Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

TEORI NEGOSIASI WAJAH


BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Teori negosiasi wajah atau yang sering juga dikenal dengan istilah teori negosiasi
rupa merupakan salah satu teori pembahasan dalam kajian ilmu komunikasi. Teori ini
pertama kali dikembangkan oleh Stella Ting-Toomey dan koleganya pada tahun 1985 yang
memiliki tujuan untuk memahami bagaimana budaya yang berbeda di seluruh dunia dapat
menanggapi konflik. Pada dasarnya, teori ini digunakan untuk memperkirakan bagaimana
manusia akan menyelesaikan karya rupa dalam kebudayaan yang berbeda. Teori ini
berangkat dari dasar pemikiran yang menyatakan, bahwa rupa atau wajah merupakan suatu
citra diri sebagai fenomena universal yang meliputi lintas budaya.

Wajah atau rupa merupakan acuan pada gambaran diri seseorang di hadapan orang
lain. Oleh karena itu, muka dapat melibatkan adanya rasa hormat, kehormatan, status,
koneksi, kesetiaan dan nilai-nilai lain yang serupa pada diri seseorang. Wajah adalah
gambaran diri seseorang atau jati diri orang lain yang berasal dari dalam dirinya dan di dalam
sebuah situasi sosial. Karya rupa pada wajah dalam teori ini adalah
perilaku komunikasi manusia yang digunakan untuk membangun dan melindungi rupa
mereka serta untuk melindungi, membangun, dan mengancam muka orang lain.

Teori ini merupakan teori gabungan antara penelitian komunikasi lintas budaya,
konflik, dan kesantunan. Teori negosiasi wajah memiliki daya tarik dan penerapan lintas
budaya karena teori berfokus pada berbagai macam populasi budaya. Sehingga teori ini
menjelaskan bahwa budaya memberi bingkai interpretasi yang lebih besar di mana muka dan
citra wajah yang konflik dapat diekspresikan dan dipertahankan menjadi suatu makna,
sehingga sangat perlu untuk ditafsirkan.

Karena teori negosiasi wajah berangkat dari dasar pemikiran yang menyatakan bahwa
rupa atau wajah merupakan suatu citra diri sebagai fenomena universal yang meliputi lintas
suatu budaya, di tengah kondisi kehidupan masyarakat dan kebudayaan yang berada pada
keterbukaan, kajian tentang teori ini sangat diperlukan sebagai suatu konsep atau pun
penyelidikan terhadap berbagai macam kasus-kasus yang berkaitan dengan suatu konflik
kebudayaan.
Fokus Masalah
Ada pun masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:

1. Sejarah Teori Negosiasi Wajah.


2. Komponen Teori Negosiasi Wajah/Rupa.
3. Kompetensi Teori Negosiasi Wajah sebagai pemecahan masalah konflik.

Tujuan Pembuatan Makalah

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas pada
mata kuliah “Perspektiif Komunikasi”. Selain untuk memenuhi tugas, makalah ini ditujukan
untuk mendalami keilmuan dalam bidang kajian ilmu komunikasi.
BAB II

PEMBAHASAN

Sejarah dan Pandangan Teori Negosiasi Wajah

Face Negotiation Theory pertama kali dikemukakan oleh Stella Ting-Toomey pada
tahun 1985. Ting-Toomey merupakan salah satu kolega dari Gudykunst di California State
University, Fulleton. Teori ini membantu mengelola konflik budaya yang berbeda dalam
aspek komunikasi, selain itu teori ini dikembangkan sebagai cara untuk memprediksi
bagaimana seseorang akan menyempurnakan identitas mereka (facework) dalam kebudayaan
yang berbeda. Sifat alami yang akan muncul pada tiap orang adalah bagaimana mereka
memperlihatkan identitas mereka dan bisa dianggap keberadaanya oleh orang lain. Face, atau
bisa juga disebut sebagai pencitraan diri atau rasa positif yang tertanam dalam diri kita
mengenai budaya kita saat kita dikenalkan atau berada dalam budaya lain. Sedangkan
facework merupakan perilaku komunikasi yang bertujuan untuk melindungi pencitraan diri
kita di depan orang lain.1

Teori negosiasi wajah adalah salah satu dari sedikit teori yang secara eksplisit
mengakui bahwa orang dari budaya yang berbeda memiliki bermacam pemikiran mengenai
“muka” orang lain. Oleh karenanya, selalu mengindikasikan adanya konflik, karena dalam
teori negosiasi wajah selalu memiliki adanya hubungan interpersonal antara wajah diri
dengan wajah yang lain, sehingga hubungan ini bersifat lintas budaya, dengan kata lain wajah
sebagai metafora bagi citra diri yang diyakini melingkupi seluruh aspek kehidupan sosial.

Ada tiga isu yang berkisar pada konflik dalam teori ini, ketiga isu itu adalah: konten,
relasional, dan identitas konflik. Konten, mengacu pada isu-isu substantif eksternal untuk
individu yang terlibat. Konflik relasional, mengacu pada bagaimana individu mendefinisikan,
atau ingin mendefinisikan, hubungan tertentu dalam episode konflik tertentu. Identitas,
berdasarkan konflik menyangkut isu-isu masalah identitas konfirmasi penolakan, rasa
hormat-menghormati, dan persetujuan-ketidaksetujuan. Dengan cara ini, masalah identitas

1 http://fikryemha.blogspot.com/2013/04/face-negotiation-theory.html
yang berpasangan erat dengan faktor orientasi rupa berbasis budaya. Episode yang
memperlihatkan rupa mengancam adalah sebuah identitas pelanggaran harapan.2

Ting-Toomey mengembangkan pemahaman mengenai kesantunan yang


menyimpulkan bahwa keinginan mengenai muka merupakan keinginan yang universal. Ia
juga berpendapat bahwa muka merupakan citra diri seseorang yang diproyeksikan dan
merupakan klaim akan penghargaan diri dalam sebuah hubungan. Ia percaya bahwa muka
melibatkan penampilan dari bagian depan (front stage) yang beradab kepada individu lain.

Selanjutnya, wajah dalam pandangan teori negosiasi wajah merupakan identitas yang
didefinisikan oleh dua orang secara bersamaan dalam sebuah konteks komunikasi. Selain itu,
wajah pun merupakan citra diri yang diakui secara sosial dan isu-isu citra lain yang dianggap
penting. dari sini kita dapat melihat bahwa wajah dalam teori negosiasi wajah adalah suatu
fenomena lintas budaya, yang artinya semua individu dalam semua budaya memiliki dan
mengelola wajah; wajah yang melampaui semua budaya. Budaya yang menempel dalam diri
seseorang sangat mempengaruhi tata cara orang-orang tersebut dalam berkomunikasi.
Sehingga hal itu sangat merepresentasikan adanya perbedaan dari budayanya masing-masing.

Keberagaman budaya sangat mempengaruhi cara orang-orang tersebut


berkomunikasi. Walaupun muka adalah konsep universal, terdapat berbagai perbedaan yang
merepresentasikan budaya mereka masing-masing. Kebutuhan akan muka ada di dalam
semua budaya, tetapi semua budaya tidak mengelola kebutuhan muka ini secara sama. Ting-
toomey berpendapat bahwa muka dapat diinterpretasikan dalam dua cara: kepedulian akan
muka dan kebutuhan akan muka. Kepedulian akan muka (face concern) berkaitan dengan
baik wajah seseorang maupun wajah orang lain. Terdapat kepentingan diri sendiri dan
kepentingan orang lain.

Dalam hal ini dapat kita lihat seperti halnya ketika kita bertemu dengan orang yang
berbeda budaya selalu berusaha menjaga image dan bersikap santun agar tidak menyinggung
perasaan orang lain. Sementara kebutuhan akan muka (face need) merujuk pada dikotomi
keterlibatan—otonomi. Contohnya ada sebagian budaya yang tidak suka tergantung kepada
orang atau budaya lain, sehingga penampilan atau muka yang tampak bersifat cukek atau
tidak peduli dengan orang lain.

2Azwanil Fakhri, “Teori Negosiasi Seni Rupa”, Makalah di akses di internet:


https://www.academia.edu/20290697/Teori_Negosiasi_Rupa_Face_Negotiation_Theory_
Ting-Toomey dipengaruhi oleh penelitian mengenai kesantunan. Teori kesantunan
Penelope Brown dan Stephen Levinson (1978) menyatakan bahwa orang akan menggunakan
stratei kesantunan berdasarkan persepsi ancaman muka. Para peneliti menemukan dua
kebutuhan universal: kebutuhan muka positif dan kebutuhan muka negatif. Muka positif
(positive face) adalah keinginan untuk disukai dan dikagumi oleh orang-orang penting dalam
hidup kita. Sedangkan muka negatif (negative face) merujuk pada keinginan untuk memiliki
otonomi dan tidak dikekang.

Ketika muka positif atau negatif para komunikator sedang terancam, mereka
cenderung mencari bantuan atau cara untuk mengembalikan muka mereka atau mitra mereka.
Ting-Toomey mendefinisikan hal ini sebagai facework, atau tindakan yang diambil untuk
menghadapi keinginan akan muka seseorang dan/atau orang lainnya. Stella Ting-Toomey dan
Leeva Chung (2005) juga mengemukakan bahwa facework adalah mengenai strategi verbal
dan nonverbal yang kita gunakan untuk memelihara, mempertahankan, atau meningkatkan
citra diri sosial kita dan menyerang atau mempertahankan, atu bahkan menyelamatkan citra
sosial orang lain.

Ada tiga jenis facework dalam kajian teori negosiasi wajah seperti yang dijelaskan
oleh Te-Stop dan John Bowers (1991), yaitu: kepekaan, solidaritas dan pujian.

 Pertama facework ketimbangrasaan (tact facework) merujuk pada batas di mana orang
menghargai otonomi seseorang. Facework ini memberikan kebebasan kepada seseorang
untuk bertindak sebagaimana ia inginkan.

 Kedua, facework solidaritas (solidarity facework), berhubungan dengan seseorang


menerima orang lain sebagai mana anggota dari kelompok dalam (in-group). Solidaritas
meningkatkan hubungan di antara dua orang yang sedang berbicara, maksudnya
perbedaan-perbedaan diminimalkan dan kebersamaan ditekankan melalui bahasa informal
dan pengalaman-pengalaman yang dimiliki bersama.

 Ketiga, facework pujian (approbation facework), yang berhubungan peminimalan


penjelekan dan pemaksimalan pujian kepada orang lain. Facework ini muncul ketika
seseorang mengurangi fokus pada aspek negatif orang lain dan lebih berfokus pada aspek
yang positif.
Beberapa asumsi teori Negosiasi wajah telah mencakup beberapa komponen penting di
dalamnya: wajah, konflik, dan budaya. Asumsi-asumsi tersebut diantaranya:

1. Identitas.

Identitas diri penting di dalam interaksi interpersonal, dan individu-individu


menegosiasikan identitas mereka secara berbeda dalam budaya yang berbeda.
Asumsi pertama menekankan pada identits diri (self identity) atau ciri pribadi atau
karakter seseorang. Citra ini adalah identitas yang ia harapkan dan ia inginkan agar
identitas tersebut diterima orang lain. Identitas diri mencakup pengalaman kolektif
seseorang, pemikiran, ide, memori, dan rencana. Identitas diri tidak bersifat stagnan,
melainkan dinegosiasikan dalam interaksi dengan orang lain. Orang memiliki
kekhawatiran akan identitasnya atau muka (muka diri) dan identitas atau muka orang
lain (muka lain). Budaya dan etnis mempengaruhi identitas diri, cara di mana individu
memproyeksikan identitas dirinya juga bervariasi dalam budaya yang berbeda.

Para individu di dalam semua budaya memiliki beberapa citra diri berbeda bahwa
mereka menegosiasikan citra ini secara terus menerus. Rasa akan diri seseorang
merupakan hal yang sadar maupun tidak sadar. Artinya, dalam banyak budaya yang
berbeda, orang-orang membawa citra yang mereka presentasikan kepada orang lain
secara kebiasaan atau strategis. Bagaimana persepsi rasa akan diri kita dan bagaimana
kita ingin orang lain mempersepsi kita merupakan hal yang sangat penting
dalam komunikasi.

2. Manajemen konflik.
Asumsi kedua berkaitan dengan konflik, yang merupakan komponen utama dari teori
ini. Konflik dapat merusak muka sosial seseorang dan dapat mengurangi kedekatan
hubungan antara dua orang. konflik adalah ‘forum” bagi kehilangan muka dan
penghiaan terhadap muka. Konflik mengancam muka kedua pihak dan ketika terdapat
negosiasi yang tidak berkesesuaian dalam menyelesaikan konflik tersebut (seperti
menghina orang lain, memaksakan kehendak, dst), konflik dapat memperparah
situasi. Cara manusia disosialisasikan ke dalam budaya mereka dan memengaruhi
bagaimana mereka akan mengelola konflik.
3. Tindakan-tindakan tertentu mengancam citra diri seseorang yang ditampilkan
(wajah).
Asumsi ketiga berkaitan dengan dampak yang dapat diakibatkan oleh suatu tindakan
terhadap muka. Dengan menggabungkan hasil penelitian mengenai kesantunan, Ting-
Toomey menyatakan bahwa tindakan yang mengancam muka mengancam baik muka
positif maupun muka negatif dari para partisipan. Ada dua tindakan yang menyusun
proses ancaman terhadap wajah: penyelamatan wajah dan pemulihan wajah.

o Penyalamatan wajah (face-saving) mencakup usaha-usaha untuk mencegah


peristiwa yang dapat menimbulkan kerentanan atau merusak citra seseorang.
Penyelamatan wajah sering kali menghindarkan rasa malu.

o Pemulihan wajah (face restoration) terjadi setelah adanya peristiwa kehilangan


muka. Orang akan selalu berusaha untuk memulihkan muka dalam respons akan suatu
peristiwa. Misalnya, alasan-alasan yang diberikan orang merupakan bagian dari
teknik-teknik pemulihan wajah ketika suatu peristiwa memalukan terjadi.

Komponen Teori Negosiasi Wajah

Asumsi

Perspektif teori negosiasi wajah menekankan dampak budaya yang terletak pada arti
dari rupa wajah. Dengan demikian, teori ini mengasumsikan bahwa:

1. Komunikasi dalam semua budaya didasarkan pada “memelihara” dan bernegosiasi


wajah.
2. Rupa diri yang bermasalah ketika identitas dipertanyakan.
3. Perbedaan antara individualistis dan kolektif, dan kekuasaan kecil dengan kekuasaan
besar memberi jarak budaya dalam membentuk manajemen rupa.
4. Budaya individualistis membentuk rupa dalam wajah sendiri, dan budaya kolektif
membentuk rupa wajah yang lain pula.
5. Kekuasaan yang kecil lebih memilih kerangka "individu adalah sama", sedangkan
budaya pada kekuatan besar lebih memilih kerangka hirarkis.
6. Perilaku juga dipengaruhi oleh variasi budaya, individu, relasional, dan faktor
situasional.
7. Kompetensi dalam komunikasi antarbudaya adalah puncak dari pengetahuan dan
kesadaran.

Asumsi dari teori ini adalah, melalui adanya perbedaan yang terjadi dalam tiap budaya
atau kelompok. Dalam komunikasi yang terjadi, terkadang ada proses penyampaian pesan
yang tidak tersampaikan sehingga menimbulkan salah pengertian di dalam kelompok
tersebut. Sebuah budaya akan memiliki adat, kebiasaan, nilai, norma, dan hal lain yang
mengikat yang mengidentifikasi mereka menjadi sebuah budaya tersebut. Konflik akan
muncul saat dua kelompok atau lebih memiliki perbedaan dan tidak bisa menerima identitas
dari kelompok lain.

Teori Negosiasi Wajah mengasumsikan bahwa setiap orang dalam tiap budaya akan
selalu menegosiasikan atau merundingkan identitas mereka (face). Istilah ini mengacu pada
pencitraan diri, cara kita meminta orang lain agar “melihat” keberadaan kita dan berprilaku
menyenangkan terhadap kita. Maka dari hal ini muncullah istilah facework, yang berarti
penyampaian pesan verbal dan nonverbal yang dikemukakan secara spesifik yang akan
membantu menjaga dan memperbaiki wajah yang kalah atau saat posisi terlihat lebih rendah
dan berusaha untuk memperoleh wajah yang penuh dengan penghargaan.

Kompetensi Negosiasi Wajah Antar Budaya

Negosiasi wajah dikonseptualisasikan sebagai integrasi optimal pengetahuan,


kesadaran dan kemampuan komunikasi dalam mengelola kekhawatiran rupa terkait rupa diri
dan rupa lain. Untuk bertindak secara kompeten dalam sebuah episode konflik antarbudaya,
teori berpendapat bahwa individu harus meningkatkan pengetahuan dan kesadaran budaya.

Dimensi Pengetahuan

Pengetahuan di sini mengacu pada proses pemahaman mendalam tentang fenomena


tertentu melalui berbagai informasi yang diperoleh melalui pembelajaran secara sadar dan
pengalaman-pengalaman pribadi. Bangunan konsep tersebut meliputi: 1) Individualisme-
kolektivisme, 2) Jarak kekuasaan. 3) Dua model kontrastif “rupa” dan “diri”, dan 4) Gaya
komunikasi karya rupa.

Dimensi Kesadaran (Mindfulness)

Kesadaran berarti menghadirkan asumsi, kognisi dan emosi internal seseorang, dan
secara bersamaan membiasakan diri penuh perhatian pada asumsi, kognisi dan emosi orang
lain sambil memfokuskan panca indera. Untuk menjadi sadar pada perbedaan karya rupa
antarbudaya, kita harus belajar untuk melihat perilaku asing dari konteks baru dan hangat.
Dengan demikian, pada tingkat umum, kesadaran menuntut pemikiran yang hidup dan
kreatif.

Keterampilan Interaksi

Keterampilan interaksi mengacu pada kemampuan kita untuk berkomunikasi secara


tepat, efektif dan adaptif dalam situasi tertentu. Keterampilan lima interaksi yang dapat
mengubah pengetahuan dan dimensi kesadaran ke tingkat konkrit, adalah: Mendengarkan
secara sadar, observasi secara sadar, manajemen karya rupa, membangun kepercayaan, dan
membangun dialog kolaboratif.

Anda mungkin juga menyukai