
fakta yang harus diselesaikan. Upaya penyelesaianatas problem tersebut
sebenarnya telah beberapa kali dilakukan oleh pemikir-pemikir Islam sebelumnya,
seperti Hasan Hanafi, Abed al-Jabiri, Nasr Hamid Abu Zaid dan sebagainya.
Hanya saja, kajian yang dilakukan oleh mereka cenderung berkaitan denga upaya
rekonseptualisme teks dan turas.3 Bagi mereka perlu sebuah kajian dan
pembacaan kontemporer (qira’ah mu’ashiroh) dengan pembaruan epistemologi
misalnya terhadap teks dan turas Islam sehingga mampu menelurkan pemahaman
yang komprehensif dan progresif dalam menghadapi problematika saat ini. 4
Kontribusi pemikiran dari tokoh-tokoh tersebut, terdapat corak perbedaan
pemikiran Ibrahim M. Abu Rabi’ yang berdasar pada kajian sosio-historis, Abu
Rabi berupaya mengelaborasi berbagai problematika umat Islam terkait dengan
historisnya.
Metodologi Studi Islam menurut keduanya sangat penting untuk diungkap
dan didiskusikan. Oleh karena itu, pemakalah mengangkat judul “Metodologi
Studi Islam dalam Perspektif Mohammed Arkoun dan Ibrahim M. Abu Rabi”
sebagai bagian dari pembukaan cakrawala berfikir tentang bagaimana studi islam
kontemporer.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka kami rumuskan masalah pada
makalah ini sebagai berikut :
1. Bagaimana Biografi Ilmiah Mohammed Arkoun dan Ibrahim M. Abu Rabi?

2
Hasan Mahmudh, Dari Ibrahim M. Ab u Rabi’ tentang Problematika Studi Islam Kontemporer,
Millati, Journal of Islamic Studies and Humanities, vo. 1 n0.1 Juni 2016, hlm. 23-39
3
M. Abed Al Jabiri, al-Turats wa al-Hadatsah (Beirut :Markaz Dirasat al-Wihdah al-Arabiyah,
1991), hlm.23
4
Ibid.

2
2. Bagaimana Karya Intelektual Mohammed Arkoun dan Ibrahim M. Abu Rabi?
3. Bagaimana hasil pemikiran Mohammed Arkoun dan Ibrahim M. Abu Rabi
tentang Metodologi Studi Islam?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Biografi Ilmiah Mohammed Arkoun dan Ibrahim M. Abu
Rabi
2. Untuk mengetahui Karya Intelektual Mohammed Arkoun dan Ibrahim M. Abu
Rabi?
3. Untuk mengetahui hasil pemikiran Mohammed Arkoun dan Ibrahim M. Abu
Rabi tentang Metodologi Studi Islam?

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Ilmiah Mohammed Arkoun dan Ibrahim M. Abu Rabi


1. Biografi Mohammed Arkoun
Muhammad Arkaoun lahir pada 1 Februari 19285 di Tourirt Mimoun,
Kabyliah6, Aljazair. Kabila merupakan daerah pegunungan berpenduduk Berber,
terletak disebelah timur Aljir. Berber adalah penduduk yang tersebar di Afrika
bagian utara. Bahasa yang dipakai adalah bahasa non-Arab (ajamiyah).7
Orang tua Arkoun adalah tokoh masyarakat di daerahnya dan masih
menggunakan bahasa aslinya, Kabilia. Walaupun demikian Arkoun sendiri
menguasai dengan baik bahasa Arab, bahasa nasional Aljazair yang ia pelajari
sejak muda. Tetapi dalam mengungkapkan gagasannya ia banyak menulis dalam
bahasa Prancis.8
Sebagai anak seorang pedagang rempah-rempah, Arkoun tumbuh menjadi
sarjana dan pemikir internasional yang sangat sukses.9 Arkoun berasal dari
keluarga sederhana yang tergolong pada strata sosial yang rendah. Dalam
masyarakat Kabyliah, islam berkembang melalui tradisi lisan sehingga taktek
hafalan komunal cenderung mengabaikan study literet. Ketika Arkoun lahir dan
dibesarkan, Aljazair berada dibawah kekuasaan Prancis. Prancis melakukan
kolonisasi dan menguasai Negara itu sejak 1830.10

5
2 Januari 1928, Lihat Moh. Fauzan dan Muhammad Alfan, Dialog Pemikiran
Timur Barat, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), 214., 28 Februari 1928, Lihat Baedhowi,
Humanisme Islam: Kajian Terhadap Pemikiran Filosofis Muhammad Arkoun, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008), Hal. 25.
6
Daerah Kabilia ini secara geografis terbagi menjadi dua bagian yang
terbentang di sepanjang pegunungan Jurjuran (dengan ketinggian sekitar 2.705
m/7.565 kaki dan luas kurang lebih satu juta hektar). Daerah ini terdiri dari 1). Kabilia
Besar dibagian utara dengan ibukota daerahnya Tizi-Uzu dan 2). Kabilia Kecil di
bagian sebelah selatan dan timur. Lihat Baedhowi, Humanisme Islam: Kajian Terhadap
Pemikiran Filosofis Muhammad Arkoun, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 25.
7
Hermeneutika Muhamed Arkoun: Sekedar Pengantar, (T.tp.:T.pn., 2009) 10 0f 10
8
Baedhowi, Humanisme Islam, 27
9
John. L.Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, (T.tp.: Meizan, t.t.), 174.

4
Pendidikan dasar Arkoun dimulai dari desa asalnya Kabilia 11 dan
kemudian melanjutkan sekolah menengah di kota pelabuhan Oran, sebuh kota
utama di Aljazair bagian barat yang jauh dari Kabilia. kemudian Arkoun
melanjutkan studi bahasa dan sastra di Universitas Aljir (1950-1954), sambil
mengajar bahasa Arab pada sebuah sekolah menengah atas di Al-Harach yang
berlokasi didaerah pinggiran ibu kota Aljazair.
Pada saat perang kemerdekaan Aljazair dari Prancis (1954=1962). Arkoun
melanjutkan studi tentang bahasa dan sastra Arab di Universitas Sorbonne, paris.
Ketika itu, dia sempat bekerja sebagai agrege bahasa dan kesusastraan Arab di
Paris serta mengajar SMA (Lyce) di Strasbourg (daerah Prancis sebelah timur
laut) dan diminta member kuliah di Fakultas sastra Universitas Strasbourg (1956-
1959).12
Di Universitas Sarbonne inilah Arkoun memperoleh gelar Doktor sastra
pada 1669 dengan disertasinya mengenai humanism salam pemikiran etika Ibnu
Miskawayh seorang pemikir Arab abad X Masehi yang menekuni antara lain
bidang kedokteran dan filsafat. Judul disertasi tersebutadalah L‟Humanisme
Arabe au IVe/ Xe sience: Miskawayh philosope et historian.13 Sebenarnya
penelitian disertasinya itu sudah ia persiapkan jauh-jauh sebelumnya, terbukti
pada 1961 Arkon telah menyelesaikan terjemahan, membuat pengantar dan
member catatan atas karya Miskawayh dari bahasa Arab, Tahzib al-Akhlaq
kedalam BahasaPrancis dengan judul Traite d‟Ethique (traduction francaise avec
introduction et notes du Tahzib al-Akhlaq de Miskawayh. Dua tahun kemudian ia
menulis sebuah buku tentang pemikiran Islam klasik yaitu Aspect de la pense
muselman clasique.14
Jenjang pendidikan dan pergulatan ilmiah yang ditempuh Arkoun
membuat pergaulannya dengan tiga bahasa (Berber Kabilia, Arab dan Prancis)
dan tradisi serta kebudayaannya menjadi semakin erat. Pada kemudian hari, inilah
yang cukup mempengaruhi perhatiannya yang begitu besar terhadap peran bahasa
10
Ahmad Munir, “Kritik Nalar Islam: Analisis atas Pemikiran Muhammad Arkaoun,” Al-Tahrir
Jurnal Pemikiran Islam Volt.8, no.21-40 (Januari: 2008): 23.
11
Kritik Nalar Islam: Analisis atas Pemikiran Muhammad Arkaoun,” Al-Tahrir Jurnal Pemikiran
Islam , Op.cit 23.
12
Moh.Fauzan dan Muhammad Alfan, Dialog Pemikiran Timur Barat, 214
13
Baedhowi, Humanisme Islam, Op.cit, 29
14
Baedhowi, Humanisme Islam, 30

5
dalam pemikiran dan masyarakat manusia. Ketiga bahasa tersebut mewakili tiga
tradisi, yaitu orientasi budaya, cara berpikir dan cara memahami yang berbeda
bahasa Berber Kabilia merupakan alat untuk mengunkapkan berbagai tradisi dan
nilai mengenai kehidupan social dan ekonomi yang sudah ribuan tahun usianya,
bahasa Arab merupakan alat untuk melestarikan tradisi keagamaan Islam di
Aljazair dan di berbagai belahan dunia Islam lainnya. Adapun Bahasa Prancis
merupakan bahasa administrasi pemerintahan serta alat untuk mengenal nilai-nilai
dan tradisi keilmuan Barat terutama Prancis.15
Pada tahun 1961, Arkoun dipercaya menjadi dosen Universitas tempat ia
belajar sampai 1969. Dari tahun 1970-1972, Arkoun mengajar di Universitas
Lyon., kemudian kembali ke Paris sebagai guru besar sejarah pemikiran islam di
Universitas Sarbonne Nouvelle. Arkoun juga menjadi guru bahasa Arab dan
peradaban Islam di Universitas Paris VIII (1972-1977).16
Selain mengajar, Arkoun juga mengikuti berbagai kegiatan ilmiah dan
menduduki jabatan penting di dunia akademis dan masyarakat. Dia menjabat
sebagai direktur ilmiah jurnal Arabica, anggota Panitia Nasional Perancis untuk
Etika dan Ilmu Pengetahuan Kehidupan dan Kedokteran,anggota Majelis Nasional
Perancis untuk AIDS dan anggota Legiun Kehormatan Perancis (chevalier de la
Legion d‟honneur). Dia pernah mendapat gelar kehormatan, diangkat sebagai
Officer des Palmes Academiques, sebuah gelar kehormatan Perancis untuk tokoh
terkemuka di dunia universitas dan pernah menjabat sebagai direktur Lembaga
Kajian Islam dan Timur Tengah pada Universitas Sorbonne Neuvelle (Paris).
Sosok Arkoun yang demikian ini, dapat dinilai sebagai cendekiawan yang engage,
melibatkan diri dalam berbagai kegiatan dan aksi yang menurutnya penting bagi
kemanusiaan, sebab baginya pemikiran dan aksi harus saling berkaitan.17
Penjelajahan Arkoun meliputi fisik dan intelektual. Setelah pensiun dari
universitas Sarbonne pada awal 1990-an, dia mengajar di London dan
Amsterdam, dan terus menyebarkan pesan-pesannya ke seluruh benua ini tanpa
berharap akan mendapat sambutan. Di Barat, Arkoun masih berperan sebagai
penentang kecenderungan Orientalisme. Dan di Timur Tengah dia merasa tak
15
Moh. Fauzan Januri dan Muhamad Alfan, Dialog Pemikiran Timur Barat, 215
16
Ahmad Munir, Kritik Nalar Islam, Op.Cit, 24
17
Ratna Widayati, Muhammed Arkuon; Biografi dan Pemikiran, Artikel Diakses
pada 29 Oktober 2019 dari https://afidburhanuddin.files.wordpress.com/2012/11/arkoun_ed.pdf.

6
nyaman (atau tak diterima) di negeri-negeri di mana Islam versi resmi atau
gerakan fundamentalis mencegah digelarnya diskusi tentang isu-isu yang
dilontarkannya.18
Arkoun sering diundang dan menjadi dosen tamu di sejumlah universitas
di luar Perancis, seperti university of California di Los Angeles, Princeton
University, Temple University di Philadelphia, Lembaga Kepausan untuk studi
arab dan Islam di Roma dan Universitas Katolik Louvain-La-Neuve di Belgia.19
Dalam konteks Indonesia, pemikiran Arkoun pertama kali dikenal pada tahun
1987 dalam sebuah diskusi di Yayasan Empati adalah Muhammad Nasir Tamara
yang memperkenalkannya pertama kali dengan menulis artikel yang berjudul
Mohammed Arkoun dan Islamologi Terapan. Arkoun sendiri sudah dua kali
menngunjungi Indonesia pada acara seminar tentang “contemporary expressing of
Islam in Building” (Yogyakarta, November 1992) dan dalam rangka pemberian
Aga Khan untuk arsitektur (Yogyakarta dan Solo, November 1995).20
Di dalam reverensi yang lain disebutkan bahwa Arkoun juga pernah hadir
di Jakarta menjadi pembicara dalam seminar “konsep Islam dan modern tentang
pemerintahan dan demokrasi” pada tahun 2000 (senin, 10/4) kehadirannya atas
undangan yayasan 2020 yang bekerja sama dengan Geothe Institute, Friendrich
Nauman Stiftung, British Council dan Depertemen Agama. Ramainya peserta
yang hadir dalam seminar tersebut menjadi bukti besarnya pengaruh Arkoun ini di
Indonesia.21
Dalam menjalani profesinya sebagai pengajar, Arkoun selalu
menyampaikan pendapatnya secara logis berdasarkan analisis yang memiliki bukti
dan interaksi falsafati-religius sehingga dapat membangkitkan kebebasan
berbicara dan berekspresi secara intelektual, serta tentu saja membuka peluang
terhadap kritik.22
Secara cemerlang, Arkoun mengakui dirinya sebagai sejarawan-pemikir
dan bukan sebagai sejarawan-pemikiran. Sejarawan pemikiran bertugas hanya
18
Robert D. Lee, Mecari Islam Autentik: dari Nalar Puitis Ikbal hingga Nalar Kritis Arkoun,
(T.tp.: Mizan, t.t.), 195
19
Ibid
20
Muhaemin Latif, Membumikan Teeologi Islam dalam Kehidupan Modern, Op.Cit, 172.
21
Lihat: Arkoun,Telah Tiada dan Telaah Kritis Pemikirannya, Inpasonline, 20/09/10,
senin 20 September 2010, 23:115.
22
Moh. Fauzan Januri dan Muhammad Alfan, Dialog Pemikiran Timur Barat, 216.

7
untuk menggali asal-usul dan perkembangan pemikiran (sejarawan murni),
sementara sejarawan pemikir dimaksudkan sebagai sejarawan yang setelah
mendapatkan tanda tanda objektif, ia juga bisa mengolah data tersebut dengan
memakai analisis filosofis. Dengan kata lain, seorang sejarawan pemikir bukan
hanya bertutur tentang sejarah pemikiran belaka secara pasif, melainkan juga
secara aktif bisa bertutur dalam sejarah.23

2. Biografi Ilmiah Ibrahim M. Abu Rabi


Ibrahim M. Abu-Rabi 'adalah Profesor dan Ketua Dewan Komunitas
Muslim Edmonton dalam Studi Islam di Departemen Sejarah dan Klasik di
Universitas Alberta, Edmonton, Kanada. Bidang spesialisasi akademis utamanya
adalah Timur Tengah dan Hubungan Internasional.  Beliau meraih gelar Ph.D.
dalam Studi Islam, dengan konsentrasi dalam Pemikiran Islam Modern dan
Budaya Islam Komparatif, dari Departemen Agama Universitas Temple pada
tahun 1987. Disertasinya berjudul, “Islam and Search for Social Order in Modern
Egypt: An Intellectual Biography of Shaykh al-Azhar ‘Abd Halim
Mahmud” (Islam dan Mencari Tatanan Sosial di Mesir Modern: Biografi
Intelektual Syaikh al-Azhar 'Abd al-Halim Mahmud). Sebelumnya, dia
mendapatkan gelar MA dalam Religious Studies dari Temple University (1983)
dan MA dalam Political Science dari University of Cincinnati (1982). Prof. Abu-
Rabi lahir dan bersekolah di sekolah dasar dan menengah di Nazaret, Galilea,
Palestina. Dia fasih berbahasa Inggris, Arab, Ibrani, Prancis, Jerman, dan Turki.
Prof. Abu-Rabi 'mengajar di banyak institusi pendidikan tinggi, termasuk
Institut Al-Fatih al-Islami di Damaskus, Suriah; Institut Becket di Universitas
Oxford; Institut Internasional Pemikiran dan Peradaban Islam (ISTAC) di Kuala
Lumpur, Malaysia; Universitas Islam Internasional di Daru El-Ehsan, Malaysia;
Institut Ekumenis Tantur di Yerusalem; Virginia Commonwealth University
(tempat dia menjadi Asisten Profesor Studi Islam di Departemen Filsafat dan
Studi Keagamaan); Universitas Temple; Union Theological Seminary di Kota
New York; Universitas Cincinnati; dan University Texas di Austin. Beliau
menjadi Profesor Studi Islam dan Hubungan Kristen-Muslim yang dikagumi di

23
Hermeneutika Muhamed Arkoun (Sekedar Pengantar), Op.Cit, 12 of 10.

8
Hartford Seminary di Hartford, Connecticut 1991-2008; dan dari tahun 2009
sampai beliau wafat. Beliau adalah Profesor Sejarah dan Ilmu Politik dan Ketua
Dewan Komunitas Muslim Edmonton dalam Studi Islam di Universitas Alberta di
Edmonton, Kanada. Di antara banyak kursus yang dia ajarkan adalah Islam
modern; Alquran; Kehidupan Nabi Muhammad (Sirah); Mistisisme dan Praktek
Devosional Islam; Sejarah Intelektual Islam Modern dan Kontemporer; Sejarah
Modern Timur Tengah dan Afrika Utara; Sejarah Modern Indonesia; Islam dan
Barat; Hubungan Kristen-Muslim; Budaya Muslim komparatif; dan Sejarah
Filsafat Islam.24
Prof. Abu-Rabi 'menjabat sebagai Co-Director dari Macdonald Center for
Study of Islam and Christian-Muslim Relations di Hartford Seminary; Editor
Senior Dunia Muslim, akademisi kawakan dari Studi Islam; Koordinator Forum
Luce dalam agama-agama Ibrahim, yang dikelola bersama oleh University of
Hartford dan Hartford Seminary; dan Ketua Program Konferensi Tahunan Dewan
Amerika untuk Studi Masyarakat Islam.25
Prof. Abu-Rabi 'adalah penerima berbagai penghargaan, termasuk
beasiswa empat tahun dari Universitas Birzeit; sebuah persekutuan penelitian dan
beasiswa pengajaran dari Universitas Cincinnati; beasiswa penelitian, beasiswa
disertasi, dan beasiswa post-doktoral dari Temple University; Beasiswa
Kunjungan di Institut Al-Fatih al-Islami di Damaskus; Beasiswa Kunjungan
Senior di Institut Internasional Pemikiran dan Peradaban Islam (ISTAC) di Kuala
Lumpur; Senior Fulbright Fellowship di Singapura dan Indonesia;
sebuah Fulbright Fellowship di Asia Tenggara; Beasiswa Kunjungan Russell
Tolson di Pacific School of Religion di Berkeley, California; Senior Research
Fellowship di St. Hughes College of Oxford University; sebuah Fellowship
Research di Institut Internasional Pemikiran Islam di Herndon, Virginia;
sebuah Fulbright Fellowship di Program Peradaban Timur Tengah di Maroko,
Mesir, dan Suriah; sebuah Lembaga Bantuan Hibah Amerika yang Bersatu;
sebuah Yayasan Rockefeller Fellowship di Institut Studi Literatur, Agama, dan
Masyarakat di Timur Tengah Kontemporer dari Pusat Studi Timur Tengah di
24
Hasan Mahfudh, Dari Ibrahim M. Abu Rabi’ tentang Problematika Studi Islam Kontemporer,
Hal 20
25
Wikipedia, Biografi Ibrahim M. Abu Rabi, diakses pada tanggal 10 Oktober 2019, Pukul 19.30
WIB

9
University of Texas di Austin; sebuah Yayasan Virginia untuk Hibah Humaniora;
dan Beasiswa Fulbright Senior di Institut Pertahanan dan Studi Strategis di
Nanyang Technological University di Singapura dan di Program Pascasarjana
Studi Keagamaan Universitas Gajah Mada di Yogyakarta.
Beliau memegang keanggotaan di American Academy of Religion; Institut
Timur Tengah; Asosiasi Studi Timur Tengah; dan Konferensi Agama untuk
Perdamaian Amerika Serikat, New York.26

B. Karya Intelektual Mohammed Arkoun dan Ibrahim M. Abu Rabi


1. Karya Intelektual Mohammed Arkoun
Karya-karya Arkoun meliputi berbagai bidang. Di sini hanya disebutkan
karya-karya yang berkaitan dengan kajian Islam pada umumnya dan metodologi
“cara membaca Qur’annya pada khususnya: traduction francaise avec
introduction et notes du Tahdîb Al-Akhlâq (tulisan tentang etika/terjemahan
Perancis dari kitab Tahdîb al-Akhlâq Ibnu Miskawaih), La pensee arabe
(Pemikiran Arab), Essais sur La pensee islamique (Esai-esai tentang Pemikiran
Islam), Lecture du Coran (Pembacaan-pembacaan AlQur‟an), pour une critique
de la raison islamique (Demi Kritik Nalar Islami), Discours coranique et pensee
scintifique (Wacana Al-Qur‟an Dan Pemikiran Ilmiah). Kebanyakan karya
Arkoun ditulis dalam bahasa Perancis.

2. Karya Intelektual Ibrahim M. Abu Rabi


Melihat pengembaraan intelektual, pengalaman serta wawasan
keilmuannya, maka tidak mengherankan jika kompetensi yang dimilikinya
kemudian melahirkan berbagai karya terkait problematika pemikiran Islam
kontemporer, studi agama-agama dan studi Islam. Selain disertasinya yang
berjudul “Islam and Search for Social Order in Modern Egypt: An Intellectual
Biography of Shaykh al-Azhar ‘Abd Halim Mahmud”, Abu Rabi’ terhitung
sebagai penulis yang sangat produktif dengan karya-karya
yang juga kontributif. Di antara karya-karya yang pernah ditulisnya adalah: (1)
Buku: Work in Progress Neolibralism and Its Discontent: Studies in Post-1967

26
Ibid

10
Arab Thought; Intellectual Origins of Islamic Resurgrnce in The Modern Arab
World (New York: State University Of New York Press, 1996); Islamic
Resurgence and The Challenge of The Contemporary World: A Round-Table
Discussion with Professor Khurshid Ahmad (Tampa: The World and Islam
Institute, 1995); The Pearls of Wisdom by the North African Mystic Ibn al-
Sabbagh (Albany: State University of New York Press); The Blackwell
Companion to Contemporary Islamic Thought (Oxford: Blackwell Publishing,
2006); Contemporary Arab Thought: Studies In Post-1967 Arab
Intellectual History (London: Pluto Press, 2004) . (2) Artikel: A Post September
11 Critical Assesment of Modern Islamic History (2002); Between Sacred Text
and Cultural Constructions: Modern Islam as Intellectual
History (2000); Arabism, Islamism, and The Future of The Arab World: A
Review Essay (2000); Globalization: A Contemporary Islamic
Response? (1998); An Islamic Response to Modernity (1998).27
Karya lainnya adalah; Pembaca Arab Kontemporer tentang Islam Politik
(Pluto/University of Alberta 2010); Theodicy dan Keadilan Sosial dalam
Pemikiran Islam Modern (Ashgate 2010); Dimensi Spiritual Bediuzzaman Said
Nursi's Risale-i-Nur (SUNY 2008); Percakapan Islam Kontemporer: M. Fethullah
Gulen di Turki, Islam, dan Barat (SUNY 2008); Sahabat Blackwell terhadap
Pemikiran Islam Kontemporer (2006); Islam di Persimpangan: Tentang
Kehidupan dan Pemikiran Bediuzzaman Said Nursi (SUNY 2004); Modernlik ve
Cagdash Islam Dushuncesi (Yonelish 2003); Asal Intelektual Kebangkitan Islam
di Dunia Arab Modern (SUNY 1996); dan Mutiara Kebijaksanaan oleh Mistik
Afrika Utara Ibn al-Sabbagh (SUNY 1996). Dia juga menerjemahkan beberapa
buku dari bahasa Inggris ke bahasa Urdu, Turki, Arab, Bosnia, dan Jerman, dan
dari bahasa Arab ke bahasa Inggris.28

27
Hasan Mahfudh, Dari Ibrahim M. Abu Rabi’ tentang Problematika Studi Islam Kontemporer,
Hal 23
28
Wikipedia, Biografi Ibrahim M. Abu Rabi , diakses pada tanggal 10 Oktober 2019, Pukul 19.30
WIB

11
C. Pemikiran Mohammed Arkoun dan Ibrahim M. Abu Rabi
1. Pemikiran Mohammed Arkoun
a. Pendekatan Eklektik: Pembongkaran Pemikiran Islam
Arkoun telah menjelaskan bahwa pendekatan ini dipraktikkan dalam
pengkajiannya terhadap Islam yang diberi nama Islamologi Terapan (al-Islâm al-
Tathbiqi). Yaitu sebuah metode yang berasal dari ramuan berbagai macam
pemikiran yang berbeda untuk membangun sebuah cara satu yang saling
menguatkan.29 Kecuali pendekatan-pendekatannya (dekonstruksi dan kritik
historis-antropologis), pengistilahan “Islamologi Terapan” ini pun tidak lepas dari
adopsi seorang orientalis bernama Richard Bestide yang memiliki metode
Antropologi Terapan. Islamologi Terapan ini bertujuan pada dua kritik yaitu
menghindari eurosentrisme orientalis dan menolak pendekatan tawhdi para
ulama’.30 Memang Arkoun tidak mempedulikan pemakaian cara orientalis namun
juga mengkritiknya pada beberapa sisi.
Dalam metode studi ini, Arkoun merasa perlu menggunakan multi
spesialisasi ilmu dan bidang. Islamologi Terapan tidak terbatas pada studi teks
ataupun filologi.31 Ia beralasan, nalar tidak sekedar diproduksi oleh teks tapi ia
juga dibentuk oleh sejarah dan lingkungan sosiologis.32

b. Kritik Historis-Antropologis
Kritik ini menggunakan pendekatan arkeologis Michel Foucault, yaitu
sebuah pendekatan penelusuran sejarah. Baginya, sebuah ilmu dipastikan terkait
dengan sejarah dan keadaan social masyarakat. Ilmu yang menjadi keyakainan
seseorang juga harus rela dianggap relatif karena bagian dari sejarah. Menurutnya,
tiap tiap zaman mempunyai pengandaian-pengandaian tertentu, caracara
pendekatan tertentu, syarat-syarat kemungkinan tertentu, dan cara-cara
29
Salah satu contoh metode eklektisme yaitu apa yang telah dilakukan oleh para filosof Arab yang
memadukan antara filsafat Yunani dan Syari’at Islam dengan cara menyaring
teori-teori filsafat Yunani dan dipadukan dengan konsep-konsep Islam. Cemill al-Hajj,
AlMawsû’ah al-Muyassarah..., 544.
30
Mukhatar al-Fajjari, Naqd al-‘Aql al-Islâmî ‘Indâ Muh}ammad Arkoun, (Beirut: Dâr
al-lâli’ah, 2005), 43.
31
Inilah yang membedakan dengan Abid al-Jabiri yang kajiannya cukup pada studi
teks-teks peradaban Islam.
32
Mukhtar al-Fajjari, Naqd al-‘Aql al-Islami…, 44.

12
pendekatan tertentu. Untuk itu, arkeologi harus memperlihatkan konfigurasi-
konfigurasi dari bidang-bidang pengetahuan yang telah muncul yang berbeda dari
pengetahuan yang empiris atau eksplisit.33 Sedang wacana adalah cara manusia
membicarakan kenyataan itu sendiri. Episteme dan wacana tunduk kepada
berbagai aturan yang menentukan apa yang dipandang atau dibicarakan dari
kenyataan, apa yang dianggap penting dan tidak penting, hubungan apa yang
diadakan antara berbagai unsur kenyataan dalam penggolongan, analisis, dan
sebagainya.34
Dengan pemahaman tersebut, maka setiap pemikiran berada dalam ruang
yang khas yang setiap waktu berbeda. Dalam kasus sejarah al-Qur’an misalnya,
status sakral mushaf Utsmani dikatakan merupakan proyek ortodok Islam untuk
mempertahankan epistemnya. Maka status sakralitas mushaf Utsmani dan kitab
kitab turâts yang merujuk kepadanya statusnya turun menjadi hasil angan-ngan
sosial dalam sejarah Islam. Strategi ini bertujuan menempatkan status al-Qur’an
sama dengan kitab-kitab Yahudi dan Kristen.
Sebagaimana yang akan dijelaskan dalam bab ketiga, sejarah tiga kitab
suci tersebut dibuat sama. Karena setatusnya sebagai kitab edisi bumi yang tidak
sacral lagi maka pemikiran yang merujuk kepadanya tidak final dan mutlak.
Turâts Islam yang berbeda-beda yang dikatakan saling bertolak belakang, seperti
turâts Sunni dan Syi’ah, termasuk produk sejarah itu.
Pemikiran dari turâts-turâts Islam itu tidak ada yang final. Sebab, setiap
diskursus ditentukan oleh suatu apriori historis, yaitu bahwa setiap zaman
mempunyai suatu “sistem pemikiran” yang menjuruskan cara mempraktikkan
ilmu pengetahuan pada zaman tersebut. Sistem pemikiran ini disebut episteme.
Bahkan Foucault meragukan kemungkinan suatu penciptaan totalitas.
Kecenderungan yang menekankan pada kontinuitas-kontinuitas sejarah pemikiran
ditinggalkan. Diskontinuitas-diskontinuitas tersebut telah mematahkan seri-seri
panjang sejarah pemikiran atau ide yang dibentuk oleh perkembangan kesadaran,
atau diarahkan oleh suatu akal-budi, atau merupakan evolusi pemikiran manusia.35

33
K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis, 239 dan 348-350.
34
Baca Cemill al-Hajj, Al-Mawsû’ah al-Muyassarah…, 429.
35
Ibid,. 166.

13
Foucault juga menyatakan kebenaran dan kekuasan memiliki relasi. Tidak
ada kuasa tanpa pengetahuan, atau sebaliknya.36 Untuk menyingkap pengetahuan
itu Faucault mengusulkan apa yang disebut Arkeologi Pengetahuan dengan
metode yang ia sebut geneology. Tugas geneology adalah menghancurkan
doktrin-doktrin tentang kemajuan, perkembangan kebenaran menuju esensi yang
fixed. Setelah penghancuran itu, ia melihat yang tersisa adalah hanyalah
permainan-permainan kehendak akan kuasa –penundukan, dominasi, dan
perseteruan– sehingga geneologi harus menemukan hubungan-hubungan kuasa
tersebut yang bekerja pada peristiwa-peristiwa sejarah tertentu.
Arkoun menerapkan Arkeologi pengetahuan Faucault untuk mengomentari
sistem pemikiran Islam yang tertutup oleh korpuskorpus para ulama. Pada
mulanya, pembakuan mushaf yang dilakukan oleh Utsman bin Affan yang
kemudian diakui sebagai korpus al-Qur’an yang resmi tidak lepas dari kuasa sang
Khalifah. Selanjutnya, tumpukan korpus-korpus yang diproduksi berdasarkan al-
Qur’an seperti, tafsir, fikih, tasawwuf, dan lain-lain telah menumpuk bagaikan
lapisan geologis bumi. Untuk menyibak kebenaran, maka lapisan tersebut harus
dibongkar.37

c. Islamologi Terapan dan Eurosentrisme


Berangkat dari pembacaan seperti tersebut di atas, Arkoun kemudian
menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial dan humaniora Barat, yaitu
dekonstruksi untuk kebutuhan studi Islam. Ia menjelaskan alasannya:
“… maka saya mengatakan bahwa kita seharusnya menganisis semua itu
secara kritis bukan memperbodohinya atau menurunkan dari kedudukan
dan pentingnya. Tetapi untuk mendekonstruksinya dan menjelaskan
kemunculan dan terbentuknya dan mengapa ia mempraktikkan dalam
masyarakat-masyarakat yang di dalamnya dikuasai oleh fenomena
keagamaan.”38

36
Michel Foucault, Power Knowledge Wacana Kuasa Pengetahuan, Terj. oleh Yudi
Santoso, (Jogjakarta: Bentang Budaya, 2002), 164.
37
Baca Mohammed Arkoun, Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 13-17.
38
Mohammed Arkoun, Al-Fikr al-Islâmî…, 58

14
Term Islamologi Terapan ini dikenalkan pada tahun 1970 sebagai sebuah
pembacaan kritis terhadap dua model studi, yaitu studi Islam (Islamologi)
orientalis dan studi Islam para ulama klasik. Studi orientalis tentang Islam disebut
Islamologi Klasik (al-Islâmiyyat al-Taqlîdiyyah). Sedangkan model studi turâts
para ulama disebut Ijtihad Klasik (al-Ijtihâd al-Taqlîdîy). Akan tetapi terkadang
Islamologi Klasik tersebut diterapkan oleh sarjana Muslim. Secara umum
keduanya dinilai terlalu bias, terpusat kepada logos. Pembongkaran dilakukan
agar studi Islam yang ditawarkan lebih humanis. Maka tugas Islamologi Terapan
adalah, membaca ulang secara kritis turâts – yang bebas dari definisi-definisi
maupun teologis dan sebagai kritik ideologi.39
Islamologi Klasik yang dipelopori orientalis dahulu merupakan
wacana orientalis tentang Islam. Wacana ini dahulu masih mengandung pengaruh
pengaruh pola pikir etnosentris. Ada dua sebab yang menjadikan studi ini bias
etnis. Pertama, para orientalis membaca Islam secara subjektif. Yaitu
pembacaannya masih terkandung budaya peradaban mereka yang positivistik.
Sehingga studi Islamologinya bertolak dari pra-anggapan dan aksioma filosofis,
teologis, dan ideologis tertentu.40 Anggapan teologis, yaitu membaca Islam
dengan kacamata Kristen. Bias ideologis, yaitu studi Islam dengan semangat
kolonialisme. Arkoun menyebut model seperti ini dengan al-Iltizâm al-
Ibistimûlûjî (Keharusan Epistemologis), yaitu semacam ‘pemaksaan’ yang
sifatnya imperatif para orientalis dengan gaya epistemologi kolonialisme kepada
studi Islam.
Kedua, para orientalis tidak memperhatikan nasib umat Islam dan
masyarakatnya dalam mengkaji. Tidak memperhatikan maksudnya tidak
memahami kondisi-kondisi sosial masyarakat Islam. Padahal, Islam menurutnya
memerlukan pembaharuan dengan kondisi sosial religiusnya. Sedangkan orientalis
tidak berkontribusi terhadap kemajuan intelektual masyarakat muslim. Para
orientalis menafsirkan dan mengutip apa yang mereka pahami dari permukaannya
saja tentang Islam. Kesalahannya lagi, Islam tidak ditempatkan secara
epistemologis. Tidak ada kesan keadilan dalam studi, yang menonjol adalah
39
Carool Kersten, The Applied Islamology of Mohammed Arkoun, Makalah disampaikan
dalam Conference Religion on the Borders; New Challenges in the Academic Study of
Religion pada 19-22 Aprril di Stockholm Swedia
40
Mohammed Arkoun, Al-‘Almanah wa al-Dîn…, 38-39.

15
subjektivitas orientalis untuk kepentingan tertentu, yang jauh dari sikap ilmiah
intelektual. Ia mencontohkan studi perbandingan Islam-Kristen dalam buku
Introduction a la musulmane (Pengantar Teologi Islam) karya Louis Gardnet.
Dalam buku ini ada kecenderungan kuat membanding-bandingkan titik
teologi Kristen. Cara ini menurutnya adalah berangkat dari prasangka kaku dari
sistem yang eksklusif.41
Dalam pembacaan kritik ini, Arkoun sesungguhnya telah memberi
kontribusi terhadap pembebasan Muslim dari bias etnis Barat. Arkoun tidak
menyetujui model-model kolonialisme. Cara pandang para kolonialis yang
mengikut-sertakan orientalis masih mempertahankan logos centris. Logosnya
adalah nalar Barat dengan ego superioritasnya sebagai bangsa yang unggul.
Model seperti ini jelas tidak bisa lepas dari logika oposisi binner. Sedangkan
oposisi
binner yang meniscayakan superioritas subjek terhadapa objek dalam kajian
linguistik post-struktrualis tidak dikehendaki oleh Arkoun. Karena tidak akan
mampu menyelesaikan persoalan perseteruan antarmanusia. Akan tetapi, yang
menjadi berbeda dengan paradigma para ulama adalah menolak term-term
teologis, tapi diganti dengan antropologi atau ilmu sosial. Selain itu hal tersebut di
atas, yang menjadi hambatan Islamologi Klasik tidak mampu mencapai
objektivitas adalah, yang disebut hambatan epistemologis (al-‘awâiq al-
ma’rifiyyah).
Di antara hambatan itu adalah, berpedoman kepada struktur dalam teks-
teks, dan ketidaktahuan pada pendekatan humanis-antropologis. Struktur teks itu
tidak dipahami hakikatnya. Menurut Arkoun nalar itu bukan sekadar produk teks
saja, akan tetapi nalar itu merupakan hakikat komunikatif yang terus
menyejarah.42Artinya memahami nalar itu memang dari teks, akan tetapi hal ini
tidak cukup. Perlu ditelusuri bahwa teks itu merupakan benda aktif
berkomunikasi. Sehingga pendekatan linguistik tidak cukup. Memahami Islam itu
dari alQur’an. Sementara al-Qur’an bagi Arkoun tidak cukup dipahami secara

41
Ibid., 40-41
42
Mohammed Arkoun, Kajian al-Qur’an Kontemporer, 20

16
linguistik saja. Ia teks hidup dan terbuka. Mesti dipahami bahwa al-Qur’an itu
merupakan respon komunikatif.43
Dari perspektif ini, berarti, Islam itu tidak tsabât, konstan, dan
final sebagaiman disebut Sayyid Qutb, akan tetapi akan terus berproses.
Pandangan tersebut dalam perspektif al-Attas disebut sebagai sekularisasi agama.
Menurutnya, hasil akhir dari sekularisasi adalah relativisme kesejarahan. Salah
satu dimensinya adalah doktrin agama tidak memiliki nilai mutlak dan lepas dari
visi metafisika.
Dalam pandangan Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam itu sama
dengan hakikat ontologisnya, yaitu jelas, teguh, tetap, dan tidak berubah-ubah.
Hakikat wujudnya menegaskan dirinya lengkap dan sempurna seperti ditegaskan
oleh firman Allah SWT dalam QS. AlMa’idah ayat 4. Memahami Islam dengan
adil itu mesti menempatkannya secara epistemologis. Yaitu dalam panegasan
pandangan mengenai realitasnya, menurut al-Attas, secara fenomenologis Islam
lebih menekankan pada ‘wujud’ (being) berbanding dengan ‘ke’ menjadi ‘an’
(becoming) atau ‘sedang menjadi wujud’ (becoming into being). Hal ini karena
bersumber dari keyakinan ilmu-ilmu wahyu.44
Hakikat wujud sesuatu itu menurut Imam al-Nasafi adalah tetap. Secara
epistemologis, wujud ini yang berbeda dengan pandangan Arkoun. Meskipun
menggunakan analsisi epistemologis, akan tetapi epistemologinya bukan
epistemologi yang dikenal dalam filsuf Muslim. Epistemologinya lebih cenderung
kepada empirik fenomenologis. Ketika terjadi ketertutupan dalam Islam oleh
fenomena cara berpikir yang logosentris, dengan turâts sebagai acuan utama,
maka Arkoun menggesernya secara metodologis.
Ia mengatakan: Kita seharusnya mulai mempraktikkan ilmu antropologi,
linguistik, dan sejarah yang diciptakan oleh sejarawan kontemporer yang
memberikan pandangan berbeda perihal fenomena keagamaan. Dengan praktik itu
sesungguhnya, Islam akan dipisahkan dari sisi-sisi teologisnya. Yang hendak
dihadirkan adalah Islam yang terbuka, kosong dari klaim-klaim teologis. Hasim

43
Mukhtar al-Fajjâri, Naqd al-‘Aql al-Islâmî…, 27.
44
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, Terj. Khalif Muammar,
(Bandung: PIMPIN, 2010), 107.

17
Salih menilai studi Islam yang dianjurkan Arkoun dalam konteks hubungan antar
agama-agama adalah bukan merinci tiap agama.
Menurut Hasim, pendekatan Arkoun merupakan sikap antropologis, yaitu
mengkaji fenomena keagamaan yang meruntuhkan keunikan dan fanatisme
keagamaan.45 Islam saat ini mengacu pada teks-teks klasik. Sedangkan teks klasik
diyakini Arkoun sebagai khayalan para ideologi yang menyusun teori-teori
keislaman. Para ideologi menyusun teori untuk menjustifikasi segala macam
kebingungan politik menghadapi para buruh Arab. Makanya Arkoun menyebut
Islam dengan sebutan ‘fenomena Islam’ (z}âhirah Islam).46
Dalam wilayah masyarakat manusia yang berbeda-beda itu menurut
Arkoun terdapat unsur-unsur bersama. Seluruh institusi yang disebut agama-
agama tidak lain menunjukkan pola-pola dari bentuk ritual yang membantu
memasukkan kebenaran-kebenaran asasi. Kebenaran asasi itu di balik batasan-
batasan teologis. Ritualritual agama di sini oleh Arkoun dipisahkan oleh teologi.
Alasan yang dikemukakannya, bahwa bentuk ritual hanyalah luapan emosi
pemeluk untuk memenuhi kebutuhan keberagamaan.47
Kesimpulannya, Islam saat ini sudah tidak murni lagi karena ditutupi oleh
nalar-nalar turâts, buatan teolog. Dengan demikian tidak ada nalar yang dinilai
mutlak. Arkoun menolak klaim-klaim teolog. Sebab menurutnya pembicaraan
teolog itu hanyalah sangkaan atas nalar kelompoknya. Sementara umat beragama
berlindung dibalik fenomena sangkaan para teolog untuk memperoleh pemecahan
pemecahan sebuah persoalan kontemporer. Sehingga, model Islamologi Terapan
yang ditawarkan Arkoun membokar konsep teologi Islam. Pada akhirnya, Islam
yang dihasilkan adalah Islam yang memiliki banyak kekurangan, terutama fondasi
pokoknya. Di sinilah model ini perlu pembacaan kritis. Agama tidak lebih dari
sebuah produk budaya bukan bersifat samawi lagi.
Di Indonesia, model studi Arkoun diadopsi. Seperti diterangkan dalam
buku AminAbdullah, Studi Islam: Normativitas dan Historisitas. Dalam buku
tersebut dijelaskan; pendekatan historisantropologis adalah pendekatan studi yang
menekankan kepada pemahaman keagamaan berdasarkan berbagai sudut
45
Catatan kaki Hasim Salih dalam buku Mohamme Arkoun Al-‘Almanah wa al-Dîn:
al-Islâm al-Masîh} al-Gharb halaman 74.
46
Mohammed Arkoun, Al-‘Almanah wa al-Dîn…, 19
47
Ibid., 24-25.

18
keilmuan sosial-keagamaan yang bersifat multi dan interdisipliner, baik lewat
pendekatan filosofis, psikologis, sosiologis, kultural, dan antropologis.

d. Pemikiran Arkoun tentang Wahyu


Kritik terhadap konsep wahyu dilatarbelakangi oleh kegelisahan Arkoun
terhadap sistem epistemologi Islam. Selama berabad-abadlamanya, umat Islam
menurut Arkoun mangalami problem system epistemologi. Persoalan mendasar
ini, baginya menjadi faktor utama keterbelakangan dunia Islam. Sistem yang
disebut Arkoun, ortodoksi Islam, menghambat gerak laju nalar untuk maju dalam
mengejar ketertinggalannya dari Barat.
Maka tugas utama pemikir Islam menurut Arkoun adalah membongkar
epistemologi Islam tradisional karena dianggap telah membentuk ortodoksi Islam
yang telah mengendap lama dalam nalar umat Islam. sumber utama sistem
ortodoksi yang rigid itu menurutnya adalah posisi al-Quran. Dogma-dogma kaku
dalam agama tidak lain lahir karena ketidakmampuan muslim untuk menangkap
pesan orisinil al-Quran sebagaimana pada periode awal (periode kenabian)
sebagai korpus yang terbuka. Sehingga peradaban Islam termasuk dikategorikan
peradaban teks yang semua problem dikembalikan kepada teks.48
Arkoun memahami wahyu adalah sebagai amanat yang sangat kaya dan
luas sehingga dapat diberikan makna konkret dalam setiap keadaan yang berbeda
yang dilalui umat manusia.49 Mengenai wahyu, Arkoun membaginya dalam dua
peringkat. Pertama adalah apa yang disebut dengan al-Qur‟an sebagai Umm al-
Kitab (induk kitab) (QS, 13:39; 43:4). Peringkat kedua adalah berbagai kitab
termasuk Bible, Gospel dan al-Qur‟an. Umm al-Kitab adalah kitab langit, wahyu
yang sempurna, dari mana Bible berasal. Pada peringkat pertama (Umm alKitab)
wahyu bersifat abadi, tidak terikat waktu serta mengandung kebenaran tertinggi.
Namun menurut Arkoun, kebenaran absolut ini diluar jangkauan manusia, karena
bentuk wahyu yang seperti itudiamankan dalam Lawh Mahfuz (Preserved Tablet)
dan tetap berada bersama dengan Tuhan sendiri. Wahyu hanya dapat diketahui
oleh manusia melalui bentuk peringkat kedua. Peringkat kedua ini dalam istilah

48
Kholili Hasib, Mohammed Arkoun dan Desakralisasi Al-Qur‟an, Inpasonline.com, selasa, 21
September 2010, 10:14, 1 of 12 (pdf)
49
Ahmad Munir, “Kritik Nalar Islam, Op.Cit, 28

19
Arkoun dinamakan “edisi dunia” (edition terrestres). Menurutnya pada peringkat
ini wahyu telah mengalami modifikasi, revisi dan subsitusi.50
Dapat ditarik kesimpulan, bahwa Arkoun berkeyakinan ada perbedaan
antara edisi langit dengan edisi dunia yang ditransmisikan kepada para Nabi.
Tuhan menurunkan wahyunya ke bumi dalam bentuk bahasa manusia, yang tentu
berbeda dengan esensi dengan yang di Lauh al-Mahfudz. Sedangkan bentuk edisi
kedua adalah fenomena wahyu dalam sejarah. Ia adalah realitas firman Allah.
Tuhan mengkomunikasikan kehendak-Nya kepada manusia melalui para nabi.
Untuk itu, Tuhan memakai bahasa yang dapat dimengerti manusia,
tetapimengartikulasi kalimat-kalimat-Nya. Arkoun mengatakan “tugas para nabi,
seperti nabi Musa, Isa, dan Muhammad, hanyalah menyampaikan sebuah wacana
yang diwahyukan kepada mereka sebagai bagian dari ucapan-ucapan-Nya yang
tidak diciptakan, tidak terbatas dan koeternal”.
Dari pernyataan tersebut secara jelas, Arkoun menyebutkan alQur’an atau
kitab-kitab lainnya adalah wacara firman Tuhan. Ia menggunakan term yang
dipakai Faucault, yaitu discourse (wacana). Jika al-Qur‟an yang turun kepada
nabi Muhammad SAW adalah wacana maka, ia termasuk produk historis – dalam
istilah Nasr Hamid Abu Zayd, muntaj tsaqafi (produk budaya). Oleh sebab itu,
oleh Arkoun, wahyu dalam tataran ini telah tereduksi, ia tidak mengungkapkan
seluruh kata-kata Tuhan sebagaimana tercantum dalam Ummu al-Kitab
di Lauh Mahfudz.51
Untuk kepentingan analisisnya, Arkoun membedakan tiga tingkatan
anggitan tentang wahyu. Pertama, wahyu sebagai firman Allah yang transenden;
tidak terbatas dan tidak diketahui oleh manusia. Untuk menunjukkan realitas
wahyu seperti ini, biasanya dipakai anggitan Al-Lawh Al-Mahfudh atau Umm Al-
Kitab. Kedua, wahyu yang diturunkan dalam bentuk pengujaran lisan dalam
realitas sejarah yang disebut sebagai discours religious dan berfragmen dalam
bentuk
kitab Bible (Taurat dan Zabur), injil dan al-Quran. Ketiga, wahyu yang direkam
di alam catatan yang menghilangkan banyak hal, terutama situasi pembicaraan

50
Badrus Syamsi, Metodologi Studi al-Quran Muhammad Arkoun: Kajian Kritis,Inpasonline.com,
Selasa 21 Oktober 2019, 22:05, 1 of 12 (pdf)
51
Kholili Hasib, Mohammed Atkoun dan Desakralisasi al-Quran, 7 of 12.

20
(sementara asbab alnuzul belum dapat mengembalikan hal-hal yang hilang ketika
suatu pembicaraan direkam ke dalam tulisan).52
Wahyu jenis ketiga adalah merujuk kapada wahyu yang tertulis dalam
mushaf yang oleh Arkoun disebut sebagai Kanon Resmi Tertutup (Official Closed
Canons). Mushaf yang dimaksud adalah mushaf Usman bin Affan. Wahyu pada
tatanan ini, sudah banyak yang teredukasi oleh prosedur-prosedur manusiawi.
Inilah bentuk fisik wahyu, yang terkondisikan oleh kresi manusiawi yang tidak
sempurna.
Menurut Arkoun, saat ini melalui wahyu bentuk mushaf inilah manusia
dapat mengakses langsung ujaran Tuhan yang transenden. Wahyu pada mulanya
berbentuk ujaran lisan pada masa kenabian kemudian ditulis di atas perkamen atau
kertas yang dijadikan buku. Buku ini disebut oleh pengikutnya “Kitab Suci”.53
Arkoun merinci mekanisme wahyu berdasarkan surat 42 (AsySyura) ayat
51.63 Menurutnya kosa kata wahyu yang digunakan oleh ayat sulit untuk
diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa manusia yang tidak sakral, itulah sebabnya
dia tidak menterjemahkan kata wahyu. Ia hanya berpendapat bahwa wahyu atau
al-Quran sebagai bacaan yang di artikulasi (diucapkan) dalam bahasa manusia dan
dikomunikasikan kepada para nabi secara langsung atau dengan memalalui
perentaraan seorang malaikat. Padahal ayat ini manjelaskan turunnya wahyu
dalam tiga cara. Pertama, informasi wahyu dengan jalan ilham yaitu
menyampaikan makna tertantu ke hati Nabi sekaligus bersama ilmu yang yakin
hal itu hanya datang dari Allah, baik dalam mimpi maupun saat terjaga (sadar).
Kedua, pembicaraan lewat balik hijab di mana Nabi tidak melihat Allah saat
berlangsungnya pembicaraan, seperti halnya Nabi Musa saat menerima wahyu
pertama kali. Ketiga, penyampaian wahyu lewat malaikat.54

e. Pemikiran Arkoun tentang Al Qur’an


Mengenai sejarah al-Quran, Arkoun membaginya menjadi tiga periode:
periode pertama berlangsung kepada pewahyuan (610-632 M); periode kedua,
berlangsung ketika koleksi dan penetapan mushaf (12-324 H/632-936 M) dan

52
Moh. Fauzan Januri dan Muhammad Alfan Dialog Pemikiran Timur Barat, 226.
53
Kholili Hasib, Mohammed Arkoun dan Desakralisasi Al-Qur‟an, Op.Cit, 8 of 12.
54
Badrus Syamsi, Metodologi Studi al-Quran Muhammad Arkoun, 4 of 12. (pdf)

21
periode ketiga, berlangsung ketika masa ortodoks (324H/936 M). Arkoun
menamakan periode pertama sebagai Prophetik Discourse (Diskursus Kenabian)
dan periode kedua sebagai Closed Official Corus (Korpus Resmi Tertutup).
Berdasar pada periode tersebut, Arkoun mendefenisikan alQuran sebagai
“sebuah korpus yang selesai dan terbuka yang diungkapkan dalam bahasa Arab,
diamana kita tidak dapat mengakses kecuali malalui teks yang ditetapkan setelah
abad ke 4 H / 10 M”. Menurut Arkoun dalam tradisi Muslaim pengumpulan al-
Quran mulai pada saat Nabi meninggal pada tahun 632, tetapi ketika beliau hidup
tempaknya ayat-ayat tertentu sudah ditulis. Kumpulan-kumpulan parsial dibuat
dengan bahan-bahan yang agak tidak memuaskan, karena kertas belum dikenal
dikalangan orang Arab dan tersedia bagi mereka baru diakhir abad ke-8.
Meninggalnya para sahabat Nabi, yaitu orang-orang yang ikut hijrah bersama
beliau dari Mekkah ke Madinah pada tahun 622, dan perdebatan tajam dikalangan
umat Islam mendorong khalifah ketiga, Usman, untuk mengumpulkan totalitas
wahyu ke dalam satu kompilasi yang disebut mushaf. Kumpulan ini dinyatakan
sempurna, selesai dan tertutup dan kompilasi-kompilasi parsial pun dimusnahkan
untuk menghindari perbedaan yang akan timbul tentang keotentikan wahyu-
wahyu yang dipilih. Dia menegaskan bahwa proses pemilihan dan pemusnahan ini
mengharuskan kita bertumpu pada Corpus Resmi yang Tertutup.55
Meski dalam sejarah telah terjadi proses “sakralisasi‟ mushaf menjadi teks
tertutup, namun bagi Arkoun teks al-Quran tetap teks yang terbuka. Oleh sebab
inilah, al-Quran telah melahirkan banyakliteratur referensi, doktrin dan hukum
yang beragam. Itulah sebabnya Arkoun hendak melakukan pemaknaan atau
aktualisasi sesuai dengan keadaan nyata. Ia tidak bisa disempitkan menjadi
ideologi. Dengan
begitu al-Quran menjadi teks yang “hidup‟. Berkaitan dengan pemikiran Islam
tradisional yang penuh dengan makna-makna transedensi, maka bagi Arkoun
pemikiran tersebut belum tentu sama dengan wahyu ilahi yang sebenarnya. Sebab
pembentukan
pembentukan pemikiran Islam tidak lepas dariaktualisasi yang dipengaruhi oleh
beragam aspek, mulai social, politik dan budaya. Disamping sumber rujukannya

55
Badrus Syamsi, Metodologi Studi al-Quran Muhammad Arkoun, 3 of 12 (pdf)

22
adalah kitab tertulis yang menurutnya sudah tereduksi oleh prosedur-prosedur
manusiawi.
Dari pemikiran demikian, maka Arkoun sebenarnya berpendapat bahwa
tafsir, fiqih, tasawuf dan lain-lain adalah produk aktualisasi yang terkait dangan
sejarah. Syari’ah berarti adalah prosuk manusia tersebut adalah dokumen sejarah
yang telah melalui proses yang panjang, terkait dengan sosial, generasi serta
gerakan pemikiran keagamaan.56
Arkoun membedakan antara periode pertama dan periode kedua. Menurut
Arkoun, dalam periode diskursus kenabian, al-Quran lebih suci, lebih autentik dan
lebih dapat dipercaya disbanding ketika dalam bentuk tertulis. Sebabnya al-Quran
terbuka untuk semua arti ketika dalam bentuk lisan, tidak seperti dalam bentuk
tulisan. Sedangkan ia menganggap status al-Quran dalam bentuk tulisan telah
berkurang dari kitab yang diwahyukan (al-Kitab al-Muhi) menjadi sebuah buku
biasa (kitab Adi). Arkoun berpendapat bahwa mushaf itu tidak layak untuk
mendapatkan stastus kesucian. Tetapi muslim ortodoks meninggikan korpus ini ke
dalam sebuah status firman Tuhan.
Pemikiran Muhammad Arkoun telah membuat peradigma baru tentang
hakekat teks al-Quran. Pendekatan historis Muhammad Arkoun justru
menggiringnya untuk menyimpulkan sesuatu yang ahistoris. Yaitu kebenaran
wahyu hanya ada pada level diluar jangkauan manusia. Muhammad Arkoun
mengakui kebenaran Umm alKitab hanya ada pada Tuhan sendiri. Ia juga
mengakui kebenaran dan kredibilitas bentuk lisan al-Quran, tetapi bentuk itu
sudah hilang
selama-lamanya dan tidak mungkin ditemukan kembali. Jadi, Pendekatan historis
Muhammad Arkoun justru menggiringnya untuk menyimpulkan sesuatu yang
ahistoris. Padahal sepanjang zaman fakta historis menunjukkan, kaum muslimin
sejak dahulu, sekarang dan akan dating meyakini kebenaran al-Quran Mushaf
Utsmani.57
Aturan-aturan metode Arkoun yang hendak diterapkannya kepada al-
Quran (termasuk kitab suci yang lainnya) terdiri dari dua kerangka raksasa:

56
Kholili Hasib, Muhammad Arkoun dan Desakralisasi al-Quran, Op.Cit, 8 of 12.
57
Badrus Syamsi, Metodologi Studi al-Quran Muhammad Arkoun, 3 of 12.

23
1) Mengangkat makna dari apa yang disebut dengan sacra doctrina dalam
Islam dengan menundukkan teks al-Quran dan semua teks yang sepanjang
sejarah pemikiran Islam telah berusaha menjelaskanya (tafsir dan semua
literatur yang ada kaitannya dengan al-Quran baik langsung maupun
tidak), kepada suatu ujian kritis yang tepat untuk menghilangkan
kerancuan-kerancuan untuk mempelihatkan dengan jelas kesalahan-
kesalahan, penyimpangan-penyimpangan dan ketakcukupan-ketakcukupan
untuk mengarah kepada pelajaran-pelajaran yang selalu berlaku.
2) Menetapkan kriteriologi yang didalamnya akan dianalisis motifmotif yang
dapat dikemukakan oleh kecerdasan masa kini, baik untuk menolak
maupun untuk mempertahankan konsepsikonsepsi yang dipelajari.

2. Pemikiran Ibrahim M. Abu Rabi


Dilihat dari karya-karya dan konsetrasi keilmuannya, sangat jelas Abu
Rabi’ lebih tertarik mengkaji Islam dari prespektif historis-empirik. Abu Rabi’
tidak lagi tertarik untuk melalukan ide-ide pembaharuan yang bersifat normatif-
dogmatis yang berlandaskan pada teks keagamaan. Setidaknya, ini merupakan
cermin awal untuk mengungkap kegelisahan akademik yang beliau hadapi. 
Terdapat beberapa persoalan yang disampaikan oleh Abu Rabi’ terkait
kondisi Islam saat ini, umat manusia memasuki sebuah era yang sulit untuk
didefinisikan. Tercatat pasca renaissance dan revolusi industry yang terjadi di
Eropa dan Amerika, nyaris perkembangan sistem ekonomi, politik, dan sosial
begitu bergeliat, khususnya di Dunia Barat.58 Modernisasi di berbagai aspek serta
capaian yang menakjubkan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikan
Dunia Barat sebagai pionir sekaligus prototipe di berbagai belahan dunia. Capaian
atau kemajuan ini kemudian secara perlahan melakukan penetrasi dan penguasaan
terhadap berbagai budaya, tidak terkecuali budaya Islam. Budaya materialisme
dan liberalisme menjadi arus deras yang sulit dihentikan dan dianggap sebagai
upaya imperialisme dan kolonialisme model baru.59

58
Hasan Mahfudh, Dari Ibrahim M. Abu Rabi’ tentang Problematika Studi Islam Kontemporer
59
Ibid

24
Menghadapi kenyataan tersebut, respon umat Islam beragam dan
bervariasi.60 Abu Rabi’ mencatat bahwa setidaknya pada abad ke-18 dan ke-19
terdapat tiga bentuk reaksi umat Islam terhadap kejayaan Eropa, yaitu:

a. Modernisasi
Modernisasi yang dilakukan oleh umat Islam ditandai dengan
perjuangan Dinasti Utsmani untuk melakukan berbagai pembaharuan di
kerajaannya. Pelopor modernisasi di Turki adalah para elit politik, birokrat,
intelektual serta ulama. Keterlibatan ulama dalam modernisasi tidak terlepas dari
upaya untuk menjaga umat. Namun demikian, modernisasi ini tidak seutuhnya
berhasil karena tidak dapat mencegah runtuhnya otoritas politik Dinasti Utsmani
pada akhir Perang Dunia I (1914-1918). Akan tetapi, sebelum keadaan menjadi
lebih buruk, para intelektual Turki mulai mengadopsi westernisasi dan
sekulerisasi sebagai solusi selanjutnya. Program modernisasi yang terkenal
dengan nama tanzimat digalakkan oleh pemerintah pusat dalam menghadapi
ancaman Eropa.61
Tanzimat adalah suatu gerakan pembaharuan di Turki yang awalnya
merupakan modernisasi di tubuh Turki Usmani, yaitu (utamanya) modernisasi
dalam kemiliteran dan kecendrungan elit birokrasi untuk meniru gaya hidup kelas
atas di Barat akibat ketertarikan atas masyarakat sipil Barat. Program ini
dilakukan oleh Mustafa Rasyid Pasya dan Mehmed Sadik Risyad Pasya yang
kemudian diikuti dengan lahirnya piagam humayun, yang berisi tentang
kedudukan orang Eropa, Usmani Muda, dan Turki Muda. Gerakan ini kemudian
melahirkan pembaharuan yang dilakukan di bawah pimpinan Mustafa Kemal
Attaturk.
Tanzimat ini diadopsi untuk dijadikan kebijakan modernisasi secara top-
down. Untuk menyelamatkan Turki, satu-satunya jalan adalah memahami betul
wacana nasionalisme, sekularisme, dan modernisasi. Bagi Muslim dengan tipologi

60
Hasan Mahfud, Dari Ibrahim...Op.cit., baca; Ibrahim M. Abu Rabi’ (ed), The
lackwell Companion to Contemporary Islamic Thought (Oxford: Blackwell Publishing, 2006), h.
2-3.
61
Ibid

25
ini, modernisasi adalah keharusan dalam menjawab berbagai ketertinggalan umat
Islam saat ini.62

b. Nasionalisme
Nasionalisme merupakan ide dan semangat yang dikobarkan pada fase
kedua abad ke-19 sebagai respon atas kesulitan dunia Muslim menghadapi
tantangan dan perkembangan bangsa Eropa. Merujuk pada pendapat
Anderson, Nasionalisme diartikan oleh Abu Rabi’ sebagai pandangan tentang
negara yang terbatas, tidak seperti pandangan tentang keumuman sebagaimana
yang muncul dalam tradisi Kristen (Christendom) dan Islam (Ummah). Abu Rabi’
menegaskan bahwa gerakan-gerakan nasionalisme inilah yang menggiring
bangsanya berjuang melawan penjajahan meskipun pada faktanya mereka sama
sekali tidak memakai jargon-jargon agama dalam pidato atau orasi
kebangsaannya. Contoh gerakan nasionalisme ini adalah yang dipimpin tokoh-
tokoh seperti: Soekarno di Indonesia, Kemal Attaturk di Turki, Mohammad Ali
Jinnah di Pakistan dan Gamal Abd al-Naser di Mesir.63
Untuk melawan imperialisme, nasionalisme diarahkan pada dua
hal, spiritual dan institusional. Secara spiritual, nasionalisme berupaya
mencari kepastian akan kedaulatan negara, masa lalu dan identitas budaya.
Sedangkan secara institusional, nasionalisme berusaha membangun negara dengan
belajar ilmu pengetahuan Barat dan pembangunan institusi Barat. Kedua
fungsi nasionalisme ini diadopsi Abu Rabi’ dari Partha Chatterjee.

c. Revivalisme Islam
Revivalisme Islam merupakan bentuk respon lain atas tantangan
kolonialisme. Menurut Esposito, ihya’ (menghidupkan) dan tajdid (pembaharuan)
adalah dua kata kunci dalam revivalisme Islam. Menurut kelompok ini, Islam
bukanlah masalah, artinya bahwa kemunduran dan stagnansi dunia Islam bukan
disebabkan oleh Islam, bahkan sebaliknya Islam adalah solusi. Stagnansi yang
terjadi di dunia Islam lebih disebabkan karena umat Islam tidak mau berpegang
62
Ibid
63
Ibrahim M. Abu Rabi’, “A Post Critical Assesment of Modern Islamic History” dalam Ian
arkham dan Ibrahim M. Abu Rabi’, 11 September: Relegious Perspectives on The Causes
and oncequences (Oxford: Oneworld Publications, 2002), h. 24-25.

26
teguh pada ajaran Islam. Oleh karena itu, kembali kepada Islam adalah seruan
sekaligus jalan satu-satunya untuk mengembalikan kejayaan Islam. Meminjam
istilah Syakib Arselan; “Taraka al-Muslimuna adyanahum fataakhkharu, wa
taraka al-Masihiyun adyanahmum fataqaddamu”.
Abu Rabi’ membagi revivalisme Islam menjadi empat periode: (1) Pra
kolonial, ditandai dengan gerakan Wahabi pada awal abad ke-18 yang berfokus
pada usaha-usaha pemurnian Islam di bidang hukum Islam dan teologi; (2)
Kolonial, seperti Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama di Indonesia yang berdiri
pada abad ke-20, serta al-Ikhwan al-Muslimun pada 1928 di Mesir dan Jama’ah
Islamiyah di India. Gerakan atau organisasi era ini bergerak dalam kemajuan
pendidikan dan perlawanan terhadap penjajah; (3) Pasca-kolonial, terbentuknya
bangsa-bangsa di Dunia Muslim pada pertengahan abad ke-20 adalah penyebab
terbantuknya gerakan pada era ini. Gerakan jihad di Mesir tahun 1970-1980
misalnya, berupaya merefleksikan interpretasi ekstrem agama dan mengambil
jalan kekerasan untuk mendapatkan maksud dan tujuannya; (4) Pasca nation-state,
diwakili oleh gerakan Taliban dan al-Qaeda, gerakan ini bertujuan untuk
mengakhiri kekerasan dan kerusuhan dalam negeri, menghentikan segala bentuk
intervensi asing dan memulihkan martabat masyarakat sipil meskipun terkadang
dengan menggunakan cara-cara yang keras.
Berbagai respon umat Islam atas kemajuan dan kolonialisme Eropa seperti
tersebut di atas sebenarnya merupakan potret bagaimana umat Islam secara sosio-
politik berusaha untuk meraih kebangkitan sebagaimana yang dicita-citakan. Bagi
Abu Rabi’ kebangkitan Islam di tangan gerakan-gerakan tersebut di atas menjadi
problematis ketika mereka tidak mampu memposisikan dan membedakan ranah
kebangkitan tersebut. Apakah kebangkitan Islam bersifat doktrinal, filosofis,
atau historis-politis?64 Tema sentral ide pembahuruan pemikiran dalam Islam
terletak pada kata kunci i’adatul Islam, yakni keinginan masyarakat Muslim untuk
mengembalikan peran dunia Islam dalam percaturan global peradaban
dunia. Namun ide pembaruan ini dimaknai berbeda oleh beberapa tokoh Islam,
antara lain; Muhammad Abduh menjadikan Tajdid al-Fahm (memperbaruhi
pemahaman Islam) sebagai inti pembaharuan, sementara Rasyid Ridha

Ibrahim M. Abu Rabi’, Intellectual Origins of IslamicResurgence in The Modern Arab


64

World (New York: State University Of New York Press, 1996), hlm. 10.

27
mempunyai konsep Tathbiq al-yari’ah, atau Tathbiq qanun al-Syari’ah, untuk
menyembuhkan penyakit imperialisme-kolonialisme yang membelunggu umat
Islam, yakni dengan cara mengaplikasikan kembali atau mempraktikkan kembali
materi undang-undang dan tatacara kenegaraan yang pernah dilakukan oleh
generasi Muslim terdahulu.65 Sedangkan Abu Rabi’ lebih melihat sisi sosial-
politik umat Islam. Artinya, ketertinggalan umat Islam atas Barat bukanlah suatu
hal imajiner, tetapi merupakan fakta sekaligus tantangan yang sampai saat ini
harus diselesaikan.
Ketika menelisik problematika studi Islam, Abu Rabi’ kembali
menegaskan pentingnya distingsi antara Islam dan pemikiran Islam atau studi
Islam itu sendiri. Dengan merujuk pada pendapat Ibnu Khaldun, Abu Rabi’
meyakini bahwa studi Islam berbeda dengan Islam. Jika Islam merujuk kepada
wahyu yang kekal dan agama yang suci, maka pemikiran atau studi Islam
merujuk pada seluruh perkembangan ilmu pengetahuan Muslim seperti penafsiran
al-Qur’an, hadis, fikih, kalam, sufi dan sebagainya. Dalam arti bahwa
pemikiran dan studi Islam senantiasa terbuka, berubah (qabil li al-taghyir), dan
selalu siap untuk dikritisi serta dikembangkan. Hal ini menunjukkan
bahwa pemikiran atau studi Islam sangat dipengaruhi oleh tingkat kemajuan
peradaban manusia itu sendiri.
Jika dalam kajian Jasser Auda memberikan gambaran tentang tiga varian
pola pemikiran epistemologi studi Islam, yaitu;  Islamic traditionalism, Islamic
modernism, dan post-modernism.66 
Dimana ciri pokok Islamic traditionalism terletak pada paham
teleologi yang mengharuskan segala sesuatu dinilai dari tujuannya, bergeser pada
teologi. Sehingga dalam pandangan Islamic traditionalism tujuan ini harus dinilai
secara teologis, yaitu baik dan buruknya segala sesuatu harus dinilai dari tujuan
teologis (Allah). Sehingga, teks menjadi sangat sentral dalam studi kelompok
ini67 

65
Hasan Mahfudh,Op.Cit., Lihat juga Rasyid Ridha; “Arah Baru Paradigma Kritik Hadis”, dalam
Muammar Zayn Qadafy, Yang Membela dan Yang Menggugat (Yogyakarta: Interpena, 2011),
hlm. 41. dan Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi; Pendekatan Integratif-
Interkonektif  (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 250-251.
66
Jasser Auda, Maqasid al-Shari’ah as Philosopy of Islamic Law: A Systems Approach
(London: The International Institute of Islamic Thought, 2008), h. 17.

28
Akibatnya, epistemology tekstual yang digunakan Islamic
Traditionalism dikritik oleh Islamic Modernism. Bagi kaum modernis Islam,
teologi terlihat sebagai ide yang menghambat kemajuan ilmu
pengetahuan. Karena itu mereka berusaha menafsirkan kembali teks agama
menggunakan logika dan ilmu pengetahuan, dan menjadikan ilmu
pengetahuan sebagai sentral dalam kajian agama. Namun epistemologi yang
diusung oleh kelompok Islamic Modernism bukan tanpa kekurangan yang
memunculkan lahirnya islamic post-modernism. Ciri utama
pemikiran ini terletak pada penerimaannya terhadap berbagai hal dan fenomena-
fenomena di luar logika dan ilmu pengetahuan, serta mengusung tiga prinsip
epistemologis, yaitu: (1) prinsip kebebasan berkreasi, (2) prinsip
ketidakberhinggaan pengetahuan dan eksplorasi, dan (3) prinsip pluralitas68
Namun demikian, menurut Ibrahim M. Abu Rabi’ kondisi studi Islam
dewasa ini masih kurang memadai dan terbelakang, meskipun beberapa negara
Muslim telah merdeka, seperti Mesir, Indonesia, dan Pakistan.. Gejala-gejala
keterbelakangan itu tampak dari berbagai aspek; pertama, para elit militer dan
politikus aktif memberi dukungan kepada lembaga-lembaga pendidikan
tradisional hanya untuk mempertahankan status quo. Terdapat semacam simbiosis
mutualisme antara pendidikan dan kekuasaan.
Kedua, Sentralitas, dimana negara dengan jelas mengintervensi konstruksi
modern studi-studi keIslaman untuk menjamin netralitas agama dalam problem
sosial dan politik. Ketiga, berdasarkan pengalaman pribadinya, ilmu sosial dan
filsafat tidak mendapatkan tempat di kalangan umat Islam. Bahkan, ilmu-ilmu
sosial dan filsafat dianggap sebagai bid’ah sehingga jarang sekali ditemukan
mahasiswa –khususnya dari negara Teluk- yang melanjutkan studi di bidang ilmu
sosial.69
Keempat, studi Islam hanya berputar pada kajian syari’ah dan fikih yang
kosong dari kritik politik dan relevansinya dengan situasi
kekinian. Kelima, adanya pembedaan yang mencolok antara teologi dan
politik (social). Teologi dipahami sebagai ritus, simbol dan hanya berupa teks-teks
67
Hasan Mahfudz, Op.Cit., Lihat juga; Adonis, al-Tsabit wa al-Mutahawwil: Bahts fi al-Ibda wa
al-Itba’ ‘inda al-Arab, terj Khairon Nahdiyyin, Jilid I (Yogyakarta: LKiS, 2007), h. XXXV.
68
Adonis, al-Tsabit wa al-Mutahawwil: Bahts fi al-Ibda wa al-Itba’ ‘inda al-Arab, h. XXXV.
69
Hasan Hanafi, Dirasat Islamiyyah, (Kairo: Maktabah Anglo, tt), h 393.

29
sejarah, sehingga menimbulkan ketegangan antara Islam dan realitas. Akibatnya-
menurut Abu Rabi’, kondisi ini menjadikan intelektual Muslim paham teks-teks
Islam tetapi tidak mengerti bagaimana menguji teks-teks secara kritis dalam
kaitannya dengan kondisi sosial dan politik di sekitarnya. Kondisi
ini diperparah lagi dengan langgengnya intelektual yang dikontrol oleh negara
hanya untuk mendiskusikan persoalan-persoalan teologi yang telah mati ratusan
tahun lalu, dan menjadikan intelektual Muslim buta dan tidak peka terhadap
permasalahan yang ada di sekitarnya.
Singkatnya, Abu Rabi’ memandang kondisi studi Islam saat ini
cukup memprihatinkan dan dalam keadaan krisis. Perspektif yang digunakan
masih terkesan dikotomis, berpusat pada teks. Tema ataupun persoalan yang
diangkat cukup usang (expired) bahkan buruk (ugly) dan jauh dari persoalan
kekinian. Hal ini terjadi tidak hanya karena ketertinggalan peradaban keilmuan
umat Islam, tetapi juga disebabkan oleh intelektual-intelektual Islam yang gagal
terlibat aktif dalam memberikan solusi atas berbagai problem kontemporer.70
Ibrahim M. Abu Rabi’ memberikan tawaran terhadap problematika dan
krisis metodologi dalam studi Islam, yang secara garis besar dapat dibagi
dalam dua hal. Pertama, bahwa studi atas Islam tidak dapat
dilakukan hanya dalam satu aspek saja. Menurut beliau setidaknya terdapat empat
aspek dalam Islam: (1) Aspek filosofis atau ideologis. Pada dataran ini Islam
menjadi problem filsafat dan ideologi dalam pemikiran Arab-Islam. (2) Aspek
teologis. Pada tataran ini Islam memiliki maknanya yang terbuka. Islam dapat
dilihat dari teologi inklusif, yaitu keesaan Tuhan. (3) Aspek teks (nash), yang
merupakan inti pokok kebudayaan Islam, ia tidak lahir dari ruang hampa, tetapi
senantiasa berdialektika dengan realitas sejarah kebudayaan manusia. Dengan
demikian harus dipahami secara dialektis antara teks dan realitas serta antara teks
dan penafsiran manusia. Sejarah dan pemikiran Muslim merupakan perpaduan
kompleks antara yang bersifat manusia (humane) dan yang bersifat ketuhanan
(divine). (4) Aspek realitas antropologis. Selain memiliki sisi normatif, dalam
Islam telah terjadi evolusi perkembangan kesejarahannya. Islam telah mendorong

70
Hasan Mahfudh,Op.Cit.,

30
lahirnya dinamika kultural, sosial, dan politik yang kompleks. 71Keempat aspek
tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Abu Rabi’ menginginkan lahirnya intelektual yang betul-betul terlibat


dalam membangkitkan studi Islam dan berupaya keras mengatasi problem umat
Islam kontemporer (intellectual engagement). Tugas utama dari intelektual
model ini adalah berupaya sekuat tenaga tidak terkait dengan kepentingan
penguasa dalam mempertahankan status quo. Intelektual dengan semangat
objektivikasi keilmuan dan berusaha menjadi problem solving dalam tantangan
kehidupan umat Islam saat ini.

71
Ibrahim M. Abu Rabi’, “A Post Critical Assesment of Modern Islamic History”, h. 33-

31
BAB III
SIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Simpulan
Berdasarkan pembahasan pada bab II di atas, maka dengan ini kami
simpulkan hal sebagai berikut :
1. Biografi Mohammed Arkoun adalah seorang filsuf Islam Modern. Ia lahir pada
tanggal 2 Januari 1928 di Desa Berber, Algeria, dan meninggal pada tanggal 14
September 2010. Pemikirannya mempengaruhi reformasi Islam saat ini.
Selama 30 tahun kariernya ia mengkritik ketegangan yang ia temukan selama
studi dengan mengutamakan Islam yang modern dan humanis. Sedangkan
Ibrahim M. Abu Rabi adalah adalah seorang Profesor dalam Studi Islam
(Departemen Sejarah dan Klasik) di Universitas Alberta, Edmonton, Kanada,
dan Ketua Dewan Komunitas Muslim Edmonton. Bidang spesialisasi akademik
utamanya adalah Hubungan Timur Tengah dan Internasional. Dia juga
memiliki minat khusus dalam studi dan praktik dialog antaragama antara tradisi
agama Islam dan Kristen.
2. Karya Intelektual Mohammed Arkoun dari kebanyakan tulisannya adalah
berbahasa Prancis yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan
bahasa-bahasa lainnya. Ia telah menulis 100 buku dan artikel-artikel. Selain itu
ia juga pernah memberikan kuliah di berbagai negara. Sedangkan Ibrahim M.
Abi dilihat dari pengembaraan intelektual, pengalaman serta wawasan
keilmuannya, maka tidak mengherankan jika kompetensi yang dimilikinya
kemudian melahirkan berbagai karya terkait problematika pemikiran Islam
kontemporer, studi agama-agama dan studi Islam.
3. Pemikiran Arkoun membawa panji tentang perikemanusiaan dan pandangan
modern islam. Ia mempertimbangkan bagaimana atau memikirkan kembali
dunia Islam zaman ini. Arkoun melihat adanya kebekuan penafsiran
disebabkan pengaruh sistem dan konveksi yang membangunnya. Arkoun

32
berupaya mengembangkan perluasan interpretasi atau penafsiran sambil tetap
berpegang pada determinasi transendental untuk hal-hal yang khusus.
Demikian pula pada hubungan Islam Barat atau sebaliknya Barat Islam,
Arkoun menganjurkan dialog secara lebih terbuka dan interpretatif. Sedangkan
Pemikiran Ibrahim M. Abi Rabi lebih memfokuskan kajiannya pada masalah
peran modernisasi, nasionalisme, revivalisme religius di dunia Muslim modern
dan kontemporer. Ibrahim juga menaruh perhatian pada masalah dinamika
pendidikan dan sosial di negara-negara Muslim, khususnya Arab Saudi yang
merupakan kota suci Islam 

B. Rekomendasi
Al-Qur’an mengandung pengertian yang lengkap mengenai segala aspek

kehidupan manusia, alam semesta dan metafisika, masa lampau, masa kini

dan masa depan, individu, masyarakat, sosial politik, dan sebagainya. Dari

beberapa penjelasan diatas, jelas bahwa Al-Qur’an adalah sumber agama

sekaligus sumber ajaran Islam. Posisinya sentral, bukan hanya dalam

perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu keIslaman, tetapi juga sebagai

inspirator, pemnadu gerakan umat Islam sepanjang sejarah. Atau (dengan

rumusan lain) seperti telah disebutkan diatas, Al-Qur’an tidak hanya sebagai

pedoman umat Islam, tetapi juga menjadi kerangka segala kegiatan

intelektual muslim.

Posisi studi Islam dengan pendekatan sejarah memiliki posisi yang

strategis. Posisi strategis ini terkait dengan panjangnya rentang latar historis

Islam dengan bentangan

waktu beserta dinamika yang mengikutinya. Dinamika Islam ini meliputi

dinamika bidang teologi, politik, hukum, tasawuf, tafsir, hadits dan lain-lain.

33
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Munir, “Kritik Nalar Islam: Analisis atas Pemikiran Muhammad


Arkaoun,” Al-Tahrir Jurnal Pemikiran Islam Volt.8, no.21-40 (Januari:
2008): 23.
Hasan Mahfudh, Dari Ibrahim M. Abu Rabi’ tentang Problematika Studi Islam
Kontemporer, Hal 23
Moh. Fauzan dan Muhammad Alfan, Dialog Pemikiran
Timur Barat, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), 214., 28 Februari 1928, Lihat
Baedhowi, Humanisme Islam: Kajian Terhadap Pemikiran Filosofis
Muhammad Arkoun, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), Hal. 25.
Kritik Nalar Islam: Analisis atas Pemikiran Muhammad Arkaoun,” Al-Tahrir
Jurnal Pemikiran Islam , Op.cit 23.
Mariasusai Davamony, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta:Kanisius, 2001), h.
32.

Internet (pdf)

Badrus Syamsi, Metodologi Studi al-Quran Muhammad Arkoun: Kajian


Kritis,Inpasonline.com, Selasa 21 Oktober 2019, 22:05, 1 of 12 (pdf)
Baedhowi, Humanisme Islam, 27 (pdf)

34
Catatan kaki Hasim Salih dalam buku Mohammed Arkoun Al-‘Almanah wa al-
Dîn:
al-Islâm al-Masîh} al-Gharb halaman 74.
Hermeneutika Muhamed Arkoun: Sekedar Pengantar, (T.tp.:T.pn., 2009) 10 0f 10
Ibrahim M. Abu Rabi’, “A Post Critical Assesment of Modern Islamic History”,
h. 33-
Ibrahim M. Abu Rabi’, “A Post Critical Assesment of Modern Islamic History”
dalam Ian arkham dan Ibrahim M. Abu Rabi’, 11 September: Relegious
Perspectives on The Causes and oncequences (Oxford: Oneworld
Publications, 2002), h. 24-25.
John. L.Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, (T.tp.: Meizan, t.t.),
174. (pdf)
Kholili Hasib, Mohammed Atkoun dan Desakralisasi al-Quran, 7 of 12.
Moh. Fauzan dan Muhammad Alfan, Dialog Pemikiran Timur Barat, 214 (pdf)

Internet (Situs)

https://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Arkoun
https://id.wikipedia.org/wiki/Ibrahim_M._Abu-Rabi

35

Anda mungkin juga menyukai