Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

Keberadaan partai politik di Indonesia sudah ada ketika jaman Hindia-

Belanda tepatnya sebelum Indonesia merdeka, mulai berkembang ketika bangsa

ini merdeka secara de jure pada tahun 1945. Partai politik pertama dibentuk oleh

Ki Hajar Dewantara, Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumo dengan nama

De Indische Partij. Tujuan dari pembentukan partai ini adalah untuk

memperjuangkan kemerdekaan Indonesia di bawah penjajahan Belanda. Seiring

perkembangan situasi politik di Indonesia paska kemerdekaan, bermunculan

partai-partai politik baru dengan ideologinya masing-masing baik yang

berorientasi nasionalisme, agama maupun sosialisme.

Terdapat beberapa pengertian tentang partai politik, perbedaan pendapat

tentang partai politik biasanya terpaku pada penekanannya. Ada yang

menekankan pada akar ideologi partai, penekanan partai sebagai alat untuk

mendapatkan akses pemerintahan. Dan terdapat pula yang menekankan sebagai

desain instrumen mediasi yang penting dalam mengorganisir dan

menyederhanakan pilihan pemilih dalam mempengaruhi tindakan pemerintah.

Menurut Sigit Pamungkas partai politik setidaknya dapat didefinisikan

sebagai sebuah organisasi untuk memperjuangkan nilai atau ideologi tertentu

melalui penguasaan struktur kekuasaan, dan kekuasaan itu diperoleh melalui

keikutsertaannya didalam pemilihan umum. Dari definisi tersebut, beberapa hal

1
dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, partai politik merupakan sebuah

organisasi, dan sebagai sebuah organisasi partai politik merupakan entitas yang

bekerjanya didasarkan pada prinsip-prinsip tertentu seperti adanya kepemimpinan

dan keanggotaan, devisionalisasi, dan spesifikasi, melakukan perencanaan,

pengorganisasian, pelaksanaan, dan kontrol serta adanya aturan main yang

mengatur perilaku anggota dan organisasi1.

Kedua, partai politik merupakan instrumen perjuangan nilai atau ideologi.

Partai adalah alat perjuangan atas sebuah nilai yang mengikat kolektivitas

organisasi. Ketiga, perjuangan partai adalah melalui penguasaan struktur

kekuasaan, dengan demikian partai sesungguhnya adalah berorientasi kepada

kekuasaan untuk mendapatkan, mempertahankan, dan memperluas kekuasaan.

Dan yang terakhir adalah instrumen untuk meraih kekuasaan adalah melalui

pemilu, bukan yang lainnya. pada titik ini partai politik berbeda dengan kelompok

kepentingan, kelompok penekan atau gerakan sparatis dan kudeta2.

Sementara didalam Undang-undang No 2 Tahun 2011 tentang partai

politik, partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh

sekelompok warga Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan

cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota,

masyarakat bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan

Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945.

1
Sigit Pamungkas. PARTAI POLITIK (Teori dan Praktik di Indonesia). Yogyakarta, Perum Griya
Saka Permai, 2011, hal 5.
2
Ibid.,hal 7.

2
Partai politik merupakan institusi yang menjadi penyangga bekerjanya

demokrasi perwakilan. Selama demokrasi perwakilan masih dipandang sebagai

cara paling masuk akal untuk mewujudkan kedaulatan rakyat maka selama itu

keberadaan partai politik tidak akan terhindarkan. Kehadiran partai politik telah

mengubah relasi antara rakyat dengan penguasa, dari sebelumnya

mendiskualifikasi rakyat menjadikan rakyat sebagai aktor dan poros penting

dalam relasi itu. Lebih dari itu partai politik juga telah mengubah alur elit politik,

alur yang sebelumnya tertutup berubah menjadi terbuka. Dengan adanya partai

politik jabatan-jabatan politik yang semula hanya dapat diduduki oleh golongan

masyarakat tertentu dapat diakses tanpa memandang kelas dan stratifikasi

masyarakat.

Dari beberapa definisi yang dijelaskan oleh para ahli menerangkan bahwa

partai politik merupakan wadah untuk menjembatani antara masyarakat dan

pemerintah untuk meningkatkan mutu kualitas kehidupan berbangsa dan

bernergara, sehingga dibutuhkan orang-orang yang memiliki kompetensi dalam

berpolitik dan mempunyai sifat kenegarawanan. Pada realitanya sekarang terjadi

penurunan kepercayaan dari masyarakat terhadap kualitas kinerja para aktor

politik atau pemerintahan yang seharusnya adalah orang-orang yang

memperjuangkan aspirasi rakyat banyak. Ini dibuktikan dengan budaya dan etika

politik yang ditunjukan oleh para pejabat-pejabat dan para anggota legislatif

cenderung negatif. Tidak lagi mementingkan aspirasi atau memperjuangkan

kebutuhan rakyat, tetapi lebih mementingkan kepentingan kelompok bahkan

kepentingan pribadi.

3
Maka dari itu proses rekruitmen anggota partai sangat penting bagi partai

politik, jika partai politik gagal melakukan fungsi ini maka berarti ia berhenti

menjadi partai politik3. Dijaman era reformasi telah menghasilkan sejumlah

perubahan signifikan dalam masyarakat politik. Dalam konteks rekrutmen politik

parlemen, ada sejumlah gejala yang tidak kondusif bagi proses membangun

demokrasi. Pertama, sistem pemilihan umum proporsional telah mengabadikan

dominasi oligarki dalam proses rekrutmen. Elite partai di daerah sangat berkuasa

penuh terhadap proses rekrutmen, yang menentukan siapa yang bakal menduduki

“nomor topi” dan siapa yang sengsara menduduki “nomor sepatu”. Bagaimanapun

pola oligarki elite itu tidak demokratis, melainkan cenderung memelihara praktik-

praktik KKN yang sangat tertutup. Pola tidak menghasilkan parlemen yang

representatif dan mandatori, melainkan parlemen bertipe partisan yang lebih loyal

kepada partai politik.

Kedua, proses rekrutmen tidak berlangsung secara terbuka dan partisipatif.

Pihak kandidat sama sekali tidak mempunyai sense terhadap konstituen yang

menjadi basisnya karena dia hanya “mewakili” daerah administratif (bukan

konstituen yang sebenarnya), sehingga pembelajaran untuk membangun

akuntabilitas dan responsivitas menjadi sangat lemah. Sebaliknya masyarakat juga

tidak tahu siapa kandidat yang bakal mewakilinya, yang kelak akan membawa dan

mempertanggungjawabkan mandat. Publik sering bilang bahwa masyarakat hanya

bisa “membeli kucing dalam karung”. Masyarakat juga tidak bisa menyampaikan

voice untuk mempengaruhi kandidat-kandidat yang duduk dalam daftar calon,

3
Ibid. Hal 85.

4
karena hal ini merupakan otoritas penuh partai politik. Proses dialog yang terbuka

antara partai dengan masyarakat hampir tidak ada, sehingga tidak ada kontrak

sosial dimana masyarakat bisa memberikan mandat kepada partai. Masyarakat

hanya memberikan “cek kosong” kepada partai yang kemudian partai bisa

mengisi seenaknya sendiri terhadap “cek kosong” itu.

Ketiga, dalam proses rekrutmen tidak dibangun relasi (linkage) yang baik

antara partai politik dan masyarakat sipil. Masyarakat sipil hanya dipandang

secara numerik sebagai angka, bukan sebagai konstituen yang harus dihormati dan

dipejuangkan. Berbagai organisasi masyarakat hanya ditempatkan

sebagai underbow, sebuah mesin politik yang memobilisasi massa, bukan sebagai

basis perjuangan politik partai. Sebaliknya, pihak aktivis organisasi masyarakat

tidak memandang partai politik sebagai bagian dari gerakan sosial (social

movement) untuk mempengaruhi kebijakan dan mengontrol negara, melainkan

hanya sebagai “kendaraan politik” untuk meraih kekuasaan dan kekuasaan.

Akibatnya, para anggota parlemen hanya berorientasi pada kekuasaan dan

kekayaan, bukan pada misi perjuangan politik yang berguna bagi masyarakat.

Bahkan ketika berhasil menduduki jabatan parlemen, mereka melupakan basis

dukungan massa yang telah mengangkatnya meraih kekuasaan. Tidak sedikit

anggota DPRD yang mengabaikan forum atau partisipasi ekstraparlementer,

karena mereka mengklaim bahwa DPRD menjadi lembaga perwakilan paling

absah dan partisipasi itu tidak diatur dalam udang-undang atau peraturan daerah.

5
Keempat, dalam proses rekrutmen, partai politik sering menerapkan

pendekatan “asal comot” terhadap kandidat yang dipandang sebagai “mesin

politik”. Pendekatan ini cenderung mengabaikan aspek legitimasi, komitmen,

kapasitas, dan misi perjuangan. Para mantan tentara dan pejabat diambil bukan

karena mempunyai visi-misi, melainkan karena mereka mempunyai sisa-sisa

jaringan kekuasaan. Para pengusaha dicomot karena mempunyai duit banyak yang

bisa digunakan secara efektif untuk dana mobilisasi hingga money politics. Para

selebritis diambil karena mereka mempunyai banyak penggemar. Para ulama

(yang selama ini menjadi penjaga moral) juga diambil karena mempunyai

pengikut masa tradisional. Partai politik secara mudah (dengan iming-iming

tertentu) mengambil tokoh ormas, intelektual, atau akademisi di kampus yang

haus akan kekuasaan dan ingin menjadikan partai sebagai jalan untuk mobilitas

vertikal. Sementara para aktivis, intelektual maupun akademisi yang konsisten

pada misi perjuangannya tidak mau bergabung atau sulit diajak bergabung ke

partai politik, sebab dalam partai politik tidak terjadi dialektika untuk

memperjuangkan idealisme. Sekarang pendekatan “asal comot” yang dilakukan

partai semakin kentara ketika undang-undang mewajibkan kuota 30% kursi untuk

kaum perempuan.

Kelima, proses kampanye (sebagai bagian dari mekanisme rekrutmen)

tidak diisi dengan pengembangan ruang publik yang demokratis, dialog yang

terbuka dan sebagai arena untuk kontrak sosial untuk membangun visi bersama,

melainkan hanya sebagai ajang show of force,banter-banteran knalpot, dan obral

janji. Bagi para pendukung partai, kampanye menjadi ajang pesta dan arena untuk

6
menyalurkan ekspresi identitas yang kurang beradab. Mereka bisa memperoleh

“wur-wur” dalam bentuk jaket, topi, kaos, atribut-atribut partai lain secara gratis,

menerima sembako atau sekadar uang bensin, dan lain-lain. Ketika kampanye

digelar, yang hadir hanyalah fungsionaris partai dan para pendukungnya, bukan

stakeholders yang luas untuk menyampaikan mandat dari masyarakat.

Keenam, proses pemilihan umum dan proses rekrutmen bekerja dalam

konteks “massa mengambang” yang kurang terdidik dan kritis. Dalam jangka

yang cukup panjang masyarakat Indonesia tidak memperoleh pendidikan politik

secara sehat sehingga menghasilkan jutaan pemilih tradisional yang sangat rentan

dengan praktik-praktik mobilisasi. Sekarang, meski ada kebebasan yang terbuka,

pendidikan politik secara sehat belum terjadi. Partai politik tidak memainkan

peran yang memadai dalam pendidikan politik kepada masyarakat. Sampai

sekarang sebagian besar rakyat Indonesia adalah silent majority, yang tenang,

apatis (masa bodoh) dan tidak kritis dalam menghadapi proses politik. Akibatnya

budaya politik yang partisipatif (civic culture) belum terbangun. Kondisi seperti

ini tentu saja tidakmemungkinkan terjadinya proses rekrutmen secara terbuka dan

partisipatif.

Melihat keadaan ini dapat dipahami proses rekrutmen yang dilakukan

partai politik menjadi titik permulaan yang harus dilakukan partai politik terutama

dalam proses pengkaderan anggotanya maupun promosi elite politik baru. Namun

bagi sebagian besar partai politik di negeri ini masalah tersebut tidaklah begitu

diambil peduli. Kebanyakan partai politik hanya berorientasi bagaimana

mendapat kekuasaan secara cepat dengan biaya murah sehingga mengabaikan

7
rekrutmen politik ini. Rekrutmen politik adalah sebagai fungsi mengambil

individu dalam masyarakat untuk dididik, dilatih sehingga memiliki keahlian dan

peran khusus dalam sistem politik. Dharapkan dari proses rekrutmen ini individu

yang dididik dan dilatih tersebut memiliki pengetahuan, nilai, harapan dan

kepedulian politik yang berguna bagi konsolidasi demokrasi.

Sebenarnya rekrutmen politik ini sudah menjadi bagian tidak terpisahkan

dari aktifitas partai politik di manapun berada. Sayangnya di Indonesia, fungsi ini

baru dapat berjalan ketika pemilu akan diadakan. Lemahnya fungsi rekrutmen

politik ini sebenarnya sudah dapat dijumpai terutama sejak verifikasi partai politik

dilakukan oleh KPU. Seandainya proses verifikasi keanggotaan partai politik di

tingkat akar rumput dilakukan lebih cermat oleh KPU, maka dapat dilihat

bagaimana potret partai politik kita yang sebenarnya.

Dalam pelaksanaan pilkada serentak tahun 2015, banyak partai politik

yang sedang melakukan seleksi kandidat sesuai dengan yang dibutuhkan partai,

salah satunya adalah partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Dilansir dari

beberapa media lokal Cianjur partai Gerindra telah menerima dan mendapatkan

beberapa calon Bupati yang telah lolos verfikasi partai. Dalam pelaksanaan

rekruitmen mereka terjadi permasalahan internal partai dimana adanya perpecahan

dukungan terhadap calon Bupati yang sudah mereka usung sebelumnya di Dewan

Pimpinan Cabang Gerindra Kab. Cianjur. Seperti dilansir dari jpnn.com, ketua

organisasi kaderisasi dan keanggotaan (okk) DPC Gerindra Kab. Cianjur tidak

mendukung pasangan yang sebelumnya sudah mereka usung dan mendapatkan

8
persetujuan dari ketua umum partai. Hal ini sangat membingungkan masyarakat

karena sebelumnya pasangan yang mereka dukung sebelumnya telah mendaftar ke

KPU dan telah lolos verifikasi.

Peneliti melakukan penelitian / studi kasus di dewan pimpinan cabang

(DPC) Partai Gerindra Cianjur dengan beberapa alsan dan pertimbangan tertentu.

Partai gerindra merupakan partai politik yang bisa dikatan baru dalam dunia

perpolitikan di Indonesia, tetapi merupakan orang-orang lama yang telah

berkecimpung dalam dunia politik di Indonesia dan tidak asing dalam

kepengurusannya. Walaupun merupakan pemain baru dalam dunia politik, sepak

terjang partai Gerindra tidak bisa dianggap remeh, bahkan dalam waktu beberapa

tahun partai yang di pimpin oleh Prabowo Subianto ini telah mendapat tempat dan

dapat disejajarkan dengan partai besar lainnya. Dibalik itu semua partai ini

merupakan salah satu yang menghasilkan kader-kader partai yang berkualitas,

baik di tingkat legislatif maupun eksekutif. Maka dari itu sangat dirasa sesuai bila

penelitian ini dilaksanakan dalam proses rekruitmen partai Gerindra.

9
1.2.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dirumuskan di atas, maka penulis

merumuskan masalah sebagai berikut :

a. Bagaimana proses dan konsep rekruitmen terhadap calon anggota partai

agar menghasilkan kader yang berkualitas ?

b. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi proses rekruitmen dalam tubuh

partai politik, sehingga proses kaderisasi dapat berjalan dengan baik?

1.3.Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

a. Mengetahui dan mendalami bagaimana proses dan konsep rerkruitmen

yang terjadi di dalam partai politik, khususnya partai Gerindra.

b. Mengetahui faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi proses

rekkruitmen yang terjadi didalam sebuah partai politik.

1.4.Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi keilmuan

dalam bidang sosial dan politik, khususnya dalam bidang rekruitmen partai

politik.

b. Manfaat Praktis

1. Manfaat Praktis bagi peneliti

10
Manfaat penelitian ini bagi peneliti adalah meningkatkan

pengetahuan mengetani partai politik yang lebih spesifik dalam proses

rekruitmen para anggotanya.

2. Manfaat Praktis bagi pihak yang diteliti.

 Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan

masukan terhadap partai politik dalam upaya meningkatkan

kualitas para anggotanya atau kadernya.

 Dan memberikan gambaran secara umum terhadap masyarakat

terhadap pemahaman realita dan praktik partai politik.

11
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Secara khusus teori adalah seperangkat konsep/konstruk, definisi dan

proporsi yang berusaha menjelaskan hubungan sistematis suatu fenomena dengan

cara merinci hubungan sebab akibat yang terjadi4. Berikut teori yang digunakan

dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini penyajian konsep-konsep atau teori

yang berkaitan dengan judul penelitian, didapat dari beberapa sumber, baik dari

buku-buku dan penelitian yang sejenis dengan tujuan penelitian.

1. Partai Politik

Partai politik pada awalnya lahir di Negara-negara Eropa Barat pada abad

pertengahan. Kemudian berkembang dengan meluasnya gagasan-gagasan bahwa

rakyat merupakan faktor yang diperhitungkan 13 serta diikutsertakan dalam

proses politik, maka partai politik telah lahir secara spontan dan berkembang

menjadi penghubung antara rakyat disatu pihak dan pemerintah dipihak lain5.

a. Pengertian Partai Politik

Didalam Undang-undang no 2 tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-

undang no 2 tahun 2008 tentang partai politik dijelaskan, bahwa pengertian partai

politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok

warga negara indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-

4
Sardar Ziaddin. Penelitian Kuantitatif dan Kuanlitatif. Bandung; Mizan. 1996
5
Mirian Budiardjo. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta; Gramedia. 2008, Hal 397-398.

12
cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota,

masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan NKRI berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Berikut defini partai politik menurut beberapa ahli :

a. Menurut Khoirudin, partai politik sebagai organisasi artikulatif terdiri

atas pelaku-pelaku politik yang aktif dalam masyarakat, yaitu mereka

yang memusatkan perhatiannya pada persoalan kekuasaan pemerintah,

dan bersaing guna memperoleh dukungan rakyat untuk menempati

kantung-kantung kekuasaan politik6.

b. Sementera menurut Sigmund Neumann mendefinisikan, partai poltik

adalah organisasi dari aktivitas-aktivitas politik yang berusaha untuk

menguasai kekuasaan pemerintahan, serta merebut dukungan rakyat

atas dasar persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan

lain yang mempunyai pandangan yang berbeda7.

c. RH. Soltau, Partai politik adalah sekelompok Warga Negara yang

sedikit banyak terorganisir yang bertindak sebagai suatu kesatuan

politik dan dengan memanfaatkan kekuasaan untuk memilih,

menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijaksanaan umum

mereka. Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah

suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya

6
Khoirudin. Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi, Menakar Kinerja Partai Politik Era
Transisi di Indonesia. Yogyakarta; Pustaka Pelajar. 2004, Hal 191-192.
7
Sigmund Neumann dalam Inu Kencana Syafiie dan Azhari. Sistem Politik Indonesia. Bandung;
PT Refika Aditama. Hlm 78.

13
mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita sama. Adapun biasanya

tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan

merebut kedudukan politik dan dengan konstitusional untuk

melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka8.

Partai politik merupakan institusi politik yang memiliki salah satu fungsi

sebagai sarana rekrutmen politik, guna menghasilkan calon-calon pimpinan

politik, untuk dipersiapkan menduduki jabatan legislatif dan eksekutif melalui

pemilu. Melalui rekrutmen politik, juga akan menjamin kontinuitas partai politik,

dan kelestarian partai politik. Rekrutmen politik merupakan salah satu fungsi

elementernya. Menurut Ichlasul Amal, partai politik adalah suatu kelompok yang

mengajukan calon-calon bagi jabatan publik untuk dipilih oleh rakyat sehingga

dapat mengontrol atau mempengaruhi tindakan-tindakan pemerintah.

b. Fungsi-fungsi Partai

Selama ini berbagai fungsi yang melekat pada partai politik dilekatkan

begitu saja lewat mekanisme, dalam bahasa LaPalambara, ‘fiat’ (latin) atau ‘kun

fayakun’ (arab), artinya jadi maka jadilah yang itu bersifat logis dan teoritis.

Padahal partai politik itu apakah fungsi, posisi, dan bobotnya dalam sistem politik

tidak dirancang oleh suatu teori tetapi ditentukan oleh kejadian-kejadian yang ada.

Dengan demikian sesungguhnya fungsi partai politik berangkat dari realitas

empirik yang dikerjakan partai politik dan berlangsung melalui proses evolusi

yang panjang.

8
Op.cit...Miriam Budiardjo, Hlm; 160-161.

14
Kesulitan untuk melekatkan fungsi apa yang semestinya menjadi atribut

partai disebabkan dua hal. Pertama, diantara ahli kepartaian sendiri tidak pernah

mencapai kesepakatan tentang apa yang dimaksud dengan kata fungsi. Beberapa

ahli menggunakan kata fungsi untuk menunjukan aktivitas nyata partai politik,

seperti kontestasi dalam pemilu, sementara ahli yang lain menggunakannya untuk

menggambarkan konsekuensi-konsekuensi yang tidak direncanakan atau sebuah

kebetulan yang dihasilkan dari aktivitas-aktivitas yang direncanakan. Kedua,

kesulitan untuk memformulasikan kategori fungsi partai terkait dengan kebutuhan

untuk dapat diobservasi dan diukur atas fungsi yang dijalankan9.

Dari berbagai studi tentang partai politik, fungsi partai tidak selalu

konstan dan cenderung mengalami transformasi. Mendasarkan pada

konseptualisasi V.O. KEY tentang kerangka tiga bagian partai, yaitu parta di

pemilih (party in electorate), partai sebagai sebuah organisasi (party organization),

dan partai di institusi pemerintah ( party in the government). Berikut adalah daftar

sejumlah fungsi partai10.

Gambar 1.1
Tiga Bagian Partai Politik

Organisasi partai Partai di Pemerintah


(komite partai, pegawai, pekerja) (para pejabat pemerintah)

Partai di Elektorat
(identifier dan pemilih partai)

9
Sigit Pamungkas. Partai Politik (Teori dan Praktik di Indonesia). Institute for Democracy and
welfarism (IDW). Yogyakarta. 2011, Hal 15
10
Ibid., Hal 15.

15
Pertama adalah fungsi partai di elektorat (parties in the electorate). Pada

bagian ini fungsi partai menunjuk pada penampilan partai politik dalam

menghubungkan individu dalam proses demokrasi. Terdapat empat fungsi partai

yang termasuk dalam fungsi partai di elektorat sebagai berikut.

1. Menyederhanakan pilihan bagi pemilih, politik adalah fenomena yang

komplek. Pemilih rata-rata mengalami kesulitan dalam memahami semua

persoalan dan mengkonfrontasi berbagai isu-isu dalam pemilu.

2. Pendidikan warga negara. Partai politik adalah edukator, pada konteks itu

partai politik adalah mendidik, menginformasikan dan membujuk

masyarakat untuk berprilaku tertentu.

3. Membangkitkan simbol identifikasi dan loyalitas. Dalam sitem politik

yang stabil pemilih membutuhkan jangkar politik dan partai politik dapat

memenuhi fungsi itu.

4. Mobilisasi rakyat untuk berpartisipasi. Dihampir semua negara

demokratis, partai politik memainkan peran penting dalam mendapatkan

orang untuk memilih dan berpartisipasi dalam proses pemilihan.

Kedua adalah fungsi partai sebagai organisasi (pasties as organization).

Pada fungsi ini menunjuk pada fungsi-fungsi yang melibatkan partai sebagai

organisasi politik, atau proses-proses didalam organisasi partai itu sendiri. Pada

bagian ini partai politik setidaknya memiliki empat fungsi sebagai berikut.

16
1. Rekruitmen kepemimpinan politik dan mencari pejabat pemerintahan,

pada fungsi ini partai politik aktif mencari, meneliti dan mendesain

kandidat yang akan bersaing dalam pemilu.

2. Pelatihan elit politik, dalam fungsi ini partai politik melakukan pelatihan

dan pembekalan terhadap elit yang prospektif untuk mengisi jabatan-

jabatan politik.

3. Pengartikulasian kepentingan politik, pada fungsi ini partai politik

menyuarakan kepentingan pendukungnya melalui pilihan posisi dalam

berbagai isu politik dan dengan mengekspresikan pandangan

pendukungnya dalam proses pemerintahan.

4. Pengagregasian kepentingan politik. fungsi ini memberdakan partai

dengan kelompok kepentingan, yaitu partai melakukan artikulasi dan

agregasi kepentingan sedangkan kelompok kepentingan terbatas pada

artikulasi kepentingan.

Ketiga adalah fungsi partai di pemerintahan (parties in government). Pada

arena ini, partai bermain dalam pengelolaan dan pengstrukturan persoalan-

persoalan pemerintahan partai telah identik dengan sejumlah aspek kunci proses

demokratik. Terdapat fungsi utama partai di pemerintahan sebagai berikut.

1. Menciptakan mayoritas pemerintahan. Partai politik yang memperoleh

kursi di parlemen dituntut untuk menciptakan mayoritas politik agar dalam

sistem parlementer dapat mebentuk pemerintahan, atau mengefektifkan

pemerintahan dalam sistem presidensil.

17
2. Pengorganisasian pemerintahan. Pada fungsi ini partai politik

menyediakan mekanisme untuk pengorganisasian kepentingan dan

menjamin kerjasama diantara individu-individu legislator.

3. Implementasi tujuan kebijakan. Ketika dipemerintahan, partai politik

adalah aktor sentral yang menetukan output kebijakan pemerintahan.

4. Mengorganisasikan ketidaksepakan dan oposisi. Fungsi ini diperankan

oleh partai-partai yang tidak menjadi bagian dari penguasa (eksekutif),

partai yang tidak berkuasa membentuk blok politik diluar partai penguasa.

5. Menjamin tanggung jawab tindakan pemerintah. Adanya partai oposisi

menyiratkan kepada siapa tanggungjawab sebuah pemerintahan harus

dibebankan, yaitu partai penguasa.

6. Kontrol terhadap administrasi pemerintahan. Fungsi ini terkait dengan

peran partai dalam ikut mengkontrol birokrasi pemerintahan.

7. Memperkuat stabilitas pemerintahan. Stabilitas pemerintahan secara

langsung terkait dengan tingkat kesatuan partai politik. Stabilitas partai

membuat stabil pemerintahan, dan stabilitas pemerintahan berhubungan

dengan stabilitas demokrasi.

c. Rekruitmen Politik

Rekruitmen politik memegang peranan penting dalam sistem politik suatu

Negara karena proses ini menentukan orang-orang yang akan menjalankan fungsi-

fungsi sistem politik negara itu melalui lembaga-lembaga yang ada. Oleh karena

itu, tercapai tidaknya tujuan suatu sistem politik tergantung pada kualitas

rekruitmen politik. Menurut Gallager rekruitmen politik merupakan sebuah

18
“kebun rahasia politik” yang menyimpan banyak misteri dan belum banyak yang

terungkap.

Suharno menyatakan rekruitmen politik adalah proses pengisian

jabatan-jabatan pada lembaga-lembaga politik, termasuk partai politik dan

administrasi atau birokrasi oleh orang-orang yang akan menjalankan kekuasaan

politik.11 Ada dua macam mekanisme rekruitmen politik, yaitu rekruitmen

yang terbuka dan tertutup. Dalam model rekruitmen terbuka, semua warga

negara yang memenuhi syarat tertentu mempunyai kesempatan yang sama

untuk menduduki posisi-posisi yang ada dalam lembaga negara/pemerintah.

Suasana kompetisi untuk mengisi jabatan biasanya cukup tinggi, sehingga

orang-orang yang benar-benar sudah teruji saja yang akan berhasil keluar

sebagai pemenangnya. Ujian tersebut biasanya menyangkut visinya tentang

keadaan masyarakat atau yang dikenal sebagai platform politiknya serta nilai

moral yang melekat dalam dirinya termasuk integritasnya. Sebaliknya, dalam

sistem rekruitmen tertutup, kesempatan tersebut hanyalah dinikmati oleh

sekelompok kecil orang. Ujian oleh masyarakat terhadap kualitas serta

integritas tokoh masyarakat biasanya sangat jarang dilakukan, kecuali oleh

sekelompok kecil elite itu sendiri.

Teori Rekruitmen menurut Almond dan Powell. Rekruitmen politik

adalah suatu proses dimana terjadi penseleksian calon-calon masyrakat yang

dipilih untuk menempati kursi-kursi penting di dalam peranan politik, termasuk

11
Inu Kencana,Syafie, Pengantar Ilmu Politik (Bandung: Pustaka RekaCipta,2009),hal.58

19
dalam jabatan birokrasi dan jabatan administrasi. Teori Almond dan Powell

prosedur-prosedur rekruitmen politik terbagi dalam dua bagian yaitu12 :

1. Prosedur tertutup artinya rekruitmen dilakukan oleh elit partai yang

memiliki kekuasaan untuk memilih siapa saja calon-calon yang dianggap

layak diberikan jabatan berdasarkan skill dan kapasitas yang dimilikinya

untuk memimpin. Sehingga prosedur ini dianggap prosedur tertutup karna

hanya ditentukan oleh segelintir orang

2. Prosedur terbuka artinya setiap masyarakat berhak untuk memilih siapa

saja yang bakal menjadi calon pemimpin di dalam negaranya serta

pengumuman hasil pemenang dari kompetisi tersebut dilaksankan secara

terbuka, dan terang-terangan. Dikenal dengan istilah LUBER : Langsung

Umum Bebas dan Rahasia, JURDIL : Jujur dan Adil. Di dalam

rekruitmen politik juga dikenal istilah jalur-jalur politik yang perlu kita

ketahui secara luas kajian-kajianya antara lain:

a. Jalur rekruitmen berdasarkan kemampuan-kemampuan dari kelompok

atau individu artinya jalur ini menjadi kriteria dasar dalam perekrutan

seseorang karena dinilai dari berbagai segi yaitu kriteria-kriteria tertentu,

distribusi-distribusi kekuasaan, bakat-bakat yang terdapat di dalam

masyarakat, langsung tidak langsung menguntungkan partai politik.

Semua faktor-faktor tersebut perlu kita kaji dan fahami karena tidak

mudah untuk menjadi seorang pemimpin. Kita harus mempunyai skill,

kecakapan, keahlian untuk terjun kedalam dunia politik. Karena dunia

12
Joko J Prihatmoko. Pemilihan Kepala Daerah Langsung. Semarang: Pustaka Pelajar, 2005. Hal
200-203.

20
politik merupakan dunia yang keras penuh persaingan taktik dan teknik.

Bukan sembarang orang mampu direkrut untuk masuk kedalam dunia

politik. Orang-orang tersebut terpilih karena memang memenuhi kriteria-

kriteria tertentu yang dianggap mampu menguntungkan negara maupun

memberi keuntungan partai-partai tertentu.

b. Jalur rekruitmen berdasarkan kaderisasi artinya setiap kelompok-

kelompok partai harus menyeleksi dan mempersiapkan anggota-

anggotanya yang dianggap mampu dan cakap dalam mendapatkan jabatan-

jabatan politik yang lebih tinggi jenjangya serta mampu

membawa/memobilisasi partai-partai politiknya sehingga memberi

pengaruh besar dikalangan masyarakat. Hal ini menjadi salah satu tujuan

dari terbentuknya suatu partai politik yang perlu kita ketahui. Seperti yang

terangkum didalam teori Almond dan G.Bigham powell menjelaskan

“rekruitmen politik tergantung pula terhadap proses penseleksian didalam

partai politik itu sendiri”. Jadi kesimpulanya setiap individu harus

mempunyai skill yang mampu diperjualbelikan sehingga mampu

menempati jabatan-jabatan penting suatu negara.

c. Jalur rekruitmen politik berdasarkan ikatan promodial. Di zaman modern

ini jalur rekruitmen promodial tidak menutup kemungkinan terjadi di

dunia politik. Fenomenal itu terjadi karena adanya hubungan kekerabatan

yang dekat antara orang perorangan yang memiliki jabatan politik

sehingga ia mampu memindahtangankan atau memberi jabatn tersebut

kepada kerabat terdekatnya yang dianggap mampu dan cakap dalam

21
mengemban tugas kenegaraan. Fenomena ini dikenal dengan nama

“rekruitmen politik berdasarkan ikatan promodial”. Contoh jalur

rekruitmen politik berdasarkan ikatan promodial: seorang raja ketika wafat

akan menyerahkan segala kekuasaanya kepada anak-anaknya, kekuasaan

yang diberikan kepada keluarga besan, ketika perkawinan menantu lelaki

yang diberi jabatan penting oleh mertuanya, karena memiliki persamaan

marga atau suku seseorang mendapat jabatan dari sesame marga atau

sukunya.

d. Proses Rekruitmen Politik

Rekruitmen politik didefinisikan sebagai bagaimana potensial kandidat

ditarik untuk bersaing dalam jabatan publik, sedangkan seleksi kandidat adalah

proses bagaimana kandidat dipilih dari kumpulan kandidat potensial. Sementara

itu rekruitmen legislatif bicara tentang bagaimana kandidat yang dinominasikan

partai terpilih menjadi pejabat publik.

Menurut Norris terdapat tiga tahap dalam rekruitmen politik, pertama yaitu

sertifikasi. Tahap sertifikasi adalah tahap pendefinisian kriteria yang dapat masuk

dalam kandidasi, berbagai hal yang mempengaruhi tahap sertifikasi meliputi

aturan-aturan pemilihan, aturan partai dan norma-norma sosial informal. Kedua

yaitu tahap penominasian, meliputi ketersediaan (supply) calon yang memenuhi

syarat dan permintaan (demand) dari penyeleksi ketika memutuskan siapa yang

dinominasikan. Yang terkahir adalah tahap pemilu, ialah tahap terakhir yang

menentukan siapa yang memenangkan pemilu. Norris menggambarkan bahwa

22
masing-masing tahap dapat dilihat sebagai permainan progresif tangga nada

musik, banyak yang memenuhi syarat, sedikit yang dinominasikan.

Gambar 1.2

Tahap-Tahap Rekriutmen Politik

Tahap Sertifikasi Tahap Penominasian Tahap Pemilu

Kandidat Independen
tanpa penominasian
poartai apapun

Permintaan oleh Permintaan


Persyaratan penyeleksi partai oleh pemilih
legal untuk
dapat
Prosedur
mencalonkan
nominasi
Kumpulan Anggota
Sistem pemilu kandidat dalam
kandidat yang terpilih
dan hukum masing-masing
dinominasikan
partai
Norma-norma
informal dan
nilai-nilai Ketersediaan Permintaan oleh media
budaya kandidat yang massa, pendukung
memenuhi finansial, pembackup
syarat lainnya

Sumber: Norris, dalam Katz dan Crotty (2006;90)

Perlakukan partai politik terhadap keseluruhan tahap-tahap rekruitmen

politik sangat berhubungan dengan bagaimana partai politik mengorganisasikan

diri. Terdapat 4 (empat) hal penting yang dapat menunjukan bagaimana

pengorganisasian partai politik dalam rekruitmen politik13.

1. Siapa kandidat yang dapat dinominasikan (Candidacy)?

2. Siapa yang menyeleksi (Selectorate)?

13
Norris dalam Sigit Pamungkas. Partai Politik (Teori dan Praktik di Indonesia). Yogyakarta
Institute for Democracy and Welfarism 2011. Hal 93

23
3. Dimana kandidat di seleksi?

4. Bagaimana kandidat diputuskan?

Perlakuan terhadap keempat hal tersebut melahirkan model pengelolaan

partai antara pola model inklusif vs eklusif, sentralistik vs desentralistrik,

demokrasi vs otoriter, dan titik tengah diantara ekstrimitas-ekstrimitas tersebut.

Terkait siapa yang dapat dinominasikan dalam rekruitmen politik dapat

diklasifikasikan berdasarkan tingkat inklusifitas atau eklusifitas. Dalam model

inklusif, setiap pemilih dapat menjadi kandidat partai. Pembatasannya hanya

regulasi yang ditetapkan negara. Sedangkan pada model eklusif terdapar sejumlah

kondisi yang membatasi hak pemilih untuk dapat ikut serta dalam seleksi

kandidat. Partai politik memberikan sejumlah persyaratan tambahan diluar yang

ditentukan negara. Regulasi negara biasanya meletakan persyaratan dasar bagi

individu yang boleh menominasikan diri, diantaranya persyaratan usia,

kewargabnegaraan, tempat tinggal, kualifikasi literasi, batas deposit uang, jumlah

dukungan, dan sebagainya.

Gambar 1.3

Kandidat yang di seleksi

Semua warga negara Anggota partai Anggota partai +


Syarat Tambahan

Inklusif Eksklusif

(The Selectorate) penyeleksi adalah lembaga yang menyeleksi kandidat.

Yang disebut lembaga ini dapat berupa satu orang, beberapa atau banyak orang,

sampai pada pemilih. Menurut Rahat dan Hazan, penyeleksi dapat

24
diklasifikasikan dalam sebuah kontinum, sama seperti kontinum kandidasi,

berdasarkan tingkat inklusifitas dan eklusifitas. Pada gambar 1.4, pada titik

ekstrim, penyeleksi adalah sangat inklusif, yaitu pemilih yang memiliki hak

memilih dalam pemilu. Dalam ekstrim yang lain, yaitu selektor sangat eklusif

dimana kandidasi ditentukan oleh pimpinan partai14.

Gambar 1.4 Penyeleksi Partai

Pemilih Anggota Agensi Partai Agensi Partai Anggota Partai


Partai Terseleksi Non-Terseleksi Syarat Tambahan

Sementara itu Norris dan Lovenduski membagi agen pembuat keputusan

dalam rekruitmen politik berdasarkan dua dimensi, pertama dimensi bagaimana

kekuasaan disebarkan, apakah kekuasaan tersentralisasi di pusat, regional atau

lokal. Kedua, bagaimana formalisasi keputusan dibuat, apakah dibuat secara

formal atau informal. Disebut informal apabila tidak ada standar norma yang

dibakukan dan terdapat sedikit aturan dan regulasi konstitusional yang mengikat.

Disebut formal apabila terdapat standarisasi proseduryang dibakukan dan

dieksplisitkan dalam proses rekruitmen. Berikut adalah model proses seleksi15.

Gambar 1.5

Agen Pembuatan Keputusan

Pusat Regional Lokal


Proses Informal
Proses Formal

14
Ibid. Hal 94
15
Norris dan Lovenduski. Political Recruitment (Gender, Race and Class in The British
Parliament). Cambridge 1995. Hal 2-8.

25
Pertama informal terpusat. Tipe ini mekanismenya kemungkinan

demokratik konstitusional tetapi dalam praktek proses dikarakteristikan sebagai

patronase kepemimpinan. Kedua, informa regional, dimana faksi pemimpin

tawar-menawar dengan masing-masing yang lain untuk menempatkan kandidat

favorit di posisi terbaik. Selanjutnya informal terlokal, penguasa lokal

memutuskan prosedur umum yang digunakan untuk rekruitmen politik.

Formal terpusat dan formal regional adalah eksekutif partai pusat dan

regional memiliki otoritas konstitusional untuk memutuskan kandidat dan

penempatannya. Terakhir formal terlokal, disini aturan konstitusional dan

panduan nasional dimapankan untuk menstandarkan proses rekruitmen. Sistem ini

memungkinkan proses yang transparan dan aturan yang adil.

Dalam menjawab persoalan ketiga, yaitu dimana kandidat diseleksi ?.

Hazan menyebutkan sebagai persoalan derajat desentralisasi. Ketika kandidat

diseleksi secara eksklusif oleh penyeleksi partai pada tingkat nasional tanpa

prosedur yang mengikutinya, seperti representasi teritorial atau fungsional,

metode ini disebut sentralistik. Berlawanan dengan metode sentralisasi adalam

metode desentralisasi16.

16
Hazan. Comparing Democracies 2: New Challanges in the Studi of Elections and Voting.
London, Sage Publications LTD, 2006. Hal 108.

26
Gambar 1.6

Sentralisasi dan Desentralisasi dalam Rekruitmen Politik

F
Sub Sektor Terdesentralisasi
U
kelompok-
N kelompok sub-
G sosial bersyarat
S
I Sektor luas/
O kelompok sosial
N
A Nasional Terpusat
L
Nasional Regional Lokal

TERITORIAL
Sumber: Rahat and Hazan (2001:301)

Desentralisasi teritorial adalah ketika penyeleksi lokal menominasikan

kandidat partai yang diantaranya dilakukan oleh pemimpin partai lokal, komite

dari cabang sebuah partai, semua anggota atau pemilih di sebuah distrik

pemilihan. Desentralisasi fungsional berarti ketika seleksi dilakukan oleh

korporasi yang kemudian memberikan jaminan representasi untuk representasi

kelompok-kelompok dagang, perempuan, minoritas, dan lainnya.

Selanjutnya persoalan terakhir untuk memahami seleksi kandidat,

bagaimana kandidat diputuskan atau dinominasikan?. Rahat dan Hazan menyebut

dua model yang konfrontatif, yaitu model pemilihan vs penunjukan. Dalam sistem

pemilihan, penominasian kandidat melalui pemilihan diantara penyeleksi. Pada

sistem pemilihan murni, semua kandidat diseleksi melalui prosedur pemilihan

tanpa seorang penyeleksi pun dapat mengubah daftar komposisi. Sementara itu

dalam sistem penunjukan, penentuan kandidat tanpa menggunakan pemilihan.

Dalam sistem penunjukan murni, kandidat ditunjuk tanpa membutuhkan

27
persetujuan oleh agensi partai yang lain kecuali penominasian oleh partai atau

pemimpin partai. Diantara model-model diatas, model yang merumuskan gagasan

tentang partai sebagai agen demokrasi menjadi dasar bahwa model yang

melembagakan demokrasi merupakan pilihan terbaik.

Rahat juga menjelaskan rekruitmen politik yang demokratis adalah ketika

menggunakan metode pemilihan kandidat tiga tahap. Pertama, sebuah komite

kecil menentukan kandidat untuk membuat daftar pendek. Tahap kedua sebuah

perwakilan terpilih dari partai bisa menambah atau mengurangi kandidat dengan

menggunakan prosedur khusus dan ini juga akan mengesahkan pemasukan

kembali kandidat incumbent. Ketiga, anggota partai akan memilih kandidat untuk

posisi atau kursi aman diantara para kandidat yang diajukan.

Gambar 1.7

Proposal Metode Seleksi Kandidat Tiga Tahap

Eksklusif Inklusif

Komite Agen Partai Anggota


Penyaring penyeleksi Partai
an
Fungsi-fungsi

Penunjukan kandidat Amandemen daftar Rangking final kandidat


untuk sebuah daftar pendek; readopsi dan
pendek (setidaknya penolakan petahanan
dua kali jumlah
kandidat yang realistik)

Proses multi-tahap tersebut menggabungkan tiga jenis selectorate yang

menggunakan sistem penunjukan dan voting. Prinsip yang harus ditaati dalam

semua kasus dalam proses rekruitmen politik adalah keharusan melibatkan

sejumlah selectorate melalui metode multi-tahap. Melalui metode selectorate

28
multi tahap tersebut kerumitan yang muncul terkait dengan kandidasi, isu

sentralisasi vs desentralisasi, serta sistem nominasi akan dapat dikompromikan17.

e. Output Rekruitmen Politik

Dalam proses rekruitmen politik terdapat satu kesimpulan dasar, bahwa

terdapat bias representasi. Penyimpangan antara presentase pembilahan sosial

dengan representase politik melahirkan bias representasi sosial. Pembilahan sosial

yang penting untuk dikalkulasi dalam representasi politik diantaranya adalah

pembilahan kelas, agama, seks, ras, bahasa, daerah, dan sebagainya. Berikut

adalah metode untuk mengukur tingkat bias representasi sosial berdasarkan

konseptualisasi J.F.S Ross.

Indeks bias elektoral : Proporsi kelompok di elit


Proporsi kelompok di pemilih
Sementara itu didasarkan pada peran yang mereka mainkan dalam

organisasi dan harapan yang mereka inginkan, terdapat dua tipe aktivis partai

yang dihasilkan dalam proses seleksi kandidat, yaitu tipe aktivis partai profesional

dan tipe partai amatur. Aktivis partai profesional adalah pekerja partai yang

loyalitas pertamanya ditujukan kepada partai itu sendiri dan gaya bekerjanya

adalah pragmatis. Mereka ini adalah pendukung partai reguler yang mendukung

partainya baik dalam situasi baik dan buruk. Tipe kedua adalah amatur, tipe ini

sangat berorientasi pada isu, dimotivasi oleh insentif bertujuan (purposive

17
Sigit Pamungkas. Partai Politik (Teori dan Praktik di Indonesia). Yogyakarta Institute for
Democracy and Welfarism 2011. Hal 100-101

29
insentive) yang melihat aktivitas partai hanya salah satu alat untuk mencapai

tujuan politik yang penting.

Partai politik dengan aktivitas amatur akan memiliki prilaku yang berbeda

dengan partai yang didominasi aktivis partai profesional. Aktivis matur

digambarkan menjadikan partai bergerak dengan isu-isu dan prinsip-prinsip

tertentu. Bagi mereka, isu adalah tujuan dan partai adalah alat mencapai tujuan.

Loyalitas aktivis amatur kepada partai berbanding lurus dengan komitmen partai

terhadap isu-isu strategis. Mereka ini kurang dapat membuat kompromi dengan

posisi mereka untuk memenangkan pemilu. Kedepan tipe amatur akan muncul

secara aktif, memainkan peran partisipatif didalam organisasi partai dengan

perhatian pada isu-isu top partai sebagai agenda. Ketika mereka memimpin partai

sering membawa angin perubahan yang kuat baik dalam unsur internal maupun

sistem politik partai.

Pada tipe aktivis profesional atau pragmatis, tujuan mereka adalah sukses

dalam pemilihan, posisi isu dan kandidat adalah jalan atau alat untuk mencapai

tujuan itu. Mereka mempercayai bahwa memenangkan pemilu adalah jalan

memainkan isu dan memoderasi posisi, atau menominasikan kandidat yang

populer tetapi bukan dengan mempermainkan isu utama. Pada titik ini, pemimpin

partai kemudian harus menemukan keseimbangan antara pemerintahan dengan

aktivis yang tumbuh dengan orientasi isu, aktivis purist dan kolega pragmatis

mereka18.

18
Ibid. Hal 102

30
Tabel 1.1
Perbandingan kandidat Profesional dan Amatur

Tipe Profesional Amatur


Gaya politik Pragmatik Puris
Apa yang mereka inginkan Imbalan material Imbalan purposif (isu,
(perlindungan, ideologi)
kependudukan)
Loyalitas diberikan Organisasi partai Pengurus partai, kelompok
kepada: politik yang lain
Mereka menginginkan Kandidat, pemilu Isu, ideologi
partai fokus dalam hal:
Partai seharusnya memilih Elektabilitas mereka Prinsip-prinsip mereka
kandidat berdasarkan:
Gaya pengelolaan partai Hierarkis Demokratis
seharusnya:
Dukungan mereka Otomatis Tergantung pada prinsip-
terhadap kandidat partai prinsip kandidat
adalah:
Mereka direkrut ke dalam Kerja partai Isu atau organisasi
politik melalui: kandidat
Tingkat SES mereka adalah: Rata-rata sampai Mapan
pada diatas rata-rata
Sumber: Hershey (2005:90)

Klasifikasi lain tentang output kandidat dalam rekruitmen politik yaitu tipe

kandidat untuk rekruitmen legislatif dan eksekutif. Pada rekruitmen legislatif,

terdapat empat tipe kandidat yaitu loyalis partai (party loyalist), pelayan

konstituen (constituen servant), wirausahawan (enterpreneur), dan delegasi

keompok (group delegate). Sementara tipe kandidat untuk rekruitmen eksekutif

meliputi: orang dalam partai (party insider), penyokong partai (party adherent),

independen yang bergerak bebas (free-wheeling independent), dan agen kelompok

(group agent).

31
Tabel 1.2

Tipe kandidat dalam rekruitmen legislatif

Tipe kandidat Loyalitas Partai Pelayan Konstituen Wirausahawan Delegasi Kelompok


Gaya kampanye Menyanjung Memikat konstituen Personalistik Menyanjung
platform partai permintaan
kelompok
Pencari suara Tidak sering Sering Sering Variable, tergantung
personal kepentingan individu
terhadap kelompok
Orientasi Partai sebelum Konstituen sebelum Individualistik, Fungsional,
representasi konstituen partai penghargaan kelompok sebelum
mendukung partai
kelompok atau
individu
Tipe tujuan Kolektif, Pork dan barang Pork Keuntungan untuk
pelayanan programatik, public (public good) partikularistik kelompok
ideologis untuk distrik untuk
menghargai
pendukung
Disiplin Tinggi Moderat, dapat dibeli Rendah, Moderat , dapat
legislative, dengan target pork pemilihan dibeli dengan
dukungan untuk kepentingan penghargaan
presiden pribadi kelompok

Sumber: Siavelis dan Morgenstern (2008:20)

32
Tabel 1.3

Model ideal kandidasi eksekutif dan tipe ideal jalan menuju kekuasaan

Tipe Knadidat Orang dalam Penyokong partai Independen yang Agen kelompok
partai bergerak bebas

Perilaku Ideologis dan Terikat partai, Orientasi Menyesuaikan


kampanye segaris dengan tetapi berorientasi prospektif dan dengan
platform partai reformasi retropektif kelompok
dengan seruan
populis
Komposisi Waktu yang lama Perselisihan partai, Berbasis pada Anggota dari
kabinet menteri orang kepercayaan loyalitas personal kelompok
dalam partai partai personal, personal
pembaharu

Perubahan Tidak mungkin Terbuka Sangat terbuka Tidak mungkin


mandat terikat janji partai kemungkinan kemungkinan terikat dengan
janji kelompok
Relasi dengan Lancer dengan Kontingen Sulit, khsusnya Kontingen
legislatif mayoritas partai pengendali oleh dengan legislator prmbangunan
mereka sendiri, pemilik partai, loyalit dari partai
presiden minoritas, pembangunan oposisi
ketidakpastian koalisi dengan
pembangunan yang lain
aliansi dengan
partai lain
Sumber: Siavelis dan Morgenstern (2008:30)

f. Determinan Rekruitmen Politik

Model rekruitmen politik antara partai politik yang satu dengan yang

lainnya tidak pasti sama. Terdapat perbedaan model rekruitmen antara partai yang

satu dengan yang lainnya. perbedaan model rekruitmen itu tergantung pada

dimensi-dimensi tertentu yang mendominasi atas pilihan model rekruitmen

politik.

Rekruitmen politik sangat ditentukan oleh dua variabel utama, yaitu

variabel legal dan variabel partai politik. Detail dua variable tersebut berbeda

antara rekruitmen kandidat legislatif dengan kandidat eksekutif. Varisasi

33
operasionalisasi faktor determinasi proses rekruitmen itu kemudian akan

mempengaruhi tipe kandidat yang akan dimunculkan. Pada rekruitmen legislatif,

variabel legal yang mempengaruhi rekruitmen politik adalah: besaran distrik, tipe

penyuaraan, kemungkinan pemilu ulang, bentuk negara, dan kekuatan legislatif.

Pada variabel partai yang mempengaruhi rekruitmen legislatif adalah: derajat

sentralisasi partai, inklusifitas rekruitmen, pengorganisasian partai, dan koneksi

keuangan partai.

Sementara itu pada rekruitmen eksekutif (nasional), variabel legal yang

mempengaruhi rekruitmen politik adalah: sistem pemilu, waktu pelaksanaan

pemilu, hambatan untuk kandidat independen, peluang petahana untuk dipilih

kembali, dan bentuk negara. Pada variabel partai politik, faktor yang

mempengaruhi rekruitmen eksekutif adalah: derajat inklusifitas rekruitmen,

pengorganisasian partai, derajat identifikasi partai pemilih, dan relasi partai

dengan uang19.

19
Ibid. Hal 104-105

34
Tabel 1.4

Aspek legal dan Partai dalam Rekruitmen Legislatif

Variabel
Legal
Besaran Moderat (4-6) atau Rendah (1-3) Tinggi Tidak puas
distrik tinggi (lebih dari 7)
Tipe daftar Tertutup Terbuka atau Terbuka Tidak jelas
tertutup
Pemilu ulang Ya Ya Tidak Ya
Organisasi Kesatuan Federal Federal Tidak jelas
geografik
Kesatuan Kuat Kuat Lemah Tidak jelas
legislatif
Variabel
partai
Sentralisasi Sentralistik seleksi Lokalistik pemilu Lokalistik Komporasi
keinklusifan elit pendahuluan seleksi sendiri peran
kelompok
fungsional
dalam
seleksi
Organisasi Birokratik Berbasis patronase Tidak teratur Berbasis
partai atau PI tidak kelompok
relevan
Koneksi Kontrol partai atau Pembiayaan negara Bisnis privat Pembiayaan
keuangan pembiayaan negara kepada individu dan atau oleh atau
partai melalui partai independen pembiayaan melalui
pribadi kelompok
fungsional
Tipe kandidat Loyalis partai Pelayan konstituen Entrepreneur Delegasi
kelompok
Sumber: Siavelis dan Morgenstern (2008:18)

35
Tabel 1.5

Model ideal Kandidasi Eksekutif dan Tipe ideal jalan menuju Kekuasaan

Variabel Legal
Aturan Kemenangan Pluralitas dengan Dua putaran Dua putaran
kemenangan pluralitas threshold (runoff) (runoff)
pluralitas sederhana
Pemilu serentak Serentak Serentak Tidak serentak Tidak serentak

Hambatan Tinggi Moderat Rendah Rendah


untuk
independen
Keterpilihan Ya Ya Tidak Tidak serentak
kembali
Organisasi Kesatuan Federal Federal Tidak jelas
geografik (indedeterminate)
Variabel Partai
Keinklusifan Berpusat elit Pemilu Meniminasikan Penyeleksi berbasis
atau militan pendahuluan sendiri kelompok
terbuka
Organisasi Terbirokratisasi Berbasis Tidak teratur/ Organisasi berbasis
Partai patronase kacau atau tanpa kelompok
partai
Pentingnya Tinggi Moderat Rendah, retropeksi Dependen perihal
party ID kunci untuk loyalitas terhadap
pemilih pemilihan kelompok
fungsional
Koneksi partai- Berpusat partai Terdesentralisasi Pembiayaan Pembiayaan
uang atau pembiayaan mandiri atau kelompok untuk
negara sponsor kampanye
Tipe kandidat Orang dalam Penyokong partai partikularistik
Independen yang Agen kelompok
partai (insider (party adherent) bergerak bebas
party) (free-wheeling
independent)
Sumber: Siavelis dan Morgenstern (2008:30)

36
2. Definisi Konseptual

Definisi konsepsional adalah suatu usaha untuk menjelaskan mengenai

pembatasan antara konsep yang satu dengan yang lainnya agar tidak terjadi

kesalah pahaman. Definisi Konseptual dalam penelitian ini adalah:

1. Partai politik adalah organisasi dari aktivitas-aktivitas politik yang

berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan, serta merebut

dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan suatu golongan atau

golongan-golongan lain yang mempnya tujuan atau ideologi yang berbeda.

2. Rekruitmen politik adalah proses seleksi atau pemilihan anggota parta

yang bertujuan untuk menciptakan kandidat yang sesuai dengan regulasi

dan kehendak partai, sebagai sarana untuk memobilisasi dan mencapai

tujuan partai baik secara ideologi maupun kekuasaan dalam pemerintah.

3. Output rekruitmen politik adalah hasil dari suatu proses rekruitmen atau

kandidasi yang dilakukan oleh partai politik, dan penempatan bagaimana

selanjutnya anggota atau kandidat terpilih bekerja.

4. Determinan rekruitmen politik merupakan faktor-faktor atau variasi

operasionalisasi yang mempengaruhi bagaimana tipe kandidat yang

dihasilkan setelah proses rekruitmen berlansung, disini dapat digambarkan

bagaimana dan tipe kandidat seperti apa yang ada didalam partai politik

hasil rekruitmen.

37
3. Definisi Operasional

Definisi operasional merupakan definisi yang diberikan oleh peneliti yang

dapat menjadi acuan dalam melakukan penelitian untuk mengukur masing-masing

variabel penelitian. Definisi operasional variabel dalam penelitian ini yaitu:

1. Prosedur pelaksanaan rekruitmen yang digunakan partai politik

2. Tahapan proses rekruitmen partai politik

a. Tahap sertifikasi

b. Tahap penominasian

c. Tahap pemilu

3. Kandidat yang dapat dinominasikan (Candidacy)

4. Penyeleksi dalam proses rekruitmen partai (The Selectorate)

5. Dimana kandidat diseleksi oleh partai

6. Penominasian kandidat oleh partai

7. Output rekruitmen politik

8. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses rekruitmen

38
BAB III

METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian deskriptif

kualitatif yaitu metode dalam penelitian suatu objek, suatu peristiwa pada masa

sekarang. Sugiyono menyebutkan bahwa metode penelitian kualitatif sering

disebut “Metode penelitian Naturalistik” karena penelitian yang dilakukan

tersebut pada kondisi yang alamiah (Natural Setting). Menurut Moh. Nazir

penelitian deskriptif kualitatif adalah suatu metode dalam meneliti status

kelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi serta suatu sistem pemikiran

ataupun kilas peristiwa pada masa sekarang. Sementara Koentjoro mendefinisikan

bahwa penelitian kualitatif adalah suatu penelitian ilmiah yang bertujuan untuk

memahami suatu fenomena dalam konteks sosial secara alamiah dengan

mengedepankan proses interaksi komunikasi yang mendalam antara peneliti

dengan fenomena yang diteliti20.

Adapun tujuan dari penelitian deskriptif kualitatif ini adalah untuk

menggambarkan atau mendeskripsikan secara sistematis, faktual serta akurat

mengenai fakta-fakta, sifat dan hubungan antara fenomena-fenomena yang diteliti.

20
Haris Herdiansyah. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Salemba Humanika.2010, Hlm 9.

39
2. Lokasi Penelitian

Dalam hal ini lokasi atau objek penelitian penulis yaitu kantor Dewan

Pimpinan Cabang Partai Gerakan Indonesia Raya (DPC Gerindra) Kabupaten

Cianjur. Tim persiapan Pilkada serentak 2015.

3. Jenis Data

a. Data Primer

Data Primer adalah informasi atau data yang diperoleh secara langsung

dari tempat penelitian atau lapangan dari unit analisa sebagai objek penelitian.

Dalam penelitian kualitatif, kata-kata dan tindakan yang dihasilkan melalui

pengamatan atau observasi dan wawancara merupakan sumber utama untuk

mendapatkan data yang akurat. Informan dalam penelitian ini dilakukan secara

Purposive Sampling (sampling bertujuan), artinya informan adalah orang-orang

terkait yang sudah diseleksi dan dianggap mampu dan mengetahui tentang

informasi yang dibutuhkan oleh peneliti. Data primer dalam penelitian ini adalah

data yang didapatkan melalui observasi dan wawancara. Peneliti menggunakan

data ini sebagai sumber utama dalam penelitian untuk mendapatkan informasi

langsung yang tepat dan benar mengenai proses rekruitmen yang terjadi di dalam

Partai Gerindra.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data-data atau informasi yang diperoleh secara tidak

langsung, tetapi didapat dari sumber bacaan dan sumber-sumber lainnya seperti

surat-surat pribadi, buku harian, notula rapat perkumpulan, sampai dokumen-

40
dokumen resmi dari berbagai instansi pemerintah khususnya yang terkait dengan

objek penelitian. Data sekunder juga dapat berupa majalah, buletin, publikasi dari

berbagai organisasi, lampiran-lampiran dari badan-badan resmi seperti

kementrian-kementrian, hasil-hasil studi, tesis, hasil survey, studi histories, dan

sebagainya yang dijadikan sebagai landasan serta hal-hal yang terkait dengan

penelitian. Peneliti menggunakan data sekunder ini untuk memperkuat penemuan

dan melengkapi informasi yang telah dikumpulkan dan didapat melalui data-data

primer.

4. Teknik Pengumpulan Data

Pohan mendefinisikan bahwa teknik pengumpulan data adalah cara yang

digunakan untuk mendapatkan informasi atau fakta-fakta dilapangan. Teknik

pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik

pengumpulan data berupa wawancara, observasi dan dokumentasi.

a. Wawancara adalah teknik pengumpulan data dengan cara melakukan

interaksi atau pembicaraan secara langsung terhadap informan yang dituju,

dan peneliti mengajukan beberapa pertanyaan yang terkait dengan

permasalahan penelitian secara mendalam untuk mendapatkan data dan

informasi yang diinginkan. Draf pertanyaan dapat dikembangkan

mengikuti pendalaman interaksi yang terjadi dan jawaban dari informan

tersebut. Dengan menggunakan teknik wawancara dan dilakukan secara

mendalam maka kemampuan intelektual sebagai bagian dari akar

profesionalitas yang berupa pemikiran dan gagasan serta wawasan

seseorang akan terungkap melalui wawancara tersebut.

41
b. Observasi adalah teknik pengumpulan data dimana peneliti mengamati

secara langsung mengenai keadaan konsep didalam unit analisa yang

menjadi objek penelitian. Dan mengungkapkan fenomena-fenomena yang

real (nyata) terjadi didalam unit analisa dengan cara peneliti terlibat

langsung kepada situasi yang terjadi didalam unit analisa itu sendiri.

c. Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data dengan mencari dari

sumber referensi-refensi seperti dokumen, catatan, karya tulis ilmiah yang

terkait dengan keadaan konsep penelitian didalam unit analisa, dan terkait

dengan dengan objek penelitian. Dokumentasi dilakukan untuk

mendapatkan data yang valid yaitu dengan melihat data-data yang ada di

Kantor DPC Partai Gerindra Kab. Cianjur.

5. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke

dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan

dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan analisis Kualiatif, yaitu usaha

untuk menganalisa, menggabungkan atau menyederhanakan fakt-fakta dan

fenoma yang terjadi didalam unit analisis dengan pemikiran yang logis dan

metodelogi terkait dari semua data yang didapatkan dari naskah wawancara,

observasi/pengamatan, dokumentasi resmi, catatan lapangan dan lainnya. Adapun

langkah-langkah atau tahapan-tahapan dalam analisis data adalah sebagai berikut:

a. Merumuskan berbagai macam kategori fenomena sosial yang disajikan

sesuai dengan data yang ada.

42
b. Mengabstraksikan tema-tema fenomena sosial yang bersifat induktif.

c. Melakukan interpretasi/penafsiran data.

d. Dialogkan teori lokal dengan teori-teori lain yang ada dalam penelitian21.

21
Dian Eka Rahmawati, Diktat Metode Penelitian Sosial, Laboratorium Ilmu Pemerintahn UMY, 2010. Hlm
32‐35

43
DAFTAR PUSTAKA

Budiardjo, Mirian. (2008). Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta; Gramedia.

Balwi, Noor A. (2012). Rekruitmen Politik Partai Nasional Demokrat dalam


Proses Institusionalisasi Partai di Kota Makassar. Makassar; FISIP
Universitas Hassanudin.

Hazan.(2006). Comparing Democracies 2: New Challanges in the Studi of


Elections and Voting. London; Sage Publications LTD.

Herdiansyah, Haris. (2010). Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta; Salemba


Humanika.

Khoirudin. (2004). Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi, Menakar


Kinerja Partai Politik Era Transisi di Indonesia. Yogyakarta; Pustaka
Pelajar.

Norris dan Lovenduski. (1995). Political Recruitment (Gender, Race and Class in
The British Parliament). Cambridge.

Prihatmoko, Joko J. (2005). Pemilihan Kepala Daerah Langsung. Semarang;


Pustaka Pelajar.

Pamungkas, Sigit.(2011). Partai Politik (Teori dan Praktik di Indonesia).


Yogyakarta; Institute for Democracy and Welfarism.

Rahmawati, Dian, E. (2010). Diklat Metode Penelitian Sosial. Laboratorium Ilmu


Pemerintahan UMY.

Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif & RND. Bandung;


Alfabeta.

Syafie, Inu K. (2009). Pengantar Ilmu Politik. Bandung; Pustaka RekaCipta.


Ziauddin, Sarda. (1996). Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung; Mizan

44

Anda mungkin juga menyukai