Anda di halaman 1dari 10

Nama : Nugroho Taufiq Yusron

NIM : 1403621058

Bab 13
STRUKTURALISME, POST-STRUKTURALISME, & KEMUNCULAN
TEORI SOSIAL POST-MODERN

1. STRUKTURALISME

Pemakaian istilah “modern” memiliki makna tersirat yang berusaha menyatakan adanya
sebuah perkembangan dalam mengikuti teori sosiologi modern. Dalam teori sosiologi, teori
modern (dan teori klasik) kerap kali dibahas pada seluruh halaman karena penting dan menonjol
dalam ilmu disiplin ini. Kemudian, post-modernisme makin penting pengaruhnya terhadap teori
sosiologi. Ketika sedang membahas post-modernisme, kita memang perlu melakukan
penggeseran terhadap teori sosiologi menuju teori sosial.

A. Strukturalisme
Pada strukturalisme ini lebih memusatkan pada sebuah struktur. Perbedaan antara
strukturalisme dan fungsionalis struktural, yaitu strukturalisme yang berfokus pada
struktur linguistik dan fungsionalis struktural berfokus pada struktur sosial.
1. Akarnya dalam Linguistik
Strukturalisme lahir dari bermacam-macam perkembangan dalam berbagai bidang
(Dosse, 1998). Sumber strukturalisme modern dan benteng terkuatnya hingga kini
adalah ilmu bahasa (linguistik). Terdapat perbedaan menarik antara langue dan
parole dari Saussure yang besar artinya bagi kita semua.

Perhatian tentang struktur telah dikembangkan melampaui bahasa ke studi tentang


seluruh sistem tanda. Pemusatan perhatian atas sistem tanda inilah yang
dinamai“ semiotic" dan telah menarik banyak pengikut (Hawkes, 1977;
Gottdiener, 1994).

2. Strukturalimse Antropologi: Claude Levi-Strauss


Kurzweil adalah tokoh sentral strukturalisme Perancis – bapak strukturalisme
yang merupakan seorang antropolog Perancis, Claude Levi-Strauss. Levi
memiliki sebuah tujuan mengembangkan karya Saussure tentang bahasa ke
masalah antropologi, contohnya adalah dongeng masyarakat primitif. Hanya saja,
Levi ini menerapkan sebuah strukturalisme ke bidang lebih luas, ke seluruh
bentuk komunikasi.
Pemikiran Levi ini kerap digambarkan memiliki kemiripan dengan sistem ilmu
bahasa dan sistem kekeluargaan karena istilah yang digunakan sangat melukiskan
sistem keluarga, istilah keluarga atau fenom tidak memiliki arti dalam diri sendiri,
dan Levi mengakui bahwa terdapat variasi empiris dari suatu keadaan ke keadaan
lain dalam sistem kekeluargaan.

3. Marxisme Struktural
Strukturalisme jenis lain yang pernah sukses di Perancis (dan di bagian dunia lain)
adalah Marxisme struktural, terutama karya Louis Althusser, Nicos Poulantzas,
dan Maurice Godelier.

Meski telah dinyatakan bahwa strukturalisme modern berawal dari karya Saussure
dalam ilmu bahasa, namun ada yang mengatakan strukturalisme modern itu
berasal dari karya Marx. Walau Marxisme struktural dan strukturalisme pada
umumnya sama-sama memusatkan perhatian pada struktur, namun masing-
masing mengonseptualisasikan struktur secara berbeda.

Terdapat kesamaan antara teoritisi marxis struktural dan teoritisi strukturalisme,


yaitu memusatkan pada perhatian sebuah studi struktur sebagai persyaratan studi
sejarah. Pendapat lain yang sama antara teoritis Marxis struktural dan teoritisi
strukturalisme adalah bahwa strukturalisme harus memusatkan perhatian pada
struktur atau sistem yang terbentuk dari hubungan sosial yang saling
memengaruhi. Marxis struktural maupun strukturalisme sama-sama memandang
struktur sebagai sesuatu yang nyata (walau tak kelihatan). Menurut Lévi-Strauss,
perhatian harus dipusatkan pada struktur pikiran, sedangkan menurut Marxis
struktural perhatian harus ditujukan pada struktur yang mendasari masyarakat.

Walaupun terdapat persamaan antara keduanya, namun Marxisme struktural dan


strukturalisme memiliki perbedaan, yaitu Marxisme tidak menekankan pada
perhatian utama pada perubahan ilmu bahasa dan yang terjadi dalam ilmu sosial.

2. POST-STRUKTURALISME

Masa ini diperkirakan terjadi pada awal tahun 1966, hal ini sebagaimana yang
disampaikan oleh Lemert. Dimana dirinya mengatakan bahwa alasan menjadikan
tahun tersebut sebagai awal tahun Post Strukturalisme ini ialah karena Jacques
Deridda yang menjadi pelopor utama masa ini memproklamirkan tahun tersebut
sebagai awal mula berlakuknya sistem masa post strukturalisme itu sendiri. Dan di
tahun yang sama dirinya juga mengatakan bahwa pengendalian individu ini tidak
disebabkan oleh struktur bahasa, oleh karenanya Deridda hanya menganggap bahasa
ini hanya sebatas tulisan yang tidak dapat memaksa penggunanya.

Dikatakan bahwa Sasaran permusuhan Deridda ialah Logosentrisme (Pencarian


sistem berfikir universal yang mengungkapkan kebenaran, tepat, indah, dan
sebagainya) yang mendominasi pemikiran sosial orang-orang barat. Pendekatan ini
telah menyumbang terhadap apa yang dilukiskan Derrida sebagai “penindasan dan
pembrangusan sejarah terhadap tulisan sejak era Plato” (1978:196). Logosentrisme
tak hanya menyebabkan ketertutupan filsafat, tetapi juga ketertutupan ilmu
pengetahuan manusia. Derrida memusatkan perhatian untuk menghancurkan atau
“membongkar” sumber ketertutupan ini, dan dengan cara demikian membebaskan
tulisan dari sesuatu yang memperbudaknya.

Contoh konkret yang bagus mengenai pemikiran Derrida adalah diskusinya


tentang apa yang ia sebut “teater kekejaman” (theatre of cruelty). Ia membanding kan
konsep ini dengan teater tradisional yang menurutnya didominasi oleh sistem berpikir
yang disebutnya logika representasional (logika serupa telah men dominasi teori
sosial). Jelaslah bahwa Derrida menghendaki dekonstruksi radikal atas teater
tradisional. Lebih umum lagi, secara tak langsung ia mengkritik masyarakat pada
umumnya yang diperbudak oleh logosentrisme. Di sini tersirat sasaran perhatian
teoritisi post-strukturalisme (dan post modernis) yang lainnya, yakni: decentering.
Dalam beberapa hal, Derrida ingin teater menjauh dari "pusat” tradisionalnya,
menjauh dari pemusatan perhatiannya pada penulis skenario (penguasa) dan dari
harapan penulisnya dan memberikan aktor peran yang lebih bebas.

Ide Michel Foucault

Walaupun Derrida adalah tokoh post-strukturalisme yang pemikir terpenting yang


diasosiasikan dengan pendekatan ini adalah Michel Foucault (Smart, 2000). Karya
Foucault melukiskan perbedaan lain antara strukturalisme dan post-strukturalisme.
Meski strukturalisme sepenuhnya dipengaruhi oleh ilmu bahasa, pendekatan
Foucault, dan lebih umum lagi pendekatan post-strukturalisme, menunjukkan
berbagai masukan teoritis (Smart, 1985). Karena berbagai masukan teoritis ini
menyebabkan karya Foucault sukar dipahami. Lagi pula idenya tak hanya sekadar
diadopsi dari pemikir lain, tetapi juga diubahnya dan diintegrasikan ke dalam
orientasi teoritisnya sendiri yang tidak lazim. Jadi, teori rasionalisasi Weber ikut
berpengaruh, tetapi bagi Foucault teori rasionalisasi Weber itu tak berperan sebagai
"kerangkeng baja", hanya sebagai “tempat kunci” tertentu; selalu ada perlawanan
terhadap rasionalisasi Ide Marxian pun (Smart, 1983) ditemukan dalam karya
Foucault, tetapi ia tak membatasi dirinya pada ekonomi; ia memusatkan perhatian
pada sejumlah besar institusi.

Teori Aktor-Jaringan

Teori terbaru dengan akar kuat dalam strukturalisme dan post-struktural isme adalah
teori aktor-jaringan (actor-network theory-ANT): “Teori aktor-jaringan adalah
aplikasi kasar dari semiotik, ia memberi tahu kepada kita entitas-entitas yang
mengambil bentuk dan mendapatkan sifatnya dari relasi mereka dengan entitas
lainnya. Dalam skema ini entitas tidak mempunyai kualitas inheren" (Law, 1999:3).

3. TEORI SOSIAL POST-MODERN


PENGERTIAN POSTMODERNISME
Jean-Francois Lyotard adalah orang yang memperkenalkan postmodernisme dalam
bidang filsafat dan ilmu pengetahuan di tahun 1970-an dalam bukunya yang berjudul “The
Postmodern Condition: A Report on Knowledge”. Dia mengartikan postmodernisme sebagai
segala kritik atas pengetahuan universal, atas tradisi metafisik, fondasionalisme maupun atas
modernisme (Maksum, 2014: 305-306).
Menurut beberapa para ahli yang lainnya, seperti Louis Leahy, postmodernisme adalah
suatu pergerakan ide yang menggantikan ideide zaman modern (Leahy, 1985: 271). Menurut
Emanuel, postmodernisme adalah keseluruhan usaha yang bermaksud merevisi kembali
paradigma modern (Emanuel, 2006: 93). Sedangkan menurut Ghazali dan Effendi,
postmodernisme mengoreksi modernisme yang tidak terkendali yang telah muncul sebelumnya
(Ghazali & Effendi, 2009: 161).
Maka dapat disimpulkan bahwa postmodernisme merupakan suatu ide baru yang
menolak atau pun yang termasuk dari pengembangan suatu ide yang telah ada tentang teori
pemikiran masa sebelumnya yaitu paham modernisme yang mencoba untuk memberikan
kritikan-kritikan terhadap modernisme yang dianggap telah gagal dan bertanggung jawab
terhadap kehancuran martabat manusia; ia merupakan pergeseran ilmu pengetahuan dari ide-ide
modern menuju pada suatu ide yang baru yang dibawa oleh postmodernisme itu sendiri.

TOKOH-TOKOH POSTMODERNISME
Ada beberapa tokoh yang bisa disebut mewakili era Postmodernisme. Pertama, Jean-
Francois Lyotard, merupakan salah satu filsuf postmodernisme yang paling terkenal sekaligus
paling penting di antara filsuf-filsuf postmodernisme yang lainnya.
1. Lyotard
Pemikiran Lyotard tentang ilmu pengetahuan dari pandangan modernisme yang sebagai
narasi besar seperti kebebasan, kemajuan, dan sebagainya kini menurutnya mengalami
permasalahan yang sama seperti abad pertengahan yang memunculkan istilah religi, nasional
kebangsaan, dan kepercayaan terhadap keunggulan negara eropa untuk saat ini tidak dapat
dipercaya atau kurang tepat kebenarannya. Maka, postmodernisme menganggap sesuatu ilmu
tidak harus langsung diterima kebenarannya harus diselidiki dan dibuktikan terlebih
dahulu. Bagi Lyotard, ilmu pengetahuan postmodernisme bukanlah semata-mata menjadi alat
penguasa, ilmu pengetahuan postmodern memperluas kepekaan kita terhadap pandangan
yang berbeda dan memperkuat kemampuan kita untuk bertoleransi atas pendirian yang tak
mau dibandingkan (Maksum, 2014: 319-321).

2. Michel Foucault
 Michel Foucault, adalah seorang tokoh postmodernisme yang menolak keuniversalan
pengetahuan. Ada beberapa asumsi pemikiran pencerahan yang ditolak oleh Foucault
yaitu:
1) Pengetahuan itu tidak ersifat metafisis, transendental, atau universal, tetapi khas
untuk setiap waktu dan tempat
2) Tidak ada pengetahuan yang mampu menangkap katakter objektif dunia, tetapi
pengetahuan itu selalu mengambil perspektif.
3) Pengetahuan tidak dilihat sebagai pemahaman yang netral dan murni, tetapi selalu
terikat dengan rezim-rezim penguasa (Maksum, 2014: 322).

Namun demikian, menurut Foucault, tidak ada perpisahan yang jelas, pasti, dan final
antara pemikiran pencerahan dan pasca-modern, atau antara modern dan pasca-modern.
Paradigma modern, kesadaran, dan objektivitas adalah dua unsur membentuk
rasionalotonom, sedangkan bagi Foucault pengetahuan bersifat subjektif.

3. Jacques Derrida.
Jacques Derrida identik dengan buah pikirannya tentang dekonstruksi. Istilah ini
merupakan salah satu konsep kunci postmodernisme. Secara etimologis, dekonstruksi adalah
berarti mengurai, melepaskan, dan membuka (Maksum, 2014: 331). Derrida menciptakan
sebuah pemikiran dekonstruksi, yang merupakan salah satu kunci pemikiran
postmodernisme, yang mencoba memberikan sumbangan mengenai teori-teori pengetahuan
yang dinilai sangat kaku dan kebenarannya tidak bisa dibantah, yang dalam hal ini pemikiran
modernisme. Derrida mencoba untuk meneliti kebenaran terhadap suatu teori pengetahuan
yang baginya bisa dibantah kebenarannya yang dalam arti bisa membuat teori baru asalkan
hal tersebut dapat terbukti kebenarannya dan dipertanggungjawabkan.

4. Jean Baudrillard.
Pemikirannya memusatkan perhatian kepada kultur, yang dilihatnya mengalami revolusi
besar-besaran dan merupakan bencana besar. Revolusi kultural itu menyebabkan massa
menjadi semakin pasif ketimbang semakin berontak seperti yang diperkirakan pemikir
marxis. Dengan demikian, massa dilihat sebagai lubang hitam yang menyerap semua makna,
informasi, komunikasi, pesan dan sebagainya, menjadi tidak bermakna. Massa menempuh
jalan mereka sendiri, tak mengindahkan upaya yang bertujuan memanipulasi mereka.
Kekacauan, apatis, dan kelebaman ini merupakan istilah yang tepat untuk melukiskan
kejenuhan massa terhadap tanda media, simulasi, dan hiperealitas (Maksum, 2014: 338).
Bagi Jean Baudrillard, karya-karyanya mempunyai sumbangan terhadap pemikiran teori
sosial untuk postmodernisme yang baginya bahwa objek konsumsi merupakan tatanan
produksi. Sehingga baginya masyarakat hidup dalam simulasi yang dicirikan dengan
ketidakbermaknaan. Karena manusia kehilangan identitasnya dan jati dirinya yang banyak
terjadi pada masa kontenporer. Tokoh inilah yang terkenal dengan menyebut dunia
postmodernisme sebagai kehidupan yang Hiperealitas.

5. Fedrick Jameson.
Ia merupakan salah satu kritikus literatur berhaluan marxis paling terkemuka. George
Ritzer dalam Postmodern Social Theori, menempatkan Jameson dengan Daniel Bell, kaum
feminis dan teoritis multikultur. Jameson menggunakan pola berfikir Marxis untuk
menjelaskan epos historis yang baru (postmodernisme), yang baginya bukan modification
dari kapitalisme, melainkan ekspansi darinya. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa
periode historis yang ada sekarang bukanlah keterputusan, melainkan kelanjutannya
(Maksum, 2014: 339).
Menurut Jameson, postmodernisme memiliki dua ciri utama, yaitu pastiche dan
schizofrenia. Jameson mulai dengan menjelaskan bahwa modernisme besar didasarkan pada
gaya yang personal atau pribadi. Subjek individual borjois tidak hanya merupakan subjek
masa lalu, tapi juga mitos subjek yang tidak pernah benar-benar ada, hanya mistifikasi, kata
Jameson, yang tersisa adalah pastiche. Pastiche dari pastiche, tiruan gaya yang telah mati.
Kita telah kehilangan kemampuan memposisikan ini secara historis. Postmodernisme
memiliki konsep waktu yang khas. Jameson, menjelaskan apa yang ia maksudkan dengan
menggunakan teori schizofrena lacan. Schizofrenik adalah pengalaman penanda material
yang terpisah, terisolir, dan gagal membentuk rangkaian yang koheren (Hidayat, 2008: 227).

TEORI-TEORI SOSIAL POSTMODERNISME


Beberapa teori sosial postmodernisme antara lain:

1. Teori Sosial Postmodern Moderat.


Teori ini yang menyatakan bahwa ada keterputusan antara modernisme dengan
postmodernsme. Namun ada yang mengatakan bahwa kendati postmodernisme memiliki
perbedaan penting dengan modernisme, tetapi ada semacam persambungan antara keduanya
(Ritzer & Goodman, 2012: 671). Meskipun ada perbedaan penting dalam jarak waktu antara
modernisme ke postmodernisme, namun ada kesinambungan antara keduanya. Proposisi ini
yang digarap Jameson. Prinsipnya, kapitalisme yang dalam perkembangannya kini berada
pada fase lanjutannya masih menjadi gambaran dominan, tetapi telah menimbulkan logika
kultural baru, yang disebut sebagai postmodernisme.
Masyarakat postmodern, menurut Jameson, terdiri atas empat unsur yaitu: Pertama,
masyarakat postmodern ditandai dengan kedangkalan dan kekurangan kedalaman. Kedua,
masyarakat postmodern ditandai oleh kepura-puraan atau kelesuan emosi. Ketiga,
masyarakat postmodern ditandai oleh hilangnya kesejarahan. Dan, keempat, masyarakat
postmodern ditandai sejenis teknologi baru yang berkaitan erat dengan masyarakat
postmodern itu sendiri. Misalnya, teknologi seperti telivisi atau teknologi elektronik.

2. Teori Sosial Postmodern Ekstrem


Teori ini menyatakan bahwa masyarakat moden telah digantikan oleh masyarakat
postmodern. Menurutnya objek konsumsi merupakan “sesuatu yang diorganisir oleh tatanan
produksi” atau “perluasan kekuatan produktif yang diorganisir” (Maksum, 2014: 337). Teori
ini dudukung salah satunya oleh Jean Baudrillard. Jean Baudrillard adalah sosiolog teori
Postmodern paling radikal dan menimbulkan banyak amarah dalam genre ini yang berfikiran
mengenai keadaan sosial masyakarat saat ini yang dipengaruhi oleh berbagai produksi yang
memperlihatkan keadaan sesungguhnya masyarakat itu (Ritzer & Goodman, 2009: 676).
Bagi Jean Baudrillard, masyarakat saat ini tidak lagi didominasi oleh produksi, tetapi
didominasi kepada media dan siberanertika serta industri dan sebagainya. Di saat masyarakat
telah didominasi oleh kode produksi dan dikontrol olehnya maka hal ini bertujuan dari
eksploitasi dan laba menuju kearah tanda dan sistem (Ritzer & Goodman, 2009: 677).
Menurut Baudrillard, menggambarkan dunia postmodern ditandai oleh simulasi, sulit untuk
melihat hal-hal yang riil (Ritzer & Goodman, 2009: 678). Baudrillard juga menggambarkan
dunia ini sebagai Hipperealitas. Contohnya media mulai tidak lagi menjadi cermin realitas
melainkan menjadi lebih riil dari realitas (Ritzer & Goodman, 2009: 677). Hipperealitas itu
adalah efek, atau keadaan dan pengalaman kebendaan atau ruang yang dihasilkan dari proses
tersebut (Piliang, 2003: 150).

3. Posisi Teoritis
Teori ini bepandangan bahwa perbedaan pandangan antara modernisme dan
postmodernisme bukan lagi dijadikan sebuah perdebatan, akan tetapai bagaimana keduanya
bisa saling bergandengan dan saling melengkapi. Kelompok ini berpendapat ketimbang
mempersoalkan modernisme dan postmodernisme sebagai era kesejarahan atau waktu, lebih
baik melihat modernisme dan postmodernisme sebagai kekuatan yang selalu menjalin
hubungan seiring sejalan satu sama lain. Dengah menempatkan postmodernisme secara
berkesinambungan berupaya untuk selalu menunjukkan keterbatasan–keterbatasan
modernisme. Posisi ketiga ini dapat dianggap sebagai alternatif di luar sikap yang
mendudukkan modernisme dan postmodernisme dalam kategori waktu. Representasi
terpenting dari aliran ini tak lain adalah JeanFrancois Lyotard (Norris, 2003: 7).

KELEBIHAN, KELEMAHAN, DAN RELEVANSI POSTMODERNISME


Kelebihan postmodernisme dapat membuat kita peka terhadap kemungkinan bahwa
wacana besar positif, prinsip-prinsip etika positif, dapat diputar dan dipakai untuk menindas
manusia. Menurut Franz Dahler, postmodernisme memiliki segi positif, yaitu keterbukaan
untuk kebhinekaan masyarakat, untuk toleransi, perlawanan terhadap monopoli, dominan
agama, aliran dan ideologi tertentu, hingga menguntungkan demokrasi. Sedangkan
kelemahan postmodernisme, Pertama, postmodernisme yang sangat semangat
mempromosikan narasi-narasi kecil, ternyata buta terhadap kenyataan bahwa banyak juga
narasi kecil yang mengandung banyak kebusukan. Kedua, postmodernisme tidak
membedakan antara ideologi, di satu pihak dan prinsip-prinsip universal etika terbuka, di
pihak lain. Ketiga, postmodernisme menuntut untuk menyingkirkan cerita-cerita besar demi
cerita kecil atau lokal.
Relevansi postmodernisme saat ini karena mereka bersikap saling menghargai manusia
sebagai individu-individu dengan segala keunikan yang ada pada dirinya dan keberagamanya
yang meliputi kelemahan dan kelebihan adalah suatu nilai lebih dan unik, hal itu merupakan
pembeda dengan yang lainnya. Bukan kita untuk mempermasalahkan keberagaman itu tetapi
bagaimana hal itu menjadi suatu kegembiraan dan kekhasan terhadap apa yang dimiliki.

4. KRITIK DAN TEORI SOSIAL POST-MODERN


Kritik-kritik utama terhadap teori sosial modern:

1. Teori post modern dikritik karena kegagalannya untuk berbuat sesuai dengan standar ilmiah
modern, standar yang dihindari oleh post-modern. Menurut modernis yang berorientasi
ilmiah adalah mustahil untuk mengetahui apakah pandangan post-modernis itu benar atau
tidak. Dalam Bahasa yang lebih formal, pada akhirnya segala sesuatu yang harus dikatakan
oleh post-modernis dengan para post-modernis dianggap salah, yaitu idenya tidak dapat
dibuktikan, khususnya dengan riset empiris (Flow, 1991; Kumar,1995). Tentu saja, kritik ini
mengasumsikan eksistensi model saintifik (ilmiah), eksistensi realitis, eksistensi pencarian,
dan eksistensi kebenaran. Semua asumsi ini tentunya akan ditolak oleh post-modernis.
2. Karena pengetahuan yang dihasilkan oleh post-modernis tidak dapat dilihat sebagai suatu
tubuh ide santifik, maka mungkin lebih baik untuk melihat teori sosial post-modern sebagai
ideologi (Kumar, 1995). Setelah kita melakukan, maka permasalahannya bukan lagi ide itu
benar atau salah, tetapi apakah kita percaya atau tidak. Orang-orang yang percaya kepada
seperangkat ide yang tidak mempunyai dasar untuk beragumen bahwa ide mereka adalah
lebih baik aau lebih buruk dibanding ide lainnya.
3. Karena mereka tidak dibatasi oleh norma-norma sains, post-modernis bebas untuk
melakukan apa yang meraka suka dengan berbagai macam ide. Sifat eksesif dari kebanyakan
diskursus post-modernis menyulitkan sebagian besar orang diluar perspektif untuk
menerima prinsip-prinsip dasarnya.
4. Ide-ide post-modern sering kali kabur dan abstraksehingga sulit untuk menghubungkannya
dengan dunia sosial (Calhoun, 1993). Maka, makna-makna dari konsep nya cenderung
berubah-ubah.
5. Meski propensitas mereka untuk mengkritik narasi besar dari teoritis modern, teoritis sosial
post-modern sering kali memberikan variasi narasi. Misalnya, Jameson sering kali dituduh
menggunnakan narasi besar dan totalitasasi Marxian.
6. Dalam analisisnya, teoritis sosial post-modern sering kali melancarkan kritik terhadap
masyarakat modern, namun kritis-kritik itu dapat dipertanyakan validatasnya karena pada
umumnya kekuarangan basis normative untuk membuat penilaian.
7. Dengan penolakannya terhadap minat kepada subjek dan subjektifitas, post-modernis sering
kali kekuarangan suatu teori tentang agen.
8. Teori sosial post-modern paling mengkritik masyarakat, tetapi kekurangan visi tentang
bagaimana masyarakat seharusnya.
9. Teori sosial post-modern cenderung pesimis.
10. Sementara teoritis sosial post-modern bergulat dengan apa yang mereka anggap isu sosial
utama, mereka seringkali mengabaikan hal-hal yang dianggap sebagai problem penting di
masa kita.
11. Seperti yang kita lihat di bab 9, kaum feminis secara khusus mengkritik dengan keras
masing-masing teori sosial post-modernis. Feminis cenderung kritis terhadap penolakan
post-modern terhadap subjek, penentangnya terhadap kategori lintas-kultural yang universal
(seperti gender dan penindasan gender).

5. RINGKASAN
Berbagai perkembangan penting dan saling berkaitan tentang teori sosiologi ini diawali
dengan adanya revolusi dalam ilmu bahasa hingga menimbulkan penelitian mengenai struktur
dari bahasa tersebut. Strukturalisme ini kemudian mempengaruhi bidang lainnya termasuk
antropologi dan juga pemikiran teoritisi sosial. Sehingga, kemudian melahirkan gerakan post-
Strukturalisme yang sangat terkenal. Tokoh Post-strukturalisme terpenting adalah Michel
Foucault, yang telah menghasilkan sejumlah buku pentingnya.

Adapaun teori terbaru yang diturunkan dari teori strukturalisme dan post-strukturalisme,
yaitu teori aktor-jaringan. Dimana, teori ini mengacu pada proses-proses sosial dan manusia
sebagai sesuatu yang unik yang karakteristiknya muncul melalui jaringan relasi.

Post-strukturalisme ini sebagian besar juga mempengaruhi kemunculan post-modernisme.


Berbagai bidang yang dipengaruhi, yaitu kesenian, arsitektur, filsafat, dan sosiologi. Adapun
macam-macam teori ini, mulai dari tingkat minimum, post-modernisme mencerminkan
tantangan terhadap teori sosiologi. Sedangkan, pada tingkat maksimum, post-modernisme
menolak sebagian besar teori-teori sosiologi.

Anda mungkin juga menyukai