INTEGRATED COMMUNICATION
Disusun oleh :
Debbie Sianturi
Fachrudin
Zhafira Nadiah
Teori Akomodasi Komunikasi adalah salah satu teori komunikasi yang dikemukakan
oleh Howard Giles beserta teman-temannya berkaitan dengan penyesuaian interpersonal
dalam sebuah interaksi komunikasi. Mereka mengemukakan teori ini pada tahun 1973,
berawal dari pemikiran Giles mengenai model “mobilitas aksen” yang didasarkan pada
berbagai aksen yang dapat didengar pada sebuah situasi wawancara. Mereka mengamati
bahwa dalam sebuah wawancara, dengan pewawancara dan narasumber yang memiliki
perbedaan latar belakang budaya, ada kecenderungan seseorang yang diwawancarai akan
cenderung menghormati orang dari institusi tertentu yang sedang mewawancarainya. Dalam
kondisi tersebut orang yang sedang diwawancarai akan cenderung mengikuti alur
pembicaraan dari pewawancara. Pada saat itulah orang yang sedang diwawancarai sedang
melakukan akomodasi komunikasi. Dengan kata lain teori ini erat kaitannya dengan masalah
kebudayaan.
b).Divergensi
Divergensi adalah strategi komunikasi yang berbeda dengan strategi komunikasi
akomodasi konvergensi, sebab dalam strategi ini orang cenderung lebih menekankan
perbedaan antara kita dengan orang lain.
Divergensi memiliki cabang poin :
- Maintenance
Suatu strategi untuk bertahan dalam gaya komunikasi asli kita terlepas dari perilaku
komunikasi yang lain.
- Over Accomodation
Suatu pembicaraan yang bersifat cenderung menggurui dan merendahkan; perhatian
berlebih terhadap kejelasan vokal atau amplifikasi, penyederhanaan pesan, atau
pengulangan.
5. Orientasi Awal
Orientasi awal adalah predisposisi atau kecenderungan untuk menerima atau menolak
sesuatu
berdasarkan pengalaman dan norma yang dimiliki seseorang untuk berfokus pada identitas
individu atau identitas kelompok. Berikut adalah 5 faktor yang mengilustrasikan pada
komunikasi antar generasi:
8. Teori Atribusi
Giles mengambil dari teori atribusi untuk memberi pencerahan tentang bagaimana kita
akan menginterpretasikan perilaku konvergen atau divergen rekan percakapan kita. Dalam
dua teori atribusi yang berbeda, seorang psikolog sosial dari Universitas Kansas, Fritz Heider
dan Harold Kelley dari UCLA menyarankan bahwa kita menghubungkan disposisi internal
dengan perilaku yang kita lihat yang berlaku.
Teori ini ada ketika beberapa dekade yang lalu masyarakat mengalami konflik dan
mereka ingin menanggulangi konflik tersebut. teori menjelaskan bahwa akar konflik
didasarkan pada identitas manajemen pada tingkat individu dan budaya. Berbagai aspek dari
individu dan identitas budaya yang digambarkan sebagai wajah. Muka umum adalah gambar
dari seorang individu atau kelompok masyarakat yang mereka melihat dan menilai
berdasarkan norma-norma dan nilai-nilai budaya. Konflik yang terjadi ketika individu atau
kelompok memiliki wajah yang seperti terancam.
Teori yang diciptakan oleh Stella Ting-Tommey ini dapat membantu menjelaskan
perbedaaan-perbedaan budaya dan merespon konflik yang ada di dalamnya. Ting-Tommey
berasumsi bahwa seseorang dalam setiap budayanya selalu menampakkan rupa negosiasi.
Cara ini bertujuan sebagai kiasan dalam image publik mereka, yang kita inginkan orang lain
untuk melihat perlakuan kita. Facework identik dengan pesan verbal dan non-verbal yang
berguna untuk membantu mempertahankan dan mengembalikan yang hilang, serta untuk
menegakkan kehormatan seseorang. Dalam teori ini ada dua inti variable yang harus
diperhatikan, yaitu individualisme dan kolektifisme. Beberapa budaya mungkin akan lebih
mengutamakan individualism dalam bermasyarakat dibanding dengan komunitas atau
berkelompok. Setiap orang akan memiliki rasa untuk menjadi seorang yang individualis atau
mungkin berkelompok. Akan tetepi, lama kelamaan hal itu akan dipengaruhi oleh faktor luar
seperti kebudayaan yang mengikatnya.
The Multiples Faces of Face, meskipun kebijaksaan yang popular dibarat salam muka
sebagai keasyikan orang Asia, Ting-Toomey dan peneliti lain yang berhubungan mencari
untuk dijadikan perhatian dunia. Itu karena face sebagai sebuah perluasan dari konsep diri,
mudah diserang, dasarb sumber identitas. Face bermakna berbeda, bergantung pada budaya
dan identitas individu.
Menurutnya, ada tiga syarat ketrampilan yang harus dipenuhi agar komunikasi
antarbudaya bisa efektif, yaitu: Knowledge─pengetahuan, adalah dimensi terpenting dalam
kompetensi facework. Untuk bisa berkomunikasi dengan orang baru, kita harus tahu hal-hal
yang berbeda antara kita dengannya. Dari situ kita bisa mengatur strategi apa yang bisa kita
gunakan untuk berkomunikasi dengannya. Mindfulness─artinya waspada terutama pada
asumsi, sudut pandang, dan kecenderungan etnik kita sendiri ketika kita memasuki situasi
yang tidak biasa (unfamiliar situation). Minfulness adalah memperhatikan perspektif dan
interpretasi orang lain yang asing bagi kita dengan memandang intercultural
episode. Interaction skill─yaitu kemampuan untuk berkomunikasi secara tepat, efektif, dan
adaptif dalam setiap situasi yang kita alami.
2. Catatan Kritis
Contoh yang diberikan dalam teori ini menggambarkan budaya kolektivisme orang
Jepang dan budaya individualisme orang Amerika Serikat. Namun sangat berbahaya
menciptakan stereotype yang general bagi masyarakat Jepang atau Amerika Serikat.
Kenyataannya, ketika digambarkan dalam satu garis lurus, ada area yang overlapping atau
tumpang tindih antara perilaku kolektivisme atau individualisme masyarakat Jepang maupun
Amerika Serikat.
3. Penerapan
Teori ini menjelaskan tentang perbedaan budaya dalam mengatasi konflik antar budaya
dalam konteks komunikasi. Teori ini bisa diterapkan dalam keadaan seseorang individu di
kalangan masyarakat yang berbudaya berbeda dalam komunikasi interpersonal, artinya
individu dapat menerapakan dirinya dalam suatu komunitas dengan perbedaan kelompok
sehingga terjadilah negosiasi antar individu dalam komunikasi interpersonal. Kelompok
biasanya mengalami konflik dikarenakan perbedaan kebudayaan. Konflik dalam teori ini bisa
dikatakan sebagai miss communication dimana adanya pesan yang tidak tersampaikan yang
merupakan akibat dari perbedaan konsep setiap individu.
Pada umumnya para anggota co-cultural memiliki satu dari tiga tujuan ketika
berinteraksi dengan para anggota kelompok dominan, yaitu assimilation (menjadi bagian dari
kultur dominan), accommodation (berusaha agar para anggota kelompok dominan dapat
menerima para anggota co-cultural), dan separation (menolak kemungkinan ikatan bersama
dengan para anggota kelompok dominan).
Ada tujuan fungsional ketika mereka beradaptasi antar budaya. Sesuai dengan
proposisi-proposisi teori adaptasi antar budaya, maka komunikasi yang beradaptasi secara
fungsional dan setara dalam adaptasi dapat memberi fasilitas pada penyelesaian tugas.
Sementara, komunikasi yang tidak adaptif fungsional membawa pada invokasi perbedaan
kultural dan memperlambat penyelesaian tugas. Ketika para komunikator harus bekerjasama,
ada kesetaraan dalam mengadaptasi komunikasi. Penggunaan strategi persuasif dapat
membawa pada adaptasi komunikasi. Ketika situasi mendukung salah satu komunikator atau
satu komunikator lebih berkuasa, maka komunikator lainnya akan memiliki beban untuk
beradaptasi. Sementara itu, ketika lebih banyak perilaku adaptif para komunikator, maka
lebih banyak keyakinan kultural (Gudykunst, 2002).
Tujuan beradaptasi tentunya adalah untuk bisa menyesuaikan diri yang mana akhirnya
dapat memperoleh kenyamanan berada dalam suatu lingkungan yang baru. Teori yang telah
dijelaskan di atas merupakan salah satu teori yang dapat membantu terjadinya proses adaptasi
antar budaya di mana mengharapkan tercapainya keefektifan komunikasi pada akhirnya
antara individu yang berbeda budaya. Meskipun teori tersebut dapat digunakan dalam
menjelaskan proses adaptasi antar budaya, namun dalam prosesnya memiliki perbedaan satu
sama lain. Jika kesemua faktor dalam teori-teori adaptasi tersebut telah berjalan dengan baik
maka tujuan dalam proses adaptasi antar budaya dapat tercapai.
Sebagian besar dari manusia percaya bahwa antara perempuan dan pria memiliki cara
yang berbeda dalam berinteraksi. Salah satunya adalah stereotip bahwa wanita lebih banyak
berbicara daripada pria. Kendati stereotip ini dapat merugikan pandangan terhadap salah satu
gender, namun secara berkelanjutan label tersebut masih melekat. Selain itu, antara pria dan
wanita memiliki perbedaan fokus dan dianggap pula memiliki pandangan yang berbeda
ketika menyikapi suatu hal. Dibalik perbedaan tersebut, ternyata kesamaan antar kedua
gender ternyata memiliki porsi yang lebih banyak daripada perbedaan.
A. Genderlect Style
Genderlect style merupakan teori yang menjelaskan bahwa gender memiliki perbedaan
komunikasi yang terjadi antara laki-laki dan perempuan. Deborah Tanen menjadi sosok
penting. Ia merupakan proffesor Linguistik yang khusus meneliti tentang perbedaan gaya
percakapan antara masing-masing gender. Dalam penelitiannya, ia tidak meneliti tentang
bagaimana pria atau wanita berbicara, namun lebih ke bagaimana mereka dapat
menyampaikan pesan dalam percakapan. Percakapan yang terjadi antara pria dan wanita
masuk ke dalam komunikasi lintas budaya.
Hal yang berbeda yang dilakukan perempuan yaitu (1) Perempuan berbicara untuk
menciptakan dan memelihara hubungan, (2) Perempuan senang melibatkan orang lain dalam
percakapan mereka dan mereka butuh untuk ditanggapi, (3) Perempuan harus menunjukkan
kepekaan mereka terhadap orang lain dan juga dalam sebuah hubungan. Ada hal yang juga
patut dipertimbangkan dalam sebuah pembicaraan. Perempuan sangat menghargai
pembicaraan yang baik, sementara pria menghargai laporan bicara.
2. Menceritakan kisah
Tanen mengakui bahwa kisah-kisah yang dibicarakan orang, berhubungan dengan
harapan, kebutuhan, dan nilai mereka. Pria menggunakan cerita kisah daripada wanita.
Terutama dalam hal lelucon. Hal ini dibutuhkan pria untuk bernegosiasi terhadap
statusnya. Selain itu, pria melalui ceritanya bisa hadir sebagai sosok yang lucu. Ketika
mereka tidak hadir sebagai sosok yang lucu, mereka akan menceritakan kisah dimana
mereka berada atau situasi dimana mereka menjadi pahlawan. Pria senang
menggambarkan kemampuan dirinya bertindak sendiri menghadapi rintangan besar.
sementara itu, wanita cenderung mengekspresikan keinginan mereka untuk komunitas
dan menceritakan kisah tentang orang lain. Bahkan, mereka jarang menghadirkan
karakter wanita dalam ceritanya. Malah, mereka sering menggambarkan dirinya
melakukan sesuatu yang bodoh daripada bertindak dengan cara yang cerdas. Tindakan
mengecilkan diri ini untuk mendapatkan dukungan dari jaringan dukungannya atau
pendengarnya.
3. Mendengarkan
Ketika seorang wanita mendengarkan cerita atau penjelasan, mereka cenderung
melakukan kontak mata, mengangguk, dan bergumam. Mereka juga menghadirkan
tanggapan lain yang secara tersirat menggambarkan bahwa mereka mendengarkan.
Lain halnya dengan pria. Mereka peduli dengan status dan ketika mendengarkan,
mereka tidak mau menempatkan diri secara submisif atau berada di bawah. Mereka
harus memperlihatkan penegasan setuju atau tidak setuju. Akhirnya, sering muncul
kesan oleh wanita, bahwa pria tidak mendengarkan apa yang mereka ucapkan. Ketika
seorang wanita yang mendengarkan, akan menambahkan kata persetujuan untuk
menunjukkan dukungannya terhadap apa yang disampaikan si pembicara.
4. Mengajukan pertanyaan
Menurut Tannen dalam Griffin (435:2012) Perempuan pada umumnya terlebih dahulu
mengungkapkan persetujuan di awal sesi bertanya atau ketika mereka menginterupsi.
Hal ini menjadi upaya kooperatif perempuan sebagai tanda bahwa mereka setuju. Pada
lakilaki, interupsi justru dinilai sebagai upaya untuk menunjukkan kekuatan dalam
memperoleh kekuasaan atau mengendalikan pembicaraan. Perempuan ketika
mengajukan pertanyaan menjadi upaya untuk memantapkan proses hubungan dan juga
upaya untuk memperhalus penolakan atau ketidaksetujuan terhadap lawan bicara. Pria
menggunakan proses bertanya untuk mencari kesempatan dan menjadikan lawan
bicaranya menjadi lemah. Perempuan mengajukan pertanyaan ketika mereka ingin
menunjukkan minat, kesepakatan daam subjek yang sedang dibicarakan. Sementara laki
laki mengajukan pertanyaan untuk menantang lawan bicara atau menguji pengetahuan
lawan bicara akan subjek yang sedang dibicarakan. Laki-laki cenderung enggan
menanyakan pertanyaan dalam situasi dimana mereka sedang memerlukan bantuan. Hal
ini dianggap laki-laki sebagai upaya menurunkan status mereka. Sebaliknya,
perempuan senang meminta bantuan orang lain sebagai upaya untuk mendapatkan
petunjuk mengenai dimana lokasi yang sedang mereka cari. Perempuan juga tidak
khawatir dengan stereotip akan penurunan status mereka hanya karena menanyakan
sesuatu untuk mendapatkan informasi yang mereka inginkan.
5. Konflik
Tannen dalam Griffin (437: 2012) menyebutkan, banyak pria lebih nyaman dengan
konflik dan karenanya cenderung menahan diri dalam pertikaian. Bagi kebanyakan
wanita, justru konflik merupakan ancaman bagi hubungan dan dihindari dengan segala
cara. Tannen juga menyebut pria memiliki sistem peringatan dini dan diarahkan untuk
mendeteksi tanda-tanda bahwa mereka diberitahu apa yang harus dilakukan.
Selain lima poin tadi, yang tak kalah pentignya yaitu penggunaan komunikasi Non
Verbal. Pada konteks ini, Tannen tidak memperluas hubungan perbedaan status dengan cara
di mana pria dan wanita berkomunikasi secara non verbal. Susan Pease Gadoua dalam Griffin
(437:2012) menyebutkan sulit untuk menganalisis cara pria dan wanita berbicara satu sama
lain tanpa memasukkan komponen non verbal. Gadoua menceritakan pengalamannya sebagai
konselur pernikahan. Begitu banyaknya permasalahan dalam ruang komunikasi suami dan
istri, dia bahkan harus membuat skenario khusus untuk membantu pasangan untuk mengatasi
tantangan serius atau mengarungi celah dalam kehidupan mereka. Setiap pasangan memiliki
cara berbeda untuk menyelesaikan masalah. Perempuan memiliki keinginan untuk
menyelesaikan masalah saat itu juga. Mereka tidak akan bercinta ketika belum merasa
terhubung dengan pasangannya pasca konflik. Sementara pria merasa bisa menyelesaikan
konflik dengan bercinta dan berbicara kemudian.
B. Standpoint Theory
Konsep Teori Standpoint yang dikenalkan oleh Sandra Harding dan Julia T. Griffin
(2012: 447) mengatakan bahwa “A standpoint is a place from which to critically view the
world around us” Standpoint adalah tempat kita dalam melihat serta menilai segala sesuatu di
dunia sekeliling kita. Ketika kita berhubungan dengan orang lain, posisi pijakan itu akan
mengarahkan fokus perhatian kita pada lanskap ekonomi, politik, maupun sosial budaya
tertentu.Aroma ekonomi, politik, dan sosial-budaya yang selama ini kita.
Teori ini berakar pada beberapa teori lain yang muncul sebelumnya. Di antaranya
berasal dari seorang filsuf Jerman Georg Hegel yang menganalisis hubungan antara tuan dan
budak (master-slave relationship). Hasil analisisnya mengatakan “What people ‘know’ about
themselves, others, and society depends on which group they are in”. Misalnya, narapidana
dan penjaga penjara mempunyai interpretasi yang berbeda terhadap apa yang dinamakan
hukum, penjara, hukuman, dan bahkan hubungan kekeluargaan. Menurut konsepsi Hegel
dalam Griffil (2012: 448) lebih jauh bisa dikatakan bahwa siapa pun pihak yang mempunyai
kuasa besar di masyarakat, dia lah nanti yang akan menentukan sejarah (the ones who write
the history books).
Akar teori selanjutnya yang masih satu jalur dengan Hegel adalah proletarian
standpoint dari Karl Marx dan Friedrich Engels. Griffin (2012: 448-449) menjelaskan bahwa
di dalam konteks determinisme ekonomi, mereka menegaskan bahwa “the impoverished poor
who provide sweat equity are society’s ideal knowers, as long as they understand the class
struggle in which they are involved”. Menurut mereka, golongan marginal yang turut serta
dalam memperjuangkan kelas sosial mereka --menuntut keadilan, memiliki pengetahuan yang
lebih jernih dan objektif mengenai keadaan sosial (ketimbang pihak-pihak yang
memarginalkan mereka).
Menurut Marx dan Engels pihak yang termarginalkan tersebut adalah kaum proletar.
Posisi kaum proletar dalam Teori Standpoint Harding diadopsi dan digantikan oleh kaum
wanita --yang dihadapkan dengan sistem mapan patriarkal. Selanjutnya, Geoerge Herberd
Mead dalam Setiawan (2014:170) mengatakan bahwa budaya memengaruhi individu-
individu melalui proses komunikasi (interaksionisme simbolik). Julia Wood memetik
pendapat ini pada Teori sudut pandangnya, yaitu bahwa gender merupakan buah dari
konstruksi sosial dan kultural, tidak hanya sekedar simbol biologis. Menurut Littlejohn
(2009:90), Teori sudut pandang juga memperkenalkan unsur kekuasaan ke masalah identitas.
Orang-orang yang terpinggirkan atau ditundukkan tidak hanya melihat dunia melalui
berbagai sudut pandang mereka yang mengalami dan memahaminya dari sudut pandang
mereka sendiri tetapi mereka juga melihatnya dari sudut pandang orang-orang yang berkuasa.
Menurut Janet Saltzman Chafetz (1997) dalam West & Turner (2017:262) ada empat
ciri teori feminis :
Asumsi pertama mengemukakan gagasan bahwa lokasi individu pada bentuk struktur
kelas dapat membentuk dan membatasi pemahaman hubungan sosial mereka. Asumsi kedua,
Standpoint Theory berpendapat bahwa semua sudut pandang adalah parsial atau memihak,
namun kelompok penguasa dapat merugikan mereka yang berada pada posisi bawahan. Poin
tersebut kemudian membawa kita pada asumsi yang ketiga yang menyatakan bahwa
kelompok penguasar dapat menyusun kehidupan untuk menghilangkan pilihanpilihan dari
kelompok bawahan. Sedangkan asumsi keempat menegaskan bahwa kelompok bawahan
harus berupaya keras untuk memperjuangkan pandangan mereka tentang kehidupan sosial.
Asumsi ini membawa kita pada asumsi akhir yang menegaskan bahwa upaya ini akan
menghasilkan visi yang lebih akurat pada kelompok bawahan yang tertekanan oleh kelompok
penguasa. Dengan visi tersebut, kelompok bawahan dapat melihat kekejaman dalam tatanan
sosial dan menuntut akan perbaikan dunia. Serangkaian asumsi ini mengarah pada
kesimpulan bahwa meskipun semua sudut pandang atau standpoint memiliki keberpihakan,
sudut pandang pada kelompok yang tertindas dapat menjadi perhatian bagi kelompok yang
berkuasa.
West and Turner (2017 : 265 - 266) menjelaskan konsep utama dari teori standpoint
yang terbagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu:
1. Sudut Pandang
Sudut pandang (standpoint) adalah posisi yang didapat dan berasal dari wilayah
sosial yang berpengaruh pada aspek pemahaman kehidupan seseorang. Menurut
Hartsock dalam West & Turner (2017:266) sudut pandang dibentuk dari
pengalaman-pengalaman yang terstruktur oleh posisi seseorang dalam hierarki
sosial. Sebuah perspektif dapat mencapai sudut pandang namun hanya melalui
usaha. Sudut pandang bisa didapatkan setelah sesorang berpikir, berinteraksi, dan
berusaha. Sudut pandang harus dicari dengan aktif, sudut pandang dimiliki oleh
mereka yang telah mengalami penindasan. Sudut pandang diperoleh melalui
pengalaman penindasan, refleksi dan pengenalan dari implikasi politik dari semua
pengalaman-pengalaman tersebut. Sudut pandang tidak lepas dari konteks sosial
dan politik. Hal ini karena sudut pandang ditentukan oleh lokasi sosial yang
spesifik, mereka memihak, atau tidak sempurna. Kejelasan pandangan ini juga
memposisikan hierarki yang berada lebih rendah menguasai ketelitian atau
akurasi paling besar pada sudut pandang mereka, merujuk kepada kemampuan
untuk melebihi batas dari pandangan parsial dan melihat di luar lokasi spesifik
seseorang.
2. Situated Knowledge
Situated knowledge adalah pengetahuan seseorang yang didasarkan pada konteks
dan keadaan. Pengetahuan yang luas tergantung pada pengalaman. Apa yang dipelajari
oleh seseorang didapat dari posisi dan peran yang diembannya dalam kehidupan sosial.
Situated knowlegde adalah hasil dari pembelajaran kita dari pengalaman yang dialami.
Komunitas lokal yang berbeda dapat menentukan sudut pandang yang sedikit banyak
berbeda, tergantung pada pengalaman yang pernah dilalui.
Sumber :
Griffin, EM. 2012. A’First Look at Communication Theory: Eight Edition. Mc Graw Hill.
New York.
Little john, Stephen W & Karen A. Foss. 2009. Teori Komunikasi (theories of human
communication) edisi 9. Jakarta: Salemba Humanika.
West, Ricard & Lynn H. Turner. 2017. Pengantar Teori Komunikasi Analisis dan Aplikasi.
Jakarta: Salemba Humanika.
INTEGRATED COMMUNICATION
Seorang pengusaha sebaiknya mengenal dulu jenis produk/jasa yang ingin diusahakan di
Indonesia dan dijadikan sebagai sarana lapangan pekerjaan bagi masyarakat Indonesia.
Apakah produk/jasa tersebut dibutuhkan di Indonesia? Bagaimana dengan kebiasaan dan
gaya hidup orang Indonesia pada umumnya? Jika ada manfaat produk/jasa, maka perlu
dibuatkan sketsa pengembangan usahanya. Dan pada akhirnya sang pengusaha menyusun
bagaimana mengkomunikasikan produk/jasa yang dijualnya sehingga mendapatkan pembeli.
Dalam hal ini, pengusaha ini sudah masuk pada tahap promosi, maka perlu disusun perangkat
yang dibutuhkan dalam promosi ini. Mungkin dengan menyusun kalimat dalam
memperkenalkan produk/jasa, harga produk/jasa, tempat untuk mendapatkan produk/jasa dan
iklan produk/jasa. Dan perlu diperhatikan untuk menggabungkan dengan gaya hidup
masyarakat dan dikaitkan dengan produk/jasa yang ada.
Ada beberapa tahap yang sebaiknya ditempuh dalam melakukan Integrated Communication
yaitu :
1. Analisa Pasar
2. PEST (Politik, Ekonomi, Sosial, Teknologi)
3. Analisa Kompetitif
4. SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat)
5. Positioning
6. Tujuan
7. Perencanaan Media
8. CSR
9. Arahan Kreatifitas
10. Launching
11. Evaluasi
Maksud dan tujuan Integrated Communication disini adalah agar pesan yang dimaksud dapat
diterima secara utuh dan penerima pesan mendapatkan pemahaman secara terpadu.
Jika suatu komunikasi tidak lengkap, maka informasi yang diterima pun hanya setengah-
setengah. Ini dapat berakibat pada resiko yang diterima. Maka sebagai antisipasi, suatu pesan
hendaknya dapat saling terkait satu sama lain sehingga memberikan informasi sepenuhnya.