Anda di halaman 1dari 6

TUGAS ARTIKEL KELOMPOK 1

Analisis Kegagalan Strategi Transnational Advocacy Network dalam Menentang


Pengesahan Qanun Jinayat di Aceh

Pengantar Pengolahan Data Kualitatif Kelas E


Dosen: Estu Putri Wilujeng, M.Si.

Disusun oleh:
Bayu Unggul Yudhanto (1906394800)
Dimas Kuncoro Yekti (1906299282)
Muhammad Raihan (1906364426)
Stevanus Cristofer Naibaho (1906394952)
Topik: Analisis Kegagalan Strategi Transnational Advocacy Network dalam
Menentang Pengesahan Qanun Jinayat di Aceh

Asumsi Topik
Dalam buku Social Research Methods karya Bryman, penelitian kualitatif adalah
penelitian yang datanya dikumpulkan dan dianalisis dengan lebih menekankan kepada bahasa
atau kata-kata dibanding data statistik. Dan berdasarkan jurnal serta topik yang ditulis oleh
kelompok kami, maka penelitian ini menggunakan metode ​Critical Discourse Analysis.
Critical Discourse Analysis ​atau CDA merupakan analisis kritis yang dilakukan terhadap
wacana yang berkembang dan dikembangkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan,
memiliki kekuasaan, dengan memproduksi wacana dominan untuk menguasai ruang publik
agar pihak-pihak lain juga ikut terdominasi dan terkuasai. Ini adalah agenda wacana atau
produksi wacana (Wodak dan Chilton).
Data-data dalam jurnal yang ditulis oleh Jessica Aulia Nurul Isnaeni dan Maisa
Yudono ini dikumpulkan melalui buku, jurnal, laporan penelitian, publikasi daring, dan
instrumen legal seperti Qanun Nanggroe Aceh Darussalam dan Undang-Undang. Menilik
dari sumber data tersebut, maka penelitian ini termasuk dalam penelitian kualitatif yang
mengutamakan studi pustaka. Dan seperti halnya fungsi utama CDA, pada jurnal ini juga
menaruh minat pada kajian tentang kekuasaan dan politik tentang siapa yang memproduksi
wacana dan siapa pemegang kuasa ​(power holder) untuk memproduksi wacana tersebut dan
dalam hal ini membahas kasus Qanun Jinayat di Aceh dan pertentangan antara Pemprov
Aceh dan posisi jejaring masyarakat sipil di Aceh.

Jenis Teks dan Level Bahasa yang Diteliti

Pada jurnal yang berjudul “Kegagalan Strategi Transnational Advocacy Network dalam
Menentang Pengesahan Qanun Jinayat di Aceh” peneliti mengkaji dalam ​discourse analysis
dan ​criticial discourse analysis.​ Dalam jurnal ini terjadi perdebatan ideologi antara kubu
universalitas dan partikularitas. Di sisi Pemprov Aceh memegang prinsip partikularitas yaitu
menerapkan Syariat Islam sebagai standar pemenuhan HAM, sedangkan di sisi lain jejaring
masyarakat sipil mengedepankan pandangan universalitas dengan mengacu kepada
prinsip-prinsip universal HAM. Perbedaan tersebut tidak terlepas dari perbedaan nuansa
(“nuances”) yang terbentuk dari latar belakang identitas dan budaya tiap-tiap individu.
Nuansa disini mengandung semantic (ilmu yang mempelajari makna) yaitu kepekaan
terhadap, kewaspadaan tas (KBBI “nuansa”). Tidak hanya itu kemampuan TAN sangat
diperlukan mengingat TAN mampu menghasilkan informasi-informasi yang akurat dan dapat
dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini morfologi , semantic dan pragmatic sangat diperlukan
sehingga informasi tersebut terkadang tidak mudah untuk didapatkan namun sifatnya sangat
krusial dalam mempengaruhi diskursus yang sedang berkembang. Salah satu kunci dari
strategi ini adalah bagaimana menyusun laporan secara komprehensif serta mudah dipahami.
Proses pengumpulan data lapangan dilakukan oleh seluruh elemen TAN.

Dalam jejaring TAN, mereka menggunakan strategi politis simbolis merupakan


kemampuan untuk menerapkan simbol, agar lebih mudah dipahami oleh targetnya).
Simbol-simbol yang diangkat bisa berbentuk tindakan ataupun tokoh tertentu, yang diangkat
sebagai representatif dari keseluruhan perlawanan. Hal ini sangat dikaji dalam fonologi (ilmu
yang mempelajari tentang penggunaan simbol yang bisa dikombinasikan dengan ketentuan
formal), dalam jurnal ini banyak penggunaan bahasa asing sebagai akumulasi dari syariat –
syariat yang ingin dijalankan dari rakyat Aceh. Pemahaman akan makna kata yang dapat
diikutkan dengan multitafsir diperlukan. Sehingga makna kata yang tidak menjadi sebuah
misleading/multitafsir. Dan juga belum mampunya penerapan dari CDA (critical discourse
analysis) yang berkarakteristik politis dan mempengaruhi dalam kehidupan sosio – kultural
yang dilakukan para aktor dalam TAN, masih memberikan hambatan.

Metode Analisis Kualitatif


Dalam mencari esensi dari jurnal berjudul ‘Kegagalan Strategi Transnational
Advocacy Network dalam Menentang Pengesahan Qanun Jinayat di Aceh’ diperlukan suatu
pendekatan analisis yang kompatibel dalam mengidentifikasi diskursus yang berada pada
jurnal tersebut baik dari segi kebahasaannya maupun pesan yang disampaikan penulis.
Metode analisis yang cocok untuk digunakan pada jurnal ini adalah metode ​Critical
Discourse Analysis​. Metode CDA menitikberatkan pada kebahasaan suatu wacana yang akan
menggambarkan ideologi atau perubahan sosio-kultural dengan perspektif kritis yang
dikembangkan oleh Mazhab Frankfurt.
Dimensi analisis dari CDA dalam mengkaji sebuah wacana menjangkau beberapa
aspek mulai dari menganalisis konten baik secara struktur maupun makna, lalu menganalisis
bentuk interaksi yang tertuang dalam diskursus, juga meninjau konteks sosial berupa situasi
pada ruang dan waktu. Jika dikaitkan pada wacana ‘Kegagalan Strategi Transnational
Advocacy Network dalam Menentang Pengesahan Qanun Jinayat di Aceh’, maka material
yang diteliti akan berfokus pada hegemony dalam rangka mengidentifikasi pola dan ideologi
apa yang tertera pada diskursusnya.

Hasil Analisis
Pada dimensi teks, analisis dilakukan untuk melihat bagaimana seseorang, kelompok,
dan kegiatan ditampilkan dalam teks. Pada teks ini konteks aktor dan konteks aktivitas
ditampilkan secara deskriptif kronologis yang menjelaskan kausalitas histori dari munculnya
dan disahkannya Qanun Jinayat. Pada teks ini konteks aktor yang kerap disebut dalam
penelitian ini adalah Dalam konteks aktor, disebutkan bahwa TAN, NGO
Lokal-Nasional-Internasional, Komunitas Masyarakat, Pemerintah NAD dan Pemerintah RI.
Semua aktor tersebut memiliki perannya masing-masing yang dapat merekonstruksi proses
kegagalan strategi TAN. Teks ini menyampaikan bahwa TAN merupakan organisasi
transnasional yang bertujuan untuk memberdayakan kelompok-kelompok yang
termarjinalisasi. Dalam konteks termarjinalisasi, kelompok-kelompok masyarakat sipil di
Aceh seperti Solidaritas Perempuan Bungeong Jeumpa Aceh (SP Aceh), Koalisi NGO HAM
Aceh, dan Kontras Aceh tidak mendapatkan akses terbuka terhadap proses penyusunan
Qanun Jinayat. Dalam wacana ini strategi-strategi TAN dipaparkan dan dibedah menjadi
pembahasan yang aktual. Informasi yang diberikan dapat menggambarkan bahwa kegagalan
strategi bermuara dari legitimasi Pemerintah Aceh yang begitu kuat di samping ​blundernya
TAN dalam melakukan strateginya.
Discourse practice berhubungan dengan proses produksi dan konsumsi teks. Pada
wacana ini, proses produksi bermula dari investigasi ketiga peneliti dari kegagalan strategi
TAN dalam menentang Qanun Jinayat. Pada konsumsi teks, wacana ini merupakan suatu
artikel ilmiah dari suatu penelitian sehingga peneliti memposisikan dirinya dengan netral
tanpa keberpihakan yang kentara, sehingga teks ini lebih banyak dikonsumsi oleh akademisi,
pelajar, dan tidak menutup kemungkinan masyarakat umum. Pada konsumsi teks, teks ini
tidak menyinggung masyarakat Aceh dengan pandangan negatif melainkan netral sehingga
kesempatan teks ini menemui pertentangan khususnya oleh masyarakat Aceh tidak ditemui.
Praktik sosial yang menjadi latar belakang wacana ini apabila ditinjau dari teks,
konteks yang menjadi Social-cultural Practice adalah unsur tematik dari kegagalan strategi
upaya TAN dalam menentang pengesahan Qanun Jinayat. Ketiga peneliti menggambarkan
bagaimana keadaan sosial terbangun dari perlawanan terhadap sistem hukum syariah Islam di
Aceh yang berhadapan dengan dualitas pragmatisme, dari sudut pandang pemerintah Aceh
yang membawa narasi partikularisme HAM, sedangkan masyarakat sipil menginginkan
narasi universalitas HAM yang membawa nilai-nilai universal HAM. Di samping dualitas
pragmatis tersebut, wacana ini menyampaikan bahwa strategi TAN dalam menentang
pengesahan Qanun Jinayat, terlampau rumit, mula-mula masyarakat sipil Aceh mendukung
NGO ini, tetapi akibat kuatnya legitimasi pemerintah Aceh akibat UU Pemerintahan Aceh,
TAN kemudian menggalang opini global untuk tidak berinvestasi di Aceh. Narasi TAN ini
tentu membuat masyarakat Aceh secara ekonomi dirugikan akibat stigmatisasi yang
sebenarnya tertuju kepada Pemerintahan Aceh, tetapi berdampak luas kepada kehidupan
masyarakat Aceh.
Fairclough menjelaskan bahwa CDA memiliki tiga fungsi yakni, identitas, relasional,
dan ideasional. Singkatnya, fungsi identitas menegaskan peran diskursus dalam
mengkonstruksi identitas sosial anggota masyarakat. Dalam teks ini, peneliti memaparkan
bahwa sebenarnya tidak semua kalangan masyarakat Aceh menyetujui penerapan hukum
syariat Islam secara holistik, mereka menegasikan hukum cambuk dan hukum bagi pezina.
Hal ini kemudian dapat membentuk identitas masyarakat Aceh di mata masyarakat luar Aceh
bahwa tidak semua masyarakat menyetujui penerapan Qanun Jinayat. Disamping itu wacana
ini memberikan pandangan baru bahwasanya penerapan hukum Islam yang dipandang
membatasi ternyata dapat dimaklumi oleh Partikularistik HAM sehingga memunculkan opini
bahwa sebenarnya HAM secara global mengakui identitas-identitas yang tidak terlepas dari
konteks sosial budaya dalam hal ini budaya Aceh yang telah lama diterapkan di Aceh bahkan
sebelum Indonesia merdeka. Sedangkan fungsi relasional dalam kaitannya dengan teks ini,
wacana berfungsi menciptakan relasi-relasi sosial di dalam masyarakat. Pada teks ini, fungsi
relasi digambarkan ketika NGO-NGO lokal, nasional, dan internasional saling berhubungan,
di samping peran TAN yang membantu mengedukasi dan menghimpun suara-suara
perlawanan terhadap Qanun Jinayat kepada masyarakat Aceh yang artinya terdapat relasi
antara keduanya. Sedangkan Ideasional, wacana ini dapat mengubah sentimen masyarakat
bahwa hukum Islam yang membatasi sebenarnya diizinkan oleh HAM untuk diterapkan
karena konteks sosial budaya di Aceh.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa teks Kegagalan Strategi TAN dalam menentang
pengesahan Qanun Jinayat, menggambarkan bahwa kegagalan TAN berasal dari kuatnya
legitimasi Pemerintah Aceh di samping berasal dari bumerang TAN itu sendiri dalam
mengadvokasi dengan strategi yang kurang dapat diterima oleh masyarakat Aceh. Teks ini
pun dapat mengubah pandangan awam tentang apa yang sebenarnya terjadi di Aceh.
Daftar Pustaka

Aulia, J., Isnaeni, N., & Yudonio, R. M. (2019). Kegagalan Strategi Transnational Advocacy
Network dalam Menentang Pengesahan Qanun Jinayat di Aceh. ​Jurnal Hubungan
Internasional,​ ​Tahun XXI (​ No.1).

Anda mungkin juga menyukai