Teori ini mendasarkan asumsinya pada pernyataan bahwa pendapat pribadi bergantung pada apa
yang dipikirkan atau diharapkan orang lain, atau apa yang orang rasakan atau anggap sebagai
pendapat dari orang lain. Orang pada umumnya berusaha untuk menghindari isolasi sosial, atau
pengucilan atau keterasingan dalam komunitasnya dalam kaitannya mempertahankan sikap atau
keyakinan tertentu. Dalam hal ini terdapat 2 premis yang mendasarinya; pertama, bahwa orang
tahu pendapat mana yang diterima dan pendapat mana yang tidak diterima. Manusia dianggap
memiliki indera semi statistik (quasi-statistical sense) yang digunakan untuk menentukan opini
dan cara perilaku mana yang disetujui atau tidak disetujui oleh lingkungan mereka, serta opini
dan bentuk perilaku mana yang memperoleh atau kehilangan kekuatan (Saverin & Tankard,
2001). Kedua, adalah bahwa orang akan menyesuaikan pernyataan opini mereka dengan persepsi
ini. Dalam kehidupan sehari-hari kita mengekspresikan opini kita dengan berbagai cara, tak
selalu harus membicarakannya, kita mengenakan pin atau bros, atau menempel stiker di belakang
mobil kita. Kita berani melakukan itu karena kita yakin bahwa orang lain pun dapat menerima
pendapat kita (Littlejohn, 1996).
Dalam menghadapi sebuah isu yang dianggap kontroversial, orang akan membentuk kesan
tentang distribusi opini. Mereka mencoba menentukan apakah sikapnya terhadap isu tersebut
termasuk kedalam kelompok mayoritas atau tidak, apakah opini publik sejalan dengan mereka
atau tidak. Apabila menurut mereka opini publik ternyata tidak sejalan dengan mereka, atau
mereka masuk kedalam kelompok (yang memiliki sikap) minoritas, maka mereka akan
cenderung diam dalam menghadapi isu tersebut. Semakin mereka diam, semakin sudut pandang
tertentu tidak terwakili, dan mereka semakin diam. Spiral kesunyian timbul karena adanya
ketakutan akan pengucilan atau keterasingan. Neumann mengatakan “mengikuti arus memang
relatif menyenangkan, tapi itupun bila mungkin, karena anda tidak bersedia menerima apa yang
tampak sebagai pendapat yang diterima umum, paling tidak anda dapat berdiam diri, supaya
orang lain dapat menerima anda” (Littlejohn, 1996).
Dalam hal penentuan opini publik, media masa menjadi bagian yang penting dan kuat walaupun
para individu seringkali menyangkal hal ini. Tiga karakteristik komunikasi masa,
yaitu cumulation, ubiquity, dan consonance, bergabung untuk menghasilkan dampak yang sangat
kuat pada opini publik. Cumulation mengacu pada pembesaran tema-tema atau pesan-pesan
tertentu secara perlahan-lahan dari waktu ke waktu. Ubiquity mengacu pada kehadiran media
masa yang tersebar luas. Consonance mengacu pada gambaran tunggal dari sebuah kejadian atau
isu yang dapat berkembang dan seringkali digunakan bersama oleh surat kabar, majalah, televisi,
dan media lain yang berbeda-beda. Dampak harmoni adalah untuk mengatasi ekspos selektif,
karena orang tidak dapat memilih pesan lain, dan untuk menyajikan kesan bahwa sebagian besar
orang melihat isu dengan cara yang disajikan media.
Walaupun opini publik pada hakikatnya adalah pandangan serta pemahaman pribadi terhadap
sebuah isu, namun mereka tak dapat membedakan dan menyangkal pengaruh media terhadap
pandangan mereka terhadap isu tersebut. Setiap orang atau individu biasanya ‘tidak berdaya’ di
hadapan media. Ada dua alasan yang memprekuat ketidakberdayaan individu dihadapan media;
pertama, sulitnya mendapatkan publisitas bagi suatu maksud atau sudut pandang; kedua,
dikambinghitamkan oleh media, dalam hal ini Neumann menyebutnya pillory function (fungsi
pasungan) dari media. Media mempublikasikan opini mana yang menonjol dan mana yang tidak.
Pada akhirnya seseorang akan sulit membedakan mana pemahaman yang diperoleh dari media
atau berasal dari saluran-saluran lainnya.
Dalam hal menentukan distribusi opini publik, menurut Neumann, media masa memiliki 3 cara.
Pertama, media masa membentuk kesan tentang opini yang dominan. Kedua, media masa
membentuk kesan tentang opini mana yang sedang meningkat. Ketiga, media masa membentuk
kesan tentang opini mana yang dapat disampaikan di muka umum tanpa menjadi tersisih
(Saverin & Tankard, 2001).
Dalam hal ‘keberanian’ seseorang untuk menyatakan pendapat, tentunya ada faktor-faktor lain
yang membedakan. Seseorang yang umurnya lebih muda cenderung lebih ekspresif
dibandingkan seseorang yang lebih tua. Kaum pria pada umumnya lebih bersedia untuk
mengemukakan pendapatnya dibandingkan wanita. Orang yang berpendidikan lebih tinggi, lebih
banyak berbicara dibandingkan yang berpendidikan rendah. Dalam Littlejohn (1995), terdapat
pula beberapa pengecualian dalam teori ini. Mereka adalah kelompok-kelompok atau individu-
individu yang tidak takut dikucilkan dan bersedia mengemukakan opini mereka dengan tanpa
memperdulikan apapun akibatnya, suatu karakteristik dari para inovator, para pembuat
perubahan, dan kaum berfikiran maju.
Memang, teori lingkaran kesunyian menggambarkan fenomena yang melibatkan baik saluran
komunikasi antarpribadi maupun komunikasi masa. Media mempublikasikan opini publik,
kemudian memperjelas opini mana yang menonjol. Selanjutnya, individu-individu menyatakan
opini mereka (atau tidak, bergantung kepada sudut pandang yang menonjol). Dan selanjutnya,
media kemudian melibatkan diri kedalam opini yang diekspresikan tersebut, dan lingkaran itu
terus berlanjut. Pada beberapa fenomena, teori lingkaran kesunyian dapat pula menggambarkan
bagaimana sebuah ancaman-ancaman kritik dari orang lain merupakan suatu kekuatan yang
ampuh dalam membungkam seseorang.
Terdapat beberapa kritik mengenai teori ini. Pada penelitiannya, Larosa (1991) menunjukan
bahwa dihadapan opini publik, orang tidak benar-benar selemah yang dinyatakan Neumann.
Larosa melakukan sebuah survey dimana dia menguji apakah keterbukaan politik dipengaruhi
tidak hanya oleh persepsi iklim opini seperti yang dinyatakan olah Neumann, tetapi juga oleh
variabel-variabel lain. Variabel-variabel lain tersebut antara lain usia, pendidikan, penghasilan,
minat dalam politik, tingkat persepsi atas kemampuan diri (self eficacy), relevansi pribadi dengan
isi, penggunaan media berita oleh seseorang, dan perasaan yakin seseorang dalam kebenaran
pendapatnya. Hasil analisis regresi menunjukan keterbukaan dipengaruhi oleh rintangan variabel
demografi, tingkat persepsi atas kemampuan diri, perhatian pada informasi politik dalam media
berita, dan perasaan yakin seseorang dalam posisinya, tetapi tidak dipengaruhi oleh relevansi
pribadi pada isu atau penggunaan media berita secara umum.
Rimmer dan Howard (1990) dalam penelitiannya mereka tidak menemukan hubungan antara
penggunaan media dan kemampuan untuk memperkirakan dengan akurat pendapat mayoritas
berkenaan suatu isu. Namun Salwen, Lin, dan Matera (1994), dalam penelitannya, mereka
menemukan bahwa kecenderungan umum untuk berbicara lebih berhubungan dengan persepsi
opini nasional dan persepsi liputan media nasional daripada dengan opini lokal atau liputan
media lokal pada suatu isu tersebut.
Saverin, J.W., & Tankard, J.W.Jr. (2005). Teori Komunikasi: Sejarah, metode, dan terapan
di dalam media masa. Jakarta:Kencana Prenanda media Group
Stephen W. Littlejohn. (1996). Theories of Human Communication. New Jersey: Wadsworth
Puublication
Rohim, S. (2009). Teori Komunikasi: Perspektif, ragam, & Aplikasi. Jakarta: PT Rineka Cipta
https://pakarkomunikasi.com/teori-spiral-keheningan
Spiral Keheningan merupakan salah satu teori komunikasi massa. Teori spiral keheningan ini biasa
disebut sebagai ‘Spiral of Silence Theory’ atau ‘Teori Spiral Kesunyian. Secara bahasa, teori spiral
keheningan diambil dari kata ‘Spiral’ yang berarti suatu perputaran lingkaran dan ‘Keheningan’ yang
berarti sunyi. Sebenarnya, teori ini merupakan salah satu dari teori komunikasi politik.
ads
Dalam ilmu komunikasi, teori keheningan adalah salah satu dari teori komunikasi massa di mana
seseorang memiliki opini dari berbagai isu namun terdapat keraguan dan ketakutan untuk
memberikan opininya karena merasa terisolasi, sehingga opini tidak bersifat terbuka alias tertutup.
Dengan adanya isolasi akan opini setiap individu, maka orang tersebut mencoba mencari dukungan yang
memihak pada opininya tersebut. Hal ini menyebabkan orang tersebut menjadi mayoritas yang awalnya
hanya minoritas atau terkucilkan akan opininya. Kebanyakan orang mencari dukungan akan opininya
tersebut melalui media massa atau mendekati orang yang sekiranya berpengaruh dalam
kemasyarakatannya seperti seorang tokoh masyarakat atau public figure.
Akan tetapi, jika opini belum mendapatkan dukungan, maka orang tersebut akan berkomunikasi dengan
menggunakan Spiral keheningan yang mana ia menyembunyikan opininya dan mau tidak mau menerima
opini yang mayoritas. (Baca juga: Pola Komunikasi Organisasi)
Teori ini didapatkan dan terinspirasi ketika ia berada di lingkungan Nazi pada masa itu, yang mana
banyak orang yang merasa terisolasi opini-opininya ketika ia mereka ingin mengemukakan pendapat
mereka. Sehingga tidak salah jika banyak orang yang mengalami Spiral Keheningan ini mencari
dukungan melalui media massa. (Baca juga: Hambatan-Hambatan Komunikasi)
Hal itu terjadi karena media massa merupakan penyambung lidah masyarakat secara luas dan umum.
Ditambah lagi bahwa media merupakan suatu sarana komunikasi yang kebanyakan berpihak pada kiri.
Teori ini pun sebenarnya masih merujuk pada disiplin ilmu sosiopsikologi karena tentang situasi
kemasyarakatan dan faktor kejiwaan manusia. Hal ini sangat menarik bagi masyarakat karena terdapat
penyetaraan sosial. Karena pada dasarnya seseorang pada umumnya selalu menghindari dari
keterpurukan dan keterasingan dalam bermasyarakat.
Teori spiral keheningan ini pada hakikatnya tergantung pada opini yang dipikirkan dan diharapkan dari
seseorang. Teori ini pun hanya terdapat dua asumsi yaitu opini yang diterima atau opini yang tidak
diterima oleh masyarakat. Dan asumsi yang kedua yaitu menyesuaikan diri dengan persepsi yang ada
pada suatu opini.
Baca juga:
Saverin dan Tankard (2001) pernah berpendapat bahwa manusia dianggap memiliki indera semi statistik
(quasi-statistical sense) yang digunakan untuk menentukan opini dan cara perilaku mana yang disetujui
atau tidak disetujui oleh lingkungan mereka, serta opini dan bentuk perilaku mana yang memperoleh atau
kehilangan kekuatan.
Opini pun tidak harus disampaikan secara lisan, bisa melalui tanda dengan cara menempel stiker di
berbagai tempat atau memasang pamphlet tentang opini kita melalui suatu karya. Karena dalam
penyampaian opini terdapat berbagai cara, dan cara itulah yang merupakan contoh cara dalam
menyampaikan pendapat melalui teori spiral keheningan.
Seperti apa yang dikatakan oleh Littlejohn (1996), “Kita berani melakukan itu karena kita yakin bahwa
orang lain pun dapat menerima pendapat kita.”
Jika opini mayoritas itu tidak berjalan sesuai dengan masyarakat, maka masyarakat lebih memilih diam
dan berada di kalangan minoritas. Padahal, semakin lama masyarakat diam, maka semakin banyak
sudut pandang yang terpendang, dan mereka akan semakin lama diam juga.
Pada hakikatnya spiral keheningan ini muncul karfena adanya pengucilan terhadap kaum
minoritas. Littlejohn (1996) menyampaikan bahwa Neumann mengatakan “mengikuti arus memang
relatif menyenangkan, tapi itupun bila mungkin, karena anda tidak bersedia menerima apa yang tampak
sebagai pendapat yang diterima umum, paling tidak anda dapat berdiam diri, supaya orang lain dapat
menerima anda.”
Neumman telah berusaha merumuskan hubungan antara media massa dengan pembentukan opini
publik yang terjadi. Bahkan hingga kini banyak mahasiswa menggunakan teori ini dalam meneliti
tentang pengantar ilmu komunikasi massa. Dan banyak yang menyimpulkan bahwa kelompok minoritas
ini perlu menyembunyikan opininya dari kelompok mayoritas.
Masyarakat tentunya tidak ingin merasa dikucilkan atau diasingkan dalam suatu kelompok, mereka ingin
bergaul besama yang lainnya. Mereka tidak ingin sendiri walaupun mereka tetap berkeyakinan tinggi.
Namun, karena adanya keterbatasan nwaktu, maka kebanyakan masyarakat lebih menerima opini yang
tidak didukung oleh media massa hingga mereka merasa terisolasi ketika ingin eksplore opininya ke
depan umum. Padahal opini minoritas pun lama kelamaan juga akan menjadi opini yang mayoritas.
Baca juga:
Media yang pada umumnya menonjolkan suatu opini membuat masyarakat sulit untuk membedakan
antara pandangan yang diperoleh dari media dengan pandangan yang diperoleh dari sumber lain selain
media.
Neolle-Neumann (1973) mengemukakan bahwa spiral keheningan mengajak kita kembali kepada teori
media massa yang perkasa, yang mempengaruhi hampir setiap orang dengan cara yang sama.
Saverin dan Tankard (2001) menyampaikan tiga cara media massa dalam mendistribusikan opini publik,
di antaranya:
1. Media massa membentuk kesan tentang opini yang dominan.
2. Media masa membentuk kesan tentang opini mana yang sedang meningkat.
3. Media masa membentuk kesan tentang opini mana yang dapat disampaikan di muka umum tanpa
menjadi tersisih.
Sponsors Link
Kesimpulan
Teori spiral keheningan lebih berfokus pada suatu pandangan seseorang yang telah didefinisikan oleh
media. Pada umumnya, kebanyakan orang akan memilih diam ketika mereka merasa berada di
lingkungan minoritas dan merasa pendapat mereka telah dibatasi. Karena mereka merasa enggang
untuk menyampaikan pendapat mereka dan takut dikucilkan. Sedangkan orang yang memiliki sudut
pandang mayoritas akan lebih banyak bersuara dan berkoar.
Seperti halnya begini, ada si A yang berpendapat bahwa bumi itu datar dan si B berpendapat bahwa
bumi itu bulat. Namun selama ini, kebanyakan orang menganggap bahwa bumi itu bulat, sehingga si B
lebihmendominasi untuk bersuara dan si A lebih memilih untuk diam karena takut dikucilkan oleh orang
lain.
Disisi lain, terdapat orang yang tidak terpengaruh akan adanya spiral keheningan yang disebut
sebagai avant garde dan hard core. Avant grade merupakan orang yang merasa bahwa posisi mereka
akan semakin kuat, sedangkan hard core merupakan orang-orang yang selalu menentang apapun
konseskuensinya