Semiotika adalah ilmu tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja. Tradisi semiotik
terdiri atas sekumpulan teori tentang bagaimana tanda-tanda memrepresentasikan benda, ide,
keadaan, situasi, perasaan, kondisi diluar tanda – tanda itu sendiri.
c) Fenomenologi Hermeneutik
Aliran ini selalu dihubungkan dengan Martin Heidegger dengan landasan filosofis yang juga
biasa disebut dengan Hermeneutic of dasein yang berarti suatu “interpretasi untuk menjadi”.
Yang paling utama bagi Heidegger adalah pengalaman tak dapat terjadi dengan hanya
memperhatikan dunia. Menurut Heidegger pengalaman sesuatu tak dapat diketahui melalui
analisa yang mendalam melainkan pengalaman seseorang yang mana diciptakan dengan
penggunaan bahasa dalam keseharian. Apa yang nyata dan apa yang sekedar pengalaman melalui
penggunaan bahasa.
Meski fenomenologi adalah sebuah filosofi yang mengagumkan, pada dasarnya
menunjukkan analisis terhadap kehidupan sehari-hari. Titik berat tradisi fenomenologi adalah
pada bagaimana individu mempersepsi serta memberikan interpretasi pada pengalaman
subyektifnya. Menurut Littlejohn, interpretasi merupakan proses aktif pikiran dan tindakan
kreatif dalam mengklarifikasi pengalaman pribadi. Bagi seorang fenomenologis, cerita
kehidupan seseorang lebih penting daripada axioma-axioma komunikasi.
Jadi perhatian penting dalam tradisi ini antara lain perihal pernyataan, pendapat(opini), sikap,
persepsi, kognisi, interaksi dan efek (pengaruh).
5. Tradisi sosiokultural
A. Apa itu Sosiokultural
Tradisi sosial budaya berangkat dari kajian antropologi. Bahwa komunikasi berlangsung
dalam kontek budaya tertentu karenanya komunikasi dipengaruhi dan mempengaruhi
kebudayaan suatu masyarakat. Konsep kebudayaan yang dirumuskan Clifford Geertz tentu saja
menjadi penting. Media massa, atau individu ketika melakukan aktivitas komunikasi ikut
ditentukan faktor-faktor situasional tertentu
6. Tradisi Kritis
A. Apa itu Kritis
Tradisi ini dapat menjelaskan baik lingkup komunikasi antar personal maupun komunikasi
bermedia. Komunikasi dalam tradisi ini diharapkan dapat berperan sebagai alat transformasi
masyarakat.
7. Tradisi Retorika
A. Apa itu Retorika
Menurut Aristoteles, retorika adalah seni membujuk atau the art of persuation (M. Djen
Amar, 1986, hlm. 11). Sunarjo (1983) mendefinisikan retorika sebagai suatu komunikasi di
mana komunikator berhadapan langsung dengan massa atau berhadapan dengan komunikan
(audience) dalam bentuk jamak. Aristoteles berpendapat bahwa retorika itu sendiri sebenarnya
bersifat netral. Maksudnya adalah orator itu sendiri bisa memiliki tujuan yang mulia atau justru
hanya menyebarkan omongan yang tidak sesuai atau bahkan dusta belaka. Menurutnya, “…by
using these justly one would do the greatest good, and unjustly, the greatest harm” .
Rethoric, salah satu karya terbesar Aristoteles, banyak dilihat sebagai studi tentang psikologi
khalayak yang sangat bagus. Aristoteles dinilai mampu membawa retorika menjadi sebuah ilmu,
dengan cara secara sistematis menyelidiki efek dari pembicara, orasi, serta audiensnya. Orator
sendiri dilihat oleh Aristoteles sebagai orang yang menggunakan pengetahuannya sebagai seni.
Jadi, orasi atau retorika adalah seni berorasi.
1) Era Klasik
Didominasi oleh aliran seni dalam berbicara, kaum sophist sebagai pelopor aliran ini berkeliling
mengajarkan retorika tentang bagaimana berargumen dan memenangkan sebuah kasus pada
masa awal di mana retorika baru diperkenalkan. Plato sangat tidak menyukai aliran sophist ini
dan menjuluki kaum sophis ini karena mereka berorientasi bagaimana menang dalam berdebat
karena menurut plato yang nota bene beraliran filosof bahwa retorika digunakan untuk alat
berdialog untuk mencapai kebenaran yang absolute.
2) Abad Pertengahan
study tentang retorika berfokus pada pengaturan gaya, namun Retorika pada abad pertengahan
dicela sebab dianggap sebagai ilmu kaum penyembah berhala dan tidak perlu dipelajari sebab
agama Kristen dapat memperlihatkan kebenarannya dengan sendiri. Pada abad ini bisa dikata
sebagai the end of retorika. Sebelum agustine seorang guru retorika mengatakan dalam buku
doktrin Kristen bahwa retorika dibutuhkan bagi seorang pendeta untuk dapat menerangkan
retorika dan menyenangkan umatnya.
3) Renaissance
Masa ini dianggap sebagai kelahiran kembali retorika sebagai suatu seni. Para sarjana humanis
member perhatian dan concern pada semua aspek untuk kemanusiaan, penelitian kembali text-
text retorika klasik dalam rangka memahami manusia.
4) Abad Pencerahan
Selama masa ini para pemikir seperti Rene Descartes dalam rangka menentukan apa yang bisa
disebut sebagai suatu yang absolute dan objective pada pikiran manusia. Francis Bacon
mengatakan retorika menggerakkan imajinasi pada pergerakan yang lebih baik. Logika atau
pengetahuan merupakan bagian dari bahasa , dan retorika menjadi sarana untuk mengetahui
suatu atau menyampaikan suatu kebenaran. Hal ini menjadikan retorika kembali menjadi citra
yang baik seperti saat ini.
5) Pada masa Retorika kontemporer
Diringi dengan tumbuhnya minat retorika seperti jumlah dan macam symbol meningkat. Apalagi
dengan kehadiran media massa maka penyampaian pesan disampaiakn secara visual dan verbal.
6) Retorika Postmodern
Tidak lagi berpaku pada gaya retorika yang dikembangkan oleh barat dia menyesuaikan retorika
sesuai dengan budaya tempat di mana pesan disampaikan. Aliran ini merupakan alternative yang
dimulai dari asumsi yang berbeda, nilai nilai acuan yang berbeda, untuk menghasilkan suatu
retorika yang berbeda pula.
4 SOCIAL GRAND THEORY
1. GLOBALIZATION (M.MCLUHAN)
Marshall McLuhan merupakan teoritisi yang paling berpengaruh dalam kajian mengenai
pentingnya media dalam peradaban kehidupan manusia. Ia dikenal secara luasa dalam studi
kebudayaan populer (popular culture), selain itu ia mendapat perhatian karena pemikiran-
pemikirannya brilian mengenai kemajuan komunikasi massa kontemporer. Meskipun
keistemewaan teori yang diutarakan oleh McLuhan dalam kajian komununikasi massa
dewasa ini tidak lagi menjadi acuan, tesis yang dikemukakannya umumnya telah mendapat
pengakuan yang sangat luas serta masih relevan digunakan sebagai alat analisis dalam
memahami komunikasi massa. Menurutnya media terpisah dari apapun kandungan yang
disebarkan, mempengaruhi individu-individu dalam masyarakat, atau yang kemudian lazim
dinamakan sebagai teori medium (Littlejohn, 1996 : 326).
McLuhan bukanlah peneliti komunikasi massa yang pertama menulis tentang pemikiran ini.
Malahan, ide-idenya yang saat ini banyak dirujuk dalam kajian komunikasi massa, sangat
dipengaruhi oleh pemikiran dari Harold Adams Innis. Innis menyatakan bahwa media
komunikasi adalah intisari dari peradaban dan bahwa jalannya roda sejarah adalah diarahkan
oleh media dominan pada tiap masa (Littlejohn, 1996 : 326). Sebelum muncul MTV
misalnya, para artis yang ingin tenar di seluruh jagad hanya cukup membuat rekaman, tampil
di konser dan sering muncul di pemberitaan, namun setelah MTV semakin menglobal, para
artis harus membuat video klip yang diputar terus menerus di MTV agar menjadi terkenal.
Tanpa menjadi bagian MTV mustahil rasanya untuk dapat meraih ketenaran.
Bagi McLuhan dan Innis, media adalah perpanjangan dari pikiran manusia, sehingga
kepentingan utama dari periode sejarah manapun ditentukan oleh media dominan yang
digunakan. Dengan kata lain, apa yang terjadi dan apa yang mungkin berpengaruh dalam
periode sejarah ditentukan oleh media (Littlejohn, 1996 : 326). Media dianalogikan sebagai
berikut : berat seperti gerabah, liat ataupun batu adalah berlanjut dan maka dari itu terikat
waktu. Karena mereka memfasilitasi komunikasi dari satu generasi ke generasi lainnya,
media ini dipengaruhi oleh tradisi. Sebaliknya, media terikat tempat seperti kertas adalah
ringan dan mudah untuk dipindahkan, sehingga media mampu memfasilitasi komunikasi dari
satu tempat ke tempat lain.
Sebelum mesin cetak ditemukan oleh Johannes Guttenberg di abad pertengahan, masyarakat
lebih menekankan pada komunikasi yang berorientasi pada indra pendengaran, yang dekat
secara emosional dan interpersonal. Bagi masyarakat suku-suku tradisional prinsip
“mendengar adalah mempercayai” lebih ditekankan dalam kehidupan mereka. Namun
penemuan mesin cetak mengubah semua itu. Abad Gutenberg membawa rasio pemikiran,
yang didominasi oleh indra penglihatan. Timbulnya percetakan, yang terutama terjadi secara
massif dalam khasanah budaya Barat, memaksa individu untuki lebih menekankan kepada
persepsi yang sifatnya linier, logis, kategoris bukan lagi emosional dan interpersonal.
Teknologi elektronika telah membawa kembali suatu dominasi aural atau pendengaran.
Teknologi percetakan Gutenberg menciptakan ledakan dalam masyarakat, memisahkan dan
mensegmentasi individu dari masyarakat, namun abad elektronik telah membuat penyatuan
kembali, menyatukan dunia kembali satu dalam “perkampungan global”. Hasilnya,
“teknologi komunikasi baru memaksa kita untuk meninjau ulang dan mengevaluasi ulang
semua pemikiran, semua tindakan, dan semua lembaga yang sebelumnya diabaikan. Jika
kalau McLuhan saat ini masih hidup, apakah yang mungkin dapat ia katakan tentang internet
yang saat ini menggurita baik di perkantoran, kampus, rumah pribadi ataupun warnet ?
Donald Ellis membuat suatu ringkasan dari berbagai pandangan mengenai teori medium dan
serempak ia juga membuat satu proposisi menarik yang mampu mewakili cara pandang
kontemporer mengenai subjek kajian ini. Dengan mengamini Innis dan McLuhan, Ellis
menyatakan bahwa keberadaan media dominan pada waktu tertentu akan membentuk
perilaku dan pemikiran masyarakat bersangkutan. Sejalan dengan berubahnya media, begitu
juga cara kita berpikir, mengolah informasi, dan menghubungkan satu dengan yang lain. Ada
perbedaan yang tajam dalam perubahan sosial dalam masyarakat yang disebabkan oleh
bagaimana masyarakat memilih cara komunikasi tertentu melalui media oral, tertulis atau
elektronik.
Komunikasi oral yang bersifat verbal memiliki keunikan yaitu sangat mengesankan dan
organik. Pesan oral secara cepat dan berlangsung singkat, sehingga individu-individu dan
kelompok harus menyimpan informasi di alam pikiran mereka dan meneruskannya melalui
pembicaraan. Karena pengalaman sehari-hari tidak dapat benar-benar dipisahkan dari
transmisi media oral, kehidupan dan pengetahuan tidak dapat dipisahkan. Penceritaan dan
penceritaan kembali cerita naratif bebas terhadap waktu sebagai suatu bentuk komunikasi
memerlukan memori kelompok sebagai “penyimpan” pengetahuan masyarakat. Ini dapat
membawa kepada kesadaran kolektif dimana pembedaan yang kecil dibuat antara diri sendiri
dan kelompok. Pengidentitasan kelompok dan keterikatan menjadi tinggi ketika media oral
mendominasi.
Perubahan besar gelombang ketiga terjadi ketika media elektronik berhasil ditemukan dan
dikembangkan secara revolusioner. Perubahan besar ini dapat diuraikan sebagai berikut,
media elektronik adalah sesuatu yang seperti oralitas di mana ia juga cepat dan berlangsung
singkat, namun ia tidak terikat pada tempat khusus karena ia dapat disiarkan. Inilah yang
selanjutnya menjadi keunikan media elektronik karena media ini mampu memadukan
komunikasi oral dan komunikasi tulisan. Media elektronik memperpanjang persepsi kita
melebihi tempat kita pada waktu tertentu, menciptakan “perkampungan global” (global
village). Pada waktu yang sama, seperti media cetak, media elektronik memungkinkan
penyimpanan informasi. Karena ia lebih siap pakai daripada media cetak, media elektronik
menciptakan ledakan informasi, dan kompetisi yang sangat besar terjadi antar berbagai media
untuk didengar dan dilihat. Informasi dalam media elektronik adalah solid seperti komoditas,
yang menciptakan tekanan pada informasi agar menarik. Pengetahuan dalam abad media
elektronik berubah sangat cepat, dan kita, terutama yang menjadi public figure, menjadi
semakin waspada terhadap beragam versi yang berbeda dari suatu realitas tertentu.
Perubahan yang konstan yang diciptakan dari media elektronik dapat membuat kita menjadi
bingung dan mungkin tidak tenang. Berita artis ditayangan infotainment yang banyak
disiarkan oleh berbagai stasiun televisi di Indonesia dapat menunjukan fenomena ini. Para
artis yang diliput di acara infotainment saling menyangkal isu miring yang menerpa mereka,
bahkan mereka pun kemudian merasa privasi mereka terganggu oleh kru infotainment yang
memburunya, seperti yang terjadi pada Parto, seorang anggota grup lawak terkenal Patrio,
yang menembakan pistol ke udara karena merasa terganggu oleh kru infotainemt di bulan
Agustus tahun 2004.
Jika oralitas menciptakan suatu kebudayaan komunitas dan peradaban tulisan menciptakan
kebudayaan kelas, maka komunikasi elektronik menciptakan suatu kebudayaan “sel,” atau
kelompok-kelompok yang saling diadu untuk meningkatkan ketertarikan khusus mereka.
Suatu bentuk publik baru yang tidak terikat tempat tercipta. Politik kepentingan
mendominasi, dan demokrasi, bersama dengan nilai-nilai kesopanan dari pengikutnya,
menganggap sesuatu yang penting sebagai suatu cara untuk mengolah perbedaan. Tapi,
ironisnya, kompetisi dan ekonomi berbasis komoditas yang datang seiring perkembangan
media elektronik melawan nilai-nilai yang sama yang paling dibutuhkan di lingkungan ini
yaitu kesopanan dan saling menghargai. Munculnya beragam demo mengecam pornografi di
media televisi menjelang bulan Ramadhan tahun 2004, seperti acara komedi Nah Ini Dia
yang ditayangkan SCTV, Layar Tancap yang ditayangkan Lativi setiap malam minggu,
dialog tengah malam yang acap diwarnai tema seks secara vulgar dan sebagainya, menandai
beradunya nilai-nilai baru yang dibawa media elektronik dengan norma kesopanan dalam
alam dunia Timur.
Jika kita merupakan anggota dari budaya yang didominasi oral, maka perbedaan yang ada
dalam masyarakat dapat terminimalisir, dan keputusan akan diambil secara bersama melalui
konsensus dengan berdasar pada kebijaksanaan (wisdom) tradisi yang telah diwariskan dari
generasi ke generasi. Berbeda sekali jika kita merupakan anggota dari suatu masyarakat yang
budayanya lebih berorientasi pada media cetak, maka keputusan terhadap masalah yang
terjadi dalam masyarakat akan banyak dipengaruhi oleh “kenyataan” yang tersimpan dalam
dokumen, dan kelas-kelas tertentu dalam masyarakat yang mempunyai akses ke informasi
akan memegang pengaruh yang besar di dalam pembuatan keputusan masyarakat. Berbeda
lagi tatkala kita diandaikan sebagai anggota masyarakat yang kebudayaannya banyak
bertumpu pada media elektronik di mana kita mengidentitaskan dengan kelompok-kelompok
kepentingan yang bersaing satu sama lain. Dalam kondisi sepeti ini kita memperoleh
beragam suara, menyatukannya dengan cara yang sama, dan membuat suatu bentuk
keputusan berkaitan masalah bersama dengan mengakomodir sebanyak mungkin
kepentingan.
2. EVOLIUTION (DARWIN)
Pendahuluan
Sejak dahulu kala manusia selalu mempertanyakan asal-usul kehidupan dan dirinya. Jawaban
sementara atas pertanyaan tersebut ada tiga altenatif, yaitu penciptaan, transformasi, atau evolusi
biologi.
Definisi evolusi biologi bermacam-macam tergantung dari aspek biologi yang dikaji. Beberapa
definisi yang umum dijumpai di buku-buku biologi, antara lain: evolusi pada makhluk hidup
adalah perubahan-perubahan yang dialami makhluk hidup secara perlahan-lahan dalam kurun
waktu yang lama dan diturunkan, sehingga lama kelamaan dapat terbentuk species baru: evolusi
adalah perubahan frekuensi gen pada populasi dari masa ke masa; dan evolusi adalah perubahan
karakter adaptif pada populasi dari masa ke masa. Evolusi telah mempersatukan semua cabang
ilmu biologi.
Idea tentang terjadinya evolusi biologis sudah lama menjadi pemikiran manusia. Namun, di
antara berbagai teori evolusi yang pernah diusulkan, nampaknya teori evolusi oleh Darwin yang
paling dapat teori . Darwin (1858) mengajukan 2 teori pokok yaitu spesies yang hidup sekarang
berasal dari spesies yang hidup sebelumnya, dan evolusi terjadi melalui seleksi alam.
Perkembangan tentang teori evolusi sangat menarik untuk diikuti. Darwin berpendapat bahwa
berdasarkan pola evolusi bersifat gradual, berdasarkan arah adaptasinya bersifat divergen dan
berdasarkan hasilnya sendiri selalu dimulai terbentuknya varian baru.
Dalam perkembangannya teori evolusi Darwin mendapat tantangan (terutama dari golongan
agama, dan yang menganut paham teori penciptaan – Universal Creation), dukungan dan
pengkayaan-pengkayaan. Jadi, teori sendiri juga berevolusi sehingga teori evolusi biologis yang
sekarang kita kenal dengan label “Neo Darwinian” dan “Modern Sintesis”, bukanlah murni
seperti yang diusulkan oleh Darwin. Berbagai istilah di bawah ini merupakan hasil pengkayaan
yang mencerminkan pergulatan pemikiran dan argumentasi ilmiah seputar teori evolusi:
berdasarkan kecepatan evolusi (evolusi quasi dan evolusi quantum); berdasarkan polanya
(evolusi gradual, evolusi punctual, dan evolusi saltasi) dan berdasarkan skala produknya (evolusi
makro dan evolusi mikro).
Topic yang akan dibahas dibawah ini meliputi perkembagan teori evolusi Darwin dan implikasi
dari teori evolusi biologi Darwin terhadap cara pandang kita tentang keberadaan makhluk dan
alam semesta.
Buku “Origin of Species by Means of Natural Selection” yang diterbitkan tahun 1959 ini,
menurut indeks sitasi merupakan buku yang paling banyak diacu oleh penulis lain (selain kitab
suci) selama ini.
2. Perkembangan Teori Evolusi
Banyak hal dan pemikiran ahli lain yang mempengaruhi perkembangan teori Darwin, antara lain:
Ekspedisi ke lautan Galapagos ditemukan bahwa perbedaan bentuk paruh burung Finch
disebabkan perbedaan jenis makanannya.
Geolog Charles Lyell (1830) menyatakan bahwa batu-batuan di bumi selalu mengalami
perubahan. Menurut Darwin, hal-hal tersebut kemungkinan mempengaruhi makhluk
hidupnya. Pikiran ini juga didasarkan pada penyelidikannya pada fosil.
Pendapat ekonom Malthus yang menyatakan adanya kecendrungan kenaikan jumlah
penduduk lebih cepat dari kenaikan produksi pangan. Hal ini menimbulkan terjadinya
suatu persaingan untuk kelangsungan hidup. Oleh Darwin hal ini dibandingkan dengan
seleksi yang dilakukan oleh para peternak untuk memperoleh bibit unggul.
Pendapat beberapa ahli seperti Geoffroy (1829), WC Wells (1813), Grant (1826), Freke
(1851), dan Rafinisque (1836).
Tahun 1858 Darwin mempublikasikan The Origin yang memuat 2 teori utama yaitu:
1. Spesies yang hidup sekarang berasal dari spesies lain yang hidup di masa lampau.
2. Evolusi terjadi melalui seleksi alam.
Menurut Darwin, agen tunggal penyebab terjadinya evolusi adalah seleksi alam. Seleksi alam
adalah “process of preserving in nature favorable variations and ultimately eliminating those that
are ‘injurious’”.
Secara umum, tanggapan ahli lain terhadap teori Darwin adalah:
a. Mendapat tantangan terutama dari golongan agama, dan yang menganut paham teori
penciptaan (Universal Creation).
b. Mendapat pembelaan dari penganut Darwin antara lain , Yoseph Hooker dan Thomas Henry
Huxley (1825-1895).
c. Mendapat kritik dan pengkayaan dari banyak ahli antara lain Morgan (1915), Fisher (1930),
Dobzhansky (1937), Goldschmidt (1940) dan Mayr (1942).
Dengan berbagai perkembangan dalam perkembangan dalam ilmu biologi, khususnya genetika
maka kemudian Teori Evolusi Darwin diperkaya. Seleksi alam tidak lagi menjadi satu-satunya
agen penyebab terjadinya evolusi, melainkan ada tambahan faktor-faktor penyebab lain yaitu:
mutasi, aliran gen, dan genetic drift. Oleh karenanya teori evolusi yang sekarang kita seirng
disebut Neo-Darwinian atau Modern Systhesis.
Secara singkat, proses evolusi oleh seleksi alam (Neo Darwinian) terjadi karena adanya:
a. Perubahan frekuensi gen dari satu generasi ke generasi berikutnya.
b. Perubahan dan genotype yang terakumulasi seiring berjalannya waktu.
c. Produksi varian baru melalui pada materi genetic yang diturunkan (DNA/RNA).
d. Kompetisi antar individu karena keberadaan besaran individu melebihi sumber daya
lingkungan tidak cukup untuk menyokongnya.
e. Generasi berikut mewarisi “kombinasi gen yang sukses” dari individu fertile (dan beruntung)
yang masih dapat bertahan hidup dari kompetisi.
3. PSCYOANALYSIS (FREUD)
Teori psikologi yang paling banyak diacu dalam pendekatan psikologi atau yang paling dominan
dalam analisis karya sastra adalah teori Psikoanalisis Sigmund Freud (Ratna, 2004:62 dan 344).
Menurut Freud (2002:3), psikoanalisis ialah sebuah metode perawatan medis bagi orang-orang
yang menderita gangguan syaraf. Psikoanalisis merupakan suatu jenis terapi yang bertujuan
untuk mengobati seseorang yang mengalami penyimpangan mental dan syaraf.
Lebih lanjut lagi, menurut Fudyartanta (2005:17) psikoanalisis merupakan psikologi ketidak-
sadaran, perhatian-perhatiannya tertuju ke arah bidang-bidang motivasi, emosi, konflik,
simpton-simpton neurotik, mimpi-mimpi, dan sifat-sifat karakter. Psikoanalisis dikembangkan
oleh Sigmund Freud ketika ia menangani neurosis dan masalah mental lainnya.
Menurut Corey (2003:13), sumbangan-sumbangan utama yang bersejarah dari teori dan praktek
psikoanalitik mencakup:
(1) Kehidupan mental individu menjadi bisa dipahami, dan pemahaman terhadap sifat manusia
bisa diterapkan pada peredaan penderitaan manusia.
(2) Tingkah laku diketahui sering ditentukan oleh faktor-faktor tak sadar.
(3) Perkembangan pada masa dini kanak-kanak memiliki pengaruh yang kuat terhadap
kepribadian di masa dewasa.
(4) Teori psikoanalitik menyediakan kerangka kerja yang berharga untuk memahami cara-cara
yang digunakan oleh individu dalam mengatasi kecemasan dengan mengandaikan adanya
mekanisme-mekanisme yang bekerja untuk menghindari luapan kecemasan.
(5) Pendekatan psikoanalitik telah memberikan cara-cara mencari keterangan dari ketaksadaran
melalui analisis atas mimpi-mimpi, resistensi-resistensi, dan transferensi-transferensi
Dalam teori psikoanalisis yang dipakainya, kepribadian dipandang sebagai suatu struktur yang
terdiri dari tiga unsur dan sistem, yakni Id (Das Es), Ego (Das Ich), dan Superego (Das Uber Ich)
(Koeswara, 1991:32; Poduska, 2000:78). Ketiga sistem kepribadian ini satu sama lain saling
berkaitan serta membentuk totalitas dan tingkah laku manusia yang tak lain merupakan produk
interaksi ketiganya. Id adalah komponen biologis, ego adalah komponen psikologis, sedangkan
superego merupakan komponen sosial (Corey, 2003:14). Berikut akan dijelaskan lebih lanjut
mengenai ketiga sistem kepribadian menurut teori psikoanalisis Sigmund Freud.
Id
Id adalah sistem kepribadian yang asli atau sistem kepribadian yang paling dasar, sistem yang di
dalamnya terdapat naluri bawaan (Koeswara, 1991:32). Adapun menurut Palmquist (2005:105),
id ialah bagian bawah sadar psikis yang berusaha memenuhi dorongan naluriah dasar. Lebih
lanjut lagi menurut Corey (2003:14), id merupakan tempat bersemayam naluri-naluri. Id kurang
terorganisasi, buta, menuntut, mendesak, dan bersifat tidak sadar. Id hanya timbul oleh
kesenangan tanpa disadari oleh nilai, etika, dan akhlak. Dengan beroperasi pada prinsip
kesenangan ini, id merupakan sumber semua energi psikis, yakni libido, dan pada dasarnya
bersifat seksual.
Id adalah aspek biologis dan merupakan sistem original dalam kepribadian dan dari aspek ini
kedua aspek lain tumbuh. Id hanya memburu hawa nafsunya saja tanpa menilai hal tersebut baik
atau buruk. Ia merupakan bagian ketidaksadaran yang primitif di dalam pikiran, yang terlahir
bersama individu (Berry, 2001:75).
Id bekerja sejalan dengan prinsip-prinsip kenikmatan, yang bisa dipahami sebagai dorongan
untuk selalu memenuhi kebutuhan dengan serta merta. Fungsi satu-satunya id adalah untuk
mengusahakan segera tersalurnya kumpulan-kumpulan energi atau ketegangan yang dicurahkan
dalam jasadnya oleh rangsangan-rangsangan, baik dari dalam maupun dari luar. Ia bertugas
menerjemahkan kebutuhan satu organisme menjadi daya-daya motivasional, yang dengan kata
lain disebut dengan insting atau nafsu. Freud juga menyebutnya dengan kebutuhan.
Penerjemahan dari kebutuhan menjadi keinginan ini disebut dengan proses primer (Boeree,
2005:38).
Ego
Ego berbeda dengan Id. Ego ialah sistem kepribadian yang bertindak sebagai pengarah individu
kepada objek dari kenyataan, dan menjalankan fungsinya berdasarkan prinsip kenyataan
(Koeswara 1991:33—34). Adapun menurut Ahmadi (1992:152), ego tampak sebagai pikiran dan
pertimbangan. Ego bertindak sebagai lawan dari Id. Ego timbul karena adanya kebutuhan-
kebutuhan organisme memerlukan transaksi-transaksi yang sesuai dengan dunia kenyataan.
Ego memiliki kontak dengan dunia eksternal dari kenyataan. Ego adalah eksekutif dari
kepribadian yang memerintah, mengendalikan, dan mengatur (Corey, 2003:14). Ego merupakan
tempat berasalnya kesadaran, biarpun tak semua fungsinya bisa dibawa keluar dengan sadar
(Berry, 2001:76).
Ego merupakan aspek psikologis yang timbul karena kebutuhan organisme untuk berhubungan
secara baik dengan dunia kenyataan. Ego dapat membedakan sesuatu yang hanya ada di dalam
dunia batin dan sesuatu yang ada di dunia luar. Peran utama ego adalah menjadi jembatan
antara kebutuhan insting dengan keadaan lingkungan, demi kepentingan adanya organisme.
Menurut Bertens (2002:71) tugas ego adalah untuk mempertahankan kepribadiannya sendiri
dan menjamin penyesuaian dengan alam sekitar. Ego juga mengontrol apa yang mau masuk
kesadaran dan apa yang akan dikerjakannya. Ego menghubungkan organisme dengan realitas
dunia melalui alam sadar yang dia tempati, dan dia mencari objek-objek untuk memuaskan
keinginan dan nafsu yang dimunculkan id untuk merepresentasikan apa yang dibutuhkan
organisme. Proses penyelesaian ini disebut dengan proses sekunder (Boeree, 2005:39).
Superego
Superego ialah sistem kepribadian yang berisikan nilai-nilai dan aturan-aturan yang sifatnya
evaluatif (Koeswara, 1991:34—35). Ia bertindak sebagai pengarah atau hakim bagi egonya.
Menurut Kartono (1996:129) superego adalah zat yang paling tinggi pada diri manusia, yang
memberikan garis-garis pengarahan ethis dan norma-norma yang harus dianut. Superego lebih
merupakan kesempurnaan daripada kesenangan, karena itu dapat dianggap sebagai aspek moral
kepribadian.
Adapun superego menurut Palmquist (2004:103), adalah bagian dari jiwa manusia yang
dihasilkan dalam menanggapi pengaruh orangtua, guru, dan figur-figur otoritas lainnya pada
masa anak-anak. Inilah gudang psiki bagi semua pandangan tentang yang benar dan yang salah.
Superego adalah cabang moral atau hukum dari kepribadian. Superego merepresentasikan hal
yang ideal, dan mendorongnya bukan kepada kesenangan, melainkan kepada kesempurnaan.
Superego berkaitan dengan imbalan-imbalan dan hukuman-hukuman. Imbalan-imbalannya
adalah perasaan-perasaan bangga dan mencintai diri, sedangkan hukuman-hukumannya adalah
perasaan-perasaan berdosa dan rendah diri (Corey, 2003:15).
Lebih lanjut lagi, Menurut Hall dan Gardner (1993:67—68) Fungsi utama dari superego antara
lain (1) sebagai pengendali dorongan-dorongan atau impuls-impuls naluri id agar impuls-impuls
tersebut disalurkan dalam cara atau bentuk yang dapat diterima oleh masyarakat; (2)
mengarahkan ego pada tujuan-tujuan yang sesuai dengan moral ketimbang dengan kenyataan;
dan (3) mendorong individu kepada kesempurnaan. Superego senantiasa memaksa ego untuk
menekan hasrat-hasrat yang berbeda ke alam bawah sadar. Superego, bersama dengan id,
berada di alam bawah sadar.
Jadi superego cenderung untuk menentang, baik ego maupun id, dan membuat dunia menurut
konsepsi yang ideal. Ketiga aspek tersebut meski memiliki karakteristik sendiri dalam prakteknya,
namun ketiganya selalu berinteraksi secara dinamis.
Sublimasi
Menurut Freud (2003:166), sublimasi ialah suatu proses bawah sadar dimana libido ditunjukkan
atau diubah arahnya ke dalam bentuk penyaluran yang lebih dapat diterima. Adapun menurut
Koeswara (1991:46—47), sublimasi ialah mekanisme pertahanan ego yang ditujukan untuk
mencegah dan atau meredakan kecemasan dengan cara mengubah dan menyesuaikan dorongan
primitif Id yang menjadi penyebab kecemasan ke dalam bentuk (tingkah laku) yang bisa diterima
oleh masyarakat.
Lebih lanjut lagi, menurut Corey (2003:19) sublimasi ialah suatu mekanisme pertahanan ego
yang menggunakan jalan keluar yang lebih tinggi atau yang secara sosial lebih dapat diterima
bagi dorongan-dorongannya. Sedangkan menurut Poduska (2000:120) sublimasi suatu
mekanisme pertahanan ego yang melepaskan unek-unek perasaan, terutama yang bersifat
seksual dalam suatu cara yang tidak bersifat seksual. Sublimasi selalu mengubah berbagai
rangsangan yang tidak diterima, apakah itu dalam bentuk seks, kemarahan, ketakutan atau
bentuk lainnya, ke dalam bentuk-bentuk yang bisa diterima secara sosial (Boeree, 2005:54).
Mekanisme pertahanan ego seperti ini sangat bermanfaat, karena tidak ada pihak yang merasa
dirugikan, baik individu itu sendiri ataupun orang lain.
Proyeksi
Menurut Koeswara (1991:47), proyeksi ialah suatu mekanisme pertahanan ego yang
mengalihkan dorongan, sikap, atau tingkah laku yang menimbulkan kecemasan kepada orang
lain. Adapun menurut Berry (2001:80), proyeksi ialah suatu mekanisme yang menimpakan
kesalahan dan dorongan tabu kepada orang lain.
Lebih lanjut lagi, menurut Poduska (2000:121) proyeksi ialah suatu mekanisme pertahanan
dengan mana anda mempertahankan diri dari pikiran-pikiran dan keinginan-keinginan yang tak
dapat diterima, dengan menyatakan hal tersebut kepada orang lain. Mekanisme pertahanan ego
proyeksi ini selalu mengalamatkan sifat-sifat tertentu yang tidak bisa diterima oleh ego kepada
orang lain (Corey, 2003:18). Mekanisme pertahanan ego ini meliputi kecenderungan untuk
melihat hasrat anda yang tidak bisa diterima oleh orang lain.
Proyeksi sering kali melayani tujuan rangkap. Ia mereduksikan kecemasan dengan cara
menggantikan suatu bahaya besar dengan bahaya yang lebih ringan, dan memungkinkan orang
yang melakukan proyeksi mengungkapkan impuls-impulsnya dengan berkedok mempertahankan
diri dari musuh-musuhnya (Hall dan Gardner, 1993:88).
Mekanisme pertahanan ego ini merupakan kebalikan dari melawan diri sendiri (Boeree,
2005:49). Individu yang secara tidak sadar melakukan mekanisme pertahanan ego seperti ini,
biasanya berbicara sebaliknya atau pengkambinghitaman kepada orang atau kelompok lain.
Displacement
Menurut Koeswara (1991:47), displacement ialah pengungkapan dorongan yang menimbulkan
kecemasan kepada objek atau individu yang kurang berbahaya atau kurang mengancam
dibandingkan dengan objek atau individu yang semula. Adapun menurut Corey (2003:19)
displacement adalah suatu mekanisme pertahanan ego yang mengarahkan energi kepada objek
atau orang lain apabila objek asal atau orang yang sesungguhnya, tidak bisa dijangkau.
Lebih lanjut lagi, menurut Poduska (2000:119) displacement ialah mekanisme pertahanan ego
dengan mana anda melepaskan gerak-gerik emosi yang asli, dan sumber pemindahan ini
dianggap sebagai suatu target yang aman. Mekanisme pertahanan ego ini, melimpahkan
kecemasan yang menimpa seseorang kepada orang lain yang lebih rendah kedudukannya.
Rasionalisasi
Menurut Poduska (2000:116) rasionalisasi ialah suatu mekanisme pertahanan dengan mana
anda berusaha untuk membenarkan tindakan-tindakan anda terhadap anda sendiri ataupun
orang lain. Adapun menurut Koeswara (1991:47—48), rasionalisasi ialah menyelewengkan atau
memutarbalikkan kenyataan yang mengancam ego, melalui dalih atau alasan tertentu yang
seakan-akan masuk akal, sehingga kenyataan tersebut tidak lagi mengancam ego individu yang
bersangkutan.
Lebih lanjut lagi, menurut Berry (2001:82), rasionalisasi ialah mencari pembenaran atau alasan
bagi prilakunya, sehingga manjadi lebih bisa diterima oleh ego daripada alasan yang sebenarnya.
Sedangkan menurut Boeree (2005:53) rasionalisasi ialah pendistorsian kognitif terhadap
“kenyataan” dengan tujuan kenyataan tersebut tidak lagi memberi kesan menakutkan.
Rasionalisasi selalu menciptakan alasan-alasan yang “baik” guna menghindarkan ego dari
cedera, atau memalsukan diri sehingga kenyataan yang mengecewakan menjadi tidak begitu
menyakitkan (Corey, 2003:19). Seseorang yang melakukan mekanisme pertahanan ego seperti
ini, akan membuat informasi-informasi palsu atau dibuat-buat sendiri.
Melakonkan
Menurut Poduska (2000:122), melakonkan ialah suatu mekanisme pertahanan ego yang untuk
meredakan atau menghilangkan kecemasan tersebut, dengan cara membiarkan ekspresinya
keluar. Melakonkan merupakan kebalikan dari represi yang menekan dorongan-dorongan atau
keinginan-keinginan yang menjadi penyebab kecemasan tersebut ke dalam alam tak sadar.
Mekanisme pertahanan ego ini membiarkan ekspresinya mengalir apa adanya. Tidak ada bentuk
penahanan atau penutupan atas kecemasan yang diterimanya.
Nomadisme
Menurut Poduska (2000:116), nomadisme ialah suatu mekanisme pertahanan ego, yang untuk
meredakan atau menghilangkan kecemasan tersebut, dengan cara berusaha lepas dari
kenyataan. Dalam menggunakan mekanisme pertahanan ego seperti ini, dia berusaha
mengurangi kecemasan dengan memindahkan diri sendiri (secara fisik) dari ancaman. Dia
berusaha sesering mungkin atau tidak sama sekali berhadapan dengan individu atau objek yang
akan menimbulkan kecemasan.
Simpatisme
Menurut Poduska (2000:117), simpatisme ialah suatu mekanisme pertahanan ego, yang untuk
meredakan atau menghilangkan kecemasan tersebut, dengan cara mencari sokongan emosi atau
nasihat dari orang lain. Seseorang yang melakukan mekanisme pertahanan ego seperti ini akan
mencari teman dekatnya untuk membicarakan masalah-masalah atau kecemasan yang telah
diterimanya. Dia berusaha mendapatkan kata-kata yang bisa membangkitkan gairah untuk
menghadapinya.