Anda di halaman 1dari 4

METODOLOGI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

“PERSAINGAN PARADIGMA DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL”

DISUSUN OLEH
ANNISA ALYA SHABITA
1501116808

JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS RIAU
2018
PERSAINGAN PARADIGMA

Paradigma merupakan pijakan dasar untuk menjelaskan fenomena-fenomena, masalah-


masalah Hubungan Internasional atau politik tertentu melalui suatu system criteria, standar-
standar, prosedur-prosedur, dan seleksi fakta permasalahan yang relevan. Terdapat berbagai
paradigma yang berkembang dalam hubungan internasional, paradigma-paradigma tersebut
saling melakukan perdebatan mengenai cara pandang mereka akan prosedur-prosedur dan fakta
permasalahan yang relevan bagi ilmu hubungan internasional.

Positivisme
Positivisme mencerminkan filsafat deterministik yang memandang suatu penyebab
mungkin menentukan efek atau hasil. Aliran ini bertujuan untuk menguji sebuah teori atau
menjelaskan sebuah pengalaman melalui observasi dan pengukuran dalam rangka meramalkan
dan mengontrol kekuatan-kekuatan di sekitar manusia. Positivisme berasumsi bahwa fenomena
sosial dapat diteliti dengan cara yang sama dengan fenomena alam dengan menggunakan
pendekatan yang bebas nilai dan penjelasan sebab-akibat sebagaimana halnya dalam penelitian
fenomena alam. Keyakinan dasar dari paradigma positivisme berakar pada paham ontologi
realisme yang menyatakan bahwa realitas berada (exist) dalam kenyataan dan berjalan sesuai
dengan hukum alam (natural law). Penelitian berupaya mengungkap kebenaran relitas yang ada,
dan bagaimana realitas tersebut senyatanya berjalan.
Post Positivisme
Aliran ini berasumsi bahwa setiap penelitian dipengaruhi oleh hukum-hukum atau teori-
teori yang menguasai dunia. Postpositivisme berpendapat bahwa manudia tidak mungkin
mendapatkan kebenaran dari realitas apabila peneliti membuat jarak dengan realitas atau tidak
terlibat secara langsung dengan realitas. Hubungan antara peneliti dengan realitas harus bersifat
interaktif. Penganut positivisme dan postpositivisme akan memulai penelitian dengan suatu teori,
mengumpulkan data yang mendukung atau menolak teori tersebut, dan membuat revisi yang
diperlukan. Dengan demikian, pengetahuan yang dikembangkan melalui lensa postpositivisme
didasarkan pada observasi yang cermat dan pengukuran realitas yang objektif, sehingga
positivisme dan postpositivisme selalu diasosiasikan dengan metode penjaringan dan analisis
data kuantitatif.
Asumsi dasar post-positivisme ialah fakta tidak bebas melainkan bermuatan teori dan
penuh dengan nilai, asumsi dasar post-positivisme tentang realitas adalah jamak individual,
fokus kajian post-positivisme adalah tindakan-tindakan (actions) manusia sebagai ekspresi dari
sebuah keputusan, hasil penelitian bukan reportase objektif tetapi hasil interaksi manusia dan
semesta yang penuh dengan persoalan dan senantiasa berubah.

Konstruktivisme/ Interpretivisme

Konstruktivisme melihat bahwa dunia sosial bukanlah sesuatu yang bersifat given,
melainkan suatu konstruksi manusia. Jadi, segala sesuatu yang ada di dunia ini merupakan hasil
konstruksi manusia, termasuk sistem anarki. Pandangan maupun pemahaman setiap individu
berbeda satu sama lain ketika memandang suatu fenomena. Hal ini menyebabkan
konstruktivisme sepakat dengan kaum posmodernisme yang menganggap bahwa kebenaran
sejati itu tidak ada. Sehingga konstruktivisme dapat dikatakan memiliki kesamaan dengan
posmodernisme dan teori-teori pospositivis lainnya.

Bagi penganut konstruktivisme/interpretivisme penelitian merupakan upaya untuk


memahami realitas pengalaman manusia, dan realitas itu sendiri dibentuk oleh kehidupan sosial.
Penelitian berlensa konstruktivisme/interpretivisme cenderung tergantung pada pandangan
partisipan tentang situasi yang diteliti. Penelitian konstruktivisme pada umumnya tidak dimulai
dengan seperangkat teori (sebagaimana halnya dengan postpositivisme) namun mengembangkan
sebuah teori atau sebuah pola makna secara induktif selama proses berlangsung. Metode
penjaringan dan analisis yang digunakan penganut konstruktivisme biasanya berbentuk
kuantitatif. Akan tetapi, data kuantitatif dapat digunakan untuk mendukung data kualitatif serta
memperdalam analisis secara efektif.

Advokasi/Partisipatori/Transformatif

Aliran advokasi/partisipatori/transformatif muncul pada tahun 1980-an dan 1990-an


sebagai akibat dari ketidakpuasan terhadap paradigma penelitian yang ada dan kesadaran bahwa
teori-teori sosiologi dan psikologi yang mendasari paradigma-paradigma yang ada pada dasarnya
dikembangkan melalui pandangan ’kulit putih’, didominasi oleh perspektif kaum pria, dan
didasarkan pada penelitian yang menggunakan pria sebagai subyek. Peneliti advokasi/
partisipatori percaya bahwa penelitian perlu dijalin dengan agenda-agenda politik dan politisi
agar penelitian tersebut menghasilkan tindakan-tindakan yang mereformasi kehidupan partisipan,
lembaga tempat individu hidup, dan kehidupan peneliti sendiri. Sehubungan dengan itu,
penelitian harus mengangkat masalah-masalah sosial yang penting sebagai topik, seperti isu
kekuasaan, ketidaksetraan, penganiayaan, penindasan, dan perampasan hak. Peneliti advokasi
sering memulai dengan menjadikan salah satu dari isu ini sebagai fokus penelitian. Kemudian,
dia akan berjalan bersama secara kolaboratif dengan partisipan dengan pengertian partisipan
dapat membantu merancang pertanyaan, mengumpulkan data, menganilisis informasi, atau
menerima penghargaan untuk partisipasinya dalam penelitian.

Pragmatik
Aliran Pragmatisme tidak terikat pada sistem filosofi atau realitas tertentu. Penganut
pragmatisme pada awalnya menolak asumsi ilmiah yang menyatakan penelitian sosial dapat
mengakses kebenaran tentang dunia nyata hanya dengan mengandalkan sebuah metode ilmiah
tunggal (Mertens, dalam Mackenzie & Knipe, 2006). Pragmatisme berfokus pada masalah
penelitian dan menggunakan seluruh bentuk pendekatan untuk memahami masalah itu. Oleh
karena itu peneliti pragmatis bebas memilih metode, teknik, dan prosedur penelitian yang paling
sesuai dengan kebutuhan dan tujuannya. Karakteristik ini menunjukkan bahwa pragmatisme
merupakan paradigma yang menyangga landasan filosofis studi metode gabungan (mixed-
methods research). Meskipun demikian beberapa peneliti yang menggunakan metode gabungan,
secara filosofis, lebih mencondongkan diri mereka kepada paradigma transformatif paradigm
(Mertens, dalam Mackenzie & Knipe, 2006). Hal ini mengungkapkan bahwa metode gabungan
dapat digunakan dalam berbagai paradigma.

REFERENSI :
 Moechtar Mas'oed. 1994. “Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan
Metodologi”. Jakarta: LP3ES.
 Agus Salim 2006.”Teori & Paradigma Penelitian Sosial”. Yogyakarta: Tiara Wacana

Anda mungkin juga menyukai