ASUMSI DASAR 1. Identitas diri penting di dalam interaksi interpersonal, dan individu-individu
menegosiasikan identitas mereka secara berbeda dalam budaya yang berbeda. Asumsi yang pertama menekankan pada identitas diri (self-identity), atau cirri pribadi atau atribut karakter seseorang. Identitas diri mencakup pengalaman kolektif seseorang, pemikiran, ide, memori, dan rencana. Identitas diri orang tidak bersifat stagnan, memalinkan dinegosiasikian dalam interaksi dengan orang lain. Melekat dengan asumsi pertama ini adalah
keyakinan bahwa para individu di dalam sebuah budaya memiliki beberapa citra diri yang berbeda dan bahwa meraka menegosiasikan citra ini secara terus menerus. Ting-Toomey (1993 ) menyatakan bahwa rasa akan diri seseorang merupaka hal yang sadar atau tidak sadar. Maksudnya, dalam banyak budaya yang berbeda, orang-orang membawa citra yang mereka presentasikan kepada orang lain secara kebiasaan atau strategis. Ting-Toomey percaya bahwa bagaimana kita memersepsikan rasa akan diri kita dan bagaimana kita ingin orang lain untuk memersepsikan kita merupakan hal yang sangat penting dalam pengalaman komunikasi kita. 2. Manajemen konflik dimediasi oleh muka dan budaya Asumsi kedua dari Teori Negosiasi Muka berkaitan dengan konflik, yang merupakan komponen utama dari Teori ini. Konflik dalam Teori ini, bekerja sama dengan muka dan budaya. Bagi Ting-Toomey (1994), konflik dapat merusak muka sosial seseorang dan dapat mengurangin kedekatan hubungan antara dua orang. Sebagai mana ia menyatakan bahwa konflik adalah forum bagi kehilangan muka dan penghinaan terhadap muka. 3. Tindakan-tindakan tertentu mengancam citra diri seseorang yang ditampilkan Asumsi ketiga dari Teori Negosiasi Muka berkaitan dengan dampak yang dapat diakibatkan oleh suatu tindakan terhadap muka. Ting-Toomey dan Mark Cole (1990) jika pencitraan diri kita terancam ada dua proses untuk memperbaiki citra tersebut: Penyelamatan Muka (face-saving),
Yaitu mencakup usaha usaha untuk mencegah peristiwa yang dapat menimbulkan kerentanan atau merusak citra seseorang. Penyelamatan wajah sering kali tidak memperdulikan rasa malu. Pemulihan Muka (face restoration),
Yaitu strategi yang digunakan untuk mempertahankan otonomi dan menghindari kehilangan muka. Pemulihan muka dilakukan setelah terjadi kehilangan muka. Ting-Toomey dan Cole mengamati bahwa orang berusaha untuk memulihkan muka dalam rangka merespon suatu peristiwa. Ting-toomey mendasarkan banyak bagian dari teorinya pada muka dan facework. Muka merupakan gambaran yang penting dalam kehidupan. Muka juga merupakan sebuah metafora bagi citra diri yang diyakini melingkupi seluruh aspek kehidupan sosial. Konsep ini bermula dari bangsa Cina. Bagi bangsa Cina muka dapat menjadi lebih penting dibandingkan kehidupan itu sendiri. Erving Goffman (1967) juga diakui sebagai sosok yang menempatkan muka dalam penelitian Barat kontemporer. Ia mengamati bahwa muka (face) adalah citra dari diri yang ditunjukkan orang dalam percakapan dengan orang lain. Goffman juga mendeskripsikan muka sebagai sesuatu yang dipertahankan, hilang atau diperkuat. Istilah ini setiap harinya dapat ditemukan dalam bahasa sehari-hari kita dengan penggunaan istilah tebal muka, muka tembok, jaim (jaga image), muka cemberut, muka kusut, dan lain sebagainya. Ting-Toomey dan koleganya (Oetzel, Yokochi, Masumoto &Takai, 2000) mengamati bahwa muka berkaitan dengan nilai diri yang positif dan memproyeksikan nilai lain dalam situasi interpersonal. Namun demikian konsep muka ini kajian meluas tidak hanya pada konteks interpersonal namun dalam semua kontkes komunikasi. Seperti halnya bagaimana Presiden
SBYyang terkenal dengan presiden yang sangat menjaga citrasebelum melakukan pidato, tidak jarang sangat memperhatikan penampilan apakah ia sudah nampak sempurna riasan di wajah, pecinya bahkan dasi atau aksesoris yang dikenakan lainnya. Istilah ini bisa juga bisa digunakan hingga bagaimana kita memakai pada konteks muka sebagai suatu bangsa yang besar (wajah Indonesia atau potret Indonesia). Ting-Toomey (2004) telah memperluas pemikiran Goffman. Ia menggabungkan beberapa pemikiran dari penelitian mengenai kesantunan yang menyimpulkan bahwa keinginan mengenai muka merupakan keinginan yang universal. Ia juga berpendapat bahwa muka merupakan citra diri seseorang yang diproyeksikan dan merupakan klaim akan penghargaan diri dalam sebuah hubungan. Ia percaya bahwa muka melibatkan penampilan dari bagian depan (front stage) yang beradab kepada individu lain. Dalam hal ini, muka juga merupakan identitas yang didefinisikan oleh dua orang secara bersamaan dalam sebuah konteks komunikasi. Selain itu, muka adalah citra diri yang diakui secara sosial dan isu-isu citra lain yang dianggap penting. Oleh karena itu, muka adalah fenomena lintas budaya, yang artinya semua individu dalam semua budaya memiliki dan mengelola muka; muka melampaui semua budaya. Keberagaman budaya sangat mempengaruhi cara orang-orang tersebut
berkomunikasi. Walaupun muka adalah konsep universal, terdapat berbagai perbedaan yang merepresentasikan budaya mereka masing-masing. Kebutuhan akan muka ada di dalam semua budaya, tetapi semua budaya tidak mengelola kebutuhan muka ini secara sama. Ting-toomey berpendapat bahwa muka dapat diinterpretasikan dalam dua cara: kepedulian akan muka dan kebutuhan akan muka. Kepedulian akan muka (face concern) berkaitan dengan baik muka seseorang maupun muka orang lain. Terdapat kepentingan diri sendiri dan kepentingan orang lain. Ting-Toomey dipengaruhi oleh penelitian mengenai kesantunan. Teori kesantunan Penelope Brown dan Stephen Levinson (1978) menyatakan bahwa orang akan menggunakan stratei kesantunan berdasarkan persepsi ancaman muka. Para peneliti menemukan dua kebutuhan universal: kebutuhan muka positif dan kebutuhan muka negatif. Muka positif (positive face) adalah keinginan untuk disukai dan dikagumi oleh orang-orang penting dalam hidup kita. Sedangkan muka negatif (negative face) merujuk pada keinginan untuk memiliki otonomi dan tidak dikekang. Kebutuhan akan muka menjelaskan mengapa seorang mahaiswa yang ingin meminjam catatan temannya tidak akan meminta dengan langsung (pinjam catatanmu, ya?), tetapi lebih sering meminta dengan memberikan perhatian kepada keinginan muka negatif seseorang. Ketika muka positif atau negatif para komunikator sedang terancam, mereka cenderung mencari bantuan atau cara untuk mengembalikan muka mereka atau mitra mereka. Ting-Toomey mendefinisikan hal ini sebagai facework, atau tindakan yang diambil untuk menghadapi keinginan akan muka seseorang dan/atau orang lainnya. Stella Ting-Toomey dan Leeva Chung (2005) juga mengemukakan bahwa facework adalah mengenai strategi verbal dan nonverbal yang kita gunakan untuk memelihara, mempertahankan, atau meningkatkan citra diri sosial kita dan menyerang atau mempertahankan (atau menyelamatkan) citra sosial orang lain.
Teori ini dapat diperluas dengan mengidentifikasi tiga jenis facework, seperti dijelaskan oleh TeStop dan John Bowers (1991), yaitu: kepekaan, solidaritas dan pujian. Pertama facework ketimbangrasaan (tact facework) merujuk pada batas di mana orang menghargai otonomi seseorang. Facework ini memberikan kebebasan kepada seseorang untuk bertindak sebagaimana ia inginkan. Kedua, facework solidaritas (solidarity facework), berhubungan dengan seseorang menerima orang lain sebagai mana anggota dari kelompok dalam (in-group). Solidaritas meningkatkan hubungan di antara dua orang yang sedang berbicara, maksudnya perbedaanperbedaan diminimalkan dan kebersamaan ditekankan melalui bahasa informal dan pengalamanpengalaman yang dimiliki bersama. Ketiga, facework pujian (approbation facework), yang berhubungan peminimalan penjelekan dan pemaksimalan pujian kepada orang lain. Facework ini muncul ketika seseorang mengurangi fokus pada aspek negatif orang lain dan lebih berfokus pada aspek yang positif.