Anda di halaman 1dari 4

Pengantar Teori Komunikasi, Richard West

CHAPTER 26 TEORI NEGOSIASI MUKA


LATAR BELAKANG TEORI Teori Negosiasi muka adalah satu dari sedikit yang secara eksplisit mengakui bahwa orang dari budaya yang berbeda memiliki bermacam pemikiran mengenai muka orang lain. Pemikiran ini menyebabkan mereka menghadapi konflik dengan cara yang berbeda. Karena muka merupakan perpanjangan dari konsep diri seseorang, muka telah menjadi fokus dari banyak penelitian di dalam beberapa bidang ilmu. Teori Negosiasi Muka (Face-Negotiation Theory) dikembangkan oleh Stella TingToomey pada tahun 1988. Teori ini memberikan sebuah dasar untuk memperkirakan bagaimana manusia akan menyelesaikan karya muka dalam sebuah kebudayaan yang berbeda. Muka atau rupa mengacu pada gambar diri seseorang di hadapan orang lain. Hal ini melibatkan rasa hormat, kehormatan, status, koneksi, kesetiaan dan nilai-nilai lain yang serupa. Dengan kata lain rupa merupakan gambaran yang anda inginkan atau jati diri orang lain yang berasal dari anda dalam sebuah situasi sosial. Karya muka adalah perilaku komunikasi manusia yang digunakan untuk membangun dan melindungi rupa mereka serta untuk melindungi, membangun dan mengancam muka orang lain. Teori ini merupakan teori gabungan antara penelitian komunikasi lintas budaya, konflik, dan kesantunan. Teori negosiasi muka memiliki daya tarik dan penerapan lintas budaya karena Stella Ting-Toomeypencetus teori iniberfokus pada sejumlah populasi budaya, termasuk Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Cina dan Amerika Serikat. Ting-Toomy menjelaskan bahwa budaya memberi bingkai interpretasi yang lebih besar di mana muka dan gaya konflik dapat diekspresikan dan dipertahankan secara bermakna. Teori negosiasi muka adalah salah satu dari sedikit teori yang secara eksplisit mengakui bahwa orang dari budaya yang berbeda memiliki bermacam pemikiran mengenai muka orang lain. Pemikiran ini menyebabkan mereka menghadapi konflik dengan cara berbeda. Muka merupakan perpanjangan dari konsep diri seseorang, muka telah menjadi fokus dari banyak penelitian di dalam berbagai bidang ilmu.

ASUMSI DASAR 1. Identitas diri penting di dalam interaksi interpersonal, dan individu-individu

menegosiasikan identitas mereka secara berbeda dalam budaya yang berbeda. Asumsi yang pertama menekankan pada identitas diri (self-identity), atau cirri pribadi atau atribut karakter seseorang. Identitas diri mencakup pengalaman kolektif seseorang, pemikiran, ide, memori, dan rencana. Identitas diri orang tidak bersifat stagnan, memalinkan dinegosiasikian dalam interaksi dengan orang lain. Melekat dengan asumsi pertama ini adalah

Pengantar Teori Komunikasi, Richard West

keyakinan bahwa para individu di dalam sebuah budaya memiliki beberapa citra diri yang berbeda dan bahwa meraka menegosiasikan citra ini secara terus menerus. Ting-Toomey (1993 ) menyatakan bahwa rasa akan diri seseorang merupaka hal yang sadar atau tidak sadar. Maksudnya, dalam banyak budaya yang berbeda, orang-orang membawa citra yang mereka presentasikan kepada orang lain secara kebiasaan atau strategis. Ting-Toomey percaya bahwa bagaimana kita memersepsikan rasa akan diri kita dan bagaimana kita ingin orang lain untuk memersepsikan kita merupakan hal yang sangat penting dalam pengalaman komunikasi kita. 2. Manajemen konflik dimediasi oleh muka dan budaya Asumsi kedua dari Teori Negosiasi Muka berkaitan dengan konflik, yang merupakan komponen utama dari Teori ini. Konflik dalam Teori ini, bekerja sama dengan muka dan budaya. Bagi Ting-Toomey (1994), konflik dapat merusak muka sosial seseorang dan dapat mengurangin kedekatan hubungan antara dua orang. Sebagai mana ia menyatakan bahwa konflik adalah forum bagi kehilangan muka dan penghinaan terhadap muka. 3. Tindakan-tindakan tertentu mengancam citra diri seseorang yang ditampilkan Asumsi ketiga dari Teori Negosiasi Muka berkaitan dengan dampak yang dapat diakibatkan oleh suatu tindakan terhadap muka. Ting-Toomey dan Mark Cole (1990) jika pencitraan diri kita terancam ada dua proses untuk memperbaiki citra tersebut: Penyelamatan Muka (face-saving),

Yaitu mencakup usaha usaha untuk mencegah peristiwa yang dapat menimbulkan kerentanan atau merusak citra seseorang. Penyelamatan wajah sering kali tidak memperdulikan rasa malu. Pemulihan Muka (face restoration),

Yaitu strategi yang digunakan untuk mempertahankan otonomi dan menghindari kehilangan muka. Pemulihan muka dilakukan setelah terjadi kehilangan muka. Ting-Toomey dan Cole mengamati bahwa orang berusaha untuk memulihkan muka dalam rangka merespon suatu peristiwa. Ting-toomey mendasarkan banyak bagian dari teorinya pada muka dan facework. Muka merupakan gambaran yang penting dalam kehidupan. Muka juga merupakan sebuah metafora bagi citra diri yang diyakini melingkupi seluruh aspek kehidupan sosial. Konsep ini bermula dari bangsa Cina. Bagi bangsa Cina muka dapat menjadi lebih penting dibandingkan kehidupan itu sendiri. Erving Goffman (1967) juga diakui sebagai sosok yang menempatkan muka dalam penelitian Barat kontemporer. Ia mengamati bahwa muka (face) adalah citra dari diri yang ditunjukkan orang dalam percakapan dengan orang lain. Goffman juga mendeskripsikan muka sebagai sesuatu yang dipertahankan, hilang atau diperkuat. Istilah ini setiap harinya dapat ditemukan dalam bahasa sehari-hari kita dengan penggunaan istilah tebal muka, muka tembok, jaim (jaga image), muka cemberut, muka kusut, dan lain sebagainya. Ting-Toomey dan koleganya (Oetzel, Yokochi, Masumoto &Takai, 2000) mengamati bahwa muka berkaitan dengan nilai diri yang positif dan memproyeksikan nilai lain dalam situasi interpersonal. Namun demikian konsep muka ini kajian meluas tidak hanya pada konteks interpersonal namun dalam semua kontkes komunikasi. Seperti halnya bagaimana Presiden

Pengantar Teori Komunikasi, Richard West

SBYyang terkenal dengan presiden yang sangat menjaga citrasebelum melakukan pidato, tidak jarang sangat memperhatikan penampilan apakah ia sudah nampak sempurna riasan di wajah, pecinya bahkan dasi atau aksesoris yang dikenakan lainnya. Istilah ini bisa juga bisa digunakan hingga bagaimana kita memakai pada konteks muka sebagai suatu bangsa yang besar (wajah Indonesia atau potret Indonesia). Ting-Toomey (2004) telah memperluas pemikiran Goffman. Ia menggabungkan beberapa pemikiran dari penelitian mengenai kesantunan yang menyimpulkan bahwa keinginan mengenai muka merupakan keinginan yang universal. Ia juga berpendapat bahwa muka merupakan citra diri seseorang yang diproyeksikan dan merupakan klaim akan penghargaan diri dalam sebuah hubungan. Ia percaya bahwa muka melibatkan penampilan dari bagian depan (front stage) yang beradab kepada individu lain. Dalam hal ini, muka juga merupakan identitas yang didefinisikan oleh dua orang secara bersamaan dalam sebuah konteks komunikasi. Selain itu, muka adalah citra diri yang diakui secara sosial dan isu-isu citra lain yang dianggap penting. Oleh karena itu, muka adalah fenomena lintas budaya, yang artinya semua individu dalam semua budaya memiliki dan mengelola muka; muka melampaui semua budaya. Keberagaman budaya sangat mempengaruhi cara orang-orang tersebut

berkomunikasi. Walaupun muka adalah konsep universal, terdapat berbagai perbedaan yang merepresentasikan budaya mereka masing-masing. Kebutuhan akan muka ada di dalam semua budaya, tetapi semua budaya tidak mengelola kebutuhan muka ini secara sama. Ting-toomey berpendapat bahwa muka dapat diinterpretasikan dalam dua cara: kepedulian akan muka dan kebutuhan akan muka. Kepedulian akan muka (face concern) berkaitan dengan baik muka seseorang maupun muka orang lain. Terdapat kepentingan diri sendiri dan kepentingan orang lain. Ting-Toomey dipengaruhi oleh penelitian mengenai kesantunan. Teori kesantunan Penelope Brown dan Stephen Levinson (1978) menyatakan bahwa orang akan menggunakan stratei kesantunan berdasarkan persepsi ancaman muka. Para peneliti menemukan dua kebutuhan universal: kebutuhan muka positif dan kebutuhan muka negatif. Muka positif (positive face) adalah keinginan untuk disukai dan dikagumi oleh orang-orang penting dalam hidup kita. Sedangkan muka negatif (negative face) merujuk pada keinginan untuk memiliki otonomi dan tidak dikekang. Kebutuhan akan muka menjelaskan mengapa seorang mahaiswa yang ingin meminjam catatan temannya tidak akan meminta dengan langsung (pinjam catatanmu, ya?), tetapi lebih sering meminta dengan memberikan perhatian kepada keinginan muka negatif seseorang. Ketika muka positif atau negatif para komunikator sedang terancam, mereka cenderung mencari bantuan atau cara untuk mengembalikan muka mereka atau mitra mereka. Ting-Toomey mendefinisikan hal ini sebagai facework, atau tindakan yang diambil untuk menghadapi keinginan akan muka seseorang dan/atau orang lainnya. Stella Ting-Toomey dan Leeva Chung (2005) juga mengemukakan bahwa facework adalah mengenai strategi verbal dan nonverbal yang kita gunakan untuk memelihara, mempertahankan, atau meningkatkan citra diri sosial kita dan menyerang atau mempertahankan (atau menyelamatkan) citra sosial orang lain.

Pengantar Teori Komunikasi, Richard West

Teori ini dapat diperluas dengan mengidentifikasi tiga jenis facework, seperti dijelaskan oleh TeStop dan John Bowers (1991), yaitu: kepekaan, solidaritas dan pujian. Pertama facework ketimbangrasaan (tact facework) merujuk pada batas di mana orang menghargai otonomi seseorang. Facework ini memberikan kebebasan kepada seseorang untuk bertindak sebagaimana ia inginkan. Kedua, facework solidaritas (solidarity facework), berhubungan dengan seseorang menerima orang lain sebagai mana anggota dari kelompok dalam (in-group). Solidaritas meningkatkan hubungan di antara dua orang yang sedang berbicara, maksudnya perbedaanperbedaan diminimalkan dan kebersamaan ditekankan melalui bahasa informal dan pengalamanpengalaman yang dimiliki bersama. Ketiga, facework pujian (approbation facework), yang berhubungan peminimalan penjelekan dan pemaksimalan pujian kepada orang lain. Facework ini muncul ketika seseorang mengurangi fokus pada aspek negatif orang lain dan lebih berfokus pada aspek yang positif.

Anda mungkin juga menyukai