Anda di halaman 1dari 27

Muted Group Theory:

Bungkam, Bahasa Dikreasi oleh Kelompok Dominan1


Gilang Desti Parahita

MEMBACA sejarah dan asumsi-asumsi dasar Muted Group Theory (selanjutnya MGT)
menggedor pikiran saya yang sudah ‘mapan’. Teori itu mengandung ide kontroversial dan
nampak bombastis: bahwa mungkin saya sebagai perempuan adalah ‘bisu’. Menurut teori
tersebut, ‘kebisuan’ saya disebabkan oleh tidak mencukupinya bahasa yang ada untuk
menggambarkan pengalaman saya sebagai perempuan.
Dalam perspektif MGT, keengganan saya berbicara itu disebabkan oleh tiadanya
kata yang tepat untuk mewakili pengalaman tersebut sehingga pengalaman itu dianggap
tidak ada atau menjadi kurang penting. MGT menegaskan bahwa seseorang tidak bisa
menyampaikan sebuah pengalaman ketika kosakata yang ada tidak dapat mewakili
pengalaman tersebut. Sebelum 1970-an, MGT mencatat pengalaman semacam itu kerap
diabaikan bahkan oleh perempuan itu sendiri. Kini, perempuan sudah dapat menyuarakan
pengalaman semacam itu dengan istilah “pelecehan seksual” (sexual harrasment)
semenjak para feminis dunia menciptakan kosakata-kosakata baru terkait pengalaman
khas perempuan.
Mengapa kosakata yang tersedia tidak dapat mewakili pengalaman perempuan?
Menurut MGT, penyebab hal itu adalah adanya dominasi laki-laki dalam membingkai
dunia yang mana pembingkaian itu didasarkan pada pengalaman khas laki-laki saja.
Dominasi laki-laki itu juga memaksa perempuan berbicara dengan kosakata dan gaya
komunikasi yang maskulin agar ‘suaranya terdengar.’
Perempuan yang gagal menggunakan moda komunikasi maskulin terdeskripsi
dalam film Legally Blonde 2. Film tersebut menggambarkan bagaimana pesan wicara
perempuan diabaikan oleh audiens yang kebanyakan laki-laki. Ellen Woods (Reese
Witherspoon) adalah seorang advokat muda, cantik dan berrambut pirang. Presentasinya
tidak dianggap serius oleh bosnya dan audiens yang lain. Wicara Ellen Woods adalah
khas perempuan: menonjolkan aspek afeksi dalam kisahnya, suaranya cempreng, tempo
wicaranya cepat, dan raut wajahnya ekspresif. Alih-alih mengomentari isi presentasi Ellen,
bosnya justru mengalihkan topik pembicaraan dan mengabaikan pesan presentasi Ellen.
Adegan tersebut menggambarkan perempuan tak melulu sebagai pihak yang ‘bisu’,
melainkan juga laki-laki kerap menjadi pihak yang ‘tuli’.

1
Akan diterbitkan dalam Irawanto, B. (ed.). 2017. Menyibak Cakrawala Komunikasi, Yogyakarta: FISIPOL UGM.
Kontak ke gilang_parahita@ugm.ac.id.

1
Gambar 1. Film Legally Blonde 2 yang dirilis pada 2003 menggambarkan
bagaimana perempuan berrambut blonde memiliki stereotip negatif di masyarakat.

MGT adalah salah satu teori yang dapat diterapkan untuk penelitian-penelitian media
serta komunikasi interpersonal, intergrup, dan media, maupun untuk menguatkan aksi-aksi
perubahan sosial berperspektif feminis. Perempuan yang membaca MGT untuk
pertamakalinya barangkali juga akan sering menjumpai “waktu aha!” atau merasa MGT
menjelaskan penyebab dari berbagai pengalaman pribadi yang khas perempuan. Artikel ini
tidak hanya akan membahas sejarah dan asumsi-asumsi dasar MGT, melainkan
mendiskusikan pula bagaimana MGT dapat diterapkan pada penelitian di media baru.

1. Sejarah Muted Group Theory (MGT)

MGT diawali oleh karya Edwin dan Shirley Arderner (Wall & Gannon-Leary, 1999;
West & Turner, 2010). Keduanya adalah antropolog sosial yang memberikan perhatian pada
struktur dan hierarki sosial. Hasil penelitian keduanya mengenai ritual-ritual dari para
perempuan Bakweri di Kamerun diterbitkan pada jurnal La Fountaine pada 1972 yang
kemudian dilanjutkan dengan publikasi penelitian pada 1975 (Wall & Gannon-Leary,
1999:22).
Awalnya, penelitian Edwin Arderner tersebut dimaksudkan untuk menjelaskan
mengapa data-data antropologis kebanyakan bersumber dari informan-informan laki-laki.
Dalam monografnya “Belief and the Problem of Women”, Edwin Ardener mencatat para
antropolog sosial hanya mencermati keterangan anggota laki-laki yang notabene hanyalah
separuh dari keseluruhan anggota masyarakat (Grifin, 2003: 488). Alih-alih menjadi
penyeimbang, antropolog perempuan sekalipun pada masa itu sering mengabaikan para
informan perempuan.
Menganalisis situasi tersebut, Edwin Arderner mengidentifikasi dua bagian masalah.
Pertama, aspek teknis dalam etnografi yang menghambat teraksesnya suara perempuan
adalah karena “para perempuan nyengir ketika muda, ngorok ketika tua, menolak pertanyaan
dan sejenisnya” (Wall & Gannon-Leary, 1999:22). Akibatnya, etnografer perempuan maupun
laki-laki lebih sering berinteraksi dengan para informan laki-laki yang mereka anggap lebih
artikulatif daripada informan perempuan. Tak ayal, karya-karya etnografi mereka pun lebih

2
banyak dipengaruhi oleh cara pandang para informan laki-laki pada masyarakat-masyarakat
yang mereka teliti.
Kedua, Arderner menyimpulkan aspek analitis dari fenomena tersebut. Adalah lumrah
para etnografer kembali dari lapangan hanya membawa data hasil wawancara dengan
anggota laki-laki dari masyarakat yang diteliti. Mengapa? Para etnografer tersebut berasal
dari masyarakat yang mana sistem ekspresi dan budayanya didominasi oleh laki-laki
sehingga ketika mereka hanya bertemu dengan informan laki-laki saja pada masyarakat yang
diteliti mereka merasa natural dan lumrah (Wall & Gannon-Leary, 1999:23). Para etnografer
saat itu belum dapat menerima model-model masyarakat yang diinformasikan oleh sumber-
sumber perempuan. Mereka sendiri menjadi ‘tuli’ terhadap informasi dari sumber-sumber
perempuan sebab mereka menganggap informan laki-laki lebih akurat dan valid.
Kritik antropolog feminis terhadap praktek etnografi yang androsentris sudah jamak
terdengar kala itu. Edwin dan Shirley Arderner melangkah ke analisis yang lebih jauh. Edwin
Arderner menduga hal itu terjadi karena kelompok yang berada pada posisi puncak hirarki
sosial seperti laki-laki menentukan sistem komunikasi bagi seluruh kelompok termasuk
kelompok marjinal. Kelompok yang lemah di masyarakat seperti perempuan, kaum dhuafa,
dan kulit berwarna harus belajar dalam sistem komunikasi yang dibentuk oleh kelompok
dominan (Wall & Leary, 1999; West & Turner, 2010).
Kelompok marjinal belum tentu diam (silent, muted). ‘Bisu’ adalah sebuah metafora.
Poin pentingnya, menurut Arderner, adalah apakah orang dapat menyampaikan apa yang
ingin mereka katakan ketika dan di mana mereka ingin menyampaikan sesuatu hal itu (Griffin,
2003: 488). Menurut Edwin Arderner, apabila orang-orang dari kelompok marjinal tetap
menggunakan moda berekspresi yang ‘alternatif’, kelompok dominan tidak akan
menghiraukan suara-suara mereka. Oleh karena itu, perempuan tak hanya terpaksa berpuas
diri dengan hambatan bahasa yang ia alami, melainkan juga pengalaman mereka hanya
dapat direpresentasi melalui perspektif laki-laki.
Lebih jauh, Shirley Arderner (1978) mengamati bahwa kebungkaman perempuan
berhubungan dengan ketulian laki-laki (West & Turner, 2010). Perempuan, atau kelompok
subordinat lainnya sebetulnya melakukan tindak wicara, namun kata-kata mereka jatuh pada
telinga yang tuli, yang mana ketika hal itu terjadi berulang kali, mereka cenderung untuk
menghentikan artikulasi pemikiran mereka, dan bahkan mungkin berhenti memikirkan
mereka. Dalam kata-kata Shirley Arderner, “Words which continually fall upon deaf ears may,
of course, in the end become unspoken, or even unthought” (West & Turner, 2010: 486).
MGT banyak menginspirasi gerakan feminis dan menarik para peneliti beraliran
feminis lainnya untuk memodifikasinya seperti yang dilakukan oleh Dale Spender dan Cheris
Kramarae (Wall & Gannon-Leary, 1999: 22). Dale Spender mengembangkan gagasan
Arderner pada aspek bagaimana laki-laki menguasai bahasa. Menurut Spender, adanya
kuasa laki-laki atas makna bahasa membuat laki-laki dapat mempengaruhi dan memaksa
kelompok lain untuk mengikuti pandangan dunia yang ia miliki. Alhasil, suara-suara
perempuan bertolak dari pengalaman-pengalaman khas mereka jarang terdengar sebab
sistem bahasa yang ada tidak diciptakan untuk mengakomodasi minat dan perhatian
prempuan. Spender melajutkan, karena tak mampu mensimbolisasi pengalaman mereka ke
dalam bahasa laki-laki, perempuan biasanya menempuh dua cara: memaksakan diri
menggunakan jalur bahasa laki-laki yang itu berarti mengalienasi perempuan dari
pengalamannya sendiri, atau tidak bicara sama sekali (silenced.). Hal terakhir itulah yang
kerap diharapkan masyarakat dari perempuan. Sementara itu, perempuan yang aktif bicara
secara kultural tidak dibandingkan dengan laki-laki lain, melainkan perempuan lain yang
pendiam sehingga sesedikit apa pun ‘kecerewetan’ perempuan dianggap berlebihan (Wall &
Gannon-Leary, 1999:24). Kebungkaman (silence, mutedness) oleh karenanya menurut
Spender tidak hanya berarti keengganan untuk menyampaikan sesuatu pada suatu
percakapan, melainkan juga kegagalan dalam menciptakan wacana baru yang penting.

3
Sementara Dale Spender lebih banyak mendiskusikan aspek ‘kebisuan’ perempuan
pada MGT, Cheris Kramarae lebih banyak mendiskusikan aspek strategi perempuan dalam
menghadapi ‘ketulian’ laki-laki, dan ‘ketulian’ itu sendiri. Kramarae menyetujui bahwa
perempuan mengalami kesulitan dalam menyuarakan pengalaman mereka dalam moda
berekspresi yang didominasi sistem bahasa laki-laki (baca: ruang publik). Alih-alih selalu
menemui jalan buntu, Kramarae menemukan bahwa perempuan dapat mencari jalan keluar
dari kendala tersebut dengan menciptakan moda ekspresi khas perempuan yang unik dan
seringkali hanya beredar pada kelompok terbatas (Wall & Gannon-Leary, 1999: 25). Selain
itu ia mengingatkan bahwa ketidakmampuan perempuan menyampaikan pengalaman
dengan sistem bahasa dominan turut menjelaskan mengapa para laki-laki kerap merasa
kesulitan memahami perempuan.
Kebanyakan teorisasi dan aplikasi MGT terfokus pada kelompok perempuan sebagai
kelompok yang terbungkam. Meski begitu, para peneliti seperti Mark Orbe dan Michael Hecter
mencatat teori tersebut dapat diaplikasikan pada semua kelomppok non dominan (West &
Turner, 2010: 487), misalnya kelompok perempuan kulit hitam. Perempuan kulit hitam
mengalami marjinalisasi ganda, yaitu pertama karena mereka perempuan, dan kedua karena
mereka berkulit hitam. Dalam relasinya dengan perempuan kulit putih, perempuan kulit hitam
berposisi lebih inferior. Inferioritas perempuan kulit hitam itu terrepresentasi pada salah satu
adegan dalam film A League of Their Own. Dottie Hinson, pemain kulit putih pada liga
baseball perempuan, menerima lemparan balik dari luar pagar arena. Bola itu sempat terbang
keluar arena dan ditangkap seorang perempuan Afrika-Amerika. Ketika ia menerima
lemparan balik itu, Dottie menyadari bahwa perempuan Afrika-Amerika itu bisa saja menjadi
salah satu pemain baseball seperti dirinya. Hanya saja, warna kulit menjadi hambatan bagi
perempuan Afrika-Amerika untuk lebih maju, suatu hal yang masih jamak terjadi kala itu.
Selain Mark P. Orbe dan Michael Hecter, peneliti seperti Radhika Chopra memeriksa
kebungkaman yang terjadi pada kelompok para lelaki yang menjadi pengasuh anak dalam
rumah tangga (West & Turner, 2010:487). Jadi, kebungkaman tidak selalu terjadi pada
kelompok perempuan, melainkan pada semua kelompok yang marjinal lainnya. Dalam
konteks penelitian Radhika Chopra tersebut, pihak yang mengalami marjinalisasi adalah para
lelaki yang menjadi babysitter.

2. Asumsi-asumsi Muted Group Theory (MGT)

Shirley dan Edwin Arderner memang meletakkan dasar bagi MGT. Akan tetapi, Cheris
Kramarae menyusun tiga asumsi teori tersebut yang secara spesifik ia arahkan untuk
komunikasi (West & Turner, 2010; Griffin, 2003)2. Tiga postulat utama MGT oleh Kramarae
adalah:
 Wanita memahami dunia secara berbeda dari laki-laki sebab persepsi pengalaman
perempuan dan laki-laki berbeda. Perbedaan tersebut berakar pada pembagian kerja
(division of labor) antara laki-laki dan perempuan.
 Laki-laki mendapatan kuasa secara politik dan selalu mempertahankan dominasi
politiknya tersebut dengan mencegah ide-ide dan makna-makna dari perempuan
mendapatkan penerimaan publik;
 Untuk dapat berpartisipasi di masyarakat, perempuan harus menerjemahkan ide-ide,
makna-makna, dan pengalaman-pengalaman unik mereka ke bahasa atau moda
berekspresi laki-laki.

2
West dan Turner (2010) menyebut terdapat perbedaan mendasar antara Arderners dan Kramarae dalam
menggunakan teori tersebut. Arderners bermaksud menerapkan teori tersebut secara lintas budaya sementara
Kramarae menggunakan teori itu dalam konteks komunikasi laki-laki dan perempuan di Amerika Serikat.

4
Asumsi-asumsi utama MTG tersebut mengindikasikan adanya sejumlah asumsi
atas komunikasi perempuan yaitu:
- Perempuan lebih sulit mengekspresikan dirinya daripada laki-laki;
- Perempuan memahami pesan komunikasi laki-laki lebih mudah daripada laki-laki
memahami pesan perempuan;
- Perempuan cenderung mencari cara untuk mengekspresikan diri mereka diluar
moda ekspresi dominan yang digunakan oleh laki-laki, baik pada konvensi-
konvensi verbal maupun perilaku non-verbal;
- Perempuan tidak begitu puas atas moda berekspresi dominan;
- Perempuan yang menolak untuk hidup dalam tatanan sosial yang dibentuk oleh
kelompok dominan akan mengubah moda ekspresi publik selama mereka secara
sadar dan verbal menolak ide-ide dominan tersebut;
- Perempuan tidak seperti laki-laki dalam menghasilkan kosakata yang kemudian
dikenal luas dan digunakan oleh laki-laki maupun perempuan;
- Selera humor perempuan berbeda dari selera humor laki-laki (Miller, 2002: 293).

Asumsi-asumsi utama MGT dijabarkan berikut ini.

2.1. Persepsi Pengalaman Dunia Laki-laki dan Perempuan Berbeda

Asumsi pertama MGT adalah:


“perempuan memahami dunia secara berbeda dari laki-laki sebab
perempuan mencerna dunia secara berbeda dari laki-laki yang mana perbedaan itu
berakar pada pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan pada abad ke-17 dan
18 (Griffin, 2003: 589).” Kramarae menolak pernyataan Freud bahwa “anatomi adalah
takdir” sebab menurutnya ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan disebabkan
oleh ketidaksetaraan distribusi kuasa antara kedua gender (Griffin, ibid.). Perbedaan
pengalaman laki-laki dan perempuan itu memposisikan perempuan sebagai pihak
subordinat yang menggunakan bahasa laki-laki agar dapat dipahami masyarakat yang
patriarkal.
Jauh sebelum revolusi industri yang terjadi pada abad ke 17 dan 18 di Barat,
kehidupan privat dan publik tidaklah terbelah (West & Turner, 2010). Laki-laki dan
perempuan bekerja bersama pada satu kehidupan tunggal. Rumah tangga menjadi pusat
konsumsi sekaligus produksi yang subsisten yaitu untuk memenuhi kebutuhan rumah
tangga itu sendiri. Anggota rumah tangga melakukan pekerjaan ternak dan pertanian yang
subsisten itu. Pembayaran yang diterima rumah tangga tidak dilakukan untuk kerja
seseorang secara spesifik, melainkan pembayaran untuk ternak dan sayur mayur yang
dihasilkan oleh seluruh anggota rumah tangga.
Revolusi Industri mencabut kerja-kerja rumah tangga tersebut dari rumah-rumah
tangga ke pusat-pusat produksi seperti pabrik (West & Turner, 2010). Orang-orang mulai
dibayar untuk pekerjaan yang ia lakukan di luar rumah. Mulai tercabutnya orang-orang
dari rumah tangga ke pusat-pusat produksi di luar rumah menimbulkan garis pemisah
antara lingkungan rumah yang kemudian disebut ranah privat dan pusat-pusat produksi
yang disebut ranah publik. Tercabutnya proses produksi dari rumah itu berimbas pada
timbulnya pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Perempuan tetap mengurusi
rumah, atau kehidupan privat sementara laki-laki bekerja di luar rumah, atau kehidupan
publik.
Pembagian kerja laki-laki dan perempuan tersosialisasikan melalui perlakuan-
perlakuan yang membedakan antara kedua jenis kelamin tersebut sejak di level keluarga
(West & Turner, 2010), termasuk melalui bahasa yang tergenderisasi. Penelitian Messner
& Bozada-Deas (2009:54) mengenai pembagian kerja antara para ayah dan ibu pada

5
kelompok liga kecil di Roseville, Amerika Serikat menemukan bahwa para ayah bersedia
menjadi sukarela untuk asisten pelatih sementara para ibu bersedia menjadi asisten
administratif, perbekalan, dan perlengkapan (team moms) latihan maupun laga di liga
kecil. Hal itu terjadi bukan karena para ayah memilih untuk menjadi asisten pelatih,
maupun para ibu memilih untuk menjadi asisten perbekalan. Menurut Messner & Bozada-
Deas (2009: 55-58), hal itu disebabkan oleh para ayah dan ibu tersebut mengikuti pola
yang tampak pada bahasa yang telah tergenderisasi. “Pelatih” tergenderisasi sebagai
laki-laki, sementara “team mom” tidak mungkin beranggotakan para ayah. Masyarakat
yang diteliti Messner & Bozada-Deas (2009) tidak pernah mengenal istilah “team dad”.
Bahasa tidak hanya merefleksikan pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan
melainkan turut memelihara nilai-nilai di masyarakat mengenai mana yang dapat dan tidak
dapat diterima.
Pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan itu menciptakan pandangan
pengalaman dunia yang berbeda di antara kedua jenis kelamin tersebut. Jika seseorang
sehari-harinya berada di rumah dan mengurusi pekerjaan rumah tangga, pengalaman
dunia yang ia miliki tidak jauh dari urusan rumah tangga yang ia tangani. Karena
pengalaman dunia yang berbeda antara laki-laki dan perempuan itu, kosakata perempuan
dan laki-laki tidaklah sama. Misalnya, laki-laki menciptakan istilah-istilah yang
berhubungan dengan kebiasaan minum dan kompetisi, sementara perempuan
menciptakan istilah-istilah yang berhubungan dengan relasi-relasi dan isu-isu personal
seperti penampilan (West & Turner, 2010). Cheris Kramarae mencatat bahwa
pembedaan publik-privat menimbulkan anggapan bahwa bahasa perempuan hanya tepat
diterapkan pada lingkungan privat atau dunia kecil (small world) komunikasi interpersonal
(Griffin, 2003: 488). Karena dunia privat dalam masyarakat patriarkal dianggap kurang
penting dibandingkan “dunia luas” (large world) yang berisi debat publik penting di mana
kosakata-kosakata laki-laki menggema, kemunculan kosakata khas perempuan dianggap
tidek perlu muncul di ranah publik.
Ekspektasi masyarakat bahwa dunia perempuan hanyalah sebatas lingkungan
domestik tergambarkan melalui film A League of Their Own yang telah disitir pada bagian
lain artikel ini. Film yang berlatar Amerika Seritkat pada Perang Dunia II selama 1940-an
itu mengisahkan sekelompok perempuan kulit putih yang memutuskan untuk menjadi
pemain baseball profesional ketika kebanyakan laki-laki saat itu maju ke medan perang.
Salah satu para pemain itu adalah Dottie Hinson (Geena Davis). Karakter Dottie Hinson
merepresentasikan stereotip perempuan pada masa 1940-an itu yang fokus pada relasi-
relasi personal dan isu-isu penampilan.

6
Gambar 2. Poster Film A League of Their Own yang disutradarai oleh
Penny Marshall dan dirilis pada 1992 (http://www.imdb.com).

Dottie Hinson bergabung dengan tim baseball profesional yang seluruhnya


beranggotakan para perempuan dan dilatih serta dimanajeri oleh sejumlah laki-laki. Meski
ternyata menunjukkan bakat di bidang baseball profesional, Dottie Hinson bermaksud
untuk kembali mengurus rumahtangganya. Ia toh merasa nyaman dengan dunia
domestiknya sebelum ia terjun ke dunia baseball profesional sehingga ia tak keberatan
untuk melepaskan karir profesionalnya ketika suaminya pulang dari medan perang.
Polarisasi gender tampak dalam dialog antara Mr. Harvey dan Mr. Ira Lowenstein.
Mr. Walter Harvey, pendiri All American Girl Basketball League (AAGPBL), merupakan
karakter dalam film yang mewakili ekspektasi masyarakat atas perempuan. Ia sempat
mengatakan, “Amerika memenangkan perang dan para lelaki bersiap untuk kembali ke
rumah.” Mr. Ira Lowenstein, manajer umum AAGPBL tidak setuju dengan gagasan
tersebut. Namun Mr. Harvey menukas, “Kami telah mengatakan kepada mereka bahwa
pergi ke pabrik dan bekerja di luar adalah tugas patriotis, namun sekarang para pria sudah
kembali dari medan perang dan kita harus mengirim kembali para perempuan ke dapur
mereka.”

2.2. Dominasi Politik Laki-laki

Asumsi kedua dari MGT adalah:


“laki-laki memiliki kedudukan politik yang lebih superior atau dominan
dibandingkan dengan perempuan dan pengalaman laki-laki menjadi preferensi
pengalaman gender lain.” Karena dominasi politik laki-laki, sistem persepsi laki-laki
turut dominan dan menggerogoti model alternatif ekspresi perempuan dalam memandang
dunia (Griffin, 2003: 489). Laki-laki mengambil kuasa dalam memberi nama atas suatu
kejadian sosial dan pengalaman perempuan kerap tak ternamai. Perempuan itu sendiri
kemudian tidak dapat memberi nama atau label atas pengalaman mereka sendiri (West
& Turner, 2010). Menurut Margaret Mead, satu langkah setelah mengetahui (knowing)

7
adalah adanya penamaan (naming) yang diketahui tersebut sehingga apabila penamaan
itu tak terjadi, pengalaman dan pengetahuan itu seakan tidak ada.

‘Ketulian’ atas suara dan eksistensi perempuan bekerja pada level sosietal. Hal itu tercermin melalui
beragam teks media yang beredar di masyarakat. Salah satunya adalah pada akhir Juni 2015,
sekelompok aktivis perempuan memprotes maskot Pilkada Sleman yang menurut mereka bias
gender. Maskot yang disebut sebagai Pakdhe tersebut dianggap para aktivis hanya mewakili satu
golongan tertentu di masyarakat sehingga seolah mengarah pada pemilih laki-laki atau memilih laki-
laki (Kompas.com, “Bias Jender, Maskot Pilkada Sleman Digugat Aktivis Perempuan”).

Gambar 3. Maskot Pilkada Sleman (diunduh dari


http://regional.kompas.com/read/2015/06/24/19494321/Bias.Jender.Maskot.Pilkada.Sleman.Digugat
.Aktivis.Perempuan)
Dalam perspektif MGT, maskot Pilkada Sleman tersebut merupakan bukti adanya anggapan yang
beredar di masyarakat bahwa kelompok laki-laki-lah yang dapat berbicara dan mengirim pesan
penting di ruang publik sementara perempuan tidak dihadirkan sebagai ikon yang dapat petuah atau
teladan terkait Pilkada.

‘Ketulian’ laki-laki tak berhenti di situ. Saya mengikuti sebuah grup Whatsapp yang kebanyakan
anggotanya adalah laki-laki. Ketika tautan berita tersebut beredar pada sebuah grup Whatsapp
tersebut, komentar pertama atas berita tersebut adalah, “Jika maskot Pilkada Sleman adalah
perempuan, bisa digugat balik mungkin ya.” Komentator berita yang adalah laki-laki itu tidaklah
mendengar poin utama dari para aktivis advokasi perempuan tersebut. Komentator tersebut masih
memandang gagasan para aktivis tersebut sebagai upaya ‘manja’ dari para perempuan untuk
mendapatkan posisi yang kompetitif dengan laki-laki. Bahwa dengan semata-mata maskot berganti
kelamin persoalan pun beres. Dan jika hal itu terjadi, kelompok laki-laki melakukan ‘pembalasan’
dengan melakukan gugatan balik.

8
Bahwa laki-laki-lah yang memegang peran lebih besar dalam membentuk bahasa
oleh Cheris Kramarae dapat terlihat pada ratusan istilah dalam bahasa Inggris untuk
menyebut perempuan dengan kecenderungan seksualitas liberal, ketimbang laki-laki
yang hanya beberapa istilah saja. Serupa dengan di Barat, bahasa di nusantara memiliki
banyak istilah untuk menggambarkan perempuan dengan seksualitas yang liberal seperti
“nyai, lonte, WTS (wanita tuna susila), watunas, gundik, gendak, sundal, PSK (pekerja
seks komersial), hostes, perempuan jalang, perempuan gampangan, perempuan nakal,
perempuan simpanan, kupu-kupu malam, gadis-gadis Burespang (bubaran restoran
Jepang), gadis-gadis Buresko (bubaran restoran Korea), gadis-gadis Burescin (bubaran
restoran Cina), pelacur, pereks (perempuan eksperimen), ciblek (cilik-cilik betah melek),
salome (satu lobang rame-rame), cewek bisyar (bisa bayar), cewek bispak (bisa pakai),
cewek gampangan, ayam kampus, piala bergilir, jablay (jarang dibelai)” dan sebagainya.
Sementara laki-laki yang memiliki seksualitas liberal hanya disebut “hidung belang,
penjahat kelamin, playboy, kucing, bronis, brondong, lola (lonte lanang), dan gigolo”.
Koentjoro & Sugihastuti (1999) mencatat bahwa sebagian istilah untuk menyebut pelaku
praktek prostitusi tersebut mengalami penyempitan makna, misalnya kata “pelacur” bisa
berlaku untuk laki-laki yang melacurkan diri namun kamus bahasa Indonesia tahun 1993
menyebut istilah “pelacur” hanya untuk pelaku perempuan.

Dalam konteks Indonesia, dominasi laki-laki dalam industri media juga terrepresentasi
salahsatunya melalui komik strip Panji Koming yang dikreasi oleh Dwi Koendoro Brotoatmodjo di
suratkabar Kompas sejak 14 Oktober 1979 (Setiawan, 2002). Setting sosiokultural Panji Koming
adalah masyarakat Jawa. Dalam komik tersebut, terdapat dua karakter perempuan yaitu Ni Dyah
Gembili yang berperawakan gemuk dan terus terang dan Ni Woro Ciblon yang pendiam, cantik, dan
sabar. Berdasarkan sebuah penelitian semiotik, kedua tokoh kartun perempuan tersebut
digambarkan masih menganut nilai-nilai Jawa di mana perempuan sebagai penajaga harmoni
sosial perlu lebih banyak bertugas di ranah domestik seperti pengasuhan anak (Septiana, 2009:
180).

Cheris Kramarae menyebut para lelaki kerap menuduh perempuan rewel dan
bawel (nagging) ketika perempuan terbata-bata dan dianggap ‘tidak akurat’ dalam

9
menyampaikan pengalamannya. Padahal, menurut Kramarae, laki-laki menggunakan
pengalaman dan pandangan dunianya sendiri dalam membaca pesan-pesan yang
disampaikan perempuan. Dalam konteks kasus di grup Whatsapp di atas, sang laki-laki
komentator tersebut masih menggunakan pola pikir kompetisi dan menang-kalah, terbukti
dari digunakannya diksi “digugat balik.” Kebisuan perempuan tidak selalu berarti
perempuan enggan bicara, melainkan wicara perempuan tidak dianggap dan
dipertimbangkan oleh laki-laki yang tuli.
MGT memandang ketidakmampuan perempuan untuk menyampaikan
pengalamannya dengan kata-katanya sendiri tidaklah karena kedunguan perempuan itu
melainkan tidak responsifnya bahasa dalam mengekspresikan pengalaman perempuan
(West & Turner, 2010). Keterbatasan bahasa itu menyebabkan para perempuan kerap
menjumpai jalan buntu ketika perlu mengekspresikan pemikiran dan pengalaman mereka.
Jauh sebelum 1970-an saat perempuan mulai bekerja untuk banyak media cetak,
hanyalah laki-laki yang menjadi penjaga gawang (gatekeepers) untuk proses komunikasi.
Laki-laki bekerja di percetakan, koran, dan penerbitan. Kramarae mencatat bahwa
perempuan tersingkir dari bisnis penerbitan selama 500 tahun lamanya (Griffin, 2003:
490). Tidak heran, menurutnya, eskpresi bahasa arus utama adalah malestream
expression.

MGT menekankan bahwa dominasi politik laki-laki memberi kesempatan bagi


persepsi laki-laki untuk dominan. Kekuatan-kekuatan persepsi alternatif –seperti
pengalaman perempuan—berkedudukan subordinat. Komunikasi perempuan terhambat
karena adanya subordinasi posisi tersebut. Pada organisasi-organisasi yang hirarkis,
dominasi laki-laki mereproduksi dirinya dan menguntungkan laki-laki. Pengalaman laki-
laki, mengasumsikan, terutama laki-laki kulit putih adalah lebih dominan daripada
pengalaman perempuan, apalagi perempuan berwarna. Perempuan berwarna yang ingin
sukses karenanya meminggirkan pengalaman mereka sendiri agar dapat diterima.
Dominasi politik laki-laki menentukan layak-tidaknya kehadiran perempuan di
ranah publik. Film A League of Their Own menggambarkan bahwa sistem nilai maskulin
yang beredar di masyarakat selama ini menempatkan laga-laga olahraga merupakan
domain maskulin atau laki-laki, bukan perempuan. Ketika para perempuan menjadi
pemain utama dalam laga baseball, banyak pihak meragukan kemampuan dan bakat
perempuan di bidang olahraga. Apalagi, nilai yang beredar saat itu umumnya memandang
bahwa pertandingan baseball bersifat kompetitif dan karenanya olahraga baseball
diperuntukkan bagi laki-laki, bukan perempuan.

2.3. Proses Translasi/Konversi Moda Ekspresi

Asumsi final MGT adalah:


“perempuan perlu menerjemahkan suaranya ke kosakata-kosakata yang dikreasi
oleh kelompok dominan agar dapat berpartisipasi dalam kehidupan sosial.”
Wicara perempuan yang menggunakan wacana emosional dan metafora-metafora yang
hanya relevan untuk kehidupan privat tidak akan mendapatkan tempat pada dunia laki-

10
laki dan laki-laki akan mengklaim mereka tidak dapat memahami moda berekspresi
perempuan (Miller, 2002: 292) sebagaimana yang terdeskripsi melalui film Legally Blonde
2 pada awal artikel ini.
Cheris Kramarae meyakini bahwa perempuan terbebani untuk
mengkonseptualisasikan pemikiran, memindai dan menransfer kosakata yang ia miliki ke
kosakata yang dapat mengikuti logika laki-laki agar dapat dipahami oleh orang lain yang
umumnya menggunakan kamus kosakata laki-laki. Proses penerjemahan tersebut
menghambat perempuan untuk menjadi ‘pembicara yang ulung.’ Tidaklah mengherankan,
menurut Kramarae, bahwa untuk mengatasi hambatan bahasa tersebut, perempuan-
perempuan kerap saling membantu, bicara bersamaan bahkan saling memotong satu
sama lain dalam menjelaskan sesuatu yang tidak terekspresikan dalam sistem bahasa
yang ada.
Menurut Marsha Houston dan Cheris Kramarae (1991), pembungkaman tak selalu
dilakukan oleh laki-laki, melainkan juga sesama perempuan. Mereka meneliti
perbincangan perempuan kulit putih Eropa-Amerika dengan perempuan kulit hitam Afrika-
Amerika. Observasi mereka menemukan bahwa pembungkaman terjadi tidak hanya
melalui mencegah perbincangan melainkan juga membentuk dan mengontrol cara
berbincang orang lain. Ketika perempuan kulit pitih mengkritisi cara berbincang wanita
kulit hitam sebagai “konfrontasional”, perempuan kulit hitam mencerna kritik tersebut
sebagai “bicara seperti aku, atau aku tidak akan mendengar.” Pesan yang dicerna oleh
kelompok subordinat itu mengendurkan kuasa kelompok subordinat yang berupaya lebih
konformistis.
Terdapat beberapa adegan dalam film A League of Their Own yang
menggambarkan konformitas perempuan terhadap sistem nilai dan ekspresi yang
dibangun laki-laki. Tengah film A League of Their Own mengisahkan liga baseball
perempuan itu kesulitan untuk menjual tiket. Para pemain perempuan keluar dengan ide
untuk mencium para penonton yang berhasil menangkap bola pukulan (foul ball). Dengan
iming-iming ciuman, para pemain tersebut berharap laga itu akan dihadiri banyak
penonton laki-laki. Selain itu, seragam para pemain baseball perempuan yang semula
adalah kaos oblong dan celana pendek diganti dengan busana yang mirip dengan gaun
sehingga para penonton pria dapat mengintip ke balik rok pemain baseball. Padahal,
seragam baseball mirip gaun itu jauh dari kepraktisan untuk jongkok maupun meluncur di
atas base seperti seragam yang biasa digunakan pemain laki-laki.
Penerjemahan pesan oleh perempuan ke sistem ekspresi maskulin tidak selalu
berhasil. Satu kalimat yang sering kita (baca: perempuan) dengar yang membuktikan
‘ketulian’ laki-laki adalah “perempuan itu sulit kami (laki-laki) mengerti.” Lituchy & Wiswall
pada 1991 mengadakan riset yang membuktikan asumsi ketiga MGT bahwa perempuan
harus menggunakan moda berekspresi dominan agar dapat dimengerti meski keduanya
tak ada referensi sedikit pun ke MGT (Wall & Gannon-Leary, 1999:27). Riset tersebut
menemukan bahwa laki-laki dan perempuan berbeda dalam menggunakan bahasa
terutama pada pilihan kata, intonasi, dan penggunaan numerik (Wall & Gannon Leary,
ibid.i). Perempuan yang menggunakan pilihan kata, intonasi, dan numerik sebagaimana
laki-laki dianggap lebih asertif, percaya diri, dan berkuasa.
Translasi bahasa dari kosakata perempuan ke kosakata laki-laki adalah salah satu
strategi perempuan untuk diterima oleh sistem sosial yang disusun oleh laki-laki. Strategi
tersebut seringkali berjalan bersamaan dengan strategi lainnya yaitu modifikasi
penampilan dan perilaku. Untuk diterima dan sukses di industri teknologi informasi yang
dianggap sebagai ‘sektor pria’, perempuan kerap mengadopsi standar-standar dan ritual-
ritual laki-laki dalam berkomunikasi maupun berperilaku, misalnya dengan menurunkan
nada bicara dan menata penampilan agar tidak terlalu ‘perempuan’, serta berani sombong
mengiklankan dirinya sebagai sosok yang kapabel (Ali, 2001:55).

11
3. Proses Pembungkaman

Postulat utama MGT adalah anggota kelompok yang termarjinalkan atau


subordinat dibungkam atau dibuat tak mampu mengartikulasikan dirinya dengan baik.
Pembungkaman tersebut tidak bersandar pada kuasa-kuasa eksplisit atau pun paksaan,
melainkan melalui praktek politik dan kultural sehari-hari. Tak seperti aktivitas berbicara
seperti pidato yang hanya membutuhkan satu orang aktor, pembungkaman
membutuhkan kolaborasi dan pemahaman bersama yang nyata mengenai siapa
kelompok masyarakat yang memiliki kuasa lebih atas kelompok masyarakat yang lain.
Kelompok masyarakat yang dominan itulah yang menciptakan dan mengontrol sistem
bahasa yang membungkam kelompok masyarakat yang subordinat.
West & Turner (2010) meringkas pemikiran Kramarae bahwa pembungkaman
dalam MGT itu berlangsung melalui penertawaan (ridicule), ritual, pengontrolan, dan
pelecehan. Laki-laki kerap mengolok-olok perempuan sebagai pihak yang cerewet,
manja, cengeng, suka bergosip, rewel, dan seterusnya. Dalam film A League of Their
Own, karakter Jimmy Dugan, si manajer salah satu kelompok pemain baseball permpuan,
meneriaki Evelyn yang menurutnya berbuat kesalahan. Ketika Evelyn menangis, Dugan
kembali berteriak, “Tidak ada tangisan di permainan baseball!” Perempuan dianggap laki-
laki menyampaikan hal-hal yang tak berarti.
Cara lain pembungkaman atas perempuan adalah melalui ritual. Ritual yang paling
nyata membungkam perempuan menurut Kramarae adalah pada upacara pernikahan
(West & Turner, 2010). Pada beragam upacara pernikahan di dunia, perempuan tak diberi
kesempatan untuk bicara. Dalam konteks dunia olahraga, ritual yang masih luas berlaku
adalah media lebih banyak meliput laga-laga olahraga yang dilakukan oleh para laki-laki
ketimbang laga-laga yang dilakukan oleh para perempuan. Eksistensi perempuan dan
beragam praktek komunikasi perempuan mendapatkan perhatian lebih sedikit media.
Novel Bumi Manusia yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer menggambarkan
bagaimana perempuan melalui tokoh fiktif Sanikem tidak memiliki hak bicara atas dirinya
sendiri. Ia mengalami penindasan yang nampak lumrah terjadi di kalangan remaja
perempuan pada masa kolonialisme Belanda di Indonesia itu. Penindasan itu adalah
anak-anak perempuan ‘dijual’ oleh para ayahnya kepada laki-laki asing-asing yang lebih
kaya untuk menjadi istri tidak sah. Perlakuan terhadap Sanikem itu dianggap sebagai
sebuah bentuk pengorbanan anak perempuan untuk keluarganya. Padahal, si anak
perempuan itu sendiri merasa tertekan atas pengalamannya tersebut. Adakah saat itu
kosakata yang bisa mewakili pengalaman dan perasaan Sanikem? Belum ada. Sanikem
mengatakan kepada sobatnya:

“Sungguh Ann...., aku malu mempunyai seorang ayah juru tulis Sastrotomo. Dia
tidak patut jadi ayahku. Tapi aku masih jadi anaknya, dan aku tidak bisa berbuat
sesuatu. .... . Badan sendiri pun bukan aku yang punya.” (halaman 86.)

Meski fiksi, pengalaman Sanikem dalam Bumi Manusia menggambarkan betapa laki-laki
melalui tokoh ayah dan suaminya melakukan kontrol penuh atas diri Sanikem.
Pembungkaman atas wicara perempuan nampak nyata melalui kontrol laki-laki
atas kehadiran perempuan di ruang publik, ruang yang tak seharusnya dihadiri oleh para
perempuan. Para perempuan pemain baseball dalam A League of Their Own
mendapatkan ‘ancaman’ verbal ketika mereka tengah melakukan pemanasan di tengah
lapangan baseball dari para penonton yang kebanyakan laki-laki. Sebagian penonton laki-
laki secara non-verbal medemonstrasikan bahasa tubuh feminin para perempuan dan
menganjurkan sebaiknya mengkuteki kuku mereka saja.

12
Cheris Kramarae juga menyayangkan buku-buku sejarah lebih banyak merekam
kesaksian-kesaksian dari sumber-sumber laki-laki (West & Turner, 2010). Sejarah yang
ditulis di dunia tidak didasarkan pada kesaksian-kesaksian perempuan, melainkan laki-
laki. Virginia Woolf adalah novelis perempuan yang mengkritik tiadanya kehadiran
perempuan dalam kepenulisan sejarah maupun narasi sejarah itu sendiri (Griffin, ibid.).
Husein Muhammad dalam artikelnya yang diunggah di Rahima.or.id pada akhir 2014 juga
mencatat bahwa dalam wacana teologi Islam, pemikiran-pemikiran dari para ulama
perempuan mengalami peminggiran.
Adegan presentasi Ellen Woods di sebuah rapat dan di suatu persidangan di
pengadilan dalam Legally Blonde 2 menggambarkan laki-laki atau maskulinitas berada
pada posisi sentral sementara perempuan hanya di ujung horison proses komunikasi
publik. Ketika laki-laki menginterupsi suatu perbincangan yang dipimpin perempuan,
pendapat laki-laki itu mengubah dinamika komunikasi kelompok. Sementara itu, ketika
perempuan menginterupsi suatu perbincangan yang dipimpin laki-laki, laki-laki tersebut
akan kembali ke topik semula seolah-olah pendapat perempuan tadi tidak hadir sama
sekali.

4. Beda MGT dengan Teori ‘Sejenis’ Lainnya

Dibandingkan dengan Genderlect Styles Theory, Muted Group Theori memiliki


asumsi yang lebih kuat dalam ‘memojokkan’ laki-laki. Kedua teori tersebut sama-sama
membahas faktor relasi gender dalam komunikasi interpersonal dan kelompok. Teori
Genderlect Styles menekankan pada adanya perbedaan gaya berkomunikasi antara laki-
laki dan perempuan. Teori yang diformulasi oleh Deborah Tannen tersebut tidak
‘menuduh’ laki-laki sebagai penyebab adanya perbedaan gaya tersebut, apalagi
menganggap laki-laki sebagai kelompok yang menguasai sistem bahasa (Griffin, 2003:
497). Sementara itu, MGT diklaim Cheris Kramarae mempertanyakan kuasa yang
merelasikan antara laki-laki dan perempuan secara tidak seimbang sehingga masyarakat
patriarkal tercipta (Griffin, ibid.).
Tannen mengrkitik sarjana feminis seperti Kramarae yang selalu mengasumsikan
bahwa laki-laki mencoba mengontrol perempuan. Tannen mengakui bahwa gaya
berkomunikasi laki-laki dan perempuan berbeda, namun hal itu disebabkan semata-mata
oleh gaya yang berbeda itu sendiri (Griffin, ibid.). Sebaliknya, Kramarae menganggap
kritik Tannen terhadap MGT dan pembelaan Tannen atas penyalahgunaan kuasa oleh
laki-laki adalah naif. Kramarae mencatat bahwa laki-laki kerap mengabaikan atau
mengejek pernyataan-pernyataan perempuan mengenai beragam masalah yang
dilontarkan mereka ranah publik yang didominasi laki-laki (Griffin, 2003: 498). Daripada
menyalahkan gaya berkomunikasi yang berbeda antara laki-laki dan perempuan,
Kramarae menunjuk banyak cara di mana hierarki kelas, ras, dan gender didukung oleh
sistem politik, pendidikan, agama, hukum, dan media (Griffin, ibid.).
MGT bersama Standpoint Theory (ST) digolongkan oleh Miller (2002: 289) ke
dalam teori-teori kelompok ko-kultural. Istilah “ko-kultur” dicetuskan oleh Orbe untuk
menggarisbawahi multiplisitas kelompok-kelompok budaya terutama di masyarakat
Amerika Serikat, dan untuk menunjukkan perbedaan kuasa yang inheren dalam
multiplisitas budaya tersebut. Baik MGT dan ST mendiskusikan mengenai dua kelompok
gender dan bagaimana distribusi kuasa tidak berimbang pada kedua kelompok tersebut
sehingga hanya salah satu kelompok budaya (laki-laki) yang menjadi dominan.
Baik MGT maupun ST berkembang menjadi teori-teori feminis mengenai posisi
dan interaksi sosial. Meski begitu, para teoris pada kedua teori tersebut berkeyakinan
bahwa teori-teori itu dapat diterapkan kepada kelompok-kelompok marjinal selain

13
perempuan, seperti kelompok homoseksual, kulit berwarna, lansia, anak-anak, dan
sebagainya.
MGT turut meyakini asumsi-asumsi utama yang terkandung dalam ST. Asumsi-
asumsi utama ST adalah posisi kelas Marxian membentuk dan membatasi pemahaman
seseorang mengenai hubungan-hubungan sosial. Pengalaman seorang ibu rumah
tangga, secara esensial memberi pemahaman tertentu tentang dunianya dan interaksi-
interaksi dalam dunianya tersebut, berbeda dari pemahaman dan pandangan dunia
seorang laki-laki yang menduduki jabatan pada korporasi yang hirarkis (Miller, 2002: 290).
Sementara penekanan ST terletak pada ketimpangan kuasa dan relasi gender
laki-laki perempuan menimbulkan perbedaan pandangan atas dunia di antara kedua
gender tersebut, penekanan MGT terletak pada tiadanya bahasa yang dapat mewakili
pengalaman perempuan sebab bahasa dikreasi oleh kelompok dominan.

5. Aplikasi Muted Group Theory pada Penelitian dan Aksi Komunikatif

MGT disusun bukan oleh sarjana komunikasi, melainkan sarjana antropologi


(Edwin & Shirley Arderner) serta sosiolog dan linguistik (Cheris Kramarae). Meski begitu,
MGT dapat digunakan dalam riset-riset komunikasi berperspektif kritis. Penelitian
berperspektif kritis mempelajari mengenai ketidaksetaraan (inequality) dan penundukan
(oppressions). Tak hanya itu, perspektif kritis tidak hanya berhenti pada mengamati,
mengobservasi, dan menginterpretasi, melainkan juga mengkritisi (Baran & Davis, 2012
:17). Menurut perspektif kritis, realitas adalah dialektika (debat atau struggle terus
menerus) antara struktur dan agensi. Ketika para elit menguasai struggle, mereka
mendefinisikan realitas bagi semua anggota masyarakat termasuk kelompok yang
subordinat. Ketika orang-orang tercerahkan atau teremansipasi, mereka mendefinisikan
realitas melalui tindakan dan interaksi (agensi). MGT tergolong teori dalam kotak
paradigma kritis sebab asumsi-asumsi MGT mengandaikan adanya pemiaraan
ketidaksetaraan dan penundukan yang bekerja melalui bahasa. Selain itu, MGT tidak
hanya berambisi untuk menjelaskan suatu fenomena sosial, melainkan juga memberikan
pencerahan (emansipasi) kepada kelompok muted untuk melakukan perubahan melalui
sejumlah aksi-aksi sosial.
Sebagai teori berparadigma kritis, penerapan MGT perlu diarahkan untuk meneliti
fenomena-fenomena komunikasi dan media yang melibatkan para peserta di mana satu
sama lain tidak memiliki kuasa yang setara atau menunjukkan adanya kelompok dominan
dan kelompok muted marjinal. Bahkan melalui penelitian komunikasi dengan MGT
tersebut, distribusi kuasa yang tidak setara barangkali dapat dibuktikan.

5.1. Peluang Penelitian Menggunakan MGT

Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, MGT (MGT) berkembang di


tradisi kritis. Meski begitu, sejumlah penelitian yang dilakukan Cheris Kramarae
menunjukkan MGT juga berkembang pada tradisi semiotik. Konteks fenomena
komunikasi yang diteliti dengan MGT adalah komunikasi kultural, baik yang berlangsung
pada level komunikasi interpersonal, organisasi, kelompok, melalui komunikasi langsung
maupun termediasi (melalui media sosial, misalnya), maupun penelitian atas konten dan
institusi media itu sendiri. Apa pun konteks komunikasi yang diteliti, riset-riset komunikasi
yang menggunakan MGT (MGT) berpeluang untuk mendalami ragam topik tentang:

- Pertukaran pesan antara dua kelompok (dominan dan muted) dalam beragam
konteks.

14
Asumsi mendasar dari MGT adalah adanya dua kelompok yang memiliki kadar
kuasa yang berbeda di mana satu pihak mendominasi yang lainnya. Kedua kelompok
tersebut berkomunikasi (bertukar pesan) satu sama lain. Penelitian mengenai
pertukaran pesan antara dua kelompok perlu mencermati hadir tidaknya maupun
proses pembungkaman atau resistensi yang terjadi. Peneliti bisa mengungkapkan
penggunaan bahasa verbal/nonverbal maupun simbol-simbol dalam
penguatan/pelemahan dominasi/resistensi antara kedua kelompok tersebut;
Terkait dengan asumsi MGT yang kedua yaitu kelompok dominan menekan ide-
ide dan makna-makna dari kelompok muted untuk mempertahankan dominasinya,
penelitian komunikasi dapat difokuskan untuk membuktikan (atau menyanggah)
bagaimana orang-orang dari kelompok dominan pura-pura mendengar atau malah
mengabaikan ide-ide, saran-saran, maupun intervensi-intervensi dari pihak yang
berasal dari kelompok muted. Konsep yang ditawarkan Lutgen-Sandvik (2003)
mengenai MTG pada konteks organisasi juga menggambarkan adanya kelompok
dominan (atasan) yang membungkam kelompok muted (bawahan).

- Komunikasi perempuan

Sebagai teori yang berawal dari pengamatan terhadap rendahnya kehadiran


perempuan dalam berbagai laporan etnografis, MGT menyediakan basis yang kuat
bagi peneliti untuk memfokuskan penelitian pada komunikasi perempuan.
Hambatan komunikasi perempuan itu, menurut MGT, disebabkan oleh dominasi
moda ekspresi laki-laki di masyarakat. Hambatan-hambatan komunikasi perempuan
suara perempuan masih berpeluang untuk diteliti lebih jauh. Misalnya, apakah benar
perempuan yang mengadopsi moda ekspresi laki-laki lebih bisa dipahami dan
dianggap serius (baca: setara dengan laki-laki) dalam konteks masyarakat Indonesia?
Atau justru, perempuan yang mempertahankan ‘keperempuanannya’ lebih bisa
‘diterima’ oleh kelompok dominan meski kemudian ia menjadi tidak ‘didengar’?
Samakah definisi ‘suara perempuan bisa diterima laki-laki’ dan ‘suara perempuan bisa
didengar laki-laki’ itu? Dan apakah ketika perempuan melakukan translasi moda
berekspresi, ia dianggap menjadi ‘ancaman’ bagi kelompok dominan? Sejauh mana
laki-laki dapat ‘mendengar’ dan ‘menerima’ pesan komunikasi perempuan?
Terkait asumsi ketiga MGT yaitu perempuan harus mengkonversi ide-ide,
pengalaman-pengalaman, dan makna-makna unik mereka ke bahasa laki-laki,
penelitian komunikasi perlu diarahkan untuk membuktikan apakah asumsi tersebut
dikonfirmasi oleh realitas; bagaimana dinamika komunikasi perempuan ketika berada
di kelompok perempuan dan ketika berada di kelompok campur; dan menjawab apa
yang terjadi apabila pihak muted tidak mengkonversi pengalaman mereka ke bahasa
dominan.
Meski MGT tidak selalu berlaku untuk perempuan sebagai kelompok
terbungkam, penelitian komunikasi dapat difokuskan pada komunikasi perempuan
pada berragam konteks komunikasi, misalnya dalam konteks relasi cinta dan
pernikahan, profesional, bagian dari komunitas campur, kelompok eksklusif
perempuan, dan sebagainya; atau pada bagaimana kemudian perempuan
menggunakan media alternatif sebagai forum untuk mengatasi kebungkaman. Riset
yang dilakukan oleh Sanderson et.al. (2016) merupakan salah satu contoh riset pada
ranah komunikasi dalam olahraga yang dilakukan oleh atlet lak-laki dan perempuan
yang menggunakan MTG dengan penekanan pada komunikasi atlet perempuan (Box
Contoh Riset).

15
Contoh Riset

Jimmy Sanderson, et.al. (2016) meneliti ratusan atlet sepakbola pria (300-an) dan
wanita (500-an) di Amerika Serikat. Penelitian itu bertujuan untuk memahami perilaku
(tidak) melaporkan adanya cidera yang dialami oleh para atlet. Teori-teori yang
digunakan adalah teori gender, hegemoni maskulinitas dan Muted Group Theory.
Metode yang digunakan adalah survei online dengan snowball sampling yang
diedarkan di media sosial. Peneliti bekerjasama dengan PinkConcussion.com untuk
penyebaran kuesioner.

Hasil penelitian menunjukkan para perempuan ditundukkan oleh hegemoni


maskulinitas ketika (tidak) melaporkan cedera. Meski atlet laki-laki lebih jarang
melaporkan cedera daripada atlet perempuan, alasan untuk tidak melaporkan di
kedua kedua kelompok gender berbeda. Atlet laki-laki menganggap faktor kesetiaan
terhadap tim menahan mereka untuk tidak melaporkan cedera. Semetara itu, atlet
perempuan menganggap faktor tingkat kenyerian dan keparahan mencegah mereka
untuk tidak mengungkap cedera. Kecenderungan komunikasi atlet perempuan
tersebut menunjukkan bahwa atlet perempuan merasakan adanya tekanan nilai-nilai
budaya olahraga yang meminimalisir cedera dan bermain dalam kondisi kesakitan.
Faktor lainnya adalah tiadanya perempuan yang menduduki jabatan struktural penting
sehingga hal itu berpengaruh pada tidak terlaporkannya cedera atlet perempuan.

- Proses atau pemiaraan kebungkaman kelompok-kelompok tertentu melalui pesan-


pesan media maupun manajemen media.

MGT juga dapat diterapkan untuk meneliti fenomena pada konteks pesan media
maupun institusi media. Asumsi-asumsi MGT mengandaikan adanya institusi-institusi
sosial yang melanggengkan terjadinya kebungkaman kelompok tertentu di
masyarakat, salahsatunya adalah institusi media. Karena media banyak dikelola oleh
laki-laki, secara hipotetis pesan-pesan simbolik yang beredar di media belum mewakili
suara kelompok muted. Penelitian konten media tidak hanya dilakukan dengan
meneliti konten secara semiotika maupun analisis isi, melainkan juga dengan analisis
audiens. Dengan begitu, penelitian konten media terkait MGT tidak hanya diarahkan
untuk memetakan pesan-pesan apa yang muncul di media, melainkan juga yang tidak
muncul di media.
Terkait dengan hadirnya teknologi media baru saat ini, penelitian media dengan
menggunakan MGT dapat diarahkan untuk mendalami apakah media baru memang
memberi jalan keluar bagi ‘kebungkaman’ perempuan dan ‘ketulian’ laki-laki, atau
justru melanggengkan ketidaksetaraan relasi gender tersebut.

16
- Pembentukan hirarki sosial.

Alih-alih menggunakan MGT untuk penelitian yang bertitikmula dari


ketidaksetaraan kuasa antar kelompok di masyarakat, MGT dapat diterapkan untuk
penelitian yang berpangkal dari praktek berbahasa individu-individu dalam suatu
masyarakat untuk melihat distribusi kuasa dan pengelompokan individu-individu
dominan dan muted.
Dale Spender menyampaikan bahwa terdapat dua moda berekspresi kelompok
muted: melakukan translasi pesan ke moda ekspresi kelompok dominan, atau tetap
menggunakan moda ekspresinya sendiri hingga dianggap ‘bungkam.’ Penelitian
komunikasi bisa diarahkan untuk melihat proses sosial terjadinya translasi maupun
bertahannya kebungkaman orang-orang dari kelompok marjinal dan terbentuknya
semacam hirarki sosial yang didasarkan oleh cara berkomunikasi yang dipilih masing-
masing individu. Misalnya, pada sebuah firma hukum, kelompok dominan terdiri dari
para pengacara yang kebanyakan adalah laki-laki. Perempuan asisten pengacara
yang ingin dianggap serius oleh para pengacara menunjukkan perilaku dan cara
berkomunikasi tertentu. Sementara itu, terdapat perempuan paralegal yang
mempertahankan komunikasi femininnya. Dengan beragam model komunikasi
perempuan dan laki-laki pada firma hukum tersebut, bagaimana kepemimpinan
berlangsung, atau peningkatan karir berjalan, hirarki sosial terbentuk, atau
pengelolaan krisis dipraktekkan?

5.2. MGT untuk Indonesia

Di Barat itu sendiri, MGT relatif radikal setidaknya di kalangan akademia pada era
1970-an dan 1980-an. Peluang pengembangan MGT masih terbuka lebar di Indonesia.
Penelitian-penelitian yang menginisasi lahirnya MGT kebanyakan dilakukan di negara-
negara Afrika, Asia Timur, dan Eropa. Sebagaimana teori-teori yang dilahirkan di Barat
lainnya, MGT masih perlu diuji untuk melihat kesesuaiannya dengan konteks sosial,
budaya, dan politik masyarakat Indonesia.
Penggunaan MGT untuk fenomena komunikasi di Indonesia tidak hanya
berpeluang untuk diterapkan pada isu-isu pengembangan MGT sebagaimana yang telah
disampaikan pada bagian sebelum ini, melainkan juga Indonesia memiliki sejumlah
keunikan yang memberikan sejumlah tantangan kepada MGT. Tantangan-tantangan itu
antara lain:

- Adanya kemungkinan bahwa kelompok muted tak selalu terdiri dari perempuan,
melainkan juga laki-laki pada suku tertentu.

Bahwa MGT bisa berlaku pada kelompok laki-laki pernah dibahas oleh Radhika
Chopra, lebih tepatnya pada kelompok laki-laki yang melakukan fungsi babysitting yang
biasa dianggap sebagai tugas feminin. Meski begitu, bagaimana dengan kelompok
perempuan yang memiliki kuasa lebih tinggi daripada laki-laki dalam kelompok adatnya
mengalami atau justru melakukan pembungkaman? Indonesia yang terdiri dari beragam
suku dan agama memiliki ragam kecenderungan relasi gender pada masing-masing
kelompok suku dan agama tersebut. Posisi perempuan di sejumlah kelompok suku besar
di Indonesia seperti suku Jawa, Bali, Batak, Sunda dan Minangkabau menunjukkan tidak
semua perempuan pada posisi yang lemah dalam relasi gender. Para perempuan di suku
Minangkabau, misalnya, memiliki kuasa yang lebih tinggi daripada anggota laki-laki dalam

17
keluarga besarnya (Nugroho, 2008: 119). Dalam konteks suku tersebut, lantas kelompok
gender manakah yang menjadi pihak ‘terbungkam’?

- Sejarah bangsa Indonesia menunjukkan kecenderungan biasa mengalami


pembungkaman.

John C. McGlynn (2000) bahkan menduga, Indonesia merupakan bangsa yang


terbiasa untuk terbungkam. Melalui adat masyarakatnya yang biasa menghindari
konfrontasi, praktek sensor konten media yang dimulai sejak zaman kolonialisme Belanda
hingga Orde Baru, represi tak hanya dari pemerintah melainkan juga para pemuka agama,
dan terpeliharanya adagium “diam itu emas” nampaknya memang menjadikan bangsa
Indonesia terbiasa untuk bungkam dan mungkin malah tidak menyadari kebungkaman,
apalagi menganggap kebungkaman tersebut sebagai sesuatu yang bisa diubah.
Mungkinkah suatu masyarakat beranggotakan kelompok terbungkam saja, ataukah ada
semacam derajat atau relativitas keterbungkaman? Pada situasi adanya relativitas
keterbungkaman, lantas, kelompok manakah yang paling lantang bersuara, dan kelompok
manakah yang paling terbisukan? Dengan asumsi publik Indonesia beranggotakan
kelompok-kelompok terbungkam, lantas, pesan-pesan apa sajakah yang muncul di ranah
publik Indonesia?

- Banyaknya kelompok suku dan agama di Indonesia meningkatkan potensi komunikasi


antarbudaya.

Banyak tidaknya suatu suku dan agama pada suatu negara memang tidak dapat
menjdi penanda negara tersebut lebih rawan konflik dibandingkan dengan negara lain
yang hanya memiliki dua suku dan agama. Hanya saja, apabila suatu suku tertentu lebih
dominan dibandingkan dengan suku lainnya pada suatu wilayah, potensi terjadinya
pertikaian mempertahankan dominasi ataupun upaya resistensi dapat terjadi. Pada
konteks komunikasi, keragaman suku tersebut berpeluang menimbulkan komunikasi
antarbudaya yang mungkin tidak selalu berjalan mulus, dan komunikasi di mana satu
pihak mengalami pembungkaman. Oleh karena itu, MGT berpeluang mendapatkan
banyak konteks komunikasi antarbudaya di Indonesia.

5.3. MGT untuk Aksi Mendorong Perubahan Sosial

Inti dari MGT (MGT) adalah memberikan penjelasan mengapa sebagian anggota
masyarakat dapat lebih bersuara dibandingkan sebagian anggota kelompok yang lain.
Sebagai salah satu teori komunikasi yang beraliran kritis, MGT (MGT) bermaksud
memberi pencerahan dan melakukan perubahan sosial terkait dengan ketidaksetaraan
distribusi kuasa di masyarakat sebagaimana yang terlihat melalui ‘kebungkaman’ suatu
kelompok, dan dominasi suara dari kelompok lain tersebut. Aksiologi dari MGT adalah
semua kelompok di masyarakat memiliki tingkat keterdengaran yang setara atas suara-
suara mereka. Aksi-aksi apa sajakah yang diilhami dari MGT untuk mencapai perubahan
sosial tersebut?
Pada konteks kebungkaman perempuan, salah satu aksi yang menurut Kramarae
dapat mendorong penguatan suara perempuan adalah dengan menciptakan kosakata
untuk pengalaman khas perempuan yang selama ini belum ada. Perempuan yang sibuk
menyiapkan makan malam mungkin merasa ada sesuatu yang salah ketika suaminya
pulang ke rumah dan tidak melakukan apa pun. Namun perempuan itu tak dapat
mengatakan sesuatu yang ia alami itu ke dalam sebuah kata yang murni dari pengalaman

18
dunianya sebab selama ini ia merujuk ke istilah yang diciptakan laki-laki untuk menamai
pengalamannya sendiri.
Kramarae mencatat istilah seperti “sexual harassment, date rape, glass ceiling,
dan second shift” belum terdapat di kamus feminis sebelum 1970-an. Perempuan-
perempuan yang mengalami sesuatu yang kita sekarang sebut dengan pelecehan
seksual tidak melabeli apa pun pengalaman mereka itu, bahkan cenderung menerima
pengalaman itu sebagai bagian yang natural dalam hidup mereka. Dengan adanya label
pelecehan seksual atas sesuatu ‘yang tidak menyenangkan itu’, perempuan memberi
kategori sekaligus menentukan solusi atas tindakan tersebut. Adanya istilah tersebut juga
membuka mata masyarakat mengenai sesuatu yang semula dianggap ‘biasa saja’
menjadi sesuatu yang patut menjadi keprihatinan bersama pada berbagai level. Pelabelan
tersebut turut mendorong perubahan sosial.
Dalam konteks Indonesia, sebagian istilah tersebut juga mulai diadaptasi dan
muncul di ruang publik misalnya “pelecehan seksual, perkosaan, rudapaksa, pencabulan,
dan beban ganda.” Sayangnya, istilah “glass ceiling”, “marital rape”, “date rape” dan
“second shift” belum mendapatkan padanan kata yang pas3. Khususnya untuk “marital
rape”, sejauh ini hukum positif di Indonesia juga belum mengenali adanya perkosaan
dalam perkawinan. Milda Marlia (2007:77) mencatat bahwa secara yuridis “perkosaan
dalam perkawinan” tidak diatur dalam KUHP maupun RUU KUHP tahun 2000. Kasus-
kasus perkosaan dalam perkawinan hanya dapat dijaring dengan pasal penganiayaan
sehingga pasal-pasal yang dikenakan untuk kasus tersebut adalah KUHP pasal 351, 353,
dan 356 (Marlia, 2007:78).
Cheris Kramarae sendiri bersama Paula A Treichler (dibantu oleh Ann Russo)
pada 1985 menyusun kamus feminis. Keduanya mengkritik kamus Merriam-Webster yang
sarat dengan dominasi pandangan laki-laki. Dalam kamus itu, terdapat istilah “cukcold”
yang berarti suami untuk istri yang tidak setia. Sementara, istri dari suami yang tidak setia
tetap disebut “wife.” “Doll”, dalam kamus Merriam-Webster juga tidak semata-mata
merujuk pada “boneka”, melainkan juga ke “perempuan dewasa”.
Kramarae juga memiliki visi jika kita punya kosakata yang bisa menggambarkan
keterhubungan komunikasi privat dan publik, yang mana kosakata itu mengandung ide
bahwa kedua ranah tersebut setara, maka kesamaan laki-laki dan perempuan lebih
penting daripada perbedaannya (Griffin, ibid.).
Pada level struktur sosial, mengurangi kebungkaman kelompok-kelompok tertentu
di masyarakat perlu dilakukan dengan menjamin keterwakilan kelompok-kelompok
tersebut pada berbagai institusi sosial, termasuk institusi media meski strategi tersebut
tak selalu akan berhasil.

6. MGT dan Media Baru

Internet menyediakan platform di mana semua orang selama memiliki akses


terhadap Internet dapat mengekspresikan dirinya tanpa hambatan apa pun. Apakah
memang benar demikian?
Kramarae meyakini bahwa melalui wacana (discourse)-lah genderisasai terjadi
dan terbentuk. Pada wacana Internet, banyak istilah yang muncul mengaburkan situasi di
mana terjadi ketidaksetaraan distribusi kuasa antara laki-laki dan perempuan seperti

3
“Glass ceiling” adalah istilah untuk menggambarkan adanya batasan yang tak terlihat dan tak terprediksi bagi
orang-orang dari kelompok minoritas untuk mencapai posisi puncak dalam hirarki sosial. Sementara itu, “second
shift” adalah sesi mengerjakan tugas-tugas domestik bagi wanita karir yang mana sesi domestik itu adalah sesi
kedua setelah bekerja di kantor.

19
istilah “jalan tol informasi” (information superhighway) dan “tapal batas dunia” (the new
frontier) (Griffin, 2003: 491).
Istilah “jalan tol informasi” mengaburkan fakta adanya ketidaksetaraan struktur
sosial dan ekonomi antara laki-laki dan perempuan di mana perempuan yang secara
rerata berpenghasilan dan berpendidikan rendah daripada laki-laki tidak dapat semudah
laki-laki dalam mengakses Internet. Metafor “tapal batas dunia” juga lebih menarik minat
laki-laki untuk menjelajah teknologi informasi dan komunikasi. Istilah tersebut
mengandung kesan adanya dunia baru yang tak bernama dan bertuan. Laki-laki lebih
tertarik pada kesan yang ditimbulkan istilah tersebut ketimbang anak perempuan.
Meski teknologi Internet lebih banyak diciptakan dan dikuasai oleh laki-laki,
Kramarae menganggap Internet memberi peluang bagi semua kelompok muted untuk
lebih bersuara. Internet, menurutnya, memiliki sifat demokratis dan global. Kelompok
muted seperti perempuan dapat menjadi siapa pun, bahkan menyaru menjadi laki-laki,
untuk menyuarakan pikirannya melalui Internet tanpa merasa terkekang dengan
komunitas perempuan lainnya di seluruh dunia, melampui lingkungan sosialnya di dunia
nyata (Griffin, 2003: 491-492).

8. Kritik atas MGT

MGT (MGT) mendapat kritik dari sejumlah sarjana. Pada 1986, Pucket menyebut
MGT gagal menjelaskan fenomena bahwa perempuan nyatanya melakukan aktivitas
wicara di ruang publik (Wall & Gannon Leary, 1999:25). Mungkin nama Hillary Rodham
Clinton dan Condoleeza Rice mengingatkan bahwa perempuan pun dapat berdiri dan
bersuara lantang di ranah publik. Namun pendukung MGT menangkis bahwa tokoh-tokoh
perempuan tersebut dapat dianggap serius di ranah publik karena mereka telah
melakukan translasi luar biasa atas moda ekspresi mereka ke moda ekspresi publik
dominan (baca: laki-laki) (West & Turner, 2010: 498).
Cameron pada 1985 juga melontarkan kritik bahwa membutikan bahwa kelompok
muted tidak memiliki kosakata yang cukup dan adanya kelompok dominan menguasai
sistem bahasa adalah sulit. Mungkin saja, menurut Cameron, perempuan tetap berbicara
satu sama lain namun secara institusional mereka merasa terkekang dan dinilai negatif
manakala berbicara di ranah publik yang identik menjadi wilayah kuasa laki-laki (Wall &
Gannon Leary, 1999: 25-26). Selain itu, pembagian wilayah publik/privat (laki-
laki/perempuan) telah banyak dikritik akhir-akhir ini sebab pembatasan keduanya tidak
pernah benar-benar kaku dan tegas.
Penelitian mengenai ada tidaknya konversi moda berekspresi oleh perempuan,
dan apakah memang laki-laki lebih bisa mendengar manakala perempuan menggunakan
moda ekspresi laki-laki juga belum cukup meyakinkan. Malah, penelitian Kramarae
dengan Wei Zhang (2012), misalnya, lebih terfokus pada gaya berkomunikasi laki-laki dan
perempuan yang berbeda, tidak pada adanya pembungkaman makna dan pengalaman
perempuan melalui dominasi ekspresi laki-laki.
Bersama Wei Zhang (2012), Kramarae meneliti mengenai gaya berkomunikasi di
antara para perempuan urban Cina pada sebuah media sosial online dengan mengangkat
topik sebuah reality show berupa ajang penjodohan pada sebuah televisi nasional di Cina.
Zhang & Kramarae (2012) menemukan bahwa terdapat sejumlah ekspektasi dan
penilaian yang berbeda atas wicara perempuan dan laki-laki di masyarakat urban Cina,
yaitu laki-laki lebih dianggap wajar bicara dengan kata-kata menyumpahi (cursing)
daripada perempuan; perempuan diharapkan bicara dengan gaya yang lemah lembut dan
elegan (lady talk); dan baik perempuan dan laki-laki tidak menyukai gaya bicara
perempuan yang mirip suara bayi (baby talk).

20
Riset Zhang & Kramarae (2012) tersebut menguatkan asumsi bahwa memang
terdapat perbedaan gaya berkomunikasi antara laki-laki dan perempuan urban Cina.
Terdapat pula ketidaksetaraan penilaian atas ekspresi menyumpah yang dilakukan laki-
laki dan perempuan. Hanya saja, riset Zhang & Kramarae (2012) alih-alih membantu
menjelaskan bagaimana terjadi pembungkaman atas perempuan, simpulan riset tersebut
menggambarkan lady talk ‘bisa diterima’ oleh laki-laki tanpa perlu perempuan berbicara
laiknya laki-laki seperti dengan menyumpah. Malah, perempuan urban Cina yang
melakukan wicara seperti laki-laki (menyumpah) tidak dapat diterima baik oleh laki-laki
maupun perempuan. Jadi, bukankah ada kemungkinan perempuan justru didengar
manakala ia tetap berwicara ‘feminin’? Zhang & Kramarae (2012) tidak memberikan
penegasan bahwa penerimaan laki-laki (dan perempuan) atas lady talk dan tak
menyumpah adalah upaya laki-laki untuk selalu menundukkan posisi perempuan pada
wacana sosial.
MGT juga belum cukup terang dalam menjelaskan “berpartisipasi” di dalam
masyarakat. Pada asumsi ketiga MGT, untuk dapat “berpartisipasi” di masyarakat,
anggota kelompok marjinal perlu mengkonversi moda ekspresi mereka ke moda ekspresi
kelompok dominan. “Berpartisipasi” di situ apakah berarti suara kelompok marjinal
tersebut harus didengar oleh kelompok dominan, atau ia “berpartisipasi” dalam bentuk
tetap bertahan pada posisi marjinalitasnya? Apabila yang dimaksud dengan
“berpartisipasi” adalah suara kelompok marjinal dapat didengar oleh kelompok dominan,
haruskah kelompok marjinal menggunakan moda ekspresi kelompok dominan atau
menciptakan sistem alternatif?
Secara implisit, dengan disusunnya kamus feminis oleh Cheris Kramarae,
Kramarae menerangkan bahwa kelompok marjinal tidak harus melakukan translasi ke
bahasa dominan, melainkan menciptakan bahasanya sendiri, lantas mengarusutamakan
(mainstreaming) kosakata tersebut pada struktur sosial (melalui media massa atau
sosialisasi sehari-hari) agar pihak yang termarjinalkan tersebut teremansipasi. Anjuran
strategi tersebut bertolakbelakang dengan teorisasi MGT. Banyak penelitian toh
membuktikan pentingnya proses translasi tersebut yaitu banyak perempuan dapat naik
ke puncak hirarki sosial (misalnya di sebuah organisasi) dengan menggunakan gaya
berkomunikasi dan berperilaku ‘seperti laki-laki’.
Ketidakjelasan MGT tentang bagaimana perempuan bisa ‘didengar’ pada wacana
sosial terkait dengan kritik mayor terhadap teori tersebut, yaitu sebagaimana Standpoint
Theory, MGT terjebak pada esensialisme perempuan dan laki-laki dan menganggap
semua perempuan di seluruh belahan dunia memiliki karakter yang serupa satu sama
lain. Esensialisme gender itu menganggap bahwa perempuan di belahan dunia mana pun
memiliki karakter feminin yang sama sementara laki-laki di belahan bumi mana pun
memiliki karakter maskulin yang sama. Penelitian Zhang & Kramarae (2012) tentang
wicara perempuan urban Cina di atas menunjukkan kecenderungan MGT yang esensialis,
bahwa perempuan memiliki karakter wicara tertentu, bahwa perempuan urban Cina suka
menyumpah adalah lebih mengarah ke karakter laki-laki.

9. Pertanyaan untuk Diskusi

- Apakah anda perempuan dapat memberikan contoh peristiwa-peristiwa di mana Anda


merasa kesulitan untuk menyampaikan sesuatu yang Anda alami dan rasakan?
Apakah MGT berhasil menjelaskan pengalaman-pengalaman personal Anda
tersebut? Mengapa dan mengapa tidak?
- Kelompok-kelompok sosial mana sajakah selain perempuan yang menurut Anda
mengalami pembungkaman di Indonesia? Apakah MGT dapat menjelaskan
kebungkaman-kebungkaman kelompok tersebut? Mengapa dan mengapa tidak?

21
- Apakah Anda setuju bahwa Bahasa Indonesia atau bahasa daerah di nusantara lebih
dapat mewakili suara laki-laki lebih baik daripada mewakili suara perempuan?
Jelaskan jawaban Anda.
- Salah satu kritik atas MGT adalah MGT dianggap berlebihan dalam menjelaskan
ketidakmampuan perempuan berbicara. Dengan berkaca pada konteks Indonesia,
apakah Anda setuju dengan pendapat tersebut? Jelaskan.
- Berilah contoh adanya perubahan dalam bahasa yang responsif membantu
perempuan menjelaskan pengalamannya.
- Cobalah Anda menyusun kamus mini berisi kosakata yang selama ini belum pernah
tercipta untuk menggambarkan pengalaman yang khas perempuan.
- Apabila MGT tergolong ke dalam teori kritis, aksi-aksi apakah yang teori itu sarankan
untuk perubahan sosial? Mengapa aksi tersebut dianggap dapat mendorong
perubahan sosial?

10. Glossary & Indeks


A
Arderner, Edwin
Arderner, Shirley
B
Bungkam, kebungkaman : kondisi tidak tersampaikannya ekspresi dan pesan orisinal
dari suatu kelompok sebagai akibat tidak mencukupinya kosakata pada moda
ekspresi dominan yang berlangsung.

Bisu, kebisuan : kondisi tidak tersampaikannya ekspresi dan pesan orisinal


dari suatu kelompok sebagai akibat tidak mencukupinya kosakata pada moda
ekspresi dominan yang berlangsung.
D
Dominasi : cara-cara suatu kelompok atas suatu sumber daya di
masyarakat

G
Gender : suatu konstruksi atau bentuk sosial yang sebenarnya
bukan bawaan lahir sehingga dapat dibentuk atau diubah tergantung dari tempat,
waktu/zaman, suku/ras/bangsa, budaya, status sosial, pemahaman agama, negara,
ideologi, politik, hukum, dan ekonomi.

M
Muted group : kelompok di masyarakat yang karena sejumlah alasan
tidak dapat mengekspresikan diri mereka melalui struktur dominan yang sudah ada
(bahasa, simbolisme, atau aksi).

K
Kelompok muted : kelompok subordinat yang mengalami pembungkaman
Kelompok subordinat : kelompok yang berada pada posisi tidak penting dan
mengalami subordinasi karena lemahnya akses atas sumber daya yang ada di
masyarakat.
Kelompok dominan : kelompok yang menduduki posisi penting dan menjadi
preferensi nilai seluruh kelompok di masyarakat karena menguasai sumber daya di
masyarakat.

22
Komunikasi perempuan : ekspresi perempuan dikontrol oleh bahasa yang dibentuk
oleh laki-laki sehingga perempuan tidak dapar mengekspresikan pengalamannya.
Kramare, Cheris.
O
Orbe, Mark P.

P
Penamaan (naming) : pemberian istilah atas pengalaman.
Pelecehan (harassment) : perlakuan yang membuat orang lain merasa tidak nyaman
dan tertekan secara psikologis dan atau fisik
Pembungkaman (silencing, muting): proses sosial yang menyebabkan suatu anggota
masyarakat tidak dapat mengungkapkan persepsi, perasaan, dan pengalamannya ke
dalam sistem bahasanya sendiri.
Penertawaan (ridicule) : tindakan merendahkan dan menyepelekan terhadap suatu
pihak yang menyebabkan pihak tersebut enggan mengekspresikan dirinya yang
orisinal.
Pengontrolan (controlling): tindakan menguasai dan pemiaraan kuasa atas suatu
sumber daya dalam masyarakat.

R
Ritual : suatu tindakan sosial yang terpola, dilakukan
berulangkali pada hari-hari atau waktu-waktu tertentu yang dianggap sesuai, dan
dengan cara serta tujuan tertentu.

S
Struktur dunia (world structure) : bagaimana materialitas dapat dialami dan tentang
bagaimana peristiwa-peristiwa dari lingkungan material dapat terinkorporasi ke dalam
pemahaman sosial.

T
Tuli, ketulian : pengalaman perempuan terabaikan di masyarakat karena
ketidakcukupan bahasa untuk mengekspresikannya dan dominasi laki-laki dalam
penciptaan bahasa.

11. Tentang Edwin & Shirley Arderner, Cheris Kramarae, dan Mark P. Orbe

Edwin Arderner

Edwin Arderner adalah antropolog sosial dan sejarawan berkebangsaan Inggris


yang memiliki minat kuat di studi gender. Ia belajar di antropologi sosial London School of
Economics segera setelah perang dunia kedua dan menjalin kontak dengan tokoh-tokoh
besar dunia di bidang itu seperti Edmund Leach, Raymond Firth, Darryl Forde, dan Audrey
Richards serta Malinowski. Edwin Arderner mengawali penelitian lapangan panjang di
Afrike barat pada 1949 dan secara berkelanjutan mengunjungi wilayah tersebut selama
20 tahun kemudian. Arderner menghasilkan banyak karya etnografis dana analitis pada
periode tersebut meski banyak orang mungkin baru mengenali karyanya melalui terbitan
pada 1989 The Voice of Prophecy, and Other Essays.
Pada proses penerbitan buku kumpulan esai tersebut, Malcolm Chapman yang
menyunting dan menyusun kata pengantar untuk buku tersebut dikejutkan oleh kematian
Edwin Arderner yang mendadak pada 4 Juli 1987. Sebelum kematiannya, Edwin Arderner
berkata bahwa ia mempertahankan “urgent provisionality” dalam semua karya-karyanya

23
dan bercanda bahwa hal itu dapat dicapai melalui kerja-kerja yang posthumous. Baik
Chapman dan Arderner menganggap kerja bersama mereka untuk buku koleksi tersebut
adalah posthumous work, tanpa menyadari bahwa candaan itu menjadi kenyataan
dengan segera. Kumpulan artikel tersebut diterbitkan ulang pada 2007 oleh Berghahn
Books dengan kata pengantar oleh Michael Herzfeld (Chapman, opendemocracy.org,
2012).
Karya-karya Edwin Arderner merangkum banyak subyek, terutama pada detil
linguistik pada masyarakat yang ia teliti. Ia mempelajari dan menerbitkan sejarah desa
dan pertanian Bakweri abad 19 dan budaya sihir Nyongo di Kamerun, hubungan
perceraian dengan fertilitas, dan mengkritik pendekatan positivis yang mengabaikan nilai-
nilai dan makna-makna sosial. Karya-karyanya sepanjang 1960-an dan sesudahnya lebih
tefokus pada pertemuan antropologi sosial dan linguistik, dan masyarakat dengan
bahasa. The Voice of Prophecy adalah karyanya yang mewakili minatnya itu dan
mengangkat namanya.
Edwin Arderner lantas mengajar antropologi sosial di Universitas Oxford udangan
dari E-E Evans-Pritchard. Di bawah pengaruh Pritchard, Arderner turut terbawa dalam
tradisi linguistik Saussurian dengan kombinasi pemikiran dari Claude-Levi Strauss yang
sedang aktual saat itu. Pertemuan dengan etnografi pengetahuan dan linguistik
Saussurian menandai karya-karya Arderner pada 1960-1980-an. Pada titik tersebut,
pengaruh istrinya sekaligus kolega sesama antropolog, Shirley Arderner, Edwin Arderner
menjalani kehidupan intelektual maupun sosial di Oxford dan di Afrika. Salah satu esainya
“Belief and the Problem of Women” mengawali idenya tentang “muted group” yang semual
diterapkan pada perempuan namun kini dikembangkan untuk banyak kelompok marjinal
lainnya.
Tak seperti kebanyakan para profesor kala itu, Edwin Arderner tak segan-segan
berinvestasi kepada para mahasiswa doktoralnya yang kemudian kelak banyak menjadi
rekan sejawatnya. Menurut Chapman, Edwin Arderner juga adalah seorang pembicara
yang ulung, baik di dalam tutorial, seminar, maupun perkuliahan. Perkuliahannya
sepanjang 1970-an merupakan petualangan komedi hidup yang banyak mengekspos
betapa seriusnya hidup ini.

Shirley Arderner

Shirley Arderner adalah akademisi, seniman sekaligus istri dari Edwin Arderner.
Sejak awal 1970-an, Shirley Arderner telah mengabdikan antusiasme, kemampuan
intelek, dan kreativitasnya untuk pengembangan Kajian Perempuan di Universitas Oxford.
Makalah Shirley Arderner pada 1971 berjudul “Sexual Insult & Female Militancy” yang
membandingkan pola perilaku para perempuan Kamerun dengan gerakan pembebasan
perempuan di Barat dipresentasikan pada suatu seminar di Institut Antropologi Sosial,
Universitas Oxford (Davies & Waldren, :249). Makalah itu sempat tidak mendapatkan
perhatian publik seminar yang didominasi budaya laki-laki kala itu. Profesor di Institut
tersebut tidak membolehkan makalah itu didiskusikan di Universitas Oxford. Akhirnya,
makalah itu didiskusikan di Queen Elizabeth House yang mana di tempat itulah kemudian
berdiri Center for the Cross-Cultural Study of Women.
Posisi Shirley Arderner terkait dengan Universitas Oxford adalah unik dan
informal. Ia tak secara formal menjadi bagian dari Departemen Antropologi Sosial
Universitas tersebut, namun pengetahuan dan pengalamannya diakui oleh Universitas
Oxford. Ia memang kerap diundang untuk memberikan tutor, kuliah yang tidak reguler
bertopik tentang perempuan, mengedit sejumlah buku, menjadi salah satu panelis dalam
sejumlah wawancara dan seminar, dan kerap mendorong diselenggarakannya seminar di
Universitas Oxford. Meski begitu, secara resmi Arderner bekerja untuk Center for the

24
Cross-Cultural Study of Women di Queen Elizabeth House. Keterlibatannya yang
mendalam dengan isu-isu perempuan membuatnya menyadari bahwa begitu banyak
pekerjaan rumah terkait perempuan yang menanti untuk diteliti oleh para sarjana dan
akademisi saat itu.
Shirley Arderner lantas mengadakan Oxford Women’s Social Anthropology
Seminar yang merupakan seminar pertama khusus membahas mengenai perempuan.
Seminar tersebut berhasil mengumpulkan sejumlah karya terkait perempuan dari banyak
akademisi laki-laki maupun perempuan. Sebagian makalah dalam seminar itu disunting
oleh Shirley Arderner dan diterbitkan dalam buku berjudul Perceiving Women. Dalam
komunikasinya dengan Davies & Waldren (2007:250), Shirley Arderner bersaksi bahwa
banyak perempuan berkumpul untuk mendengarkan presentasi Judith Okely mengenai
kehidupan sekolah asrama dan antusiasme para peserta dalam presentasi itu. Shirley
Arderner juga menilai suasana akademik dan interaksi antar peserta yang tercipta dalam
seminar tersebut berbeda daripada seminar-seminar lain yang diadakan di Universitas
Orxford. Banyak para peserta seminar itu yang kemudian menjadi akademisi di berbagai
universitas di dunia, termasuk di Indonesia (Davies & Waldren, 2007:250).
Bersama dengan Edwin Arderner, Shirley Arderner mengembangkan MGT.
Shirley Arderner mengeluarkan sebuah gagasan feminis yang hanya mungkin terlontar
oleh perempuan seperti dirinya. MGT versi Edwin Arderner terfokus pada kebungkaman
(silence) perempuan. Tetapi, Shirley Arderner berpendapat pendekatan itu bukanlah satu-
satunya. Menurutnya, MGT perlu melihat apa yang terjadi pada laki-laki sehingga suara
perempuan ‘tidak terdengar’. Shirley Arderner menduga bahwa perempuan yang
bungkam tak selalu bungkam, ia tetap berbicara, hanya saja dominasi sistem bahasa laki-
laki membuat ungkapan-ungkapan perempuan itu tak dipahami laki-laki. Alih-alih
perempuan belaka yang bungkam, dominasi laki-laki membuat laki-laki itu sendiri
mengalami ‘ketulian.’
Beberapa buku yang berisi kumpulan artikel kajian perempuan yang disunting
Shirley Arderner kemudian seperti Defining Females terbit pada 1978, dan Women and
Space and Social Maps terbit pada 1981 menjadi penanda penting perjalanan karir
akademik Shirley Arderner untuk kajian wanita yang mana karya-karya tersebut menjadi
bacaan wajib bagi para feminis dunia.

Cheris Kramarae
Cheris Kramarae mendapatkan gelar Ph.D. dari Universitas Illinois di Urbana-
Champaign dan sempat mengajar komunikasi wicara dan sosiologi di universitas tersebut
selama bertahun-tahun. Saat ini beliau adalah visiting profesor untuk Center for the Study
of Women at the University of Oregon dan pada 1999-2000 menjadi dekan untuk
International Woman’s University di Jerman. Ia juga menjadi direktur proyek untuk kursus-
kurses “Masa Depan Pendidikan” dan “Konstruksi Gender di Internet” selain menjadi
dosen tamu di Cina, Belanda, Inggris, Afrika Selatan, dan Jerman.
Cheris Kramarae merupakan seorang sarjana interdisipliner yang kerap
menghubungkan ranah komunikasi, sosiologi, kajian perempuan, dan linguistik. Sejak
1970-an, ia mulai tertarik untuk meneliti bagaimana stereotipe tulisan dan lisan
perempuan, dan bagaimana memahami tulisan dan lisan laki-laki maupun perempuan.
Karena minatnya tersebut, Cheris Kramarae melacak pemikiran Edwin dan Shirley
Arderner yang mana pengembangannya ia bukukan melalui topik gender dan bahasa
pada 1981. Menurut Cheris Kramarae, MGT merupakan salah satu teori yang mana
banyak perempuan dengan seketika merasa mendapatkan penjelasan atas pengalaman
mereka (Miller, 2002: 294). Hanya saja, penamaan teori tersebut agak menyesatkan
sebab poin utama teori tersebut bukanlah bahwa perempuan maupun kelompok
subordinat lainnya merasa terbungkam, melainkan mereka tidak dapat mengontrol

25
bahasa dan wicara sebagaimana yang dilakukan oleh laki-laki sebagai suatu kelompok
(Miller, 2002: ibid.).
Pada 1974 ketika ia melakukan studi sistematis mengenai cara peremuan
digambarkan dalam berbagai kartun (Griffin, ibid.). Dia menemukan bahwa perempuan
‘nampak’ karena ketidakhadirannya. Kramarae juga menyimpulkan bahwa para
perempuan di dalam kartun biasanya digambarkan sebagai emosional, apologetis, atau
hanya datar basa-basi belaka. Kosakata yang disampaikan karakter kartun perempuan
penuh dengan kata sifat, bermanis-manis, dan tidak jelas maksudnya. Perempuan yang
menolak penggambaran karakter kartun perempuan biasanya malah dianggap tidak
memiliki selera humor. Riset tersebut adalah awal dari perjalanan riset 25 tahun kemudian
di mana Kramarae menjadi pemimpin dalam upaya menjelaskan dan merawat MGT untuk
perempuan dan kelompok-kelompok minoritas lainnya (Griffin, 2003: 488).
Nama belakangnya sendiri “Kramarae” tidaklah biasa. Nama gadis Cheris adalah
Cheris Rae. Setelah menikah, umumnya perempuan mengganti nama belakangnya
dengan nama belakang suami sebagaimana yang diatur undang-undang. Cheris Rae
semestinya menjadi Cheris Rae Kramer. Meski begitu, Cheris kerap menyebut dirinya
sendiri Cheris Kramarae sehingga banyak orang memanggilnya dengan nama
belakangnya yang ia buat sendiri “Kramarae.” Banyak orang mempertanyakan pergantian
nama itu namun Cheris heran mengapa tak ada satu pun yang mempertanyakan nama
belakang suaminya (Griffin, 2003: 490).

Mark P. Orbe

Dr. Mark Orbe adalah profesor di Sekolah Komunikasi di Universitas Western


Michigan. Minat pengajaran dan riset Orde terpusat pada hubungan rumit antara budaya
dan komunikasi sebagaimana yang tampak pada konteks intrapersonal, interpersonal,
intergroup, dan media massa. I telah mempresentasikan 100 makalah pada berragam
konferensi akademik dan mempublikasikan 100 artikel pada jurnal-jurnal terpercaya dan
banyak bagian pada buku-buku tersunting. Ia juga menulis hampir selusin buku termasuk
Komunikasi Antarras: Teori dan Praktek dengan T. Harris pada 2007, juga Komunikasi
Antarbudaya pada Dunia Transnasional dengan L. Flores dan B. Allen pada 2009.

12. Tautan Referensi

Cheris Kramarae on Muted Group Theory https://www.youtube.com/watch?v=lKkM1


di Youtube adp5Uo
Muted Group Theory oleh Rachel https://www.youtube.com/watch?v=_beiM
Johnson di Youtube IQm_OA
Muted Group Theory oleh Alex Holland di https://prezi.com/sq9g1ttytuih/muted-
Prezi group-theory/

Referensi
PUSTAKA
Ali, L. (2001), “Women in Information Technology: Is the Future Really Female?”, Improving
Schools, Vol. 4(2): 49-59.
Baran, S.J. & Davis, D.K. (2012). Mass Communication Theory: Foundations, Ferment, and Future,
6th Edition, International Edition, Kanada: Wadsworth.
Chapman, Malcolm. (2012) “Edwin Ardener: the life-force of ideas”, di Opendemocracy.net

26
Davies, J. & Waldren, J. (2007), “Gendering Oxford: Shirley Arderner and Cross-Cultural
Research,” Brycesson, D.F.. Okely, J. & Webber, J.M., et.al. (ed.). Identity & Networks:
Fashioning Gender and Ethnicity Accross Cultures, Oxford: Berghahn Books.
Griffin, E. (2003), A First Look at Communication Theory: Fifth Edition, New York: McGraw Hill
Edition of Higher Education.
Koentjoro & Sugihastuti. (1999), “Pelacur, Wanita Tuna Susila, Pekerja Seks, dan “Apa Lagi”
Stigmatisasi Istilah,” Humaniora, 1 Mei-November 1999.
Lutgen-Sandvik, P. (2003), “The Communicative Cycle of Employee Emotional Abuse: Generation
and Regeneration of Workplace Mistreatment,” Management Communication Quarterly,
Vol. 16, No. 4, May 2003 471-501.
Marlia, M. (2007), Marital Rape: Kekerasan Seksual terhadap Istri, Yogyakarta: PT LkiS Pelangi
Aksara.
McGlynn, J.C. (2000), “Sileny Voices, Muted Expressions”, Manoa 12.1: 38-44.
Messner, M.A. & Bozada-Deas, S. (2009), “Separating the Men from the Moms: the Making of Adult
Gender Segregation in Youth Sports.”
Miller, K. (2002), Communication Theories: Perspectives, Processes, and Contexts, New York: the
McGraw-Hill Company.
Nugroho, R. (2008), Gender dan Strategi Pengarus-utamaannya di Indonesia, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Sanderson, J., W, Melinda., S, Katherine, & Gramlich, K. (2016), “I Was Able to Still Do Mu Job on
the Field and Keep Playing: An Investigation of Female and Male Athlete’s Experiences
With (Not) Reporting Concussions,” Communication & Sport, 1-21.
Septiana, M.E. (2002). “Bab VI: Penutup.” E-Journal UAJY di http://e-
journal.uajy.ac.id/2959/5/4KOM02750.pdf.
Setiawan, M.N. (2002), Menakar Panji Koming (Tafsiran Komik Karya Dwi Koendoro pada Masa
Reformasi Tahun 1998). Jakarta: KOMPAS.
Toer, P.A. (2002), Bumi Manusia, Jakarta: Hasta Mitraw.
Wall, C.J. & Gannon-Leary, P. (1999), “A Sentence Made by Men: A MGT Revisited,” the European
Journal of Women’s Studies, 6 (21-29).
West, R. & Turner, L.H. (2010), Introducing Communication Theory: Analysis and Application 4th
Edition, New York: McGraw-Hill International Edition.
Zhang, W. & Kramarae, C. (2012), “Are Chinese women turned sharp-tongued?”, Discourse &
Society, 23 (6): 749-770.

INTERNET
Muhammad, H. (2014), “Perempuan Ulama dalam Panggung Sejarah”, diakses di
Rahima.or.id
(http://www.rahima.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1220:perempu
an-ulama-dalam-panggung-sejarah&catid=21:artikel&Itemid=313).
Cheris Kramarae, the Center for Study of Women in Society (di
http://pages.uoregon.edu/cheris/index.html).
Profil Shirley Arderner di situs web Universitas Oxford
(http://www.anthro.ox.ac.uk/?id=1120)
FILM
Legally Blonde 2
A League of Their Own

27

Anda mungkin juga menyukai