Anda di halaman 1dari 9

TUGAS VIII

TEORI KOMUNIKASI I

Face Negotiation Theory dan Stand Point Theory

KELAS D
KELOMPOK 9:
Marcelline Vania Teofani 180906654
Gregorius Yubilio 180906666
Daniel Aryo Bismo 180906668
Cristina S. Alusinsing 180906670

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA
2019
FACE NEGOTIATION THEORY

Bagaimana orang-orang yang berasal dari budaya individualis dan kolektif menegosiasikan wajah
dalam konflik? Face negotiation theory didasari oleh pengaturan wajah yang menjelaskan
bagaimana orang-orang dari kebudayaan yang berbeda mengelola negosiasi konflik untuk
mempertahankan wajah. Perhatian dari wajah diri dan wajah orang lain menjelaskan bagaimana
negosiasi yang dilakukan antarindividu dari berbagai kebudayaan yang berbeda. Teori ini bersifat
multifaset, menggabungkan penelitian dari komunikasi antarbudaya, konflik, kesopanan, dan
“facework” atau efek wajah/tatap muka. Teori ini memiliki daya tarik serta penerapan lintas
budaya karena Ting-Toomey berfokus pada sejumlah populasi dengan kebudayaan yang berbeda.

Wajah merupakan fitur penting dalam kehidupan, sebuah metafora untuk citra diri yang meliputi
seluruh aspek sosial kehidupan (Domenici & Littlejohn, 2006). Ting-Toomey berpendapat bahwa
wajah dapat dimaknai melalui dua cara utama: perhatian wajah dan kebutuhan wajah. Perhatian
wajah merupakan ketertarikan dalam memperhatikan wajah seseorang atau wajah dari orang lain.
Sedangkan kebutuhan wajah merupakan keinginan yang diasosiasikan atau tidak diasosiasikan
dengan orang lain.

Ting-Toomey dipengaruhi oleh penelitian tentang kesopanan. Secara umum, konsep kesopanan
memberikan perhatian pada kelayakan perilaku dan prosedur yang berhubungan dengan
membangun dan mempertahankan keharmonisan dalam hubungan (Kerbrat-Orecchioni, 2012).
Secara khusus, para pakar teori kesopanan (Brown & Levinson, 1978, 1987) berpendapat bahwa
orang-orang akan menggunakan strategi kesopanan berdasarkan pada persepsi ancaman wajah.
Menurut Danette Ifert Johnson (2007), teori kesopanan menyatakan bahwa sebuah pesan tunggal
dapat memancing lebih dari satu ancaman wajah dan dapat secara bersamaan mendukung dan
mengancam kebutuhan wajah, yang dapat memengaruhi pesan-pesan berikutnya. Ada dua jenis
kebutuhan universal: kebutuhan wajah yang bersifat positif dan negative. Wajah positif adalah
keinginan untuk disukai dan dikagumi oelh orang-orang terdekat dalam hidup kita, sedangkan
wajah negatif adalah keinginan untuk menjadi mandiri dan tidak dibatasi.

Kerja wajah berhubungan dengan bagaimana individu berusaha untuk menyelaraskan apa yang
mereka lakukan dengan wajah mereka. Ada tiga jenis kerja wajah: bijaksana, solidaritas, dan
penerimaan dengan baik. Pertama, kerja wajah bijaksana merujuk pada tingkat kerja wajah
hingga individu menghormati otonomi atau kebahagiaan orang lain. Jenis kedua adalah kerja
wajah solidaritas, yaitu menerima orang lain sebagai bagian dari kelompok. Dan jenis terakhir
adalah kerja wajah persetujuan/penerimaan yang lebih fokus pada aspek positif daripada aspek
negative orang lain.

Asumsi-Asumsi Teori Negosiasi Wajah


Pertama, menyoroti identitas diri atau ciri personal atau karakter dari individu. William Cupach
dan Sandra Metts (1994)mengamati bahwa ketika orang-orang saling bertemu, mereka
menampilkan citra siapa diri mereka dalam interaksi. Citra ini merupakan identitas yang ia
asumsikan ia miliki dan identitas diri yang ia ingin orang lain terima. Seperti halnya budaya dan
etnis memengaruhi identitas diri, cara individu memproyeksikan identitas diri mereka berbeda
pada masing-masing budaya. Terdapat keyakinan bahwa individu-individu dari berbagai
kebudayaan memiliki sejumlah citra diri yang berbeda-beda dan mereka menegosiasikan citra-
citra ini secara berkelanjutan. Ting-toomey (1993) menyatakn bahwa penghayatan individu atas
dirinya bersifat disadari sekaligus tidak disadari. Ting-Toomey percaya bahwa bagaimana kita
melihat diri sendiri dan bagaimana kita berharap orang lain memandang kita merupakan aspek
utama dalam pengalaman komunikasi kita.
Kedua, berhubungan dengan konflik yang merupakan komponen sentral dari teori ini. Konflik
dalam teori ini, bekerja sejalan dengan wajah dan budaya. Bagi Ting-Toomey (1994), konflik
dapat merusak wajah sosial individu dan dapat mengurangi kedekatan hubungan antara dua orang.
Ia menyebutkan bahwa konflik adalah ruang untuk wajah yang hilang atau wajah yang
dipermalukan. Ting-Toomey mengatakan bahwa bagaimana individu disosialisasikan dengan
budaya asalnya berpengaruh pada bagaimana mereka dapat mengelola konflik. Pada bebrapa
budaya, misalnya Amerika Serikat, keterbukaan akan perbedaan di antara dua individu menjadi
sesuatu yang bernilai, sedangkan pada beberapa budaya lain, konflik diyakini perlu diselesaikan
secara tertutu.
Ketiga, berkaitan dengan dampak dari berbagai tindakan pada wajah seseorang. Ting-Toomey
(1988) menegaskan bahwa tindakan mengancam wajah (face-threatening acts-FTAs), ancaman
wajah positif ataupun negative dari dua orang yang berinteraksi. Ting-Toomey (1990) mencatat
dua tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi FTAs adalah penyelamat wajah dan restorasi
wajah. Penyelamatan wajah (face-saving) merupakan usaha untuk mencegah suatu peristiwa
merusak atau membuat rentan citra seseorang. Restorasi wajah (face restoration) muncul ketika
rasa malu telah terjadi. Ting-Toomey dan Cole (1990) mendapati bahwa orang-orang mencoba
mengembalikan wajah mereka sebagai respons dari rasa malu tersebut. Misalnya, orang-orang
mengajukan banyak alasan sebagai teknik restorasi wajah ketika peristiwa yang memalukan
muncukl.
Budaya Individualistis dan Kolektivisme
Ting-Toomey memperhatikan budaya dengan saksama dan mencoba memahami bagaimana
budaya saling terkait dengan wajah dan konflik melalui pemikiran dari Harry Triandis (1972,
1988) dan Geert Hofstede (1980, 2001). Dalam teori negoisiasi wajah, budaya dapat diatur ke
dalam dua ujung kontinum: individualism dan kolektivisme. Ting-Toomey dan para kologanya Ge
Gao mengklarifikasikan bahwa individualism dan kolektivisme diterapkan tidak hanya konteks
budaya nasional, tetapi juga budaya pendamping di dalam budaya nasional. Misalnya, Ting-
toomey dan tim penelitiannya mengamati dan menemukan bahwa banyak keturunan Eropa
Amerika di Amerika Serikat mengidentifikasikan diri dengan nilai dan keyakinan yang bersifat
individualistis, sedangkan kelompok imigran generasi pertama yang berasal dari Meksiko dan
Jepang cenderung mempertahankan orientasi kolektivisme.
Individualism dan Kolektivisme
Individualisme merujuk pada kecendrungan orang-orang untuk menonjolkan identitas individu di
atas identitas kelompok, hak individu di atas hak kelompok, dan kebutuhan individu di atas
kebutuhan kelompok. Dalam individualism terdapat motivasi diri, otonomi, dan pemikiran yang
mandiri. Mengarahkan komunikasi langsung dengan orang lain. Menurut ahli komunikasi
antarbudaya, individualism dijunjung di Amerika Serikat. Selain Amerika Serikat budaya dari
Australia, Inggris, Kanada, Belanda, dan Selandia Baru juga di pandang bersifat individualism.
Kolektivisme adalah identitas “kita” (“kita bisa melakukannya”, “kita adalah tim”, dan lain
sebagainya). kolektivisme melihat ke luar diri individu. Ting-Toomey mengatakan bahwa
kolektivisme menekankan pentingnya tujuan kelompok di atas tujuan individu, kewajiban
kelompok di atas hak individu, dan kebutuhan atas keinginan individu.
Manajeman Wajah dan Budaya
Ting-Toomey dan Chung berargumen bahwa “anggota (budaya) yang menjunjung nilai
individualistis cenderung lebih berorientasi pada wajah diri dan mereka yang menjunjung nilai
kolektivistis, mereka cenderung berorientasi pada wajah orang lain atau timbale balik, baik wajah
sendiri maupun wajah orang lain, dalam menghadapi konflik”. Ting Toomey meyakinkan bahwa
dalam budaya individualistis, manajemaen wajah sifatnya terlihat jelas dalam hal usaha individu
melindung wajahnya, meski harus melalui proses tawar-menawar. Ting-Toomey mencatat bahwa
anggota budaya individualistis seperti Kevin akan cenderung menggunakan startegi
mempertahankan kemandirian wajah dalam mengelola konflik mereka, dan sebaliknya berlaku
pada anggota budaya kolektivisme.
Mengelola Konflik Lintas Budaya
Gaya merujuk pada pola respon atau cara khusus dalam mengatasi konflik yang terjadi pada
beragam komunikasi. Gaya-gaya ini adalah pertama, gaya menghindar (AV), individu berusaha
menjauh dari pertentangan dan mengelak dari pertukaran yang tidak nyaman dengan orang lain.
Kedua, kesediaan membantu (OB), merupakan bantuan yang bersifat pasif untuk memuaskan
kebutuhan orang lain atau mengikuti saja saran yang diajukan oleh orang lain. Ketiga, kompromi
ialah individu mencoba menemukan jalan tengah untuk mengatasi masalah dan menggunakan
strategi memberi dan menerima sehingga kesepakatan dapat dicapai. Keempat, dominasi (DO),
tindakan yang memanfaatkan pengaruh, otoritas, atau keahlian untuk mendapatkan idea tau
membuat keputusan. Kelima, integrasi (IN), cara menemukan solusi bersama-sama dengan orang
lain.
Ting-Toomey mencatat beberapa hubungan antara gaya konflik dengan perhatian wajah atau
kebutuhan wajah. Pertama gaya AV dan OB dalam manajemen konflik merefleksikan pendekatan
yang pasif. Pada gaya CO, kedua individu saling menunjukkan kepedulian sehingga mereka
berusaha menemukan jalan tengah sebagai solusi konflik. Terakhir gaya DO merefleksikan
kebutuhan wajah pribadi yang tinggi dan kebutuhan untuk mengendalikan konflik, sedangkan gaya
IN mengindikasikan kebutuhan wajah pribadi ataupun orang lain yang tinggi untuk resolusi
konflik.
FEMINIST STAND POINT THEORY
Feminist stand point theory atau dalam bahasa indonesia teori sudut pandang feminis
menyatakan bahwa pengalaman, pengetahuan dan perilaku komunikasi perempuan (dan semua
orang) dibentuk sebagian besar oleh kelompok-kelompok sosial di mana mereka berada. Teori
sudut pandang feminis merujuk pada suatu masalah dalam tatanan sosial masyarakat dan
menunjukkan cara-cara baru untuk mengatur kehidupan sosial sehingga akan lebih pantas dan adil.
Teori sudut pandang feminis pada mulanya berasal dari teori sudut pandang yang tercipta pada
tahun 1807 oleh filsuf Jerman Georg Wilhelm Friedrich Hegel ketika membahas mengenai
hubungan tuan dan budak menimbulkan sudut pandang yang berbeda dari kedua belah pihak. Lalu
Nancy Hartsock menarik pada ide-ide Hegel dan Marxis untuk mulai mengadaptasikan Teori sudut
pandang yang digunakan untuk memeriksa hubungan antara perempuan dan laki-laki sehungga
menciptakan teori sudut pandang feminis. Feminisme sendiri memiliki arti ideologi dan gerakan
yang berfokus pada posisi sosial perempian dan menginginkan untuk mengakhiri penindasan
berdasarkan pada gender dan jenis kelamin.
Kritik teori sudut pandang feminis terhadap teori dan penelitian
Feminist stand point theory tidak seperti kebanyakan teori lainnya, mulai dengan
menyoroti hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan. Oleh karena itu Feminist stand point
theory mencoba untuk menyatukan dua ketegangan yaitu mencari pengetahuan dan komitmen
yang lebih baik untuk ide pengetahuan yang selalu terkait dengan masalah-masalah kekuasaan dan
politik. Dapat disimpulkan Feminist stand point theory dimulai dari epistermologi yang tidak
sempurna, satu dirancang oleh laki-laki yang berkuasa dan berusaha untuk mengembangkan
epistermologi yang lebih baik, lalu yang lain mengakui pengetahuan yang tidak dapat dipisahkan
dari politik. Hirarki sosial tidak tetap, ada perjuangan berkesinambungan dalam masyarakat untuk
menentukan kelompok mana yang dominan dan yang memiliki hak untuk berbicara bagi mereka
dan bagi orang lain.
Asumsi-asumsi teori sudut pandang feminis
Janet Saltzman Chafetz (1997) mengatakan ciri teori feminis adalah seks atau jenis kelamin
adalah fokus sentral untuk teori, seks atau hubgan gender dipandang sebagai bermasalah dan teori
berusaha untuk memahami bagaimana seks atau jenis kelamin berhubungan dengan ketidakadilan
dan kontradiksi, seks atau hubungan gender dipandang sebagai berubah dan teori feminis dapat
digunakan untuk menantang status quo ketika status quo merendahkan atau meremehkan
perempuan. Selain hal tersebut Feminist stand point theory bertumpu pada lima asumsi yaitu,
material hidup (posisi kelas) struktur dan batas pemahaman hubungan sosial, ketuka kehidupan
material ini disusun dalam dua cara yang berlawanan untuk dua kelompok yang berbeda,
pemahaman masing masing akan menjadi inversi yang lain. Ketika ada kelompok bawahan yang
dominan dan pemahaman kelompok dominan akan menjadi parsial dan berbahaya, visi kelompok
penguasa struktus hubungan materi dimana semua kelompok dipaksa untuk berpartisipasi, visi
tersedia untuk kelompok tertindas merupakan perjuangan dan prestasi, pemahaman potensial
terhadap penindasan (sudut pandang) membuat terlihat secara tidak manusiawi dalam hubungan
yang ada antara kelompok kelompok dan menggerakkan kita menuju dunia yang lebih baik dan
lebih adil.
Ada beberapa konsep penting dalam teori sudut pandang yaitu suara,sudut pandang, situasi
pengetahuan, dan pembagian kerja secara seksual. Beberapa konsep ini akan dijelaskan satu
persatu.

SUARA

Suara berarti sesuatu tentang identitas kita,ketika kita menemukan suara kita atau
menggunakan suara kita, itu berarti bahwa kita memproyeksikan kepada orang lain siapa kita dan
tentang apa kita semua. Menurut Jason Stanley, seorang profesor filsafat di Universitas Rutgers,
mencatat bahwa pembungkaman adalah merampok orang lain dalam kemampuan untuk terlibat
dalam tindak tutur, seperti pernyataan.

SUDUT PANDANG

Dalam konsep teori, sudut pandang adalah lokasi, bersama oleh sebuah kelompok yang
mengalami status orang luar, dalam struktur sosial, yang meminjamkan pemahaman tertentu
mengenai pengalaman hidup seseoran. Konsep keterlibatan diperkuat oleh peneliti yang
membedakan antara sudut pandang dan perspektif, kedua hal ini sangat mudah membingungkan
tetapi ada sebuah perbedaan penting. Sebuah perspektif yang dibentuk oleh pengalama yang
terstruktur oleh tempat seseorang dalam hierarki sosial. Sebuah perspektif dapat menyebabkan
pencapaian sudut pandang, tetapi hanya sebatas usaha.Sementara sudut pandang harus dicari
secara aktif, diacapai melalui pengalaman penindasan diatambahkan ke keterlibatan aktif,refleksi,
dan pengakuan terhadap implikasi politik dari pengalaman tersebut.

PENGETAHUAN MENURUT SITUASI

Memiliki arti bahwa pengetahuan setiap orang didasarkan pada konteks dan keadaan.
Konsep ini menujukkan bahwa pengetahuan adalah beberapa kejadian dan terletak dalam
pengalaman. Seperti halnya, apa yang orang pelajari sebagai seorang pengasuh dalam merawat
orang tua yang sakit pasti akan berbeda dengan orang yang tumbuh sebagai tukang listrik karena
pengalaman dan situasi yang berbeda. Gagasan pengetahuan menurut situasi mengingatkan kita
bahwa apa yang kita ketahui dan lakukan adalah bukan bawaan melainkan merupakan hasil belajar
dari pengalaman kita.
PEMBAGIAN KERJA SECARA SESKUAL

Konsep ini meruapkan konsep penting dalam teori ini, pembagian kerja secara seksual
merupakan alokasi pekerjaan yang dibagi sesaui dengan jenis kelamin. Ini memiliki keterkaitan
dengan suatu pandangan feminis yang berbicara mengenai perempuan yang hanya diposisikan
sebagai pekerja domestik sehingga terjadi adanya tidak kesetraan gender. Sehingga dalam teori ini
menyoroti eksploitasi dan distorsi yang terjadi ketika tenaga kerja dibagi berdasarkan jenis
kelamin.

Anda mungkin juga menyukai