Anda di halaman 1dari 7

Konstruksi Sosial

(The Social Construction/SC)

1. Konsep SC Dalam sosiologi telah lama berkembang bermacam-macam pendekatan. Salah satu di antara pendekatan-pendekatan tersebut adalah konstruksi sosial (social construction/SC). Dalam SC terendap dua elemen penting yaitu kekuatan (power) dan pengetahuan (knowledge). Asumsi dasar atau keyakinan yeng melekat pada pendekatan ini adalah dalam masyarakat terdapat kekuatan-kekuatan yang bersifat material dan ideational (material and ideational forces) yang memfasilitasi sekaligus memberi energi agen dan struktur menjadi ajang (mimbar) proses sosial (Pettenger, 2007,6). Dalam SC anggota masyarakat dilihat sebagai aktor-aktor yang memiliki pengetahuan dan kemampuan memberi respon (sekaligus stimulan) perubahan. Ketika berhadapan dengan suatu peristiwa atau berpapasan yang suatu tindakan yang berbeda dengan sebelumnya, mereka tidak tunduk (larut, pasrah) begitu saja pada tekanan struktur yang melingkupi hidupnya, Uraian di atas mengidikasikan tiga hal. Pertama, SC memberi tekanan pada faktor yang bersifat material (kebendaan) sekaligus faktor yang bersifat ideational (ide, gagasan). Faktor yang bersifat material sama pentingnya dengan faktor yang bersifat ideational (interdepensi). Karena itu SC bukan hanya menolak pembahasan fenomena yang hanya menekankan ide belaka, atau pandangan yang lazim bermain-main dengan kategorikategori sosial (sesuatu yang ada dalam angan-angan, tidak kasat mata), tetapi juga menolak pembahasan yang hanya menekankan pada materi (sesuatu yang kasat mata). SC melihat fakta sosial (misal: konflik, diskriminasi) adalah nyata (real) karena selalu memiliki konsekuensi material (misal: jumlah kekerasan, tingkat kekerasan). Dalam SC, faktor yang bersifat material dan ideational tidak boleh dilihat terpisah, karena keduanya saling berkaitan satu sama lain (interdependensi). Kedua, SC memperhatikan masalah agent/structure duality. Dalam konteks ini aktor bisa peran sebagai agen. Dalam diri setiap aktor terendap identitas atau jati diri. Dalam diri setiap aktor juga terendap pandangan, keinginan dan kepentingan. Sementara itu struktur adalah lingkungan sosial yang membingkai kehidupan aktor tersebut. Dalam struktur terendap nilai dan norma sosial, serta wacana (discurse). Dalam SC, wacana (discurse) adalah aspek penting yang harus diperhatikan dalam memberi penjelasan tentang eksistensi fenomena sosial dan proses sosial. Lalu bagaimana keterkaitan agent-structure tersebut? Untuk menjelaskan masalah ini perlu kembali pada keberadaan dan peran aktor sebagai agen. Aktor sebagi agen mempunyai kekuatan memilih dan memilah berbagai macam norma dan tindakan sosial, serta kekuatan dan pengetahuan yang tumbuh dan berkembang dalam struktur. Aktor adalah agen yang aktif. Ketika aktor mengartikan atau mendifinisikan sebuah fenomena sosial tertentu yang tumbuh dalam masyarakat, aktor tidak selalu tunduk (pasrah) mengikuti kemauan struktur. Aktor diyakini memiliki kemampuan membangun sebuah rumusan yang disusun berdasarkan makna-makna subyektif (subjective 1

meanings) yang dihasilkan oleh relasi-relasi sosialnya. Meskipun demikian, namun arti atau difinisi tersebut tidaklah lepas dari konteks sosial. Oleh karena arti atu difinisi tersebut memiliki konteks sosial (of the contexts), maka fenomena sosial tidak bisa dipahami hanya melihat teks belaka. Pembahasan fenomena sosial harus melihat konteks, karena konteks menciptakan kesadaran aktor dan jalinan interaksi antar aktor. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa dalam SC, masalah identitas dan kepentingan aktor (terkait dengan agen) adalah sama pentingnya dengan norma dan wacana (terkait dengan struktur). Ketiga, SC memberi tekanan pada masalah proses sosial. Proses sosial terjadi bisa karena pengaruh atau bekerjanya faktor realitas material (sesuatu yang diasumsikan kasat mata, dan dapat didentifikasi dengan indikator-indikator yang terukur), dan bisa juga karena produk konstruksi aktor (kreasi aktor) yang berkembang dalam setting atau kondisi sosial tertentu. Produk konstruksi aktor tersebut tumbuh dan berkembang melalui sesuatu yang diwacanakan (discurses), dalam bingkai norma-norma sosial yang menjadi referensi sikap dan tindakan sosial. Dengan demikian proses sosial tersebut di satu pihak, dapat dibahas dalam kaitannya dengan faktor material (dunia materi) dan ideational (dunia ide), dan di lain pihak, dapat dibahas dalam kaitannya dengan peran agen-struktur. Seperti disampaikan di atas, wacana (discourse) adalah penting dalam SC. Apakah wacana? Hajer (1995: 264) mendifinisikan wacana sebagai berikut:
a specific ensemble of ideas, concepts and categorizations that is produced, reproduced and transformed in a particular set of practices and through which meaning is given to physical and social realities.

Dalam difinisi tersebut terendap pengertian bahwa wacana (discourse) adalah serangkaian kisah yang saling bertautan (an interrelated set of story lines) yang berusaha membuat tafsiran peristiwa atau kejadian yang ada di sekitar kita (lingkungan sosial). Wacana menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan lembaga-lembaga sosial, agenda serta pengetahuan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Serangkain kisah ini menurut (Gelcich et al. 2005: 379) memiliki tiga tujuan yaitu: (1) menciptakan makna dan kebenaran tindakan, (2) memobilisasi tindakan, dan (3) merumuskan alternatif-alternatif untuk mendorong terjadinya suatu tindakan. Sebuah wacana tentang fenomena tertentu akan semakin berkembang (bahkan memperoleh bentuk-bentuk baru) ketika tiga tujuan tersebut dapat dicapai (tidak ada wacana lain yang menandingi). Sebaliknya, wacana tersebut bisa surut dan semakin kabur, ketika ada wacana-wacana tandingan yang mampu menggagalkan terciptanya tiga hal tersebut. Wacana tandingan mampu menolak makna dan kebenaran tindakan, mampu memutus mobilisasi tindakan, serta mampu menggagalkan rumusan alternatif-alternatif tindakan. Dari segenap paparan yang telah disampaikan nampak bahwa ada tiga hal penting dalam SC yaitu: faktor material dan ideational, keterkaitan agent-structure, dan proses sosial. Dalam SC, faktor material dan ideational diletakkan sebagai perbendaharaan pengetahuan yang saling tergantung (interdependensi), dan agent dan structure adalah elemen-elemen yang saling mempengaruhi. Keberadaan atau eksistensi suatu fenomena dalam 2

masyarakat ditentukan oleh bekerjanya faktor-faktor material dan ideational serta agent dan structure. Selanjutnya, berkembangnya fenomena sosial (supaya dapat dipahami dan diterima kalayak) digulirkan melalui wacana (discurses). Faktor-faktor material dan ideational serta agent-structure menentukan arah wacana tersebut.

2. Tipologi SC Sedikitnya terdapat tiga macam sumber yang dijadikan referensi aktor membangun dan mengembangkan konstruksi terhadap fenomena sosial tertentu. Pertama, sebuah kontruksi sosial bisa distimulasi oleh identitas atau jati diri aktor. Konstruksi sosial juga bisa distimulasi oleh bagaimana aktor tersebut memerankan diri dalam struktur. Mengapa? Karena identitas atau jati diri aktor mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap bagaimana cara aktor memberi makna realitas (faktor material dan ideational) yang dihadapi atau ada di sekitarnya. Identitas atau jati diri tersebut tertanam sedemikian rupa sehingga tidak mudah berubah, bahkan cenderung dilestarikan dengan kenyakinan bahwa dapat mengatasi berbagai macam tensi atau kendala (constraints), yang muncul bersamaan dengan perubahan. Kedua, sebuah konstruksi sosial bisa distimulasi oleh norma sosial tertentu (folkways, mores dan law), dan bisa juga distimulasi oleh nilai-nilai kultural tertentu (adat-istiadat dan keyakinan masyarakat). Dalam sosiologi norma sosial adalah konsep yang mengedepankan benar-salah, dan dilembagakan dengan cara: (1) membuka jalan tertentu dan menutup jalanjalan lainnya, atau (2) menutup jalan tertentu dan membuka jalan-jalan lainnya. Norma sosial mempunyai kekuatan mengikat, artinya siapa saja yang menjadi bagian kelompok/organisasi, komunitas (community) atau masyarakat luas (society) yang diatur oleh norma tersebut harus tunduk kepadanya. Siapa saja yang mematuhi norma tersebut memperoleh ganjaran, dan siapa saja yang tidak mematuhinya diberi sangsi (hukuman). Sementara itu, nilainilai sosial lebih mengedapankan persoalan baik-buruk atau indah-cacat. Siapa saja yang mau mengikutinya digolongkan sebagai aktor yang baik (bermartabat atau berkepribadian), sementara itu siapa saya yang menolak mengikutinya digolongkan sebagai aktor yang buruk (tidak bermartabat), Bahkan ketika tidak dapat ditoleransi lalu disebut biadap. Dalam SC, perbedaan norma sosial dan nilai kultural berpengaruh signifikan terhadap bagaimana cara aktor memaknai realitas, dan selanjutnya berpengaruh signifikan terhadap perbedaan pola dan cara aktor memerankan diri dalam masyarakat. Ketiga, sebuah konstruksi sosial bisa distimulasi oleh bermacammacam kepentingan (ekonomi dan politik). Kepentingan ekonomi terutama terkait dengan upaya menguasai sumber-sumber ekonomi dan pemasaran hasil produksi. Sumber-sumber ekonomi tersebut bisa berupa modal uang (financial capital), sumberdaya alam (natural resources), ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan kepentingan politik terutama terkait dengan distribusi kekuasaan dan akses kekuasaan politik. Dalam SC, perbedaan penguasaan modal uang, sumberdaya alam, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perbedaan peran dalam pemerintahan dan akses pada kekuasaan politik, memiliki pengaruh yang signifikan terhadap cara aktor memaknai 3

realitas yang dihadapi atau yang ada di sekitarnya, dan selanjutnya berpengaruh terhadap perbedaan pola dan cara aktor memerankan diri dalam masyarakat. Tiga macam tipologi konstruksi sosial tersebut selaras dengan pandangan Ernst Hass (dalam Pettenger, 2007) yang memilahkan schools of thought yang memahami fenomena sosial dengan pendekatan SC. Pandangan Erns Hass tentang masalah tersebut adalah sebagai berikut:
... if we look at the all-important issue of how actors construct their own interests, the field breaks down into three quite different schools of thought. 1. The systemic school holds that interests result from the definition of actor identities, which in turn result from the role played by the actor in the global system.... 2. The norms and culture school maintains that interests derive from the cultural matrix in which actors live. This setting generates the norms which underlie collective choices. 3. The soft rationalist school holds that actors derive their interests from their notions of political causality. Their ontological understanding of what makes their world tick informs their definition of interests. This school subsumes the scholars who look for the origins of interest in consensual knowledge and in epistemic communities of knowledge-purveyors.

Erns Hass menegaskan bahwa usaha pakar dalam memahami fenomena dengan pendekatan SC terpilah kedalam tiga kategori yaitu: the systemic school, the norms and culture school, dan the soft rationalist school. Oleh karena basis pemikiran mereka berbeda, maka pemahaman yang mereka hasilkan juga berbeda, meskipun sama-sama dalam kerangka SC.

3. Aplikasi SC Pendekatan SC telah diaplikasikan untuk memahami bermacammacam isu yang ada dalam masyarakat, seperti isu degradasi lingkungan, afiliasi politik, gerakan politik, diskriminasi gender dan sebagainya. Uraian berikut mendiskusikan langkah-langkah yang lazim dilakukan ketika hendak mengaplikasikan SC. Best (1989:250) menganjurkan bahwa setiap usaha memahamai isu-isu dengan pendekatan SC harus melihat sedikitnya tiga foci yaitu: (1) the claims themselves (berbagai ragam claim yang dikemukakan), (2) the claims-makers (pihak yang menyampaikan atau melontarkan claim), dan (3) the claims-making process (proses mengembangkan claim). Dalam konteks ini, claim adalah permintaan (atau bisa juga berupa tuntutan) yang disampaikan oleh kalangan tertentu (kelompok/organisasi atau komunitas) agar sesuatu (yang diminta/dituntut) berjalan sesuai dengan arah yang mereka kehendaki. Arah yang mereka kehendaki tersebut terkait dengan domain dan tasks yang melekat dalam diri mereka. Dalam menjelaskan the claims themselves, Best (1978) fokus pada retorika pembuatan claims. Retorika lazim memilih kata-kata atau menggunakan bahasa tertentu yang diyakini mampu memberi persuasi pihak lain. Retorika memiliki tiga komponen yaitu: grounds (dasar/landasan), warrants (permintaan/perintah), dan conclusions (kesimpulan). Grounds (dasar/landasan) adalah data atau informasi yang berfungsi untuk menyangatkan atau mempertajam wacana. Bentuknya bisa berupa difinisi 4

atau pengertian tentang suatu fenomena tertentu, disertai atau diperkuat dengan contoh-contoh atau ilustrasi dalam bentuk angka atau gambar. Warrants (permintaan/perintah) adalah justifikasi supaya suatu tindakan dilakukan. Adapun argumentasi yang dikemukakan terkait dengan warrants tersebut biasanya di seputar manfaat suatu tindakan, artinya apabila tindakan tersebut dilakukan akan mendatangkan manfaat. Selanjutnya pihak yang melontarkan atau menyampaikan claims (the claims-makers) bisa lembaga pemerintah, masyarakat sipil, aktivis lembaga swadaya masyarakat, komunitas politik, media, pelaku bisnis, kelompok kepentingan dan sebagainya. Mereka adalah aktor yang memiliki identitas atau jati diri, sesuai dengan domain atau tasks lembaga tempat mereka berafiliasi. Perbedaan identitas atau jati diri mereka, perbedaan mereka dalam memberi makna realitas (faktor material dan ideational), perbedaan peran yang mereka mainkan, akan menciptakan perbedaan cara mereka mengajukan claims (permintaan/tuntutan). Wacana (discourse) yang mereka gulirkan juga berbeda. Dalam kaitan inilah masalah agent-structure menemukan relevansinya. Di satu sisi, mereka adalah agen yang melakukan tindakan dengan bereferensi pada struktur yang melingkupi kehidupan sosialnya, dan di lain sisi, mereka bisa mewarnai atau memberikan arah struktur tersebut. Uraian di atas telah memaparkan masalah the claims dan the claimsmakers). Lalau bagaimana menjelaskan the claims-making process? Wiener (1981) menjelaskan tiga hal penting terkait dengan the claims-making process, yang oleh Wiener disebut sub-processes, yaitu: (1) animating the problem atau menggulirkan masalah antara lain dengan cara: memperlihatkan kebenaran, membangun dukungan, memberikan saran dan informasi, (2) legimating the problem atau melegitimasi masalah antara lain dengan cara: mencari dukungan ahli/pengamat, menjelaskan kembali ruang lingkup, membangun kepercayaan), dan (3) demostrating the problem atau menegaskan masalah antara lain dengan cara: memberikan atensi/perhatian, membangun komunikasi dan kerjasama di antara claim makers, memperkuat dukungan data/informasi. Tiga macam sub-processes tersebut berjalan secara simultan mendukung proses sosial. Apa yang disampaikan oleh Best (1989:250) tentang the claims, the claims-makers dan the claims-making process adalah paralel dengan Pettenger (2007,6) ketika menjelaskan faktor-faktor material dan ideational, keterkaitan agent-structure, dan proses sosial. The claims paralel dengan faktor-faktor material dan ideational, yang menegaskan bahwa dalam SC sesuatu yang menjadi harapan memiliki elemen material dan ideational sekaligus. Dalam the claims terendap faktor-faktor material dan ideational, dua hal tersebut saling tergantung (interdepensi). The claims-makers paralel dengan persoalan agent/structure. Mereka adalah aktor yang memiliki identitas atau jati diri yang memiliki kemampuan untuk mengekspresikan dirinya sesuai dengan keinginan atau permintaannya. Tetapi ekspresi tersebut tetap dalam konteks sosial, artinya beada dalam lingkungan sosialnya. Permintaan/tuntutan mereka (texts) tidak bisa dilepaskan dari lingkungan (of the contexts). Selanjutnya the claims-making processes paralel dengan proses sosial. Berbagai macam konstruksi sosial yang dibangun oleh the claims-makers tersebut tumbuh dan berkembang melalui sesuatu yang diwacanakan (discurses), dalam bingkai norma-norma sosial 5

yang menjadi referensi sikap dan tindakan sosial. Dengan demikian the claims-making processes tersebut di satu pihak, dapat dibahas dalam kaitannya dengan substansi yang diminita/dituntut (the claims), dan dilain pihak, dapat juga dibahas dalam kaitannya dengan identitas dan peran the claims-makers. Berikut disampaikan contoh bagaimana John Hannigan (2006:68) menjelaskan konstruksi sosial tentang masalah lingkungan.
Assembling discovering the problem naming the problem determining the basis of the claim establishing parameters science scientific trend spotter lack of clarity ambiguity conflicting scientific evidence creating an experiential focus streamlining knowledge claims scientific division of labour Task Presenting commanding ttention legitimating the claim Contesting invoking action mobilising support defending ownership

Primariy activities

Central forum Predominant layer of proof Predominant scientific role(s) Potential pitfalls

media moral communicator low visibility declining novelty linkage to popular issues and causes use of dramatic verbal and visual imagery rhetorical tactics and strategies

politics legal applied policy analyst co-optation issue fatigue countervailing claims networking developing technical expertise opening policy windows

Strategies for success

Dalam tabel tersebut John Hannigan memperlihatkan bahwa terdapat tiga macam peran the claims-makers dalam kaitannya dengan memberi respon masalah lingkungan yaitu berperan sebagai: assembling, presenting dan contesting. Masing-masing peran bukan hanya memiliki karakteristik yang berlainan, tetapi juga mempunyai konstruksi sosial yang berbeda dalam menelaah masalah lingkungan. Perbedaan tersebut antara lain tercermin pada: kegiatan utama yang dilakukan, forum-forum utama yang dipergunakan, sumber legitimasi, peran ilmiah, kemungkinan kesalahan yang dihadapi, dan strategi-strategi yang dikembangkan supaya mencapai sukses. Tawaran John Hanningan tersebut dapat dijadikan dasar untuk membaca fenomena degradasi lingkungan dengan pendekatan SC. Teori konstruksi sosial juga lazim dipergunakan untuk kajian kebijakan. Asumsinya dasarnya adalah sebuah kebijakan tidak berada dalam ruang vacuum, tetapi hasil dari suatu konstruksi tertentu yang tidak stiril dari kepentingan ekonomi dan politik (***).

Literatur: John Hannigan, 2006, Environmental Sociology, Routledge, London, 2nd edition 6

Mary E. Pettenger (editor), 2007, The Social Construction of Climate Change, Power, Knowledge, Norms, Discourses, Ashgate Publishing Limited, Hampshire, England Thomas Christiansen, Knud Erik Jrgensen and Antje Wiener (editors), 2001, The Social Construction of Europe, Sage Publications, London

Anda mungkin juga menyukai