Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

Fenomena sosial dalam masyarakat banyak ragamnya kadangkala fenomena sosial


berkembang menjadi suatu masalah sosial akibat perbedaan cara pandang mengenai Fenomena
tersebut. Dalam menyelesaikan masalah sosial dibutuhkan suatu teori untuk menyelesaikannya.
Teori-teori tersebut lahir dari pengalaman- pengalaman yang terjadi dalam kehidupan sehari-
hari. Karena setiap individu mengalami pengalaman yang berbeda maka teori yang muncul juga
akan berbeda pula antara satu individu dengan individu lainnya. Disimpulkan bahwa tidak ada
teori yang dapat menyeluruh membahas mengenai masalah sosial di masyarakat.

Di zaman modern ini, orang dengan berbagai aktivitas dan kepentingan silih berganti,
kadang dapat membuat seorang individu atau suatu kelompok mengalami disjungsi atau
persinggungan dengan individu atau kelompok yang lain yang akan mengakibatkan konflik.
Konflik yang berkepanjangan kadang dapat memperburuk tatanan sosial masyarakat. Namun,
konflik juga berperan positif dalam memperkuat persatuan dan menghilangkan konflik intern
dalam suatu kelompok. Konflik dimanapun bentuknya merupakan sesuatu yang wajar terjadi.
Konflik senantiasa ada dalam setiap sistem sosial. Dapat dikatakan konflik merupakan suatu ciri
dari sistem sosial. Tanpa konflik suatu hubungan tidak akan hidup. Sedangkan ketiadaan konflik
dapat menandakan terjadinya penekanan masalah yang suatu saat nanti akan timbul suatu
ledakan yang benar-benar kacau. Untuk itu dibutuhkan suatu teori yang dapat menekan bahkan
memusnahkan konflik yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Teori Teori Konflik Dan Perdamaian

Konflik berasal dari kata kerja latin configere yang berarti saling memukul. Secara
sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (dapat pula
kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkan
atau membuatnya tidak berdaya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia konflik didefenisikan
sebagai percekcokan, perselisihan, atau pertentangan. Dengan demikian secara sederhana,
konflik merujuk pada adanya dua hal atau lebih yang berseberangan, tidak selaras, dan
bertentangan.

Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu
interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian,
pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawa sertanya ciri-ciri
individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat.
Tidak ada satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik anggotanya atau dengan
kelompok lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu
sendiri.

Teori konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui
proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik
yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula. Teori ini
didasarkan pada pemikiran sarana-sarana produksi sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam
masyarakat. Perspektif konflik dapat dilacak melalui pemikiran tokoh-tokoh klasik seperti Karl
Marx (1818-1883), Lewis Coser, Max Weber (1864-1920), George Simmel (1858-1918), sampai
Ralf Dahrendorf.

2.2 Teori Konflik Karl Marx (1818-1883)

Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya. Marx
tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat,
pada abad ke-19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas
pekerja miskin sebagai kelas proletar. Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkis,
kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi. Eksploitasi
ini akan terus berjalan selama kesadaran semu eksis dalam diri proletar, yaitu berupa rasa
menyerah diri, menerima keadaan apa adanya tetap terjaga. Ketegangan hubungan antara kaum
proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi.
Ketegangan tersebut terjadi jika kaum proletar telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap
mereka.

2.3 Teori konflik Lewis Coser

Menurut Coser, konflik dapat bersifat fungsional secara positif maupun negatif. Fungsional
secara positif apabila konflik tersebut berdampak memperkuat kelompok, sebaliknya bersifat
negatif apabila bergerak melawan struktur. Dalam kaitannya dengan sistem nilai yang ada dalam
masyarakat, konflik bersifat fungsional negatif apabila menyerang suatu nilai inti. Dalam hal ini
konflik antara suatu kelompok dengan kelompok lain, konflik dapat bersifat fungsional positif
karena akan membantu pemantapan batas-batas struktural dan mempertinggi integrasi dalam
kelompok. Penekanan teori konflik ini adalah bahwa tingkat struktur sosial yang berada di
masyarakat, dimana susunan struktur yang tercipta merupakan suatu hasil persetujuan dan
konsensus yang sekaligus mengarah pada proses konflik sosial.

2.4 Teori konflik Max Weber (1864-1920)

Dalam teorinya weber percaya bahwa konflik terjadi dengan cara yang jauh lebih dari
sekedar kondisi-kondisi material. Weber mengakui bahwa konflik dalam merebutkan sumber
daya ekonomi merupakan ciri dasar kehidupan sosial, tetapi ia berpendapat bahwa banyak tipe-
tipe konflik lain yang juga terjadi diantara berbagai tipe tersebut. Weber menekankan dua tipe.
Dia menganggap konflik dalam arena politik sebagai sesuatu yang sangat fundamental. Baginya
kehidupan sosial dalam kadar tertentu merupakan pertentangan untuk memperoleh kekuasaan
dan dominasi oleh sebagian individu dan kelompok tertentu terhadap yang lain dan dia tidak
menganggap pertentangan untuk memperoleh keuntungan ekonomi Sebaliknya, Weber melihat
dalam kadar tertentu sebagai tuiuan pertentangan untuk memperoleh keuntungan ekonomi.
2.5 Teori Konflik Ralf Dahrendorf

Teori konflik Ralf Dahrendorf merupakan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta
modifikasi teori sosiologi Karl Marx. Karl Marx berpendapat bahwa pemilikan dan Kontrol
sarana- sarana berada dalam satu individu- individu yang sama. Menurut Dahrendorf tidak selalu
pemilik sarana-sarana juga bertugas sebagai pengontrol apalagi pada abad kesembilan belas.

Penerimaan Dahrendorf pada teori konflik Karl Marx adalah ide mengenai pertentangan
kelas sebagai satu bentuk konflik dan sebagai sumber perubahan sosial. Kemudian dimodifikasi
oleh berdasarkan perkembangan yang terjadi akhir- akhir ini. Dahrendorf mengatakan bahwa ada
dasar baru bagi pembentukan kelas, sebagai pengganti konsepsi pemilikan sarana produksi
sebagai dasar perbedaan kelas itu. Menurut Dahrendorf hubungan- hubungan kekuasaan yang
menyangkut bawahan dan atasan menyediakan unsur bagi kelahiran kelas.

Dahrendorf mengakui terdapat perbedaan di antara mereka yang memiliki sedikit dan banyak
kekuasaan. Perbedaan dominasi itu dapat terjadi secara drastis. Tetapi pada dasarnya tetap
terdapat dua kelas sosial yaitu, mereka yang berkuasa dan yang dikuasai. Dalam analisisnya
Dahrendorf menganggap bahwa secara empiris, pertentangan kelompok mungkin paling mudah
di analisis bila dilihat sebagai pertentangan mengenai ligitimasi hubungan- hubungan kekuasaan.
Dalam setiap asosiasi, kepentingan kelompok penguasa merupakan nilai- nilai yang merupakan
ideologi keabsahan kekuasannya, sementara kepentingan- kepentingan kelompok bawah
melahirkan ancaman bagi ideologi ini serta hubungan- hubungan sosial yang terkandung di
dalamnya.

2.6 Teori Transformasi Konflik

Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan


ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya, dan ekonomi. Sasaran yang
ingin dicapai teori ini adalah:

 Mengubah berbagai struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan dan
ketidakadilan, termasuk kesenjangan ekonomi.
 Meningkatkan jalinan hubungan dan sikap jangka panjang di antara pihak-pihak yang
mengalami konflik.
 Mengembangkan berbagai proses dan sistem untuk mempromosikan pemberdayaan,
keadilan, perdamaian, pengampunan, rekonsiliasi dan pengakuan.
BAB III

SIMPULAN

Teori konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui
proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik
yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula. Teori ini
didasarkan pada pemikiran sarana-sarana produksi sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam
masyarakat. Perspektif konflik dapat dilacak melalui pemikiran tokoh-tokoh klasik seperti Karl
Marx (1818-1883), Lewis Coser, Max Weber (1864-1920), George Simmel (1858-1918), sampai
Ralf Dahrendorf.

Teori konflik berdasarkan sudut pandang:

1. Teori hubungan masyarakat

2. Teori negosiasi prinsip

3. Teori kebutuhan manusia

4. Teori identitas

5. Teori kesalahpahaman Antarbudaya

6. Teori Transformasi konflik

Teori-teori perdamaian:

1. Teori perdamaian Galtung

2. Teori Marxisme

3. Teori Neomarxis
DAFTAR PUSTAKA

Bernard Raho, Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007

http://psychochanholic.blogspot.com/2008/03/teori-teori-konflik.html

Johan Galtung, Violence, Peace, and Peace Research, Journal of Peace Research

Margaret. M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994

Anda mungkin juga menyukai