Anda di halaman 1dari 48

Mengenal Singkat Teori Interaksionisme Simbolik

Oleh Prof Dr. Riyadi Soeprapto, MS (Alm)

Inti pandangan pendekatan ini adalah individu. Para ahli di belakang perspektif ini
mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling penting dalam konsep sosiologi.
Mereka melihat bahwa individu adalah obyek yang bisa secara langsung ditelaah dan
dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang lain.

Dalam perspektif ini dikenal nama sosiolog George Herbert Mead (1863–1931), Charles
Horton Cooley (1846–1929), yang memusatkan perhatiannya pada interaksi antara individu
dan kelompok. Mereka menemukan bahwa individu-individu tersebut berinteraksi dengan
menggunakan simbol-simbol, yang di dalamnya berisi tanda-tanda, isyarat dan kata-kata.
Sosiolog interaksionisme simbolik kontemporer lainnya adalah Herbert Blumer (1962) dan
Erving Goffman (1959).

Seperti yang dikatakan Francis Abraham dalam Modern Sociological Theory (1982)[1],
bahwa interaksionisme simbolik pada hakikatnya merupakan sebuah perspektif yang bersifat
sosial-psikologis yang terutama relevan untuk penyelidikan sosiologis. Teori ini akan
berurusan dengan struktur-struktur sosial, bentuk-bentuk kongkret dari perilaku individual
atau sifat-sifat batin yang bersifat dugaan, interaksionisme simbolik memfokuskan diri pada
hakekat interaksi, pada pola-pola dinamis dari tindakan sosial dan hubungan sosial. Interaksi
sendiri dianggap sebagai unit analisis: sementara sikap-sikap diletakkan menjadi latar
belakang.

Baik manusia dan struktur sosial dikonseptualisasikan secara lebih kompleks, lebih tak
terduga, dan aktif jika dibandingkan dengan perspektif-perspektif sosiologis yang
konvensional.Di sisi ini masyarakat tersusun dari individu-individu yang berinteraksi yang
tidak hanya bereaksi, namun juga menangkap, menginterpretasi, bertindak, dan mencipta.
Individu bukanlah sekelompok sifat, namun merupakan seorang aktor yang dinamis dan
berubah, yang selalu berada dalam proses menjadi dan tak pernah selesai terbentuk
sepenuhnya.

Masyarakat bukanlah sesuatu yang statis “di luar sana” yang selalu mempengaruhi dan
membentuk diri kita, namun pada hakekatnya merupakan sebuah proses interaksi. Individu
bukan hanya memiliki pikiran (mind), namun juga diri (self) yang bukan sebuah entitas
psikologis, namun sebuah aspek dari proses sosial yang muncul dalam proses pengalaman
dan aktivitas sosial. Selain itu, keseluruhan proses interaksi tersebut bersifat simbolik, di
mana makna-makna dibentuk oleh akal budi manusia.

Makna-makna itu kita bagi bersama yang lain, definisi kita mengenai dunia sosial dan
persepsi kita mengenai, dan respon kita terhadap, realitas muncul dalam proses interaksi.[2]
Herbert Blumer, sebagaimana dikutip oleh Abraham (1982)[3] salah satu arsitek utama dari
interaksionisme simbolik menyatakan: Istilah ‘interaksi simbolik’ tentu saja menunjuk pada
sifat khusus dan khas dari interaksi yang berlangsung antar manusia. Kekhususan itu
terutama dalam fakta bahwa manusia menginterpretasikan atau ‘mendefinsikan’ tindakan satu
sama lain dan tidak semata-mata bereaksi atas tindakan satu sama lain.
Jadi, interaksi manusia dimediasi oleh penggunaan simbol-simbol, oleh interpretasi, atau oleh
penetapan makna dari tindakan orang lain. Mediasi ini ekuivalen dengan pelibatan proses
interpretasi antara stimulus dan respon dalam kasus perilaku manusia.Pendekatan
interaksionisme simbolik memberikan banyak penekanan pada individu yang aktif dan kreatif
ketimbang pendekatan-pendekatan teoritis lainnya. Pendekatan interaksionisme simbolik
berkembang dari sebuah perhatian ke arah dengan bahasa; namun Mead mengembangkan hal
itu dalam arah yang berbeda dan cukup unik. Pendekatan interaksionisme simbolik
menganggap bahwa segala sesuatu tersebut adalah virtual.

Semua interaksi antarindividu manusia melibatkan suatu pertukaran simbol. Ketika kita
berinteraksi dengan yang lainnya, kita secara konstan mencari “petunjuk” mengenai tipe
perilaku apakah yang cocok dalam konteks itu dan mengenai bagaimana menginterpretasikan
apa yang dimaksudkan oleh orang lain. Interaksionisme simbolik mengarahkan perhatian kita
pada interaksi antarindividu, dan bagaimana hal ini bisa dipergunakan untuk mengerti apa
yang orang lain katakan dan lakukan kepada kita sebagai individu.[4]

Gagasan Teori Interaksionisme SimbolikIstilah paham interaksi menjadi sebuah label untuk
sebuah pendekatan yang relatif khusus pada ilmu dari kehidupan kelompok manusia dan
tingkah laku manusia. Banyak ilmuwan yang telah menggunakan pendekatan tersebut dan
memberikan kontribusi intelektualnya, di antaranya George Herbert Mead, John Dewey, W.I
Thomas, Robert E.Park, William James, Charles Horton Cooley, Florian Znaniceki, James
Mark Baldwin, Robert Redfield dan Louis Wirth. Teori interaksionisme simbolis adalah salah
satu cabang dalam teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri (the self) dan
dunia luarnya. Di sini Cooley menyebutnya sebagai looking glass self.

Dengan mengetahui interaksionisme simbolik sebagai teori maka kita akan bisa memahami
fenomena sosial lebih luas melalui pencermatan individu. Ada tiga premis utama dalam teori
interaksionisme simbolis ini, yakni manusia bertindak berdasarkan makna-makna; makna
tersebut didapatkan dari interaksi dengan orang lain; makna tersebut berkembang dan
disempurnakan saat interaksi tersebut berlangsung.Menurut KJ Veeger[5] yang mengutip
pendapat Herbert Blumer, teori interaksionisme simbolik memiliki beberapa gagasan. Di
antaranya adalah mengenai Konsep Diri.

Di sini dikatakan bahwa manusia bukanlah satu-satunya yang bergerak di bawah pengaruh
perangsang entah dari luar atau dalam melainkan dari organisme yang sadar akan dirinya (an
organism having self). Kemudian gagasan Konsep Perbuatan di mana perbuatan manusia
dibentuk dalam dan melalui proses interaksi dengan dirinya sendiri. Dan perbuatan ini sama
sekali berlainan dengan perbuatan-perbuatan lain yang bukan makhluk manusia. Kemudian
Konsep Obyek di mana manusia diniscayakan hidup di tengah-tengah obyek yang ada, yakni
manusia-manusia lainnya.

Selanjutnya Konsep Interaksi Sosial di mana di sini proses pengambilan peran sangatlah
penting. Yang terakhir adalah Konsep Joint Action di mana di sini aksi kolektif yang lahir
atas perbuatan-perbuatan masing-masing individu yang disesuaikan satu sama lain.Menurut
Soeprapto (2001),[6] hanya sedikit ahli yang menilai bahwa ada yang salah dalam dasar
pemikiran yang pertama. “Arti” (mean) dianggap sudah semestinya begitu, sehingga tersisih
dan dianggap tidak penting. “Arti” dianggap sebagai sebuah interaksi netral antara faktor-
faktor yang bertanggungjawab pada tingkah laku manusia, sedangkan ‘tingkah laku’ adalah
hasil dari beberapa faktor. Kita bisa melihatnya dalam ilmu psikologi sosial saat ini. Posisi
teori interaksionisme simbolis adalah sebaliknya, bahwa arti yang dimiliki benda-benda
untuk manusia adalah berpusat dalam kebenaran manusia itu sendiri.

Dari sini kita bisa membedakan teori interaksionisme simbolis dengan teori-teori lainnya,
yakni secara jelas melihat arti dasar pemikiran kedua yang mengacu pada sumber dari arti
tersebut.Teori interaksionisme simbolis memandang bahwa “arti” muncul dari proses
interaksi sosial yang telah dilakukan. Arti dari sebuah benda untuk seseorang tumbuh dari
cara-cara di mana orang lain bersikap terhadap orang tersebut. Sehingga interaksi simbolis
memandang “arti” sebagai produk sosial; Sebagai kreasi-kreasi yang terbentuk melalui
aktifitas yang terdefinisi dari individu saat mereka berinteraksi.

Pandangan ini meletakkan teori interaksionisme simbolis pada posisi yang sangat jelas,
dengan implikasi yang cukup dalam. Tokoh-tokoh Teori Interaksionisme Simbolik.

Mengikuti penjelasan Abraham (1982)[7], Charles Horton Cooley adalah tokoh yang amat
penting dalam teori ini. Pemikiran sosial Cooley terdiri atas dua asumsi yang mendalam dan
abadi mengenai hakikat dari kehidupan sosial, yaitu bahwa kehidupan sosial secara
fundamental merupakan sebuah evolusi organik, dan bahwa masyarakat itu secara ideal
bersifat demokratis, moral, dan progresif. Konsep evolusi organik-nya Cooley berbeda secara
hakiki dari konsepnya Spencer dan para ilmuwan sosial abad kesembilanbelas.

Sementara para pemikir yang lebih awal memusatkan diri pada aspek-aspek kolektif yang
berskala-besar dari pembangunan, dari perjuangan kelas, dari lembaga sosial dan sebagainya,
di sini Cooley berusaha mendapatkan sebuah pemehaman yang lebih mendalam mengenai
individu namun bukan sebagai entitas yang terpisah dari masyarakat, namun sebagai sebuah
bagian psiko-sosial dan historis dari bahan-bahan penyusun masyarakat. “Kehidupan kita
adalah satu satu kehidupan manusia secara keseluruhan,” kata Cooley, “dan jika kita ingin
memiliki pengetahuan yang riil atas diri individu, maka kita harus memandang individu
secara demikian. Jika kita melihatnya secara terpisah, maka proses pengetahuan kita atas diri
individu akan gagal.”

Jadi, evolusi organik adalah interplay yang kreatif baik individu maupun masyarakat sebagai
dua wujud dari satu fenomena yang sama, yang saling menegaskan dan beriringan meski
tetap masih bisa dibedakan. ”Masyarakat adalah sebuah proses saling berjalinnya dan saling
bekerjanya diri-diri yang bersifat mental (mental selves). Saya membayangkan apa yang
Anda pikirkan, terutama mengenai apa yang Anda pikirkan tentang apa yang saya pikirkan,
terutama mengenai apa yang saya pikirkan tentang apa yang Anda pikirkan.”

Jadi, menurut Cooley, tugas fundamental dari sosiologi ialah untuk memahami sifat organis
dari masyarakat sebagaimana dia berlangsung melalui persepsi-persepsi individual dari orang
lain dan dari diri mereka sendiri. Jika sosiologi hendak memahami masyarakat, dia harus
mengkonsentrasikan perhatiannya pada aktivitas-aktivitas mental dari individu-individu yang
menyusun masyarakat tersebut. “Imajinasi yang saling dimiliki oleh orang-orang merupakan
fakta-fakta yang solid dari masyarakat… Masyarakat adalah sebuah relasi di antara ide-ide
yang bersifat personal.”Dalam konsep The Looking-Glass Self (Diri Yang Seperti Cermin
Pantul), menurut Cooley, institusi-institusi sosial yang utama ialah bahasa, keluarga, industri,
pendidikan, agama, dan hukum. Sementara institusi-institusi tersebut membentuk ‘fakta-fakta
dari masyarakat’ yang bisa dipelajari oleh studi sosiologis, mereka juga merupakan produk-
produk yang ditentukan dan dibangun oleh pikiran publik. Menurut Cooley, institusi-institusi
tersebut merupakan hasil dari organisasi dan kristalisasi dari pikiran yang membentuk
bentuk-bentuk adat-adat kebiasaan, simbol-simbol, kepercayaan-kepercayaan, dan sentimen-
sentimen perasaan yang tahan lama.

Oleh karena itu, institusi-institusi tersebut merupakan kreasi-kreasi mental dari individu-
individu dan dipelihara melalui kebiasaan-kebiasaan manusiawi dari pikiran yang hampir
selalu dilakukan secara tidak sadar karena sifat kedekatannya dengan diri kita (familiarity).
Seperti yang ditegaskan oleh Cooley, ketika institusi-institusi masyarakat dipahami terutama
sebagai kreasi-kreasi mental, maka individu bukanlah semata-mata ‘efek’ dari struktur sosial,
namun juga merupakan seorang kreator dan pemelihara struktur sosial tersebut.

Intinya, Cooley mengkonsentrasikan kemampuan-kemampuan analitiknya terhadap


perkembangan dari diktum fundamentalnya, yaitu “Imajinasi-imajinasi yang saling dimiliki
oleh orang-orang merupakan fakta-fakta yang solid dari masyarakat.” Dalam bukunya yang
pertama, Human Nature and the Social Order, dia terfokus pada teori mengenai diri-yang-
bersifat-sosial (social-self), yakni makna “Aku” sebagaimana yang teramati dalam pikiran
dan perbincangan sehari-hari.

Cuplikan dari buku karangan Riyadi Soeprapto. 2001. Interaksionisme Simbolik


Perspektif Sosiologi Modern. Yogyakarta: Averroes Press dan Pustaka Pelajar.

____________________________
[1] M. Francis Abraham. 1982 Modern Sociological Theory (An Introduction). Oxford:
Oxford University Press. Chapter 8. Simbolic Interacsionism.

[2] Ibid.

[3] Ibid

[4] Horton, Paul B dan Chester L. Hunt. 1984. Sociology. Jakarta: Penerbit Erlangga.

[5] KJ Veeger. 1985. Realitas Sosial, Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu –
Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi. Jakarta: Gramedia. Hlm 224 – 226.

[6] Ryadi Soeprapto,. 2000. Interaksionisme Simbolik, Perspektiof Sosiologi Modern.


Malang: Averroes Press dan Pustaka Pelajar.

[7] Francis, M. Abraham (1982). Op. Cit.

Teori Interaksionisme Simbolik


March 17, 2008

tags: georger herbert mead, herbert blummer, interaksionisme simbolik

by yearry
Herbert Blummer

Herbert Blumer dan George Herbert Mead adalah yang pertama-tama mendefinisikan teori
symbolic interactionism.

Blumer mengutarakan tentang tiga prinsip utama interaksionisme simbolik, yaitu tentang pemaknaan
(meaning), bahasa (language), dan pikiran (thought). Premis ini nantinya mengantarkan kepada
konsep ‘diri’ seseorang dan sosialisasinya kepada ‘komunitas’ yang lebih besar, masyarakat.

Blumer mengajukan premis pertama, bahwa human act toward people or things on the basis of the
meanings they assign to those people or things. Maksudnya, manusia bertindak atau bersikap
terhadap manusia yang lainnya pada dasarnya dilandasi atas pemaknaan yang mereka kenakan
kepada pihak lain tersebut.

Sebagai contoh, dalam film Kabayan, tokoh Kabayan sebenarnya akan memiliki makna yang berbeda-
beda berpulang kepada siapa atau bagaimana memandang tokoh tersebut. Ketika Kabayan pergi ke
kota besar, maka masyakat kota besar tersebut mungkin akan memaknai Kabayan sebagai orang
kampung, yang kesannya adalah norak, kampungan. Nah, interaksi antara orang kota dengan
Kabayan dilandasi pikiran seperti ini. Padahal jika di desa tempat dia tinggal, masyakarat di sana
memperlakukan Kabayan dengan cara yang berbeda, dengan perlakuan lebih yang ramah. Interaksi
ini dilandasi pemikiran bahwa Kabayan bukanlah sosok orang kampung yang norak.

Once people define a situation as real, its very real in its consequences. Pemaknaan tentang apa yang
nyata bagi kita pada hakikatnya berasal dari apa yang kita yakini sebagai kenyataan itu sendiri. Karena
kita yakin bahwa hal tersebut nyata, maka kita mempercayainya sebagai kenyataan.

Dalam contoh yang sama, ketika kita memaknai Kabayan sebagai orang yang kampungan, maka kita
menganggap pada kenyataannya Kabayan memang adalah orang yang kampungan. Begitu pula
sebaliknya.

Premis kedua Blumer adalah meaning arises out of the social interaction that people have with each
other. Pemaknaan muncul dari interaksi sosial yang dipertukarkan di antara mereka. Makna bukan
muncul atau melekat pada sesuatu atau suatu objek secara alamiah. Makna tidak bisa muncul ‘dari
sananya’. Makna berasal dari hasil proses negosiasi melalui penggunaan bahasa (language)—dalam
perspektif interaksionisme simbolik.

Di sini, Blumer menegaskan tentang pentingnya penamaan dalam proses pemaknaan. Sementara itu
Mead juga meyakini bahwa penamaan simbolik ini adalah dasar bagi masyarakat manusiawi (human
society).
Ketika kita menyebut Kabayan tadi dengan bahasa kampungan, konsekuensinya adalah kita menarik
pemaknaan dari penggunaan bahasa ‘kampungan’ tadi. Kita memperoleh pemaknaan dari proses
negosiasi bahasa tentang kata ‘kampungan’. Makna dari kata ‘kampungan’ tidaklah memiliki arti
sebelum dia mengalami negosiasi di dalam masyarakat sosial di mana simbolisasi bahasa tersebut
hidup. Makna kata kampungan tidak muncul secara sendiri, tidak muncul secara alamiah. Pemaknaan
dari suatu bahasa pada hakikatnya terkonstruksi secara sosial.

Premis ketiga Blumer adalah an individual’s interpretation of symbols is modified by his or her own
thought process. Interaksionisme simbolik menggambarkan proses berpikir sebagai perbincangan
dengan diri sendiri. Proses berpikir ini sendiri bersifat refleksif. Nah, masalahnya menurut Mead
adalah sebelum manusia bisa berpikir, kita butuh bahasa. Kita perlu untuk dapat berkomunikasi
secara simbolik. Bahasa pada dasarnya ibarat software yang dapat menggerakkan pikiran kita.

Cara bagaimana manusia berpikir banyak ditentukan oleh praktek bahasa. Bahasa sebenarnya bukan
sekedar dilihat sebagai ‘alat pertukaran pesan’ semata, tapi interaksionisme simbolik melihat posisi
bahasa lebih sebagai seperangkat ide yang dipertukarkan kepada pihak lain secara simbolik.
Komunikasi secara simbolik.

George Herbert Mead

Perbedaan penggunaan bahasa pada akhirnya juga menentukan perbedaan cara berpikir manusia
tersebut. Contoh sederhana adalah cara pikir orang yang berbahasa indonesia tentunya berbeda
dengan cara pikir orang yang berbahasa jawa. Begitu pula orang yang berbahasa sunda akan berbeda
cara berpikirnya dengan orang yang berbahasa inggris, jerman, atau arab.

Akan tetapi walaupun pemaknaan suatu bahasa banyak ditentukan oleh konteks atau konstruksi
sosial, seringkali interpretasi individu sangat berperan di dalam modifikasi simbol yang kita tangkap
dalam proses berpikir. Simbolisasi dalam proses interaksi tersebut tidak secara mentah-mentah kita
terima dari dunia sosial, karena kita pada dasarnya mencernanya kembali dalam proses berpikir
sesuai dengan preferensi diri kita masing-masing.
Walaupun secara sosial kita berbagi simbol dan bahasa yang sama dalam kontek Kabayan dan kata
kampungan tadi, belum tentu dalam proses berpikir kita sama-sama menafsirkan kata Kabayan dan
kampungan dengan cara atau maksud yang sama dengan orang yang lainnya. Semuanya sedikit
banyak dipengaruhi oleh interpretasi individu dalam penafsiran simbolisasi itu sendiri.

Pemaknaan merujuk kepada bahasa. Proses berpikir merujuk kepada bahasa. Bahasa menentukan
bagaimana proses pemaknaan dan proses berpikir. Jadi, ketiganya saling terkait secara erat. Interaksi
ketiganya adalah yang menjadi kajian utama dalam perspektif interaksionisme simbolik.

Dalam tataran konsep komunikasi, maka secara sederhana dapat dilihat bahwa komunikasi
hakikatnya adalah suatu proses interaksi simbolik antara pelaku komunikasi. Terjadi pertukaran pesan
(yang pada dasarnya terdiri dari simbolisasi-simbolisasi tertentu) kepada pihak lain yang diajak
berkomunikasi tersebut. Pertukaran pesan ini tidak hanya dilihat dalam rangka transmisi pesan, tapi
juga dilihat pertukaran cara pikir, dan lebih dari itu demi tercapainya suatu proses pemaknaan.

Komunikasi adalah proses interaksi simbolik dalam bahasa tertentu dengan cara berpikir tertentu
untuk pencapaian pemaknaan tertentu pula, di mana kesemuanya terkonstruksikan secara sosial.

Mungkin kontribusi terbesar Mead terhadap bagaimana kita memahami cara kita berpikir adalah
konsepsi Mead tentang ‘seni berperan’ (take the role of the other).

Setelah kita paham tentang konsep meaning, language, dan thought saling terkait, maka kita dapat
memahami konsep Mead tentang ‘diri’ (self). Konsep diri menurut Mead sebenarnya kita melihat diri
kita lebih kepada bagaimana orang lain melihat diri kita (imagining how we look to another person).
Kaum interaksionisme simbolik melihat gambaran mental ini sebagai the looking-glass self dan
bahwa hal tersebut dikonstruksikan secara sosial.

Dalam konsepsi interaksionisme simbolik dikatakan bahwa kita cenderung menafsirkan diri kita lebih
kepada bagaimana orang-orang melihat atau menafsirkan diri kita. Kita cenderung untuk menunggu,
untuk melihat bagaimana orang lain akan memaknai diri kita, bagaimana ekspektasi orang terhadap
diri kita. Oleh karenanya konsep diri kita terutama kita bentuk sebagai upaya pemenuhan terhadap
harapan atau tafsiran orang lain tersebut kepada diri kita.

Kita acap kali mencoba memposisikan diri ke dalam orang lain, dan mencoba melihat bagaimanakah
perspektif orang tersebut ketika memandang diri kita. Kita semacam meminjam kaca mata orang lain
tersebut untuk dan dalam melihat diri kita.

Konsep diri adalah fungsi secara bahasa. Tanpa pembicaraan maka tidak akan ada konsep diri. Nah,
konsep diri ini sendiri pada nantinya terbentuk atau dikonstruksikan melalui konsep pembicaraan itu
sendiri, melalui bahasa (language).

Sebagai contoh adalah bagaimana proses komunikasi dan permainan bahasa yang terjadi dalam
hubungan antara dua orang, terutama pria dengan wanita. Ketika mereka berkomunikasi dengan
menggunakan simbolisasi bahasa SAYA dan ANDA, maka konsep diri yang terbentuk adalah “dia ingin
diri saya dalam status yang formal”. Atu misalkan simbolisasi bahasa yang dipakai adalah ELO dan
GUE maka konsep diri yang terbentuk adalah “dia ingin menganggap saya sebagai teman atau kawan
semata”. Dan tentunya akan sangat berbeda jika simbolisasi yang digunakan adalah kata AKU dan
KAMU, maka konsep diri yang lebih mungkin adalah “dia ingin saya dalam status yang lebih personal,
yang lebih akrab” atau lebih merujuk kepada konsep diri bahwa “kita sudah jadian atau pacaran”.
Misalkan. Jadi, dalam suatu proses komunikasi, simbolisasi bahasa yang digunakan akan sangat
berpengaruh kepada bagaimana konsepdiri yang nantinya akan terbentuk.

Lebih luas lagi pada dasarnya pola komunikasi ataupun pola interaksi manusia memang bersifat
demikian. Artinya, lebih kepada proses negosiasi dan transaksional baik itu antar dua individu yang
terlibat dalam proses komunikasi maupun lebih luas lagi bagaimana konstruksi sosial mempengaruhi
proses komunikasi itu sendiri. Teori interaksionisme simbolik mendeskripsikan hal ini secara
gamblang.

Daftar Pustaka:

Griffin, Emory A., A First Look at Communication Theory, 5th edition, New York: McGraw-Hill, 2003

TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK


Teori interaksionisme-simbolik dikembangkan oleh kelompok The Chicago School dengan tokoh-
tokohnya seperti Goerge H.Mead dan Herbert Blummer. Awal perkembangan interaksionisme
simbolik dapat dibagi menjadi dua aliran / mahzab yaitu aliran / mahzab Chicago, yang dipelopori
oleh oleh Herbert Blumer, melanjutkan penelitian yang dilakukan George Herbert Mead. Blumer
meyakini bahwa studi manusia tidak bisa diselenggarakan di dalam cara yang sama dari ketika studi
tentang benda mati. Peneliti perlu mencoba empati dengan pokok materi, masuk pengalaman nya,
dan usaha untuk memahami nilai dari tiap orang. Blumer dan pengikut nya menghindarkan
kwantitatif dan pendekatan ilmiah dan menekankan riwayat hidup, autobiografi, studi kasus, buku
harian, surat, dan nondirective interviews. Blumer terutama sekali menekankan pentingnya
pengamatan peserta di dalam studi komunikasi. Lebih lanjut, tradisi Chicago melihat orang-orang
sebagai kreatif, inovatif, dalam situasi yang tak dapat diramalkan. masyarakat dan diri dipandang
sebagai proses, yang bukan struktur untuk membekukan proses adalah untuk menghilangkan inti sari
hubungan sosial.[1] Menurut H. Blumer teori ini berpijak pada premis bahwa (1) manusia bertindak
terhadap sesuatu berdasarkan makna yang ada pada “sesuatu” itu bagi mereka, (2) makna tersebut
berasal atau muncul dari “interaksi sosial seseorang dengan orang lain”, dan (3) makna tersebut
disempurnakan melalui proses penafsiran pada saat “proses interaksi sosial” berlangsung. “Sesuatu”
– alih-alih disebut “objek” – ini tidak mempunyai makna yang intriksik. Sebab, makna yang dikenakan
pada sesuatu ini lebih merupakan produk interaksi simbolis.[2] Bagi H. Blumer, “sesuatu” itu – biasa
diistilahkan “realitas sosial” – bisa berupa fenomena alam, fenomena artifisial, tindakan seseorang
baik verbal maupun nonverbal, dan apa saja yang patut “dimaknakan”. Sebagai realitas sosial,
hubungan “sesuatu” dan “makna” ini tidak inheren, tetapi volunteristrik. Sebab, kata Blumer
sebelum memberikan makna atas sesuatu, terlebih dahulu aktor melakukan serangkaian kegiatan
olah mental: memilih, memeriksa, mengelompokkan, membandingkan, memprediksi, dan
mentransformasi makna dalam kaitannya dengan situasi, posisi, dan arah tindakannya. Dengan
demikian, pemberian makna ini tidak didasarkan pada makna normatif, yang telah dibakukan
sebelumnya, tetapi hasil dari proses olah mental yang terus-menerus disempurnakan seiring dengan
fungsi instrumentalnya, yaitu sebagai pengarahan dan pembentukan tindakan dan sikap aktor atas
sesuatu tersebut. Dari sini jelas bahwa tindakan manusia tidak disebabkan oleh “kekuatan luar”
(sebagaimana yang dimaksudkan kaum fungsionalis struktural), tidak pula disebabkan oleh “kekuatan
dalam” (sebagaimana yang dimaksud oleh kaum reduksionis psikologis) tetapi didasarkan pada
pemaknaan atas sesuatu yang dihadapinya lewat proses yang oleh Blumer disebut self-indication. [3]
Menurut Blumer proses self-indication adalah proses komunikasi pada diri individu yang dimulai dari
mengetahui sesuatu, menilainya, memberinya makna, dan memutuskan untuk bertindak
berdasarkan makna tersebut. Dengan demikian, proses self-indication ini terjadi dalam konteks sosial
di mana individu mengantisipasi tindakan-tindakan orang lain dan menyesuaikan tindakannya
sebagaimana dia memaknakan tindakan itu. [4] Lebih jauh Blumer dalam buku yang sama di halaman
78 menyatakan bahwa interaksi manusia dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol, oleh
penafsiran, dan oleh kepastian makna dari tindakan orang lain, bukan hanya sekedar saling bereaksi
sebagaimana model stimulus-respons. Selain menggunakan Interaksionis Simbolik, kasus Sampit bisa
didekati dengan metode Hermeneutik. Hermeneutik dapat didefinisikan sebagai suatu teori atau
falsafah yang menginterpretasi makna. Pada dasawarsa ini, Hermeneutik muncul sebagai topik
utama dalam falsafah ilmu sosial, seni dan bahasa dan dalam wacana kritikan sastera yang
mempamerkan hasil interpretasi teks sastera. Perkataan Hermeneutik berasal dari dua perkataan
Greek: hermeneuein, dalam bentuk kata kerja bermakna ”to interpret” dan hermeneia, dalam
bentuk kata nama bermakna ”interpretation”. Kaedah ini mengutamakan penginterpretasian teks
dalam konteks sosiobudaya dan sejarah dengan mendedahkan makna yang tersirat dalam sesebuah
teks atau karya yang diselidiki. Dokumen awal menjelaskan bahawa seorang ahli falsafah, iaitu Martin
Heidegger menggunakan kaedah Hermeneutik pada tahun 1889-1976. Walau bagaimanapun,
Hermeneutik telah mula dipelopori oleh Schleimarcher dan Dilthey sejak abad ke-17 dan diteruskan
oleh Habermas, Gadamer, Heidegger, Ricoeur dan lain-lain pada abad ke-20. Menurut Mueller
(1997), Hermeneutik adalah seni pemahaman dan bukan sebagai bahan yang telahpun difahami.
Hermeneutik juga adalah sebahagian daripada seni pemikiran dan berlatarkan falsafah. Oleh itu,
untuk melakukan penginterpretasian terhadap ilmu pengetahuan tentang bahasa, maka adalah
penting untuk memahami ilmu pengetahuan individu. Tetapi, pada hakikatnya adalah mustahil untuk
menganalisis aspek-aspek psikologi seseorang itu. Kejayaan seni penginterpretasian bergantung
kepada kepakaran linguistik dan kebolehan memahami subjek yang dikajinya. [1] Bisa dibaca lebih
jelas pada karya Stephen W. Littlejohn (1995). Theories of Human Communication, 5th Edition.
Belmont, Wadsworth Publishing Company [2] When Mead had to give up his position as a lecturer at
the University of Chicago due to illness, Blumer took over and continued his work. In his 1937 article
"Social Psychology", Blumer coined the term symbolic interactionism and summarised Mead's ideas
into three premises: The way people view objects depends on the meaning these things have for
them. This meaning comes about as a result of a process of interaction. The meaning of an object
can change over time. [3] Blumer, 1969, Ibid.hal.81 [4] Herbert Blumer, Symbolic Interaction:
Perspective and Method (1969) hal.81

dari koleksi INDIWAN SETO WAHJU WIBOWO pada pukul

Teori Interaksionisme Simbolik


Para ahli perspektif interaksionisme simbolik melihat bahwa individu
adalah obyek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui
interaksinya dengan individu yang lain. Mereka menemukan bahwa individu-
individu tersebut berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol, yang di
dalamnya berisi tanda-tanda, isyarat dan kata-kata. Simbol atau lambang adalah
sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan
kesepakatan sekelompok orang. Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal),
perilaku nonverbal, dan objek yang disepakati bersama (Mulyana, 2001:84).

Interaksi simbolik, menurut Herbert Blumer, merujuk pada … “karakter


interaksi khusus yang berlangsung antar manusia.” Aktor tidak semata-mata
bereaksi terhadap tindakan yang lain tetapi dia menafsirkan dan mendefinisikan
setiap tindakan orang lain. Respon aktor baik secara langsung maupun tidak
langsung, selalu didasarkan atas makna penilaian tersebut. Oleh karenanya,
interaksi manusia dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol penafsiran atau
dengan menemukan makna tindakan orang lain. Dalam konteks itu, menurut
Blumer, aktor akan memilih, memeriksa, berpikir, mengelompokan, dan
mentransformasikan makna dalam kaitannya dengan situasi di mana dan ke arah
mana tindakannya.

Teori interaksionisme simbolik sangat menekankan arti pentingnya “proses


mental” atau proses berpikir bagi manusia sebelum mereka bertindak. Tindakan
manusia itu sama sekali bukan stimulus – respon, melainkan stimulus – proses
berpikir – respons. Jadi, terdapat variabel antara atau variabel yang menjembatani
antara stimulus dengan respon, yaitu proses mental atau proses berpikir, yang
tidak lain adalah interpretasi. Teori interaksionisme simbolik memandang bahwa
arti/makna muncul dari proses interaksi sosial yang telah dilakukan. Arti dari
sebuah benda tumbuh dari cara-cara dimana orang lain bersikap terhadap orang
tersebut.

Teori interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang


merupakan kegiatan sosial dinamis sosial manusia. Bagi perspektif ini, individu
bersifat aktif, reflektif dan kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku yang rumit
dan sulit diramalkan. Paham ini menolak gagasan bahwa individu adalah
organisme pasif yang perilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan struktur
yang ada di luar dirinya. Interaksilah yang dianggap variabel penting yang
menentukan perilaku manusia, bukan struktur masyarakat.
Esensi interaksionisme simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan
ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna.
Perspektif ini berupaya untuk memahami perilaku manusia dari sudut pandang
subjek. Teori ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai
proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka
dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi
mereka. Manusia bertindak hanya berdasarkan definisi atau penafsiran mereka
atas objek-objek di sekeliling mereka. Dalam pandangan perspektif ini,
sebagaimana ditegaskan Blumer, proses sosial dalam kehidupan kelompoklah
yang menciptakan dan menegakan aturan-aturan, bukan aturan-aturan yang
menciptakan dan menegakan kehidupan kelompok.

Menurut teoritisi perspektif ini, kehidupan sosial adalah “interaksi manusia


dengan menggunakan simbol-simbol.” Penganut interaksionisme simbolik
berpandangan, perilaku manusia adalah produk dari interpretasi mereka atas dunia
di sekeliling mereka, jadi tidak mengakui bahwa perilaku itu dipelajari atau
ditentukan, sebagaimana dianut teori behavioristik atau teori struktural.

Di dalam bukunya yang amat terkenal, yaitu ”Symbolic Interactionism;


Perspective, and Method,” Herbert Blumer menegaskan bahwa ada tiga asumsi
yang mendasari tindakan manusia (dalam Sutaryo, 2005). Tiga asumsi tersebut
adalah sebagai berikut:

1)Human being act toward things on the basic of the meaning that the
things have for them;
2)The meaning of the things arises out of the social interaction one with
one’s fellow;
3)The meaning of things are handled in and modified through an
interpretative process used by the person in dealing with the thing he
encounters.

Premis pertama sampai ketiga itu mempunyai pengertian seperti ini.Pertama,


bahwa manusia itu bertindak terhadap sesuatu (apakah itu benda, kejadian,
maupun fenomena tertentu) atas makna yang dimiliki oleh benda, kejadian, atau
fenomena itu bagi mereka. Individu merespon suatu situasi simbolik. Mereka
merespon lingkungan, termasuk objek fisik (benda) dan objek sosial (perilaku
manusia) berdasarkan makna yang dikandung komponen tersebut bagi mereka.
Kedua, makna tadi diberikan oleh manusia sebagai hasil interaksi dengan
sesamanya. Jadi, makna tadi tidak inherent, tidak terlekat pada benda ataupun
fenomenanya itu sendiri, melainkan tergantung pada orang-orang yang terlibat
dalam interaksi itu. Makna dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Negosiasi
itu dimungkinkan karena manusia mampu menamai segala sesuatu, bukan hanya
objek fisik, tindakan, atau peristiwa (bahkan tanpa kehadiran objek fisik, tindakan,
atau peristiwa itu) namun juga gagasan yang abstrak. Akan tetapi, nama atau
simbol yang digunakan untuk menandai objek, tindakan, peristiwa, atau gagasan
itu bersifat arbitrer (sembarang). Melalui penggunaan simbol itulah manusia dapat
berbagi pengalaman dan pengetahuan tentang dunia.

Ketiga, makna tadi ditangani dan dimodifikasi melalui proses interpretasi


dalam rangka menghadapi fenomena tertentu lainnya. Makna yang
diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan
perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial. Perubahan interpretasi
dimungkinkan karena individu dapat melakukan proses mental, yakni
berkomunikasi dengan dirinya sendiri.

Menurut Ritzer, kesimpulan utama yang perlu diambil dari substansi teori
interaksionisme simbolik adalah sebagai berikut. Kehidupan bermasyarakat itu
terbentuk melalui proses komunikasi dan interaksi antarindividu dan
antarkelompok dengan menggunakan simbol-simbol yang dipahami maknanya
melalui proses belajar. Tindakan seseorang dalam proses interaksi itu bukan
semata-mata merupakan suatu tanggapan yang bersifat langsung terhadap stimulus
yang datang dari lingkungannya atau dari luar dirinya, melainkan dari hasil sebuah
proses interpretasi terhadap stimulus. Jadi jelas, bahwa hal ini merupakan hasil
proses belajar, dalam arti memahami simbol-simbol, dan saling menyesuaikan
makna dari simbol-simbol tersebut. Meskipun norma-norma, nilai-nilai sosial dan
makna dari simbol-simbol itu memberikan pembatasan terhadap tindakannya,
namun dengan kemampuan berpikir yang dimilikinya, manusia mempunyai
kebebasan untuk menentukan tindakan dan tujuan-tujuan yang hendak dicapainya.
Singkatnya, bahwa symbolic interactionist (para pengikut teori interaksionisme
simbolik) memberi dasar penalaran bahwa, there is a ‘minding’process that
interveness between stimulus and response. It is this mental process, and not
simply the stimulus, that determines how a man will react (Ritzer, 1980:194,
dalam Sutaryo, 2005).

Interaksionisme Simbolik
PERNIKAHAN Heny dan Syaiful nyaris gagal. Pemicunya sebetulnya
sepele, beberapa untai kalimat dalam telepon terakhir Heny sebelum hari
pernikahan. “Mas, keluargaku minta, besok saat resepsi di hotel, dari
keluarga Mas Saiful jangan membawa anak-anak,” itu yang disampaikan
Heny, pangkal suasana panas di keluarga Saiful. Lidah Saiful kelu, hatinya
kacau tak karauan, ketika berhadapan dengan sidang mendadak keluarga
besarnya, seusai menyampaikan pesan calon istrinya itu

“Kita memang dari keluarga miskin, tapi kita punya harga diri,” suara
ayah Saiful meninggi. “Calon mertuamu terlalu sombong, besok aku
tak akan datang!” tegas sang ayah. “Aku ikut ayahmu,” timpal Ibu
Syaiful. Suasana tambah hening, menegangkan. Semua pandangan
mata tajam menyorot muka Saiful yang tertunduk lesu.
Ancaman ayah Saiful bukan gertakan semata. Keluarga besar Heny
mulai gelisah. Pukul 09.30, hari ’H’ pernikahan, semua tamu telah
berkumpul, tapi Saiful dan keluarga besarnya belum juga kelihatan.
Sesuai jadwal, semestinya akad nikah dilangsungkan pukul 09.00.
Tepat pukul 10.00, sebuah mobil berhenti, Syaiful keluar dengan
langkah gontai. Tak ada anggota keluarga yang menyertainya. ”Maaf,
bapak dan ibu gak bisa datang,” ungkap Syaiful singkat. Raut malu
dan sedih tak bisa ditutupinya.
Untunglah petugas KUA bertindak sigap. ”Pernikahannya bisa dimulai
sekarang?” tanya Pak Mashudi, memecah ketegangan. ”Silakan Pak,”
itu saja jawaban ayah Heny, lirih. Akad pun berjalan lancar,
begitupula resepsi pernikahan beberapa jam sesudahnya. Tetapi,
setiap tamu yang hadir menyimpan pertanyaan: kenapa tak seorang
pun keluarga Syaiful kelihatan dalam acara sepenting itu.

Kelaurga Heny dan Syaiful memang memilki latar belakang yang berbeda. Keluarga Heny adalah
tipikal keluarga kelas atas yang tinggal di perkotaan. Mereka terbiasa dengan hidup yang praktis,
efisien, dan mengagungkan gengsi. Mereka bukannya tak suka anak, tetapi mereka tak menginginkan
kehadiran anak-anak kampung, yang tak hanya akan membuat gaduh dan kotor tetapi juga berpotensi
menurunkan gengsi keluarga. Anak-anak ini memang representasi keluarga Syaiful, yang tinggal di
perkampungan. Ayah Syaiful adalah seorang petani, ibunya pedagang kelapa di pasar kampung.
Mereka memang hanya tamat SD, tetapi sangat mencintai pendidikan. Keempat anaknya disekolahkan
hingga bangku perguruan tinggi. Syaiful adalah anak ketiganya, lulusan Fakultas Teknik PTN
terkemuka. Syaiful kini bekerja sebagai konsultan arsitektur sebuah lembaga konsultan teknik dari
Singapura. Sebagaimana orang desa umunya, keluarga besar Syaiful terbiasa hidup secara komunal.
Mereka orang yang sangat mencintau keluarga dan persaudaraan. Mereka adalah prototipe penganut
filosofi ’mangan ora mangan kumpul’. Apapun kondisinya, bagi mereka, kebersamaan itu adalah
segalanya.
Dua keluarga di atas memiliki pemaknaan yang berbeda terhadap pesta pernikahan, karenanya mereka
berbeda sikap atas kehadiran anak-anak. Makna dan tindakan, inilah salah satu fokus teori
interaksionisme simbolik.

Latar Belakang Teori

Teori teraksionisme simbolik mewarisi tradisi dan posisi intelektual yang berkembang di Eropa pada
abad 19 kemudian menyeberang ke Amerika terutama di Chicago. Namun sebagian pakar
berpendapat, teori interaksi simbolik khusunya George Herbert Mead (1920-1930an), terlebih dahulu
dikenal dalam lingkup sosiologi interpretatif yang berada di bawah payung teori tindakan sosial
(action theory), yang dikemukakan oleh filosof sekaligus sosiolog besar Max Weber (1864-1920).

Meskipun teori interaksi simbolik tidak sepenuhnya mengadopsi teori Weber namun pengaruh Weber
cukup penting. Salah satu pandangan Weber yang dianggap relevan dengan pemikiran Mead, bahwa
tindakan sosial bermakna jauh, berdasarkan makna subyektifnya yang diberikan individu-individu.
Tindakan itu mempertimbangkan perilaku orang lain dan kerenanya diorientasikan dalam penampilan
(Mulyana,2002).

Dalam perkembangan selanjutnya teori interaksionisme simbolik ini dipengaruhi beberapa aliran
diantaranya adalah mazhab Chicago, mazhab Iowa, pendekatan dramaturgis dan etnometodologi,
diilhami pandangan filsafat, khususnya pragmatisme dan behaviorisme.

Aliran pragmatisme yang dirumuskan oleh John Dewey, Wiiliam James, Charles Peirce dan Josiah
Royce mempunyai beberapa pandangan : Pertama, realitas sejati tidak pernah ada di dunia nyata,
melainkan secara aktif diciptakan ketika kita bertindak terhadap dunia. Kedua, manusia mengingat
dan melandaskan pengetahuan mereka tentang dunia pada apa yang terbukti berguna bagi mereka.
Ketiga, manusia mendefenisikan objek fisik dan objek sosial yang mereka temui berdasarkan
kegunaannya bagi mereka, termasuk tujuan mereka. Keempat, bila kita ingin memahami orang yang
melakukan tindakan (actor), kita harus berdasarkan pemahaman itu pada apa yang sebenarnya mereka
lakukan di dunia. Sementara aliran behaviorisme yang dipelopori Watson berpendapat bahwa manusia
harus dipahami berdasarkan apa yang mereka lakukan (Mulyana, 2001: 64).

Jika ilmuwan lain seperti James Mark Baldwin, William James, Charles Horton Chooley , John
Dewey, William I. Thomas dikenal sebagai perintis interaksionisme simbolik, maka G. H. Mead
dikenal sebagai ilmuwan yang paling populer sebagai peletak dasar teori interaksionisme simbolik ini.

Pada awalnya, Mead Mead memang tidak pernah menerbitkan gagasannya secara sistematis
dalam sebuah buku. Para mahasiswanya lah yang setelah kematian Mead kemudian
menerbitkan pemikiran Mead tersebut dalam sebuah buku berjudul Mind, Self, and Society.
Herbert Blumer, sejawat Mead, kemudian mengembangkan dan menyebutnya sebagai teori
interaksionisme simbolik. Sebuah terminologi yang ingin menggeambarkan apa yang
dinyatakan oleh Mead bahwa “the most human and humanizing activity that people can
engage in—talking to each other.”

Asumsi Teori

Ralph LaRossa dan Donald C.Reitzes (dalam West dan Turner, 2007: 96) mencatat tujuh
asumsi yang mendasari teori interaksionisme simbolik, yang memperlihatkan tiga tema besar,
yakni: (1) Pentingnya makna bagi perilaku manusia, (2) Pentingnya konsep mengenai diri,
dan (3) Hubungan antara individu dan masyarakat.

Tentang relevansi dan urgensi makna, Blumer (1969) memiliki asumsi bahwa:
- Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan
orang lain pada mereka.

- Makna diciptakan dalam interaksi antarmanusia

- Makna dimodifikasi dalam proses interpretif.

Kisah keluarga Heny dan Syaiful di atas adalah contoh bagaimana pemaknaan yang berbeda
akhirnya melahirkan sikap yang berbeda pula. Interaksi sosial di antara keluarga ini memang
berbeda, sehingga berbeda pula dalam pemaknaan. Setting perdesaan yang komunal
melahirkan pemaknaan bahwa kebersamaan itu adalah segalanya. Sementara lingkungan
perkotaan yang metropolis dan individualis mendorong pemaknaan bahwa hidup harus
efektif, praktis, dan bercitarasa.

Blumer mengemukakan tiga prinsip dasar interaksionisme simbolik yang berhubungan


dengan meaning, language, dan thought. Premis ini kemudian mengarah pada kesimpulan
tentang pembentukan diri seseorang (person’s self) dan sosialisasinya dalam komunitas
(community) yang lebih besar.

1. Meaning (Makna): Konstruksi Realitas Sosial

Blumer mengawali teorinya dengan premis bahwa perilaku seseorang terhadap sebuah
obyek atau orang lain ditentukan oleh makna yang dia pahami tentang obyek atau
orang tersebut.

1. Languange (Bahasa): The source of meaning

Seseorang memperoleh makna atas sesuatu hal melalui interaksi. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa makna adalah hasil interaksi sosial. Makna tidak melekat pada
obyek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Bahasa adalah bentuk
dari simbol. Oleh karena itulah teori ini kemudian disebut sebagai interaksionisme
simbolik.

Berdasarkan makna yang dipahaminya, seseorang kemudian dapat memberi nama


yang berguna untuk membedakan satu obyek, sifat, atau tindakan dengan obyek, sifat,
atau tindakan lainnya. Dengan demikian premis Blumer yang kedua adalah Manusia
memiliki kemampuan untuk menamai sesuatu. Simbol, termasuk nama, adalah tanda
yang arbitrer. Percakapan adalah sebuah media penciptaan makna dan pengembangan
wacana. Pemberian nama secara simbolik adalah basis terbentuknya masyarakat. Para
interaksionis meyakini bahwa upaya mengetahui sangat tergantung pada proses
pemberian nama, sehingga dikatakan bahwa Interaksionisme simbolik adalah cara kita
belajar menginterpretasikan dunia.

1. Thought (Pemikiran): Process of taking the role of the other

Premis ketiga Blumer adalah bahwa, “an individual’s interpretation of symbol is


modified by his or her own thought processes.” Interaksionisme simbolik menjelaskan
proses berpikir sebagai inner conversation, Mead menyebut aktivitas ini sebagai
minding. Secara sederhana proses menjelaskan bahwa seseorang melakukan dialog
dengan dirinya sendiri ketika berhadapan dengan sebuah situasi dan berusaha untuk
memaknai situasi tersebut. Untuk bisa berpikir maka seseorang memerlukan bahasa
dan harus mampu untuk berinteraksi secara simbolik. Bahasa adalah software untuk
bisa mengaktifkan mind.

Kontribusi terbesar Mead untuk memahami proses berpikir adalah pendapatnya yang
menyatakan bahwa manusia memiliki kemampuan yang unik untuk memerankan
orang lain (take the role of the other). Sebagai contoh, pada masa kecilnya, anak-anak
sering bermain peran sebagai orang tuanya, berbicara dengan teman imajiner, dan
secara terus menerus sering menirukan peran-peran orang lain. Pada saat dewasa
seseorang akan meneruskan untuk menempatkan dirinya pada posisi orang lain dan
bertindak sebagaimana orang itu akan bertindak.

Setelah dipahami bahwa meaning, language, dan thought memiliki keterkaitan yang sangat
erat, maka kita dapat memperkirakan konsep Mead tentang diri (self). Mead menolak
anggapan bahwa seseorang bisa mengetahui siapa dirinya melalui introspeksi. Ia menyatakan
bahwa untuk mengetahui siapa diri kita maka kita harus melukis potret diri kita melalui
sapuan kuas yang datang dari proses taking the role of the other —membayangkan apa yang
dipikirkan orang lain tentang kita. Para interaksionis menyebut gambaran mental ini sebagai
the looking glass self dan hal itu dikonstruksi secara sosial.

Penganut interaksionisme simbolik menyatakan bahwa self adalah fungsi dari bahasa. Tanpa
pembicaraan tidak akan ada konsep diri, oleh karena itu untuk mengetahui siapa dirinya,
seseorang harus menjadi anggota komunitas. Merujuk pada pendapat Mead self (diri) adalah
proses mengkombinasikan I dan me. I adalah kekuatan spontan yang tidak dapat diprediksi.
Ini adalah bagian dari diri yang tidak terorganisir. Sementara me adalah gambaran diri yang
tampak dalam the looking-glass dari reaksi orang lain.

Me tidak pernah dilahirkan. Me hanya dapat dibentuk melalui interaksi simbolik yang terus
menerus—mulai dari keluarga, teman bermain, sekolah, dan seterusnya. Oleh karena itulah
seseorang membutuhkan komunitas untuk mendapatkan konsep dirinya. Seseorang
membutuhkan the generalized other, yaitu berbagai hal (orang, obyek, atau peristiwa) yang
mengarahkan bagaimana kita berpikir dan berinteraksi dalam komunitas. Me adalah
organized community dalam diri seorang individu.

MANUSIA adalah masyarakat dalam bentuk miniatur. Ketika dia berkomunikasi dengan dirinya
sendiri, dia bisa menjadi subyek dan sekaligus obyek. Dalam komunikasi itu pula, manusia berpikir,
menunjuk segala sesuatu, menginterpretasikan situasi, dan berkomunikasi dengan dirinya sendiri
dengan cara-cara berbeda.

Berpikir berarti berbicara kepada diri sendiri, sama seperti cara kita berbicara dengan orang lain.
Percakapan dengan diri sendiri sebagian besar dilakukan dengan diam. Tanpa diri sendiri, manusia
tidak akan mampu berkomunikasi dengan orang lain, sebab hanya dengan itu, maka komunikasi
efektif dengan orang lain bisa terjadi.

Dari situ akan terdapat banyak ‘arti’. Individu yang menyampaikan ‘arti’ pada dirinya sendiri, pada
saat itu juga ia memberikan ‘arti’ pada orang lain. Perasaan terhadap diri seseorang dibentuk dan
didukung oleh respon orang lain. Jika seseorang konsisten menunjukkan dirinya dalam pelbagai
perbedaan, maka dia juga harus menerima perlakuan orang lain sesuai yang dia berikan padanya.
Jika seseorang secara konsisten ditertawakan dan diremehkan, maka tampaknya tak ada sesuatu
yang lain yang dia anggap pada dirinya kecuali bahwa dirinya memang rendah. Jika seseorang kerap
diabaikan –terutama di dalam situasi di mana dirinya minta untuk diperhatikan–, maka dia akan
sangat yakin bahwa dirinya memang benar-benar tak berguna. Dan inilah yang dibincangkan dalam
dalam teori interaksionisme simbolis.

Riyadi Soeprapto (2002), “Teori Interaksionisme Simbolik, Perspektif Sosiologi Modern” (241 Hlm)

1. Biografi

George Herbert Mead lahir di South Hadley, sebuah kota kecil di


Massachussetts, Amerika pada 27 Februari 1863. Dia anak dari seorang
clergyman, minister bernama Hiram Mead yang juga adalah seorang
pendeta gereja kongregasional serta juga mengajar sebagai profesor di
seminar teologi di Oberlin College di Ohio. Sedangkan ibunya bernama
Elizabeth Storrs Billings adalah seorang wanita yang berpendidikan yang
juga mengajar di Berlin College selama dua tahun dan kemudian menjadi
presiden di Mount Holyoke College selama sepuluh tahun. Melalui kedua
orang tuanya, Mead mewarisi Puritanisme New England. Dan ketika Mead
berusia enam belas tahun, dia masuk ke Fakultas Teologi di Oberlin
College Ohio, tempat dimana ayahnya mengajar, dan Mead mendapatkan
gelar sarjananya pada tahun 1883 dari Oberlin College, yang menurut
catatan dia adalah sebuah institusi yang secara social sangat maju,
namun kurikulun serta gaya intelektualnya sangat tradisional dan
dogmatis yang mencerminkan pengarus dari Puritanisme New England,
dan dibawa pengaruh dari temannya yaitu Henry Northrup Castle, Mead
pelan – pelan menolak dogmatism agama dari Oberlin namun tetap
mempertahankan masalah social yang sangat kuat tersebut.

Setelah lulus dari Oberlin di umur 20 tahun, Mead sempat mengajar di


sebuah sekolah namun hanya sebentar. Dan George Herbert Mead pun
pada tahun 1887 belajar ke Harvard University selama satu tahun untuk
mengkaji filsafat dan psikologi. Selama di Harvard, Mead tertarik dengan
filsafat romantic dan idealistic dari Hegel, yang kemudian dia pergi ke
Jerman selama tiga tahun untuk belajar filsafat dan psikologi di Leipzig
dan Berlin. Selama disana Mead mempelajari pandangan serta gagasan
dari para filosof idealis Jerman, dan di Jermanlah Mead semakin
menunjukkan ketertarikan pada psikologi dibanding dengan filsafat. Dan
di tanah Eropa itu juga George Herbert Mead menikah dangan saudari dari
Henry Northrup Castle, teman lamanya ketika di Oberlin, yaitu Helen
Castle. Akhirnya pada tahun 1891, Mead kembali ke Amerika dan mulai
mengajar sebagai dosen untuk mata kulian filsafat dan psikologi di
Michigan University selama tiga tahun, tempat dimana dia bertemu
dengan John Dewey. Kemudian ditahun berikutnya Mead menggabungkan
diri dengan Depertemen Filosofi ketika mengajar Psikologi Sosial tingkat
lanjut di Universitas Chicago sampai dia meninggal pada tahun 1931
dalam usia 68 tahun, dan disebut oleh John Dewey bahwa George Herbert
Mead adalah pikiran paling asli dalam filsafat Amerika bagi generasi -
generasi terakhir.

Selama menempuh pendidikan di Harvard, Mead banyak belajar dan


mendapat pengaruh dari William James tentang pragmatism dalam filsafat
di konsep diri (self), dan John Dewey pun juga adalah salah satu tokoh
pragmatis yang berpengaruh pada pemikiran – pemikiran George Gerbert
Mead dalam konsep isyarat (gesture). George Herbert Mead adalah
merupakan orang penting dalam Filsafat Pragmatis, walaupun dia
masihkurang kalau sebagai pelopor pragmatism dibandingkan dengan
John Dewey, yaitu teman juga koleganya selama di Universitas Chicago.
George Herbert Mead tidak pernah menulis buku secara sistematik.
Tulisannya tentang Mind, Self and Society (1934) dan Movements of
Thought in the 19th Century adalah merupakan materi – materi kuliah
Mead yang telah mempengaruhi perkembangan Sosiologi Kontemporer
khususnya pada pembahasan tentang Interaksionisme Simbolik, yang
diberikannya ketika Mead menjadi dosen dan dibukukan oleh salah satu
mahasiswanya yang sangat mengagumi Mead dan juga merupakan salah
satu Sosiolog terkenal, yaitu Leonard Cottreil.

George Herbert Mead memiliki pemikiran yang mempunyai sumbangan


besar terhadap ilmu social dalam perspektif teori yang dikenal dengan
interaksionisme simbolik, yang menyatakan bahwa komunikasi manusia
berlangsung melalui pertukaran symbol serta pemaknaan symbol –
symbol tersebut. Mead menempatkan arti penting komunikasi dalam
konsep tentang perilaku manusia, serta mengembangkan konsep interaksi
simbolik bertolak pada pemikiran Simmel yang melihat persoalan pokok
sosiologi adalah masalah sosial. Seperti yang telah diuraikan diatas, Mead
adalah salah satu pelopor dalam Filsafat Pragmatisme dinama pragmatism
adalah menekankan hubungan yang sangat erat antara pengetahuan dan
tindakan untuk mengatasi masalah social. George Herbert Mead adalah
orang yang sederhana dan rendah hati, dan dia merasa sangat nyaman di
tengah – tengah lingkungan kota Chicago yang dinamis. Seperti para
penganut pragmatism lainnya, Mead yakin akan kemungkinan –
kemungkinan perubahan social. Oleh karena itu, George Herbert Mead
juga melibatkan dirinya dalam reformasi social karena dia mempercayai
bahwa ilmu pengetahuan dapat digunakan untuk mengatasi masalah –
masalah sosial tersebut. Dan Mead juga menentang gagasan bahwa
insting adalah sebagai dasar dari kepribadian manusia, karena dia melihat
bahwa komunikasi antar individu adalah sebagai inti dari pembentukan
kepribadian manusia itu. Dengan kata lain, kepribadian individu dibentuk
melalui komunikasi dengan orang lain serta citra diri dibangun melalui
sarana interaksi dengan orang lain.

2. Tokoh yang Mempengaruhi

George Herbert Mead, dia sangat tekun dalam mempelajari dan


mendalami pemikiran dari Charles Darwin, meskipun dia bukan termasuk
darwinisme social yang mana merupakan unsur paling penting dalam
perspektif ilmu sosial, tetapi Mead sangat mengagumi konsep tentang
evolusi Darwin karena konsep tersebut dianggap Mead sebagai petunjuk
dengan menekankan pada proses, perubahan, ketidakstabilan dan
perkembangan sebagai esensi dari sebuah kehidupan social. Mead
menerima prinsip Darwin bahwa organism terus menerus terlibat dalam
usaha menyesuaikan diri dengan lingkungannya, dan lewat dari proses
inilah karakter dari suatu organisme mengalami proses perubahan yang
terus menerus atau dinamis. Pemikiran Mead tentang teori Darwin adalah
bahwa pikiran atau kesadaran manusia sejalan dengan kerangka evolusi
dari teori Darwin. Mead melihat bahwa pikiran manusia sebagai suatu
hasil yang muncul melalui proses evolusi yang ilmiah dan pikiran tersebut
akan terus berkembang sejalan dengan dinamika yang muncul serta
prosedur yang telah dilewati.

Selain terpengaruh oleh pemikiran teori evolusi dari Darwin. George


Herbert Mead juga diilhami oleh para tokoh filsafat dan psikologi seperti
William James dimana James adalah orang pertama yang
mengembangkan konsep “self” diri secara jelas. Menurut James, manusia
mempunyai kemampuan untuk melihat dirinya sebagai obyek dan dalam
kemampuan itu, manusia bisa mengembangkan sikap dan perasaan
terhadap dirinya sendiri. Ia juga dapat membentuk tanggapan terhadap
perasaan dan sikap tersebut. James mengakui pentingnya kemampuan
dalam membentuk cara pandang seseorang dalam menanggapi dunia di
sekitarnya.

Tokoh filosof yang lain yang mempengaruhi Mead adalah John Dewey yang
merupakan pendukung utaman pragmatisme. Dewey memusatkan
perhatian pada proses penyesuaian manusia tergadap dunia. Menurutnya,
keunikan manusia muncul dari proses penyesuaian diri dengan kondisi
hidupnya. Dewey menegaskan bahwa yang unik dalam diri manusia
adalah kemampuannya untuk berpikir. Konsep Dewey tentang pikiran
sebagai suatu proses penyesuaian diri dengan lingkunganlah yang
mempengaruhi Mead. Dewey telah menunjukkan bahwa pikiran timbul
dari interaksi dengan dunia social. George Herbert Mead terinspirasi
dengan konsep dari dua filosof tersebut dikarenakan Mead mempunyai
intensitas kedekatan yang cukup sering dengan aliran psikologi khususnya
behaviorisme. Behaviorisme memiliki pandangan bahwa kehidupan
manusia harus dipahami pada kerangka perilaku (behaviour) mereka, dan
bukan dari kerangkan siapa dia. George Herbert Mead tidak memahami
behaviorisme sekedar mereduksi hubungan social sebagai rumus stimulus
dan respom, melainkan Mead menjelaskannya dalan konteks yang lebih
luas dari pada itu. Gagasan Mead ,mengenai hal tersebut dalam
pandangan para filosof dikatakan sebagai pragmatisme, karena bagi
George Hebert Mead pragmatism berhasil melihat organisme sebagai
ciptaan yang berhubungan dengan kondisi dunia yang paling terkini,
karena mereka akan berinteraksi menyesuaikan keadaan yang ada.
Mead mengatakan bahwa behaviorisme social didalamnya terdapat
semanacam loncatan dari investigasi ilmiah. Maksudny adalah bahwa
metode yang ditemukan tidak hanya mampu melakukan observasi
perilaku yang terang dan jelas, tetapi juga dapat mengobservasi perilaku
yang tidak jelas yang keduanya tersebut dapat diketahui dengan melalui
metode introspeksi.

Selain itu, George Herbert Mead juga dipengaruhi oleh Max Weber dengan
teorinya tentang Interaksi dan Tindakan. Max Weber dalam teori ini
mengemukakan bahwa masyarakat hanya merupakan satu nama yang
menunjuk pada sekumpulan individu, dan menurut Max Weber konsep
fakta social seperti struktur social, kelompok social dll yang lebih dari
sekedar individu dan perilakunya, dianggap sebagai abstraksi spekulatif
tanpa dasar empiric, sehingga Max Weber menginterpretasikan individu
dan tindakannya sebagai satuan dasar atau sebagai “otorinya”.

Max Weber mengemukakan bahwa antara individu yang satu dengan


individu yang lain berinteraksi satu sama lain diwujudkan dengan adanya
suatu tindakan maupun perilaku. Namun tidak semua tindakan ataupun
perilaku individu adalah suatu manifestasi yang rasional. Rasionalitas
hadir dalam diri seorang individu dengan terlebih dahulu melewati proses
pemikiran, dimana makna dari sebuah pemikiran adalah sesuatu yang
penting dalam mengerti manusia dimana pemilikan karakter – karakter ini
membuat esensi berbeda dengan perilaku binatang. Dan Max Weber
membuat klasifikasi tentang tipe – tipe tindakan social dengan
menggunakan konsep dasar “rasionalitas” yaitu ada tindakan yang
rasional dan non rasional. Menurut Weber, tindakan rasional dihubungkan
dengan kesadaran dan pilihan bagaimana tindakan tersebut
direalisasikan. Rasionalitas yang dikemukakan oleh Max Weber lebih
dibawa ke ranak suatu lembaga atau structural, meskipun selanjutkan
rasionalitas yang dikembangkan Mead berdasar dari konsep Weber ini
lebih dibawa ke ranah individu dan lingkungan sosialnya.

Berdasarkan dari keseluruhan konsep serta hasil dari tokoh – tokoh


tersebutlah George Herbert Mead dapat mengemukakan konsep tentang
Interaksionisme Simbolik yang merupakan reduksi ulang serta
pengembangan dari konsep konsep tersebut.

3. Konsep dan Pemikiran

George Herbert Mead mengembangkan teori atau konsep yang dikenal


sebagai Interaksionisme Simbolik. Berdasar dari beberapa konsep teori
dari tokoh – tokoh yang mempengaruhinya beserta pengembangan dari
konsep – konsep atau teori – teori tersebut, Mead mengemukakan bahwa
dalam teori Interaksionisme Simbolik, ide dasarnya adalah sebuah
symbol, karena symbol ini adalah suatu konsep mulia yang membedakan
manusia dari binatang. Simbol ini muncul akibat dari kebutuhan setiap
individu untuk berinteraksi dengan orang lain. Dan dalam proses
berinteraksi tersebut pasti ada suatu tindakan atau perbuatan yang
diawali dengan pemikiran. Dalam tinjauannya di buku Mind, Self and
Society, Mead berpendapat bahwa bukan pikiran yang pertama kali
muncul, melainkan masyarakatlah yang terlebih dulu muncul dan baru
diikuti pemikiran yang muncul pada dalam diri masyarakat tersebut. Dan
analisa George Herbert Mead ini mencerminkan fakta bahwa masyarakat
atau yang lebih umum disebut kehidupan social menempati prioritas
dalam analisanya, dan Mead selalu memberi prioritas pada dunia social
dalam memahami pengalaman social karena keseluruhan kehidupan
social mendahului pikiran individu secara logis maupun temporer. Individu
yang berpikir dan sadar diri tidak mungkin ada sebelum kelompok social .
Kelompok social hadir lebih dulu dan dia mengarah pada perkembangan
kondisi mental sadar – diri.

Dalam teorinya yang dinamakan Interaksionisme Simbolik ini, George


Herbert Mead mengemukakan beberapa konsep yang mendasari teori
yang ada, yaitu:

 Tindakan

Perbuatan bagi George Herbert Mead adalah unit paling inti dalam teori
ini, yang mana Mead menganalisa perbuatan dengan pendekatan
behavioris serta memusatkan perhatian pada stimulus dan respon.
Mead mengemukakan bahwa stimulus tidak selalu menimbulkan respon
otomatis seperti apa yang diperkirakan oleh actor, karena stimulus
adalah situasi atau peluang untuk bertindak dan bukannya suatu
paksaan.

Mead menjelaskan bahwa ada empat tahap yang masing-masing dari


tahap tersebut saling berkaitan satu sama lain dalam setiap perbuatan.

1. Impuls adalah tahap paling awal dalam keempat tahap diatas. Dia
adalah reaksi yang paling awal dimana dia berfungsi untuk dirinya
sendiri. Impuls melibatkan stimulasi inderawi secara langsung
dimana respon yang diberikan oleh actor adalah bertujuan untuk
kebutuhan dirinya sendiri. Contohnya adalah ketika seseorang
mempunyai keinginan untuk menonton film di bioskop.

2. Persepsi adalah tahapan kedua, dimana dia adalah


pertimbangan, bayangan maupun pikiran terhadap bagaimana cara
untuk bisa memenuhi impuls. Dalam tahapan ini, actor memberikan
respon atau bereaksi terhadap stimulus yang berkaitan dengan
impuls tadi. Misal, berkaitan dengan contoh impul diatas, ketika
seseorang ingin menonton film di bioskop, maka dia akan mencari

3. Manipulasi adalah tahapan selanjutnya yang masih berhubungan


dengan tahap-tahap sebelum. Dalam tahapan ini actor mengambil
tindakan yang berkaitan dengan obyek yang telah dipersepsikan.
Bagi Mead, tahapan ini menciptakan jeda temporer dalam proses
tersebut, sehingga suatu respon tidak secara langsung dapat
terwujud.

4. Konsumsi adalah upaya terakhir untuk merespon impuls. Dalam


tahapan ini, dengan adanya pertimbangan maupun pemikiran secara
sadar, actor dapat mengambil keputusan atau tindakan yang
umumnya akan berorientasi untuk memuaskan impuls yang ada di
awal tadi.

 Gestur

Mead mempunyai pandangan bahwa gesture merupakan mekanisme


dalam perbuatan social serta dalam proses social. Gestur adalah gerak
organisme pertama yang bertindak sebagai stimulus yang
menghasilkan respon dari pihak kedua sesuai dengan apa yang
diinginkan.

 Simbol

Simbol, dia adalah jenis gestur yang hanya bisa dilakukan dan
diinterpretasikan oleh manusia. Gestur ini menjadi symbol ketika dia
bisa membuat seorang individu mengeluarkan respon – respon yang
diharapkan olehnya yang juga diberikan oleh individu yang menjadi
sasaran dari gesturnya, karena hanya ketika symbol – symbol ini
dipahami dengan makna juga respon yang samalah seorang individu
dapat berkomunikasi dengan individu yang lainnya.

Dalam teori George Herbert Mead, fungsi symbol adalah


memungkinkan terbentuknya pikiran, proses mental dan lain
sebagainya.

 Mind (Pikiran)

George Herbert Mead memandang akal budi bukan sebagai satu benda,
melainkan sebagai suatu proses social. Sekali pun ada manusia yang
bertindak dengan skema aksi reaksi, namun kebanyakan tindakan
manusia melibatkan suatu proses mental, yang artinya bahwa antara
aksi dan reaksi terdapat suatu proses yang melibatkan pikiran atau
kegiatan mental.

Pikiran juga menghasilkan suatu bahasa isyarat yang disebut symbol.


Simbol – simbol yang mempunyai arti bisa berbentuk gerak gerik atau
gesture tapi juga bisa dalam bentuk sebuah bahasa. Dan kemampuan
manusia dalam menciptakan bahasa inilah yeng membedakan manusia
dengan hewan. Bahasa membuat manusia mampu untuk mengartikan
bukan hanya symbol yang berupa gerak gerik atau gesture, melainkan
juga mampu untuk mengartikan symbol yang berupa kata – kata.
Kemampuan ini lah yang memungkinkan manusia menjadi bisa melihat
dirinya sendiri melalui perspektif orang lain dimana hal ini sangatlah
penting dalam mengerti arti – arti bersama atau menciptakan respon
yang sama terhadap symbol – symbol suara yang sama. Dan agar
kehidupan social tetap bertahan, maka seorang actor harus bisa
mengerti symbol – symbol dengan arti yang sama, yang berarti bahwa
manusia harus mengerti bahasa yang sama. Proses berpikir, bereaksi,
dan berinteraksi menjadi mungkin karena symbol – symbol yang
penting dalam sebuah kelompok social mempunyai arti yang sama dan
menimbulkan reaksi yang sama pada orang yang menggunakan symbol
– symbol itu, maupun pada orang yang bereaksi terhadap symbol –
symbol itu.

Mead juga menekankan pentingnya fleksibilitas dari mind (akal budi).


Selain memahami symbol-simbol yang sama dengan arti yang sama,
fleksibilitas juga memungkinkan untuk terjadinya interaksi dalam situasi
tertentu, meski orang tidak mengerti arti dari symbol yang diberikan.
Hal itu berarti bahwa orang masih bisa berinteraksi walaupun ada hal –
hal yang membingungkan atau tidak mereka mengerti, dan itu
dimungkinkan karena akal budi yang bersifat fleksibel dari pikiran.

Simbol verbal sangat penting bagi Mead karena seorang manusia akan
dapat mendengarkan dirinya sendiri meski orang tersebut tidak bisa
melihat tanda atau gerak gerik fisiknya.

Konsep tentang arti sangat penting bagi Mead. Suatu perbuatan bisa
mempunyai arti kalau seseorang bisa menggunakan akal budinya untuk
menempatkan dirinya sendiri di dalam diri orang lain, sehingga dia bisa
menafsirkan pikiran – pikirannya dengan tepat. Namun Mead juga
mengatakan, bahwa arti tidak berasal dari akal budi melainkan dari
situasi social yang dengan kata lain, situasi social memberikan arti
kepada sesuatu.

 Self (Diri)

Mead menganggap bahwa kemampuan untuk memberi jawaban pada


diri sendiri layaknya memberi jawaban pada orang lain, merupakan
situasi penting dalam perkembangan akal budi. Dan Mead juga
berpendapat bahwa tubuh bukanlah riri, melinkan dia baru menjadi diri
ketika pikran telah perkembang. Dalam arti ini, Self bukan suatu obyek
melainkan suatu proses sadar yang mempunyai kemampuan untuk
berpikir, seperti :

- Mampu memberi jawaban kepada diri sendiri seperti orang lain


yang juga memberi jawaban.

- Mampu memberi jawaban seperti aturan, norma atau hokum yang


juga memberi jawaban padanya.

- Mampu untuk mengambil bagian dalam percakapan sendiri dengan


orang lain.
- Mampu menyadari apa yang sedang dikatakan dan kemampuan
untuk menggunakan kesadaran untuk menentukan apa yang garus
dilakukan pada fase berikutnya.

Bagi Mead, Self mengalami perkembangan melalui proses sosialisasi,


dan ada tiga fase dalam proses sosialisasi tersebut. Pertama adalah
Play Stage atau tahap bermain. Dalam fase atau tahapan ini, seorang
anak bermain atau memainkan peran orang – orang yang dianggap
penting baginya. Contoh ktika seorang anak laki – laki yang masih kecil
suka akan bermain bola, maka dia meminta dibelikan atribut yang
berhubungan degan bola dan brmain dengan atribut tersebut serta
berpura – pura menjadi pesepak bola idolanya. Fase kedua dalam
proses sosialisasi serta proses pembentukan konsep tentang diri adalah
Game Stage atau tahap permainan, dimana dalam tahapan ini seorang
anak mengambil peran orang lian dan terlibat dalam suatu organisasi
yang lebih tinggi. Contoh Anak kecil yang suka bola yang tadinya hanya
berpura – pura mengambil peran orang lain, maka dalam tahapan ini
anak itu sudah berperan seperti idolanya dalam sebuah team sepak
bola anak, dia akan berusaha untuk mengorganisir teamnya dan
bekerjasama dengan teamnya. Dengan fase ini, anak belajar sesuatu
yang melibatkan orang banyak, dan sesuatu yang impersonal yaitu
aturan – aturan dan norma – norma. Sedang fase ketiga adalah
generalized other, yaitu harapan-harapan, kebiasaan-kebiasaan,
standar-standar umum dalam masyarakat. Dalam fase ini anak-anak
mengarahkan tingkah lakunya berdasarkan standar-standar umum
serta norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Contoh anak tadi
dalam fase ini telah mengambil secara penuh perannya dalam
masyarakat. Dia menjadi pesepak bola handal dan dalam menjalankan
perannya sudah punya pemikiran dan pertimbangan. Jadi, dalam fase
terakhir ini, seorang anak menilai tindakannya berdasarkan norma yang
berlaku dalam masyarakat.

 I and Me

Inti dari teori George Herbert Mead yang penting adalah konsepnya
tentang “I” and “Me”, yaitu dimana diri seorang manusia sebagai
subyek adalah “I” dan diri seorang manusia sebagai obyek adalah “Me”.
“I” adalah aspek diri yang bersifat non-reflektif yang merupakan respon
terhadap suatu perilaku spontan tanpa adanya pertimbangan. Dan
ketika didalam aksi dan reaksi terdapat suatu pertimbangan ataupun
pemikiran, maka pada saat itu “I” berubah menjadi “Me”.

Mead mengemukakan bahwa seseorang yang menjadi “Me”, maka dia


bertindak berdasarkan pertimbangan terhadap norma-norma,
generalized other, serta harapan-harapan orang lain. Sedangkan “I”
adalah ketika terdapat ruang spontanitas, sehingga muncul tingkah laku
spontan dan kreativitas diluar harapan dan norma yang ada.

 Society (Masyarakat)
Masyarakat dalam konteks pembahasan George Herbert Mead dalam
teori Interaksionisme Simbolik ini bukanlah masyarakat dalam artian
makro dengan segala struktur yang ada, melainkan masyarakat dalam
ruang lingkup yang lebih mikro, yaitu organisasi social tempat akal budi
(mind) serta diri (self) muncul. Bagi Mead dalam pembahasan ini,
masyarakat itu sebagai pola-pola interaksi dan institusi social yang
adalah hanya seperangkat respon yang biasa terjadi atas
berlangsungnya pola-pola interaksi tersebut, karena Mead berpendapat
bahwa masyarakat ada sebelum individu dan proses mental atau proses
berpikir muncul dalam masyarakat.

Jadi, pada dasarnya Teori Interasionisme Simbolik adalah sebuah teori


yang mempunyai inti bahwa manusia bertindak berdasarkan atas
makna – makna, dimana makna tersebut didapatkan dari interaksi
dengan orang lain, serta makna – makna itu terus berkembang dan
disempurnakan pada saat interaksi itu berlangsung.

Daftar Pustaka

Susilo, Rachmad K. Dwi. 2008. 20 Tokoh Sosiologi Modern,


Biografi para Peletak Sosiologi Modern. Yogyakata: AR-RUZZ
MEDIA

Raho, Bernard. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta :


Pustakaraya

Ritzer, George. . Teori – teori Sosiologi, Dari Teori Sosiologi Klasik


sampai Perkembangan Mutakhir Teori Soiologi Postmodern.

Johnson, Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern.


Jakarta : PT. GRAMEDIA

Craib, Ian. 1986. Teori – Teori Sosial Modern, Dari Parsons


sampai Habermas. Jakarta: CV. Rajawali Pers

Zeitlin, Irving M. . Memahami Kembali Sosiologi, Kritik terhadap


Teori Sosiologi Kontemporer. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press

Veeger, K.J. 1984. Realitas Sosial, Refleksi Filsafat Sosial atas


Hubungan Individu – Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah
Sosiologi. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama

Soeprapto, Riyadi. 2002. Interaksionisme Simbolik, Perspektif


Sosiologi Modern. Malang : Averroes
SEJARAH TEORI INTERAKSI SIMBOLIK
Orang bergerak untuk bertindak berdasarkan makna yang diberikan pada orang , benda, dan
peristiwa. Makna-makna ini diciptakan dalam bahasa yang digunakan orang baik untuk
berkomunikasi dengan orang lain maupun dengan dirinya sendiri, atau pikiran pribadinya. Bahasa
memungkinkan orang untuk mengembangkan perasaan mengenai diri dan untuk berinteraksi
dengan orang lainnya dalam sebuah komunitas.

Sejarah Teori Interaksionisme Simbolik tidak bisa dilepaskan dari pemikiran George Harbert
Mead (1863-1931). Mead dilahirkan di Hadley, satu kota kecil di Massachusetts. Karir Mead
berawal saat beliau menjadi seorang professor di kampus Oberlin, Ohio, kemudian Mead
berpindah pindah mengajar dari satu kampus ke kampus lain, sampai akhirnya saat beliau di
undang untuk pindah dari Universitas Michigan ke Universitas Chicago oleh John Dewey. Di
Chicago inilah Mead sebagai seseorang yang memiliki pemikiran yang original dan
membuat catatan kontribusi kepada ilmu sosial dengan meluncurkan “the theoretical
perspective” yang pada perkembangannya nanti menjadi cikal bakal “Teori Interaksi
Simbolik”, dan sepanjang tahunnya, Mead dikenal sebagai ahli sosial psikologi untuk ilmu
sosiologis. Mead menetap di Chicago selama 37 tahun, sampai beliau meninggal dunia
pada tahun 1931 (Rogers. 1994: 166).

Semasa hidupnya Mead memainkan peranan penting dalam membangun perspektif dari
Mahzab Chicago, dimana memfokuskan dalam memahami suatu interaksi perilaku sosial,
maka aspek internal juga perlu untuk dikaji (West-Turner. 2008: 97). Mead tertarik pada
interaksi, dimana isyarat non verbal dan makna dari suatu pesan verbal, akan
mempengaruhi pikiran orang yang sedang berinteraksi. Dalam terminologi yang dipikirkan
Mead, setiap isyarat non verbal (seperti body language, gerak fisik, baju, status, dll) dan
pesan verbal (seperti kata-kata, suara, dll) yang dimaknai berdasarkan kesepakatan
bersama oleh semua pihak yang terlibat dalam suatu interaksi merupakan satu bentuk
simbol yang mempunyai arti yang sangat penting (a significant symbol).

Menurut Fitraza (2008), Mead tertarik mengkaji interaksi sosial, dimana dua atau lebih
individu berpotensi mengeluarkan simbol yang bermakna. Perilaku seseorang dipengaruhi
oleh simbol yang diberikan oleh orang lain, demikian pula perilaku orang tersebut. Melalui
pemberian isyarat berupa simbol, maka kita dapat mengutarakan perasaan, pikiran,
maksud, dan sebaliknya dengan cara membaca simbol yang ditampilkan oleh orang lain.

Selain Mead, telah banyak ilmuwan yang menggunakan pendekatan teori interaksi simbolik
dimana teori ini memberikan pendekatan yang relatif khusus pada ilmu dari kehidupan
kelompok manusia dan tingkah laku manusia, dan banyak memberikan kontribusi
intelektual, diantaranya John Dewey, Robert E. Park, William James, Charles Horton Cooley,
Ernest Burgess, James Mark Baldwin (Rogers. 1994: 168).
Generasi setelah Mead merupakan awal perkembangan interaksi simbolik, dimana pada
saat itu dasar pemikiran Mead terpecah menjadi dua Mahzab (School), dimana kedua
mahzab tersebut berbeda dalam hal metodologi, yaitu (1) Mahzab Chicago (Chicago
School) yang dipelopori oleh Herbert Blumer, dan (2) Mahzab Iowa (Iowa School) yang
dipelopori oleh Manfred Kuhn dan Kimball Young (Rogers. 1994: 171).
Mahzab Chicago yang dipelopori oleh Herbert Blumer (pada tahun 1969 yang mencetuskan
nama interaksi simbolik) dan mahasiswanya, Blumer melanjutkan penelitian yang telah
dilakukan oleh Mead. Blumer melakukan pendekatan kualitatif, dimana meyakini bahwa
studi tentang manusia tidak bisa disamakan dengan studi terhadap benda mati, dan para
pemikir yang ada di dalam mahzab Chicago banyak melakukan pendekatan interpretif
berdasarkan rintisan pikiran George Harbert Mead (Ardianto. 2007: 135). Blumer
beranggapan peneliti perlu meletakkan empatinya dengan pokok materi yang akan dikaji,
berusaha memasuki pengalaman objek yang diteliti, dan berusaha untuk memahami nilai-
nilai yang dimiliki dari tiap individu. Pendekatan ilmiah dari Mahzab Chicago menekankan
pada riwayat hidup, studi kasus, buku harian (Diary), autobiografi, surat, interview tidak
langsung, dan wawancara tidak terstruktur (Wibowo. 2007).

Mahzab Iowa dipelopori oleh Manford kuhn dan mahasiswanya (1950-1960an), dengan
melakukan pendekatan kuantitatif, dimana kalangan ini banyak menganut tradisi
epistemologi dan metodologi post-positivis (Ardianto. 2007: 135). Kuhn yakin bahwa konsep
interaksi simbolik dapat dioprasionalisasi, dikuantifikasi, dan diuji. Mahzab ini
mengembangkan beberapa cara pandang yang baru mengenai ”konsep diri” (West-Turner.
2008: 97-98). Kuhn berusaha mempertahankan prinsip-prinsip dasar kaum interaksionis,
dimana Kuhn mengambil dua langkah cara pandang baru yang tidak terdapat pada teori
sebelumnya, yaitu: (1) memperjelas konsep diri menjadi bentuk yang lebih kongkrit; (2)
untuk mewujudkan hal yang pertama maka beliau menggunakan riset kuantitatif, yang pada
akhirnya mengarah pada analisis mikroskopis (LittleJohn. 2005: 279). Kuhn merupakan
orang yang bertanggung jawab atas teknik yang dikenal sebagai ”Tes sikap pribadi dengan
dua puluh pertanyaan [the Twenty statement self-attitudes test (TST)]”. Tes sikap pribadi
dengan dua puluh pertanyaan tersebut digunakan untuk mengukur berbagai aspek pribadi
(LittleJohn. 2005: 281). Pada tahap ini terlihat jelas perbedaan antara Mahzab Chicago
dengan Mahzab Iowa, karena hasil kerja Kuhn dan teman-temannya menjadi sangat
berbeda jauh dari aliran interaksionisme simbolik. Kelemahan metode Kuhn ini dianggap
tidak memadai untuk menyelidiki tingkah laku berdasarkan proses, yang merupakan elemen
penting dalam interaksi. Akibatnya, sekelompok pengikut Kuhn beralih dan membuat
Mahzab Iowa ”baru”.

Mahzab Iowa baru dipelopori oleh Carl Couch, dimana pendekatan yang dilakukan
mengenai suatu studi tentang interaksi struktur tingkah laku yang terkoordinir, dengan
menggunakan sederetan peristiwa yang direkam dengan rekaman video (video tape). Inti
dari Mahzab ini dalam melaksanakan penelitian, melihat bagaimana interaksi dimulai
(openings) dan berakhir (closings), yang kemudian melihat bagaimana perbedaan
diselesaikan, dan bagaimana konsekuensi-konsekuensi yang tidak terantisipasi yang telah
menghambat pencapaian tujuan-tujuan interaksi dapat dijelaskan. Satu catatan kecil bahwa
prinsip-prinsip yang terisolasi ini, dapat menjadi dasar bagi sebuah teori interaksi simbolik
yang terkekang di masa depan (LittleJohn. 2005: 283).

PENJELASAN TEORI INTERAKSI SIMBOLIK


Teori Interaksi Simbolik yang masih merupakan pendatang baru dalam studi ilmu
komunikasi, yaitu sekitar awal abad ke-19 yang lalu. Sampai akhirnya teori interaksi simbolik
terus berkembang sampai saat ini, dimana secara tidak langsung SI merupakan cabang
sosiologi dari perspektif interaksional (Ardianto. 2007: 40).

Interaksi simbolik menurut perspektif interaksional, dimana merupakan salah satu perspektif
yang ada dalam studi komunikasi, yang barangkali paling bersifat ”humanis” (Ardianto. 2007:
40). Dimana, perspektif ini sangat menonjolkan keangungan dan maha karya nilai individu
diatas pengaruh nilai-nilai yang ada selama ini. Perspektif ini menganggap setiap individu di
dalam dirinya memiliki esensi kebudayaan, berinteraksi di tengah sosial masyarakatnya, dan
menghasilkan makna ”buah pikiran” yang disepakati secara kolektif. Dan pada akhirnya,
dapat dikatakan bahwa setiap bentuk interaksi sosial yang dilakukan oleh setiap individu,
akan mempertimbangkan sisi individu tersebut, inilah salah satu ciri dari perspektif
interaksional yang beraliran interaksionisme simbolik.

Teori interaksi simbolik menekankan pada hubungan antara simbol dan interaksi, serta inti
dari pandangan pendekatan ini adalah individu (Soeprapto. 2007). Banyak ahli di belakang
perspektif ini yang mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling penting dalam
konsep sosiologi. Mereka mengatakan bahwa individu adalah objek yang bisa secara
langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang lain.

Menurut Ralph Larossa dan Donald C. Reitzes (1993) dalam West-Turner (2008: 96),
interaksi simbolik pada intinya menjelaskan tentang kerangka referensi untuk memahami
bagaimana manusia, bersama dengan orang lain, menciptakan dunia simbolik dan
bagaimana cara dunia membentuk perilaku manusia.

Interaksi simbolik ada karena ide-ide dasar dalam membentuk makna yang berasal dari
pikiran manusia (Mind) mengenai diri (Self), dan hubungannya di tengah interaksi sosial,
dan tujuan bertujuan akhir untuk memediasi, serta menginterpretasi makna di tengah
masyarakat (Society) dimana individu tersebut menetap. Seperti yang dicatat oleh Douglas
(1970) dalam Ardianto (2007: 136), Makna itu berasal dari interaksi, dan tidak ada cara lain
untuk membentuk makna, selain dengan membangun hubungan dengan individu lain
melalui interaksi.
Definisi singkat dari ke tiga ide dasar dari interaksi simbolik, antara lain:
(1) Pikiran (Mind) adalah kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna
sosial yang sama, dimana tiap individu harus mengembangkan pikiran mereka melalui
interaksi dengan individu lain,
(2) Diri (Self) adalah kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu dari penilaian sudut
pandang atau pendapat orang lain, dan teori interaksionisme simbolis adalah salah satu
cabang dalam teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri (the-self) dan dunia
luarnya, dan
(3) Masyarakat (Society) adalah jejaring hubungan sosial yang diciptakan, dibangun, dan
dikonstruksikan oleh tiap individu ditengah masyarakat, dan tiap individu tersebut terlibat
dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya
mengantarkan manusia dalam proses pengambilan peran di tengah masyarakatnya.”Mind,
Self and Society” merupakan karya George Harbert Mead yang paling terkenal (Mead. 1934
dalam West-Turner. 2008: 96), dimana dalam buku tersebut memfokuskan pada tiga tema
konsep dan asumsi yang dibutuhkan untuk menyusun diskusi mengenai teori interaksi
simbolik.

Tiga tema konsep pemikiran George Herbert Mead yang mendasari interaksi simbolik antara
lain:
1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia,
2. Pentingnya konsep mengenai diri,
3. Hubungan antara individu dengan masyarakat.

Tema pertama pada interaksi simbok berfokus pada pentingnya membentuk makna bagi
perilaku manusia, dimana dalam teori interaksi simbolik tidak bisa dilepaskan dari proses
komunikasi, karena awalnya makna itu tidak ada artinya, sampai pada akhirnya di konstruksi
secara interpretif oleh individu melalui proses interaksi, untuk menciptakan makna yang
dapat disepakati secara bersama. Hal ini sesuai dengan tiga dari tujuh asumsi karya Herbert
Blumer (1969) dalam West-Turner (2008: 99) dimana asumsi-asumsi itu adalah sebagai
berikut:
1. Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang
lain kepada mereka,
2. Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia,
3. Makna dimodifikasi melalui proses interpretif.

Tema kedua pada interaksi simbolik berfokus pada pentingnya ”Konsep diri” atau ”Self-
Concept”. Dimana, pada tema interaksi simbolik ini menekankan pada pengembangan
konsep diri melalui individu tersebut secara aktif, didasarkan pada interaksi sosial dengan
orang lainnya. Tema ini memiliki dua asumsi tambahan, menurut LaRossan & Reitzes (1993)
dalam West-Turner (2008: 101), antara lain:
1. Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain,
2. Konsep diri membentuk motif yang penting untuk perilaku.

Tema terakhir pada interaksi simbolik berkaitan dengan hubungan antara kebebasan
individu dan masyarakat, dimana asumsi ini mengakui bahwa norma-norma sosial
membatasi perilaku tiap individunya, tapi pada akhirnya tiap individu-lah yang menentukan
pilihan yang ada dalam sosial kemasyarakatannya. Fokus dari tema ini adalah untuk
menjelaskan mengenai keteraturan dan perubahan dalam proses sosial. Asumsi-asumsi
yang berkaitan dengan tema ini adalah:
1. Orang dan kelompok masyarakat dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial,
2. Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.
Rangkuman dari hal-hal yang telah dibahas sebelumnya mengenai tiga tema konsep
pemikiran George Herbert Mead yang berkaitan dengan interaksi simbolik, dan tujuh
asumsi-asumsi karya Herbert Blumer (1969) adalah sebagai berikut:
Tiga tema konsep pemikiran Mead
• Pentingnya makna bagi perilaku manusia,
• Pentingnya konsep diri,
• Hubungan antara individu dengan masyarakat.

Tujuh asumsi karya Herbert Blumer


• Manusia bertindak terhadap orang lain berdasarkan makna yang diberikan orang lain pada
mereka,
• Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia,
• Makna dimodifikasi melalui sebuah proses interpretif,
• Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain,
• Konsep diri memberikan sebuah motif penting untuk berperilaku,
• Orang dan kelompok-kelompok dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial,
• Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.

IMPLIKASI DALAM ILMU/TEORI DAN METODOLOGI

Implikasi dari teori interaksi simbolik dapat dijelaskan dari beberapa teori atau ilmu dan
metodologi berikut ini, antara lain:

Teori sosiologikal modern (Modern Sociological Theory) menurut Francis Abraham (1982)
dalam Soeprapto (2007), dimana teori ini menjabarkan interaksi simbolik sebagai perspektif
yang bersifat sosial-psikologis. Teori sosiologikal modern menekankan pada struktur sosial,
bentuk konkret dari perilaku individu, bersifat dugaan, pembentukan sifat-sifat batin, dan
menekankan pada interaksi simbolik yang memfokuskan diri pada hakekat interaksi. Teori
sosiologikal modern juga mengamati pola-pola yang dinamis dari suatu tindakan yang
dilakukan oleh hubungan sosial, dan menjadikan interaksi itu sebagai unit utama analisis,
serta meletakkan sikap-sikap dari individu yang diamati sebagai latar belakang analisis.

Perspektif interaksional (Interactionist perspective) merupakan salah satu implikasi lain dari
interaksi simbolik, dimana dalam mempelajari interaksi sosial yang ada perlu digunakan
pendekatan tertentu, yang lebih kita kenal sebagai perspektif interaksional (Hendariningrum.
2009). Perspektif ini menekankan pada pendekatan untuk mempelajari lebih jauh dari
interaksi sosial masyarakat, dan mengacu dari penggunaan simbol-simbol yang pada
akhirnya akan dimaknai secara kesepakan bersama oleh masyarakat dalam interaksi sosial
mereka.

Konsep definisi situasi (the definition of the situation) merupakan implikasi dari konsep
interaksi simbolik mengenai interaksi sosial yang dikemukakan oleh William Isac Thomas
(1968) dalam Hendariningrum (2009). Konsep definisi situasi merupakan perbaikan dari
pandangan yang mengatakan bahwa interaksi manusia merupakan pemberian tanggapan
(response) terhadap rangsangan (stimulus) secara langsung. Konsep definisi situasi
mengganggap bahwa setiap individu dalam memberikan suatu reaksi terhadap rangsangan
dari luar, maka perilaku dari individu tersebut didahului dari suatu tahap pertimbangan-
pertimbangan tertentu, dimana rangsangan dari luar tidak ”langsung ditelan mentah-
mentah”, tetapi perlu dilakukan proses selektif atau proses penafsiran situasi yang pada
akhirnya individu tersebut akan memberi makna terhadap rangsangan yang diterimanya.

Konstruksi sosial (Social construction) merupakan implikasi berikutnya dari interaksi simbolik
yang merupakan buah karya Alfred Schutz, Peter Berger, dan Thomas Luckmann, dimana
konstruksi sosial melihat individu yang melakukan proses komunikasi untuk menafsirkan
peristiwa dan membagi penafsiran-penafsiran tersebut dengan orang lain, dan realitas
dibangun secara sosial melalui komunikasi (LittleJohn. 2005: 308).

Teori peran (Role Theory) merupakan implikasi selanjutnya dari interaksi simbolik menurut
pandangan Mead (West-Turner 2008: 105). dimana, salah satu aktivitas paling penting yang
dilakukan manusia setelah proses pemikiran (thought) adalah pengambilan peran (role
taking). Teori peran menekankan pada kemampuan individu secara simbolik dalam
menempatkan diri diantara individu lainnya ditengah interaksi sosial masyarakat.

Teori diri (Self theory) dalam sudut pandang konsep diri, merupakan bentuk kepedulian dari
Ron Harrě, dimana diri dikonstruksikan oleh sebuah teori pribadi (diri). Artinya, individu
dalam belajar untuk memahami diri dengan menggunakan sebuah teori yang
mendefinisikannya, sehingga pemikiran seseorang tentang diri sebagai person merupakan
sebuah konsep yang diturunkan dari gagasan-gagasan tentang personhood yang
diungkapkan melalui proses komunikasi (LittleJohn. 2005: 311).
Teori dramatisme (Dramatism theory) merupakan implikasi yang terakhir yang akan
dipaparkan oleh penulis, dimana teori dramatisme ini merupakan teori komunikasi yang
dipengaruhi oleh interaksi simbolik, dan tokoh yang menggemukakan teori ini adalah
Kenneth Burke (1968). Teori ini memfokuskan pada diri dalam suatu peristiwa yang ada
dengan menggunakan simbol komunikasi. Dramatisme memandang manusia sebagai tokoh
yang sedang memainkan peran mereka, dan proses komunikasi atau penggunaan pesan
dianggap sebagai perilaku yang pada akhirnya membentuk cerita tertentu (Ardianto. 2007:
148).

KAJIAN TERHADAP KASUS AKTUAL


Kajian kasus aktual teori interaksi simbolik adalah mengambil contoh “SBY bersama
Boediono (SBY Berbudi)”, dimana dua tokoh ini akan menjadi satu dari tiga kandidat calon
presiden dan wakil presiden RI periode 2009-2014. Alasan penulis untuk memilih contoh ini
adalah menanggapi dikotomi-dikotomi yang berkembang dimasyarakat sejak dulu, dimana
ada dikotomi menggunakan simbol-simbol yang mengatakan bahwa calon presiden RI harus
dari jawa, atau calon presiden dan wakil presiden berasal dari dua latar belakang yang
berbeda, seperti: jawa dan non jawa, sipil dan militer, serta lain sebagainya.

Namun sejak pemilihan Boediono oleh SBY sebagai calon pendampingnya menjelang
pemilihan presiden RI mendatang, terlihat banyak kontroversi di tengah komunikasi politik
yang berkembang, antara lain: penolakan partai-partai islam dan 23 partai yang menjadi
koalisi partai demokrat, anggapan Boediono sebagai antek kapitalis yang pro barat,
anggapan SBY yang tidak mencerminkan nusantara, karena memilih wakil presidennya dari
satu provinsi yang sama, seolah-olah tidak mampu mencerminkan kebhineka-an, dan
banyak lagi kontroversi lainnya.

Penulis beranggapan bahwa di zaman modern saat ini, sudah tidak tepat lagi, jika kita masih
terlalu sempit memandang kepemimpinan itu berdasarkan dikotomi-dikotomi yang ada sejak
dulu. SBY menunjukkan bahwa sudah perlu adanya ”pergeseran” saat ini, bahwa simbol-
simbol yang ada dari dikotomi selama ini, sudah waktunya mengalami perubahan, dan
masyarakat perlu mendapatkan pendidikan politik yang baik, dimana sudah tidak tepat lagi
untuk menilai kepemimpinan dari pandangan yang sempit. Kepemimpinan bukan lagi dilihat
berdasarkan dikotomi lama, tapi haruslah dilihat dari segala aspek yang kompleks dan
kapabilitas seseorang itu tanpa memandang asal-usul budayanya. Untuk menjadi negara
yang maju, sudah waktunya kita keluar dari ”Safety box” yang selama ini ternyata
membelenggu, bahkan menyebabkan bangsa ini hanya jalan di tempat.
Contoh ini menunjukkan bahwa dalam proses komunikasi individu di tengah interaksi
masyarakat, untuk membentuk suatu makna berdasarkan kesepakatan bersama, tidak lagi
mengganggap bahwa makna yang selama ini telah terbentuk itu bersifat sakral.
SBY menunjukkan bahwa pemahaman makna bisa bergeser atau mengalami perubahan
sesuai dengan zamannya, terhadap dikotomi-dikotomi yang menggunakan simbol-simbol
tersebut, proses pergeseran makna melalui simbol-simbol dilakukan di tengah interaksi
masyarakat, dengan tujuan untuk membentuk pemaknaan yang baru yang dapat disepakati
secara bersama di tengah masyarakat.

KRITIK TERHADAP TEORI INTERAKSI SIMBOLIK

Kritik terhadap teori interaksi simbolik ada beberapa hal, diantaranya :


Interaksi simbolik memiliki banyak implikasi-implikasi, sehingga teori ini paling sulit untuk
disimpulkan. Teori interaksi simbolik berasal dari berbagai sumber, teori, ilmu, metodologi
dan lain sebagainya, tetapi tidak ada satupun sumber yang dapat memberikan pernyataan
tunggal mengenai isi dari teori ini, kecuali dalam satu hal yaitu, ide dasar teori ini bersifat
menentang behaviorisme radikal yang dipelopori oleh J. B. Waston. Behaviorisme radikal
berpendirian bahwa segala perilaku tiap individu di tengah interaksi masyarakat adalah
sesuatu yang dapat diamati.

Interaksi simbolik tidak dianggap cukup heuristik (pemaparan melalui proses pertanyaan-
pertanyaan dalam menyelesaikan suatu permasalahan secara sistematis), sehingga
memunculkan sedikit hipotesis yang bisa diuji dan pemahaman yang minim.
Para peneliti interaksi simbolik dianggap kurang terlibat dalam suatu proses penelitian,
sehingga dalam menjelaskan konsep-konsep kunci dari observasi, dimana pada akhirnya
akan menyulitkan si-peneliti dalam melakukan revisi dan elaborasi.
Interaksi simbolik dalam proses penelitian dianggap meremehkan ataupun mengabaikan
variabel-variabel penjelas yang sebenarnya cukup penting, seperti emosi individu yang
diteliti.

Intraksi simbolik berhubungan dengan organisasi sosial kemasyarakatan, dimana organisasi


sosial atau struktur menghilangkan prerogatif individu. Struktur sosial umumnya menyangkut
dengan masalah kekuasaan, dimana beberapa kelompok memiliki pengaruh yang lebih
besar dibandingkan dengan kelompok lain dalam mendefinisikan suatu situasi yang ada,
tetapi sekali lagi, para interaksionis tidak mau mengakui adanya ketidaksamaan kekuasan
tersebut.
Interaksi simbolik bukanlah suatu teori yang utuh karena memiliki banyak versi, dimana
konsep-konsep yang ada, tidak digunakan secara konsisten. Dan pada akhirnya berdampak
pada konsep-konsep seperti I, Me, Self, Role, dan lain sebagainya menjadi bias dan kabur
(tidak jelas).

Interaksi simbolik menanggapi sebuah inkonsistensi yang melibatkan masalah


determinisme, dimana individu tidak memiliki banyak pilihan kecuali memandang dunia
dengan cara yang sudah ditentukan, padahal dalam realitas sebenarnya, manusia bebas
untuk memilih setiap pilihannya secara aktif, dan independen, serta pada akhirnya individu
akan menseleksi setiap pilihan yang terbaik untuk dirinya, tanpa dibatasi oleh aturan yang
mengikat.
Inilah beberapa kritik terhadap teori interaksi simbolik yang dapat disampaikan penulis,
berdasarkan pemahaman tentang teori ini.

KESIMPULAN

Kesimpulan penulis terhadap teori interaksi simbolik, dimana manusia atau individu hidup
dalam suatu lingkungan yang dipenuhi oleh simbol-simbol. Tiap individu yang hidup akan
memberikan tanggapan terhadap simbol-simbol yang ada, seperti penilaian individu
menanggapi suatu rangsangan (stimulus) dari suatu yang bersifat fisik. Pemahaman individu
terhadap simbol-simbol merupakan suatu hasil pembelajaran dalam berinteraksi di tengah
masyarakat, dengan cara mengkomunikasikan simbol-simbol yang ada disekitar mereka,
baik secara verbal maupun perilaku non verbal. Pada akhirnya, proses kemampuan
berkomunikasi, belajar, serta memahami suatu makna di balik simbol-simbol yang ada,
menjadi keistimewaan tersendiri bagi manusia dibandingkan mahluk hidup lainnya
(binatang). Kemampuan manusia inilah yang menjadi pokok perhatian dari analisis sosiologi
dari teori interaksi simbolik.
Ciri khas dari teori interaksi simbolik terletak pada penekanan manusia dalam proses saling
menterjemahkan, dan saling mendefinisikan tindakannya, tidak dibuat secara langsung
antara stimulus-response, tetapi didasari pada pemahaman makna yang diberikan terhadap
tindakan orang lain melalui penggunaan simbol-simbol, interpretasi, dan pada akhirnya tiap
individu tersebut akan berusaha saling memahami maksud dan tindakan masing-masing,
untuk mencapai kesepakatan bersama.

DAFTAR PUSTAKA

Ardianto, Elvinaro dan Bambang Q-Anees. 2007. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung: Simbiosa
Rekatama Media.
Effendy, Onong Uchjana. 1989. Kamus Komunikasi. Bandung: Mandar Maju.
Kam. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi ke-3 – Cetakan 1.Jakarta: Balai Pustaka.
LittleJohn, Stephen W. 2005. Theories of Human Communication – Fifth Edition. Terjemahan edisi
Indonesia 1 (Chapter 1-9), dan edisi Indonesia 2 (Chapter 10-16).
Mulyana, Deddy. 2008. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Rogers, Everett. M. 1994. A History of Communication Study: A
Biographical Approach. New York:The Free Press.
West, Richard dan Lynn H. Turner. 2008. Pengantar teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Buku 1
edisi ke-3. Terjemahan. Maria Natalia
Damayanti Maer. Jakarta: Salemba Humanika.

SUMBER INTERNET:
Fitraza, Vicky. 2008. Teori Interaksi Simbolis (Symbolic Interaction Theory). Psychopreneurship – blog
kumpulan teori psikologi. Melalui http://psynetpreneur.blogspot.com/2008/08/teori-interaksi-simbolis-
symbolic.html [08/09/2008]
Hendariningrum, Retno dan Dewi Novianti. 2009. Bab 5: Interaksi Sosial.
Pengantar sosiologi. Melalui http://pengantar-sosiologi.blogspot.Com/2009/04/bab-5-interaksi-
sosial.html [04/13/2009]
Soeprapto, Riyadi. 2007. Teori Interaksi Simbolik. Averroes Community - Membangun Wacana Kritis
Rakyat. Melalui http://www.averroes.or.id/research/teori-interaksionisme-simbolik .html [12/12/2007]
Wibowo, Indiwan Seto Wahyu. 2007. Teori Interaksionisme Simbolik. Melalui
http://indiwan.blogspot.com/2007/08/teori-interaksionisme-
simbolik.html [08/15/2007]

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN TEORI


INTERAKSIONISME SIMBOLIK DALAM ILMU
KOMUNIKASI
Oleh: Muchlis, M.Si

Dosen Prodi Ilmu Komunikasi, Fakultas Dakwah, IAIN Sunan Ampel Surabaya

Salah satu teori dalam ilmu komunikasi yang mengalami perkembangan sangat pesat dalam
diskursus ilmu sosial akhir-akhir ini adalah interaksionisme simbolik. Teori ini sebenarnya
merupakan pendatang baru dalam studi tentang komunikasi manusia. Jika ditelusuri secara
mendalam, teori interaksionisme simbolik sebenarnya berada dibawah payung perspektif
yang lebih besar, yang sering disebut perspektif fenomenologis[1] atau perspektif
interpretatif.

Selama dekade awal perkembangannya, teori interaksionisme simbolik seolah-olah tetap


tersembunyi dibelakang dominasi teori fungsionalisme[2] dari Talcott Parsons. Namun
kemunduran fungsionalisme tahun 1950-an dan tahun 1960-an mengakibatkan
interaksionisme simbolik muncul kembali ke permukaan dan berkembang pesat, hingga saat
ini. Sebagian pakar berpendapat bahwa teori interaksionisme simbolik, khususnya dari
George Herbert Mead, seperti teori etnometodologi[3] dari Harold Garfinkel yang juga
berpengaruh di Amerika, serta teori fenomenologi dari Alfred Schutz yang berpengaruh di
Eropa, sebenarnya berada dibawah payung teori tindakan sosial yang dikemukakan filosof
dan sekaligus sosiolog Jerman, Max Weber (1864 – 1920), satu dari tiga teoretisi klasik
utama (disamping Emile Durkheim dan Karl Marx), meskipun Weber sendiri sebenarnya
bukanlah seorang interpretivis murni.[4]

Sebagaimana lazimnya ilmu-ilmu sosial lainnya, teori interaksionisme simbolik juga diilhami
oleh serangkaian teori-teori sebelumnya. Banyak pakar berpendapat bahwa pemikiran George
Herbert Mead, sebagai tokoh sentral teori ini, berlandaskan pada beberapa cabang filsafat,
antara lain pragmatisme[5] dan behaviorisme.[6] Namun pada masa perkembangannya, teori
interaksionisme simbolik memiliki “keunikan” dan “karakteristik” tersendiri yang sangat
bertolak belakang dengan teori-teori yang menjadi “inspirasi”-nya. Beberapa orang ilmuwan
yang memiliki andil besar dalam “kemunculan” teori interaksionisme simbolik, antara lain:
James Mark Baldwin, William James, Charles Horton Cooley, John Dewey, William Isaac
Thomas, dan George Herbert Mead. Akan tetapi dari semua itu, Mead-lah yang paling
populer sebagai peletak dasar teori tersebut. Mead mengembangkan teori interaksionisme
simbolik tahun 1920-an dan 1930-an saat ia menjadi profesor filsafat di Universitas Chicago.
Gagasan-gagasannya mengenai interaksionisme simbolik berkembang pesat setelah para
mahasiswanya menerbitkan catatan-catatan dan kuliah-kuliahnya, terutama melalui buku
yang menjadi rujukan utama teori interaksionisme simbolik, yakni “Mind, Self, and Society”,
yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1934, tak lama setelah Mead meninggal dunia.
Penyebaran dan pengembangan teori Mead juga ditunjang dengan interpretasi dan penjabaran
lebih lanjut yang dilakukan oleh para mahasiswa dan pengikutnya, terutama oleh salah satu
mahasiswanya, Herbert Blumer. Ironisnya, justru Blumer-lah yang menciptakan istilah
“interaksionisme simbolik” pada tahun 1937 dan mempopulerkannya di kalangan komunitas
akademik.[7]

Esensi interaksionisme simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia,
yakni komunikasi atau pertukaran simbol[8] yang diberi makna.[9] Blumer mengintegrasikan
gagasan-gagasan tentang interaksionisme simbolik lewat tulisan-tulisannya, terutama pada
tahun 1950-an dan tahun 1960-an, diperkaya dengan gagasan-gagasan dari John Dewey,
William Isaac Thomas, dan Charles Horton Cooley. Selain Blumer, terdapat ilmuwan-
ilmuwan lain yang memiliki andil dalam pengembangan teori interaksionisme simbolik,
antara lain: Manford H. Kuhn, Howard S. Becker, Norman K. Denzin, Arnold Rose, Gregory
Stone, Anselm Strauss, Jerome Manis, Bernard Meltzer, Alfred Lindesmith, dan Tamotsu
Shibutani, seraya memanfaatkan pemikiran ilmuwan lain yang relevan, seperti Georg Simmel
atau Kenneth Burke. Hal itu mereka lakukan lewat interpretasi dan penelitian-penelitian
untuk menerapkan konsep-konsep dalam teori Mead tersebut.[10]

Teori interaksionisme simbolik pada dasarnya berusaha memahami perilaku manusia dari
sudut pandang subjek. Artinya teori ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat
sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka
dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka.
Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek, dan bahkan diri mereka
sendiri-lah yang menentukan perilaku mereka. Perilaku mereka tidak dapat digolongkan
sebagai kebutuhan, dorongan impuls, tuntutan budaya, atau tuntutan peran. Manusia
bertindak hanya berdasarkan definisi atau penafsiran mereka atas objek-objek di sekeliling
mereka.[11] Tidak mengherankan bila frase-frase “definisi situasi”, “realitas terletak pada
mata yang melihat”, dan “bila manusia mendefinisikan situasi sebagai riil, situasi tersebut riil
dalam konsekuensinya” sering dihubungkan dengan interaksionisme simbolik.[12]

Dalam pandangan interaksionisme simbolik, sebagaimana ditegaskan Blumer, proses sosial


dalam kehidupan kelompok-lah yang menciptakan dan menegakkan aturan-aturan, bukan
aturan-aturan yang menciptakan dan menegakkan kehidupan kelompok. Dalam konteks ini,
makna dikonstruksikan dalam proses interaksi, dan proses tersebut bukanlah suatu medium
netral yang memungkinkan kekuatan-kekuatan sosial memainkan perannya, melainkan justru
merupakan substansi sebenarnya dari organisasi sosial dan kekuatan sosial. Bagi penganut
interaksionisme simbolik, masyarakat adalah proses interaksi simbolik dan pandangan ini
memungkinkan mereka menghindari problem-problem strukturalisme dan idealisme, dan
mengemudikan jalan tengah diantara kedua pandangan tersebut.[13]

Menurut teoretisi interaksionisme simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah “interaksi
manusia dengan menggunakan simbol-simbol”. Mereka tertarik pada cara manusia
menggunakan simbol-simbol yang merepresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk
berkomunikasi dengan sesamanya, dan juga pengaruh yang ditimbulkan penafsiran atas
simbol-simbol ini terhadap perilaku pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi sosial.
Penganut interaksionisme simbolik berpandangan bahwa perilaku manusia pada dasarnya
adalah produk dari interpretasi mereka atas dunia di sekeliling mereka, dan tidak mengakui
bahwa perilaku itu dipelajari atau ditentukan, sebagaimana dianut oleh teori behavioristik
atau teori struktural. Dengan kata lain, perilaku dipilih sebagai hal yang layak dilakukan
berdasarkan cara individu mendefinisikan situasi yang ada.[14]

Secara ringkas, interaksionisme simbolik didasarkan premis-premis sebagai berikut: pertama,


individu merespons suatu situasi simbolik. Mereka merespons lingkungan, termasuk objek
fisik (benda) dan objek sosial (perilaku manusia) berdasarkan makna yang dikandung
komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka. Ketika mereka menghadapi suatu
situasi, respons mereka tidak bersifat mekanis, tidak pula ditentukan oleh faktor-faktor
eksternal; alih-alih, respons mereka bergantung pada bagaimana mereka mendefinisikan
situasi yang dihadapi dalam interaksi sosial. Jadi, individu-lah yang dipandang aktif untuk
menentukan lingkungan mereka sendiri. Kedua, makna adalah produk interaksi sosial, karena
itu makna tidak melekat pada objek, melainkan di negosiasikan melalui penggunaan bahasa.
Negosiasi itu dimungkinkan karena manusia mampu menamai segala sesuatu, bukan hanya
objek fisik, tindakan atau peristiwa (bahkan tanpa kehadiran objek fisik, tindakan atau
peristiwa), namun juga gagasan yang abstrak. Akan tetapi, nama atau simbol yang digunakan
untuk menandai objek, tindakan, peristiwa atau gagasan itu bersifat arbitrer (sembarang).
Artinya, apa saja bisa dijadikan simbol dan karena itu tidak ada hubungan logis antara nama
atau simbol dengan objek yang dirujuknya, meskipun terkadang sulit untuk memisahkan
kedua hal itu. Melalui penggunaan simbol itulah manusia dapat berbagi pengalaman dan
pengetahuan tentang dunia. Ketiga, makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari
waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial.
Perubahan interpretasi dimungkinkan karena individu dapat melakukan proses mental, yakni
berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Manusia membayangkan atau merencanakan apa yang
akan mereka lakukan. Dalam proses ini, individu mengantisipasi reaksi orang lain, mencari
alternatif-alternatif ucapan atau tindakan yang akan ia lakukan. Individu membayangkan
bagaimana orang lain akan merespons ucapan atau tindakan mereka. Proses pengambilan
peran tertutup (covert role taking) itu penting, meskipun hal itu tidak teramati. Oleh karena
itu, kaum interaksionis simbolik mengakui adanya tindakan tertutup dan tindakan terbuka,
dan menganggap tindakan terbuka sebagai kelanjutan dari tindakan tertutup.[15] Karena lebih
mengedepankan “karakteristik” perilaku manusia dari sudut pandang subjek (individu) inilah,
maka teori interaksionisme simbolik berada pada rentang subjektif dalam kajian ilmu-ilmu
sosial, tak terkecuali dalam disiplin ilmu komunikasi.

Pada perkembangan selanjutnya, teori interaksionisme simbolik juga telah mengilhami


perspektif-perspektif lain, seperti “teori penjulukan” (labeling theory) dalam studi tentang
penyimpangan perilaku (deviance)[16], perspektif dramaturgis[17] dari Erving Goffman, dan
etnometodologi dari Harold Garfinkel. Ketiga pendekatan tersebut dapat dianggap sebagai
varian-varian interaksionisme simbolik, selain interaksionisme simbolik mazhab Iowa yang
dikembangkan oleh Manford H. Kuhn.[18]

Kendati teori interaksionisme simbolik semakin berkembang dan semakin dianut banyak
orang, namun keberadaannya tidak lepas dari kritik para ilmuwan-ilmuwan lain. Kritik
tersebut dilontarkan, misalnya, oleh Luscher. Menurutnya, tujuan utama Mead adalah suatu
meta-teori mengenai dinamika fenomena sosial, bukan untuk mengklasifikasikan fenomena
tersebut secara deskriptif. Dalam pandangan Blumer, pandangan Mead merupakan suatu
skema yang semata-mata analitis, yang kekurangan isi. Menurut Blumer, Mead hanya
menyajikan suatu analisis tentang perilaku manusia berdasarkan mekanisme perkembangan
perilaku tersebut, namun menunjukkan sedikit unsur perilaku tersebut; ia sepenuhnya
menyoroti “bagaimana” tetapi bukan “mengapa” perilaku tersebut, dan tidak menjelaskan
perilaku yang spesifik. Selain Luscher dan Blumer, teori interaksionisme simbolik juga
dikritik oleh Meltzer. Menurut Meltzer, sebagian besar teori Mead tidak dapat diterapkan
dalam penelitian. Menurutnya, Mead bukan saja tidak memberi rumusan yang eksplisit
bagaimana skema analitisnya dapat digunakan dalam penelitian, tetapi ia juga tidak memberi
rekomendasi spesifik mengenai tehnik-tehnik yang cocok untuk mempelajari perilaku
manusia.[19]
Selain ketiga ilmuwan tersebut di atas (Luscher, Blumer, dan Meltzer), sebenarnya masih
banyak para ilmuwan lainnya yang memberikan kritik terhadap teori interaksionisme
simbolik yang digagas oleh George Herbert Mead. Terlepas dari adanya berbagai kritikan
yang dilontarkan oleh para ilmuwan yang berseberangan dengan Mead maupun yang
sepaham dengannya tersebut, terbukti bahwa teori interaksionisme simbolik masih tetap
“eksis” hingga saat ini, bahkan mampu menarik perhatian para ilmuwan-ilmuwan masa kini
untuk menggunakannya sebagai bangunan teori dalam kajian-kajian ilmiahnya. Karena
disadari atau tidak, kehadiran teori interaksionisme simbolik pada dasarnya adalah untuk
memperkaya kehidupan akademik. Alih-alih untuk menghidupkan kembali “nafas”
kehidupan akademik yang semakin loyo, menjenuhkan, dan stagnan.

Daftar Pustaka

Ahmadi, Abu. 1999. Psikologi Sosial. Cet. 2. Jakarta : Rineka Cipta.

Craib, Ian. 1992. Teori-teori Sosial Modern: dari Parsons sampai Habermas. Terj. Paul S.
Baut & T. Effendi. Edisi 1. Cet. 2. Jakarta : Rajawali Pers.

Effendy, Onong Uchjana. 2007. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Cet. 21. Bandung :
Remaja Rosdakarya.

Fisher, B. Aubrey. 1986. Teori-teori Komunikasi. Terj. Soejono Trimo. Bandung : Remadja
Karya.

Hasan, Erliana. 2005. Komunikasi Pemerintahan. Cet. 1. Bandung : Refika Aditama.

Horton, Paul B. & Hunt, Chester L. 1993. Sosiologi. Terj. Aminuddin Ram & Tita Sobari.
Edisi 6. Cet. 3. Jakarta : Erlangga.

Krahe, Barbara. 2005. Perilaku Agresif: Buku Panduan Psikologi Sosial. Terj. Helly Prajitno
Soetjipto & Sri Mulyantini Soetjipto. Cet. 1. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Mulyana, Deddy. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi
dan Ilmu Sosial Lainnya. Cet. 4. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Poloma, Margaret M. 1987. Sosiologi Kontemporer. Terj. Tim Penerjemah Yasogama. Edisi
1. Cet. 2. Jakarta : Rajawali.

Ritzer, George & Goodman, Douglas J. 2005. Teori Sosiologi Modern. Terj. Alimandan. Edisi
6. Cet. 3. Jakarta : Kencana.

Santosa, Slamet. 2006. Dinamika Kelompok. Edisi Revisi. Cet. 2. Jakarta : Bumi Aksara.

Sugandi, Yulia. 2002. Rekonstruksi Sosiologi Humanis Menuju Praksis. Cet. 1. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.

Waseso, Mulyadi Guntur (Peny.). 1986. Dimensi-dimensi Psikologi Sosial. Cet. 1. Yogyakarta
: Hanindita.
Zeitlin, Irving M. 1998. Memahami Kembali Sosiologi: Kritik Terhadap Teori Sosiologi
Kontemporer. Terj. Anshori & Juhanda. Cet. 2. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

[1] Bapak dari perspektif fenomenologis adalah Edmund Husserl, karyanya yang terpenting
diterbitkan pada akhir dekade abad 19. Bagi Husserl, fenomenologis sebagai suatu bentuk
dari idealisme yang semata-mata tertarik dengan struktur-struktur dan cara-cara bekerjanya
kesadaran manusia serta dasar-dasarnya, kendati kerap merupakan perkiraan implisit, bahwa
dunia yang kita diami diciptakan oleh kesadaran-kesadaran yang ada di kepala kita masing-
masing. Tentu saja tidak masuk akal untuk menolak bahwa dunia yang eksternal itu ada,
tetapi alasannya adalah, bahwa dunia luar hanya dapat dimengerti melalui kesadaran kita
tentang dunia itu. Lihat dalam Ian Craib, Teori-teori Sosial Modern: dari Parsons sampai
Habermas, terj. Paul S. Baut & T. Effendi, Edisi 1, Cet. 2 (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), h.
127.

[2] Teori fungsionalisme Parsons mengungkapkan suatu keyakinan akan perubahan dan
kelangsungan sistem. Menurut Parsons, sistem sosial cenderung bergerak ke arah
keseimbangan atau stabilitas. Dengan kata lain, keteraturan merupakan norma sistem.
Bilamana terjadi kekacauan norma-norma, maka sistem akan mengadakan penyesuaian dan
mencoba kembali mencapai keadaan normal. Lihat dalam Margaret M. Poloma, Sosiologi
Kontemporer, terj. Tim Penerjemah Yasogama, Edisi 1, Cet. 2 (Jakarta: Rajawali, 1987), h.
173.

[3] Teori etnometodologi Garfinkel difokuskan pada studi empirik terhadap keseharian,
aktivitas-aktivitas dan fenomena yang umum. Sebagaimana kaum fenomenologis lainnya,
Garfinkel juga memfokuskan pada makna dan bagaimana makna itu secara intersubjektif di
komunikasikan. Beberapa penelitiannya, yang dilaporkan dalam bab dua tentang “Studies in
Ethnometodology” ia mencoba menunjukkan bahwa: 1) Perbincangan keseharian secara
umum memaparkan sesuatu yang lebih memiliki makna dari pada langsung kata-kata itu. 2)
Perbincangan itu merupakan praduga konteks makna yang umum. 3) Pemahaman secara
umum yang menyertai atau yang dihasilkan dari perbincangan tersebut mengandung suatu
proses penafsiran terus menerus secara intersubjektif. 4) Pertukaran dan kejadian-kejadian
keseharian itu memiliki metodologi, terencana dan rasional, sehingga dengan kejadian
keseharian tersebut seseorang akan mendapatkan suatu pengertian atau makna ucapan orang
lain melalui pemahaman aturan itu sesuai dengan kaidah-kaidahnya. Lihat dalam Irving M.
Zeitlin, Memahami Kembali Sosiologi: Kritik Terhadap Teori Sosiologi Kontemporer, terj.
Anshori & Juhanda, Cet. 2 (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1998), h. 279-280.

[4] Lihat dalam Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu
Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, Cet. 4 (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h. 59-60.

[5] Pragmatisme adalah pemikiran filsafat yang meliputi banyak hal. Pertama, menurut
pemikir pragmatisme, realitas sebenarnya tak berada “diluar” dunia nyata; realitas
“diciptakan secara aktif saat kita bertindak di dalam dan terhadap dunia nyata”. Kedua,
manusia mengingat dan mendasarkan pengetahuan mereka mengenai dunia nyata pada apa
yang telah terbukti berguna bagi mereka. Ada kemungkinan mereka mengganti apa-apa yang
tidak lagi “bekerja”. Ketiga, manusia mendefinisikan “objek” sosial dan fisik yang mereka
temui di dunia nyata menurut kegunaannya bagi mereka. Keempat, bila kita ingin memahami
aktor, kita harus mendasarkan pemahaman itu di atas apa-apa yang sebenarnya mereka
kerjakan dalam dunia nyata. Kelima, tidak membayangkan pikiran sebagai sesuatu atau
sebagai struktur, tetapi lebih membayangkan sebagai proses berpikir yang meliputi serentetan
tahapan. Tahapan proses berpikir itu mencakup pendefinisian objek dalam dunia sosial,
melukiskan kemungkinan cara bertindak, membayangkan kemungkinan akibat dari tindakan,
menghilangkan kemungkinan yang tak dapat dipercaya dan memilih cara bertindak yang
optimal. Lihat dalam George Ritzer & Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, terj.
Alimandan, Edisi 6, Cet. 3 (Jakarta: Kencana, 2005), h. 266-267.

[6] Behaviorisme memusatkan perhatian pada perilaku individual yang dapat diamati.
Sasaran perhatiannya adalah pada stimuli atau perilaku yang mendatangkan respon. Penganut
behaviorisme menyangkal atau tak mau menghubungkan proses mental tersembunyi yang
terjadi diantara saat stimuli dipakai dan respon dipancarkan. Lihat dalam Ibid., h. 268.

[7] Lihat dalam Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif …, h. 68.

[8] Simbol (lambang) merupakan media yang digunakan oleh seseorang untuk
menyampaikan pikiran atau perasaannya kepada orang lain. Simbol sebagai media primer
dalam proses komunikasi dapat berupa: bahasa, isyarat, gambar, warna, dan lain sebagainya.
Namun simbol dalam bentuk bahasa-lah yang paling banyak dipergunakan dalam proses
komunikasi. Karena hanya bahasa-lah yang mampu “menerjemahkan” pikiran seseorang
kepada orang lain. Lihat dalam Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi: Teori dan
Praktek, Cet. 21 (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), h. 11.

[9] Dari perspektif psikologis, makna dalam komunikasi didasarkan pada pengalaman, dan
berkaitan langsung pada derajat pengalaman bersama suatu kultur dan pendidikan yang sama
dikalangan komunikator. Makna sebagai konsep komunikasi, mencakup lebih dari pada
sekedar penafsiran atau pemahaman seorang individu saja. Makna selalu mencakup banyak
pemahaman, aspek-aspek pemahaman yang secara bersama dimiliki para komunikator. Akan
tetapi, aspek kebersamaan itu tidaklah mesti menunjukkan bahwa semua pihak dalam proses
komunikasi harus memiliki pemahaman yang identik tentang lambang atau pikiran-pikiran,
namun bahwa pemahaman tertentu menjadi milik bersama komunikator dan komunikan.
Lihat dalam Erliana Hasan, Komunikasi Pemerintahan, Cet. 1 (Bandung: Refika Aditama,
2005), h. 20.

[10] Lihat dalam Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif …, h. 68.

[11] Penjelasan di atas senada dengan apa yang dikemukakan oleh B. Aubrey Fisher.
Menurutnya, perspektif interaksionisme simbolik lebih menonjolkan keagungan dan nilai
individu di atas segala pengaruh yang lainnya. Karena pada hakikatnya manusia dalam
dirinya memiliki esensi kebudayaan, saling berhubungan, masyarakat, dan buah pikiran. Jadi,
tiap bentuk interaksi sosial itu senantiasa dimulai dan berakhir dengan mempertimbangkan
diri manusia. Lihat dalam B. Aubrey Fisher, Teori-teori Komunikasi, terj. Soejono Trimo
(Bandung: Remadja Karya, 1986), h. 231.

[12] Lihat dalam Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif …, h. 70.

[13] Ibid., h. 70.

[14] Ibid., h. 71.

[15] Ibid., h. 71-73.


[16] Penyimpangan perilaku (deviance) dapat diartikan setiap bentuk perilaku yang
dinyatakan sebagai suatu pelanggaran terhadap norma-norma kelompok atau masyarakat.
Becker menerangkan bahwa sebenarnya penyimpangan perilaku bukanlah kualitas dari suatu
tindakan yang dilakukan orang, melainkan konsekuensi dari adanya peraturan dan penerapan
sangsi yang dilakukan oleh orang lain terhadap pelaku tindakan tersebut. Lihat dalam Paul B.
Horton & Chester L. Hunt, Sosiologi, terj. Aminuddin Ram & Tita Sobari, Edisi 6, Cet. 3
(Jakarta: Erlangga, 1993), h. 191.

[17] Menurut kamus Webster, dramaturgi berarti seni atau tehnik dari komposisi dramatis dan
representasi teatrikal. Analisa dramaturgi secara garis besar berkepentingan utama untuk
mendeskripsikan kehidupan sosial sehari-hari sebagai “drama” dan memahami bagaimana
individu berusaha memenuhi kebutuhan sosial psikologis dibawah kondisi tersebut. Goffman,
menuturkan bahwa analisa dramaturgi terdiri dari: pertama, interaksi dan struktur sosial
mempengaruhi anggota masyarakat secara kritis dan penting. Kedua, interaksi sosial dituntun
oleh pembagian makna tertentu. Ketiga, realitas terkonstruksi secara sosial. Keempat, di masa
yang akan datang tidak akan ditemui perbaikan-perbaikan dalam masyarakat kecuali
masalah-masalah ditujukan atau difokuskan pada level individu maupun level struktural yang
diperlakukan sebagaimana masalah kita semua. Lihat dalam Yulia Sugandi, Rekonstruksi
Sosiologi Humanis Menuju Praksis, Cet. 1 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 47-49.

[18] Lihat dalam Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif …, h. 68-69.

[19] Ibid., h. 90.

Sejarah Interaksi Simbolik


Sejarah Interaksi Simbolik

Herbert Blumer dan George Herbert Mead adalah yang pertama-tama mendefinisikan teori symbolic
interactionism.

Blumer mengutarakan tentang tiga prinsip utama interaksionisme simbolik, yaitu tentang pemaknaan
(meaning), bahasa (language), dan pikiran (thought). Premis ini nantinya mengantarkan kepada
konsep ‘diri’ seseorang dan sosialisasinya kepada ‘komunitas’ yang lebih besar, masyarakat.

Blumer mengajukan premis pertama, bahwa human act toward people or things on the basis of the
meanings they assign to those people or things. Maksudnya, manusia bertindak atau bersikap
terhadap manusia yang lainnya pada dasarnya dilandasi atas pemaknaan yang mereka kenakan
kepada pihak lain tersebut.

Sebagai contoh, dalam film Kabayan, tokoh Kabayan sebenarnya akan memiliki makna yang berbeda-
beda berpulang kepada siapa atau bagaimana memandang tokoh tersebut. Ketika Kabayan pergi ke
kota besar, maka masyakat kota besar tersebut mungkin akan memaknai Kabayan sebagai orang
kampung, yang kesannya adalah norak, kampungan. Nah, interaksi antara orang kota dengan
Kabayan dilandasi pikiran seperti ini. Padahal jika di desa tempat dia tinggal, masyakarat di sana
memperlakukan Kabayan dengan cara yang berbeda, dengan perlakuan lebih yang ramah. Interaksi
ini dilandasi pemikiran bahwa Kabayan bukanlah sosok orang kampung yang norak.
Once people define a situation as real, its very real in its consequences. Pemaknaan tentang apa yang
nyata bagi kita pada hakikatnya berasal dari apa yang kita yakini sebagai kenyataan itu sendiri. Karena
kita yakin bahwa hal tersebut nyata, maka kita mempercayainya sebagai kenyataan.

Dalam contoh yang sama, ketika kita memaknai Kabayan sebagai orang yang kampungan, maka kita
menganggap pada kenyataannya Kabayan memang adalah orang yang kampungan. Begitu pula
sebaliknya.

Premis kedua Blumer adalah meaning arises out of the social interaction that people have with each
other. Pemaknaan muncul dari interaksi sosial yang dipertukarkan di antara mereka. Makna bukan
muncul atau melekat pada sesuatu atau suatu objek secara alamiah. Makna tidak bisa muncul ‘dari
sananya’. Makna berasal dari hasil proses negosiasi melalui penggunaan bahasa (language)—dalam
perspektif interaksionisme simbolik.

Di sini, Blumer menegaskan tentang pentingnya penamaan dalam proses pemaknaan. Sementara itu
Mead juga meyakini bahwa penamaan simbolik ini adalah dasar bagi masyarakat manusiawi (human
society).

Ketika kita menyebut Kabayan tadi dengan bahasa kampungan, konsekuensinya adalah kita menarik
pemaknaan dari penggunaan bahasa ‘kampungan’ tadi. Kita memperoleh pemaknaan dari proses
negosiasi bahasa tentang kata ‘kampungan’. Makna dari kata ‘kampungan’ tidaklah memiliki arti
sebelum dia mengalami negosiasi di dalam masyarakat sosial di mana simbolisasi bahasa tersebut
hidup. Makna kata kampungan tidak muncul secara sendiri, tidak muncul secara alamiah. Pemaknaan
dari suatu bahasa pada hakikatnya terkonstruksi secara sosial.
Premis ketiga Blumer adalah an individual’s interpretation of symbols is modified by his or her own
thought process. Interaksionisme simbolik menggambarkan proses berpikir sebagai perbincangan
dengan diri sendiri. Proses berpikir ini sendiri bersifat refleksif. Nah, masalahnya menurut Mead
adalah sebelum manusia bisa berpikir, kita butuh bahasa. Kita perlu untuk dapat berkomunikasi
secara simbolik. Bahasa pada dasarnya ibarat software yang dapat menggerakkan pikiran kita.

Cara bagaimana manusia berpikir banyak ditentukan oleh praktek bahasa. Bahasa sebenarnya bukan
sekedar dilihat sebagai ‘alat pertukaran pesan’ semata, tapi interaksionisme simbolik melihat posisi
bahasa lebih sebagai seperangkat ide yang dipertukarkan kepada pihak lain secara simbolik.
Komunikasi secara simbolik.

Perbedaan penggunaan bahasa pada akhirnya juga menentukan perbedaan cara berpikir manusia
tersebut. Contoh sederhana adalah cara pikir orang yang berbahasa indonesia tentunya berbeda
dengan cara pikir orang yang berbahasa jawa. Begitu pula orang yang berbahasa sunda akan berbeda
cara berpikirnya dengan orang yang berbahasa inggris, jerman, atau arab.
Akan tetapi walaupun pemaknaan suatu bahasa banyak ditentukan oleh konteks atau konstruksi
sosial, seringkali interpretasi individu sangat berperan di dalam modifikasi simbol yang kita tangkap
dalam proses berpikir. Simbolisasi dalam proses interaksi tersebut tidak secara mentah-mentah kita
terima dari dunia sosial, karena kita pada dasarnya mencernanya kembali dalam proses berpikir
sesuai dengan preferensi diri kita masing-masing.
Walaupun secara sosial kita berbagi simbol dan bahasa yang sama dalam kontek Kabayan dan kata
kampungan tadi, belum tentu dalam proses berpikir kita sama-sama menafsirkan kata Kabayan dan
kampungan dengan cara atau maksud yang sama dengan orang yang lainnya. Semuanya sedikit
banyak dipengaruhi oleh interpretasi individu dalam penafsiran simbolisasi itu sendiri.

Pemaknaan merujuk kepada bahasa. Proses berpikir merujuk kepada bahasa. Bahasa menentukan
bagaimana proses pemaknaan dan proses berpikir. Jadi, ketiganya saling terkait secara erat. Interaksi
ketiganya adalah yang menjadi kajian utama dalam perspektif interaksionisme simbolik.

Dalam tataran konsep komunikasi, maka secara sederhana dapat dilihat bahwa komunikasi
hakikatnya adalah suatu proses interaksi simbolik antara pelaku komunikasi. Terjadi pertukaran pesan
(yang pada dasarnya terdiri dari simbolisasi-simbolisasi tertentu) kepada pihak lain yang diajak
berkomunikasi tersebut. Pertukaran pesan ini tidak hanya dilihat dalam rangka transmisi pesan, tapi
juga dilihat pertukaran cara pikir, dan lebih dari itu demi tercapainya suatu proses pemaknaan.

Komunikasi adalah proses interaksi simbolik dalam bahasa tertentu dengan cara berpikir tertentu
untuk pencapaian pemaknaan tertentu pula, di mana kesemuanya terkonstruksikan secara sosial.

Mungkin kontribusi terbesar Mead terhadap bagaimana kita memahami cara kita berpikir adalah
konsepsi Mead tentang ‘seni berperan’ (take the role of the other).
Setelah kita paham tentang konsep meaning, language, dan thought saling terkait, maka kita dapat
memahami konsep Mead tentang ‘diri’ (self). Konsep diri menurut Mead sebenarnya kita melihat diri
kita lebih kepada bagaimana orang lain melihat diri kita (imagining how we look to another person).
Kaum interaksionisme simbolik melihat gambaran mental ini sebagai the looking-glass self dan
bahwa hal tersebut dikonstruksikan secara sosial.

Dalam konsepsi interaksionisme simbolik dikatakan bahwa kita cenderung menafsirkan diri kita lebih
kepada bagaimana orang-orang melihat atau menafsirkan diri kita. Kita cenderung untuk menunggu,
untuk melihat bagaimana orang lain akan memaknai diri kita, bagaimana ekspektasi orang terhadap
diri kita. Oleh karenanya konsep diri kita terutama kita bentuk sebagai upaya pemenuhan terhadap
harapan atau tafsiran orang lain tersebut kepada diri kita.

Kita acap kali mencoba memposisikan diri ke dalam orang lain, dan mencoba melihat bagaimanakah
perspektif orang tersebut ketika memandang diri kita. Kita semacam meminjam kaca mata orang lain
tersebut untuk dan dalam melihat diri kita.

Konsep diri adalah fungsi secara bahasa. Tanpa pembicaraan maka tidak akan ada konsep diri. Nah,
konsep diri ini sendiri pada nantinya terbentuk atau dikonstruksikan melalui konsep pembicaraan itu
sendiri, melalui bahasa (language).

Sebagai contoh adalah bagaimana proses komunikasi dan permainan bahasa yang terjadi dalam
hubungan antara dua orang, terutama pria dengan wanita. Ketika mereka berkomunikasi dengan
menggunakan simbolisasi bahasa SAYA dan ANDA, maka konsep diri yang terbentuk adalah “dia ingin
diri saya dalam status yang formal”. Atu misalkan simbolisasi bahasa yang dipakai adalah ELO dan
GUE maka konsep diri yang terbentuk adalah “dia ingin menganggap saya sebagai teman atau kawan
semata”. Dan tentunya akan sangat berbeda jika simbolisasi yang digunakan adalah kata AKU dan
KAMU, maka konsep diri yang lebih mungkin adalah “dia ingin saya dalam status yang lebih personal,
yang lebih akrab” atau lebih merujuk kepada konsep diri bahwa “kita sudah jadian atau pacaran”.
Misalkan. Jadi, dalam suatu proses komunikasi, simbolisasi bahasa yang digunakan akan sangat
berpengaruh kepada bagaimana konsepdiri yang nantinya akan terbentuk.

Lebih luas lagi pada dasarnya pola komunikasi ataupun pola interaksi manusia memang bersifat
demikian. Artinya, lebih kepada proses negosiasi dan transaksional baik itu antar dua individu yang
terlibat dalam proses komunikasi maupun lebih luas lagi bagaimana konstruksi sosial mempengaruhi
proses komunikasi itu sendiri. Teori interaksionisme simbolik mendeskripsikan hal ini secara
gamblang.

Daftar Pustaka:
Griffin, Emory A., A First Look at Communication Theory, 5th edition, New York: McGraw-Hill, 2003

INTERAKSIONISME SIMBOLIK

Pada dasarnya teori interaksi simbolik berakar dan berfokus pada hakekat manusia yang adalah
makhluk relasional. Setiap individu pasti terlibat relasi dengan sesamanya. Tidaklah mengherankan
bila kemudian teori interaksi simbolik segera mengedepan bila dibandingkan dengan teori-teori
sosial lainnya. Alasannya ialah diri manusia muncul dalam dan melalui interaksi dengan yang di luar
dirinya. Interaksi itu sendiri membutuhkan simbol-simbol tertentu. Simbol itu biasanya disepakati
bersama dalam skala kecil pun skala besar. Simbol-misalnya bahasa, tulisan dan simbol lainnya yang
dipakai-bersifat dinamis dan unik.
Keunikan dan dinamika simbol dalam proses interaksi sosial menuntut manusia harus lebih kritis,
peka, aktif dan kreatif dalam menginterpretasikan simbol-simbol yang muncul dalam interaksi sosial.
Penafsiran yang tepat atas simbol tersebut turut menentukan arah perkembangan manusia dan
lingkungan. Sebaliknya, penafsiran yang keliru atas simbol dapat menjadi petaka bagi hidup manusia
dan lingkungannya.
Faktor-faktor Penting
Keterbukaan individu dalam mengungkapkan diri-nya merupakan hal yang tidak dapat diabaikan
dalam interaksi simbolik. Hal-hal lainnya yang juga perlu diperhatikan ialah pemakaian simbol yang
baik dan benar sehingga tidak menimbulkan kerancuan interpretasi. Setiap subyek mesti
memperlakukan individu lainnya sebagai subyek dan bukan obyek. Segala bentuk apriori mesti
dihindari dalam menginterpretasikan simbol yang ada. Ini penting supaya unsur subyektif dapat
diminimalisir sejauh mungkin. Pada akhirnya interaksi melalui simbol yang baik, benar dan dipahami
secara utuh akan membidani lahirnya berbagai kebaikan dalam hidup manusia.

TEORI TENTANG INTERAKSI SIMBOLIK, STRUKTURASI


INTERAKSIONISME SIMBOLIK
Awal perkembangan interaksionisme simbolik dapat dibagi menjadi dua aliran / mahzab yaitu aliran /
mahzab Chicago, yang dipelopori oleh oleh Herbert Blumer, melanjutkan penelitian yang dilakukan
George Herbert Mead. Blumer meyakini bahwa studi manusia tidak bisa diselenggarakan di dalam
cara yang sama dari ketika studi tentang benda mati. Peneliti perlu mencoba empati dengan pokok
materi, masuk pengalaman nya, dan usaha untuk memahami nilai dari tiap orang. Blumer dan
pengikut nya menghindarkan kwantitatif dan pendekatan ilmiah dan menekankan riwayat hidup,
autobiografi, studi kasus, buku harian, surat, dan nondirective interviews. Blumer terutama sekali
menekankan pentingnya pengamatan peserta di dalam studi komunikasi. Lebih lanjut, tradisi Chicago
melihat orang-orang sebagai kreatif, inovatif, dalam situasi yang tak dapat diramalkan. masyarakat
dan diri dipandang sebagai proses, yang bukan struktur untuk membekukan proses adalah untuk
menghilangkan inti sari hubungan sosial.
Tradisi yang kedua , aliran / mahzab Iowa mengambil lebih dari satu pendekatan ilmiah. Manford
Kuhn dan Carl Dipan, para pemimpin nya, percaya konsep interactionist itu bisa diterapkan.
Walaupun Kuhn menerima ajaran dasar interaksionalisme simbolik, ia berargumentasi bahwa
metoda sasaran jadilah lebih penuh keberhasilan dibanding " yang lembut" metoda yang
dipekerjakan oleh Blumer. Salah satu karya Kuhn adalah suatu teknik pengukuran yang terkenal
dengan sebutan Twenty Statement Test.
Hari ini, menurut interactionism Bagus, simbolik telah menyatukan studi bagaimana, kelompok
mengkoordinir tindakan mereka, bagaimana emosi dipahami dan dikendalikan, bagaimana kenyataan
dibangun, bagaimana diri diciptakan, bagaimana struktur sosial besar mendapatkan dibentuk dan
bagaimana kebijakan publik dapat dipengaruhi.
Di dalam bab ini kita berkonsentrasi pada interactionism simbolik klasik, gagasan dasar dari
perkembangan, dan perluasan yang teoritis yang paling dikenali di dalam bidang komunikasi.

Aliran Chicago (Chicago School)


George Herbert Mead pada umumnya dipandang sebagai pemula utama dari pergerakan, dan
pekerjaan nya [yang] pasti membentuk inti dari Aliran Chicago.
Herbert Blumer, Mead merupakan pemikir terkemuka, menemukan istilah interaksionlisme simbolik,
suatu ungkapan Mead sendiri tidak pernah menggunakan. Blumer mengacu pada label ini sebagai “
suatu sedikit banyaknya pembentukan kata baru liar yang di dalam suatu jalan tanpa persiapan. Ke
tiga konsep utama di dalam Teori Mead, menangkap di dalam jabatan pekerjaan terbaik yang
dikenalnya, adalah masyarakat, diri, dan pikiran. Kategori ini adalah aspek yang berbeda menyangkut
proses umum yang sama, sosial anda bertindak. Tindakan sosial adalah suatu sumbu konsep payung
yang mana hampir semua psikologis lain dan proses sosial jatuh. Tindakan adalah suatu unit yang
lengkap melakukan itu tidak bisa dianalisa ke dalam spesifik sub bagian. Suatu tindakan andangkin
sederhana dan singkat, seperti ikatan suatu sepatu, atau andangkin saja merindukan dan
mempersulit, seperti pemenuhan suatu rencana hidup. Tindakan berhubungan dengan satu sama
lain dan dibangun ujung sepanjang umur hidup. Tindakan andalai dengan suatu dorongan hati;
mereka melibatkan tugas dan persepsi maksud, latihan mental, dengan alternatif berat, dan
penyempurnaan.
Dalam format paling dasar nya , suatu tindakan sosial melibatkan tiga satuan hubungan bagian: suatu
awal mengisyaratkan dari seseorang, suatu tanggapan untuk isyarat itu oleh yang lain dan suatu hasil.
Hasil menjadi maksud komunikator untuk tindakan. Maksud berada di dalam hubungan yang triadic
dari semuanya.
Hubungan umur dapat meresap, memperluas dan menghubungkan sampai jaringan diperumit. Para
aktor jauh diperhubungkan akhirnya di dalam jalan berbeda, tetapi kontroversi ke pemikiran populer,
“ suatu jaringan atau suatu institusi tidak berfungsi secara otomatis oleh karena beberapa kebutuhan
sistem atau dinamika bagian dalam: berfungsi sebab orang-orang pada poin-poin berbeda lakukan
sesuatu yang, dan apa yang mereka lakukan adalah suatu hasil bagaimana mereka menggambarkan
situasi di mana mereka disebut ke atas tindakan." Dengan ini gagasan untuk sosial bertindak dalam
pikiran, kemudian, mari kita lihat lebih lekat di segi yang pertama dari analisa masyarakat Meadian.
Pertimbangkan sistem hukum di Amerika Serikat sebagai suatu contoh. Hukum tak lain hanya
interaksi antar hakim, dewan juri, pengacara, para saksi, juru tulis, wartawan, dan orang yang lain
menggunakan bahasa untuk saling berhubungan dengan satu dengan yang lain. Hukum tidak punya
maksud terlepas dari penafsiran dari tindakan dilibatkan itu semua di dalamnya. kaleng Yang sama
dikatakan untuk aliran / mahzab, gereja, pemerintah, industri, dan segmen masyarakat lain. Saling
mempengaruhi ini antara menjawab ke orang yang lain dan menjawab ke diri adalah suatu konsep
penting di dalam teori Mead, dan menyediakan suatu yang baik transisi kepada konsep detik - diri."
nya
Diri mempunyai dua segi, masing-masing melayani suatu fungsi penting. Menjadi bagian dari yang
menuruti kata hati, tak tersusun, tidak diarahkan, tak dapat diramalkan anda.
Bagi Blumer, object terdiri dari tiga fisik tipe(barang), sosial ( orang-orang), dan abstrak ( gagasan).
Orang-Orang menggambarkan object yang dengan cara yang berbeda, tergantung pada bagaimana
mereka biarkan ke arah object itu. Suatu polisi boleh berarti satu hal kepada penduduk dari suatu
bagian tertua suatu kota tempat tinggal minoritas dan kepada hal lain. habitat suatu wilayah hunian
indah; interaksi yang berbeda di antara penduduk dua masyarakat yang berbeda ini akan
menentukan maksud yang berbeda pula.
Suatu studi yang mempesona, tentang penggunaan ganja ini oleh Howard Becker menggambarkan
konsep objek sosial baik sekali. Isyarat menemukan bahwa para pemakai belajar sedikitnya tiga hal
melalui interaksi dengan para pemakai lain. Yang pertama akan merokoknya dengan baik. Hampir
semua Isyarat orang yang dipertemukan dengan dikatakan yang mereka mempunyai gangguan
menjadi tinggi pada andalanya sampai orang yang lain menunjukkan mereka bagaimana cara
melakukan itu. Ke dua, perokok harus belajar untuk menggambarkan sensasi yang diproduksi oleh
racun sebagai “ hal yang tinggi." Dengan kata lain, individu belajar untuk membeda-bedakan efek
ganja dan untuk menghubungankannya dengan merokok. Isyarat mengakui bahwa asosiasi ini tidak
terjadi secara otomatis dan harus dipelajari_ melalui interaksi sosial dengan para pemakai lain.
Sesungguhnya, beberapa pemakai berpengalaman melaporkan orang yang baru bahwa hali itu tentu
saja memabukan dan tidak mengetahuinya sampai mereka diajar untuk mengidentifikasi perasaan
itu. Akhirnya, para pemakai harus belajar untuk menggambarkan efek yang diinginkan dan
menyenangkan. Lagi, ini tidaklah otomatis; banyak pemula tidak menemukan efek yang
menyenangkan sama sekali sampai mereka lingkungan mereka menceritakan kepada mereka perlu
mempertimbangkannya.
Di sini, kita melihat ganja itu adalah suatu obyek sosial. Maksudnya diciptakan sedang dalam proses
interaksi. Bagaimana orang-orang memikirkan obat ( pikiran)yang ditentukan oleh maksud itu, dan,
pengambil-alihan kelompok masyarakat adalah juga suatu produk interaksi. Walaupun Isyarat tidak
melaporkan informasi tentang self-concept yang secara rinci, adalah andadah untuk melihat bahwa
bagian dari diri boleh juga digambarkan dalam kaitan dengan interaksi di dalam ganja masyarakat
merokok.

Aliran Iowa
Manford Kuhn dan para siswa nya, walaupun mereka memelihara dasar prinsip interactionis, tidak
mengambil dua langkah-langkah baru sebelumnya melihat di teori yang konservatif. Yang pertama
akan membuat konsep diri lebih nyata, yang kedua, buatan yang andangkin pertama, menjadi
penggunaan dari riset kwantitatif. Di dalam yang area belakangan ini, aliran / mahzab Iowa dan
Chicago memisahkan perusahaan. Blumer betul-betul mengkritik kecenderungan dalam ilmu perilaku
manusia untuk menerapkan; Kuhn membangun suatu titik ke lakukan yang terbaru! Sebagai hasilnya
pekerjaan Kuhn beralih lebih ke arah analisa mikroskopik dibanding mengerjakan pendekatan
Chicago yang tradisional.
Seperti Mead dan Blumer, Kuhn mendiskusikan pentingnya object di dalam dunia aktor. Obyek dapat
manapun mengarah pada kenyataan orang: suatu hal, suatu andatu, suatu peristiwa, atau suatu
kondisi. Satu-Satunya kebutuhan untuk sesuatu yang untuk menjadi suatu obyek adalah bahwa orang
menyebut itu, menghadirkannya secara simbolik. Kenyataan untuk orang-orang menjadi keseluruhan
dari object sosial mereka, yang mana selalu secara sosial digambarkan.
Suatu konsep detik bagi Kuhn menjadi rencana kegiatan, seseorang pola total teladan perilaku ke
arah obyek ditentukan. Sikap, atau statemen lisan yang menandai adanya nilai-nilai ke arah tindakan
yang mana akan menjadi diarahkan, dan memandu rencana itu. Sebab sikap adalah statemen lisan,
mereka juga dapat mengamati dan mengukur. Apabila seseorang akan ke perguruan tinggi
melibatkan suatu rencana kegiatan, yang benar-benar rencana besar, memandu dengan satu set
sikap tentang apa yang anda ingin lepas dari perguruan tinggi. anda andangkin dipandu, untuk
sebagai contoh, dengan sikap positif ke arah uang, dan sukes pribadi.
Sepertiga konsep bagi Kuhn menjadi wawancara lainnya, seseorang yang telah seara khusus
berpengaruh di dalam hidup satu orang. Istilah ini penting khususnya yang bersinonim lainnya,
seperti digunakan oleh Mead. Individu ini memiliki empat kualitas. Pertama, mereka adalah orang-
orang untuk siapa individu secara emosional dan secara psikologis dilakukan. Ke dua, mereka adalah
menyediakan orang dengan kosa kata umum, pusat konsep, dan kategori. Ketiga, mereka
menyediakan individu dengan pembedaan dasar antara orang lain dan diri pribadi, mencakup yang
merasa peranperbedaan. Keempat, orang lain melakukan komunikasi wawancara yang secara terus
menerus menopang self-concept individu itu. wawancara Orang lain andangkin adalah di dalam saat
ini atau masa lampau; mereka andangkin menyajikan atau absen. gagasan Yang penting di belakang
konsep adalah bahwa individu ingin bertemu dunia melalui interaksi dengan orang yang lain tertentu
yang sudah menyentuh hidup seseorang di dalam jalan penting.
Akhirnya, kita datang ke consep Kuhn yang paling utama tentang diri. Metoda Kuhns meliputi teori di
sekitar diri, dan itu ada di area Ini yang Kuhn paling secara dramatis meluas ke interactionis simbolik.
Self-Conception, rencana kegiatan individu ke arah diri, terdiri dari identitas seseorang, kebencian
dan minat, tujuan, ideologi, dan evaluasi diri. Seperti (itu) self-conceptions adalah sikap
penjangkaran, karena mereka bertindak sebagai kerangka acuan seseorang yang paling umum untuk
menghakimi object lain. Semua rencana kegiatan yang berikut bersumber terutama semata dari self-
concept itu.
Kuhn mengenalkan untuk suatu teknik mengenal sebagai Twenty Statemen Self-Attitudes ( TST)
untuk mengukur berbagai aspek menyangkut diri. Jika anda akan mengambil TST yang anda akan
dihadapkan dengan duapuluh ruang kosong yang didahului oleh instruksi sederhana sebagai berikut :
Jawablah seolah-olah anda sedang memberi jawaban untuk dirimu sendiri, tidak untuk orang lain.
Jawablah agar mereka dapat masuk dalam pikiranmu. Jangan cemas tentang logika atau " arti
penting." Bersama-Sama wajar dengan cepat, karena waktu terbatas.
Ada beberapa cara untuk meneliti tanggapan dari test ini, masing-masing pencabangan adalah suatu
aspec yang berbeda menyangkut diri itu sendiri. Dua hal tersebut adalah variabel pemesanan dan
variabel tempat. Variabel pemesanan menjadi sanak keluarga itu salience identifikasi adalah individu
memiliki. Adalah tampak di dalam statemen mendaftar pada atas format itu. Sebagai contoh, jika
daftar orang " Baptis" sebagian besar lebih tinggi dibanding “ menjadi ayah”, peneliti boleh
menyimpulkan bahwa orang yang mengidentifikasi lebih siap dengan keanggotaan religius dibanding
dengan keanggotaan keluarga. Variabel Tempat menjadi tingkat dimana pokok materi umumnya
cenderung ke sama dengan consensual yang menggolongkan seperti " Amerika" dibanding/bukannya
idiosyncratic, kualitas hubungan seperti " kuat"
Di dalam membuat nilai dari test sikap diri, anda dapat menempatkan statemen di dalam salah satu
dari dua kategori. Suatu statemen adalah consensual jika itu terdiri dari suatu identifikasi kelas atau
kelompok terpisah, seperti siswa, perempuan, suami, Baptis, dari Chicago, pramahasiswa kedokteran
siswa putri, anak paling tua, siswa rancang-bangun. Statemen lain bukanlah uraian dari yang biasanya
disetujui pada kategori diatas. Contoh sub consensual tanggapan bahagia, bosan, cantik, yang baik
siswa, yang terlalu berat/lebat, istri yang baik , menarik. Banyaknya statemen di dalam consensual
kelompok menjadi focus penilaian individu.

Teori strukturasi
Secara umum, interaksionisme simbolik memusatkan pada proses mikro, atau interaksi aktual yang
terjadi antara orang per- orang melalui level kemungkinan terendah. Mereka membuat kasus yang
mana proses mikro menciptakan struktur makro pada masyarakat, tetapi mereka tidak memerinci ide
ini dengan baik, dan secara umum mereka juga mengakui dampakmyang berlawanan. Pengaruh
struktur makro pada proses mikro. Teori strukturasi didesain sebagai penjelasan yang lebih komplit
dari hubungan mikro dan makro.
Teori strukturasi, menurut gagasan sosiologis, Anthony gidden dan pengikutnya adalah teori umum
dari aksi sosial.Theori ini menyatakan bahwa manusia adalah proses mengambilkan dan meniru
beragam sistem sosial. Komunikator bertindak secara strategis berdasarkan pada peraturan untuk
meraih tujuan mereka dan oleh sebab itu menciptakan struktur yang kembali untuk mempengaruhi
aksi selanjutnya. Struktur mirip dengan hubungan pengharapan, peran grup dan norma-norma,
jaringan komunikasi dan institusi kemasyarakatan keduanya berpengaruh dan dipengaruhi oleh aksi
sosial. Struktur ini menyediakan setiap individu-individu denagn peraturan yang membimbing
tindakan mereka, tetapi tindakan bertujuan membuat peraturan baru dan meniru pendahulunya.
Ellis menyebut interaksi dan struktur sosial sebagai “braided entities”.
Gidden menyelesaikan debat antara kedua oarang yang menyatakan / berpegang bahwa tindakan
manusia disebabkan oleh dorongan luar/eksternal dengan mereka yang menganjurkan tentang
tujuan dari tindakan manusia. Gidden mengklaim kedua sisi tersebut dalam perselisihan ini adalah
benar sebab kehidupan sosial adalah dua sisi mata uang. Kita melakukan sebuah tindakan secara
sengaja untuk menyelesaikan tujuan-tujuan kita, pada saat yang sama, tindakan kita memiliki “
unintended consequenses” (konsekuensi yang tidak disengaja) dari penetapan struktur yang
berdampak pada tindakan kita selanjutnya. Ketika kita melakukan suatu hal tertentu untuk mencapai
tujuan kita, kita tidak sadar akan dampak-dampak dari tindakan dan konsekuensi strukturnya.
Gidden yakin bahwa strukturasi selalu meliputi 3 modalitas utama atau dimensi. Di antaranya adalah
(1) penterjemahan (interpretasi), apa yang harus dilakukan (moralitas), dan bagaimana mendapatkan
sesuatu dengan tepat (kekuasaan). Dalam hal ini, tindakan kita memperkuat dari struktur
pemahaman, moralitas, dan tindakan.
Bayangkan sebuah kelompok yang telah dibentuk struktur dimana setiap orang di dalamnya
diharapkan untuk berbicara dalam beragam topik. Seperti semua strukturasi, hal ini tidaklah
direncanakan tetapi andancul sebagai konsekuensi yang tidak bermaksud dari tindakan yang
bermaksud baik dari anggota pada sisa waktu. Pada skenario ini, norma interpretasi kadang muncul,
yang mana sebuah grup memaknai sebagaimana layaknya seorang yang egaliter. Hal ini dianggap
pantas unutk setiap orang untuk mengarahkan setiap asu dan tidak meninggalkan ketenangan pada
satu subyekpun. Dan kekuatan/kekuasaan diakui untuk berbicara, sebagaimana individu
menggunakan bahasa unutk saling mempengaruhi.
Pada praktek yang sesungguhnya, tingkah laku anda kadang-kadang dipengaruhi oleh struktur tinggal
seperti peran “merapikan” atau menonjolkan norma yang digunakan sebagi contoh di atas. Agaknya,
tindakan anda dipengaruhi oleh dan mempengaruhi beberapa elemen struktur yang berbeda pada
waktu yang sama. Dua hal bisa terjadi.
Yang pertama, satu struktur bisa menengahi, yang lain, sebaliknya, produksi dari satu struktur
dilengkapi dengan memproduksi yang lain. Sebagai contoh, kelompok kadang mungkin menghasilakn
jaringan komunikasi. Tetapi hal ini dilakukan dengan menetapkan peran individu. Di sini, peran
struktur memerlukan penegakan struktur yang lain yang tidak dapat ditentukan mana yang pertama.
Hal ini adalah permasalahan paradoks klasik. Pertentangan memicu konflik, dan melalui, dialek dan
ketegangan antara elemen yang bertentangan, perubahan sistem dihasilkan.

Diterjemahkan dan dirangkum dari Stephen W. Littlejohn (1995). Theories of Human Communication,
5th Edition. Belmont, Wadsworth Publishing Company

Posted by adi sulhardi at 01:33

Anda mungkin juga menyukai