Anda di halaman 1dari 16

TEORI NEGOSIASI WAJAH

“Di buat untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Teori Komunikasi”

Di susun oleh :
Kinanti Ananda Putri (2110631190176)
Dian Salssabil Al Malik (2110631190168)
Lydia Zahra (2110631190089)
Alfa Rizki Febriansyah (2110631190162)
Bintang Riskyawan (2110631190158)
Suci Setiawati (2110631190040)
Benaya AHP (2110631190160)

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK


PRODI ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG
2022
A. Penemu Teori Negosiasi Wajah

Face-negotiation theory adalah teori pertama diusulkan oleh Brown dan Levinson
(1978) untuk memahami bagaimana orang-orang dari budaya yang berbeda mengelola
hubungan dan perbedaan pendapat. Teori ini berpendapat "wajah", atau citra diri, sebagai
fenomena universal yang meliputi seluruh budaya. Dalam konflik, wajah seseorang yang
terancam, cenderung menyimpan atau mengembalikan wajahnya. Setiap perilaku
komunikatif ini, menurut teori ini, yang disebut "facework". Sejak orang-orang
memaknai "wajah" dan memberlakukan "facework" berbeda dari satu budaya ke yang
berikutnya, teori ini menimbulkan kerangka budaya yang umum untuk memeriksa
negosiasi facework.
Teori Negosiasi Wajah (Face Negotiation Theory) dikembangkan oleh Stella Ting-
Toomey pada tahun 1988. Teori ini memberikan sebuah dasar untuk memperkirakan
bagaimana manusia akan menyelesaikan karya wajah dalam sebuah kebudayaan yang
berbeda. Wajah atau rupa mengacu pada gambar diri seseorang di hadapan orang lain.
Hal ini melibatkan rasa hormat, kehormatan, status, koneksi, kesetiaan dan nilai-nilai lain
yang serupa. Dengan kata lain rupa merupakan gambaran yang anda inginkan atau jati
diri orang lain yang berasal dari anda dalam sebuah situasi sosial. Karya wajah adalah
perilaku komunikasi manusia yang digunakan untuk membangun dan melindungi rupa
mereka serta untuk melindungi, membangun dan mengancam wajah orang lain.

Teori ini merupakan teori gabungan antara penelitian komunikasi lintas budaya,
konflik, dan kesantunan. 4 Teori negosiasi wajah sendiri memiliki daya tarik dan
penerapan lintas budaya karena Stella Ting-Toomey pencetus teori ini berfokus pada
sejumlah populasi budaya, termasuk Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Cina dan Amerika
Serikat. Ting-Toomy menjelaskan bahwa budaya memberi bingkai interpretasi yang lebih
besar di mana wajah dan gaya konflik dapat diekspresikan dan dipertahankan secara
bermakna. Penulis telah meneliti antar etnik batak dan minang kerap terjadi konflik
diantara dua etnik ini dengan ciri khas ekspresi masing - masing tiap etnik, akan timbul
konflik jika tidak dapat mengekspresikan wajah saat berinteraksi.

1
B. Sejarah Teori Negosiasi Wajah

Pada tahun 1985, Stella Ting-Toomey mencetuskan sebuah teori yang bernama
Face Negotiation Theory atau Teori Negosiasi Muka. Ting-Tomey adalah salah satu
kolega dari Gundykunst di California State University, Fulleton. Teori ini membantu
menjelaskan perbedaan budaya untuk membantu mengelola konflik dalam aspek
komunikasi. Berbagai aspek dari individu dan identitas budaya digambarkan sebagai
wajah (face). Face disini merupakan istilah kiasan untuk gambaran diri, yaitu bagaimana
kita ingin diperlakukan oleh orang lain. Teori ini dikembangkan untuk memprediksi
perilaku seseorang untuk menyempurnakan identitas mereka (facework) dalam
kebudayaan yang berbeda. Facework berhubungan dengan pesan-pesan verbal dan non
verbal.

Teori Negosiasi Muka (Face-Negotiation Theory) merupakan sebuah konsep


yang dicetuskan oleh Stella Ting-Toomey pertama kali pada tahun 1988. Teori
Negosiasi Muka merupakan sebuah dasar yang digunakan manusia dalam menyelesaikan
konflik antar budaya. Muka (face)ini merupakan bentuk gambar diri seseorang di
hadapan orang lain. Muka merupakan gambaran yang seseorang inginkan atau jati
dirinya sendiri yang ditampilkan di hadapan orang lain di dalam situasi social tertentu.
Teori negosiasi muka ini merupakan salah satu teori yang secara tegas mengakui
bahwa setiap orang yang memiliki perbedaan budaya memiliki juga perbedaan
dalam pemikiran mengenai muka orang lain. Pemikiran mengenai muka orang lain
ini yang menyebabkan mereka menghadapi konflik dengan cara berbeda karena
muka menunjukkan konsep diri seseorang (Ting-Toomey, 2004).

Menurut Ting-Toomey(2004), muka merupakan gambaran yang sangat penting


dan dibutuhkan dalam aspek kehidupan manusia. Muka juga merupakan sebuah citra
diri yang diyakini melingkupi seluruh aspek kehidupan sosial (Ting-Toomey, 2004).
Menurut Erving Goffman (1971), muka dijelaskan sebagai citra diri seseorang yang
ditunjukkan saat berkomunikasi dengan orang lain. Pada tahun 2004, Ting-Toomey
mengembangkan pemikiran milik Goffman dengan meleburkan beberapa pemikiran dari
penelitian mengenai kesantunan dengan mengatakan kebutuhan akan muka merupakan

2
kebutuhan yang universal. Menurut Ting-Toomey(2004), muka adalah citra diri
seseorang yang dibutuhkan untuk mendapatkan pengakuan serta penghargaan diri
sendiri atau orang lain dalam sebuah hubungan. Ting-Toomey meyakini bahwa yang
dilibatkan dalam penampilan adalah muka bagian depan (front stage) yang beradab
terhadap individu lainnya. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa muka merupakan
identitas dari dua individu yang secara bersamaan di dalam sebuah konteks
komunikasi (Ting-Toomey, 2004). Face Negotation Theory (Ting Toomey)
mengasumsikan bahwa identitas diri penting di dalam interaksi interpersonal dan
individu-individu menegoisasikan identitas mereka secara berbeda dalam budaya yang
berbeda. Menurut teori tersebut manajemen konflik dimediasi oleh “face” dan budaya
Tindakan-tindakan tertentu mengancam citra diri seseorang yang ditampilkan. Ting
Toomey melihat untuk mengatasi tindakan yang mengancam citra diri diperlukan upaya
pencintraan diri.

Face-negotiation theory adalah teori pertama diusulkan oleh Brown dan Levinson
(1978) untuk memahami bagaimana orang-orang dari budaya yang berbeda mengelola
hubungan dan perbedaan pendapat. Teori ini berpendapat "wajah", atau citra diri, sebagai
fenomena universal yang meliputi seluruh budaya. Dalam konflik, wajah seseorang yang
terancam, cenderung menyimpan atau mengembalikan wajahnya. Setiap perilaku
komunikatif ini, menurut teori ini, yang disebut "facework". Sejak orang-orang
memaknai "wajah" dan memberlakukan "facework" berbeda dari satu budaya ke yang
berikutnya, teori ini menimbulkan kerangka budaya yang umum untuk memeriksa
negosiasi facework.

Teori negosiasi wajah sendiri memiliki daya tarik dan penerapan lintas budaya karena
Stella Ting-Toomey pencetus teori ini berfokus pada sejumlah populasi budaya, termasuk
Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Cina dan Amerika Serikat. Ting-Toomy menjelaskan
bahwa budaya memberi bingkai interpretasi yang lebih besar di mana wajah dan gaya
konflik dapat diekspresikan dan dipertahankan secara bermakna.Seperti yang telah diteliti
oleh para peneliti bahwa budaya berpengaruh terhadap perilaku komunikasi seseorang
dan cara memaknainya. Pernyataan tersebut membuktikan bahwa setiap ekspresi wajah
yang muncul dari setiap orang berbeda karena latar belakang budayanya yang berbeda

3
juga. Sehingga tidak ada yang sama. Dalam teori negosiasi wajah, istilah mimik wajah
disebut dengan istilah facework yang memiliki beberapa asumsi. Dasar dari asumsi ini
adalah bagaimana seseorang mengatur wajahnya dalam menghadapi orang lain. Asumsi
yang pertama berkaitan dengan identitas diri seseorang. Seseorang yang berasal dari
budaya tertentu akan menegosiasikan wajahnya tergantung akan budaya yang ia miliki.
Sesuatu yang menjadi kebiasaan seseorang akan terlihat dari caranya menyikapi sebuah
masalah atau dalam hal ini sebuah interaksi.

C. Asumsi Teori Interaksi Simbolik

Teori Negosiasi Muka (Face-Negotiation Theory) dikembangkan oleh Stella Ting-


Toomey pada 1988. Teori ini memberikan sebuah dasar untuk memperkirakan bagaimana
manusia akan menyelesaikan masalah berdasarkan muka dalam sebuah kebudayaan yang
berbeda. Muka atau rupa mengacu pada gambar diri seseorang di hadapan orang lain. Hal
ini melibatkan rasa hormat, kehormatan, status, koneksi, kesetiaan dan nilai-nilai lain
yang serupa. Dengan kata lain, muka merupakan gambaran yang kita inginkan atau jati
diri orang lain yang berasal dari dalam dirinya dalam sebuah situasi sosial. Karya muka
adalah perilaku komunikasi manusia yang digunakan untuk membangun dan melindungi
rupa mereka serta untuk melindungi, membangun dan mengancam muka orang lain.

Teori ini merupakan teori gabungan antara penelitian komunikasi lintas budaya,
konflik, dan kesantunan. Teori negosiasi muka memiliki daya tarik dan penerapan lintas
budaya karena Stella Ting-Toomey—pencetus teori ini—berfokus pada sejumlah
populasi budaya, termasuk Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Cina dan Amerika Serikat.
Ting-Toomey menjelaskan bahwa budaya memberi bingkai interpretasi yang lebih besar
di mana muka dan gaya konflik dapat diekspresikan dan dipertahankan secara bermakna.
Muka merupakan perpanjangan dari konsep diri seseorang, muka telah menjadi fokus
dari banyak penelitian di dalam berbagai bidang ilmu. Ting-toomey mendasarkan banyak
bagian dari teorinya pada muka dan facework. Muka merupakan gambaran yang penting
dalam kehidupan. Muka juga merupakan sebuah metafora bagi citra diri yang diyakini
melingkupi seluruh aspek kehidupan sosial.

Keberagaman budaya sangat mempengaruhi cara orang-orang tersebut


berkomunikasi. Walaupun muka adalah konsep universal, terdapat berbagai perbedaan

4
yang merepresentasikan budaya mereka masing-masing. Kebutuhan akan muka ada di
dalam semua budaya, tetapi semua budaya tidak mengelola kebutuhan muka ini secara
sama. Ting-Toomey berpendapat bahwa muka dapat diinterpretasikan dalam dua cara:

1. Kepedulian akan muka (face concern) berkaitan dengan baik muka seseorang maupun
muka orang lain. Terdapat kepentingan diri sendiri dan kepentingan orang lain. Contoh
yang bisa dipakai adalah bagai mana ketika kita bertemu dengan orang yang berbeda
budaya selalu berusaha menjagaimage dan bersikap santun agar tidak menyinggung
perasaan orang lain.
2. Kebutuhan akan muka (face need) merujuk pada dikotomi keterlibatan—otonomi.
Contohnya ada sebagian budaya yang tidak suka tergantung kepada orang atau budaya
lain, sehingga penampilan atau muka yang tampak bersifatcuek atau tidak peduli dengan
orang lain.

Ting-Toomey dipengaruhi oleh penelitian mengenai kesantunan. Teori kesantunan


Penelope Brown dan Stephen Levinson (1978) menyatakan, orang akan menggunakan
strategi kesantunan berdasarkan persepsi ancaman muka. Para peneliti menemukan dua
kebutuhan universal: kebutuhan muka positif dan kebutuhan muka negatif. Muka positif
(positive face) adalah keinginan untuk disukai dan dikagumi oleh orang-orang penting dalam
hidup kita. Sedangkan muka negatif (negative face) merujuk pada keinginan untuk memiliki
otonomi dan tidak dikekang. Kebutuhan akan muka menjelaskan mengapa seorang mahaiswa
yang ingin meminjam catatan temannya tidak akan meminta dengan langsung (“pinjam
catatanmu, ya?”), tetapi lebih sering meminta dengan memberikan perhatian kepada
keinginan muka negatif seseorang (“apakah bisa saya meminjam catatanmu sebentar? Saya
mau fotokopi, dst—sambil memberikan banyak alasan lain).

Ketika muka positif atau negatif para komunikator sedang terancam, mereka cenderung
mencari bantuan atau cara untuk mengembalikan muka mereka atau mitra mereka. Ting-
Toomey mendefinisikan hal ini sebagai facework atau tindakan yang diambil untuk
menghadapi keinginan akan muka seseorang dan/atau orang lainnya. Stella Ting-Toomey
dan Leeva Chung (2005) juga mengemukakan bahwa facework adalah mengenai strategi
verbal dan nonverbal yang kita gunakan untuk memelihara, mempertahankan, atau

5
meningkatkan citra diri sosial kita dan menyerang atau mempertahankan (atau
menyelamatkan) citra sosial orang lain.

Teori ini dapat diperluas dengan mengidentifikasi tiga jenis facework, seperti
dijelaskan oleh Te-Stop dan John Bowers (1991), yaitu: kepekaan, solidaritas dan pujian.
Pertama, facework ketimbangrasaan (tact facework) merujuk pada batas di mana orang
menghargai otonomi seseorang. Facework ini memberikan kebebasan kepada seseorang
untuk bertindak sebagaimana ia inginkan. Kedua, facework solidaritas (solidarity facework),
berhubungan dengan seseorang menerima orang lain sebagai mana anggota dari kelompok
dalam (in-group). Solidaritas meningkatkan hubungan di antara dua orang yang sedang
berbicara, maksudnya perbedaan-perbedaan diminimalkan dan kebersamaan ditekankan
melalui bahasa informal dan pengalaman-pengalaman yang dimiliki bersama. Ketiga,
facework pujian (approbation facework), yang berhubungan peminimalan penjelekan dan
pemaksimalan pujian kepada orang lain. Facework ini muncul ketika seseorang mengurangi
fokus pada aspek negatif orang lain dan lebih berfokus pada aspek yang positif.

Ada faktor-faktor tertentu dalam negosiasi wajah

 Keprihatinan atas wajah diri dan wajah-wajah lainnya. Hal ini penting untuk memahami
makna dari wajah bagi seorang individu dan betapa pentingnya adalah untuk menjaga
wajah yang pada gilirannya akan merefleksikan ke orang lain.
 Orang-orang dari budaya kolektif biasanya menghindari atau mengintegrasikan konflik,
sementara orang-orang lebih individualistis mendominasi konflik untuk menjaga wajah
independen di masyarakat
 Faktor lain dalam negosiasi wajah, yakni status di masyarakat yang menghasilkan listrik.
Pada orang masyarakat kolektif, ia dilahirkan ke status quo tertentu dan individualitas
mereka kurang peduli. Dalam masyarakat yang lebih individualistis, orang memperoleh
kekuasaan mereka untuk hidup di masyarakat
 Faktor penting yang mempengaruhi perilaku seseorang adalah budaya ia miliki. Sedari
kecilnya, orang hidup dalam perspektif yang diciptakan oleh budaya. Gaya konflik
berbeda dengan budaya dan melalui sosialisasi; individu cenderung mencerminkan
budaya tertentu ketika bernegosiasi konflik. Umumnya, ada dua aspek di mana gaya
konflik diklasifikasikan. Orang dengan budaya individualistik mencoba untuk menjaga

6
wajah agar melestarikan wajahnya sendiri, sementara dalam masyarakat kolektif, orang
mempertahankan wajah demi masyarakat.

Berdasarkan dimensi ini, ada lima jenis gaya konflik:

 Domination- Pendekatan individualistik untuk membuat keputusan dengan mendominasi


atau mengendalikan
 Avoiding- Pendekatan kolektivis tinggal jauh dari konflik
 Obliging- Pendekatan kolektivis menyerah
 Compromising- Pendekatan individualistik untuk bernegosiasi untuk datang ke solusi
 Integrating- pendekatan individualistik untuk bekerja sama untuk mencapai solusi

Beberapa asumsi teori Negosiasi Muka mencakup komponen-komponen penting dari


teori ini: muka, konflik, dan budaya. Dengan demikian poin-poin berikut menuntun teori dari
Ting-Toomey:

 Identitas diri penting di dalam interaksi interpersonal, dan individu-individu


menegosiasikan identitas mereka secara berbeda dalam budaya yang berbeda.
 Manajemen konflik dimediasi oleh muka dan budaya.
 Tindakan-tindakan tertentu mengancam citra diri seseorang yang ditampilkan (muka).

Asumsi pertama menekankan pada identits diri (self identity) atau ciri pribadi atau karakter
seseorang. Citra ini adalah identitas yang ia harapkan dan ia inginkan agar identitas tersebut
diterima orang lain. Identitas diri mencakup pengalaman kolektif seseorang, pemikiran, ide,
memori, dan rencana. Identitas diri tidak bersifat stagnan, melainkan dinegosiasikan dalam
interaksi dengan orang lain. Orang memiliki kekhawatiran akan identitasnya atau muka
(muka diri) dan identitas atau muka orang lain (muka lain). Budaya dan etnis mempengaruhi
identitas diri, cara di mana individu memproyeksikan identitas dirinya juga bervariasi dalam
budaya yang berbeda.

Asumsi kedua berkaitan dengan konflik, yang merupakan komponen utama dari teori ini.
Konflik dapat merusak muka sosial seseorang dan dapat mengurangi kedekatan hubungan
antara dua orang. Konflik adalah ‘forum” bagi kehilangan muka dan penghiaan terhadap

7
muka. Konflik mengancam muka kedua pihak dan ketika terdapat negosiasi yang tidak
berkesesuaian dalam menyelesaikan konflik tersebut (seperti menghina orang lain,
memaksakan kehendak, dst), konflik dapat memperparah situasi. Cara manusia
disosialisasikan ke dalam budaya mereka dan memengaruhi bagaimana mereka akan
mengelola konflik.

Asumsi ketiga berkaitan dengan dampak yang dapat diakibatkan oleh suatu tindakan
terhadap muka. Dengan menggabungkan hasil penelitian mengenai kesantunan, Ting-
Toomey menyatakan bahwa tindakan yang mengancam muka mengancam baik muka positif
maupun muka negatif dari para partisipan. Ada dua tindakan yang menyusun proses ancaman
terhadap muka: penyelamatan muka dan pemulihan muka. Pertama, penyalamatan muka
(face-saving) mencakup usaha-usaha untuk mencegah peristiwa yang dapat menimbulkan
kerentanan atau merusak citra seseorang. Penyelamatan wajah sering kali menghindarkan
rasa malu. Pemulihan muka (face restoration) terjadi setelah adanya peristiwa kehilangan
muka. Orang akan selalu berusaha untuk memulihkan muka dalam respons akan suatu
peristiwa. Misalnya, alasan-alasan yang diberikan orang merupakan bagian dari teknik-teknik
pemulihan muka ketika suatu peristiwa memalukan terjadi.

D. Kekuatan Teori Negosiasi Wajah


Teori Negosiasi Wajah dapat dipergunakan kemudian untuk memprediksi
daripada perilaku seseorang guna kepentingan penyempurnaan daripada si identitas
individu tersebut atau juga bisa disebut dengan facework. Tiap-tiap facework dalam
kebudayaan itu memang berbeda. Ada perhubungan antara pesan-pesan baik yang
bersifat verbal, begitu juga yang bersifat non verbal. Facework ini kemudian dibagi
menjadi budaya individualis dan budaya kolektif (Putra, Razid, Hairunnisa, & Sabirudin,
2018).

Teori negosiasi wajah ini memberikan beberapa perspektif yang dapat kita gunakan untuk
mengatasi masalah yang muncul antar budaya. Teori ini memiliki asumsi;

(1) Komunikasi antara semua budaya didasarkan pada penyelamatan muka dan tawar-menawar,

(2) Sisi problematis identitas adalah tanggung jawab,

8
(3) Perbedaan antara kolektivisme individualisme dan subjektivisme besar dan kecil
dibandingkan dengan bentuk-bentuk kekuasaan yang sangat dikucilkan. budaya manajemen
wajah,

(4) individualisme budaya itu sendiri lebih fokus pada pekerjaan wajah, kolektif dan budaya lain
lebih fokus pada pekerjaan wajah,

(5) Kekuatan jarak budaya yang kecil dibingkai oleh "kesamaan individu", sedangkan kekuatan
budaya yang tinggi adalah hierarki kerangka kerja, dan

(6) Kemampuan untuk berkomunikasi antar budaya adalah puncak pengetahuan dan
keterampilan. Teori Stella TingToomey yang diterbitkan membantu menjelaskan perbedaan
budaya dalam respons konflik.

Nur(2019) menjelaskan bahwasannya keberhasilan dari Negosiasi Muka, adalah


adanya proses untuk menerima atau mengalah dalam kepentingan yang berbeda. Itu
semua dilakukan demi meredakan suatu pertentangan Asumsi teori Negosiasi Muka
menurut Nur 2019, mengutip (West & Turner, 2008) kemudian mencakup adanya
komponen penting seperti muka, konflik, ataupun budaya.

 Pentingnya memiliki identitas diri dalam pola interaksi yang bersifat interpersonal.
Karena individu akan menengosiasikan identitas secara beda dalam budaya yang beda
juga
 Manajemen konflik akan dimediasi oleh pertama muka dan kedua adalah budaya.
 Keadaan tertentu yang dapat mengancam citra diri seseorang akan secara jelas
ditampilkan atau muka (Nur & Yasir, 2019).
Ketika muka bersifat positif ataupun negatif sekalipun, komunikator yang terlibat di dalamnya
berarti sedang terancam. Dalam keadaan tersebut, komunikan dan komunikator, keduanya akan
cenderung mencari bantuan dengan cara mengembalikan muka di antara keduanya. Atau dapat
dikatakan inilah yang kemudian disebut sebagai facework. Karena facework adalah bagaimana
strategi verbal dan nonverbal yang digunakan guna terpeliharanya dan bagaimana
mempertahankan, juga bahkan meningkatkan citra diri dalam scope sosial. Juga dapat
dipergunakan untuk menyerang atau mempertahankan orang lain. Facework ada bertujuan agar

9
bisa melindungi serta memelihara, mempertahankan ataupun tingkatkan Image sosial kita
dihadapan orang lain

Muka merupakan gambaran yang seseorang inginkan atau jati dirinya sendiri
yang ditampilkan di hadapan orang lain di dalam situasi sosial tertentu. Teori negosiasi
muka ini merupakan salah satu teori yang secara tegas mengakui bahwa setiap orang
yang memiliki perbedaan budaya memiliki juga perbedaan dalam pemikiran mengenai
muka orang lain. Pemikiran mengenai muka orang lain ini yang menyebabkan mereka
menghadapi konflik dengan cara berbeda karena muka menunjukkan konsep diri
seseorang (Ting -Toomey, 2004).

E. Kelemahan Teori Negosiasi Wajah


Menurut hasil analisis kami kelemahan yang terdapat dalam Teori Negosiasi
Wajah, terdapat kelemahan seperti hambatan budaya, parangliustik, perbedaan persepsi
dan perbedaan kebiasaan nonverbal. Namun hambatan atau kelemahan ini dapat
diselesaikan melalui manajemen konflik. Di temukan juga ada hambatan lain dari Teori
Negosiasi Wajah. Yaitu hambatan yang juga dikenal sebagai communication barrier
adalah segala sesuatu yang menjadi penghalang untuk terjadinya komunikasi yang efektif
(Chaney dan Martin,2004)

Menurut Chaney dan Martin hambatan dalam komunikasi antar budaya dibedakan
menjadi dua jenis besar yaitu :
1. hambatan diatas air (above waterline)
2. dan bawah air (below waterline).

Faktor-faktor hambatan komunikasi antarbudaya yang berada dibawah air


(belowwaterline) adalah faktor-faktor yang membentuk perilaku atau sikap jenis
hambatan yang termasuk dalam below waterline adalah persepsi (perceptions), norma
(norms), stereotip (stereotypes), filosofibisnis (business philosophy), aturan (rules),
jaringan (networks), nilai (values), dan grup cabang (subculturesgroup)

10
F. Contoh Kasus Teori Negosiasi Wajah
Kami mengambil contoh kasus yang sudah di teliti pada jurnal yang berjudul “STUDI
NEGOSIASI WAJAH DALAM INTERAKSI ETNIK BATAK DAN ETNIK JAWA DI
DESA SURO BALI KEC. UJAN MAS KAB. KEPAHIANG”
Desa Suro Bali Kecamatan Ujan Mas Kabupaten Kepahiang Provinsi Bengkulu
merupakan suatu desa ketentuan hendak kemajemukan agama, suku serta Ras, Terbentuk
dan diakui sebagai suatu desa pada tahun 1982. Sebelumnya masyarakat Suro Bali ini
menginduk di desa Suro Muncar, tetapi karena perjuangan masyarakat setempat agar desa
tersebut bisa menjadi desa definitif maka di buatlah syarat-syaratnya seperti adanya
sekolah , tempat ibadah, dan lainya. Setelah permohonan disetujui dan syarat-syarat
sudah lengkap sebagai desa definitif maka baru munculah desa yang di namakan Desa
Suro Bali itu sendiri.Untuk Suro sendiri nama itu diambildari desa yang ada sebelumnya
yakni Desa Suro Muncar atau di sebut desa induk. Sedangkan asal Bali nama tersebut
diambil karena mayoritas masyarakat yang awalnya menetap di desa tersebut berasal dari
etnis Bali. Tetapi dengan seiring nya waktu desa tersebut saat ini sudah memiliki
berbagai macam etnis yang menetap disana bukan hanya etnis bali saja tetapi ada dari
Jawa, Sunda, Rejang,Serawai, Bali, Batak dan Lintang yang hidup berdampingan ,
membaur dengan sesama penduduk yang menetap di desa tersebut secara rukun , damai
dan selalu harmonis. Uniknya di Desa Suro Bali ini selain masyarakatnya multietnis dari
segi kepercayaan di Desa tersebut juga sudah bermacam-macam yang awalnya hanya
hindu sekarang sudah mayoritas islam yakni sebanyak 60.5% , agama Hindu sebanyak
34.6% dan terakhir ada agama Budha dengan total 4.9 %. Oleh karena itutempat ibadah
masing-masing agama pun dibangun berdampingan didesa tersebut. Desa Suro Bali ini
Berdasarkan Data Kependudukan Nasional Semester I tahun 2020, memiliki total
penduduk laki berjumlah 293 jiwa, dengan perempuan 266 jiwa dengan total gabungan
kesemuannya sebanyak 559 jiwa. Serta pada tahun 2019 di desa Suro Bali terdapat 142
kk, dengan terbagi di tiga wilayah desa atau disebut dusun yaitu : Dusun 1 mempunyai 44
kepala keluarga, Dusun 2 sebanyak 69 Kepala keluarga yang ada, serta dusun 3 mencapai
29 KK.dengan kemajemukan yang ada desa Suro Bali dan banyaknya Etnik dan adanya
keberagaman tersebut sangat berdampak terhadap bagaimana cara seseorang yang
berbeda budaya berinteraksi dan bagaimana cara seseorang yang berbeda budaya

11
meminimalisir wajah mereka agar tidak terjadi masalah. Karena yang kita ketahui
sesorang dari budaya yang berbeda pasti memiliki ciri khas tersendiri saat berinteraksi
mulai dari bahasa, mimik wajah dan juga nada bahasa. Sehingga adanya keberagaman
Etnik yang ada tersebut peneliti mengkaji mengenai bagaimana Etnik Batak Dan Jawa
menegosiasi wajah mereka dalam bentuk facework saat berinteraksi di desa suro bali
kec.ujan mas kab.kepahiang, dengan menggunakan metode kualitatif dengan pisau
analisis teori Negosiasi Muka.Alasan dari berbagai Etnik yang Ada mengapa riset
inilebih tertati kepada Etnik Jawa Dan Batak dikarenakan yang kita ketahui bersama dan
sudah lumrah bahwa orang yang dari latar Belakang Etik Jawa pasti lemah lembut dan
kebalikan dari Etnik Batak yang selalu bernada tinggi saat berinteraksi. Sehingga dari hal
tersebut riset ini bertujuan Untuk dapat mengetahui bagaimana Etnik Batak Dan Jawa
menegosiasi wajah mereka dalam bentuk facework saat berinteraksi di desa suro bali
kec.ujan mas kab.kepahiang , Peneliti mewawancarai salah satu informan Etnik Jawa
yakni bapak supri (37 tahun) yang mana bapak supri ini sudah menetap selama 10 tahun
di desa Suro Bali ini. dari Hasil wawancara terhadap Informan diatas peneliti menemukan
Informasi Bahwasanya dengan adanya cara Penyelamatan yang dilakukan oleh ke dua
Etnik Tersebut terbukti bahwasannya Etnik Batak dan Etnik Jawa memiliki Cara
tersendiri saat berinteraksi dan memakai teori Negosiasi wajah dilihat dari cara Face
Worknya ke dua Etnik tersebut bekerja mulai dari Bahasa Verbal maupun Non verbal.
Dari hasil studi dengan mengenakan pisau analisis teori negosiasi muka ( face-
negotiation theory), bisa disimpulkan kalau warga Desa Suro Bali Kec. Ujan Mas Kab.
Kepahiang spesialnya Etnis Batak serta pula Etnis jawa dalam Wujud kerja muka etnik
batak dengan etnik Jawa di Desa Suro Bali Kec. Ujan Mas Kab. Kepahiang
memperlihatkan terdapatnya wujud Perundingan wajah saatberinteraksi dalam sehari-hari
ialah terlihat dari muka setiap Etnik Bekerja mulai dari startegi verbal serta non verbal,
seperti gaya bahasa serta mimik wajah.Facework ada bertujuan agar bisa melindungi
serta memelihara, mempertahankan ataupun tingkatkan Image sosial kita dihadapan
orang lain. Semacam tiap berjumpa Etnik batak melihatkan ekspresi mukanya dengan
sambil tersenyum dikala berdialog supaya tidak terlihat semacam sedang emosi.
Sebaliknya Etnik Jawa pula dikala berbicara mengeluarkan kerja mukadengan tenang,
walau berada dalam kondisi genting facework yang di keluarkan tetap tenang serta

12
sembari senyum dikala berdialog. Dari penjelasan cara kerja muka ke dua etnik tersebut
tergambar bahwa keduanya sukses mealuli proses menyesuaikan diri saat berinteraksi
karena adanya dan menggunakan negosiasi muka dan paham akan kelemahan dan logat
setiap budaya berbeda.

DAFTAR PUSTAKA

amda, kaputra, ratna fitriyani. (2016). membaca ekspresi wajah. hutan publisher.

ayuningthyas, yobelta kristi, dan turnomo rahardjo. (2018). "Memahami Manajemen Konflik
dalam Perkawinan Beda Bangsa. interaksi online, 126-134.

budiharjo, t. (2017). Culture Shock Mahasiswa Indonesia (Studi Kasus Kualitatif Culture Shock
di Kalangan Mahasiswa Indonesia Asal Kota Medan di Luar Negeri.

buluamang, yohanes museng ola. (2019). Political Party Expression of Regional Legislative in
Nusa Tenggara Timur Province. jurnal penelitian komunikasi 22.1.

Communication Theory. (n.d.). Face-Negotiation Theory.

Dasrun Hidayat . (2014). social and cultural identity pendekatan face negotation theory dan
public relations multikultural negara jerma- china dan indonesia.

Deandra Syarizka, k. n. (2021). citra diri individu dan negosiasi muka warga dengan budaya
kolektivime di negara berbudaya individualisme. interaksi jurnal ilmu komunikasi, 44-54.

Gunawan, N. A. (2021). negosiasi identitas perempuan bercadar dalam menghadapi stigma


attached to identification selama proses pembelajaran. interaksi online, 113-125.

13
indraseswari, esfandani peni. (2020). Hambatan Komunikasi dan Face Negotiation Dalam
Persahabatan Mahasiswa Antar Etnis (Studi Komunikasi Antar Budaya Melalui Face
Negotiation dalam Persahabatan Mahasiswa NTT dan Jawa di Surakarta.

kunandar, Alip Yog. . (2019). memahami teori - teori komunikasi. galuh patria.

Maduna Yanti Sari. (n.d.). komunikasi antar budaya studi negosiasi wajah dalam interaksi etnik
batak dan etnik minang di duri ke;urahan gajah sakti kecamatan mandau kabupaten
bengkalis. komunikasi antar budaya studi negosiasi wajah dalam interaksi etnik batak
dan etnik minang di duri ke;urahan gajah sakti kecamatan mandau kabupaten bengkalis.

manarung, ruth indrayani. (2021). Komunikasi lintas budaya: pengelolaan konflik pada pasangan
suami istri suku Batak dan Jawa. diss. universitas pelita harapan.

Mario Yohanes Paulus Riberu, Puji Lestari, dan Christina Rochayanti. (n.d.). model komunkasi
antar budaya mahasiswa nusa tenggara timur dengan penduduk tambak bayan
yogyakarta pasca peristiwa sebongan.

Muhammad Rachdian Al Azis. (Received January 14, 2021 ). Konflik Antar Etnis di Indonesia
dalam Analisis Face. JESS (Journal of Education on Social Science).

narimawati, umi narimawati. (2009). emosi dan suasana hati.

nurdin, a. p. (2020). The harmonious communication model on among religious adherents in


Sorong, West Papua. 157-168.

priharjanto, yekholia maoreenth, agus naryoso dan adi nugroho. (2021). Negosiasi Konflik
Berlatar Belakang Fanatisme Suporter Bola (Studi Kasus pada Kelompok Suporter
Panser Biru dan Snex. interaksi online, 1-13.

Razid Khansa Putra, HJ. Hairunnisa, S.Sos., MM, Sabiruddin , S.Sos. I., M.A. (2018). ejournal
ilmu komuniksasi. pola komunikasi masyarakat desa bangurejo kecamatan tenggarong
seberang dalam meredam konflik etnis , 441-455.

selvi aprili, fitria yulianti, M.A. (n.d.). studi negosiasi wajah dalam interaksi etnik batak dan
etnik jawa di desa suro bali kec. ujan mas kab. kepahlang. wajah dalam interaksi etnik
batak dan etnik jawa di desa suro bali kec. ujan mas kab. kepahlang, 62-75.

14
staff, y. (March 21st, 2012). Teori Negosiasi Muka.

yulianti, r. (n.d.). Perilaku Penyelamatan Muka Pada Sosial Media. seminar nasional teknologi
informasi & komunikasi terapan ( sematik), 2014.

15

Anda mungkin juga menyukai