DISUSUN OLEH
ANNISA ALYA SHABITA
1501116808
Positivisme
Positivisme mencerminkan filsafat deterministik yang memandang suatu penyebab
mungkin menentukan efek atau hasil. Aliran ini bertujuan untuk menguji sebuah teori atau
menjelaskan sebuah pengalaman melalui observasi dan pengukuran dalam rangka meramalkan
dan mengontrol kekuatan-kekuatan di sekitar manusia. Positivisme berasumsi bahwa fenomena
sosial dapat diteliti dengan cara yang sama dengan fenomena alam dengan menggunakan
pendekatan yang bebas nilai dan penjelasan sebab-akibat sebagaimana halnya dalam penelitian
fenomena alam. Keyakinan dasar dari paradigma positivisme berakar pada paham ontologi
realisme yang menyatakan bahwa realitas berada (exist) dalam kenyataan dan berjalan sesuai
dengan hukum alam (natural law). Penelitian berupaya mengungkap kebenaran relitas yang ada,
dan bagaimana realitas tersebut senyatanya berjalan.
Post Positivisme
Aliran ini berasumsi bahwa setiap penelitian dipengaruhi oleh hukum-hukum atau teori-
teori yang menguasai dunia. Postpositivisme berpendapat bahwa manudia tidak mungkin
mendapatkan kebenaran dari realitas apabila peneliti membuat jarak dengan realitas atau tidak
terlibat secara langsung dengan realitas. Hubungan antara peneliti dengan realitas harus bersifat
interaktif. Penganut positivisme dan postpositivisme akan memulai penelitian dengan suatu teori,
mengumpulkan data yang mendukung atau menolak teori tersebut, dan membuat revisi yang
diperlukan. Dengan demikian, pengetahuan yang dikembangkan melalui lensa postpositivisme
didasarkan pada observasi yang cermat dan pengukuran realitas yang objektif, sehingga
positivisme dan postpositivisme selalu diasosiasikan dengan metode penjaringan dan analisis
data kuantitatif.
Asumsi dasar post-positivisme ialah fakta tidak bebas melainkan bermuatan teori dan
penuh dengan nilai, asumsi dasar post-positivisme tentang realitas adalah jamak individual,
fokus kajian post-positivisme adalah tindakan-tindakan (actions) manusia sebagai ekspresi dari
sebuah keputusan, hasil penelitian bukan reportase objektif tetapi hasil interaksi manusia dan
semesta yang penuh dengan persoalan dan senantiasa berubah.
Konstruktivisme/ Interpretivisme
Konstruktivisme melihat bahwa dunia sosial bukanlah sesuatu yang bersifat given,
melainkan suatu konstruksi manusia. Jadi, segala sesuatu yang ada di dunia ini merupakan hasil
konstruksi manusia, termasuk sistem anarki. Pandangan maupun pemahaman setiap individu
berbeda satu sama lain ketika memandang suatu fenomena. Hal ini menyebabkan
konstruktivisme sepakat dengan kaum posmodernisme yang menganggap bahwa kebenaran
sejati itu tidak ada. Sehingga konstruktivisme dapat dikatakan memiliki kesamaan dengan
posmodernisme dan teori-teori pospositivis lainnya.
Advokasi/Partisipatori/Transformatif
Pragmatik
Aliran Pragmatisme tidak terikat pada sistem filosofi atau realitas tertentu. Penganut
pragmatisme pada awalnya menolak asumsi ilmiah yang menyatakan penelitian sosial dapat
mengakses kebenaran tentang dunia nyata hanya dengan mengandalkan sebuah metode ilmiah
tunggal (Mertens, dalam Mackenzie & Knipe, 2006). Pragmatisme berfokus pada masalah
penelitian dan menggunakan seluruh bentuk pendekatan untuk memahami masalah itu. Oleh
karena itu peneliti pragmatis bebas memilih metode, teknik, dan prosedur penelitian yang paling
sesuai dengan kebutuhan dan tujuannya. Karakteristik ini menunjukkan bahwa pragmatisme
merupakan paradigma yang menyangga landasan filosofis studi metode gabungan (mixed-
methods research). Meskipun demikian beberapa peneliti yang menggunakan metode gabungan,
secara filosofis, lebih mencondongkan diri mereka kepada paradigma transformatif paradigm
(Mertens, dalam Mackenzie & Knipe, 2006). Hal ini mengungkapkan bahwa metode gabungan
dapat digunakan dalam berbagai paradigma.
REFERENSI :
Moechtar Mas'oed. 1994. “Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan
Metodologi”. Jakarta: LP3ES.
Agus Salim 2006.”Teori & Paradigma Penelitian Sosial”. Yogyakarta: Tiara Wacana