Anda di halaman 1dari 22

INTERCULTURAL COMMUNICATION

GENDER & COMMUNICATION

INTEGRATED COMMUNICATION

TUGAS KELOMPOK MATA KULIAH TEORI & KOMUNIKASI

Disusun oleh :

Debbie Sianturi

Fachrudin

Zhafira Nadiah

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS FALSAFAH DAN PERADABAN
UNIVERSITAS PARAMADINA
JAKARTA
2019
INTERCULTURAL COMMUNICATION
Disusun Oleh : Fachruddin

Chapter 34. Teori Akomodasi Komunikasi

1. Pengertian Teori Akomodasi Komunikasi

Teori Akomodasi Komunikasi adalah salah satu teori komunikasi yang dikemukakan
oleh Howard Giles beserta teman-temannya berkaitan dengan penyesuaian interpersonal
dalam sebuah interaksi komunikasi. Mereka mengemukakan teori ini pada tahun 1973,
berawal dari pemikiran Giles mengenai model “mobilitas aksen” yang didasarkan pada
berbagai aksen yang dapat didengar pada sebuah situasi wawancara. Mereka mengamati
bahwa dalam sebuah wawancara, dengan pewawancara dan narasumber yang memiliki
perbedaan latar belakang budaya, ada kecenderungan seseorang yang diwawancarai akan
cenderung menghormati orang dari institusi tertentu yang sedang mewawancarainya. Dalam
kondisi tersebut orang yang sedang diwawancarai akan cenderung mengikuti alur
pembicaraan dari pewawancara. Pada saat itulah orang yang sedang diwawancarai sedang
melakukan akomodasi komunikasi. Dengan kata lain teori ini erat kaitannya dengan masalah
kebudayaan.

2. Strategi Komunikasi Akomodasi


Strategi komunikasi akomodasi memiliki 2 poin yaitu :
a). Konvergensi
Konvergensi adalah strategi yang kita gunakan untuk menyesuaikan perilaku komunikasi
kita
sedemikian rupa sehingga seolah menjadi lebih mirip dengan orang lain.

b).Divergensi
Divergensi adalah strategi komunikasi yang berbeda dengan strategi komunikasi
akomodasi konvergensi, sebab dalam strategi ini orang cenderung lebih menekankan
perbedaan antara kita dengan orang lain.
Divergensi memiliki cabang poin :
- Maintenance
Suatu strategi untuk bertahan dalam gaya komunikasi asli kita terlepas dari perilaku
komunikasi yang lain.
- Over Accomodation
Suatu pembicaraan yang bersifat cenderung menggurui dan merendahkan; perhatian
berlebih terhadap kejelasan vokal atau amplifikasi, penyederhanaan pesan, atau
pengulangan.

3. Motivasi yang berbeda antara Konvergensi dan Divergensi


    Kita cenderung menginginkan orang lain berpikiran baik tentang kita serta menghormati
kita.
Dengan cara menyesuaikan komunikasi kita dengan komunikasi mereka agar terlihat
seperti
kita sudah menyesuaikan diri dengan mereka dan lingkungan mereka. Jadi dari tulisan
diatas,
rasa ingin kita untuk di hormati dan supaya orang lain menerima kita adalah dengan cara
konvergensi yaitu menyesuaikan cara berkomunikasi kita agar mirip dengan mereka
supaya
mendapat respon positif dari mereka.

4. Teori Identitas Sosial


   Identitas sosial kita didasarkan pada perilaku antarkelompok kita. Ketika kita bergabung
pada
suatu kelompok dan memiliki hubungan dengan kelompok lain, orang lain belum tentu
paham
sebagai fungsi dari fenomena individual. Keanggotaan di kelompok kita, baik itu asosiasi
formal ataupun kesetiaan yang hanya ada di pikiran kita bisa saja sangat mempengaruhi
komunikasi kita. Teori ini lebih cenderung menggambarkan sebab akibat dari Divergensi,
dimana penekanan perbedaan menyebabkan respon buruk dari orang lain terhadap kita.

5. Orientasi Awal
Orientasi awal adalah predisposisi atau kecenderungan untuk menerima atau menolak
sesuatu
berdasarkan pengalaman dan norma yang dimiliki seseorang untuk berfokus pada identitas
individu atau identitas kelompok. Berikut adalah 5 faktor yang mengilustrasikan pada
komunikasi antar generasi:

1. Konteks Budaya Kolektif


2. Sejarah Interaksi yang Menyedihkan
3. Stereotip
4. Norma untuk Perawatan Kelompok

5. Solidaritas Kelompok yang Tinggi / Ketergantungan Kelompok yang Tinggi

6. Evaluasi Penerima Konvergensi dan Divergensi


Setelah merevisi, penyajian kembali, dan melakukan penelitian selama 35 tahun, Giles
dan teman-temannya mempercayai apa yang ditulisnya tentang akomodasi dalam artikel
besar pertamanya, bahwa orang-orang yang berkomunikasi setiap harinya menganggap kalau
konvergensi itu positif, sementara divergensi selalu dianggap negatif. Orang-orang berasumsi
bahwa pembicaraan konvergen dipandang lebih kompeten, menarik, hangat dan kooperatif.
Sementara itu, divergensi lebih dipandang sebagai bentuk penghinaan, tidak sopan, dan lain-
lain.
Penelitian Communication Accomodation Theory ini membuktikan bahwa akomodasi
berada di mata dan telinga orang yang menyaksikannya. Hal yang paling terpenting itu bukan
bagaimana kita menyatu ataupun menyimpang, tetapi bagaimana orang lain merasakan
perilaku dari kita, bagaimana orang lain merasa ada keselarasan dalam berkomunikasi.

7. Akomodasi Obyektif Versus Subyektif


Giles menggambarkan kesenjangan sebagai perbedaan antara akomodasi obyektif dan
subyektif. Misalnya: Aksen yang digunakan, kecepatan berbicara, nada bicara, dan waktu
jeda pembicara sebenarnya bisa bergeser ke gaya bicara rekan percakapan , tetapi rekan
mungkin menganggapnya berbeda. Mengingat perbedaan ini, Giles mengatakan bahwa
evaluasi penerima subyektif itu sangatlah penting, karena itulah yang akan membentuk
respon lawan bicara.
Dari sudut pandang obyektif, apa yang mengejutkan mereka karena gaya komunikasi
kelompok lain yang disukai mungkin sangat meleset dari sasaran.

8. Teori Atribusi
Giles mengambil dari teori atribusi untuk memberi pencerahan tentang bagaimana kita
akan menginterpretasikan perilaku konvergen atau divergen rekan percakapan kita. Dalam
dua teori atribusi yang berbeda, seorang psikolog sosial dari Universitas Kansas, Fritz Heider
dan Harold Kelley dari UCLA menyarankan bahwa kita menghubungkan disposisi internal
dengan perilaku yang kita lihat yang berlaku.

Chapter 35. Teori Negosiasi Wajah

1. Pengantar Teori Face-Negotiation Theory

Teori ini ada ketika beberapa dekade yang lalu masyarakat mengalami konflik dan
mereka ingin menanggulangi konflik tersebut. teori menjelaskan bahwa akar konflik
didasarkan pada identitas manajemen pada tingkat individu dan budaya. Berbagai aspek dari
individu dan identitas budaya yang digambarkan sebagai wajah. Muka umum adalah gambar
dari seorang individu atau kelompok masyarakat yang mereka melihat dan menilai
berdasarkan norma-norma dan nilai-nilai budaya. Konflik yang terjadi ketika individu atau
kelompok memiliki wajah yang seperti terancam.

Face Negotiation Theory dikemukakan pertama kali oleh Stella Ting-Toomey pada


tahun 1985. Teori ini membantu mengelola konflik budaya yang berbeda dalam aspek
komunikasi, selain itu teori ini dikembangkan  sebagai cara untuk memprediksi bagaimana
seseorang akan menyempurnakan identitas mereka (facework) dalam kebudayaan yang
berbeda. Sifat alami yang akan muncul pada tiap orang adalah bagaimana mereka
memperlihatkan identitas mereka dan bisa dianggap keberadaanya oleh orang lain. Face, atau
bisa juga disebut sebagai pencitraan diri atau rasa positif yang tertanam dalam diri kita
mengenai budaya kita saat kita dikenalkan atau berada dalam budaya lain. Sedangkan
facework merupakan perilaku komunikasi yang bertujuan untuk melindungi pencitraan diri
kita di depan orang lain.

Teori yang diciptakan oleh Stella Ting-Tommey ini dapat membantu menjelaskan
perbedaaan-perbedaan budaya dan merespon konflik yang ada di dalamnya. Ting-Tommey
berasumsi bahwa seseorang dalam setiap budayanya selalu menampakkan rupa negosiasi.
Cara ini bertujuan sebagai kiasan dalam image publik mereka, yang kita inginkan orang lain
untuk melihat perlakuan kita. Facework identik dengan pesan verbal dan non-verbal yang
berguna untuk membantu mempertahankan dan mengembalikan yang hilang, serta untuk
menegakkan kehormatan seseorang. Dalam teori ini ada dua inti variable yang harus
diperhatikan, yaitu individualisme dan kolektifisme. Beberapa budaya mungkin akan lebih
mengutamakan individualism dalam bermasyarakat dibanding dengan komunitas atau
berkelompok. Setiap orang akan memiliki rasa untuk menjadi seorang yang individualis atau
mungkin berkelompok. Akan tetepi, lama kelamaan hal itu akan dipengaruhi oleh faktor luar
seperti kebudayaan yang mengikatnya.

Selain individualism-kelompok, ada hal lain yang akan mempengaruhi facework,


yaitu power distance atau kekuatan jarak. Di beberapa kebudayaan di dunia, pasti akan
terdapat tingkatan hierarki yang memisahkan status seseorang secara kuat. Dengan adanya
status ini akan mempengaruhi kekuatan yang dimiliki oleh individu dan mengikat apa yang
bisa dilakukan oleh mereka. Akan tetapi memang ada pula budaya yang tidak terlalu
mementingkan hierarki di dalamnya. Kekuatan yang dimiliki dalam kelompok tersebut tidak
akan jauh satu sama lain.

The Multiples Faces of Face, meskipun kebijaksaan yang popular dibarat salam muka
sebagai keasyikan orang Asia, Ting-Toomey dan peneliti lain yang berhubungan mencari
untuk dijadikan perhatian dunia. Itu karena face sebagai sebuah perluasan dari konsep diri,
mudah diserang, dasarb sumber identitas. Face bermakna berbeda, bergantung pada budaya
dan identitas individu.

Ting-Toomey mengidentifikasikan 5 respons yang berbeda pada berbagai situasi,


yaitu Avoiding, Menghindari diskusi dengan anggota kelompok lain mengenai perbedaan
yang dimiliki. Obliging, Memberikan harapan kepada anggota kelompok. Compromising,
Menggunakan give-and-take untuk kesepakan yang dapat dibuat. Dominating, Teguh dalam
mempertahankan pendapat pribadi demi kepentingan pribadi. Integrating, Menukar ketepatan
informasi dengan anggota kelompok untuk memecahkan masalah bersama. Tujuan utama
yang hendak dicapai oleh teori milik Ting-Toomey ini adalah mengidentifikasi bagaimana
orang-orang dengan budaya yang berbeda dapan bernegosiasi (negotiate face) atau
menangani konflik.

Menurutnya, ada tiga syarat ketrampilan yang harus dipenuhi agar komunikasi
antarbudaya bisa efektif, yaitu: Knowledge─pengetahuan, adalah dimensi terpenting dalam
kompetensi facework. Untuk bisa berkomunikasi dengan orang baru, kita harus tahu hal-hal
yang berbeda antara kita dengannya. Dari situ kita bisa mengatur strategi apa yang bisa kita
gunakan untuk berkomunikasi dengannya. Mindfulness─artinya waspada terutama pada
asumsi, sudut pandang, dan kecenderungan etnik kita sendiri ketika kita memasuki situasi
yang tidak biasa (unfamiliar situation). Minfulness adalah memperhatikan perspektif dan
interpretasi orang lain yang asing bagi kita dengan memandang intercultural
episode. Interaction skill─yaitu kemampuan untuk berkomunikasi secara tepat, efektif, dan
adaptif dalam setiap situasi yang kita alami.

2. Catatan Kritis

Contoh yang diberikan dalam teori ini menggambarkan budaya kolektivisme orang
Jepang dan budaya individualisme orang Amerika Serikat. Namun sangat berbahaya
menciptakan stereotype yang general bagi masyarakat Jepang atau Amerika Serikat.
Kenyataannya, ketika digambarkan dalam satu garis lurus, ada area yang overlapping atau
tumpang tindih antara perilaku kolektivisme atau individualisme masyarakat Jepang maupun
Amerika Serikat.

Ting-Toomey memperkenalkan konsep independent dan interdependent dengan


mengacu pada ‘derajat di mana orang akan merasa dirinya adalah manusia otonom atau
terhubung dengan orang lain’. Markus dan Kitayama menyebutnya dengan self-
construal atau self-image.

3. Penerapan

Teori ini menjelaskan tentang perbedaan budaya dalam mengatasi konflik antar budaya
dalam konteks komunikasi. Teori ini bisa diterapkan dalam keadaan seseorang individu di
kalangan masyarakat yang berbudaya berbeda dalam komunikasi interpersonal, artinya
individu dapat menerapakan dirinya dalam suatu komunitas dengan perbedaan kelompok
sehingga terjadilah negosiasi antar individu dalam komunikasi interpersonal. Kelompok
biasanya mengalami konflik dikarenakan perbedaan kebudayaan. Konflik dalam teori ini bisa
dikatakan sebagai miss communication dimana adanya pesan yang tidak tersampaikan yang
merupakan akibat dari perbedaan konsep setiap individu.

Chapter 36. Teori Co Cultural

1. Pengantar Teori Co – Cultural

Co-cultural Theory (teori ko-kultural) dikemukakan oleh Mark Orbe. Co-cultural


merupakan pemikiran teoritik yang menjelaskan tentang perlunya kesetaraan budaya. Mark
Orbe dan kawan-kawan memilih kata co-cultural daripada terminologi subcultural,
subordinate, dan minority, karena istilah co-cultural ingin menunjukkan bahwa tidak ada satu
pun budaya dalam masyarakat yang lebih unggul terhadap budaya yang lain. Teori Co-
cultural dilandasi oleh pemikiran teoritik Muted Group (Cheris Kramarae) dan Standpoint.
Teori Muted Group (Miller, West & Turner, 2007) menjelaskan bahwa bahasa memberikan
kepada para penciptanya (dan orang yang mempunyai kelompok yang sama seperti
penciptanya) kondisi yang lebih baik daripada orang dari kelompok lain yang harus
mempelajari menggunakan bahasa sebaik yang mereka bisa. Kelompok yang dibisukan
menciptakan bahasa mereka sendiri untuk mengkompensasikan persoalan-persoalan mereka.
Teori ini dikembangkan dari perspektif fenomenologi serta didasarkan pada muted
group theory dan standpoint theory. Dua teori ini mengasumsikan adanya kelompok
underrepresented. Dalam muted group theory, kelompok ini merupakan muted group,
sementara dalam standpoint theory, kelompok underrepresented adalah kelompok yang
termarjinalkan. Sebagai teori yang berdasar pada muted group theory dan standpoint theory,
teori co-cultural mengacu pada komunikasi dan interaksi di antara kelompok
underrepresented dan kelompok dominan. Fokus dari teori Co-cultural adalah memberikan
sebuah kerangka dimana para anggota co-cultural menegosiasikan usaha-usaha untuk
menyampaikan suara diam mereka dalam struktur masyarakat dominan. Ada dua premis
teori, yaitu pertama, para anggota kelompok co-cultural termarjinalkan di dalam struktur
masyarakat dominan. Kedua, para anggota kelompok ko-kultural memakai gaya komunikasi
tertentu untuk mencapai keberhasilan ketika dihadapkan pada struktur masyarakat dominan
yang opresif.

2. Tujuan Teori CO-Culture

Pada umumnya para anggota co-cultural memiliki satu dari tiga tujuan ketika
berinteraksi dengan para anggota kelompok dominan, yaitu assimilation (menjadi bagian dari
kultur dominan), accommodation (berusaha agar para anggota kelompok dominan dapat
menerima para anggota co-cultural), dan separation (menolak kemungkinan ikatan bersama
dengan para anggota kelompok dominan).
Ada tujuan fungsional ketika mereka beradaptasi antar budaya. Sesuai dengan
proposisi-proposisi teori adaptasi antar budaya, maka komunikasi yang beradaptasi secara
fungsional dan setara dalam adaptasi dapat memberi fasilitas pada penyelesaian tugas.
Sementara, komunikasi yang tidak adaptif fungsional membawa pada invokasi perbedaan
kultural dan memperlambat penyelesaian tugas. Ketika para komunikator harus bekerjasama,
ada kesetaraan dalam mengadaptasi komunikasi. Penggunaan strategi persuasif dapat
membawa pada adaptasi komunikasi. Ketika situasi mendukung salah satu komunikator atau
satu komunikator lebih berkuasa, maka komunikator lainnya akan memiliki beban untuk
beradaptasi. Sementara itu, ketika lebih banyak perilaku adaptif para komunikator, maka
lebih banyak keyakinan kultural (Gudykunst, 2002).
Tujuan beradaptasi tentunya adalah untuk bisa menyesuaikan diri yang mana akhirnya
dapat memperoleh kenyamanan berada dalam suatu lingkungan yang baru. Teori yang telah
dijelaskan di atas merupakan salah satu teori yang dapat membantu terjadinya proses adaptasi
antar budaya di mana mengharapkan tercapainya keefektifan komunikasi pada akhirnya
antara individu yang berbeda budaya. Meskipun teori tersebut dapat digunakan dalam
menjelaskan proses adaptasi antar budaya, namun dalam prosesnya memiliki perbedaan satu
sama lain. Jika kesemua faktor dalam teori-teori adaptasi tersebut telah berjalan dengan baik
maka tujuan dalam proses adaptasi antar budaya dapat tercapai.

3. Contoh Teori Co-Cultural

Untuk mengambil contoh dari implementasi adaptasi antar budaya, penulis


mengangkat contoh kasus dalam program Summer School di Inha University, Korea Selatan.
Program tersebut diikuti oleh mahasiswa dari berbagai Negara termasuk Indonesia.
Mahasiswa Indonesia sendiri juga terdiri dari berbagai universitas yang ada di Indonesia
seperti Universtas Indonesia, Universitas Gajah Mada, Universitas Sebelas Maret, Universitas
Bina Nusantara, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, dan sebagainya. Tentunya, mahasiswa
Indonesia selain bertemu dengan teman baru sesama dari Indonesia dengan latar belakang
budaya yang berbeda, juga bertemu dengan teman-teman dari berbagai Negara lain yang
sangat berbeda budayanya. Belum lagi, juga harus menghadapi perbedaan budaya dan bahasa
dengan masyarakat asli Korea Selatan. Latar belakang budaya yang berbeda ini masing-
masing dibawa oleh setiap mahasiswa peserta program Summer School, inilah yang disebut
dengan faktor predisposition seperti yang dikatakan Kim.
Sebagian mahasiswa Indonesia yang mengikuti program ini telah cukup mengenal
budaya dan bahasa Korea. Hal ini mungkin terjadi sebagai salah satu hasil dari terpaan
budaya pop Korea atau Korean wave yang cukup menggemparkan di Indonesia. Menurut
penulis, dalam tataran tersebut dapat dikatakan bahwa sebagian mahasiswa asal Indonesia
yang sudah cukup mengenal budaya dan bahasa Korea ini telah melakukan faktor personal
communication atau komunikasi personal. Komunikasi personal ini, seperti telah dikatakan
sebelumnya, berhubungan dengan kompetensi komunikasi pribadi individu yang terdiri dari
aspek kognitif, afektif, dan operasional. Aspek-aspek tersebut membawa individu untuk
menambah kompetensi komunikasinya dengan memahami ataupun menambah
pengetahuannya mengenai budaya dan bahasa setempat, dalam hal ini budaya Korea.
Meskipun program Summer School ini hanya berlangsung kurang dari satu bulan,
namun proses adaptasi tetap dibutuhkan, terlebih karena mahasiswa peserta Summer School
juga harus berinteraksi dengan banyak orang yang berbeda latar belakang budaya dengan
mereka. Jika di lingkungan kampus dan asrama, peserta masih dimudahkan karena panitia
menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar, namun tidak demikian dengan
lingkungan luar kampus. Kebanyakan orang Korea kurang menguasai bahasa Inggris,
sehingga pendatang yang harus beradaptasi untuk mengetahui dan memahami bahasa mereka.
Kompetensi komunikasi individu tadi menjadi sangat berguna jika digunakan dalam tataran
komunikasi sosial ini, terutama jika kita harus berinteraksi dengan masyarakat budaya
setempat/lokal. Inilah yang termasuk dalam faktor komunikasi interpersonal dalam host
social communication.
Interaksi dengan masyarakat setempat juga menambah tingkat proses adaptasi
pendatang. Misalnya saja, semakin sering peserta dari Indonesia berinteraksi dengan
penduduk lokal semakin mereka terbiasa dengan budaya yang berbeda tersebut. Sebagai
contohnya, terdapat peserta yang hanya mengerti sedikit dari bahasa Korea, semakin sering
peserta tersebut berinteraksi dengan penduduk lokal (terutama yang kurang bisa berbahasa
Inggris), peserta tersebut semakin memahami yang mereka katakan meskipun hanya dapat
menangkap sedikit dari kata-kata yang diucapkan penduduk lokal tersebut.
Kompetensi komunikasi individu sendiri, menurut penulis juga turut mempengaruhi
individu dalam mengontrol perasaan ketidaknyamanannya (anxiety) dan ketidakpastiannya
(uncertainty) dalam berinteraksi dengan orang asing atau orang yang berbeda budaya
dengannya. Dengan memahami dan mengetahui tentang budaya dan bahasa Korea, tentu
sebagian besar mahasiswa Indonesia dapat mengontrol ketidaknyamanan dan ketidakpastian
yang mereka rasakan ketika berkomunikasi dengan penduduk lokal. Contohnya, mereka tidak
perlu bingung dan merasa tidak nyaman lagi karena mereka sudah mengetahui jika
berkomunikasi dengan orang yang lebih tua di Korea harus menggunakan bahasa yang
formal, berbeda jika berkomunikasi dengan orang yang seumuran atau lebih muda. Hal ini
dapat disebut juga dengan mindfulness di mana kita menjadi bisa mengkategorikan seseorang
dengan lebih spesifik, lebih memikirkan apa respon perilaku yang tepat untuk orang tersebut,
dan lebih menyadari bahwa orang lain bisa memiliki perspektif yang berbeda dari kita.
Faktor environment juga merupakan faktor yang penting dalam proses adaptasi
menurut Kim. Bagaimana budaya dan masyarakat setempat menerima pendatang, menekan
pendatang agar cepat menyesuaikan diri dengan budaya setempat, juga adanya kekuatan dari
kelompok yang berbudaya sama dengan pendatang sangatlah berpengaruh terhadap motivasi
adaptasi pendatang. Penerimaan tuan rumah, dalam contoh ini penduduk Korea yang cukup
bersahabat berpengaruh terhadap proses adaptasi mahasiswa Indonesia. Terutama beberapa
mahasiswa Indonesia penggemar K-pop yang menjadi peserta dalam Summer School ini,
ingin sekali kembali dan bahkan menetap di Korea, misalnya dengan melanjutkan kuliah. Hal
ini terjadi mungkin juga karena mereka sebagai penggemar K-pop menemukan lingkungan
baru yang sesuai dengan kesukaan dan keinginannya sehingga mereka lebih cepat beradaptasi
dan menyesuaikan diri dengan budaya dan masyarakat setempat.
Teori Co-cultural digunakan oleh para peserta untuk menyampaikan usulan-usulannya
dan pendapatnya kepada masyarakat budaya setempat (Korea). Hal ini terutama terjadi di
kampus dan asrama. Hal ini dapat terjadi juga karena penyelenggara Summer School
meminta masukan dari para peserta untuk kemajuan dan perbaikan program Summer School
di tahun-tahun berikutnya. Dalam program ini interaksi antara kelompok co-cultural yaitu
peserta Summer School dengan kelompok dominan (orang Korea) terjalin dengan baik
karena berusaha saling memahami satu sama lain.
Jangka waktu satu bulan mungkin tidak cukup membuktikan berhasilnya atau
tercapainya tujuan dari adaptasi antar budaya dan keefektifan komunikasi yang terjadi dengan
orang asing. Namun, dalam jangka waktu tersebut, proses adaptasi antar budaya juga telah
berjalan, karena pada dasarnya setiap individu pasti akan melakukan adaptasi ketika
berhadapan dengan lingkungan yang baru. Seperti dikatakan Kim dan Gudykunts, proses
adaptasi merupakan hal yang sudah dimiliki oleh setiap individu secara alami dan universal.
Hal paling penting dalam melakukan adaptasi adalah keterbukaan, kekuatan dan kemampuan
berpikir positif dari pendatang maupun lingkungan setempat.
GENDER AND COMMUNICATION
Disusun oleh Zhafira Nadiah

Sebagian besar dari manusia percaya bahwa antara perempuan dan pria memiliki cara
yang berbeda dalam berinteraksi. Salah satunya adalah stereotip bahwa wanita lebih banyak
berbicara daripada pria. Kendati stereotip ini dapat merugikan pandangan terhadap salah satu
gender, namun secara berkelanjutan label tersebut masih melekat. Selain itu, antara pria dan
wanita memiliki perbedaan fokus dan dianggap pula memiliki pandangan yang berbeda
ketika menyikapi suatu hal. Dibalik perbedaan tersebut, ternyata kesamaan antar kedua
gender ternyata memiliki porsi yang lebih banyak daripada perbedaan.

A. Genderlect Style

Genderlect style merupakan teori yang menjelaskan bahwa gender memiliki perbedaan
komunikasi yang terjadi antara laki-laki dan perempuan. Deborah Tanen menjadi sosok
penting. Ia merupakan proffesor Linguistik yang khusus meneliti tentang perbedaan gaya
percakapan antara masing-masing gender. Dalam penelitiannya, ia tidak meneliti tentang
bagaimana pria atau wanita berbicara, namun lebih ke bagaimana mereka dapat
menyampaikan pesan dalam percakapan. Percakapan yang terjadi antara pria dan wanita
masuk ke dalam komunikasi lintas budaya.

Deborah Tannen dalam Griffin (433:2012) mengaitkan pembicaraan genderlect style


dengan sisi makulinitas dan feminitas. Tannen melihat beberapa perbedaan. Perempuan
mencari hubungan VS laki-laki mencari status pembicaraan terkait hubungan Vs pembacaan
laporan. Tannen menyebutkan tiga syarat dalam percakapan lelaki (433:2012) yaitu (1) Pria
berkomunikasi untuk menegaskan ide, pendapat, dan identitasnya, (2) Pria berbicara untuk
memecahkan masalah atau mengembangkan strategi, (3) Pria berbicara dengan cara membuat
orang tertarik pada dirinya.

Hal yang berbeda yang dilakukan perempuan yaitu (1) Perempuan berbicara untuk
menciptakan dan memelihara hubungan, (2) Perempuan senang melibatkan orang lain dalam
percakapan mereka dan mereka butuh untuk ditanggapi, (3) Perempuan harus menunjukkan
kepekaan mereka terhadap orang lain dan juga dalam sebuah hubungan. Ada hal yang juga
patut dipertimbangkan dalam sebuah pembicaraan. Perempuan sangat menghargai
pembicaraan yang baik, sementara pria menghargai laporan bicara.

1. Pembicaraan pribadi Vs berbicara publik


Kesan dari sebuah pepatah kuno menyebutkan, perempuan berbicara lebih banyak
daripada pria. Louuann Brizendine seorang profesor psikiatri di Universitas California,
San Fransisco menyebutkan wanita berbicara rata-rata 20.000 kata per hari. Sementara
pria berbicara 7.000 kata per hari (434;2012). Tapi, Tannen menambahkan, dalam
ruang publik, justru pria lebih aktif walaupun yang dia sampaikan merupakan
pembicaraan laporan, bukan pembicaraan yang menyangkut hubungan.

2. Menceritakan kisah
Tanen mengakui bahwa kisah-kisah yang dibicarakan orang, berhubungan dengan
harapan, kebutuhan, dan nilai mereka. Pria menggunakan cerita kisah daripada wanita.
Terutama dalam hal lelucon. Hal ini dibutuhkan pria untuk bernegosiasi terhadap
statusnya. Selain itu, pria melalui ceritanya bisa hadir sebagai sosok yang lucu. Ketika
mereka tidak hadir sebagai sosok yang lucu, mereka akan menceritakan kisah dimana
mereka berada atau situasi dimana mereka menjadi pahlawan. Pria senang
menggambarkan kemampuan dirinya bertindak sendiri menghadapi rintangan besar.
sementara itu, wanita cenderung mengekspresikan keinginan mereka untuk komunitas
dan menceritakan kisah tentang orang lain. Bahkan, mereka jarang menghadirkan
karakter wanita dalam ceritanya. Malah, mereka sering menggambarkan dirinya
melakukan sesuatu yang bodoh daripada bertindak dengan cara yang cerdas. Tindakan
mengecilkan diri ini untuk mendapatkan dukungan dari jaringan dukungannya atau
pendengarnya.

3. Mendengarkan
Ketika seorang wanita mendengarkan cerita atau penjelasan, mereka cenderung
melakukan kontak mata, mengangguk, dan bergumam. Mereka juga menghadirkan
tanggapan lain yang secara tersirat menggambarkan bahwa mereka mendengarkan.
Lain halnya dengan pria. Mereka peduli dengan status dan ketika mendengarkan,
mereka tidak mau menempatkan diri secara submisif atau berada di bawah. Mereka
harus memperlihatkan penegasan setuju atau tidak setuju. Akhirnya, sering muncul
kesan oleh wanita, bahwa pria tidak mendengarkan apa yang mereka ucapkan. Ketika
seorang wanita yang mendengarkan, akan menambahkan kata persetujuan untuk
menunjukkan dukungannya terhadap apa yang disampaikan si pembicara.

4. Mengajukan pertanyaan
Menurut Tannen dalam Griffin (435:2012) Perempuan pada umumnya terlebih dahulu
mengungkapkan persetujuan di awal sesi bertanya atau ketika mereka menginterupsi.
Hal ini menjadi upaya kooperatif perempuan sebagai tanda bahwa mereka setuju. Pada
lakilaki, interupsi justru dinilai sebagai upaya untuk menunjukkan kekuatan dalam
memperoleh kekuasaan atau mengendalikan pembicaraan. Perempuan ketika
mengajukan pertanyaan menjadi upaya untuk memantapkan proses hubungan dan juga
upaya untuk memperhalus penolakan atau ketidaksetujuan terhadap lawan bicara. Pria
menggunakan proses bertanya untuk mencari kesempatan dan menjadikan lawan
bicaranya menjadi lemah. Perempuan mengajukan pertanyaan ketika mereka ingin
menunjukkan minat, kesepakatan daam subjek yang sedang dibicarakan. Sementara laki
laki mengajukan pertanyaan untuk menantang lawan bicara atau menguji pengetahuan
lawan bicara akan subjek yang sedang dibicarakan. Laki-laki cenderung enggan
menanyakan pertanyaan dalam situasi dimana mereka sedang memerlukan bantuan. Hal
ini dianggap laki-laki sebagai upaya menurunkan status mereka. Sebaliknya,
perempuan senang meminta bantuan orang lain sebagai upaya untuk mendapatkan
petunjuk mengenai dimana lokasi yang sedang mereka cari. Perempuan juga tidak
khawatir dengan stereotip akan penurunan status mereka hanya karena menanyakan
sesuatu untuk mendapatkan informasi yang mereka inginkan.

5. Konflik
Tannen dalam Griffin (437: 2012) menyebutkan, banyak pria lebih nyaman dengan
konflik dan karenanya cenderung menahan diri dalam pertikaian. Bagi kebanyakan
wanita, justru konflik merupakan ancaman bagi hubungan dan dihindari dengan segala
cara. Tannen juga menyebut pria memiliki sistem peringatan dini dan diarahkan untuk
mendeteksi tanda-tanda bahwa mereka diberitahu apa yang harus dilakukan.

Selain lima poin tadi, yang tak kalah pentignya yaitu penggunaan komunikasi Non
Verbal. Pada konteks ini, Tannen tidak memperluas hubungan perbedaan status dengan cara
di mana pria dan wanita berkomunikasi secara non verbal. Susan Pease Gadoua dalam Griffin
(437:2012) menyebutkan sulit untuk menganalisis cara pria dan wanita berbicara satu sama
lain tanpa memasukkan komponen non verbal. Gadoua menceritakan pengalamannya sebagai
konselur pernikahan. Begitu banyaknya permasalahan dalam ruang komunikasi suami dan
istri, dia bahkan harus membuat skenario khusus untuk membantu pasangan untuk mengatasi
tantangan serius atau mengarungi celah dalam kehidupan mereka. Setiap pasangan memiliki
cara berbeda untuk menyelesaikan masalah. Perempuan memiliki keinginan untuk
menyelesaikan masalah saat itu juga. Mereka tidak akan bercinta ketika belum merasa
terhubung dengan pasangannya pasca konflik. Sementara pria merasa bisa menyelesaikan
konflik dengan bercinta dan berbicara kemudian.

B. Standpoint Theory
Konsep Teori Standpoint yang dikenalkan oleh Sandra Harding dan Julia T. Griffin
(2012: 447) mengatakan bahwa “A standpoint is a place from which to critically view the
world around us” Standpoint adalah tempat kita dalam melihat serta menilai segala sesuatu di
dunia sekeliling kita. Ketika kita berhubungan dengan orang lain, posisi pijakan itu akan
mengarahkan fokus perhatian kita pada lanskap ekonomi, politik, maupun sosial budaya
tertentu.Aroma ekonomi, politik, dan sosial-budaya yang selama ini kita.
Teori ini berakar pada beberapa teori lain yang muncul sebelumnya. Di antaranya
berasal dari seorang filsuf Jerman Georg Hegel yang menganalisis hubungan antara tuan dan
budak (master-slave relationship). Hasil analisisnya mengatakan “What people ‘know’ about
themselves, others, and society depends on which group they are in”. Misalnya, narapidana
dan penjaga penjara mempunyai interpretasi yang berbeda terhadap apa yang dinamakan
hukum, penjara, hukuman, dan bahkan hubungan kekeluargaan. Menurut konsepsi Hegel
dalam Griffil (2012: 448) lebih jauh bisa dikatakan bahwa siapa pun pihak yang mempunyai
kuasa besar di masyarakat, dia lah nanti yang akan menentukan sejarah (the ones who write
the history books).
Akar teori selanjutnya yang masih satu jalur dengan Hegel adalah proletarian
standpoint dari Karl Marx dan Friedrich Engels. Griffin (2012: 448-449) menjelaskan bahwa
di dalam konteks determinisme ekonomi, mereka menegaskan bahwa “the impoverished poor
who provide sweat equity are society’s ideal knowers, as long as they understand the class
struggle in which they are involved”. Menurut mereka, golongan marginal yang turut serta
dalam memperjuangkan kelas sosial mereka --menuntut keadilan, memiliki pengetahuan yang
lebih jernih dan objektif mengenai keadaan sosial (ketimbang pihak-pihak yang
memarginalkan mereka).
Menurut Marx dan Engels pihak yang termarginalkan tersebut adalah kaum proletar.
Posisi kaum proletar dalam Teori Standpoint Harding diadopsi dan digantikan oleh kaum
wanita --yang dihadapkan dengan sistem mapan patriarkal. Selanjutnya, Geoerge Herberd
Mead dalam Setiawan (2014:170) mengatakan bahwa budaya memengaruhi individu-
individu melalui proses komunikasi (interaksionisme simbolik). Julia Wood memetik
pendapat ini pada Teori sudut pandangnya, yaitu bahwa gender merupakan buah dari
konstruksi sosial dan kultural, tidak hanya sekedar simbol biologis. Menurut Littlejohn
(2009:90), Teori sudut pandang juga memperkenalkan unsur kekuasaan ke masalah identitas.
Orang-orang yang terpinggirkan atau ditundukkan tidak hanya melihat dunia melalui
berbagai sudut pandang mereka yang mengalami dan memahaminya dari sudut pandang
mereka sendiri tetapi mereka juga melihatnya dari sudut pandang orang-orang yang berkuasa.

Asumsi Standpoint Theory

Menurut Janet Saltzman Chafetz (1997) dalam West & Turner (2017:262) ada empat
ciri teori feminis :

1. Gender menjadi fokus sentral pada teori


2. Hubungan antara gender dipandang hal yang bermasalah, oleh karena itu teori
digunakan untuk memberikan pemahaman bagaimana seks atau gender dikaitkan
dengan ketidakadilan dan kontradiksi.
3. Hubungan antara gender dipandang selalu berubah.
4. Teori feminis dapat digunakan untuk melawan status quo ketika status quo
meremehkan serta merendahkan derajat wanita.

Sedangkan Nancyy Hartsock dalam West & Turner (2017:262)


mengkonseptualisasikan Standpoint Theory pada 5 (lima) asumsi sifat kehidupan sosial
tertentu sebagai berikut :

1. Kehidupan material (atau posisi kelas) menstruktur dan membuat batasan


pemahaman terkait hubungan sosial.
2. Ketika kehidupan material disusun dalam dua kelompok dengan menggunakan
dua hal yang berlawanan, hingga paham pada masing-masing pihak akan bertolak
belakang. Saat terdapat kelompok dominan dan bawahan, maka paham pada
kelompok dominan akan parsial dan membahayakan.
3. Pandangan atau visi pada kelompok penguasa akan membentuk hubungan
material di mana semua kelompok dipaksa untuk berpartisipasi.
4. Visi yang ada pada kelompok yang tertindas adalah perjuangan dan prestasi.
5. Pemahaman pada prohibisi atau pelanggaran hukum dengan sudut pandang
feminis dapat menunjukkan secara tidak manusiawi, Hal ini dapat membawa kita
untuk maju dan menciptakan kehidupan yang lebih baik dan lebih adil di dunia
ini.

Asumsi pertama mengemukakan gagasan bahwa lokasi individu pada bentuk struktur
kelas dapat membentuk dan membatasi pemahaman hubungan sosial mereka. Asumsi kedua,
Standpoint Theory berpendapat bahwa semua sudut pandang adalah parsial atau memihak,
namun kelompok penguasa dapat merugikan mereka yang berada pada posisi bawahan. Poin
tersebut kemudian membawa kita pada asumsi yang ketiga yang menyatakan bahwa
kelompok penguasar dapat menyusun kehidupan untuk menghilangkan pilihanpilihan dari
kelompok bawahan. Sedangkan asumsi keempat menegaskan bahwa kelompok bawahan
harus berupaya keras untuk memperjuangkan pandangan mereka tentang kehidupan sosial.
Asumsi ini membawa kita pada asumsi akhir yang menegaskan bahwa upaya ini akan
menghasilkan visi yang lebih akurat pada kelompok bawahan yang tertekanan oleh kelompok
penguasa. Dengan visi tersebut, kelompok bawahan dapat melihat kekejaman dalam tatanan
sosial dan menuntut akan perbaikan dunia. Serangkaian asumsi ini mengarah pada
kesimpulan bahwa meskipun semua sudut pandang atau standpoint memiliki keberpihakan,
sudut pandang pada kelompok yang tertindas dapat menjadi perhatian bagi kelompok yang
berkuasa.

Konsep utama Standpoint Theory

West and Turner (2017 : 265 - 266) menjelaskan konsep utama dari teori standpoint
yang terbagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu:

1. Sudut Pandang
Sudut pandang (standpoint) adalah posisi yang didapat dan berasal dari wilayah
sosial yang berpengaruh pada aspek pemahaman kehidupan seseorang. Menurut
Hartsock dalam West & Turner (2017:266) sudut pandang dibentuk dari
pengalaman-pengalaman yang terstruktur oleh posisi seseorang dalam hierarki
sosial. Sebuah perspektif dapat mencapai sudut pandang namun hanya melalui
usaha. Sudut pandang bisa didapatkan setelah sesorang berpikir, berinteraksi, dan
berusaha. Sudut pandang harus dicari dengan aktif, sudut pandang dimiliki oleh
mereka yang telah mengalami penindasan. Sudut pandang diperoleh melalui
pengalaman penindasan, refleksi dan pengenalan dari implikasi politik dari semua
pengalaman-pengalaman tersebut. Sudut pandang tidak lepas dari konteks sosial
dan politik. Hal ini karena sudut pandang ditentukan oleh lokasi sosial yang
spesifik, mereka memihak, atau tidak sempurna. Kejelasan pandangan ini juga
memposisikan hierarki yang berada lebih rendah menguasai ketelitian atau
akurasi paling besar pada sudut pandang mereka, merujuk kepada kemampuan
untuk melebihi batas dari pandangan parsial dan melihat di luar lokasi spesifik
seseorang.

2. Situated Knowledge
Situated knowledge adalah pengetahuan seseorang yang didasarkan pada konteks
dan keadaan. Pengetahuan yang luas tergantung pada pengalaman. Apa yang dipelajari
oleh seseorang didapat dari posisi dan peran yang diembannya dalam kehidupan sosial.
Situated knowlegde adalah hasil dari pembelajaran kita dari pengalaman yang dialami.
Komunitas lokal yang berbeda dapat menentukan sudut pandang yang sedikit banyak
berbeda, tergantung pada pengalaman yang pernah dilalui.

C. Muted group theory


Muted group theory merupakan teori yang dikembangkan lebih lengkap oleh Cheris
Kramarae. Kramarae adalah profesor speech communication dan sosiolog di Universitas
Illinois. Kramarae memulai karier penelitiannya pada tahun 1974 ketika dia memimpin
sebuah studi sistematik mengenai cara-cara perempuan dilukiskan dalam kartun. Dia
menemukan bahwa perempuan dalam kartun biasanya dilukiskan sebagai emosional,
apologetik (peminta maaf/penyesal), dan plin-plan sedangkan pernyataan yang sederhana dan
kuat disuarakan oleh laki-laki Kramarae menyatakan bahwa bahasa secara harfiah, adalah
sebuah man-made construction.Wanita, dan anggota dari kelompok subordinat lain, tidaklah
bebas atau bisa mengatakan apa yang ingin mereka katakan, kapan, dan di mana, karena kata-
kata dan norma-norma yang mereka gunakan telah diformulasikan oleh kelompok dominan,
yaitu pria.
Menurut Kramarae dalam Griffin (2012: 461), kata-kata wanita tidak dihargai dalam
masyarakat kita. Pemikiran wanita mengalami hal yang sama. Ketika wanita mencoba
meniadakan ketidakadilan ini, kontrol pria terhadap komunikasi menempatkan wanita dalam
ketidakberdayaan. Man-made language membantu mendefinisikan, menjatuhkan, dan
meniadakan wanita. Wanita adalah the muted group (kelompok yang dibungkam). Tipe
dominansi pria pada bahasa hanyalah satu aspek saja dari berbagai cara untuk membungkam
kepentingan wanita dalam masyarakat.
Ketika kaum perempuan mencoba menyuarakan ketidaksetaraan ini, kontrol
komunikasi yang dikuasai oleh paham patriarkal cenderung tidak menguntungkan para
perempuan. Bahasa yang diciptakan oleh kaum laki-laki diciptakan dengan berpretensi, tidak
menghargai dan meniadakan kaum perempuan. Perempuan oleh karenanya menjadi
kelompok yang terbungkam (muted group).
Ide bahwa perempuan adalah kaum yang terbungkam (muted group) pertama kali
diutarakan oleh Edwin Ardener, antropolog sosial. Dia menyatakan bahwa kelompok yang
berada pada puncak hierarkhi sosial meluaskan dominasi sistem komunikasi suatu
masyarakat. Berdasarkan teori ini, perempuan ‘inartikulasi’ karena bahasa yang mereka
gunakan dibentuk dan dikembangkan secara luas oleh persepsi laki-laki tentang realitas.
Selanjutnya Ardener mengungkapkan, asumsi dasar muted group theory berkaitan dengan,
(1) perempuan mempersepsikan dunia secara berbeda dari laki-laki karena perempuan dan
laki-laki memiliki pengalaman dan aktivitas berbeda; (2) karena dominasi politis laki-laki,
sistem persepsi laki-laki juga dominan, menghalangi kebebasan ekspresi perempuan; (3) agar
bisa berpartisipasi dalam lingkungan sosial, perempuan harus mengubah model ekspresi
komunikasi mereka agar bisa diterima oleh sistem ekspresi laki-laki.
Muted group Theory menjelaskan bahwa, pada suatu kebudayaan tertentu tidak
memposisikan pembicara secara sama. Perempuan, tidak bisa mengungkapkan secara bebas
apa yang diharapkannya seperti pria. Jadi perempuan tidak bisa secara langsung
mengartikulasikan pengalaman mereka seperti yang dilakukan oleh laki-laki. Persespi
perempuan akan suatu pengalaman berbeda dari laki-laki karenanya mereka
disubordinasikan. Akan tetapi kata-kata dan norma-norma untuk berbicara tidak diciptakan
dari atau sesuai dengan penagalaman perempuan. Karenanya perempuan “terbungkam”.
Shirley Ardener dalam Griffin (2012: 465) kemudian mengingatkan bahwa muted
group theory tidak selalu menggambarkan bahwa yang dimaksud dengan “terbungkam”
selalu berarti tidak bersuara. Kelompok yang terbungkam tidak berarti mereka tidak bersuara
sama sekali atau terdiam. Fokus utama teori ini adalah bahwa apakah seseorang atau suatu
kelompok dapat menyuarakan apa yang mereka inginkan, kapan, di mana, sekehendak
mereka, ataukah mereka harus ‘mengubah pemikiran atau apa-apa yang hendak mereka
suarakan tadi asalkan mereka tetap dapat diterima di lingkungan sosial. Ketika seseorang
mengubah apa-apa yang mereka ingin katakan hanya agar tidak merasa dikucilkan oleh
lingkungan sosialnya, maka orang tersebut termasuk ke dalam kelompok yang terbungkam.
Para perempuan di media massa dikatakan “terbungkam” karena tidak dapat
berekspresi, bersikap dan bergaya sebagaimana keinginan dirinya. Mereka berekspresi,
berperilaku, dan bersikap untuk diarahkan sesuai keinginan kreator acara agar menghasilkan
tontonan yang “mengasyikkan”. syikkan”. Kramarae juga berasumsi bahwa perempuan dan
laki-laki memandang dunia secara berbeda dikarenakan mereka memiliki pengalaman dan
aktivitas yang berbeda dalam pembagian kerja mereka. Kramarae juga menolak pernyataan
Freud yang menyebutkan bahwa “anatomy is destiny”, bahwa masalah perbedaan jender
adalah sesuatu yang bersifat takdir.
Kendala lain bagi kaum perempuan adalah tidak memadainya kosakata yang tersedia
bagi perempuan untuk mengutarakan atau mengekspresikan apa yang ada di dalam benak
mereka, apa-apa yang mereka inginkan, mengekspresikan pengalaman mereka. Dalam ruang
publik, kaum perempuan biasanya harus memiliki katakata secara baik dan cermat. Apa-apa
yang hendak dikatakan oleh mereka terasa sangat sulit karena kosakata yang ada bukan
diciptakan oleh mereka, tapi lebih banyak oleh kaum laki-laki.
Kramarae menuntut sebuah “arena bermain” di mana posisi perempuan dan pria
sederajat dan seimbang sehingga keduanya memiliki kesempatan yang sama dalam
berkompetisi. Kramarae juga mengatakan bahwa selama ini kaum pria telah menciptakan
struktur sistem nilai dan bahasa yang mencerminkan struktur tersebut. Perempuan oleh
karenanya bekerja dalam sistem yang diciptakan oleh kaum laki-laki tersebut . Dengan
demikian, bahasa menjadi senjata terselubung yang digunakan oleh pihak yang memiliki
kekuasaan unruk menekan dan membuat diam mereka yang tersubordinasi.

Sumber :

Griffin, EM. 2012. A’First Look at Communication Theory: Eight Edition. Mc Graw Hill.
New York.

Little john, Stephen W & Karen A. Foss. 2009. Teori Komunikasi (theories of human
communication) edisi 9. Jakarta: Salemba Humanika.
West, Ricard & Lynn H. Turner. 2017. Pengantar Teori Komunikasi Analisis dan Aplikasi.
Jakarta: Salemba Humanika.

INTEGRATED COMMUNICATION

Disusun Oleh : Debby Sianturi

Perlu dipahami dulu arti dari Integrated Communication.

Integrated Communication adalah segala bentukan komunikasi dapat saling bersambung.


Integrated Communication dapat dilakukan dalam berbagai aspek bidang pekerjaan. Bukan
hanya di bidang hubungan masyarakat (Public Relations). Seorang pengusaha yang ingin
membuka suatu usaha, tidak cukup memiliki modal besar dan ide pemasaran produk tersebut.
Ini pernah terjadi di Indonesia pada era pemerintahan Orde Baru. Dengan alasan menekan
jumlah pengangguran, begitu banyak usaha baru di buka di Indonesia. Apa hasilnya? Nihil.
Tingkat penggangguran tetap tinggi, justru tingkat korupsi semakin tinggi.

Seorang pengusaha sebaiknya mengenal dulu jenis produk/jasa yang ingin diusahakan di
Indonesia dan dijadikan sebagai sarana lapangan pekerjaan bagi masyarakat Indonesia.
Apakah produk/jasa tersebut dibutuhkan di Indonesia? Bagaimana dengan kebiasaan dan
gaya hidup orang Indonesia pada umumnya? Jika ada manfaat produk/jasa, maka perlu
dibuatkan sketsa pengembangan usahanya. Dan pada akhirnya sang pengusaha menyusun
bagaimana mengkomunikasikan produk/jasa yang dijualnya sehingga mendapatkan pembeli.
Dalam hal ini, pengusaha ini sudah masuk pada tahap promosi, maka perlu disusun perangkat
yang dibutuhkan dalam promosi ini. Mungkin dengan menyusun kalimat dalam
memperkenalkan produk/jasa, harga produk/jasa, tempat untuk mendapatkan produk/jasa dan
iklan produk/jasa. Dan perlu diperhatikan untuk menggabungkan dengan gaya hidup
masyarakat dan dikaitkan dengan produk/jasa yang ada.

Ada beberapa tahap yang sebaiknya ditempuh dalam melakukan Integrated Communication
yaitu :

1. Analisa Pasar
2. PEST (Politik, Ekonomi, Sosial, Teknologi)
3. Analisa Kompetitif
4. SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat)
5. Positioning
6. Tujuan
7. Perencanaan Media
8. CSR
9. Arahan Kreatifitas
10. Launching
11. Evaluasi

Maksud dan tujuan Integrated Communication disini adalah agar pesan yang dimaksud dapat
diterima secara utuh dan penerima pesan mendapatkan pemahaman secara terpadu.

Jika suatu komunikasi tidak lengkap, maka informasi yang diterima pun hanya setengah-
setengah. Ini dapat berakibat pada resiko yang diterima. Maka sebagai antisipasi, suatu pesan
hendaknya dapat saling terkait satu sama lain sehingga memberikan informasi sepenuhnya.

Anda mungkin juga menyukai