PENDAHULUAN
Tradisi intelektual ini disebut sebagai “mazhab” lantaran beberapa tokoh yang terlibat
di dalamnya disatukan oleh suatu proyek teoretis (Honneth, 1987: 347). Melalui “buku paling
gelap” Dialectic of Enlightenment, Horkheimer dan Adorno mengkonsepsikan proses
penghancuran diri Pencerahan (Habermas, 1992: 106).
Seluruh proses peradaban manusia ditentukan oleh suatu logika reifikasi gradual yang
dirangkai dalam gerak oleh tindakan pertama penguasaan terhadap alam dan memuncak pada
munculnya Fascisme (Honneth, 1987: 360).
Lantaran awalan yang demikian, banyak yang menilai bahwa proyek teoretis yang
dibangun oleh Mazhab Frankfurt adalah “proyek teoretis yang muram” karena menyoroti
ekses dan sisi gelap perkembangan masyarakat modern. Pertanyaan yang kemudian
mengemuka: Apakah sedemikian “gelap” pembacaan mazhab ini atas masa depan masyarakat
modern? Apakah mungkin, dalam kerangka “kritik ideologi”, analisis mereka diterima
sebagai upaya rasional-etis untuk memperlihatkan konsekuensi-konsekuensi modernitas yang
gambaran “muram”-nya semakin kelihatan nyata pada masyarakat kita sekarang ini? Disini
akan menjelaskan pemikiran Mazhab Frankfurt secara singkat sebagai berikut.
B. ASUMSI DASAR TEORI KRITIS
Teori kritis sendiri merupakan teori yang tidak berkaitan dengan prinsip-prinsip
umum, tidak membentuk sistem ide. Teori ini berusaha memberikan kesadaran untuk
membebaskan manusia dari irasionalisme. Dengan demikian teori ini adalah emansipatoris.
Ciri ini adalah:
Pada dasarnya Teori Kritis Aliran Frankfurt adalah ingin memperjelas struktur yang
dimiliki oleh masyarakat pasca industri serta melihat akibat-akibat struktur tersebut dalam
kehidupan manusia dan kebudayaan secara rasional.[9] Teori Kritis ingin memperjelas atau
bahkan menjelaskan hubungan manusia dengan bertitik tolak dari pemahaman rasio
instrumental. Teori kritis ingin membangun teori yang mengkritik struktur dan
mengkonfigurasi masyarakat aktual sebagai akibat dari suatu pemahaman yang keliru tentang
rasionalitas.
Frankfurt School merupakan istilah populer untuk menyebut kelompok cendekiawan
yang terhimpun dalam Frankfurt Institute of Sosial Reaserch yang berpusat di Universitas
Frankfurt Jerman. Lembaga ini didirikan oleh Felix j. Well pada tanggal 3 Februari 1923 dan
mendapat dukungan dari sekelompok intelektual Marxian yang berlatar belakang dari
berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Diantara mereka yang terkenal adalah Max Hokheimer,
Theodor Adorno, Herbert Marcuse dan yang paliung kontemporer adalah Hebermas.
Meskipun mereka sangat dipengaruhi oleh Marx namun mereka berpendapat bahwa teori
Marx sudah tidak mampu mengungkapkan sifat masyarakat secara akurat, sehingga mereka
memandang perlu dikembangkan lebih lanjut.
Cendekiwan yang tergabung dalam aliran ini memiliki ciri khas yaitu kritis terhadap
berbagai aspek kehidupan sosial untuk mengungkapkan sifat masyarakat modern secara lebih
akurat. Tak heran jika aliran mereka disebut sebagai Teori Kritis. Mereka mengembangkan
pemikiranya dengan bertolak dari keinginan untuk memperoleh teori sosial dan epistimologi
alternatif terhadap paradigma positivisme yang dianggap sudah tidak lagi relevan.
Madzhab Frankfurt menolak paham Maxisme yang terlalu menekankan pada
determinisme ekonomi. Karena pandangan determinisme ekonomi berangkat dari asumsi
pemikran positivistik yang menganggap bahwa metode ilmu alam dapat diterapkan dengan
tepat pada bidang ilmu pengetahuan sosial budaya. Mereka memandang ilmu pengetahuan
sosial budaya tidak bisa disamakan dengan ilmu alam, karena alam secara mendasar sangat
berbeda dengan manusia dan kegiatanya. Dalam pandangan Hebermas pradigma positivisme
itu mengabaikan peran manusia sebagai aktor yang memiliki karakteristik khas dan unik,
tidak seperti robot. Teori yang berusaha dibangun oleh Madzhab Frankfurt adalah ingin
melepaskan kehidupan dari model cara berfikir positivisme (rasionalitas instrumental)
dimana terjadi penjajahan dunia kehidupan (lebenwelt) oleh sistem.
Berangkat dari paradigam diatas, Madzhab Frankfurt lebih menekankan kajianya pada
persoalan kultural. Mereka berkeyakinan bahwa pemikiran Marx tentang akan hancurnya
sistem kapitalisme tidak akan terbukti. Karena kapitalisme telah mengkonsolidasikan dan
mengembangkan mekanisme efektif seperti pemenuhan hak-hak pekerja secara lebih
proporsional, sehingga revolusi sosial yang akan menghancurkan kapitalisme tidak akan
terjadi. Bentuk penindasanya pun tidak dengan cara fisik melainkan sangat halus hingga
kaum pekerja menganggapnya sebagi sesuatu yang normal. Atas dasar pertimbangan itu
maka para Eksponen Madzhab Frankfurt mengalihkan perhatiannya dari analisis ekonomi
kapitalistik ke kritik atas penggunaan rasio instrumental pada masyarakat modern.
Dalam pandangan Madzhab Frankfurt, rasio instrumental telah menghailkan budaya
industri (culture industry) yang telah menghalangi perkembangan individu secara otonom.
Penindasan yang dilakukan oleh budaya industri lebih dominan dari sekedar dominasi
ekonomi. Adorno dan Horkheimer mengatakan dalam bukunya, Dialectical
Imagination, bahwa budaya industri telah membuat manusia tereifikasi. Manusai menjadi
seperti robot yang dideterminasi oleh iklan yang ditampilkan oleh media massa. Manusia
tidak lagi memiliki kebebasan untuk memilih lagi karena semuanya telah ditentukan,
distandarkan oleh budaya industri. Kustomer tidak lagi menjadi raja, tidak lagi menjadi
subjek, tapi menjadi budak dan objek.
Sementara itu dalam analisis Herbert Marcuse, rasionalitas instrumental dan
kungkungan industri budaya yang demikian massif telah mejadikan manusia menjadi
manusia satu dimensi (one dimensional man). Hampir semua eksponen Madzhab Frankfurt
pesimis terhadap budaya massa. Nada pesimis Marcuse lebih tampak dalam analisisnya
terhadap budaya massa yang ditampilkan oleh media massa: The mean of ....
communication..., the irrestisible output of the intertainment and information industry carry
with them prescribed attitudes and habbits, certain intelectual and emotional reactions which
bind the consumers... to the producers and, thrught the latter to the whole [sosial system]. The
products indoctrinate and manipulate; tey promote a false cociousness which is immune
againts its falsehood... Thus emerges a pattern of one-dimensional though and behavior.
(Marcus, cited in Bennett 1982: 43).
Dalam bukunya yang paling berpengaruh, One-Dimensional Man, Marcuse
berkeyakinan bahwa dengan adanya kebudayaan massa, aspek progessif dari seni klasik telah
dihapus karena hanya sekedar menjadi industri. Seni hanya menjadi nilai operasional dan
keinginan akan kebahagiaan diganti dengan kebutuhan yang salah atau palsu (false need)
dalam masyarakat konsistif ini. Itulah sebabnya Marcuse, sebagaimana pemikir madzhab
Frakfurt (Frankfurt School) lainya seperti Theodore Adorno memandang rendah kebudayaan
populer (pupular culture) karena sifatnya yang konservatif dan afirmatif. Kebudayaanb
popuer, menurutnya selalu mendamaikan kita dengan kondisi represif dalam masyarakat
kapitaslis ini.
Menurut budaya popular, Adorno memberikan karakteristknya yaitu kharakteristik
fundamental dan budaya populer, khususnya dalam musik populer, termasuk didalamnya
“musik rock” adalah standarisasi. Karakteristik yang membedakan dengan bentuk High
Culture yang dianggap adiluhung. Nah, yang menjadi pertanyaan adalah mengapa para
eksponen Madzhab Frankfurt tampak pesimsis dengan budaya massa? Karena budaya massa
yang komersial dan universal merupakan sarana utama untuk memonopoli modal. Budaya
massa ini mencakup didalamnya didalamnya segala hal yang diproduksi dan disebar luaskan
secara massal.
C. KRITIK ATAS BUDAYA MASYRAKAT MODERN
Potret terhadap rasionalitas masyarakat modern coba untuk disoroti oleh Adorno dan
Horkheimer, berdasarkan praktik teknokratisme dan stalinis. Menurut mereka ilmu dan
teknologi ternyata sama berubah menjadi mitos baru. Lewat karya bersama Dialektik der
Aukflarung, mereka mengatakan bahwa masyarakat modern telah membuat struktur
masyarakat baru yang yang saling mendominasi, serta berpikir positivistik yang menjadi
ideologi dan mitos baru.
Lebih radikal lagi menurut Adorno dan Horkheimer, rasio kritis (modernitas) ternyata
tak kurang dari mitos baru dalam bentuk yang lebih halus, lebih luhur, dan lebih dapat
diterima oleh orang modern. Istilah Dialektika Pencerahan ini merujuk pada kondisi
terjalinnya atau kait-mengaitnya antara mitos dan rasio. Istilah ini merupakan pendirian yang
mencolok dari Mazhab Frankfurt bahwa teori kritis yang dilandasi rasio kritis itu sendiri
berubah menjadi mitos atau ideologi dalam bentuk baru. Emansipasi masyarakat (memerangi
proses mekanisasi masyarakat dalam bentuk sistem ekonomi dan administrasi birokratis),
yang menjadi keprihatinan mereka, dilukiskan sebagai gerakan sia-sia dalam mitos demi
mitos yang tak kunjung habis.
Kritik serupa dilontarkan Marcuse dalam One-Dimensional Man. Dalam karya ini,
situasi masyarakat industri maju dilukiskan sebagai masyarakat berdimensi tunggal. Dengan
hilangnya dimensi kedua, negasi atau perlawanan terhadap sistem masyarakat hanya
mengadaptasi dominasi total teknokratisme. Kalau emansipasi pada gilirannya berubah
menjadi dominasi baru. Dengan kata lain, sebuah kritik rasional menjadi mustahil.
Akibatnya, dalam masyarakat dewasa ini juga tertutuplah ruang untuk kritik rasional itu,
sebab dominasi telah total.
Jurgen Habermas yang kemudian tampil sebagai pembaharu teori kritis tidak sekedar
menilai para pendahulunya memiliki kelemahan-kelemahan epistemologis yang mengantar
mereka ke jalan buntu itu, melainkan juga memberi sebuah pemecahan mendasar yang sangat
subur untuk meneruskan “proyek” teori kritis ala Frankfurt tersebut. Ide teori kritis belum
berakhir. Habermas menyuburkannya kembali dalam paradigma baru.
D. KESIMPULAN